Kamis, 31 Juli 2008

KRITIK “SAKIT” SASTRA INDONESIA

Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III 2008
Liza Wahyuninto

Pada tahun 1950, beberapa ahli sastra beranggapan bahwa kesusastraan mengalami kemunduran. Salah satu tokoh yang berpandangan bahwa kesusastraan Indonesia mengalami kemunduran adalah Sujadmoko. Dalam esainya yang berjudul Mengapa Konfrontasi, Sujadmoko melihat adanya krisis sastra akibat adanya krisis kepemimpinan politik. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sastra Indonesia mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang menceritakan psikologisme semata-mata.

Ulasan Sudjadmoko tersebut mendapat reaksi keras terutama dari para sastrawan. Para sastrawan tersebut antara lain, Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, dan Boejoeng Saleh. Mereka mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia tumbuh subur. H.B. Jassin dalam simposium sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1954 mengemukakan bahwa kesusastraan Indonesia modern tidak mengalami krisis. Dia mengemukannya dengan bukti-bukti dan dokumentasi yang lengkap. Pada tahun 1955, dalam simposiun yang diadakan kembali di Fakultas sastra Universitas Indonesia, Harijadi S Hartowardojo mengemukakan pendapatnya melalui tulisan yang berjudul Puisi Indonesia Sesudah Chairil Anwar. Selain dalam simposium tersebut pendapat mengenai lahirnya angkatan sastra baru muncul dalam simposium-simposium yang diadakan di Yogyakarta, Solo, dan lain-lain.

Apa yang telah disampaikan oleh Sujadmoko tersebut sangat tepat jika dimunculkan pada saat ini. Saat yang menurut Faiz Mansur dalam ulasannya yang berjudul “Ragam Kritik Sastra Indonesia” sebagian orang menganggap, bahwa sastra adalah bidang marginal, terkucil dari gegap-gempita kesenian panggung dan televisi sekarang ini. Kita hanya menyaksikan eksistensi sastra pada panggung-panggung mini, atau acara bedah buku, temu penulis dengan pembaca yang pengunjungnya bisa kita hitung dengan jari.

Alasan utama bahwa kritik sastra harus berperan dalam membangkitkan semangat bersastra dan mencintai sastra. Pasca HB. Jassin yang memunculkkan angkatan Sastra Melayu Lama dan angkatan sastra modern hingga saat Korrie Layun Rampan yang menyemangati membentuk angkatan sastra 2000, minim bahkan hampir tidak ada kritikus sastra yang mewarnai perjalanan panjang kritik sastra Indonesia. Keadaan ini pulalah yang membuat kemasan sastra tidak menarik dan dinilai sebagai sesuatu yang marginal.

Bahkan menurut Putu Wijaya ketika berbicara dalam seminar bertajuk “Membuka Tabir dengan Sastra: Telaah Jejak Inspirator” yang diadakan oleh Universitas Diponegoro, Semarang, “pasca-Chairil Anwar tak ada gelombang besar dalam perkembangan sastra di Indonesia. Seperti Chairil Anwar yang mendobrak sastra dengan memperbarui bahasa, peran-peran pembaru sastra itu sebenarnya juga terlihat dari sosok WS. Rendra, Sutardji Chalzoum Bachri, dan lain-lain. Namun, para pembaru itu ternyata tidak menimbulkan efek besar terhadap dunia sastra”.

Tentu saja, Hal ini terjadi karena di Indonesia tidak ada kritikus sastra yang cukup berwibawa sehingga bisa menjelaskan arah perkembangan sastra. Hal inilah yang menjadi kerisauan bagi beberapa tokoh sastra Indonesia, menurut Putu Wijaya, “Kalau dulu, ada HB. Jassin yang menjelaskan karya-karya Chairil Anwar. Sesudah HB. Jassin, peran kritikus sangat minim. Ruang untuk melakukan kritik sastra juga sangat terbatas”.

Sastrawan Kritikus, Kritikus Sastrawan : Kekaburan Kritik Sastra Indonesia
Kekaburan kritik sastra di Indonesia mencapai puncaknya di saat para penulis (sastrawan) “ikut-ikutan” menjadi kritikitus. Kehadiran sastrawan kritikus-sastrawan kritikus ini mulanya memang sempat mengisi kekosongan kritikus sastra dan mewarnai dunia kesusatraan Indonesia. Akan tetapi, perkembangan ini lambat laun menjadi lahan saling “ejek” karya sastra yang dihasilkan oleh penulis.

Beberapa tokoh yang terlibat dalam pertentangan kritik sastra tersebut dikategorikan ke dalam beberapa bidang,yaitu; Para pakar sastra (akademisi-kampus): Rahmat Joko Pradopo (UGM), Panuti Sudjiman, MS. Hutagalung, Saleh Saat, Boen S. Oemarjati, Roman Ali, S. Effendi (UI), Th. Rahayu Prihatmi (Undip), Buyung Saleh (UNHAS). Seniman sekaligus pakar sastra: Sapardi Joko Damono, Arif Budiman, Subagio Sastro Wardoyo, Yakob Sumardjo, Darmanto Yatman, Gunawan Mohammad, Taufiq Ismail, WS. Rendra, HB. Jassin, Budi Darma, Suripan. Kritikus seniman: Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi, Abdul Hadi WM., Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan.

Dualisme jabatan antara penulis (sastrawan) dan krikitikus sastra ini berpuncak pada kemarahan para pakar dan pengamat sastra yang menyatakan bahwa kritikus perlu membuat jarak sehingga lebih objektif. Akan tetapi himbauan dari para pakar tidak menyulutkan api pertentangan di antara sastrawan kritikus tersebut.

Pertentangan ini Misalnya apa yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib, pengembaraan Goenawan Mohamad tentang polemic kritik sastra – meskipun berlangsung tidak kentara – sejak Simposium Bahasa dan Kesusatraan tanggal 25-28 Oktober 1966 di Jakarta sampai peringatan Chairil Anwar, 30 April 1967 oleh Direktorat Bahasa dan Kesusastraan bersama BMKN antara Motinggo Boesye, Goenawan Mohamad, Arif Budiman dan Taufiq Ismail versus Lukman Ali M Saleh Saad, MS Hutagalung dan lain-lain. Selalu cenderung memisahkan kedua metode (dalam kritik sastra), Ganzheit dan Analitik secara ekstrim, seolah-olah keduanya sama sekali tidak ada unsure yang bisa disentuhkan.

Akan tetapi, terlepas dari itu semua, yang perlu untuk diperhatikan adalah pembaca karya sastra. Selama ini pembaca tidak pernah dilibatkan dan diajak berdialog oleh penulis. Padahal, seperti yang pernah di katakan oleh Radhar Panca Dahana, ”Sastra memang semestinya dikembalikan kepada pembaca, baik secara teoretis maupun praktis.” Di tingkat teoretis penyingkiran pembaca dalam penelaahan sastra, membuat sastra itu sendiri hanya berputar dalam lingkaran analitik antara para kritikus, ambisi penerbit, atau biografi pengarangnya.

Miskin Buku Teori Kritik Sastra
Kritik sastra adalah bidang kesusastraan yang terus menerus berkembang di dunia. Sebagai akibat dari kemajuan teknologi, perkembangan kritik sastra dunia tentu mempengaruhi perkembangan studi kritik sastra Indonesia. Pengaruh ini dapat timbul dari kerja-kerja kritik yang dilakukan oleh kritikus-kritikus sastra Indonesia—baik dari golongan akademisi, sastrawan, maupun peminat sastra—terhadap karya sastra Indonesia yang selanjutnya mendapatkan tanggapan dari masyarakat sastra dunia, kerja kritik pada karya-karya berbahasa asing, atau sebaliknya: kerja kritik pada karya-karya Indonesia oleh kritikus-kritikus asing, maupun transfer pengetahuan dalam bentuk studi banding dan penterjemahan teks atau buku-buku teori kritik sastra.

Sayangnya, hingga saat ini, kesusastraan Indonesia dapat dikatakan terus saja miskin buku-buku teori kritik sastra. Buku-buku teori yang ada, kebanyakan merupakan buku terbitan lama dengan pembicaraan yang tidak lagi mutakhir. Buku-buku terbitan lama itu pun benar-benar sulit didapat karena jumlahnya yang sedikit dan hanya dimiliki oleh kalangan terbatas.

Kesusastraan Indonesia memang sudah dinilai maju dan berkembang dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman, dan dari angkatan ke angkatan. Akan tetapi kemajuan tersebut hanya dengan kemunculan karya dan tokoh sastra belaka, tanpa di dukung oleh munculnya teori baru terutama dari kritikus sastra yang tentu saja berfungsi sebagai analisa terhadap karya yang meliputi penilaian dan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.

Pentingnya kritik sastra menurut Murray Krieger dalam karyanya “Criticism as a Secondary Art”, karena kritik sastra bertujuan mengungkap keaslian sebuah karya, sebagai penengah antara karya asli dan kebudayaan pendukungnya, mendebat pendapat yang telah ada—baik yang dibuat oleh perseorangan, maupun hasil kerja tim, serta menjelaskan pada masyarakat bahwa karya sastra adalah hasil interpretasi pengarang terhadap suatu fenomena sehingga terkadang berbeda dan “mengacuhkan” kenyataan yang diakui masyarakat, untuk hal ini karya sastra perlu dilindungi karena karya tersebut perlu dipandang terlepas dari pengarangnya sebagai konstruksi yang otonom/berdiri sendiri.

Kemajuan kesusastraan Indonesia tentunya akan dapat dinikmati oleh semua pihak jika para penulis (sastrawan), pakar sastra (peneliti dan akademisi), pengamat sastra (pembaca), penikmat sastra dan kritikus sastra mampu menempatkan diri pada tempat yang semestinya mereka berada. Menghindarkan diri dari dualisme kerja tentunya akan mendukung terciptanya karya sastra yang bercita rasa tinggi.

Sebagai kritikus sastra, hendaknya juga tidak melupakan himbauan yang ditulis oleh TS Eliot dalam Tradition and Individual Talent (The Sacret Wood,
London: Methuen Co, 1960), “Kritik yang jujur dan apresiatif
diarahkan bukan kepada penyair, tetapi pada sajaknya. Jika kita
memerhatikan omongan kacau para kritikus di koran serta desir ulangan
populer yang menyusulnya, kita akan mendengar banyak nama penyair.
Sedangkan jika kita mencari kenikmatan karya, kita akan jarang
mendapatkannya.”

Daftar bacaan:
Ainun, Nadjib Emha, 1995, Terus Menerba Budaya Tanding, Pengantar Halim HD.. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Suryadi, Linus, 1995, Dari Pujangga ke Penulis Jawa, Pengantar Dr. Alex Sudewa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Murray Krieger, 1981, “Criticism as a Secondary Art”, dalam What Is Criticism?, editor Paul Hernadi.. Bloomingtoon: Indiana University Press.
Goesprih, Kritik Sastra (Catatan Ringkas Utk Keperluan Sendiri). (http://www.goesprih.blogspot.com, February 18, 2008)
Faiz Mansur, Ragam Kritik Sastra Indonesia. (13 Seprtember 2005)
Karya Banyak, Indonesia Krisis Kritikus Sastra. (Kompas, Senin, 28 April 2008)

Rabu, 30 Juli 2008

Mengintip Dunia di dalam Dunia

Judul buku: Dunia Kecil; Panggung &Omong Kosong
Pengarang : A. Syauqi Sumbawi
Jenis buku: Novel
Epilog : Nurel Javissyarqi
Penerbit : PUstaka puJAngga, Sastra Nesia, Lamongan 2007
Tebal Buku: iv+220hal,12x19cm.
Peresensi : Imamuddin SA.

Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong merupakan karya yang imajinatif. Karya yang penuh dengan perjalanan yang diliputi dengan perjuangan untuk mengungkap misteri. Misteri dalam realitas cerita itu sendiri.

Sebagaimana judul yang dipakai, Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong, novel ini mengisahkan tiga dunia sekaligus dalam rentang waktu yang bersamaan. Dunia tersebut adalah dunia nyata yang diwakili oleh omong kosong yang dilakukan antara dua orang tokoh yaitu sutradara pementasan dan salah seorang penonton pertunjukan. Ah tidak, bukan seorang penonton. Bisa jadi kita sendiri selaku penbacanya. Yang kedua adalah dunia panggung atau dunia pertunjukan drama dengan tokoh utamanya, Yangrana. Dunia yang ketiga adalah kisah perjalanan Yangrana dalam menembus dan melintasi dunia kecil yang terdapat di dalam lakon pertunjukan tersebut.

Yang menjadi penggerak alur cerita dalam novel ini adalah Yangrana, Sutradara, dan seorang Penonton. Maaf bukan penonton. Maksud saya pembaca. Eksistensi ketiga tokoh ini sangat jelas, namun yang menjadi tumpuan utama penulis, A. Syauqi Sumbawi adalah Yangrana. Tokoh inilah yang menjadi wahana penyalur ide dan pemikiran penulisnya.
Perjalanan Yangrana dalam dunia kecil merupakan sebuah perjalanan yang misterius. Perjalanan yang penuh dengan teka-teki yang harus diungkap olehnya. Kalau boleh diilustrasikan, perjalanan Yangrana seolah-olah menyimbolkan perjalanan ruhaniah seorang mistikus dalam mengungkap tabir kehidupan.

Di dalam dunia kecil tersebut, Yangrana berposisi sebagai orang yang awam. Orang yang tidak mengerti apa-apa dan bahkan ia pun tidak mengerti dengan keberadaanya saat itu. Setiap orang yang dijumpainya dalam dunia kecil tersebut, justru malah membuatnya semakin bingung. Setiap kali bertanya masalah keberadaanya, ia justru dihadapakan dengan persoalan-persoalan yang baru. Ia justru dihadapkan dengan teka-teki yang sanggup memicu timbulnya amarah.

Meskipun setiap orang yang ditemui Yangrana di dunia kecil tersebut membuatnya bingung dan emosi, mereka juga kerap menanamkan nilai-nilai kepribadian yang lebih. Nilai-nilai tersebut tidak hanya tertuju kepada Yangrana semata, melainkan juga mengarah kepada para pembaca. Beberapa di antara nilai-nilai tersebut adalah nilai kesabaran, keyakinan, dan percaya diri.

Sabar merupakan modal utama dalam menjalani kehidupan. Hal itu disebakan oleh, setiap kehidupan pasti terdapat suatu bentuk hambatan, ujian, dan tantagan. Semua itu haruslah dihadapi dengan penuh kesabaran agar seseorang kuat dalam menjalaninya. Selain itu, kesabaran merupakan pondasi awal dalam diri seseorang sebelum ia melakukan suatu perubahan yang sangat besar dan menyeluruh. Nilai kesabaran yang ditanamkan adalah; “Benar sekali. Karena di mana pun, hanya yang mempunyai kesabaran yang bisa beradaptasi. Pertahanan diri yang pertama sebelum melakukan evolusi” (hal:42).

Masalah keyakian merupakan masalah yang pokok dalam kehidupan seseorang. Keyakinan berorientasi pada personalitas seorang individu yang tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dipaksa-paksakan. Hal tersebut berorientasi kepada apa saja, baik ketuhanan, agama, ideologi, kebenaran, maupun yang lainya. Meskipun demikian, keyakinan seseorang bisa berubah-ubah dan tidak tetap. Kadang kuat dan kadang melemah. Semua itu tinggal sugestilah yang memegang peranan penting. Sugesti yang kuat dalam mempengaruhi-lah yang nantinya sanggup mengarahkan pilihan seseorang selanjutnya. Nilai keyakinan yang tercantum adalah; “Anda yakin sekali, Tuan Yangrana. Akan tetapi perlu anda tahu, keyakinan sifatnya tidak permanen. Seperti iklim cuaca yang begitu mudah berubah. Seperti temperatur. Kadang di puncak dan kadang di titik terrendah. Anda harus paham itu dan berhati-hati” (hal:93).

Sifat percaya diri keberadaanya juga sangat penting dalam diri seseorang. Dengan demikian, sifat tersebut perlu untuk ditumbuhkembagkan. Hal itu disebabkan oleh sifat percaya diri mampu menciptakan daya semangat hidup dalam diri seseorang. Seseoarang akan terlihat lebih bersemangat dalam menjalani realitas kehidupan yang ada jika ia memiliki sifat percaya diri yang tinggi. Namun perlu diingat, sifat percaya diri yang sangat berlebihan juga kurang baik dalam diri seseorang. Nilai sifat percaya diri yang terungkapkan adalah; “Kenapa anda masih bingung meskipun interpretasi anda tentang dunia kecil adalah sebuah jawaban yang benar, menunjukkan bahwa anda ragu-ragu. Apalah artinya kebenaran jika disikapi dengan keragu-raguan?!” (hal:92).

Masih cukup banyak nilai-nilai lain yang terdapat di dalam novel ini. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan cermin dalam menjalani realitas kehidupan yang ada. Masuklah ke dalam dunia kecil. Berjalanlah dan telusurilah lorong-lorong misteri yang ada di dalamnya, selaksa Yangrana yang mencari hakekat keberadaanya. Sungguh, hikmah kehidupan akan bermekaran selaksa kuncup bunga yang sedang mengembang. Dan petiklah!
Dari bangun intrinsiknya, ada satu permainan alur yang cukup unik di dalam novel ini. Di dalam novel ini, penulis secara sengaja menyematkan konstruksi alur yang meloncat-loncat, namun konstan dan terarah. Alurnya tidak serampangan dan tersusun secara apik. Loncatan-loncatan itu menimbulkan efek yang baik dalam karya tersebut, yaitu menimbulkan adanya suspens antara pembaca dengan karya itu sendiri. Yang menjadi titik pangkalnya adalah timbulnya foreshadowing dalam alur cerita sehingga menjadikan pembaca bertanya-tanya dan tertarik untuk mencari dan membaca kejadian-kejadian yang akan terjadi pada tokoh selanjutnya.

Selain semua itu, susunan alur yang demikian juga mampu membingungkan pembaca. Mereka yang kurang jeli, kurang teliti, dan kurang khusuk dalam membaca, maka akan mengalami hambatan saat melakukan pemahaman. Mereka kurang dapat menikmati dalam proses membaca, bahkan sanggup mengalami kejenuhan. Mereka juga akan bingung sendiri sebab tidak mampu menemukan kesatuan ide penceritaan. Jadi, dalam proses membaca perhatikan betul loncatan sekaligus perubahan alur ceritanya. Cermati dengan seksama antara suasana dunia panggung dengan di luar panggung.

Novel ini disusun ke dalam tiga puluh bagian buku. Setiap bagianya menghadirkan loncatan-loncatan yang cukup variatif. Dan dimunculkan dalam bentuk perubahan setting penceritaanya. Yang paling unik lagi, novel ini mengajak pembaca berdialog secara langsung. Pembaca dijadikan salah satu tokoh penyusun dan penggerak alur ceritanya. Hal itulah yang kiranya sungguh fantastik dan brilian yang dilakukan penulisnya. Suatu teknik yang jarang dan bahkan bisa dibilang belum pernah di terapkan oleh penulis sebelumnya. Dan akhirnya, selamat membaca! Selamat menyelami! Selamat menikmati! Temukan segala yang menjadi misteri.

Puisi-puisi Bambang Kempling

...Menisik Luka

jarum jam menisik luka
:menyebalkan
kaukah yang terjebak dalam tanda
diantara dera cuaca dan guyur hujan?

ada yang tersimpan
dalam genangan air di jalan
:sesosok jiwa
mengerdil
ia menari bersama pelor-pelor hujan
untuk sebuah lagu yang hampir usai
lalu terdengar dentang di pembatas waktu
menuju senja.

sesosok kunang-kunang
mengejanya ketika hujan telah reda
malam terdiam
takjub pada cahanya

13 April 2007



Hari Ini Kau Terjaga

hari ini kau terjaga: di sudut peron stasion
ruang menjalamu
rel kereta memanjang dalam gaib
balok-balok yang abadi itu
masih begitu setia
menghitung angka-angka

sampai hari ini: saat kau terjaga
dengan kerdip mata
yang begitu lelah
deru kereta hanya sayup terdengar

terkadang kau pun sangsi
pada persetubuhan yang harus kau lakukan
saat perjalanan belumlah sampai.

April 2007

Selasa, 29 Juli 2008

Sajak-sajak Ridwan Rachid


Kota Kata


Sejumlah kata lama telah binasa
Temui ajal di tengah gelombang peradaban
Terkubur dalam pesatnya populasi bahasa

Tapi bukan kata jika menjadi lemah
Ambisinya melahirkan juta kata baru
Lantas menyatu

Barisan kata menjelma senjata
Menindas kepala etika
Menghancurkan sejumlah asa
Koalisi kata beranjak tertawa
Kata seolah berkuasa

Sedang sesungguhnya
Kata masih terlelap pada batas realitas
Dibuai mimpi yang tak kunjung selesai
Hanya berputar dibalik pintu-pintu makna;
--dan manusia belum temui jengah—
Walau lelah

Jogja, Februari 2008



Nominal

Menempa taramat lama
Setajam runcing baja
Cukup nyaman guna sembunyi
Dalam selimut dua warna
Terkatup di lubang tikus
Sarang siasat paling rakus

Bisa saja dipastikan
Neraca punya kelemahan
Begitu genit nominal
Jadinya enggan rasional
Nafsu tersenyum angkuh
Mencerca logika dungu
Mustahil jeruji tersentuh

Jogja, februari 2008




Serabut Mesra


Penat kembali merajut kusut
Membelit sulit terurai
Kupilah sehelai risau
Meski terkait simpul gelisah
Tergontai aku jemu
Yang semakin mengulur kacau

Pada balutan amarah
Lekas ku bergegas jengah
Ku tenun halus hati ini
Memintal serabut mesra
Bila ku tahu tubuhmu
Menggigil dalam raut dingin
Akan ku jahit fajar pagi
Menjadi gaun mentari
Ingin ku pastikan selalu
Hangat, erat mendekapmu

Jogja-Surabaya, Februari 2008

Senin, 21 Juli 2008

SORE INI SEPEDAKU MENABRAK DINDING

Mardi Luhung
diambil dari Jawa Pos, Maret 2008

sehabis bercinta januari 2008

Sore ini sepedaku menabrak dinding. Tapi tak terguling. Terus menembus dan menggelinding. Menuju ke kedalaman laut. Di kedalaman itu sepedaku terus aku kayuh. Melewati koral, terumbu dan karang. Sekian duyung yang montok melambai. Dan sekian mambang yang melayang. Melayang dengan siripnya. Pun menggerakkan cahayanya. Cahaya yang warna-warni. Seperti warna-warninya pelangi yang pernah aku kirimkan ke lembah-lembah tempat kau berada. Mungkin kata mereka: “Pengelana itu telah sampai kemari. Lihatlah gayanya. Lihatlah lagaknya. Adakah yang menyamainya dalam lekuk?”

Dan perkataan mereka ini masuk ke kupingku. Seperti masuknya sepur kelinci. Sepur kelinci di taman kampung. Sepur kelinci yang panjang dan berkelokan. Yang bunyinya tut-tut-tut. Dan sekian kanak yang menumpangnya pun melambai-lambaikan tangannya. Melambai pada siapa? Pada awan. Pada jalan. Atau pada yang tak tampak oleh pandanganku. Tapi begitu nyata oleh pandangan sekian kanak itu. Pandangan yang kerap membuat bulu roma berdiri. Ketika sekian kanak itu berkata:
“Ayah, lihat itu Eliza, masuk ke kamar lewat genting,”
“Ayah, lihat itu Eliza menangis. Air matanya terbang kayak laron,”
“Ayah, Ayah, lihat itu Eliza. Punya taring mungil. Tanduk mungil. Sayap mungil,”
“Ayah, lihat, lihatlah…”



Tapi, aku terus mengayuh sepedaku. Kedalaman laut terasa begitu hijau. Sehijau hutan ilalang yang pernah aku hidupkan di pikiran. Hutan ilalang tempat aku pernah menemui si perempuan yang telah menggunting rambut panjangnya. Dan membasuhkan guntingan rambut itu ke lambung yang berdarah. Lambung yang kata si perempuan, mengingatkan pada lambung si tukang kayu yang tergila-gila pada bapak. Bapak yang ada di entah. Bapak yang entah siapa.

Dan bapak yang telah pergi tepat si tukang kayu lahir. Dan bapak yang sampai kini tak dikenal bentuk rupanya. Apakah segi tiga, lonjong, bundar atau kelimis, kasar, dan gundul. Dan bapak, yang apakah sempat, memberi nama padanya atau tidak. Mengelus kepalanya atau tidak. Lalu berbisik: “Anakku, jadilah orang yang baik. Dan jika besar jadi juga orang besar yang budiman. Yang tak suka berbohong. Sebab, ingat, hidup sudah susah. Apa matimu juga meski susah,”

“Anakku, ingat juga, jika matimu sampai susah, itu artinya, kau tak disuka sorga. Sorga yang punya pohon terbalik. Akar di atas. Buah di bawah. Pohon apa saja. Buah apa saja. Asalkan bukan pohon dan buah yang satu itu. Yang telah membuat kita seperti ini. Mengembara untuk sekedar putar-putar. Untuk sekedar akhirnya kembali mati juga. Mati dikubur dalam tanah. Dengan upacara atau pembelaan. Dengan tangis atau tawa. Dan dengan meninggalkan luka atau suka. Anakku, ingatlah perkataan bapak ini,”

Dan bye, bapak pun melesat pergi lewat pintu belakang. Dan hilang tak berjejak. Ya, ya, kasihan, kasihan sekali si tukang kayu. Yang sampai kini tak tahu rupa bapaknya. Dan sampai kini, juga belum punya nama. Lalu, tiba-tiba: “Pengelana, berhentilah sejenak,” Ada si belut memanggilku. Suaranya cempreng tapi renyah. Si belut itu tak begitu besar. Dan persis di punggungnya, ada semacam kulit yang tembus pandang. Dan dari dalam kulit itu, aku melihat sebentuk mulut yang tergolek. Dua gigi di mulut itu copot. Dan di bagian atasnya ada bekas jahitan. “Tolong, ambillah mulut ini,” pinta si belut. Mulut itu adalah milik si tukang cerita. Yang dulu dirajam oleh kegelapan. Sebab selalu ngotot ingin memasang obor. Obor yang benderang.

Konon, menurut cerita, obor itu milik para dewa. Para dewa yang bersemayam di langit. Dan obor itu dicuri oleh satu dewa yang murtad. Dewa yang punya kelakuan yang mirip sirip hiu. Berkelepak ke sana ke mari. Agar ada yang tersentuh. Dan tergenggam. Seperti bola bekel yang tergenggam. Dan tak lagi bisa melenting. Dan karena obor yang dicuri itu, maka dunia manusia pun menjadi terang dan gelap. Baik dan buruk. Pintar dan bodoh. Dan itu yang membuat manusia paham. Paham untuk memerdekakan dirinya. Jadinya, lambat-laun pun tak lagi butuh para dewa.

Apakah aku percaya pada cerita ini? Bisa ya, bisa tidak. Sebab, aku melihat dunia kini memang seperti selang-seling. Zik-zak. Dan tak jelas arahnya. Seperti ke kanan. Tapi justru ke kiri. Karenanya tak salah. Jika ada yang berpesan: “Bagi yang beriman, dunia adalah kebohongan. Bagi yang tak beriman adalah petak umpet yang mengasyikkan Seperti petak umpet sumur bor yang tiba-tiba mengeluarkan lumpur. Padahal, yang diburu bukan lumpur. Kasihan. Kasihan sekali. He, he, he. Aku pun ketawa geli,”

Dan di saat ketawa itu, datanglah dari arah lain si gurita gemuk. Si gurita gemuk yang berkata begini: “Juga tolong, bawakan pakaian ini,” Dan si gurita gemuk ini punya empat mata. Seperti mata tajam yang pernah aku lihat di sebuah gambar. Yang berpesan tentang mata gunung yang akan meledak. Dengan kalimat: “Jika memang meledak, adakah tempat yang aman?” Dan lewat tatapan yang sekilas, aku merasa jika pakaian yang dimaksud si gurita adalah seragam hitam. Seragam hitam dengan pernik-pernik bersilangan: “Seragam si kapten!”

Seragam si kapten? Ya, memang ada cerita tentang si kapten dalam kapal angker yang penuh lumut. Kapal angker yang melayang semeter di permukaan. Kapal angker yang tak berbentuk. Dan yang selalu mengeluarkan irama murung yang mengenaskan. Irama tentang pemenggalan dan penyaliban. Dan juga tentang tubuh para kelasi yang tak berkepala. Kelasi yang jika haus, langsung menumpahkan sebaskom arak ke tenggorokan. Yang sebagian besar menciprat ke tubuh gempalnya. Kemudian, mereka akan berkelahi sendiri. Bertempur sendiri. Sampai semuanya mati. Sampai semuanya menjadi bangkai. Untuk kemudian dihidupkan kembali pada waktu pelayaran berikutnya.

Pelayaran yang mendebarkan. Dengan ombak-ombak bergulatan. Dengan kegelapan yang bertaburan api. Dan langit, ya langit terbuka. Seperti tempurung kepala yang dikelupas oleh tenaga yang besar. Sampai-sampai setiap yang melihatnya, seperti melihat lorong yang tinggi dan gaib. Yang kata para orang suci, tempat masuk-keluarnya catatan bagi manusia. Catatan baik akan menempel di telapak kanan. Yang buruk di telapak kiri. Dan catatan-catatan itu akan ditembaki si kapten. Agar jatuh dan tenggelam ke laut. Dan agar yang berhak atasnya merasa kebingungan. Hilang arah. Dan menceburkan dirinya ke teluk. Lalu diangkat oleh si kapten. Menjadi kelasi barunya. Kelasi yang tak berkepala itu. Dan seumur-umurnya, kelasi yang tak berkepala itu tak akan pernah bisa pergi dari kapal angker.

Itulah, itulah cerita tentang kapal angker. Dan jika kau ingin tahu tentang kapal angker ini, bukalah jendela rumahmu di malam hari. Tengoklah ke langit sebelah timur. Ke sebelah bintang yang mirip parang panjang. Parang yang lancip. Yang di pinggirnya ada percik-percik yang berkedap-kedip. Itulah bintang penentu jejak kapal angker. Jejak penentu yang selalu muncul, ketika angin tak bertiup. Dan orang-orang yang telah mati menyembul dari tanah. Seperti uap dan kabut kuning. Uap dan kabut kuning yang kerap membentuk bentuk-bentuk yang tak pernah kalian pikirkan.

Bentuk-bentuk yang selalu muncul dan berganti tanpa terkendali. Dan bentuk-bentuk itu akan mengikuti kemana kau pergi. Kemana kau melangkah. Apakah ke beranda. Ke dapur. Ke kamar kecil. Dan bentuk-bentuk itu selalu mengendusi kudukmu. Jadinya, bulu-bulu di kudukmu akan berdiri. Menegak. Seperti tegaknya barisan sungut serangga ketika mengangkat beban makanannya. Untuk dimasukkan ke dalam lubangnya. Lubang yang dipermukaannya begitu terang. Tapi ketika lebih masuk, akan menjadi keremangan. Yang membuat siapa saja cuma bisa meraba-raba. Sambil berharap, akan ada secercah cahaya yang membimbing.

Dan yang perlu kau ketahui juga, bentuk-bentuk itulah yang membuat setiap pelaut akan meminggirkan kapalnya. Bersembunyi dan minum tuak di warung-warung. Pelaut yang punya codet pipi yang biru. Sebiru ketenggelaman yang ada di dalam mimpi setiap pelupa. Setiap yang selalu memanggil dirinya dengan sebutan: “Siapa aku?” Ya, ya, ya, pelaut itu jika mabuk selalu menyebut, siapa aku? Padahal, siapa pun tahu. Jika pelaut itu orang pintar. Cerdas, berwibawa dan nekadan. Dan punya pikiran yang tak lengkang karena umur. Seperti ketak-lengkangan racauannya ini:

“Akulah pelaut. Pelaut garang. Yang tak takut pada ombak dan karang. Akulah pelaut. Yang selalu melawan arah angin dan cuaca dengan dada terbuka. Dada yang jika kau lihat, akan terpacak sebuah goresan. Goresan yang mirip peta. Peta bagi siapa saja yang merasa tak pernah berhenti. Apalagi menambatkan umurnya pada yang disebut rumah yang sederhana dengan istri yang cerewet. Akulah, akulah pelaut. Pelaut yang tak bisa berahasia. Kecuali dengan pisau lipat yang terhunus,”

“Akulah pelaut. Ayo kemari. Menghadap pelaut. Menghadap dengan pasrah atau tidak. Dan mari peluk aku. Kita akan minum dan mabuk. Biar dunia semua jadi tertidur. Dan kita tetap terjaga. Sambil bermain domino. Atau bertaruh dengan taruhan apa pun. Juga bisa, dengan tidak apa pun. Pokoknya kita mabuk. Dan melupakan sejenak, apa itu yang disebut orbit dan daya-daya tarik yang membuat semuanya tetap bersinambungan. Seperti sekumpulan keseharian yang tak terubah. Mari, marilah kemari, mendekat pelaut!”


Gila! Aku pikir, ini racauan yang kacau. Dan daripada semakin kacau, Aku tak menggubrisnya. Aku kayuh saja sepedaku. Tak menoleh pada semuanya. Dalam pandanganku, kedalaman laut ini makin dan makin terasa begitu hijau. Dan aku tak tahu lagi, apakah aku maju atau mundur. Yang aku tahu, aku hanya ingin bertemu dinding yang telah ditabrak sepedaku tadi. Untuk segera menyembul ke tempat semula. Tempat yang penuh dengan kegairahan yang begitu tak terkira. Tempat yang membuat aku selalu memompa nafasku dengan sedalam-dalamnya. Seperti nafas setiap burung yang berkelepak. Berkelepak untuk mencari sarang lamanya. Sarangmu.

Sarang yang begitu telah membuat diriku percaya, jika di setiap aku sampai pada batas. Dan sepeda aku sandarkan. Selalu ada sebentuk sumur yang kau sediakan untuk aku minum. Sumur yang selalu tampak di kegelapan. Seperti cahaya setiap pernik yang tak pernah bisa dilalaikan. Dan yang selalu kau simpan di sekujur lipatan jantungmu. Yang ketika berdetak, tak bosan-bosan untuk berbisik: “Pengelana, lekaslah pulang. Sebelum rembulan muncul. Dan orang-orang kotor itu, membesetnya pelan-pelan…”
Akh, kembali lagi, aku mendengar sekian kanak berkata:
“Ayah, lihat itu Eliza masuk kamar lewat genting,”
“Ayah, lihat itu Eliza menangis. Air matanya terbang kayak laron,”
“Ayah, Ayah, lihat itu Eliza. Punya taring mungil. Tanduk mungil. Sayap mungil,”
“Ayah, lihat, lihatlah…”

(Gresik, 2008)

Minggu, 20 Juli 2008

H.B. Jassin tanpa Wahyu

[ Minggu, 20 Juli 2008 ] Jawa Pos
M. Fadjroel Rachman
Penulis dan Peminat Karya Sastra

Membaca Hudan Hidayat, membaca Nabi Tanpa Wahyu (2008), adalah membaca sastra Indonesia muda yang jatuh bangun merintis jejak di dunia baru dalam aras nasional, regional, dan global. Hudan Hidayat (HH) tak lelah-lelah mencari jejak penulis baru, menciumi aroma pembeda, menelisik simpangan subtil, mencari kaitan pergaulan sastra Indonesia baru dan globalisasi dunia baru. Merumuskan benang merah sastra dan kebudayaan baru Indonesia, dalam taman sastra dan kebudayaan dunia, dengan iman yang teguh terhadap kebebasan, kehidupan, dan kemanusiaan. Sebab, kata HH, ia sama yakinnya dengan Octavio Paz (hlm. 55) yang berkata, ''Sastra modern lahir dari kritik terhadap zaman, kritik terhadap kebenaran tunggal.''

Dua jiwa dunia
Bila HH memeriksa karya penulis baru Indonesia, tanpa ragu HH langsung terjun dalam samudera pertempuran jiwa sang penulis. Pertempuran berdarah rasio dan nurani dalam menghadapi jiwa zaman yang berdialektik dunia batin para penulis. Segala bentuk luar (eksterior) karya menjadi persoalan kedua yang diperiksanya, bahkan seringkali diabaikan saja. HH mencatat pertarungan batin, membantu merumuskannya, menjadi tandem bila pertarungan kolosal dan berdarah-darah sedang berlangsung, yang kadang membuat penulis Indonesia muda terkapar dan ingin menyerah saja.

Dialektika dua jiwa dunia, jiwa zaman, dan jiwa penulis, adalah medan pertarungan spiritual yang dimasuki tanpa ragu oleh HH. Tak selamanya HH terjun bertempur dengan pedang berkilau, tameng tak tembus tombak, dan ksatria musuh yang hadir nyata di depan mata. Bahkan HH kadang seperti Don Quixote yang merumuskan medan pertarungannya sendiri lengkap dengan musuh yang harus dilawan, puteri yang harus diselamatkan, bahkan ukuran kemenangannya. Tetapi keikhlasan dan kesabaran untuk terjun dalam pertarungan dua jiwa dunia tersebut, adalah kata kunci untuk memahami kumpulan artikel kritik sastra dan kebudayaan Nabi Tanpa Wahyu (NTW) ini. Seberapa dahsyatkah pertarungan dalam medan dialektika dua jiwa dunia tersebut? Arthur Rimbaud (1857-1907), dalam A Season in Hell, berucap, ''The spiritual fight is as brutal as men battle.''

Bila kritikus sastra dan kebudayaan dunia lama, Indonesia tua, kadang hanya mengintip medan pertarungan dengan sinis, bahkan menghardik pelakunya, atau bermodal meteran pengukur estetika, moral dan teologis mengukur panjang dan lebar formasi pertempuran. Maka HH mengatakan tidak atas sikap dan karakter dekaden semacam itu. Karena kritikus sastra dan kebudayaan bukan nabi dengan wahyu pamungkas, atau paus katolisisme dengan segala keputusan Ilahiah. Kritikus sastra dan kebudayaan adalah sahabat, tandem, dan petarung dalam pertempuran berdarah antara jiwa zaman dan jiwa penulis. Seolah HH menyuarakan teriakan arogan Chairil Anwar, ''yang bukan penyair (petarung, pen.) tidak ambil bagian''. HH menyelam ke jiwa terdalam para penulis baru, karena ''suka pada mereka yang menemu malam.''

Hudan tanpa Wahyu
Apa jadinya bila Hudan Hidayat yang juga menulis novel Tuan dan Nona Kosong bersama Mariana Amiruddin, antologi cerpen Lelaki Ikan dan Keluarga Gila, dipertukarkan dengan Taufiq Ismail, lawan polemiknya tentang sastra pornografi? Maka, saya yakin, akan habislah semua lawan polemiknya, terkapar berdarah-darah, terkutuk di dunia dan di akhirat. Sebab, kekuatan argumen Hudan, pengetahuan, dan pengalamannya di kancah sastra sebagai novelis dan cerpenis, serta kelihaiannya menyusun kalimat seperti penyair atau ahli pantun Melayu yang memilih kata dan bunyi, bila ditambah absolutisme wahyu, akan menjelmakan sosok Hudan sebagai ''esais dengan palu penghancur''. Bersukurlah, HH adalah seorang pelaku polemik tanpa wahyu.

Hudan dalam kumpulan esai terbaru NTW ini tetaplah pemuja keras kepala wahana dialog dan pertarungan wacana, sepanas apa pun hantaman bertubi, maupun stigma yang disematkan di kening oleh lawan polemiknya, tak membuat HH tergelincir menjadi pembunuh berdarah dingin. Siapa pun yang dikritiknya di dalam esai NTW, seperti Iwan Simatupang, Budi Darma, Martin Aleida, Ayu Utami, Afrizal Malna, Binhad Nurrohmat, Fadjroel Rachman, Agus Noor, Djenar Maesa Ayu, sampai Albert Camus, selalu mendapatkan sapaan hangat menggetarkan seperti sinar matahari, pasir putih, pantai sepi, dan kilau laut Kota Oran (Aljazair) di novel Albert Camus, Sampar.

Paradoks Takdir Dunia
Jantung NTW sekaligus kredo kepenulisan dan kehidupannya menurut saya adalah esai pertama Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya. Esai ini sangat kuat, selain mengungkapkan kepercayaan penulis pada olah sastra dan hidupnya, juga langsung berkonfrontasi dengan olah sastra dan hidup dari Taufiq Ismail, lawan polemiknya. Sastra, kata Hudan, menjadi wahana mengolah kompleksitas kehidupan dan manusia, bukan sastra yang meringkus hidup dan manusia pada satu keyakinan, agama, atau ideologi absolut. Saya teringat Dr Soedjatmoko yang menulis Dr Zhivago: Manusia di Tengah Revolusi, dengan sangat simpatik ia meneriakkan kembali suara Dokter Zhivago karya besar Boris Pasternak itu, dengarlah, ''Manusia dilahirkan buat hidup, bukan untuk bersiap-siap menghadapi hidup. Hidup itu sendiri, fenomena hidup, anugerah hidup, bukan main seriusnya...Membentuk kembali hidup! Orang yang bisa mengatakan itu tak pernah mengerti apa pun tentang hidup -mereka itu tak pernah bisa merasakan hembusan nafas, detakan jantungnya, betapa pun seringnya hal itu mereka lihat atau lakukan. Mereka hanya melihatnya sebagai segumpal bahan mentah yang perlu diolah, dibuat berharga dengan sentuhan mereka. Tetapi hidup bukanlah suatu bahan atau substansi untuk dibentuk... Hidup senantiasa memperbarui, menciptakan kembali, mengubah, dan meningkatkan dirinya sendiri...''

Begitulah hidup yang dipercayai HH dan para sahabatnya dalam Memo Indonesia (Marianna Amirudin, Rocky Gerung, dan Fadjroel Rachman). Kata Hudan, ''Kalau diumpakan sungai, maka sungai kehidupan yang memantulkan warna-warni nasib manusia dan takdir dunia, akan mengering diisap cara kerja Taufiq Ismail yang ingin memasung kreativitas, membelenggu kebebasan berpikir, serta menciutkan imajinasi. Akibatnya, kehidupan akan kehilangan terang dan gelapnya sendiri. Kehendaknya alih-alih membawa suara-suara moral dalam sastra, tapi justru akan membawa sastra menjauh dari Tuhannya.''

Mengatasi H.B. Jassin
Sikap simpati terhadap karya sastra yang dikaji, sehingga setiap pukulan tak terasa menyakitkan, setiap pujian tak terasa merusak kemajuan dan progresivitas penulisnya, itulah karakter yang dibutuhkan untuk merawat dan memajukan sastra Indonesia baru, Indonesia muda. Sastra yang merangkak menjadi bunga pengharum taman sastra dunia, taman harum kebebasan umat manusia di bumi manusia. HH memiliki kualitas itu, terang benderang terlihat dalam NTW.

Bersyukurlah sastra Indonesia baru, para penulis Indonesia muda, beriringan jalan dengan HH, perlahan mengatasi H.B. Jassin, tetap rendah hati karena tak berniat menjelma paus sastra Indonesia muda, apalagi menjelma polisi kritikus dengan segala kitab usang estetika, moral, dan teologis. Hudan bersuara nyaring sebagai kritikus sastra dan kebudayaan bahwa kebebasanlah nyawa kehidupan. Kreativitas dan kehidupan menciut dan menghilang tanpa kebebasan. Inilah jeritan Memo Indonesia, bahtera gagasan nir-organisasi yang melaju di tengah derasnya gelombang besar otoriterisme dan totaliterisme moral, teologi, dan parokialisme kebudayaan.

Memang kadang suara HH dalam NTW terekam sebagai suara paradoks, ia melihat kebebasan manusia sebagai motor kreativitas dan kehidupan, sebuah optimisme, tetapi juga memasukkan istilah takdir dunia dan Tuhan yang terasa pesimistik. Tetapi kondisi paradoks adalah medan pergulatan manusia, sama brutalnya dengan medan pertempuran dua jiwa dunia: jiwa zaman dan jiwa penulis. Paradoks membuat hidup maupun karya jadi bersinar seperti punggung Sysiphus yang berkilap peluh ketika turun dari bukit untuk mengulang pertempuran dunia batinnya, mendorong batu jiwa ke puncak bukit, terguling ke lembah lagi untuk menghadapi pertempuran batin berikutnya. Karena itu kita bisa, dan harus, membayangkan Sysiphus berbahagia.

HH dalam NTW tampak sama yakinnya dengan Arthur Rimbaud melihat cakrawala terjauh dari pertarungan spiritual para penulis Indonesia muda. Kata Rimbaud lagi, ''and at the dawn/armed with scorching patience/we shall enter the cities of splendour.'' Kota megah, hadiah kesabaran, dan keikhlasan manusia dalam isak-tangis dan gelak-tawa, sebuah kota bagi jiwa-jiwa bebas, yang beriman pada kemanusiaan, kebebasan dan kehidupan. Tentu keikhlasan dan kesabaran yang tak terpemaknai akan membentuk HH menjadi H.B. Jassin tanpa wahyu, sekarang dan di kemudian hari. HH adalah penghiburan agar para penulis baru tak takut memasuki dunia baru yang tak dikenal sama sekali. HH dengan NTW sekarang menjadi bahtera kokoh para Christoper Columbus sastra baru Indonesia untuk berlayar di samudera sastra baru dunia. (*)

Jumat, 18 Juli 2008

Buku Puisi dan Buku Cerpen

Fahrudin Nasrulloh*

Pada awalnya sejarah sastra kita adalah puisi. Dimulai dari pantun hingga puisi lama yang dapat disusuri lewat puisi-puisi Amir Hamzah. Selanjutnya berkembang di masa Chairil Anwar pada era 45. Kemudian gebrakan Sutardji Calzoum Bachri dengan membebaskan makna dari beban kata pada 1970-an dan Afrizal Malna pada 80-an dengan “puisi gelap”nya. Namun kini tampaknya belum ada gebrakan yang cukup mengejutkan dari perkembangan puisi terbaru kita. Meski gebyar kegiatan perpuisian terus digelar, semisal yang teranyar diselenggarakan di Kediri (26 Juni - 2 Juli 2008) dengan bendera: Pesta Penyair Nusantara 2008, yang menghadirkan D. Zawawi Imron, Ahmadun Y. Herfanda, Dato’ Kemala (Malaysia), Diah Hadaning, Kuspriyanto Namma, dan lain-lain. Hajatan akbar semacam ini kerap memancing polemik dan kasak-kusuk, seperti pada Anugerah Pena Kencana yang menggunakan polling sms bagi para penyair dan cerpenis yang kelak dinobatkan menjadi juara pada penganugerahan tersebut.

Di sisi lain, fenomena yang cukup membanggakan akhir-akhir ini ketika di hampir setiap tahun kita menyimak banyak penulis puisi bermekaran bak jamur di musim hujan. Sebagian karya-karya mereka bertebaran di sejumlah media lokal maupun nasional. Maka di kemudian waktu banyak pula dari mereka yang berontokan tak berkarya lagi sebab persaingan yang demikian ketat dan kuatnya tembok besi media massa. Sebab mutu puisi dan koneksilah yang jadi tolok ukurnya.

Alangkah saat ini banyak penulis puisi yang merasa hebat dengan puisi-puisi mereka. Tapi hanya segelintir yang benar-benar pantas disebut penyair. Lantaran demikian, media internet akhirnya menjadi salah satu alternatif bagi penulis puisi yang tak mendapatkan “tempat” itu. Lepas dari beragam asumsi di atas, tentu, fenomena ini menunjukkan “dimensi kreasi” yang patut dicatat. Bahwa geliat kreatifitas kepenulisan puisi di negeri ini layak mendapatkan porsi apresiasi yang akomodatif dan bermartabat.

Terkait dengan mutu karya, suatu saat, Ragil Suwarno Pragolapati dalam antologi puisi berumbul Genderang Kurukasetra (diterbitkan oleh FPBS-IKIP Muhammadiyah Yogyakarta, 1986) mengatakan, “Membuat sajak itu mudah. Bikin puisi beginian dapat saya lakukan sambil kencing! Sekali bikin jadi empat puluh puisi!” Ledekan pedas ini pernah ia sampaikan pada kurun 1971-1975, dalam beberapa diskusi Persada Studi Klub di Malioboro, Margayasan, Tegalmulya, Ngawangga, dan lain-lain. Sindiran itu sekaligus merespon karya Arswendo Atmowiloto Mengarang Itu Gampang (PT. Gramedia, 1982, Jakarta).

Di samping itu, realita ironis yang menonjol sekarang dari sejumlah penerbit yang menerbitkan buku puisi telah menunjukkan bahwa penjualan buku puisi terbilang cukup “pahit” bahkan mengenaskan. Buktinya, salah seorang pemilik sebuah penerbit di Yogyakarta pernah mengatakan kepada saya bahwa menerbitkan buku puisi itu semata demi “sedekah” untuk kelanggengan dan “keselamatan” penerbitnya. Juga bahwa menerbitkan buku puisi tak lain atas nama perkoncoan, misalnya, dengan biaya dari si penulis yang bersangkutan atau ongkos produksi ditanggung bareng. Sungguh tragis. Tapi nyata terjadi. Tak ada untungnya menerbitkan buku puisi, bahkan kerap merugi, imbuhnya.

Karena itu, mungkin hanya penerbit kelas kakap dan bermodal besar yang sudi-berani menerbitkan buku puisi. Penerbit-penerbit “alternatif” di Yogyakarta yang, konon bercacah 500-an itu, akan berpikir seribu kali untuk menerbitkan buku puisi. Selama ini, nyaris tidak ada buku puisi yang meledak di pasaran. Dan bila disimak-teliti, buku-buku puisi hanya diterbitkan oleh sejumlah penerbit yang memiliki apresiasi dan dana besar terhadap sastra. Semisal penerbit Grasindo (lini penerbit Gramedia Group), yang terhitung intens menerbitkan buku antologi puisi. Itu pun, karena penyairnya telah berproses kreatif cukup panjang dan diakui kualitas karyanya. Justru fenomena yang mengemuka saat ini adalah penerbitan buku antologi cerpen. Masa prosa kini mengalami perkembangan yang cukup berarti dan menjanjikan bagi cerpenis ketimbang penyair. Era penyair sejak angkatan 45 hingga angkatan 90-an telah menunjukkan masa yang lebih kondusif dibanding masa sekarang.

Menurut Maman S. Mahayana dalam Bermain dengan Cerpen (Gramedia: Jakarta, 2006), bahwa “Inflasi antologi puisi yang cenderung asal terbit, tanpa seleksi, boleh jadi merupakan pemicu yang mendongkrak popularitas cerpen dalam konstelasi peta kesusastraan Indonesia abad ke 21.” Jelas kini penulis cerpen lebih dihargai posisi tawarnya dibanding penulis puisi. Pun honorariumnya. Di sisi lain, pemantik ini dapat ditengarai lewat Jurnal Puisi yang dipandegani Sapardi dan Jeihan yang memang sudah lama tidak terbit lagi. Sedang Jurnal Cerpen yang digawangi Joni Ariadinata dan Raudal Tanjung Banua masih terus berjalan dan semakin lebih mantap. Bahkan setiap dua tahun sekali mereka mengadakan Kongres Cerpen mulai dari yang diselenggarakan di Yogyakarta (1999), Bali (2001), Lampung (2003), Pekanbaru (2005), dan Banjarmasin (2007). Ditambah lagi kontribusi dan greget penerbit Kompas sejak beberapa tahun silam yang kemudian di setiap tahunnya menerbitkan buku kumpulan Cerpen Pilihan Kompas yang monumental itu dan kelak bakal dijadikan catatan penting dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia.

Kiranya dapatlah diprediksi untuk sekian tahun ke depan bahwa cerpen masih menjadi catatan penting dalam “arus besar” peta kesusastraan kita ketimbang puisi dan novel. Meski dinamika ini tak juga melahirkan kritikus sastra yang berbobot. Di luar itu, tidaklah bisa diabaikan dedikasi dari sejumlah media koran (di samping jurnal seni, tabloid, dan majalah sastra) di negeri ini yang pada saban kalanya menerbitkan cerpen (juga puisi). Seiring dengan itu, buku antologi puisi dan antologi cerpen pun terus beterbitan dengan segala pernak-pernik riwayatnya. Kedua buku jenis ini hampir bukan buku yang laris-manis. Lain dari buku-buku bertema seperti Tuntunan Shalat, Yasin-Tahlil, atau Seni Seks Islami, yang pasti ludes-abis di pasar. Sebaliknya, buku puisi dan dan buku cerpen terkadang saban pameran buku di mana pun diobral mulai dari 3000 sampai 10.000 rupiah. Saya tidak tahu fenomena apa yang mengarus-miris di dalamnya. Dan, nun jauh dari fakta ironik tersebut, tidakkah buku-buku itu pada akhirnya hanyalah barang “klangenan” atau “tetirah sunyi” bagi pengarangnya?

Esai ini dipungut dari Jawa Pos, Minggu, 13 Juli 2008
-----
*Fahrudin Nasrulloh, Pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang. Redaksi tamu pada Jurnal Kebudayaan The Sandour, Lamongan.

Puisi-puisi Budhi Setyawan

Jurnal Kebudayaan The Sandour III 2008

ODE PENYAIR LUKA

akulah
penyair luka
terlahir dari darah nanah

kutawarkan rintih duka kepada samudera
untuk kutukar dengan: ombak ganas

kutawarkan bosan nuansa kepada ladang
untuk kutukar dengan: gesit musang

kutawarkan hambar jiwa kepada sabana
untuk kutukar dengan: taring singa

kutawarkan keluh sengsara kepada belantara
untuk kutukar dengan: aum harimau

kutawarkan beku cinta kepada gunung
untuk kutukar dengan: gelegak lava

masih ku duduk di kepak kata
menunggu jawabnya,
sambil menghitung sisa usia

Jenewa (Swiss), 27 Juni 2007


SAJAK PENYAIR LUPA

bukan ini yang kumau
mengapa puisi begini menjadi
ini hanyalah najis dalam bangunan kata-kata manis

“duhai kata pujaan
bermalam-malam
berbulan-bulan
bertahun-tahun
kau benamkan aku dalam perahu renjana
melintasi taman teduh sekujur pembuluh
setia meski di ruang keruh
bahkan banyak yang ingin membunuh
tiada keluh mengaduh
sampai engkau kurengkuh, sungguh”

“engkau terus membelit menggodaku
namun kau tak pernah hadir di bait-bait sajakku
mengapa kau udarakan rayu manja,
begitu aku semangat; engkau khianat?”
ternyata,
puisi yang diharapnya
tak pernah tercipta
hingga sang kala meremahnya
di jalan menikung, senja yang mendung
penyair berlalu sendirian dan lupa bersenandung

Jenewa (Swiss), 28 juni 2007


KUDA-KUDA MEMERCIK API

kuda-kuda kekar berlari gagah
menepuk jalan
menjejak jarak
mengeluarkan percik api
menghambur sepanjang cerita

percik-percik api membara
terus menyala
cakrawala tak pernah padam

di belahan dunia sana
anak-anak muda
rajin memunguti butir-butir bara
lalu dikumpulkan
dan kini tlah menjadi matahari

di sini,
anak-anak bangsa masih nyaman
berjalan dalam temaram
lalu siapa pewaris negeri ini
yang akan tekun menyusun bara-bara ini
hingga menjadi seribu matahari

Jakarta, 11 Januari 2008


SESAL PAGI

hari telah mengepak siang
ketika pagiku ketinggalan di gerbong kereta
mencari bisik suara perjalanan usia

dijilati lidah kemarau yang kerontang
udara meradang
ditingkah jerit geragal usang

Bekasi – Jakarta, 24 Agustus 2007


MENUJU PERTEMUAN

senja tersungkur matahari berbaur
lautan meringis teriris menahan gemeretak ombak
tanah-tanah terbelah tampakkan pasrah
senyap arah
danau sungai peluk temaram
terhisap suara ke dalam untai debar
gunung perbukitan menundukkan tubuh
khidmat menempuh jalanan luruh

ini dunia
hanya permainan dan canda belaka


batu kapur,
melapuk umur
menuju kubur

Jakarta, 2 November 2007

“Politik Sastra” Versus “Politik Tekstual Sastra”

Hudan Hidayat

“Politik tekstual sastra” sangat berbeda dengan “politik sastra”, “sebagaimana jaringan urat dan daging dalam tubuh”. Perbedaan yang telah dilompati oleh Tuan Edy A Effendi. Lompatan semacam ini, adalah kehendak untuk mencampur dan mengabur fenomena hidup.

Feminisme sebagai fenomena kehidupan, membawa wacana peran perempuan dan peran lelaki. Tapi, saat Simone De Beauvoir pandang-memandang dengan dunia dan mulai menuliskan bukunya Second Sex, bukanlah “politik tubuh” tapi “politik tekstual tubuh”.

Upayanya membongkar konstruksi budaya patriarkal yang bukan dalam arti gerakan, adalah investigasi sejarah yang mengikutkan ceruk-meruk pikiran, tentang hakekat tubuh perempuan dan tubuh lelaki.

“Politik tekstual tubuh” ini baru menjadi “politik tubuh”, saat seorang Gadis Arivia di Indonesia mendirikan Jurnal Perempuan.

Mengapa “politik tubuh” dengan prinsip kebenaran diperlukan?

Karena hampir mustahil mengantarkan “politik tekstual tubuh” kehadapan publik tanpa medium institusi. Dan apakah maksud kedua tokoh yang berlainan ruang dan waktu ini, dengan “politik tubuh” dan “politik tekstual tubuh”, kalau bukan didorong oleh hasrat untuk menunjukkan dan menggapai keberagaman eksistensi, demi kesetaraan dan keadilan itu sendiri?

Kita bisa tak sepakat dengan argumen Simone De Beauvoir, saat ia melacak tubuh dalam varian species. Misalnya, saya belum diyakinkan oleh kategori “takdir” yang menjadi sub-judul bukunya. Bagi saya kata-kata “takdir” merujuk kepada yang transendental. Tapi bagi Simon, kata “takdir’ hanya berhenti pada “data biologis” beragamnya species.

Tapi dengan begitu, pelacakan terhadap hakekat peran tubuh perempuan dan lelaki telah terhenti. Sebab, awal dari spirit De Beauvoir, adalah untuk mengejar mula pertama dari, atau bagi, kesetaraan yang menjadi medan perjuangan kaum perempuan terhadap dominasi dan ragam laku lelaki?

Eksposenya yang amat indah itu (saya terkenang keindahan Frued saat ia menuliskan psikoanalisa) , tidak menjawab siapakah manusia lelaki pertama dan manusia perempuan pertama, dan bagaimana corak mengada kedua manusia yang berbeda jenis kelamin ini?

Kalau “data biologis” De Beauvoir tidak menemukan jawaban atas kemungkinan instinktif yang terbawa oleh gen, maka sebuah embrio patriakal pastilah bermula dari interaksi manusia lelaki pertama dan manusia perempuan pertama, yang tentu saja berkembang dan meluas pada lingkungan awalnya.

Sebab, konstruksi kebudayaan patriarkal yang kita kenal kini, adalah turunan belaka dari lingkungan awal yang berkembang dan meluas itu.
Tapi, kapan mulainya dan di mana awalnya?

Adalah “politik tubuh” yang mengantarkan “tubuh” menjadi kristal, dan “politik tekstual tubuh” yang membuat unsur kristal berbinar. Persis seperti “tubuh malam” yang menggelar dirinya, tapi kunang-kunang malam yang membuat mata bisa memandang keelokannya. Atau politik negara yang mengantarkan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Tuan Edy A Effendi dalam postingnya, bolak-balik menggunakan pemakaian antara “politik sastra” dan “politik tekstual sastra” yang bercampur, seraya hendak menarik saya pada, atau mengingatkan peran akan, niat untuk membongkar “politik sastra”. Bahwa sejarah sastra 13 tahun terakhir melibatkan saya dalam peran semacam itu.

Tapi Tuan Edy lupa, bahwa statemen itu ditempatkan bukan sebagai pernyataan terpisah tapi bersambung. Yakni: ketertarikan saya akan “politik tekstual sastra”.

Dalam sambungan semacam itu, kata “tidak ada niat” itu harus ditempatkan. Sebab hanya berhenti pada membongkar “politik sastra”, maka tubuh yang bercahaya itu akan kehilangan peluang untuk menguakkan unsurnya (tubuh yang indah, kata Dewi). Ia hanya akan berhenti pada peristiwa. Berhenti pada “politik tubuh”. Pada “politik sastra”. Ini sama dengan dunia tanpa tujuan. Atau manusia berjalan tanpa tahu mengapa langkahnya gontai.

“Politik tubuh” atau “politik sastra” yang signifikan, hadir puluhan tahun silam saat seorang penyair menerbitkan bukunya. Tapi substansi buku itu bukan lagi menjadi “politik sastra” atau peristiwa sastra yang dimaksud Tuan Edy, tapi telah menjadi “politik tekstual sastra”.

Begitulah saya membaca ketika seorang penyair Sutardji calzoum Bachri dengan radikal dan konsisten menggeluti temanya dalam bukunya O Amuk Kapak. Sebutan radikal dan konsisten, bagi sang seniman, adalah kesetiaannya menggeluti tema bahwa ia mencari kedalaman dengan temanya, bahwa ia konsisten dengan upaya terhadap temanya itu.

Seorang seniman bukanlah terutama seseorang yang menasbihkan dirinya sebagai pembongkar “politik sastra”. Dia bukanlah seorang politisi sastra (seperti diterminologikan pada dirinya sendiri oleh Saut Situmorang). Tapi seorang yang dipukau oleh isi sastra itu sendiri. Dipukau oleh dunia ini sendiri. Persis seperti anak kecil yang terpesona memandang keluasan alam. Atau seseorang takjub ketika benda abstrak (pikiran) bisa menghasilkan benda konkret (grafis huruf).
Mengapa saya gemar membaca Sutardji?

Karena pada penyair ini, kata radikal dan konsisten yang didambakan Tuan Edy, bekerja dengan intensitas yang tiada terkira.

Adalah salah, kalau karena ketertarikan saya, lalu seseorang memandang bahwa itu adalah upaya seorang Hudan untuk membongkar seorang Sutardji dalam aspek “politik sastra” dan “politik tekstual sastra”nya.

Seorang sutardji tidak melakukan “politik sastra” (kecuali mungkin perannya sebagai aktor intelektual di dalam “pengadilan puisi” di Bandung itu). Tapi melakukan habis-habisan “politik tekstual sastra”.

“Politik tekstual sastra” Sutardji, bekerja dalam dua bidang secara simultan. Bidang yang saling menopang sekaligus saling menjauhi. Kata yang hendak dilepaskannya dari makna, adalah sebuah tindakan revolusioner dalam dunia sastra Indonesia modern. Di saat sastrawan angkatan 45 dan 66 masih berkelindan dengan derap dan arus revolusi, yang meninggalkan jejaknya pada penciptaan realis, maka Sutardji terbang dan menebang langit dengan kapaknya meminjam esai Mariana tentang Sutardji. Apakah yang ditebang Sutardji?
Sebuah langit sebagai benda alam?

Tapi Sutardji menebang juga konvensi bersastra di negeri kita. Dengan melepaskan fungsi makna dari kata, Tardji bukanlah sebagaimana disebutkan Ignas Kleden sebagai, atau hanyalah, sebuah strategi literer yang hanya bisa dirujukkan pada semangat penciptaan, sehingga tidak perlu dikejar maksudnya dalam bingkai common sense.

Sebab cara pandang seperti ini, seolah meledek upaya pencarian Sutardji, seolah tak akan sampai upaya seperti itu. Atau di bidang prosa, seolah menggaung kembali kata-kata resah Iwan Simatupang: Hans (HB. Jassin), dapatkah kita melewati ambang yang tak terkatakan itu?

Tapi “politik tekstual sastra” Tarji benar-benar memberikan cara pandang lain. Bukan hanya bertarung dengan konvensi sastra yang melingkupinya. Tapi terutama bertarung dengan gagasan sastranya sendiri. “Politik tekstual sastra” itu akhirnya harus berhadapan dengan dirinya sendiri sebagai penyair.

Dan itu dimulai dari kredonya yang amat terkenal itu: kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Segera muncul: kalau kata bukan alat maka ia hanya pengertian belaka. Tapi dapatkah ada pengertian tanpa adanya kesadaran? Dan apalah artinya kesadaran tanpa medium bagi seorang penyair atau novelis. Dan medium itu adalah kata. Dan pada mulanya kata adalah titik yang ditarik menjadi garis lurus, yang berkelok menjadi huruf.

Karena pengertian adalah kesadaran, maka kita dapati makna yang terurai pada puncak-puncak yang ditunjukkan Sutardji sendiri dalam puisinya, sebagai “alat” bagi pengertian Sutardji dan pembaca puisi Sutardji.

Kata memang bukan alat (belaka) untuk mengantarkan makna. Tapi kata menjadi medium bagi kesadaran jiwa.
Tesis inilah yang saya pilih saat menuliskan “kredo seni di atas kredo puisi”.

Ketika kata menjadi bebas, kebebasannya bukanlah terbang dan menebang semata semantik, menceraikan dirinya sehingga tak terjejah lagi. Kata bebas dan terbang untuk mencari kata-kata lain yang kiranya cocok untuk dayanya sendiri. Yang membuat kreatif, kata Tardji.

Tapi tetap: kata yang terbang dan menebang itu, adalah dan hanyalah benda mati tanpa kesadaran. Pengertian pun adalah benda mati tanpa kesadaran. Persis seperti Tuhan adalah nothing tanpa dunia dan manusia. Atau Tuhan menjadi nothing tanpa diriNya. Sebab tiap kesadaran membutuhkan ruang, seperti roh membutuhkan tubuh sebagai ruang.

Karena itu Tuhan menubuh pada dunia.
Atau roh menubuh pada badan manusia.
Dan kesadaran menubuh pada kata-kata.

Dengan lain perkataan, kata memang adalah medium untuk mengantarkan pengertian. Tapi pengertian kreatif, yang menjauh dari pengertian sehari-hari dalam maknanya.

Di sinilah titik pisah antara “kredo seni di atas kredo puisi”.

Begitulah saya menemukan kreatifitas “menceraikan” kata ini, atau kata-kata yang bebas itu, bukan terutama pada sajak “hampa nilai” yang diajukan Ignas Kleden (ping di atas pong). Tapi juga pada permainan penceraian tipografi yang berakibat pada pengubahan makna yang sampai pada kita.

Dalam sebuah kajiannya yang sangat bagus tentang Sutardji (tapi kapan Ignas akan menulis sebuah buku tanpa diundang? Dan inilah poltik sastra itu!) yang dimuat dalam harian Kompas (Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri), Ignas menunjukkan kontradiksi pikirannya sendiri.

Bagi saya, demikian Ignas, pemikiran-pemikiran dalam Kredo Puisi menjadi menarik bukan dalam kedudukannya sebagai suatu teori tentang puisi, tetapi terutama sebagai rencana kerja seorang penyair. Kredo itu membuat kita terkesan dan mungkin terkejut, bukan karena argumen-argumen yang diajukannya mengenai sense dan nonsense, tetapi dia menjadi menarik sebagai suatu program, suatu desain, dan bahkan suatu tekad. »

Harga dan nilai kredo tersebut tidak selayaknya diukur berdasarkan konsistensi dalil-dalilnya, tapi terutama berdasarkan pertanyaan: apakah penyairnya sanggup mewujdukan apa yang telah dia deklarasikan.

Perhatikanlah kekaguman seorang Ignas akan Sutardji yang membawa serta perlawanan bawah sadarnya – daya kreatif Ignas. Sebuah kontradiksi diletakkan Ignas: bukankah saat saat sang penyair sanggup mewujudkan apa yang telah dideklarasikannya, adalah pemenuhan bagi konsistensi dalil-dalilnya?

Syang Hai yang dikutip Ignas bisa menjadi representasi bagi kreatifitas Sutardji memainkan kata. Juga melepaskan kata dari makna dan pengertiannya. Tapi hilangkanlah larik terakhir (sembilu jarakMu merancap nyaring), apakah Ignas masih mengatakan puisi itu seolah gumam seseorang yang berzikir menyebut nama Tuhan? Tidakkah ia menjadi sebuah permainan kata yang memang unik dan kita rasakan keindahan penyebutan-penyebut annya, tapi menjadi sesuatu yang gelap dalam tingkat penafsiran: apakah ini? Apakah yang dikehendaki sang penyair dengan sebuah struktur kata yang mengingatkan saya pada sebuah olahraga di masa kecil: pingpong. Di mana kata berjatuhan dari bidang satu ke bidang yang lain, seolah bola putih yang kecil itu.

Ping di atas pong
Pong di atas ping
Ping ping bilang pong
Pong pong bilang ping
Mau pong? Bilang ping
Mau ping? Bilang pong
Mau mau bilang ping
Ya pong ya ping
Ya ping ya pong
Tak ya pong tak ya ping
Ya tak ping ya tak pong
Kutakpunya ping
Kutakpunya pong
Pinggir ping kumau pong
Tak tak bilang ping
Pinggir pong kumau ping
Tak tak bilang pong
Sembilu jarakMu merancap nyaring

Dalam sebuah sajak yang sarat humor (jadi tidak benar kalau sastra Indonesia, tegang dan kekurangan humor seperti kata Ayu Utami dalam kolomnya di sebuah media), Sutardji datang dengan “puisi prosa” tapi mengandung magis puisi: ikan membawa air dalam mulut taman, katanya. Sebuah larik yang mengejutkan : bagaimana mungkin seekor ikan membawa air (ke) dalam mulut taman? Pastilah air yang dibawanya itu tersimpan dalam mulutnya. Lalu ia keluarkan ke taman itu. Tapi permainan tipografi puisi menjelaskan bukan itu maknanya.

ikan membawa air
dalam mulut
taman

Dengan membaca sajak ini dalam tipografinya, terlihat makna itu. Tapi pola larik itu diletakkan, juga pemakaian «tanda tanpa tanda», membuat kita membaca puisi itu seolah prosa, sehingga kita sampai pada kesimpulan, atau sejenak kesimpulan itu terserap, pada pengasingan kata dengan misteri maknanya (seolah ikan itu membawa air dalam mulut taman).

Sejauhnya saya ingin menghindar dari kategori Saut Situmorang, yang menempatkan sastra sebagai dunia kangou yang harus memakan kurban dengan jalan saling menumbangkan. Saya melihat sesuatu bekerja bukan sebagai penumbangan tapi sebagai “bagaimana cara memandang ». Dunia ini memang tempat orang berpandang-pandanga n. Karena itu kalau saya membuat “kredo seni di atas kredo puisi”, bukanlah lalu saya meniatkan untuk menumbangkan Sutardji. Tapi melihat cara lain seperti cara lain yang dilihat Sutardji.

Atau kalau saya tidak bersetuju dengan pandangan dominan di negeri ini, yakni mereka yang menganut bahwa pengarang sudah mati setelah karyanya lahir. Sebab saya mempunyai angle lain. Bahwa seni itu, sungguh adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan dimana fiksi dan fakta berimpit, saling menunjukkan dirinya seperti dua sisi mata uang dari keping yang sama.

Dan itulah seni fiksi dan seni fakta – sebuah basis bagi pengertiaan saya tentang dunia penciptaan.

Barukah basis itu? Tidak. Kita bisa melihat seni fiksi dan seni fakta ini bekerja dalam tubuh dalang, dimana cerita wayang kita kagumi bukan hanya pada peristiwa yang diceritakan sang dalang, tapi oleh gerak dan gerik dari tubuh sang dalang.

Tuan Takdir mengobarkan « polemik kebudayaan » seraya dengan angkuh membenamkan tradisi sebagai sebuah masa lalu yang tak perlu diingat lagi. Tapi serentak dengan itu, segera pula ia memasuki kontradiksinya sendiri.

Katanya:
Hal itu bukan sekali-sekali berarti, bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh itu tiada akan terdapat sesuatu element prae-Indonesia jua pun. Pertentangan semangat prae-Indonesaia bukanlah pertentangan 100 persen, pertentangan dalam segala hal.

Tapi dia menulis juga, tentang “kebudayaan Indonesia tiadalah mungkin sambungan kebudayaan Jawa, sambungan kebudayaan Melayu, sambungan kebudayaan Sunda atau kebudayaan yang lain.”

Atau seperti kata-kata Armijn, “kita mengakui keindahan pantun. Tapi tempatnya bukan pada masa kini.”

Tapi dengan cepat keangkuhan seperti ini patah oleh sebuah disertai Dahm, yang memperlihatkan betapa seorang Sukarno dibayang-bayangi oleh tradisi wayang yang digemarinya sejak kecil, yang telah membuat dirinya menjadi pemimpin modern Indonesia.

Dan itulah seni fiksi dan seni fakta. Kenyataan hidup yang menunjukkan dua sisi dari keping uang yang sama.

Ada yang hendak saya ulang-ulang, bila berhadapan dengan sejarah. Saya tak ingin mengatakan orang budaya telah kalah dengan orang politik. Tapi dengan getir saya bisa berkata: bahwa orang budaya tidak ada yang serevolusioner orang politik dalam temanya.

Sebab, bila orang politik melakukan perjuangan politik sampai masuk penjara dan dengan gemilang menuliskannya dalam teks politik (Indonesia Menggugat atau Renungan Indonesia misalnya), maka orang budaya menyerah pada sensor “Balai Pustaka”?

Lihatlah metapora yang dipakai dalam novel di kedua angkatan itu (Balai Pustaka dan Pujangga Baru). Tak satu pun kita temukan metapora tentang bebasnya Indonesia dari penjajahan kolonial. Tokoh-tokoh novel di dalam kedua angkatan itu, seolah kehilangan daya imajinasinya untuk memetaporakan kebebasan Indonesia melalui peristiwa dan makna novel yang diceritakannya. Padahal klaim bahwa sastra adalah alat perjuangan bangsa sudah menjadi jargon.

Bahkan pada angkatan 45 pun, metapora tentang kebebasan ini tak kita temui. Sehingga kita menjadi sedih saat Jassin dalam bukunya Kesusastraan Indonesia Jaman Jepang, demi mencari metapora yang saya maksudkan, memaksa puisi Chairil « Hampa » sebagai metapora bagi kehendak untuk kemerdekaan Indonesia.

Kita tahu, Hampa bukanlah sebuah puisi yang bisa dicantelkan dalam bingkai kehendak untuk merdeka itu, karena Hampa adalah sebuah puisi dimana mekanisme jiwa Chairil sudah tidak tahan lagi akibat jalan hidup yang dipilihnya sendiri.

Tuan Edy dalam postingnya menuntut saya agar radikal dan konsisten dalam berkata-kata. Agar jangan bereksistensi secara palsu saat berada di ruang manapun. Menarilah seperti dirimu, katanya. Tapi Tuan Edy lupa, apakah pengertian ruang dalam zaman yang makin menyempit ini? Dan apakah pengertian palsu?

Bagi saya sebuah milis yang serius dengan temanya, senilai dengan sebuah ruang koran atau ruang buku. Dan apakah peserta milis ini masuk ke dalam “ruang yang lain”? Tentu tidak. Sebab ruang kini sudah berimpit: kita menjadi anggota suatu milis seraya tetap membaca dunia.

Kafka telah lama meninggalkan kita, dan karena itu ruang jiwanya tak mungkin berimpit pada ruang kita. Tapi sebagai orang yang datang belakangan, ruang jiwa Kafka masuk ke dalam ruang privat saya. Ruang privat yang saya pelihara dengan baik.

Tapi dalam ruang itu saya mesti menyisihkan ruang bagi otensitas saya sendiri. Saya juga harus menyisihkannya untuk ruang bagi nilai in absentia yang saya rindukan. Sebagai seorang seniman saya harus mampu menangkapnya untuk dihadirkan bukan pada masa depan tapi pada masa sekarang.

Lama saya merenungi masa depan itu seperti buah apel di mana pohonnya ada tapi tidak terlihat dengan mata fisik kita. Atau entah di kandung telur siapa dan di sperma lelaki mana seorang “Hitler” yang lain. Ia ada di suatu tempat, di lelaki dan perempuan yang akan datang kemudian, sebagaimana sebuah rahim dan sperma yang akan membawa Newton yang lain. Atau mungkin “mereka” sudah hadir di masa kini? Siapa yang tahu. Dalam keseluruhan gerak semesta maha-luas ini, kita hanya setitik debu yang sombre sendiri.

Pohon apel itu hanya bisa dilihat dengan mata jiwa. Sebuah kesadaran yang membelah diri dengan radikal, yang tak hanya berpuas dengan tepuk tangan atau menangguk pujian (yang nyatanya kerap dilakukan melalui politik sastra yang berlebihan itu), adalah kesadaran yang mungkin bisa menangkap pohon yang telah hadir tapi tidak kelihatan itu.

Apakah palsu, kalau kita bereksistensi dengan ruang kita sendiri? Kalau kita tidak pernah beranjak dari ruang kita sendiri.

Palsu adalah sebuah tindakan eksistensi yang mengingkari hati nurani, yang dalam dunia politik menjadi samar mana strategi mana niat yang sudah dikebiri.

Pada seorang seniman kepalsuan terbaca pada temanya, pada ungkapan jiwanya saat dia menulis. Tema sastra dari sebuah jiwa yang palsu suka membalik angin. Kalau badai besar datang dia sembunyikan temanya dalam retorika yang mengebiri pendiriannya. Kalau badai reda dia kembali dengan temanya.

Sikap gagah-gagahan yang datang dari dunia kanak-kanak seperti itu, tentulah bukan etos yang kita kehendaki.

Mengapa demikian?
Karena saya meyakini kesusastraan bukanlah sekedar pajangan huruf-huruf untuk olahraga pemikiran.
Tidak.
Kesusastraan adalah hidup itu sendiri.

Hidup dari rentang sakrataul maut, dari serius dan main-main.
Mungkin main-main adalah sebuah bonus bagi jiwa yang resah dan gundah. Mungkin main-main adalah salah satu mekanismenya agar dia tidak gila. Tapi selebihnya kesusastraan adalah upaya menguakkan kebenaran. Menguakkan kebenaran sambil bermain-main. Karena bermain-main sesungguhnya adalah wajah lain dari sebuah kesungguhan.

Tentu saja menguakkan kebenaran bagi sastra adalah mengambil jalan menikung. Dalam tiap tikungan itu ia melambung, melambungkan pikiran untuk berimajinasi secara bebas, untuk berfantasi secara bebas. Karena hanya dengan kebebasan itulah barangkali pohon yang tak kelihatan tapi ada itu bisa dipetik. Dimakan buahnya oleh orang kini atau orang yang akan datang.

Tubuh kita boleh mati. Tapi pikiran kita akan abadi sebagai obor bagi mereka yang mencoba meraih misteri Tuhan dalam tiap bidangnya, dengan umpan yang mungkin dari kesusastraan.

Dalam dunia semacam itu, sungguh tidak ada tempat bagi sikap yang palsu. Apalagi sikap yang hanya seolah-olah telah berhasil menguakkan kebenaran lalu menghardikkannya dengan paksaan, padahal ia baru berjalan-jalan di kulit kebenaran. Kulit yang terasa sebagai dunia formal-moral- agama yang hendak mengkerangkeng kebebasan manusia dalam tiap ciptaan dan ekspresinya. Dari mereka yang miskin tafsir.

Karena tidak mau terkerangkeng, saya mencoba membuat kategori sendiri dalam upaya merebut makna dunia. Makna yang saya kategorikan sebagai takdir dunia, misteri dunia dan tafsir dunia.

Karena itu saat membaca Kitab itu lagi, saya melihat ketimpangan demi ajaran moral yang baik, seolah buruk itu bukan dari Tuhan sebagai implementasi dari kategori takdir.

“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf. Dan Yusufpun bermaksud (melakukannya pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.”

Inilah ayat tentang pelajaran pornografi, yang dengan sangat berani diceritakan oleh sang Penguasa Bumi. Berani, karena melibatkan Nabi yang dipilihnya sendiri.

Berhadapan dengan penceritaan semacam itu, tidaklah diperlukan imajinasi dan fantasi yang luar biasa untuk membayangkan sebuah pergumulan demi “permainan burung” yang akan berlangsung.

Segeralah kita tahu betapa Tuhan sayang pada kita. Mengajarkan bukan saja pandai berbicara tapi melatih imajinasi dan fantasi sebagai alat ampuh demi menguakkan rahasiaNya di langit dan di bumi.

Menyadari betapa tak terperikan rahasia langit dan bumi, maka Dia membekali manusia dengan kebebasan berpikir tanpa batas, yang diajarkanNya secara imajinatif dan fantastik tentang benda-benda dan nafsu-nafsu manusia.

Tapi manusia mengkerangkeng kebebasan itu ke dalam tafsir yang sungguh bertolak belakang dengan apa yang Ia sendiri ingin maksudkan:

“Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa nabi Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaicha), akan tetapi godaan itu demikian besarnya sehingga andaikata dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu dia jatuh ke dalam kemaksiatan.”

Bukankah teks itu sendiri yang berkata, bahwa keduanya saling menginginkan? Bahwa kemudian Yusuf melihat tanda dari Tuhannya maka “tanda” itu tidak serta merta menggugurkan “keinginan” yang sudah terlanjur menjalar ke dalam diri Yusuf.

Ataukah kita harus menafsirkan seperti ini: keinginan tersebut menjalar ke dalam diri Yusuf tapi secepat kilat ia berhenti, karena melihat tanda itu.
Tapi apa pula bedanya perdefinisi “keinginan” seperti itu? Toh Tuhan tidak sedang bermain pokrol bambu.

Tuhan mencintai manusia. Tapi manusia suka membuat orang lain “malas” mencintai Tuhan.
Sebagaimana begitulah adanya.
Tapi tak begitu seharusnya.

Jakarta, 26 april 2008

SAAT PERTUNJUKAN DI CANDI BAJANGRATU ITU BERLANGSUNG, MENETESLAH AIR MATAKU

Jurnal Kebudayaan The Sandour III 2008
Hardjono WS

Pagi itu aku akan melihat sebuah tontonan di Bajangratu, candi yang berdiri megah ini menjadi saksi bahwa negeri ini pernah menjadi negeri besar dan ternama.

Ratusan tahun candi ini berdiri dan telah mengalami perbaikan supaya tidak roboh. Berdiri di atas pelataran yang ditata rapi, menyapa pengunjung dengan kesepiannya sendiri dan tidak bisa berkata apa-apa meski mampu menjadi saksi bisu tentang sejarah negeri ini.

Aneh, pagi itu menjadi lain. Umbul-umbul sebagai kebesaran negeri ini masa lampau berkelebatan ditiup angin. Mobat-mabit amat anggunnya. Berwarna-warni merah, kuning, hitam dan putih sebagai lambang hidup diri manusia. Warnapun bagi nenek moyang kita dulu amat berarti untuk mawas diri.

Pemain musik telah menempati tempatnya masing masing, dan amat sederhana. Tidak seperti pementasan pementasan yang harus diiringi gamelan. Gender, gong dan kendang mulai terdengar pelan. Makin lama makin keras dan tiba-tiba berhenti ketika kendang menyentak kemudian ditimpali suara gender amat nyaring. Nikmat terdengar. Dari arah candi muncul arak-arakan dengan segala kebesarannya meski tidak mewah.

Seorang anak muda duduk di atas tandu sementara tembang pun muncul diantara bunyi gamelan. Aneh, suasana candi Bajangratu berubah tiba-tiba menjadi semarak seakan candi itu sendiri salah satu dari ratusan penonton yang saat itu menonton pementasan. Bajangratu saat itu seakan diam, tetapi menikmati dengan sepenuh hati tontonan pagi itu.

Setelah arak-arakan itu masuk, tiba-tiba muncul adegan perang dan seorang narator membaca naskahnya dengan cara dibaca seperti membaca puisi. Sesekali tembang muncul dengan suara khasnya, suara pesinden meski yang melakukan masih muda.

Tiba-tiba air mataku menetes keluar dari pelupuk mata. Aku ingat anakku Ganang beberapa tahun yang lalu pergi ke kota lain setelah membawa kekecewaan yang amat berat.
Masih ingat bagaimana ia menangis berkepanjangan agar diijinkan untuk mengikuti kegiatan semacam itu.

“Aku kan tidak melupakan tugas-tugas utamaku sebagai anak sekolah. Nilai di rapot kan tidak pernah jelek,” katanya meyakinkan diri. Pikiranku hanya satu kepada bapaknya yang sejak awal kurang senang kalau Ganang mengikuti kegiatan kesenian di sekolahnya. Ayahnya amat sayang kepada satu-satunya anak semata wayang itu. Mengapa mengikuti kegiatan teater tidak mengikuti tari atau menyanyi saja?

“Teater itu bagian pendidikan di sekolah pak dan itu bukan merupakan tujuan bagi anak-anak. Proses menjadi manusia pak,” katanya lagi saat berhadapan dengan ayahnya di gandok depan rumah menirukan kata-kata pelatihnya yang kebetulan juga gurunya sendiri. Aku terhenyak sejenak.

“Pokoknya kau harus berhenti dari kegiatan itu kalau kau mau meneruskan sekolah,” kata ayahnya keras. Tak ada yang diucapkan Ganang saat itu kecuali menangis dan langsung masuk kamarnya. Tak mampu melakukan perlawanan terhadap keputusan ayahnya, dan aku hanya bisa diam.

Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan amat meriah, dan tontonan di pelataran candi itupun usailah. Semua penonton memberi selamat berjabat tangan dengan para pemain termasuk kepada Ganang sutradaranya sendiri.

Air mataku tak dapat kubendung lagi, dan aku sendirilah yang tahu arti air mata itu. Terharu dan tersadar dengan apa yang baru kunikmati pagi itu. Aku menangis pagi itu. Candi Bajangratu tetap diam dengan gagahnya. Yang kulihat tidak hanya saja candi perkasa ini, tetapi seakan ikut mengucapkan selamat kepada para pemain dan kepada anakku yang saat itu tak mampu menolak pelukan candi dengan hangat seakan berbisik: ”Selamat dan terimakasih Ganang” Aku hari ini banyak dikunjungi anak cucuku dengan penuh suka cita.

Aku memandang dari jauh, seakan ikut melihat dan mendengar candi bajangratu bercerita tentang dirinya. Menurut ceritanya Bajangratu ini lebih tepat kalau tidak disebut candi, tetapi sebagai pura atau gapura. Ini kalau dilihat dari bentuknya. Hanya sebagai bangunan untuk lewat dari sebuah tempat ke tempat lain, melewati tangga yang naik dan turun, bentuk paduraksa.

Sejarah juga telah menulis dengan ragu-ragu tentang keberadaannya dan fungsi candi ini. Sebagai peringatan tentang pemerintahan sang raja Jayanegara atau tempat abu raja itu sendiri.

Sebagai seorang penonton yang cukup senang menikmati tontonan yang menarik ingin rasanya aku lari dan memberi selamat kepada seluruh pemain terutama kepada Ganang anakku sendiri, tetapi aku malu. Yang kulakukan hanya kubiarkan air mataku mengalir deras dan sesekali kupejet hidungku karena air hidung akhirnya tak mau mengalah ingin menunjukkan keharuanku juga. Pikiranku meloncat amat jauh menembus ruang dan waktu yang amat panjang.

Semenjak larangan ayahnya tak dapat dibantah lagi, akhirnya Ganang menjadi anak pendiam. Tak ingin mengikuti kegiatan apa-apa di sekolah. Ganang menjadi pemurung.

Aku tahu itu semua, tetapi aku tak mampu melawan, sampai ayahnya mendapat tugas di tempat yang masih sering terjadi perang saudara di negeri sendiri. Ayahnya harus berjuang memadamkan pemberontakan di daerah Timor Timor yang akhirnya harus pulang hanya nama saja.

Kematian ayah makin membuat Ganang semakin murung seakan tak ada lagi semangat untuk hidup. Hari-harinya hanya diisi dengan sekolah sebagai kewajiban saja bukan sebagai suatu hal yang membuat seseorang makin perkasa dan semangat.

Nilai rapotnya selalu pas-pasan dan benar-benar membuat Ganang tidak memiliki gairah sama sekali. Sampai suatu ketika ia bertemu lagi dengan pak Bagas pelatih keseniannya dulu.

“Tidak pak, aku sudah mati dan aku tak tahu harus melanjutkan ke mana nantinya, apalagi ibu kan hidup sendiri.”

“Kenapa tidak dendam?” tanya pak Bagas.
“Kepada siapa ?” Ganang balik bertanya.
“Kepada ayahmu sendiri?” pancing pak Bagas.
“Kepada ayahku?” tanya Ganang.
“Ya. Tahu bentuknya dendam itu?”
“Nggak pak” jawab Ganang tegas.
“Dendam tidak mesti selalu jelek.

Sekarang yakinkan pada orang tuamu apa yang kaulakukan amat baik dan bisa berguna untuk orang lain. Ganang dulu kan dilarang untuk kegiatan kesenian karena sayang berkelebihan dari ayahmu. Sekarang ayahmu sudah tidak ada. Yang melarang dan berkuasa tidak ada. Mengapa tidak kau teruskan lagi impianmu dulu sampai menjadi kenyataan?”

Ganang diam, berpikir agak lama. “Hidup ini milikmu Ganang, bukan milik siapa-siapa. Tergantung pada dirimu sendiri tentang pada dirimu sendiri tentang hidup ini. Kau buat apa hidupmu ini. Semua ini tergantung padamu.

“Mau kau buat baik atau jelek, semua ini tergantung pada dirimu.” Ganang makin diam. “Kau buat untuk merenung terus tanpa dendam yang positip? Tak ada yang bisa kaulahirkan dari pekerjaan merenung terus.”

Aku tersadar, bangku-bangku tempat penonton sudah mulai kosong. Seorang demi seorang sudah mulai pulang. Kulihat para pemain dan Ganang masih dikerumuni penonton malah beberapa wartawan sedang mewawancarai. Untuk yang kesekian kalinya aku menangis, air mataku menetes tetapi tidak sederas seperti tadi.

Angin semilir datang menerpa tubuhku terasa sedikit segar meski matahari sudah merangkak sejak tadi tetapi belum sampai di pertengahan langit atas Bajangratu.

Candi megah yang terletak didesa Dukuh Kraton Kecamatan Trowulan pagi itu benar-benar tampak semarak.
Biasanya sepi, tetapi pagi itu tampak semarak dan gairah.

Mobil wisata atau disebut mobil kereta dengan warna-warni yang semarak tampak berderet di tepi jalan. Begitu juga mobil-mobil pribadi juga berderet di tempat yang sudah tersedia.

Candi bajangratu tampak makin anggun seakan ikut mengantar tamu sampai di pagar kawasan candi. Dengan latar belakang pelataran yang ditumbuhi rumpaut dan pepohonan yang rimbun, candi ini makin anggun dan asri.

Candi ini pernah direnovasi agar tak roboh. Di bagian dalam candi ditahan dengan besi yang cukup kuat. Sayang, cara pengerjaannya sedikit kasar, sehingga besi itu sedikit menampakkan ketidakasliaan candi ini.

“Ayo bude ke mas Ganang,” ajak ponakanku. “Nanti saja. Kau saja yang ke sana,”jawabku menutupi rasa malu sekaligus kebanggaan yang tak mungkin kusembunyikan.

Setelah ayahnya gugur di medan perang, Ganang memaksaku untuk mengijinkan melanjutkan studinya di bidang kesenian dan satu-satunya kota yang dituju adalah Jogjakarta, karena di kota ini juga ada kakak ayahnya.

Ganang tak bisa dicegah, dan apa yang dilakukan saat pulang menjengukku adalah permohonan maafnya sekaligus doa restu dariku untuk meniti hidupnya sesuai pilihannya sendiri bukan pilihan ayahnya atau aku sendiri. Akhirnya aku yang menyerah kalah, kalah tanpa peperangan. “Ganang ingin melakukan sesuatu untuk kota kelahiranku,” katanya saat pulang ke rumah dengan beberapa temannya.

“Kalau ayah bisa berbuat sesuatu buat bangsa dan negaranya sampai harus gugur di medan perang, aku juga ingin mempersembahkan sesuatu meski hanya untuk sebuah kota,” katanya dengan keyakinan yang tampaknya tak mungkin mau surut kembali.

“Aku dilahirkan di kota yang pernah menjadi sebuah negeri pusat kebudayaan saat itu, ingin rasanya Ganang bercerita kepada siapa saja yang ingin mendengar ceritaku tentang negeri ini sekecil apapun,”katanya.

Aku makin percaya ada sesuatu kekuatan dalam dirinya, apalagi setelah berani beberapa tahun tinggal di luar kota kelahirannya. Trowulan kota kecil, sebuah kota kecamatan di kawasan kabupaten Mojokerto adalah kota yang menyimpan sejarah besar di negeri ini. Mojopahit yang mengenalkan bendera merah putih, mengumandangkan Bhinneka Tunggal Ika seperti Sumpah Palapa-nya Patih Gajamada.

Jauh sebelum negeri ini memiliki Sumpah Pemuda tahun 1928, Gajah Mada sudah menyampaikan Sumpah Palapa. Tak akan tidur nyenyak sebelum Nusantara ini menjadi sebuah kawasan yang bersatu. Trowulan inilah yang menjadi obsesi Ganang untuk berbuat sesuatu bagi kotanya. Membangunkan candi yang tidur panjang dengan rambutnya yang rapi dan bersih. Menggeliat bangun menyampaikan salam dan senyumnya yang hangat kepada pewaris bangsa ini lewat pertunjukkan keseniannya. Sejak aku masih kecil sampai menjadi guru, aku beberapa kali melihat candi ini, tak pernah berubah.

Bagaimana aku bersama temanku melihat candi-candi di Trowulan dengan perasaan senang hanya karena bisa bepergian bersama sama teman sekelas. Guru pun tak pernah memberikan cerita yang bisa kuingat sampai sekarang. Aku senang tetapi terasa hambar karena tak mendapat apa-apa. Begitu juga saat aku menjadi guru dan bisa mengajak murid-muridku melihat candi Bajangratu ini.

Kebahagiaanku hanya satu bisa menyenangkan hati murid-murid bisa menikmati warisan nenek moyang kita.

Saat aku menjadi murid sampai menjadi guru, candi ini tak pernah ada perubahan sama sekali. Asri, tetapi sepi dan lengang seakan tak ada kehidupan kecuali menikmati onggokan batu yang tersusun rapi, kuat dan indah.

Hari itu aku bisa merasakan bagaimana candi itu merasa amat bahagia karena merasa hidup kembali. Aku bahagia dan tiba-tiba air mataku menetes lagi, karena aku yakin ayah Ganang saat melihat dari sana jauh, dan amat jauh pasti kebahagiaan yang muncul dan pasti permintaan maaf akan disampaikan kepada anakku.

Seperti apa yang dimainkan para pemain, kisahnya tidak jauh dari sejarah candi itu sendiri sehingga para penonton bisa mengerti sejarahnya. Layaknya seorang guru bercerita tentang setangkai kembang, di tangan kanannya telah tersedia kembang yang diceritakan.
Bajang artinya kecil. Ratu artinya raja.
Raja yang memerintah Mojopahit setelah R. Wijaya adalah anaknya sendiri Raden Jayanegara. Ia diangkat menjadi raja ketika masih kecil. Pemerintahan tak bisa tenang dan damai. Di mana-mana perang saudara terjadi karena kurang puas dengan kebijakaksanaan sang raja. Muncul pemberontakan-pemberontakan Ra Kuti, Ronggolawe dan lain-lainnya. Jayanegara tak mampu memadamkan pemberontakan itu dan akhirnya mangkat karena ulah sahabat terdekatnya: Tanca.

Untuk memperingati wafatnya raja yang masih kecil itulah Bajangratu itu dibangun. Diperkirakan Bajangratu didirikan antara Abad XIII dan awal Abad XIV karena raja Jayanegara wafat pada tahun 1328 [strata dhinar meng kappongan, bhiseka ringesrenggapura pratista ring antawulan] ini tertulis pada Pararaton. Pigeud yang menerjemahkan Negara Kertagama menceritakan bahwa sang raja wafat tahun 1328 dan didharmakan di dalam kedaton. Arcanya dalam bentuk Wisnnu terdapat di Shila Petak dan Bubad. Bubad itu terletak di Trowulan, sedang Sela Petak yang belum diketahui dengan pasti sampai sekarang.

Kubaca sekali lagi tembang yang ditulis dalam synopsis serta cuplikan naskah pertunjukan pagi itu:
Hei prajurit kang angesti
Aja cidra neng negaramu
Andepani tanah wutah ludira
Anatepi sumpahira…

Para dewa di atas langit
Dengarkan sumpahku ini
Aku tak memiliki ibu dan bapak
Ibu bapakku adalah tempat ajalku kelak
Tempat aku lahir dan mengenyam nikmat
Para dewa di dalam bumi
Dengarkan sumpahku ini
Aku tak punya anggota badan lagi
Anggota badanku adalah bakti pada pertiwi
Anggota badanku adalah cinta pada negeri
Mereka adalah alat-alat yang tak mampu berkata tidak saat sang raja para penguasa memerintah lewat mulutnya
Mereka hanya mampu berkata daulat tuanku raja.
Perang terjadi dimana-mana, banjir darah menggenang dimana-mana.

Air mataku menetes lagi satu-satu. Yang lewat dan singgah di pikiran dan batinku adalah bayangan ayah si Ganang saat bertugas di daerah pertikaian di negeri ini: Timor Timur.

Dia hanyalah alat yang tak mampu berkata tidak saat sang raja para penguasa memerintah lewat mulutnya. Ia harus bertugas menumpas para pemberontak. Ia gugur di medan perang.

Ia tak punya anggota badan lagi. Anggota badannya hanya baktinya kepada negeri ini. Anggota badannya hanya cinta pada negeri ini sampai ia harus mati meninggalkan keluarganya.

Memang sebagai seorang prajurit sejati ia wajib memiliki semboyan yang ditulis Ganang anaknya sendiri. Anaknya yang tak pernah diperbolehkan memasuki dunia seni. Sampai pada saat pamit hendak pergi ke tempat tugas, pesan yang disampaikan tetap tak berubah: ”tolong Ganang, jangan diperbolehkan meneruskan kegiatannya. Sebuah tempat telah kusiapkan untuk hidupnya supaya baik untuk masa depannya.”

Aku tersadar saat seseorang mencari-cariku mendekat dan mengajak segera ke tempat para pemain karena Ganang sudah lama menungguku. Aku segera menuju para pemain yang masih sibuk untuk mengemasi pakaian dan bersiap untuk pulang. Pada wajah-wajah mereka tampak kebahagiaan yang pasti orang lain tak mampu merasakan. Berjabat tangan dan saling mengucapkan selamat seakan mereka telah menyelesaikan tugas yang amat besar.

Aku tak bisa menyembunyikan perasaanku sendiri. Dan aku tak mengerti perasaan apa yang muncul saat itu. Terharu, malu, bahagia, bercampur-aduk menjadi satu. Sementara seorang penonton tiba-tiba datang dan memberi selamat kepadaku.

“Selamat bu, putranya telah berhasil.” Tangan itu terus kugenggam erat, sebab yang muncul dalam pikiranku malah muncul hanya satu: malu.
“Kenapa bu?” tanyanya dengan heran
“ Tidak apa-apa,” jawabku agak berat.

“Mas Ganang berhasil membangunkan candi yang sudah ratusan tahun menikmati tidur panjangnya.” Aku makin terpuruk mendengar pujian itu. Aku ingin menangis keras-keras, karena merasa tak kuat menahan perasaan malu yang makin lama makin bertumpuk.

Ganang muncul dan aku tak ingin ia yang menjabat tanganku lebih dahulu. Kusambut tangannya dengan mesra, jabatan tangan seorang ibu yang menumpahkan segala perasaan tentang rasa terharu, malu, bahagia dan bersalah.

Bergejolak perasaan itu bergumpal-gumpal menyesakkan dada salaing tindih perasaan itu. Saling bergumul dan saling mencabik membuat nafasku makin sesak, dan satu-satunya jalan hanyalah sebuah pelukan dan air mata kubiarkan deras-sederas perasaanku padanya.

Kupeluk erat-erat bahu Ganang, tak ingin kulepaskan sebelum aku selesai mengucapkan segala perasaan dan rasa bersalahku, meski itu hanya bisa kuucapkan dalam hati. Setelah puas kulepaskan pelukanku, tetapi mataku tak mampu memandang arah lain. Kupandang anakku. Yang kulihat adalah seorang laki-laki gagah tak ubahnya bapaknya sendiri yang sekarang pasti berada di sana jauh di sana. Aku yakin ia memandangku berdua di altar candi Bajangratu yang menjadi saksi pertemuan batin antara ibu dan seorang anak laki-lakinya.

“Kenapa?” tanya Ganang dengan pandangan aneh. “Bapakmu lahir kembali di tempat ini Ganang,”kataku bangga.

“Lain Bu, bapak gagah di sana, Ganang gagah di sini,”katanya dengan enak, seenak hidupnya yang telah dimiliki dengan cara dan pilihannya sendiri. Aku lebih bangga lagi mendengar kata-kata itu.

Kugandeng Ganang dan benar, aku telah dipertemukan lagi dengan suamiku yang sudah almarhum, anakku sendiri di candi Bajangratu ini. Kedua-duanya adalah laki laki yang gagah dan kucintai. Kupamdang sekali lagi wajahnya saat meninggalkan kawasan candi dan sempat berkata meski hanya dalam batin.

“Benar Ganang, bapakmu gagah di sana, engkau gagah di sini.” Diam-diam candi Bajangratu mengantarkan kepergian kami dengan gagahnya. Sebentar lagi suasana kembali sepi.

[Jatidukuh,2004]

PERNIKAHAN UNGU

Jurnal Kebudayaan The Sandour III 2008
KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo

Orang tuanya memang sudah sepakat untuk menjodohkan mereka, agar tali persaudaraan kedua keluarga itu tidak bertiup lembut, dan cairan ombak yang menghempas disana-sini memberikan irama gelisah, pada alam seputar yang telanjang.

“tentu, tentu saja, dik. Setiap makhluk punya orang tua masing-masing; begitu pula halnya dengan burung-burung walet itu. Namun mereka berasal dari berbagai keluarga, dari banyak bapak dan emak. Di laut dan gua-gua itu mereka berkumpul untuk mencari makan dan bermain.”

Sang adik manggut-manggut meskipun belum sepenuh-nya memahami arti perkataan Prabawa itu. Dari senyumnya yang kebocahan, terlihat betapa ia ingin mengetahui lebih banyak tentang dunia burung-burung yang dekat dengan perkampungan mereka.

Di ufuk sebelah barat nyata gulungan awan kemerahan, sedangkan langit yang semula berwarna biru bertambah tua dan purba, hingga warnanya menjelma sulak kehitaman.

Ah sebentar lagi malam tiba. Batu-batu tua di belakang kedua bocah cilik itu juga semakin legam. Namun alangkah beratnya kaki-kaki kecil itu beranjak dari sana. Alam memperlihatkan tarian burung-burung lincah, beranjak memaku mata mereka pada laut. Ketika hari pun pekat, sang abang membungkuk dan menepuk lengan si adik dengan sayang.

“yuk, pulang sekarang, Sari. Abang sudah lapar. Nanti bapak marah padaku.” “Sari senang main-main di laut sini, kang Bawa,” kata si adik merajuk dengan rengutan manja. “Sari ingin menemani burung-burung kecil itu bermain.”

“O, Sari,” abangnya meraih tangan si kecil dengan kelembutan prasaja. “Ia akan takut sekali kalau kita di sini terus. Soalnya mereka bukan hanya bermain -main tetapi juga mencari makan dan membuat sarang.”

“dengan apa mereka membuat sarang itu?” tanya si kecil “dengan air liurnya,” jawab sang abang sembari menggandeng tangan adiknya, dan hati-hati di bantunya si adik turun dari tebing karang. Si adik selintas melirik pada abangnya kemudian berbicara perlahan; “Dengan liurnya? Mengapa dengan liurnya, kang? Mengapa kita tidak bisa membuat sarang dengan air liur kita?”

Prabawa tertawa rinai mendengar pertanyaan adiknya yang naif itu, ia tahu, adik ingin jawaban pasti dan memuaskan. Ia faham, jawaban yang belum memuaskan selalu berekor pada pertanyaan-pertanyaan lain, beruntunan. Jadi, bagaimana memberikan jawaban yang pasti?.

“Sari adikku,” ucap Prabawa yang berjalan lambat pada pasir yang lumat. “Burung lawet itu jauh berbeda dengan kita. Manusia takkan dapat menciptakan rumah dari air liur. Air liur kita hanya untuk menghancurkan makanan yang kita telan. Nah, jelaskah jawaban ku ini bagimu ?”

Sari, atau lengkapnya Sarilaut, mengangguk disertai senyum merekahkan bibir tipis dan membuat lesung pipitnya kentara. Aih, manisnya bocah ini. Namun Prabawa, si abang, belum yakin bahwa sari paham betul terhadap keterangan terahir ini. Dengarlah, bagaimana Sari punya pertanyaan berikut. “Kang, kalau begitu, burung-burung itu lebih pintar daripada manusia, ya, kang ?”

“Tidak, Sari. Kita manusia jauh lebih pandai daripada binatang, termasuk diantaranya burung-burung itu. Burung itu hanya bisa menciptakan sarang atau rumahnya dengan air liur yang tersedia. Sedangkan manusia membuat rumah-rumahnya dengan batu, kayu, bambu serta lainnya yang berat dan diambil dari tempat lain.”

“Kalau manusia lebih dari burung-burung itu, kenapa manusia tidak mengajarkan burung-burung supaya pandai pula membuat rumah dengan batu dan kayu? Alangkah baiknya, ya kang, kalau orang membuat supaya hewan-hewan itu pintar seperti kita.”

Sekali lagi si abang ketawa oleh kenaifan menggelikan. “Ih, kau memang ceriwis, Sari. Nanti kucubit lho, bibir merahmu yang tipis itu. Masak manusia mengajarkan cara membuat rumah pada burung-burung. Kan tidak ada gunanya; burung-burung kecil itu sudah cukup puas, dan manusia itu terlampau besar buat binatang cilik itu, sayang. Burung-burung itu punya cara kehidupan sendiri dari pada kita.”

“pikirannya lain dengan kita, ya kang? O, makanya mereka takut dan selalu terbang menjauh bila melihat kita di sini; mereka takut kalau kita usir. O, kang Bawa. Kalau mereka tidak sepandai kita, dan hidupnya berbeda dengan kita, biarlah mereka terbang bebas dan leluasa membuat sarang di laut.”

“ya, mereka bebas leluasa. Manusia pun membiarkan burung-burung walet itu hidup di alamnya sendiri. Manusia tidak pernah mengusir mereka dari sana, Sari”.

“tetapi, mengapa manusia sering mengundui sarang-sarang burung itu, kang? Tidakkah ini menyakiti burung-burung cilik yang lemah dan tak berdosa itu?”

Memang Sari acapkali melihat penduduk Karang Bolong itu melakukan pengunduhan sarang burung di beberapa goa di dasar laut selatan itu, atau di balik-balik karang tajam yang bergelombang buas. Wajar, bila pemandangan yang sering di lihatnya kini mendorongnya untuk bertanya lebih jauh. Ia justru ingin tahu, kaitan dari peristiwa itu dari keterangan Prabawa sebelumnya.

“Hm, itu bukan menyakiti mereka, Sari. Dari dulu, manusia memerlukan obat mujarab dan makanan berkasiat yang berasal dari sarang burung. Mereka undu sarang burung itu untuk menyembuhkan penyakit-penyakit. Jelas, bukan?.”

Sarilaut terdiam beberapa saat. Abang dan adik kini ber-gandengan tangan, rukun sekali. Mereka telah tinggalkan pantai Karang Bolong, di sana matahari tenggelam dan malam jatuh mengkelami lautan dan daratan berkecupan abadi. Kedua bocah itu berjalan memasuki kampung nelayan, di mana bapak ibunya menunggu disebuah rumah. Sebelum memasuki rumah, Prabawa masih sempat berkata kepada adiknya yang serba ingin tahu itu.

“Lihatlah Sari, kita dan burung-burung tak pernah usik mengusik. Tapi kata bapak, manusia harus pandai mengambil segala isi alam ini buat kepentingan hidupnya yang baik. Sebab itu, kalau manusia mengambil sarang burung sebagai obat dan makanan berkasiat, itu sudah pada tempatnya.

Kau lihat, meski pun banyak sekali sarang-sarang lawet itu yang di unduh, tak pernah mereka kehabisan sarang. Mereka terus menerus mem-buat sarang, tak jemu-jemu. Itu tandanya, burung-burung itu menyediakan sarangnya selain demi mereka sendiri juga bagi kita para manusia. Apakah keteranganku bisa kau mengerti, Sari?”

Si adik, tak menyahut, ia hanya memejamkan matanya dan menyandarkan diri pada abangnya. Ia sudah amat mengantuk. Mereka memasuki rumah. Dan malam itu, tidak pernah terlintas kembali pertanyaan dan jawaban yang amat berlarut-larut itu pada benak Prabawa dan Sarilaut yang lelah bermain seharian di pantai.

Keduanya cepat tertidur selesai makan malam nasi liwet dan goringan ikan laut yang gurih. Istirahat yang tenang, penuh kedamaian. Lelap seperti tiada persoalan apa-apa yang memberati otak dan hati. Otak dan hati kanak-kanak yang murni-bersih!

Sarilaut dan Prabawa; adik dan abang angkatnya. Sejak kanak-kanak, keduanya telah memperlihatkan kasih-sayang yang tulus. Kasih sayang orang tua Sarilaut terhadap Prabawa tidak pernah bergeser atau di ragukan oleh Prabawa, sedari usia mula hingga berangkat dewasa. Kasih sayang itu selalu membungai pelupuk matanya, di manapun ia berada.

Keluarga yang merengkuhnya dengan cinta ranum adalah keluarga yang telah menjadi keluarganya. Prabawa takkan mengelakkan kenyataan agung begini.

Malam itu Prabawa terbangun. Hawa kamarnya terasa sumuk. Kenang-kenangannya bersama Sarilaut begitu dalam nan berkesan di hati. Masa bocah di dusun terpencil! Ia menyeka keringatnya yang membasahi leher, kening, dada dan punggungnya. Ia segera melepas bajunya, tidur bertelanjang dada.

Kamar ini tidak berjendela. Dan ia terbangun karna mimpi itu; mimpi mengembalikan peristiwa indah yang terisi butir-butir percakapan kanak-kanak begitu lucu memikat, namun alangkah mengharukannya.

Sekarang, beberapa tahun telah berlalu. Sarilaut bukan lagi gadis cilik empat tahunan, dan Prabawa bukan lagi bocah lanang asuhan paman Waneng-driya di Kutawinangu. Ia tidak ingat lagi, beberapa puluh pal jarak Kutawilangu dari desanya dahulu. Yang ia ingat, setelah ia dan Sarilaut menginjak kota Kutawilangu, paman Wanengdriya yang menjadi kemasan sang Adipati itu, tidak diperbolehkannya meninggalkan lingkaran benteng yang mengikat itu.

Gurit senyum perawan cilik itu terbayang kembali. Tapi sekarang, ia merasakan betapa jauhnya jarak yang memisahkan dirinya dengan Sarilaut. Jarang ia bisa bicara bebas mesra dan santai seperti dahulu, sewaktu masih di dusun dengan Sarilaut yang remaja itu. Prabawa jadi heran dengan dirinya sendiri. Ia merasakan pengaruh lingkungan yang di tempatinya, dan kekuasaan sang paman, kemewahan seputarnya, setelah menjauh jarak itu.

Lebih dari pada itu, ia merasa bahwa gerak-geriknya tidak sebebas dulu. Ia kini berada dibawah pengawasan sepasang mata gadis remaja yang amat di cintainya, yakni Saraswati, putri kemasan Wenengdriya. Gadis yang tidak diizinkannya terlalu akrab dengan Sarilaut.

Pernah suatu hari, ia menimbahkan air untuk Sarilaut yang mandi di sumur. Waktu itu baru beberapa bulan ia berada di rumah Sarilaut, yang masih dalam rangka menyesuikan dengan lingkungan yang dianggapnya jauh berbeda dengan suasana di dusun dahulu. Setiap hari, dua kali Prabawa mengisi kulah untuk mandi keluarga kemasan Wenengdriya.

Dahulu, pekerjaan ini dilakukan oleh para abdi. Tapi semenjak Prabawa memasuki lingkungan keluarga tadi, tugas tersebut diambil-alihnya, bukan atas perintah Paman, melainkan atas kesadaran sendiri, bahwa ia sebagai pemuda, tidak sepantasnya berpangku tangan. Pekerjaan itu dianggap ringan saja, malahan sambil berolah raga ia bisa melakukannya; Prabawa tidak pernah manjakan dirinya sendiri. Sebagaimana sering di lakukannya di desa, mandi di sungai atau belik, bersama Sarilaut.

Setelah ia membiasakan diri mandi di kulah, ia menganggap tidak selayaknya mencontoh begitu saja kebiasaan ini tanpa pertimbangan apa pun. Sesekali saja, ia langsung mandi di kulah yang telah di isinya penuh-penuh. Ia lebih sering mandi langsung dari sumur dengan mengambilnya lewat kerekan dan timba dari daun enau itu.

Dan menginginkan Sarilaut suka mencontoh perbuatannya itu. Ketika mengambil air dan mandi itu, Prabawa bisa mencari waktu tepat saat keluarganya belum bangan, yakni dinihari. Prabawa menimba air dan Sarilaut mandi di dekat itu juga. Atau bila waktunya mendesak, mereka mandi bersama dengan guyuran air dari timba daun enau itu. Terasa segar air sumur itu. Tapi betapa terkejutnya Prabawa, ketika Saraswati berteriak, demi melihat abang dan adik itu mandi bersama di situ.

“hai, hai, bukan main! Apakah kalian mesra-mesraan sepagi ini di situ, ha? Adat mana gerangan kalian anut. Adat desa? Adat gunung? Jejaka dan perawan mandi bersama di tempat terbuka? Samber geledek!” ucapannya sangat pedas dan memerahkan telinga, baik Prabawa maupun Sarilaut. Matanya pedas, ia menggigit bibir. Lontaran kata-kata Saraswati di anggapnya keterlaluan.

Namun ia mau apa, kalau Pamannya maupun Bibinya membenarkan ucapan-ucapan anak tunggalnya itu. Prabawa mengalah, mandi sendirian di sumur, di tempat terbuka. Sedangkan Sarilaut mandi di kulah dengan kesempatan terakhir, sesudah paman, bibi dan adik misannya selesai mandi puas-puas di tempat itu. Kemarahan Saraswati itu mula-mula di anggapnya biasa saja, sebagai peringatan terhadap anggota keluarga yang belum terbiasa dengan kebiasaan setempat.

Hanya lama-kelamaan, Prabawa mulai meraba, ada titik-titik yang membuat darahnya tersirap. Ia bisa menduga apa yang tergerak di dada putri kemasan Wanengdriya itu. Ia tahu, karna naluri keperjakaannya berbicara tepat. Ia tahu, Saraswati mencintainya.

Haruskah Prabawa menjawab suara hati gadis hitam-manis ini? Ah, sukar menjawabnya. Saraswati bagai ingin memiliki pemuda itu buat dirinya sendiri. Di rumah ayahnya, dimana ia mempunyai hak besar dan menjadi pusat perhatian, Saraswati tidak mungkin di kendalikan. Ia bisa meledak sewaktu-waktu manakala kehendaknya tidak di kabulkan orang tuanya. Ia bisa mengumpat-umpat bila tidak mendapat pakaian indah dan mahal.

Dan orang tuanya takut, kalau Saraswati sakit lantaran kecewa. Ia pantang ditolak apalagi mengenai Prabawa. Waneng-driya memang pernah berangan-angan untuk mengangkat Prabawa sebagai menantu, sekaligus penerus pekerjaan yang langka tapi terhormat bagi daerah itu, pekerjaan kemasan.

Dalam hal ini, apalah keberatannya. Prabawa masih jejaka dan anak angkat saudara ki Wanengdriya sendiri. Cukup banyak alasan maton sebagai penguat baginya. Dan Prabawa sungguh mempunyai bakat besar dalam mengukir emas. Hanya beberapa bulan ia mempelajarinya langsung dari paman dan anak buahnya, setelah itu ia mahir memainkan pahat-mengukir. Tangannya terasa hidup, dan paman yakin, kelak Prabawa akan menjadi kemasan pilih tanding di kota itu.

Prabawa duduk termenung di atas tempat tidurnya. Tiba-tiba ia merasa asing dengan dirinya, dengan lingkungan, asing dengan segala yang dicintainya dulu, “aku sudah banyak berubah.” pikirannya. “dua tahun lebih ia mukim disini. Oh, tiga tahun hampir. Aku pernah mengatakan pada Sarilaut bahwa apapun yang terjadi, aku akan selalu disisinya. Aku setia menda-mpinginya, sebagaimana ia telah mengucapkan prsetyanya dulu.”

Lalu prabawa berdesah. Suasana, jaman, tempat, pergantian pemikiran, telah membuat semuanya berubah. Sarilaut yang cantik pernah diidamkannya sebagai ibu anak-anaknya kelak. Sarilaut yang manja dan kebocahan, mengisi hari-harinya yang kosong selama tinggal di desa. Sarilaut yang manis, suka mengalah namun keras hati. Prabawa seakan kini terbantun dari bumi kenangan, kecintaan serta kerinduannya akan gadis molek itu. Ia bukan lagi milik Sarilaut. Sarilaut bukan lagi miliknya.

Yang meniadakannya adalah ruang, manusia dan paksaan-paksaan dunia sekeliling yang menjadikannya sebagai boneka. Ya, boneka di tengah keluarga Wanengdriya. Mengapa ia diam bagai kerbau di cocok hidungnya, patuh dan tak berani melawan?

Satu sebabnya; ia berutang budi kepada keluarga paman Sarilaut ini. Kemasan Wenengdriya telah mencabut Prabawa dari akar-akar pedusunan, membimbingnya ke dunia baru; dunia solek kota, dunia yang dekat dengan para priyayi; dunia tempat martabat menjadi bahan pameran.

Sungguh, dalam senyap begini, ia ingin berteriak, meneriakkan nama gadis Sarilaut. Apakah daya sekarang? Apabila Prabawa enggan dengan paksaan serta keterpenjaraan begini; ia boleh enyah kembali ke desa. Namun dengan begitu, ia kehilangan kesempatan buat meraih hari esok yang cerah.

Kota dapat mengantarnya ke pintu gerbang kemuliaan. Ia bisa menjadi priyayi, ahli, pembesar, bangsawan, atau apa saja yang diidamkan oleh seorang pecinta hidup. Kota adalah pusat pemerintahan yang memungkinkan insan-insan kuat menggayuh drajat setinggi mungkin. Kehilangan kesempatan itu berarti hancur kelembah kehinaan.

Orang tua Sarilaut di desa telah mengirimkannya bersama gadis itu ke kota untuk mencapai cita-cita itu. Ya, mereka tidak berbicara seperti itu jelas-jelas kepadanya. Tapi Prabawa merasakan dengan sentuhan jiwanya, bahwa ini kurang lebih yang didambakan oleh orang tua Sarilaut.

Jika ia balik ke desa sunyi, maka yang akan di temuinya adalah keterbatasan. Keterbatasan angan, harapan, cita-cita. Ia akan seperti katak di bawah tempurung. Akan cuma menjadi petani, peladang, nelayan, seperti orang-orang sekampung, tidak pernah berubah hingga berpuluh tahun. Maka dengan hati tersayat, ia mencoba bertahan di bawah naungan serta bimbingan ki kemasan itu.

Dengan tersendat ia kudu berani menerima kenyataan yang menyeringai, dan menelannya itu. Kalau perlu, ia kehilangan Sarilaut. Dalam soal ini, ia bukan melihat dari Saraswati sebagai mutiara yang diketemukannya. Ia mencoba berpegangan pada tebing, dimana akar-akar serabut pohon kehidupan-nya nyaris rantas terangkut gempa. Dengan menerima kehadiran perempu-an hitam manis itu di pangkuannya, sama memapah keluhuran hayat yang didambanya, keluarganya, orang-orang tercintanya.

Kendati pun, Prabawa mesti menahan isak batinnya. Ia takkan tertawa renyah lagi bila berhadapan dengan Sarilaut, oleh mata paman, Bibi dan putrinya itu menatapnya tajam-tajam, apalagi berani mencubit lengan Sari, atau mencumbui seperti dulu. Ia mesti menghadapi Sarilaut dengan kekakuan, sikap yang dibuat-buat, agar segalanya nampak, bahwa ia dan Sari hanya berhubungan sebagai kakak dan adik, tak lebih.

“kalian telah menjadi jejaka dan perawan. Tak baik bergurau mesra begitu seperti bocah. Sungguh, tidak enak dilihat orang,” demikian Bibinya menegaskan kata-kata ini, sewaktu ia melihat Prabawa menjentik dagu adiknya itu dekat pintu senthong. Dan Prabawa patuh. Tapi lain halnya bila ia mencubit lengan Saraswati, atau memandangnya lama-lama dengan mesra, Paman dan Bibi nampak begitu berbahagia, menyambutnya dengan senyum ikhlas.

Alangkah gelisanya Prabawa malam itu. Ia berjalan mondar-mandir dari satu ruangan keruangan lain yang belum terkunci. Tubuhnya masih berpeluh. Mimpinya tentang masa kecil di Karang Bolong telah menyebabkan kegundahan tidak berhingga. Ia membolak-balik pikirannya.

Kalau aku menolak keadaan ini, aku takkan merebut sesuatu pun di kelak kemudian hari. Kalau aku tampik uluran tangan ki kemasan Wenengdriya maka suatu hari, aku bakal hidup kehampaan. Aku pulang ke kampung. Wajah-wajah mencibir di balik punggungku. Suara-suara nyaring dan bisik-bisik tersebar. Orang-orang tua menunjuk diriku sebagai pribadi gagal. “lihatlah anakku, jangan seperti Prabawa itu.

Jauh-jauh ia meninggalkan desanya, katanya untuk mengadu nasib. Tapi lihatlah, apa buktinya sekarang? Ia tidak peroleh pangkat, tidak dapat bintang. Ia tidak kuat derajat, kembali kemari sebagai pengembala kambing!”

O, betapa hinanya, andai hal itu terjadi. Bukan hanya ia seorang akan malu. Orang tua angkatnya dan keluarga-keluarga dekat yang dikenalnya juga bakal menanggung malu akibat goyah langkah, gagalnya tujuan, kekandasannya.

Dengan tak terasa, ia sampai ke senthong sebelah barat. Senthong pribadi paman Wenengdriya. Sebenarnya ia tidak ingin ke situ malam-malam larut seperti itu. Tetapi langkah kakinya yang berat terseret, telah terdengar oleh orang yang asik bekerja di dalam senthong itu. Pintu kamar terbuka dan paman melongokkan kepalanya.

“siapa itu? He he he, kau prabawa” sapanya ramah di sertai mata berkejap-kejap. “saya, paman,” sahut Prabawa yang ragu-ragu. “paman, ya. Begini larut malam belum juga mengaso.” “kau juga belum. Aku kalau mendapat tugas, tak mungkin tidur sore-sore, ngger.”

Prabawa masuk, dan duduk di setengtang kaki paman kemasan. Di atas ambin kecil, paman duduk. Di depannya terdapat meja bundar pualam, berkaki rendah. Pada meja licin itu terlihat sebuah mahkota terbuat dari emas. Untaian mutiara dan berlian kecil-kecil menghiasi lengkung-lengkungannya, jalur-jalur dan pucuk lingkaran mahkota itu.

Paman kemasan sedang membenahi letak butiran-butiran benda berharga itu pada jajarannya yang tepat. Sejumlah peralatan tatah, perekat emas tahan api, siap di ujung kakinya. Tak-tik-tik-tok-tak-tik, demikian kedengaran suara tatahan yang jatuh pada lengkung keemasan itu. Karya yang membutuhkan kecermatan, ketekunan, kecintaan luarbiasa.

“dua pekan lagi, haruslah mahkota ini rampung, ngger,”ujar ki kemasan dengan gerak tangan bertaut pada benda yang menjadi pusat perhatiannya itu. “siapa yang memesannya, paman?” tanya prabawa dalam nada kagum. “seorang bangsawan tinggi. Maaf, aku tidak sedikit pun memperlihatkan mahkota ini. Aku kira, belum saatnya kau ikut membantu pekerjaan yang rumit ini. Kau masih serat dengan pekerjaan-pekerjaan harian yang harus kau selesaikan secepatnya, toh.”

Prabawa menyimak pekerjaan pamannya itu. Baru pertama kali ia melihat ramuan emas-permata-manikam yang begitu indah. Raja manakah yang akan mengenakannya? Bangsawan manakah bakal menghiaskan benda mahal berharga itu ke atas kepalanya?

“ku kerjakan seorang diri, nak. Tiga bulan lamanya. Mulai tengah malam, hingga fajar menyingsing. Memang begitulah waktu yang layak buat menggarap perhiasan ini. Karena disamping mahkota sebagai barang hiasan, ia punya nilai mukjijat. Sebab itu hanya melalui tirakat, tapabrata, nilai seperti itu terhayati.”

“Oh, mengagumkan. Sebutkanlah paman, bangsawan mana yang memesannya.” Itulah kali pertamanya prabawa menyaksikan hasil karya rangkuman emas murni yang demikian bagus. Sungguh tak mengherankan bila orang menjuluki ki Wenengdriya sebagai satu-satunya kemasan tangguh di kota ini. Tiba-tiba terbesit sesuatu di kepala Prabawa.

“untung, aku menyadari keadaanku disini. Patut aku berguru kepadanya, menjadi pendampingnya. Banyak pengalaman dan kecakapan yang ku peroleh melalui cara ini.” Ia beruntung bahwa paman Wenengdriya bukan seorang yang kikir dengan jenis ketrampilan yang di milikinya. Dengan suka rela ia akan menularkan ilmunya itu kepada Prabawa.

“kalau begitu, dua pekan lagi, mahkota itu siap untuk jumenengan raja,” serta merta Prabawa berbicara asal tebak. Tetapi paman hanya manggut sekilas, kemudian memperbaiki sikap ini dengan ucapannya, “Emmm, ya. Harus siap di pakai, atau siap disimpan sama saja. Sebetulnya sudah kadaluwarsa sebagai hiasan untuk jumenengan Sribaginda. Sinuhun itu telah setahun berada di atas tahta kesunanan surakarta adiningrat, anakku.

Nah, nak, adapun mahkota ini di pesan oleh kanjeng bupati Arungbinang, untuk di persembahkan ke hadapan yang mulia baginda. Sepintas lalu, persembahan ini kadaluwarsa. Tapi pada asasnya, tak dapat dikatakan begitu. Karena, persembahan ini bakal di peruntungkan bagi hari ulang tahun panobatan itu. Kukira baginda akan sangat berterima kasih, bahkan amat berbahagia.

Emas murni yang di peruntungkan sebagai bahan baku mahkota ini seutuhnya berasal dari hasil pendapatan daerah kota Winangu sendiri. Kanjeng bupati mengatakan, para bupati jajahan Surakarta berlomba-lomba memper-sembahkan kenang-kenangan sebagai penghormatan bagi perayaan ulang tahun panobatan Sinuhu yang mulia.” “paman tak kuatir, kalau benda-benda berharga itu lenyap? Begitu besar nilainya, paman. Sebaiknya di simpan di tempat aman, terlindung, lepas dari pengamatan orang lain.”

Hal ini membikin kemasan tua itu tertawa renyai. “Ah, kau ini ada-ada saja. Emas segudang boleh saja mereka telan. Tapi maling manakah yang cukup gila mencuri sebuah mahkota berharga yang sama harganya dengan nilai sebuah negeri.” “O, tapi maksudku, dalam senthong seperti ini, bila kita lalai, mudah saja orang-orang jahat memasukinya. Siapa tahu, emas yang tak terkatakan harganya ini hilang di curi orang yang kebetulan lewat di sini dan tertarik untuk meraihnya.”

“Ah, kau,” sang paman ketawa. Ia melirik sedikit, kemudian tangannya sudah bermain dengan lincahnya: tik, tik, tak, tik, tok, tak. Kerlip-kerlipan mata beberapa ular naga yang berbelitan ekornya, di atas mana terdapat jambangan berisi tajuk teratai, demikian pola ukiran pada mahkota itu.

Moga-moga saja itu tidak terjadi, nak. Orang setua aku ini dapat dipercaya. Barang ini tersimpan primpen sekali dalam sebuah peti terkunci rapat. Hanya pada saat itu di butuhkan, ia akan keluar dari peti itu. Kanjeng bupati sendiri yang akan menjemputnya, kemudian kami akan bersama satu rombongan pembawa persembahan ini ke ibu kota Kasunanan Surakarta Adiningrat. Hebat, toh?”

Lalu mereka berbicara tentang pola-pola ukiran, batu-batu mulia, kadar emas, dan kemajuan yang bisa dicapai kelompok pengukir emas yang dihimpun oleh ki kemasan Wenengdriya itu. Pembicaraan yang tak pernah akan kering akan bahan, lantaran diucapkan oleh pecinta, pengudi.

Kemudian percakapan beralih kepada masalah-masalah dalam negeri Kutawinangun. Dalamhal ini Prabawa lebih banyak sebagai pendengar. Ia ingin tahu lebih jembar lagi tentang negerinya itu. Bukankah ia telah bertekad untuk mengabdikan diri kepada Kutawinangun? Jalan ke arah itu bakal terambah berkat pengarahan paman yang dermawan ini.

Kala terdengar kokok ayam ke dua, Prabawa meninggal-kan senthong paman ini dengan pikiran lebih serat oleh harapan-harapan serta tambahannya kesadaran terhadap hayat ini. “aku sudah tua, semakin tua malah. Aku sudah sewajarnya berfikir kepada siapa pekerjaan berat yang memerlukan tumpahan cinta besar ini ku hibahkan. Kupikir, kau Prabawa, akan banyak membantu dalam usaha-usahaku di masa datang.” Prabawa insyap karena mengerti, betapa sang Paman mengharapkannya untuk satu tanggung jawab yang luas.

Sambil mendengarkan langkah kakinya menapaki ubin rumah pada larut malam itu, Prabawa memamah perkataan-perkataan yang barusan diucapkan sang paman. Ia lalu menghubungkan dengan kata-kata itu dengan apa yang pernah pula di ucapkan ki kemasan itu bulan-bulan sebelumnya, tatkala paman itu melihat Prabawa melamun dekat tritisan.

Kemasan tua ini berjongkok di sebelah kirinya. Tercium bau asap klembakmenyan dan kemudian ia bicara. “tujukkan, bahwa kau benar-benar lelaki dewasa, Prabawa. Sesuaikan perangaimu dengan usia yang kau sandang. Aku tak melarangmu bergaul rapat dengan Sarilaut, adikmu itu. Namun kau mesti tahu batas. Tahu menjaga diri. Ingatlah, disini banyak abdi kemasan. Mereka bisa saja membikin omongan yang bukan-bukan kalau melihat kalian bergurau cubit-cubitan dan tertawa keras seperti beberapa hari lewat. Kewajaran sikap sebagaimana antara kakak dan adik, itulah yang kami harapkan.”

Kemudian paman itu menghembuskan asap rokoknya, dan bersuara lebih lirih. “Dan, kalau jejaka dewasa kini. Kalau tahu, bahwa anakku, ya... anakku Saraswati… nampaknya amat mencintaimu, Prabawa. Aku maklumi kegelisahan hatinya akhir-akhir ini. Kulihat betapa ia mencoba memerangi perasaan dalam dirinya. Apakah kau, prabawa, bisa memahami perasaannya itu?”

Prabawa lama tidak menanggapi perkataan ini. Hanya terdengar keluhnya dan ia terpekur. Memang, bukannya tidak tahu. Ia cukup dewasa untuk membaca hati serta perasaan-perasaan perempuan yang terkaca lewat matanya. Ia hanya bingung sekarang, bagaimana kudu berbicara dengan ki kemasan sendiri mengenai soal yang satu ini.

Prabawa belum siap untuk mengambil keputusan. Jalan yang terbentang di depannya masih begitu panjang, dan tidak tahu di mana ujungnya. Maka ia pun membisu saja. Dan ki kemasan meninggalkannya dengan suara yang terdengar mirip rintihan itu.

“Pikirlah baik-baik, anakku, ia sungguh berharap dan berharap barangkali kau sudi mempertimbangkan sesuatu dari sudutmu yang terbaik, Nak, paman ingin penjagaan, keselamatan dan… dari saraswati, kuserahkan dalam dirimu.” ki kemasan berlalu dari tempat itu.

Tinggal prabawa termangu dalam sepi. Langkah kaki Prabawa memantuli lorong-lorong di rumah itu. Dan terbayang kembali wajah Sarilaut, sang adik angkat yang berada dalam satu lingkungan; dekat, dekat dengan dirinya, yang sangat ia rindukan di malam itu. Entah apa sebabnya oleh mimpi itukah gerangan? Mimpi tentang masa kecil yang manis?

Seandainya ia tidak pergi ke kota dan tidak memasuki rumah paman kemasan Wanengdriya, karenanya tidak mungkin semua ini merisaukan. Ia banyak bedanya. Ia melihat mata, gerak tubuh dan cara Sari menunggang kuda, atau memasak, memberi perintah kepada abdi-abdi di situ.

Tetapi ia tak dapat, atau lebih tepat dikatakan: tak boleh menjamah perwujudan yang sekian lama ia kasihi. Karena itu ia mencoba mengatasi kerinduan yang memekat ini dengan makin menenggelamkan diri kedalam kesibukan-kesibukan keras dan menyita hari-harinya di rumah ki kemasan.

Tapi bila telah mengaso dari pekerjaan, dan kembali berada di kamar, ia tergoda pula oleh bayangan raut paras remaja yang tak berdosa itu. Kadang-kadang terisi oleh kehadiran Saraswati yang membujuknya, memesrainya, melengkapkan kepaduan cinta muda yang lembut. Namun rasa jiwanya sendiri belum mampu menggenggam sosok gadis ini sebagai pengganti Sarilaut.

Dan setiap ia berduaan dengan Saraswati di kamar ini, sebentar kemudian ia mendengar pintu gedogan dibuka orang, lalu terdengar derap kaki kuda Sarilaut yang dicongklang, dan setelah itu derapnya menjauh dan menjauh. Ciuman-ciuman Saraswati membenamkannya pada kepasrahan melekapkannya dalam-dalam. Prabawa menerima pelukan hangat itu untuk yang kesekian kalinya. Ia lebur dalam kesatunafasan.

Malam itu Prabawa pelan-pelan menuju senthong Sarilaut yang terlatak paling ujung dari kamar-kamar yang berderet di Dalem kulon. Hal begini acap kali dilakukannya selewat waktu malam. Meski hanya untuk melihat sejenguk, tidak lebih.

Kadangkala, bila keresahan sukmanya memuncak, tidak dapat dibendung hasratnya untuk bertemu dengan Sarilaut. Bertemu muka, berbincang-bincang, saling menatap, saling menggoda. Ah, ini mustahil dapat ia lakukan sekarang, setelah Saraswarti merampasnya dari adik angkatnya itu. Jadi Prabawa hanya dapat menahan nafas. Siang hari ia cuma bisa memperhatikan sosok serta solah-tingkah Sarilaut dari tempat ia bekerja.

Malam hari pun hanya bisa memandangi perawan ini bergulung sunyi di ranjangnya. Akan mungkinkah Prabawa malam itu menyentuh Sarilaut? Mungkinkah ia meraba kulit dan hati gadis yang belakangan ini seperti menghindar-hindar setiap pertemuan bakal terjadi? Atau, malah ia sendiri yang menghindari Sarilaut demi menjaga perasan ”kesopanan” keluarga ki kemasan yang ia hormati setinggi-tingginya itu?

Seperti didorongkan oleh tenaga diluar kemauannya, Prabawa berjingkat-jingkat menuju ke kamar adik angkat yang di rinduinya. Temaram lampu clupak masih menerangi kamar itu. Slarak pintu tidak terpasang, alamat kamar tidak terkunci. Perlahan prabawa membuka pintu. Tampaklah Sari tidur menelungkup dengan muka yang di benamkan pada bantal putih. Hatinya tersayat. Prabawa menutup pintu itu pula.

Dengan hati-hati didekatinya si adik. Ah, Sarilaut biasanya tidur berselimut. Kali ini, pada larut yang dingin, perawan ini tidur dengan sehelai kain kawung agak lusuh yang tersampir begitu saja pada badannya. Punggungnya terbuka. Prabawa duduk di tepi ranjang.

Di rapatkannya kain itu hingga bahu, lalu jejaka ini mengelus rambut Sarilaut yang panjang legam ini. Gadis itu nampak kaget oleh kedatangan Prabawa. Ia membalikkan tubuh-nya. Ketika di ketahuinya bahwa lelaki muda ini mengayuh lengannya, Sarilaut cepat-cepat menarik kainnya ke atas sehingga sebagian buah dadanya yang kelihatan tadi, kini tertutup.

“Sarilaut, adikku sayang,” bisik Prabawa dengan keharuan yang sangat. Direngkuhnya gadis itu ke dadanya. Di luar dugaan, Sarilaut meronta. Mata Sari yang biasanya sejuk dan teduh itu kini memandangnya asing. Teramat asing malah, sehingga membuat Prabawa bagai ditempalak. “Sari, alangkah jauh dirimu berubah,” desisnya. Tapi Sarilaut hanyalah bergumam, “tidak. Tidak. Kau, kau jangan mendekatiku.”

“adakah Sarilaut betul-betul tidak menghendaki kedatanganku? Kau marah?” bisik Prabawa seraya mengelus rambut anak perawan ini. Rambut-rambut yang membaruti kening itu dipiyakannya ke belakang. Baru prabawa tahu, bahwa mata Sari membengkak. Terang, sedari tadi, Sari menangis dan menangis. Ketika Prabawa memperhatikan mata yang sembab itu, sudut-sudut mata Sarilaut basah, dan butiran air mata meleleh ke pipinya.

“Sari, Sari. Mengapa kau begitu sedih. Dan tatapanmu asing terasa.” “jangan mendekat. Kakang… kakang Bawa. Jangan.” Suara Sari gemetar. Tubuhnya berguncang. Dan sekejap ia tenggelam dalam isyaknya yang meredam.

Prabawa merengkuhnya. Di pandanginya pelupuk mata yang membendul karna banyak menangis ini. Parasmu, alangkah pucat, Sari. Tubuhmu semakin kurus. Aku baru kali inilah memperhatikan perubahan pada dirimu. Baru kali ini pula aku sempat mendengar tangismu dekat, dan dekat. Tangis yang terpantul dari kedukaan dalam. Tangis yang kau curahkan ke dadaku, si abang sayang. Tangis dan tangis.

Tetapi derita apakah gerangan yang kau pendam selama ini? Berbulan-bulan lamanya mereka saling pandang, saling melihat. Tapi tak pernah tatap muka atau berbicara dari hati ke hati. Dan malam ini, Prabawa menciumi rambut gadis yang ia rindukan. Ketika tangis adik itu mereda, Prabawa mengecup keningnya.

Kerongkongannya bagai tersumbat. Bibir mungil Sarilaut yang menggeletar itu di kecupnya pula. Lembut dan penuh kasih sayang. Seakan-akan ia ingin tumpahkan sejuta kangen, sejuta rindu tertahan. Dan beberapa menit kemudian, suara yang terakhir dari bibir mungil itu hanya sepatah-patah, “ kakang… kakang… kang Prabawa. Aku, aku sendirian, kakang.”

“Sari, kau tidak sendirian, dik. Kakangmu Prabawa ada di sampingmu.” “tapi, kang. Kau telah meninggalkanku. Sari tidak berdaya menghadapi cobaan ini. Kepada siapa lagi Sari harus menggantungkan diri. Aku hanyut dan hancur.”

Lalu, tangis kembali berbuyuh dan dada Prabawa merasakan goncangan dari gadis yang selama ini merasa di sia-siakan olehnya. Sendirian, menangisi sunyi yang merongga.

“apa artinya hidup, jika Sari tidak memperoleh kasih sayang sejati? Sari di manjakan pula di rumah ini. Tetapi Sari tidak boleh mendekati kakang. Mereka, mereka memarahi Sari jika melihat Sari menghampiri kakang Bawa. Apa artinya Sari ini…”

“O, adikku sayang. Semua ini jangan kau lihat dari pahitnya saja, dik. Benar kita menerima cobaan. Tapi cobaan itu bagi makhluk yang kuat. Orang yang lemah niscaya hancur merana karena imannya tidak kuat. Sedang kita anak keluarga tahan prihatin. Tahan menderita. Kita harus tabah. Berbahagialah orang yang bisa mengalah, demi memperoleh kemenangan dari yang maha pengasih.”

“apakah kang Bawa…benar-benar tak melupakan Sari?” “percayalah, sayang. Kang bawa tidak pernah menghianati cinta kita yang telah berkembang. Kita memang belum berhak memetik keranuman cinta itu dalam waktu dekat, dik. Kerena apa? Kita masih dalam laku, dalam perjalanan. Semua yang kita temui di rumah ini, mesti kita hayati sebagaimana harusnya seorang pendatang yang memasuki negeri baru. Kita menyesuikan, mengambil pati dari kejadian yang berlangsung.”

“apakah dalam hubunganmu dengan Saraswati juga demikian, kakang? Tanya Sarilaut seraya memandang tenang-tenang pada abang angkat yang juga kekasihnya. Prabawa memagutnya erat. Mengelusi rambutnya, mengecupi leher-nya. Meremasi tangannya yang halus terbuka. Memeluknya, seakan ia tidak punya waktu lagi untuk menikmati kehangatan cinta ini.

“kau Sarilaut milikku satu-satunya di dunia ini. Berdosalah namanya kalau aku segampang ini menghapus namamu yang indah-suci dari kalbuku. Berdosalah aku kalau semudah itu melupakan jasa-jasa orang tuamu yang telah memelihara serta mengasuhku sejak kecil.”

“hanya lantaran angin membalas budi itukah kakang mengucapkan cinta kepadaku,” Tanya Sarilaut tiba-tiba. Bibirnya dekat dengan telinga laki-laki itu. Pada rengkuhan ke dada kekasihnya yang bidang, Sarilaut kepingin menanyakan apa yang selama ini merupakan keraguan baginya. Keraguan mencucuk-cucuk. Yang membendalkan-nya kesebuah lembah yang cengkar.

Dan tiba-tiba Prabawa menarik kedua belah tangan Sari, kemudian ia mendekatkan mukanya ke wajah gadis itu. Garis-garis paras yang dihapalnya, yang di resapinya, sampai pun terbawa mimpi. Paras itu putih kepucatan bagai tak berdarah.

“bukan karena sekadar ingin membalas guna, Sari,” ungkapnya tegas. “aku bahkan mulai berfikir, bahwa kenyataan hidup mengharuskan kita langsung berhadapan dengan kekerasa tuntutan jalang, bahkan kalau perlu; kepatahan dan maut. Aku berterimakasih atas perawatan kasih orang tuamu.

Di samping itu aku perlu mewujudkan makna terima kasih ini dengan perbuatan nyata yang mewakili kejantananku. Salah satu bukti kejantanan ini adalah mengisi dirimu, hari esok, memulai jembatan perjuangan yang sedang ku tempuh. Masa pengabdianku di rumah paman kemasan ini adalah masa yang kumaksudkan itu, Sari. Dengan cara demikian aku ingin memperlihatkan kepadamu, kepada satu-satunya gadis yang ku cintai di dunia ini, bahwa aku adalah lalaki sejati.”

Sarilaut menatap mata pemuda itu. Mata itu tajam, tetapi ia masih mampu menatapnya seperti dahulu. Dan Sari menemukan kerindangan kasih pada mata itu. Kerindangan kasih tempatnya bernaungan. Sari bergayutan pada sulur-sulur-nya, bergayutan kuat-kuat. Malam itu Prabawa menginsafi, betapa Sari membutuh -kannya, dan ia pun membutuhkannya; ia tak ingin melepaskannya barang sedetik. Ia reguk kesejukan telaga jernih yang kemilau.

Dalam telaga jernih itu pula ia menyelam dan berenang bebas, nikmat, leluasa, merasa tiada terhambat-hambat. Bagai layaknya seekor ikan berkecimpung di sungai yang telah di kenalnya. Renangan yang mengantarkan kedua ingsan yang saling mencintai itu ke telempap-telempap bumi yang mengapungkannya, untuk kemudian melontarkan-nya tinggi-tinggi, sampai tinggal keletihan yang tersisa dari perjalanan ini.

Akhirnya tetes-tetes keringat jua berlelehan ke sekujur badan, dan mata yang terpejam telah membukakan kelopaknya. Baru keduanya sadar ketika kokok ayam ketiga terdengar nyaring, menjagakan mereka dari persinggahan yang menghanyutkan. Keduanya terlentang memandangi langitlangit kamar. Kemudian Prabawa memandang kekasihnya.

Tersenyum, ia pun melihat senyum melengkung atas bibir mungil yang basah. Wajah pucat itu kini telah kemerahan, segar dan sehat. Senyum yang melukiskan perasaan puas tiada bertara. Prabawa mengecup kembali bibir itu. Di reguknya puas-puas, kemudian ia membisikkan kata-kata pembangkit semangat kehidupan ke telinga Sarilaut. Yang nyaris patah-patah itu.

Keduanya bangkit dan mengenakan pakaian kembali. Semenit setelah itu, pintu bergerit, dan Prabawa telah berada di luar. Di hirupnya udara subuh yang nyaman, dan kedua tangannya terangkat ke atas, melonggarkan rongga-rongga dadanya yang serasa sesak.

Tatkala menuju ke senthongannya kembali, Prabawa melalui lorong kecil pula, dan lorong itu menuju kamar Saraswati. Sesampai di depan kamar itu ia terkejut. Pintu kamar telah terkuak lebar. Biasanya tidak sepagi itu Saraswati bangun. Maka segeralah Prabawa masuk ke dalamnya. Dilihat Saraswati duduk di kursi dengan kepala menangkup ke meja. Perlahan Prabawa menyentuh bahu Saraswati dan bisiknya, “Wati, Wati. Sakitkah engkau? Mengapa bangun sedini ini?”

Saraswati mengangkat wajahnya. Rambutnya kusut, ia menggeleng lemah. Setelah menekurkan kepala seperti berfikir, baru ia bilang serak; “aku tak dapat tidur, kang Bawa. Hawa teramat sumuk. Aku berjalan-jalan ke kebun belakang, kemudian menemani ayah sebentar. Sesudah itu aku masuk pula ke kamar dan minum air seteguk. Aku pusing.”

Begitu pula aku. Habis jalan-jalan, aku juga ke depan menemui ayah. Mungkin kau datang ke sana sebelum aku, bukan? Kami mengobrol sampai lama. Lalu aku kemari.”

“mengapa kau melalui lorong sebelah sana? dari kamar mandi?” Tanya Saraswati dengan mata menyelidik. Tetapi Prabawa dapat mengelakkan sorot mata yang berisi kecurigaan itu, lantas menjawab cerdik, “aku buang air bentar, perutku mulas sekali. O, ya, maukah adik membuatkan kopi bagiku?”

“kopi, he? Kakang kan mulas. Tak baik minum kopi. Lebih baik wedang pokak saja. Baiklah ku buatkan bagimu” kata Saraswati pula seraya berdiri menuju ke dapur. Tidak, Saraswati tidak melihatnya waktu ia masuk ke dalam kamar Sari tadi. Nah, syukurlah kalau demikian.

Andainya dik Wati tahu, kemudian memaksa ku berkata jujur, apa boleh buat. Aku hanya menjenguk adikku karna mendengar dari seorang abdi, bahwa Sarilaut sakit. Sebentar kemudian Saraswati telah mem-bawa talam dengan segelas wedang pokak di atasnya. Langsung Prabawa duduk, kemudian mengambil gelas itu dan meminumnya beberapa teguk.

“aduh segarnya. Terimah kasih, sayang. Barangkali pagi nanti aku sudah bisa membantu bapak lagi,” ujarnya manis. Wati duduk pula di sampingnya, dan berkata menggarami,” kalau kesehatan belum mengijinkan, lebih baik kakang istirahat barang sehari dua hari. Bapak tidak memaksamu.”

“ku usahakan berkerja kok, aku kan cuma sakit perut.” “baik, baiklah kalau begitu” kemudian Saraswati melondotkan badannya ke tubuh Prabawa dan berkata, “O, bajumu basah, kakang sebaiknya ku lepas, ya nanti kau masuk angin,” dan Prabawa tidak menolak, merengku Saraswati ke pangkuannya di ranjang itu. Sedetik kemudian, terdengar nafas berdesah di seling rinti tertahan. Waktu cahaya pergi berderang, barulah Prabawa meninggalkan kamar itu.

Beberapa hari kemudian, ki kemasan Wanengdriya memperlihatkan satu hasil karya yang sungguh-sungguh menabjubkan. Prabawa baru menyelesaikan pesanan seperangkat pekinangan, ketika paman itu memanggilnya ke senthong. Sore waktu itu dan prabawa melihat wajah sang paman berseri-seri.

“duduklah nak,” ujar ki kemasan menyilakan, sementara ia membuka almari berukir yang berlapis dua, masing-masing menggunakan kunci berlainan. Dari dalam almari tersebut ia mengeluarkan sebuah buntalan besar sebanyak dua buah, yang masing-masing terbuat dari beludru merah tua, dengan krepus kayu bulat lonjong yang merekatnya satu demi satu. Setelah krepus tadi di letakkan di atas meja, paman membuka kantongan sutra yang ternyata berisi mahkota emas kemarin. Setelah itu menyusul kantongan lain, yang juga berisi mahkota sama dan sebangun dengan yang di ambilnya tadi.

Prabawa melongo. Dua buah mahkota raja. Semuanya terbuat dari emas. Bukan main! Paman meletakkan mahkota-mahkota itu kepada krepus bulat panjang itu dan sisa-sisa mentari sore yang kekuningan memantulkan cerlang berkejap. Paman duduk di samping Prabawa, berkata bangga; “karyaku yang utama. Boleh kau lihat. Manakah di antara kedua mahkota ini yang murni.”

“Ah, sukar. Bagai bermimpi rasanya.” Prabawa pada beberapa hari lalu menyaksikan mahkota itu dengan takjub. Dan sekarang ia harus melipat gandakan kegaguman itu. Tapi ia adalah kemasan muda. Mesti tahu membedakan mana emas, mana mamas. Hal semacam itu telah di latihnya lewat timbinan pesanan-pesanan orang yang kudu dia rampungkan. Tapi kini, ia cuma dapat memandang muka pamannya itu seraya menggeleng bodoh.

“Tak tahu, paman. Keduanya adalah mahkota emas murni,” katanya bimbang. “Salah satu harus murni. Atau salah satu harus palsu. Mustahil kedua-duanya.” Tapi Prabawa tetap menggelengkan kepalanya, menyerah. “barang kali paman dapat mengajari aku untuk membedakan perhiasan yang asli, tanpa kudu bertaruh tentangnya.” “Justru karena itu merupakan batu ujian bagi para kemasan muda,” terdengar tawa berderai-derai paman.

“Anakku, hidup sejati sesungguhnya berkisar antara yang benar, yang tak benar, antara murni dan tidak murni, yang asli dan palsu. Manusia teruji untuk memilih satu yang terluhur baginya, yakni sejati. Bila belum berhasil menemukan nya, berarti masih oleng biduk nuraninya. Ah, aku tidak berfilsafat. Akan tetapi ini sekadar memperbandingkan dua ufuk pandangan dengan sikap hidup yang selaras dengan kebenaran. Oya, nanti ku jelaskan, mengapa harus dibuat dua mahkota.”

Paman menghisap rokok klembak menyan. Prabawa mengiling-iling kedua benda berharga itu ganti-berganti. Dan kerena tetap ia belum menemukan kesejatian mahkota itu, maka ki kemasan bilang, “ini, ini yang disebelah kanan. Inilah mahkota asli. Emas murni. Intan permata menghiasi sekelilingnya murni. Tetapi yang di sebelah kiri itu mamas, emas tiruan. Demikian butiran-butiran permata itu tak lain hanya batu kaca biasa.”

Hening sejenak. Antara paman ini menegaskan padanya, betapa masih banyak yang kudu di serapnya sebagai calon kemasan. Pengalaman mengajarkan, kepalsuan-kepalsuan serupa itu bakal terbukti manakala sang kemasan mempunyai mata yang jeli, waspada. Ini bisa tercapai kalau orang mau mengadakan penelitian.

“Kalau kau tajam tilik, maka tidak mungkin terkecoh, ngger,” kata ki kemasan pula. “Sebelum kau gunakan alat-alat pembuktian terhadap murni tidak-nya emas yang tergubah indah sebagai hasil karya lunuhung begini. Ya kau takkan dipermain-kan oleh saudagar-saudagar yang memalsukan barangnya.”

Tiba-tiba Prabawa menanyakan kepada Paman, mengapa ia membuat tiruan mahkota itu. Sebelum ia sempat membuka mulut, Paman berkata lirih, “perjalanan membawa mahkota emas ini ke Surakarta bakal melalui alam yang penuh marabahaya.

Di sana berkeliaran begal-begal, penyamun yang tidak kenal kasihan. Maka untuk itu, kanjeng bupati Kutawinangu memerintahkan supaya di bentuk dua rombongan, yang masing-masing akan membawa mahkota ini. Mana-kala salah satu rombongan tercegat penyamun, dan mahkota bisa di rampas, maka masih ada mahkota lain sebagai penggantinya. Dalam hal ini kita berharap, keselamatan yang asli terjamin.”

(sekian).

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati