Jurnal Kebudayaan The Sandour III 2008
Hardjono WS
Pagi itu aku akan melihat sebuah tontonan di Bajangratu, candi yang berdiri megah ini menjadi saksi bahwa negeri ini pernah menjadi negeri besar dan ternama.
Ratusan tahun candi ini berdiri dan telah mengalami perbaikan supaya tidak roboh. Berdiri di atas pelataran yang ditata rapi, menyapa pengunjung dengan kesepiannya sendiri dan tidak bisa berkata apa-apa meski mampu menjadi saksi bisu tentang sejarah negeri ini.
Aneh, pagi itu menjadi lain. Umbul-umbul sebagai kebesaran negeri ini masa lampau berkelebatan ditiup angin. Mobat-mabit amat anggunnya. Berwarna-warni merah, kuning, hitam dan putih sebagai lambang hidup diri manusia. Warnapun bagi nenek moyang kita dulu amat berarti untuk mawas diri.
Pemain musik telah menempati tempatnya masing masing, dan amat sederhana. Tidak seperti pementasan pementasan yang harus diiringi gamelan. Gender, gong dan kendang mulai terdengar pelan. Makin lama makin keras dan tiba-tiba berhenti ketika kendang menyentak kemudian ditimpali suara gender amat nyaring. Nikmat terdengar. Dari arah candi muncul arak-arakan dengan segala kebesarannya meski tidak mewah.
Seorang anak muda duduk di atas tandu sementara tembang pun muncul diantara bunyi gamelan. Aneh, suasana candi Bajangratu berubah tiba-tiba menjadi semarak seakan candi itu sendiri salah satu dari ratusan penonton yang saat itu menonton pementasan. Bajangratu saat itu seakan diam, tetapi menikmati dengan sepenuh hati tontonan pagi itu.
Setelah arak-arakan itu masuk, tiba-tiba muncul adegan perang dan seorang narator membaca naskahnya dengan cara dibaca seperti membaca puisi. Sesekali tembang muncul dengan suara khasnya, suara pesinden meski yang melakukan masih muda.
Tiba-tiba air mataku menetes keluar dari pelupuk mata. Aku ingat anakku Ganang beberapa tahun yang lalu pergi ke kota lain setelah membawa kekecewaan yang amat berat.
Masih ingat bagaimana ia menangis berkepanjangan agar diijinkan untuk mengikuti kegiatan semacam itu.
“Aku kan tidak melupakan tugas-tugas utamaku sebagai anak sekolah. Nilai di rapot kan tidak pernah jelek,” katanya meyakinkan diri. Pikiranku hanya satu kepada bapaknya yang sejak awal kurang senang kalau Ganang mengikuti kegiatan kesenian di sekolahnya. Ayahnya amat sayang kepada satu-satunya anak semata wayang itu. Mengapa mengikuti kegiatan teater tidak mengikuti tari atau menyanyi saja?
“Teater itu bagian pendidikan di sekolah pak dan itu bukan merupakan tujuan bagi anak-anak. Proses menjadi manusia pak,” katanya lagi saat berhadapan dengan ayahnya di gandok depan rumah menirukan kata-kata pelatihnya yang kebetulan juga gurunya sendiri. Aku terhenyak sejenak.
“Pokoknya kau harus berhenti dari kegiatan itu kalau kau mau meneruskan sekolah,” kata ayahnya keras. Tak ada yang diucapkan Ganang saat itu kecuali menangis dan langsung masuk kamarnya. Tak mampu melakukan perlawanan terhadap keputusan ayahnya, dan aku hanya bisa diam.
Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan amat meriah, dan tontonan di pelataran candi itupun usailah. Semua penonton memberi selamat berjabat tangan dengan para pemain termasuk kepada Ganang sutradaranya sendiri.
Air mataku tak dapat kubendung lagi, dan aku sendirilah yang tahu arti air mata itu. Terharu dan tersadar dengan apa yang baru kunikmati pagi itu. Aku menangis pagi itu. Candi Bajangratu tetap diam dengan gagahnya. Yang kulihat tidak hanya saja candi perkasa ini, tetapi seakan ikut mengucapkan selamat kepada para pemain dan kepada anakku yang saat itu tak mampu menolak pelukan candi dengan hangat seakan berbisik: ”Selamat dan terimakasih Ganang” Aku hari ini banyak dikunjungi anak cucuku dengan penuh suka cita.
Aku memandang dari jauh, seakan ikut melihat dan mendengar candi bajangratu bercerita tentang dirinya. Menurut ceritanya Bajangratu ini lebih tepat kalau tidak disebut candi, tetapi sebagai pura atau gapura. Ini kalau dilihat dari bentuknya. Hanya sebagai bangunan untuk lewat dari sebuah tempat ke tempat lain, melewati tangga yang naik dan turun, bentuk paduraksa.
Sejarah juga telah menulis dengan ragu-ragu tentang keberadaannya dan fungsi candi ini. Sebagai peringatan tentang pemerintahan sang raja Jayanegara atau tempat abu raja itu sendiri.
Sebagai seorang penonton yang cukup senang menikmati tontonan yang menarik ingin rasanya aku lari dan memberi selamat kepada seluruh pemain terutama kepada Ganang anakku sendiri, tetapi aku malu. Yang kulakukan hanya kubiarkan air mataku mengalir deras dan sesekali kupejet hidungku karena air hidung akhirnya tak mau mengalah ingin menunjukkan keharuanku juga. Pikiranku meloncat amat jauh menembus ruang dan waktu yang amat panjang.
Semenjak larangan ayahnya tak dapat dibantah lagi, akhirnya Ganang menjadi anak pendiam. Tak ingin mengikuti kegiatan apa-apa di sekolah. Ganang menjadi pemurung.
Aku tahu itu semua, tetapi aku tak mampu melawan, sampai ayahnya mendapat tugas di tempat yang masih sering terjadi perang saudara di negeri sendiri. Ayahnya harus berjuang memadamkan pemberontakan di daerah Timor Timor yang akhirnya harus pulang hanya nama saja.
Kematian ayah makin membuat Ganang semakin murung seakan tak ada lagi semangat untuk hidup. Hari-harinya hanya diisi dengan sekolah sebagai kewajiban saja bukan sebagai suatu hal yang membuat seseorang makin perkasa dan semangat.
Nilai rapotnya selalu pas-pasan dan benar-benar membuat Ganang tidak memiliki gairah sama sekali. Sampai suatu ketika ia bertemu lagi dengan pak Bagas pelatih keseniannya dulu.
“Tidak pak, aku sudah mati dan aku tak tahu harus melanjutkan ke mana nantinya, apalagi ibu kan hidup sendiri.”
“Kenapa tidak dendam?” tanya pak Bagas.
“Kepada siapa ?” Ganang balik bertanya.
“Kepada ayahmu sendiri?” pancing pak Bagas.
“Kepada ayahku?” tanya Ganang.
“Ya. Tahu bentuknya dendam itu?”
“Nggak pak” jawab Ganang tegas.
“Dendam tidak mesti selalu jelek.
Sekarang yakinkan pada orang tuamu apa yang kaulakukan amat baik dan bisa berguna untuk orang lain. Ganang dulu kan dilarang untuk kegiatan kesenian karena sayang berkelebihan dari ayahmu. Sekarang ayahmu sudah tidak ada. Yang melarang dan berkuasa tidak ada. Mengapa tidak kau teruskan lagi impianmu dulu sampai menjadi kenyataan?”
Ganang diam, berpikir agak lama. “Hidup ini milikmu Ganang, bukan milik siapa-siapa. Tergantung pada dirimu sendiri tentang pada dirimu sendiri tentang hidup ini. Kau buat apa hidupmu ini. Semua ini tergantung padamu.
“Mau kau buat baik atau jelek, semua ini tergantung pada dirimu.” Ganang makin diam. “Kau buat untuk merenung terus tanpa dendam yang positip? Tak ada yang bisa kaulahirkan dari pekerjaan merenung terus.”
Aku tersadar, bangku-bangku tempat penonton sudah mulai kosong. Seorang demi seorang sudah mulai pulang. Kulihat para pemain dan Ganang masih dikerumuni penonton malah beberapa wartawan sedang mewawancarai. Untuk yang kesekian kalinya aku menangis, air mataku menetes tetapi tidak sederas seperti tadi.
Angin semilir datang menerpa tubuhku terasa sedikit segar meski matahari sudah merangkak sejak tadi tetapi belum sampai di pertengahan langit atas Bajangratu.
Candi megah yang terletak didesa Dukuh Kraton Kecamatan Trowulan pagi itu benar-benar tampak semarak.
Biasanya sepi, tetapi pagi itu tampak semarak dan gairah.
Mobil wisata atau disebut mobil kereta dengan warna-warni yang semarak tampak berderet di tepi jalan. Begitu juga mobil-mobil pribadi juga berderet di tempat yang sudah tersedia.
Candi bajangratu tampak makin anggun seakan ikut mengantar tamu sampai di pagar kawasan candi. Dengan latar belakang pelataran yang ditumbuhi rumpaut dan pepohonan yang rimbun, candi ini makin anggun dan asri.
Candi ini pernah direnovasi agar tak roboh. Di bagian dalam candi ditahan dengan besi yang cukup kuat. Sayang, cara pengerjaannya sedikit kasar, sehingga besi itu sedikit menampakkan ketidakasliaan candi ini.
“Ayo bude ke mas Ganang,” ajak ponakanku. “Nanti saja. Kau saja yang ke sana,”jawabku menutupi rasa malu sekaligus kebanggaan yang tak mungkin kusembunyikan.
Setelah ayahnya gugur di medan perang, Ganang memaksaku untuk mengijinkan melanjutkan studinya di bidang kesenian dan satu-satunya kota yang dituju adalah Jogjakarta, karena di kota ini juga ada kakak ayahnya.
Ganang tak bisa dicegah, dan apa yang dilakukan saat pulang menjengukku adalah permohonan maafnya sekaligus doa restu dariku untuk meniti hidupnya sesuai pilihannya sendiri bukan pilihan ayahnya atau aku sendiri. Akhirnya aku yang menyerah kalah, kalah tanpa peperangan. “Ganang ingin melakukan sesuatu untuk kota kelahiranku,” katanya saat pulang ke rumah dengan beberapa temannya.
“Kalau ayah bisa berbuat sesuatu buat bangsa dan negaranya sampai harus gugur di medan perang, aku juga ingin mempersembahkan sesuatu meski hanya untuk sebuah kota,” katanya dengan keyakinan yang tampaknya tak mungkin mau surut kembali.
“Aku dilahirkan di kota yang pernah menjadi sebuah negeri pusat kebudayaan saat itu, ingin rasanya Ganang bercerita kepada siapa saja yang ingin mendengar ceritaku tentang negeri ini sekecil apapun,”katanya.
Aku makin percaya ada sesuatu kekuatan dalam dirinya, apalagi setelah berani beberapa tahun tinggal di luar kota kelahirannya. Trowulan kota kecil, sebuah kota kecamatan di kawasan kabupaten Mojokerto adalah kota yang menyimpan sejarah besar di negeri ini. Mojopahit yang mengenalkan bendera merah putih, mengumandangkan Bhinneka Tunggal Ika seperti Sumpah Palapa-nya Patih Gajamada.
Jauh sebelum negeri ini memiliki Sumpah Pemuda tahun 1928, Gajah Mada sudah menyampaikan Sumpah Palapa. Tak akan tidur nyenyak sebelum Nusantara ini menjadi sebuah kawasan yang bersatu. Trowulan inilah yang menjadi obsesi Ganang untuk berbuat sesuatu bagi kotanya. Membangunkan candi yang tidur panjang dengan rambutnya yang rapi dan bersih. Menggeliat bangun menyampaikan salam dan senyumnya yang hangat kepada pewaris bangsa ini lewat pertunjukkan keseniannya. Sejak aku masih kecil sampai menjadi guru, aku beberapa kali melihat candi ini, tak pernah berubah.
Bagaimana aku bersama temanku melihat candi-candi di Trowulan dengan perasaan senang hanya karena bisa bepergian bersama sama teman sekelas. Guru pun tak pernah memberikan cerita yang bisa kuingat sampai sekarang. Aku senang tetapi terasa hambar karena tak mendapat apa-apa. Begitu juga saat aku menjadi guru dan bisa mengajak murid-muridku melihat candi Bajangratu ini.
Kebahagiaanku hanya satu bisa menyenangkan hati murid-murid bisa menikmati warisan nenek moyang kita.
Saat aku menjadi murid sampai menjadi guru, candi ini tak pernah ada perubahan sama sekali. Asri, tetapi sepi dan lengang seakan tak ada kehidupan kecuali menikmati onggokan batu yang tersusun rapi, kuat dan indah.
Hari itu aku bisa merasakan bagaimana candi itu merasa amat bahagia karena merasa hidup kembali. Aku bahagia dan tiba-tiba air mataku menetes lagi, karena aku yakin ayah Ganang saat melihat dari sana jauh, dan amat jauh pasti kebahagiaan yang muncul dan pasti permintaan maaf akan disampaikan kepada anakku.
Seperti apa yang dimainkan para pemain, kisahnya tidak jauh dari sejarah candi itu sendiri sehingga para penonton bisa mengerti sejarahnya. Layaknya seorang guru bercerita tentang setangkai kembang, di tangan kanannya telah tersedia kembang yang diceritakan.
Bajang artinya kecil. Ratu artinya raja.
Raja yang memerintah Mojopahit setelah R. Wijaya adalah anaknya sendiri Raden Jayanegara. Ia diangkat menjadi raja ketika masih kecil. Pemerintahan tak bisa tenang dan damai. Di mana-mana perang saudara terjadi karena kurang puas dengan kebijakaksanaan sang raja. Muncul pemberontakan-pemberontakan Ra Kuti, Ronggolawe dan lain-lainnya. Jayanegara tak mampu memadamkan pemberontakan itu dan akhirnya mangkat karena ulah sahabat terdekatnya: Tanca.
Untuk memperingati wafatnya raja yang masih kecil itulah Bajangratu itu dibangun. Diperkirakan Bajangratu didirikan antara Abad XIII dan awal Abad XIV karena raja Jayanegara wafat pada tahun 1328 [strata dhinar meng kappongan, bhiseka ringesrenggapura pratista ring antawulan] ini tertulis pada Pararaton. Pigeud yang menerjemahkan Negara Kertagama menceritakan bahwa sang raja wafat tahun 1328 dan didharmakan di dalam kedaton. Arcanya dalam bentuk Wisnnu terdapat di Shila Petak dan Bubad. Bubad itu terletak di Trowulan, sedang Sela Petak yang belum diketahui dengan pasti sampai sekarang.
Kubaca sekali lagi tembang yang ditulis dalam synopsis serta cuplikan naskah pertunjukan pagi itu:
Hei prajurit kang angesti
Aja cidra neng negaramu
Andepani tanah wutah ludira
Anatepi sumpahira…
Para dewa di atas langit
Dengarkan sumpahku ini
Aku tak memiliki ibu dan bapak
Ibu bapakku adalah tempat ajalku kelak
Tempat aku lahir dan mengenyam nikmat
Para dewa di dalam bumi
Dengarkan sumpahku ini
Aku tak punya anggota badan lagi
Anggota badanku adalah bakti pada pertiwi
Anggota badanku adalah cinta pada negeri
Mereka adalah alat-alat yang tak mampu berkata tidak saat sang raja para penguasa memerintah lewat mulutnya
Mereka hanya mampu berkata daulat tuanku raja.
Perang terjadi dimana-mana, banjir darah menggenang dimana-mana.
Air mataku menetes lagi satu-satu. Yang lewat dan singgah di pikiran dan batinku adalah bayangan ayah si Ganang saat bertugas di daerah pertikaian di negeri ini: Timor Timur.
Dia hanyalah alat yang tak mampu berkata tidak saat sang raja para penguasa memerintah lewat mulutnya. Ia harus bertugas menumpas para pemberontak. Ia gugur di medan perang.
Ia tak punya anggota badan lagi. Anggota badannya hanya baktinya kepada negeri ini. Anggota badannya hanya cinta pada negeri ini sampai ia harus mati meninggalkan keluarganya.
Memang sebagai seorang prajurit sejati ia wajib memiliki semboyan yang ditulis Ganang anaknya sendiri. Anaknya yang tak pernah diperbolehkan memasuki dunia seni. Sampai pada saat pamit hendak pergi ke tempat tugas, pesan yang disampaikan tetap tak berubah: ”tolong Ganang, jangan diperbolehkan meneruskan kegiatannya. Sebuah tempat telah kusiapkan untuk hidupnya supaya baik untuk masa depannya.”
Aku tersadar saat seseorang mencari-cariku mendekat dan mengajak segera ke tempat para pemain karena Ganang sudah lama menungguku. Aku segera menuju para pemain yang masih sibuk untuk mengemasi pakaian dan bersiap untuk pulang. Pada wajah-wajah mereka tampak kebahagiaan yang pasti orang lain tak mampu merasakan. Berjabat tangan dan saling mengucapkan selamat seakan mereka telah menyelesaikan tugas yang amat besar.
Aku tak bisa menyembunyikan perasaanku sendiri. Dan aku tak mengerti perasaan apa yang muncul saat itu. Terharu, malu, bahagia, bercampur-aduk menjadi satu. Sementara seorang penonton tiba-tiba datang dan memberi selamat kepadaku.
“Selamat bu, putranya telah berhasil.” Tangan itu terus kugenggam erat, sebab yang muncul dalam pikiranku malah muncul hanya satu: malu.
“Kenapa bu?” tanyanya dengan heran
“ Tidak apa-apa,” jawabku agak berat.
“Mas Ganang berhasil membangunkan candi yang sudah ratusan tahun menikmati tidur panjangnya.” Aku makin terpuruk mendengar pujian itu. Aku ingin menangis keras-keras, karena merasa tak kuat menahan perasaan malu yang makin lama makin bertumpuk.
Ganang muncul dan aku tak ingin ia yang menjabat tanganku lebih dahulu. Kusambut tangannya dengan mesra, jabatan tangan seorang ibu yang menumpahkan segala perasaan tentang rasa terharu, malu, bahagia dan bersalah.
Bergejolak perasaan itu bergumpal-gumpal menyesakkan dada salaing tindih perasaan itu. Saling bergumul dan saling mencabik membuat nafasku makin sesak, dan satu-satunya jalan hanyalah sebuah pelukan dan air mata kubiarkan deras-sederas perasaanku padanya.
Kupeluk erat-erat bahu Ganang, tak ingin kulepaskan sebelum aku selesai mengucapkan segala perasaan dan rasa bersalahku, meski itu hanya bisa kuucapkan dalam hati. Setelah puas kulepaskan pelukanku, tetapi mataku tak mampu memandang arah lain. Kupandang anakku. Yang kulihat adalah seorang laki-laki gagah tak ubahnya bapaknya sendiri yang sekarang pasti berada di sana jauh di sana. Aku yakin ia memandangku berdua di altar candi Bajangratu yang menjadi saksi pertemuan batin antara ibu dan seorang anak laki-lakinya.
“Kenapa?” tanya Ganang dengan pandangan aneh. “Bapakmu lahir kembali di tempat ini Ganang,”kataku bangga.
“Lain Bu, bapak gagah di sana, Ganang gagah di sini,”katanya dengan enak, seenak hidupnya yang telah dimiliki dengan cara dan pilihannya sendiri. Aku lebih bangga lagi mendengar kata-kata itu.
Kugandeng Ganang dan benar, aku telah dipertemukan lagi dengan suamiku yang sudah almarhum, anakku sendiri di candi Bajangratu ini. Kedua-duanya adalah laki laki yang gagah dan kucintai. Kupamdang sekali lagi wajahnya saat meninggalkan kawasan candi dan sempat berkata meski hanya dalam batin.
“Benar Ganang, bapakmu gagah di sana, engkau gagah di sini.” Diam-diam candi Bajangratu mengantarkan kepergian kami dengan gagahnya. Sebentar lagi suasana kembali sepi.
[Jatidukuh,2004]
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar