Senin, 29 September 2008

DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I - LXXVII

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=223


Udara wengi mekar perlahan, membawakan berita dari dasar keheningan,
merasakan sayap keagungan kedaton, yang digerakkan ruh suci kehidupan (VI: I).

Langkah kata-kata mengikuti kehendak hembusan semerbak bayu mesrah,
waktu-waktu memijarkan benang cahayanya dalam degupan cinta sesama (VI: II).

Merambah kurun masa, menjamah kulit getara, serupa jarak keganjilan akan
takdir dipersaksikan sukma, menjadikan purnanya pribadi-pribadi utama (VI: III).

Sehempasan nafas nan temaram, selembut lelembaran kabut bertaburan
atas gubahan kidung, dalam perjamuan malam-malam (VI: IV).

Di mana bergerak lalu berdetak, tetabuhan bertalu-talu di lumbung padi,
mengisahkan dewi sri menari-nari bersampurkan cahaya pagi dengan ruh lestari,
memakmurkan jiwa-jiwa, dan tiada diketemukan wajah-wajah murung petani (VI: V).

Dekatkan senyummu, di sisi benderang bulan menggendong keriangan,
pedut membumbung mengabadikan masa, atas menterjamah peristiwa (VI: VI).

Tiada perlu dipertanyakan sebab maksud terfahami di jalanan usia,
demi pencarian bebatuan mulia, yang hilang diketemukan kembali (VI: VII).

Di rimba kelana menempuh gairah pagi menyuguhkan penerang hati,
kemampuan mengisi tempat, sedang ruang meluangkan kehendak (VI: VIII).

Ruh hayat berkabut, sesendi insan melewati kelenjar kesadaran (VI: IX).

Menghadangmu saat hendak terjun memutuskan ruh, tali-temali merentang
laksana sampur membelit tubuh, tariannya melambaikan tetembangan jiwa (VI: X).

Aduhai penerawang, berteduhlah di tentram jiwamu, janji datang kepadamu
atau kau menyusul, menuju deburan waktu paling tentu (VI: XI).

Saat ketentuan berunjuk, kisahkan buah matang sekali tiupan, dan kekupu
mengepak dikawinkan bayu, oleh keinginan terindah mengimbangi jiwa (VI: XII).

Lentera di tengah-tengah malam, membelai tak kunjung padam,
ditumbuhi pepohon hening, kembang pelajaran bermekaran (VI: XIII).

Hadir kobaran semangat ketika terjangkit galau, para pewaris
mengusik kalbumu terkuasai, lupa kecemasan ternyalakan (VI: XIV)

; sebagaimana kedudukan sunyi di saat kalbu insan sendiri,
membuka-tutup keramaian memberi warna kesegaran hayati (VI: XV).

Yang menjenguk keyakinannya akan mendapati harum kembang,
taman mewangi di sepanjang merawat rambut cemara atas ketinggian pagi
yang mempelanting embun cahaya mentari, pada rerumputan berduri (VI: XVI).

Duduklah di bangku paling mesra tanpa terbebani debu-debu curiga,
air penuh dalam gelas, apabila tumpah di hadapanmu nyawanya (VI: XVII).

Kau mendekati keagungan, menempuh berlapis-lapis ketentuan,
semenjak telaah kematangan, teringat jalan pernah dunia kecil tempuh,
serupa ruh penyetia, menguak perbendaharaan kata-kata (VI: XVIII).

Kehadiran detik-detik mengulangi masa peristiwa,
manusia mempelajari kesendiriannya di jarak sosial cahaya (VI: XIX).

Jikalau merasa diselimuti keganjilan sewaktu menyulami bumi,
begitu lepas rantai berputar habis bersatu, dalam pelukan mesrah (VI: XX).

Ruh suci kehidupan berluap rindu, atas kobaran tungku mewaktu,
mencipta embun di wajahmu, dan selempar surat terseret arus (VI: XXI)

; ikan-ikan berkasih, terhantar ke pesisirmu, terbaca bebocah pantai
setelah kering penantian, menebalkan kertas-kertas keyakinan (VI: XXII).

Indahnya nafas-nafas bertemu menjelma terbiasa yang asing itu,
ruh menyeberangi kali menyusuri lengan jembatan, nuraninya mengikuti bayu
membuka tirai kalbu, menuju langkah kebugaran mewaktu (VI: XXIII).

Kau menghisap hawa ketinggian lengkungan tangan kekasih
di pebukitan bersayap cinta mendiami kelembutan jiwa (VI: XXIV).

Kesadaran ruh ganjil, sedang ketidaksadaran terkira dalam,
tatapanmu seperti ratapan mata berkunjung ke sana (VI: XXV).

Langit malam merunduk setangkai awan, dan suara-suara dedaunan
menyapa bintang-gemintang, sedari mata jendela kereta jaman (VI: XXVI)

; menghormati bunga rumput di kampung hujan, kemungkinan awan dari
balik pungung bukit, berharap kedipan mata menghargai senyuman (VI: XXVII).

Mengunjungi perjuanganmu atas duka ketermanguan digerakkan sukma
setelah mengunyah keajaiban, seumpama air di gelas itu racikan obat-obatan
pembawa ruhmu kepada ujung-ujung penentu (VI: XXVIII).

Ruh yang diberkati menyatukan jiwa sedenyut kasih sekapas lembut bertiup
melepaskan ada-tiada dalam ruangan sesama, seturut kehendak melati (VI: XXIX).

Ia dekati dadamu, atau kau kepada gemuruh jiwanya, rasakan keterbangunan
beling dingin ratapan, dan khusyuk sayap-sayapmu menjemput niatan (VI: XXX).

Bulu-bulu bebas meninggalkan kekang, mengikuti panggilan gemawan,
merindu-rindu cahaya pembuka, pada jemari tangan-tangan dedoa (VI: XXXI).

Ujung pena mengguratkan syair sehalus dingin belati di tikaman malam,
mengisyaratkan lembaran kertas dalam masa diam ketentuan (VI: XXXII).

Getaran lembut mengembalikan daya, nafas fajar berhembusan
menghampiri kepastian ganjil menuju terangnya pengertian (VI: XXXIII).

Warna bulan pucat membayangi tubuhmu, ruh membumbung
keberadaannya berdegupan, kepada tulang rapuh sejarah (VI: XXXIV).

Celotehnya gentayangan di ubun-ubunmu letak peraduan memilukan,
bola-bola mata nanar terinjak kaki-kaki panggung para pencibir (VI: XXXV).

Duhai hembusan bayu, antarkan ia kepada keabadian merubah waktu
tungguhlah sampai pucuk rambutnya terbelah, terbelai langit biru (VI: XXXVI).

Selepas kesendirian sakit, gerimis tinggalkan suwong ketakberdayaan bukit,
menerima piala berisi racun, setelah menyelesaikan tugas luhur para leluhur,
menyalakan obor kebenaran, di sepanjang kobaran api jaman (VI: XXXVII).

Menangisi diri diselamatkan himpitan batu prahara menemui bumi,
menginjak merangkak, terseok kerikil cadas (VI: XXXVIII).

Hadir berdemaman didekapnya kesembuhkan, masukilah sumsum iman,
lantas kembalikan cinta dari kubangan rindu, kubur kenangan ajal (VI: XXXIX).

Jangan enggan menjenguk nisan dalam rintihan, sebab ketulusan
sanggup menghentikan siksaan, doa kesegaran di alam penantian (VI: XL).

Minumlah walau seteguk di malam menyakitkan, nyalanya dian melambai
demi topangan patah, menjadi pendorongmu selaksa awan menjalani masa (VI: XLI).

Kilatan cahaya petir menyambar keberadaan, bersiap-siaplah terbunuh
agar tidak lama menunggu, terjerembab dalam petak tak menentu (VI: XLII).

Wahai gelapnya malam, isyaratkan kesadaran mentari,
getar di ubun-ubun menunggu bayangan lenyap (VI: XLIII).

Tiada berdaya dibalut rindu, sungguh melayu bunga muda tak bermadu,
harum jiwa pun suwong, kelopak-kelopaknya ditanggal angin berlalu (VI: XLIV).

Namun kau laksana sosok kembang ditakdirkan kekal sepi,
atau sebotol tinta tidak terjamah jemari memukau (VI: XLV).

Jiwa-jiwa sengsara berkabarkan hantu gentayangan
dalam tidur panjang penguasa, terendam cemburu (VI: XLVI)

; bertambatlah kau di belantara dahaga kasih sayang,
kupu-kupu salju di tangan layu bermata sayu (VI: XLVII).

Pahatan sejarah kematian, mengusik takdir mimpi kenyataan (VI: XLVIII).

Semenjak menghuni arus dangkal, sirip-sirip ikan Betik disapu hawa terik,
terdampar menggelepar di bencah tanah, atau ditarik selokan kering (VI: XLIX).

Siapa sanggup hentikan mabuk kepayang, pada leher, alis dan hidung,
segala tubuh sunyi lekat basah, menaiki kasih abad merapikan jaman (VI: L).

Berilah hadiah, sebelum musik pemakaman mentitahkan awan
memayungi jalannya keranda hitam menuju kediaman (VI: LI).

Pagelaran pewayangan dipermainkan ketentuan
diombang-ambing ketetapan pandang (VI: LII)

; pengamat tersesat pengikutnya cinta gelap, kepadanya air sumur tak
kering penimba, terus berdatangan dari segala penjuru pemukiman (VI: LIII).

Telingamu mulai pekat menginginkan lelap dalam pelukan malam,
bersiaplah para malaikat menaburkan perbendaharaan kata-kata (VI: LIV).

Gairah hilang tercuri maksud, mengajak menggesek daya gravitasi,
itu atmosfir memecah segenap kangen, terkumpul dalam semedi (VI: LV).

Dengarlah sebelum isyarat membumi, malam menjemput gerimis
membasahi rumput perjalanan penentu hadir, pada sisimu abadi (VI: LVI).

Bunga mencipta takdir ngilu pujaan, seharum kelopak manunggal
kepastian reranting meragu, terlepas terjaga rindu (VI: LVII).

Hawa malam merangkul pilu, di ujung masa mencecapi makna tiada terkira,
berendaman di sepanjang bentangan pasir pesisir, di pulau-pulau ganjil (VI: LVIII).

Pada pertemuan melangit, serpihan salammu berpijak,
layang hadir, di kala sujud meninggalkan kemabukan bayangan (VI: LIX).

Beranggapan ngeri tidur mendengkur, dibubuhkannya doa-doa
pada selembaran kabut berdetak menempa jantung khusyukmu (VI: LX).

Wewarna luapan hayati menggerayangi nasibmu,
pagi nan buta melewati pekuburan pinggir desa, sukma memanjat
penantian hangat mentari, di sejengkal mata dhukha hakiki (VI: LXI).

Jika malam diruapi bau harum, dikenangnya larikan kaki ke lautan terbatas,
manusia menggelinjak naik-turun, terbakar api keabadiannya sendiri (VI: LXII).

Kelak mencatat yang menawan, berkisah nafas-nafas kabut berhembus
menembus bersulaman ketinggi-rendahan rumput ilalang (VI: LXIII).

Renungan kasmaran dalam kekalan, bermandi bareng pada telaga,
ini sendang kasih, yang pernah dikenal dalam ingatan, dan masukilah
bilik kalbumu, menyadarkan jiwa-jiwa lewat lamunan terdalam (VI: LXIV).

Pujangga bertetap niat, meski kapal gelisah dalam samudra prahara,
layar nasibnya terangkat, lalu berkembang menuju awan cita-cita (VI: LXV).

Sampai dahan menarik pena, bergerak lincah tarian meliuk
menyenandungkan air sendang pancuran di jemari tangan waktu,
menyihir bola mata, menyetujui rimbun ketentramanmu (VI: LXVI).

Kau mulai jemu memasuki lebatnya hutan, tetapi ia tetap inginkan sama,
merasakan terbebani, nafasmu-nafasnya dalam hasrat percintaan (VI: LXVII).

Berhentilah sejenak, ia ’kan menjemput pengaturan langkah,
wujud bayangan terdekat, tiupan ruh berkepompong (VI: LXVIII).

Semenjak memberi warna ketenangan, rambut panjang sebenang fajar
memiliki tempaan pasangan, suka-duka di rengkuh para kesatria (VI: LXIX).

Perkenalkan jiwamu, ciuman lekat mendesah kehangatan cinta,
itu dekapan setubuh, melanggengkan guratan tembang (VI: LXX).

Marilah meresapi tingkah nafas-nafas pemberi rindu,
sedang yang terpenjara, keadaanya berpinjam (VI: LXXI).

Saat-saat dikembalikan dalam pautan sungguh,
fahamilah harum kembang dalam musim itu (VI: LXXII).

Gerimis terjatuh di samping kilatan cahaya, manakala mentari ragu
tertutup malu, awan membuka laksana kerang berpenghuni (VI: LXXIII).

Malam-malam menaburkan benderang gemintang,
klenengan memanggil malammu murni tanpa pengganggu (VI: LXXIV).

Dia menghentikan, saat kau berjalan tersadar kelembutan, gelisa cinta
menyatukan gairah terdalam, selaju jaman menarik abad kelam (VI: LXXV).

Bagi menemukan kebaharuan, serupa nyala obor yang sama,
inilah seruan paling pagi di antara pagi-pagi hari (VI: LXXVI).

Laksana lenyap dalam pusaran padat bertarian hening,
laksana segala hidup ombak lautan, bertujuan malam (VI: LXXVII).
----

*) Pengelana asli Lamongan, JaTim, yang menyukai dunia sastra.

Menulis Puisi Itu Sangat Mahal

Koran Tempo, 27 Januari 2008

Acep Zamzam Noor pantas berbahagia. Penyair kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, ini dinobatkan sebagai peraih Khatulistiwa Literary Award 2007 untuk kategori puisi pada 18 Januari lalu. Acep meraih penghargaan itu melalui buku kumpulan puisi Menjadi Penyair Lagi (2007).

Ini penghargaan kedua dalam karier kepenyairan lelaki yang bulan depan berusia 48 tahun ini. Pada 2005 penyair yang tumbuh di lingkungan pesantren di kota kelahirannya ini menerima South East Asian Write Award dari Kerajaan Thailand.

Kemenangan di Khatulistiwa Literary Award membuat kantongnya kian tebal. Ia berhak atas hadiah uang Rp 100 juta. "Lumayan, uang ini menjadi honor setelah 20 tahun menjadi penyair," ucapnya di atas panggung ketika menerima penghargaan itu di Atrium Plaza Senayan, Jakarta.

Acep adalah salah satu penyair Indonesia yang bertahan cukup lama mencurahkan dedikasinya pada perpuisian Indonesia. Menulis puisi sejak sekolah menengah pertama, hingga saat ini ia telah menerbitkan delapan buku kumpulan puisi, antara lain Tamparlah Mukaku (1982), Aku Kini Doa (1986), dan Jalan Menuju Rumahmu (2004).

Banyak karyanya yang dijadikan kajian oleh kalangan akademisi sastra di Tanah Air. Lulusan Jurusan Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini pernah mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Italiana, Italia, selama dua tahun.

Sepulang dari Italia, suami Euis Nurhayati dan ayah empat anak ini memilih tinggal di Tasikmalaya. "Dengan saya tinggal di daerah, saya bisa hidup apa adanya, sederhana, sehingga masih bisa bertahan menulis puisi hingga sekarang," ujarnya. Selain menulis puisi, ia melukis. Acep aktif berpameran, antara lain di Bandung, Yogyakarta, Bali, Jakarta, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Belanda.

Selasa lalu, Acep menerima wartawan Tempo, Erwin Dariyanto, dan fotografer Santirta untuk sebuah wawancara di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Berikut ini petikannya.

Apa arti penghargaan Khatulistiwa Literary Award ini bagi Anda?

Sebenarnya, penghargaan semacam ini bagi penyair bukanlah target. Bagi penyair, menulis puisi itu bukanlah penghargaan semacam ini yang terpikirkan. Tapi Khatulistiwa ini, menurut saya, juga penting bagi dunia kepenyairan di Indonesia. Bagi saya, ini hanya sebagai proses. Saya menulis puisi sudah 20 tahunan. Beberapa penghargaan yang saya terima menggambarkan bahwa saya bekerja dan orang memperhatikan.

Anda sudah puas dengan mendapat penghargaan ini?

Saya belum puas. Saya mungkin hanya bisa mengucapkan terima kasih. Kerja saya selama ini dihargai. Tapi kerja saya akan berjalan terus. Saya tetap berproses tanpa atau dengan penghargaan sekalipun.

Apa Anda merasa sudah pantas mendapat penghargaan ini?

Kalau soal itu, orang lain yang menilai.

Beberapa kalangan menilai proses seleksi dan penjurian Khatulistiwa Literary Award tidak fair, bagaimana menurut Anda?

Ini begini, saya juga kurang tahu prosesnya seperti apa. Saya memang mendengar bahwa penjurian di KLA ini lain dari penjurian-penjurian yang lain. Bahwa ini tidak ada diskusi, tapi tiap juri memberikan angka atau apa, tapi ini juga melibatkan banyak sekali juri. Saya tidak tahu ini fair atau tidak. Tapi katanya ini proses penjurian yang lain. Alasan mereka, kalau lewat diskusi, akan ada yang dominan, sementara ini kan tidak ada, semua sama. Cuma, menurut saya, ini adalah sebuah versi KLA ini, ya, seperti ini.

Dengan sistem penjurian seperti itu, apakah penjurian Khatulistiwa Literary Award sudah ideal?

Mungkin kalau ideal belum. Sistem seperti ini, menurut saya, masih bisa dilakukan, tapi dengan kualitas juri yang semuanya mengerti puisi. Sistem seperti ini, menurut saya, bisa menjadi alternatif, dengan catatan jurinya yang benar-benar paham tentang sastra.

Apakah para juri Khatulistiwa Literary Award saat ini belum memahami sastra?

Jadi ini kan ada tiga tahapan. Saya kurang tahu siapa saja jurinya pada tahap pertama dan kedua. Tapi kayaknya ini jurinya dari berbagai kalangan, tidak khusus yang berlatar belakang sastra, ada filosofnya, ada juga sosiolognya. Juri di tahap terakhir ini agak komplet, ada akademisi, ada penyair, ada ahli puisi, ada redaktur koran. Cuma, apakah reputasi mereka pas atau tidak, itu juga mungkin dikaji lagi.

Penjurian yang ideal itu seperti apa?

Saya rasa, cara seperti itu ideal kalau orang-orangnya benar-benar mantap dan paham benar soal puisi.

Buku puisi Menjadi Penyair Lagi memiliki tren romantis. Apa keistimewaan puisi-puisi Anda dalam buku itu?

Jadi memang buku ini adalah kumpulan puisi liris dengan tema romantis. Di sini sebenarnya saya lebih menekankan masalah-masalah bahasa, bahasa dengan ungkapan yang sederhana, tapi juga mungkin bersih dan bening. Itu yang ingin saya tampilkan dari buku ini. Ini berbeda dengan kumpulan-kumpulan puisi saya sebelumnya. Isinya lebih ke puisi-puisi yang temanya sederhana, isinya juga sederhana, tapi saya ingin menghadirkan puisi dalam kesederhanaan itu.

Yang menjadi unggulan dalam buku itu puisi apa?

Saya kurang tahu. Akhirnya juga selera pembaca yang berbicara. Selera pembaca kan berbeda-beda. Ada beberapa memang yang saya sukai secara pribadi, yang kemudian saya jadikan judul buku itu, "Menjadi Penyair Lagi".

Kenapa memilih judul "Menjadi Penyair Lagi"?

Itu secara subyektif, karena saya menyukai sajak itu, dan itu saya kira mewakili keseluruhan dari puisi-puisi itu.

Bagaimana proses kreatif Anda membuat puisi?

Jadi itu (proses kreatif Menjadi Penyair Lagi) sebenarnya (berdasarkan) pengalaman teman-teman, hasil pengamatan sosial saya. Banyak sekali wanita muda yang ingin menjadi artis, penyanyi, dan semacam itu. Saya terilhami oleh mereka, anak-anak muda yang ingin menjadi artis.

Proses (kreatif) secara keseluruhan, pertama, saya menyukai jalan-jalan. Dalam satu bulan, setengah bulan lebih saya gunakan untuk jalan-jalan, entah ada acara entah tidak. Itu bagian dari proses kreatif saya. Saya sangat menikmati semua itu: bagaimana perjalanan saya di kereta, bus, saya melihat sekeliling saya. Juga ketika saya memasuki sebuah kota, apakah kota itu sudah lama saya kenal atau belum. Itu juga menjadi masukan-masukan bagi diri saya dan tersimpan dalam memori saya. Nah, hal-hal itu menjadi inspirasi bagi saya.

Tempat favorit yang menjadi sumber inspirasi Anda?

Nah, kalau kota, itu Yogya. Dan saya mencari pasar tradisional, terutama pasar di Bali. Saya pernah ke sebuah pasar di Bali, yaitu Pasar Kumbasari, dan membuat sebuah puisi berjudul "Kumbasari". Dan puisi itu sering dijadikan puisi wajib dalam lomba-lomba baca puisi di sana. Ini juga salah satu yang saya kunjungi. Saya tidak secara sengaja mencari puisi dengan mengunjungi pasar-pasar itu. Tapi sekadar jalan-jalan menikmati suasana, mengalir begitu saja. Tapi itu menjadi bahan bagi saya.

Jadi semua tempat bisa menjadi sumber inspirasi?

Saya sering mengatakan kepada teman-teman di komunitas bahwa pekerjaan seorang penyair itu sangat berat. Waktunya 24 jam, tidak dibatasi jam kerja dan libur nasional, libur kejepit, atau libur apa pun. Jadi ritmenya harus tetap terjaga selama 24 jam. Lalu menulis puisi itu sangat mahal biayanya. Saya bisa katakan bagaimana mahalnya biaya perjalanan, bagaimana biaya duduk di kafe memesan cappuccino atau bir. Ini tidak sebanding dengan honor yang diberikan majalah. Tapi ketika orang menulis puisi, honor dan hal-hal lainnya bukan menjadi yang utama.

Kepuasan apa yang Anda dapat dari menulis puisi?

Nah, ini kepuasan yang sulit dijelaskan. Ada kenikmatan-kenikmatan tertentu yang mungkin juga hanya bisa dicapai oleh orang dengan hobi tertentu. Misalnya, orang bisa membeli bunga dengan harga ratusan juta sekadar untuk kenikmatan. Mungkin seperti itu juga saya mendapat kenikmatan dari menulis puisi. Ada kenikmatan batin ketika puisi selesai ditulis. Semacam orgasme begitu, agak sulit dijelaskan bagaimana kepuasan seorang penyair.

Puisi-puisi Anda sebelumnya mengusung tema religius, apakah ini karena Anda pernah tinggal di pesantren?

Ya, mungkin itu juga ada pengaruh. Tapi mungkin saja ketika orang memulai menulis puisi, dia akan mengalami perjalanan sendiri, perjalanan spiritual. Saya kira itu hal yang wajar. Sebuah fase dari setiap penyair akan mencapai tema-tema khusus, misalnya religius, dan itu saya lakukan sudah cukup lama, sekitar 1980. Saya menulis tema-tema religius dengan metafora persoalan-persoalan alam. Tapi di situ mulai masuk persoalan-persoalan sosial dan persoalan yang agak erotis juga masuk dalam buku saya.

Hanya sedikit penyair yang mempertahankan kepenyairannya. Apa yang membuat Anda bertahan sebagai penyair?

Ini hal yang sangat wajar saja. Orang, ketika mahasiswa, senang menulis puisi, kemudian setelah lulus, tidak lagi menulis puisi adalah hal yang sangat normal, dan itu akan terjadi pada setiap orang. Tapi yang bertahan itu yang luar biasa. Karena begini, mungkin mereka, menurut saya, salah niat. Ketika kepenyairan dianggap profesi, menurut saya, itu salah, paling bertahan selama lima tahun saja. Kalau kepenyairan dianggap sebagai profesi, berarti dia harus hidup dari puisi. Ini sesuatu yang tidak mungkin di Indonesia. Saya bisa bertahan karena tidak menganggap penyair ini sebagai profesi saya. Saya menganggap ini sebagai kesenangan saja, semacam hobi. Justru karena saya menganggapnya sebagai hobi, saya bisa bertahan lama. Dan hobi bukan hal yang main-main. Bisa juga serius tanpa perhitungan untung-rugi.

Apakah dengan menulis puisi ini, bisa memenuhi kebutuhan hidup?

Itu tidak mungkin. Saya pikir, tidak ada buku yang diterbitkan kemudian memberikan penghasilan bagi penyairnya. Itu tidak mungkin. Itu selalu rugi. Dari honor di koran, itu sangat kecil. Tidak mungkin bisa untuk hidup.

Dari menulis buku, berapa royalti yang Anda terima?

Nyaris tidak ada. Itu mungkin umumnya buku sastra yang bestseller.

Lalu bagaimana Anda bisa hidup?

Saya mungkin hidup dari keajaiban, ya. Selesai kuliah, saya nikah. Waktu itu saya sempat hidup dari menjual lukisan. Kemudian saya ke luar negeri selama dua tahun. Pulang dari sana tiba-tiba saya memutuskan tinggal di daerah. Ini juga mengagetkan teman-teman. Karena tinggal di daerah tidak menguntungkan bagi kelangsungan karier kepenyairan. Tapi, dengan tinggal di daerah, mungkin saya lebih tenang dalam menulis puisi. Pertama, mungkin kalau saya di kota, saya punya pekerjaan dan punya majikan, dan itu bagi saya adalah musuh dalam penulisan buku. Dengan mempunyai pekerjaan tetap, jadwal tetap itu akan mengganggu proses kreatif. Begitu juga dengan punya majikan.
Dengan saya tinggal di daerah, saya bisa hidup apa adanya, sederhana, sehingga masih bisa bertahan menulis puisi hingga sekarang.

Mengapa peminat puisi lebih sedikit ketimbang peminat prosa?

Ini tidak aneh. Jenis-jenis kesenian tertentu yang dianggap serius pasti mempunyai minat yang terbatas.

Apakah melalui puisi Anda bisa menyalurkan aspirasi politik Anda?

Ya, kebetulan karena saya di daerah, ternyata aspirasi politik saya sangat efektif disampaikan melalui puisi. Misalnya, protes-protes saya mengenai kebijakan pemerintahan daerah di DPRD. Kebetulan saya di daerah sering diundang ke berbagai forum entah untuk membaca puisi entah sekadar berbicara, sehingga saya mempunyai kesempatan luas untuk menyampaikan aspirasi saya.

Bagaimana pandangan Anda mengenai masyarakat puisi Indonesia?

Jadi saya tidak terlalu pesimistis, ya, masyarakat puisi Indonesia itu mempunyai masyarakat sendiri. Dibanding negara lain di dunia, di Indonesia ini lebih semarak. Lomba-lomba baca puisi yang diadakan di daerah selalu diikuti minimal 300 peserta. Itu juga salah satu yang menandakan bahwa puisi punya salah satu kesemarakan sendiri.

Bagaimana pendidikan puisi di sekolah?

Nah, itu salah satunya lewat lomba-lomba. Semakin sering saja mengadakan lomba-lomba. Dan ini yang menyelenggarakan adalah komunitas, bukan pemerintah.

Kenapa bukan pemerintah yang turun tangan? Apa masalahnya?

Nah, itu selalu begitu. Sebenarnya pemerintah punya program. Namun, selalu saja tidak sukses karena pemerintah tidak serius menggarapnya, tapi malas bekerja sama dengan komunitas.

Bagaimana peran pemerintah dalam memajukan puisi?

Sangat kecil perannya karena hanya memberi waktu dua jam untuk pelajaran bahasa Indonesia, bukan sastra, lo. Hanya ada beberapa menit untuk sastra ini. Ini sangat kurang. Idealnya, harus dipisahkan antara pelajaran bahasa Indonesia dan sastra Indonesia.

Bagaimana pelajaran sastra di negara lain?

Bisa jadi lebih bagus karena di Malaysia itu, tingkat SMA saja sudah bikin skripsi kecil yang membahas karya sastra, dan kebanyakan yang dibahas karya sastra Indonesia.

Apa yang harus dibenahi dalam pengajaran sastra di Indonesia?

Pertama, kurikulum. Ada memang beberapa sekolah yang guru-gurunya punya kesenangan pada sastra atau mempunyai hubungan dengan komunitas-komunitas, dia bikin kegiatan di luar kegiatan sekolah, ekstrakurikuler. Tapi kan tidak semua sekolah seperti itu.

Mengapa di Indonesia sangat sedikit kalangan bisnis yang menyukai puisi?

Nah, itulah, di Indonesia ini spesialisasi itu ketat sekali. Seorang dokter itu menjadi aneh ketika menyukai lukisan atau puisi. Padahal semestinya kesenian itu bisa memberikan pencerahan bagi semua kalangan.

Karya puisi yang paling berkesan bagi Anda?

Salah satunya yang judulnya "Cipasung", karena banyak orang yang menyukai puisi itu, dan itu puisi saya yang paling berhasil, dan berbicara tentang saya waktu kecil.

Apakah keluarga juga mendukung kegiatan Anda?

Saya hidup di kalangan pesantren. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan sastra, kecuali ibu saya. Mereka tidak mendukung dan tidak melarang.

BIODATA
Nama: Acep Zamzam Noor
Lahir: Tasikmalaya, 28 Februari 1960
Istri: Euis Nurhayati
Anak: 1. Rebana Adawiyah 2. Imana Tahira 3. Diwan Masnawi 4. Abraham Kindi
Pendidikan:
# Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung
# Universitas Italiana, Italia (1991-1993)

Pekerjaan:
# Penyair, Pengelola Sanggar Sastra Tasik

Penghargaan:
# South East Asian Write Award dari Kerajaan Thailand (2005)
# Khatulistiwa Literary Award 2007

Buku Kumpulan Puisi:
# Tamparlah Mukaku (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), Di Luar Kata (1996), Dari Kota Hujan (1996), Di Atas Umbria (1999), Jalan Menuju Rumahmu (2004), dan Menjadi Penyair Lagi (2007)

Minggu, 28 September 2008

Ketupat

Jurnal Nasional, 28 Sep 2008
Arie MP Tamba

Ketupat

akan berdosa membelah ketupat ini
beras-beras kasih, beras-beras rindu
telah bersetubuh dalam rimba sanubari
hingga alir sungai dari bukit azali
akan sampai ke muara

ketupat ini akan bisa dibelah
tapi tak dengan pisau dunia


(Zawawi Imron, Bulan Tertusuk Lalang, Balai Pustaka, 1982)

Dalam minggu ini, pemaknaan dari puisi Ketupat di atas boleh jadi akan lebih mudah dicerna. Lebaran tiba, ketupat di rumah-rumah. Ketupat adalah bahan makanan berbahan beras yang sengaja dibentuk setengah bujursangkar, dan kemudian dimasak hingga lunak. Untuk menikmatinya, ketupat dibelah-belah, dan daun-daun pembungkusnya disingkirkan. Lalu, belahan-belahan ketupat tersebut ditaruh di piring, disiram dengan kuah gulai daging atau ayam. Ketupat pun siap dimakan dengan rasa nikmat.

Di Indonesia, secara khusus, ketupat adalah makanan khas yang jadi perlambang tibanya hari besar Lebaran umat Islam. Bagi suku-suku yang mempunyai tradisi kuliner cukup kaya, seperti Minang, Jawa, dan Sunda, masakan ketupat juga dicapur dengan kerecek, telur, kerupuk, dan berbagai jenis sayuran lainnya.

Tapi, bagi penyair Zawawi Imron, ketupat ini ternyata bukan saja makanan yang enak dan mengesankan; juga mampu mengusung beragam asosiasi pemaknaan yang inspiratif. Sebab, ketupat adalah beras-beras kasih, beras-beras rindu, (kepada Sang Pencipta?) – hingga tidak adil rasanya bila sekadar membelahnya, dalam sebuah momen penting yang dinanti-nantikan dengan segenap kesadaran dan ucapan syukur. Yakni, dalam sebuah hari khusus bagi umat Islam: hari kemenangan melawan ’keburukan’ hari kemarin.

Dan kalaupun ketupat itu harus dibelah, karena untuk memakannya memang harus dibelah, ketupat ini akan bisa dibelah, tidak dengan sembarang pisau. tapi tak dengan pisau dunia. Melainkan oleh sebuah pisau khusus, yang datangnya tidak dari dunia ini. Itulah pisau pertobatan seorang manusia di hari Lebaran. Sebuah kualifikasi moral dan kemanusiaan yang telah mendapatkan penyucian, tidak terukur oleh manusia, karena sifatnya ilahiah.

Di sini, ketupat yang tampak remeh sebagai makanan atau jajanan itu, bahkan biasa ditemukan dan diperjualbelikan di pinggir jalan kota-kota besar Indonesia – juga perlambang sebuah perayaan hari besar – telah mendapatkan pengayaan makna religiusitas yang luar biasa, karena kepiawaian Zawawi menyusunnya di dalam metafora: beras-beras kasih, beras-beras rindu.

Sebuah lapisan pemaknaan baru dikuakkan. Religiusitas dipertebal bersama asiosiasi pemaknaan tanpa menyangkut-nyangkutkan teks dengan (mengusung) istilah Tuhan atau agama. Bersama Ketupat, Zawawi membuat persoalan religiusitas terasa cair, akrab, bahkan sederhana dalam keseharian, tapi memiliki bobot makna universal.

Kemampuan Zawawi seperti inilah, yang membuatnya sebagai penyair Indonesia 1980-an mendapatkan perhatian khusus dari penyair dan kritikus sastra Soebagio Sastrowardoyo. Masa itu, Zawawi bukanlah seorang penyair yang produktif menyiarkan puisi-puisinya melalui koran atau majalah sastra. Namanya pun terbilang jarang mengapung ke permukaan dunia perpuisian Indonesia, yang masa itu ’didominasi’ Jakarta.

Sementara, Zawawi adalah seorang penyair ’desa’, dari Madura. Hingga, ketika Soebagio Sastrowardoyo memuji-muji Zawawi di sebuah forum sastra Pekan Puisi 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, berbagai tanggapan kurang puas pun meledak di koran-koran.

Kepada para penanggap itu, Soebagio tidak secara reaktif mengeluarkan pernyataan pembelaan terhadap Zawawi. Di samping mengemukakan kembali teori umum pembacaan: tentang otoritas pembaca yang mutlak dalam menilai atau membesar-besarkan karya sastra yang disukainya, sebagaimana seseorang menyukai pacar yang akan diterima keistimewaan maupun kekurangannya – dengan cukup meyakinkan Soebagio (1989) membuat makalah penelitian atas karya-karya Zawawi yang terkumpul dalam buku Bulan Tertusuk Lalang (1982) dan Nenekmoyangku Air Mata (1985).

Zawawi bersama Kriapur, telah memperlihatkan pengekangan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap hidup. Itulah antara lain pendapat Soebagio di awal makalahnya. Pengekangan diri itu, terbayang pada pemilihan kata dan ungkapan perbandingan yang pekat dengan kandungan pikiran yang matang dan dipertimbangkan.

Kiasan-kiasan dan lambang-lambang yang meramu bahan-bahan dari daerah hidupnya yang keras di Pulau Madura, menjadi kerangka penglihatan Zawawi yang konkret terhadap nasib yang tak menentu. Bersamaan dengan itu, Zawawi telah sanggup memberi jarak terhadap dirinya sendiri. Ia mampu mengadakan self reflection yang menghasilkan gambaran obyektif dan tanpa pamrih.

Di sinilah, sikap modern dalam kesusastraan menjadi identik dengan sikap kemanusiaan yang dewasa dan matang, kata Soebagio. Di mana, di dalam kerja sastra, penyair lantas bisa tertawa dan mencemooh dirinya sendiri, dengan menerima ironi dan paradoks dalam hidup sebagai hal yang wajar.

Penyair Kampung yang Memikat

Jurnal Nasional, 28 Sep 2008
Theresia Purbandini

Tak banyak penyair Indonesia seperti Zawawi Imron, tetap memilih untuk berdomisili di desa kelahiran. Dalam hal ini, desa dengan alam yang kaya, jadi lebih penting lagi bagi Zawawi.

Zawawi Imron yang lahir di Batang-batang, Sumenep, Madura pada 1945. Sejak 1970-an, di tengah riuhnya panorama perkotaan memasuki puisi-puisi para penyair 1980-an, Zawawi muncul dengan kedesaannya.

Menurut Raudal T Banua, masa produktif Zawawi, 1970-an -- 1980-an, menyangkut kekuatan real yang disebabkan adanya kekuasaan pemerintahan yang massive, dan coba didobrak oleh persoalan sufistik dan idiom-idiom realistik Maduranya yang kental.

Mengurai tema ketuhanan, kemanusiaan hingga persoalan sosial politik yang kompleks, menjadi eksistensi Zawawi yang tidak stagnan. “Karya Zawawi dalam Bulan Tertusuk Lalang jadi bukti pencarian pergulatan Aku dengan bahasa yang transenden, melalui pendekatan sehari-hari; bagaimana orang membicarakan Tuhan tidak dengan idiom-idom dari kitab. Selain itu, ada pula yang mengangkat tema sosial dan kemanusiaan yang cenderung tidak surealis,” ungkap Raudal.

Mengurai tema-tema yang jadi amatan Zawawi, Joko Pinurbo mengungkapkan, “Zawawi banyak menggali nilai-nilai religiusitas tanpa mengumbar jargon-jargon tentang Tuhan dan agama. Tanpa menggunakan kata ganti Mu, dia mampu melebur Tuhan dalam berbagai imaji alam dengan gaya penulisan sajaknya yang liris dan kontemplatif.”

Selain itu, Zawawi dianggap Joko juga sebagai penyair yang bernapas panjang , produktif, dengan intensitas menulis karya yang memiliki nada riang dan berbagai anekdot yang mampu menggambarkan sketsa teman-teman sesama seniman.

Zawawi, dikatakan oleh Raudal mampu mengajak pembaca memasuki dimensi lain ketika menyelami hasil-hasil karyanya seperti Celurit Emas, Madura Akulah Lautmu, Bulan Tertusuk Lalang, dan sebagainya. Di mana idiom alam seperti bulan dan pantai tidak dirumuskan dalam artian harafiah, melainkan menawarkan intrepretasi secara imajinatif.

Dari pesantren
Meskipun Zawawi hanya mendapatkan pendidikan informal melalui pesantren di desanya, tapi hal itu tak menyurutkan jejak langkah keintelektualitasan mengarangnya. Bahkan, di pesantrennya, Zawawi mendapat predikat sebagai seorang Kiai.

Menurut Joko, meskipun pendidikan akademis tak boleh dianggap sebelah mata, namun keberhasilan seorang penyair memang tergantung sejauh mana ia mau belajar dan terus menggali ilmunya. “Zawawi menggunakan imaji pengaruh alam lingkungannya. Meskipun ia tidak berpendidikan formal tinggi, tapi ilmunya tentang kehidupan tak kalah kaya dengan mereka yang berpendidikan tinggi. Justru banyak sarjana yang karyanya bahkan tidak sehebat dan setinggi gelar kesarjanaannya,” kata Joko.

Meskipun pendidikan merupakan faktor penting bagi seorang penyair, tapi melihat keberhasilan Zawawi, bagi Raudal, hal ini bisa dikompromikan. ”Sebagian besar pengarang ataupun penyair memiliki ruang hampa, yang merupakan suatu ruang intelektual yang dapat mengindahkan bakat-bakat alamnya,” tutur Raudal.

Ketertarikan Zawawi pada alam sekitar, dengan cair dituangkan ke dalam bentuk syair-syairnya dalam batas dimensi luas, yang berkorelasi dengan makna denotatif dalam karyanya. “Seperti pohon lontar, karapan sapi dan aksesoris Madura lainnya, ia tuangkan dalam prespektif sebagai penyair yang memilki pengalaman obyektif tentang kampung halaman,” ungkap Raudal.

Meskipun Zawawi juga pernah menulis tentang desa lain selain desa kelahirannya, namun suasana makna alam desa Batang tetap mengental di setiap karyanya. Tanpa disadarinya, menurut Raudal, desa kelahirannya telah membius Zawawi untuk terus disuntikkan ke dalam setiap lirik puisi yang diciptakannya.

Tapi tak ada gading yang tak retak. Begitupun seorang penyair yang berotak cemerlang dengan imaji yang kaya, juga tak luput dari kekurangan. Diakui oleh Raudal, meskipun energi produktif Zawawi begitu tinggi, tetapi ada saja sajak-sajak yang dibuat terasa cair oleh Raudal. Seperti dalam buku catatan perjalanan di Belanda, sebagai hasil sublimasi Zawawi dalam 10 hari perjalanan ke Belanda.

Kikuk idiom perkotaan
Sementara Joko menguraikan, persekutuan Zawawi dengan alam lingkungannya, membuatnya Zawawi ingin menumpahkan segala macam cerita dan kejadian yang dilihatnya. “Sepertinya dia hanya mengungkapkan keterkejutan budaya yang ia rasakan, dan saya kira energi terbaiknya telah dia tumpahkan di buku Bulan Tertusuk Lalang dan Nenekmoyangku Airmata, dan Celurit Emas.”

Ditambahkan Joko, “Zawawi tampak kikuk ketika harus menyair dengan idiom-idiom perkotaan. Dengan kata lain, dia memang paling baik menjadi penyair alam, dengan imaji-imaji alam daratan yang eksotis dengan berbagai makna sarat empati.”

Daya tarik melalui penginderaan idiom-idom Madura yang kental dalam setiap torehan puisi religiusnya, menurut Raudal, cukup menularkan pengaruh bagi Acep Zamzam Noor dan penyair muda Jawa Timur lainnya. “Bedanya Zawawi dengan penyair muda Jawa Timur lainnya, Zawawi lebih surealis jernih, yang lahir dari pengkristalisasian yang jelas, sedangkan mereka yang juga surealis namun ditimpa aplikasi ‘gelap’ sehingga penghayatannya dirasa kurang,” papar Raudal.

Sedangkan bagi Joko, pengaruh Zawawi bagi penyair yang lebih muda tampaknya tidak terlalu kelihatan. “Saya malah melihat tidak banyak, bahkan langka, penyair yang mampu mengolah dan menggali lokalitas dengan baik dan menarik seperti Zawawi,” tutur Joko.

Dalam dunia penyair, Zawawi ditempatkan oleh Joko sebagai penyair yang membahasakan puisinya plastis, tidak verbalistis, dengan bahasa perasaan yang telah mengendap. "Dia merupakan penyair kampung yang mutu sajaknya tidak kampungan, karena memikat dan khas dalam imaji alam lokal,” ungkap Joko.

CINTA, MERAMBAH TUBUH DI KEDALAMAN JIWA

Nurel Javissyarqi*

Inikah kerjanya cinta? Dalam tubuh di kedalaman jiwa. Semacam sugesti suci, atau uap yang didatangkan dari pegunungan paling tinggi. Inikah bayu yang berasal dari dataran Himalaya? Yang mengaduk-aduk relung terdalam, mencipta rindu dan rindu. Bagaimana dirinya bisa masuk? Melewati keraguankah? Kecurigaankah? Atau melalui lorong keimanan?

Ilmu pengetahuan pun berasal dari sumbernya. Ia sumber segala sumber, inspirasi murni lagi tak terabai. Bagaimana kerjanya cinta sanggup menembus batas estetik? Intelektual serta spiritual? Maka perlu diselidik ke dalam intinya, bahwa segalanya dihasilkan dari terompetnya.

Cinta menggetarkan dunia, cinta pulalah yang mensejajarkan sesama. Ia berada di luar batas serta di kedalamannya, namun bukan batasannnya. Ia isi memaknai segala sesuatu, tetapi bukan isinya. Ia adalah ruh senyawa. Siapa yang sanggup menangkapnya? Ia bukan perwujudan, muka hanyalah topeng-bopeng. Ia yang menjalankan setiap rencana dan barisan kelicikan juga.

Saudara perlu hawatir, jika kerjanya melenceng dari yang diinginkan. Juga harus lihai saat-saat mengembangkan potensinya. Ini bukan jenis ketidaksetiaan, tapi keberlangsungan akan kerjanya.

Janganlah bersandar terlebih dulu, sebelum menemukan formula penempatan cinta saudara. Ini kerja amat berat yang kudu ditanggung. Sebab selangkah saja keliru, akan melukai jiwa cinta.

Memang ada saat-saat penyembuhan atau obat. Dan sebaiknya saudara menanggulangi sebelum sia-sia. Petiklah hikmah dari percintaan, walau sangat mendasar. Sebab itu akan mengangkat percintaan luar biasa, pengalaman yang tidak ternilai harganya.

Mungkin sedikit bisa dimengerti, cinta sanggup melapangkan segala urusan, menyegarkan alam fikiran, menyuburkan perasaan dari kesempitan. Atau waktu-waktu genting itu sanggup terpegang, jika tidak tanggung, tetapi ke dasar kesetiaan.

Sebanding itu, kita menemukan pula bagaimana cinta sanggup mencelakai, mencederai si pecinta atau yang dicintai. Saudara kudu ingat, ia semacam bayu atau grojogan banyu yang siap menerjang, menghantam. Maka buatlah tanggul sebaik mungkin, agar alirkannya tidak salah atau kebablasana, dan yang tertinggal berupa mangfaat-manfaat.

Menjadi bijak kiranya, kalau tidak dikelompakkan dalam ruang-ruang waktu bidang penelitian serta kajian. Sebab dirinya universalitas lagi bertanggung jawab. Ia ibarat kaca memantulkan segala yang saudara geluti. Ia bukan gula-gula setelah manisnya hilang bersama sirnanya tubuh.

Ia bukan mawar kering karena layu angin. Cinta ialah ruh yang menghadirkan kerja kehidupan manusia. Bagi si pragmatis pun sebenarnya ada kerjanya. Hanya saja berupa potongan-potongan yang menyakitkan, dan tentu ini tidak menyehatkan jiwa.

Tengoklah prosesi hujan, dan cinta sebagaimana demikian. Ini tidak terkira yang sebenarkan bisa diperhitungkan. Cinta secara sadar atau tidak mengambil kemungkinan yang tidak terpikirkan, sejenis lintasan penghubung antara imaji dan realitas. Maka sarang ruh daripada cinta kudu dilaksanakan, agar pengambilan reranting-dahannya menjadi kongkrit tercerahkan.

Ini bukanlah kemandekan menunggu datangnya pulung. Hisaplah kekuatannya lalu simpan, sebab suatu ketika ia akan melahirkan sang anak burung bersayap kemerdekaan berfikir. Kebebasan menentukan pilihan, tidak terpenjara aliran pun keyakinan diri yang membuta.

Sungguh maskulin kalau cinta dipertontonkan di pertokoan. Adakah sesuatu yang mencederai dirinya? Tentunya ada. Sebab cinta berawal dari kejujuran, bukannya berasal polesan yang diada-adakan. Cinta bukan pengadaan suatu barang atau jiwa, tetapi sanggup mengadakan segalanya.

Ini semangat bertubi, tetapi bukan seruduk banteng. Di sini perhitunga harus dilewati, sebelum menanjaki keyakinan kepada yang dicintai, sedurung meluncurkan sebuah roket bernama hasrat.

Begitu indah jikalau cinta diasah, ia sehalus pisau tajam yang menghunus setiap lipatan penipuan. Memang ada memangfaatkan kerjanya dengan kelicikan, tetapi siapa yang sanggup menanggung umurnya? Sebab keculasan tidak memiliki umur sama sekali di matanya.

Cinta memandang dengan tatapan lembut walau pada mega, ia mengerti isyarat alam raya dirinya. Ia penjala lihai dalam melemparkan jala, namun pribadinya bukanlah jala itu, dan bukan penangkap tersebut. Ia serupa hasrat yang mengumpulkan ikan-ikan, sehingga yang didapat dalam setiap ayunan jalanya, berupa keikhlasan.

Syukurlah jikalau tengah memasukinya, sedikit demi sedikit akan kerjanya. Bagaimana kalau cintanya ditolak? Ini pertanyaan amat mendasar akan kerjanya. Di sini ada pemilikan dua jalan, terbunuh oleh cinta, atau membunuh dengan cinta.

Sementara di antara keduanya, ada pekabutan yang melenakan, semacam keputusasaan berkepanjangan. Memang ada saat-saat bagaimana cinta itu hadir, dan pergi secara tiba-tiba. Benarkah ini cinta? Atau sekadar menggurit-gurit kata hati bertuliskan cinta? Maka penantian amatlah perlu, sebagai salah satu unsur daripada kerjanya.

Pada kedua jalan di atas, saudara jangan mengalihkan pandangan kepada yang tercinta, tetapi ramulah teknik-tekniknya. Kalau awalnya mencintai serupa perhatian langsung di depan, maka kini alihkan. Dan cinta merupakan salah satu jalan menuju keikhlasan.

Di sini saudara bisa ikhlas mencintai tanpa mengganggu yang dicinta. Semisal mencintai pelajaran fisika, maka alihkan rumusan-rumusan itu dalam ajaran filsafat atau di bidang lain, hasilnya nanti tentunya sama. Saudara tetap mencinta sepenuh jiwa, mencapai apa yang saudara cintai. Ini sejenis soal tubuh, dan cinta tidak membahas tubuh begitu njelimet.

Cinta itu spiritualitas yang bergesekan dengan materialitas. Ini permusuhan abadi yang setiap insan menaggung resikonya. Karena itu, menjadi layak penelitian ini diangkat ke muka, di sebuah meja perjamuan tengah malam.

Setelah saya perhatikan seksama, kerjanya cinta sungguhlah luar biasa, mendominasi pernik-pernik kehidupan. Terkadang kerjanya tidak kentara, tetapi begitu jelas bila terkuak. Secara kebendaan atau perwujudan, cinta sering dikalahkan, namun benarkah demikian? Saya fikir hanya berputusasa yang demikian. Ini berhubungan langsung dengan makna kenikmatan dari hasil kerjanya.

Rasa nikmat itu salahsatu unsur yang ditawarkannya, ia sanggup mempercepat daya rangsang tanpa kebablasan. Ia merupakan sambungan kabel telepon perasaan dari kedua zat, yang dicintai dan mencintai, atau bermakna bercinta.

Cinta itu kekuasaan yang tidak menguasai, inilah kesahajaan dari padanya. Bedakan hasrat cinta dengan hasrat berkuasa? Cinta yang membatu namun bukanlah batu. Cinta melebur ke segenap unsur, tetapi bukan menutupi unsur-unsur. Ia sanggup bersenyawa dengan siapa saja. Mampu menyadari kesalahan-kesalahan secepat datangnya. Ia ingatan sekaligus bahan kehilafan.

Cinta itu pemaafan yang tidak terhingga. Kesan yang tidak terlupakan sejarah, walau ada perubahan musim dan jamannya. Ia benteng tidak jebol adanya serbuan betubi-tubi atau gerilyawan. Ia sanggup mengangkat sesuatu yang remang menjadi kejelasan. Tetapi bukannya mengkaburkan yang jelas menjadi keremangan. Atau keremangnya itu, wujud pengendalian daripada yang diselewengkan.

Cinta bukanlah mitos yang semua dapat menungganginya, tetapi jenderal perang yang memiliki ribuan tentara terlatih. Hanya berpenerimaan cinta, kita bisa memiliki segalanya di kedalaman diri, tubuh serta jiwa, hadir dari setiap kerjanya. Sedangkan dendam merupakan topeng yang harus disingkirkan. Akan berkurang tentara-tentaranya kalau pemimpinnya terlena, sebab cinta itu suatu yang berjalan terus-menerus, tanpa ada kemandekan.

Siapa yang mengistirahatkannya, saya fikir bukan cinta. Apakah kekecewaan atau kepikunan yang diembannya? Kekecewaan bukanlah efek dari padanya, namun efek daripada hasrat yang berlebihan. Maka timbullah pertanyaan di benak saudara; apakah cinta menumpah segala yang dikandung, dari dalam diri demi yang dicintai? Atau melewati perhitungan waktu dan tempat?

Jika pertanyaan itu dijawab, akan terjadi kecurigaan cinta di dalam diri. Karenanya, rasakanlah dalam diri, tetapi jangan mencari-cari cinta pada diri yang gulita. Sebab cinta itu sesuatu yang memancar, namun bukannya mudah diketemukan. Sebab setiap hati ada yang berkarat, ada nan bening pula. Olehnya, secepat keadaan hatilah hendaknya menemukan cinta. Ini pangkasan pada teyeng-teyeng yang menutupi pencayahaannya. Bukannya penggelembungan yang menyempitkan unsur-unsur lain.

Menjadi persis sejalan, ruh daripada kerja ialah cinta. Di sini saudara kudu merelakan menguliti kejiwaan diri. Merelakan sesuatu yang tak pantas masuk ke dalam bidang pemikiran dan perasaan saudara. Sebab penempatan tidak ada gunanya, pada rak yang sudah tertata. Malah akan mengotori, menyibukkan kerja tanpa dilandasi cinta.

Cinta, sanggup menyulap sesuatu yang tidak bermakna menjadi mulia. Di sini penciptaan formula kejujuran ditarik, sehingga bimbang terbuang, dan was-was menjelma kehendak mutlak. Dalam pada itu, bukannya was-was kegaduhan, yang dihasilkan dari mencla-menclenya lidah. Maka perlu adanya pengulangan, sejenis latihan-latihan kecil, membaca ayat-ayat kehidupan, sehingga tidak lupa tujuan.

Inilah was-was yang dihasilkan cinta, bukan was-was sebelum kedatangannya. Bisakah ditebak jujukan cinta, kapan dan dimana tempatnya? Pertanyaan ini menjadi panjang kalau tidak merasakan kerjanya. Sekali lagi, rasakanlah kerjanya dalam diri. Materi-materi di atas dihasilkan dari endapan, perenungan panjang, namun tidak meninggalkan unsur lain.

Adakah unsur-unsur hidup selain cinta? Segalanya dari cinta, dan akan kembali kepadanya pula. Maka bisa dikatakan, di sini pengerucutan cahaya yang dituju kembangkan demi menciptakan kesan, yang mengharapkan pesan-pesan dari yang tercintai.

Menjadi sempit, kalau saudara memaknai ini sesuatu mengada atau tak berguna. Sebab ini benang-benang halus yang berpandangan teliti lagi jitu, jangan sampai luput-tercerabut dari akarnya. Cinta menjadi lebih bermakna, bilamana dilandasi keyakinan diripada yang dicintainya.

Ini ngeranggehnya sukma cinta pada sesuatu di luar kebendaan, di luar batas ruang-waktu yang masih menggunakan ruang-waktu dalam diri kehidupan. Atau bisa diibaratkan mencintai sesuatu yang telah tiada. Kalau telah tiada, berarti pernah ada dan itu benang yang jelas lagi mudah tarikannya.

Tetapi, kalau mencintai sesuatu yang belum terlihat ada, atau belum tahu juntrungnya. Maka keyakinan yang harus tampil. Sebab cinta tanpa keyakinan itu kosong. Cinta sanggup hadir seperti keyakinan pun mampu menghadirkan dirinya. Maka seiring-sejalan kemantapan, keduanya menyerbu ke dataran nyata, menjangkau hakekatnya.

Terlihat gagasan seronok, kalau tidak dimengerti keberadaannya. Maka, pesan paling mendasar itu sebuah kemisterian harus digali. Di sini ada melewati pembukaan misteri, untuk menemukan hakekat misteri, ada pula yang langsung mengkaji kerjanya cinta dari misteri.

Pembuatan misteri lebih terangnya saat melemparkan dadu. Misteri yang terkandung; angka berapa yang keluar? Tetapi ini sudah selesai bagi para ahli. Di benak mereka pun, mempercayai adanya kemungkinan. Inilah kerjanya cinta yang lain, yang begitu jelas bagi pecinta.

Dan makna pecinta berdekatan dengan kembara. Adalah bukan kesimpangsiuran dibuat-buat bagi kembara, atau terbolak-baliknya hati si kembara. Ini didasari jiwa pengelana, yang selalu haus mencari dan sudih menguliti hakikat hidup dari kemisteriannya.

Sungguh kiranya menapak menyebandingkan misteri dengan keraguan. Kesamaan pada lakunya, rabahan pensuasanaan yang diharapkan dari keraguan dan misteri. Mengintriki dirinya menjadi sekutu dalam kerjasama.

Dalam keraguan memasuk bidang kepala, lantas misteri mengikuti. Sebab bersama keyakinan yang ada pun, jiwa saudara masih ragu. Maka jelaslah, saudara adalah anak tangan keraguan diri sendiri. Ini bidang lain yang harus digarap, agar mencapai hakekat ragukan. Misteri yang dimisterikan untuk dihadirkan sebagai kekongkritan. Inikah permainan garis tangan nasib dengan kesungguhan?

Bagaimana bisa masuk ke rumah? Apalagi ke pekarangan orang lain? Disini keraguan akan mendukungmu meloloskan segala permasalahan cinta. Ini pintu lain demi menghadirkan yang dicintai. Dengan keraguan berani menanggung resiko, bukan resiko jahat atau buruk, tetapi resiko senyuman. Karena siapapun marah atau kesal, dalam masa tertentu ia akan mempertimbangkan.

Dan jika diteruskan keraguan, keyakinan akan hadir menolong, melumpuhkan kecurigaan. Ini serupa teknik akrobat di hadapan penonton. Tetapi bukan bermain licik dalam hal tersebut. Kita hanya pertajam sikap senyawa, untuk dihadirkan ke pentas. Pertunjukan mendebarkan ini, menguliti perasaan bersama misteri. Oh cinta.

*) Pengelana yang menyukai dunia sastra dari Lamongan, JaTim.

Sabtu, 27 September 2008

PENOLAKAN SAUT SITUMORANG ATAS KHATULISTIWA LITERARY AWARD

During times of universal deceit,
telling the truth becomes a revolutionary act

-George Orwell

Menanggapi beredarnya Long-list Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2008 yang memasukkan buku saya "otobiografi" ([sic] Yogyakarta, November 2007) sebagai salah satu 10 besar kategori Puisi, dengan ini saya nyatakan menolak pengikutsertaan buku saya tersebut. Adapun alasan saya adalah sebagai berikut :

Sejak awal saya menganggap keberadaan KLA tidak layak dan tidak representatif bagi kesusasteraan Indonesia karena dasar dan sistem penilaian karya tidak pernah jelas, inkonsisten, improvisasi, dan tidak profesional.

Beberapa cacat fatal dapat disebutkan:

a. Panitia maupun juri melanggar aturan yang mereka buat sendiri. Contoh: Menangnya buku puisi Goenawan Mohamad, "Sajak-sajak Lengkap", pada KLA perdana, merupakan pelanggaran terang-terangan atas aturan yang sudah diumumkan panitia sebelumnya bahwa karya kompilasi (yang sudah pernah diterbitkan terdahulu) tidak bisa diikutkan dalam penilaian, dan buku yang diterbitkan oleh Metafor Publishing (milik bos KLA, Richard Oh) juga tidak akan diikutkan dalam penilaian. Kenyataannya, "Sajak-sajak Lengkap" Goenawan Mohamad yang merupakan gabungan puisi lama dan baru dan diterbitkan Metafor Publishing pula, terpilih sebagai pemenang!

Hal ini terulang pada KLA 2005 dimana buku puisi Iman Budhi Santoso, "Matahari-matahari Kecil", yang berisi 100 puisi pilihan yang merupakan "trademark" karya kompilasi penerbit Grasindo, masuk dalam 5 besar penilaian!

Dan hal ini terjadi lagi pada buku puisi saya, "otobiografi" ([sic] Yogyakarta, November 2007). Buku ini jelas-jelas berisi puisi lengkap saya yang sebagian pernah terbit dalam "saut kecil bicara dengan tuhan" (Bentang Budaya, 2003) dan "catatan subversif" (BukuBaik, 2004)!

b. Panitia dan juri tidak profesional, bekerja asal-asalan dan ngawur. Contoh: Dalam KLA 2005, buku puisi penyair cilik, Abdurahman Faiz (saya lupa judulnya) semula muncul dalam daftar 10 besar, tapi setelah adanya sejumlah protes dan kritik, tiba-tiba nama Abdurahman Faiz dihapus begitu saja, dan segera diganti nama dan buku lain. Terlepas dari protes atau kritik yang ada, layakkah sebuah karya yang sudah dinilai juri kemudian diumumkan kepada publik, lantas ditarik begitu saja tanpa pertanggungjawaban juri dan penjelasan panitia secara publik?!

c. Kriteria buku yang dinilai tidak jelas: apakah buku yang ditulis secara perorangan atau antologi-bersama? KLA 2008 ini, misalnya, memasukkan sebuah antologi-puisi-bersama di posisi 10 besar!

d. Konsep KLA rancu dan amburadul: apakah berupa anugrah (award) atau lomba? Jika penghargaan, mengapa panitia dan juri tidak proaktif mencari buku untuk dinilai, tapi malah secara pasif menunggu penerbit/penulis mengirimkan bukunya kepada panitia, lengkap dengan batas waktu sebagaimana lazimnya syarat sebuah lomba? Padahal, sejauhmana pengumuman KLA dapat diakses para penulis/penerbit yang bertebaran di seluruh Indonesia? Alhasil, hanya mereka yang mengirim yang akan dinilai, yang tidak mengirim akan luput.

Nah, anehnya, buku "otobiografi" TIDAK pernah dikirimkan oleh Penerbit maupun oleh saya sebagai penulisnya kepada Panitia KLA (sebagaimana yang mereka syaratkan) tapi kok bisa muncul di 10 besar?!

e. Kerja penjurian hanyalah upaya untuk membuat legitimasi bahwa Panitia KLA sudah melakukan mekanisme penilaian yang benar, padahal dasar penilaian dan proses penjurian lebih tepat disebut sebagai sebuah skandal! Contoh: Tidak ada pertemuan antar-juri, bahkan di antara mereka tidak saling tahu, serta tidak ada pertanggungjawaban apapun dari juri bagi karya yang terpilih/pemenang!

Contoh lain, seorang calon juri di Yogyakarta mengundurkan diri karena sistem penilaian yang diterapkan Panitia KLA sangat tidak masuk akal. Ia dihubungi sekitar tanggal 25 Agustus 2008 oleh Panitia KLA di Jakarta, yang memintanya menjadi Juri Tahap I dengan honorarium 1 juta rupiah. Anehnya, daftar buku yang akan dinilai sudah ditentukan oleh panitia (mungkin berdasarkan buku yang dikirim penulis/penerbit?), padahal posisi yang ditawarkan adalah Juri Tahap I yang dalam konteks penilaian lebih tinggi posisinya ketimbang panitia. Lha, kok panitia yang menentukan lebih dulu? Gawatnya, hasil penilaian harus sudah sampai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Logikanya, seorang juri tentu mesti baca buku yang dinilainya. Namun dengan waktu yang mepet dan honor 1 juta rupiah, mungkinkah seorang juri dapat membaca atau membeli buku-buku yang hendak dinilainya? Jikapun diasumsikan ada juri yang menyempal, misal mengusulkan buku yang tidak ada dalam daftar,
bukankah suara usulannya itu akan bersifat ”minoritas” belaka, sebab juri lain bisa saja tak mengetahui buku tersebut? Apalagi penilaian berupa tabulasi, penjumlahan angka dari dewan juri, sebagaimana sistem ”Idol” di televisi. Pada akhirnya, itu semua hanyalah semacam fait accompli sebab skenario sebenarnya sudah disiapkan dan juri hanyalah alat legitimasi!

Tak sampai sebulan sejak tanggal 25 Agustus 2008 kita semua tahu Long-list KLA 2008 dikeluarkan, berarti para juri telah sanggup merampungkan tugas membaca dan menilai buku-buku sastra di Indonesia yang terbit kurun waktu satu tahun! Hebat!

Di tengah dekadensi kondisi Sastra Kontemporer Indonesia lantaran merajalelanya para petualang/dilettante sastra dengan politik uangnya, perkoncoan, manipulasi isu-isu kesusasteraan Indonesia atau isu bangsa secara umum di luar negeri atau kepada sponsor baik asing maupun domestik, yang kemudian dilegitimasi dengan ”niat suci demi Sastra” padahal tidak sama sekali –– sebagaimana dengan jelas diperlihatkan pada cara kerja Panitia KLA seperti yang saya elaborasikan di atas, atas bobroknya sistem, moral dan pertanggungjawaban Panitia KLA, sponsor dan juri-jurinya itu, maka dengan ini saya MELARANG KERAS KARYA SAYA "otobiografi" ([sic] Yogyakarta, November 2007) DIIKUTSERTAKAN DALAM KHATULISTIWA LITERARY AWARD!

Kepada kawan-kawan sastrawan Indonesia, marilah kita pikirkan bersama kondisi Sastra kita yang sudah rusak oleh hadiah-hadiah sastra yang tidak jelas maksud-tujuannya seperti KLA dan oleh peristiwa-peristiwa sastra semacam Teater Utan Kayu International Literary Biennale dan Ubud Writers and Readers Festival. Apakah absennya sebuah tradisi Kritik Sastra yang baik dan benar lantas harus membuat Sastrawan Indonesia menjadi tidak kritis! Jangan cuma karena uang dan ambisi untuk ”go international” kita jadi lupa daratan!

Yogyakarta, 20 September 2008

Tertanda,
SAUT SITUMORANG

Ikut mendukung:
Penerbit [sic] Yogyakarta

dari email PUstaka puJAngga

Sebuah Musim yang Buruk

Riau Pos, 7 Agus 2005
Marhalim Zaini

Seratus meter dari arah selatan pelabuhan Internasional Bandar Sri Laksemana, sebuah taman yang buruk sedang berselimut dalam musim yang buruk. Hujan dan panas, saling bergantian tak beraturan, bahkan tak jarang datang bersamaan. Musim serupa ini, adalah ketidakmenentuan. Bagi para penyadap karet, hujan selalu tak diharapkan. Tapi kemarau juga membuat orang-orang di kampung kesulitan air. Jika biasanya mereka bisa menampung air hujan yang turun dari langit untuk keperluan sehari-hari, kini mereka harus menguras dan menggali sumur dengan air yang berwarna merah kecoklatan. Dan ketidakmenentuan semacam ini seringkali terjadi. Sebuah musim yang membingungkan di sebuah kota yang gamang.

Di sebuah taman yang buruk berselimut musim yang buruk itu, seorang lelaki duduk di sebuah bangku batu, berpayung batu, berlindung dari gerimis. Seorang lelaki sederhana. Hampir dua jam ia membiarkan mulutnya tak lepas dari rokok. Hampir dua jam matanya menyaksikan kapal-kapal datang dari arah laut. Kapal-kapal yang malas. Dan memuntahkan orang-orang dengan wajah yang memucat. Orang-orang yang bersalaman, berpelukan. Tersenyum, tertawa. Orang-orang yang berjalan menyeret tas penuh beban menyusuri lorong-lorong pelabuhan. Ia melihat gerimis sedang dimainkan angin, membuat ia teringat rok panjang istrinya, yang melambai, gemulai. Tak jauh dari taman, di antara toko sepatu dan toko emas, ia melihat seorang lelaki tengah baya sedang duduk bersidekap kedinginan. Kopiah hitam bertengger di kepalanya. Lelaki itu mungkin saja sedang tertidur. Dan membiarkan barisan batu akiknya, kesepian dan kedinginan. Penjual akik, di kota ini, adalah para penunggu setia kaki lima pertokoan. Terlampau setia untuk nasib yang tak beranjak.

Dua jam telah lewat. Senja dan hujan, turun bersamaan. Rokok tinggal sebatang puntung. Tak sedap duduk sendiri dalam gerimis tanpa rokok. Sebelum ia meninggalkan bangku batu, meninggalkan taman yang buruk, dan berlari menuju pertokoan, ia sempat mengamati sesamar wajah orang-orang yang baru saja naik dari sped boat, terutama perempuan. Tapi, tak lama. Ada yang miris, untuk bisa terus bertahan menatapnya. Ada juga debar yang berkali-kali menyambar. Dan ia pun berpaling. Mencoba berlari dari musim yang buruk, menuju emperan pertokoan. Ia mengibas-ngibaskan bekas air di jaketnya yang berwarna pudar. Ia memilih masuk ke sebuah kedai kopi yang pintunya masih terbuka. Memilih duduk di sudut dekat jendela kaca. Ia ingin menghangatkan badannya dengan memesan segelas kopi panas dan sebungkus rokok. Sembilan meja bundar coklat tua dan kursi-kursi yang mengelilinginya, tampak lengang. Hanya seseorang bermata sipit, paruh baya, berambut putih, berkacamata bingkai tebal, duduk di meja kasir memainkan sempoa. Ini magrib yang basah. Orang-orang pastilah lebih memilih berada di rumah. Membentang kasur di depan tv kecil tengah rumah, kumpul bersama keluarga, menonton siaran berita Malaysia tentang nasib para tki, sambil menikmati ubi rebus yang panas.

Tapi di luar jendela, ia masih juga melihat becak-becak lalu-lalang, keluar dari arah pelabuhan, membawa orang-orang dengan wajah yang memucat. Sesekali, ingin juga ia melihat mereka dari jarak yang lebih dekat. Melihat gurat perjalanan yang melelahkan di garis wajah mereka. Sambil menanyakan bagaimana kabarnya orang seberang. Bagaimana keadaan para pendatang di negeri orang. Tapi untuk apa. Dari dalam kedai kopi ini saja, ia dapat melihat wajah sebuah kota yang lelah. Dan melihat lintasan-lintasan kendaraan yang bergegas dan meninggalkan percik genangan air hujan di jalan. Tapi sayang, dari dalam kedai kopi ini juga ia sedang tak bisa mengelak dari lintasan-lintasan nasib yang simpang-siur di kelopak matanya, menjelma bayangan-bayangan yang buruk, di sebuah kota dengan musim yang buruk pula. Tidak, ia tidak sedang menunggu hujan reda. Atau tidak sedang menunggu siapapun. Ia telah bersumpah, untuk tidak menunggunya. Menjemputnya. Sakit hati karena tak dianggap sebagai suami, adalah sakit hati yang membatu. Dan biarlah, di kedai kopi ini, ia habiskan waktu, menatap segala yang lewat dari balik kaca jendela, sampai malam benar-benar telah membawanya bersebati dengan musim yang tak terduga. Dengan musim yang tak mudah dapat dipercaya.
***

Perempuan itu telah berdiri berbaris, saat sped boat mulai merapat ke pelabuhan. Semua penumpang selalu saja tampak tidak sabar, saat telah dekat pada debar. Ia melihat jam di tangan kirinya. Dan memandang langit dari kaca jendela yang lembab. Senja menyungkup bersama mendung yang menggantung. Gerimis telah lama turun. Orang-orang semakin bergegas naik. Berjalan menyeret tas penuh beban menyusuri lorong-lorong pelabuhan. Ia selalu malas membawa tas yang besar. Terutama sejak sebuah tasnya pernah lesap setibanya di pelabuhan Sungai Duku. Dan tak seorang pun yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Beginilah rupanya, pelabuhan-pelabuhan yang terbiar, dan dihuni oleh para preman. Biasanya, tas-tas yang dicampakkan dari atas kapal disambut oleh para preman yang menyerupai petugas. Atau petugas yang menyerupai preman. Mereka sama saja. Sulit membedakannya. Sebab mereka sama-sama punya kekuasaan dan wewenang untuk mengatur para penumpang yang naik turun. Dan biasanya, untuk pekerjaan yang sesungguhnya memang sudah menjadi tugas mereka itu, para penumpang ditarik ongkos sebesar dua ribu perak. Dan untuk kepulangannya kali ini, ia terpaksa membawa sebuah koper yang lumayan besar. Apa boleh buat. Tidak ada jalan lain, untuk tidak menyerahkan uang dua ribu perak kepada petugas/preman pelabuhan itu.

Senja dan hujan, turun bersamaan. Perempuan itu membenarkan kerudung ungu yang melilit di wajahnya, yang disapu angin laut. Seorang perempuan yang sederhana. Seperti roda travel pak yang diseretnya, langkah kakinya memberat. Enam setengah jam ditambah empat setengah jam perjalanan di atas laut, membuat banyak sendi-sendi di badannya terasa pegal dan penat. Bukan. Bukan hanya karena perjalanan, tapi juga adalah karena sebab terjadinya perjalanan ini. Sebuah sebab yang memaksa ia harus pulang. Kepulangan yang terpaksa memang selalu membuat banyak sendi-sendi di jiwa terasa pegal dan penat. Tak ada yang menyangka untuk kepulangan yang serupa ini. Tapi karena resiko ini tak hanya ditanggungkan oleh dirinya sendiri, tapi juga oleh ratusan perempuan yang lain, maka ia tak terlalu berkecil hati. Meskipun, takkan pernah terlupakan dalam sejarah hidupnya bagaimana rasanya sakit hati diusir dari negeri orang. Dan kemiskinan di depan mata adalah resiko yang harus kembali dijumpainya. Menjumpai suami, anak-anak, orang tua yang tersisa, dan wajah kampung yang lusuh. Menjumpai batang-batang karet tua tak bergetah, pohon-pohon kelapa tak berbuah, dan tikar pandan yang murah. Kemiskinan inilah yang membuat ia selalu berani dan nekat untuk pergi dari kampung, mengadu nasib di negeri jiran.

Ia tak berharap ada yang menjemputnya. Kepulangan ini bukanlah kepulangan yang istimewa. Dan ia tahu, suaminya takkan mungkin menjemputnya. Sakit hati karena pergi tanpa direstui, tentu masih belum termaafkan. Suaminya, meski seorang pekerja balak di hutan pedalaman di daerah Belitung, tak pernah mengizinkan jika harus bekerja ke luar negeri. Baginya, susah senang hidup, lebih baik dinikmati di negeri sendiri. Lagi pula lima anak-anaknya yang masih kecil-kecil, siapa pula yang akan menjaga dan merawatnya. Berharap pada emak yang sudah setengah abad itu? Tak mungkin. Tapi ia mungkin bukan tipe perempuan yang bisa diam dan manut. Apalagi setelah melihat kondisi ekonomi yang kian hari kian melemah. Ia kemudian, secara diam-diam nekat berangkat bersama sejumlah perempuan kampung yang lain. Dan tentu saja ia tak sempat menyaksikan kemarahan suaminya. Akibatnya, surat-surat yang ia kirimkan ke kampung, tak pernah satu pucukpun dibalas. Meski ia tetap terus mengirimkan sebagian penghasilannya lewat Cik Karim pemilik tongkang. Dan ia berharap, kelak suaminya akan memaafkannya.

Ia telah sampai di gerbang utama pelabuhan. Sebuah becak menghampiri. Dalam hujan yang terus menderas, becak berjalan seperti seorang tua yang renta, terseok-seok menuju kaki lima pertokoan. Malam telah turun, masih bersama hujan. Oplet terakhir menuju kampungnya yang berjarak enam puluh kilometer itu, biasanya hanya sampai pukul lima sore. Ia kemudian memutuskan untuk singgah di kedai kopi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menginap di sebuah wisma di kota kabupaten ini. Ia turun dari becak, mengulurkan sejumlah uang pada tukang becak, menurunkan tas, dan bergegas menyeretnya ke kaki lima, tepat di depan sebuah kedai kopi. Ia melangkah masuk. Memilih duduk di sudut dinding. Terlalu muak melihat hamparan luas lautan, kini ia sejenak membatasi pandangan. Menghadap ke arah lelaki paruh baya bermata sipit, berambut putih, berkacamata bingkai tebal, duduk di meja kasir sibuk memainkan sempoa. Ia kemudian memesan segelas kopi panas dan semangkuk sup ayam.

Badannya kini bersandar ke dinding. Memejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam. Sanggupkah ia pulang? Menjumpai suami, anak-anak, orang tua yang tersisa, dan wajah kampung yang lusuh. Menjumpai batang-batang karet tua tak bergetah, pohon-pohon kelapa tak berbuah, dan tikar pandan yang murah. Menjumpai kemiskinan, dan merangkulnya kembali dalam pelukan nasib badan? Entahlah. Tiba-tiba ia gamang. Bukan pilihan yang ringan untuk kembali berjalan mundur ke belakang. Tapi, jujur, ia merindukan mereka. Merindukan semuanya. Tapi apakah kerinduan dapat mengalahkan kemiskinan? Ia tidak yakin. Dan hujan di luar, terus saja membawa kepekatan malam pada musim yang tak terduga. Pada musim yang tak mudah dapat dipercaya.
***

Enam puluh kilometer lebih dari kota kabupaten, sebuah rumah panggung tua berdiri dengan kaki-kakinya yang menggigil. Rupanya hujan sampai juga di kampung ini. Dari jauh, tampak kerlip lampu colok yang berpijar lemah, mengintip dari celah-celah dinding rumah yang terbuat dari papan dan kulit kayu. Seorang perempuan tua berumur setengah abad lebih, sedang duduk menekuri sebuah tikar pandan yang belum jadi. Bunyi daun pandan kering yang bersentuhan, keluar dari celah jejarinya yang keriput. Ia sedang demikian suntuk menganyam. Pada sudut lain, lima orang anak kecil tampak berserak, tertidur pulas. Mereka adalah anak-anak yang penat menunggu waktu. Penat menunggu kepulangan orang tua mereka. Malam yang hujan, telah menidurkan mereka dalam musim yang buruk. Tapi, benarkah Abah akan membawa Emak mereka pulang?***

Pekanbaru, Maret 2005

Jumat, 26 September 2008

Kota Ini Tak Ada Pelacur

Riau Pos, 8 Mei 2005
Marhalim Zaini

Seperti lilin yang redup. Ia penat. Matanya terpejam, setengah tidur. Dalam posisi tubuh serupa itu, ia tak mungkin bisa tidur. Kedua kakinya ia sandarkan ke dinding, badan dan tangannya bertelentang di atas kasur. Ini obat buat kaki yang semalaman berjalan berkeliling kota. Jendela itu, sengaja terbiar. Menganga. Angin malam, di kota gerah ini, bagai sahabat karib yang setia. Biarkan leluasa menyapa. Dan untunglah ia tak salah memilih kamar hotel, dengan sebuah jendela yang menghadap ke wajah kota. Angin malam tak membuat perutnya jadi gembung, tapi ac, ia tak suka. Ac, membuat hidungnya tersumbat. Dan ia membenci ac, seperti ia membenci kota kecil yang gerah ini.

Matanya masih terpejam, tapi tak tidur. Seperti masih terus berselirat kesibukan kota dalam tubuhnya. Seperti masih terus menggumpal rasa penasaran di hatinya. Ini bukan kota pertama. Sebagai seorang konsultan perusahaan yang bertugas di bidang foundation engineering, bertandang ke pelosok-pelosok kota di berbagai negeri adalah hal biasa. Dari daerah yang kosong terisolir sampai kota besar metropolitan. Dari pedalaman Irian Jaya sampai kota industri seperti Batam. Baginya, pekerjaan serupa ini telah mengajarkan banyak hal tentang tabiat sebuah kota, sebuah peradaban. Lengkap dengan manusia-manusianya yang aneh dan asing. Dan ia, sungguh telah hafal, di mana bisa menemukan perempuan-perempuan yang siap menemani malam-malam sepinya. Simpang Lima di Semarang, Sarkem di Jogja, Teleju di Pekanbaru, Silir di Solo, Jalan Kalibaru di Cirebon, Kampung Baru atau Lapangan Tembak di Palembang yang konon kini telah ditertibkan, apalagi Bali, dan jangan tanya di Batam, serta segala macam nama lainnya di segala macam daerah. Bahkan di sebuah kota yang tampak sopan dan santun pun, ia bisa dengan mudah menemukan perempuan-perempuan yang bersedia untuk ditiduri. Ia sempat berkesimpulan, bahwa tak ada satu pun kota di negeri ini yang tak memiliki pelacur.

Tapi kota kecil ini, sudah dua kali dua puluh empat jam ia menelusuri seluk beluk sudut likunya, belum ia temukan sebuah kompleks lokalisasi prostitusi. Bahkan ia belum menemukan seorang perempuan pun yang merespon dengan serius, saat segala sinyal yang coba ia layangkan pada perempuan-perempuan pelayan di kedai kopi misalnya, atau perempuan-perempuan yang bersitatap di jalan-jalan, perempuan-perempuan penjual baju dalam di pasar, perempuan-perempuan yang bekerja sebagai tukang ketik di perusahaan-perusahaan kecil yang sempat disinggahinya. Mereka semua cukup merespon dengan tatapan mata secukupnya, tak berlebihan seperti yang ia lakukan saat bertemu dengan perempuan yang ia anggap menarik, dan tidak mesti cantik. Sebagai pencandu perempuan, ini sungguh menyakitkan.

Ah, dua kali dua puluh empat jam ditambah lima hari di hutan pedalaman daerah ujung Buton, menjadi konsultan pembangunan jembatan, adalah hari-hari yang melelahkan. Kehadiran perempuan pada situasi serupa ini, untuk seorang pencandu seperti dia, tentu bagai seteguk air di tengah kemarau. Biasanya, hari-hari menjadi demikian melelahkan, saat pekerjaan yang semestinya bisa selesai dalam waktu dua hari, kini harus molor sampai lima hari. Dan inilah daerah proyek dengan para pekerjanya yang tampak tidak profesional. Ia sesungguhnya sudah sangat terbiasa berhadapan dengan orang-orang serupa ini. Tapi kali ini, tampaknya ia sedang masuk ke daerah dengan tingkat korupsi teratas di negeri ini. Persiapan utama sebelum ia berangkat, adalah keteguhan untuk tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun yang dapat membuat pekerjaannya bernilai negatif. Apalagi ini, fasilitas umum. Sebuah jembatan yang melintasi sungai tempat masyarakat berlalu-lalang. Ia tak bisa main-main untuk sedikit saja berbohong tentang kapasitas tanah, ukuran kedalaman, kualitas cor, dan segala macamnya. Tapi persoalannya menjadi lain, saat ia mulai diminta dengan sedikit memaksa untuk membuat laporan secara tertulis, dan menandatanganinya, bahwa apa yang telah dikerjakan adalah sesuai dengan rencana semula, maka ini menjadi rumit. Ia cukup terheran-heran dengan kelakuan para kontraktor di daerah ini, yang dengan sangat berani menciutkan anggaran untuk pembelian bahan bangunan. Tapi apa hendak dikata, mereka yang punya kuasa. Dan pada akhirnya, ia, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Tapi, haruskah ia menandatangani sebuah kebohongan? Tidak, ini idealisme kerja. Ia tetap menuliskan laporan secara obyektif, dan membiarkan para mafia itu bersungut-sungut.

Barangkali inilah juga yang membuat stresnya bertambah. Sudahlah ditempatkan di sebuah lokasi yang menyerupai bekas sebuah bencana besar, dengan ribuan pohon hutan yang ditebangi sembarangan, jauh dari kehidupan manusia, dan tentu saja dengan malam yang gulita tanpa aliran listrik, bahkan harus pula ikut memadamkan sisa api yang masih merambati gambut di sekitar pemondokan, lalu harus pula berhadapan dengan para mafia, dan kini tak ia temukan seorang perempuan pun yang mau menemaninya. Sungguh, ini sangat melelahkan. Dan ia tak habis pikir, kenapa masih terlampau banyak daerah terisolir serupa ini, di sebuah negeri yang di dalam buminya terdapat jutaan barel minyak. Ia mengira, bekerja dengan para mafia profesional inilah, yang justru membuat daerah ini tak berkembang dengan cepat dan pesat. Sebab semua dana pembangunan telah pun kena sunat. Mungkinkah uang dapat membuat kota ini melupakan perempuan?

Tidak mungkin. Sebab ia masih melihat angka kemiskinan demikian tinggi di kota ini. Komplek pelacuran biasanya tercipta, salah satunya disebabkan oleh kemiskinan. Sepanjang perjalanan menyusuri sungai menuju lokasi, ia melihat barisan rumah-rumah berdinding kulit kayu yang reot di pinggir-pinggir sungai yang terkena abrasi. Kaki-kaki rumah mereka terlihat kurus-kurus. Anak-anak, para orang tua, penduduk setempat, tampak demikian menikmati kemiskinan mereka, berenang dalam air sungai berwarna coklat oleh limbah. Tapi mungkin saja, di daerah terpencil serupa ini, tak ada perempuan yang berprofesi sebagai pelacur. Mereka biasanya sangat menjunjung tinggi adat istiadat setempat. Melarang dan menyekat pergaulan yang terlampau bebas antara lelaki dan perempuan. Dan tampaknya, kemiskinan bukan alasan bagi mereka untuk keluar dan mengingkari nilai-nilai kebudayaan mereka, lantas memilih untuk menjadi pelacur.

Tapi, sudahlah. Dua hari lagi pekerjaan akan selesai. Dan ia akan meneruskan perjalanan ke kota yang lain, yang ia yakin akan bertemu dengan banyak perempuan yang mau ditiduri. Ia kemudian merubah posisi tidurnya. Menelentangkan seluruh badannya ke posisi sempurna. Menarik nafas, yang tersekat. Matanya bersiap untuk tidur. Membuang jauh seluruh bayangan tentang perempuan. Jarum jam telah menunjukkan angka tiga dini hari. Tapi badan yang terlampau penat, biasanya tak mudah untuk bisa secepatnya tidur. Bayangan lain yang hadir justru adalah seorang perempuan yang sangat ia kenali. Perempuan yang sempat hidup bersamanya selama lebih dua tahun. Tapi sebuah perkawinan yang gagal tak bisa begitu saja menyalahkan cinta. Ia yakin, sampai kini pun, setelah lebih dari dua tahun berpisah, mereka masih saling mencintai. Tapi konflik terkadang datang tak mengenal waktu. Ia menyerbu seperti peluru yang tajam, berdesing beruntun. Bahkan kita tak sempat sedikitpun bisa mengelaknya. Dan demikianlah, mereka harus memutuskan untuk berpisah, tanpa seorang anak. Bekas istrinya kini bekerja di sebuah perusahaan kosmetik di Jakarta. Dan ia sendiri memilih untuk tetap berpetualang dari daerah ke daerah, menekuni pekerjaan sebagai konsultan. Dan selepas itu perempuan-perempuan lain hadir silih berganti. Datang dan pergi. Meski dalam batinnya ia sering menggerutu, rupanya tak seorang perempuan pun yang bisa ia pilih sebagai pengganti.

Ia memiringkan posisi tidurnya ke dinding hotel. Berharap bayangan bekas istrinya tak lagi hadir. Memeluk bantal guling berwarna merah. Di luar, lampu kota masih mengerdip malas, dengan sesekali pijar lampu kendaraan yang cepat melintas. Tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Langit mulus seperti sebuah hamparan karpet hitam yang membentang. Baru saja, ia berhasil melelapkan matanya, tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar. Ia tersentak. Seolah tak percaya dengan telinganya. Siapa pula yang datang dini hari begini. Petugas hotel, tidak mungkin. Lalu siapa? Aldi, temannya sepekerjaannya? Juga tak mungkin. Aldi baru saja berangkat ke Tanjung Pinang tadi siang. Selain Aldi, ia tak mengenal siapapun di kota kecil ini. Dan ia tak merasa pernah berjanji dengan siapapun untuk bertemu malam ini, apalagi dini hari begini. Ah, hanya ilusi. Biasanya kepenatan selalu membuat ia mengigau. Dan ia berusaha untuk tidur kembali. Tapi tidak. Suara pintu terus saja diketuk seseorang dari luar. Dan seketika pikirannya kembali pada sosok perempuan. Mungkinkah keajaiban tiba-tiba datang? Seorang perempuan yang kesepian tiba-tiba mengetuk pintu kamar hotelnya, dan mengharapkan pelukan hangat seorang lelaki? Tapi bukankah kisah serupa itu hanya terjadi dalam fiksi? Ia tak begitu yakin. Kemudian ia berusaha mengingat-ingat kembali seluruh perjalanannya menyusuri kota kecil ini. Apakah perempuan pemilik tambak udang yang sama-sama duduk di lobi hotel tadi yang datang? Ia memang sempat bercakap-cakap sekejap. Dan belum sempat membicarakan hal-hal di luar konteks bisnis. Ah, mungkin saja. Sebab tadi sebelum berpisah, ia sempat melemparkan sebuah senyum yang dapat ditafsirkan sebagai sebuah respon yang positif.

Dan ia bergegas bangun. Memakai kembali t-shirt yang teronggok di tepi ranjang. Membenarkan tempat tidur, dan memakai sandal jepit, berjalan menuju pintu. Suara ketukan masih saja terdengar dari luar. Dengan pertanyaan dan rasa penasaran tak menentu, ia memutar gagang pintu. Dan betapa terkejutnya ia, tiga orang lelaki berdasi membawa tas hitam tersenyum lebar, dan di antaranya tampak seorang perempuan sipit yang tersenyum simpul, berkulit putih, memakai kaos ketat dan rok super mini. Ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Sebab ia tahu, apa yang mereka mau. Dalam hatinya ia berbisik, benarlah tak ada satu kota pun di negeri ini yang tak memiliki pelacur. Tapi kebohongan itu, haruskah aku tandatangani?***

Pekanbaru, 2005

Romo Mangun dalam Kacamata Saya yang Tebal

Bernando J. Sujibto

SASTRA humanistik yang berakar kepada konteks kehidupan akar rumput, sebuah upaya berkesenian yang kembali kepada fitrahnya (baca: littérature engagée), meminjam istilah Jean-Paul Sartre (Paris, 21 Juni 1905 – id. 15 April 1980), sastrawan eksistensialis Prancis, akan dengan mudah ditemukan dalam diri sosok sastrawan-novelis Y.B. Mangunwijaya. Posisi kesastrawanannya—dengan bergerak di ranah novel—menjadi media dalam melakukan refleksi tajam dan implementasi ruh kemanusiaan ke dalam kehidupan bersama rakyat kecil (wong cilik: Jawa) sehari-hari. Jadi tidak aneh jika hampir seluruh hidupnya selalu ditemukan di antara para gelandangan dan anak jalanan di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah, tempat paling banyak dihabiskannya untuk bekerja dalam panggilan kemanusiaan.

Sosok Y.B. Mangunwijaya (1929-1999) telah menjadi saksi sejarah bukan hanya untuk masyarakat Yogyakarta (baca: Jawa) tetapi bagi segenap bangsa Indonesia. Beliau telah melaksanakan misi kemanusiaan dengan gigih. Hari meninggalnya Romo Mangun, sapaan akrab sosok bersehaja yang pernah dimiliki bangsa ini, pada 10 Februari 2008 menjadi penting dihadirkan kembali di tengah kondisi bangsa dan negara yang kian rapuh dan tragis dengan persoalan-persoalan laten.

Di samping itu, Romo Mangun juga menjadi sosok ‘kebangkitan’ bangsa di tengah seabad Kebangkitan Nasional (1908-2008), sebuah momen yang dicita-citakannya menjadi semangat baru bagi kaum muda bangkit dan berjuang untuk bangsa ini.

Pejuang kemanusiaan bernama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya ini lahir di Ambaraawa, Semarang 6 Mei 1929 dan meninggal dunia di Jakarta, Rabu (10/02/1999) pukul 14.15 WIB. Predikat lain yang mendukung tersohornya Romo Mangun adalah sebagai budayawan, arsitek, penulis, dan rohaniwan. Anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah ini juga dikenal sebagai ikon penulis novel berlatar sejarah dalam konteks Jawa dengan wahana kebudayannya. Hal itu dibuktikan dengan dua novel magnum opus-nya yaitu Burung-burung Manyar (1982) (mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996) dan novel triloginya Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri (1983-1987).

Semangat pro-rakyat Romo Mangun terbangun sejak ia menjadi anggota Tentara Pelajar (TP) yang berjuang melawan penjajah. Di samping titisan darah sang Ayah yang menjadi DPRD Magelang pada masa revolusi fisik, spirit humanisme Romo Mangun tidak bisa dilepaskan dari realitas kehidupan rakyat kecil yang malang melintang dalam kehidupan kesehariannya.

Kedekatan Romo Mangun dengan rakyat kecil (wong cilik/grass roots) ditunjukkan dalam aktivitas kesehariannya seperti ketika dia membela nasib rakyat yang menjadi korban pembangunan waduk Kedungombo, Jawa Tengah, serta memperjuangkan nasib penduduk miskin di pinggiran kali Code, Yogyakarta.

Berkat perjuangannya bersama wong cilik di kali Code—dengan merancang pemukiman sepanjang tepi sungai itu—anak sulung dari 12 bersudara ini mendapatkan anugerah Aga Khan Award, penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, yang meneguhkannya sebagai Bapak arsitektur modern Indonesia.

Secara prinsipil ruh perjuangan sang Romo dapat ditemukan dalam Roro Mendut, novel tetralogi yang semkain meneguhkan konteks perjuangannya setelah novel Burung-burung Manyar. Representasi Roro Mendut, cerita rakyat Jawa berlatar abad 17-an, merupakan ranah gender yang menjadi persoalan rentan kemanusiaan di masa-masa penjajahan itu, di mana perempuan selalu menjadi korban kehidupan kemanusiaan waktu itu.

Keberanian Roro Mendut (perempuan molek yang tak ayal menjadi pusat mata para tentara Belanda dan petinggi kaum Pribumi) dalam menentukan masa depan dan pilihan hidupnya mempunyai nuansa pencerahan setidaknya dalam konteks itu. Mendut rela menderita mempertahankan cinta pilihannya sendiri dari pada menerima Wiroguno, lelaki kuat dan penguasa masa itu.

Kebebasan memilih hidup itulah yang menjadi warna dominan dalam novel yang mengajarakan tentang landasan nilai bagi kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre) untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

Kebangkitan
Namun, dalam seperempat akhir hayatnya Romo Mangun dihadapkan dan tersadarkan dengan kondisi kebangsaan yang terus merapuh. Semua itu ia suarakan dalam esai-esainya. Konteks kebangsaan yang menjadi perhatian dalam masa akhir-akhir karirnya sebenarnya sudah menjadi darah kehidupan sang Romo semenjak dia menjadi pembela tanah air dengan menjadi salah satu anggota TP di Jawa Tengah. Panggilan hidupnya yang semakin luhur itu menjadi renungan penting dalam konteks kehidupan kali ini.

Melalui tulisan esai-esainya yang tajam terutama masalah kebangkitan generasi muda dengan wawasan kebangsaannya yang berpijak kepada demokrasi yang konsisten, seperti diungkapkan oleh Catherine Mills, salah satu penulis tesis dengan mengangkat sipak terjang Romo Mangun di Curtin University, Perth, Australia, Romo Mangun selalu mengajak generasi bangsa Indonesia kembali merilis ulang spirit perjuangan yang telah dibuktikan oleh kaum muda pada masa penjajahan demi memperuangkan tanah airnya.

Dalam salah satu refleksi kritisnya tentang masa depan bangsa Romo Mangun menuliskan ihwal tahun-tahun simbolis yang musti diperhatikan generasi muda Indonesia dewasa ini, yaitu 2008, 2028, dan 2045 (Y.B. Mangunwijaya, 1999: 7). Ia merepresentasikan simbol tahun-tahun di atas bukan sebuah omong kosong. Karena bagi yang sadar sejarah, simbol angka di atas, khususnya 2028 dan 2045, adalah titik pijakan—atau embrio gerakan kebangkitan nasional—bagi bangsa Indonesia sehingga bisa terbebas dari "ketakutan-ketakutan" akibat penjajahan. Setidaknya, dua tahun itu (1928 dan 1945) telah melahirkan spirit Indonesia baru yang gemilang.

Hasil renungan tajam dan mendalam Romo Mangun tersebut adalah kado spesial buat generasi muda demi menyongsong tahun 2045, di mana Indonesia memasuki seabad HUT kemerdekaan yang diimpikan Romo Mangun kita (semua bangsa Indonesia) dapat memiliki negara dan masyarakat hukum yang bersih dan dapat dibanggakan, bebas dari ketakutan-ketakutan.

Kesadaran demikian tumbuh dan berkembang dari kultur dan tradisi Jawa yang kuat dalam kehidupan Romo Mangun. Ia seolah meneruskan spirit pemuda Boedi Oetomo (BO). Pendekatan kultur-budaya hingga lahir kesadaran ‘menjadi satu bangsa’ dilakukan oleh pendiri BO Dr. Radjiman dalam menggalang rasa kebangsaan yang berlandaskan kepada pola budaya tradisional. Sebagaimana disinyalir Robert Van Niel dalam tulisannya berjudul The Course of Indonesian History, pada awalnya tujuan mendirikan BO adalah mengembangkan kebudayaan Jawa (to promote Javanese cultural ideals). Tetapi pada gilirannya langkah BO telah menggugah spirit nasionalisme kepada semua rakyat Indonesia yang terkapar di bawah penjajah waktu itu. Latar belakang kearifan budaya lokal (Jawa) menjadi sarana Romo Mangun dalam menafsir wawasan nasionalisme dan demokrasi sejati bagi bangsa dan negara.

Berhubungan dengan isu Kebangkitan Nasional di atas menarik membaca ulang analisis yang ditandaskan oleh Sri Sultan HB X tentang seabad Kebangkitan Nasional, ihwal simbol tahun 2008 yang genap 100 tahun menjadi momen Kebangkitan Nasional, sekaligus 80 tahun Soempah Pemoeda dan bertepatan dengan 10 tahun reformasi yang secara resultantif, tahun 2008 seharusnya menjadi momen penting bagi pemuda untuk memprakarsai sebuah kebangkitan baru. Jika momen 1908 menyemaikan kemerdekaan, 1928 mempertegas bingkai cita-cita itu, 1945 memancang tonggak perwujudan cita-cita itu, maka pertanyaanya, momen 2008 akan menyemai apa, dan mewujudkan apa? Pertanyaan Sri Sultan HB X ini tentu harus menjadi perenungan panjang yang menuntut kesolidan sosok generasi muda bangsa yang cakap dan mumpuni dalam semua lini kehidupan yang sedang dibutuhkan dalam membangun masa depan bangsa dan negara.

Cita-cita Romo Mangun buat pemuda dan juga ‘kado’ dari sang Sultan di atas akan menjadi ironi yang menggodam ketika dihadapkan dengan realitas kehidupan generasi penerus bangsa yang cenderung rejuvenasi dan mengalami degradasi secara total—mencerminkan generasi sakit dan lumpuh seperti fenomena akhir-akhir ini!

(06-02-08)

Perempuan yang Pandai Menyimpan Api

Jawa Pos, 22 Feb 2004
Marhalim Zaini

Tahu apa kau tentang kehilangan
Sehingga membuatmu berbeda dari orang lain?*

Seolah seisi kedai menyimpan umpatan itu. Malam – yang diduga dapat menyembunyikan percik api sindir kebencian dari mata orang-orang – justru kini menjelma ribuan teluh yang mendera sunyi. Sunyi malam, yang memekat di dada Soi. Dada perempuan yang sipit matanya, membuncit perutnya, yang hanya memandangi genang bias cahaya lampu di wajah sungai hitam setiap malam. Soi tak suka ratusan cahaya kristal yang terapung berbaris di sepanjang tepian sungai Siak di seberang itu, sebab Soi tak mampu menggapainya. Dan Soi lebih suka pelabuhan tua beraroma lumut gambut ini, duduk bersandar mengelus-elus perut di sudut jendela kedai yang selalu terbuka, mendengarkan batu-batu domino beradu di atas meja, dan menyimak percakapan para kuli pelabuhan yang menyulut derai tawa. Serupa kenikmatan pahit candu dari tuak yang ditenggak para kuli imigran gelap itu, Soi menikmati setiap jarum teluh yang menyembur dari mulut mereka.

Soi mafhum. Sesungguhnya tak ada yang membuat ia berbeda dari mereka. Kehilangan di sini ibarat ulam. Tak sedap hidup tanpa kehilangan. Sejak lama Soi kehilangan keluarganya, kehilangan kampung halaman, kehilangan pekerjaan, kehilangan keperawanan, lalu kini Soi kehilangan lelaki yang harus bertanggungjawab terhadap bayi yang dikandungnya. Sementara para lelaki kuli pelabuhan itu juga kehilangan keluarga, istri, anak, bahkan lebih sering kehilangan dirinya sendiri tatkala alkohol telah mulai menguasai hidup mereka. Biasanya, kalau mulut mereka telah berbuih dan mulai meracau tentang kebahagiaan hidup yang tak mungkin diraih, di gudang-gudang pengap, di pinggir-pinggir sungai itulah tempat mereka membuang badan, merebahkan kehilangan demi kehilangan, dan bergegas merangkak bangkit ketika matahari mulai meneriakkan lengking kapal barang ke telinga mereka. Dan tampaklah, serupa para pengungsi perang, para lelaki legam bertubuh gempal berjalan berduyun-duyun membawa barang di pundaknya, keluar masuk dari gladak kapal ke pelabuhan. Soi selalu tersenyum memandangnya, dalam hatinya ia sering berbisik, “Para lelaki kuli itu, tak bisa sombong saat berhadapan dengan hidup. Mereka takluk seperti manusia yang kena kutuk…”

Maka kini Soi memilih untuk diam. Memilih untuk tak mengamuk atas setiap kehilangan yang menimpanya. Sebab amukan dan teriakannya telah tuntas lepas saat segerombolan lelaki menaklukkan tubuhnya di atas ranjang tua pada suatu malam yang hujan. Lelaki-lelaki gempal dan kasar yang berbau karat besi dan minyak kapal, menutup wajah mereka dengan sarung, mengendus serupa babi yang kelaparan. Soi terhenyak, membisu dalam tangis yang tertahan. Tidak ada kekuatan untuk menolak bahkan untuk mengatakan tidak. Tak ada sesiapapun yang hidup malam itu. Hanya sesayup suara anjing yang kian hanyut dibawa deras air pasang. Hanya suara desah pasrah yang tenggelam karam.

Sejak itu Soi mengunci mulut. Sebab ia merasa tak ada kata-kata yang layak untuk diucapkan. Soi lebih memilih mendengarkan peluit kapal-kapal, yang seolah memanggil namanya untuk segera pergi dan kembali ke kampung halaman. Atau Soi lebih suka menyaksikan mulut kapal memuntahkan orang-orang yang datang dan menelan kembali orang-orang yang pergi. Soi merasa sedang menyaksikan mesin hidup yang terus memompa tubuh-tubuh dalam waktu yang tak pernah padam. Atau Soi terkadang lebih senang mendengar Kak Dar – si janda tengah baya pemilik kedai – berceloteh tentang kedai kopinya yang kian hari kian bangkrut, tentang para lelaki kuli yang kerap menggodanya dengan pujian-pujian. Pujian-pujian yang ujung-ujungnya supaya hati Kak Dar luluh untuk tetap memberikan toleransi terhadap hutang-hutang para lelaki kuli itu. Meski dalam hati, Soi selalu bertanya, kenapa saat ia diperkosa pada malam yang hujan itu, ia tak mendengar suara Kak Dar memaki hamun para lelaki itu. Soi tak melihat bayangan Kak Dar datang membantu. Di manakah Kak Dar malam itu?

Tapi Soi memang pandai menyimpan. Soi sadar, ia tak berhak terlalu banyak bertanya pada orang yang telah berjasa padanya. Soi menghormati Kak Dar seperti ia menghormati ibunya sendiri. Dan sebagai seorang perempuan malang yang terbuang, yang telah sekian lama menumpang, Soi tak mau lebih menyusahkan Kak Dar dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengandung unsur kecurigaan itu. Meski terkadang Soi merasakan ada goresan pisau tajam di ulu hatinya saat Kak Dar berbisik, “Gugurkan saja bayi itu, Soi…”
Dan Soi tetap memilih untuk diam.
***

“Sudahlah, Soi. Melamun hanya membuat orang cepat keriput.”
“Ya. Lelaki kau itu pasti kembali. “
“Kalaupun tak kembali, di sini kan banyak pengganti.”
Soi bergeming. Suara para lelaki kuli di meja judi itu terdengar berbaur dengan batu-batu domino yang berbentur. Soi masih saja duduk meluruskan kedua kakinya di atas bangku panjang di sudut kedai dekat jendela yang terbuka. Tangannya selalu begitu, mengelus-elus halus perutnya yang buncit. Matanya selalu begitu, menatap kosong dan dalam. Soi tak pernah mengerti kenapa para lelaki itu setiap malam terus melemparkan jarum teluh di dadanya. Lelaki mana yang mereka maksudkan, yang pasti akan kembali itu? Padahal sejak ia pergi dari kampung jadi tkw ke negeri seberang sampai ia terlempar di tepi sungai ini, Soi tak memiliki seorang lelaki pun sebagai kekasihnya. Diam-diam Soi menumpuk rasa muak di hatinya, “Ah, para lelaki kuli itu, semakin berlebihan…”

Tapi Soi memang pandai menyimpan. Soi menganggap mungkin lelaki yang dimaksudkan oleh para lelaki kuli itu adalah lelaki yang beberapa waktu lalu mengirim sebuah kartu pos yang berisi kalimat puitis, “Aku suka Malaka. Tembok orang Portugis, jalan pada deru pagi, gudang Cina dengan genting tua, liku Bandar, warna kapal, dan kedai-kedai.”**

Tapi Soi tak pernah tahu siapa sebenarnya yang mengirim kartu pos itu, sebab tak ada sebaris nama pun tertera di bawahnya. Soi hanya menduga bahwa kartu itu tentulah dikirim oleh seorang lelaki berkacamata yang pernah singgah di kedai kopi ini. Lelaki pendatang itu memang sempat menyapa dan mengajak Soi bicara tentang keadaan kampung ini. Tapi itu hanya sekejap. Habis segelas kopi dan sebatang rokok di tangannya, lelaki itu pun undur diri. Dia cuma sempat meninggalkan sebuah buku kecil dari dalam ranselnya. Sebuah buku yang sampai kini tak kunjung dimengerti oleh Soi makna kata-katanya, meski telah berkali-kali Soi mencoba membacanya. Tapi ada sebuah kalimat pendek – yang kedengarannya aneh – yang selalu ia ingat dan selalu ingin ia bisikkan di telinganya sendiri, “perjalanan pendek ini, panjang sekali.”***
***

“Soi, awak tu tampak semakin cantik kalau sedang bunting begitu.”
“Iyalah. Kalau dasarnya memang cantik, sedang apa pun, pasti cantik juga kelihatannya…”

“Ah, Soi, tak adakah di antara kami yang kau suka sebagai pengganti. Hahaha…”
Bau alkohol menyengak dari mulut para lelaki kuli yang meracau itu. Soi sesekali melirik wajah-wajah mereka yang legam berkilat penuh keringat. Lampu minyak yang bergoyang di atas kepala mereka, menebarkan bayangan-bayangan temaram, menegaskan kepekatan malam yang terus beranjak tenggelam.

“Tapi Soi, sebaiknya bayi itu kaubuang saja.”
“Ya. Untuk apa kaupertahankan bayi yang tak jelas siapa bapaknya.”
“Lagi pula, sama saja kau menyimpan aib dalam tubuhmu. Hahaha…”
Batu-batu domino itu, terus beradu di jantung Soi. Ada gemeretak geram yang terpendam. Ada lintasan ingatan yang berkelindan. Bayangan lelaki-lelaki bertopeng kain sarung seperti sedang terbahak-bahak menertawakan Soi yang terkapar lunglai di atas ranjang tua, pada suatu malam yang hujan.

“Sudahlah, Soi, jangan terlalu dipikir. Gugurkan bayi itu, lalu kau dapat bekerja ganda di sini.”
“Ya, di samping sebagai pelayan kedai membantu Kak Dar, kau juga bisa melayani kami untuk…”
“Hahaha… benar juga itu. Kami yakin, perempuan secantik kau pasti laris…”
Soi naik pitam. Seluruh gelap malam menerkam tubuhnya. Gelak tawa, batu yang beradu, alkohol yang membuncah, angin laut menggayut di tiang-tiang kedai, mengepakkan atap rumbia, dan lampu minyak terus bergoyang kencang di dada Soi. Membakar segala yang lampau. Membakar segala desau…
***

Saat peluit kapal-kapal mengantarkan fajar, langit memerah oleh pijar kobaran api yang masih menyala di barisan gudang-gudang pengap di pinggir sungai. Ada tubuh-tubuh gempal bergelimpangan hangus dimakan api. Ada suara sesengguk tangis perempuan janda yang berlutut di bawah meja. Ada segaris senyum puas di bibir perempuan bunting yang duduk meluruskan kedua kakinya di atas bangku panjang di sudut kedai dekat jendela yang terbuka. Tangannya selalu begitu, mengelus-elus halus perutnya yang buncit. Matanya selalu begitu, menatap kosong dan dalam.
Soi memang pandai menyimpan api.***

Yogyakarta, 2003

Catatan:
*) Dari Puisi Agha Shaid Ali berjudul Di Seberang Hujan Abu, terjemahan Arif B. Prasetyo.
**) Sebaris sajak Goenawan Mohamad berjudul Pastoral.
***) Sajak Radhar Panca Dahana berjudul Nafas.

Kamis, 25 September 2008

RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I - XCVIII

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=227


Suara gending-gending masih megalun dalam jiwamu,
walau tetabuhannya telah dihentikan, merasakan diamnya ke puncak membiru
lalu sukma berbisik, mengetuk jendela perempuan-perempuan abadi (IV: I).

Ketukan tembang mengalun ke tangga pesawahan wewaktu,
ia membuat minuman yang paling kau sukai sehabis berlatih lama
pepohon kehidupan itu menggeraikan tetangkai usiamu (IV: II).

Masuklah kemari wahai jiwa-jiwa yang berada di luar
laksana awan-gemawan membukakan pepintu,
singgahlah wahai kau, dan tetaplah di kedamaiannya (IV: III).

Istirahlah di ketinggianmu, biarkan mereka memandang kesulitan
sebab cinta-kasih penglihatannya terawat
walau nafasnya hampir memupus kepada sulur rimba angkasa (IV: IV).

Perbaikilah tarianmu, sebelum panggung wengi persembahkan purnama,
masa-masa dinanti mata bening embun sang keheningan sejati rasa (IV: V).

Lambaian sampurmu, murni bahasa lain gemulai jiwa,
sedang lautanmu mengaduk-aduk dasar kemanusiaan, tetapi mereka masih terdiam
seumpama karang bodoh oleh isyarat gelombang (IV: VI).

Meminjam pena dari lautan tak berdasar,
wewarna berubah sulit menangkapnya, hanya penglihatan jiwanya menjadi pengertian
sedangkan tubuh sama mayanya, saat bayangan diartikan getaran semata (IV: VII).

Ia tak bosan berucap, jagalah dirimu wahai perempuan abadi
sebab takdirmu seharum pamor sejarah padma dalam telaga kasih (IV: VIII).

Ciptakan sakit hati mereka atas cemburu,
dengan itu akan mengerti wewarna bebatuan di dasar kali (IV: IX).

Semakin ditunjukkan kemarahan, teringat masa silam pernah tenggelam,
aku pemandu, mengangkat tubuh pena sebagaimana kali ini (IV: X).

Kenapa tak lagi dalam jiwamu? Jasadmu menari bukannya memanggil,
pelajarilah keteguhan fajar menanti terbangnya burung bangau
menuju pesawahan lembah, ngarai petilasan (IV: XI).

Teruskanlah, meski langit masih menggeliat manja atas kokok ayam jantan,
jadikan matahari penerang jalan bagi domba ke padang rumput bebunga (IV: XII).

Mengapa memilih tidur bersama pengembala dungu di antara mekar puja?
Kemarilah, wahai yang mengendap dekat daun jendela di balik selambu (IV: XIII).

Usah menjangkau kedalaman curiga mengusung prasangka,
lepaskan seluruh beban ruang-waktu, datanglah berwajah renyah-ringan
sebab kecantikanmu sesegar gunung tropis di layar langit membiru (IV: XIV).

Kau ingat bersama angin mengibas untaian rambutmu,
kelembutan menjuntai kubur kebosanan dan tariklah pengertian
kepompong mencipta sayap kekupu terbang di bunga penampilan
kepada kebun pandanganmu seorang (IV: XV).

Jika terasa gelisah, hakikat kebenaran mendekatmu,
ruang-waktu mengabadikan dirimu menerangkan senyuman (IV: XVI).

Ia tak menyia-nyiakan pengalaman membimbing,
menuntun alirannya kepada muara sentausa (IV: XVII).

Sebongkah batu menyumbat mata air menerobos nalar ketabahan,
kehendaknya memecah bebatuan kerikil menjadikan bermakna (IV: XVIII).

Barangsiapa lahir berkekuatan, akan menghadang memukul lawan,
merindu pemekaran, itulah watak lapang menerima pengaduan (IV: XIX).

Jurang terjal karang cadas berkilau memantulkan sinar
tak hanya menerima tidak berdasar ceruk kesungguhan nurani
kalau ditimba, walau bersimbah maut berdarah juang (IV: XX).

Nikmatilah keganjilan, esok bakal tersadar kebenaran kini
menemukan limpahan ruh hakikat madunya kembang (IV: XXI).

Yang berjalan sering terlupa jemarinya lentik berlambaian
serupa syair tubuh para penari menuju batas-batas keheningan
semakin memperjelas benteng kesadaran kerajaannya (IV: XXII).

Kau keraton di segenap dirinya, semua tiada canggung,
lebur menguap bersama sukma-sukma jatuh cinta (IV: XXIII).

Biarkan keganjilan memandu ke perkampungan terpencil,
melewatinya kian mengakrabkan ayunan kaki terlahir (IV: XXIV).

Tidak perlu berjalan menghindari sebab rasa malu,
biarkan pertemuan bernadakan takdir memberi-terima
sebagai bahasa mencari tidak berjarak (IV: XXV).

Buang jauh-jauh perasaan mual terhadap tinta menghitam,
percayalah sebelum catatan ini kau simpan, esok bakal terkenang
dan kajilah dengan batin sesederhana nantinya (IV: XXVI).

Dia merasa lega kau merawat kedekatan saudara, apabila menjemukan
ambillah persembahan ini, mengartikan senggang tak hanya bagimu (IV: XXVII).

Dia sangatlah bahagia di tengah-tengah limpahan doa
merawat jari-jemari mewujudkan tari-tarian puja (IV: XXVIII).

Wahai kelembutan, rapikan kukumu bergunting kearifan,
aku ingin memandangmu rapi di segenap hal
tidak terkecuali pribadimu, begitu santun maha peramal (IV: XXIX).

Kau merawat diam di antara bola-bola matamu,
dirimu tahu sedang kembara jauh ke dasar kewanitaanmu
sepadan ruang kehidupan menerima pengajaran (IV: XXX).

Setiap perintahnya tiada mencederai cemburu melukaimu,
ia tandas kasih perhatian menyayangi sungguh (IV: XXXI).

Rawatlah sungai jemarimu
yang mengalir murni dari sela-sela keheningan (IV: XXXII).

Tubuhmu serupa bambu yang ditarik bayu atau jangan-jangan
angin tertarik goyangan daunmu, menuju pantai harapan (IV: XXXIII).

Kesengajaan tulisan ini menjadikan bacaan takdirmu,
kehidupan membuka ketika lelangkah ke muka (IV: XXXIV).

Terimalah penantianmu sebab kau dewi ditunggu-tunggu,
laksana mendung menghitam dalam musim kelabu (IV: XXXV).

Berilah senyuman ke hadapan saudara-saudaramu,
hatimu bukan pertama sebab semuanya telah dikodratkan
tetapi kehadiranmu bermakna baru pada giliran itu (IV: XXXVI).

Kelebihanmu dapat merasakan coretan bathin kesungguhan,
ia tengah memahat relief di bangunan candi hatimu (IV: XXXVII).

Selamilah perasaannya, ia di kediamanmu paling rahasia
ketika kau mengangguk lewat semilir bayu
dihempaskan nafasnya ke dalam nafasmu (IV: XXXVIII).

Ini kekekalan yang berkumandang di pebukitan, lantas ia berseru,
cintailah perempuanmu seperti kau meyakini masa-masa abadi (IV: XXXIX).

Usahakan menguasai ruang-waktunya,
keluar-masuk dunia hampa menuju kelanggengan,
ia seakan berkata, di atas pebukitan nasib memiliki makna (IV: XL).

Kalam pembuka sangatlah berhimpitan serupa coretan terakhir
maka biarkan waktu senantiasa hening memaknai diri, perawan bukan kosong
seperti ladang digali hayati, menjelma perjamuan kasih paling manusiawi (IV: XLI).

Yakinlah telah diatur pemilik Kehendak,
lama memahami keberadaan benang-benang jiwa,
menatap pandang dalam gulungan setia (IV: XLII).

Terimalah tumpahan wedang dentingan gelas penghormatan, nasib si putri
mendengarkan katupan sayap kekupu dalam pesta musim persemaian (IV: XLIII).

Kehalusan budi kembara melebihi kangennya kupu-kupu pangeran
yang mengepak sedari jarak sangat lama (IV: XLIV).

Hanya demi memberikan semilir salam seharum ilalang
serupa fitroh semak belukar di hutan tropis dekat jalan (IV: XLV).

Apabila kelelahan dia mengobati dengan senyumnya sendiri,
tubuhnya pun pulih dalam telaga jiwa seharum kesturi (IV: XLVI).

Kala malam sepi, memintalah pengajaran pada gemintang,
lalu amati kerling mana yang paling kau sukai (IV: XLVII).

Rasakan keberadaanmu lantas ambil isyarat mendoa,
agar kejora senantiasa bersemayam dalam dada (IV: XLVIII).

Ingatlah kau bintang itu tetapi janganlah dijawab
sebelum keterasinganmu susut akrab, kau memberi lebih sebelumnya
atau itulah hipotesamu paling perawan yang pernah ada (IV: XLIX).

Ruh suci hayat mengunjungimu, kelepak sayapnya perkasa
menjagamu dari jarak tidak kau ketahui nan kau inginkan (IV: L).

Bukankah dambamu memberi jalan kedamaian, yang
kanan-kirinya dihiasi bebunga dan tiada bebatuan curiga
sebab nafasmu berhasrat ketulusan (IV: LI).

Yang sanggup melewati tapakan sunyi sebab tahu tingkatan ketabahan
menjadikan dirinya penentu di mata waktu; setiap perempuan tersadar sebagai
pilihannya sendiri, itu awal kepercayaan dalam jiwa segera damai abadi (IV: LII).

Sayap-sayap nyawa menggodamu dari kekhusyukan menggebu,
kembalilah kepada pengertian utama, pilihanmu sesungguhnya
bukan sekadar sungguh-sungguh tanpa keyakinan (IV: LIII).

Warisilah kepribadian ibumu, santun mempelajari
dan tekun menyempurnakan yang sudah ada (IV: LIV).

Jika menembangkan satu pengertian kan bercabang berduri,
berserat lagi bergetah, kau keturunan pohon berakar kokoh (IV: LV).

Ia tak menyebut berwibawa tetapi sosok anggun manusiawi,
membuat mereka sungkan oleh cahayamu berkilauan penuh
kepada memandang, niscaya nikmat tiada tara (IV: LVI).

Yang menyisir naungan malam demi sepenggal dunia lain,
permukaan siang berputar cepat tiada terpegang, hanyalah cahaya
sedang bayangan bukan penghalang (IV: LVII).

Hadirmu menambah magnit selagi alam di balik hijab
di tengah pengelanaan malam menumbuhkan cahaya fajar,
ditiup bayu membuka dedaun telinga perindu (IV: LVIII).

Ingatlah rimbunan pohon bersyair, rintik gerimis di hutan jati
saat purnama ditindih awan ditiupkan angin tempaan masa silam (IV: LIX).

Inilah gerakan musim-musim di bumi yang diikuti anak-anaknya,
kokok ayam mengetuk palu membuka gerbang dini hari, lagu serangga
bersahut-sahutan menyatukan irama katak seuntai sembahyang
seakan tak mau melewati wengi tanpa makna (IV: LX).

Sepi-sunyi berbunga mekar-hening-harum khusyukkan pena,
kembang teratai berkelopakan putih menerima takdir nyata (IV: LXI).

Ia bersila di antara bayang bergetar ditajamkan cahaya,
sesekali menjenguk ketenangan di luar,
tangan mega-mega terdiam merasakan kesendirian (IV: LXII).

Serpihan kabut samar-samar menyapa hasrat pendaki,
nikmatnya menambah bilangan tiada ragu memperbesar rindu
pada kau seorang, penghibur keengganan terpisah (IV: LXIII).

Gemerincing air pegunungan ke lembah semedi
pada kaki-kaki pemuda menjangkau tepian (IV: LXIV).

Mentari esok kekupu betina singgah di depan mata,
sayapnya mengepak berwarna senyum menggoda jiwa (IV: LXV).

Dirinya menanti pemakmur ladang jiwa yang lama kering,
hijau laut biru perindu, siapa menemukan pasangan kerang di pantai
demi sempurnakan tembang persembahan (IV: LXVI).

Jadikan ini kisah berharga pengisi ranum kalbumu,
kala langgam pagi diabadikan dunia, ruh lembutnya ditiup pedesaan
menuju kota-kota yang penghuninya mabuk berat keagungan (IV: LXVII).

Layang ini setangkai sekar merekah, jagalah serupa merawat tubuhmu
demi masa lanjut mengidungkan hikayat purbani bernilaikan pekerti (IV: LXVIII).

Lengking suara malammu seperti pernah teralami, tetembangan serangga
melewati masa dingin-tenang berlaksa-laksa langgam manusiawi (IV: LXIX).

Anggaplah bayangan teman pengganti, menghidupi kesendirian sunyi,
setelah deras hujan menyirami tlatah ke-adiluhung-an para leluhur (IV: LXX).

Ia memperlihatkan wajah paling terang,
kau melewatinya dikunjungi malam-malam silam (IV: LXXI).

Yang ia jalankan dikokohkan cahaya fajar,
ribuan kelelawar mencicipi buah bulan menggantung kemerahan (IV: LXXII).

Suara klenengan menyambut puja melebur sayapnya bagi kepakan abadi,
ia menjangkau pebukitan pada lereng-lereng terjal pedalaman waktu (IV: LXXIII).

Seluruh makhluk menghampiri, ada merayap, mengendap, melesat,
ada pula yang melaju laksana perahu (IV: LXXIV).

Terimalah pengajaran tiada habisnya,
lagi kekalkan dirimu kepada kehadiran seterusnya (IV: LXXV).

Kereta kencana lewat di sampingmu, menantilah sekembali dari perigi,
di mana setiap gelombang itu gerbang kerajaannya terbuka (IV: LXXVI).

Cahaya dan gelap ombak menyenangkan perasaan pasangan,
jiwamu-jiwanya merasakan pula tetesan sisa-sisa gerimis menyapa,
tercatat di lembaran dedaunan dikumpulkan masa (IV: LXXVII).

Pun demikian mereka borbondong sebab tertinggal,
yang telah tiba di tempat tujuan, menyantap hidangan tuan rumah
yang menyuguhkan wewangi kembang kesegaran peribadatan (IV: LXXVIII).

Buah ranum terasa manis dan harum kemboja menambah rangsangan,
senantiasa dahaga madu lebah tersimpan lama di kedua pundak sayap cinta,
ini bukan persengketaan, tetapi penebaran kasih berluap sayang (IV: LXXIX).

Setiap tarikan nafasnya memulihkan kesegaran,
kau teguk penuh khusyuk dengan datang tidak terlambat
atau menanti kereta hadir selanjutnya (IV: LXXX).

Tubuh bidadari harum mendekat penuh gairah cinta telah disucikan,
ambillah daya sekeliling wengi-mu,
bagi yang sekadar lewat, tidak perlu diberi jawab (IV: LXXXI).

Tidakkah banyak bersyukur bakal menimba kedalaman, kau mendapati
yang tidak terbayangkan, ini telah menjadi aturan sebelumnya (IV: LXXXII).

Irama kesemutan kaki-kaki setia lebih dulu sampai,
ketimbang yang pulas mendengkur atau perjalanan ngelantur (IV: LXXXIII).

Siapa sanggup mencapai tumpukan batu menstupa dengan keberadaan langit,
kecuali seekor burung elang telah ditakdirkan berkuasa terbang (IV: LXXXIV).

Wahai saudaraku, selamatkan kekupu yang terkulai di halamanmu
tanpa merontakkan sayapnya, merontokkan bedaknya, dan elus bebulu lembutnya
agar senantiasa setia menjaga di pangkuan tangan mesra penuh rela (IV: LXXXV).

Sekali tiupan sayang membangunkan tenaga kembali, dan
taruhlah beban sekarat, tidakkah kekupu bertelur lalu menetas,
seperti bayi-bayi merayap, dirimu laksana ulat (IV: LXXXVI).

Balutan tinta di kertas ketakutan mencoreng kulit wajah,
jadilah kau serupa dirinya, tidak sekadar bersinggah (IV: LXXXVII).

Badan kentungan berhenti bergoyang, kenapa masih ada bimbang?
Dan kenapa pula menyimpan kecurigaan? Apa pahalanya? (IV: LXXXVIII).

Mataair tetesan hujan abu-abu mendendangkan dedaun gugur
selaksa bayangan ditinggal terbang, kau dengar lelangkah ingin pulang,
tidakkah jalur di wilayahmu belum semuanya terlewati? (IV: LXXXIX).

Di waktu hening benar-benar membutuhkan,
teruskan tapakan usia bertambah lengang, dekatkan suaramu
pada gema kesendirian, ia merestui perjalanan mengagumkan (IV: XC).

Boleh kau cepat merasa kenyang, menganggap enteng persimpangan,
asal pedangmu melebihi tajamnya batu yang didatangkan dari gunung tertinggi,
tempat di mana burung-burung tiada pernah sanggup beranak-pinak (IV: XCI).

Pebukitan Ngerempak kayu putih desa Ngelipar, batang-batangnya
cemerlang berhutan cahaya, bebatuan kerikil memantulkan sinar bulan,
menggantikan kulit tubuh-tubuh perempuan (IV: XCII).

Seyogyanya lebih dulu menikmati seperti biasa
daripada memandang kegilaan sementara (IV: XCIII).

Akrabkan ketakutanmu serupa perasaan jatuh cinta,
lalu kau terbiasa oleh hawa paling ganjil sekalipun (IV: XCIV).

Tajamkan seluruh indramu biar peka merekam pengabdian
yang menyerupai lintasan angin menapak tilas jejak kembara (IV: XCV).

Yang berusaha keluar bergandengan
demi menemukan hakikat kebersamaan (IV: XCVI).

Tidakkah praduga menyerupai seringai singa?
Sebagaimana tiga gelombang suara angsa menegur ingatan,
bangau mengajarkan terbang menyelusupi pekat malam (IV: XCVII).

Sungguh yang patuh pantas dinamakan setia, petuah ini rawatlah
serupa fahami jagad diri, kunang-kunang terbang malam, berikan cahayanya
kepada kalian, kumpulan tersebut terselimuti kegelapan terjaga (IV: XCVIII).

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati