Rabu, 06 Agustus 2008

Camus, Caligula, Asrul Sani: Mempertimbangkan Kembali (Eksistensi) Kebudayaan Kita

Raudal Tanjung Banua

Pada tanggal 4 Jan 1960, Albert Camus, penulis lakon Caligula, meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil dekat Villeblein. Ia lahir di Mondovi, Aljazair, 7 November 1913, tetapi lebih dikenal dalam khazanah filsafat dan sastra Prancis. Berasal dari keluarga veteran Marne, Camus mencecap kehidupan yang sulit; kemiskinan, perang dan penyakit. Mungkin pengalaman ini yang membekas pada aktivitas dan karya-karyanya kemudian.

Camus misalnya, bergabung dengan koran bawah tanah Combat yang mewartakan penderitaan manusia di tengah kecamuk perang dunia kedua. Sebagai filsuf yang hidup sezaman dengan Sartre, Camus menolak pandangan kaum materialisme dan kaum idealisme. Yang pertama menganggap eksistensi manusia sama dengan eksistensi materi atau benda-benda; yang kedua kelewat mengagungkan pikiran manusia di atas segalanya. Sembari itu, ia melancarkan otokritik terhadap kaum eksistensialisme yang kadangkala menisbikan hakikat kemerdekaan manusia.

Sementara karya dramanya yang masyhur, Caligula, pada kenyataannya lahir sebagai sublimasi pengalaman empiris dan filosofisnya, sehingga sangat kritis, pedas dan memiliki keberpihakan yang tidak konvensional.

Ke dalam khazanah sastra-drama Indonesia, Caligula diterjemahkan oleh Asrul Sani, yang meninggal 11 Januari (kebetulan sama-sama Januari) 2004 di Jakarta. Asrul lahir di Rao, Pasaman, Sumatera Barat, 10 Juni 1926 dan dikenal luas dalam khazanah sastra, teater, film dan pemikir budaya tanah air.

Asrul di antaranya mendirikan perkumpulan “Gelanggang Seniman Merdeka” bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin; mengasuh rubrik budaya “Gelanggang” di warta sepekan Siasat; serta bersama-sama pula menerbitkan buku puisi monumental Tiga Menguak Takdir. Dalam teater, ia antara lain dikenal sebagai pendiri dan Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang menjadi tonggak teater modern (akademik) Indonesia, di samping menerjemahkan banyak lakon asing pilihan, termasuk Caligula. Di film, namanya abadi bersama karya film yang disutradarai-nya seperti Pagar Kawat Berduri, Apa yang Kau Cari Palupi, Salah Asuhan dan drama Makhamah.

Kenyataan bahwa Asrul Sani sebagai pemikir kebudayaan, terlihat dari pernyataan “Surat Kepercayaan Gelangga-ng” yang digagasnya. Surat yang dimuat pertama kali dalam “Gelanggang”/Siasat, 23 Oktober 1950 itu, menjadi sangat terkenal terutama karena pandangannya yang menyatakan “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia; dan kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tak ingat kepada melap-lap kebudayaan lama sampai berkilat untuk dibanggakan.”

Lalu, apakah hubungan antara Albert Camus, Caligula dan Asrul Sani? Tentu saja sebuah hubungan sangat kompleks, sarat dengan idiom kemanusiaan yang menarik untuk diaktualkan.

Albert Camus - Asrul Sani: Tindakan dan Pandangan
Albert Camus merupakan sosok yang ingin terlibat dal-am segala hal; tak hanya merenungkan segala sesuatu dari meja kafe--sebagaimana dilakukan Sartre dan kekasihnya, Simone de Beauvoir--atau dari belakang meja akademi dalam konteks Asrul Sani, melainkan terjun langsung ke lapangan kebudayaan.

Empirisme ini melahirkan gagasan dan tindakan yang memberi antitesa pada kemapanan. Camus misalnya tidak dapat menerima begitu saja ungkapan rasionalitas yang ditoreh Descrates, Corgito ego sum, “Aku berfikir maka aku ada”, namun melangkah lebih jauh, “Aku memberontak maka aku ada!” Lewat cara ini, Camus tidak menerima begitu saja paham eksistensialisme yang telah dirintis dengan bersahaja oleh Kierkegaard atau Nietzsche yang heroik —dan tidak pula menjadi varian bagi kemegahan Sartre. Meskipun dibanding Sartre, Camus lebih dikenal sebagai sastrawan ketimbang filsuf, sesuatu yang ironis dan tak adil sebenarnya.

Padahal, pandangan Camus mewarnai filsafat eksistensialisme dengan antitesa terhadap kaum materialisme dan idealisme, sekaligus otokritik trhadap eksistensialisme. Camus percaya bahwa untuk menjadi “ada” manusia harus merumuskan “cara” dan menempuh “upaya” dan itu tidak mungkin dilakukan oleh benda-benda; akan tetapi “cara” dan “upaya” itu terletak di atas kemerdekaan diri, jiwa yang otonom. Ada suara pemberontakan di situ, tapi sekaligus kearifan merumuskan pandangan relatif netral.

Di sisi lain, Asrul Sani menyadari eksistensi manusia Indonesia dibangun lewat proses kebudayaan yang agung dimasa silam, tapi itu tidak bisa diisolasi dari dunia-lapang luas. “Surat Pernyataan Gelanggang” sesungguhnya berangkat dari sini: menjadi antitesa “Polemik Kebudayaan” antara STA & Armjn Pane. Namun, “jalan tengah” yang ditawarkan Asrul kerap dipahami sebagai “jalan aman”, padahal itulah jalan ideal.

Nirwan Dewanto misalnya, kerap mengutip pernyataan ini secara sepenggal, khususnya “kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” yang kemudian dianggap mewakili pandangan Asrul dkk. Padahal, pernyataan itu mestilah dipahami secara utuh, tak sepenggalan, apalagi berpretensi memojokkan. Nirwan menganggap ketegasan sikap tersebut sebagai “upaya meminta-minta” pada dunia, khususnya Barat, padahal disimpulkan dari sekerat kalimat! Sungguh ironis!


Teks dan Konteks Caligula: Mempertimbangkan Eksistensi Kebudayaan Kita

Caligula merupakan karya masterpiece Albert Camus yang memuat pandangannya terhadap hidup, takdir dan nasib sebagai satu-kesatuan rumusan eksistensialisme. Bukan suatu kebetulan, sebagai penerjemah, Asrul juga berurusan deng-an idiom “takdir” dalam merumuskan posisi dan eksistensi (kebudayaan) manusia Indonesia. Kata “takdir” pada buku puisi Asrul dkk. kadang ditafsirkan merujuk Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang pandangannya hendak dibongkar Asrul. Akan tetapi, “takdir” juga merujuk pada pusaran eksistensialisme, katakanlah dalam konteks kesastrawanannya yang mesti menjalani takdir: “dikutuk” untuk terus menjadi manusia gelisah, seperti Sisiphus atau Caligula.

Teks Caligula sendiri bercerita tentang menghilangnya Caligula, seorang raja muda, dari istana; membawa kesedihan mendalam atas meninggalnya orang yang dicintainya, Drusila. Ia mengembara di lorong kota Roma sembari mengolah pikirannya perihal hidup dan nasib. Sejauh manakah kemerdekaan manusia atas takdir kalau orang yang dicintai seorang raja pun tak luput dari kerkap tangan takdir? Takdir macam apakah yang dijalani manusia shingga harus menderita, misalnya oleh perang dan pembunuhan?

Pertanyaan-pertanyaan ini mengantar Caligula pada kesimpulan bahwa takdir mesti dilawan karena mengancam kemerdekaan dan eksistensi manusia. Ia pulang, dan segera melaksanakan gagasan pencerahan tersebut: hidup yang keras dan tak terduga, manusia yang akan mati dan tidak berbahagia, haruslah dihadapi dengan cara yang keras dan tak terduga pula. Maka tak terduga, Caligula menzalimi kerajaannya: membunuh, memperkosa, dan melecehkan rakyatnya sendiri. Absurditas ini memberi antitesa pada takdir: kalau manusia mati dan ia tak bahagia, maka harus ada tindakan yang membuat mati tidak sekadar persoalan bahagia atau menderita, tapi persoalan cara dan upaya mempertahankan eksistensi.

Kita bisa mengaktualkan teks ini dalam konteks dunia sekarang yang penuh paradoks dan ironisme. Ada ancaman terhadap eksistensi (kebudayaan) manusia karena yang menang tampaknya adalah pandangan materialisme yang menganggap manusia tak ubahnya benda-benda yang bisa dieksploitasi seenaknya. Lewat imprealisme gaya baru, kapitalis-me dan militerisme internasional, pandangan itu mewujud terutama di negaranegara dunia ketiga, termasuk Indonesia! Sementara itu, kaum idealisme yang kelewat jumawa mengagungkan pikiran, jelas masih bertengger di menara gading dan sebagian menjadi korban (kalau tidak pengikut), kekuasaan. Sudah barang tentu ini mengancam eksistensi budaya dan ekologi, mematikan nalar dan daya kritis, dan yang lebih tragis: mengancam kemerdekaan manusia dalam menentukan nasib sendiri. Perdagangan bebas, perang dan invansi, jelas menolak “cara” dan “upaya” lain di luar mainstream.

Reaksi terhadap hal itu muncul beragam dari yang kooperatif hingga yang radikal seperti terorisme. Di satu sisi, terorisme menyebabkan kegoncangan pada seluruh tatanan hidup manusia (termasuk kebudayaan) tapi sebenarnya berpangkal pada satu soal: eksistensi. Tragedi 11 September yang mengguncang AS (kemudian juga Jakarta dan Bali, di sini!) jelas mengancam eksistensi umat manusia, akan tetapi di sisi lain sadarkah kita bahwa ada juga kelompok manusia yang eksistensinya tak terakui? Kelompok inilah yang kemudian bertindak dengan “cara” dan “upaya” yang sangat tidak lazim—membajak pesawat, menabrak menara, mele-dakkan bom (bunuh diri)—sebagaimana Caligula bertindak dengan caranya sendiri.

Di sinilah suara Camus kembali bergema: manusia, sia-papun ia, harus merebut eksistensinya, yang berarti mere-but kemerdekaannya, dari ketertindasan apapun. Karena manusia bukan objek, tapi subjek, maka berbagai “cara” dan “upaya” ditempuh dalam menghadapi tekanan nasib. Semestinya kita bertanya: siapa yang menekan dan siapa yang tertekan? Siapa yang tidak merdeka dan siapa yang leluasa? Di balik kutuk dan serapah terhadap teroris (sebagaimana juga terhadap Caligula), sesungguhnya kita perlu sedikit menyisakan suara jernih: bukankah Amerika dan sekutunya lewat noe-imperialisme, kapitalisme dan militer-isme dengan leluasa menekan eksistensi kelompok lain? Ketertindasan, apa boleh buat, telah memunculkan “cara” dan “upaya” yang tidak lazim dalam sejarah perjuangan eksistensi umat manusia. Separatisme, fundamentalisme, juga terorisme adalah sederet cara dan upaya yang terpaksa ditempuh untuk menunjukkan keberadaan diri atau kelompok tersisih.

Betapapun cara dan upaya itu tidak lazim, bahkan mengancam eksistensi itu sendiri, namun tidaklah untuk didiamkan dan dibutakan. Menjawab cara dan upaya yang tidak lazim dengan caracara yang juga tidak lazim seperti penangkapan konyol, main tuduh, perang, agresi, dan operasi militer hanya akan berbuntut pada kenyataan bahwa kekerasan adalah cara yang lazim. Maraknya jaringan terorisme, serta bergolaknya sejumlah daerah di Indonesia dari Aceh hingga Papua, boleh jadi berpangkal dari tertindasnya kebudayaan, rusaknya ekologi dan terancamnya eksistensi para pendukungnya. Tapi bukankah kita seperti membutakan mata , menulikan telinga?

Kalau demikian kenyataannya,maka penerjemahan Asrul Sani atas lakon Caligula karya Albert Camus, bertahuntahun yang lalu, memiliki nilai aktual dan relevansi dalam mempertimbangkan sikap dan eksistensi kebudayaan kita, baik ke luar maupun ke dalam, hingga hari ini. Ke luar, bagaimanakah sikap bangsa ini atas hegemoni kebudayaan kapital dan industrial; apakah mesti dilanjutkan atau ditiru untuk menggilas eksistensi kebudayaan non mainstream? Ke dalam, apa kabar kebudayaan Indonesia hari ini, apa kabar kemanusiaan kita, di tengah hingar-bingar politik reformasi, otonomi atau MTV?***

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati