Jumat, 29 Agustus 2008

Wajah Timur Tengah di Indonesia

Judul Buku : Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia
Penulis : Greg Fealy dan Anthony Bubalo
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, Desember 2007
Tebal : 202 hal
Peresensi : A Qorib Hidayatullah

Islam yang sejatinya berwajah lembut serta penuh sentuhan kasih sayang berubah garang kerap menampilkan kekerasan. Islam kini ditengarai pelepas pelatuk terorisme. Beragam kampanye menyeru perlunya curiga pada aktivisme muslim. Benarkah Islam demikian?

Islam adalah agama berisalahkan perdamaian serta cinta kasih. Pun Islam —juga agama lainnya—, terlahir sebagai agama rahmat bagi semua telah teruji kesahihannya. Hanya keterlibatan faktor lain yang begitu kompleks menjadi penentu terjadinya itu semua. Di Indonesia misalnya, di mana segala biang radikalisasi tertuju pada Islam patut diklarifikasi secepat mungkin.

Buku ini, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, memberi kesaksian lewat argumentasi kuat atas tindak kekerasan yang belatar belakang aktivis muslim Indonesia. Dalam Islam, gerak gagasan ber-amar ma’ruf nahi munkar ialah Islamisme. Islamisme semacam paham diskursus yang berkembang tentang hubungan antara Islam, politik, dan masyarakat. Penting dipahami, bahwa Islamisme tak sekadar ihwal ide-ide yang berkembang dan berubah sepanjang masa, tapi juga momen-momen historis bilamana ide-ide itu bekerja.

Menguak akar semangat Islamisme dilahirkan, yaitu bertujuan demi kebangkitan atau pembaruan Islam. Islamisme sebagai pemantik ide sentral yang mengilhami Dunia Islam saat tengah berada dalam kemunduran dan bagaimana harus dibenahi. Ruh paham itulah, oleh kelompok besar Islamis diserap langsung dari Ikhwanul Muslimin Mesir sebagai inspirasi dengan menjadikan warisan tradisi revivalis-reformis yang berniat menggerakkan perkembangan sejarah Islam.

Tengok misalkan, dua gerakan revivalis yang khususnya menyediakan konteks bagi perkembangan Islamisme kontemporer di Timur Tengah (TT). Suatu gerakan yang berawal pada abad ke-18 dari Muhammad ibn Abd al-Wahab (1703-1787) di Arabia Tengah; dan gerakan pada abad ke-19 dan ke-20 yang dipimpin tiga jawara pemikir Islam: Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), serta Rasyid Ridha (1865-1935).

Perubahan konkret yang diusung Ibn Abd Wahab, hendak menggerus tradisi pra-Islam dan praktik lokal suku-suku Badui di Arabia Tengah yang “menodai” kemurnian Islam (hal 30). Begitu pun perubahan al-Afghani, Abduh, dan Ridha, yang saat itu berhadapan dengan disparitas kekuatan tajam antara Eropa dan TT. Mereka dirundung kekhawatiran hebat, pesimis temukan solusi cemerlang bagaimana Dunia Islam yang mundur dapat terus melawan menyerap kemajuan Barat dalam hukum, industri, serta teknologi militer. Bagi al-Afghani, kuncinya tidak dengan mengadopsi ide-ide Barat secara membebek (epigon).

Dalam benak para jurnalis dan pejabat pemerintah Barat yang bekerja di Indonesia, merebaknya terorisme adalah bukti “efek domino” Islam TT ke Nusantara. Keberadaan kelompok teroris (yang berbasis di Indonesia) sudah terbukti. Pelopor yang memopulerkan terorisme di antara mereka adalah Jama’ah Islamiyah (JI). Tak diragukan lagi, secara idelogis, ada pengaruh TT terhadap JI. Dalam dokumen-dokumen resmi JI, figur-figur TT —baik figur kontemporer maupun figur lampau— memiliki tempat terhormat dalam organisasi ini.

Pengaruh Politik TT
Orang Indonesia kerap mencari pengetahuan dan inspirasi dari TT, lalu mereka mengetrapkan pengetahuan itu dalam cara “lokal” yang otomatis berbeda dengan “sumbernya”. Pengkaji memandang fenomena ini sebagai kecerdasan adaptif orang-orang Indonesia, terampil meracik yang lama dengan yang baru guna mencipta sintesis keagamaan supaya kaya.

Ada dua hal yang menjadi gamblang saat mempertimbangkan transmisi ide-ide Islamis dari TT ke Indonesia. Pertama, transmisi ide-ide tersebut sebagian besar berlangsung satu arah: dari TT ke Indonesia. Orang Indonesia mencari audiens bagi karya mereka di TT, namun kenyataannya, sebagian besar orang Arab menganggap Asia Tenggara sebagai pinggiran intelektual Dunia Islam.

Kedua, transmisi Islamisme ke Indonesia memiliki beberapa faktor penarik maupun faktor pendorong. Banyak muslim Indonesia aktif menuntut ilmu ke TT, baik sebagai pelajar atau mahasiswa. Tercatat lebih dari 20.000 orang Indonesia tinggal di TT. Mayoritas mereka adalah pekerja, meskipun proporsi signifikannya adalah mahasiswa.

Janji buku ini hendak membuktikan, seberapa pengaruh gerakan Islam Indonesia oleh TT. Penulis buku ini memberi satu bab khusus membincang soal itu, “Setiap Benih yang Kau (Timur Tengah) Tanam di Indonesia Pastilah Tumbuh” (hal 105). Bab ini mengeksplorasi mendalam soal ekspresi utama pemikiran Ikhwanul Muslimin yang dilandasi gerakan Tarbiyah. Gerakan Tarbiyah mencuat pada awal 1980-an saat praktik penindasan Orde Baru terhadap Islam dan politik mahasiswa sedang gencar-gencarnya (hal 108).

Orde Baru pada 1998 mengalami masa tumbang akibat badai krisis finansial di Asia. Di saat itulah aktivis Tarbiyah membentuk organisasi mahasiswa bernama KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Melihat ada peluang bagus saat Soeharto makzul, pemimpin Tarbiyah berduyun-duyun mendirikan partai bernama Parta Keadilan (PK). Partai inilah yang pada pemilu 1999, mendulang 1,4 persen suara dengan tujuh kursi di parlemen pusat.

Seiring merayakan pesta demokrasi, PK berekspansi mengubah namanya menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perubahan nama itu dilakukan karena PK gagal memenuhi threshold sebesar 2 persen yang dibutuhkan untuk bisa berkontestasi di panggung pemilu 2004. PKS adalah satu-satunya partai yang menjadi kontestan pemilu 1999 dan mengalami keberhasilan luar biasa pada pemilu 2004. Memberi kesan bahwa, pemilih partai ini pada pemilu 2004 lebih tertarik pesan politik menyangkut pemerintahan yang bersih dan keadilan sosial dibanding seruan Islamnya (hal 111).

Berkat bantuan Greg Fealy dan Anthony Bubalo menggubah buku ini, membuka pemahaman pentingnya melacak jejak yang melatari tiap-tiap gerakan Islam saat ini. Yudi Latif (penulis buku, Inteligensia Muslim dan Kuasa), mengapresiasi kehadiran buku ini sebagai arus besar yang cenderung melukiskan Islamisme berwajah tunggal berdimensi transnasional. Sebuah buku yang hendak merobohkan pencitraan naif, dengan menunjukkan keragaman dan dimensi lokal dari presentasi Islamisme dalam ruang sejarah

Rabu, 27 Agustus 2008

Belajar Sejarah dari Timbunan Cerita

Judul Buku : Rahasia Meede (Misteri Harta Karun VOC)
Penulis : E. S. Ito
Penerbit : Hikmah
Cetakan : I, Oktober 2007
Tebal : 675 Hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Dalam jagad fiksi belakangan ini -baik itu novel, cerpen, maupun puisi-, tak sedikit pengarang memanjakan imanijasi untuk selalu bertanya. Misalnya, Dan Brown yang piawai mengkait-kelindankan konstruksi ceritanya dengan alur hidup seniman besar, Leonardo Da Vinci, hingga novelis itu berhasil melahirkan karya adiluhung The Da Vinci Code yang menggemparkan itu. Begitu juga dengan Matthew Pearl yang membingkai kisahnya dengan kepeloporan penyair, Dante Alighieri (1265-1321), hingga sukses menggubah The Dante Club, novel yang telah melambungkan namanya dalam kancah sastra dunia.

Novel karya Es ito ini, Rahasia Meede (Misteri Harta Karun VOC), juga tidak bertolak dari semangat membingkai kisah dengan gagasan besar sebagaimana dilakukan Dan Brown dan Matthew Pearl. Pengarang muda ini, mengemas rapi kisahnya lewat sejarah kartel dagang Belanda, VOC, sejak masa awal, masa kejayaan, hingga fase kebangkrutannya, tahun 1799. Jantung tutur kisah dalam novel ini, berkisar di seputar perburuan harta karun VOC yang bermula dari kedatangan laki-laki misterius ke penginapan delegasi Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Syahdan, para juru runding Indonesia sedang dihadapkan pada pilihan sulit. Pihak Belanda menyodorkan klausul tentang pengalihan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden kepada Indonesia. Bung Hatta sudah mencari jalan tengah, tapi para perunding tak berhasil mencapai mufakat. Orang asing itu memberikan selembar kertas lusuh pada seorang delegasi, Ontvangen maar die onderhandeling. Indonesie heeft niets te verliezen! (Terima itu perundingan! Indonesia tak akan rugi!), begitu ia berbisik. Tentu saja Indonesia tak bakal rugi, sebab yang diserahkan laki-laki itu adalah dokumen rahasia berisi petunjuk tentang lokasi penyimpanan emas batangan milik VOC. Celakanya, dokumen itu raib, tak ditemukan di dalam peti dokumen KMB yang dibawa delegasi Indonesia. Itulah basis problem setiap rangkaian cerita dalam novel setebal 675 halaman ini.

Namun, pengarang tidak langsung menukik pada perburuan harta karun yang tertimbun selama lebih dari tiga abad itu. Es Ito malah membuka cerita dengan kasus pembunuhan berantai yang meninggalkan sejumlah tanda tanya besar.

Dalam waktu kurang lebih lima bulan, ditemukan lima mayat yang semuanya terbilang orang penting. Mayat Saleh Sukira (ulama) ditemukan Bukittinggi, Santoso Wanadjaya (pengusaha) dibunuh di Brussels, Nursinta Tegarwati (anggota DPR) dibunuh di Bangka, JP Surono (birokrat) dibunuh di Boven Digoel dan Nono Didaktika (peneliti) dibunuh di Banda Besar. Satu selubung misteri belum terungkap, pengarang sudah merancang keterkejutan baru. Batu Noah Gultom (wartawan koran Indonesiaraya) dipusingkan oleh penculikan Cathleen Zwinckel, mahasiswi universitas Leiden yang sedang melakukan penelitian tentang sejarah ekonomi kolonial di Jakarta.

Sebelum diculik, Cathleen dititipkan oleh Prof. Huygens (pembimbingnya) di lembaga penelitian partikelir, Central Strategic Affair (CSA). Redaktur senior Indonesiaraya, Parada Gultom, juga hilang entah ke mana. Batu hampir memastikan bahwa dalang semua peristiwa itu adalah gerakan bawah tanah yang menyebut dirinya ; Anarki Nusantara. Sebelumnya, kelompok pengacau yang dipimpin Attar Malaka itu juga dituduh sebagai otak penyerangan bersenjata dan perusakan gedung di sebelah utara Jakarta.

lewat karyanya ini, Es Ito dengan leluasa menggiring pembaca ke dalam suasana Batavia di masa gubernur jenderal Cornelis J Spellman (1682) dan sepak terjang Monsterverbond (persekutuan rahasia yang mengendalikan VOC), lalu dengan sangat tiba-tiba ia mengungkap penemuan terowongan bawah tanah (De Ondergrondse Stad) di Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah). Terowongan itu diduga berujung di tempat penyimpanan dokumen rahasia tentang harta karun VOC yang hilang sejak 1949.

Pada saat yang sama, Es Ito memotret suasana Jakarta hari ini, ia menyebut ‘Bis Transjakarta’, Mikrolet S-11 jurusan Pasar Minggu-Lebak Bulus dan KRL Bojongggede Ekspress. Realitas yang sangat ‘menyehari’ bagi warga Jakarta hari ini. Terjebak pada suasana mencekam dalam cerita novel ini, ternyata Batu Noah Gultom bukanlah wartawan biasa, ia anggota intelijen militer yang menyusup di Indonesiaraya guna melacak persembunyian Attar Malaka (sebelum buron ia bekerja di sana).

Saat menyelamatkan Cathleen dari penculikan, Batu mengaku polisi bernama Roni, padahal ia adalah Batu August Mendrofa, intelijen militer dengan nama sandi ‘Lalat Merah’. Sebenarnya, Batu tahu pelaku penculikan Parada Gultom. Redaktur senior itu ‘diambil’ oleh orang-orang suruhan Darmoko, jenderal purnatugas, pemimpin ‘Operasi Omega’ untuk membasmi antek-antek Anarki Nusantara. Parada diinterogasi untuk mengorek informasi perihal keterlibatan Attar Malaka dalam penyerangan bersenjata, perusakan gedung, pembunuhan berantai dan penculikan Cathleen.

ES Ito, pengarang buku ini, membingkai kompleksitas cerita dengan detail sejarah Batavia Tempoe Doeloe. Ada dua pilihan bagi pembaca novel ini; cerita atau sejarah? Jangan-jangan kita memang lebih gampang membangun kesadaran sejarah bila diumpan dengan sederet cerita. Belajar sejarah lewat novel sejarah. Apa boleh buat…

Senin, 25 Agustus 2008

RAS PEMBERONTAK

Persembahan buat almarhum Zainal Arifin Thoha, Suryanto Sastroatmodjo, serta kawan-kawanku semuanya.
Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=68


Pembuka
Ini luapan kesemangatan luar biasa tentang hidup. Buah berkah yang harus disyukuri, dijalankan sebagai kerja kudu cepat melaju, keras lagi tangguh dalam pertahanan. Saya sebut ras pemberontak itu, tandingan dari sifat kelembekan yang selalu menjegal langkah-langkah lincah kita saat berlari.

Ialah gairah besar harus diledakkan kecuali ingin datangnya bisul lebih parah lagi. Bisul itu pemberhentian tidak nyaman juga sangat menyakitkan. Maka songsonglah sebelum datangnya sakit menyerang. Kita diadakan sebagaimana ada, dan terus hadir di segala jaman dan sejarah kemanusiaan. Tanpa kita dunia bengong, pikun, melempem, lumpuh, apalagi ditambah laguan melemahkan jiwa, atas dasar nilai-nilai mandul.

Marilah melancarkan jawab, sebab hanya kita yang bisa menjawab persolaan yang menghadang, oleh telah diberi limpahan kemampuan lebih di atas mereka yang enggan berjuang. Kaki-kaki ini langkah prajurit tidak kenal siang-malam, tidak peduli ilalang pun duri-duri mengancam. Semua menjadi lunak saat mengetahui situasinya. Maka rebutlah peta, kita jabarkan kepada ras yang mulia. Di sana ada titik-titik harus dikuasai, semua akan dimengerti jika segera beranjak dari kursi. Manfaatkan segala rasa demi perasaan ke luar, kita tebarkan bius untuk melucuti hasrat keinginan tanggung, sebab itu pengganggu.

Kita tidak membedakan warna kulit atau asal suku, suatu bangsa, lewat melihat wajah masing-masing dalam perkumpulan, tentu sanggup mengenal, membedakan. Kita paling cemerlang dan menjadi perhatian orang-orang yang tidak percaya diri. Kita singkirkan semuanya yang sekadar jual tampang tanpa isi. Kitalah diri, bukan sekumpulan preman tanpa perhitungan, lebih di atas segala sesuatu yang pengancam nilai-nilai rendah.

Marilah naik lebih tinggi, dengan ketinggian kita bisa menghimpun kekuatan, sayap-sayap kita rentangkan, kekuatan muda benar-benar mengalirkan darah kita. Senantiasa bergejolak dalam segenap situasi, terus menjadi yang pertama-terkemula di setiap penelitian. Kita awal dan akhir pertunjukan di muka bumi. Tanpa kita dunia kosong melompong.

Jangan sampai anak-anak kita buta nilai huruf, ini kesalahan ras kita yang lain di masa lalu, di masa perang sedang bergolak, carilah sendiri siapa itu. Kita harus lebih lihai dari para pengecut atau anak-anak pecundang. Darah kita telah dijanjikan kemenangan, jikalau benar sabar dan teguh dalam memperjuangkan pendirian. Perlu juga menghitung tarikan nafas, agar yang keluar tidak sia-sia di tengah pertempuran.

Aturan sedemikian padat itu hasil luapan menggelora. Menancapkan keyakinan sedalamnya, agar ras mulia tidak luput menjadi tanggung. Olehnya, jangan berjalan mundur, lebih baik berlayar ke samping jika angin kencang membahayakan jiwa. Tetap menuju pada yang teryakini, tercita-citakan menghimpun kekuatan dari ras-ras pemberontak.

Hujan teman kita, gemuruh badai guruh dan panas semangat keluar sedari warangka berita wacana nalar-nalar kita. Sebab itu teruskanlah menggabungkan segala ungsur kalau tidak mau disingkarkan saudara yang lain. Saat itu tidak lagi memegang ras kita, darah yang mulai, darah berontak. Mati-hidup kita tidak lagi berkeadaan penasaan, apalagi menciptakan teka-teki membingungkan.

Kita membawa keterbukaan juang bagi semua. Terbuka dan selalu membuka diri, dengan itu kita dapat menyelidik lebih jauh topeng-topeng yang dipakai para pengecut. Kita singkirkan satu-persatu agar tidak mengacaukan suasana persidangan, sebuah rapat besar membahas perjuangan ras kita di muka bumi.

Biarkan mereka menyebut kita segerombolan penyamun, penyadap atau apa saja tidak mengenakkan telinga. Tetapi tentunya kita yakin; perasaan yang berkata begitu, segera dan saat itu juga tengah bergetar ketakutan oleh kesemangatan kita yang terus memuncak kepada gunung tertinggi. Kita tidak perlu menancapkan bendera di suatu ketinggian, namun tancapkan tanda pada setiap barisan-barisan kita di segala lini pejuangan.

Jikalau mengibarkan bendera kemenangan atau apa saja, orang tanggung segera mengetahui, walau mereka ragu dan takut kalau segera ke sana, kepada kita. Karena itu, pelajarilah kejiwaan para tanggung secara seksana, kita pilih menjadi bagian jika sekiranya mau mengikuti prosesi sejarah besar kita nanti, dan sudah, juga sedang terjalankan kali ini.

Nenek moyang kita para pencipta sejarah dalam seumur hidupnya yang gemilang, tidak pernah keluar dari goa pertapaan. Mari sinauhi keseluruan ilmu, lebih-lebih menyuntuki sebagai hal pelajaran masa, dan terus diperdalam agar benar-benar dalam lingkaran merah keberanian, ras pemberontak. Nenek moyang kita pencetus tatanan hayat di muka bumi yang dirahmati, dayadinaya kita. Ketika dipercaya, manfaatkan semaksimal mungkin, janji harus ditepati. Tidakkah kepercayaan untuk kita ialah harta berlimpah?

Pun harus berani mengorek borok, dengan itu kita mengetahui sejauh dalam dan bodohnya diri ini. Sekali lagi, ras kita keterbukaan, buka pintu lebar-lebar dari semua lapisan dalam mencari inti demi penelitian lebih agung nan mulia. Yang sedang terkerjakan kita suntuki tiap-tiap masa, tidak peduli apakah perut ini terisi atau sedang lapar. Saat luapan terus ternyatakan-teringinkan, dan pernyataan menjelma anak-anak kudu kita rawat, sebab dengan itu ras kita semakin kuat.

Perlu digaris bawahi, kita buang ritual tidak penting, waktu sekadar mengedepankan muka. Jikalau terus maju segera bertemu saudara-saudara yang lain. Nenek moyang kita para pelaku yang sanggup mewarnai sejarah. Dan tidak perlu mencipta hal baru kecuali lebih manfaat maha-mutu. Laksanakan perintah, sebab energi kita berasal dan kembali. Kita tidak perlu mengaku-aku pewaris dunia, saudara tentu mengetahui, sejauh mana diri berjuang demi ras, ras pemberontak yang kukuh pendirian, keimanan.

Sungguh diperhatikan, harus tekun mempelajari kecelakaan-kebodohan, hal itu menghambat sangat perjuangan. Marilah terus mengajarkan kepada anak-anak, tentang perjuangan kelas antara ras kita dengan ras pengecut. Perhatikan juga, jangan sampai mengambil anak dari keturunan pengecut, sebab darah pengecut sangatlah fatal, bisa membinasakan keturunan kita menjadi darah terendah jikalau bercampur dengannya.

Kita harus memberikan perhatian lebih kepada keturunan kita, yang mau keluar dari kepulaun, sebab sejatinya moyang kita para penjelajah. Kita bukan penjajah atau pun penindas ras lain. Kita memegang hukum; siapa berjuang tentu mendapatkan limpahan. Para pengecut mencibir kita, sebab tak mampu melaksanakan perintah bathinnya, darah mengalir di tubuhnya bukan darah berontak atau pencetus, bukan darah juang yang kita rasakan alirannya disetiap saat.

Kerinduan kepada junjungan yang harus diperjuangkan, nenek moyang kita terhormat. Para pemuka peradaban, pencerah segala kalbu menjadi tuntunan umat bersegenap syukur atas perjuangan yang dilimpahkan-Nya. Kita lantunkan tembang-tembang menggairahkan, perjuangan tidak kering nyanyian kalbu yang menggerakkan seluruh pancaran hayat. Melangkah bersegala terus ternyanyikan, berjuang berseluruh tetembangan membahana ke pelosok sejati rasa, segenap hati umat manusia. Itulah tujuan kita, mencipta dunia dengan ras-rasa berontak atas kedirian yang lemah, oleh sifat kebinatangan yang lembek dalam jiwa.

Penerus dan Penebus
Pada bagian pembuka kita mulai mengetahui dari hal-hal kecil terawat, dipelihara dengan kekukuhan menggelora, sedari kegigihan tajam dan terus hingga dinamakan cita-cita, pantaslah diperjuangkan. Dari ringan yang tidak mereka perhitungkan, kita memulai pemberangkatan ini.

Ini berkah dari ketajaman mata bathin yang sanggup mengambil mereka yang abai, yang menganggap kita dungu atau kelewat gila, sebab saat melihat kita dalam berproses. Sementara sudah tidak ada ketika kita telah naik menanjak, karena nafas-nafas mereka telah habis di tengah jalan. Karenanya, aturan pernafasan harus diperhatikan betul, agar tidak ikut terjatuh di tengah jalan atas meremahkan. Kwalitas bukan meremehkan yang lain, kecuali benar-benar tertandakan bahwa mereka benar-benar pengecut.

Tentu saudara mengetahui bagaimana cara membangkitkan jiwa, kala sedang terlena bujuk para perayu, dengan membaca biografi nenek moyang terhormat. Ini bukan pembelajaran tetapi bagaimana terus membangkitkan semangat, tiada saat-saat padam sebelum ruh meninggalkan badan.

Basis kita keimanan amanah yang diberikan tuhan, itulah gelora nyawa bagi penebus kesalahan sejarah dibuat kaum licik, yang mengambil perhatian sejarah dengan hal-hal membingungkan jiwa kedamaian, tidak membawa mangfaat selain dogma tanpa hasana pengajaran indah. Kebangkitan kita, ras pemberontak yang mendiami bumi berkesungguhan, kesuntukan menggebu.

Iktikatnya mengajak seluruh lapisan berjuang, jika menerima menjadi pewaris terhormat, darah pemberontak dari kemapanan merugikan, kita rong-rong para mencipta hutang negara yang berlimpah kebodohan. Darah pemberontak tahu bagaimana mempertahankan hidup, agar tidak ada saat-saat menciptakan ruang meminta-minta sumbangan apalagi berhutang. Sebab telah menebusnya dengan kerja keras terus-menerus. Dan kepasrahan kita maknai dinamis, tidak puas keadaan selain tuhan menimpahkan hal pemberhentian atau mati. Kita sadap yang membuat kita lena, terus maju menumpahkan gelora perjuangan atas ras kita.

Tidakkah saudara sudah membaca buku-buku atas kelas kita? Memperjuangkan martabat kemanusiaan dengan kedudukan semestinya, tidak membedakan warna kulit atau golongan, pun keilmuan apa saja. Kitalah panji-panji penanggung jawab di antara yang ragu-gagu ketakutan atau merasa bersalah karena tidak mau melangkahkan kaki-kaki atas orang-orang tua yang kolot. Kita berdiri mewujudkan piramida gagasan luar biasa.

Kita tidak mencipta menara gading atau patung mengerikan yang sekadar menghipnotis orang lewat, namun kita terus merangsek seangin kencang membuat kendaraan perubahan iklim wacana. Kitalah jalannya perubahan, berkendaraan dengannya tetapi bukan anak-anak perubahan. Kita kendali sang perubahan, mengambil energi-energi terlewati untuk terus merangsek sampai ke pantai damai, ras yang diberkati keringat juang.

Tentu kita sadar, tidak mungkin saling membunuh-menikam, meski itu kejiwaan yang lain. Sadarlah kalau saling bantai serang, kemakmuran dan keberlangsungan ras segera habis. Tidakkah kita butuh saling bahu membahu, mencanangkan kerja besar membuat milinium bagi kejiwaan kita. Tetapi bukan berarti sama-sama kalau tidak ada perlunya. Saudaraku ras berontak, pasti akan bertemu jika gigih memperjuangkan keyakinan yang selalu merawat kejiwaan tunggal bernama tekat, segera berjumpa dalam aura agung, gelora paling tinggi setelah badai hilaf.

Kita sadar, kekuatan kita sering kali terpatahkan alam. Bersekutulah, pergunakan tubuh alam menjadi tameng-tameng, menancapkan pepohonan tegar demi dinding-dinding rumah. Kita bukan sekelompak penebang hutan sembarangan, kita merawat alam, hewan-gemewan bersatu-padu, maka kealamian juang tetap terjaga. Tidakkah dapat mengambil manfaat dari merawat kemungkinan pada permukaan-kedalamannya, menjadikan energi terus menggelora?

Proses menentukan diri ini sungguh-sungguh ras berontak atau tidak. Jangan berhenti di pertigaan atau perempatan. Sebab itu laluan yang bisa membuat kita tersingkir kalau sedang lemas saat menempuh jalan perjuangan. Jika hendak berhenti, masukilah gua keheningan paling sunyi, untuk kembali kepada hakekat sebenarnya, dari awal sebagai insan diberkahi.

Sekali lagi jangan berhenti di tengah-tengah, nanti hilang kedirianmu, dan tidak memiliki pesona lagi di hadapan saudara yang lain juga orang-orang lemah. Jangan dipermalukan langkah sendiri, terus maju dan terus. Inilah kesempatan berharga; nyawa, waktu luang, kesehatan, kekayaan. Saya tidak menyebut jabatan itu kekuatan, kalau tidak meleburkan dirinya sebagi ras kita, berontak.

Dan saling memberi kasih sesama yang ragu kurang pengalaman, sebab hakekatnya ia punya semangat membaja, sekali tarik saja sanggup berlari ribuan mil. Tentu kita bisa membedakan orang ragu karena takut, atau sungkan kepada pendahulu yang gelap, dengan ragu sebab sifat alamiah pemberontakan belum terbuka.

Kita wajib membuka kran-kran yang lemah, agar alirannya menggelinjak deras, dengan itu kekuatan ras semakin berlimpah, tenaganya tidak terdeteksi kecuali oleh kedirian yang lain, mawas diri atas langkah tertempuh. Memangfaatkan perubahan masa kecondongan gerak matahari, dengan kefahaman itu tidak lagi dalam kerangka ruang-waktu, kita merangsang bersegala pola-pola pergerakan, sehingga lebur sebab kita ialah tubuh dari perubahan, angin pencerahan, daulat kasih sayang kesungguhan cinta.

Kefahaman lingkungan perlu dibicarakan lebih dalam, dengan itu tidak dikuasai perubahan. Namun sebelum meleburkan ruang-waktu, kita harus jeli menyelidik, belajar tekun atas gejala agar tidak kecelik kalau mengetahui perubaan tubuh atau proses kreatif yang begitu menanjak bergelora. Tidakkah sering merasakan keberhasilan, dengan itu jangan terus terlena tipuan menghanyutkan diri, kita harus hati-hati menterjemahkan kejiwaan hasil, tidak perlu ragu merevisi jiwa-jiwa yang tidak baik demi tonggak lebih mapan lagi tangguh.

Anggap saja capaian itu sekadar gula-gula yang segera habis di tengah laluan kala mengunyah. Tandas nikmat selesai hingga tidak tergiur balik serupa. Tergerak kebaharuan, perawatan bidang kita teliti menarik sebagai tambahan energi. Pun pula diperhatikan meski diberi dayadinaya belimpah kudu merawatnya. Bukan kelompak kita yang memiliki sifat meremehkan, meski persoalan kecil-kecil. Saya tegaskan, jangan sekali-kali berdiskusi dengan yang memiliki jiwa-jiwa pengecut, itu musuh utama ras kita.

Ini bagian penerus-penebus, sebab moyang kita ada yang bekerja belum selesai bukan sebab apa, lantaran umurnya diambil yang Kuasa. Ia bukan manusia manja lingkungan, tidak ongkang-ongkang kaki kidungan melenakan yang kita anggap suatu kengerian. Cengeng, putus-asa ialah hal yang patut dipelajari agar sang jiwa tidak masuk ke jurang terdalam. Sekali saja terjadi akan ketagihan, sebagaimana kita lihat orang-orang cengeng terus merengek di ketiak si tuan atau ibunda kesambillauan.

Keseluruhan saya terangkan di atas, demi terkembang sebagai hal kebaharuan yang terus menerus kita tingkatkan. Tidak akan berhenti meski usia sudah lanjut, sebab hakekat kelemahan ialah usaha kita yang tidak sungguh, kecuali tuhan memprotoli kelebihan itu, saat ketuaan merambati tubuh, tetapi kejiwaan kita terus menggelora seharusnya. Ini hadiah bagi ras kita, ras berontak. Semoga kita bisa mempelajari lebih tinggi lagi dalam, berdiri sejajar dengan nenek moyang kita yang terhormat.

Bermain dalam Keseriusan
Tentu saudara mengetahui bagaimana tradisi permainan kita, melemparkan kartu-kartu kecil untuk mengelabuhi musum-musuh. Kita persiapkan perjalanan panjang tersebut dengan sekumpulan tenaga besar, sebab nantinya kita ciptakan karya-karya percobaan. Semakin mengerti pengalaman berperang, menambah faham situasi medan pertempuran.

Mangfaatkan nyawa rangkap kesungguhan, ketidakmaluan serta gunakan energi yang tidak kenal lelah, terus mengejar yang bersenyum meremehkan di atas kasur air. Kita anak-anak pinggiran kali di luar pagar, tersisikan, tetapi bukan itu lantas hanyut pertemuan arus. Tidakkah percaya, kitalah sang duta perubahan. Dengan berada di luar pagar dapat bermain seenaknya, seideal-mungkin. Biarkan mereka terbawa arus masa, tentu kita bisa mengetahui sejauh mana musuh-musuh berlari.

Mereka tidak akan tahu kapan kita menciptakan ledakkan di samping telinga di depan mata publik. Sekiranya ledakan kurang besar atau tidak berarti apa, tentu kita tidak perlu malu, dan menghimpun balik daya cipta lebih dari sebelumnya. Dengan senantiasa mengawasi musuh-musuh, celah-celah bagaimana bermain dengan permainan kita, di medan mereka atau tidak jelas waktunya.

Yang faham hakekat waktu-waktu kita, hanyalah golongan kita dan mereka tidak mengerti kapan kita menciptakan dan meledakkannya, sebab mereka disibukkan permainannya. Ini harus dimanfaatkan, menarik massa sebanyak-banyaknya dari kalangan kita, lalu merambat di pinggiran kota. Setelah massa lapisan bawa telah menjadi persekutuan, tidak harus lagi mendatangi, tetapi tentu mereka segera mengunjungi panggung milik kita berjubel massa.

Serta jangan sampai ada penyusup datang mengacaukan panggung, meski juga tidak berani. Kita jangan segan menghakimi pengacau di atas panggung, sebab apa yang terbangun ialah milik kita sendiri, berasal dari kesemangatan kerja. Jikalau sekiranya mereka ingin masuk lingkaran dan mengikuti arah, kita beri jalan terbuka. Dan semakin lama lingkaran api unggun melebar, terus membesar, maka sebaiknya menciptakan lingkaran lagi di kota-kota besar, dengan itu bisa lebih punya nafas rangkap, jikalau mereka suatu masa berhasrat menumpas kita.

Lewat beberapa lingkaran kita buat, unsur-unsur ras kita, bertambah lama semakin tidak diabaikan, menjadi ancaman besar yang berpangku tangan melihat kita dengan kesinisan. Kita tahu debu-debu kita tidak mungkin masuk ke ruang-ruang elit, sebab terhalang kaca-kaca tebal. Tetapi tidakkah mereka pasti keluar jalan-jalan? Jalan pulang? Dan melihat lingkarang kita makin membesar, dan yang semakin banyak itu.

Kita ialah massa riel sebab lintasan kita selalu di jalan-jalan, massa kita telah mengetahui sejauh mana langkah dengan keyakinan itu. Kita tunjukkan sejauh ketepatan menang dari massa mereka sekelumit tidak jelas, yang mereka gembar-gemborkan selama ini sekadar nama tidak memiliki kejelasan pendirian. Kita ciptakan lembaga-lembaga tandingan yang tidak kalah dengannya. Dana kita berasal keringat sungguh. Yang tidak sungguh-sungguh bukanlah ras kita. Kita berangkat dari jalan-jalan tidak terlihat, lalu tampak bersama debu-debu perjalanan hayat nan abadi.

Tentu saudara mengetahui, debu selalu berada di bawah, sekali melayang mengenai pandangan mata mereka. Itulah kita, terus ciptakan kemungkinan lain, sesuatu yang tidak diperhitungkan, namun kita senantiasa menghitung langkah ini bermatang tempaan. Oleh sebab itu, harus mengetahui perubahan-perubahan. Dengan kekuatan alamiah, kita sanggup hidup lestari dan mereka yang terkena arus perubahan selalu tumbang di bawah kaki-kaki, oleh sesama mereka tidak memiliki emosional persahabatan. Kita masih di bawah sana, tentu tahu bagaimana debu-debu terlayangkan ke kelopak-kelopak mata, itulah saatnya mengambil alih waktu. Dan kartu-kartu yang besar masih aman dalam genggaman tangan kita.

Sekali-kali jangan anggap permainan selesai, kita harus kian jeli kedatangan anak-anak tanggung mereka. Sekali lagi, yang memiliki sifat pengecut, senantiasa tak puas menyaksikan keberhasilan atas kesungguhan kita. Dengan pengalaman mereka juga, kita timbah keilmuan bagaimana rentangan sayap-sayap, melebarkan kekuasaan seluas-luasnya, sehingga cakar-cakar ini benar-benar menancap dalam kalbu anak-anak kita terhormat, bukannya elusan.

Di sini menampilkan keseriusan beropera sekaligus propaganda. Perlu diperhatikan, di sisi kiri dan kanan masih berdiri tegak musuh-musuh. Rawatlah kewaspadaan, jangan sampai tumbang karena mengenang kilau perjuangan. Jangan mengikuti cara-cara yang melupakan tapak-tapak kaki hayati. Pengalaman ialah guru paling bijak, memantapkan diri menunjukkan kegigihan menjadi belati tajam setiap saat. Kitalah sang penanti sekaligus yang dinanti perubahan.

Meski keberhasilan kita lebih tinggi nilainya sebab berangkat dari bawah, tetapi tidak perlu melangsungkan pesta, tentu kita faham dalam tradisi, tak ada pesta bagi anak-anak kita. Pesta kita bersatu alam, membimbing anak-anak menjadi tangan-tangan perkasa. Bagi kita, pesta ialah pendidikan. Mencukupi kebutuhan anak-anak dengan wacana yang pernah kita kerjakan, itulah kabar sesungguhnya.

Jangan sekali-kali meliuk menari di lingkungan mereka apalagi bergaya sepertinya. Kita manusia kembara yang siap menenggelamkan orang-orang angkuh di depan publik. Kita beri pelajaran musum-musuh, bukan hanya mereka yang bisa naik eskalator, sebab itu hal kemudahan. Tetapi coba lihat apakah mereka sanggup menaiki tangga kayu? Saya melihat mereka takut menaikinya, apalagi jalan-jalan di trortoar malam tiga belas.

Kelebihan kita tidak sungkan terbebani hasil. Keberhasilan bagi tradisi kita sudah jelas dari pelajaran masa, hanya acungan jempol, senyum manis yang pasti hilang. Seperti gula-gula yang kita remuk dengan gigi-gigi laksana mengampuh kreweng moyang. Tidak menganggap keberhasilan kalau tidak seluruh lapisan mengikuti tarian gigi-gigi kita, tarian pemberontak yang menabrak kemapanan mencipta terkumpulnya darah pesakitan.

Dan harus terus menguatkan barisan, meski sebagian di antara kita sudah di atas panggung pagelaran, sebab ras-rasa kita yang ada juga tidak mau menyerahkan begitu saja kedudukan tanpa kita berusaha sunggu-sunguh, serta seharusnya melebihi para pendahulu.

*) Pengelana yang tinggal di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan.

Sabtu, 23 Agustus 2008

Puisi-Puisi Javed Paul Syatha

Naga Harihariku
: apologi untuk namaku

bila api adalah naga
aku naga bagi hariharimu
jadi bumi jadi angin
menggulung segala arah
sepanjang gerak lautan gugus bintang

sebuah utusan dan pesan
harus berakhir di awang
uwung tak berujung jejak
adalah darah yang menghentak
dalam bayang aksara yang redam

akulah nyala darah
menancapkan akar tubuh
menjadi naga dalam hitungan
gemetar daundaun dalam debar cahaya

kutoreh sebersit namaku pada tanah
jawa yang kini hilang gerak
kedalam rahim yang kosong.

o, aku merayapi jemari waktu
yang terhempas dari diriku
pada akar lautan
daratan
matahari
yang tertidur tanpa nama.

Lamongan, 2005



Kali Lamong

ini sungai mengalir membilas tepian sejarah
meraba celah bebatuan yang dahaga.
dari mana sungai mengalir
dan akan mengalir?
selain bermuara keheningan.

“mari bersemadi seperti matahari,
disini gairah segerah dipadamkan”

ketika air
ketika palung sungai yang hampa
memanggil semburat wajahmu.

duh, seruas wajah menggeliat
terpilin pusara waktu
membawanya tengadah ke wajah langit,
dan di sebrang sungai itu
tibatiba wajahmu menjulur
menjadi saksi keberzamanan

sehelai rumput ataukah padi
bergetar hebat menantang angin yang riuh
di sehampar padang rindu yang sangsi
di peradaban semakin purba.

sementara bocaboca telanjang mengarungi
jeram riciknya
dengan sorai nyanyian
dengan rumbaian dan tambang
ingin membangun jembatan.

Lamongan, 2006



Brumbun

pusara yang purba:
(angin memporandakan daundaun jati
kemudian tersesat di balik bukit barisan)

duhai, bermandi nyanyi batu kapur
di lembah
nan ngarai.

sehangat panorama sahaja
membasuh wajah di bening telaga
pada setiap sukma yang merindu

sungguh,
telah ku simak segenap cinta
telah ku jumpa semburat kekasih

(pada percik pertapaan sebuah mitos
yang terus mengaliri zaman)

“tapi, hening dan terasing
pada setangkub brumbun jiwaku”

Lamongan, 2004

Jumat, 22 Agustus 2008

Mengenang Soeharto dalam Cerpen Indonesia

A. Qorib Hidayatullah

Haji Muhammad Soeharto telah berpulang selamanya, menghadap keharibaan Tuhan Yang Mana Esa. Minggu, 27 Januari 2008 jam 13.10 WIB adalah hembusan nafas terakhir mantan Presiden kedua RI itu meninggalkan seluruh rakyat bumiputra. Kala resonansi medis berhenti, tak bergetar lagi, pertanda nyawa hengkang dari jasad manusia. Tak satupun relikui kehidupan dibawanya menuju liang lahat, tempat persemayaman terakhir.

Ada silogisme (hukum penalaran) yang meniscayakan kematian: “Semua manusia mati. Socrates manusia, Socrates mati.” Kematian! Siapakah yang mampu menampiknya? Tak seorangpun –-juga sang patriarkh yang dielu-elukan oleh begitu banyak manusia itu. Hanya derap serempak ungkap ratap: “Selamat jalan Pak Harto.” Rest in peace…

Pak Harto saking lamanya memimpin bangsa ini, 32 tahun, memagnet pesastra mendedah ihwal “kekuasaannya” dalam cerita pendek. Antologi cerpen yang berjudul “Soeharto dalam Cerpen Indonesia” yang diterbitkan Bentang, 2001, dengan penyunting naskah M Shoim Anwar. Cerpen tersebut merupakan hasil gubahan kolektif dari sastrawan andal tanah air: YB Mangunwijaya, Seno Gumira Ajidarma, Taufiq Ikram Jamil, F Rahardi, Joni Ariadinata, Indra Tranggono, M Fudoli Zaini, Jujur Prananto, Agus Noor, Sunaryono Basuki KS, Bonari Nabonenar, Moes Loindong, dan Troyanto Triwikromo.

Di cover muka buku Soeharto dalam Cerpen Indonesia itu, terilustrasi bahwa Soeharto adalah seorang raja Jawa, yang sarat dengan atribut kebesarannya, duduk diatas singgasana, berpose stereotip yang memancarkan kekuasaan.

Secara jujur, Soeharto tergolong tokoh yang sangat penting dalam preseden sejarah Indonesia. Ia mampu mempersatukan sekian ratus kelompok etnik dan kebudayaan menjadi suatu republik yang disegani, pastilah tak lepas dari strategi pengaturan kekuasaan yang hebat dari seorang Jendral Besar tersebut. Kekuasaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang terbentuk selama pemerintahan Soeharto tidak hanya terasa dilapisan atas, tetapi sampai ke lapisan masyarakat yang paling bawah (grass root).

Situasi yang diciptakannya itu pasti saja menimbulkan korban, sebab tidak pernah ada keadaan yang tidak memakan korban. Dalam zaman-zaman sebelumnya dinegeri kita ini juga banyak yang dikorbankan demi berlangsungnya kekuasaan. Jika yang menjadi korban itu mampu menyusun kekuatan, dan jumlahnya semakin besar, kecenderungan yang kemudian timbul adalah penumbangan kekuasaan.

Sejarah, konon, akan terus berulang sehingga ada baiknya jika kita belajar dari sejarah. Sejarah, kata para sejarawan, ditulis oleh pihak yang menang. Dan sastrawan ternyata bukan sejarawan yang mengikuti keyakinan itu. Sastrawan “hanya” memberikan tanggapan terhadap apa yang terjadi disekitarnya, sekaligus memberikan penilaian pribadinya.

Soeharto, seorang Jawa yang menjadi “raja Jawa” di Indonesia, yang sekaligus juga memberi konotasi kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Sikap kepemimpinannya yang terakhir itu (“sewenang-sewenang”), membikin semakin banyak yang tertindas dan semakin luas kekuatan yang menentangnya.

Dalam masyarakat dimanapun, sastra mempunyai fungsi yang tidak pernah tunggal. Jika pantun bisa menjadi sarana menghubungkan manusia dengan intelegensia abadi dalam hati, sastra boleh dipergunakan untuk menyebarluaskan agama, menggambarkan cinta kasih, mengungkapkan perasaan remaja, menggoda kita untuk tertawa, bahkan sekadar mengajak kita bermain-main. Dan tentu saja, sastra juga untuk menyampaikan kritik dan kemarahan terhadap segala sesuatu yang terjadi disekeliling kita.

Nada cerita Soeharto dalam Cerpen Indonesia, memotret “kekuasaan” Soeharto dari satu sisi, yang pada taraf tertentu seragam. Antara lain tentu karena keyakinan bahwa sastra memiliki fungsi untuk membela kaum miskin tabah tuna daya (tertindas). Atau bisa juga dikatakan bahwa strategi Soeharto dalam mempertahankan kekuasaannya berhasil, antara lain dengan cara memaksakan cara berpikir seragam kepada rakyat.

Itulah menurut keyakinan sementara orang tentang hakikat kesusastraan. Kita tahu, dalam banyak karya sastra klasik para sastrawan bahkan menggubah fiksi mengenai asal-usul raja yang kemudian oleh rakyat banyak dianggap sebagai fakta. Mungkin sekali para penulis cerpen dibuku itu tidak secara langsung menciptakan fiksi tentang Soeharto. Apa yang diciptakan oleh para penulis cerpen tersebut tentu saja bisa ditujukan terhadap rezim jenis apa saja, disini maupun negeri lain.

Setidaknya dalam kumpulan cerpen itu muncul kesan bahwa segala sesuatu yang terjadi di Indonesia ini, meminjam kata pengantar editornya (M Shoim Anwar), “Soeharto-lah yang harus bertanggung jawab.” Kemudian muncul kecenderungan dikalangan para sastrawan untuk membela para korban kekuasaan. Selama kekuasaan itu masih belum tergoyahkan, para sastrawan mencari berbagai cara untuk menyiratkan atau “menyembunyikan” kemarahan dan kejengkelannya dalam berbagai bentuk, simbolik maupun metaforik. Sastra dijadikan mesiu perlawanan.

Dalam sejumlah cerpen yang umumnya sudah mencapai taraf komposisi yang menarik, kita menyaksikan proses pengabadian suatu rezim, dan karena hakikat sastra, Soeharto pun menjadi sosok kekal. Meski, di cerpen itu kita tidak mendapati nama mantan Presiden kedua RI itu. Yang ada hanya simbolisasi “kekuasaan” Soeharto yang memberi ruh besar dalam karya cerpen tersebut.

Kendati pun, kita (rakyat Indonesia) memiliki kesan beragam cara mengenang Bapak Pembangunan yang telah tiada itu. Bagi para aktivis gerakan demokrasi yang menjadi korban kebijakan represif di era Orde Baru, Soeharto dikenang sebagai tokoh diktator. Namun, bagi sejumlah pejabat di era kepemimpinannya, Soeharto adalah pejuang dengan jasa besar.

Alangkah baiknya kita menyimak garitan puisi gubahan Sapardi Djoko Damono, “Ziarah”, 1969: dengan kaki telanjang; kita berziarah/ke kubur orang-orang yang/telah melahirkan kita//Jangan sampai mereka terjaga!/Kita tak membawa apa-apa//Kita tak membawa kemenyan atau pun bunga-bunga;/kecuali seberkas rencana-rencana kecil (yang senantiasa tertunda-tunda) untuk/kita sombongkan kepada mereka.

Pada akhirnya, tidak pernah ada malaikat diantara kita. Kini pemimpin itu telah pergi meninggalkan kita semua. Bagaimana bangsa ini mengubah persepsi menjadi visi. Mengatasi keduniawian dengan kesejatian. Menggeser hadirin dari kepala ke nurani mereka. Kekurangan yang dimiliki Pak Harto tak harus menghapuskan kelebihannya.

Menemukan Rumi Lewat Matsnawi

Liza Wahyuninto*)

Sosok Maulana Jalaluddin Rumi kini mulai sering dibahas di seluruh penjuru dunia. Ketokohannya dalam bidang sufi dan sastra mulai menjadi perbincangan yang seolah tiada mengenal kata “lawas”. Tidak salah jika pada pertemuan pertama Fariduddin al-Attar dengan Rumi, dengan optimis ia meramalkan: "hari akan datang, dimana anak ini akan menyalakan api antusiasme ketuhanan ke seluruh dunia". Dan hari yang diramalkan oleh sang penulis karya agung “Musyawarah Burung” tersebut telah lama datang dan hingga kini masih dinikmati oleh kalangan pengkaji Rumi dan karya-karyanya.

Kemunculan kembali nama Rumi setelah lama terpendam sebenarnya meliputi banyak faktor. Rumi dikenal tidak hanya lewat aliran tasawuf yang didirikannya (baca : Maulawiyah), kebesaran namanya dalam bidang sastra telah mendunia. Atas karya-karyanya, banyak tokoh sastra dunia “mengangkat topi” karena kedalaman akan makna dan diksi yang sulit ditandingi. Di samping itu, faktor kekaguman akan karakteristik Rumi seolah menjadi trend baru.

Annimarie schimmel – salah seorang pengkaji dan peneliti karya-karya Rumi – mengatakan bahwa kekuatan rumi ada pada cintanya, suatu pengalaman cinta dalam makna manusiawi tetapi sama sekali didasarkan pada Tuhan, ia merasa bahwa dalam setiap do'a itu ada rahmat Ilahi, dan ia membukanya sendiri rahmat Ilahi itu, beserta dengan kehendak Ilahi, ia menemukan pemecahan bagi teka-teki taqdir dan mampu menjulang ke puncak kebahagiaan dari kesedihan yang paling dalam karena perpisahan.

Berbicara mengenai Rumi tidak akan terlepas pada dua hal, yaitu Tabriz dan karya-karya Rumi. Tabriz merupakan seorang sufi yang faqir dalam arti yang sebenarnya, namun mampu mencuri hati Rumi. Kemunculan Tabriz merubah segenap kehidupan Rumi, sama halnya ketika Musa bertemu dengan Khidir. Hanya saja perbedaannya, Tabriz bukanlah seorang nabi. Namun, baik Tabriz maupun Khidir keduanya membukakan ruang baru untuk digunakan sebagai pijakan. Pertemuan dengan Tabriz-lah yang mengantarkan Rumi akan mahabbatullah. Sayang, di saat-saat Rumi sedang intim dengan Tabriz takdir mengharuskan keduanya berpisah.

Kepergian Tabriz yang telah dianggap sebagai matahari bagi Rumi sempat membuat Rumi mengalami ”stress” yang cukup lama. Kehilangan seseorang yang menjadi penuntun hidup bereaksi pada kehidupan keduniawiannya, Rumi enggan untuk mengajar para murid-muridnya. Peristiwa ini berakhir ketika Rumi bertemu dengan salah satu muridnya, Husamuddin. Meskipun kehadiran Husamuddin tidak mampu menggantikan posisi Tabriz, namun lewat Husamuddinlah karya-karya Rumi tertuliskan. Lahirnya karya terbesar Rumi, Matsnawi fi Ma’nawi, merupakan ide cemerlang dari Husamuddin yang setia untuk menemani dan bersedia untuk menuliskan setiap tutur kata Rumi.

Di dalam matsnawi-lah akan banyak ditemukan pemikiran-pemikiran cemerlang Rumi. Seluruh ajarannnya tertuang di dalam kitab tersebut. Matsnawi berisikan penceritaan peristiwa-peristiwa suci, tanggapan dan tafsiran akan al-qur’an serta al-hadits. Secara gamblang, Rumi menceritakan dunia di dalam sebuah kitab bernama Matsnawi.

Menurut Profesor RA Nicholson, Matsnawi mengandung sesuatu kekayaan puisi yang mencerahkan. Tetapi para pembacanya harus menempuh jalan melalui apologi, dialog dan penafsiran-penafsiran nash-nash Qurani, kepelikan-kepelikan metafisis dan petuah-petuah moral secara bersamaan sebelum mereka memiliki kesempatan menikmati suatu bagian dari kidung murni dan tinggi. Maka tidak perlu kaget jika kemudian ketika membaca matsnawi menemukan pembahasan yang mengharuskan membuka madzhab-madzhab filsafat dunia.

Ini semua dikarenakan Mathnawi berisi penuh dengan spektrum kehidupan di dunia, setiap kegiatan manusia; religi, budaya, politik, perdagangan; setiap karakter manusia dari yang vulgar sampai yang halus. Hingga seperti tiruan dari dunia yang secara detail, sejarah dan geografi. Juga sebuah buku yang menampilkan demensi vertikal dari kehidupan -dari nafsu keduniawian, kerja, dan level paling mulia dari metafisik dan kesadaran cosmis.

Melahirkan (Kembali) Rumi lewat Matsnawi
Keajaiban pemikiran Rumi yang tertuang dalam Matsnawi jika mau dicermati akan banyak menemukan penyadaran akan jiwa yang selama ini hilang. Matsnawi yang berisikan peringatan, ancaman, analogi dengan diceritakan secara elok dengan bahasa sastra yang sempurna mampu menghujam langsung ke dasar hati. Seperti dibangunkan dari mimpi, begitulah pengibaratan pembaca-pembaca Matsnawi.

Sebelum kemunculan Matsnawi, telah ada Hadiqqah al-Haqiqah yang ditulis oleh Syekh Sana’i dan Mantiq al-Tayr buah karya Fariduddin al-Atthar. Ketiga karya ini menuliskan pemikiran akan tasawuf yang dituliskan dalam bentuk karya sastra. Sebenarnya masih ada karya lain, seperti yang ditulis oleh Ibn Thufail. Namun, keunggulan Matsnawi terletak pada nilai didaktis dan sastranya yang mengagumkan. Meskipun demikian, tidak mengurangi sedikitpun akan uraian keluasan dari lautan semangat kerohanian dan perjalanan manusia menuju dunia dan dari dunia menuju kebenaran hakiki. Sehingga pantas kiranya Matsnawi mendapat predikat sebagai al-Qur’an kedua bagi bangsa Persia.

Kitab yang ditulis dalam waktu 12 tahun ini oleh Afzal Iqbal dalam bukunya Life and Works of Rumi (1956) disebutkan bahwa Matsnawi terdiri dari 25.000 bait prosa lirik, dan Enciclopedia Britanica (vol. XIX, 1952) menyebutkan terdiri dari 40.000 bait. Dengan kekaguman inilah, Abdul Rahman al-Jami’ menyebut bahwa Matsnawi adalah Hast Quran dar Zaban-i Pahlavi.

Terlepas dari itu semua, Rumi akan dapat ditemukan ketika pembaca karya-karyanya mampu melukiskan ulang jiwa Rumi pada saat penulisan karyanya tanpa harus mengalami sendiri. Diharapkan dengan pencitraan ini, Rumi akan hadir selayaknya para pengikut aliran Maulawiyah yang begitu menikmati setiap putaran dalam tarian ekstasenya.

”Menari tidaklah menyerah pada rasa sakit, seperti butiran debu yang tertiup berputar dalam angin. Menari adalah ketika bangun di dua dunia, menyobek hatimu menjadi serpihan-serpihan dan membangunkan jiwamu," kata Rumi. Tentang tarian ini Rumi menggambarkan "Seperti gelombang di atas putaran kepalaku, maka dalam tarian suci Kau dan aku pun berputar. Menarilah, Oh Pujaan hati, jadilah lingkaran putaran. Terbakarlah dalam nyala api-bukan dalam nyala lilin-Nya”.

Para Pencipta Ulang Rumi
Jauh setelah Rumi meninggalkan kefanaan dunia, lahirlah Muhammad Iqbal pada 1873 M. Iqbal pernah bertutur bahwa dirinya pernah ditemui Rumi di dalam mimpinya. Setelah pertemuan tersebut, Iqbal kemudian mengklaim Rumi sebagai guru spiritualnya. Setiap karya dan pemikiran Iqbal tidak luput dari corak pemikiran Rumi.

Dalam salah satu pendapatnya, Iqbal mengungkapkan bahwa ”Tuhan bukan lagi keindahan luar tetapi sebagai kemauan Abadi. Keindahan adalah hanya salah satu sifatNya selain Esa. Tuhan menyatakan Eksistensinya bukan pada wilayah dunia yang terindera tetapi dalam ruang yang sangat pribadi dan terbatas, jadi mengetahui Tuhan hanya bisa lewat jalan pribadi. Dengan menemukan Tuhan jangan biarkan Ego kita terserap oleh Tuhan,tetapi kitalah yang berusaha menyerap sebanyak-banyaknya sifatnya. Sehingga ketika Ego beruba menjadi super Ego maka ia akan naik sebagai wakil Tuhan.”

Iqbal kemudian berhasil mengenalkan Rumi kembali pada dunia. Dan selanjutnya tidak hanya Iqbal, tokoh-tokoh sastra Barat-pun ikut melakukan pengkajian yang membuat nama Rumi semakin populer di telinga masyarakat dunia. Namun, meskipun Rumi hanya dikaji lewat sastra, pemikiran sucinya akan konsep ketuhanan tidak dapat dipisahkan. Ini juga tidak dapat dipisahkan dari tarekat Maulawiyah, aliran tarekat yang didirikan oleh Rumi yang berpusat di Anatolia, Turki. Lewat aliran darwis berputar inilah konsep ketuhanan Rumi juga ditunjukkan.

Rumi akan terus terlahir lewat karya-karyanya, lewat setiap kata-kata magicnya hingga mampu menjadi penuntun spiritual sebagaimana yang dirasakan oleh Iqbal. Untuk mampu menari menuju puncak ekstase sebagaimana yang digambarkan Rumi tidaklah harus dengan mengulang cerita pengembaraan Rumi, namun akan mampu ditemukan dengan melakukan perenungan akan setiap paparan Rumi akan dunia dalam karyanya.

Sebagai penutup tulisan ini, perlu dditegaskan bahwa bagi Rumi, kata-kata adalah cahaya yang menerangi keraguan dan penglihatan atas cinta Tuhan. Maka wajar jika dalam setiap karya-karyanya, ungkapan pesan cinta begitu universal dan ini merupakan wujud bahwa semua orang dapat hidup berdampingan secara damai.

”Kuingin sebuah dada koyak sebab terpisah jauh dari orang yang dicintai, dengan demikian dapat kupaparkan kepiluan cinta” (Matsnawi fi Ma’nawi)

Menampik Rasa Jengah Terhadap Bangsa

Judul Buku : Kagum Pada Orang Indonesia
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Progress– Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2008
Tebal : 56 Halaman
Peresensi : Liza Wahyuninto*

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak/Hukum tak tegak, doyong berderak-derak/Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak/Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza/Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia/Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata/Dan kubenamkan topi baret di kepala/Malu aku jadi orang Indonesia.

Potongan puisi “Malu (Aku) jadi orang Indonesia” yang ditulis oleh Taufiq Ismail pada tahun 1998 di atas menunjukkan betapa kekaguman terhadap bangsa ini telah lama pudar bahkan perlahan sirna. Ada rasa malu mengakui bahwa bangsa Indonesia sebenarnya pun patut untuk dikagumi. Bahwa di balik kebobrokan yang ditampilkan oleh Taufiq Ismail dalam puisinya tersebut, masih ada ruang untuk memberikan pujian kepada Indonesia sebagai bangsa besar dan memiliki kelebihan yang belum tentu dimiliki oleh negara belahan lain di dunia ini.

Kekaguman itulah yang disorot oleh budayawan, Emha Ainun Nadjib, dalam kumpulan esainya ini. Dengan ciri khasnya yang sangat pandai dalam memilih diksi, Cak Nun menunjukkan kekagumannya terhadap orang Indonesia. Dan kekaguman yang dinyatakan oleh Cak Nun dalam bukunya ini, semuanya merupakan kekurangan yang dimiliki oleh manusia Indonesia. Cak Nun menanggap bahwa kekurangan atau cela yang ada dalam diri manusia Indonesia, itulah yang perlu untuk dikagumi.

Untuk mengetahui karakter orang Indonesia tentu dibutuhkan banyak perjumpaan dengan mereka. Mustahil mengenal sifat orang Indonesia jika tidak ada interaksi dengan mereka. (Hal. 5) Dan Cak Nun dikenal sangat dekat dengan rakyat kecil (urban), bahkan tidak jarang pula menyuarakan suara mereka yang tidak sempat didengar oleh pemerintah. Sebagai satrio piningit di era globalisasi, Cak Nun memposisikan diri sebagai penyambung lidah rakyat. Kedekatan ini pulalah yang melahirkan kecintaan besar Cak Nun terhadap manusia Indonesia, hingga berbuah pada kekaguman terhadap manusia Indonesia.

Pengajian rutin yang dilakukannya di berbagai daerah juga ikut menjadi dokumentasi dari kelahiran buku ini, hingga banyak hal yang dapat disorot oleh Cak Nun dari manusia Indonesia. “Kunjungan” Cak Nun ke negara-negara lain juga ikut menjadi oleh-oleh untuk diceritakan dalam kumpulan esai ini.

Runtuhnya rasa kagum terhadap manusia Indonesia yang diungkapkan oleh Taufiq Ismail lewat puisinya “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia”, tidak lain adalah kritik terhadap diri manusia Indonesia. Ada yang salah dalam diri manusia Indonesia atau dalam istilahnya Taufiq Ismail “orang Indonesia”. Bahwa setelah kemerdekaan Indonesia diperoleh, manusia Indonesia belum siap untuk menjadi penguasa Indonesia, hingga tidak mengherankan pada babak selanjutnya manusia Indonesia masih menjadi pekerja.

Tercatat bahwa Indonesia adalah negara paling banyak yang mengirimkan delegasinya untuk menjadi tenaga kerja ketimbang menjadi mahasiswa. Disinilah letak degradasi kebanggan terhadap Indonesia yang direkam oleh taufiq Ismail lewat puisi “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia”. Bahwa manusia Indonesia masih lebih bangga memakai produk luar negeri daripada produk hasil negeri sendiri.

Cak Nun yang sangat mengerti manusia Indonesia merespon hal itu. Baginya, itu merupakan salah satu kelebihan manusia Indonesia yang patut untuk dikagumi. Ungkapan paradok semacam inilah yang sering dilontarkan Cak Nun, dan Cak Nun menilai bahwa dengan cara inilah rasa kagum dan rasa percaya diri kepada manusia Indonesia dapat kembali terangkat. Tidak salah jika dalam kumpulan esainya ini Cak Nun memberi judul pada salah satu esainya “Bangsa Besar Tak Butuh Kebesaran”.

Cak Nun berpendapat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Kebodohan yang merata dalam kehidupan bangsa kita di semua segmen dan strata, tidak mengurangi kebesaran bangsa Indonesia. Untuk menjadi besar, bangsa Indonesia tidak memerlukan kepandaian. Bodoh pun kita tetap besar. Dengan mental kerdil pun kita tetaqp besar. Dengan modal moralitas yang rendah dan hina pun bangsa kita tetap bangsa besar. Oleh karena itu kita tidak memerlukan kebesaran, karena memang sudah besar. (Hal. 21)

Pemahaman akan “siapa” orang Indonesia sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh Cak Nun, pada tahun 1977, Muchtar Lubis berhasil mengidentifikasi lebih dari sepuluh sifat orang Indonesia. Namun kebanyakan bernada negatif. Di antaranya hasil identifikasi Muchtar Lubis yang bernada negatif yaitu, menilai bahwa orang Indonesia hipokrit, enggan bertanggung jawab atas perilakunya, bermental feodal, percaya takhayul dan tidak hemat. Sedangkan yang bernada positif yaitu orang Indonesia itu artistik, yang bermakna bahwa orang Indonesia mencintai seni.

Nampaknya hasil identifikasi yang dilakukan oleh Muchtar Lubis inilah yang kemudian dipakai sebagai tolak ukur untuk membaca apa dan siapa orang Indonesia selama ini. Wajar jika kemudian kritik berbalas selalu terjadi di negeri ini. Kritik tersebut lebih sering dilontarkan antar sesama orang Indonesia, namun ketika Negara lain yang mengkritik, mengolok atau menggunjingkan Indonesia, kita lebih banyak memilih diam. Bahkan ketika pulau Indonesia, kebudayaan Indonesia hingga pada produk yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia diklaim sebagai milik bangsa lain, kitapun tetap memilih diam.

Sikap diam yang dilakukan oleh manusia Indonesia diinterpretasikan oleh Cak Nun bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang tak butuh kebesaran. Kerendah hatian itulah yang digarisbawahi oleh Cak Nun sebagai sikap manusia Indonesia yang pantas untuk dikagumi. Dilain hal, yang patut dikagumi dari manusia Indonesia adalah sikap kerja keras. Tidak benar jika dikatakan bahwa manusia Indonesia adalah pemalas. Hal ini dibuktikan oleh Cak Nun ketika mendapati tenaga kerja Indonesia lebih disayang oleh pimpinan perusahaan di mana mereka bekerja daripada tenaga kerja dari bangsa lain. Untuk menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak pemalas, dalam salah satu esainya pada buku ini Cak Nun sengaja memberi judul “Bukan Bangsa Pemalas”.

Manusia Indonesia tidaklah harus menjadi manusia yang disegani atau bahkan ditakuti oleh bangsa lain, karena kekaguman terhadap manusia Indonesia adalah murni kekaguman akan potensi yang dimiliki oleh manusia Indonesia seutuhnya. Kehadiran buku ini cocok kiranya untuk ditampilkan sebagai perenungan bersama akan kekurangan yang dimiliki oleh manusia Indonesia untuk kemudian dijadikan sebagai kekuatan manusia Indonesia yang sesungguhnya. Karena bukanlah senjata berat atau kapal yang tangguh yang dapat melindungi bangsa ini, melainkan karakter dan jati diri manusia Indonesia untuk melindungi harga diri bangsanya.

Akhirnya, tidak perlu lagi kita mengumandangkan “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Tapi, bangga aku menjadi orang Indonesia.

DI UJUNG WAKTU

Mala M.S

“Anggi jangan lupa obatnya diminum” Itulah kata-kata yang selalu diucapkan oleh Mama selama dua bulan terakhir ini, setiap aku bertanya kenapa kau harus minum obat; Mama selalu menjawab “Kamu kan sering pusing makanya mama nyuruh kamu minum obat itu biar kamu nggak pusing.” Jawaban yang sama sekali tidak membuatku puas. Dan tiap kali aku bertanya ke Papa; Papa hanya diam seribu bahasa, tapi seketika rasa penasaranku terhadap obat-obat itu hilang dikala aku bersama Rendy. Bila berada di dekatnya aku merasa tenang. Rendy adalah cowokku.

Aku sudah menjalin hubungan dengan Rendy selama tujuh bulan. Kami saling terbuka. Tak ada satupun masalah yang aku sembunyikan pada Rendy termasuk soal obat itu. Sebaliknya, Rendy juga demikian. Rendy sangat khawatir dengan keadaanku. Dia menyarankanku pergi ke Dokter Iwan. Dokter Iwan adalah dokter yang memberikan resep obat yang aku minum selama dua bulan terakhir ini. Pernah sekali aku bermaksud menanyakan penyakitku. Tapi dr. Iwan selalu menjawab “Adek tidak kenapa-napa apa, obat itu hanya sebagai penghilang rasa pusing.” Jawaban itu membuatku sedikit lega tapi belum sepenuhnya tenang. Seperti ada yang beliau sembunyikan dari aku.
***

Dua minggu kemudian.
“Bi, Mama sudah pulang belum?” tanyaku pada Bibi.
“Sudah Non, mungkin sekarang Nyonya lagi istirahat di kamar”
Aku kemudian pergi ke Kamar Mama.
“Ma, ke mall yuk! Anggi kan pengen beli baju baru.”
“Iya. Ini juga Mama baru mau mandi. Kamu tunggu aja bentar!”
Aku lihat meja Mama berantakan.“Meja Mama Anggi rapiin ya?!”
“Boleh”

Akupun menghampiri meja yang berantakan itu, sementara Mama beranjak ke kamar mandi. Satu persatu buku juga majalah aku rapikan. Tiba-tiba dalam majalah yang ada di tanganku; secarik kertas terjatuh tanpa sengaja. Ketika aku mengambil secarik kertas itu dan iseng membacanya ternyata surat itu dari Rumah Sakit yang ditandatangani oleh dr. Iwan yang menyatakan kalau aku mengidap penyakit leukimia dan umurku hanya tinggal enam bulan lagi.
“Anggi!!” teriak Mama.

Mama yang baru selesai mandi langsung menghampiriku.
“Ma… apa ini bener Ma?” ucapku tak kuasa menahan tangis sambil menunjukkan surat itu.
“Anggi, maafin Mama Nak!” kata Mama sambil matanya berkaca-kaca dan memelukku erat sekali seakan-akan Mama tidak mau kehilangan aku.
“Kenapa Mama merahasiakan semua ini pada Anggi Ma?!” aku melepas pelukan Mama.
“Kenapa Ma? kenapa?”
“Mama, Papa dan Dokter sengaja merahasiakan ini semua; karena kita tidak ingin melihat kamu bersedih sayang.”
Aku tertunduk dan air mataku terus mengalir.

Setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk pergi ke Surabaya. Aku pergi tanpa memberitahu Rendy. Aku juga melarang Papa dan Mama untuk memberitahukan keberadaanku pada siapapun termasuk Rendy.

Tidak terasa aku sudah di Surabaya selama tiga bulan. Pagi ini Mama datang ke Surabaya untuk melihat keadaanku. Mama di Surabaya tidak lama, hanya satu jam. Sebelum pulang Mama memberikan secarik surat kepadaku. Setelah Mama pulang, aku membaca surat itu dengan hati tergetar.

Teruntuk
Kekasihku Anggi

aku nggak tahu kenapa kau pergi meninggalkanku
aku juga nggak tahu kemana kau pergi
aku selalu mencoba menghubungimu, mencarimu,
bahkan aku juga menanyakan pada orang tuamu
tapi semua sia-sia
namun aku tetaplah aku
meskipun kau jauh, aku selalu mencintaimu

Anggi…
“bila aku harus mencintai
dan berbagi hati itu hanya denganmu
namun bila ku harus tanpamu
akan tetap ku arungi hidup tanpa bercinta1”
sebait lagu itu telah mewakili hatiku.

Anggi…
i hope our love will last forever.

yang selalu mencintaimu
Rendy

Tanpa terasa, air mataku sudah sampai di pipi. Aku tak kuasa membaca surat dari Rendy. Dia begitu mencintaiku. Ingin rasanya aku memberitahukan semuanya pada Rendy tapi aku tak ingin melihat dia bersdih karena mengetahui keadaanku yang sebenarnya. ‘Rendy, maafkan aku. Andai saja kau tau keadaanku, kau pasti akan ikut bersedih’ ucapku dalam hati.
***

Lima bulan sudah aku berada di Surabaya. Itu berarti umurku hanya tinggal satu bulan. Aku kemudian memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Aku ingin sekali menemui Rendy. Tapi aku merasa belum siap bertemu dengannya. Akupun menelfon sahabat karib Gita.
“Hallo” terdengar suara Gita.
“Git, ini aku Anggi”
“Anngi, kamu sudah kembali?”
“Iya, aku sudah kembali. Kamu sekarang ke rumahku ya?!”
“Iya, aku akan datang ke rumahmu”

Beberapa menit kemudian, Gita sampai di rumahku dan aku mengajaknya pergi ke taman dekat lapangan basket.
“Nggi, selama ini kamu kemana aja. Sejak kepergianmu, Rendy sering melamun. Dia sangat terpukul atas keperginmu.”
“Aku pergi ke rumah saudaraku di Surabaya untuk menenangkan diri”
“Menenangkan diri?”
“Iya karena aku mempunayai masalah yang sangat berat”
“Masalah, Masalah apa? kenapa kamu nggak pernah cerita ke aku?”

Ketika aku hendak menceritakan semuanya pada Gita, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara cowok memanggilku. Dan akupun menoleh.
“Rendy!” ucapku kaget. Ternyata Rendy sudah berdiri di belakangku. Akupun kemudian berdiri dan bermaksud untuk pergi. Namun seketika langkahku terhenti karena Gita memegang tanganku.
“Lepasin Git! Biarkan aku pergi” Pintaku seraya mencoba melepaskan tanganku dari tangan Gita.
“Please Nggi, kamu jangan pergi! kasihan Rendy.”

Akupun kembali duduk.
“Anggi maafkan aku. Akulah yang memberitahu Rendy kalau kamu sudah kembali ke Jakarta. Aku melakukan ini semua karena aku kasihan sama Rendy. Sebaiknya kalian selesein masalah kalian berdua. Aku permisi.” Gita pun pergi meninggalkan aku dan Rendy.

“Nggi, kenapa selama ini kamu pergi meninggalkan aku? Dan kenapa kamu nggak pernah ngasih kabar ke aku?” tanya Rendy yang sekarang berdiri tepat di belakangku. Namun aku tidak bisa berbuat banyak hanya diam dan menangis.
“Anggi, jawab donk! aku butuh penjelasan.”

Dengan pipi penuh air mata, aku mencoba untuk bicara.
“Please Ren, tinggalin aku!”
“Enggak Nggi, aku nggak akan ninggalin kamu.” Ucap Rendy tulus.
“Ren, aku nggak pantes buat kamu. Di luar sana masih banyak cewek yang lebih bisa kamu harapkan dari pada aku.”
“Jangan bicara seperti itu Nggi”
“Tidak Ren, aku hanya akan mengecewakanmu.”

Dengan berlinangan air mata aku berlari meninggalkan Rendy.
“Anggi, tunggu! aku sangat menyayangimu.” Teriak Rendy. Namun aku tak menghiraukannya sama sekali.

Setelah kejadian itu, Rendy berkali kali datang ke rumahku. Namun sekalipun aku tak pernah mau menemuinya. Dan tiap dia menelfonku. Aku pun tak pernah mengangkatnya.
***

“Anggi” Panggil mama.
“Iya Ma”
“Jadi ikut Mama ke super market nggak?”
“Iya Ma, tunggu bentar!” Akupun keluar kamar dan turun.
“Ayo Ma, kita berangkat.” ajakku

Baru sampai di depan pintu tiba-tiba aku pingsan. Mama lalu membawaku ke Rumah Sakit. Keadaanku sangat kritis. Setelah beberapa hari aku terbaring lemah di kamar ICU bertahan melewati masa kritis, aku pun sadar. Kulihat di sampingku ada kedua orang tuaku.

“Ma….” Ucapku tersendat-sendat.
“Sayang, kamu sudah sadar.” Sahut Mama dan Papa bahagia. Aku berusaha bicara meskipun terputus-putus.
“Ma… Pa… maa..fin Anggi. Tolong berikan surat ini pada Rendy.” Aku berusaha berkata sambil memberikan surat pada Mama.
“Laa… illaa… ha.. illa… llah….” Setelah itu aku merasakan tubuhku begitu hampa dan pandanaganku begitu gelap dan aku pun tak sanggup untuk tidak menutup mata dalam diam. Mengikhlaskan segalanya di ujung waktu nan abadi.
***

Untuk Kekasihku,
Rendy

Ren, ketika kau membaca surat ini
mungkin aku telah tiada
kita telah terpisah ruang dan waktu
Tuhan telah menata taqdir setiap hambahNya
aku harap kau tak merasa kehilangan atas kepergianku
dan aku berdoa semoga kau mendapat pendamping hidup
yang lebih baik dariku
yang setia mencintaimu sampai ajal menjemputmu

Yang slalu menyayangimu
Anggi

Setelah membaca surat dari Anggi, Rendy terdiam merenungi semuanya.“adakah selamanya cinta berakhir dengan kepedihan.” Dan Rendy pun berdoa dalam derai air mata yang terburai oleh duka yang sangat dalam.**

Lamongan, 2008

*)Salah satu lirik dalam lagu dari Band ElEmEn

UTLAH

Ahsanu Nadia

Liburan tahun lalu, Rahmadina ikut ayahnya pergi ke bank. Di sana Rahmadina melihat banyak orang. Ayahnya berada di barisan loket tabungan. Di barisan loket tabungan ada yang mengambil uang ada pula yang menyimpan uang. Di loket yang lain, orang-orang juga sedang antre menunggu giliran.

Ada juga beberapa petugas bank yang duduk di luar barisan, mereka melayani orang-orang yang bertanya mengenai cara-cara menabung atau hal-hal lain. Rahmadina juga bertanya kepada petugas bank tentang cara-cara transaksi yang lain di bank. Diusianya yang masih belia Dina memang menjelma sebagai anak yang cerdas.

Rahmadina mununggu ayahnya dengan hati yang sabar di ruang tunggu, ruang yang memang sengaja disiapkan oleh pengelolah bank untuk para nasabah. Sambil menunggu ayahnya, Rahmadina mengamati setiap orang yang masuk silih berganti. Rahmadina melihat beberapa orang yang masuk ke bank melewati pintu masuk, dan segera menuju ke loket yang dituju. Adapula yang masih menunggu giliran sambil mengecek barang dan uang yang dibawa, ada pula yang menunggu sambil bercakap-cakap dengan teman atau petugas. Sekedar untuk mengisi waktu.

Tiba tiba Rahmadina melihat seorang gadis kecil seusianya masuk bersama seorang wanita. Rahmadina tersenyum kepadanya. Gadis tersebut membalas senyum Dina kemudian berbisik kepada wanita tadi. Gadis itu menghampiri Dina. Mereka berkenalan lalu bercakap-cakap seru.

Mereka menunggu dengan sabar. Pembicaraan mereka terus berlanjut. Dina betah sekali berlama lama bersamanya. Para petugas yang ada di loket, melayani para pengunjung dengan ramah. Beberapa waktu kemudian, ayah Rahmadina mengajak Rahmadina pulang. Rahmadina dan ayahnya pulang dengan perasaan gembira.
***

Pada hari yang lain, Rahmadina bersama keluarganya berlibur mengunjungi rumah kakek dan neneknya di desa. Mereka mengendarai mobil yang disetir ayah Rahmadina sendiri. Sepanjang perjalanan, Rahmadina menikmati pemandangan yang begitu indah. Rahmadina tak bosan-bosannya melihat pemandangan lewat kaca jendela mobil.

"Subhanallah! Yah, Ayah rasakan deh, udara di sini sejuk banget. Ditambah dengat hamparan padi yang menguning. Subhanallah, menakjubkan sekali!" ayah Rahmadina hanya tersenyum kecil melihat glagat anak manisnya.
"Ah andai saja di kota banyak di tumbuhi pohon dan tanaman, pasti seru. Kalau saja di dunia ini diadakan hari tanpa polusi udara; bisa nggak ya?!" Rahmadina bertanya pada dirinya sendiri.

Rahmadina tak henti-hentinya mengucapkan kalimat thoyyibah.
Sesampainya di rumah Kakek dan Nenek, Rahmadina langsung turun dari mobil dan melesat kepelukan Kakek dan Neneknya kemudian mencium tangan dan kembali memeluknya manja. Rahmadina memang sudah kangen sekali dengan mereka, hampir setahun lamanya tidak bersua, makanya ketika ada kesempatan berlibur maka kesempatan itu tidak disia-siakannya untuk mengunjungi Kakek dan Nenek yang sangat mereka sayangi itu.

Setelah puas kangen-kangenan Rahmadina, Ayah dan Ibunya lantas menikmati makanan ringan yang dibuat oleh sang Nenek yang memang sudah disiap-siapkan sejak mereka mengabari akan berkunjung ke rumah. Karena perjalanan yang lumayan jauh Rahmadina beristirahat sebentar, sekedar untuk melepas penat. Setelah itu, Rahmadina akan ikut Kakeknya pergi ke ladang; karena ingin melihat langsung bagaimana cara menanam biji jagung yang baik biar tumbuh dan bisa dipanen hasilnya. Diam-diam Rahmadina tertarik juga untuk ikut membantu Kakeknya menanam biji jagung di ladang yang gembur.
***

Beberapa hari kemudian, tanaman jagung yang ditanam sendiri oleh Rahmadina sudah tumbuh subur, tapi Rahmadina harus pulang karena masa liburannya telah habis dan harus masuk sekolah lagi, dan sebelum Rahmadina pulang, Rahmadina menitipkan pesan kepada Kakeknya agar merawat dan menjaga baik-baik tanaman jagung yang ditanamnya. Dengan sedikit bercanda kepada Kakeknya “Kek, nanti kalau jagungnya sudah dipanen Dina dikirimi ya, Kan Dina yang tanam!?” kontan semua yang mendengar tertawa dengan hati yang riang.
***

Keesokan harinya, Rahmadina dan keluarga berpemitan untuk kembali pulang. Dalam perjalanan Dina selalu teringat tanaman jagung miliknya. Bahkan bayangan itu pun terbawa sampai di rumah.

Tiga bulan kemudian, Rahmadina mengirim surat kepada Kakeknya. Yang isinya menanyakan tentang tanaman jagung miliknya. Sebulan kemudian Rahmadina mendapat surat balasan dari Kakek. Lantas Kakek pun menceritakan dalam surat balasannya bahwa jagung Rahmadina sudah dipanen dan dijual di pasar, sebagian disisihkan untuk kebutuhan di rumah dan untuk dikirim ke Rahmadina. Rahmadina sangat senang mendengar berita tentang tanaman jagungnya itu.

Di rumah, Rahmadina punya ide untuk menanam tanaman di pekarangan sekitar rumah. Selain untuk menambah keindahan rumah, menanam tanaman juga bisa membuat udara menjadi segar. Mula-mula Rahmadina menanam tanaman hias, lalu ia menenam buah-buahan di depan rumah. Ia juga menanam tanaman obat-obatan. Ia senang karena meskipun ia tinggal di kota, ia dapat menanam bunga dan tanaman-tanamannya tumbuh dengan subur dan memanjakan mata.

Ayah dan ibunya bangga sekali karena selama liburan ini Rahmadina mendapat beberapa pelajaran yang begitu berharga. Kini, ia sudah mengerti cara-cara menabung di bank. Ia juga sudah mengerti cara-cara menanam serta merawat tanaman dengan baik agar tumbuh dengan subur. Bahkan secara tidak langsung Dina juga telah berperan aktif untuk turut menyukseskan program menanam sejuta pohon yang sedang digalakkan oleh pemerintah untuk menanggulangi dampak global warming. Seandainya saja banyak anak-anak yang berpikiran seperti Rahmadina.

Sekarang setiap pagi dan sore hari, Rahmadina sekeluarga dapat menikmati indahnya kicau burung-burung di pekarangan rumahnya yang menambah ceria suasana hari.**

Lamongan, 2008

KEJUTAN BUAT MAMA

Aini Aviena Violeta

Foto hitam putih itu aku temukan ketika sedang asyik membersihkan kamar Mama. Gambarnya masih lumayan jelas. Di foto itu kulihat Mama sedang menggendongku ketika aku masih bayi dengan penuh kasih sayang. Tak terasa air mataku meleleh di pipi. Aku rindu kasih sayang itu.

“Tok… tok… tok…” Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Aku pun langsung menuju pintu depan rumahku. Ku buka pintu perlahan. Ternyata Mama berdiri bersama adik. Mereka baru datang dari rumah nenek.

“Risty, kamu tadi kemana aja? Dari tadi Mama nunggu di sini, kamu belum nongol-nongol. Kan kasihan adik kepanasan” Mama mulai ngomel-ngomel.

“Uuuh… Kenapa sih adik terus yang dipikirin? Mama ga’ tahu apa, aku ini capek. Aku kan baru selesai bersih-bersih rumah. Aku kira Mama akan senang ngeliat aku mau bersih-bersih. Tapi ternyata itu jauh di luar dugaanku” Aku segera berlari menju kamar dan menutup pintu dengan sekeras mungkin. Aku memandangi foto Mama yang terpampang di sudut kamarku,M ama terlihat seperti bidadari. Tapi kenapa, di hari ibu ini Mama tidak lagi memberikan senyum indahnya? Mama tak lagi seperti dulu… semua ini gara-gara adik! Kenapa dulu aku mendambakan seorang adik? Kini Mama menjadi lebih sayang kepada adik daripada aku.

“Nina bobo oh nina bobo.” Aku mengintip Mama lewat lubang-lubang ventilasi kamarku. Mama membelai adik dengan penuh kasih sayang.

“Tidurlah tidur anakku sayang.” Terdengar lagi suara Mama yang merdu. Dulu, Mama menyanyikan lagu itu untukku. Tapi sekarang aku benar-benar telah kehilangan kasih sayang. Kasih sayang itu sekarang telah beralih ke adikku. Aku sangat sedih. Apa jangan-jangan aku anak tiri? Pikirku dalam hati.

“Mama jahat…!” Aku berteriak sekeras mungkin. Air mataku diam-diam telah menetes. Tapi, cepat-cepat ku seka air mataku.

“Risty, kenapa kamu teriak-teriak? Kamu sengaja membuat adik kamu bangun?” aku menoleh ke arah Mama yang berdiri tepat dibelakangku. Aku hanya bisa diam dan langsung ngelonyor pergi ke rumah Erra tetanggaku. Pasti air mataku tadi sudah menetes kalau aku tidak cepat-cepat pergi. Aku membuka kamar Erra tanpa permisi.

“Risty, kamu itu ngagetin aku aja sih! Ga’ sopan tau, masuk kamar orang tanpa permisi!” Erra memprotes kelakuanku.
“Sorry, gue cuma lagi kesel aja!”
“Emang kamu kesel sama siapa? Kok sampai kepala loe ada tanduknya?”
“Iiiiih… gua ini lagi kesel? Bukannya di Arem-arem,tapi malah di ledekin!”
“Ya ga’ gitu kaleee! Emang loe ada masalah lagi sama Mama loe?”

Belum sempat menjawab pertanyaan Erra, tiba-tiba Mama Erra masuk sambil membawa segelas susu hangat untuk Erra.
“Eh… nak Risty, udah lama?”
“Baru aja kok tante.”

Tidak lama kemudian, Mama Erra keluar dari kamar. Sepertinya aku iri pada Erra, ia mempunyai Mama yang selalu perhatian padanya.
“Oh… Iya, elo kan belum jawab pertanyaaan gue. Kenapa elo tiba-tiba kesel? Apa gara-gara Mama loe?”
“E..ee..eeenggak kok! Aku Cuma pengen main aja.”

Bicaraku gugup setengah takut. Terus terang saja, aku tidak berani bicara apa-apa tentang Mama pada Erra.
“Oh… Iya! Sekarang kan hari ibu. Risty, anterin aku ke supermarket dong! Aku mau kasih sureprize buat Mamaku.”

Aku bingung… Terlintas dibenakku untuk memberi sebuah kado pada Mama. Tapi, buat apa? Pasti ujung-ujungnya aku dapat marah dari Mama. Soalnya, itu kan uang tabunganku. Tapi, tak apalah aku harus mencobanya.
“Ockey Ra… Kita ke supermarket. Aku juga mau beli’in Mama hadiah.”

Erra segera memesan taxi. Setibanya di supermarket, aku bingung. Sejuta tanya menghantuiku, pertanyaan-pertanyaan terlintas di benakku.
“Ris, ngapain bengong?” Tanya Erra sambil menepuk bahuku.
“Aku bingung, kejutan apa yang pantas buat Mama? Dia udah punya segalanya.”
“Beli’in itu aja!” Erra menunjuk sebuah boneka barbie sambil senyum simpul.
“Ga’ ok lo, emang Mama gue ABG”
“Ngga’ papa lagi”

“Gimana kalau aku beli’in bunga aja, trus aku rangkai sendiri? Lumayan kan bisa ngirit dikit.”
“Ya udah, aku beli baju dan kamu beli bunga.”
“Kasidaaahh!” hampir terlontar bersamaan.

Erra pun pergi menuju stand baju. Aku mulai mencari bunga yang Mama suka. Setelah mendapatkan bunga yang aku cari, aku pergi menghampiri Erra dan segera menuju ke kasir. Jarum jam menunjukkan pukul 19.00 WIB. Aku dan Erra cepat-cepat kembali ke rumah Erra untuk merangkai bunga. Hatiku sungguh senang. Lalu, aku berdo’a ‘Semoga ketika Mama terima bunga ini aku mendapatkan kembali kasih sayang Mama yang hilang’ tapi, aku tidak yakin do’aku akan terkabul.

“Tok… tok… tok…” Sesampainya dirumah, Erra cepat-cepat mengetuk pintu sambil memandangi jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 19.45 Wib. Akhirnya pintu terbuka. Terlihat Mama Erra yang begitu khawatir.
“Erra sayang, kamu dari mana saja jam segini kok baru pulang? Mama kan khawatir.”
“Sorry Mama, soalnya aku mau beri sureprize ke Mama.” Erra memberikan bingkisan yang baru ia beli dari supermarket sambil tersenyum riang.
“Hhmm… apa ini sayang?”
“Mama buka aja sekarang!”
“Iya tante buka aja!”

“Aduh, bagus banget, terima kasih sayang.” Mama Erra begitu senang. Dipeluknya Erra dengan rasa sayang. Wajahnya tenggelam pada bahu Mamanya. Aku begitu terharu. Aku juga ingin merasakan hangatnya pelukan Mama. Pelukan yang hanya pernah aku rasakan sesaat.

“Ma, aku bantu Risty dulu ya, mau buatin rangkaian bunga untuk Mamanya.”
Erra melepas pelukan Mamanya. Lalu menarik tanganku menuju ruang keluarga yang cukup nyaman.

“Risty, kamu mau buatin Mama kamu bingkisan yach,” suara Mama Erra begitu lembut dan seketika mampu meluluhkan hatiku yang sedang kacau balu.

“Tapi, aku masih ragu Tan. Aku takut kalo-kalo aja Mama malah marah-marah. Mama kan nggak sayang sama aku.”

"Siapa bilang? Mama kamu sangat sayang kok sama kamu."
"Masak sih tante? Buktinya tiada hari tanpa kemarahan Mama."
"Kalau mama marah, mungkin kamu bandel." Mama Erra mengambil sesuatu di dalam almari tuanya dan memberikannya padaku.
"Apa ini tante ?" Tanyaku penasaran.
"Buka aja !"
Sepucuk surat berwarna biru iu kubuka perlahan lahan karena surat iu sudah lumayan kusut.

13 Agustus 1994

Ku ucapkan segala puji syukur kepada Engkau Ya Allah. Engkau telah mengaruniai kepadaku seorang bayi kecil nan mungil. Kini aku tak lagi kesepian. Si kecil selalu menjadi pelipur lara. Meskipun sering nakal tapi kadang lucu dan nyenengin. Aku berharap dia menjadi anak yang sholihah. Amien…….

Tanpa terasa, air mataku meleleh membasahi pipi. Kini aku sadari, aku memang yang salah. Aku tak bisa menjadi anak yang sholihah seperti yang Mama harapkan.
"Risty, udah malam, kamu harus cepet-cepet nyelesaikan rangkaian bungamu trus pulang, nanti Mama kamu khawatir nyariin kamu!"

Aku segera menghapus air mataku dan kembali merangkai bunga satu per satu dengan dibantu Erra dan Mamanya. Jarum jam menunjukkan pukul 21.00. dan aku harus segera pulang. Rangkaian bunga sudah siap untuk mengawali malam Hari Ibu. Sesampai di rumah degup jantungku semakin kencang. Aku nggak sanggup.

"Tok… tok… tok…"
Pintu depan rumah ku ketuk berulang kali. Pintu pun terbuka. Mama, dengan mata sayunya seperti ingin marah-marah padaku.
"Risty, dari mana? jam segini baru pulang. Mama kan bingung mikirin kamu, jangan-jangan terjadi apa-apa!."

Aku hanya merunduk tak berani menatap Mama. Aku diam sesaat.
"Selamat Mari Ibu." Dengan senyum tipis, aku memberikan rangkaian bunga yang dari tadi ku sembunyikan di balik punggung. Tiba-tiba air mata Mama menetes berlahan. Ia terdiam sejenak, kemudian memeluk dan mencium keningku dengan lembut. Pelukan itulah yang slalu ku rindu selama ini.

"Mama minta ma'af ya Ris jika selama ini kurang memperhatikanmu?" Mama menangis terisak isak.
"Risty juga minta ma'af Ma. Risty janji mulai sekarang Risty akan jadi anak yang baik dan nurut apa kata Mama."

Mama menghapus air mataku yang tengah menetes. Dalam hati aku berjanji akan menjadi anak halal untuk dibanggakan dan aku akan membuat Mama bahagia. Hari ini adalah hari yang menyatukan aku dan Mama kembali seperti dulu.**

Lamongan, 2008

USTADZ HAKIM

Mala M.S

Arif cowok tampan dan kaya. Namun sayang, di pesantren dia dan teman temannya (atau biasa disebut gank) terkenal nakal. Itu yang menyebabkan banyak Ustadz yang nggak terlalu suka pada Arif. Tapi tidak dengan Ustadz Hakim, beliau amat perhatian dengan Arif. Dibandingkan dengan Ustadz-Ustadz lainnya. Ustadz Hakim termasuk Ustadz yang paling muda dan dekat dengan para Santri.

Ustadz Hakim ingin sekali bisa merubah sifat Arif. Berbagai cara dia lakukan agar bisa dekat dengan Arif namun semuanya sia-sia. Hati Arif terlalu keras untuk ditaklukkan. Di sisi lain, banyak Santri yang iri karena Ustadz Hakim sangat perhatian pada Arif.

“Maaf Tadz, apa saya boleh bertanya sesuatu pada Ustadz?”
“Tentu saja boleh.” Jawab Ustadz Hakim lembut
“Em…kalau boleh saya tahu, kenapa Ustadz begitu perhatian pada Arif? Padahal, Arif kan anaknya…” Karena takut menyakiti hati Ustadz Hakim, Santri itu tidak meneruskan ucapannya

Ustadz hakim terdiam sejenak, lalu berkata, “Pada suatu saat nanti, kalian akan tahu kenapa aku sangat perhatian pada Arif.”
***

Hari ini pesantren mengadakan ziarah ke Wali Songo. Semua Santri mengikuti acara ini. Tidak terkecuali Arif. Ustadz Hakim juga ikut dalam ziarah tersebut.

Ketika perjalanan sampai di Sunan Kudus, Arif memisahkan diri dari rombongan. Istighosah pun dimulai. Ustadz Hakim mengedarkan pandangannya, tapi dia tidak juga menemukan sosok Arif. Karena khawatir, Ustadz Hakim pergi keluar untuk mencari Arif.
Dalam perjalanan mencari Arif, Ustadz Hakim melihat sekelompok preman sedang mengeroyok seseorang. Karena kasihan, Ustadz Hakim menolong orang itu. Ustadz Hakim sangat kaget karena ternyata orang yang beliau tolong adalah Arif. Tanpa berpikir lama, Ustadz Hakim membawa Arif ke rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, Ustadz Hakim menghubungi rombongan dan keluarga Arif untuk memberi kabar tentang sesuatu yang telah menimpa Arif.

Setelah menjenguk Arif, para rombongan segera melanjutkan ziarah. Sedangkan Arif, masih harus dirawat di rumah sakit karena keadaannya masih lemah akibat pengeroyokan tadi. Ustadz Hakim memutuskan untuk menemani Arif di rumah sakit. Sedangkan orang tua Arif, mereka belum bisa datang karena masih harus menyelesaikan bisnisnya di Luar Negeri.

Pada malam itu, Ustadz Hakim mencoba untuk berbicara dengan Arif dari hati ke hati.
“Rif, kenapa para preman itu menghajar kamu?” Tanya Ustadz Hakim dengan nada halus. Namun Arif tak menjawab pertanyaan Ustadz Hakim. Ia malah menatap mata Ustadz Hakim tajam-tajam seperti hendak memangsanya.

“Apa kamu berbuat salah pada mereka?” Tanya Ustadz Hakim lagi
“Udalah, Ustadz nggak usah pura-pura perhatian dan sok baik pada saya. Semua orang di dunia ini sama. Semuanya egois dan nggak mau ngertiin perasaan orang lain.”
Kali ini agaknya Ustadz Hakim sedikit kaget mendengar ucapan Arif yang begitu kasar dan sarkas tidak seperti biasa-biasanya.

“Tidak Rif, Ustadz tidak pernah pura-pura perhatian atau sok baik pada kamu dan juga tidak semua orang di dunia itu egois.”
“Tapi buktinya, orang tuaku dan teman-temanku, mereka semua egois.”
“Ustadz faham semua itu. Karena Ustadz juga pernah merasakannya. Bahkan jauh lebih menyakitkan dari pada kamu. Dan Ustadz tidak ingin kamu mengalami hal seperti yang Ustadz alami.”

“Maaf, Ustadz bisa tinggalkan saya? Karena saya ingin sendiri.”
“Baik, Ustadz akan keluar. Kalau kamu ada perlu apa-apa, kamu panggil saja Ustadz. Assalamualaikum.”
“Waalaikum Salam.” Jawab Arif dengan nada pelan dan sekenanya.
Setelah percakapan singkat itu, ternyata secara diam-diam Arif merenungi apa yang dikatakan oleh Ustadz Hakim ‘Ustadz hakim nggak ingin aku mengalami hal seperti yang beliau alami. Apa maksudnya?’ Ucap Arif dalam hati.
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit dan kondisi Arif juga mulai membaik, Arif pun diperbolehkan pulang oleh dokter.
***

Seperti hari-hari biasa, pengajian pagi berlangsung di Pesantren tempat Arif belajar. Dan seperti biasa, Arif nggak pernah ikut pengajian. Tidak hanya pengajian pagi saja, pengajian malam pun dia nggak pernah ikut mengaji. Dia selalu keluar pada jam mengaji atau diniyah. Kadang, dia pergi sendiri. Kadang juga bersama ganknya.
Setelah pengajian, Ustadz Hakim pergi ke kantor. Beberapa saat kemudian, terdengar suara orang mengetuk pintu yang disusul dengan ucapan salam.

Tok… tok… tok…
“Assalamualaikum.” Suara itu terdengar sangat pelan
“Waalaikum Salam.” Jawab Ustadz Hakim seraya membuka pintu. Betapa terkejut Ustadz Hakim; dilihatnya Arif dengan memakai peci putih berdiri di depan pintu. Tapi perasaan itu disimpannya dalam-dalam.

“Eh, Arif. Ayo masuk! Ustadz Hakim mengajak Arif masuk ke ruangan kamarnya.
“Ada apa Rif ?” Tanya Ustadz hakim setelah mempersilahkan Arif duduk
“Saya mau minta maaf Ustadz. Karena kemarin waktu di rumah sakit, saya sudah berkata kasar pada Ustadz dan saya juga mau ngucapin terima kasih karena waktu saya dirawat di rumah sakit, Ustadz sudah jagain saya. Dan ini, sebagai tanda terima kasih saya pada Ustadz.” Ucap Arif seraya memberikan amplop pada Ustadz Hakim.

“Tidak perlu Rif.” Ustadz Hakim mengembalikan amplop itu pada Arif.
“Lalu, saya harus membalasnya dengan apa?”
“Cukup dengan kamu belajar dengan serius dan mau merubah sifat-sifat buruk kamu, maka Ustadz akan sangat bahagia. Bahkan tidak hanya Ustadz saja, orang tua kamu, teman-teman kamu juga akan sangat bahagia.”
“Orang tua? Mana mungkin! Mereka tidak pernah mempedulikan saya.” Ucap Arif sedikit emosi.

“Rif, sekarang Ustadz mau tanya. Kamu paham tidak dengan omongan Ustadz waktu di rumah sakit?” Tanya Ustadz Hakim meredakan emosi Arif
“Em… yang Ustadz nggak ingin saya mengalami seperti yang Ustadz alami?”
“Iya. Kamu paham tidak?”
Arif menggelengkan kepala. Ustadz hakim menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar yang tampak kumal karena mulai rapuh.

“Rif, Ustadz ngerti kok kenapa sifat-sifat kamu seperti ini. Ustadz dulu juga seperti kamu. Jangankan dapat perhatian, bertemu saja cuma setahun sekali. Karena nggak tahan, Ustadz kabur dari rumah. Ustadz bergabung dengan preman-preman jalanan. Suatu hari, Ustadz ketahuan mencuri. Dikejar massa, Ustadz lari hingga bertemu dengan seorang petani yang baik hati menyembunyikan Ustadz. Akhirnya petani tadi menjadikan Ustadz menjadi anak angkatnya. Ustadz sangat bahagia karena beliau sangat menyayangi Ustadz. Sejak saat itu, Ustadz memutuskan untuk berubah dan pergi ke pesantren. Ya… pesantren inilah pilihan Ustadz. Namun sayang, ketika Ustadz baru tinggal 2 bulan di pesantren, Ayah angkat Ustadz telah meninggal. Setelah Ustadz kembali ke pesantren, beberapa bulan kemudian Ustadz resmi diangkat menjadi Ustadz di pesantren ini sampai saat ini.”

“Terus, bagaimana dengan orang tua Ustadz?”
“Sebenarnya, mereka sangat sayang pada Ustadz. Ketika Ustadz kabur, mereka semua mencari Ustadz. Dan setelah mereka tahu kalau Ustadz ada di pesantren ini, mereka datang ke sini dan mengajak Ustadz pulang. Tapi Ustadz tidak mau karena Ustadz lebih senang tinggal di pesantren ini. Setelah itu orang tua Ustadz kembali ke Malaysia sebagai TKI. Dan setiap tengah bulan sekali mereka pulang ke Indonesia. Biasanya kalau mereka pulang, Ustadz juga pulang. Atau kadang mereka yang datang menjenguk Ustadz ke pesantren.”
Setelah mendengar cerita panjang dari Ustadz Hakim, Arif akhirnya sadar dan berjandi akan berubah lebih baik.
***

Ustadz Hakim sangat senang melihat perubahan Arif. Ustadz Hakim mencoba memberitahu orang tua Arif agar mereka lebih memperhatikan Arif. dan Alhamdulillah. Mereka mau mengerti akan keberadaan Arif; yang sebenarnya masih sangat membtuhkan perhatian, belaian kasih sayang dan perhatian orang tuanya. Karena semua itu tidak akan pernah didapatkan seorang anak di pesantren.

Arif sangat senang karena mamanya memutuskan untuk tinggal di kampung halaman. Dan hampir setiap tiga bulan bulan sekali, Papanya pun menyempatkan diri pulang ke Indonesia untuk melihat perkembangan pendidikan anaknya dan menjalin tali silaturrahmi kepada sanak saudara dan tetangga.

Dan Arif pun menyadari bahwa kurangnya perhatian orang tua bukanlah alasan untuk menjadi anak yang nakal, tidak bisa diatur, cenderung merasa bebas dan melakukan tindakan semaunya. Karena dibalik itu semua sebenarnya Allah telah menakar kadar keimanan seorang hamba.**

Lamongan, 2008

PENGORBANAN CINTA

Zahrotun Nafila

Suasana kampus sangat ramai, karena besok hari Minggu. Sekampus akan mengadakan liburan ke Malang. Hati Mawar saat itu sangat senang karena dia ingin menyegarkan pikirannya dengan berlibur. Sepulangnya dari kampus, Mawar menceritakan kepada orang tuanya, kalau dia ingin mengikuti liburan ke Malang. Orang tuanya mengizinkan kalau sahabatnya Elis juga ikut.

Pagi itu Mawar dan Elis bersiap-siap untuk berpamitan kepada orang tuanya masing-masing. Mereka berdua berangkat bersama untuk pergi ke kampus. Setibanya di kampus, semua anak-anak sudah masuk ke dalam bus hanya tinggal menunggu Mawar dan Elis. Saat Mawar dan Elis masuk ke dalam bus. Mereka sudah tak dapat tempat duduk. Untung ada cowok yang udah nyiapin tempat duduk untuk mereka. Elis duduk di belakang Mawar. Sedangkan Mawar duduk di samping cowok itu. Saat Mawar duduk di samping dia, hati Mawar merasa deg-degan.

“Hai nama kamu siapa? Kenalan dong!” ujar Terry dengan mengulurkan tangannya.
“Namaku Mawar. Kalau di belakang aku itu sahabatku. Namanya Elis. Kalau nama kamu siapa?” ucap Mawar dengan gerogi.
“Namaku Terry. Oh ya Mawar, ruangan kamu ada di sebelah mana sih? Kok aku nggak pernah ketemu ama kamu?” Terry berbicara sambil menatap kedua mata Mawar.
“Ruangan aku ada di depan ruangan kamu. Kamu itukan anak baru yang direbutin satu ruangan aku. Kata mereka, kamu itu paling tampan satu kampus.” Mawar sangat malu dalam bercandanya.
“Masak sih? Bukannya kamu sendiri yang naksir sama aku?” Terry berbicara yang sebenarnya karena dia juga lagi jatuh cinta sama Mawar.

Setiba di Malang, Mawar dan Elis memesan hotel bersama. Setelah itu mereka membersihkan kamar tidurnya. Tiba-tiba mereka mendengar ketukan pintu. Tok…tok… Saat Mawar membuka pintu, dia sangat tersentak. Ternyata yang datang adalah Tery. Dia tidak menyangka kalau Tery begitu perhatian dengannya. Tery memberikan makanan kepadanya. Setelah itu Tery pergi. Beberapa saat kemudian, Mawar membawa makanan itu masuk. Dan memakannya bersama Elis. Karena hari sudah malam, setelah selesai makan Mawar dan Elis pun langsung beranjak ke kamar. Mereka tidur.
Bangun dari tidur, Mawar menemukan surat di atas meja. Mawar langsung membuka dan membacanya.

Untuk Mawar
“Aku tunggu kamu di taman depan hotel kamu. Aku pengen ngomong sesuatu sama kamu. Cepat datang ya..!”
Terry

Setelah menerima surat itu Mawar meminta pendapat dari Elis. Apakah dia harus datang apa tidak. Elis menyuruh Mawar untuk datang, karena dia sangat kasihan sama Tery. Nanti dia nunggunya terlalu lama.

Setelah tiba di taman, Mawar menghampiri Tery.
“Tery, kamu mau ngomong apa kok kayaknya serius banget?” tanya Mawar dengan heran.
“Aku cinta sama kamu Mawar. Apa kamu mau jadi pacar aku?” Tery menatap mata Mawar. Dan memegang kedua tangan Mawar. Mawar sangat tersentak karena secepat itu Tery langsung mengutarakan isi hatinya. Tapi Mawar tidak bisa menolak karena dia juga sangat mencintai Tery dari pandangan pertama.
“Iya, aku mau jadi pacar kamu.” Mawar mengambil keputusan sendiri dari perasaannya. Selesai bercanda, mereka melanjutkan perjalanan ke hotel.

Setibanya di hotel, Mawar menceritakan hubungannya dengan Tery kepada sahabatnya. Elis. Setelah mendengar cerita Mawar, Elis sangat senang karena sahabatnya sudah mempunyai pendamping hidupnya.

“Tok….tok….Mawar!”
“ Iya, sebentar. Elis tolong bukakan pintunya.” pinta Mawar kepada Elis. Elis pun beranjak dari tempat duduknya. Dan membuka pintu itu.
“Oh ya, ada apa Pak ?” sapa Elis dengan membuka pintu.
”Besok pagi kalian harus siap-siap, karena besok kita akan pulang” ucap Pak Guru sembari memberi peringatan.
“Iya Pak!!!” jawab Elis dan Mawar dengan serentak. Mendengar perintah dari pak guru, mereka langsung tidur karena besok harus bangun pagi-pagi.

Pagi itu Mawar dan Elis sibuk untuk mengemasi barang-barangnya. Setelah selesai, mereka menuju ke dalam bus. Saat duduk di dekat Tery, Mawar sangat senang. Dan waktu itu juga, Tery memberikan sebuah cincin dan memasukkan ke dalam jari manis Mawar. Mawar sangat cantik memakai cincin itu.

Setibanya di rumah, Mawar menggerakkan tangannya untuk menelpon Tery.
“Kring….kring….” bunyi telepon berdering.
“Hallo ini siapa ya?”
“Tery, ini aku, Mawar. Gimana, apa kamu udah nyampek rumah atau belum?”
“Udah kok. Aku udah nyampek. Kalau kamu gimana?”
“Aku juga udah nyampek. Oh ya Ter, kamu udah cerita belum sama orang tua kamu tentang hubungan kita?”
“Udah, orang tuaku ngrestuin hubungan kita. Dan besok malam aku akan ngelamar kamu.”
“Udah ya Ter, aku tutup dulu teleponnya. Soalnya mama dan papa lagi nunggu makan malam.”
Mawar menutup teleponnya. Setelah itu beranjak untuk menutup pintu rumahnya. Dengan hati yang sangat senang, Mawar menceritakan kepada kedua orang tuanya. Ia bilang kalau besok malam Tery dan keluarganya akan melamarnya.

Keesokan malamnya, Mawar kelihatan sangat cantik. Dan Tery kelihatan sangat tampan. Saat duduk berdua, mereka seperti seorang Pangeran dan Cinderella. Mama Mawar menyuruh Mawar untuk mengambilkan minuman buat Tery dan keluarganya. Sebelum minuman itu sampai di meja tamu, Mawar mendengarkan pembicaraan tentang asal usul Mawar. Mama Mawar bilang bahwa Mawar bukanlah anak kandung mereka. Tetapi anak angkat yang dititipkan kepada mereka dan ditinggal ibunya menikah lagi. Saat Mawar mendengar pembicaraan Mamanya itu, ia sedang berada di depan pintu. Dan minuman yang dibawa Mawar jatuh seketika. Mawar pun berlari dengan sekencang-kecangnya. Saaat itu Tery mencoba mengejar dan menenangkan pikiran Mawar. Sesudah itu, Mawar memutuskan kalau besok dia akan pergi mencari ibu kandungnya.

Pagi yang membawa angin itu membuat hati Mawar sangat hancur. Saat Mawar memberi tahu kepada sahabatnya, Elis hanya menggelengkan kepalanya. Pertanda bahwa dia tidak bisa membantu. Tetapi ia hanya bisa berdoa. Pagi itu Mawar pergi ke rumah ibu kandungnya sendiri. Rumah itu berada di luar kota. Mawar pergi ke luar kota diantar kedua orang tua angkatnya.

Setibanya di tempat tujuan, ibu kandungnya hanya bisa menganggap dia sebagai sepupu. Mendengar ucapan ibu kandungnya itu, mawar sangat sedih. Mawar takut jika ibu kandungnya melupakan Mawar sebab dia telah mendapatkan keluarga yang baru. Ibunya mempunyai anak satu yang bernama Melati. Saat mereka makan malam bersama, kasih sayang ibu Melati telah tertumpah pada Mawar. Saat Melati melihat kelakukan ibunya, seketika itu ia tidak jadi makan. Dan mengurung diri di kamar. Begitu selesai makan, ayah melati memarahi mamanya. Ayah Melati kesal karena tidak seperti biasanya istrinya berperangai seperti itu kepada Melati. Ayah Melati berfikir kalau Mawar bukan sepupunya. Namun anak kandungnya sendiri.

Sudah 1 minggu Mawar pergi meninggalkan Tery. Waktu itu Tery melamun di pinggir kolam renangnya dengan mengenang masa lalunya bersama Mawar. Tiba-tiba ibunya menyapa dari belakang. Ibunya tidak tega melihat Tery melamun terus menerus. Akhirnya Tery di izinkan ibunya pergi untuk menjemput Mawar kembali.

Di tengah jalan, Tery melihat seorang perempuan di pinggir sungai sedang mengejar kupu-kupu. Dan saat Tery menyapanya, cewek itu jatuh ke sungai. Waktu itu Tery sangat bingung, karena cewek itu jatuh kecebur dan tidak bisa berenang. Lalu Tery menolongnya dengan ikhlas. Setelah itu perempuan tadi mengajak Tery pergi ke rumahnya.

Setibanya di rumah, Trey dan Melati itu berkenalan. Dan Melati mengenalkan Tery kepada keluarganya. Melati memohon kepada ayahnya supaya Tery diberi pekerjaan.karena dia sangat membutuhkan pekerjaan. Ayahnya mengizinkan Tery untuk bekerja di kebun teh. Namun ayah Melati tidak mengizinkan tinggal satu rumah dengan dia. Dia hanya diberi kos-kosan di samping rumahnya saja. 1 jam kemudian Mawar pulang dari kampus. Saat itu juga Mawar dan Tery bertemu. Tetapi Mawar pura-pura tidak mengenal Tery, karena dia tidak mau rahasianya terbongkar hanya karena Tery datang ke rumahnya. Setelah itu Tery kembali ke tempat kosnya.

Pada saat Tery ganti baju, Mawar datang menemui Tery. Mawar menjelaskan kalau dia tidak akan meminta restu kepada orang tuanya sebelum dia mendapatkan kasih sayang seorang ibu.

Pagi yang penuh cerah itu, hati Melati sangat berbunga-bunga sejak ia berkenalan dengan Tery. Sepertinya dia sedang jatuh cinta dengan sorang laki-laki idamannya. Pagi itu Melati pergi ke kebun teh bersama Tery. Tery mengatakan kepada Melati bahwa dia mencintai seorang perempuan yang ada di dekatnya. Perasaan Melati mengatakan kalau yang dimaksud perempuan itu adalah Melati. Waktu itu Tery mengajak Melati jalan-jalan dan bercanda.

Setibanya di rumah, Melati menceritakan kepada Mawar kalau dia sangat mencintai Tery. Namun apakah dia mau mencintai seorang perempuan yang penyakitan seperti dia. Wawar sangat shok mendengar ucapan Melati, karena dia mempunyai penyakit. Mawar tidak tahu, apa penyakit Melati. Saat mawar megambil air minum di dapur, Mawar mendengar gelagat Melati kalau dia sedang sakit, Mawar langsung berlari dan membawa Melati ke rumah sakit. Setelah mendengarkan pemeriksaan Dokter bahwa Melati adiknya menderita penyakit KANGKER OTAK STADIUM 4, hati Mawar sangat sedih. Ternyata selama ini hidup Melati telah terancam dengan maut.

“Kak Mawar, aku sakit apa Kak?’ Melati bertanya kepada Mawar dengan wajah sangat pucat.
“Ka….. kam… kamu sa….. sa….. sakit kepala” Mawar menjelaskan dengan mengeluarkan deraian air mata.
“Terus kenapa Kak Mawar sedih? Aku kan cuma sakit kepala. Jadi besok aku boleh pulang dong?”
“Iya besok kamu boleh pulang. Syaratnya kamu harus minum obat.” Mawar mencoba untuk menghibur Melati dengan kasih sayang yang sepenuhnya. Meskipun Melati belum pernah tahu, kalau Mawar adalah kakak kandungnya, namun sudah menganggap kalau Mawar adalah kakak iparnya.

Pulang dari rumah sakit keadaan Melati sudah cukup membaik. Malam itu Mawar dan Tery menghibur Melati dengan nyanyian yang penuh dengan syair dan kata-kata manis.
Matahari terbit, kupu-kupu bertebaran untuk menghisap madu bunga. Pagi yang penuh dengan syair telah membawa Mawar ke dunia cinta. Mawar dan Tery, mereka saling mengobati rasa rindunya. Waktu Mawar dan Tery sedang bermesraan, tiba-tiba Melati memergokinya. Mawar mau menjelaskan bahwa ini hanyalah salah paham. Tadinya Tery ingin berterus terang. Namun sikap Mawar yang tidak mengizinkan. Akhirnya Mawar pergi meninggalkan mereka.

Malam itu Melati menceritakan kepada ayahnya, kalau Mawar telah merebut Tery dari tangannya. Mendengar cerita dari anaknya, dia langsung marah dan ingin mengusirnya dari rumah. Ayah Melati menggerakkan kaki untuk pergi ke ruang kos yang Tery diami. Ia ingin mengajak Tery untuk pergi jalan-jalan. Dia ingin hubungan Melati dengan Tery bisa menjadi kenyataan. 2 jam kemudian, Mawar membuatkan kopi untuk ayahnya, namun kopi itu disiramkan ke muka Mawar. Semenjak itu ayah angkat Mawar berubah menjadi jahat kepadanya. Mawar tidak tahu apa penyebab semua ini.

Pagi itu keluarga Melati sibuk untuk menyiapkan makanan yang akan di bawa piknik. Selesai bersiap-siap, mereka langsung naik mobil dan berangkat piknik.
Setibanya di tempat piknik, Melati sering berpegangan tangan dengan Tery. Hati Mawar sangat hancur melihat mereka yang sangat mesra. Mawar pun bercerita kepada ibu kandungnya.
“Bu Mawar ingin ngorbanin cinta buat Melati.” Mawar bercerita dengan meneteskan air mata.

“Maksud kamu apa Nak?”
“Bu, Mawar sangat mencintai Tery. Tapi Melati telah merebut Tery dari aku. Padahal dulu kita hampir menikah. Namun karena aku mendengar bahwa aku adalah anak angkat dari Mama Lia dan Papa Indra, akhirnya aku tunda dulu pernikahan itu. Dan aku putusin cari orang tua kandung aku.”
“Maafkan Ibu ya Nak! Gara-gara Ibu, kamu tidak jadi nikah sama Tery.” Mawar dan ibunya saat itu sangat sedih karena mereka mempunyai kebohongan-kebohongan di balik kebahagiaannya. Setelah itu Melati mengajak pulang untuk istirahat.

Setelah sampai di rumah, Mawar dan Ibunya saling berpelukan. Dan Ibunya telah memberikan sebuah kalung sebagai ucapan minta maaf karena selama ini dia telah menelantarkan anaknya sendiri. Tiba-tiba Ayah Melati datang dan menampar Ibunya. Mawar mencoba untuk memisahkan mereka. Tapi malah Mawar yang ditampar oleh ayah Melati. Waktu itu Melati tidak tahu apa yang terjadi di rumahnya, karena dia bersenang-senang dengan Tery.

Pagi itu ayah Melati telah mengusir istrinya dengan Mawar.
“Om jangan usir ibu. Biar Mawar aja yang pergi dari rumah ini.” Melati menjerit dan menangis, karena dia kasihan dengan ibunya yang ditarik-tarik dan di tampar. Saat Mawar membela ibunya, Mawar pingsan tak sadarkan diri sebab tamparan yang datang bertubi-tubi. Setelah Mawar sadar, Melati datang dan berteriak histeris.
“Mama, kak Mawar, ada apa ini Pa…? Mengapa ayah nyakitin mereka dan mengusir dari rumah?” tanya melati sambil menangis.
“Kamu tanya aja dengan Mama kamu! Kesalahan apa yang dia perbuat sehingga Papa tidak memaafkan dia.” ucap Papa Melati dengan tak peduli kepada istrinya dan Mawar.
“Ma…Ma…ini ada apa Ma?”
“Melati Maafkan Mama, Nak! Dulu Mama pernah nikah sebelum nikah sama Papa kamu. Dan Mama sudah mempunyai anak pertama yaitu Mawar. Jadi Mawar ini kakak kamu Nak. Mama minta maaf!”

Selesai mendengar ucapan dari mamanya melati pingsan lalu di bawa ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, Mawar menelepon Tery agar Tery pergi ke rumah sakit Kasih Bunda sekarang. Tiba di rumah sakit, Mawar mengajak Tery untuk berbicara berdua.
“ Ter, apa kamu mau menikah dengan adikku, Melati ?”
“Apa? Kamu nyuruh aku menikah dengan Melati? Enggak, enggak, aku enggak mau nikah sama Melati. Aku mau nikah sama kamu, Mawar !”
“Aku tahu kamu sangat mencintai aku. Tapi kamu ingin kan ngliat aku bahagia. Dan kebahagiaanku satu-satunya saat ini adalah melihat kamu nikah sama Melati”. Setelah itu Mawar pergi meninggalkan Tery.

Pagi itu Tery memberikan bunga untuk Melati dan jalan-jalan di depan rumah sakit. Saat mereka jalan-jalan, Mawar menyapa dengan lemah lembut.
“Melati kamu kok keluar sih? Bukanya masih sakit?”
“Aku bosan Kak di kamar! Kayaknya kata Kakak benar deh. Aku harus ngelawan penyakit aku, kerana aku ingin hidup 100 tahun lagi. Agar aku bisa nikah dan mempunyai anak yang lucu-lucu.” Mawar memeluk Melati dengan kasih sayang seutuhnya. Dengan memeluk Melati, Mawar melihat ke jari manisnya yang ada cincin saat diberi Tery. Lalu Mawar melepas cincin itu dan diberikan kapada Tery, supaya ia masukkan ke jari manis Melati.

“Melati, kayaknya Tery mau ngasih sesuatu buat kamu.” ucap Mawar dengan lancang.
“Ngasih apa Ter? Aku jadi penasaran!”
“Melati, apa kamu mau menikah dengan aku?”
“Apa? Kamu ngajak aku nikah? Apa aku nggak salah dengar?”
“Kamu nggak salah dengar kok! Nanti malam aku dan keluargaku akan melamarmu!”
Mendengar ucapan itu, Melati langsung memeluk Tery dengan senang hati. Melihat mereka berdua, hati Mawar sangat hancur, karena kekasihnya telah ia korbankan untuk adiknya.

Malam telah tiba, Tery dan keluarganya datang ke rumah Melati untuk melamarnya. Lamaran itu diterima dari keluarga Melati. Dan pernikahan itu akan dilaksanakan besok pagi. Mendengar kabar itu, Tery memberi tahu sahabat Mawar, yaitu Elis.

“Elis, besok aku akan menikah dengan Melati adiknya Mawar, kamu datang ya! Dan aku ingin kamu bisa menghibur hati Mawar yang sangat sedih” (Tery)

Setelah membaca SMS dari Tery, Elis langsung membalasnya dengan sadis.
“Apa? kamu udah gila Ter, Mawar itu sangat mencintai kamu, dia juga pengen nikah ama kamu, tapi kenapa kamu yang ngianatin cintanya, dasar laki-laki Plaboy, aku ngak bakal datang kepernikahan kamu, karena kamu udah nyakitin perasaan sahabatku” (Elis)

Membaca SMS Elis perasaan Tery sangat sedih. Dia merasa sangat bersalah kepada Mawar.
“Maafkan aku Mawar. Aku lakukan semua ini agar kamu bahagia. Kamu ingin adik kamu senang, bukan?” guman Tery di dalam hati.

Pagi yang cerah telah menghiasi hati Melati. Di depan kaca, ia selalu merias wajah dengan senyuman. Meskipun ia sakit, tapi dia harus melawan penyakitnya. Demi kebahagiaannya sendiri.

“Kak, Melati cantik nggak?” tanya Melati dengan senyum.
“Kamu cantik sekali!” jawab Mawar dengan menahan air matanya keluar. Tiba-tiba mama memanggil.
“Melati, kamu sudah siap Nak dandannya? Sudah banyak lho yang nungguin di bawah!”
“Iya Ma…. Melati udah selesai! Kak, aku keluar dulu ya!” Mawar menganggukkan kepala dengan mengeluarkan air mata.

Waktu Mawar di kamar Melati, ibu Tery datang menghampirinya. “Mawar kamu kenapa nangis?” ucap Ibu Tery dan memeluk Mawar.
“Aku nggak apa-apa kok Tante! Aku cuma sedih aja. Orang yang aku cintai harus nikah dengan orang yang aku sayangi!” Mawar menangis dan merasa hatinya hancur. Saat Melati turun dari tangga, Melati merasa kalau ada yang ketinggalan di kamarnya. Lalu Melati pamit pada mamanya untuk mengambil jepit yang ketinggalan. Saat ada di depan pintu kamarnya, Melati melihat mertuanya sedang berbicara dengan Mawar. Melati tidak jadi masuk. Tapi dia mendengarkan pembicaraannya.
“Mawar, apa kamu yakin dengan keputusanmu, kalau kamu korbankan cintamu hanya untuk adikmu?”

“Aku yakin Tante dengan keputusanku. Karena Melati hanya bahagia hidup dengan Tery!”
“Ya sudah kalau begitu. Tante keluar dulu ya!”
Selesai mendengarkan pembicaraan mereka, Melati menangis dan berlari ke bawah. Saat ijab kabul dimulai, wajah Melati berkeringat dan pucat. Sepertinya penyakit Melati kambuh lagi. Ijab kabul dibacakan Pak Moden. Bersamaan dengan itu, Melati pingsan di pangkuan Tery.
“Melati…..Melati……Melati bangun! Jangan tinggalkan Kakak, Melati!” teriak Mawar sambil menagis.

“Kak…Kakak kenapa bohongin Melati, kalau Kakak sangat mencintai Tery? Ter…. kamu juga kenapa nggak terus terang sama aku, kalau kamu juga cinta sama Kak Mawar?” ucap Melati dengan menangis tersedu-sedu.
“Melati kamu jangan salahkan Tery. Ini semua salah Kakak, karena Kakak yang merencanakan semua ini.”

“Udahlah Kak, Kakak jangan salahin diri sendiri. Ter… Ter... Tery, tolong jagain Kak Mawar samapai maut menjemutnya!” Melati mempersatukan tangan Mawar dan Tery. Melati menyerahkan Mawar kepada Tery. Setelah hati Melati terasa tenang, maut telah menjemputnya. Mawar dan Tery berteriak. Menderaikan air mata. Kegembiraan telah berselimutkan duka. Karena orang yang dia sayangi telah tiada.**

Lamongan, 2008

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati