Mardi Luhung
diambil dari Jawa Pos, Maret 2008
sehabis bercinta januari 2008
Sore ini sepedaku menabrak dinding. Tapi tak terguling. Terus menembus dan menggelinding. Menuju ke kedalaman laut. Di kedalaman itu sepedaku terus aku kayuh. Melewati koral, terumbu dan karang. Sekian duyung yang montok melambai. Dan sekian mambang yang melayang. Melayang dengan siripnya. Pun menggerakkan cahayanya. Cahaya yang warna-warni. Seperti warna-warninya pelangi yang pernah aku kirimkan ke lembah-lembah tempat kau berada. Mungkin kata mereka: “Pengelana itu telah sampai kemari. Lihatlah gayanya. Lihatlah lagaknya. Adakah yang menyamainya dalam lekuk?”
Dan perkataan mereka ini masuk ke kupingku. Seperti masuknya sepur kelinci. Sepur kelinci di taman kampung. Sepur kelinci yang panjang dan berkelokan. Yang bunyinya tut-tut-tut. Dan sekian kanak yang menumpangnya pun melambai-lambaikan tangannya. Melambai pada siapa? Pada awan. Pada jalan. Atau pada yang tak tampak oleh pandanganku. Tapi begitu nyata oleh pandangan sekian kanak itu. Pandangan yang kerap membuat bulu roma berdiri. Ketika sekian kanak itu berkata:
“Ayah, lihat itu Eliza, masuk ke kamar lewat genting,”
“Ayah, lihat itu Eliza menangis. Air matanya terbang kayak laron,”
“Ayah, Ayah, lihat itu Eliza. Punya taring mungil. Tanduk mungil. Sayap mungil,”
“Ayah, lihat, lihatlah…”
…
Tapi, aku terus mengayuh sepedaku. Kedalaman laut terasa begitu hijau. Sehijau hutan ilalang yang pernah aku hidupkan di pikiran. Hutan ilalang tempat aku pernah menemui si perempuan yang telah menggunting rambut panjangnya. Dan membasuhkan guntingan rambut itu ke lambung yang berdarah. Lambung yang kata si perempuan, mengingatkan pada lambung si tukang kayu yang tergila-gila pada bapak. Bapak yang ada di entah. Bapak yang entah siapa.
Dan bapak yang telah pergi tepat si tukang kayu lahir. Dan bapak yang sampai kini tak dikenal bentuk rupanya. Apakah segi tiga, lonjong, bundar atau kelimis, kasar, dan gundul. Dan bapak, yang apakah sempat, memberi nama padanya atau tidak. Mengelus kepalanya atau tidak. Lalu berbisik: “Anakku, jadilah orang yang baik. Dan jika besar jadi juga orang besar yang budiman. Yang tak suka berbohong. Sebab, ingat, hidup sudah susah. Apa matimu juga meski susah,”
“Anakku, ingat juga, jika matimu sampai susah, itu artinya, kau tak disuka sorga. Sorga yang punya pohon terbalik. Akar di atas. Buah di bawah. Pohon apa saja. Buah apa saja. Asalkan bukan pohon dan buah yang satu itu. Yang telah membuat kita seperti ini. Mengembara untuk sekedar putar-putar. Untuk sekedar akhirnya kembali mati juga. Mati dikubur dalam tanah. Dengan upacara atau pembelaan. Dengan tangis atau tawa. Dan dengan meninggalkan luka atau suka. Anakku, ingatlah perkataan bapak ini,”
Dan bye, bapak pun melesat pergi lewat pintu belakang. Dan hilang tak berjejak. Ya, ya, kasihan, kasihan sekali si tukang kayu. Yang sampai kini tak tahu rupa bapaknya. Dan sampai kini, juga belum punya nama. Lalu, tiba-tiba: “Pengelana, berhentilah sejenak,” Ada si belut memanggilku. Suaranya cempreng tapi renyah. Si belut itu tak begitu besar. Dan persis di punggungnya, ada semacam kulit yang tembus pandang. Dan dari dalam kulit itu, aku melihat sebentuk mulut yang tergolek. Dua gigi di mulut itu copot. Dan di bagian atasnya ada bekas jahitan. “Tolong, ambillah mulut ini,” pinta si belut. Mulut itu adalah milik si tukang cerita. Yang dulu dirajam oleh kegelapan. Sebab selalu ngotot ingin memasang obor. Obor yang benderang.
Konon, menurut cerita, obor itu milik para dewa. Para dewa yang bersemayam di langit. Dan obor itu dicuri oleh satu dewa yang murtad. Dewa yang punya kelakuan yang mirip sirip hiu. Berkelepak ke sana ke mari. Agar ada yang tersentuh. Dan tergenggam. Seperti bola bekel yang tergenggam. Dan tak lagi bisa melenting. Dan karena obor yang dicuri itu, maka dunia manusia pun menjadi terang dan gelap. Baik dan buruk. Pintar dan bodoh. Dan itu yang membuat manusia paham. Paham untuk memerdekakan dirinya. Jadinya, lambat-laun pun tak lagi butuh para dewa.
Apakah aku percaya pada cerita ini? Bisa ya, bisa tidak. Sebab, aku melihat dunia kini memang seperti selang-seling. Zik-zak. Dan tak jelas arahnya. Seperti ke kanan. Tapi justru ke kiri. Karenanya tak salah. Jika ada yang berpesan: “Bagi yang beriman, dunia adalah kebohongan. Bagi yang tak beriman adalah petak umpet yang mengasyikkan Seperti petak umpet sumur bor yang tiba-tiba mengeluarkan lumpur. Padahal, yang diburu bukan lumpur. Kasihan. Kasihan sekali. He, he, he. Aku pun ketawa geli,”
Dan di saat ketawa itu, datanglah dari arah lain si gurita gemuk. Si gurita gemuk yang berkata begini: “Juga tolong, bawakan pakaian ini,” Dan si gurita gemuk ini punya empat mata. Seperti mata tajam yang pernah aku lihat di sebuah gambar. Yang berpesan tentang mata gunung yang akan meledak. Dengan kalimat: “Jika memang meledak, adakah tempat yang aman?” Dan lewat tatapan yang sekilas, aku merasa jika pakaian yang dimaksud si gurita adalah seragam hitam. Seragam hitam dengan pernik-pernik bersilangan: “Seragam si kapten!”
Seragam si kapten? Ya, memang ada cerita tentang si kapten dalam kapal angker yang penuh lumut. Kapal angker yang melayang semeter di permukaan. Kapal angker yang tak berbentuk. Dan yang selalu mengeluarkan irama murung yang mengenaskan. Irama tentang pemenggalan dan penyaliban. Dan juga tentang tubuh para kelasi yang tak berkepala. Kelasi yang jika haus, langsung menumpahkan sebaskom arak ke tenggorokan. Yang sebagian besar menciprat ke tubuh gempalnya. Kemudian, mereka akan berkelahi sendiri. Bertempur sendiri. Sampai semuanya mati. Sampai semuanya menjadi bangkai. Untuk kemudian dihidupkan kembali pada waktu pelayaran berikutnya.
Pelayaran yang mendebarkan. Dengan ombak-ombak bergulatan. Dengan kegelapan yang bertaburan api. Dan langit, ya langit terbuka. Seperti tempurung kepala yang dikelupas oleh tenaga yang besar. Sampai-sampai setiap yang melihatnya, seperti melihat lorong yang tinggi dan gaib. Yang kata para orang suci, tempat masuk-keluarnya catatan bagi manusia. Catatan baik akan menempel di telapak kanan. Yang buruk di telapak kiri. Dan catatan-catatan itu akan ditembaki si kapten. Agar jatuh dan tenggelam ke laut. Dan agar yang berhak atasnya merasa kebingungan. Hilang arah. Dan menceburkan dirinya ke teluk. Lalu diangkat oleh si kapten. Menjadi kelasi barunya. Kelasi yang tak berkepala itu. Dan seumur-umurnya, kelasi yang tak berkepala itu tak akan pernah bisa pergi dari kapal angker.
Itulah, itulah cerita tentang kapal angker. Dan jika kau ingin tahu tentang kapal angker ini, bukalah jendela rumahmu di malam hari. Tengoklah ke langit sebelah timur. Ke sebelah bintang yang mirip parang panjang. Parang yang lancip. Yang di pinggirnya ada percik-percik yang berkedap-kedip. Itulah bintang penentu jejak kapal angker. Jejak penentu yang selalu muncul, ketika angin tak bertiup. Dan orang-orang yang telah mati menyembul dari tanah. Seperti uap dan kabut kuning. Uap dan kabut kuning yang kerap membentuk bentuk-bentuk yang tak pernah kalian pikirkan.
Bentuk-bentuk yang selalu muncul dan berganti tanpa terkendali. Dan bentuk-bentuk itu akan mengikuti kemana kau pergi. Kemana kau melangkah. Apakah ke beranda. Ke dapur. Ke kamar kecil. Dan bentuk-bentuk itu selalu mengendusi kudukmu. Jadinya, bulu-bulu di kudukmu akan berdiri. Menegak. Seperti tegaknya barisan sungut serangga ketika mengangkat beban makanannya. Untuk dimasukkan ke dalam lubangnya. Lubang yang dipermukaannya begitu terang. Tapi ketika lebih masuk, akan menjadi keremangan. Yang membuat siapa saja cuma bisa meraba-raba. Sambil berharap, akan ada secercah cahaya yang membimbing.
Dan yang perlu kau ketahui juga, bentuk-bentuk itulah yang membuat setiap pelaut akan meminggirkan kapalnya. Bersembunyi dan minum tuak di warung-warung. Pelaut yang punya codet pipi yang biru. Sebiru ketenggelaman yang ada di dalam mimpi setiap pelupa. Setiap yang selalu memanggil dirinya dengan sebutan: “Siapa aku?” Ya, ya, ya, pelaut itu jika mabuk selalu menyebut, siapa aku? Padahal, siapa pun tahu. Jika pelaut itu orang pintar. Cerdas, berwibawa dan nekadan. Dan punya pikiran yang tak lengkang karena umur. Seperti ketak-lengkangan racauannya ini:
“Akulah pelaut. Pelaut garang. Yang tak takut pada ombak dan karang. Akulah pelaut. Yang selalu melawan arah angin dan cuaca dengan dada terbuka. Dada yang jika kau lihat, akan terpacak sebuah goresan. Goresan yang mirip peta. Peta bagi siapa saja yang merasa tak pernah berhenti. Apalagi menambatkan umurnya pada yang disebut rumah yang sederhana dengan istri yang cerewet. Akulah, akulah pelaut. Pelaut yang tak bisa berahasia. Kecuali dengan pisau lipat yang terhunus,”
“Akulah pelaut. Ayo kemari. Menghadap pelaut. Menghadap dengan pasrah atau tidak. Dan mari peluk aku. Kita akan minum dan mabuk. Biar dunia semua jadi tertidur. Dan kita tetap terjaga. Sambil bermain domino. Atau bertaruh dengan taruhan apa pun. Juga bisa, dengan tidak apa pun. Pokoknya kita mabuk. Dan melupakan sejenak, apa itu yang disebut orbit dan daya-daya tarik yang membuat semuanya tetap bersinambungan. Seperti sekumpulan keseharian yang tak terubah. Mari, marilah kemari, mendekat pelaut!”
…
Gila! Aku pikir, ini racauan yang kacau. Dan daripada semakin kacau, Aku tak menggubrisnya. Aku kayuh saja sepedaku. Tak menoleh pada semuanya. Dalam pandanganku, kedalaman laut ini makin dan makin terasa begitu hijau. Dan aku tak tahu lagi, apakah aku maju atau mundur. Yang aku tahu, aku hanya ingin bertemu dinding yang telah ditabrak sepedaku tadi. Untuk segera menyembul ke tempat semula. Tempat yang penuh dengan kegairahan yang begitu tak terkira. Tempat yang membuat aku selalu memompa nafasku dengan sedalam-dalamnya. Seperti nafas setiap burung yang berkelepak. Berkelepak untuk mencari sarang lamanya. Sarangmu.
Sarang yang begitu telah membuat diriku percaya, jika di setiap aku sampai pada batas. Dan sepeda aku sandarkan. Selalu ada sebentuk sumur yang kau sediakan untuk aku minum. Sumur yang selalu tampak di kegelapan. Seperti cahaya setiap pernik yang tak pernah bisa dilalaikan. Dan yang selalu kau simpan di sekujur lipatan jantungmu. Yang ketika berdetak, tak bosan-bosan untuk berbisik: “Pengelana, lekaslah pulang. Sebelum rembulan muncul. Dan orang-orang kotor itu, membesetnya pelan-pelan…”
Akh, kembali lagi, aku mendengar sekian kanak berkata:
“Ayah, lihat itu Eliza masuk kamar lewat genting,”
“Ayah, lihat itu Eliza menangis. Air matanya terbang kayak laron,”
“Ayah, Ayah, lihat itu Eliza. Punya taring mungil. Tanduk mungil. Sayap mungil,”
“Ayah, lihat, lihatlah…”
(Gresik, 2008)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar