Selasa, 28 Oktober 2008

Balada-Balada, Suryanto Sastroatmodjo

BALADA CENAYANG

1
Demikian pusing gunung. Hentak jadi tempelak
Barangkali dambaan batin yang maharengkah
niscaya akhirnya jadi acuan larat

Aduh, tak tergapai pautan syukur
bila juntai lindurmu harum
Dan gempita baga gempal gerompal
buat duduk memeluk dengkul

2
Cenayang adalah tiarap menggoyah sekal
dari sini guntur pun takkan loncat
dati tahtanya. Demi kumparan si tertindih
Entah jikalau tiada lagi yang digenapi
Dari nubuat Bapakku Suci

Dalam sanak, dubalang sanak
serta tundungan ujung-ujung sergap
Maka kita punya kawasan putih
akan mengakhiri tualang tutur.

3
Lamun rentung-runting nestapa di gigir ringkih
melecut jasat uzurku-tidak mengerkah nasib
Hanya gesang di alas watas
seperti elmaut juga warisan gemas

Hingga pun segera membolong mudaku
percuma alun-prahara tanpa bekas
Dengan sangglah dan koyakanya laras

4
Cenayang membukiti telentangku papa. Aduhai, bujang
yang mengeras,mengarus, mempecundangi tarakbrata
sampai kepada Sesaji Matirta paling seksama
Aku lolos dari kepungan sumpah nan hitam!

Dan sungguh makin kukuh alang-ujurku
bila gelombang dari langit, di benteng kebohongan
mengapungi wajah-wajah acuh. Nyaris mengelupas.



BALADA TELAWAR

1
Telawar si pungguk Jembar
ada pada ungsian lubuk. Pada timbun telimbun
Kita menyulang sama, dan ber-ibu-kan rembulan
sampai keconggah menyerbu mancapraja

2
Telawar, si gendam gurindam
pabila usai dentang bait-bait tuan
pabila ujud malampinta
datang membahana. Dan esok boleh dituai

3
Maka nanti harap pun bersorak
dengan ciuman sedap dan harum terangkum
O, gupita sari! Syapmu mewarnai
kujur-tubuh pengelana
Menuju kepurnaan jiwa
dan lantang menyerukan Mahapariniwarna

4
Lalu para tunang dan meriam
datanglah datang pada kemah
Seraya menyanding bocah-bocah asuh
ajar kenal terhadapYang Maha Kekal

5
Dan satu bumi dalam limpah-ruah
Satu wujud penala gita. Satu risik-rindu
Mewedarkan langkir-lingkuran
hingga bakti pendatang tak bisa dibilang
Menggunung-menggelanggang!

6
Aadapun getar yang mengusap sesaji
dan belum satu pun terurapi: biar bersandar
membawa sepoi rujuk dan dupa setanggi
aruh-arahan pada Yang Mah Cantik

7
Rentang persentuhan-jauhlah dijulangkan Zaman
namun demikian kemasan damba, suntingan hasrat
Pabila lelakon sesak bakal kelak diacungkan
mudahlah diri temungkul. Aku seka cucurpeluh
jauh sebelum sampau depan Gerbang Paling Angkuh.



BALADA PURING

1
Keris kuna, belati tua
menyantak pipi keranda
Tapi siapakah mengetuk pintu berkarat ini
selain persekutuan sendiri?

2
Demikian Puring bersama gelojoh puisi
menebarkan aroma paling sangit
serta menyeka pelipisku: o, sedu-nikmat
karena daku pelabuhnya. Dan di sini punjer bengawan

3
Lantas dituntaskan tarian ronggeng
mengusap jelujur rembangan. Tangis tak berbasuh
Sembayang penggal onani
ditinggal sekar buron bauran

4
Sankal-sangkal jadi memberat:
O, aduh!-pekikan tanpa ujung
tengah malam desa Puring
menggalur geliur sinting

5
Cuma aku terbebas dari amarah glodrah
Kala talas-talas menggatal di jantung
dan batinku terkoyak nista
jauh dari sebuah bentangan gelisah

6
Mungkinkah kawal dan gelepar
menguasai dongeng pancawarna
Tatkala sanjung tak lagi dibendung
oleh serbuan si anak ontang-anting

7
Adalah itu, pekik tengah sandungan
dan belum pamit pada guru. Bukit longsor di utara
seperti lecehan seorag pembual. Asing dan dangkal
jadi sebuah limit sipit.

8
Mak apada juntrung pelabuhan, cintaku membenam
bagai kentalnya air mani di kenikmatan cumbana
Seraya melantunkan puisi Asmarandana
Kawah letih, buana merintih
landungnya senggama pasrah
Dan hidup adalah hutang pada Sang Poyang.

Minggu, 26 Oktober 2008

Mitos Besar dari Bangsa Besar

Arie MP Tamba
http://jurnalnasional.com/
Kebesaran sebuah bangsa terekam dalam kekayaan mitologi dan legendanya.

Judul : Mitos & Legenda China
Penulis : ETC Werner
Penerjemah : Johan Japardi
Kategori : Non Fiksi
Tebal : 414 hlmn
Cetakan : Pertama
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Biarkan China terlelap. Sebab, jika China terbangun, dia akan mengguncang dunia. Begitulah Napoleon Bonaparte, si penakluk Eropa, itu pernah berkata. Dan China saat ini agaknya sudah terbangun dan dunia terpana kepadanya. Ketika krisis keuangan global terjadi di bulan Oktober 2008, akibat krisis ekonomi yang (disebabkan dan) terjadi di Amerika Serikat, semua pasar modal global guncang (termasuk Tokyo, Jepang). Kecuali, di Korea Selatan dan China!

Lalu, di kalangan intelektual, pada tahun 2000, seorang pengarang China, Gao Xingjian mendapatkan Nobel Sastra melalui The Soul Mountain (Gunung Jiwa, 1990). Dunia sastra khususnya: terbelalak. Terlepas dari posisi Gao yang telah menjadi warga negara Prancis, ke-China-an Gao jadi tambahan bagi berbagai ikon China di berbagai sektor kehidupan: politik, ekonomi, kesenian, pendidikan, teknologi, olahraga, otomotif, industri kreatif, dll. – yang sedang “digandrungi” dunia.

Setiap hari, isu kemajuan atau keberhasilan China dan juga kontroversinya, seperti tak habis-habisnya berkumandang. Ingat saja bulan lalu, bagaimana dunia kerepotan oleh produk susu China yang mengandung melamin. Terlepas dari aspek negatifnya, segera menjadi jelas bahwa produk susu China itu sudah merambah ke semua pelosok dunia. Hingga, bila pada abad ke-20 dunia adalah milik Amerika Serikat, maka dunia abad ke-21 adalah milik China. Begitulah pameo digembar-gemborkan, termasuk oleh futurolog terkenal asal Amerika Serikat, John Naisbiit.

Naisbiit jadi saksi, saat Deng Xiaoping berkunjung ke Amerika Serikat pada 1979, ia dibawa mengelilingi pabrik Ford yang masa itu menghasilkan mobil per bulan dalam jumlah lebih banyak daripada diproduksi di China dalam setahun. Deng yang memimpin China setelah kematian Mao pada 1976, muncul sebagai agen perubahan. ”Warna seekor kucing tidak penting, asalkan sang kucing menangkap tikus.” Itulah peribahasa Deng yang terkenal. Menyindir kucing ”sosialisme” Mao, yang gagal mengangkat perekonomian China, dan menggantinya dengan kucing ”kapitalisme”.

Deng memulai pembangunan dengan membentuk zona ekonomi khusus di beberapa kota terpilih, dan menjadikan sektor swasta sebagai komponen ekonomi paling dinamis. Ia membiarkan modal asing masuk ke China – memburu hampir satu miliar manusia yang akan jadi pasar menggiurkan untuk bisnis apa pun. Lalu, begitu saja, pada 2004, 25 tahun setelah kunjungan Deng ke Amerika, lebih dari 5 juta mobil diproduksi di China oleh lebih dari 120 produsen mobil. China juga sudah memiliki 166 kota, dengan populasi lebih dari 1 juta – bandingkan dengan 12 di Jepang, 9 di AS, dan 1 di Inggris, di bawah 10 di Indonesia – sebagai pasar lokal. Ditambah banyak kota besar di China yang memiliki populasi 6, 7, atau 8 juta jiwa. Urbanisasi cepat telah mengangkat jutaan penduduk pinggiran China, keluar dari kemiskinan.

Hampir semua kota di China, kata Naisbitt, kini sedang diubah menjadi zona konstruksi yang luas. Setiap kota berkembang jadi sebuah kota dunia. Mereka membangun bandara internasional, gedung-gedung tinggi, jalanan lebar, berbagai sarana publik, hingga kota-kota penuh cahaya bermunculan bagai cendawan di musim hujan pada malam hari.

Lalu, dari mana semua ”kebesaran” bangsa China itu bersumber? Edward Theodore Chalmers Werner, pada tahun 1922, telah merekam jejak mahakekayaan – ilmu pengetahuan, gagasan, sentimen sosial, keunikan psikologi, tatanan adat-istiadat, keluasan maupun keliaran imajinasi yang dikonkretkan ke dalam fiksi, aturan rumah tangga, relung-relung moralitas, perjalanan nasib, makna kasih-sayang, filosofi hidup sebagai anggota masyarakat, umat beragama, warga negara (baca: kerajaan), di bawah aturan hukum, logika alam, hingga berbagai kemungkinan khayali kehidupan sebelum (dan sesudah) hari ini – yang menjadi narasi penopang kebudayaan bangsa China selama ribuan tahun.

Semua itu, terangkum dalam sebuah buku besar, Mitos dan Legenda China, Kumpulan Kisah Fantastis dan Rahasia di Baliknya. Buku yang cukup berpengaruh selama puluhan tahun di kalangan antropolog, sosiolog, maupun penggemar mitologi atau sekadar pemerhati kebudayaan China sampai saat ini. Terdiri dari 26 bab, di antaranya: mengurai sosiologi orang China, mitologi China, kosmogono-pangu dan penciptaan mitos, dewa-dewa China, mitos-mitos bintang, guruh, petir, angin, hujan, air, api, wabah, obat-obatan, legenda-legenda, dll.

Werner menyebutkan, secara umum karakter fisik, emosional, dan intelektual manusia China sudah diketahui di banyak kalangan masyarakat dunia karena penyebarannya yang tinggi. Mata sipit berbentuk buah badam (admond), dengan selaput pelangi berwarna hitam dan lingkar mata yang terpisah jauh, lipatan vertikal kulit di atas sudut kelopak atas dan bawah mata bagian dalam, yang menyembunyikan sebagian selaput pelangi, sebuah ciri khas yang membedakan bangsa-bangsa timur Asia dengan semua kerabat manusia lain.

Tinggi tegak dan berat otak umumnya di bawah rata-rata. Rambut hitam dan lurus, janggut jarang atau tidak ada. Warna kulit di China selatan lebih gelap ketimbang di China utara. Dan secara emosional, manusia China berkesadaran rajin, berdaya tahan dan juang luar biasa, berterima kasih, sopan, formal, dengan rasa kehormatan berdagang yang tinggi, dan juga berlibido tinggi.

Meski manusia China abad ke-21 tampak lebih progresif, dengan cepatnya perkembangan berbagai teknologi termasuk teknologi informatika di China saat ini, pada puluhan tahun lalu (masa Werner), manusia China cenderung menghindari kemajuan, terikat pada keseragaman, mempertahankan mekanisme budaya, tidak imajinatif, lamban, penuh curiga dan cenderung mempercayai tahyul.

Takhayul-takhayul itu, sebagian besar bisa diikuti pada bab mitos-mitos (V s/d IX). Dimulai dari mitos bintang-bintang, yang menyebutkan bahwa matahari, bulan, dan planet-planet memengaruhi kejadian-kejadian sublunar, terutama kehidupan dan kematian manusia, dan perubahan warna benda-benda angkasa itu menandakan malapetaka yang mengancam.

Perubahan penampilan matahari, jadi tanda kesialan bagi negara atau kepala negara berupa pemberontakan, bahaya kelaparan, atau kematian kaisar. Ketika bulan semakin memerah, atau berubah menjadi pucat, kehidupan manusia (atau masyarakat) pasti berada dalam masa-masa sangat sial seperti telah diramalkan.

Dan semua ini hanya sebagian kecil dari kekayaan ”Timur”, seperti disebutkan Ratu Saba dari Mardrus. Tetapi, negara-negara Timur ini, Asia ini, akhirnya merupakan perbatasan-perbatasan sebenarnya. Asia adalah tempat di mana vulgaritas berakhir, di mana martabat dilahirkan, dan di mana keanggunan intelektual dimulai. Dan negara-negara Timur adalah tempat di mana sumber puisi begitu melimpah ruah.

Kamis, 23 Oktober 2008

REVOLUSI SUNYI SANG PENYAIR; IQBAL

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=70


Ah, betapa gembira mereka yang hendak memuja apiku!
Tapi aku tak menghendaki telinga zaman sekarang
Akulah suara penyair dari dunia masa depan
Karena zamanku tak pernah memahami maksudku
(Iqbal, Rahasia Pribadi).

Di sana, saya melihat betapa malang seorang penyair yang seolah gagal menyuarakan hati nuraninya, dalam kancah usianya mereguk masa melahirkan karya-karya. Sejenis keputusasaan yang menyimpan harapan, entah mimpi bolong atau bergelayutnya awan yang enggan menurunkan hujan. Kala kehidupan membutuhkan seteguk tirta pengusir dahaga di tengah kembaranya.

Tampak jelas penyair itu takkan bisa merangkai kata-kata, memuntahkan isi jiwanya ke dalam lelembaran karya, selain setelah menyetubuhi pengalaman hayatnya. Kesendirianya bukan kedahagaan tanpa guna, serupa pengharapan yang ngambang. Namun sungguh perjuangan itu melahirkannya, meski nampak tidak seberapa, ketika dirinya masih menghirup udara -nyawa.

Sang penyair menuangkan kata-kata, melewati pertimbangan daya simpan, demi masa-masa mendatang –terpenting, sebab takkan sampai hatam waktu memaknai hasratnya. Karena itulah kegagalan masa hidup, kesunyian di saat menjalani kesehariannya, bukanlah tanpa alasan tidak bermakna paripurna. Tetapi ini jalan yang harus ditempuh, kalau menginginkan keabadian kisah hayatnya dikenang sepanjang masa, sejauh kalimah-kalimahnya menyungguhi keyakinan juang.

Sedang yang datang hendak mengenyamnya, mengunyah usianya demi deretan kalimah nilai-nilai kelestarian yang dibangunnya. Seakan embun selalu menghiasi mata fajar, begitu dalam kalbu insan, saat-saat meneguk nuansa nilai yang dihadirkan penyair di setiap malam-malamnya, yang penuh permenungan.

Pada jamannya, melihat sosok penyair laiknya gelandangan tanpa kerjaan, selintas tiada manfaat dirinya, apalagi bagi umat. Namun tidakkah makna jatuh di akhir kalimah, pucuk peristiwa. Dan perasaan itu menghidupkan kalimatnya, hadir lebih nyata, manakala sudah tidak terbebani jasad fana.

Seorang penyair laksana prajurit yang selalu melatih ketangkasan bathin, ketika waktu memanggilnya, ia hadir dengan penuh kesiapaan, mengejawantah jiwanya serupa kalimah tunggal, yang menggerahkan dirinya demi selalu dibahas dikemudian. Ini manfaat, lebih dari sebuah realitas kerja, sebab sudah menjelma energi pergerakan. Ketika kalimah-kalimah yang diutarakan penyair berlesatan, datanglah ruh penunggu kalimah itu seperti bara menyimpan api, sekali tiup menyalakan percik perjuangan.

Siapa yang mampu memahami maksudnya? Sang penyair itu mengutarakan yang terpendam di kala masih bernafas dalam usia ruang-waktu yang sedang dikenyam. Hasratnya sungguh bertubi-tubi melesat tanpa bayangan. Tidakkah kita sadar, mata panah tidak memiliki telinga, tetapi yang mendesing di teling. Matanya melesat ke masa depan, yakni sasaran yang dituju. Dan jarak tempuh yang terlaksana itu dari himpunan nafas-nafas yang disetiai, dirawat melewati nalar merasai. Sehingga dalam lipatan gerak merupakan kesadaran murni, ini lebih jauh dari parade kesadaran, laksana lecutan kilat menghujam, secepat cahaya menembus rambatan udara penciptaan.

Hanya dalam dada penyair
Keindahan dan selubung tabir akan terbuka

(Iqbal, Pesan Bagi Para sastrawan Islam).

Sentakan hebat dari keindahan, berasal dari kelembutan perasaan yang membuka tabir, menyembulkan segala rahasia hayat ke permukaan yang mengagumkan. Kekaguman terbagi dua; yang membawa mati sebuah hasrat sebab tersedot atas apa yang dikagumi. Dan kedua; kekaguman yang semakin meningkatkan suatu kerja, memaknai dengan perasaan wah, yang hadir dengan sendiri sebagaimana kebenaran tanpa suara. Dan saya menempatkan keindahan itu hadir dari sebuah kesunyian pribadi, seperti sapaan dari seorang yang belum kita kenal akrab, dimana tenggang-rasa menempati posisinya sebagi kerahasiaan rasa.

Lewat kelembutan perasaan inilah tabir mulai terbuka, menerobor melewati sela-sela jeruji penjara kesunyian penyair. Iqbal pun berkata dalam lembaran lain, “Gairah penciptaan dia curi dari ruhmu.” Di sini, ia menempati nilai-nilai kehidupannya, semisal makna mendatang. Wajah yang disapa kali ini menemui raut yang sama di lain tempat-waktu perjamuan.

Namun tidakkah perwakilan dari karakter itu lahan di mana penyair mengambil gairah. Bebuah penelitian dari kedekatan yang mengundang ribuan tanya kesunyian. Dan kecurigaan yang tampak itu suatu waktu berbalik menjadi keyakinan, ketika masa-masa ditinggalkan. Sebab manusia takkan mampu berdiam diri tanpa angin sapaan. Maka meski kecurigaan hadir, rindu tetap timbul, kala benar-benar dalam kedamaian, yakni berkah waktu melewati periodenya. Ini kehawatiran yang menghadirkan rindu sebab perasaan ingin diperturutkan. Padahal makna rindu dan hawatir masih remang akan cahaya kepastian, letak masa meminta jatah dimaknai sebagai tempat bekerja.

Kendati selalu terinjak, rumput tak pernah punah
Dan berkali diusapnya kantuk maut dari mata

(Iqbal, Pengingkaran Terhadap Pribadi).

Meskipun bagaimana, ketidakpedulian mereka terhadap kesunyian, rumput tetap hidup dan mereka tak bisa membedakan makna rumput yang berdiri tegak dengan yang ambruk sebab langkah sepatu. Yang jelas kita dapat memetiknya, ia terus hidup takkan punah meski banjir ketidak percayaan atau kemarau penguasa menghabiskan, di suatu waktu tentu berbalik penuh dengan kesegaran jiwa merdeka. Sungguh rerumputan menyungguhi hidupnya, telah siap tidak berdaya mengayomi manusia, namun hewan-gembawa sangat membutuhkannya.

Inilah kekayaan jiwa terambil lewat membungkukkan dirinya, demi mengunyah kesunyian dan makhluk penjaga kantuk atau rerumputan sunyi itu senantiasa tegak di malam segar. Dan angin membisikkan kidungan permai pada telinga wengi, sedangkan manusia takkan mendengarkan nyanyian itu, selain yang mampu membuka tabir seperti merunduknya rerumputan menghadiahkan embun. Embun yang hadir di mata kantuk adalah penjaga kalbu yang tiada wasangka lepas dari kesadaran daun-daun, sampai lidah mentari menghisapnya kembali.

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karenggeneng, Lamongan, JaTim.

JAKARTA INTERNATIONAL LITERARY FESTIVAL (JILFest) 2008

Sumber, http://www.jilfest.org/

Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan, kota internasional, dan berbagai predikat lainnya — yang melekat pada reputasi dan nama baik Jakarta yang merepresentasikan citra Indonesia — memiliki arti penting tidak hanya bagi warga Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Artinya, posisi Jakarta sangat strategis bagi usaha mengangkat keharuman Indonesia serta menjalin kerja sama sosial budaya untuk memperkenalkan Indonesia dalam pentas dunia. Jakarta — yang juga dapat dimaknai sebagai miniatur Indonesia — dapat digunakan sebagai pintu masuk bagi masyarakat dunia untuk mengenal berbagai kebudayaan etnik yang tersebar di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, penting artinya mendatangkan masyarakat dunia ke Indonesia melalui Jakarta. Dalam kaitan itu penulis (sastrawan) sesungguhnya alat yang efektif untuk memperkenalkan dan mempublikasikan Jakarta ke masyarakat manca negara. Dalam hal itulah program Jakarta International Literary Festival (JILFest) 2008 dapat berdampak luas tidak hanya untuk kepentingan Jakarta tetapi juga untuk kepentingan Indonesia secara keseluruhan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan sebuah program acara yang memungkinkan harapan ideal itu dapat tercapai.

Nama Kegiatan

Kegiatan ini bernama Jakarta International Literary Festival (JILFest) 2008.

Tujuan Kegiatan

* Mengangkat citra Jakarta sebagai kota wisata budaya di mata masyarakat Internasional.
* Memperkenalkan keanekaragaman kultur etnik yang tersebar di wilayah Nusantara, dengan Jakarta sebagai pintu masuknya.
* Mengangkat citra Jakarta dan citra Indonesia secara keseluruhan sebagai salah satu tujuan wisata Internasional.
* Menjalin kerja sama antar penulis Internasional.
* Membuka kemungkinan kerja sama antar-sastrawan Indonesia dan sastrawan Internasional.
* Memperkanalkan sastra Indonesia beserta karya-karyanya ke masyarakat sastra Internasional.
* Memperkenalkan lebih dekat Jakarta sebagai kota budaya dengan berbagai kekayaan hasil cipta budayanya kepada masyarakat dunia melalui peranan penulis dari mancanegara.
* Mempromosikan Jakarta sebagai tempat yang menarik untuk latar penulisan karya-karya sastra dan produksi seni lainnya.

Bentuk Kegiatan

Pertemuan sastrawan internasional, seminar sastra internasional, lomba penulisan cerpen dan puisi berlatar Jakarta, pertunjukan seni, penerbitan buku, bazaar buku sastra, serta wisata budaya.

Pertemuan Sastrawan Internasional

Pertemuan sastrawan internasional ini akan menjadi ajang silaturahmi sekaligus musyawarah untuk mencari bentuk-bentuk kerja sama baru di bidang sastra guna meningkatkan kehidupan sastra serta peran sastrawan dan karyanya di forum-forum sastra internasional.

Seminar Internasional

Tema seminar ini adalah Peran Jakarta dalam Kehidupan Sastra Duni. Menampilkan pembicara dan peserta aktif (undangan) dari dalam dan luar negeri. Nama-nama pembicara yang dijadwalkan tampil adalah DR. Katrin Bandel (Jerman), DR. Ernst Ulrich Kratz (Inggris), DR. Maria Emrl (Portugal), DR. Henry Chamberlouis (Prancis), DR. Evgeniia Sergeevna Kukushkina (Rusia), Prof. DR. Harry Aveling (Amerika Serikat, Australia), Orhan Pamuk (Pememang Nobel Sastra, Turki), Prof. DR. Koh Young Hun (Korea), DR. Mikihiro Moriyama (Jepang), DR. Moh. Saleh Yafaar (Malaysia), Jamal Tukimin, MA (Singapura), dan Prof. DR. Budi Darma (Indonesia). Rincian topik seminar beserta pembicaranya terlampir. Nama-nama peserta aktif yang akan diundang juga terlampir.

Lomba:

* Lomba menulis cerpen berlatar Jakarta.
* Peserta lomba warga negara Indonesia dan warga negara asing, namun ditulis dalam bahasa Indonesia.
* Pemenang lomba akan diundang untuk mengikuti JILFest 2008 di Jakarta.
* Karya-kaya hasil lomba akan diterbitkan dan diluncurkan serta didiskusikan di dalam JILFest 2008 di Jakarta.
* Para pemenang dan buku hasil lomba akan dibawa keliling ke negara-negara pemenang dan nominator untuk didiskudikan dan dipentaskan.

Penerbitan buku:

* Buku yang bersisi makalah Seminar JILFest 2008.
* Buku Antologi Cerpen dan Puisi karya Peserta JILFest 2008.
* Buku Antologi Cerpen karya Pemenang Lomba Menulis Cerpen JILFest 2008.
* Peluncuran buku dilaksanakan pada acara pembukaan JILFest 2008.
* Buku akan dibahas di tengah-tengah seminar JILFest 2008.
* Buku dan pemenangnya akan dibawa keliling ke negara-negara pemenang dan nominator untuk didiskusikan dan dipentaskan.
* Diupayakan, buku-buku tersebut akan diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris.

Bazaar buku sastra:

Bazaar buku dilaksanakan selama acara berlangsung, 11-14 Desember 2008, di kawasan Kota Tua, dengan melibatkan para penerbit buku sastra di Indonesia.

Pementasan:

Pembacaan puisi, pembacaan dan pementasan cerpen, musikalisasi puisi yang melibatkan semua sastrawan internasional, serta pertunjukan seni Betawi. Rincian menu acara pertunjukan terlampir.

Wisata Budaya:

Peserta undangan akan dibawa ke Situ Babakan, Pasar Seni Ancol, dan obyek-obyek wisata budaya lain di Jakarta. Peserta akan diminta untuk menuliskan pengalaman dan kesan masing-masing dalam mengikuti JILFest 2008 dan Wisata Budaya untuk dipublikasikan di media massa di negara masing-masing.

Jumlah Peserta

Acara JILFest 2008 ditargetkan akan diikuti sedikitnya 150 orang peserta (di luar pembicara) – sastrawan, penyair, cerpenis, eseis, novelis, wartawan, penerbit, pengajar, dan aktifis sastra – dari sekitar 30 negara di dunia.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan:

Waktu: Kamis-Minggu, 11-14 Desember 2008.
Tempat: Kawasan Kota Tua, Jakarta.

Susunan Acara:

Susunan acara terlampir.

Panitia Pelaksana:

Kegiatan JILFest 2008 diselenggarakan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Komunitas Cerpen Indonesia (KCI), bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.

Susunan Panitia Pelaksana:

Susunan Panitia Pelaksana JILFest 2008 adalah wakil-wakil dari Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas Cerpenis Indonesia (KCI), serta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.

Sekretariat Panitia:

Gedung Nyi Ageng Serang, Lt. 6,
Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan
Phone/fax: (62-21) 5263231.
Web site: www.jilfest.org. Email: jilfest2008@yahoo.com.
Contact Person: 0818992479 (Yusuf), 0818807503 (Ima), 081315382098 (Ahmadun), 081586487530 (Maman)

Jakarta, September 2008
PANITIA PELAKSANA
JILFest 2008

Biarkan Putri Beri Makna

Liza Wahyuninto

Perjumpaanmu dengan rembulan, bukan kali yang pertama. Tapi cara menatapmulah yang buat ia lebih bermakna. Rembulan, seperti benda langit lainnya, ia hanya seonggok cahaya. Dan rembulan, sungguh tak lebih baik dari bebintang, ia hanya ketiban cahaya dan coba pantulkan ke sisi gelap dunia.

Tapi, di balik kesahajaan itulah ada hikmah. Banyak manusia mampu bercahaya, punya sinar di matanya, tapi hanya berapa yang bersedia jadi pelita bagi sesamanya? Bukankah itulah makna bermanfaat bagi manusia (yanfa’u linnas).

Perjumpaanmu dengan rembulan, memang sebentar. Tapi cukup membekas. Banyak orang terlena dan asyik menatapnya. Ya sebanyak itu pula yang mengumpat hadirnya. Demikian manusia, ada yang suka kehadiranmu sebanyak yang tak kehendaki ada-mu.

Manusia terbius oleh kemilau cahaya, tak peduli pada gulita di sebelahnya. Coba ingatlah! Berapa banyak sahabat yang berada di sampingmu kala kau bahagia dan berpunya? Bandingkan, berapa yang hadir menghiburmu kala duka menyelimuti?

Ingatlah sesiapa yang menyeka air matamu? Sesiapa yang bersedia menyediakan dada untuk kau memeluk dan menumpahkan air mata di sana? Kadang ia memang tak ada kala kau bahagia. Tapi ia selalu di dekatmu saat kau bersedih lara. Ia tidak melepasmu, pun juga tak meninggalkanmu, apalagi melemparmu. Ia hanya ingin kau bebas, tak ada temali di pergelanganmu pun tak ada sangkar yang mengurungmu.

Perjumpaanmu dengan purnama yang kusebut bunda, ingatkanku pada mawar merah yang sempat kujaga hingga mekar kelopaknya, memerah mahkotanya. Ia begitu indah dan tak ada penggantinya. Tapi, ia terlepas durinya dan tercuri madunya. Ia telah kembali pada alam. Dialah yang buat namaku anak rembulan, putra pelangi dan penjaga kejora. Ia telah pergi dan takkan kembali. Ia telah hilang dan takkan hendak datang.

Kisahmu, kamulah yang ukir. Duniamu adalah kanvas besar nan luas. Kau bebas menggambar dan melukisinya. Cobalah beri sedikit warna, indah nian bukan? Duniamu juga panggung besar nan elok, ada ribuan kamera tengah mengawasimu, jangan takut, jangan malu! Bergayalah, perankanlah dirimu, seutuhnya!

Aku bukan sesiapa, hanya karpet merah sang penyambut ratu agung. Hanya menghidupkan bara dalam sekam yang basah, tapi kau lah yang berpunya puntungnya. Silahkan menyala sendiri, aku hanya sekedar meniupnya. Izinkanku membawamu, meskipun itu tak terlalu tinggi.

Tak ada mawar tak berduri

Malang, 20 Juli 2008

Minggu, 19 Oktober 2008

BELAJAR MENULIS DARI INTAN PARAMADITHA*

Sutejo

Anda kenal dengan Intan Paramaditha? Wah, rugi jika tidak mengenalnya. Seorang perempuan cantik, cerdas, otak encer, pandai menulis, dan latar belakang pendidikan yang menyakinkan: sastra Inggris UI kemudian mengabdi di almamaternya. Jika anda penasaran, carilah kumpulan cerpennya yang berjudul Sihir Perempuan (KataKita, 2005). Bagaimana background perjalanan proses kreatifnya? Yang jelas masih muda, dia lahir 15 November 1979 di Bandung.

Sementara, kita sering mendengar keraguan melangkah para penulis pemula karena takut ditolak media. Ngapain kalau bercinta, mengungkapkan cinta, ditolak, tidak takut? Banyak penulis sudah berpesan agar kita tidak usah gelisah dengan tulisan yang ditolak. “Wajar, kok!” kata Ucu Agustin. Beni Setia pun, penulis senior yang kini tinggal di Caruban juga punya pandangan yang sama. Bahkan, sepuluh tahun yang lalu ketika bermain di rumahnya, penulis sederhana ini menganalogkan profesi menulis dengan menjual jasa. Ditolak, biasa.

Hal ini pulalah yang menggerakkan Intan merengkuh persalinan karya. “Ditolak ya saya baca ulang, saya kirim ke media lain, atau saya edit lagi, atau saya simpan dalam laci. Saya buat lagi cerpen baru, ditolak, yang saya kirim lagi.” Begitulah ungkap Intan Paramadhita dalam MataBaca (edisi September hal. 15-16). Dengan begitu, hal pertama yang menyentak kita sebagai bekal kepenulisan awal adalah “Jangan takut ditolak!”. Padahal, pengalaman Intan ini sudah menulis sejak duduk di SD, yang sempat menulis cerita misteri setebal 40 halaman yang mirip-mirip cerita Agatha Cristie.

Dalam konteks pengalaman ditolak ini ada beberapa kemungkinan yang dapat kita pelajari (a) ketertolakan itu dimungkinkan karena style yang tidak cocok dengan selera visi media dan redakturnya, (b) karena melampui ruang/ kolom yang tersedia, (c) tema tidak lagi aktual (kadang media massa sangat mempertimbangkan aktualitas cerita), dan (d) penulis tidak konsisten atas gaya dan menulis aneka ragam karya. Untuk pemula hal ini akan mengganggu. Untuk itu, jika kita ingin sukses menembus media perlu memasuki dari satu pintu dulu, baru ketika sudah kokoh barangkali kita bisa merambah pada materi kepenulisan lainnya.

Pengalaman hidup lainnya yang menarik adalah: (a) sejak SD dikenal sebagai siswi yang paling mahir mengetik, (b) lahir dari keluarga yang memanjakan bacaan dari cerita Grimm, H.C. Andersen sampai pada cerita misterinya Agatha Cristie, (c) ibunya membelikan mesin ketik, (d) pengalaman pertama tulisannya dimuat di Bobo ketika di SD berjudul Tim yang Beruntung, (e) karya cerpennya merupakan penyamaran cerita perempuan dari beragam sisi, sebuah cara lain memandang feminisme, dan (f) ide cerita dapat diperoleh dari mana saja.

Belajar dari akuan ini maka kemampuan mengetik penulis juga berpengaruh atas kelancaran karya yang dihasilkannya. Memang ada beberapa penulis yang tidak mengetik tetapi dituliskan orang lain macam Ratna Indraswari Ibrahim. Atau ada juga –konon— dalam menuliskannya ditulis tangan. Dalam konteks kemajuan teknologi yang demikian tentunya hal ini akan mengurangi nilai kompetisi kita dengan penulis lainnya.
Kelahiran Indah dalam keluarga yang memanjakan buku tentunya tidak dapat diirikan. Dalam pandangan inner feng sui, hal ini merupakan keberuntungan dari langit. Tetapi, untuk kita yang tidak mengalaminya tak usah cemas. Kita dapat mengondisikannya sendiri.

Ibu indah yang membelikan mesin ketik juga merupakan keberuntungan lain. Kadang-kadang kita penulis pemula yang lahir dari “dunia yatim piatu” harus berjuang untuk memperolehnya. Tetapi sekarang semua dapat teratasi karena rental telah menjamur dalam masyarakat kita.

Dengan begitu, yang agak berbeda dengan pengarang lain adalah cara memandang karya sebagai “cara lain” menggauli feminisme. Meski tak sekeras Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami, misalnya, paradigma “gerakan” feminisme ini terasa juga. Dan ini, tentu, berbeda juga dengan Nukila Amal dan Dinar Rahayu yang dalam berkarya tidak memiliki pretensi kecuali mengalir. Tak mengherankan kalau kemudian, dia pun mengaku bahwa karya-karyanya merupakan penyamaran dari cerita-cerita tentang perempuan. Hal ini mengingatkan akan pengalaman penulis wanita lain yang juga tidak bisa melepaskan dari sudut pandang keperempuannya macam Nova Riyanti Yusuf.

Ketercukupan sarana dan kesempatan, barangkali itulah yang menguntungkan Intan. Bukankah kini ia sedang studi di University of California San Diego, AS? Bukankah sejak kecil ia dimanja keluarga dengan tersedianya buku, eh tak itu saja, tetapi juga difalitasi dengan mesin ketik ketika dia usia SD. Menulis, karena itu, memang membutuhkan keduanya. Dan jika kita menginginkannya, menanamkan dan memfalitasi ruang keluarga dengan hal-hal itu adalah suatu hal yang memesona.

Sebuah kritik yang perlu dicermati dari Intan Paramadhita tentang perjalanan kepenulisan Indonesia adalah adanya pandangan media dari sudut pandang patriarkhi, perempuan yang lahir sebagai penulis selalu perempuan dalam keadaan serba salah. “Bias gender membuat steriotype penulis perempuan yang dibesarkan oleh penulis laki-laki. Seperti ada ketakutan laki-laki, yang dengan kehadiran penulis perempuan...” Benarkah demikian? Sebuah otokritik yang barangkali tidak perlu dijawab, tetapi senantiasa diinternalisasikan sepanjang waktu. Siapa pun kita, tentu laki-laki dan perempuan, dengan hadirnya para penulis perempuan penting dianggap semacam lahirnya budaya tanding yang akan menggairahkan perjalanan kepenulisan di Indonesia. Siapa pun kita.

Hal terakhir dalam pengalaman Paramadhita adalah adanya akuan (dan ini banyak diungkapkan penulis lain), bahwa ide tulisan bisa berasal dari mana saja. Sebuah kelaziman memang. Dan karena itu, jika kita akan memasuki wilayah kepenulisan menarik untuk mengoleksi ide dalam segala peta dan jangkar hidup lahir-psikis kita. Karena memang, wilayah inilah, yang akan produktif menelorkan ide-ide sebuah tulisan. Pandora jiwa, hutan pengalaman, dan padang pengetahuan akan merupakan sumber investasi penggalian ide yang tidak akan berhenti. Setiap Anda, tentu, memiliki ketiganya. Karena itu, hem, tunggu apalagi. Jika ide belum masak, barangkali kita bisa belajar dari Asma Nadia dengan “memasaknya” lewat membaca dan observasi.

Bagaimana dengan Anda? Tirukan dan lakukan. Latihlah dan uletlah. Meskipun kita tak seberuntung Indah ini tetapi alat ukur dalam perjalanan kepenulisan adalah ketekunan di satu sisi dan kreativitas pada sisi yang lain.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Senin, 13 Oktober 2008

BERGURU PADA KETERBIUSAN MENULIS BUDI DARMA

Sutejo*

Tanggal 8 Desember 2007 adalah hari pelepasan seorang sastrawan besar Indonesia. Sastrawan itu sering memiliki jargon yang unik, jargon itu diantaranya adalah (i) bahwa dunia sastra adalah dunia jungkir balik, (ii) pada mulanya karya sastra adalah tema, (iii) menulis itu berpikir, (iv) menulis rangkaian dari peristiwa kebetulan, (v) menulis itu seperti naik pesawat terbang (kuatnya imajinasi), (vi) menulis sebagai identitas budaya, karena itu ia hampir menuliskan seluruh tulisannya dalam bahasa Indonesia, (vii) menulis asal menulis dan asal mengikuti mood, tanpa draft, dan tanpa apa pun (sebuah kondisi terbius), (viii) menulis adalah masalah waktu, karena itu menulis akan lancar, manakala suasana menyenangkan untuk menulis tidak terganggu-ganggu, (ix) falsafah “realitas burung” yang mengerakkan, (x) pengarang adalah proses mencari, dan karya sastra adalah rangkaian proses mencari itu, dan (xi) pengarang tidak pernah puas dengan karyanya sendiri.

Dan pada hari itu, bersama itu pula diluncurkan buku untuk memperingatinya berjudul Bahasa, Sastra dan Budi Darma (JP Press, 2007). Buku ini pun mengupas senarai pemikirannya yang tersisa (tercecer) dari Budi Darma. Belajar memaknai proses kreatif Budi Darma tentunya dengan pemikiran imajinatif dan eksploratif. Sebab sebagaimana wawancara imajinatif Budi Darma dengan Sony Karsono dalam Prosa3 (2003:149-198) yang berjudul Obsesi, Burung Ganjil, Perempuan Berkumis tampak merupakan hal terpenting dalam perjalanan proses kreatifnya.

Budi Darma sendiri adalah seorang guru besar yang tahun lalu baru purna. Lelaki yang lahir pada 25 April 1937 ini, sejak muda telah gandrung dengan tulis-menulis. Pada 1974 ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi di Universitas Indiana, AS, jurusan Creative Writing. Ph.D-nya diselesaikan pada tahun 1978. Karya-karya yang lahir dari jemarinya diantaranya: Olenka (1980), Orang-Orang Bloominton (1980), Rafilus (1988), Solilokui (1993), Harmonium (1995), Nyonya Talis (1996), Kritikus Adinan (2002), Fofo dan Senggering (2006). Beberapa penghargaan telah dikoleksinya. Diantaranya adalah Olenka sebagai novel terbaik DKJ (1983), Hadiah Sastra dari Balai Pustaka (1984), Southeast Asean Award dari Pemerintah Thailand atas karyanya berjudul Orang-Orang Bloominton (1984), Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1993), dan Freedom Institut Award (Ahmad Bakrie Award, 2005). Di samping itu, dia pernah mendapat penghargaan dari Kompas, termasuk beberapa cerpen terpilih sebagai cerpen-cerpen terbaik Kompas.

Dunia jungkir balik dalam pengertian pengalaman proses kreatif Budi Darma sesungguhnya merupakan dunia karakter yang mengalir yang alir pada para tokoh. Hal ini sebagaimana tampak kuat dalam Olenka dan Rafilus yang menunjukkan dunia jungkir balik itu. Dunia absurd yang tak terdeteksi oleh logika. Dan karena itu, logika ditabrak, filsafat diusung. Sebuah penjungkirbalikkan yang syah dalam karya.

Terkait dengan penjungkirbalikan itu, maka hal yang menariknya adalah bagaimana pentingnya tema dalam penulisan karya. Tema memang seperti sumur yang tanpa dasar, muara cerita tempat mengalir segala karakter melalui tokoh yang lahir melalui tema itu sendiri. Dengan demikian, tema seperti rumah pertama yang diancangkan, sementara tokoh dan karakter, alur dan peristiwanya, hanya merupakan penyangga cerita. Hal pengiring kemudian yang sekarang berkembang dalam pengalaman kreatif Budi Darma adalah nalar dan bahasa. Ketiga hal demikian merupakan hal penting yang saling bergandeng tangan.

Menulis itu berpikir. Berpikir artinya bernalar, bernalar artinya berbahasa secara cermat. Seperti dalam pengolahan tema yang memanfaatkan kemampuan bernalar dan berbahasa, berpikir adalah seperangkat kerja berbahasa yang elok dalam merangkai pemikiran. Karena para tokoh juga menyampaikan pemikiran, maka bercerita hakikatnya juga berpikir melalui para tokoh di dalamnya. Ujungnya, tokoh-tokoh yang diciptakan hidup dalam pikirannya sendiri (meskipun tentu diciptakan penulisanya).

Dalam konteks kehidupan berbahasa masyarakat intelektual kita seringkali terjadi kesalahan-kesalahan berpikir. Bagi Budi Darma, karena itu, pertama-tama syarat penulis ada dua hal (meminjam bahasa Prof Febiola): (a) ketajaman hati dan (b) kecerdasan berpikir. Dua hal ini tentu menjadi sebuah perpaduan pikir dan hati. Tak heran, jargon Budi Darma yang sering penulis dengar adalah menulis itu berpikir. Kecerdasan berpikir –yang dalam konteks temuan motivasi terakhir— mencakup berpikir sadar dan bawah sadar. Berpikir sadar menuntut pada kemampuan mengumpulkan informasi, membandingkan, menganalisis dan menilai. Sementara, kemampuan berpikir bawah sadar sesungguhnya lebih kompleks dan rumit. Dalam bahasa Adi W. Gunawan, kecakapan berpikir ini mencakupi: kebiasaan, emosi, memori jangka panjang, kepribadian, intuisi, kreativitas, persepsi, dan believe plus value.

Dengan kata lain, penulis sesungguhnya adalah kompleksitas berpikir yang terentang dalam tali otak kanan dan kiri. Bawah sadar dan sadar. Bahkan jika dicermati kecakapan berpikir bawah sadar lebih dominan daripada berpikir sadar. Hal ini, didasari fenomena bahwa proses kepenulisan seringkali berlangsung dalam wilayah bawah sadar. Dalam proses kreatif sering dipahami sebagai peristiwa mooding. Karena itu, barangkali dapat disimpulkan jargon Budi Darma yang mengatakan menulis itu berpikir sesungguhnya menyaran pada padang lapang keluasan cakupan berpikir yang demikian. Menulis sebuah kompleksitas berimajinasi, berempati, bermeditasi, beraksi, bernaluri, berkreasi, berkepribadian, berkeyakinan, beremosi, berkebiasaan, berpersepsi, dan seterusnya.

Sementara itu, ketajaman hati akan mengingatkan kita sebagai penulis penting memiliki: norma, moral, empati, humanitas, dan jenis kodrat “kebaikan” lainnya. Karena hati tak pernah bohong maka kesadaran penulis adalah kesadaran hati nurani. Ketajaman hati lebih dari itu mengingatkan kita akan pentingnya proses mental berpikir bawah sadar.

Hati akan menuntut rasa cinta, buah kasih, rasa sesama, rasa berlibat dalam segala bentuk. Di sini menyaran pada bagaimana menuangkan feeling dan tone penting dalam karya. Sementara, itu bagaimana ketajaman hati juga menuntun pada kemampuan mengkarakterkan tokoh dan kemas setting penting dengan membalutkannya pesan implisit. Sebuah ornamen unsur yang tertali oleh ketajaman hati. Pendek kata: karya sastra merupakan buah kelindan dari kodrat manusia sebagai homo sapiens, homo faber, dan homo ludens. Penuh aroma kognisi, aroma kerja keras, dan aroma imajinasi plus kreasi. Kemudian mengristal pada aroma humanitet yang me-ruh.

Dengan kata lain, karya sastra yang dilahirkan seorang penulis yang memiliki kemampuan berpikir dan ketajaman hati akan mengingatkan tentang “kebaikan”. Kodrat pesan implisit yang selalu dilesapkan, ditata berkelindan dalam ornamen unsur karya hingga memesona. Di sinilah, tampaknya yang menggerakkan Budi Darma dalam menilai segala tafsir dan karya dengan cara yang tak pernah “menyalahkan” tetapi selalu mengajak berenung, merefleksi diri. Sebab hakikat segala sesuatu beroposisi binner, dikotomi yang selalu menuyuguhkan dimensi makna. Tak heran, jika dalam sebuah esai menariknya yang diterbitkan Pusat Bahasa dan Remaja Rosdakarya ia mengatakan sastra sebagai “jendela yang terbuka”. Sebuah oase?

Hal lain dalam pengalaman menulis Budi Darma yang menarik adalah ternyata cerita yang dibangun sering dan banyak terinspirasi oleh peristiwa yang ditemukan secara kebetulan. Kebetulan demi kebetulan yang dirangkai, seakan kebetulan itu adalah sebuah isyarat baginya. Dengan demikian, jika kita menemukan sesuatu yang kebetulan maka menarik untuk direnungkan, direfleksikan, untuk pada akhirnya diimajinasikan ke dalam sebuah cerita. Bagaimanapun, peristiwa kebetulan hakikatnya bersifat khususi, yang tidak setiap orang dapat menemukannya (mengalami?), maka sebuah peluang kerja kreatif dapat bersandar jika diimbangi dengan pemikiran kreatif dan imajinatif. Sebuah makna metaforis dalam praksis kerja kreatif penting untuk terus ditumbuhkembangkan.

Selanjutnya, sebagaimana Budi Darma banyak bercerita tentang keinginannya terbang, maka banyak falsafah burung yang diidolakan dalam karya-karya. Derabat dan Gauhati, misalnya, mengambil tamsil burung ini sebagaimana pengalaman perjalanannya di India.
***

Sebagai seorang esais, Budi Darma sering berbagi pengalaman kreatif –baik secara langsung maupun tidak langsung--. Ada beberapa tulisan yang memuat pengalaman proses kreatifnya: (a) “Obsesi, Burung Ganjil, Perempuan Berkumis”: dialog (“imajinasi”) dengan Sony Karsono dalam Jurnal Prosa3 (2003:149-198); (b) “Memperhitungkan Masa Lalu” dalam Bukuku Kakiku (Sularto dkk, ed, 2004:67-83); (c) “Pengakuan” yang dimuat di kumpulan esai Solilokui (1998), (d) “Mulai dari Tengah” yang dimuat dalam buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Pamusuk Eneste, 1982); (e) “Prakata: Mula-mula adalah Tema” Pengantar dalam buku kumpulan cerpen Orang-Orang Bloominton (1980), dan (f) “Asal-usul Olenka” dalam novel Olenka (1983). Pada beberapa pertemuan penulis, sempat muncul juga pengakuan “tidak langsung” Budi Darma tentang proses kreatifnya. Yang semuanya penulis (maaf lupa tanggal dan tahunnya): dalam ruang-ruang kuliah ketika Budi Darma menceritakan karya-karya sastrawan semisal Fira Basuki, Sirikit Syah, dan Lan Fang. Kemudian dalam Peluncuran Kota Tanpa Kelamin karya Lan Fang di Toko Buku Toga Mas. Sebelumnya, dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara di Surabaya ketika menjadi moderator Budi Darma. Sebelumnya, dalam pertemuan HISKI di Solo ketika UNS jadi penyelenggara. Sebelumnya, jauh sebelum penulis sarjana di IKIP Malang ketika dalam sebuah seminar Budi Darma bersama Zawawi Imron dalam seminar sastra. Terakhir dalam pelepasan Budi Darma sebagai guru besar Unesa sekaligus peringatan 70 tahun pengabdiannya dalam hidup: refleksi pembacaan atas karya Mashuri adalah refleksi tentang pengalaman kreatif di beberapa sisi.

“Pengakuan” sebagai tulisan yang dimuat dalam Solilokui berawal dari pengantar pembacaan cerpen Budi Darma di Taman Ismail Marzuki pada 10 Desember 1982, dimuat di Horison pada Mei-Juni 1982. Sebuah tulisan yang menyibak mengapa dan bagaimana Budi Darma menjadi pengarang.

Kemudian “Mulai dari Tengah” berisi pengakuan Budi Darma berkisar pada masalah yang sama: mengapa dan bagaimana mengarang. Pada beberapa pertemuan, Budi Darma mengatakan mengarang sebagai takdir. Banyak penulis sekarang yang nyaris mengikuti langkah Budi Darma ini macam Mashuri, Lan Fang, Yati Setiawan, dan Wawan Setiawan. Pada kesempatan lain, ketika bertemu dengan HU Mardiluhung, ia juga mengatakan menulis semacam takdir, karena ketika ia diminta kembali untuk menceritakan proses kreatifnya “tidak bisa”.

Mengapa takdir? Kodrat bakat, kemauan, dan kesempatan untuk menulis dalam argumen Budi Darma adalah bagian dari takdir ini. Mungkin ada orang yang memiliki bakat tetapi tidak memiliki kemauan dan kesempatan sehingga tidak mampu berkarya. Ada orang yang memiliki kemauan tetapi tidak memiliki kesempatan dan bakat sehingga tidak mampun menulis. Atau, bisa jadi ada kesempatan menulis karena tidak memiliki kemauan keras dan bakat yang mengelindan mereka tidak juga bisa berkarya. Sebuah takdir memang.

Meskipun dalam diskusi tentang proses kreatif sering kali muncul bahwa bakat bukanlah satu-satunya penentu (takdir?), tetapi akuan menarik Budi Darma adalah refleksi penting jika kita berniat membuka tabir pendora kepenulisan. Bagi kita penting pula merenungkan apa yang pernah diungkapkan Mochtar Lubis bahwa kebakatan hanyalah berandil sekitar 20 persen saja dari keberhasilan kepenulisan. Artinya, 80 persen sesungguhnya dibingkai oleh etos dan kerja keras dalam mewujudkannya. Sekaligus ini mengingatkan kita memang menulis merupakan keterampilan maka tidak ada cara lain dilatihkan seperti kala kita akan naik sepeda motor, berolahraga, berselancar, dan sebagainya.

Refleksi ketakdiran dalam kepengarangan Budi Darma dapat dipahami dalam akuan yang begini, “Tidak menulis menulis berarti berkhianat terhadap takdir. Tanpa menulis hidupnya terasa kosong, dan ia jarang menulis.” (Darma, 1984:2). Sebagai penulis Budi Darma seringkali tidak merasa bahagia sebaliknya sengsara. Sebagaimana diingatkan dalam teori refleksi, bahwa karya hakikatnya merupakan refleksi batin pengarang, sesungguhnya bermuara pada impresi pertama-tama atas realitas yang mengiringinya. Impresi Budi Darma, kemudian akan menjadi terjemah realita macam yang diingatkan dalam teori mimesis. Cerpen Pilot Bejo, misalnya, adalah transformasi imajinasi antara fakta dan fiksi atas realita Adam Air saat itu. Sebuah kodrat manusia yang hakiki memang menulis karena ayat-ayat yang dikalamkan Tuhan pertama kali mentasbihkan untuk pentingnya manusia membaca dan menulis. Sebuah perintah (takdir) manusia untuk menulis. Tetapi, sebagian kecil saja yang merasakan ketakdiran (kewajiban) ini sebagai dosa jika tidak mewujudkannya. Hardjono WS, penulis senior asal Mojokerto itu pun, pernah berpesan ketika di Ponorogo begini, “Ciri manusia itu menulis. Karena itu, jika tidak menulis bukanlah manusia!”

Sumur tanpa dasar proses kreatifnya mengingatkan kita untuk pentingnya berkarya. Ayu Sutarto bilang, menulis itu indah, berpikir itu merajut dzikir, dan berkarya itu merajut pesona. Sebuah aforisme refleksi ketakdiran yang mengesankan. Untuk inilah berkaca dari keberpikiran, kekaryaan, dan langkah menulis Budi Darma menarik untuk dibaca. Berguru pada Budi Darma. Nyantrik untuk memetik makna yang menggerakkan.

Sebelum menulis Budi Darma seringkali melakukan beberapa kegiatan. Wahyudi Siswanto dalam Budi Darma: Karya dan Dunianya (2005) mengisahkan ada empat kegiatan penting yang dilakukannya: (a) berjalan-jalan, (b) membaca, (c) mendengarkan, dan (d) memperoleh pengalaman. Kegiatan pra kepenulisan lazim ditempuh oleh para sastrawan. Sastrawan Danarto misalnya, selalu menulis pengalaman sosialnya dalam buku harian. NH Dini suka mengamati realita. Hamsad Rangkuti pun tak jauh berbeda.

Kegiatan pertama Budi Darma adalah berjalan-jalan. Penyair Beni Setia yang kini tinggal di Caruban, pernah bertutur pada penulis dia juga melakukan kegiatan seperti Budi Darma. Berjalan-jalan untuk menemukan ide. Pernah pada suatu kesempatan ia menaiki bus jurusan Surabaya, naik bus kota, sampai ia menemukan ide untuk kepenulisan. Budi Darma menyenangi kegiatan ini. Bahkan ketika di kampus, penulis sebagai mahasiswanya, sering menemukan Budi Darma berjalan ke kampus. Sapaan halus seringkali dalam bahasa kromo merupakan kekhasan “kelembutan hati”.

Novel-novel Budi Darma sering diilhami oleh kegiatan awal berjalan-jalan ini. Novel Ny Talis, Rafilus, dan Olenka. Pun cerpen-cerpennya macam Derabat, Gauhati, dan Mata yang Indah dia tulis saat berjalan-jalan ke India. Orang-Orang Bloomington adalah refleksi pengalaman perjalanannya tentang kota dan orang-orang Bloomington. “Di samping menghadapi kompleksitas pekerjaannya, Budi Darma suka berjalan-jalan. Tak peduli cuaca buruk, berjalan tiap hari... Bahkan pada saat hujan salju pun Budi Darma tetap berjalan kaki (Budi Darma, 1980:iv). Refleksi perjalanan itu tampak menonjol dalam cerpen “Bambang Subali Budiman”. Di samping itu, “Laki-Laki Tua Tanpa Nama”, “Charles Lebourne”, “Ny. Elberhart”, “Yorrick”, “Orez”, “Joshua Karabish” dan “Keluarga M” adalah hasil amatan dan refleksi-impresi dalam perjalanannya.

Beberapa kali sebenarnya, penulis sempat bertemu dengan Budi Darma sebelum menjadi “cantriknya” di lembaga formal. Di komunitas Toga Mas, misalnya, ternyata dua kali penulis temukan Budi Darma di sana. Budi Darma, seakan memberikan contoh bagaimana sebenarnya komunitas adalah “cara” mengoptimalkan potensi kepenulisan. Di ruang kelas, misalnya, Budi Darma pernah bercerita tentang Lan Fang dan Fira Basuki. Pada saat itu, hati kecil saya bertanya, “Kok begitu runtut Budi Darma menceritakan “latar pribadi”, eh, ternyata dia secara komunitas memang berlibat dengan penulis-penulis muda juga. Teman-teman lain (yang sebenarnya santrinya) banyak sekali, termasuk Mashuri, Wawan Setiawan, dan Shoim Anwar. Di sinilah, maka kepenulisan mengingatkan akan pengalaman banyak orang akan pentingnya komunitas. Sebuah ruang untuk berbagi, belajar, bergumul “dipelukan” guru kehidupan yang tak berdinding.

Hal lain, yang menonjol dari Budi Darma adalah kebiasaan membaca dna berbahasa. “Ketertiban berbahasa” adalah modal terbesar yang memesona. Dalam berbagai forum, yang saya ingat, adalah kemengaliran dalam berbahasa. Sebagian, orang menyebutnya sebagai “pendongeng ulung”. Termasuk ketika dia menceritakan cerpen Mashuri yang bertutur tentang latar dan tokoh dari kota kecil Lamongan, sungguh sama sekali tidak terprediksikan (ini diceritakan saat memberikan pengantar peyambutan (pelepasan?) Unesa atas purna tugas beliau secara formal.

Secara filosofis, kemudian, dapatlah dipahami bahwa menulis fiksi itu sesungguhnya mendongeng gaya baru. Untuk inilah, kemampuan imajinasi dan visualisasi dalam menciptakan citra pembaca menjadi kunci pentingnya. Sugesti bahasa dengan sendirinya menjadi pintu kemenarikan di samping “keruntutan penalaran” cerita yang memesona. Untuk inilah, jika Anda pengin menulis tidak ada cara lain dengan meningkatkan kemampuan berbahasa dan keruntutannya sebagai dinding tembok kepenulisan itu. Bagaimana? Tentu sebuah cermin menarik untuk kita pajang di ruang-ruang kepenulisan kita.

Berfilsafat. Pada sisi lain, sebenarnya kepenulisan Budi Darma seakan-akan mengajakarkan kita untuk terus-menerus mengais makna kefilsafatan. Logika karyanya, seakan menyadarkan akan eksistensi ketokohan yang menuntun pada puncak kesadaran. Perengkuhan makna. Untuk ini, jika kita memasuki dunia kepenulisan maka kecintaan pada filsafat akan menjadi alat lain yang menarik untuk direnungkan. Hakikat filsafat tentunya akan menyadarkan kita akan (a) kesadaran ontologis macam apa to manusia itu, siapa manusia itu, apa sebenarnya realita dan peristiwa itu dst; (b) kesadaran epistemologis macam bagaimana sesuatu bisa terjadi, kita diciptakan dalam kompleksitas proses, mekanisme kehidupan yang unik dan –dalam bahasa Budi Darma— sering terjadi secara kebetulan dst., dan (c) axiologis macam kebermaknaan, kehakikatan, kemakrifatan sesuatu terjadi.

Bersastra dengan sendirinya adalah berfilsafat, begitulah dia katakan pada sebuah ruang. Dalam kesadaran tariqah kesufian sering dikenal bahwa kehakikatan merupakan jembatan menuju kemakrifatan. Bersastra dengan sendirinya adalah semacam tariq untuk mencapai kesufian. Filosofi ini mengingatkan pengalaman berbagai negara maju yang berbudaya mereka menggauli sastra yang pertama-tama (baru menggauli filsafat) atau menggauli filsafat kemudian merengkuh dunia kesastraan. Atau, bisa jadi kedua akan lahir bersama karena memang kodrat kebineran filsafat dan sastra sesungguhnya bisa berwujud satu tetapi berdimensi dan bersisi wajah. Aristoteles adalah contoh filosof yang tidak saja menekuni filsafat tetapi juga sastra.

Pertanyaannya adalah bagaimanakah memanfaatkan kiat filosofis ini dalam kepenulisan? Hakikat kepenulisan adalah kesadaran di satu sisi dan di sisi lain adalah penghantaran komunikasi untuk membangun kesadaran itu sendiri. Karya sastra dengan sendirinya akan menjadi semacam ruang diskusi, refleksi dialogis untuk menyadarkan. Bukan khotbah. Sebab, sebagaimana disadari dalam teori kebenaran yang hakikatnya relatif, maka karya sastra akan selalu mempertanyakan. Karena karya sastra cenderung mengontekskan, meski termasuk pandangan sastra universalisme sekalipun.

Berpijak dari dunia kefilsafatan inilah, maka sesungguhnya pesan menarik lainnya dari proses kreatif Budi Darma adalah bagaimana sesungguhnya berkarya itu hakikatnya menyuguhnya “teks kebenaran” yang bersifat universal. Artinya, filosofi estetik dan kebermaknaannya bisa berlaku di mana saja dan kapan saja. Inilah, yang pada awal tahun 1984 sempat menimbulkan perdebatan unik antara sastra universal dan kontekstual yang dipelopori oleh Ariel Heriayanto dan Arief Budiman. Uniknya, kedua nama terakhir bukanlah sastrawan. Dengan begitu, kebenaran universal dalam teks sastra penting untuk tidak diperdebatkan karena dalam kontekstualitas itu ada universalitas kebenaran dan estetik. Di sinilah, barangkali, salah satu filosofi menarik dari belantara kepenulisan Budi Darma.

Termasuk cerpen Pilot Bejo sesungguhnya secara teks bersifat kontekstual tetapi secara maknawi sungguh memiliki filosofi makna yang menyadarkan akan eksistensi kehidupan bangsa yang konspiratif dan kolutif. Sebuah universalitas bangsa yang menyedihkan. Dalam teks Pilot Bejo, mengingatkan kita akan perbincangan yang dalam dua tahun terakhir yang dipicu oleh presentasi Budi Darma (baik dalam forum maupun media Jawa Pos) tentang fakta dan fiksi dalam sastra. Abdul Hadi, dalam perbincangan dengan penulis di Paramadina (di jelang pengukuhan guru besarnya 2008) menyadarkan kita bahwa hakikat teks tulis itu fiksi. Baik itu teks ilmiah maupun yang biasa kita kenal dengan karya fiksi. Bukankah pengungkapan pikiran sebenarnya fiksi itu sendiri?

Fakta dan fiksi karena itu, barangkali tidak perlu diperuncing. Hanya, dalam pengalaman Budi Darma, ternyata teks sastra yang dihasilkannya –sesungguhnya— banyak yang berawal dari fakta. Khususnya, fakta yang bersifat kebetulan. Dalam banyak akuannya, bahkan beda dalam narasi komunikasinya membedakan manakah yang fakta dan fiksi dalam komunikasinya terjadi secara tipis. Mungkin kerena kemampuan pendongengnya, atau memang, sengaja Budi Darma memformulasikannya dalam kebiasan yang indah. Bukankah abu-abu justru menggetarkan?

Sesungguhnya berbicara tentang pengalaman kepenulisan Budi Darma nyaris tidak dapt diceritakan. Karena baginya, menulis adalah takdir. Tetapi, sebagai ruang bercermin untuk memotivasi kepenulisan, tidak ada salahnya dicoba untuk “mempolakan” pengalaman itu. Tulisan pendek ini, sesungguhnya semacam sekunderisasi dalam empirisitas kreatif Budi Darma. Paling tidak, menyentakkan kita bahwa kepenulisan adalah belantara yang komprehensif, bukan parsial sebagaimana ditemukan di ruang-ruang kuliah dan sekolah kita yang cenderung memparsialkannya. Bukankah di dunia sastra semua bidang nyaris tak berdinding?

Merengkuh kepenulisan dalam pengalaman Budi Darma, satu hal yang penting adalah pentingnya kita mengidentifikasi aspek kebetulan dalam hidup. Kebetulan inilah kemudian –barangkali—bagian dari takdir itu sendiri. Takdir inspirasional di satu sisi dan di sisi lain mengingatkan akan sifat “khususi kepenulisan”. Sepakat atau tidak, pengalaman unik ini adalah pernik menarik yang dapat dijadikan pemantik kreatif para penulis lainnya di masa depan. Bagaimana dengan Anda? Menggauli sebanyak mungkin proses persalinan karya para penulis akan menuntun kita pada padang luas keunikan dunia kepenulisan itu sendiri.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Kamis, 09 Oktober 2008

D. Zawawi Imron: Duta Madura untuk Sastra Indonesia Modern

Jamal D. Rahman
Sumber, http://jamaldrahman.wordpress.com/

Dia adalah manusia ajaib dalam khazanah sastra Indonesia. Dari mana datangnya penyair ini? Apa yang bisa menjelaskan bahwa dari Batangbatang, sebuah desa sekitar 20 km sebelah timur kota Sumenep, Madura, lahir seorang penyair penting Indonesia yang sangat produktif, tanpa pendidikan dan pergaulan intelektual yang memadai? Tidak seperti banyak pernyair Indonesia, D. Zawawi Imron tetap memilih tinggal di desa kelahirannya, tempat inspirasi bergumul dengan imajinasi yang kemudian diolahnya menjadi konstruksi estetis yang relatif memukau. Dalam hubungannya dengan kepenyairan Zawawi, yang paling penting dari desa kelahirannya mungkin kekayaan alamnya —kekayaan alam di mata seorang penyair. Sudah barang tentu terdapat hubungan kompleks antara alam desa dengan kepenyairan Zawawi, yang tidak mungkin direduksi menjadi sekedar hubungan kausalitas linear. Tapi apa pun bentuk hubungan itu, desa Batangbatang pastilah memiliki arti penting bagi Zawawi.

Salah satu sisi menarik dari hubungan Batangbatang dengan kepenyairan Zawawi, yang mungkin perlu juga dipertimbangkan dalam melihat kepenyairan pria kelahiran tahun 1946 ini, adalah fakta berikut. Dalam bahasa Madura dan bahasa Indonesia kata batang kebetulan memiliki arti yang sama (Asis Safioedin, S.H., 1977: 56), hanya bentuk jamaknya yang berbeda: tang-batang dalam bahasa Madura; batang-batang dalam bahasa Indonesia. Maka dalam bahasa Madura desa Zawawi itu disebut Tangbatang, dan biasa diindonesiakan menjadi Batangbatang. Karena kesamaan arti tersebut, pada hemat saya tak ada problem etimologis untuk memaknai Batangbatang, desa Zawawi itu, dalam konteks karier Zawawi sendiri sebagai penyair Indonesia.

Setidaknya bagi saya, Batangbatang adalah sebuah nama yang puitis. Tidak mudah menemukan nama desa yang puitis, bahkan sekedar nama desa yang jelas artinya, khusunya di Maduara. Agak mengeherankan bahwa desa Zawawi memiliki nama yang bukan saja jelas artinya, melainkan juga puitis dan imajinatif. Pemberian nama itu seakan-akan penuh perhitungan: ada rasa literer di sana; ada imaji; ada denyut estetis. Yang lebih menarik adalah bahwa nama tersebut merupakan idiom yang sangat akrab dengan alam agraris pedesaan, sebuah kata yang pastilah mengacu pada perbendaharaan desa pada umumnya, dan desa Zawawi pada khususnya. Dengan demikian, Batangbatang bukanlah nama yang asing bagi sebuah desa di pedalaman Maduara itu.

Desa Batangbatang dibagi menjadi dua wilayah, utara dan selatan. Kalau Anda datang ke desa itu dari arah utara, maka setelah melewati desa Batangbatang Daya, Anda akan memasuki wilayah lain desa tersebut dengan nama yang, dilihat dari bahasa Indonesia, lebih puitis lagi: Batangbatang Laut! Nama tersebut terpampang pada papan nama desa di pinggir jalan raya. Lepas dari problem pengindonesiaan nama desa itu, Batangbatang Daya dan lebih-lebih Batangbatang Laut jelas merupakan nama yang sangat puitis, imajinatif, dan asosiatif. Batangatang Laut adalah sebuah nama yang secara puitis mengandung imaji alam daratan dan imaji alam laut, yang nanti terefleksi dalam puisi-puisi D. Zawawi Imron.

Demikianlah Batangbatang seakan sebuah nama yang menyedihkan dirinya bagi kelahiran seorang penyair dan intelektual yang memiliki rasa literer, imaji dan denyut estetis. Nama itu seolah memberikan seluruh bakat, daya artistik dan itelektualnya kepada anak desa terbaiknya, sehingga hanya dengan pendidikan setingkat Sekolah Dasar dan sekitar setahun pendidikan pesantren pun dia mampu lahir sebagai penyair yang diperhitungkan, penulis cerita rakyat Madura, kolonmnis di berbagai media cetak, pembicara dalam forum-forum akademis, dosen di beberapa perguruan tinggi, mubalig, dan pelukis. Semua profesi ini dibangun dari desanya yang tandus nun jauh di ujung timur Pulau Madura. Dia lahir dari keluarga petani miskin pula.
Tapi lebih dari sekedar memberikan seluruh bakat, daya artistik dan intelektual, bagi Zawawi kehidupan desa bahkan membangkitkan vitalitas hidup yang tak habis-habisnya. Desa tempatnya lahir dan besar itulah yang mula-mula menjadi telaga lahir kreativitasnya sebagai penyair. Katanya (D. Zawawi Imron, 1996: 137-138),

Saya dilahirkan di sebuah dusun yang terletak di lembah sebuah bukit, yang di pinggir-pinggir dusunnya masih hutan belukar. Pada pagi hari, saya dapat melihat bagaimana matahari terbit dai celah bukit. Dan jika kebetulan bulan purnama, saya pun dapat menyaksikan bulan muncul dari puncak siwalan. Di hutan itu, masih banyak berkeliaran ayam hutan. Ya, saya lahir di tengah alam yang masih murni, dan indah menurut ukuran saya. Di sebelah selatan rumah, ada telaga kecil, di situlah saya biasa mandi, sambil memperhatikan capung-capung merah, biru, saling berkejaran dan sewaktu-waktu menyentuhkan kakinya ke air. Saya merasakan ini pertunjukan yang sangat mengasyikkan. Saya juga sering membuat perahu-perahu kecil sari ilalang, lalu melayarkannya di atas air itu sambil membayangkan bandar-bandar yang jauh, yang belum pernah saya singgahi, tapi sering disebut kakek. Memang, kakek sering berlayar ke Probolinggo, Tuban, bahkan Banjarmasin. Melayarkan perahu-perahu ilalang ini punya kenikmatan tersendiri. Ini antara lain yang mempengaruhi angan saya tentang kehidupan, baik yang bisa dibayangkan angan, maupun yang tak bisa dibayangkan, tapi itu terasa sangat indah.

Kerap saya memperhatikan ibu ketika duduk mengahadap ke barat sambil membaca sebuah buku dengan suara syahdu sekalipun saya tak mengerti maksudnya. Saya perhatikan, ibu penuh kesungguhan. Setelah agak besar, baru saya tahu bahwa yang dibaca ibu itu Al-Qur’an.

Ada lagu-lagu Madura yang kata-katanya tak seluruhnya saya mengerti saat itu, tapi irama lagunya mampu membuat hati saya tergetar. Ada gamelan Madura yang disebut saronen untuk mengiringi kerapan sapi. Saya lihat jika saronen itu ditabuh, orang-orang yang sedang jalan pun seakan menyesuaikan langkahnya dengan iramanya.

Keindahan seperti itulah yang berpengaruh pada jiwa saya untuk merasakan bahwa hidup itu begitu segarnya sehingga berkenalan dengan alam di sekililing punya andil besar dalam perjalanan kreatif sastra saya di kemudian hari.

II
Orang cenderung tergoda untuk membandingkan puisi-puisi D. Zawawi Imron dengan puisi-puisi Abdul Hadi W.M. karena mereka berasal dari daerah yang sama, di samping karena keduanya sama-sama mangangkat Madura dalam karya mereka. Ketika membicarakan penyair-penyair Indonesia dekade 1970-an yang belum benar-benar menonjol, A. Teeuw mengatakan bahwa Zawawi adalah “seorang penyair dari Madura, dengan mutu sajak-sajaknya yang agak kontroversial dan tak sedikit pun mendekati mutu karya-karya rekan sepulaunya, Abdul Hadi” (A. Teeuw, 1989: 163). Sayangnya, Teeuw tak menunjukan sedikit pun di mana letak kelemahan puisi-puisi Zawawi, sehingga kita pun tak tahu sejauhmana informasi tentang kepenyairan Zawawi sampai kepadanya.

Sudah pasti penilaian itu berdasarkan pada perkembangan kepenyairan Zawawi sampai akhir dekade 1970-an, ketika Teeuw mengemukakan pendapatnya di atas. Tapi sangat mungkin tidak semua karya Zawawi hingga akhir dekade itu ampai ke tangan Teeuw, karena ternyata banyak puisinya baru dimuat dalam kumpulan puisi yang terbit pada dekade berikutnya. Sementara, kepenyairan Zawawi mengalami perkembangan penting dan mendapat publikasi lebih luas justru selepas dekade 1970-an, yaitu dengan terbitnya buku puisi Bulan Tertusuk Lalang (1982), Nenekmoyangku Air Mata (1985), dan Celurit Emas (1986)2

Meskipun demikian, sajak-sajak Zawawi tetap relatif jarang dibicarakan atau dibahas dalam publikasi-publikasi luas dan terbuka, kecuali penelitian-penelitian akademis untuk keperluan tugas-tugas akhir kesarjanan di beberapa universitas, khususnya oleh Subagio Sastrowardoyo khusus untuk Bulan Tertusuk Lalang dan Nenekmoyangku Air Mata (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 208-221). Seraya mengatakan bahwa secara subjektif Subagio menyukai puisi-puisi Zawawi, dia menunjukkan pula keganjilan-keganjilan imajinya, yang menurut Subagio mengurangi tenaga ucap puisi-puisi Zawawi sendiri. Tapi dia segera mengatakan bahwa apa pun wujud puisi-puisi Zawawi, dia tetap mencintainya. Sebab bagaimanapun, bagi Subagio (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 219-220),

D. Zawawi Imron telah mencapai kematangan mengucap dan bersikap. Bahasa puisi bukan soal kata-kata dengan bunyi dan makna denotatif dan konotatifnya belaka, tetapi juga soal angan-angan yang timbul dari konteks kata, serta struktur yang merupakan kebulatan dan kepaduan bicaranya …. Dan Zawawi Imron telah berhasil mencapai pengucapan pribadi yang khas itu ….

III
D. Zawawi Imron adalah “penyair Madura” par excellence. Penyair yang menulis dalam bahasa Indonesia dengan mengangkat khazanah Madura dalam sajak-sajaknya. Yakni penyair yang menjadikan Madura hadir secara amat bermakna dalam khazanah sastra Indonesia. Lahir, tumbuh, dan besar di Madura tentu membuat Zawawi akrab dengan idiom-idiom Madura, sehingga dia bisa memaknainya secara intens dalam sajak. Yang lebih penting adalah bahwa dia tampak melakukan pergulatan batin dan dialog dengan lingkungan terdekatnya: pohon siwalan, lenguh sapi, kalung genta sapi kerapan, saronen (musik tradisional Madura pengiring kerapan sapi), legenda rakyat Madura, kemarau, laut, dan lain-lain.

Dan Madura telah menjadi sumber inspirasi sejak masa-masa paling awal karier kepenyairannya. Pada sajak yang berjudul “Ibu”, misalnya, yang ditulis pada tahun 1966, idiom-idiom Madura relatif kental, dan dengan itulah Zawawi menyatakan cintanya kepada sang ibu. Saya kutip seluruhnya (D. Zawawi Imron, 1999: 3):

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemundian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.

Sebagaimana bagi banyak orang, bagi Zawawi ibu adalah segalanya. Yang menarik dari sajak di atas adalah bahwa dalam menyatakan cinta kepada sang ibu, Zawawi menghadirkan suasana yang relatif khas Madura: kesadaran tentang kemarau hingga sumur-sumur kering, kesadaran merantau, kesadaran tentang kekayaan laut, dan kesadaran religius. Semua itu merupakan kesadaran masyarakat Madura terhadap lingkungan alam mereka, baik daratan maupun lautan, yang terstruktur dalam sistem sosial mereka. Demikianlah para petani menyadari tentang kemarau yang di Madura terjadi relatif panjang, rata-rata selama 6 bulan pertahun, sehingga mereka menyadari pula bahaya kekeringan. Para nelayan menyadari tentang kekayaan laut, menyadari pula kemungkinan merantau lewat jalan laut itu. Dan, mereka memiliki kesadaran religius karena kuatnya pengaruh Islam di sana. Tentu saja, kenyataan seperti ini bukanlah monopoli tradisi Madura. Namun, tak bisa disangkal pula bahwa demikianlah realitas sosial-budaya masyarakat Madura.

Madura terasa kental mewarnai puisi-puisi Zawawi terutama yang terkumpul dalam Semerbak Mayang (1977), Madura, Akulah Lautmu (1978), dan Tembang Dusun Siwalan (?) —yang kemudian diterbitkan kembali bersama sejumlah puisi lain dalam Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996). Semua judul antologi tersebut menyiratkan warna lokal Madura. Lebih dari itu, judul antologi puisi terakhir sengaja diambil dari lirik nyanyian tradisional Madura, yang menyiratkan pengakuan penyair bahwa dia secara sadar memang menimba dari sumber-sumber Madura untuk puisi-puisinya dalam buku ini.

Zawawi bahkan bukan saja mengakui Madura sebagai sumber inspirasi puisi-puisinya, melainkan juga “mengankat” atau mengklaim dirinya sebagai laut dan darah Madura itu sendiri. Dia memberi judul kumpulan puisinya Madura, Akulah Lautmu, lalu menulis sebuah sajak berjudul “Madura, Akulah Darahmu”. Klaim yang sepintas terkesan ambisius ini seakan menegaskan bahwa Zawawi adalah duta Madura dalam puisi dan sastra Indonesia modern. Sejauh ini, klaim tersebut mungkin tidak berlebihan, mengingat dialah penyair (Madura) yang paling rajin menggali kekayaan alam Madura —sekali lagi: kekayaan di mata seorang penyair— untuk keperluan saja-sajaknya. Dan melalui dialah Madura hadir secara lebih kaya dan elegan dalam khazanah puisi Indonesia.

Tetapi, kemungkinan itu bukan tanpa konsekuensi, yang tampaknya tidak disadari oleh Zawawi sendiri. Konsekuensi itu adalah bahwa —setidaknya dalam kesan pribadi saya— cinta dan penghormatan Zawawi kepada Madura terasa lebih besar daripada cinta dan penghormatannya kepada sang ibu. Benar bahwa ibu adalah segalanya, namun bagi Zawawi Madura lebih dari segalanya. Hal ini terutama terlihat dari cara Zawawi memposisikan diri (baca: aku-lirik) di hadapan ibu dan Madura, dan cara Zawawi memposisikan ibu dan Madura itu sendiri di hadapan dirinya (baca: aku-lirik). Agar lebih jelas, saya kutip puisi “Madura, Akulah Darahmu” seutuhnya (D. Zawawi Imron, 1996: 98-99):

Di atasmu, bongkahan batu yang bisu
Tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
Biar berguling di atas duri hati tak kan luka
Meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
Dan aku
Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
Bahwa aku sapi kerapan
Yang lahir dari senyum dan airmatamu

Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
Sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua

Di sini
Perkenankan aku berseru:
- madura, engkaulah tangisku

bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi kerapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku

di ubun langit kuucapkan sumpah:
- madura, akulah darahmu.

Dalam “Ibu”, aku-lirik jelas memposisikan diri sebagai anak dan memposisikan “engkau” sebagai ibu (… aku tahu/ engkau ibu dan aku anakmu). Aku-lirik juga memposisikan diri sebagai seorang anak yang merasa … hutangku padamu tak kuasa kubayar. Sementara itu, kalau aku merantau lalu datang musim kemarau, sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting, aku-lirik memposisikan ibu sebagai satu-satunya … mataair airmata … yang tetap lancar mengalir. Aku-lirik juga memposisikan ibu sebagai gua pertapaan dan orang … yang meletakkan aku di sini. Bila kasih ibarat samudera, maka lautan teduh akan terasa sempit, dan itu berarti semua kandungan lautan —lokan-lokan, mutiara, kembang laut— adalah bagi aku-lirik sendiri. Paling jauh, bagi aku-lirik, ibu adalah bidadari yang berselendang bianglala.

Bandingkan dengan cara Zawawi (basa: aku-lirik) memposisikan diri di hadapan Madura dan sebaliknya dalam “Madura, Akulah Darahmu”. Di situ, aku-lirik jelas mengambil posisi sebagai anak sulung yang sekaligus anak bungsumu (Madura), bukan sekedar anak dari seorang ibu. Aku-lirik menegaskan, biar berguling di atas duri hati tak kan luka/ meski mengeram di dalam nyeri cinta tak akn layu —satu penegasan bahwa aku-lirik akan memberikan seluruh pengorbanan dan cintanya kepada Madura. Bahkan, aku [adalah] sapi kerapan/ yang lahir dari senyum dan airmatamu. Itu sebabnya cinta dan penghormatan aku-lirik kepada Madura bersifat tegas dan aktif: bila musim labuh hujan tak turun/ kubasuhi kau dengan denyutku/ bila dadamu kerontang/ kubajak kau dengan logamku. Tidak mengherankan kalau puisi itu diakhiri dengan sumpah aku-lirik: madura, akulah darahmu.

Sementara itu, Madura diposisikan sebagai semesta yang teramat luas, lebih luas daripada sekedar gua pertepaan atau samudera: pulau itu menanggung biru langit moyangku, menanggung karat/ emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua. Aku-lirik bahkan berseru, madura, engkaulah tangisku. Sedari awal telah dikemukakan imaji-imaji yang bersifat aktif: di atasmu, bongkohan batu yang biru/ tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dalam puisi “Ibu” aku-lirik memposisikan diri sebagai seorang anak yang cinta dan penuh hormat kepada sang ibu, tapi cinta dan hormat itu bersifat pasif belaka. Ibu pun diposisikan sebagai gua pertapaan, pahlawan, dan bidadari yang berselendang bianglala. Sementara dalam “Madura, Akulah Darahmu”, aku-lirik bukan saja memposisikan diri sebagai seorang anak, melainkan anak sulung sekaligus anak bungsu. Lebih dari itu, seluruh cinta, penghormatan, dan kesediaan aku-lirik berkorban demi Madura bersifat aktif dan tegas. Berbeda juga dengan ibu, Madura diposisikan sebagai tangis sekaligus semesta yang teramat luas, bahkan tak terhingga, menanggung pula beban yang teramat berat: biru langit, emas semesta, sekarat tujuh benua.

Kesimpulan ini mungkin berkaitan dengan pekembangan daya ungkap kepenyairan Zawawi, karena puisi “Ibu” ditulis pada tahun 1966, sedangkan “Madura, Akulah Darahmu” ditulis pada tahun 1980. Tapi di tahun 1980 juga, Zawawi menulis sajak “Kepada Ibu” (D. Zawawi Imron, 1985: 82), yang pada hemat saya justru tidak lebih “matang” dibandingkan “Ibu”, tidak pula mengungkapkan cinta dan penghormatan secara lebih mendalam kepada Ibu.3 Maka melihat sejumlah sajaknya tentang ibu dan Madura, saya cenderung mengatakan bahwa keterlibatan Zawawi dengan kekayaan alam Madura —yang dilakukan secara intens hampir sepanjang kariernya sebagai penyair— membangun tumpukan tak-sadar tertentu tentang Madura, yang tersublimasi dalam sajak. Dengan kata lain, cinta dan penghormatannya terhadap Madura yang amat besar, melebihi cinta dan penghormatannya kepada ibu, merupakan ungkapan tak-sadar dari kekagumannya terhadap kekayaan alam Madura itu sendiri.

IV

Dengan uraian di atas, saya tida bermaksud mengatakan bahwa pesan atau amanat menjadi amat penting dalam sajak-sajak Zawawi. Dia bagaimanapun penyair liris. Dan sebagai penyair liris, Zawawi tentu hanya ingin menyatakan perasaan dan pikirannya yang sebermula adalah sesuatu yang tidak jelas benar, bahkan bagi Zawawi sendiri. Dalam puisi liris, kita seringkali hanya berhadapaan dengan citraan-citraan, bayang-bayang, gambar imajinatif, yang tidak jelas acuan maknanya, tapi suasana tertentu bisa kita rasakan. Suasana itulah yang seringkali memberikan kesegaran pada kita setiap kali membacanya, yakni sesuatu yang tak terkatakan namun amat kita rasakan. Bukankah kita seringkali mengalami perasaan yang tak bisa dikatakan? Misalnya, puisi Zawawi yang berjudul “Dengan Engkau” berikut ini (D. Zawawi Imron, 1985: 29):

kusambut anginmu setelah berhasil melacak jiwaku yang penasaran di
terjal bukit-bukit batu
sementara mawar mengeringkan embun, matahari yang bengis tak kuasa
menyadap cintamu
hanya aku yang bisu, tegak tapi agak ragu pada harum jejakmu.
dan kalau langit bermendung di ujung kemarau, tangis pun adalah lagu
keimanan
senyummu membias di linang hatiku.

Terhadap puisi-puisi liris sejenis ini, yakni puisi yang sulit ditangkap pesan atau amanatnya, Subagio Sastrowardoyo mengajukan pertanyaan (Soebagio Sastrowardoyo 1982: 218):

…apakah itu sajak-sajak yang dengan sengaja tidak memerlukan tafsiran dan cukup dinikmati saja perbauran bayang angan-angannya, ataukah itu sajak-sajak yang gagal membawa makna, dan tinggal puas dengan teka-teki dan rahasia alam surreaslisme, seperti mimpi yang tidak mampu memberi makna?

Subagio cenderung pada kemungkinan kedua. Katanya, “… kita lihat kini bahwa khusus di dalam kumpulan sajak Bulan Tertusuk Lalang banyak sajak yang nampaknya gagal mengemukakan maknanya karena penyairnya terlalu larut dalam arus perbauran bayang angan-angannya sendiri” (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 221). Sayangnya dia membandingkan puisi liris dengan mimpi, tidak dengan seni lukis surealis atau musik simfoni, yang dia sarankan sebelumnya. Kalau dengan itu puisi liris dia bandingkan, kesimpulannya mungkin sekali akan lain. Bukankah pada lukisan surealis dan orkes simfoni kita juga tak bisa sampai pada amanat, tapi toh kita menangkap perasaan tertentu yang bukan main nikmatnya?

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip dua puisi Zawawi yang lain, yang pada hemat saya menunjukkan kecermatan penyair membangun suasana, citraan, pergumulan perasaan dengan alam, dan khususnya kecermatan dalam mengontrol dan memilih kata-kata. Dengan kecermatan itulah puisi senantiasa memberikan kesegaran bahasa. Tugas puisi dengan demikian tampaknya bukan terutama menyampaikan makna, pesan, atau amanat —semacam kedalaman filsafat atau pemikiran diskursif. Kalau lukisan dan musik tidak bertugas menyampaikan pesan, kenapa puisi harus memikul tugas itu? Bukankah puisi juga karya seni, sebagaimana lukisan dan musik? Maka, marilah kita nikmati dua puisi D. Zawawi Imron berikut tanpa bersusah payah mencari-cari maknanya:


UNDANGAN

Undangan itu telah kudengar lewat suara berburung di ujung malam.
Siapakah yang mengibas-ngibaskan angin ke permukaan darahku?
kelam pun lelah, lalu menyembah di puncak hatiku yang meruncing di atas bukit.
bertengger pagi di bawah bendera kabut, nilai-nilai pun bergeser. Setelah
kertas tua itu menghampar dan aku berdiri di atasnya, bintang-bintang
yang sempat kupungut semalam kini berceceran bersama jejak-jejak
milikku.

Dari tempat yang akan kutuju terdengar bunyi bommu, aku takut
untuk maju karena mulut maut pasti di situ. Tapi anginmu
berhembus kencang hingga aku dibawa terbang. Ternyata di sana
sejukmu sedang kaubagi.

(D. Zawawi Imron, 1985: 84)


SUNGAI KECIL

sungai kecil, sungai kecil! di manakah engkau telah kulihat?
antara cirebon dan purwokerto ataukah hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-daun
bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam doaku
sungai kecil, sungai kecil! terangkanlah kepadaku, di manakah negeri
asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani mudah
melintasimu dan akan kubersihkan lubukmu agar para perampok
yang mandi merasakan juga sejuk airmu
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku dan
kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! kau yang jelita
kutembangkan buat kasihku.

(D. Zawawi Imron, 1999: 71).***
-------------------------------------------------
1. Sayangnya, ada prolem etimologis di sini, atau tepatnya problem pengindonesian. Desa Batangbatang dibagi menjadi dua wilayah utara dan selatan, yang dalam bahasa Madura disebut Tangbatang Dhaja (= Batangbatang Utara) dan Tangbatang Lao’ (= Batangbatang Selatan). Nama dua wilayah itu diindonesiakan bukan mengikuti terjemahannya dalam bahasa Indonesia, melainkan berdasarkan kedekatan ujarnya antara bahasa Madua dan bahasa Indonesia. Demikianlah dhaja menjadi daya (maka Tangbatang Dhaja menjadi Batangbatang Daya) dan lao’ menjadi laut (maka Tangbatang Lao’ menjadi Batangbatang Laut). Pengindonesian ini kadangkala dirasakan menggelikan bagi orang Madua sendiri. Mereka akan menyebut Batangbatang Daya atau Batangbatang Laut (dalam bahasa Indonesia) sambil tertawa, dengan sedikit rasa malu atau dengan nada merendahkan bahkan mengejek. Namun demikian, dalam administrasi pemerintahan desa, Batangbatang Daya dan Batangbatang Laut tampaknya merupakan nama resmi dua wilayah desa tersebut dalam bahasa Indonesia. Ini terbukti dengan tertulisnya dua nama itu (Batangbatang Daya dan Batangbatang Laut) pada papan nama desa di jalan raya Batangbatang. Dan lagi, sebagaimana di derah-daerah lain, di Madura bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan hingga ke desa-desa.

2. Pada tahun 1987 Nenekmoyangku Air Mata mendapat hadiah Yayasan Buku Utama; pada tahun 1990, Nenekmoyangku Air Mata dan Celurit Emas terpilih sebagai buku pumpulan puisi terbaik oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (kini: Pusat Bahasa), Departemen Pendidikan Nasional RI. Di samping itu, kumpulan sajak Bulan Tertusuk Lalang mengilhami film arahan sutradara Garin Nugroho, berjudul Bulan Tertusuk Ilalang (1995). Film ini mendapat sejumlah penghargaan, di antaranya pada Festival Film Nantes, Prancis (November 1995).

3. Sajak “Kepada Ibu” itu selengkapnya adalah sebagai berikut:

sepantun senyum melambaikan tangis sekerat jiwa
dan jerit seluruh mega
kucari pergantungan ke tiang-tiang
dan ranting-ranting di luar jendela
namun tak bisa
bahkan pada secanting tuak tak kutemukan
damai yang dijanjikan pantai kesayangan
bulan termangu di luar pintu
jalanan ramah jauh di dalam hati
di sana langkahku menyiris debu
alankah tak habis-habisnya rindu
pada kata-kata yang mengeram dalam darahku.

GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I - CXI

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=209


Dia menumpahkan sabda kelanggenggan gelombang,
luapan kabut menuruni semenanjung langit pulau sebrang
dan daya rindu tersirap cakrawala (XIII: I).

Ketika elang mengapung, kau tarik kendali sukmanya,
angin-ombak tiada berhenti menelusupi pori-pori pasirmu,
itu bayang dirinya telah sampai di gerbang penantian (XIII: II).

Melepas pelukan purba, jejakkan kaki di bebatuan karang,
lantas terbang bersayap pengetahuan melewati kenangan (XIII: III).

Janji rindu semesta bersaksi melalui geraian rambutmu, kau
semakin temukan ketentraman, di kedalaman tak terukur (XIII: IV).

Saat singgahsana nalarmu porak-poranda oleh tiupan taupan,
debu mengiris mata, atas tumpah darah di sudut gelap tercela (XIII: V).

Kiranya hujan gerimis bertambah menggenangi lamunan hati
oleh mendung berdesak merata ke tengah malam (XIII: VI).

Usap kulit lembutnya, lalu goyanglah nyala lilin hatimu,
ia mempunyai kasih, tidak mematikan cahayanya (XIII: VII).

Siapa bergayuh terus melenggak ke panggung, getaran rumput tertunduk,
tataplah langit, yang terus memberikan butiran (XIII: VIII).

Di belakang laut berlarian buih ke pantai, wajah gerimis menderas doa,
tebarkan kembang mengumpulkan hasrat suci kemenangan terjaga (XIII: IX).

Kesadaran sedingin kapas putih mensalju, terapung membeku berpulau
sebagai dataran kabut percintaan (XIII: X).

Keluarlah dari cengkraman mata-mata, dirimu ringan
serupa kebijakan bebiji, meninggikan tubuh berdahan (XIII: XI).

Renungan angin di pepucuk petilasan,
menyeret kantuk tenang menelusup ke dasar kesejatian (XIII: XII).

Pencapaian burung pelintas di gelap wengi memberi pekikan
melengking tanpa perlihatkan bayangan
dan kerling bola matanya, bertemu kehendak mengepak (XIII: XIII).

Sunyi tertunduk tegar, menanti hujan mengembalikan ingatan
kepada bentangan samudra, layarmu ke pulau nan ghaib (XIII: XIV).

Setiap melihat kembang ingin memetiknya, namun kau jauh,
diabadikan lewat kata-kata, agar keharuman lestari selamanya (XIII: XV).

Angin dan air berkasih sayang, maka adillah di selatmu
jikalau berharap selamat sampai perkampungan (XIII: XVI).

Khusyuk dengarkanlah deburan ombak di dinding kapal,
biar kegelisahan tak sampai membuatnya karam (XIII: XVII).

Arah tubuh gelombang memberi nafas pekabutan
dan awan menghujan bersayap kehidupan (XIII: XVIII).

Ia lesatkan gairah waktu ke pantaimu
merindu di tengah-tengah keindahan (XIII: XIX).

Langit berdentam, ombak biru mengajari jiwamu (XIII: XX).

Sekian masa bergolak, lalu gedoran ombak merangsek maju
kepada pergumulan setubuh menciumi bibir merekah (XIII: XXI).

Gemuruh kalimah menghadirkan udara cadas menyatukan tekad,
selat manunggalkan dayadinaya, ditakdirkan berpasangan dirinya
menuju pelaminan mengusung kebijakan langitan (XIII: XXII).

Yang lepas kembali suci mendekati keajaiban,
ombak perasaan pengetahuan pertama, meninggikan ruh sempurna akal
seumpama lekukan sampur menghanyutkan jiwa-jiwa masa (XIII: XXIII).

Ia memuntahkan deburan jantung ombak menghantam,
pasir pesisir telah hatam, dielus mesra anak-anak menyongsong mentari,
atas selongsong manggar sayang, terjatuh pada gelombang (XIII: XXIV).

Kasihnya cahaya pagi mendamaikan ikan di kandungan samudra
yang terlahir kehendak kemanusiaan (XIII: XXV).

Bangkitkan fajarmu pada lintasan camar
yang digubah para pecinta gelombang (XIII: XXVI).

Kedipan gemintang arah pelaut memperjuangkan nafas-nafasnya,
pelayarannya dikala kau lelap dalam buaian kasih mesra (XIII: XXVII).

Kesadaran mengapungkan cinta mengikuti segala kekuasaan bayu
tanpa watas kehadiranmu, seperti kaum pencari sejati (XIII: XXVIII).

Bergulungan debaran hawa kemarau, pada lidah ombak sejilatan garam,
berduyun robohkan dengus bertengger, mensucikan ikan berpasir (XIII: XXIX).

Ombak berjunjung membelai tanjung karang, menyelinap kilatan pedang
setajam menghunus hasrat di teluk serengkuh (XIII: XXX).

Berjubah bayangan gerilya terjaga pesakitan
tapi jangan tertunduk di lereng kebun anggur (XIII: XXXI).

Ia berseru; tangkaplah gelora, rasakan dentingan bunyi nurani bergoyangan
dan menarilah, kau kan terangkat ke pucuk-pucuk keutamaan (XIII: XXXII).

Beranjak maju menjawab kekosongan pilu mengisi ruang ngilu,
inilah kabar datangnya kemerdekaan jiwa-jiwa tertindas (XIII: XXXIII).

Siapa mengarahkan busur panah tepat di jantungnya, menjilati darah segar
tandas tidak bersisa? Yang salah arah, tinggal tulang-belulang saja (XIII: XXXIV).

Kerahkan terpendam, menggubah laut berawan mendesak malam,
laluilah bersungguh angin, ketika api menghadang matamu (XIII: XXXV).

Jangan manjakan sebab lecutan pecut memecah pendengaran,
akan berlari tunggang-langgang selagi langit masih memar (XIII: XXXVI).

Semerbak bunga liar mengacaukan imaji pejalan kaki
semurni kejernihan air pegunungan membasuh tubuhmu,
laksana lintang mempercayai cahayanya (XIII: XXXVII).

Butiran pasir-pesisir pertanda belaian lembut lautan
tetapi kenapa kalian tampak pucat murung? (XIII: XXXVIII).

Ia bawakan tidak lewat telinga semata, mendekapmu sanggup menyimak
kelembutan, lelaguan di balik pebukitan, kaulah saksi hati pantai (XIII: XXXIX).

Perlambang mendaratkan deretan kalimah, esok bergerak
dari energi tersumbat atas bongkahan timbunan uap (XIII: XL).

Meluncurlah di waktu barisan kalam serta nama-nama
oleh hamparan molek semesta jiwa para kembara (XIII: XLI).

Pandang dan ciumi sungguh dada segar penuh nilai
lantas tiada perlu meragukan kembali (XIII: XLII).

Jika berpaling janganlah jauh, cukup senyum kan tahu
getar rambatan pribadimu mengalirkan serajutan benang mungil,
menyetujui mengolah ladang bertangan kelembutan (XIII: XLIII).

Suguhkan kembang api menghibur di malam-malam membujang,
keriangan bintang-gemintang berkedip menarik bertemu pandangan,
seteguh tubuh diguncang jiwa, tumpah air gelas di kemeja (XIII: XLIV).

Kau basah penuh percaya, mencumbui wengi sampai fajar mendatang,
bunga-bunga pupus di tangan musim berganti kebaharuan, tampak riuh-buih
berhimpit, terhempas memuntahkan kesegaran (XIII: XLV).

Berharap kalian lebih menanti datangnya masa tua,
terkurung ruang-waktu dalam tempaan usia (XIII: XLVI).

Batas rindu tepinya berlalu, bebatuan menjepit tiada bertalu (XIII: XLVII).

Ialah berlari membelakangi meninggalkan mereka,
menuju keyakinan asing nan sunyi senyap (XIII: XLVIII)

; melepaskan kebisingan tidak kenal ragu dinikmati,
sedang mereka menganggap mengada semata (XIII: XLIX).

Ia mengundang kemari demi kumpulkan garam di dada meriap ombak,
senyum lekukan pantai, tercurah melewati kerongkongan cakrawala (XIII: L).

Bawalah kendi-kendi kosongmu, ia isi dengan embun surgawi
lewat jari-jemari memunguti kekudusan (XIII: LI).

Arak-arakan anak sungai sederas asal muasal masa menyamudra
setajam debu ke sorot mata berkecipak mengiris, terputus dedahan
meramai daun-daun berserak digugurkan bayu pantai (XIII: LII).

Prahara ditangkal oleh lajuan merestui kisah malam
berhias lelampu di tengah alun-alun keheningan (XIII: LIII).

Rawatlah unggun agar seluruh kampung bermata penjaga
yang nanar atas asap mengepul di tempat muasal berita (XIII: LIV).

Kau melewati tapakan pulang, catatan silam tak sekadar kenangan,
membersihkan dahi berdebu, doa-doa merambati pendakian sampai (XIII: LV).

Sambut kesadaran hati mensucikan kemerdekaan cinta memberi jalan
pada keremangan fajar akan terbit (XIII: LVI).

Air laut berangin kencang, tertangkap tatanan malam di alunan gelombang,
menelan mentari seperti mencuri harta warisan (XIII: LVII).

Yang tercuri memercikkan api semangatmu, setiap kobarannya nyala abadi,
memaku kaki-kaki para penjegal yang terlena (XIII: LVIII).

Jiwa tenang akan ditambahkan lebih dari yang tercuri,
kemuliaannya memantulkan cahaya kedamaian hati (XIII: LIX).

Para pencuri diringkus prahara, ditelan banjir tiada faedah,
dan tercekam saling berurai, mengeluarkan pengertian (XIII: LX).

Bagi mengikuti terkena celaka, hari-hari naas menguntitnya, yang mencuri
ketenanganmu lebih terampas waktunya, yang terahasia di lebam jiwa (XIII: LXI).

Pemilik luhur leluhur, mengabdikan anak-anaknya mencari hikmah rasa,
menyempurnakan hasana cahaya mentari, menyinari bulan setia (XIII: LXII).

Yang terjaga tabah, diberi kecukupan kemurahan hati (XIII: LXIII).

Malam-malam celaka perampok, mata terkuras atas pemilik sah,
was-was pewaris musnah, selepas gelisah menggantung (XIII: LXIV).

Kesadaran jarum jam terjatuh di lantai bekukan laku,
inilah semesta bathin di alam penyadaran (XIII: LXV).

Ia bersanggup sebelum kata cukup terpahat, langkah menyinggahi kalbu
insan direstui sunyi dengungan hati, berisi bayu merebahkan diri (XIII: LXVI).

Jemari melukis mata embun pada rerumputan memberat,
dibelainya sungai lekuk lembah hijau musim sebrang (XIII: LXVII).

Penantian cahaya dipantulkan lempengan kaca,
bola-bola mata membisu saling menerima (XIII: LXVIII).

Wahai burung malam, ikutilah mengedari bumi memaknai biji, penjaga
memetik getar ombak, lembut menelusup menembusi lelap pagi (XIII: LXIX).

Kepada sentuhan halus, ketenangan membaringkan kekasih,
dan kendorkan tali-temali, guna langkah tidak kesemutan (XIII: LXX).

Menuruni kebijakan lajuan kapal, ke tiap pulau disinggahi mencari pebekalan
pengusir lelah membosan bermalas melaut, seriak ombak purbasangka (XIII: LXXI).

Kesadaran tertunduk malu keangkuhan pemuda, terkekang
hasrat membeletat, berhamburan cahaya berkilat-kilat (XIII: LXXII).

Anak gadis cemas beranjak dewasa, seperti kekupu di kuncup bebunga,
pesona bulu mata lentik memuara, harum tak sebatas samudra (XIII: LXXIII).

Ia mendaki lamunan akan tarian hangat kenalan, makin terang putaran
bumi mencerna warna, dan kalian mulai terjatuh sebab cinta (XIII: LXXIV).

Sungguh air liur membasahi lidah keluh ke ujung-ujung leluasa, pada
malam batang-batang kayu, mewujud goyangan dedaunan padu (XIII: LXXV)

; embun ketenangan jiwa
ini penggalian masa tidak berhenti memetik hikmah (XIII: LXXVI).

Menggebu di ruang kosong, sadar hari-hari tertambal keringat petani
membajak sawah sambil memandang temanten jingga senjakala (XIII: LXXVII).

Air sungai mengalir menuntun reranting yang patah, nuraninya berenang
menggeraikan denyutan kalbu bening, dan jikalau kepakan merawat sayap burung,
hasratnya memenuhi kebiruan langit bertangan gelisa pemahat (XIII: LXXVIII).

Meniup seruling menuturkan tembang malam, terik mentari di waktunya,
penerimaan yang lalu, tinggal merindu kedamaian (XIII: LXXIX).

Keindahan ragu yang sungguh jauh tanpa bekal, kosong di tempat penuh
lalu langit berseri, sedang bocah rajin melangkahkan kaki kembali (XIII: LXXX).

Bayu memasuki pintu, ia duduk menyendiri, datang pekikan semangat,
kicauan burung-burung bersahabat di belantara jiwamu
melihat dahan tersentuh kebimbangan mutlak (XIII: LXXXI).

Yang lunglai ditikam belati kepastian, membeku darah-waktu di tungku,
bersuling kehampaan persekutuan dicari, selepas menjelma bayu (XIII: LXXXII).

Sendu sepasang mata kembara, bertunggangan turangga sembrani,
derap langkah kaki dan sayapnya kencang melesat ke wana perburuan mentari
serupa busur panah ke tanah terjatuh atas restu takdir lelah (XIII: LXXXIII).

Wajah haru biru menerima pautan waktu, rintik menerobos gersang,
sesapu debu juga daun-daun bersegaran, setelah muka kemarau memanggang,
inilah hangat asmara mencerna ufuk timur raya (XIII: LXXXIV).

Anak-anak sungai menggelinjak ke bebatuan,
terpotong tanggul kaki-kaki mungilmu (XIII: LXXXV).

Selembut tanya harapan tersengal keputusasaan,
terlempar arus kesadaran yang berasal hempasan (XIII: LXXXVI).

Asap tebal berkawin malam, membangunkan udara menjilat tajam,
pijakan dulu terlupa, menjelma pesakitan meraja (XIII: LXXXVII)

; cakar siksaan di segenap relung jiwa, bayangan remang dibalik cahaya,
menembusi gelap menemukan bimbang (XIII: LXXXVIII).

Bias sinarmu di kertas dan pena penentu bertahta,
tinta kehormatan tiada berdosa menjumpai makna (XIII: LXXXIX).

Terjerembab pekat di ketiak senyap, hantu gentayangan menyapa
atas ratapan mataair di rundung setiai janji setiap berbicara (XIII: XC).

Rerumputan kering terambili burung-burung mengikat reranting,
bersiulan bayu menyeret awan isyarat mencipta sarang segera pulang (XIII: XCI)

; gemintang hadir menghiasi tajamnya ilalang, sekuntum kecupan pada
ubun-ubun dingin ditempa hujan deras bersusulan (XIII: XCII).

Terbangnya burung melipat waktu merakit sarang teduh,
sunyi rindu di segenap kalbu mengunjungi kecantikan danau (XIII: XCIII)

; sebening cermin tergoda kehangatan air, sedang udara unsur nyawamu
lekat daya kehendak, melebur ruang-waktu pada sekuntum teratai (XIII: XCIV).

Ada nyala lilin di atas batu di bawah malam,
setiap perciknya mencipta gigitan api (XIII: XCV)

; terimalah saat jatuh cinta, bahasa tubuh tersampaikan gerak,
menari-nari selembut padi bersinambung pagi, dan angin layang-layang
pada nalar benang, mengapungkan tulang kayu kulit kertas (XIII: XCVI).

Di ruang persidangan waktu, awal persetubuhan melewati tabuhan hening
bertalu-talu rupa senar gitar diganti benang pancing melukai jemari (XIII: XCVII)

; bertambah kuat di perbincangan serius, angin merambati kulit bebulu,
ketakutan tersembuhkan harapan, lantas hantu berlalu (XIII: XCVIII).

Dendam lebih menggali kedalaman sumber minyak
dan tambang emas peperangan atas balas budi (XIII: XCIX)

; diamnya menemani jemari melukis samudra bersayap ombak,
bersimpan itu degup jantungmu kepada genggaman dada-dada ikan,
candatawa datang-pergi berpintu melanjut diayun jalan pilu (XIII: C).

Kesaksian doa gelombang bersahut-sahutan merawat pantai,
sedang asap cendana menembusi lelapisan awan-gemawan (XIII: CI).

Menghentakan alunan telaga membuyarkan tanda di rautmu,
embun tergolek terminum sungguh, berkesudahan pagi hari (XIII: CII).

Hembusan bayu menerbangkan jerami beruraian keringat petani,
menumbuk pepadi di lumbung ruyong kemungkinan kembali (XIII: CIII).

Sebelum sadar buaian perang takkan berakhir, sejarum niat diperjuangkan,
menambal kain baju atas sobekan pedang, dan sodokan jaman tajam (XIII: CIV).

Marilah mengikuti tari-tarian hempasan gelombang samudra menggaram
menghilangkan bau bangkaimu, sedari berhadapan ombak ke pedalaman (XIII: CV)

; di antara persembahan ada kegusaran, hari-hari tertempuh
di masa nalarmu setelah lelap terbit, tiada gelisah bersarang (XIII: CVI).

Zaman dilampaui keikhlasan, tanpa tedeng aling memaknai kekolotan
dan sampailah menyelami kata-kata, hawamu memasuki diri gelombang (XIII: CVII).

Kau arungi awang-awang kelelawar terbang malam, tarikan kecemasan atas
refleksi sukma ketuaan, terwakili keengganan bayi menangis (XIII: CVIII).

Kalian kelabakan mencari lobang ke luar pintu-jendela, pekat wengi
tiada pembuka, panas penasaran dibangunkan jiwa-jiwa hempasan (XIII: CIX).

Lalu siapa melempar bayanganmu di tembok terawat cahaya? (XIII: CX).

Kepada hamparan rumput, ia merasakan hening bersalam angin, tersendak
sebelum usai tinta keroncongan, lebih dekat tulang, dari lahir-kematian (XIII: CXI).
----

*) Pengelana dari Lamongan, JaTim, yang ingin jadi penyair sungguhan.

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati