Sutejo*
http://thereogpublishing.blogspot.com/
Nama Nurel Javissyarqi memang belum seagung penulis Indonesia lainnya. Tetapi misteri perjalanan kepenulisan adalah etos nabi yang alir penuh jiwa berkorban, total, dan –nyaris—tanpa pamrih balas. Sebuah pemberontakkan pemikiran sering dilemparkan. Tradisi dibalikkan. Pilihan dilakukan, termasuk untuk memberikan pelajaran kepada orang tuanya. Penting dicatat, karena orang tuanya adalah guru konvensional yang terus alirkan kerapian, ketaatan, dan keberaturan lain. Hal ini dilakukan juga untuk mengatur Nurel dalam menentukan perguruan tinggi di mana jendela masa depan harapannya dapat diwujudkan. Tetapi jiwa berontak Nurel memilih untuk tidak selesaikan skripsi di jurusan ekonomi.
Apa yang menarik dari penulis ini? Beberapa hal berikut saya impresikan dari pertemuan empat hari bersama Maman S. Mahayana dan Kasnadi dalam tamasya budaya Jakarta-Bogor. Di emper rumah Bang Maman, hal-hal menarik berikut dapat direnungkan (a) ketidakpuasaannya atas institusi formal karena mengalirkan kebohongan, (b) memilih komunitas untuk mencerdaskan buah kepalanya, (c) pengalaman menulisnya adalah pergulatan sosial budaya lewat meditasi kultural ke berbagai tempat spiritual, (d) semangat lokalitasnya yang tinggi dalam menggerakkan dunia kepenulisan –dan karena itu dia mendirikan penerbit bernama Pustaka Pujangga–, (e) kebiasaan mengarang segala hal dalam pendidikan, dan (f) masa kecilnya sulit membaca –dan karena itu—baru bisa membaca di usia dia belajar di kelas-5 SD.
Unik? Tentu, begitulah jika kejujuran yang menjadi langit pemikiran kita. Persoalannya adalah apa yang Nurel miliki, ternyata, tidak dimiliki oleh kecenderungan remaja kita. Jiwa kepenulisannya muncul, ketika banyak pemikirannya yang tidak terfasilitasi oleh ruang-ruang publik. Di sinilah, maka Nurel mengedarkan pemikirannya berupa buku yang merupakan foto kopi ke berbagai komunitas kemudian dibedah dan dikritisi. Sebuah upaya pencerdasan bangsa, katanya. Ketika, teman-teman lokal lainnya (kemudian mendirikan penderbit Pustaka Ilalang) takut berbagai ancaman –yang mungkin dari pihak—keamaan, dia malah berkerlit, “Wong mencerdaskan anak-anak bangsa kok dilarang.” Di sinilah, tampak dua penting (a) keberanian yang luar biasa, dan (b) jiwa pemberontak khas anak muda. Ketika anak-anak muda lebih banyak memilih demo, lelaki Nurel sebaliknya memilih pena sebagai senjata bertarung pemikirannya.
Dalam ruang diskusi yang tak berdinding itu, Nurel juga tak alergi kritik. Di sinilah, memang akan terjadi proses refleksi dan penajaman. Ternyata, tidak ini saja upaya penajaman itu. Dia bahkan menyusuri tempat-tempat yang dinilai magis, lokalitas, dan spiritualitas. Dalam proses kepenulisannya, dia terinspirasi oleh beberapa tempat religius. Pondok Tegalsari, misalnya, di Ponorogo, adalah salah satu tempat terakhir yang dia kunjungi. Kasan Besari adalah sosok historis yang melahirkan Ronggowarsito sang pujangga besar nusantara. Di tempat-tempat itulah, akunya akan memantik kondisi magis (bawah sadar?) yang menarik. Realita ini barangkali mengingatkan apa yang diungkapkan Rendra, bahwasanya sastrawan (penulis) adalah agen kontemplasi sosial.
Selanjutnya, kenekatan untuk mengembangkan dunia kepenulisan terinspirasi oleh pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan. Yakni, baru di usia SD kelas-5 dia lancar membaca. Hal membuatnya termotivasi setelah mengenal dunia buku di saat-saat dia tekun berkomunitas di Jogjakarta. Di sinilah, barangkali sebuah ruh religius –yang rata-rata—tidak dimiliki oleh para guru. Jika Nurel seorang sastawan jatuh cinta pada dunia kepenulisan maka realita guru kita –yang tidak mencintai kepenulisan– akan menjadi paradoks sepanjang masa. Terlebih jika diamati, dalam berbagai penerbitan buku-bukunya dibiayai sendiri. Andai motivasi Nurel ini menjadi motivasi para guru, tentunya, akan menjadi sinyal positif di masa depan.
Bagaimana dengan Anda? Sebuah bilik cahaya yang menarik untuk diselisik mengingat ruang-ruang gelap dunia pendidikan kita nyaris tidak memberikan tempat untuk penyemaian dunia kepenulisan ini. Jika lahir 1000 Nurel saja, maka ibarat virus ia akan menjalar begitu cepat. Andai tiap kota di Jawa Timur lahir Nurel dengan idealismenya ini maka dinamika perbukuan akan menjadi dunia alternatif yang efektif mengubah mentalitas bangsa yang akut dan parah.
Hal lain yang menarik disimak adalah semangat lokalitas. Artinya, mengapa dia tidak memilih Jogja atau Jakarta sebagai persalinan pemikiran dan tulisan-tulisannya? Jawaban ringan sambil bercanda dia bilang, “Kalau di Jakarta aku kan hanya nomor kesekian puluh saja, atau bahkan ratusan. Tetapi kalau di Lamongan, tentu akan menjadi nomor satu karena yang merintis memang baru Nurel.” Sebuah logika berkarya yang menarik untuk diapresiasi. Pengibaran bendera penerbitan dari kabupaten daerah akan menjadi sejarah di masa depan.
Penulis, selanjutnya, meminjam metafor perjalanan Nurel adalah pentingnya jiwa pemberontak. Sebuah jiwa tidak kompromi atas kemapanan. Jiwa demikian dalam kepenulisan ibarat nyala api yang akan menghangatkan. Karena itu, menarik untuk ditransformasikan kepada siapa pun kita. Terlebih, anak-anak muda yang –nyaris menjadi agen perubahan—ini sudah lama terjebak pada politisasi peran sosialnya. Proses permenungan dan berkarya seperti terlupa oleh hirup pikuk politik.
Hal terakhir, dan ini yang menuntut mobilitas tinggi adalah bagaimana dia menyusuri beragam tempat untuk pengembangan pemikirannya: diskusi dan bedah buku. Sebuah upaya memasyarakatkan pemikiran di satu sisi dan pada sisi lain merupakan gerakan bawah tanah untuk melawan hegemoni arus atas Jakarta. Semacam pemberontakan? Jika meminjam kecenderungan berpikir Nurel, maka hal ini bisa jadi adalah upaya penyebaran virus kepenulisan dan pemberontakan berpikir.
Akhirnya, jika kita mampu mengapresiasi apa yang telah dilakukan Nurel, maka ada baiknya kita memilih sekian pemikiran dan kiprah dalam membumikan pemikiran dan karya. Keberanian Anda jadi penulis adalah mutiara masa depan. Jika itu dipelihara secara sempurna masa depan telah ada digenggaman Anda.
***
*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 29 November 2008
Jumat, 28 November 2008
Panorama Sastra Indonesia
Maman S Mahayana
http://www.riaupos.com/
Sastra Indonesia adalah lanskap pelangi; warna-warni dengan beragam cabaran ideologinya. Ia bagai taman bunga dengan tetumbuhannya yang semarak, dedaunannya yang rimbun, meski di sana tumbuh pula mawar berduri. Di taman itu, orang-orang boleh duduk bercengkerama, memadu kasih, memetik beberapa tangkai bunga untuk dipajang di dalam rumah atau mencampakkannya begitu saja. Taman itu milik semua dan sesiapa pun, boleh ikut memeliharanya; menanam pepohonan baru atau menyiraminya agar tetap segar sambil memberinya rabuk atau melakukan persilangan.
Sastra Indonesia adalah hutan belantara dengan aneka ragam kekayaan pepohonannya yang eksotik bersama kehidupan masyarakatnya yang tidak dapat melepaskan diri dari kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya. Dan kita, sungguh tidak dapat menafikan ruh kultur etnik yang menjiwai sastra Indonesia.
Seperti juga bahasa Indonesia, sastra Indonesia bersumber dari akar tradisi kebudayaan besar yang bernama Melayu. Ia bergulir, menggelinding, mekar, dan berkembang memenuhi tuntutan zaman. Kedatangan bangsa asing adalah bagian penting dari perkembangannya itu. India dengan Hinduisme dan Buddhismenya, mula-mula diterima begitu saja. Tetapi kemudian diolah kembali secara kreatif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kultur Indonesia yang beraneka ragam itu.
Berikutnya datang pula Islam yang juga diterima dengan memasukkan corak dan semangat lokalitas (tempatan) yang khas, sehingga ia menjadi sumber lain yang pada akhirnya menjelma keindonesiaan yang memperlihatkan homogenitasnya dan sekaligus kekayaan heterogenitasnya. Islam yang mewarnai keindonesiaan itu menjadi begitu unik, khas, dan beragam. Kemudian masuk pula Portugis, Cina, Jepang, Persia, dan bangsa-bangsa Barat, ikut mewarnai keindonesiaan itu. Jadilah sastra Indonesia sebagai produk budaya yang seperti merepresentasikan proses terjadinya akulturasi dan sekaligus inkulturasi yang rumit. Kultur lokal dengan segala etnisitasnya yang inklusif telah membiarkan dirinya dimasuki berbagai-bagai pengaruh luar.
Kedatangan bangsa Barat, harus diakui, telah membawa perjalanan kebudayaan –khasnya kesusastraan—Indonesia memasuki modernisme. Alat cetak yang kemudian menjelma penerbitan buku dan media massa adalah buah fisik yang menjadikan sastra Indonesia menyebar secara luas dan massal. Itulah salah satu keajaiban mesin-mesin yang diperkenalkan bangsa Barat. Abdullah Munsyi menyebutkan empat perkara atas pertemuannya dengan alat cetak: (1) betul perkataannya dengan tiada bersalah, (2) lekas pekerjaannya, (3) terang hurufnya lagi senang membacanya, dan (4) murah harganya.
***
Masyarakat Tionghoa berhasil memanfaatkan alat-alat cetak itu lebih awal. Kemudian pribumi dan belakangan Belanda melalui usahanya mendirikan Balai Pustaka. Berkat kekuasaannya, Belanda pula yang memainkan peranan penting dalam membangun dan menciptakan pencitraan sastra Indonesia sebagai sastra elitis. Di sana, berbagai pemanipulasian terjadi semata-mata untuk mengukuhkan citra Belanda sebagai bangsa yang berbudaya, sebagai mesias, sebagai juru selamat!
Itulah awal masalah karut-marut perjalanan sastra Indonesia. Masalah itu lalu menyebar dan mencengkeram dunia pendidikan dan pengajaran sastra di hampir semua peringkat sekolah. Tanpa sadar, di sekolah ditanamkan cara pandang yang salah tentang citra dan profesi sastrawan. Mendesak masyarakat lebih menghargai segala yang fisikal daripada perkara intelektual. Keadaannya semakin teruk ketika pemerintah Orde Baru lebih mengedepankan pembangunan ekonomi dan apresiasi terhadap segala yang fisikal.
Itulah problem berikutnya yang terjadi dalam perjalanan sastra Indonesia. Di dalamnya yang terutama adalah perkara pengajaran sastra dan kritik sastra. Pengajaran sastra menjadi ilmu pengetahuan tentang sastra, dan bukan apresiasi terhadap karya sastra. Sementara itu, kritik sastra terjerumus pada kesalahpahaman teoretis dan seolah-olah segalanya datang dari Barat. Karya sastra menjadi objek anatomi.
Analisis terhadap karya sastra dilakukan dengan mengucilkan pengarangannya, menghapus masyarakat yang melahirkannya, dan menafikan kultur etnik yang menjadi inti jiwanya. Segalanya bertumpu pada pemahaman yang fragmentaris, terpenggal-penggal atas konsepsi strukturalisme. Ia diperlakukan seolah-olah sebagai satu-satunya senjata pamungkas yang dapat digunakan untuk menganalisis semua unsur dengan segala kasusnya yang terdapat dalam teks sastra.
Problem sastra Indonesia pada akhirnya berpusat pada beberapa hal berikut: Pertama, kekeliruan dalam memandang dan menempatkan citra dan peranan profesional sastrawan sebagai intelektual, pemikir budaya, dan pejuang kemanusiaan.
Kedua, kesalahan dalam memperlakukan teks sastra hanya sebagai sebuah struktur yang otonom. Teks sastra seolah-olah hanya deretan kalimat beku, tercerabut dari lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang melahirkannya. Analisis lewat pendekatan struktural, berhasil membenamkan denyar kekayaan kultural.
Ketiga, kesalahpamahan dalam memahami kritik sastra yang seharusnya menjadi salah satu alat pemberi pencerahan dan pembuka tabir yang menyelimuti kekayaan sosio—budaya sebuah teks sastra. Kesalahpahaman ini ditandai dengan: (1) kelalaian membuka perjalanan sejarah kritik sastra di Indonesia, (2) kekeliruan dalam memahami strukturalisme, (3) keterpesonaan yang berlebihan pada teori Barat, (4) keangkuhan kaum akademis yang tidak mau melibatkan sastrawan dalam pengajaran sastra, (5) keengganan dalam mencoba mempertanyakan kembali pemikiran tokoh-tokoh kritik sastra Indonesia sebelumnya.
Keempat, kemalasan dalam menguak dan mengungkapkan berbagai kekayaan yang mendekam di balik teks sastra yang justru ada cantelannya dengan konteks yang tersebar di sekelilingnya.
Kelima, kedangkalan dalam neyusun sejarah sastra Indonesia yang seolah-olah cukuplah berupa catatan ringkas tentang pengarang, judul karya, penerbit, tahun terbit, dan usaha melakukan periodesasi. Sejarah sastra Indonesia cenderung berupa senarai yang tidak mengungkapkan dinamika dan perkembangan pemikiran manusia Indonesia yang terekam dalam karya sastra.
***
Demikianlah beberapa masalah dalam sastra Indonesia yang coba diungkapkan dalam buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005, 504 halaman). Masalah lain tentu masih tercecer dan bertebaran. Meskipun demikian, setidak-tidaknya, buku itu telah menawarkan pemikiran lain tentang sastra Indonesia dan menyediakan jawabannya atas berbagai masalah tentang sastra Indonesia selama ini.
Jadi, buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia coba menyodorkan pandangan lain, meskipun mungkin kontroversial, tentang bagaimana menyikapi: (1) peranan dan profesi sastrawan, (2) sastra dan kesastraan, (3) pandangan lain tentang kritik sastra (Indonesia), (4) pendekatan yang membuka peluang pendedahan kekayaan soio-budaya yang berada di luar teks sastra, (5) usaha mengembalikan pengajaran (sejarah) sastra dan kritik sastra Indonesia ke jalan yang benar. Itulah selayang pandang gambaran umum tentang buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia.***
http://www.riaupos.com/
Sastra Indonesia adalah lanskap pelangi; warna-warni dengan beragam cabaran ideologinya. Ia bagai taman bunga dengan tetumbuhannya yang semarak, dedaunannya yang rimbun, meski di sana tumbuh pula mawar berduri. Di taman itu, orang-orang boleh duduk bercengkerama, memadu kasih, memetik beberapa tangkai bunga untuk dipajang di dalam rumah atau mencampakkannya begitu saja. Taman itu milik semua dan sesiapa pun, boleh ikut memeliharanya; menanam pepohonan baru atau menyiraminya agar tetap segar sambil memberinya rabuk atau melakukan persilangan.
Sastra Indonesia adalah hutan belantara dengan aneka ragam kekayaan pepohonannya yang eksotik bersama kehidupan masyarakatnya yang tidak dapat melepaskan diri dari kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya. Dan kita, sungguh tidak dapat menafikan ruh kultur etnik yang menjiwai sastra Indonesia.
Seperti juga bahasa Indonesia, sastra Indonesia bersumber dari akar tradisi kebudayaan besar yang bernama Melayu. Ia bergulir, menggelinding, mekar, dan berkembang memenuhi tuntutan zaman. Kedatangan bangsa asing adalah bagian penting dari perkembangannya itu. India dengan Hinduisme dan Buddhismenya, mula-mula diterima begitu saja. Tetapi kemudian diolah kembali secara kreatif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kultur Indonesia yang beraneka ragam itu.
Berikutnya datang pula Islam yang juga diterima dengan memasukkan corak dan semangat lokalitas (tempatan) yang khas, sehingga ia menjadi sumber lain yang pada akhirnya menjelma keindonesiaan yang memperlihatkan homogenitasnya dan sekaligus kekayaan heterogenitasnya. Islam yang mewarnai keindonesiaan itu menjadi begitu unik, khas, dan beragam. Kemudian masuk pula Portugis, Cina, Jepang, Persia, dan bangsa-bangsa Barat, ikut mewarnai keindonesiaan itu. Jadilah sastra Indonesia sebagai produk budaya yang seperti merepresentasikan proses terjadinya akulturasi dan sekaligus inkulturasi yang rumit. Kultur lokal dengan segala etnisitasnya yang inklusif telah membiarkan dirinya dimasuki berbagai-bagai pengaruh luar.
Kedatangan bangsa Barat, harus diakui, telah membawa perjalanan kebudayaan –khasnya kesusastraan—Indonesia memasuki modernisme. Alat cetak yang kemudian menjelma penerbitan buku dan media massa adalah buah fisik yang menjadikan sastra Indonesia menyebar secara luas dan massal. Itulah salah satu keajaiban mesin-mesin yang diperkenalkan bangsa Barat. Abdullah Munsyi menyebutkan empat perkara atas pertemuannya dengan alat cetak: (1) betul perkataannya dengan tiada bersalah, (2) lekas pekerjaannya, (3) terang hurufnya lagi senang membacanya, dan (4) murah harganya.
***
Masyarakat Tionghoa berhasil memanfaatkan alat-alat cetak itu lebih awal. Kemudian pribumi dan belakangan Belanda melalui usahanya mendirikan Balai Pustaka. Berkat kekuasaannya, Belanda pula yang memainkan peranan penting dalam membangun dan menciptakan pencitraan sastra Indonesia sebagai sastra elitis. Di sana, berbagai pemanipulasian terjadi semata-mata untuk mengukuhkan citra Belanda sebagai bangsa yang berbudaya, sebagai mesias, sebagai juru selamat!
Itulah awal masalah karut-marut perjalanan sastra Indonesia. Masalah itu lalu menyebar dan mencengkeram dunia pendidikan dan pengajaran sastra di hampir semua peringkat sekolah. Tanpa sadar, di sekolah ditanamkan cara pandang yang salah tentang citra dan profesi sastrawan. Mendesak masyarakat lebih menghargai segala yang fisikal daripada perkara intelektual. Keadaannya semakin teruk ketika pemerintah Orde Baru lebih mengedepankan pembangunan ekonomi dan apresiasi terhadap segala yang fisikal.
Itulah problem berikutnya yang terjadi dalam perjalanan sastra Indonesia. Di dalamnya yang terutama adalah perkara pengajaran sastra dan kritik sastra. Pengajaran sastra menjadi ilmu pengetahuan tentang sastra, dan bukan apresiasi terhadap karya sastra. Sementara itu, kritik sastra terjerumus pada kesalahpahaman teoretis dan seolah-olah segalanya datang dari Barat. Karya sastra menjadi objek anatomi.
Analisis terhadap karya sastra dilakukan dengan mengucilkan pengarangannya, menghapus masyarakat yang melahirkannya, dan menafikan kultur etnik yang menjadi inti jiwanya. Segalanya bertumpu pada pemahaman yang fragmentaris, terpenggal-penggal atas konsepsi strukturalisme. Ia diperlakukan seolah-olah sebagai satu-satunya senjata pamungkas yang dapat digunakan untuk menganalisis semua unsur dengan segala kasusnya yang terdapat dalam teks sastra.
Problem sastra Indonesia pada akhirnya berpusat pada beberapa hal berikut: Pertama, kekeliruan dalam memandang dan menempatkan citra dan peranan profesional sastrawan sebagai intelektual, pemikir budaya, dan pejuang kemanusiaan.
Kedua, kesalahan dalam memperlakukan teks sastra hanya sebagai sebuah struktur yang otonom. Teks sastra seolah-olah hanya deretan kalimat beku, tercerabut dari lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang melahirkannya. Analisis lewat pendekatan struktural, berhasil membenamkan denyar kekayaan kultural.
Ketiga, kesalahpamahan dalam memahami kritik sastra yang seharusnya menjadi salah satu alat pemberi pencerahan dan pembuka tabir yang menyelimuti kekayaan sosio—budaya sebuah teks sastra. Kesalahpahaman ini ditandai dengan: (1) kelalaian membuka perjalanan sejarah kritik sastra di Indonesia, (2) kekeliruan dalam memahami strukturalisme, (3) keterpesonaan yang berlebihan pada teori Barat, (4) keangkuhan kaum akademis yang tidak mau melibatkan sastrawan dalam pengajaran sastra, (5) keengganan dalam mencoba mempertanyakan kembali pemikiran tokoh-tokoh kritik sastra Indonesia sebelumnya.
Keempat, kemalasan dalam menguak dan mengungkapkan berbagai kekayaan yang mendekam di balik teks sastra yang justru ada cantelannya dengan konteks yang tersebar di sekelilingnya.
Kelima, kedangkalan dalam neyusun sejarah sastra Indonesia yang seolah-olah cukuplah berupa catatan ringkas tentang pengarang, judul karya, penerbit, tahun terbit, dan usaha melakukan periodesasi. Sejarah sastra Indonesia cenderung berupa senarai yang tidak mengungkapkan dinamika dan perkembangan pemikiran manusia Indonesia yang terekam dalam karya sastra.
***
Demikianlah beberapa masalah dalam sastra Indonesia yang coba diungkapkan dalam buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005, 504 halaman). Masalah lain tentu masih tercecer dan bertebaran. Meskipun demikian, setidak-tidaknya, buku itu telah menawarkan pemikiran lain tentang sastra Indonesia dan menyediakan jawabannya atas berbagai masalah tentang sastra Indonesia selama ini.
Jadi, buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia coba menyodorkan pandangan lain, meskipun mungkin kontroversial, tentang bagaimana menyikapi: (1) peranan dan profesi sastrawan, (2) sastra dan kesastraan, (3) pandangan lain tentang kritik sastra (Indonesia), (4) pendekatan yang membuka peluang pendedahan kekayaan soio-budaya yang berada di luar teks sastra, (5) usaha mengembalikan pengajaran (sejarah) sastra dan kritik sastra Indonesia ke jalan yang benar. Itulah selayang pandang gambaran umum tentang buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia.***
Sajak-Sajak Hudan Nur
http://www.sinarharapan.co.id/
KEMATIAN RAJABASA
pertama kali
sri sultan pernah menyematkan lencana kehormatan
pada lengan kiri Ompu Hasanuddin
keberhasilannya dalam syiar agama
tujuh puluh tahun kemudian
dari lengan kanan pucuk pimpinan integrasi nusantara pun mendapat lencana yang sama
: gajah mada
hal demikian pantaslah ditiru
gumam seorang pendiri benteng di banten lama
tujuh abad kemudian
jadilah jayakarta sebagai pusat kenegaraan bagi nias hingga jayawijaya
menyatupadukan ratusan etnis dalam perbedaan
sebuah minor pengusung keberagaman
lalu panarukan
menjadi lahan paksa
penguasa di zamannya mencari siapa yang bergelar rajabasa
sebab kepalanya adalah teror
haram memberi ruang untuk bernafas
tujuh hari kemudian
ditemukan tubuh terpisah dengan tangan dan kakinya
peradaban sudah tergantikan
apakah tujuh puluh tahun mampu dituntaskan?
Serang, Awal 2008
CILIK KRIWUT: BATIWAH
sebentar lagi kasongan akan kita lampaui
tapi mampirlah dulu ke bukit
datu yang pernah kalah dalam bertarung dengan umur
disini
kami dilahirkan
sebagai sekutu kerajaan yang muak akan kebintangan tentara nica
selayak adupan
menggonggong bila pasukan bergenderang
aku direbahkan
sebelum keluargaku memenggal jari-jari upacara darah tak bisa dimulai
pendaringan misteri ot danum
tentang penjaga air yang kelak menelan dunia
pergi ke waktu lama
lalu jadilah
batu bernyawa yang bersemayam di ruang hati rakyat maanyan
sesembahan untuk penjaga kerajaan
: mati untuk kematian yang mematikan
Bukit Batu, Kalimantan Tengah Februari 2006
MONAS DARI KEJAUHAN ST GAMBIR
kau disembunyikan kemacetan ibukota pagi ini
sebuah penantian akan usai
bila berpeluk dengan jodohnya
sebagai bukti peradaban manusia di jalannya
empat puluh tahun yang lalu
kakekku pernah juga berpijak tepat di bawah sinar matahari
merebut kembali jati diri negara dari nasakom
nenekmu hanya menunggu sambil mendadar telur mata sapi kesukaannya
hingga ia dapati jaket lusuh dan jejak yang takkan pernah kembali
aku tak berhasil mencari-cari berkas dirinya di monumen itu
aku menemuimu dikebuntuan jalan yang tak pernah bersilang
andainya saja kau datang dari tol cikampek
mungkin kau bisa melihat kegagahan saksi sejarah sebagai lambang
perjuangan yang kadang kau sangsikan
bukan sekadar dagelan setiap bulan di taman ismail marzuki oleh teater koma
selebihnya hanya kritik di kelaluan waktu
tak tuntas dibahas
sudahi sajalah pengertian peta lalu lintas di pikiranmu
tak ada kesamaan antara peron dan knalpot kendaraan
meski sama-sama berbakti pada empunya
buat apa mempertahankan diri kalau kau tak tahu untuk apa menjemurkan badan di pagi hari
seorang tentara menghampiri masinis
untuk segera memberangkatkan kereta ke parahiyangan
ada janji yang tidak bisa dikhianati sebagai penyelamat bangsa
suatu ketika kau dan aku
ditemukan di jalan lengang untuk saling menatap
saksi masa lalu
bermukim di bangunan kosong itu
: awal kejayaan yang berakar hingga lusa
tujuh belas agustus
Jakarta, Desember 2006
KEMATIAN RAJABASA
pertama kali
sri sultan pernah menyematkan lencana kehormatan
pada lengan kiri Ompu Hasanuddin
keberhasilannya dalam syiar agama
tujuh puluh tahun kemudian
dari lengan kanan pucuk pimpinan integrasi nusantara pun mendapat lencana yang sama
: gajah mada
hal demikian pantaslah ditiru
gumam seorang pendiri benteng di banten lama
tujuh abad kemudian
jadilah jayakarta sebagai pusat kenegaraan bagi nias hingga jayawijaya
menyatupadukan ratusan etnis dalam perbedaan
sebuah minor pengusung keberagaman
lalu panarukan
menjadi lahan paksa
penguasa di zamannya mencari siapa yang bergelar rajabasa
sebab kepalanya adalah teror
haram memberi ruang untuk bernafas
tujuh hari kemudian
ditemukan tubuh terpisah dengan tangan dan kakinya
peradaban sudah tergantikan
apakah tujuh puluh tahun mampu dituntaskan?
Serang, Awal 2008
CILIK KRIWUT: BATIWAH
sebentar lagi kasongan akan kita lampaui
tapi mampirlah dulu ke bukit
datu yang pernah kalah dalam bertarung dengan umur
disini
kami dilahirkan
sebagai sekutu kerajaan yang muak akan kebintangan tentara nica
selayak adupan
menggonggong bila pasukan bergenderang
aku direbahkan
sebelum keluargaku memenggal jari-jari upacara darah tak bisa dimulai
pendaringan misteri ot danum
tentang penjaga air yang kelak menelan dunia
pergi ke waktu lama
lalu jadilah
batu bernyawa yang bersemayam di ruang hati rakyat maanyan
sesembahan untuk penjaga kerajaan
: mati untuk kematian yang mematikan
Bukit Batu, Kalimantan Tengah Februari 2006
MONAS DARI KEJAUHAN ST GAMBIR
kau disembunyikan kemacetan ibukota pagi ini
sebuah penantian akan usai
bila berpeluk dengan jodohnya
sebagai bukti peradaban manusia di jalannya
empat puluh tahun yang lalu
kakekku pernah juga berpijak tepat di bawah sinar matahari
merebut kembali jati diri negara dari nasakom
nenekmu hanya menunggu sambil mendadar telur mata sapi kesukaannya
hingga ia dapati jaket lusuh dan jejak yang takkan pernah kembali
aku tak berhasil mencari-cari berkas dirinya di monumen itu
aku menemuimu dikebuntuan jalan yang tak pernah bersilang
andainya saja kau datang dari tol cikampek
mungkin kau bisa melihat kegagahan saksi sejarah sebagai lambang
perjuangan yang kadang kau sangsikan
bukan sekadar dagelan setiap bulan di taman ismail marzuki oleh teater koma
selebihnya hanya kritik di kelaluan waktu
tak tuntas dibahas
sudahi sajalah pengertian peta lalu lintas di pikiranmu
tak ada kesamaan antara peron dan knalpot kendaraan
meski sama-sama berbakti pada empunya
buat apa mempertahankan diri kalau kau tak tahu untuk apa menjemurkan badan di pagi hari
seorang tentara menghampiri masinis
untuk segera memberangkatkan kereta ke parahiyangan
ada janji yang tidak bisa dikhianati sebagai penyelamat bangsa
suatu ketika kau dan aku
ditemukan di jalan lengang untuk saling menatap
saksi masa lalu
bermukim di bangunan kosong itu
: awal kejayaan yang berakar hingga lusa
tujuh belas agustus
Jakarta, Desember 2006
KASUS POLITIK DALAM SEJARAH KESUSASTRAAN INDONESIA
Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Pembicaraan mengenai sejarah kesusastraan Indonesia modern sebenarnya bukanlah sekadar berisi pemaparan mengenai sejumlah karya pengarang Indonesia berikut ulasan dan biodata pengarangnya, melainkan juga menyangkut berbagai hal yang melatarbelakanginya. Proses penciptaan, latar sosio-budaya, situasi sosial yang terjadi pada zamannya, peranan penerbit, reaksi masyarakat, dan hubungannya dengan politik pemerintah, merupakan masalah yang mestinya diungkapkan atau disinggung dalam pembicaraan sejarah kesusastraan. Apa yang terjadi dalam kesusastraan Indonesia merupakan contoh kasus bahwa persoalan sosial-budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra, tidak dapat diabaikan begitu saja. Ternyata bahwa masalah tersebut, khasnya yang berkaitan dengan politik kolonial Belanda, sedikit-banyaknya telah ikut mewarnai –bahkan menentukan– perjalanan kesusastraan Indonesia sejak awal kelahirannya hingga dewasa ini.
Adanya kaitan yang erat antara sastra dan politik yang lalu menimbulkan berbagai reaksi, sesungguhnya merupakan hal yang wajar. Masalahnya, karya sastra diciptakan oleh pengarang selaku anggota masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, ada norma yang harus dipatuhi anggotanya. Jika ada pelanggaran terhadap norma itu, maka masyarakat atau pemerintah akan menjatuhkan sanksi. Jadi, manakala terjadi konflik antara isi karya sastra dengan norma masyarakat, saat itulah akan timbul reaksi. Sampai kapan pun dan di mana pun juga, kesusastraan akan menghadapi persoalan-persoalan seperti itu. Kasus yang menimpa Madame Bovary karya Gustave Flaubert, misalnya, merupakan salah satu contoh, betapa karya sastra tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan kehidupan sosial politik zamannya. Kasus novel Salman Rusdhie, Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses) merupakan contoh betapa hubungan sastra dan norma masyarakat (agama), acap kali menimbulkan masalah sosial-politik.
***
Hubungan kesusastaan dan politik dalam sejarah perjalanan kesusastraan Indonesia modern sebenarnya bermula justru sebelum Balai Pustaka lahir. Karya-karya Mas Marco Kartodikromo, Semaun, Tirto Adisuryo, serta karya-karya pengarang peranakan, baik peranakan Cina maupun Indo-Belanda, sebenarnya termasuk ke dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern. Pemerintah kolonial Belanda waktu itu menganggap bahwa karya-karya mereka –terutama karya pengarang yang secara jelas menyuarakan aspirasi politik tertentu, seperti Semaun, Mas Marco, dan Tirto Adisuryo– dapat berakibat buruk pada kehidupan kemasyarakatan waktu itu. Oleh karena itu, pemerintah Belanda menyebut karya-karya mereka sebagai “bacaan liar” yang dikarang oleh para “agitator” dan diterbitkan oleh para penerbit yang “tidak bertanggung jawab dan tidak suci hatinya.”
Kasus tersebut jelas memperlihatkan bahwa hubungan politik dan sastra pada masa itu telah menyebabkan pemerintah Belanda merasa perlu mendirikan Balai Pustaka. Jadi, kelahirannya lebih banyak dilatarbelakangi oleh masalah politik waktu itu. Oleh karena itu, seyogyanya pembicaraan mengenai awal lahirnya kesusastraan Indonesia, mesti meng-ungkapkan juga karya-karya yang terbit sebelum Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar.
Masalahnya menjadi jelas apabila kita menghubungkannya dengan kebijaksanaan kolonial Belanda. Seperti telah disebutkan, salah satu alasan berdirinya Balai Pustaka adalah untuk membendung pengaruh bacaan yang berisi propaganda politik yang diterbitkan pihak swasta. Dalam hal ini, Balai Pustaka hendak dimanfaatkan untuk kepentingan pihak Belanda di tanah jajahan. Dengan demikian, karya-karya yang diterbitkannya, sudah tentu harus sejalan dengan kebijaksanaan kolonial. Keadaan tersebut dengan sendirinya ikut pula mempengaruhi isi karya yang diterbitkan oleh lembaga itu.
Sedikitnya ada tiga novel Indonesia yang terbit sebelum perang yang dapat kita jadikan semacam contoh adanya hubungan yang erat antara kesusastraan dan politik.
Pertama, novel Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Jamil Bakar, dan kawan-kawan (1985), Syafi’i St. Rajo Batuah (1964), B.S. (1954), dan Bakir Siregar (1964) menyebutkan bahwa novel Salah Asuhan sedikitnya telah mengalami dua kali ‘revisi’ yang justru mengubah makna dan amanat novel itu secara keseluruhan. Disebutkan bahwa dalam naskah aslinya, Corrie adalah Indo-Belanda bukan Indo-Prancis. Demikian juga, pecahnya hubungan Hanafi dan Corrie sebenarnya akibat sikap Corrie yang terlalu mengumbar keseronokan dan sering berhubungan dengan lelaki lain, sehingga Hanafi tidak tahan dengan kelakuan istrinya. Akibat perbuatan itu, Corrie akhirnya mati ditembak seorang pelaut ketika ia baru saja berhubungan gelap dengan lelaki pelaut itu. Dalam naskah pertama, konon Corrie mati akibat penyakit kelamin.
Dengan adanya perubahan tersebut, maka citra Corrie sebagai wanita Indo-Prancis dipandang tidak akan mempengaruhi citra wanita Belanda. Apalagi gambaran Corrie dalam novel itu sama sekali tidak mengesankan sebagai wanita “nakal”. Sebaliknya, Hanafi justru tampil sebagai sosok pemuda angkuh yang tidak mau menghormati tradisi leluhurnya.
Kedua, novel Di Luar Garis (Buiten het Gareel) (1941)) karya Suwarsih Djojopuspito. Novel yang kemudian diterbitkan Penerbit Djambatan (1975) berjudul Manusia Bebas itu sebenarnya selesai ditulis naskahnya dalam bahasa Sunda tahun 1937. Setelah diindonesiakan, naskahnya dikirim ke penerbit Balai Pustaka, tetapi kemudian ditolak karena isinya menyuarakan semangat nasionalisma. Baru pada tahun 1941, novel itu diterbitkan di Utrecht, Belanda dengan kata pengantar diberikan oleh E. Du Perron, berjudul Buiten het Gareel.
Kasus ini juga mengisyaratkan bahwa terbit tidaknya sebuah karya sastra sering dihubungkaitkan dengan persoalan politik. Hal yang hampir sama, juga terjadi pada novel Belenggu (1940) karya Armijn Pane. Novel ini juga ditolak Balai Pustaka karena isinya dipandang tidak sesuai dengan kebijaksanaan Balai Pustaka. Novel ini kemudian diterbitkan oleh penerbit Dian Rakyat dengan menyertakan beberapa tanggapan pembaca atas novel tersebut yang menyangkut dua hal. Pertama, ceritanya tidak dapat diterima akal; kedua, ceritanya dianggap tidak bermoral, bertentangan dengan susila bangsa Indonesia.
Dalam konteks hubungan sastra dan politik, kita juga dapat menengok jauh ke belakang pada karya-karya sastra keagamaan. Konflik ideologi antara Nurrudin ar-Raniri yang menentang Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani dibakar dan dimusnahkan. Bahkan lebih daripada itu, konflik tersebut telah membawa tragedi berdarah.
***
Selepas merdeka, kesusastraan Indonesia banyak mengalami gejolak yang justru ditimbulkan lantaran masalah politik masuk ke dalam wilayah kesusastraan; atau sebaliknya, manakala kesusastraan akan ditingkahi oleh berbagai gejolak.
Tahun 1960-an, misalnya, kesusastraan Indonesia memasuki zaman ‘kekacauan’ dalam pengertian tidak adanya ukuran atau kriteria yang jelas untuk menentukan karya sastra yang baik. Adanya pengkotak-kotakan golongan sastrawan, antara lain, Lekra dan Lesbumi, merupakan tanda betapa dunia kesenian, khususnya kesusastraan, pada masa itu diwarnai oleh kepentingan ideologi tertentu. Pengkotak-kotakan ini juga tidak hanya mencerminkan telah terjadinya perpecahan dalam kehidupan berkesenian di Indonesia, tetapi juga mempertegas adanya tarik-menarik kepentingan dan pengaruh-pengaruh kelompok tertentu.
Kemudian peristiwa Manifes Kebudayaan yang ditandatangani di Jakarta tanggal 17 Agustus 1963, dan disiarkan dalam lembaran budaya Berita Republik 19 Oktober 1963 dan dalam Majalah Sastra, September-Oktober 1963, merupakan contoh lain dari reaksi adanya hubungan sastra dan politik.
Tanggal 8 Mei 1964, Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan. Para penandatanganannya dinyatakan telah bertindak tidak sejalan dengan semangat revolusi.
***
Selepas pecah pemberontakan PKI 1965, kehidupan politik Indonesia memasuki babak baru. Tetapi kehidupan kesusastraan Indonesia masih belum sepenuhnya dapat dipahami sebagai karya kreatif imajinatif. Atau ukuran norma masyarakat tidak jarang sangat menentukan keberadaan karya sastra.
Kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin merupakan contoh betapa masalah sosial politik masih saja mewarnai perjalanan kehidupan kesusastraan Indonesia. Cerpen yang dimuat Majalah Sastra, Agustus 1968 telah menyeret H.B. Jassin sebagai penanggung jawab majalah itu berhadapan dengan pihak pengadilan. Dalam konteks perkembangan kesusastraan Indonesia, masalah hubungan agama dan kesusastraan tidak jarang pula menjadi masalah yang amat rawan.
Begitulah perjalanan kesusastraan Indonesia ternyata tidak pernah sepi dari masalah-masalah sosial politik. Pelarangan novel empat serangkai karya Pramoedya Ananta Toer merupakan contoh lain, bahwa masalah politik tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan kesusastraan dan kesenian pada umumnya.
Keadaan tersebut ternyata telah membuat sejunlah penerbit mempertimbangkan berbagai kemungkinan adanya cekal (cegah tangkal) dari pihak pemerintah. Sekadar menyebut beberapa kasus, dapat dikemukakan di sini perubahan nama tokoh dalam novel Kubah (1980), hilangnya sekitar 25-an halaman naskah dalam Jantera Bianglala (1986), keduanya karya Ahmad Tohari serta hilangnya beberapa bagian dalam novel Warisan (1979) karya Chairul Harun. Demikianlah sekilas perjalanan kesusastraan Indonesia dalam hubungannya dengan masalah politik yang sering menimbrunginya. Sangat boleh jadi, persoalan ini akan terus berlanjut sampai entah kapan, makala muncul karya sastra atau karya apapun yang dianggap bertentangan dengan norma masyarakat dan politik pemerintah.
Masalahnya kini, bagaimana pengarang kita mampu menyiasati dan menyembunyikan amanatnya sedemikian rupa, sehingga kritik sosial yang disampaikannya begitu rapi. Pengarang-pengarang besar umumnya mampu melakukan itu, betapapun karyanya berisi kritik sosial yang amat pedas. Jadi, masalah sebenarnya bergantung pada kepiawaian dan kecendekiaan sastrawannya sendiri, bagaimana memanfaatkan licentia poetica atau kebebasan kreatifnya menjadi karya yang sarat makna, sehingga pembaca memakainya dengan berbagai tafsiran.
Surabaya Post, Minggu, 24 Oktober 1993
http://mahayana-mahadewa.com/
Pembicaraan mengenai sejarah kesusastraan Indonesia modern sebenarnya bukanlah sekadar berisi pemaparan mengenai sejumlah karya pengarang Indonesia berikut ulasan dan biodata pengarangnya, melainkan juga menyangkut berbagai hal yang melatarbelakanginya. Proses penciptaan, latar sosio-budaya, situasi sosial yang terjadi pada zamannya, peranan penerbit, reaksi masyarakat, dan hubungannya dengan politik pemerintah, merupakan masalah yang mestinya diungkapkan atau disinggung dalam pembicaraan sejarah kesusastraan. Apa yang terjadi dalam kesusastraan Indonesia merupakan contoh kasus bahwa persoalan sosial-budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra, tidak dapat diabaikan begitu saja. Ternyata bahwa masalah tersebut, khasnya yang berkaitan dengan politik kolonial Belanda, sedikit-banyaknya telah ikut mewarnai –bahkan menentukan– perjalanan kesusastraan Indonesia sejak awal kelahirannya hingga dewasa ini.
Adanya kaitan yang erat antara sastra dan politik yang lalu menimbulkan berbagai reaksi, sesungguhnya merupakan hal yang wajar. Masalahnya, karya sastra diciptakan oleh pengarang selaku anggota masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, ada norma yang harus dipatuhi anggotanya. Jika ada pelanggaran terhadap norma itu, maka masyarakat atau pemerintah akan menjatuhkan sanksi. Jadi, manakala terjadi konflik antara isi karya sastra dengan norma masyarakat, saat itulah akan timbul reaksi. Sampai kapan pun dan di mana pun juga, kesusastraan akan menghadapi persoalan-persoalan seperti itu. Kasus yang menimpa Madame Bovary karya Gustave Flaubert, misalnya, merupakan salah satu contoh, betapa karya sastra tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan kehidupan sosial politik zamannya. Kasus novel Salman Rusdhie, Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses) merupakan contoh betapa hubungan sastra dan norma masyarakat (agama), acap kali menimbulkan masalah sosial-politik.
***
Hubungan kesusastaan dan politik dalam sejarah perjalanan kesusastraan Indonesia modern sebenarnya bermula justru sebelum Balai Pustaka lahir. Karya-karya Mas Marco Kartodikromo, Semaun, Tirto Adisuryo, serta karya-karya pengarang peranakan, baik peranakan Cina maupun Indo-Belanda, sebenarnya termasuk ke dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern. Pemerintah kolonial Belanda waktu itu menganggap bahwa karya-karya mereka –terutama karya pengarang yang secara jelas menyuarakan aspirasi politik tertentu, seperti Semaun, Mas Marco, dan Tirto Adisuryo– dapat berakibat buruk pada kehidupan kemasyarakatan waktu itu. Oleh karena itu, pemerintah Belanda menyebut karya-karya mereka sebagai “bacaan liar” yang dikarang oleh para “agitator” dan diterbitkan oleh para penerbit yang “tidak bertanggung jawab dan tidak suci hatinya.”
Kasus tersebut jelas memperlihatkan bahwa hubungan politik dan sastra pada masa itu telah menyebabkan pemerintah Belanda merasa perlu mendirikan Balai Pustaka. Jadi, kelahirannya lebih banyak dilatarbelakangi oleh masalah politik waktu itu. Oleh karena itu, seyogyanya pembicaraan mengenai awal lahirnya kesusastraan Indonesia, mesti meng-ungkapkan juga karya-karya yang terbit sebelum Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar.
Masalahnya menjadi jelas apabila kita menghubungkannya dengan kebijaksanaan kolonial Belanda. Seperti telah disebutkan, salah satu alasan berdirinya Balai Pustaka adalah untuk membendung pengaruh bacaan yang berisi propaganda politik yang diterbitkan pihak swasta. Dalam hal ini, Balai Pustaka hendak dimanfaatkan untuk kepentingan pihak Belanda di tanah jajahan. Dengan demikian, karya-karya yang diterbitkannya, sudah tentu harus sejalan dengan kebijaksanaan kolonial. Keadaan tersebut dengan sendirinya ikut pula mempengaruhi isi karya yang diterbitkan oleh lembaga itu.
Sedikitnya ada tiga novel Indonesia yang terbit sebelum perang yang dapat kita jadikan semacam contoh adanya hubungan yang erat antara kesusastraan dan politik.
Pertama, novel Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Jamil Bakar, dan kawan-kawan (1985), Syafi’i St. Rajo Batuah (1964), B.S. (1954), dan Bakir Siregar (1964) menyebutkan bahwa novel Salah Asuhan sedikitnya telah mengalami dua kali ‘revisi’ yang justru mengubah makna dan amanat novel itu secara keseluruhan. Disebutkan bahwa dalam naskah aslinya, Corrie adalah Indo-Belanda bukan Indo-Prancis. Demikian juga, pecahnya hubungan Hanafi dan Corrie sebenarnya akibat sikap Corrie yang terlalu mengumbar keseronokan dan sering berhubungan dengan lelaki lain, sehingga Hanafi tidak tahan dengan kelakuan istrinya. Akibat perbuatan itu, Corrie akhirnya mati ditembak seorang pelaut ketika ia baru saja berhubungan gelap dengan lelaki pelaut itu. Dalam naskah pertama, konon Corrie mati akibat penyakit kelamin.
Dengan adanya perubahan tersebut, maka citra Corrie sebagai wanita Indo-Prancis dipandang tidak akan mempengaruhi citra wanita Belanda. Apalagi gambaran Corrie dalam novel itu sama sekali tidak mengesankan sebagai wanita “nakal”. Sebaliknya, Hanafi justru tampil sebagai sosok pemuda angkuh yang tidak mau menghormati tradisi leluhurnya.
Kedua, novel Di Luar Garis (Buiten het Gareel) (1941)) karya Suwarsih Djojopuspito. Novel yang kemudian diterbitkan Penerbit Djambatan (1975) berjudul Manusia Bebas itu sebenarnya selesai ditulis naskahnya dalam bahasa Sunda tahun 1937. Setelah diindonesiakan, naskahnya dikirim ke penerbit Balai Pustaka, tetapi kemudian ditolak karena isinya menyuarakan semangat nasionalisma. Baru pada tahun 1941, novel itu diterbitkan di Utrecht, Belanda dengan kata pengantar diberikan oleh E. Du Perron, berjudul Buiten het Gareel.
Kasus ini juga mengisyaratkan bahwa terbit tidaknya sebuah karya sastra sering dihubungkaitkan dengan persoalan politik. Hal yang hampir sama, juga terjadi pada novel Belenggu (1940) karya Armijn Pane. Novel ini juga ditolak Balai Pustaka karena isinya dipandang tidak sesuai dengan kebijaksanaan Balai Pustaka. Novel ini kemudian diterbitkan oleh penerbit Dian Rakyat dengan menyertakan beberapa tanggapan pembaca atas novel tersebut yang menyangkut dua hal. Pertama, ceritanya tidak dapat diterima akal; kedua, ceritanya dianggap tidak bermoral, bertentangan dengan susila bangsa Indonesia.
Dalam konteks hubungan sastra dan politik, kita juga dapat menengok jauh ke belakang pada karya-karya sastra keagamaan. Konflik ideologi antara Nurrudin ar-Raniri yang menentang Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani dibakar dan dimusnahkan. Bahkan lebih daripada itu, konflik tersebut telah membawa tragedi berdarah.
***
Selepas merdeka, kesusastraan Indonesia banyak mengalami gejolak yang justru ditimbulkan lantaran masalah politik masuk ke dalam wilayah kesusastraan; atau sebaliknya, manakala kesusastraan akan ditingkahi oleh berbagai gejolak.
Tahun 1960-an, misalnya, kesusastraan Indonesia memasuki zaman ‘kekacauan’ dalam pengertian tidak adanya ukuran atau kriteria yang jelas untuk menentukan karya sastra yang baik. Adanya pengkotak-kotakan golongan sastrawan, antara lain, Lekra dan Lesbumi, merupakan tanda betapa dunia kesenian, khususnya kesusastraan, pada masa itu diwarnai oleh kepentingan ideologi tertentu. Pengkotak-kotakan ini juga tidak hanya mencerminkan telah terjadinya perpecahan dalam kehidupan berkesenian di Indonesia, tetapi juga mempertegas adanya tarik-menarik kepentingan dan pengaruh-pengaruh kelompok tertentu.
Kemudian peristiwa Manifes Kebudayaan yang ditandatangani di Jakarta tanggal 17 Agustus 1963, dan disiarkan dalam lembaran budaya Berita Republik 19 Oktober 1963 dan dalam Majalah Sastra, September-Oktober 1963, merupakan contoh lain dari reaksi adanya hubungan sastra dan politik.
Tanggal 8 Mei 1964, Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan. Para penandatanganannya dinyatakan telah bertindak tidak sejalan dengan semangat revolusi.
***
Selepas pecah pemberontakan PKI 1965, kehidupan politik Indonesia memasuki babak baru. Tetapi kehidupan kesusastraan Indonesia masih belum sepenuhnya dapat dipahami sebagai karya kreatif imajinatif. Atau ukuran norma masyarakat tidak jarang sangat menentukan keberadaan karya sastra.
Kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin merupakan contoh betapa masalah sosial politik masih saja mewarnai perjalanan kehidupan kesusastraan Indonesia. Cerpen yang dimuat Majalah Sastra, Agustus 1968 telah menyeret H.B. Jassin sebagai penanggung jawab majalah itu berhadapan dengan pihak pengadilan. Dalam konteks perkembangan kesusastraan Indonesia, masalah hubungan agama dan kesusastraan tidak jarang pula menjadi masalah yang amat rawan.
Begitulah perjalanan kesusastraan Indonesia ternyata tidak pernah sepi dari masalah-masalah sosial politik. Pelarangan novel empat serangkai karya Pramoedya Ananta Toer merupakan contoh lain, bahwa masalah politik tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan kesusastraan dan kesenian pada umumnya.
Keadaan tersebut ternyata telah membuat sejunlah penerbit mempertimbangkan berbagai kemungkinan adanya cekal (cegah tangkal) dari pihak pemerintah. Sekadar menyebut beberapa kasus, dapat dikemukakan di sini perubahan nama tokoh dalam novel Kubah (1980), hilangnya sekitar 25-an halaman naskah dalam Jantera Bianglala (1986), keduanya karya Ahmad Tohari serta hilangnya beberapa bagian dalam novel Warisan (1979) karya Chairul Harun. Demikianlah sekilas perjalanan kesusastraan Indonesia dalam hubungannya dengan masalah politik yang sering menimbrunginya. Sangat boleh jadi, persoalan ini akan terus berlanjut sampai entah kapan, makala muncul karya sastra atau karya apapun yang dianggap bertentangan dengan norma masyarakat dan politik pemerintah.
Masalahnya kini, bagaimana pengarang kita mampu menyiasati dan menyembunyikan amanatnya sedemikian rupa, sehingga kritik sosial yang disampaikannya begitu rapi. Pengarang-pengarang besar umumnya mampu melakukan itu, betapapun karyanya berisi kritik sosial yang amat pedas. Jadi, masalah sebenarnya bergantung pada kepiawaian dan kecendekiaan sastrawannya sendiri, bagaimana memanfaatkan licentia poetica atau kebebasan kreatifnya menjadi karya yang sarat makna, sehingga pembaca memakainya dengan berbagai tafsiran.
Surabaya Post, Minggu, 24 Oktober 1993
Legenda
Sulaiman Tripa
http://www.lampungpost.com/c
DIA sendiri yang meminta dirinya dipanggil dengan Legenda saja. Pak Legenda, lengkapnya. Penarik becak yang stand by di persimpangan tugu. Ada atau tidak ada penumpang, ia tetap berdiam di sana.
Biasanya memang selalu ada orang yang menggunakan jasanya dan minta diantar entah ke mana. Jangkauannya bisa mencapai dua atau tiga kilometer.
Becak Pak Legenda dengan mudah dapat dikenali. Di kanan-kiri depan, terpacak bendera merah putih berukuran besar, mungkin 70 x 40 sentimeter. Padahal, mobil mewah sekalipun hanya memakai bendera kecil yang hanya 10 x 7 sentimeter saja. Demikian juga dengan becak-becak lain, hanya memakai bendera berukuran 20 x 15 sentimeter. Itu pun satu lembar. Bukan dua lembar.
Tanda lainnya dari becak Pak Legenda adalah adanya tulisan L-e-g-e-n-d-a dengan huruf besar, di bodi becaknya. Tulisan itu berwarna kuning keemasan. Dari jauh tampak mengilap dan bercahaya.
Tanda terakhir yang paling unik adalah Pak Legenda memakai klakson di becaknya. Klakson itu mirip dengan yang dipakai mobil-mobil besar.
Mengenai klakson, aku pernah terkejut di dalam becak ketika Pak Legenda membunyikannya. Poemmm.
Pak Legenda tidak bisa melihat jantungku yang bertambah cepat sekejap. Soalnya, ia mengayuh becak dari belakang.
Kukenal bunyi klakson waktu pertama naik becak itu. Sekaligus aku baru saja mengenal Pak Legenda. Ketika aku baru datang ke kota ini, aku perlu kamar indekos.
Dari tempat pendaftaran kuliah, aku dikasih tahu seorang satpam untuk datang ke persimpangan tugu dan mencari Pak Legenda yang memiliki becak Legenda. Sebenarnya tak susah mencarinya. Hanya saja aku belum tahu letak persimpangan tugu.
Begitu selesai pendaftaran ulang, aku segera keluar kampus dan mencari persimpangan tugu. Dan sejak dari pintu gerbang, aku bingung karena begitu banyak jalan. Lalu aku putuskan untuk makan soto sapi di depan gerbang kampus.
Dari penjual bakso, aku juga disuruh tanya ke Pak Legenda.
"Di sana," penjual bakso menunjuk ujung lorong, "Mentok, belok kanan, pasti terlihat tugu."
Aku singgah ke warung soto bukan karena sekadar ingin bertanya. Aku memang sudah lapar. Waktu menunjukan pukul 09.30 pagi. Bayangkan, dari bangun jam 04.00 untuk salat subuh. Lebih dari lima jam belum makan atau minum apa-apa.
Waktu makan, aku juga punya kepentingan lain. Aku tanyakan kamar indekos. Dan jawabannya adalah Pak Legenda.
"Di mana?"
"Di persimpangan tugu."
"Di mana itu? Maaf Mbak, aku orang baru."
Lalu ia menunjuk ke sana.
Aku segera selesaikan makan. Begitu selesai, aku bayar, terus aku ikuti lorong itu hingga ke ujung. Sampai mentok. Lalu aku belok kanan, lewat jalan yang kanan kiri penuh kotak kamar.
Dari jauh, sudah kutemukan tugu mini, yang di atasnya ditancap bambu runcing dengan warna merah putih. Tugu itu persis di tengah bundaran yang juga mini. Mungkin sedan saja tidak bisa melingkari bundaran itu.
Aku terus berjalan hingga benar-benar mendekat. Dengan mudah aku menemukan beca dengan tulisan L-e-g-e-n-d-a.
"Pak Legenda!"
Ia memandang ke arahku, sekilas. Hanya sekilas.
"Yuk, naik!"
Sejenak, aku heran. Ada apa ini, pikirku. Kita tanyakan benarkah ia Pak Legenda, ia langsung bilang: Yuk naik!
"Kamu mau yang seperti apa?" ia membuka pembicaraan. Aku sendiri mendengar dengusan napasnya. Mungkin ketika mulai mendayung, terasa berat. Ia sudah tua. Orangnya kecil. Pakaiannya seperti anak muda.
"Maksud Pak Legenda?" aku belum mengerti apa yang ditanyakannya.
"Kamu untuk apa mencariku?"
"Tadi saya dapat kabar dari sana untuk menanyakan Pak Legenda."
"Ya, tapi kamu mau yang seperti apa?" potongnya, masih dengan napas yang terengah.
"Saya tak ngerti."
"Trus mencariku untuk apa?"
"Mau menanyakan rumah. Maksudku kamar sewa."
Baru aku mengerti pertanyaannya. Padahal, kalau di tempat asal saya selalu ada penjelasan dulu menanyakan sesuatu. Tapi mungkin ia sudah berhadapan dengan banyak pencari kamar, pikirku.
"Mau yang seperti apa?"
"Apa memang ada pilihan?"
Eeit. Bunyi rem. Pak Legenda menghentikan becaknya di depan sebuah rumah besar tiga lantai. Dengan jelas terlihat petak-petak kamarnya, bersusun.
"Semuanya sudah komplit. Kamar mandi di dalam kamar. Cuci baju gratis. Sarapan sudah tersedia. Kamu hanya perlu menyediakan satu juta setengah per bulan. Kamu tidak akan sibuk lagi."
Aku menarik napas.
Pak Legenda naik lagi ke becaknya, ia mengayuh lagi. Ia seperti sudah tidak perlu penjelasan begitu melihatku menarik napas dalam.
Kami masuk kawasan pinggiran yang kanan kiri jalan ada saluran air yang tidak bersih. Saluran itu hanya digali. Di pinggirnya bertumpuh sampah. Kotoran manusia juga terlihat beberapa tumpuk dari pinggir aliran air got yang tak begitu deras.
Beberapa kali Pak Legenda harus menepikan becaknya karena ada orang yang lewat. Kulihat orang-orang di sana menegurnya. Dengan jelas mereka menyebut nama Pak Legenda. Artinya, ia sudah sering ke sini, pikirku.
Becak Pak Legenda memasuki lorong-lorong kecil dan benar-benar baru pertama ini kulihat. Aku sering membuang pandang karena melihat orang-orang yang buang hajat dipinggir jalan. Tidak peduli orang yang lalu lalang.
Eeit. Bunyi rem becak Pak Legenda.
"Di sini tiga puluh ribu sebulan. Air untuk sekali mandi dalam sehari, tak ada kakus."
"Jadi kalau buang hajat bagaimana?"
Pak Legenda tidak menjawab. Matanya memandang ke arahku.
Di depan kami melintas pengangkut sampah yang menebar bau yang menyengat. Aku menutup hidung.
Aku memilih naik lagi ke becak.
Pak Legenda kembali memutar becaknya. Ia kembali mengayuh. Ia menelusuri kawasan di sebelahnya. Kawasan ini juga kumuh, dan aku melihat banyak orang yang sedang buang hajat di saluran kecil yang mengalir air ke kampung sebelah.
"Air ini dipakai orang juga, Pak?"
"Ya, untuk semuanya, ya mencuci, ya mandi."
Aku bisa melihat di dalam saluran mengapung-ngapung kotoran manusia, bahkan bulu-bulu ayam. Pak Legenda mungkin tak memperhatikan aku sedang melihat kanan kiri air yang mengalir.
Pak Legenda terus saja mengayuh becaknya. Beberapa orang memberi kode jari tangan yang dilingkar.
"Apa artinya?" tanyaku.
"Penuh!"
"Bisa penuh juga ya lokasi ini?"
"Apa?"
"Lokasi seperti ini, bisa penuh juga ya?"
"Di sini tiga puluh ribu."
Becak Pak Legenda mengarah ke Jalan Abduh, lalu melewati Jalan Normal, sampai ke Jalan Sentral.
"Lha, kita ke mana, Pak?"
"Mengantarmu!"
Dalam hati, aku bertanya, kok tahu dia wisma tempatku menginap. Persis. Melewati gedung kesenian, ia belokkan becak ke halaman Wisma Sutra. Di sini aku berdiam untuk dua tiga malam sampai menemukan kamar indekos.
"Tak usah heran. Yang mencariku pasti nginap-nya di sini."
Aku tak berkata apa-apa. Di sini memang murah. Semalam hanya 30 ribu rupiah, dengan dua ranjang plus kasur yang sepertinya jarang dicuci. Bahkan, sebelum AC dinyalakan, aku mencium bau pesing yang sangat kental. Di sudut-sudut lantai puntung rokok berserakan.
Bagaimana bisa penghuni wisma membuang air kecil di mana-mana, pikirku. Atau ini seperti orang yang sedang berfantasi, melihat pasangannya yang sedang buang air kecil, pikirku lagi.
Entahlah.
"Aku balik, besok kuambil barangmu."
"Berapa, Pak?"
"Terserah kamu."
"Kok terserah saya. Bagaimana Bapak bisa makan kalau begitu?"
"Ah, makan itu kan tak ditentukan oleh kata terserah!"
"Bapak tidak makan?"
"Makan juga, tapi kata terserah tak mengurangi jatah makanku."
Kuambil selembar 50 ribu dan kukasih ke tangannya.
"Kurang lebih, Pak ya, maaf lho!"
Ia memasukkan uang ke sakunya. Tanpa dilihat. Dilirik pun tidak.
Segera ia mengayuh becak, membelah jalan sentral sampai hilang dari pandangan mata. Aku kembali masuk ke kamar wisma yang membuatku tak bisa makan. Aku hampir muntah berkali-kali dengan baunya. Bahkan di dinding bertuliskan kata-kata seronok, bergambar alat-alat kelamin dengan tinta pulpen.
Malam itu, aku benar-benar tidak bisa tidur. Baunya itu, membuatku tak bisa memejamkan mata.
Begitu azan subuh tiba, aku bangun mengambil wudu. Koran yang kubeli sudah kususun di lantai, di atasnya kugelar sajadah.
Tak berapa lama, Pak Legenda menjemputku. Kami membawa semua barang. Ia menghentikan becaknya di depan warung makan. Kami berdua makan, lalu menuju rumah di samping jembatan.
Semua barang dimasukkan ke kamar.
"Inilah kamarmu!"
Dindingnya beton yang sudah mulai terkelupas. Pintunya dari tripleks. Ada satu lemari, satu meja, satu kursi, satu kasur, satu bantal. Kamar persis di depan pintu. Kakus berada di belakang.
Aku memberi 20 ribu untuk Pak Legenda.
"Aku pamit!"
"Ya, Pak, terima kasih ya."
Aku langsung merebahkan badan di kasur yang sedikit padat. Mataku langsung terpejam. "Kamu harus jaga pintu kamar, jangan lupa menguncinya!"
Tiba-tiba aku terjaga menyaksikan pintu kamar sedang terbuka. Aku mimpi, pikirku, syukurlah. Lalu kulihat barang-barangku sudah tidak ada lagi.
(Banda Aceh)
http://www.lampungpost.com/c
DIA sendiri yang meminta dirinya dipanggil dengan Legenda saja. Pak Legenda, lengkapnya. Penarik becak yang stand by di persimpangan tugu. Ada atau tidak ada penumpang, ia tetap berdiam di sana.
Biasanya memang selalu ada orang yang menggunakan jasanya dan minta diantar entah ke mana. Jangkauannya bisa mencapai dua atau tiga kilometer.
Becak Pak Legenda dengan mudah dapat dikenali. Di kanan-kiri depan, terpacak bendera merah putih berukuran besar, mungkin 70 x 40 sentimeter. Padahal, mobil mewah sekalipun hanya memakai bendera kecil yang hanya 10 x 7 sentimeter saja. Demikian juga dengan becak-becak lain, hanya memakai bendera berukuran 20 x 15 sentimeter. Itu pun satu lembar. Bukan dua lembar.
Tanda lainnya dari becak Pak Legenda adalah adanya tulisan L-e-g-e-n-d-a dengan huruf besar, di bodi becaknya. Tulisan itu berwarna kuning keemasan. Dari jauh tampak mengilap dan bercahaya.
Tanda terakhir yang paling unik adalah Pak Legenda memakai klakson di becaknya. Klakson itu mirip dengan yang dipakai mobil-mobil besar.
Mengenai klakson, aku pernah terkejut di dalam becak ketika Pak Legenda membunyikannya. Poemmm.
Pak Legenda tidak bisa melihat jantungku yang bertambah cepat sekejap. Soalnya, ia mengayuh becak dari belakang.
Kukenal bunyi klakson waktu pertama naik becak itu. Sekaligus aku baru saja mengenal Pak Legenda. Ketika aku baru datang ke kota ini, aku perlu kamar indekos.
Dari tempat pendaftaran kuliah, aku dikasih tahu seorang satpam untuk datang ke persimpangan tugu dan mencari Pak Legenda yang memiliki becak Legenda. Sebenarnya tak susah mencarinya. Hanya saja aku belum tahu letak persimpangan tugu.
Begitu selesai pendaftaran ulang, aku segera keluar kampus dan mencari persimpangan tugu. Dan sejak dari pintu gerbang, aku bingung karena begitu banyak jalan. Lalu aku putuskan untuk makan soto sapi di depan gerbang kampus.
Dari penjual bakso, aku juga disuruh tanya ke Pak Legenda.
"Di sana," penjual bakso menunjuk ujung lorong, "Mentok, belok kanan, pasti terlihat tugu."
Aku singgah ke warung soto bukan karena sekadar ingin bertanya. Aku memang sudah lapar. Waktu menunjukan pukul 09.30 pagi. Bayangkan, dari bangun jam 04.00 untuk salat subuh. Lebih dari lima jam belum makan atau minum apa-apa.
Waktu makan, aku juga punya kepentingan lain. Aku tanyakan kamar indekos. Dan jawabannya adalah Pak Legenda.
"Di mana?"
"Di persimpangan tugu."
"Di mana itu? Maaf Mbak, aku orang baru."
Lalu ia menunjuk ke sana.
Aku segera selesaikan makan. Begitu selesai, aku bayar, terus aku ikuti lorong itu hingga ke ujung. Sampai mentok. Lalu aku belok kanan, lewat jalan yang kanan kiri penuh kotak kamar.
Dari jauh, sudah kutemukan tugu mini, yang di atasnya ditancap bambu runcing dengan warna merah putih. Tugu itu persis di tengah bundaran yang juga mini. Mungkin sedan saja tidak bisa melingkari bundaran itu.
Aku terus berjalan hingga benar-benar mendekat. Dengan mudah aku menemukan beca dengan tulisan L-e-g-e-n-d-a.
"Pak Legenda!"
Ia memandang ke arahku, sekilas. Hanya sekilas.
"Yuk, naik!"
Sejenak, aku heran. Ada apa ini, pikirku. Kita tanyakan benarkah ia Pak Legenda, ia langsung bilang: Yuk naik!
"Kamu mau yang seperti apa?" ia membuka pembicaraan. Aku sendiri mendengar dengusan napasnya. Mungkin ketika mulai mendayung, terasa berat. Ia sudah tua. Orangnya kecil. Pakaiannya seperti anak muda.
"Maksud Pak Legenda?" aku belum mengerti apa yang ditanyakannya.
"Kamu untuk apa mencariku?"
"Tadi saya dapat kabar dari sana untuk menanyakan Pak Legenda."
"Ya, tapi kamu mau yang seperti apa?" potongnya, masih dengan napas yang terengah.
"Saya tak ngerti."
"Trus mencariku untuk apa?"
"Mau menanyakan rumah. Maksudku kamar sewa."
Baru aku mengerti pertanyaannya. Padahal, kalau di tempat asal saya selalu ada penjelasan dulu menanyakan sesuatu. Tapi mungkin ia sudah berhadapan dengan banyak pencari kamar, pikirku.
"Mau yang seperti apa?"
"Apa memang ada pilihan?"
Eeit. Bunyi rem. Pak Legenda menghentikan becaknya di depan sebuah rumah besar tiga lantai. Dengan jelas terlihat petak-petak kamarnya, bersusun.
"Semuanya sudah komplit. Kamar mandi di dalam kamar. Cuci baju gratis. Sarapan sudah tersedia. Kamu hanya perlu menyediakan satu juta setengah per bulan. Kamu tidak akan sibuk lagi."
Aku menarik napas.
Pak Legenda naik lagi ke becaknya, ia mengayuh lagi. Ia seperti sudah tidak perlu penjelasan begitu melihatku menarik napas dalam.
Kami masuk kawasan pinggiran yang kanan kiri jalan ada saluran air yang tidak bersih. Saluran itu hanya digali. Di pinggirnya bertumpuh sampah. Kotoran manusia juga terlihat beberapa tumpuk dari pinggir aliran air got yang tak begitu deras.
Beberapa kali Pak Legenda harus menepikan becaknya karena ada orang yang lewat. Kulihat orang-orang di sana menegurnya. Dengan jelas mereka menyebut nama Pak Legenda. Artinya, ia sudah sering ke sini, pikirku.
Becak Pak Legenda memasuki lorong-lorong kecil dan benar-benar baru pertama ini kulihat. Aku sering membuang pandang karena melihat orang-orang yang buang hajat dipinggir jalan. Tidak peduli orang yang lalu lalang.
Eeit. Bunyi rem becak Pak Legenda.
"Di sini tiga puluh ribu sebulan. Air untuk sekali mandi dalam sehari, tak ada kakus."
"Jadi kalau buang hajat bagaimana?"
Pak Legenda tidak menjawab. Matanya memandang ke arahku.
Di depan kami melintas pengangkut sampah yang menebar bau yang menyengat. Aku menutup hidung.
Aku memilih naik lagi ke becak.
Pak Legenda kembali memutar becaknya. Ia kembali mengayuh. Ia menelusuri kawasan di sebelahnya. Kawasan ini juga kumuh, dan aku melihat banyak orang yang sedang buang hajat di saluran kecil yang mengalir air ke kampung sebelah.
"Air ini dipakai orang juga, Pak?"
"Ya, untuk semuanya, ya mencuci, ya mandi."
Aku bisa melihat di dalam saluran mengapung-ngapung kotoran manusia, bahkan bulu-bulu ayam. Pak Legenda mungkin tak memperhatikan aku sedang melihat kanan kiri air yang mengalir.
Pak Legenda terus saja mengayuh becaknya. Beberapa orang memberi kode jari tangan yang dilingkar.
"Apa artinya?" tanyaku.
"Penuh!"
"Bisa penuh juga ya lokasi ini?"
"Apa?"
"Lokasi seperti ini, bisa penuh juga ya?"
"Di sini tiga puluh ribu."
Becak Pak Legenda mengarah ke Jalan Abduh, lalu melewati Jalan Normal, sampai ke Jalan Sentral.
"Lha, kita ke mana, Pak?"
"Mengantarmu!"
Dalam hati, aku bertanya, kok tahu dia wisma tempatku menginap. Persis. Melewati gedung kesenian, ia belokkan becak ke halaman Wisma Sutra. Di sini aku berdiam untuk dua tiga malam sampai menemukan kamar indekos.
"Tak usah heran. Yang mencariku pasti nginap-nya di sini."
Aku tak berkata apa-apa. Di sini memang murah. Semalam hanya 30 ribu rupiah, dengan dua ranjang plus kasur yang sepertinya jarang dicuci. Bahkan, sebelum AC dinyalakan, aku mencium bau pesing yang sangat kental. Di sudut-sudut lantai puntung rokok berserakan.
Bagaimana bisa penghuni wisma membuang air kecil di mana-mana, pikirku. Atau ini seperti orang yang sedang berfantasi, melihat pasangannya yang sedang buang air kecil, pikirku lagi.
Entahlah.
"Aku balik, besok kuambil barangmu."
"Berapa, Pak?"
"Terserah kamu."
"Kok terserah saya. Bagaimana Bapak bisa makan kalau begitu?"
"Ah, makan itu kan tak ditentukan oleh kata terserah!"
"Bapak tidak makan?"
"Makan juga, tapi kata terserah tak mengurangi jatah makanku."
Kuambil selembar 50 ribu dan kukasih ke tangannya.
"Kurang lebih, Pak ya, maaf lho!"
Ia memasukkan uang ke sakunya. Tanpa dilihat. Dilirik pun tidak.
Segera ia mengayuh becak, membelah jalan sentral sampai hilang dari pandangan mata. Aku kembali masuk ke kamar wisma yang membuatku tak bisa makan. Aku hampir muntah berkali-kali dengan baunya. Bahkan di dinding bertuliskan kata-kata seronok, bergambar alat-alat kelamin dengan tinta pulpen.
Malam itu, aku benar-benar tidak bisa tidur. Baunya itu, membuatku tak bisa memejamkan mata.
Begitu azan subuh tiba, aku bangun mengambil wudu. Koran yang kubeli sudah kususun di lantai, di atasnya kugelar sajadah.
Tak berapa lama, Pak Legenda menjemputku. Kami membawa semua barang. Ia menghentikan becaknya di depan warung makan. Kami berdua makan, lalu menuju rumah di samping jembatan.
Semua barang dimasukkan ke kamar.
"Inilah kamarmu!"
Dindingnya beton yang sudah mulai terkelupas. Pintunya dari tripleks. Ada satu lemari, satu meja, satu kursi, satu kasur, satu bantal. Kamar persis di depan pintu. Kakus berada di belakang.
Aku memberi 20 ribu untuk Pak Legenda.
"Aku pamit!"
"Ya, Pak, terima kasih ya."
Aku langsung merebahkan badan di kasur yang sedikit padat. Mataku langsung terpejam. "Kamu harus jaga pintu kamar, jangan lupa menguncinya!"
Tiba-tiba aku terjaga menyaksikan pintu kamar sedang terbuka. Aku mimpi, pikirku, syukurlah. Lalu kulihat barang-barangku sudah tidak ada lagi.
(Banda Aceh)
Rahasia Bahagia
Medy Kurniawan
http://www.lampungpost.com/
MASIH ada segenggam kebahagiaan dalam diriku. Kebahagiaan yang selalu diiringi aliran air mata kerinduan akan hadirnya bidadari-bidadari tercinta dalam peristirahatan yang kekal kelak. Semakin basah hatiku oleh tangisan-tangisan jiwa, pengharapan yang tak pernah lelah akan datangnya cinta.
Dari dalam ruang tengah kudengar suara Maya, istriku, "Adek makannya yang banyak ya. Biar cepet gede dan bisa main dengan umi sama abi. Trus kita belajar ngaji, salat berjemaah, juga nangis bareng-bareng dalam munajat. "Sambil mengelus-elus perut yang semakin membesar, Maya terus saja berceloteh seakan sedang berkomunikasi langsung dengan janin yang dalam hitungan hari lagi akan menghirup udara dunia.
Memperhatikan perilaku Maya, aku hanya bisa tersenyum geli dan tentu saja ada bahagia di sudut hatiku ini. Bukankah sebuah perasaan yang tidak berlebihan karena bagi kami ini adalah sebuah penantian, ujian kesabaran dalam perkawinan yang hampir menginjak tahun ke delapan berupa kehadiran amanah Allah, ananda tercinta. Makhluk sombong manakah yang berani menolak kehadiran buah hati yang dengan keberadaannya kehidupan berumah tangga akan semakin berwarna. Warna-warni dalam kanvas kehidupan dalam bingkai takwa.
Betapa aku teringat hari-hari sebelum kehamilan Maya ini. Waktu yang begitu sepi. Aku yang selalu berada dalam rutinitas pekerjaanku larut dalam kesibukan dalam upaya melepaskan diri dari tekanan-tekanan opini negatif, baik dari keluarga besar ataupun dari tetangga. Apalagi Maya yang berkutat di rumah sembari menekuni bisnis rumahan, membayangkan pun aku tak sanggup bagaimana beban perasaannya ketika selalu ditanyakan perihal anak.
Bila pada tahun-tahun pertama pernikahan kami mungkin belum terlalu menjadi masalah, tapi ketika tahun ke tiga, ke empat, ke lima bahkan ke enam penantian itu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan kehadiran bayi kecil kami, hal yang sangat manusiawi kalau akhirnya kesedihanlah yang melanda.
Aku dan Maya hanya bisa berpasrah dan memiliki persepsi positif kepada Sang Maha Memberi. Mungkin kami adalah makhluk yang dipilih untuk menjalankan cobaan ini karena dinilai mampu untuk melewatinya. Oleh sebab itu, kami tidak pernah lelah menanti, mengadukan dan memohon dalam doa-doa di atas sajadah kami yang selalu basah oleh bulir-bulir bening dari mata kami tiap malamnya. Ini juga yang selalu menguatkan dan memberikan pancaran semangat batin yang luar biasa serta bentuk ketabahan untuk tidak egois dalam menyikapi alunan lirik-lirik kehidupan yang terus berputar walaupun tetap saja sebagai manusia biasa kesedihan itu tidak bisa sirna sepenuhnya.
"Umi lucu ya, dek. Masa adek lagi tidur diomelin," suaraku mengagetkan Maya.
"Ih, Abi itu yang lucu, belum lahir juga udah diajak ngobrol!" Maya menimpali.
Serentak kami terpingkal memecah keheningan malam. Tawa bahagia yang sudah lama tidak hadir di tengah-tengah kami.
02.30 dini hari.
"Bi, salat yuk. Bangun dong, nanti ga dapet doanya malaikat loh. Adek, bangunin abi gih. Abi-Abi, bangun dong." Maya menirukan suara anak-anak sembari memegangkan tanganku pada perut besarnya.
"Adek mau salat juga?" tanyaku dengan suara manja.
"Ih. Abi! Bangun dong!" Maya sok galak.
"Iya, iya. Abi bangun nih."
Dengan langkah berat kuayunkan kakiku ke kamar mandi. Saat kubasuh setiap mili anggota tubuh ini, kurasakan sejuknya air yang seakan-akan melunturkan kotoran-kotoran dosa yang turut mengalir bersama air wudu.
Rakaat kedua baru saja selesai. Sepintas kuamati wajah Maya yang terbungkus rapi dengan mukena. Sangat berbeda dengan keadaan sebelumnya. Wajahnya teduh dan meneduhkan siapa saja yang menatapnya, tanda penyerahan jiwa yang tulus. Sebuah bentuk kesadaran pada kesalahan yang tak perlu terulang. Keanggunannya terbias mengalahkan senyum Monalisa dalam lukisan yang melegenda itu.
Kami lalui rakaat demi rakaat dalam kekhusyukan yang berteman dingin malam. Hingga tak terasa subuh sudah mengintip dari lorong sang waktu. Aku pamit untuk salat subuh di masjid sebelum sempat terdengar suara azan.
"Zikirnya jangan lama-lama ya, Bi. Umi merasa ini sudah waktunya."
"Insya Allah." Kutinggalkan Maya sendiri yang dengan matanya terus mengikuti langkahku sampai kejauhan.
10.05
Semakin gelisah aku memandangi waktu yang terus berlari di pergelangan tanganku. Seorang bapak di sampingku hanya tersenyum tipis melihat kegelisahanku ini. Aku sudah mengalaminya beberapa kali, mungkin demikian kata hati sang bapak kepada diriku. Tiga orang anak di sampingnya. Yang tertua kurang lebih usia siswa SMA, sedangkan yang kedua dan ketiga masih umur anak SD kelas V dan III. Beberapa menit yang lalu kami terlibat dalam percakapan yang cukup akrab, tapi belakangan ia membiarkanku larut dalam pikiran dan gelisahku sendiri. Ingin rasanya menemani Maya dalam kesakitannya, menguatkan hatinya. Tapi wajah yang pasrah itu memohon kepadaku untuk menunggu di luar karena ia tidak ingin membuatku ikut merasakan derita. Hampir lupa, aku belum duha.
Setelah berpamitan dengan si bapak, aku melangkahkan kaki ke musala rumah sakit ini. Aku harus membantu Maya dengan cara yang lain, yang mungkin justru kekuatannya lebih kuat daripada kehadiranku di sisinya, doa.
Kupasrahkan diriku tunduk kepada-Nya dalam setiap rakaat. Kurasakan zikir alam semesta yang juga tak kuasa untuk melakukan prosesi sembah. Kurasakan sinar matahari di pagi hari, bulan yang setia mengiringi bumi, siang dan malam dengan rutinitasnya, kekayaan bumi, keluasan langit. Dan tak kutemukan satupun alasan untuk berbuat ingkar kepada Yang Mahatinggi. Semakin terlarut dalam semua itu, semakin aku merasa kecil sebagai seorang makhluk dan semakin berpasrah juga akan apa pun yang akan terjadi pada istri dan anakku.
"Ya Allah, hamba menyerahkan segala urusan hanya pada-Mu. Hidup mati kami, keselamatan istri dan anakku berada di tanganmu sepenuhnya. Tiada kuasaku sedikit pun untuk berpaling dari keputusan-Mu. Namun kiranya hamba memohon suatu kebahagian yang lengkap, mohon agar Engkau memberikan kami kesempatan untuk berkumpul sejenak di dunia-Mu dalam rangka saling membagi kasih sayang dan cinta dalam koridor keridaan-Mu. Kalaupun Engkau berkehendak lain, hamba rela apabila kami hanya bisa berkumpul di alam-Mu yang kekal kelak, amin." Kututup doaku dengan mengusap linangan air mata yang membasahi pipiku sedari tadi. Aku harus membasuh wajahku sebelum bertemu Maya di ruang persalinannya agar terlihat tegar.
Bismillahirrohmaanirrohiim. Kutinggalkan musala untuk kembali ke ruang persalinan. Kulihat bapak teman ngobrol tadi masih dengan ketiga anaknya. Serta-merta ia menyambutku dengan berita gembira darinya. "Alhamdulillah, Pak, anak dan istri saya selamat," katanya. Aku mengangguk dan memberikan seyumku yang tidak direkayasa.
"Mohon doanya untuk keselamatan istri dan anak saya juga, ya Pak."
"Insya Allah."
Kukeluarkan MP3 player dari sakuku. Headset kupasang di telinga. On, select menu, select folder Alquran, select file Q.S. 55 (Ar-Rahmaan), play. Mulai terdengar suara merdu Syekh Abdullah Al Mathroed melantunkan ayat-ayat suci. Sejuk hatiku menyimak ayat per ayat. Belum sampai ayat ke sepuluh, terdengar suara seseorang memanggil namaku.
"Suami dari ibu Maya?" suara tersebut terdengar lagi.
"Saya suster," aku mengacungkan tangan cepat-cepat seperti waktu SMP dulu ketika berebut pertanyaan dari guru biologi.
"Benar Anda suami dari Ibu Maya?" perawat wanita berseragam putih-putih itu mengulangi pertanyaannya.
"Benar saya, Sus. Bagaimana keadaan istri dan anak saya Suster?" hatiku diliputi penasaran.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Maaf, Pak, kami sudah berusaha dengan keras, tapi takdir Allah berkehendak agar sang ibu mendahului bapak dan kita semua. Anak bapak perempuan, sehat, dan lahir dengan normal."
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun," tak kuasa air mataku langsung tumpah.
"Silakan kalau bapak mau masuk ke dalam," suster itu menutup percakapan kami.
Berat langkahku menuju ke tubuh Maya yang jiwanya telah menunaikan janji untuk kembali kepada Rabbnya. Tubuh dan jiwa yang belum lama terpisah itu telah menorehkan berjuta memori dalam kehidupanku. Tubuh dan jiwa yang selama ini menjadi penopangku, penghapus kerinduanku, tempat berbagi kesenangan dan kasih sayang, juga mencurahkan segala duka yang menimpa.
Pandanganku makin kabur oleh air mata ketika jarak kami kurang dari satu meter. Beginikah merasakan sebuah kehilangan atau lebih tepatnya terpisah dari yang selama ini kita rasakan sebagai milik kita? Buru-buru aku beristigfar, bukankah Allah yang lebih berhak mengambil yang memang milik-Nya? Kita tidak memiliki hak sedikit pun untuk menolaknya! Bukankah lafal innalillahi wa inna ilaihi rojiun yang tadi keluar dari bibirku merupakan manifestasi dari kesadaran ini! Bukankah isi doaku tadi adalah bentuk kepasrahan atas apa pun keputusan-Nya! Begitulah pertanyaan-pertanyaan itu timbul begitu saja yang membuat lisanku semakin memperbanyak memohonkan tobat atas kekeliruanku beberapa detik yang lalu.
Kupandangi wajah Maya lekat, dadaku semakin bergemuruh. Potongan-potongan mozaik memori tentang Maya tiba-tiba berkeliaran di atas kepalaku. Lalu ada suara yang hanya terdengar oleh telingaku yang mengingatkan bahwa aku tidak boleh larut dalam suasana kesedihan ini karena hanya akan memberatkan jiwa yang baru saja dicabut Izroil ini. Hatiku kemudian melakukan monolognya dalam diam, aku ikhlas ya Rabb.
Kemudian doaku mengalir, "Ya Allah, terimalah dia di sisi-Mu sebagai hamba yang berserah diri, sebagai istri yang tidak pernah membangkang pada suaminya, sebagai ibu yang mengorbankan jiwanya untuk anaknya, sebagai syahidah yang akan menjadi bidadariku di surga-Mu kelak. Kumpulkanlah kami kembali bersama orang-orang yang kami cintai, bersama rasul-Mu, bersama orang-orang yang takwa kepada-Mu. Kabulkanlah ya Rabb, amin."
Kuedarkan pandanganku ke penjuru ruangan ini. Ada, itu dia bayiku! Kudekati baby box dengan hati yang tetap basah. Subhanallah-subhanallah-subhanallah tak berhenti aku menyucikan nama-Mu. Wajah cilik ini, matanya, hidungnya, bibirnya, tidak ada yang berbeda dengan milik Maya, ibunya! Lihat, dia tersenyum padaku! Allahu akbar! Senyum inilah yang bagiku mengalahkan monalisa dalam lukisan yang melegenda itu! Sangat identik! Inikah rencana-Mu ya Allah...
http://www.lampungpost.com/
MASIH ada segenggam kebahagiaan dalam diriku. Kebahagiaan yang selalu diiringi aliran air mata kerinduan akan hadirnya bidadari-bidadari tercinta dalam peristirahatan yang kekal kelak. Semakin basah hatiku oleh tangisan-tangisan jiwa, pengharapan yang tak pernah lelah akan datangnya cinta.
Dari dalam ruang tengah kudengar suara Maya, istriku, "Adek makannya yang banyak ya. Biar cepet gede dan bisa main dengan umi sama abi. Trus kita belajar ngaji, salat berjemaah, juga nangis bareng-bareng dalam munajat. "Sambil mengelus-elus perut yang semakin membesar, Maya terus saja berceloteh seakan sedang berkomunikasi langsung dengan janin yang dalam hitungan hari lagi akan menghirup udara dunia.
Memperhatikan perilaku Maya, aku hanya bisa tersenyum geli dan tentu saja ada bahagia di sudut hatiku ini. Bukankah sebuah perasaan yang tidak berlebihan karena bagi kami ini adalah sebuah penantian, ujian kesabaran dalam perkawinan yang hampir menginjak tahun ke delapan berupa kehadiran amanah Allah, ananda tercinta. Makhluk sombong manakah yang berani menolak kehadiran buah hati yang dengan keberadaannya kehidupan berumah tangga akan semakin berwarna. Warna-warni dalam kanvas kehidupan dalam bingkai takwa.
Betapa aku teringat hari-hari sebelum kehamilan Maya ini. Waktu yang begitu sepi. Aku yang selalu berada dalam rutinitas pekerjaanku larut dalam kesibukan dalam upaya melepaskan diri dari tekanan-tekanan opini negatif, baik dari keluarga besar ataupun dari tetangga. Apalagi Maya yang berkutat di rumah sembari menekuni bisnis rumahan, membayangkan pun aku tak sanggup bagaimana beban perasaannya ketika selalu ditanyakan perihal anak.
Bila pada tahun-tahun pertama pernikahan kami mungkin belum terlalu menjadi masalah, tapi ketika tahun ke tiga, ke empat, ke lima bahkan ke enam penantian itu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan kehadiran bayi kecil kami, hal yang sangat manusiawi kalau akhirnya kesedihanlah yang melanda.
Aku dan Maya hanya bisa berpasrah dan memiliki persepsi positif kepada Sang Maha Memberi. Mungkin kami adalah makhluk yang dipilih untuk menjalankan cobaan ini karena dinilai mampu untuk melewatinya. Oleh sebab itu, kami tidak pernah lelah menanti, mengadukan dan memohon dalam doa-doa di atas sajadah kami yang selalu basah oleh bulir-bulir bening dari mata kami tiap malamnya. Ini juga yang selalu menguatkan dan memberikan pancaran semangat batin yang luar biasa serta bentuk ketabahan untuk tidak egois dalam menyikapi alunan lirik-lirik kehidupan yang terus berputar walaupun tetap saja sebagai manusia biasa kesedihan itu tidak bisa sirna sepenuhnya.
"Umi lucu ya, dek. Masa adek lagi tidur diomelin," suaraku mengagetkan Maya.
"Ih, Abi itu yang lucu, belum lahir juga udah diajak ngobrol!" Maya menimpali.
Serentak kami terpingkal memecah keheningan malam. Tawa bahagia yang sudah lama tidak hadir di tengah-tengah kami.
02.30 dini hari.
"Bi, salat yuk. Bangun dong, nanti ga dapet doanya malaikat loh. Adek, bangunin abi gih. Abi-Abi, bangun dong." Maya menirukan suara anak-anak sembari memegangkan tanganku pada perut besarnya.
"Adek mau salat juga?" tanyaku dengan suara manja.
"Ih. Abi! Bangun dong!" Maya sok galak.
"Iya, iya. Abi bangun nih."
Dengan langkah berat kuayunkan kakiku ke kamar mandi. Saat kubasuh setiap mili anggota tubuh ini, kurasakan sejuknya air yang seakan-akan melunturkan kotoran-kotoran dosa yang turut mengalir bersama air wudu.
Rakaat kedua baru saja selesai. Sepintas kuamati wajah Maya yang terbungkus rapi dengan mukena. Sangat berbeda dengan keadaan sebelumnya. Wajahnya teduh dan meneduhkan siapa saja yang menatapnya, tanda penyerahan jiwa yang tulus. Sebuah bentuk kesadaran pada kesalahan yang tak perlu terulang. Keanggunannya terbias mengalahkan senyum Monalisa dalam lukisan yang melegenda itu.
Kami lalui rakaat demi rakaat dalam kekhusyukan yang berteman dingin malam. Hingga tak terasa subuh sudah mengintip dari lorong sang waktu. Aku pamit untuk salat subuh di masjid sebelum sempat terdengar suara azan.
"Zikirnya jangan lama-lama ya, Bi. Umi merasa ini sudah waktunya."
"Insya Allah." Kutinggalkan Maya sendiri yang dengan matanya terus mengikuti langkahku sampai kejauhan.
10.05
Semakin gelisah aku memandangi waktu yang terus berlari di pergelangan tanganku. Seorang bapak di sampingku hanya tersenyum tipis melihat kegelisahanku ini. Aku sudah mengalaminya beberapa kali, mungkin demikian kata hati sang bapak kepada diriku. Tiga orang anak di sampingnya. Yang tertua kurang lebih usia siswa SMA, sedangkan yang kedua dan ketiga masih umur anak SD kelas V dan III. Beberapa menit yang lalu kami terlibat dalam percakapan yang cukup akrab, tapi belakangan ia membiarkanku larut dalam pikiran dan gelisahku sendiri. Ingin rasanya menemani Maya dalam kesakitannya, menguatkan hatinya. Tapi wajah yang pasrah itu memohon kepadaku untuk menunggu di luar karena ia tidak ingin membuatku ikut merasakan derita. Hampir lupa, aku belum duha.
Setelah berpamitan dengan si bapak, aku melangkahkan kaki ke musala rumah sakit ini. Aku harus membantu Maya dengan cara yang lain, yang mungkin justru kekuatannya lebih kuat daripada kehadiranku di sisinya, doa.
Kupasrahkan diriku tunduk kepada-Nya dalam setiap rakaat. Kurasakan zikir alam semesta yang juga tak kuasa untuk melakukan prosesi sembah. Kurasakan sinar matahari di pagi hari, bulan yang setia mengiringi bumi, siang dan malam dengan rutinitasnya, kekayaan bumi, keluasan langit. Dan tak kutemukan satupun alasan untuk berbuat ingkar kepada Yang Mahatinggi. Semakin terlarut dalam semua itu, semakin aku merasa kecil sebagai seorang makhluk dan semakin berpasrah juga akan apa pun yang akan terjadi pada istri dan anakku.
"Ya Allah, hamba menyerahkan segala urusan hanya pada-Mu. Hidup mati kami, keselamatan istri dan anakku berada di tanganmu sepenuhnya. Tiada kuasaku sedikit pun untuk berpaling dari keputusan-Mu. Namun kiranya hamba memohon suatu kebahagian yang lengkap, mohon agar Engkau memberikan kami kesempatan untuk berkumpul sejenak di dunia-Mu dalam rangka saling membagi kasih sayang dan cinta dalam koridor keridaan-Mu. Kalaupun Engkau berkehendak lain, hamba rela apabila kami hanya bisa berkumpul di alam-Mu yang kekal kelak, amin." Kututup doaku dengan mengusap linangan air mata yang membasahi pipiku sedari tadi. Aku harus membasuh wajahku sebelum bertemu Maya di ruang persalinannya agar terlihat tegar.
Bismillahirrohmaanirrohiim. Kutinggalkan musala untuk kembali ke ruang persalinan. Kulihat bapak teman ngobrol tadi masih dengan ketiga anaknya. Serta-merta ia menyambutku dengan berita gembira darinya. "Alhamdulillah, Pak, anak dan istri saya selamat," katanya. Aku mengangguk dan memberikan seyumku yang tidak direkayasa.
"Mohon doanya untuk keselamatan istri dan anak saya juga, ya Pak."
"Insya Allah."
Kukeluarkan MP3 player dari sakuku. Headset kupasang di telinga. On, select menu, select folder Alquran, select file Q.S. 55 (Ar-Rahmaan), play. Mulai terdengar suara merdu Syekh Abdullah Al Mathroed melantunkan ayat-ayat suci. Sejuk hatiku menyimak ayat per ayat. Belum sampai ayat ke sepuluh, terdengar suara seseorang memanggil namaku.
"Suami dari ibu Maya?" suara tersebut terdengar lagi.
"Saya suster," aku mengacungkan tangan cepat-cepat seperti waktu SMP dulu ketika berebut pertanyaan dari guru biologi.
"Benar Anda suami dari Ibu Maya?" perawat wanita berseragam putih-putih itu mengulangi pertanyaannya.
"Benar saya, Sus. Bagaimana keadaan istri dan anak saya Suster?" hatiku diliputi penasaran.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Maaf, Pak, kami sudah berusaha dengan keras, tapi takdir Allah berkehendak agar sang ibu mendahului bapak dan kita semua. Anak bapak perempuan, sehat, dan lahir dengan normal."
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun," tak kuasa air mataku langsung tumpah.
"Silakan kalau bapak mau masuk ke dalam," suster itu menutup percakapan kami.
Berat langkahku menuju ke tubuh Maya yang jiwanya telah menunaikan janji untuk kembali kepada Rabbnya. Tubuh dan jiwa yang belum lama terpisah itu telah menorehkan berjuta memori dalam kehidupanku. Tubuh dan jiwa yang selama ini menjadi penopangku, penghapus kerinduanku, tempat berbagi kesenangan dan kasih sayang, juga mencurahkan segala duka yang menimpa.
Pandanganku makin kabur oleh air mata ketika jarak kami kurang dari satu meter. Beginikah merasakan sebuah kehilangan atau lebih tepatnya terpisah dari yang selama ini kita rasakan sebagai milik kita? Buru-buru aku beristigfar, bukankah Allah yang lebih berhak mengambil yang memang milik-Nya? Kita tidak memiliki hak sedikit pun untuk menolaknya! Bukankah lafal innalillahi wa inna ilaihi rojiun yang tadi keluar dari bibirku merupakan manifestasi dari kesadaran ini! Bukankah isi doaku tadi adalah bentuk kepasrahan atas apa pun keputusan-Nya! Begitulah pertanyaan-pertanyaan itu timbul begitu saja yang membuat lisanku semakin memperbanyak memohonkan tobat atas kekeliruanku beberapa detik yang lalu.
Kupandangi wajah Maya lekat, dadaku semakin bergemuruh. Potongan-potongan mozaik memori tentang Maya tiba-tiba berkeliaran di atas kepalaku. Lalu ada suara yang hanya terdengar oleh telingaku yang mengingatkan bahwa aku tidak boleh larut dalam suasana kesedihan ini karena hanya akan memberatkan jiwa yang baru saja dicabut Izroil ini. Hatiku kemudian melakukan monolognya dalam diam, aku ikhlas ya Rabb.
Kemudian doaku mengalir, "Ya Allah, terimalah dia di sisi-Mu sebagai hamba yang berserah diri, sebagai istri yang tidak pernah membangkang pada suaminya, sebagai ibu yang mengorbankan jiwanya untuk anaknya, sebagai syahidah yang akan menjadi bidadariku di surga-Mu kelak. Kumpulkanlah kami kembali bersama orang-orang yang kami cintai, bersama rasul-Mu, bersama orang-orang yang takwa kepada-Mu. Kabulkanlah ya Rabb, amin."
Kuedarkan pandanganku ke penjuru ruangan ini. Ada, itu dia bayiku! Kudekati baby box dengan hati yang tetap basah. Subhanallah-subhanallah-subhanallah tak berhenti aku menyucikan nama-Mu. Wajah cilik ini, matanya, hidungnya, bibirnya, tidak ada yang berbeda dengan milik Maya, ibunya! Lihat, dia tersenyum padaku! Allahu akbar! Senyum inilah yang bagiku mengalahkan monalisa dalam lukisan yang melegenda itu! Sangat identik! Inikah rencana-Mu ya Allah...
Pupusnya Mimpi Sabila
Iskandar Saputra
http://www.lampungpost.com/
AKU tetap bunga seperti yang kau kenal dulu. Mungkin tak seranum kala warnaku mulai merekah dan menebar aroma wangi. Suatu pesona yang memikatmu kala pertama kau memandangku. Di pagi hari bersamaan dengan kemilau sinar mentari yang terbiaskan oleh butiran embun di kelopakku. Memang, kini aku tak seputih melati atau seelok pelangi seperti dulu kau panggil aku.
"Kau akan menyesal, Mas."
"Kenapa?" Bima memandang lekat wajah gadis di depannya. Sorot matanya tajam mencari jawab atas misteri yang memenuhi pikirannya.
"Aku bukan Sabila yang dulu pernah kau kagumi. Waktu telah membawa kita pada tempat yang berbeda. Tak pantas rasanya aku berada disampingmu lagi. Aku telah...."
"Cukup. Percayalah, apa pun yang pernah kau alami, kau tetap bunga yang menghiasi taman hatiku. Menjadi penyejuk di saat hatiku gersang dan penyambung semangat hidupku."
"Tapi, Mas."
"Bila, sampai kapanpun keberadaanmu tak akan pernah tergantikan. Aku ingin merajut kembali asa yang sempat terkoyak bersamamu."
Suasana berubah haru. Aku tak mampu menatap matanya. Ketulusannya menerima apa adanya diriku membuat hatiku luluh. Hatiku serasa terbasuh oleh air telaga. Kubiarkan air mata ini mengalir membanjiri kedua belah pipiku. Mungkin hanya menangislah yang mampu aku lakukan. Sungguh, mengucap sepatah kata pun aku tak bisa. Lidahku serasa kelu.
Gerimis malam itu terus berjatuhan. Menjadi nyanyi sunyi di antara gelap malam. Berpadu dengan rinai air mataku. Puncak dari sebuah penyesalan. Aku gadis kampung yang kini sudah kehilangan kekampungannya. Keputusanku menjadi tenaga kerja di luar negeri mengantarkanku pada kehidupan gemerlap. Dunia baru yang tak pernah terbayang sebelumnya, bahkan dalam mimpi sekalipun.
Demi mewujudkan sebongkah mimpi yang pernah tergenggam, aku rela meninggalkan tanah kelahiran dan sanak keluarga di kampung. Di negeri seberang yang penuh impian, di sana sejuta harapan kulabuhkan. Bayang-bayang kehidupan yang lebih baik seakan nyata di depan mata. Sayang, semua hanya bayang-bayang yang tak selamanya bisa tergapai. Khayalan kerja enak dengan gaji besar ternyata pupus sebelum berkembang, yang ada hanya ratapan nestapa dengan serangkaian sesal.
***
Sengaja kulempar pandangan jauh keluar. Menikmati rintik-rintik air hujan dari balik jendela kapal. Ada kesedihan yang mengimpit dadaku. Luka yang dulu telah kering seakan berdarah kembali. Kenangan pahit selama di negeri seberang terlintas diingatan. Hari-hari di mana matahari tak bersinar dan angin berhenti berembus. Dunia yang semula penuh canda tawa tiba-tiba berubah sunyi tanpa suara. Jiwa terasa mati suri dan raga bagai boneka yang bisa dimainkan semua orang.
Aku baru sadar kalau telah masuk perangkap setelah agen yang membawaku menyerahkanku pada seorang warga keturunan. Setibanya di ibu kota negara tetangga tersebut aku disekap dalam penampungan. Tempat yang sebenarnya tak layak huni. Ruangannya sempit, pengap dan usang. Rupanya sudah banyak TKW asal Indonesia yang lebih dulu tertampung di sini, bahkan ada yang sudah bertahun-tahun. Dari wajah mereka kudapatkan isyarat keputusasaan. Sedih, sesal dan bosan mengkristal seiring bergulirnya waktu. Terpaksa menjalani kehidupan dengan segala keterbatasan, bak seekor pipit dalam sangkar baja.
Janji manis untuk mempekerjakanku di sebuah industri tekstil ternyata hanya umpan belaka. Biaya yang semula diminta untuk mengurus paspor dan surat izin pun tak tahu ke mana larinya. Aku seperti buronan di negeri orang. Diperbudak tanpa bisa melawan. Bagaimana tidak, keberadaanku yang ilegal ini menempatkanku pada kondisi serbasalah. Mau kabur dari penampungan pasti aku ditangkap polisi yang rutin melakukan razia. Di negeri ini petugas keamanannya tak kenal ampun. Apalagi pemerintah setempat sedang gencar-gencarnya mendeportasi para imigran gelap, termasuk aku.
Dengan linangan air mata terpaksa kujalani profesi nista ini. Kurelakan mahkota yang bertahun-tahun aku jaga dirampas begitu saja. Hari itu lilin di hatiku benar-benar padam. Andai tak takut bertambah dosa, sudah kucukupkan hidupku di dunia. Apalah artinya hidup jika tanpa harapan. Kukuatkan hatiku menerima cobaan ini. Ada satu keyakinan yang mampu membuatku bertahan: Tuhan tidak akan membebani hambaNya di luar batas kemampuan yang ia miliki. Aku yakin suatu saat aku bisa keluar, tak selamanya badai bertiup.
Kenekatanku bekerja di luar negeri karena impitan ekonomi keluarga yang tak kunjung selesai. Keluargaku terbelit utang setelah ayah memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa. Semua sawah dan tabungan ludes. Kekuasaan telah membuat ayah lupa diri. Ia bayar orang-orang suruhan untuk mempengaruhi warga agar mau memilihnya. Berbagai cara ditempuh, tak peduli harus mempertaruhkan semua harta yang ada. Sayang, dalam pemilihan ayah kalah. Di mata warga ayah memang bukanlah sosok pemimpin yang ideal.
Kekalahan ini membuat ayah frustrasi. Mungkin karena ia belum bisa menerima kenyataan. Ia jadi sakit-sakitan. Kondisi ini membuat beban keluarga jadi semakin bertambah. Selain untuk kebutuhan hidup sehari-hari, kami harus mengeluarkan uang ekstra untuk biaya pengobatan ayah. Belum lagi biaya sekolah kedua adikku dan tagihan utang yang harus dibayar setiap bulan. Keluargaku benar-benar kehilangan tulang punggung. Kesehatan ayah yang semakin menurun memaksa ibu bekerja serabutan. Pekerjaan kasar yang dulu tak pernah ibu sentuh terpaksa ia kerjakan. Itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sebagai anak pertama aku tak bisa tinggal diam. Perih rasanya jika harus melihat ibu yang sudah setua itu diangkut truk menuju perkebunan kopi. Berangkat dipagi buta dan pulang menjelang magrib bersama buruh petik kopi lainnya. Bekerja sebagai buruh cuci baju pun sempat aku lakoni. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Joni, agen TKI yang menawariku bekerja di luar negeri. Saat itu aku tak sempat berpikir panjang. Mendengar iming-iming akan mendapat upah besar, aku semakin tergiur. Apalagi kedua orang tuaku pun ikut mendukung. Di tengah kesulitan ekonomi, kami saling patungan untuk membiayai keberangkatanku ke luar negeri. Tabungan yang aku sisihkan untuk bekal berkeluarga dengan Mas Bima terpaksa diambil. Kekurangannya kami pinjam dari beberapa saudara dekat.
Semua berharap padaku. Setidaknya dari upah itu nantinya aku bisa melunasi hutang dan membantu biaya sekolah kedua adikku. Keberangkatanku pun diwarnai tangis haru. Begitu berat mereka melepasku. Untuk terakhir kali kupandangi wajah-wajah polos penuh harap itu. Sebuah pengingat yang kelak bisa menjadi penyemangatku selama di luar negeri.
Ternyata tak selamanya mimpi itu indah. Bukannya upah yang aku peroleh, melainkan siksaan dan perlakukan yang tak manusiawi. Bertahun-tahun aku bekerja seperti sapi perahan, berpindah dari satu "tangan" ke "tangan" yang lain. Memang untuk itu aku dibayar mahal, tapi bukan aku yang menerima hasilnya. Pengelola penampunganlah yang tertawa di antara rintihan tangisku. Saat itu semua impian sirna sudah. Bermacam cara aku lakukan agar bisa keluar tapi selalu gagal. Penampungan selalu dijaga ketat. Tak mudah melewati mereka. Akhirnya takdir menuntunku meninggalkan tempat ini. Aku bisa kabur di saat penjagaan lengah.
"Minumlah dulu, barangkali bisa sedikit menenangkan pikiranmu." Suara Bima membuyarkan lamunanku. Ia duduk di sampingku seraya menyodorkan segelas air putih.
"Makasih. Sebenarnya aku malu, aku sudah terlalu banyak merepotkan Mas."
"Tidak. Semua yang aku lakukan tidak ada artinya dibandingkan dengan kehadiranmu."
"Ah, Mas." Sekali lagi kutatap bola matanya yang bersinar hangat. Ada kebahagiaan terpancar di sana. Entah mengapa ia masih saja seperti dulu, sama seperti diawal kami merajut cinta. Lima tahun lamanya kami saling setia sampai akhirnya kuputuskan untuk menjadi TKW di luar negeri.
"Kenapa kita tidak menikah saja?"
Sabila menarik napas dalam-dalam, menahannya, dan melepasnya perlahan.
"Untuk apa. Aku tak mau membawamu larut dalam persoalanku. Biarlah keadaan ini tetap menjadi milikku, bagian dari hidupku."
"Izinkan aku menjadi setengah jiwamu. Dermaga tempat di mana kau labuhkan sampan cintamu. Saat gelombang dan badai kehidupan memorak-morandakan semua mimpimu. Di sana dadaku terbentang luas, ladang di mana kita bisa menyemaikan benih cinta kita."
"Sssstttt." Sabila meletakkan jarinya di bibir Bima. Ia biarkan Bima meraih jemari itu dan mengecupnya. Saat itu Sabila merasakan betapa tulusnya cinta Bima. Sebuah pengharapan yang membawa keteduhan bagi hatinya yang gersang akan kasih.
Ah andai semua masih seperti dulu. Andai dokter tak memvonis umurku sepanjang hitungan jari tangan. Dan andai penyakit "memalukan" ini tak hinggap ditubuhku. Sudah barang tentu akan kubalas cinta Bima. Tapi kini, semua itu tak mungkin untuk dijalani. Aku hanya akan menjadi aib. Biarlah kujalani takdir hidupku meski tanpa cintanya. Pertemuan di kapal itu menjadi pertemuan terakhirku dengan Bima. Sengaja aku menghindar darinya. Hanya kukirimkan sebuah pesan pendek agar melupakanku. Aku tak ingin melihatnya bertambah sakit ketika harus mengetahui keadaanku sebenarnya. Belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit yang aku derita.
Sambil kupaksa untuk terus melupakan Bima, aku mulai menyiapkan diri menghadapi keluargaku. Aku sadar kehadiranku akan membawa suka dan duka. Masih jelas diingatanku bagaimana kondisi ekonomi keluargaku saat kutinggalkan. Belum lagi berbagai utang yang pembayarannya menunggu kedatanganku. Tapi kini, yang aku bawa bukanlah uang melainkan aib dan penyakit. Meski tak pantas jika harus menyalahkan takdir yang membawaku pada alur lain yang tak dapat kuhindari.
***
Begitu cepat waktu berlalu. Hitungan jari tangan telah habis atas masanya. Sabila tak lagi menangis. Ia berhenti merintih. Koma menghilangkan rasa sakit yang dialaminya. Mungkin tak sampai senja baginya untuk menutup mata. Ia akan pergi. Menunggu Bima di ruang yang berbeda. Di sana cinta abadi dan mimpinya akan tercapai.
http://www.lampungpost.com/
AKU tetap bunga seperti yang kau kenal dulu. Mungkin tak seranum kala warnaku mulai merekah dan menebar aroma wangi. Suatu pesona yang memikatmu kala pertama kau memandangku. Di pagi hari bersamaan dengan kemilau sinar mentari yang terbiaskan oleh butiran embun di kelopakku. Memang, kini aku tak seputih melati atau seelok pelangi seperti dulu kau panggil aku.
"Kau akan menyesal, Mas."
"Kenapa?" Bima memandang lekat wajah gadis di depannya. Sorot matanya tajam mencari jawab atas misteri yang memenuhi pikirannya.
"Aku bukan Sabila yang dulu pernah kau kagumi. Waktu telah membawa kita pada tempat yang berbeda. Tak pantas rasanya aku berada disampingmu lagi. Aku telah...."
"Cukup. Percayalah, apa pun yang pernah kau alami, kau tetap bunga yang menghiasi taman hatiku. Menjadi penyejuk di saat hatiku gersang dan penyambung semangat hidupku."
"Tapi, Mas."
"Bila, sampai kapanpun keberadaanmu tak akan pernah tergantikan. Aku ingin merajut kembali asa yang sempat terkoyak bersamamu."
Suasana berubah haru. Aku tak mampu menatap matanya. Ketulusannya menerima apa adanya diriku membuat hatiku luluh. Hatiku serasa terbasuh oleh air telaga. Kubiarkan air mata ini mengalir membanjiri kedua belah pipiku. Mungkin hanya menangislah yang mampu aku lakukan. Sungguh, mengucap sepatah kata pun aku tak bisa. Lidahku serasa kelu.
Gerimis malam itu terus berjatuhan. Menjadi nyanyi sunyi di antara gelap malam. Berpadu dengan rinai air mataku. Puncak dari sebuah penyesalan. Aku gadis kampung yang kini sudah kehilangan kekampungannya. Keputusanku menjadi tenaga kerja di luar negeri mengantarkanku pada kehidupan gemerlap. Dunia baru yang tak pernah terbayang sebelumnya, bahkan dalam mimpi sekalipun.
Demi mewujudkan sebongkah mimpi yang pernah tergenggam, aku rela meninggalkan tanah kelahiran dan sanak keluarga di kampung. Di negeri seberang yang penuh impian, di sana sejuta harapan kulabuhkan. Bayang-bayang kehidupan yang lebih baik seakan nyata di depan mata. Sayang, semua hanya bayang-bayang yang tak selamanya bisa tergapai. Khayalan kerja enak dengan gaji besar ternyata pupus sebelum berkembang, yang ada hanya ratapan nestapa dengan serangkaian sesal.
***
Sengaja kulempar pandangan jauh keluar. Menikmati rintik-rintik air hujan dari balik jendela kapal. Ada kesedihan yang mengimpit dadaku. Luka yang dulu telah kering seakan berdarah kembali. Kenangan pahit selama di negeri seberang terlintas diingatan. Hari-hari di mana matahari tak bersinar dan angin berhenti berembus. Dunia yang semula penuh canda tawa tiba-tiba berubah sunyi tanpa suara. Jiwa terasa mati suri dan raga bagai boneka yang bisa dimainkan semua orang.
Aku baru sadar kalau telah masuk perangkap setelah agen yang membawaku menyerahkanku pada seorang warga keturunan. Setibanya di ibu kota negara tetangga tersebut aku disekap dalam penampungan. Tempat yang sebenarnya tak layak huni. Ruangannya sempit, pengap dan usang. Rupanya sudah banyak TKW asal Indonesia yang lebih dulu tertampung di sini, bahkan ada yang sudah bertahun-tahun. Dari wajah mereka kudapatkan isyarat keputusasaan. Sedih, sesal dan bosan mengkristal seiring bergulirnya waktu. Terpaksa menjalani kehidupan dengan segala keterbatasan, bak seekor pipit dalam sangkar baja.
Janji manis untuk mempekerjakanku di sebuah industri tekstil ternyata hanya umpan belaka. Biaya yang semula diminta untuk mengurus paspor dan surat izin pun tak tahu ke mana larinya. Aku seperti buronan di negeri orang. Diperbudak tanpa bisa melawan. Bagaimana tidak, keberadaanku yang ilegal ini menempatkanku pada kondisi serbasalah. Mau kabur dari penampungan pasti aku ditangkap polisi yang rutin melakukan razia. Di negeri ini petugas keamanannya tak kenal ampun. Apalagi pemerintah setempat sedang gencar-gencarnya mendeportasi para imigran gelap, termasuk aku.
Dengan linangan air mata terpaksa kujalani profesi nista ini. Kurelakan mahkota yang bertahun-tahun aku jaga dirampas begitu saja. Hari itu lilin di hatiku benar-benar padam. Andai tak takut bertambah dosa, sudah kucukupkan hidupku di dunia. Apalah artinya hidup jika tanpa harapan. Kukuatkan hatiku menerima cobaan ini. Ada satu keyakinan yang mampu membuatku bertahan: Tuhan tidak akan membebani hambaNya di luar batas kemampuan yang ia miliki. Aku yakin suatu saat aku bisa keluar, tak selamanya badai bertiup.
Kenekatanku bekerja di luar negeri karena impitan ekonomi keluarga yang tak kunjung selesai. Keluargaku terbelit utang setelah ayah memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa. Semua sawah dan tabungan ludes. Kekuasaan telah membuat ayah lupa diri. Ia bayar orang-orang suruhan untuk mempengaruhi warga agar mau memilihnya. Berbagai cara ditempuh, tak peduli harus mempertaruhkan semua harta yang ada. Sayang, dalam pemilihan ayah kalah. Di mata warga ayah memang bukanlah sosok pemimpin yang ideal.
Kekalahan ini membuat ayah frustrasi. Mungkin karena ia belum bisa menerima kenyataan. Ia jadi sakit-sakitan. Kondisi ini membuat beban keluarga jadi semakin bertambah. Selain untuk kebutuhan hidup sehari-hari, kami harus mengeluarkan uang ekstra untuk biaya pengobatan ayah. Belum lagi biaya sekolah kedua adikku dan tagihan utang yang harus dibayar setiap bulan. Keluargaku benar-benar kehilangan tulang punggung. Kesehatan ayah yang semakin menurun memaksa ibu bekerja serabutan. Pekerjaan kasar yang dulu tak pernah ibu sentuh terpaksa ia kerjakan. Itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sebagai anak pertama aku tak bisa tinggal diam. Perih rasanya jika harus melihat ibu yang sudah setua itu diangkut truk menuju perkebunan kopi. Berangkat dipagi buta dan pulang menjelang magrib bersama buruh petik kopi lainnya. Bekerja sebagai buruh cuci baju pun sempat aku lakoni. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Joni, agen TKI yang menawariku bekerja di luar negeri. Saat itu aku tak sempat berpikir panjang. Mendengar iming-iming akan mendapat upah besar, aku semakin tergiur. Apalagi kedua orang tuaku pun ikut mendukung. Di tengah kesulitan ekonomi, kami saling patungan untuk membiayai keberangkatanku ke luar negeri. Tabungan yang aku sisihkan untuk bekal berkeluarga dengan Mas Bima terpaksa diambil. Kekurangannya kami pinjam dari beberapa saudara dekat.
Semua berharap padaku. Setidaknya dari upah itu nantinya aku bisa melunasi hutang dan membantu biaya sekolah kedua adikku. Keberangkatanku pun diwarnai tangis haru. Begitu berat mereka melepasku. Untuk terakhir kali kupandangi wajah-wajah polos penuh harap itu. Sebuah pengingat yang kelak bisa menjadi penyemangatku selama di luar negeri.
Ternyata tak selamanya mimpi itu indah. Bukannya upah yang aku peroleh, melainkan siksaan dan perlakukan yang tak manusiawi. Bertahun-tahun aku bekerja seperti sapi perahan, berpindah dari satu "tangan" ke "tangan" yang lain. Memang untuk itu aku dibayar mahal, tapi bukan aku yang menerima hasilnya. Pengelola penampunganlah yang tertawa di antara rintihan tangisku. Saat itu semua impian sirna sudah. Bermacam cara aku lakukan agar bisa keluar tapi selalu gagal. Penampungan selalu dijaga ketat. Tak mudah melewati mereka. Akhirnya takdir menuntunku meninggalkan tempat ini. Aku bisa kabur di saat penjagaan lengah.
"Minumlah dulu, barangkali bisa sedikit menenangkan pikiranmu." Suara Bima membuyarkan lamunanku. Ia duduk di sampingku seraya menyodorkan segelas air putih.
"Makasih. Sebenarnya aku malu, aku sudah terlalu banyak merepotkan Mas."
"Tidak. Semua yang aku lakukan tidak ada artinya dibandingkan dengan kehadiranmu."
"Ah, Mas." Sekali lagi kutatap bola matanya yang bersinar hangat. Ada kebahagiaan terpancar di sana. Entah mengapa ia masih saja seperti dulu, sama seperti diawal kami merajut cinta. Lima tahun lamanya kami saling setia sampai akhirnya kuputuskan untuk menjadi TKW di luar negeri.
"Kenapa kita tidak menikah saja?"
Sabila menarik napas dalam-dalam, menahannya, dan melepasnya perlahan.
"Untuk apa. Aku tak mau membawamu larut dalam persoalanku. Biarlah keadaan ini tetap menjadi milikku, bagian dari hidupku."
"Izinkan aku menjadi setengah jiwamu. Dermaga tempat di mana kau labuhkan sampan cintamu. Saat gelombang dan badai kehidupan memorak-morandakan semua mimpimu. Di sana dadaku terbentang luas, ladang di mana kita bisa menyemaikan benih cinta kita."
"Sssstttt." Sabila meletakkan jarinya di bibir Bima. Ia biarkan Bima meraih jemari itu dan mengecupnya. Saat itu Sabila merasakan betapa tulusnya cinta Bima. Sebuah pengharapan yang membawa keteduhan bagi hatinya yang gersang akan kasih.
Ah andai semua masih seperti dulu. Andai dokter tak memvonis umurku sepanjang hitungan jari tangan. Dan andai penyakit "memalukan" ini tak hinggap ditubuhku. Sudah barang tentu akan kubalas cinta Bima. Tapi kini, semua itu tak mungkin untuk dijalani. Aku hanya akan menjadi aib. Biarlah kujalani takdir hidupku meski tanpa cintanya. Pertemuan di kapal itu menjadi pertemuan terakhirku dengan Bima. Sengaja aku menghindar darinya. Hanya kukirimkan sebuah pesan pendek agar melupakanku. Aku tak ingin melihatnya bertambah sakit ketika harus mengetahui keadaanku sebenarnya. Belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit yang aku derita.
Sambil kupaksa untuk terus melupakan Bima, aku mulai menyiapkan diri menghadapi keluargaku. Aku sadar kehadiranku akan membawa suka dan duka. Masih jelas diingatanku bagaimana kondisi ekonomi keluargaku saat kutinggalkan. Belum lagi berbagai utang yang pembayarannya menunggu kedatanganku. Tapi kini, yang aku bawa bukanlah uang melainkan aib dan penyakit. Meski tak pantas jika harus menyalahkan takdir yang membawaku pada alur lain yang tak dapat kuhindari.
***
Begitu cepat waktu berlalu. Hitungan jari tangan telah habis atas masanya. Sabila tak lagi menangis. Ia berhenti merintih. Koma menghilangkan rasa sakit yang dialaminya. Mungkin tak sampai senja baginya untuk menutup mata. Ia akan pergi. Menunggu Bima di ruang yang berbeda. Di sana cinta abadi dan mimpinya akan tercapai.
Bandar Negeri Semuong *)
Asarpin
http://www.lampungpost.com/
MATAHARI di Teluk Semangka hampir tenggelam dibalut awan hitam. Senja masih memancarkan separuh cahayanya di ufuk langit. Bukit Barisan Selatan segera tertutup kabut. Awan hitam bermandikan cahaya keputih-putihan muncul dari lereng Gunung Tanggamus.
Sore itu saya duduk di bawah pohon dadap yang sedang berbunga kemerah-merahan di dekat Bandar Negeri Semuong. Dulu tempat ini dikenal dengan nama Bandar Brunai, pelabuhan kapal mengangkut rempah-rempah yang hampir sama ramainya dengan Teluk Bayur. Para pedagang dari Brunai dan Bengkulu sering singgah ke pelabuhan ini melewati hulu Teluk Semangka melintasi pesisir Krui.
Udara di sekitar bekas bandar perdagangan rempah-rempah ini begitu dingin dan bersih. Daun-daun pohon dadap tampak lebih hijau, bunga-bunga yang memerah menyebarkan harum wewangian. Memerah seperti gerbera. Putik-putik buah yang merayap di atas pohon dadap sebentar lagi akan menjelma biji-biji lada berwarna hijau, cokelat dan kemerah-merahan. Sudah saatnya bagi tunas-tunas muda yang kuat di matahari yang menyengat untuk menemani panen lada tahun ini. Sebab, sudah tiga tahun terakhir panen lada tidak bagus.
Saya mencari tempat berdiri, mengenakan ikat kepala dan kemeja hitam mirip pakaian pendekar terkenal Teluk Semangka. Raden Patih namanya. Ketika sedang melihat-lihat biji-biji lada jatuh ke tanah, sejenak aku tertegun melihat Astikar merangkak di atas tangga memanjat pohon dadap yang tengah berbuah lebat di atas dadap berduri dengan ranting bercecabang.
Di tempat ini kali pertama saya menyaksikan teman saya yang satu ini mengajarkan cara memetik biji lada yang kecil dan bulat, yang kusaksikan dengan mataku sendiri di huma dan pematang sawah dekat Bandar Negeri Semuong ini. Saya terpacak di sebuah batang pohon, terkagum-kagum dan nyaris tak percaya melihat tangkai buah yang bergantungan di pohon dan berjejer di ranting berduri. Kampung sahabatku ini ternyata kampung makmur. Apa saja tumbuh, bertunas dan bercecabang dengan warna daun yang kehijau-hijauan saat terguyur hujan.
Sungguh pun begitu, Astikar bukan seperti kebanyakan orang kaya yang pernah kulihat. Saya tahu betapa sulitnya mencari uang bagi petani penggarap seperti kebanyakan orang di sini. Tetapi, dengan datangnya hujan, mereka merasa seperti sedang menanti tanaman lada berbuah lebat. Rasa takjub melihat biji-biji yang bergantungan, bergelayut, berjuntai-juntai yang memberikan efek keindahan pada pohon dadap tempat wayit lada menambatkan hidupnya ini.
Saat Astikar menunjuk ke arah sebatang dadap, saya nyaris tak percaya bila semua ini buah dari karya para petani Teluk Semangka. Seharusnya saya akan ikut merasakan pedasnya biji lada yang telah terlepas dari kulitnya. Lada sulah, kata orang di sini. Lada kering yang sudah siap jadi bumbu penyedap masakan.
Seumur hidup saya tak pernah melihat jenis tanaman seperti ini, apalagi menyaksikan biji-biji kemerah-merahan yang seperti ingin berkenalan. Sebuah tatapan yang pedas, seperti halnya rasa biji ini. Angin semilir melambai-lambaikan biji-bijinya. Satu per satu saya tatap biji-biji itu yang mulai jatuh ke tanah. Saat itu Astikar menyuruhku ngelahang di bawah pohon dadap. Saya tak mengerti maksudnya, tetapi ketika ia menjelaskan aku segera menghampiri sebatang pohon dadap yang di atasnya biji-biji lada begitu lebat.
Astikar memberiku sebuah loki ukuran kecil yang katanya biasa digunakan anak-anak kecil untuk ngelahang biji lada yang jatuh. Lalu ia menyuruhku memungut satu per satu biji lada yang terjatuh ke tanah tertutup daun-daun kering. Lalu biji lada itu saya masukkan ke loki dan mulai terkumpul banyak. Hasil yang kuperoleh lantas kupendam beberapa hari lamanya di gubuknya. Ketika itu Astikar kembali menyuruhku untuk mencicipi biji lada berwarna merah kehitam-hitaman, dan ternyata bibirku terasa pedas, menyeringai seketika, seperti merasakan bara sedang menempel di bibir.
Masih saya ingat ketika Astikar bercerita dengan bahasa Lampung pesisiran yang sedikit-sedikit saya menangkap artinya, tentang Hikayat Lada Sulah. Tanaman malang, yang dengan cepat ditinggalkan penggarapnya karena jatuhnya harga di Bandar Brunai.
***
Saya memang kagum padamu, sahabat. Sebab kau telah berjasa menanam dan merawat ratusan pohon lada yang berjejer dekat Bandar Negeri Semuong itu. Betapa jerih payahmu kini telah menghasilkan buah dan kau tinggal menikmati hasilnya. Kau telah berjanji untuk mengajakku berjalan-jalan ke bekas Bandar Burnai, di pesisir Teluk Semangka, di antara kicau burung bakik yang mengempas kesadaran imaji diam.
Setiap senja setelah liburan sekolah kau ajak aku pergi bermain ke dekat puing-puing Dermaga Bandar Burnai itu, melihat-lihat lanskap yang jauh sambil membayangkan suasana bandar perdagangan rempah-rempah ini dulunya. Setelah itu, kau akan melanjutkan persiran ke kebun yang indah dengan rumput liar menjalar begitu lembut. Di sana-sini di atas rerumputan muncul bunga warna-warni yang cantik bagaikan bintang-gemintang. Di kebun-kebun ini tumbuh pepohonan yang rindang dengan warna daun yang mulai menguning yang kelak menjadi putik-putik yang berwarna hijau ungu. Dan kelabu kebiru-biruan pada musim gugur akan melahirkan buah.
Kulihat burung-burung bertengger di pohon-pohon dan bernyanyi begitu merdu. Betapa indah negeri ini dulunya, pikirku sambil menatap ke burung-burung yang terus bercanda di ranting-ranting pohon. Saat itu telunjukmu mengarah ke pohon rindang yang sebelumnya tak pernah kulihat. Kau menjelaskan ini yang namanya pohon cengkeh, pohon yang dulu seperti mendatangkan surga di bumi bagi penduduk Teluk Semangka.
Tak sekejap pun mata ini ingin lepas dari biji cengkeh yang menempel di balik daun pohon yang rindang itu. Aku baru tahu bahwa di Bandar Negeri Semuong ini terdapat banyak pohon cengkih. Pohon kehidupan, kata para nelayan payang alias nelayan jaring tarik di Teluk Semangka.
Bekas Bandar Burnai ini banyak melahirkan legenda tentang rempah-rempah yang menjanjikan kehidupan generasi turun-temurun. Sedang di dekat hilir Teluk Semangka, banyak legenda yang mengisahkan tentang manusia yang menyaru jadi buaya. Rasa-rasanya tak ingin pergi dari tempat ini, apalagi ketika melihat anak-anak kecil mengembala kerbau sambil bernyanyi. Aduhai, ini benar-benar surga dunia.
Saya menyandarkan tubuh pada sebatang pohon cengkeh, yang di bawahnya begitu bersih tanpa ditumbuhi satu rumput pun. Ketika itu Astikar bilang, mari aku ajari kau cara memetik biji cengkih dari tangkainya, kau akan mendengarkan bunyi-bunyi pelan yang merdu, katanya. Amboi indahnya susana di sini. Masih terus kuingat sahabat, ketika kita menggotong tangga bambu dan berhenti karena kelelahan. Lalu kita menyandarkan tangga itu di pohon cengkeh yang bergoyang seperti ketakutan. Asoi, katamu mengajarkan aku bahasa ibumu.
Makin lama saya mulai mengerti bahasa negeri ini. Mengerti cara memetik biji cengkih dan melepaskan dari tangkainya dengan desah suara begitu indah. Astikar telah banyak mengajarkan cara memisahkan tangkai dan bijinya dan aku begitu takjub meski semua itu seperti mimpi atau hanya mimpi untuk kemudian tak ada apa-apa yang mesti dikenangkan. Kau begitu sabar, sahabat, menjelaskan makna perpisahan tangkai dari bijinya. Ahai, setangkai dua tangkai dan sebiji dua biji, katamu mengajari aku kata-kata merdu. Setangkai dan sebiji yang saya saksikan berjejer di balik daun semampai itu. Oh, sahabat, betapa mulia tutur kata bahasa ibumu.
Kau memanggilku dengan penuh simpatik. Lalu mengajak persiran ke kebun cengkih. Lalu kita ngelahang bersama-sama di bawah pohon yang rindang. Tak ada yang perlu kau ajari lagi cara ngelahang cengkih di balik daun-daun kering ini, karena saya telah kau ajari ngelahang biji lada.
Seketika saya tersentak mendengar alunan merdu bersahut-sahutan di tengah huma yang sepi. Sebentar tertegun, memperhatikan dengan penuh suara lantunan datang terbawa angin. Seperti suara anak kecil sedang berpantun bersahut-sahutan. Saya merasakan tubuh seperti sedang memperbesar rasa kemenangan. Lantunan suara naik-turun itu, tangga nadanya yang belepotan tapi cekatan, mengingatkan kembali pada anak-anak gembala di kebun lada.
Saya tak dapat menyembunyikan rasa takzim. Syair pantun dengan nada yang tak beraturan, sama dengan sifat Astikar yang tak bisa diam, yang tak dapat ia sembunyikan. Semangatnya menyala, tapi seketika berubah menjadi keengganan yang menggelisahkan. Semua itu karena bayangan masa depan harga lada dan cengkeh belum pasti.
Kebun cengkih dan lada itu seakan terlepas dari sumbernya. Saya tidak mungkin memercayai desas-desus orang hutan yang tega melepaskan batang lada itu dari pohon dadap tempatnya merayap. Bukan orang hutan yang menyebabkan sesuatu telah terjadi pada tanaman lada di kebun itu. Tanpanya keberadaan pohon dadap itu, tidak mungkin batang lada bisa terus tumbuh.
Saya membayangkan arti persahabatan saya dengan Astikar seperti tanaman lada yang merambat ke pohon dengan berbagai cecabangnya yang berduri; persahabatan yang sama dengan merambat naik ke puncak untuk menggapai dunia atas. Begitulah tanaman lada menjaga hidupnya dengan cara menumbuhkan dirinya terus-menerus. Sebuah hubungan harmonis antara tanaman dan pohon yang kelak akan memberikan banyak hal yang bisa simpan dalam laci kenangan. Tapi siapakah yang membuat aturan yang telah memonopoli pertumbuhan tanaman ini hingga menyebabkan semuanya meranggas?
Orang-orang hutan kembali muncul dalam pikiran. Bukan mereka yang merasa terpuaskan ketika berhasil menurunkan tanaman lada dari tempatnya menjalar. Masih ada sedikit yang mereka sisakan pada bagian atas dadap yang menggantung hampir mati, sedangkan bagian bawah--dekat akarnya--tidak terawat dan dipenuhi rumput liar.
Ribuan tanaman lada itu tak bisa berbuat apa-apa ketika telah dilepaskan dari pohon dadap tempatnya tumbuh. Baru kini saya sadari bahwa tangan-tangan tersembunyi bisa melahirkan tindakan kekerasan dengan cara menghabisi semua lada sampai ke akar-akarnya. Tangan-tangan tersembunyi apalah artinya, tapi nyatanya telah merenggut tanaman ini dengan paksa, dan sesudah itu, pertumbuhananya segera berakhir.
Sejak mendengar legenda Tangan Tersembunyi itu, penghasilan rempah-rempah di kampung ini mulai berkurang. Bandar Brunai tidak begitu ramai lagi. Saya berpikir-pikir, apa salah tanaman kehidupan ini, tanaman yang ingin hidup abadi dengan cara merambat naik ke puncak pohon dadap untuk menjauh dari tangan-tangan kekerasan.
Tapi, saya cuma bisa berpangku tangan dan tak dapat berbuat apa-apa. Tidak mempunyai daya imajinasi yang tembus pandang, tidak memiliki kepekaan pada perubahan iklim, dan buku-buku pelajaran di sekolah mulai saya jauhi. Buku-buku peraturan antimonopoli mulai saya jauhkan dari memori. Jika saja saya kehilangan diri sendiri, segala yang dipunya Astikar juga akan hilang. Ingat, sahabat, dulu kau yang mengajari rahasia kehidupan tanaman. Kau dulu yang berkata; jika kau kehilangan arah, sahabat, jangan cari di sini penyebabnya. Saya bersumpah, kadang-kadang ingin rasanya saya menyaru jadi mandor pelabuhan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Terlalu banyak yang saya kerjakan, hingga membuat diri sendiri tak memiliki perspektif yang utuh. Saya membutuhkan satu pekerjaan, satu keinginan, satu harapan, yang bergandengan tangan dengan keadilan. Sering saya merasa iri, orang-orang lain saya saksikan berhari-hari dikelilingi kekayaan.
Saya tidak pernah tahu masihkah tanaman lada tumbuh di sepanjang hiliran Teluk Semangka dekat Bandar Negeri Semuong itu. Biji-biji lada yang bulat bergantungan dibalik tangkai dan di bawah daunnya, saat ketika saya masih sering persiran ke Bandar Brunai. Apakah semua hanya tinggal hikayat, atau entah apa, saya mulai tak mengerti. Astikar tak di sini, entah ke mana.
Sejak itu saya tak pernah berjumpa di antara puing-puing bandar perdagangan rempah-rempah di teluk ini. Saya tidak menggerutu, puncak semua ini hanya bayangan. Berapa banyak kejadian sejak aturan monopoli diterbitkan di negeri ini, yang hanya berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan bekas kecuali kematian bagi tanaman. Orang macam apakah yang seluruh perintahnya hanya tertuju untuk memusnahkan, memonopoli aturan untuk anak cucu sendiri, menyiram ribuan tanaman dengan zat yang membara, yang seluruh perbuatannya bertahun-tahun menumpuk kekayaan, seakan ingin meletakkan satu kursi lagi di atas meja dalam mencari kedudukan yang lebih tinggi?
Bukan karena para penggawa negeri ini tak punya kesibukan lain; bukan itu sebabnya, malah pekerjaan makin menumpuk. Justru karena gesek-gesekan soal harga lada di dunia yang melambnung, anak-anak kecil tidak bisa lagi ngelahang, buruh harian pemetik lada telah menghambat mereka dari pekerjaan yang menjanjikan tanpa pemerasan keringat.
Orang dungu yang pura-pura menyadari, mungkin saja, sebab apa yang penting bukanlah menimbun kekayaan, mendominasi posisi, dan dalam kenyataan, keluarga para penggawa yang menduduki tempat pertama jarang memegang peran utama. Bagaimana raja-raja Lampung dikuasai patihnya, menteri dikuasai suruhannya. Kepala Pekon dikuasai wakilnya, seorang wakil dikuasai sekretarisnya. Siapa sebenarnya yang nomor satu, menurut Astikar yang nomor satu adalah dirinya, yang dapat mengungguli yang lain dan cukup punya prinsip hidup.
Kalaupun hutan sudah berubah jadi hamparan huma, penuh dengan buah yang lebat, itu karena Astikar ingin menyelamatkan manusia dari kelaparan. Tugas yang belum bisa dilakukan orang lain. Astikar memang punya bakat untuk mengerti siapa dan apa tugas petani penggarap tanah Sang Bumi Ruwa Jurai ini.
----------------
* Petikan dari cerita yang lebih panjang
Kosakata Lampung:
Lada sulah = biji lada yang kulitnya telah dilepaskan dan dikeringkan, yang sudah siap didiling sebagai bumbu masak. Hikayat Lada Sulah adalah salah satu legenda lisan masyarakat Teluk Semangka, khususnya kesaibataninan Gajah Minga Padang Ratu.
Ngelahang = memungut biji lada atau cengkih yang jatuh ke tanah. Kebiasaan ini banyak dilakukan anak-anak kecil saat musim lada dan cengkih pada tahun 1970-an di wilayah Teluk Semangka untuk kemudian hasilnya dijual ke penampungan.
http://www.lampungpost.com/
MATAHARI di Teluk Semangka hampir tenggelam dibalut awan hitam. Senja masih memancarkan separuh cahayanya di ufuk langit. Bukit Barisan Selatan segera tertutup kabut. Awan hitam bermandikan cahaya keputih-putihan muncul dari lereng Gunung Tanggamus.
Sore itu saya duduk di bawah pohon dadap yang sedang berbunga kemerah-merahan di dekat Bandar Negeri Semuong. Dulu tempat ini dikenal dengan nama Bandar Brunai, pelabuhan kapal mengangkut rempah-rempah yang hampir sama ramainya dengan Teluk Bayur. Para pedagang dari Brunai dan Bengkulu sering singgah ke pelabuhan ini melewati hulu Teluk Semangka melintasi pesisir Krui.
Udara di sekitar bekas bandar perdagangan rempah-rempah ini begitu dingin dan bersih. Daun-daun pohon dadap tampak lebih hijau, bunga-bunga yang memerah menyebarkan harum wewangian. Memerah seperti gerbera. Putik-putik buah yang merayap di atas pohon dadap sebentar lagi akan menjelma biji-biji lada berwarna hijau, cokelat dan kemerah-merahan. Sudah saatnya bagi tunas-tunas muda yang kuat di matahari yang menyengat untuk menemani panen lada tahun ini. Sebab, sudah tiga tahun terakhir panen lada tidak bagus.
Saya mencari tempat berdiri, mengenakan ikat kepala dan kemeja hitam mirip pakaian pendekar terkenal Teluk Semangka. Raden Patih namanya. Ketika sedang melihat-lihat biji-biji lada jatuh ke tanah, sejenak aku tertegun melihat Astikar merangkak di atas tangga memanjat pohon dadap yang tengah berbuah lebat di atas dadap berduri dengan ranting bercecabang.
Di tempat ini kali pertama saya menyaksikan teman saya yang satu ini mengajarkan cara memetik biji lada yang kecil dan bulat, yang kusaksikan dengan mataku sendiri di huma dan pematang sawah dekat Bandar Negeri Semuong ini. Saya terpacak di sebuah batang pohon, terkagum-kagum dan nyaris tak percaya melihat tangkai buah yang bergantungan di pohon dan berjejer di ranting berduri. Kampung sahabatku ini ternyata kampung makmur. Apa saja tumbuh, bertunas dan bercecabang dengan warna daun yang kehijau-hijauan saat terguyur hujan.
Sungguh pun begitu, Astikar bukan seperti kebanyakan orang kaya yang pernah kulihat. Saya tahu betapa sulitnya mencari uang bagi petani penggarap seperti kebanyakan orang di sini. Tetapi, dengan datangnya hujan, mereka merasa seperti sedang menanti tanaman lada berbuah lebat. Rasa takjub melihat biji-biji yang bergantungan, bergelayut, berjuntai-juntai yang memberikan efek keindahan pada pohon dadap tempat wayit lada menambatkan hidupnya ini.
Saat Astikar menunjuk ke arah sebatang dadap, saya nyaris tak percaya bila semua ini buah dari karya para petani Teluk Semangka. Seharusnya saya akan ikut merasakan pedasnya biji lada yang telah terlepas dari kulitnya. Lada sulah, kata orang di sini. Lada kering yang sudah siap jadi bumbu penyedap masakan.
Seumur hidup saya tak pernah melihat jenis tanaman seperti ini, apalagi menyaksikan biji-biji kemerah-merahan yang seperti ingin berkenalan. Sebuah tatapan yang pedas, seperti halnya rasa biji ini. Angin semilir melambai-lambaikan biji-bijinya. Satu per satu saya tatap biji-biji itu yang mulai jatuh ke tanah. Saat itu Astikar menyuruhku ngelahang di bawah pohon dadap. Saya tak mengerti maksudnya, tetapi ketika ia menjelaskan aku segera menghampiri sebatang pohon dadap yang di atasnya biji-biji lada begitu lebat.
Astikar memberiku sebuah loki ukuran kecil yang katanya biasa digunakan anak-anak kecil untuk ngelahang biji lada yang jatuh. Lalu ia menyuruhku memungut satu per satu biji lada yang terjatuh ke tanah tertutup daun-daun kering. Lalu biji lada itu saya masukkan ke loki dan mulai terkumpul banyak. Hasil yang kuperoleh lantas kupendam beberapa hari lamanya di gubuknya. Ketika itu Astikar kembali menyuruhku untuk mencicipi biji lada berwarna merah kehitam-hitaman, dan ternyata bibirku terasa pedas, menyeringai seketika, seperti merasakan bara sedang menempel di bibir.
Masih saya ingat ketika Astikar bercerita dengan bahasa Lampung pesisiran yang sedikit-sedikit saya menangkap artinya, tentang Hikayat Lada Sulah. Tanaman malang, yang dengan cepat ditinggalkan penggarapnya karena jatuhnya harga di Bandar Brunai.
***
Saya memang kagum padamu, sahabat. Sebab kau telah berjasa menanam dan merawat ratusan pohon lada yang berjejer dekat Bandar Negeri Semuong itu. Betapa jerih payahmu kini telah menghasilkan buah dan kau tinggal menikmati hasilnya. Kau telah berjanji untuk mengajakku berjalan-jalan ke bekas Bandar Burnai, di pesisir Teluk Semangka, di antara kicau burung bakik yang mengempas kesadaran imaji diam.
Setiap senja setelah liburan sekolah kau ajak aku pergi bermain ke dekat puing-puing Dermaga Bandar Burnai itu, melihat-lihat lanskap yang jauh sambil membayangkan suasana bandar perdagangan rempah-rempah ini dulunya. Setelah itu, kau akan melanjutkan persiran ke kebun yang indah dengan rumput liar menjalar begitu lembut. Di sana-sini di atas rerumputan muncul bunga warna-warni yang cantik bagaikan bintang-gemintang. Di kebun-kebun ini tumbuh pepohonan yang rindang dengan warna daun yang mulai menguning yang kelak menjadi putik-putik yang berwarna hijau ungu. Dan kelabu kebiru-biruan pada musim gugur akan melahirkan buah.
Kulihat burung-burung bertengger di pohon-pohon dan bernyanyi begitu merdu. Betapa indah negeri ini dulunya, pikirku sambil menatap ke burung-burung yang terus bercanda di ranting-ranting pohon. Saat itu telunjukmu mengarah ke pohon rindang yang sebelumnya tak pernah kulihat. Kau menjelaskan ini yang namanya pohon cengkeh, pohon yang dulu seperti mendatangkan surga di bumi bagi penduduk Teluk Semangka.
Tak sekejap pun mata ini ingin lepas dari biji cengkeh yang menempel di balik daun pohon yang rindang itu. Aku baru tahu bahwa di Bandar Negeri Semuong ini terdapat banyak pohon cengkih. Pohon kehidupan, kata para nelayan payang alias nelayan jaring tarik di Teluk Semangka.
Bekas Bandar Burnai ini banyak melahirkan legenda tentang rempah-rempah yang menjanjikan kehidupan generasi turun-temurun. Sedang di dekat hilir Teluk Semangka, banyak legenda yang mengisahkan tentang manusia yang menyaru jadi buaya. Rasa-rasanya tak ingin pergi dari tempat ini, apalagi ketika melihat anak-anak kecil mengembala kerbau sambil bernyanyi. Aduhai, ini benar-benar surga dunia.
Saya menyandarkan tubuh pada sebatang pohon cengkeh, yang di bawahnya begitu bersih tanpa ditumbuhi satu rumput pun. Ketika itu Astikar bilang, mari aku ajari kau cara memetik biji cengkih dari tangkainya, kau akan mendengarkan bunyi-bunyi pelan yang merdu, katanya. Amboi indahnya susana di sini. Masih terus kuingat sahabat, ketika kita menggotong tangga bambu dan berhenti karena kelelahan. Lalu kita menyandarkan tangga itu di pohon cengkeh yang bergoyang seperti ketakutan. Asoi, katamu mengajarkan aku bahasa ibumu.
Makin lama saya mulai mengerti bahasa negeri ini. Mengerti cara memetik biji cengkih dan melepaskan dari tangkainya dengan desah suara begitu indah. Astikar telah banyak mengajarkan cara memisahkan tangkai dan bijinya dan aku begitu takjub meski semua itu seperti mimpi atau hanya mimpi untuk kemudian tak ada apa-apa yang mesti dikenangkan. Kau begitu sabar, sahabat, menjelaskan makna perpisahan tangkai dari bijinya. Ahai, setangkai dua tangkai dan sebiji dua biji, katamu mengajari aku kata-kata merdu. Setangkai dan sebiji yang saya saksikan berjejer di balik daun semampai itu. Oh, sahabat, betapa mulia tutur kata bahasa ibumu.
Kau memanggilku dengan penuh simpatik. Lalu mengajak persiran ke kebun cengkih. Lalu kita ngelahang bersama-sama di bawah pohon yang rindang. Tak ada yang perlu kau ajari lagi cara ngelahang cengkih di balik daun-daun kering ini, karena saya telah kau ajari ngelahang biji lada.
Seketika saya tersentak mendengar alunan merdu bersahut-sahutan di tengah huma yang sepi. Sebentar tertegun, memperhatikan dengan penuh suara lantunan datang terbawa angin. Seperti suara anak kecil sedang berpantun bersahut-sahutan. Saya merasakan tubuh seperti sedang memperbesar rasa kemenangan. Lantunan suara naik-turun itu, tangga nadanya yang belepotan tapi cekatan, mengingatkan kembali pada anak-anak gembala di kebun lada.
Saya tak dapat menyembunyikan rasa takzim. Syair pantun dengan nada yang tak beraturan, sama dengan sifat Astikar yang tak bisa diam, yang tak dapat ia sembunyikan. Semangatnya menyala, tapi seketika berubah menjadi keengganan yang menggelisahkan. Semua itu karena bayangan masa depan harga lada dan cengkeh belum pasti.
Kebun cengkih dan lada itu seakan terlepas dari sumbernya. Saya tidak mungkin memercayai desas-desus orang hutan yang tega melepaskan batang lada itu dari pohon dadap tempatnya merayap. Bukan orang hutan yang menyebabkan sesuatu telah terjadi pada tanaman lada di kebun itu. Tanpanya keberadaan pohon dadap itu, tidak mungkin batang lada bisa terus tumbuh.
Saya membayangkan arti persahabatan saya dengan Astikar seperti tanaman lada yang merambat ke pohon dengan berbagai cecabangnya yang berduri; persahabatan yang sama dengan merambat naik ke puncak untuk menggapai dunia atas. Begitulah tanaman lada menjaga hidupnya dengan cara menumbuhkan dirinya terus-menerus. Sebuah hubungan harmonis antara tanaman dan pohon yang kelak akan memberikan banyak hal yang bisa simpan dalam laci kenangan. Tapi siapakah yang membuat aturan yang telah memonopoli pertumbuhan tanaman ini hingga menyebabkan semuanya meranggas?
Orang-orang hutan kembali muncul dalam pikiran. Bukan mereka yang merasa terpuaskan ketika berhasil menurunkan tanaman lada dari tempatnya menjalar. Masih ada sedikit yang mereka sisakan pada bagian atas dadap yang menggantung hampir mati, sedangkan bagian bawah--dekat akarnya--tidak terawat dan dipenuhi rumput liar.
Ribuan tanaman lada itu tak bisa berbuat apa-apa ketika telah dilepaskan dari pohon dadap tempatnya tumbuh. Baru kini saya sadari bahwa tangan-tangan tersembunyi bisa melahirkan tindakan kekerasan dengan cara menghabisi semua lada sampai ke akar-akarnya. Tangan-tangan tersembunyi apalah artinya, tapi nyatanya telah merenggut tanaman ini dengan paksa, dan sesudah itu, pertumbuhananya segera berakhir.
Sejak mendengar legenda Tangan Tersembunyi itu, penghasilan rempah-rempah di kampung ini mulai berkurang. Bandar Brunai tidak begitu ramai lagi. Saya berpikir-pikir, apa salah tanaman kehidupan ini, tanaman yang ingin hidup abadi dengan cara merambat naik ke puncak pohon dadap untuk menjauh dari tangan-tangan kekerasan.
Tapi, saya cuma bisa berpangku tangan dan tak dapat berbuat apa-apa. Tidak mempunyai daya imajinasi yang tembus pandang, tidak memiliki kepekaan pada perubahan iklim, dan buku-buku pelajaran di sekolah mulai saya jauhi. Buku-buku peraturan antimonopoli mulai saya jauhkan dari memori. Jika saja saya kehilangan diri sendiri, segala yang dipunya Astikar juga akan hilang. Ingat, sahabat, dulu kau yang mengajari rahasia kehidupan tanaman. Kau dulu yang berkata; jika kau kehilangan arah, sahabat, jangan cari di sini penyebabnya. Saya bersumpah, kadang-kadang ingin rasanya saya menyaru jadi mandor pelabuhan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Terlalu banyak yang saya kerjakan, hingga membuat diri sendiri tak memiliki perspektif yang utuh. Saya membutuhkan satu pekerjaan, satu keinginan, satu harapan, yang bergandengan tangan dengan keadilan. Sering saya merasa iri, orang-orang lain saya saksikan berhari-hari dikelilingi kekayaan.
Saya tidak pernah tahu masihkah tanaman lada tumbuh di sepanjang hiliran Teluk Semangka dekat Bandar Negeri Semuong itu. Biji-biji lada yang bulat bergantungan dibalik tangkai dan di bawah daunnya, saat ketika saya masih sering persiran ke Bandar Brunai. Apakah semua hanya tinggal hikayat, atau entah apa, saya mulai tak mengerti. Astikar tak di sini, entah ke mana.
Sejak itu saya tak pernah berjumpa di antara puing-puing bandar perdagangan rempah-rempah di teluk ini. Saya tidak menggerutu, puncak semua ini hanya bayangan. Berapa banyak kejadian sejak aturan monopoli diterbitkan di negeri ini, yang hanya berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan bekas kecuali kematian bagi tanaman. Orang macam apakah yang seluruh perintahnya hanya tertuju untuk memusnahkan, memonopoli aturan untuk anak cucu sendiri, menyiram ribuan tanaman dengan zat yang membara, yang seluruh perbuatannya bertahun-tahun menumpuk kekayaan, seakan ingin meletakkan satu kursi lagi di atas meja dalam mencari kedudukan yang lebih tinggi?
Bukan karena para penggawa negeri ini tak punya kesibukan lain; bukan itu sebabnya, malah pekerjaan makin menumpuk. Justru karena gesek-gesekan soal harga lada di dunia yang melambnung, anak-anak kecil tidak bisa lagi ngelahang, buruh harian pemetik lada telah menghambat mereka dari pekerjaan yang menjanjikan tanpa pemerasan keringat.
Orang dungu yang pura-pura menyadari, mungkin saja, sebab apa yang penting bukanlah menimbun kekayaan, mendominasi posisi, dan dalam kenyataan, keluarga para penggawa yang menduduki tempat pertama jarang memegang peran utama. Bagaimana raja-raja Lampung dikuasai patihnya, menteri dikuasai suruhannya. Kepala Pekon dikuasai wakilnya, seorang wakil dikuasai sekretarisnya. Siapa sebenarnya yang nomor satu, menurut Astikar yang nomor satu adalah dirinya, yang dapat mengungguli yang lain dan cukup punya prinsip hidup.
Kalaupun hutan sudah berubah jadi hamparan huma, penuh dengan buah yang lebat, itu karena Astikar ingin menyelamatkan manusia dari kelaparan. Tugas yang belum bisa dilakukan orang lain. Astikar memang punya bakat untuk mengerti siapa dan apa tugas petani penggarap tanah Sang Bumi Ruwa Jurai ini.
----------------
* Petikan dari cerita yang lebih panjang
Kosakata Lampung:
Lada sulah = biji lada yang kulitnya telah dilepaskan dan dikeringkan, yang sudah siap didiling sebagai bumbu masak. Hikayat Lada Sulah adalah salah satu legenda lisan masyarakat Teluk Semangka, khususnya kesaibataninan Gajah Minga Padang Ratu.
Ngelahang = memungut biji lada atau cengkih yang jatuh ke tanah. Kebiasaan ini banyak dilakukan anak-anak kecil saat musim lada dan cengkih pada tahun 1970-an di wilayah Teluk Semangka untuk kemudian hasilnya dijual ke penampungan.
Senin, 24 November 2008
Puisi-Puisi Fati Soewandi
http://www.kompas.com/
MEMBELAH MALAM
: Kuta
nelayan itu melupakan lautnya
membelah malam yang menjadikan sauhnya tawanan
ombak dan pasir menciumi wajahnya
bangkai hujan
aku melihat petir dan kilat
di sepotong siluetnya
mendengus panjang menunggui cakrawala bengkah
hingga mengguyurkan huruf-huruf langit
agar bisa ia menyumpahi kenakalan cuaca
yang memulas kisahkakinya dengan dingin
jadi pijakan paling renta
cericit anak-anak camar merestui permainannya
membelah malam dan cahaya bulan
dengan kesepian kenangan
bagi rasa sakit baru yang diperamnya diam-diam
kelak, waktu memutarku hingga mengasap di sini,
pada karang ini
yang dipahatnya jadi wajahku pagi
mataku rasi
Bali 2004
KAU, ENTAH
kau lepas tanganmu
tak mengajariku telanjang menyentuh wujud keibuanku
dengan patahan-patahan oda perempuan
jejak hati yang menegas kaubiarkan menistakan nyalangnya pengabdian nurani
sendiri
kauranggasi setiap benih ruh yang baru kutanam di rahim langit
yang asing dan dingin. kodrat apa kuwarisi dari para pengagum kegagahan wujudmu sedang sama sekali tak kautinggalkan surgamu
di tanahku
sabda-sabda tanpa tuah
sampai kapan kaulucuti ari-ari di tubuhku
2004
KETIKA AKU KEHILANGAN KAU
ketika aku kehilangan kau
percakapan belum selesai membahasakan batu
di antara asap kretek dan aroma arak
setiap kalimat yang kita bangun menjelma seluruh kebesaran
kisah purba para pujangga cinta
me(mper)mainkan rasa khayali
dekat perapian
kau menagih bunga hujan yang kupinjam
untuk sajak leluhurku yang kerontang
tidakkah aku memintal kembali keindahan sebuah perjumpaan
yang mengupacarai sendiriku
2004
PERSEMBAHAN
kupanjatkan serapah di antara mantra dan sesaji yang menjadi bangkai
lantaran upacara mulai mempermainkan rahasia para dewa
inilah persembahan terakhirku
ketika para pemangku tak bisa membaca peta doa
di ronce-ronce janur muda
di Pura-Pura
tinggal abu sepotong
abu yang dulu memeriahkan kepulangan bahasa leluhur
dengan wangi wajahnya. siapa menyembahyangi tubuhku
Bali 2004
SEJARAH SEPIKU
inilah bagaimana engkau menghangatkan sejarah sepiku
menirikan bunga-bunga kuil yang mengantar wajah batuku
jadi embun
aromanya memanggil matahari,
membunuh mimpi.
kutarikan geliat keterpurukan
kesunyian menggayut pada tanda lahirku
menggugurkan suara para pengempu syairku
membungkam arus angin pencerahan
kaubenihi nafsu yang koyak
menari telanjang
menjadi kutukan
pada rahim yang kuerami
sebuah pilihan hidup telah tercuri
Surabaya 2004
MEMBELAH MALAM
: Kuta
nelayan itu melupakan lautnya
membelah malam yang menjadikan sauhnya tawanan
ombak dan pasir menciumi wajahnya
bangkai hujan
aku melihat petir dan kilat
di sepotong siluetnya
mendengus panjang menunggui cakrawala bengkah
hingga mengguyurkan huruf-huruf langit
agar bisa ia menyumpahi kenakalan cuaca
yang memulas kisahkakinya dengan dingin
jadi pijakan paling renta
cericit anak-anak camar merestui permainannya
membelah malam dan cahaya bulan
dengan kesepian kenangan
bagi rasa sakit baru yang diperamnya diam-diam
kelak, waktu memutarku hingga mengasap di sini,
pada karang ini
yang dipahatnya jadi wajahku pagi
mataku rasi
Bali 2004
KAU, ENTAH
kau lepas tanganmu
tak mengajariku telanjang menyentuh wujud keibuanku
dengan patahan-patahan oda perempuan
jejak hati yang menegas kaubiarkan menistakan nyalangnya pengabdian nurani
sendiri
kauranggasi setiap benih ruh yang baru kutanam di rahim langit
yang asing dan dingin. kodrat apa kuwarisi dari para pengagum kegagahan wujudmu sedang sama sekali tak kautinggalkan surgamu
di tanahku
sabda-sabda tanpa tuah
sampai kapan kaulucuti ari-ari di tubuhku
2004
KETIKA AKU KEHILANGAN KAU
ketika aku kehilangan kau
percakapan belum selesai membahasakan batu
di antara asap kretek dan aroma arak
setiap kalimat yang kita bangun menjelma seluruh kebesaran
kisah purba para pujangga cinta
me(mper)mainkan rasa khayali
dekat perapian
kau menagih bunga hujan yang kupinjam
untuk sajak leluhurku yang kerontang
tidakkah aku memintal kembali keindahan sebuah perjumpaan
yang mengupacarai sendiriku
2004
PERSEMBAHAN
kupanjatkan serapah di antara mantra dan sesaji yang menjadi bangkai
lantaran upacara mulai mempermainkan rahasia para dewa
inilah persembahan terakhirku
ketika para pemangku tak bisa membaca peta doa
di ronce-ronce janur muda
di Pura-Pura
tinggal abu sepotong
abu yang dulu memeriahkan kepulangan bahasa leluhur
dengan wangi wajahnya. siapa menyembahyangi tubuhku
Bali 2004
SEJARAH SEPIKU
inilah bagaimana engkau menghangatkan sejarah sepiku
menirikan bunga-bunga kuil yang mengantar wajah batuku
jadi embun
aromanya memanggil matahari,
membunuh mimpi.
kutarikan geliat keterpurukan
kesunyian menggayut pada tanda lahirku
menggugurkan suara para pengempu syairku
membungkam arus angin pencerahan
kaubenihi nafsu yang koyak
menari telanjang
menjadi kutukan
pada rahim yang kuerami
sebuah pilihan hidup telah tercuri
Surabaya 2004
Puisi-Puisi Gita Pratama
http://www.kompas.com/
Pondok Bambu
Ada yang menggeletar di lembah lembah duka
Kisah tentang cinta di sebuah rumah bambu
Dengan hiasan dinding kayu
Pondok kecil di tengah hutan
Dekat dengan sungai yang lupa hulu
Kisah ini hanya cerita kecil
Yang sebentar mampir lalu pergi
Sekedar mlipir di pinggir sungai
: Sepenggal luka beriak menggelitik
April 2008
Lukisan Sepi
Ada sebuah hiasan pada dinding rumah bambu
Ingatkan pada sepenggal ragu
Lukisan perempuan dengan selendang mendekap dada
Pelangi beraneka rupa warna ditunggangi
Bingkainya rapuh dengan plitur terkelupas
Ranum senyum pada bibir perempuan
: Tanpa sapa hanya gelak-gelak sepi
April 2008
Kenangan Sungai
Ia berdiam mengamati sungai
Alirnya memagut dalam mesra
Bagai kelok liuk perempuan
Berwajah pilu dan kuyu
Sapa kecil tanpa senyum
Lunglai basah daun putri malu
Ingatan kecil mengembara
Mencari cinta kisah-kisah lalu
Berpeluk dekap sepasang pemburu
April 2008
Inilah Kisah Lelaki yang Keras Kepala
Berenanglah ia tanpa pelampung, memanggul ombak
Berkoar kasar memanggil posaidon yang lelap di dasar laut
Lelaki tak pernah tau di mana ia kan bertepi
"Lautan terlalu luas, sayang", camar menguik
Lintas di atas kepalanya.
Sebelum karam, lebur tubuh, dan
retak nadi sangkut di antara ladang karang
Sebelum air mata membaur asin laut
Menyeringai kisah yang terjungkir
: Ironi ada akhirnya
Bungkul, Juli 2008
Pondok Bambu
Ada yang menggeletar di lembah lembah duka
Kisah tentang cinta di sebuah rumah bambu
Dengan hiasan dinding kayu
Pondok kecil di tengah hutan
Dekat dengan sungai yang lupa hulu
Kisah ini hanya cerita kecil
Yang sebentar mampir lalu pergi
Sekedar mlipir di pinggir sungai
: Sepenggal luka beriak menggelitik
April 2008
Lukisan Sepi
Ada sebuah hiasan pada dinding rumah bambu
Ingatkan pada sepenggal ragu
Lukisan perempuan dengan selendang mendekap dada
Pelangi beraneka rupa warna ditunggangi
Bingkainya rapuh dengan plitur terkelupas
Ranum senyum pada bibir perempuan
: Tanpa sapa hanya gelak-gelak sepi
April 2008
Kenangan Sungai
Ia berdiam mengamati sungai
Alirnya memagut dalam mesra
Bagai kelok liuk perempuan
Berwajah pilu dan kuyu
Sapa kecil tanpa senyum
Lunglai basah daun putri malu
Ingatan kecil mengembara
Mencari cinta kisah-kisah lalu
Berpeluk dekap sepasang pemburu
April 2008
Inilah Kisah Lelaki yang Keras Kepala
Berenanglah ia tanpa pelampung, memanggul ombak
Berkoar kasar memanggil posaidon yang lelap di dasar laut
Lelaki tak pernah tau di mana ia kan bertepi
"Lautan terlalu luas, sayang", camar menguik
Lintas di atas kepalanya.
Sebelum karam, lebur tubuh, dan
retak nadi sangkut di antara ladang karang
Sebelum air mata membaur asin laut
Menyeringai kisah yang terjungkir
: Ironi ada akhirnya
Bungkul, Juli 2008
Puisi-Puisi Slamet Widodo
http://www.kompas.com/
Puisi seorang ndoro untuk babunya
Minah…
kamu sudah lima tahun nderek ndoromu
sudah saya anggap jadi keluarga
Pada hari raya nanti
Kamu saya belikan kalung emas 5 gram
Sebagai penghargaan atas loyalitas pengabdianmu
Tapi saya minta kamu tidak pulang
Nanti saya kasih tambahan hadiah satu kali gaji"
Minah tidak memberi jawaban
Tapi raut mukanya jelas menyatakan penolakan
Para babu ketika lebaran
Susah ditahan untuk pulang
Susah diajak kompromi untuk berbincang
Tak mau diiming imingi uang
Menahan pembantu pulang
Seperti menahan gelombang pasang
Percuma ........ia pasti pulang kandang
Tanpa babu kita memang kelimpungan
Tanpa babu para ndoro kelihangan keseimbangan
Akhirnya para ndoro mbaboni
Masak seterika dan cuci sendiri
rasanya kesel sebel capek dan pusing
Anak-anak, suami dan isteri kekompakannya diuji
Akhirnya berantem saling iri
Tiga hari sebelum lebaran
Minah nekat pamit pulang
Rambut disasak model lohan
Kacamata cengdem warna hiitam
Pakaian nya merah menyala agak kusam
Hp barunya dikalungkan
"ndoro saya pulang….."
Setelah lebaran
Babu ditunggu babu diharap
Janji janji tinggal janji
Tanggal datang tak ditepati
mbolos kantor bakal terjadi
Dapat babu baru
Belum tentu cocok membantu
Masih bodo telmi dan lugu
Harus diajari berapa minggu
Salah dimarahi, kabur tak tentu
Saya kirim sms ke Minah
“Kapan balik lagi saya tunggu”
Minah menjawab sms
“Maaf Ndoro, saya lagi honey moon jangan diganggu”
Jakarta, 28 September 2008
puisi babu kepada ndoronya
ndoro saya pulang dulu
setahun sudah berlalu
inilah kebahagiaan kami para babu
jangan... jangan halangi aku
saya musti pulang
ketemu para kadang
kangen simbok kangen bapak
juga pak lik bu lik dan adik2
babu itu juga manusia
biarkan sementara
kami bebas maki dan cerca
bisa pamer handpone didesa
"ndoro kalau perlu sms saya"
ndoro..selamat menggantikan tugasku
mencuci piring .mencuci baju.. menyapu
menyiapkan makan.. menutup pintu
maaf aku pulang kapan semauku
selamat menggerutu
lebaran adalah hari raya para babu
hari hari sengsara ndoro ndoroku
Guantanamo
Di sebuah tempat
di teluk guantanamo kuba
di luar jurisdiksi amerika
digunakan untuk penjara
untuk menghukum teroris dunia
Bila penjara itu di wilayah amerika
jelas melangar undang-undangnya
sebuah plintiran rekayasa
menyelesaikan sementara
tapi sorotan tajam ham dunia
tak pernah melepasnya
11 september 2002 tahun rembulan
amerika sang adidaya dipermalukan
world trade center lambang kedigdayaan
oleh osama bin laden diledakkan
Dua pesawat bajakan ditabrakkan
dua gedung seperti krupuk dihancurkan
merasa kebingungan dan dilecehkan
genderang perang langsung dinyatakan
melindungi warganya dari ancaman
Orang-orang tak berdosa mati sia-sia
dua ribu orang lebih jadi korbannya
tergencet beton terpanggang api
mereka mati sia-sia
Tindakan preventif berlebihan dilakukan
perang lawan terorisme dicanangkan
penggeledahan dilakukan
balas dendam diproklamirkan
Sebuah penjara
untuk para tersangka disiapkan
yang dicurigai dicomot dimasukan
tanpa proses pengadilan
Para tersangka itu
diminta untuk mengaku
segala cara dilakukan
segala cara dihalalkan
dalam perang hanya dua pilihan
menembak atau ditembak
Para tersangka itu
dengan rayuan atau kekerasan
diminta memberi kesaksian
metode teror diterapkan
bila seseorang takut kegelapan
di ruang bawah tanah is dimasukkan
Bila pesakitan belum mengaku
dengan setrum disiksa sampai pingsan
dengan jepitan dibuat mengerang-erang
dengan pukulan badan jadi biru lebam
kesakitan fisik akan melahirkan pengakuan
yang tak bersalah bisa bisa mati duluan
Bila tetap tak mengaku
dokter dan psikolog didatangkan
pesakitan diperiksa dan dicari kelemahan
dokter yang sumpahnya menyembuhkan
justru memberi sakit yang berlebihan
di sini tak ada hukum
di sini tak ada ham
yang ada balas dendam
dan luapan kebencian
Amerika bilang mereka teroris
mereka bilang amerika teroris
kita tak tahu siapa yang teroris
orang-orang mati dan carat berjatuhan
orang-orang tak berdosa jadi korban
ohh...saling balas dendam
kenapa selalu terjadi dalam kehidupan?
Penindasan melahirkan ketakutan
ketakutan melahirkan kenekatan
sehingga mati bunuh diri
bagi si tertindas adalah kebahagian
karena dapat melepaskan
katup dendam dan kebencian
Mereka yang dilepaskan
luka batin menggores sukma
sakit hati tak mungkin diobati
balas dendam tiap saat dapat diledakkan
Guantanamo
yang teroris sebenarnya siapa?
guantanamo
monumen kebencian dan balas dendam
Guantanamo
monumen hak asasi yang dilecehkan
oleh negara yang menganjurkan demokrasi
Bom bunuh diri tetap saja berdentuman
korban orang-orang tak berdosa berjatuhan
guantanamo tak pecahkan permasalahan!
Jakarta, 21 juli 2005
Palu Keadilan
Ketika pekerja pukulkan palu
tembok bata hancur jadi debu
palu pekerja hasilnya pasti dan tentu
Ketika hakim ketukkan palu tembok keadilan adakah di situ?
belum tentu
Mencari keadilan yang sesungguhnya
di belantara penuh mafia
hanya menguras tenaga dan harta
kalau kita tak kuat.... kita jadi gila
Lihatlah polisi, pengacara, hakim, dan jaksa
dengan leluasa merampok keadilan kita
budaya menyogok menangkan perkara
budaya disogok oknum-oknumnya
membuat peta keadilan bergeser jadinya
calo-calonya gentayangan di sekitar kita
apakah keadilan itu hanya miliknya
pengusaha-penguasa dan calo perkara?
Melihat palu di pengadilan
kita seperti melihat hantu
seram...menakutkan
palu di pengadilan
seharusnya menjadi malaikat penyelamat
memberi rasa aman dan tenteram
Palu itu sendiri merasa
dirinya sangat tersiksa
merasa sangat berdosa
selalu jadi alat pelaksana
menjalankan pekerjaan mafia
dan tak bisa menolaknya!
Palu ini berharap
ada perubahan mendasar
konsep hukum peninggalan penjajah
sesuai kemajuan zaman
menjerat kejahatan kerah putih yang belum terjamah oleh hukuman yang setimpal
Palu ini berharap
sebuah sistem akurat
pengawasan melekat
dan kontrol masyarakat bisa jadi penyelamat
Ketika palu diketuk
untuk perkara yang adil is terharu
masih ada keadilan di negeriku
Palu itu melihat tanpa-tanda itu
bertahap ada perbaikan satu demi satu pemberantas hidupnya was-was
tanpa dukungan kita pasti kandas
Melihat palu di pengadilan di sini
rasanya pingin semua kita curi
lalu semua kita ganti
tapi apakah gantinya nanti
tidak terkontaminasi?
Jakarta, 22 oktober 2005
Tempe
Dianggap sepele
manfaatnya gede
bahan bakunya kedele
diberi ragi menjadi tempe
Orang jawa menemukan
orang jepang mematenkan
kita bingung kan?
Tempe digoreng...sreng hangat dilahap...hap gurih
disantap...tap cabe
dikletus...tus
dimakan lauknya luwe aduh enake!
Bila istrimu galak
pingin jadi jinak
berilah makan tempe
Bila suamimu ganas
supaya tidak beringas
berilah makan tempe
Bung karno bilang
jangan jadi bangsa tempe
jadilah bangsa gede
Sekarang aku bilang
jadilah bangsa tempe
asal di dunia perannya gede
Bangsa tempe
menyehatkan diri sendiri
asal jangan jadi bangsa memble
melarat tak apa asal pede
Bila kita makan tempe
irit pengeluaran
baik untuk kesehatan
beri banyak lapangan pekerjaan
jadi makanlah tempe!
Jakarta, 4 maret 2005
Ciliwing Teater Orkestra
Samar-samar terdengar suara azan pagi
dan radio transistor melantunkan jali-jali
di sepanjang ciliwung wilayah dki
selalu ada upacara ritual terjadi
lelaki clan wanita bergegas pergi
di tepi kali mereka berhenti memelorotkan celana...ah uh ah uh lalu sunyi
Kemudian terdengar bersahutan bunyi-bunyi
dut...dut...bret...plung ..plung...
suara musik berbunyi dut...dut...bret...plung...plung...
suara musik bernyanyi
kombinasi bunyi angin terjepit
dan bunyi benda kuning jatuh di kali
riuh-rendah bagai simfoni
tiba-tiba "bluung"
bunyi anak ngintip kecemplung kali
Samar-samar terdengar suara azan pagi
dan radio transistor melantunkan jali-jali
bebek riang beryanyi "kwek kwek kwek kwek"
ayam jantan berkokok "kukukuruk kok"
burung gereja bernyanyi "cit cit cit cit"
anak anjing berantem "kaing kaing kaing"
anak-anak mandi "byur byur byur byur"
sambil menabuh ember dengan gayung "breng breng"
ibu mencuci pakaian "pyok pyok pyok pyok"
"cuuuuuuuur" bunyi air kencing jatuh ke kali
"ngeoong" bunyi kucing kawin serangan fajar di pagi hari
dan "hap" bunyi ikan lele menyantap tahi
riuh-rendah bagai simfoni
tanpa malu-malu ibu-ibu telanjang mandi "byur byur" tiba-tiba "bluung"
bunyi bapak ngintip kecemplung kali
Di atas jamban asap rokok mengepul pelan
yang lelaki
menutup hidungnya dengan jari
sambil mendekap burungnya dengan tangan kiri
yang wanita menutup auratnya di tempat tersembunyi
sambil melamun menikmati bau tahi
Tiba-tiba ada yang lari sambil memegang perut
dan di tepi jamban teriak "cepetan perut gue sakit"
dari dalam teriak "sama dong"
"wah gile, gue jadi kecerit nih"
dari dalam teriak lagi "sama dong"
"gue ngeri nih, ini celana dalam babe gue"
"mendingan, ini celana dalam pacar gue"
akhirnya dua celana dalam dibuang ke kali
gara-gara gado-gado mak indun
satu rt mencret berkali-kali
dan celana-celana dalam berurutan mengapung di kali
Orang bule itu bilang
"oh my god ... fantastic
we see something different"
ia ngomong beneran atau ngledek kita tak tahu
"oh my god ... fantastic
what kind of perfume we smelt
a unique thing i have never smelt"
saya jawab tegas
"i thing it's combination smelt jasmine and tahi"
"what is tahi"
"it's something like ajinomoto"
biasanya kita ditipu bule, kali ini bule kita kibuli
Dengan celana pendek dan pakaian kumal sekali bule-bule gila sarapan pagi di tepi kali
sambil menyantap ikan lele goreng tadi
saya tanya padanya "is it delicious?"
"oh yes, of course and very chrispy"
Kali ciliwung dalam guinness book of record
ternyata telah tercatat
sebagai wc terpanjang di dunia
Kali ciliwung dalam peta teater dan musik alam
ternyata menyimpan musik orkestra
yang paling unik dan ganjil di dunia.
Jakarta, 10 juli 2006
Puisi seorang ndoro untuk babunya
Minah…
kamu sudah lima tahun nderek ndoromu
sudah saya anggap jadi keluarga
Pada hari raya nanti
Kamu saya belikan kalung emas 5 gram
Sebagai penghargaan atas loyalitas pengabdianmu
Tapi saya minta kamu tidak pulang
Nanti saya kasih tambahan hadiah satu kali gaji"
Minah tidak memberi jawaban
Tapi raut mukanya jelas menyatakan penolakan
Para babu ketika lebaran
Susah ditahan untuk pulang
Susah diajak kompromi untuk berbincang
Tak mau diiming imingi uang
Menahan pembantu pulang
Seperti menahan gelombang pasang
Percuma ........ia pasti pulang kandang
Tanpa babu kita memang kelimpungan
Tanpa babu para ndoro kelihangan keseimbangan
Akhirnya para ndoro mbaboni
Masak seterika dan cuci sendiri
rasanya kesel sebel capek dan pusing
Anak-anak, suami dan isteri kekompakannya diuji
Akhirnya berantem saling iri
Tiga hari sebelum lebaran
Minah nekat pamit pulang
Rambut disasak model lohan
Kacamata cengdem warna hiitam
Pakaian nya merah menyala agak kusam
Hp barunya dikalungkan
"ndoro saya pulang….."
Setelah lebaran
Babu ditunggu babu diharap
Janji janji tinggal janji
Tanggal datang tak ditepati
mbolos kantor bakal terjadi
Dapat babu baru
Belum tentu cocok membantu
Masih bodo telmi dan lugu
Harus diajari berapa minggu
Salah dimarahi, kabur tak tentu
Saya kirim sms ke Minah
“Kapan balik lagi saya tunggu”
Minah menjawab sms
“Maaf Ndoro, saya lagi honey moon jangan diganggu”
Jakarta, 28 September 2008
puisi babu kepada ndoronya
ndoro saya pulang dulu
setahun sudah berlalu
inilah kebahagiaan kami para babu
jangan... jangan halangi aku
saya musti pulang
ketemu para kadang
kangen simbok kangen bapak
juga pak lik bu lik dan adik2
babu itu juga manusia
biarkan sementara
kami bebas maki dan cerca
bisa pamer handpone didesa
"ndoro kalau perlu sms saya"
ndoro..selamat menggantikan tugasku
mencuci piring .mencuci baju.. menyapu
menyiapkan makan.. menutup pintu
maaf aku pulang kapan semauku
selamat menggerutu
lebaran adalah hari raya para babu
hari hari sengsara ndoro ndoroku
Guantanamo
Di sebuah tempat
di teluk guantanamo kuba
di luar jurisdiksi amerika
digunakan untuk penjara
untuk menghukum teroris dunia
Bila penjara itu di wilayah amerika
jelas melangar undang-undangnya
sebuah plintiran rekayasa
menyelesaikan sementara
tapi sorotan tajam ham dunia
tak pernah melepasnya
11 september 2002 tahun rembulan
amerika sang adidaya dipermalukan
world trade center lambang kedigdayaan
oleh osama bin laden diledakkan
Dua pesawat bajakan ditabrakkan
dua gedung seperti krupuk dihancurkan
merasa kebingungan dan dilecehkan
genderang perang langsung dinyatakan
melindungi warganya dari ancaman
Orang-orang tak berdosa mati sia-sia
dua ribu orang lebih jadi korbannya
tergencet beton terpanggang api
mereka mati sia-sia
Tindakan preventif berlebihan dilakukan
perang lawan terorisme dicanangkan
penggeledahan dilakukan
balas dendam diproklamirkan
Sebuah penjara
untuk para tersangka disiapkan
yang dicurigai dicomot dimasukan
tanpa proses pengadilan
Para tersangka itu
diminta untuk mengaku
segala cara dilakukan
segala cara dihalalkan
dalam perang hanya dua pilihan
menembak atau ditembak
Para tersangka itu
dengan rayuan atau kekerasan
diminta memberi kesaksian
metode teror diterapkan
bila seseorang takut kegelapan
di ruang bawah tanah is dimasukkan
Bila pesakitan belum mengaku
dengan setrum disiksa sampai pingsan
dengan jepitan dibuat mengerang-erang
dengan pukulan badan jadi biru lebam
kesakitan fisik akan melahirkan pengakuan
yang tak bersalah bisa bisa mati duluan
Bila tetap tak mengaku
dokter dan psikolog didatangkan
pesakitan diperiksa dan dicari kelemahan
dokter yang sumpahnya menyembuhkan
justru memberi sakit yang berlebihan
di sini tak ada hukum
di sini tak ada ham
yang ada balas dendam
dan luapan kebencian
Amerika bilang mereka teroris
mereka bilang amerika teroris
kita tak tahu siapa yang teroris
orang-orang mati dan carat berjatuhan
orang-orang tak berdosa jadi korban
ohh...saling balas dendam
kenapa selalu terjadi dalam kehidupan?
Penindasan melahirkan ketakutan
ketakutan melahirkan kenekatan
sehingga mati bunuh diri
bagi si tertindas adalah kebahagian
karena dapat melepaskan
katup dendam dan kebencian
Mereka yang dilepaskan
luka batin menggores sukma
sakit hati tak mungkin diobati
balas dendam tiap saat dapat diledakkan
Guantanamo
yang teroris sebenarnya siapa?
guantanamo
monumen kebencian dan balas dendam
Guantanamo
monumen hak asasi yang dilecehkan
oleh negara yang menganjurkan demokrasi
Bom bunuh diri tetap saja berdentuman
korban orang-orang tak berdosa berjatuhan
guantanamo tak pecahkan permasalahan!
Jakarta, 21 juli 2005
Palu Keadilan
Ketika pekerja pukulkan palu
tembok bata hancur jadi debu
palu pekerja hasilnya pasti dan tentu
Ketika hakim ketukkan palu tembok keadilan adakah di situ?
belum tentu
Mencari keadilan yang sesungguhnya
di belantara penuh mafia
hanya menguras tenaga dan harta
kalau kita tak kuat.... kita jadi gila
Lihatlah polisi, pengacara, hakim, dan jaksa
dengan leluasa merampok keadilan kita
budaya menyogok menangkan perkara
budaya disogok oknum-oknumnya
membuat peta keadilan bergeser jadinya
calo-calonya gentayangan di sekitar kita
apakah keadilan itu hanya miliknya
pengusaha-penguasa dan calo perkara?
Melihat palu di pengadilan
kita seperti melihat hantu
seram...menakutkan
palu di pengadilan
seharusnya menjadi malaikat penyelamat
memberi rasa aman dan tenteram
Palu itu sendiri merasa
dirinya sangat tersiksa
merasa sangat berdosa
selalu jadi alat pelaksana
menjalankan pekerjaan mafia
dan tak bisa menolaknya!
Palu ini berharap
ada perubahan mendasar
konsep hukum peninggalan penjajah
sesuai kemajuan zaman
menjerat kejahatan kerah putih yang belum terjamah oleh hukuman yang setimpal
Palu ini berharap
sebuah sistem akurat
pengawasan melekat
dan kontrol masyarakat bisa jadi penyelamat
Ketika palu diketuk
untuk perkara yang adil is terharu
masih ada keadilan di negeriku
Palu itu melihat tanpa-tanda itu
bertahap ada perbaikan satu demi satu pemberantas hidupnya was-was
tanpa dukungan kita pasti kandas
Melihat palu di pengadilan di sini
rasanya pingin semua kita curi
lalu semua kita ganti
tapi apakah gantinya nanti
tidak terkontaminasi?
Jakarta, 22 oktober 2005
Tempe
Dianggap sepele
manfaatnya gede
bahan bakunya kedele
diberi ragi menjadi tempe
Orang jawa menemukan
orang jepang mematenkan
kita bingung kan?
Tempe digoreng...sreng hangat dilahap...hap gurih
disantap...tap cabe
dikletus...tus
dimakan lauknya luwe aduh enake!
Bila istrimu galak
pingin jadi jinak
berilah makan tempe
Bila suamimu ganas
supaya tidak beringas
berilah makan tempe
Bung karno bilang
jangan jadi bangsa tempe
jadilah bangsa gede
Sekarang aku bilang
jadilah bangsa tempe
asal di dunia perannya gede
Bangsa tempe
menyehatkan diri sendiri
asal jangan jadi bangsa memble
melarat tak apa asal pede
Bila kita makan tempe
irit pengeluaran
baik untuk kesehatan
beri banyak lapangan pekerjaan
jadi makanlah tempe!
Jakarta, 4 maret 2005
Ciliwing Teater Orkestra
Samar-samar terdengar suara azan pagi
dan radio transistor melantunkan jali-jali
di sepanjang ciliwung wilayah dki
selalu ada upacara ritual terjadi
lelaki clan wanita bergegas pergi
di tepi kali mereka berhenti memelorotkan celana...ah uh ah uh lalu sunyi
Kemudian terdengar bersahutan bunyi-bunyi
dut...dut...bret...plung ..plung...
suara musik berbunyi dut...dut...bret...plung...plung...
suara musik bernyanyi
kombinasi bunyi angin terjepit
dan bunyi benda kuning jatuh di kali
riuh-rendah bagai simfoni
tiba-tiba "bluung"
bunyi anak ngintip kecemplung kali
Samar-samar terdengar suara azan pagi
dan radio transistor melantunkan jali-jali
bebek riang beryanyi "kwek kwek kwek kwek"
ayam jantan berkokok "kukukuruk kok"
burung gereja bernyanyi "cit cit cit cit"
anak anjing berantem "kaing kaing kaing"
anak-anak mandi "byur byur byur byur"
sambil menabuh ember dengan gayung "breng breng"
ibu mencuci pakaian "pyok pyok pyok pyok"
"cuuuuuuuur" bunyi air kencing jatuh ke kali
"ngeoong" bunyi kucing kawin serangan fajar di pagi hari
dan "hap" bunyi ikan lele menyantap tahi
riuh-rendah bagai simfoni
tanpa malu-malu ibu-ibu telanjang mandi "byur byur" tiba-tiba "bluung"
bunyi bapak ngintip kecemplung kali
Di atas jamban asap rokok mengepul pelan
yang lelaki
menutup hidungnya dengan jari
sambil mendekap burungnya dengan tangan kiri
yang wanita menutup auratnya di tempat tersembunyi
sambil melamun menikmati bau tahi
Tiba-tiba ada yang lari sambil memegang perut
dan di tepi jamban teriak "cepetan perut gue sakit"
dari dalam teriak "sama dong"
"wah gile, gue jadi kecerit nih"
dari dalam teriak lagi "sama dong"
"gue ngeri nih, ini celana dalam babe gue"
"mendingan, ini celana dalam pacar gue"
akhirnya dua celana dalam dibuang ke kali
gara-gara gado-gado mak indun
satu rt mencret berkali-kali
dan celana-celana dalam berurutan mengapung di kali
Orang bule itu bilang
"oh my god ... fantastic
we see something different"
ia ngomong beneran atau ngledek kita tak tahu
"oh my god ... fantastic
what kind of perfume we smelt
a unique thing i have never smelt"
saya jawab tegas
"i thing it's combination smelt jasmine and tahi"
"what is tahi"
"it's something like ajinomoto"
biasanya kita ditipu bule, kali ini bule kita kibuli
Dengan celana pendek dan pakaian kumal sekali bule-bule gila sarapan pagi di tepi kali
sambil menyantap ikan lele goreng tadi
saya tanya padanya "is it delicious?"
"oh yes, of course and very chrispy"
Kali ciliwung dalam guinness book of record
ternyata telah tercatat
sebagai wc terpanjang di dunia
Kali ciliwung dalam peta teater dan musik alam
ternyata menyimpan musik orkestra
yang paling unik dan ganjil di dunia.
Jakarta, 10 juli 2006
DOKUMEN BIODATA RINGKAS SASTRAWAN INDONESIA
Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Judul: Leksikon Susastra Indonesia, Penyusun: Korrie Layun Rampan, Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta, Cetakan I: November 2000, Tebal: xv + 576 halaman
Dalam kesusastraan negara mana pun, buku yang memuat sejumlah nama penga-rang berikut karya yang dihasilkannya, sering kali diposisikan sebagai alat legitimasi dan stempel seseorang pantas-tidaknya disebut sastrawan. Buku Twentieth Century Authors A Biographical Dictionary of Modern Literature (disusun Stanley J. Kunitz dan Howard Haycraft, 1963) merupakan contoh, bagaimana buku itu hingga kini dipandang sebagai buku yang berwibawa dan penting yang memuat nama para pengarang Amerika berikut biodata ringkas dan karya-karya yang dihasilkannya. Secara periodik dalam waktu selam-batnya lima atau 10 tahun, buku itu akan mengalami revisi dan penambahan entri. Tidak mengherankan jika dalam setiap edisi, jumlah halaman buku itu akan terus membengkak, lantaran adanya tambahan nama dan data-data baru.
Buku Leksikon Susastra Indonesia (LSI) yang disusun Korrie Layun Rampan ini, juga diharapkan berwibawa dan menjadi semacam alat pengakuan atau bahkan legitimasi bagi kehadiran dan peranan kesastrawanan seseorang. Ia mencatat serba sedikit riwayat hidup sastrawan Indonesia ?sejak Tirto Adhi Soerjo dan Mas Marco Kartodikromo? sampai ke sastrawan Indonesia yang muncul awal tahun 2000. Dengan begitu, buku ini akan dapat dijadikan sebagai panduan awal bagi publik jika ingin mengetahui serba ring-kas biodata pengarang dan karya-karyanya selama kurun waktu lebih seabad lamanya.
Sesungguhnya, langkah Korrie bukanlah hal baru. Sebelum itu, Pamusuk Eneste pernah menyusun buku serupa, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (LKIM) (Ja-karta: Gramedia, 1982; Edisi Baru, Djambatan, 1990). Mencermati LSI dan membanding-kannya dengan LKIM, yang segera tampak adalah adanya pola penyusunan yang sama. Hanya tiga entri dalam LKIM yang luput termuat dalam LSI. Dalam beberapa hal, Korrie berhasil memanfaatkan data dari LKIM dengan memasukkan dan melengkapinya dengan data mutakhir. Keterangan mengenai Linus Suryadi AG (hlm. 262), misalnya, tidak hanya dilengkapi dengan tarikh meninggalnya, tetapi juga dengan karya-karya terbarunya, meski antologi Yogya Kotaku (Grasindo, 1997) tak tercantum di sana. Begitu juga dengan entri Titis Basino P.I. (hlm. 487), Korrie melengkapinya sampai ke novelnya yang terbit tahun 2000. Dari sudut itu, LSI banyak menyajikan nama-nama baru dan informasi terkini.
Jika LKIM (1982) memuat 309 entri dan LKIM Edisi Baru (1990) memuat 582 entri dengan 499 biodata sastrawan, maka LSI yang terbit belakangan memuat 1382 entri, terdiri dari 1231 biodata sastrawan dan 151 nama lembaga, majalah, novel, dan hal lain yang berkaitan dengan peristiwa kesusastraan Indonesia. Dengan begitu, buku LSI memu-at lebih dari dua kali lipat entri dalam LKIM Edisi Baru. Dari segi jumlah data, Korrie telah berhasil mencatat prestasi yang menunjukkan juga ketekunan dan keuletannya.
Demikianlah, sebagai buku yang memuat nama sejumlah sastrawan kita, tentu saja buku LSI cukup representatif. Nama-nama baru, teristimewa yang berasal dari daerah, seperti menyerbu dan memaksa masuk sebagai entri. Barangkali, kita akan kaget sendiri, betapa jumlah sastrawan daerah jauh melebihi jumlah sastrawan ibukota. Data ini meng-indikasikan bahwa sastrawan daerah tidak lagi bangun dan hanya ngulet, tetapi langsung dengan membuat gerakan menerbitkan karya-karyanya sendiri. Dari sudut itu, fenomena itu dapat dimaknai sebagai petunjuk adanya hasrat besar sastrawan daerah untuk mandiri dan tidak lagi bergantung pada dominasi Jakarta.
Sesungguhnya, seperti telah disinggung, LSI dapat menjadi semacam alat legitima-si; stempel peran kesastrawan seseorang diakui kiprahnya. Untuk sampai ke sana, salah satu syarat yang mutlak disampaikan penyusunnya menyangkut pertanggungjawaban. Apa kriterianya dan atas pertimbangan apa seseorang pantas namanya tercatat dalam buku itu. Dalam hal yang menyangkut pemilihan, subjektivitas penyusun harus diakui ikut memain-kan peranan. Namun, sejauh ada pertanggungjawaban, sejauh itu pula, siapa pun atau apa pun yang menjadi entri buku itu, tidak akan menjadi persoalan.
Dalam konteks itu, sayang sekali Korrie melakukan kelalaian yang sama, seperti yang juga pernah dilakukan Pamusuk Eneste. Tidak ada ktiteria, tidak ada argumen, dan tidak ada pula pertanggungjawabannya. Di situlah kemudian muncul berbagai masalah. Sekadar mencatat nama-nama atau apapun dan memasukkannya sebagai entri, tentu boleh-boleh saja, dan tidak ada sesiapa pun yang melarang. Namun, sebagai sebuah karya penting yang niscaya berdampak pada persoalan legitimasi dan cap peran kesastrawanan seseorang, bagaimanapun pertanggungjawabannya menjadi sangat signifikan. Apalagi ke-mudian jika persoalannya dikaithubungkan dengan kualitas dan otoritas.
Ada sejumlah peneliti atau penerjemah asing yang namanya tercatat dalam LSI, tetapi tokoh penting yang banyak menerjemahkan sastra Indonesia dan membuat film do-kumenter tentang beberapa sastrawan kita, John H. Mac-Glynn, tidak tercatat dalam LSI. Tentu masih ada nama lain yang juga patut di-pertimbangkan, semisal Tinneke Helwig (Belanda) yang bolak-balik ke Indonesia guna meneliti citra wanita Indonesia dalam novel-novel kita. Begitupun George Quinn (Australia) yang meski disertasinya mengenai novel berbahasa Jawa, ia juga pengamat sastra Indonesia yang andal.
Mengenai para peneliti asing ini, sungguh mengherankan tidak ada satu pun yang berasal dari negara tetangga Malaysia. Yahaya Ismail yang penelitiannya mengenai keja-tuhan Lekra, Baha Zain yang mengupas sejumlah novel Indonesia yang terbit pada perio-de 1966–1971, dan A. Wahab Ali yang membandingkan novel-novel awal Malaysia dan novel awal terbitan Balai Pustaka, juga luput dalam LSI.
Kealpaan lain menyangkut nama Aryanti (pseud. Prof. Dr. Haryati Subadio) yang telah menghasilkan empat novel dan satu antologi cerpen. Hal yang sama pun terjadi pada sejumlah nama penyair Riau, semisal Hoesnizar Hood, Syaukani Al Karim, Samson Ram-bah Pasir dan Junewal Muchtar. Keempatnya, sungguh penyair yang sudah jadi dan men-janjikan. Tentu kita masih dapat menderetkan nama-nama lain, teristimewa sastrawan dari berbagai daerah yang karya-karyanya mungkin saja luput dari perhatian kita.
Di luar persoalan itu, terutama yang menyangkut butir masukannya, ada beberapa hal yang agaknya justru akan sangat baik jika tidak dipaksakan masuk sebagai entri. Per-tama, adanya sinopsis novel akan menjadi masalah ketika kita mempertanyakan kriteria dan argumen yang mendasarinya. Pertanyaan, mengapa Keluarga Gerilya atau Para Pri-yayi tidak terdapat di sana, dapat berlanjut dengan pertanyaan serupa untuk novel yang lain, termasuk puisi dan drama, yang juga penting mewakili zaman atau periode tertentu.
Kedua, sedikitnya pemuatan nama majalah, penerbit, dan lembaga, dapat ditafsir-kan bahwa “hanya” itu majalah, penerbit dan lembaga yang langsung berhubungan dengan kehidupan sastra Indonesia. Padahal, jika semua itu dijadikan entri, maka boleh jadi butir masukan mengenai nama majalah, penerbit, dan lembaga, akan mencapai jumlah ratusan.
Ketiga, kesan subjektif penyusun terasa agak menonjol jika kita mencermati entri Korrie Layun Rampan (hlm. 244–247) yang begitu lengkap dan panjang. Jika entri H.B. Jassin, Mochtar Lubis atau Pramudya Ananta Toer dan entri lain yang berisi biodata sastrawan disajikan relatif ringkas, mengapa entri yang satu itu jauh melebihi semuanya.
Bahwa pertanyaan-pertanyaan itu muncul semata-mata lantaran penyusun meng-hindar dari pertanggungjawaban. Jika saja ada keterangan dan argumen yang mendasari penyusunannya, niscaya munculnya pertanyaan-pertanyaan itu sudah disediakan jawaban-nya. Jadi, kembali lagi, muara persoalan itu jatuh pada ihwal pertanggungjawaban
Di luar kelalaian kecil itu, bagaimanapun juga LSI tetap punya tempat yang khas dan kita dapat memperlakukannya sebagai dokumen penting. Tanpa usaha Korrie, sangat mungkin sejumlah nama yang berkarya “sekali tidak berarti, sesudah itu mati” akan benar-benar mati sebelum ia hidup. Oleh karena itu, dari sudut pendokumentasian, LSI telah menempati posisinya sebagai tonggak penting. Bahkan, jika karya sejenis ini digarap secara sungguh-sungguh, ia akan menjadi sebuah monumen yang sangat mungkin tidak dapat lagi dipisahkan dari perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia. Dengan ketelatenan dan keuletan seorang Korrie Layun Rampan, rasanya kita percaya, Korrie niscaya mampu melakukan itu. Tahniah!
(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI).
http://mahayana-mahadewa.com/
Judul: Leksikon Susastra Indonesia, Penyusun: Korrie Layun Rampan, Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta, Cetakan I: November 2000, Tebal: xv + 576 halaman
Dalam kesusastraan negara mana pun, buku yang memuat sejumlah nama penga-rang berikut karya yang dihasilkannya, sering kali diposisikan sebagai alat legitimasi dan stempel seseorang pantas-tidaknya disebut sastrawan. Buku Twentieth Century Authors A Biographical Dictionary of Modern Literature (disusun Stanley J. Kunitz dan Howard Haycraft, 1963) merupakan contoh, bagaimana buku itu hingga kini dipandang sebagai buku yang berwibawa dan penting yang memuat nama para pengarang Amerika berikut biodata ringkas dan karya-karya yang dihasilkannya. Secara periodik dalam waktu selam-batnya lima atau 10 tahun, buku itu akan mengalami revisi dan penambahan entri. Tidak mengherankan jika dalam setiap edisi, jumlah halaman buku itu akan terus membengkak, lantaran adanya tambahan nama dan data-data baru.
Buku Leksikon Susastra Indonesia (LSI) yang disusun Korrie Layun Rampan ini, juga diharapkan berwibawa dan menjadi semacam alat pengakuan atau bahkan legitimasi bagi kehadiran dan peranan kesastrawanan seseorang. Ia mencatat serba sedikit riwayat hidup sastrawan Indonesia ?sejak Tirto Adhi Soerjo dan Mas Marco Kartodikromo? sampai ke sastrawan Indonesia yang muncul awal tahun 2000. Dengan begitu, buku ini akan dapat dijadikan sebagai panduan awal bagi publik jika ingin mengetahui serba ring-kas biodata pengarang dan karya-karyanya selama kurun waktu lebih seabad lamanya.
Sesungguhnya, langkah Korrie bukanlah hal baru. Sebelum itu, Pamusuk Eneste pernah menyusun buku serupa, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (LKIM) (Ja-karta: Gramedia, 1982; Edisi Baru, Djambatan, 1990). Mencermati LSI dan membanding-kannya dengan LKIM, yang segera tampak adalah adanya pola penyusunan yang sama. Hanya tiga entri dalam LKIM yang luput termuat dalam LSI. Dalam beberapa hal, Korrie berhasil memanfaatkan data dari LKIM dengan memasukkan dan melengkapinya dengan data mutakhir. Keterangan mengenai Linus Suryadi AG (hlm. 262), misalnya, tidak hanya dilengkapi dengan tarikh meninggalnya, tetapi juga dengan karya-karya terbarunya, meski antologi Yogya Kotaku (Grasindo, 1997) tak tercantum di sana. Begitu juga dengan entri Titis Basino P.I. (hlm. 487), Korrie melengkapinya sampai ke novelnya yang terbit tahun 2000. Dari sudut itu, LSI banyak menyajikan nama-nama baru dan informasi terkini.
Jika LKIM (1982) memuat 309 entri dan LKIM Edisi Baru (1990) memuat 582 entri dengan 499 biodata sastrawan, maka LSI yang terbit belakangan memuat 1382 entri, terdiri dari 1231 biodata sastrawan dan 151 nama lembaga, majalah, novel, dan hal lain yang berkaitan dengan peristiwa kesusastraan Indonesia. Dengan begitu, buku LSI memu-at lebih dari dua kali lipat entri dalam LKIM Edisi Baru. Dari segi jumlah data, Korrie telah berhasil mencatat prestasi yang menunjukkan juga ketekunan dan keuletannya.
Demikianlah, sebagai buku yang memuat nama sejumlah sastrawan kita, tentu saja buku LSI cukup representatif. Nama-nama baru, teristimewa yang berasal dari daerah, seperti menyerbu dan memaksa masuk sebagai entri. Barangkali, kita akan kaget sendiri, betapa jumlah sastrawan daerah jauh melebihi jumlah sastrawan ibukota. Data ini meng-indikasikan bahwa sastrawan daerah tidak lagi bangun dan hanya ngulet, tetapi langsung dengan membuat gerakan menerbitkan karya-karyanya sendiri. Dari sudut itu, fenomena itu dapat dimaknai sebagai petunjuk adanya hasrat besar sastrawan daerah untuk mandiri dan tidak lagi bergantung pada dominasi Jakarta.
Sesungguhnya, seperti telah disinggung, LSI dapat menjadi semacam alat legitima-si; stempel peran kesastrawan seseorang diakui kiprahnya. Untuk sampai ke sana, salah satu syarat yang mutlak disampaikan penyusunnya menyangkut pertanggungjawaban. Apa kriterianya dan atas pertimbangan apa seseorang pantas namanya tercatat dalam buku itu. Dalam hal yang menyangkut pemilihan, subjektivitas penyusun harus diakui ikut memain-kan peranan. Namun, sejauh ada pertanggungjawaban, sejauh itu pula, siapa pun atau apa pun yang menjadi entri buku itu, tidak akan menjadi persoalan.
Dalam konteks itu, sayang sekali Korrie melakukan kelalaian yang sama, seperti yang juga pernah dilakukan Pamusuk Eneste. Tidak ada ktiteria, tidak ada argumen, dan tidak ada pula pertanggungjawabannya. Di situlah kemudian muncul berbagai masalah. Sekadar mencatat nama-nama atau apapun dan memasukkannya sebagai entri, tentu boleh-boleh saja, dan tidak ada sesiapa pun yang melarang. Namun, sebagai sebuah karya penting yang niscaya berdampak pada persoalan legitimasi dan cap peran kesastrawanan seseorang, bagaimanapun pertanggungjawabannya menjadi sangat signifikan. Apalagi ke-mudian jika persoalannya dikaithubungkan dengan kualitas dan otoritas.
Ada sejumlah peneliti atau penerjemah asing yang namanya tercatat dalam LSI, tetapi tokoh penting yang banyak menerjemahkan sastra Indonesia dan membuat film do-kumenter tentang beberapa sastrawan kita, John H. Mac-Glynn, tidak tercatat dalam LSI. Tentu masih ada nama lain yang juga patut di-pertimbangkan, semisal Tinneke Helwig (Belanda) yang bolak-balik ke Indonesia guna meneliti citra wanita Indonesia dalam novel-novel kita. Begitupun George Quinn (Australia) yang meski disertasinya mengenai novel berbahasa Jawa, ia juga pengamat sastra Indonesia yang andal.
Mengenai para peneliti asing ini, sungguh mengherankan tidak ada satu pun yang berasal dari negara tetangga Malaysia. Yahaya Ismail yang penelitiannya mengenai keja-tuhan Lekra, Baha Zain yang mengupas sejumlah novel Indonesia yang terbit pada perio-de 1966–1971, dan A. Wahab Ali yang membandingkan novel-novel awal Malaysia dan novel awal terbitan Balai Pustaka, juga luput dalam LSI.
Kealpaan lain menyangkut nama Aryanti (pseud. Prof. Dr. Haryati Subadio) yang telah menghasilkan empat novel dan satu antologi cerpen. Hal yang sama pun terjadi pada sejumlah nama penyair Riau, semisal Hoesnizar Hood, Syaukani Al Karim, Samson Ram-bah Pasir dan Junewal Muchtar. Keempatnya, sungguh penyair yang sudah jadi dan men-janjikan. Tentu kita masih dapat menderetkan nama-nama lain, teristimewa sastrawan dari berbagai daerah yang karya-karyanya mungkin saja luput dari perhatian kita.
Di luar persoalan itu, terutama yang menyangkut butir masukannya, ada beberapa hal yang agaknya justru akan sangat baik jika tidak dipaksakan masuk sebagai entri. Per-tama, adanya sinopsis novel akan menjadi masalah ketika kita mempertanyakan kriteria dan argumen yang mendasarinya. Pertanyaan, mengapa Keluarga Gerilya atau Para Pri-yayi tidak terdapat di sana, dapat berlanjut dengan pertanyaan serupa untuk novel yang lain, termasuk puisi dan drama, yang juga penting mewakili zaman atau periode tertentu.
Kedua, sedikitnya pemuatan nama majalah, penerbit, dan lembaga, dapat ditafsir-kan bahwa “hanya” itu majalah, penerbit dan lembaga yang langsung berhubungan dengan kehidupan sastra Indonesia. Padahal, jika semua itu dijadikan entri, maka boleh jadi butir masukan mengenai nama majalah, penerbit, dan lembaga, akan mencapai jumlah ratusan.
Ketiga, kesan subjektif penyusun terasa agak menonjol jika kita mencermati entri Korrie Layun Rampan (hlm. 244–247) yang begitu lengkap dan panjang. Jika entri H.B. Jassin, Mochtar Lubis atau Pramudya Ananta Toer dan entri lain yang berisi biodata sastrawan disajikan relatif ringkas, mengapa entri yang satu itu jauh melebihi semuanya.
Bahwa pertanyaan-pertanyaan itu muncul semata-mata lantaran penyusun meng-hindar dari pertanggungjawaban. Jika saja ada keterangan dan argumen yang mendasari penyusunannya, niscaya munculnya pertanyaan-pertanyaan itu sudah disediakan jawaban-nya. Jadi, kembali lagi, muara persoalan itu jatuh pada ihwal pertanggungjawaban
Di luar kelalaian kecil itu, bagaimanapun juga LSI tetap punya tempat yang khas dan kita dapat memperlakukannya sebagai dokumen penting. Tanpa usaha Korrie, sangat mungkin sejumlah nama yang berkarya “sekali tidak berarti, sesudah itu mati” akan benar-benar mati sebelum ia hidup. Oleh karena itu, dari sudut pendokumentasian, LSI telah menempati posisinya sebagai tonggak penting. Bahkan, jika karya sejenis ini digarap secara sungguh-sungguh, ia akan menjadi sebuah monumen yang sangat mungkin tidak dapat lagi dipisahkan dari perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia. Dengan ketelatenan dan keuletan seorang Korrie Layun Rampan, rasanya kita percaya, Korrie niscaya mampu melakukan itu. Tahniah!
(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI).
Puisi-Puisi Ni Putu Destriani Devi
http://www.kompas.com/
Tata nini pon-pon:
Wibi
Tata nini pon-pon,
Bawakan kakak
kuda kayu yang bergoyang
di masa kanak dulu
Jadikan kakak boneka kelinci
yang kau peluk di tepi senyum mungilmu
Tata nini pon-pon,
Jangan nyanyikan cicak-cicak di dinding lagi
Jangan menirukan suara cicak lagi
Bergoyanglah lagu tata nini pon-pon untuk kakak
Lagu yang kakak nyanyikan untukmu
Tata nini pon-pon,
Tunjukkan tari perut yang membuat semua mata tertawa
Di badanmu yang gendut,
Ada beribu permen karamel yang tertinggal
Di ponimu,
Tersembunyi balon warna-warni serupa pelangi
Di tawamu yang berlarian
Ada masa riang ayah dan ibu yang hilang
UNTUK SI MATA SIPIT
Di bawah selimut bibir merah
tersembunyi surat si mata sipit
yang terjepit misteri dirambutnya
Geraknya di ayuni senyum mungil
entah kemana
bahkan tiap cermin melukiskan haru
dan terselip di langit biru
untuk lelaki yang entah untuk siapa?
sejak hujan menengadahkan kagumnya
angin-angin tak lagi menangis
payung-payung tak lagi menari
semua sajak jadi musim semi
di senja yang sendiri
aku dan catatan kecil tentang bola-bola yang melayang
melamunkan hari-hari yang menghilang
SAJAK UNTUK PERAWAN PERAGU
Aku perawan suci
yang menyeka gerimis itu
Di balik senja yang retak
Pagi selalu datang terlambat untukku
Apalagi yang harusku lukiskan untukmu?
Sepotong roti yang membuatmu jatuh hati?
atau dua buah bantal?
dan aku hanya berlari-lari kecil diantaranya
aku ini perawan suci
entah sampai kapan
semua dosa ku lebur jadi doa
semua kata ku tulis jadi nyata
semua lelaki tunduk meraih tanganku
kini aku perawan sepi
rindu dipuja lelaki
dan kecupan duniawi
merpati-merpati pulang bersama ceritaku
gaun merah menunggu
serupa apel yang layu
aku perawan suci?
Entah sejak kapan
SEPARAS PERTIWI (II)
Di samping sungai
Tanpa setetes letih
Wanita-wanita memusungkan inginnya
menuliskan hari-harinya di atas kaki-kaki kecil anaknya
Di tepi senyum
yang menetes di bibir
mengalir tawa anaknya
Menjunjung paras-paras
Menggali serpihan pasir kali
menggali lagi nasib
Telapak surga yang orang bilang,
Menelanjangi anak tangga yang becek
Menjunjung paras-paras yang mengeras
serupa garis tangannnya
Inikah negerimu?
Inikah paras-paras serupa wajah ibumu?
Wanita-wanita penjunjung paras
Menggandeng masa kanak si bocah,
Berharap sang ibu kembali
Pulang dari menjunjung parasnya
Aku Lapar
Kapan kertas-kertas ini akan jadi sepiring nasi?
Aku sungguh lapar
Seandainya ada seorang kekasih
Datang dan membawakan aku sebungkus coklat
Tapi laparku berbisik:
Coba kau lempar saja kertas-kertas itu
Mungkin saja akan jadi secangkir coklat hangat
Mengapa aku harus selalu diingatkan
tentang surat-surat?
atau kertas-kertas?
Mengapa tidak ada yang mengingatkan aku
untuk makan siang
atau menulis sajak?
Seandainya semua angka-angka
Dan huruf-huruf ini
Memasakkanku semangkuk hangat rasa kenyang
Entah berapa sajak lagi yang bisa ku terbangkan
Selain sajak yang lapar ini
Untuk sajak cinta (II)
Aku mencintaimu,
Maka tak ada sajak lain selain dirimu
Tiga atau enam tahun bukan masalah bagiku
karena menunggu selalu menemaniku
Aku tak tahu sejauh apa hatimu
Atau sedalam apa letihmu
Tapi aku selalu menyediakan beranda bernama kerinduan
Dari sana kau bisa lihat,
Seberapa dekat bibirku
Dan begitu dalamnya pelukku
Bahkan bila beranda itu telah hanyut
Kau bisa menemukanku ditiap kata-kata cinta yang ditulis penyair
Di tiap senyum yang di titipkan matahari untukmu
Atau wangi hujan yang membalut daun-daun
Hanya karena ku mencintaimu,
Maka tak ada sajak lain selain dirimu
Kecoa diantara Lukisan
Kecoa diantara lukisan
Terkurung antara dialog-dialog warna
Matanya yang melukiskan kagum
Seolah sedang memahami biru yang luntur
Disudut kanvas
Tiap orang bergilir membacakan sajaknya
bergilir bercerita tentang cintanya yang sendiri
atau akan sendiri
Sementara tak ada seorang yang tahu,
Gerak kuas yang mulai menari
Berlari diantara sajak
Dan jatuh disela kanvas
Memuntahkan semua kata-kata
Dan masuk ke sumsum yang paling dalam
Tak ada yang menyadari,
Kecoa kecil itu kini luluh
Jadi tetesan
Di lukisan
Pagi Ini
Pagi ini,
Hujan menyanyikan lagu cinta untukku
Untuk kekasih yang tak ingin sekadar tubuh
Untuk kekasih yang tak ingin sekadar tidur
Cinta akhir tahun di tepi lukisan malam
Aku ingat saat pertama kali kau melambai,
dengan getir suara
yang membutakan semua lampu-lampu jalan
Entah sudah berapa lagu ku masuki
hanya untuk menemukanmu
tapi kau selalu menyembunyikannya
di balik kaca mata itu
hanya tidur yang bisa membuatku sedekat itu denganmu
karena mimpilah,
aku bisa membuatmu berpeluk di pangkuanku
Untuk Hujan (2005)
Hujan, bermimpilah tentangku
Izinkan aku untuk mengirim rindu
Dan jangan tolak kue yang ku buat basah untukmu ini
Tolong biarkan aku jadi bagian dari tidur nyenyakmu
Bahkan jadi liur atau dengkurmu
Biarkan aku membacakan sajak ini untukmu
Ada banyak sajak yang telah ku tulis untukmu
Sebanyak inginku untuk bertemu denganmu
Maka izinkan aku untuk jadi mimpimu di hari Minggu
Karena mungkin hari-harimu
telah kau sediakan untuk mimpi gadis lain
ada banyak senyum yang beku
ada banyak kata, banyak pinta
banyak riang yang telah beku
yang tak sempat ku samapaikan untukmu
maka izinkanlah aku
untuk jadi mimpimu
Terimakasih Hujan
(karena telah membawa kembali dirinya)
Hal yang paling ku banggakan dalam hidupku
adalah mencintainya
Dia yang datang membawa senyum baru untukku
dan kini pergi dengan senyum itu
Aku ingin kembali dan jadi diriku yang lalu
Bersama jemu
yang membuatku rindu akan lelahku
apa artinya airmata
jika ia bisa membuat suara langkahnya kembali
aku tak peduli seberapa banyak yang harus ku bayar
untuk memimpikanmu
‘Rumahku surgamu”
Selembar doa untuk hujan
Semoga suatu saat nanti aku masih bisa mencintainya
Ini cinta sederhana untuknya,
dan dia tak akan pernah tahu
Tata nini pon-pon:
Wibi
Tata nini pon-pon,
Bawakan kakak
kuda kayu yang bergoyang
di masa kanak dulu
Jadikan kakak boneka kelinci
yang kau peluk di tepi senyum mungilmu
Tata nini pon-pon,
Jangan nyanyikan cicak-cicak di dinding lagi
Jangan menirukan suara cicak lagi
Bergoyanglah lagu tata nini pon-pon untuk kakak
Lagu yang kakak nyanyikan untukmu
Tata nini pon-pon,
Tunjukkan tari perut yang membuat semua mata tertawa
Di badanmu yang gendut,
Ada beribu permen karamel yang tertinggal
Di ponimu,
Tersembunyi balon warna-warni serupa pelangi
Di tawamu yang berlarian
Ada masa riang ayah dan ibu yang hilang
UNTUK SI MATA SIPIT
Di bawah selimut bibir merah
tersembunyi surat si mata sipit
yang terjepit misteri dirambutnya
Geraknya di ayuni senyum mungil
entah kemana
bahkan tiap cermin melukiskan haru
dan terselip di langit biru
untuk lelaki yang entah untuk siapa?
sejak hujan menengadahkan kagumnya
angin-angin tak lagi menangis
payung-payung tak lagi menari
semua sajak jadi musim semi
di senja yang sendiri
aku dan catatan kecil tentang bola-bola yang melayang
melamunkan hari-hari yang menghilang
SAJAK UNTUK PERAWAN PERAGU
Aku perawan suci
yang menyeka gerimis itu
Di balik senja yang retak
Pagi selalu datang terlambat untukku
Apalagi yang harusku lukiskan untukmu?
Sepotong roti yang membuatmu jatuh hati?
atau dua buah bantal?
dan aku hanya berlari-lari kecil diantaranya
aku ini perawan suci
entah sampai kapan
semua dosa ku lebur jadi doa
semua kata ku tulis jadi nyata
semua lelaki tunduk meraih tanganku
kini aku perawan sepi
rindu dipuja lelaki
dan kecupan duniawi
merpati-merpati pulang bersama ceritaku
gaun merah menunggu
serupa apel yang layu
aku perawan suci?
Entah sejak kapan
SEPARAS PERTIWI (II)
Di samping sungai
Tanpa setetes letih
Wanita-wanita memusungkan inginnya
menuliskan hari-harinya di atas kaki-kaki kecil anaknya
Di tepi senyum
yang menetes di bibir
mengalir tawa anaknya
Menjunjung paras-paras
Menggali serpihan pasir kali
menggali lagi nasib
Telapak surga yang orang bilang,
Menelanjangi anak tangga yang becek
Menjunjung paras-paras yang mengeras
serupa garis tangannnya
Inikah negerimu?
Inikah paras-paras serupa wajah ibumu?
Wanita-wanita penjunjung paras
Menggandeng masa kanak si bocah,
Berharap sang ibu kembali
Pulang dari menjunjung parasnya
Aku Lapar
Kapan kertas-kertas ini akan jadi sepiring nasi?
Aku sungguh lapar
Seandainya ada seorang kekasih
Datang dan membawakan aku sebungkus coklat
Tapi laparku berbisik:
Coba kau lempar saja kertas-kertas itu
Mungkin saja akan jadi secangkir coklat hangat
Mengapa aku harus selalu diingatkan
tentang surat-surat?
atau kertas-kertas?
Mengapa tidak ada yang mengingatkan aku
untuk makan siang
atau menulis sajak?
Seandainya semua angka-angka
Dan huruf-huruf ini
Memasakkanku semangkuk hangat rasa kenyang
Entah berapa sajak lagi yang bisa ku terbangkan
Selain sajak yang lapar ini
Untuk sajak cinta (II)
Aku mencintaimu,
Maka tak ada sajak lain selain dirimu
Tiga atau enam tahun bukan masalah bagiku
karena menunggu selalu menemaniku
Aku tak tahu sejauh apa hatimu
Atau sedalam apa letihmu
Tapi aku selalu menyediakan beranda bernama kerinduan
Dari sana kau bisa lihat,
Seberapa dekat bibirku
Dan begitu dalamnya pelukku
Bahkan bila beranda itu telah hanyut
Kau bisa menemukanku ditiap kata-kata cinta yang ditulis penyair
Di tiap senyum yang di titipkan matahari untukmu
Atau wangi hujan yang membalut daun-daun
Hanya karena ku mencintaimu,
Maka tak ada sajak lain selain dirimu
Kecoa diantara Lukisan
Kecoa diantara lukisan
Terkurung antara dialog-dialog warna
Matanya yang melukiskan kagum
Seolah sedang memahami biru yang luntur
Disudut kanvas
Tiap orang bergilir membacakan sajaknya
bergilir bercerita tentang cintanya yang sendiri
atau akan sendiri
Sementara tak ada seorang yang tahu,
Gerak kuas yang mulai menari
Berlari diantara sajak
Dan jatuh disela kanvas
Memuntahkan semua kata-kata
Dan masuk ke sumsum yang paling dalam
Tak ada yang menyadari,
Kecoa kecil itu kini luluh
Jadi tetesan
Di lukisan
Pagi Ini
Pagi ini,
Hujan menyanyikan lagu cinta untukku
Untuk kekasih yang tak ingin sekadar tubuh
Untuk kekasih yang tak ingin sekadar tidur
Cinta akhir tahun di tepi lukisan malam
Aku ingat saat pertama kali kau melambai,
dengan getir suara
yang membutakan semua lampu-lampu jalan
Entah sudah berapa lagu ku masuki
hanya untuk menemukanmu
tapi kau selalu menyembunyikannya
di balik kaca mata itu
hanya tidur yang bisa membuatku sedekat itu denganmu
karena mimpilah,
aku bisa membuatmu berpeluk di pangkuanku
Untuk Hujan (2005)
Hujan, bermimpilah tentangku
Izinkan aku untuk mengirim rindu
Dan jangan tolak kue yang ku buat basah untukmu ini
Tolong biarkan aku jadi bagian dari tidur nyenyakmu
Bahkan jadi liur atau dengkurmu
Biarkan aku membacakan sajak ini untukmu
Ada banyak sajak yang telah ku tulis untukmu
Sebanyak inginku untuk bertemu denganmu
Maka izinkan aku untuk jadi mimpimu di hari Minggu
Karena mungkin hari-harimu
telah kau sediakan untuk mimpi gadis lain
ada banyak senyum yang beku
ada banyak kata, banyak pinta
banyak riang yang telah beku
yang tak sempat ku samapaikan untukmu
maka izinkanlah aku
untuk jadi mimpimu
Terimakasih Hujan
(karena telah membawa kembali dirinya)
Hal yang paling ku banggakan dalam hidupku
adalah mencintainya
Dia yang datang membawa senyum baru untukku
dan kini pergi dengan senyum itu
Aku ingin kembali dan jadi diriku yang lalu
Bersama jemu
yang membuatku rindu akan lelahku
apa artinya airmata
jika ia bisa membuat suara langkahnya kembali
aku tak peduli seberapa banyak yang harus ku bayar
untuk memimpikanmu
‘Rumahku surgamu”
Selembar doa untuk hujan
Semoga suatu saat nanti aku masih bisa mencintainya
Ini cinta sederhana untuknya,
dan dia tak akan pernah tahu
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati