Sabtu, 31 Januari 2009

Cantik

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Gubernur marah besar. Panitia pemilihan Ratu Kecantikan 2008 dipanggil. Mereka dicecer dengan berbagai pertanyaan. Mengapa dari 9 wanita tercantik pilihan masyarakat tidak seorang pun adalah putri daerah?

“Kalau begitu apa gunanya ada pemilihan Ratu Kebaya, Ratu Dangdut, Ratu Kaca Mata, Ratu Mercy, Kontes Mirip Bintang, Miss ini-itu yang setiap bulan diadakan di mall-mall sampai salon-salon kecantikan kagetan kayak jamur di musim hujan? Apa betul putri daerah kita tidak ada yang cantik. Berarti kebanyakan mereka semua akan jadi perawan tua, karena pria kuta lebih mengagumi putri-putri dari luar sana? Ini tragedi!”

“Tapi ini kan hanya kegiatan hura-hura yang informal Pak?”

“Memang! Tapi masak bintang-bintang Hollywood itu yang dibilang cantik. Itu kan karena kalian hanya lihat di film. Film itu sudah penuh dengan tipuan gambar. Baik kameranya, tata lampunya dan sudut pandangnya sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga kerbau pun kalau dirancang seperti itu akan keliahatan aduhai. Coba kalau kalian lihat kenyataannya. Tulang-tulangnya yang besar, kakinya yang berbulu, kulitnya yang sepereti mayat dan bau kejunya yang mana tahan, kalian akan menyesal sudah sesat memilih idola. Realistis sedikit! Jangan terus bermimpi! Putri-putri daerah kita semuanya cantik. Hanya karena kalian lihat setiap hari saja, kecantikannya kalian lupakan. Seperti gajah yang tak nampak karena adanya di pelupuk mata. Kalian harus belajar menghargai milik sendiri!”

Panitia tidak berani menjawab. Gubernur sedang asyik dengan kemarahannya. Kalau dipotong bisa parah.

“Coba apa kreteria kalian menentukan kecantikan sampai bintang-bintang film yang doyan gonta-ganti pasangan itu dianggap yang paling cantik. Apa kecantikan wajah itu diukur dari panjang hidung atau keberaniannya memperlihatkan badan sehingga mengundang nafsu. Bagaimana dengan kecantikan kepribadian dan moral serta kecerdasan. Apa itu bukan bagian dari kreteria yang menetapkan seseorang itu cantik?”

“Kami tidak memberikan kreteria, Pak. Itu terserah mereka yang mengirimkan jawaban.”

“Jadi ngawur?”

“Bukan Pak. Kami hanya tidak memberikan batasan apa itu kecantikan. Karena ukuran kecantikan itu kan subyektif, jadi kami serahkan pada para pembaca saja.”

“Itu namanya tidak bertanggungjawab!”

Panitia bingung.

“Maksud Bapak, kami harus bertanggungjawab?”

“Ya dong! Sebagai warganegara yang baik, saudara harus bisa mempertanggungjawabkan kontes yang saudara adakan!”

“Kalau itu sudah, Pak. Kami sudah umumkan jumlah suara yang masuk. Urutannya jelas. Kami akan segera memilih pemenang di antara pemilih dengan cara memilih kartu pos mereka pada malam selamatan ulang tahun media kami.”

“Bagaimana kalau satu orang mengirim 1000 kartu pos?”

“Boleh saja, Pak, asal mereka menempel juga stiker yang ada di majalah kami.”

“Kalau begitu, bisa saja 9 perempuan tercantik itu bukan tercantik berdasarkan pilihan rakyat kita semua, tapi pilihan beberapa orang yang mau kirim kartu pos dan mampu membeli majalah Anda?”

“Memang begitu, Pak!”

“Umumkan dong!”

“Untuk apa Pak?”

“Ya itu tanggungjawab saudara sebagai penyelenggara!”

“Tidak perlu, Pak, sebab mereka sudah tahu.”

“Tidak bisa! Saudara harus mengumumkan bahwa 9 wanita tercantik ini bukan pilhan kita, tapi pilihan yang mengirim jawaban saja. Dan karena yang mengirim jawaban hanya beberapa ribu, tidak mencerminkan jutaan warga kita, berarti kemenangan mereka palsu. Mereka bukan 9 wanita tercantik.”

“Memang bukan, Pak!”

“Kalau begitu umumkan dong!”

Pertemuan selesai. Gubernur tak ada waktu lagi untuk berdebat, sebab harus terbang ke luar negeri menghadiri sebuah Festival yang diselenggarakan oleh negara sahabat. Para panitia segera berunding. Kemudian pihak perusahaan mendesak agar himbauan Gubernur dilaksanakan, karena menyangkut keselamatan majalah.

Setelah mempertimbangkan masak-masak, panitia mengambil jalan tengah. Keputusan pemenang dibatalkan, karena dianggap ada indikasi sudah terjadi kekisruhan akibat kurangnya kriteria. Pemilihan akan akan diulang. Sebagai kompensasi, hadiah yang rencananya diberikan kepada para pemilih, dilipatgandakan..

Ada protes, tetapi tidak terlalu berarti. Lomba pun dimulai kembali. Pilihan dibatasi sebatas orang-orang cantik di dalam negeri. Kriterianya pun dicantumkan dengan jelas. Bukan hanya kecantikan phisik yang terpakai, tetapi juga kecantikan kepribadian. Beberapa kreteria juga menggiring calon pemilih untuk memilih ratu-ratu hasil pemilihan berbagai kontes di daerah.

Hasilnya amat mengagetkan. Dari sembilan wanita tercantik di dalam negeri, ternyata lima di antaranya adalah wadam. Memang cantik tetapi sebenarnya lelaki Guberbur yang baru pulang dari luar negeri terkejut. Di bandara, ia sudah ngomel di depan para wartawan, karena merasa tidak puas.

Panitia kembali diundang berdialog.

“Kenapa saudara sampai membiarkan 5 wanita adam masuk ke dalam 9 wanita cantik di negeri ini?”

Panita ketawa.

“Jangan ketawa ini serius!’

“Peserta mungkin mulai sadar bahwa pemilihan yang kami lakukan adalah pemilihan main-main, Pak!”

“Tidak ini tidak main-main. Ini cerminan dari perasan mereka yang sejujurnya.”

“Kalau itu betul, Pak. Karena tidak formal dan tidak ada sanksi apa-apa, para pemilih itu mengungkapkan apa adanya. Saya kira karena kriterianya bukan hanya elemen phisik tetapi juga kepribadian, pilihan mreka kami anggap wajar, Pak. Mereka yang terpilih memang sangat professional.”

“Profesional apaan! Itu pilihan yang salah. Itu cerminan bahwa masyarakat kita sedang sakit!”

Panitia mengangguk.

“Kok memngangguk?”

“Saya kira itu ada benarnya, masyarakat kita sedang sakit!”

“Tidak! Masyarakat kita masyarakat yang sehat, bukan masyarakat yang sakit. Saudara yang sudah membuat mereka sakit. Saya minta keputusan ini dicabut. Tidak boleh ada wadam yang dipuji sebagai 9 wanita cantik. Ini salah kaprah!”

Panita bengong.

“Maksud Bapak kami harus mengulangi pemilihan ini sekali lagi?”

“Tidak usah! Tapi ganti pemenangnya dengan ini!”

Gubernut mengeluarkan secarik kertas dari kantungya.

“Cabut nama-nama itu dan gantikan dengan nama-nama ini! Kita bukan masyarakat yang sakit!”

Sawang

Ragdi F Daye
http://www.riaupos.com/

Pencari daun enau itu terkejut ketika melihat seorang laki-laki duduk melamun di atas batu karang yang berlumut. Laki-laki itu memakai celana jins biru pudar dan kaos abu-abu. Punggungnya sedikit membungkuk digayuti ransel hitam. Pencari daun enau itu sudah bertahun-tahun menjelajahi rimba Bukik Kapocong untuk mencari pucuk enau, daun pandan berduri, atau buah-buah damar. Dia sering bertemu dengan pemburu babi, pemikat burung, atau para pecinta alam. Namun, belakangan dia lebih sering sendirian di tengah hutan.

Diturunkannya ikatan daun enau dari bahunya. “Sendiri saja?”

Laki-laki itu sama terkejutnya. Dia mengangguk pendek.

“Mau berburu?”

Dia masih muda. Tatapan matanya begitu murung di bawah rambutnya yang menjuntai di kening. Dia mengangguk dingin seperti menginginkan percakapan itu lekas tuntas. Pencari daun enau kembali mengamati. Memperhatikan ransel hitamnya yang terlalu bersih untuk dibawa ke hutan. Arloji di tangan. Juga pakaiannya. Dia ingin bersikap acuh karena maksudnya datang ke hutan itu cuma untuk mencari pucuk daun enau yang nantinya akan dia jemur di rumah lantas dijual ke pasar. Dia tak perlu mengurus orang asing yang sama sekali tak bersangkut paut dengannya. Pencari daun enau itu menyandang ikatan daun enau ke bahunya yang bungkuk. “Berhati-hatilah. Harimau memang tidak akan datang mengganggu, tetapi banyak ular berbisa dan pacet yang bisa menguras habis darahmu.”

Mata mereka bertemu. Sepasang mata muda yang luka dan sepasang mata tua yang letih.

Pencari daun enau itu merasa hatinya direjam kesedihan yang ganjil. Dia menemukan keputusasaan yang siap membunuh. Serta merta pikirannya membayangkan laki-laki muda itu berdiri di tubir jurang, lalu melemparkan diri ke runcing karang.

“Hati-hatilah!” Dia melanjutkan langkah ke bawah.

***

“Aku hanya ingin sendiri dan mati.” Ucap laki-laki muda itu setelah sosok si pencari daun enau hilang di balik semak. “Aku malah bersyukur bila ada harimau datang dan menerkamku. Mencabik-cabik tubuhku. Mengoyak-ngoyak badanku. Menghabisi sekerat hatiku!” Dia menatap nanar rerimbunan pohon-pohon yang tingginya puluhan meter.

Dari arah barat matahari memancarkan sinar kuning pucat.

Laki-laki itu sudah meninggalkan rumah sejak kemarin. Mulanya dia hanya ingin melarikan diri dari suasana rumah, dari urusan menyebar undangan, dari mimpi buruk, dari sumpah dan kejaran rasa bersalah, dari segala kecamuk di pikirannya. Dia mengunjungi teman-temannya, meminta waktu mereka untuk mendengarkan dia bicara. Tetapi tak ada seorang pun yang mau percaya bahwa kondisinya begitu buruk. Dia pun memutuskan pergi ke pinggir kota di pagi hari dengan angkutan umum, kemudian berjalan kaki ke pebukitan yang sering dia pandangi dari balkon.

Dia merasa sakit dan sangat tidak siap. Dia yakin, bila dia melanjutkan apa yang sudah dirancang untuknya, dia hanya akan menjadi pengkhianat. Dia tak akan pernah mencintai siapa pun. Dadanya sudah nyaris kosong. Hatinya cuma tinggal robekan-robekan yang tidak utuh.

Dia telah berjalan, dan terlalu jauh untuk kembali. Dia juga tak yakin semuanya akan seperti sedia kala bila dia kembali. Di pinggang bukit dia berdiri. Jauh di bawah kakinya samar-samar tampak kota dan laut, dan awan-awan, dan langit yang keruh. Angin menampar-nampar mukanya. Dihirupnya dengan risau. Dia telah mencucukkan sebilah pisau ke dada ibunya yang dulu semasa kecil pernah dia teguk sari kehidupan dari kedua susunya.

Semuanya telah berbeda. Dia bukan lagi seorang bocah manis yang selalu tertawa dengan hidung dan mata mengernyit.

Ayo, melompatlah!

Ayo, akhirilah!

Hatinya terasa diremas oleh gelap malam yang turun bersama dingin kabut. Haruskah dia melompat jatuh dan mati, atau berlari turun dan pulang? Dia sama sekali bukan seorang petualang, malah hanya seorang manusia rapuh yang cengeng.

Dikeluarkannya HP dari saku, mencoba terangi sekeliling tempat itu. Dia tak membawa korek api, lilin, apalagi senter. Kegundahan telah membuatnya benar-benar tolol. Tak ada sinyal. Dibukanya folder foto dan video. Disaksikannya gambar-gambar itu sehingga berbagai kenangan dan rasa menggenangi hatinya.

Ruang tamu. Komplek pemakaman. Jembatan penyeberangan. Dia sedang sendiri berlatar pantai. Ibu berkerudung hitam. Kartun. Kartun horor. Merpati-merpati di taman. Lantai kamar. Bibirnya. Sepasang tangan. Reuni hari raya. Dia sedang tidur bergelung. Mukanya dicoret-coret habis main kartu. Tubuhnya. Anjing tetangga yang galak. Dia sedang berteriak. Aaakhh...

Bahkan dia tak menyimpan gambar orang itu agak sepotong.

Lalu untuk siapa semuanya?

Demi menunda kematian ibunya?

Padahal dialah yang hidup.

Dialah yang akan menjalani.

Dia yang akan bahagia.

Atau sakit.

Dia diam. Kelengangan yang menggairahkan mengepungnya.

“Gus...!”

Telinganya mendengar suara yang halus.

“Gustav...!”

Dia menoleh ke sekeliling. Siapa yang telah memanggilnya? Apakah ada yang merasa kehilangan lalu mencarinya?

“Gustav!”

Dia terkejut.

Beberapa saat hanya menatap terpana.

Sosok itu melambai dan merentangkan tangan.

Dia berdiri girang. Mencampakkan ransel ke tanah. Berlari. Menghambur. Mendekap...

***

Burung-burung murai masih berkicau riang ketika pencari daun enau itu sampai di Bukik Kapocong. Dia sudah berusaha datang sepagi mungkin, tetapi tetap terlambat karena istrinya yang nyinyir minta dipetikkan buah kelapa untuk membuat gulai. Dia melangkah di jalan setapak yang penuh rumput liar dan ilalang. Pohon-pohon tinggi membuat hutan menjadi teduh. Akar-akar membelintang, kadang digelungi ular. Anggrek merpati berbunga butih menjuntai dari dahan-dahan kayu lapuk.

Dia tak menemukan si laki-laki muda di batu karang berlumut. Pencari daun enau menengadah ke langit. Dua ekor elang kurik berkulik-kulik. “Anak itu sedang gelap mata. Seharusnya tak kubiarkan dia sendirian.” Matanya melihat ransel hitam yang kemarin tersandang di punggung si pemuda tergeletak di bawah batu. Ditegakkannya badan. Di mana gerangan orang itu? Pencari daun enau menjengukkan kepala ke tubir tebing.

“Apakah...?”

Cepat-cepat dia menuruni tebing yang cukup curam. Dia berpegang pada akar-akar yang berjuntaian. Sandal jepitnya putus. Dia tinggalkan saja. Kakinya menginjak suatu benda yang bukan bagian dari hutan. Diambilnya. Sebuah HP yang telah pecah. Jantungnya berdegup. Dia bersiluncur.

Sosok itu dia temukan tergolek dengan kepala menyandar ke batu. Seperti sedang bermimpi dalam rengkuhan seseorang. Darah mengering dari kepalanya yang retak. Dua ekor pacet menempel di kaki dan tangannya. “Hei..! Hei!” Pencari daun enau meraba urat lehernya. Dingin mati. Dia terhenyak. Jurang itu terasa senyap.

***

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Dia terkejut ketika seorang penyabit rumput telah berdiri di sampingnya dengan sebuah karung kumal yang gendut. Sebenarnya dia tak ingin bicara dengan siapa pun, tetapi bersikap diam akan membuat orang kian penasaran. “Tidak ada,” sahutnya acuh.

Penyabit rumput yang sudah agak tua itu memberinya tatapan penuh selidik. “Apa kau mau memancing?”

“Ya!”

“Hati-hatilah kalau memancing di Lubuk Karaku. Tempat itu agak jahat.” Laki-laki tua itu menyandang karung rumputnya dan berlalu.

Setelah tinggal sendiri, dia melanjutkan lamunannya. Diambilnya sepotong ranting, digurat-guratnya tanah liat merah.

“Apa aku salah karena mengawininya?!”

Sampai malam dia masih tercenung.

Itu dulu, sekitar duapuluh tahun lalu. Setelah sang istri yang masih punya ikatan darah dengannya, melahirkan anak kedua mereka yang juga lumpuh.

***

Setelah menjemput cangkul, sabun mandi, dan tiga helai kain kafan yang dibelinya dengan uang dari dompet si pemuda, dengan susah payah, si pencari daun enau membopong mayat si lelaki muda ke sungai kecil di dasar jurang. Ransel dan HP pemuda itu dibawanya juga. Di tanah datar tak jauh dari air terjun digalinya sebuah lubang. Batu-batu kecil mempersulitnya, tetapi dia terus bekerja keras membuat sebuah liang yang cukup pantas untuk jadi makam.

Kemudian dilepasnya pakaian mayat itu. Sebatang tubuh muda yang tinggal beku. Ada sebuah tato berbentuk ujung pedang menyungkupi pusarnya. Pencari daun enau memandikan dengan hati-hati. Membersihkan luka-lukanya. Menyiramkan air sabun dengan usapan kasih sayang yang pedih seperti tiap kali memandikan kedua orang anaknya yang pernah ingin dibunuhnya. Lalu jenazah itu disucikannya, dibungkusnya dengan kain kafan murah, diikatnya dengan akar kalimpanan, dishalatkannya.

Pakaian pemuda itu dimasukkannya ke dalam ransel beserta arloji, kalung, sebuah cincin perak, dompet, dan HP yang rusak. Ketika memasukkan jenazah ke dalam liang, entah kenapa ada air mata yang meluncur ke pipinya. Disekanya dengan punggung tangan.

“Kau ingin lari, seperti aku dulu. Maka, tenanglah di sini. Selama hidup aku akan menjagamu.”

Diletakkannya ransel di samping jenazah, juga sepasang sepatu bewarna coklat. Ditimbunnya pelan-pelan. Setelah selesai, ditanamnya sebatang kayu lansano di atas kepala pemuda itu yang kini ditutupi tanah.***

Ilalangsenja|Padang, 2007.

Alung

Sobirin Zaini
http://www.riaupos.com/

Bukan dua tiga kali kejadian hamil di luar nikah terjadi di kampung itu. Kalau dihitung-hitung, sudah berkali-kali pula. Simaklah, sejak Inah anak Wak Kajan, yang tiba-tiba perutnya berisi sepulangnya dari Batam. Begitu juga Ani anak Wak Salman, perutnya buncit setelah sepulangnya Inah.

Dua tahun belakangan ini sudah jadi musim anak-anak muda kampung itu pergi mencari kerja ke pulau sejumput itu. Karena memang kondisi ekonomi sangat memrihatinkan. Setamat SMA, mereka hijrah beramai-ramai setelah ada satu anak perempuan kampung itu yang nampaknya berhasil bekerja di sana. Pulang saat lebaran dengan berbagai hiasan di leher dan tangan. Dan bukan hanya anak-anak perempuan, anak-anak lelaki juga. Mereka biasanya bekerja di sebuah pabrik elektronik, atau di perusahaan galangan kapal yang gajinya memang cukup menggiurkan. Kalau sudah begitu, anak-anak lelaki yang bekerja di sana biasanya pulang dengan motor baru.

Tapi itu pula masalahnya. Karena kondisi lingkungan di kota industri itu cukup tak terkendali, mereka terjebak dengan pergaulan yang tak ada batas. Yang pulang dari sana bukan hanya berhasil membawa perhiasan dan motor baru, tapi juga penduduk kampung yang baru. Yang tak menarik lagi, “jantan” yang membuat ulah itu bukanlah orang lain, orang sekampung juga. Karena kabarnya, mereka memang bekerja dan tinggal di lingkungan yang sama.

Bawa aranglah mereka ke kampung itu untuk dibubuhkan ke wajah orang tuanya. Bukan sekali dua, setelah itu, kejadian serupa terjadi lagi. Alahmak, tak cukup sekali rupanya orang-orang kampung itu merasakan arang hinggap di wajah mereka. Simak saja runtutan kejadian setelah itu, Eci hamil karena Jaki, Intan hamil karena Antan, Suri karena Mali dan terakhir Jamilah anak Wak Timin sendiri, penghulu kampung yang selama ini disegani juga mengalami kejadian serupa. Astaghfirullah!

***

Kabar itu akhirnya sampai juga di telinga Alung. Sore tadi, saat baru saja ia menginjakkan kaki di teras rumahnya sepulang mengajar, tiba-tiba ponselnya berdering. Abahnya, Wak Haji Leman dari kampung menelepon dan meminta ia segera pulang.

“Kalau menurut Abah, kau memang harus balek, Lung. Dah kacau betul nampaknya kampung kita ni. Kau masih ingat kan? Tak sampai rasanya sebulan lalu Abah cerita pada kau tentang kejadian itu, ha, sekarang dah terjadi lagi. Beruntun pula,” ucap Abahnya lewat telepon sore itu. Abahnya memang tampak emosional, itu dapat ditangkap Alung dari suara dengan logat Melayu-nya yang kental itu. Meninggi dan terasa menghentak-hentak di telinga Alung.

“Ya, ya, Abah. Aku akan segera balek. Dan seperti biasa aku berikan ceramah dan nasihat itu. Tapi abah tahulah sendiri bagaimana kerjaku di sini. Sekarang orang sedang aktifnya kuliah. Tak mungkin rasanya aku tinggalkan mahasiswa itu. Tugas berceramah di sana-sini pun lagi banyak. Tapi beginilah, aku pikir, kalau setakat sehari dua, mungkin aku dapat minta izin. Sekarang hari apa, Bah?” Ucap Alung tegas menanggapi aduan abahnya itu dan bertanya hari kepada abahnya.

“Ini hari Rabu,” jawab abahnya singkat.

“Okelah, Bah. Besok pagi aku segera balek, setelah aku ke kampus dulu dan menyelesaikan beberapa administrasi untuk izin itu. Karena besok hari Kamis, Abah siapkan segala sesuatu di sana untuk malam Jumatnya. Masih ada kan baca yasin bersama setiap malam Jumat di surau tu, Bah?” Ujar Alung lagi dan bertanya kepada oang tua di seberang itu.

“Masih. Ya, masih, Lung,” jawab abahnya.

“Ya, jadi acara ceramah itu kita adakan setelah baca yasin bersama. Bagaimana, Bah? Suai?” Sambut Alung minta persetujuan. Abahnya setuju. Percakapan dua anak-beranak itu pun tampak selesai di situ. Alung segera masuk ke dalam rumah. Sepatunya yang tadi belum sempat ia buka kini dibuka dan diletakkan di rak yang ada di sebelah pintu.

***

Sudah hampir menjadi kebiasaan memang. Saat ada masalah yang agak ganjil di kampung itu, Alung anak Wak Haji Leman selalu diundang untuk pulang dan memberi ceramah kepada orang-orang kampung. Wajarlah pula, tak banyak orang-orang muda kampung yang seperti Alung. Bahkan mungkin dapat dikatakan hanya dia satu-satunya.

Alung anak Wak Haji Leman itu, belum sampai umur 30 tahun telah menyandang gelar doktor di bidangnya. Ia lulusan jurusan dakwah di sebuah perguruan tinggi Islam di Pekanbaru. S1-nya hanya butuh dua tahun setengah ia selesaikan. Setelah itu langsung ia lanjutkan pendidikan S2 di perguruan tinggi yang sama. S2 ini dapat ia selesaikan tepat waktu dengan predikat memuaskan. Sampailah ia kuliah S3 di luar negeri, tepatnya di Universitas Alazhar Kairo, Mesir. Karena prestasi di jenjang pendidikannya itu, setamat kuliah, dia langsung direkrut menjadi tenaga pengajar di almamaternya. Lengkaplah. Ya, lengkaplah Alung sebagai anak muda satu-satunya di kampung itu yang dikatakan berhasil dan dapat menjadi contoh anak muda yang lain. Bahkan kini Alung tak hanya dikenal sebagai dosen termuda yang ada di salah satu perguruan tinggi Islam kota itu, dia juga dikenal luas masyarakat sebagai penceramah agama yang menarik dan memikat.

Ah, tentu saja, bagi orang-orang kampungnya sendiri, orang seperti Alung dianggap langka dan selalu dibanggakan. Karena memang tak banyak pula penceramah di kampung itu, yang rasanya ilmu dan cara penyampaiannya seperti Alung. Penceramah sebelum ini yang diundang memang orang-orang yang sudah lama berkecimpung di dunianya. Hanya saja mereka rata-rata lulusan S1 dan berasal dari kampung sebelah. Maka, pikir-pikir, seperti yang pernah disampaikan abahnya setelah berbual-bual di surau beberapa waktu lalu, kenapa harus mengundang orang luar kalau ada anak kampung sendiri yang tak kalah kurangnya? Sejak itulah, Alung selalu memberikan ceramah di surau kampung, baik saat ia pulang lebaran, ketika sesekali pulang karena rindu dengan abah, emak dan adik-adiknya, atau memang sengaja diundang ketika ada masalah pelik seperti ini.

***

Senja itu, suasana di kampung tampak lengang. Hanya satu dua orang melintas di jalan berdebu yang diapit dua parit itu. Alung baru saja dari kamar mandi. Ia mandi dan berwudhu setelah sampai dari Pekanbaru. Setelah sebelumnya sempat berbual panjang melepas rindu dengan abah dan emaknya.

Sesuai runding Alung dan abahnya lewat telepon saat ia masih di Pekanbaru, rencana memberikan ceramah di surau ingin segera dilaksanakan. Karena waktu azan maghrib juga sudah hampir tiba. Abahnya nampak bersiap-siap dengan baju kurung dan kopiahnya di ruang tengah. Jarak dari rumahnya ke surau kampung itu memang tak jauh sangat. Hanya butuh beberapa langkah saja. Alung juga sudah bersiap, sementara abahnya menunggu di teras rumah. Mereka pun segera berangkat.

Tapi, seperti ada yang tak biasa di surau petang itu. Abahnya sempat membatin dan coba mengingat-ingat, kenapa hanya Wak Hasan imam surau dan Wak Jumin saja yang nampak dalam surau itu? Padahal pagi tadi dia sudah sampaikan kepada Wak Hasan bahwa hari ini Alung balek dan memberikan ceramah setelah baca yasin bersama. Tapi kenapa sampai azan maghrib, orang-orang kampung yang biasa datang tak nampak batang hidungnya? Pasti ada yang tak kena, pikir Wak Haji Leman. Ditengoknya sekilas wajah Alung di sebelahnya, ternyata anaknya itu juga tak bersenyum dan heran. Apalagi, dua orang tua yang ada dalam surau itu tak seperti biasa. Tak ada uluran salam dan menanyakan kabar pada Alung yang baru datang dari Pekanbaru itu.

“Ada apa ni Wak. Mana jamaah kita yang lain?” Sergah Wak Leman pada Wak Hasan sesampainya ke dalam surau. Wak Jumin yang ada disampingnya malah seperti tak dengar dengan pertanyaan Wak Leman. Sementara Wak Hasan sendiri tampak bersalah dan kesusahan menjawab pertanyaan itu.

“Itulah, Wak. Sebenarnya tadi sudah saya sampaikan pada sebagian jamaah yang ada di pesta pernikahan anak penghulu kampung tu. Tapi entah kenapa pula tak ada yang datang malam ni,” jawab Wak Hasan tampak segan dengan Alung yang berdiri di samping Wak Haji Leman. Semula Alung diam saja, tapi lama-lama dia ingin menyampuk juga.

“O, jadi tadi ada pesta pernikahan ya, Wak? Siapa yang nikah? Kalau anak penghulu kampung berarti Jamilah itu. Hai, anak baru seumur jagung?” tanya Alung kemudian terkesan menyelidik pada Wak Hasan imam surau itu.

“Ya, Lung. Jamilah tulah, siapa lagi. Dah terlanjur bunting, Lung!” jawab Wak Hasan santai meski nampak agak kesal.

Aduh, gumam Alung kemudian setelah mendengar jawaban itu. Tiba-tiba nyeri di ulu hatinya terasa lagi. Bukan hanya berita itu yang dari awal sudah membuat ia prihatin, tapi lebih dari itu, karena orang-orang tua yang menjadi jamaah baca yasin di surau itu pun tak datang. Alung tahu, semua ini pasti karena mereka sudah kelelahan setelah menggelar pesta pernikahan ‘pengantin hamil’ yang lama-lama dianggap biasa di kampung itu. Dan memang benarlah, setelah azan dikumandangkan dan mereka berempat sholat maghrib berjamaah, suasana di surau itu masih juga tampak lengang. Lengang.***

Pekanbaru, Akhir 2007

Sekolah Para Setan

Musa Ismail
http://www.riaupos.com/

Sekolah itu bagai rumah setan. Isinya pun laksana setan. Tetapi, sebagaiannya laksana malaikat. Siswa memekau. Guru linglung laksana hilang akal. Kebingungan berputar. Lalu, membentur tembok-tembok melangit. Terpelanting sekian depa. Semuanya kandas pada keyakinan. Setan-setan terbang seperti keyakinan sebagian isi sekolah itu. Setan-setan tertawa sebagaimana para pemujanya. Para laknatullah itu menyerang laksana invasi AS terhadap Irak dan Afganistan. Mereka menyeringai. Melotot. Meneror. Kemudian, masuk ke jiwa yang kering.

’’Kubunuh kalian. Keparat. Kalian kotor. Manusia laknat. Pelaku maksiat,’’ Victoria, siswa di sekolah itu, menjerit. Matanya membelalak. Kedua tangannya meronta. Kedua kakinya menerjang. Empat temannya terpelanting dikebas. Voctoria lepas. Dia berlari. Siswa pintar itu seperti mengejar sesuatu. Terus berlari menuju labor. Jemarinya mengepal laksana petinju.

’’Otak dan mataku hilang di sekolah ini!’’ Victoria terus lari menuju labor. Tiba di lapangan basket, Pak Sabri mencegatnya. Guru itu mencekut kedua urat di bahunya sambil membaca beberapa ayat suci. Voctoria lemah. Dia terkapar tak sadarkan diri di laman.

’’Tolong kalian angkat ke musala,’’ Pak Sabri meminta bantuan kepada tiga siswa lelaki. Dua puluh menit, Victoria normal. Mukanya kusut bagai rambutnya juga. Badannya lemas bagai jiwanya juga. Siswa tonges itu tak kuasa bicara. Seluruh tubuhnya lemoi. Victoria direhatkan di majelis guru. Bu Murni terus memeluknya. Embun di balik kelopak matanya berjujai jatuh. Mukanya merah.

’’Pikiranmu jangan kosong. Pikirkan Allah. Hati kita harus berzikir. Baca apa yang bisa. Jangan lepaskan bibir dari-Nya. Berjiwalah bagai baja,’’ tangan Bu Murni membelai rambut Victoria. Mulut siswa itu terus mengucap. Bibirnya bersyahadat. Hatinya mungkin juga. Tujuh belas menit, Victoria mulai kuat.

Sepuluh menit berselang, dari lantai dua, pekik-pekau bersahutan. Para siswa berhamburan. Belajar pun bubar. Empat kelas di lantai dua tak tenang. Masing-masing kelas, satu siswa histeris. Keempat siswa digotong ke musala. Mereka merentang. Teman mereka terus memaksa ke musala. Siswa kemasukan itu terus berontak. Keempat siswa itu dibawa menuruni tangga. Pas jejak di anak tangga terbawah, sekitar sepuluh siswa di lantai dasar histeris pula. Para guru pontang-panting. Para siswa, juga demikian. Mereka berbuat, apa yang dapat dibuat. Tak ada mulut yang terkunci. Beberapa siswa yang pintar meruqiyah, coba berbuat. Para guru, tak mau ketinggalan. Ada yang membaca ayat suci, apa saja. Ada yang memukul dengan kata-kata. Beberapa siswa yang keselap, ada yang sudah sadar. Namun, dari kelas lain, ada lagi korbannya. Musala pun sesak seumpama napas ketika itu.

Sekejap saja, beberapa orang tua siswa berdatangan. Mereka diperbolehkan membawa pulang anaknya yang keselap. Sejurus setelah itu, bel pulang didendangkan. Padahal, hari baru pukul 09.00. Belajar pun gagal. Di beberapa sudut, ada kawanan setan terkekeh-kekeh. Si tubuh api itu merasa menang. Mereka melonjak-lonjak. Dengan tubuhnya, mereka telah membakar keyakinan. Semangat juga ikut hangus. Jiwa jadi legam. Ibadah belajar pun ikut kerontong.

’’Manusia tolol. Padahal, kita lebih hina daripada mereka,’’ beberapa setan di sudut sekolah berbual-bual. Tatapan mereka bagai belati karat yang siap menikam hati. Di sekeliling sekolah, ternyata mereka sangat ramai. Jumlah mereka sama seperti jumlah penghuni sekolah itu. Mereka tidur di beberapa labor. Sebagiannya, menghuni kelas.

Di musala.

’’Kalian mengotori rumah kami,’’ suara itu keluar dari mulut Leni, siswa yang masih belum siuman. Tapi, bukan suara Leni. Ijal dan Asri, dua siswa yang pandai meruqiyah, terus saja berupaya. Pak Sabri dan beberapa guru yang peduli ikut mendampingi mereka. Lebih pukul 12.00, barulah tuntas semuanya. Pak Sabri, beberapa guru, dan beberapa siswa tampak letih. Mereka seperti telah kehilangan ribuan kalori. Di atas, langit mendung. Semakin tebal, semakin legam. Dari laut, angin turun begitu kencang.
***

Sekolah itu pun ibarat sekolah walet. Di sekelilingnya, penuh rumah bertingkat. Isinya adalah walet dan para setan. Pemiliknya juga setan. Umumnya, bangunan bertingkat itu adalah rumah walet. Setiap hari sejak pukul 07.00, suara elektronik walet, mematahkan kecerdasan. Diskusi siswa ditelan suara itu. Ceramah guru kalah kuat. Beberapa kali, gangguan ini diekspose di koran. Tapi, suara elektronik walet tetap membingitkan. Perda walet jadi mubazir. Para pejabat berwewenang, tak pernah bertindak. Setiap hari, di sekolah itu, seperti hanya ada walet dan para setan. Mereka beterbangan melintasi dan menghisap jiwa. Jiwa jadi kering. Retak.

Sebelum ini, sudah beberapa hari para siswa keselap. Sudah pula diupayakan orang pintar untuk mengobatinya. Dari adat mematikan tanah, hingga tahlil, zikir, dan pembacaan Yassin. Kepercayaan-kepercayaan Tionghoa pun pernah membela sekolah ini. Ternyata, tak berlangsung lama. Tak sampai setahun, teror para setan itu kembali mengusik. Semakin parah, kian kacau-balau.

Pukul 08.00, pokok hari gelap. Hasil kesepakatan guru beberapa hari lalu, dilaksanakan ruqiyah massal di laman sekolah. Ustad Jamil, Ustad Aman, dan beberapa temannya memulai dengan ceramah. Para siswa, duduk di laman. Sebagiannya, duduk di kaki lima. Para guru, berjejer di kaki lima, berhadapan dengan siswa. Pokok hari makin pekat. Sebelum pembacaan ayat-ayat ruqiyah dimulai, beberapa siswa ketakutan. Ada yang duduk mendekati guru. Ketika pembacaan ruqiyah baru sepuluh menit, satu per satu siswa menjerit. Mereka meronta. Dari seorang siswa, bersambut ke siswa lainnya. Para guru pun ikut mengamankan suasana. Hujan renyai pagi itu tak menghalangi. Niat untuk nyaman belajar terus membaja. Ruqiyah terus berjalan. Selama itu pula, siswa-siswa memekau bergantian. Setelah berjalan 20 menit, hujan cukup deras membubarkan semuanya. Di musala, puluhan siswa diruqiyah semula.

Musala sesak. Siswa yang keselap, bergelimpangan. Mereka meracau. Ada yang hafiz Alquran. Ada siswa non-Tionghoa yang fasih berbahasa Cina. Ada pula yang bernyanyi dangdut. Beberapa siswa, merentang. Ada juga yang terus bergerak. Beberapa wartawan sempat mengabadikan dalam kameranya. Ini tentu berita hangat bagi mereka. Penanganan ruqiyah itu berjalan hingga pukul 12.00. Di sudut musala, beberapa wartawan mewawancarai Ustad Aman.

’’Makhluk apa sebenarnya yang mengganggu siswa ini?’’ tanya Taufik. Wartawan itu menyodorkan rekamannya.

’’Setan. Ini adalah gangguan setan. Mereka punya misi membodohkan kita. Juga mencelakakan kita. Itu ’kan sudah janji mereka dengan Allah taala,’’ Ustad Aman memaparkan.

’’Setan saja?’’ pertanyaan konyol dari Seto, wartawan yang lainnya.

’’Ya. Setan cinta dan setan lainnya. Setan cinta agak payah. Mereka mencintai siswa yang dirasuki. Kebetulan semua siswa putri. Mereka sulit untuk dipisahkan jika sudah jatuh cinta. Semoga dengan ruqiyah ini, Allah memperkenankan upaya kita,’’ wajah ustad itu tampak lesu sekali.

’’Apa ada jaminan?’’

’’Jaminan apa?’’

’’Jaminan mereka tak meneror lagi.’’

’’Tidak ada jaminan begitu. Maksiat bisa mengundang mereka. Mereka memang bertugas menyesatkan kita. Itu sampai kiamat.’’

Hari itu, belajar juga gagal. Beberapa orang tua, protes. Ada yang tak setuju. Sayangnya, mereka hanya tahu protes. Mereka pun tak mampu mencari jalan terbaik. Muka para guru dituding.

’’Elok anak saya tak sekolah, Pak. Kasihan dia tersiksa,’’ seorang ayah yang mengaku menyayangi Leni, anaknya.

’’Kalau gitu, kita kalah, Pak,’’ Pak Sabri membalas. ’’Ke mana Bapak campakkan kasih sayang kepada anak Bapak?’’

’’Tapi, saya tak sampai hati melihat dia begini terus,’’ tangkis orang tua itu lagi.

’’Kita harus terus melawan. Harus bisa melawan. Mereka adalah musuh kita yang nyata,’’ Pak Sabri mencoba memberi pengertian. Orang tua itu diam. Dia pergi diam-diam. Leni diangkut pakai becak. Badannya terkulai. Kepalanya telentok.

***

’’Ini adalah gambaran dosa kita,’’ Pak Sabri tercocol di depan semua. Beberapa guru, ada yang menggerutu karena tak setuju dengan Pak Sabri. Untuk mengakui suatu kesalahan, memang perlu perjuangan. Perjuangannya lebih berat daripada menghamburkan beribu kebaikan, lebih berat daripada melawan setan. Dari lantai 2, Pak Sabri terus memandang lingkungan sekolah. Matanya menatap labor, menatap wc, rumah-rumah walet, kelas. ’’Dasar setan. Mereka ada di mana-mana,’’ pikiran Pak Sabri bercelaru. Mata hatinya merasakan setan-setan bergentayangan di sekolah itu. Sepanjang perjalanan pulang dengan sepeda motor tuanya, Pak Sabri masih sedih. Di sekolah itu, terlalu banyak jiwa yang kering.

Seminggu kemudian, para setan kembali menyerang. Mereka menelan otak, mata, telinga, dan mulut sekolah itu. Dasar setan!***

Jumat, 30 Januari 2009

JILFest, dari Politik sampai Spirit Bersastra

Aries Kurniawan
http://www.republika.co.id/

Sebuah perhelatan sastra berskala international, Jakarta International Literary Festival (JILFest), yang diselenggarakan atas kerja sama antara Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas Cerpen Indonesia, dan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, digelar di Kota Tua Jakarta, pada 11-14 Desember 2008.

Melalui iven ini sekurangnya akan terkabarkan kepada masyarakat sastra dunia bahwa Indonesia memiliki sejumlah sastrawan dan karya-karya sastranya bisa dijadikan salah satu pintu masuk bagi masyarakat dunia untuk memahami budaya dan masyarakat Indonesia.

Iven ini sekaligus menjawab kegelisahan banyak sastrawan Indonesia atas ketiadaan iven sastra berskala international -- tidak sebagaimana di bidang musik, film, dan seni pertunjukan, yang telah lebih dulu memiliki iven internasional di Jakarta.

Ketiadaan iven sastra berskala international berimbas pada rendahnya tingkat pergaulan sastra dan sastrawan Indonesia di manca negara. Diakui atau tidak, sastrawan Indonesia umumnya memang belum dikenal di level international kecuali Pramoedya Ananta Toer.

Sebagaimana diilustrasikan salah seorang pembicara seminar JILFest, Putu Wijaya, ketika mengikuti sebuah festival sastra di Berlin, dia harus dengan sabar menjelaskan pada seorang peserta dari Amerika bahwa Indonesia juga mempunyai banyak sastrawan.

Mengatasi kondisi itu, menurut Putu Wijaya, penerjemahan sastra Indonesia ke dalam berbagai bahasa tidak bisa tidak harus segera dilakukan. Dan, JILfest diharapkan menjadi langkah awal dalam membuka ruang-ruang kerja sama antara sastrawan Indonesia dengan sastrawan negara lain, baik secara lembaga maupun individu.

Pembicara lain, Jamal Tukimin (Singapura), mengatakan prospek penerbitan karya sastra Indonesia di Singapura dan negara-negara Melayu sangat besar. Di singapura, buku-buku terbitan Indonesia sudah masuk sejak Perang Dunia II. Dengan sedikit penyesuaian bahasa (bukan terjemah) buku-buku sastra Indonesia dapat mengisi 75 persen pasar buku sastra Singapura.

Menurut pembicara dari Jepang, Prof Dr Mikihiro Moriyama, buku-buku sastra Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Jepang terbilang masih sangat sedikit. Potensinya yang besar masih belum tergarap maksimal. Melalui iven Jilfest ini kerja sama antara sastrawan Indonesia dan Jepang diproyeksikan dapat ditingkatkan.

Topik seminar

Pada seminar putaran pertama diusung topik Sastra Indonesia di Mata Dunia, menghadirkan pemakalah Dr Katrin Bandel (Jerman), Prof Dr Koh Young Hun (Korea), Dr Maria Emilia Irmler (Portugal) dan Prof Dr Abdul Hadi WM (Indonesia).

Katrin menyoroti politik sastra yang dilancarkan Komunitas Utan Kayu (KUK) di Eropa. Hasil sorotan Katrin mengungkapkan bagaimana KUK mencitrakan Indonesia sebagai bangsa yang tiranik, radikal, dan intoleran terhadap keragaman untuk 'menjual' Ayu Utami, salah seorang eksponen KUK, di Eropa.

Sebegitu penting rupanya pengakuan international bagi sastrawan Indonesia sehingga cara apapun (baca: pembohongan) harus ditempuh untuk mendapatkannya. Mengapa ini terjadi? Katrin menengarai sastrawan Indonesia punya kepentingan besar untuk dikenal di Eropa.

Berkait soal politik sastra, Abdul Hadi WM mengatakan bahwa bagaimana pun kerasnya upaya sastrawan Indonesia mengenalkan diri kepada dunia tidak akan mencapai hasil maksimal tanpa kemauan politik pemerintah dalam sistem pengajaran sastra Indonesia di sekolah.

Pembicara dari Perancis, Henry Chambert dan Stevan Danarek (Swedia), menyarankan perlunya upaya yang sangat keras bagi masyarakat sastra Indonesia untuk menuju ke Nobel Sastra, bukan semata dengan cara kekuatan karya sastra itu sendiri melainkan dengan strategi lain seperti penerjemahan dan diplomasi budaya. Dia mencontohkan bagaimana Pramoedya Ananta Toer gagal meraih Nobel meski sudah masuk nominasi Nobel selama dua puluh enam kali.

Upaya-upaya itu bagi Budi Darma adalah berupa peran Indonesia di bidang-bidang lain di luar sastra seperti ekonomi, politik, sosial, teknologi, dan kekuatan militer dalam pentas dunia. Bagaimana dunia akan melirik sastra Indonesia apabila mereka tidak memiliki referensi tentang Indonesia.

Acara lain

Selain seminar, JILFest 2008 diisi lomba penulisan cerpen berlatar Jakarta, pertunjukan sastra, bazar buku, workshop penulisan cerpen dan puisi, workshop musikalisasi puisi dan wisata budaya.

Lomba menulis cerpen berlatar Jakarta diikuti 360 peserta dari pelosok tanah air dan luar negeri. Kali ini dimenangi cerpen berjudul Selendang Cokek untuk Ayuni karya Floreance Sahertian (Sidoarja), disusul Pieter Akan Mati Hari Ini karya Deny Prabowo (Depok, Jabar), Pelangi Nusantara karya Sigid W (Palembang), Klinik Putih di Ujung Rel Kota Tua karya Thowaf Zuharon (Jakarta), Lelaki Tua di Bangku Taman karya Irene Rahmawati (Kebumen), dan Kereta Nyanyian karya Akidah Gauzillah (Jakarta).

Kegiatan workshop musikalisasi puisi, penulisan puisi, dan cerpen masing-masing digelar di Museum Wayang, Museum Seni Rupa, dan Museum Sejarah, dengan pemateri Agus R Sarjono dan DR Suminto A Sayuti untuk puisi, Helvy Tiana Rosa dan Shoim Anwar untuk cerpen, serta Tan Lio Ie dan Ane B'Neh untuk pertunjukan puisi. Workshop diikuti sekitar 400 pelajar SMA, mahasiswa, guru dan umum.

JILfest 2008 dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta H Fauzi Bowo di Museum Seni Rupa. Fauzi menorehkan kalimat pertama puisi tentang Jakarta dan diselesaikan oleh Taufiq Ismail. Fauzi lantas membacakan puisi itu, disusul Taufiq Ismail dan penyair Jerman Martin Jankowski. Acara pembukaan disudahi dengan pergelaran wayang Betawi di Museum Wayang.

Pertunjukan sastra utama digelar di Museum Sejarah dan pentas sastra penutup digelar di pelataran Pasar Seni Ancol dengan pemandu Nur Hayati (Pusat Bahasa) dan penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy. Antara lain, menampilkan penyair D Zawawi Imrom, Asrizal Nur, Jose Rizal Manua, Diah Hadaning, Rukmi Wisnu Wardani, baca cerpen Putu Wijaya dan musikalisasi puisi Sanggar Matahari.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Pinondang Simanjuntak, didampingi ketua panitia pelaksana JILFest Ahmadun YH, pada sambutan penutupan mengatakan akan mendukung penyelenggaraan JILfest sebagai iven dua tahunan. Hal senada dikatakan Fauzi Bowo pada sambutan pembukaan. Keduanya percaya peran penting sastra dalam ikut menciptakan kehidupan yang damai sekaligus memberi identitas bagi Jakarta sebagai ibukota negara.

Hampir semua peserta JILFest, antara lain Inggit Putria Marga, Fikar W Eda, Chavcay Syaefullah, Sihar Ramses Simatupang, Mustofa W Hasyim, Imam Ma'arif, Irman Syah, Micky Hidayat, Khoirul Anwar, Ibnu PS Megananda, SM Zakir, Mohamad Saleh Rahamad, dan Dinullah Rayes, ambil bagian untuk membacakan sajak-sajak mereka pada pentas penutupan. Acara penutupan ditandai penandatangan back dropp oleh Pinondang Simanjuntak dan Ahmadun YH, diikuti seluruh peserta. Sampai jumpa pada JILFest 2010!

*)Cerpenis dan peserta JILfest.

PEREMPUAN DAN PUISI TUHAN

Restoe Prawironegoro
http://www.republika.co.id/

Segalanya jadi gelap. Seluruh dinding kamarku terasa menjadi hitam legam. Tiba-tiba saja semuanya menjadi kenyataan yang merampas kebanggaan kecil dan pengabdianku. Berhari lalu hatiku masih membunga, jiwaku masih bersorak tentang suatu kemenangan. Tetapi kini semuanya menjadi kedap.

Tidak! Mungkin saja berita itu tidak benar. Kurasa semuanya seperti karangan, terpapar di depan mata. Semuanya masih membayang, seperti barusan terjadi. Seperti tadi.Kaki-kakiku yang kecil serasa masih basah di pematang sawah. Hidupku masih mencium aroma padi. Langit menampakkan keluasan yang mengandung puisi Tuhan. Rasanya segala keremajaanku yang mekar di tengah kedamaian desa membuat aku jadi peka pada kesedihan.

Ya, desaku yang sunyi damai dan mengandung kenang-kenangan hidup bagiku memang telah kutinggalkan. Kehidupan keluarga kami tidak memungkinkan aku mendapatkan kemajuan masa depan. Sebagai anak nelayan, ayahku tidak mungkin menyekolahkan kami aku dan adikku lelaki, Lutfirahman ke tingkat yang lebih tinggi. Syukur aku dapat lulus es-de.

Apalagi setelah kematian ayahku, ibu yang mendukung hidup kami: kulihat dan kurasakan pundaknya tidak kuat. Sebagai buruh lepas yang mengerjakan apa saja, ia tak mungkin memberikan biaya hidup yang wajar. Hatiku teriris pedih. Beginilah kami: anak desa yang jauh terpencil, hidup dalam kekurangan dan penderitaan. Kepada siapa kami mengadu dan meminta bantuan? Masyarakat dusun sama seperti kami, hidup dalam segala kekurangan.

Keremajaanku yang mekar di tengah segala galau kemiskinan seolah terbangun dari mimpi, karena hadirnya seorang lelaki. Ya, ia cintaku yang pertama. Hatiku berbunga dan bunga itu mekar dengan cepat. Secepat aku dibawa ke kota, untuk mendapatkan pekerjaan.Pekerjaan! Satu kata yang seakan bertuah dalam pendengaran telingaku. Kubayangkan, jika aku telah mendapatkan pekerjaan, aku akan bisa membantu ibu dan menyekolahkan adikku. Biarlah aku yang terbelenggu dalam segala kekurangan dan kebodohan, tetapi adikku lelaki, Lutfirahman, harus sekolah. Harus pintar dan kemudian bisa mengangkat hidup kami dari lebuh kemiskinan yang amat sangat dalamnya ini.

Tetapi, jahanam! Segala milikku yang paling berharga dirampas, digerayangi tanpa hati. Itu saat kami tiba di kota, saat kepasrahanku bulat penuh pada kecintaanku. Rupanya dia lelaki bejat, penggaet dan penjual orang bodoh seperti diriku. Begitulah aku akhirnya tercampak di tempat ini, di rumah pelesir: di kamar berlampu redup.
Kukutuki nasib, hendak kurobek dada. Hendak kucabut napas dan jiwa yang menghuni badan ini. Tetapi, tidak! Saat aku dilemparkan ke timbunan sampai saat ini, tiba-tiba kusadari bahwa aku harus hidup! Ya, aku harus hidup. Aku harus bangkit dari malapetaka ini. Harus kukibarkan bendera di tangan dunia, bahwa aku, gadis desa yang berkubang di lumpur hitam, dapat bangkit dan meneriakkan kemenangan!

Mula-mula, hari-hari kulalui tanpa hati. Kulakukan apa yang harus dilakukan tanpa jiwa. Yang kuharapkan, aku suatu ketika bisa keluar dari tempat ini, membawa kemenangan di tangan. Membawa gumpalan kehidupan. Aku berusaha menyimpan uang sedikit demi sedikit.Tetapi lama-lama aku terjerat dengan segala sistem, dengan segala liku perjalanan hidup bunga raya. Pemerasan demi pemerasan, intrik dan hasutan, membuat apa yang kudapat harus amblas! Begitulah jadinya, aku seakan kembali seperti bayi, seperti baru lahir. Setiap saat harus memulai dari titik nol.

Ya, kulakukan sebisa yang dapat kulakukan. Sampai aku bertemu dengan seorang lelaki. Ah, mulanya aku memang tidak mungkin menaruh harapan dari tempat semacam ini. Tetapi, pada yang satu ini, anehnya aku bisa luluh dan menyerah penuh pasrah."Neng...," katanya di dekat telingaku. "Bila usahaku berhasil, aku akan segera membawamu dari tempat ini. Kita akan menikah secara resmi.""Aku senang mendengarnya, Mas Hen. Tetapi bebanku sungguh berat. Adikku harus sekolah. Ibuku harus pula kubiayai."

"Kita biayai bersama. Aku ingin kau ikut ke desaku. Juga adikmu, sekali waktu ia akan sowan ke tempat kita. Ibu juga kalau ia mau, bisa tinggal bersama kita. Kita bangun rumah kecil yang mungil sebagai istana."
"Gagasanmu muluk. Kurasa tidak ada kesempatan tanganku untuk menggapainya."
"Engkau jangan pesimis, Dik Ning. Asal ada kemauan pasti ada jalan."
"Tetapi mengapa Mas Hen justru memilih aku. Aku kan manusia rusak, kotor. Mas Hen bebas memilih gadis suci, tidak ternoda seperti aku."

"Aku memilihmu, karena aku tahu kau sangat jujur dan setia. Kau terjerumus ke sini bukan karena kehendakmu sendiri. Kau diseret keadaan."
"Aku tahu. Tetapi aku tak mau ada sesal di hari nanti. Biasanya para lelaki akan segera mencaci, jika dari jenis kami ini naik ke tingkat wanita normal. Kami selalu dianggap punya salah yang lebih berat. Dianggap berlumur dosa. Sedang...."

"Stop!" Tangan Mas Hen menutup mulutku. Aku terpana memandang wajahnya. Suaranya mengalun dalam telingaku. "Sedikit demi sedikit aku telah menyiapkan masa depan kita. Aku sudah punya sedikit tabungan di bank. Jika jumlahnya kukirakan cukup sebagai modal, kita menikah, dan segera kita pulang ke desa. Aku ingin jadi petani. Walau tak selesai, aku pernah kuliah di fakultas pertanian."
"Aku ingin dagang," kataku.

"Ya, kau boleh berdagang. Kita dirikan koperasi. Kita berusaha bersama membangun desa."
Begitu muluknya impian itu kurasa. Dan, seperti kelam yang menelan Mas Hen malam itu, rasanya kelam itu pula yang menyungkup aku kini. Betapa tidak, koran yang kubaca jelas menunjukkan kenyataan itu. "Henri -- seorang residivis -- diketahui dari identitas: dan di tempat lain, terbungkus karung, Henri, mahasiswa, gali.... telah menjadi korban penembakan misterius...."

Mataku benar-benar nanar. Lalu gelap. Tiga tahun kutinggalkan, semuanya sudah berubah. Adikku gali. Mas Henri kecintaanku, residivis! Lalu ibu?Dalam samar, mataku seakan menangkap sosok ayah yang remuk dihantam bus antarkota. Lalu kulihat diriku, kini remuk redam. Aku benar-benar hancur!

Senin, 26 Januari 2009

Gemuruh Kepulangan

Sobirin Zaini
http://www.riaupos.com/

ALUNAN syahdu lirik-lirik lagu itu masih juga terngiang di telingaku sekaligus menusuk-nusuk dadaku ketika kakiku mulai menginjakkan pintu ruang tunggu pelabuhan itu. Tadi malam, lagu Allahyarham Sudirman dari negeri seberang Malaysia itu berkali-kali on play di winamp komputerku.

Sejak puluhan tahun lalu, ketika aku masih tahu betul apa rasanya kebahagiaan idul fitri, lagu itu sebenarnya telah mulai kudengar, dan karena lagu itu pula, aku tak menangis kecuali hanya untuk sebuah kebahagiaan.

Restu ayah bonda kuharap selalu
Hanya kusampaikan doa dan kiriman tulus ikhlas
Dari jauh kumohonkan ampun maaf
Jangan sedih pagi ini tak dapat kita bersama
Meraikan aidil fitri yang mulia..

Tapi sekarang, bukankah aku juga tetap menangis karena lagu itu? Ya, lirik dan alunannya memang masih punya kekuatan untuk mencabik-cabik ulu hatiku dan memaksa airmata itu tumpah. Tapi kenapa itu bukan lagi terjadi karena sebuah kebahagiaan?

Kenapa iramanya kini tak lagi sekuat takbir yang biasa kudengar beberapa kali saat menonton televisi, hingga kemudian semua aroma sengak tanah redang itu menyeruap di jantungku dan membuat aku rindu? Maka keputusanku untuk menuju kota itu siang ini tak dapat kutawar-tawar lagi. Seperti semangat di mata orang-orang yang menunggu keberangkatan kapal kayu itu di ruangan ini, seperti itu jugalah aku coba menunjukkan semangat sebuah kepulangan di mataku.
***

Beberapa kapal masih tenang bersandar di dermaga itu. Sesekali kulihat lewat beberapa boat kecil membawa sejumlah orang dari arah yang tak sama. Saat-saat seperti ini, pelabuhan bernama Sungai Duku ini memang takkan pernah sepi. Aku sendiri kini berada di ruang tunggu keberangkatan kapal ke Selatpanjang.

Tepat disebelahku, dimana kini aku duduk dan sesekali pula menyandar di dinding pemisah itu, ruangan tunggu keberangkatan ke Bengkalis berada. Lamat kudengar, suara orang-orang yang menunggu keberangkatan kapal terakhir ke kota kelahiranku itu semakin ramai. Kulihat lagi jam yang tersangkut tepat di atas pintu keluar itu, jarumnya menunjuk angka 12. Masih ada banyak waktu untuk bergerak menuju kapal kayu itu dan berangkat menuju Selatpanjang untuk selanjutnya menuju Tanjungbalai.

Jujur harus kukatakan, di dadaku, gemuruh kepulangan itu kembali terasa menyesakkan. Tapi lagi-lagi perlu kutanyakan, kenapa gemuruh kepulangan itu tak sama seperti yang kurasakan saat kepulangan ke tanah kelahiranku sebelum ini? Entahlah. Yang jelas, semua ini karena hatiku memang setengah hati untuk tak pulang kampung, sementara aku kini justru memlilih kepulangan ke kota yang lain.

Maka pertanyaan itu pun muncul di benakku ketika seorang penjual koran terbitan pagi tadi tiba-tiba berdiri di hadapanku dan menyodorkan gulungan kertas itu ke ujung hidungku; sebegitu kuatkah alasanku, hanya karena tak ada lagi kebahagiaan, aku kini berada di ruangan ini dan menunggu kapal yang asing di mataku itu? Aku sendiri masih tak pasti menjawab, yang jelas dari pagi tadi, semua gerak tubuhku tetap saja membuat aku berada disini, dan kapal kayu yang bersandar di tepi dermaga itu makin lama makin seperti wujud seorang peri, yang menawarkan sebuah kebahagiaan yang lain untuk memberhentikan sejenak kecamuk yang lintangpukang di dada ini.
***

Aku masih berjibaku di ruangan itu dengan gemuruh kepulangan yang lain di dadaku. Lalu-lalang orang menarik tasnya seperti menarik leher anjing peliharaan itu masih saja sama seperti asap rokok yang dari tadi berkelebat di sebelahku. Rupanya, asap rokok itu keluar dari mulut seorang tua berkaca mata di belakangku. Dasar tak beradat! Pikirku. Jelas hari ini masih di suasana Ramadan, orang-orang berusaha untuk tidak sarapan, dan menahan untuk tidak minum segelas teh seperti menahan keinginan untuk menenggak sebutir tablet anti mabuk, mengapa orang tua gembel ini justru dengan santai mengepulkan asap beracun itu?

Kujelingkan tatapan tajamku ke arahnya, matanya melawan, dan kulihat dari bibir itu justru tersungging sebentuk senyuman. Duh! Celaka! Kualihkan segera pandanganku dari tatapan mata dan senyuman yang tak penting itu. Pandanganku kembali kuarahkan ke kapal kayu. Tapi beberapa detik setelah itu, aku terkejut bukan main, orang tua berkaca mata itu tiba-tiba telah duduk di bangku sebelahku. Bedebah! Batinku.

“Apa kabar?” sapanya sembari menyodorkan ujung tangannya ke arahku. Kalimat yang diucapkan santai dan uluran tangan itu membuatku terdiam. Kubiarkan ia berlama-lama dengan uluran tangannya yang tampak keriput itu. Rokok di mulutnya kini sudah berpindah di lantai.

“Ya. Baik,” sambutku berusaha tak melawan senyum itu, dan tak balik bertanya kabar seperti yang ditanyakan kepadaku. Tapi justru kulihat dia semakin tersenyum. Aku tahu, matanya masih saja tak lepas menatapku, tapi dari sana pula aku tahu, dia seperti ingin ramah padaku.

“Maaf, Nak. Mau ke mana?” tanyanya lagi. Ehm, kalau sudah begini, tak berusaha ramah bagi anak kampung yang tahu bagaimana berhadapan dengan orang tua, rasanya tak lagi mungkin.

“Mau ke Selatpanjang, Pak,” jawabku. “Maaf, Bapak ke Selatpanjang juga?” tambahku kemudian. Senyumnya makin mengembang.

“O ya Nak, sama kita. Anak asli orang Selatpanjang? Di mana rumahmu, Nak?” tanyanya lagi.

“Oh, bukan Pak. Saya bukan orang Selatpanjang, saya asli Bengkalis. Dan saya bukan mau ke Selatpanjang, tapi saya mau ke Tanjungbalai,” jawabku.

“Jadi, Anak mau lebaran di Tanjungbalai? Mengapa tak lebaran di Bengkalis?” balas lelaki berkaca mata itu. Pertanyaan terakhir yang keluar dari mulutnya itu tiba-tiba membuatku gugup. Tak kusangka sama sekali. Aku terdiam sejenak. Kulihat balik orang tua itu, matanya masih tak berkedip. Ia seperti heran. Aku tahu, dia menunggu jawabanku dengan sangat seperti menunggu uluran tangan petugas BLT di kantor pos.

Dan aku berusaha bersikap wajar, tak perlu aku gugup untuk sebuah jawaban dari semua kisah yang nyata-nyata kualami ini hingga aku memilih untuk tak pulang ke tanah kelahiranku itu. Meskipun seperti yang kurasakan sejak tiba di pelabuhan ini, alasan itu memang tak cukup kuat.

”Eeghh, ya Pak. Saya memang tak balek ke Bengkalis. Sengaja. Memangnya pulang itu harus ke kampung kita, Pak? Bagi Bapak mungkin ya, bagi saya tidak. Bagi Bapak mungkin banyak kebahagiaan di sana, bagi saya untuk saat ini tidak ada,” jawabku ringan dan beruntun. Ada rasa lega dan puas setelah kuucapkan kalimat-kalimat itu. Apalagi setelah kulihat orang tua itu kini terdiam, dan aku tak menunggu jawabannya seperti ia menunggu jawabanku tadi.

Suasana di sekeliling kami semakin seperti ruangan reuni pemelihara anjing-anjing kesayangan, yang hilir mudik menarik anjingnya dengan berbagai warna dan ukuran. Orang tua itu kemudian bicara lagi.

“Mengapa seperti itu sekali, Nak? Maafkan Bapak. Sepertinya ada satu hal yang berat sehingga Anak bicara seperti itu,” ujarnya. Betul semua yang kukira tadi, kini dia seperti memaksaku untuk menceritakan semuanya. Tapi, apakah perlu kuceritakan itu pada orang tua ini? Aku jadi berpikir ulang. Sudah berbuih rasanya mulutku menceritakan persoalanku itu pada semua orang yang dekat denganku sebelum ini. Tapi kenyataannya, aku masih juga memilih untuk mengobatinya dengan pergi ke kota lain. Karena memang kebahagiaan itu kuanggap di mana-mana tak kunjung ada. Dan soalnya lagi-lagi, alasanku itu sebenarnya...; tak cukup kuat sama sekali.

“Ya, memang ada hal berat yang saya rasakan saat ini. Dan saya kira tak perlulah apak tahu. Yang jelas, saya cuma menganggap, saat ini kebahagiaan belum ada di mana-mana. Makanya, tak pulang ke kampung saya pun, keadaannya tetap sama saja,” jawabku serius dan setengah acuh, memalingkan kembali pandangan pada kapal kayu di dermaga itu. Orang tua itu kulihat juga mengalihkan pandangannya, meski dia masih ingin mengatakan sesuatu.

“O, begitu ya, ak. Maafkan Bapak. Tapi, kalau boleh bertanya, Anak masih ada orang tua?”

Semakin menjadi-jadi pertanyaan yang tak kuinginkan dari orang tua itu. Kepalaku tiba-tiba jadi terasa semakin berat. Gemuruh yang lain semakin tak tentu berdenyut di dadaku. Aku mengangguk terpaksa. Selebihnya, kubiarkan orang tua di sampingku itu bicara sendiri.

“Bapak juga sebelumnya merasa tak ada kebahagiaan di mana-mana, Nak. Karena itu dua bulan lalu Bapak putuskan untuk ke kota ini. Serasa telah puas berada di kota ini, Bapak putuskan pula untuk berangkat ke Singapura. Yah, hasilnya sama saja, kebahagiaan tak kunjung tiba juga. Hanya beberapa hari saja Bapak di sana, kini Bapak memutuskan kembali ke kota ini. Dan karena lebaran tiba, akhirnya bapak pulang ke kampung juga,” ujar lelaki itu seperti ingin bercerita tentang dirinya. Aku masih diam, berusaha untuk tak merespon apa yang diceritakannya itu. Tapi entah mengapa, ada sesuatu yang lain menyerbu di kepalaku setelah kusimak baik-baik kalimat-kalimat itu. Jujur saja, sebenarnya aku tertarik untuk bertanya, tapi kuurung setelah tiba-tiba dia berujar lagi.

“Kalau boleh tahu, apa masalahnya Nak? Sehingga Anak lebih memilih ke kota lain saat lebaran seperti ini?” tanyanya tiba-tiba padaku, lalu seperti sebelumnya, dia kembali tampak menunggu jawaban dari pertanyaannya itu seperti seseorang menunggu uluran tangan petugas BLT di kantor pos. Aku tak dapat lagi mengelak.

“Karena perempuan, Pak!” jawabku tegas. Singkat dengan ekspresi wajah seratus persen padam. Aku berusaha menatapnya sejenak, ingin tahu apa reaksinya. Dan, celaka! Dia malah menutup mulut dengan telapak tangannya. Tersenyum tanggung. Getir seperti menyindir. Ah, aku tersinggung.

“Lho, kok tertawa Pak. Ada yang lucu?” gertakku pada orang tua itu. Kutatap serius sesuatu di balik kaca mata itu, pantatku bergeser dan aku hampir saja berdiri. Tapi dia justru tak menatapku. Betul-betul menjengkelkan, pikirku. Sejak awal tadi memang, kehadiran orang tua ini kuanggap tak menawarkan apa-apa kecuali menambah kecamuk di dada. Tapi entah kenapa, hatiku luluh setelah kulihat perlahan ia melepaskan kaca mata yang sejak tadi bertengger di hidungnya itu. Dia berusaha tak menatapku dan tak menjawab sepatah pun pertanyaanku tadi. Tapi sembari ingin beranjak dari bangku itu dan menatapku sendu, ia berujar lagi.

“Dengar baik-baik Nak. Bapak tahu, pasti perempuan itu telah membuatmu kecewa. Bahkan mungkin, dia tak lagi kau miliki, benar kan? Bapak juga seperti itu Nak, sama-sama karena perempuan. Bedanya dia tak pernah mengecewakan,” ucapnya perlahan. Aku terkejut. Dia seperti telah tahu semua yang aku alami, padahal tadi aku hanya menjawab satu kalimat saja; karena perempuan. Lalu tiba-tiba aku seperti ingin mendengarkan kelanjutan kalimat-kalimat dari mulut orang tua itu.

“Mencintai tak mesti selamanya memiliki. Ingatlah, di dunia ini, memang tak ada yang kekal, Nak. Baru beberapa bulan lalu, apak kehilangan istri tercinta, dia dijemput Tuhan secara mendadak. Padahal dia satu-satunya orang yang sangat berharga di kehidupan bapak, karena Bapak ditakdirkan tak punya keturunan. Tapi, mengapa Bapak masih juga ingin pulang kampung sementara tak ada lagi siapa-siapa d isana? Karena Bapak merasa kebahagiaan memang tak ada di mana-mana, tapi justru ada dalam diri kita. Di kampung itu, Bapak masih bisa berziarah ke kuburnya, juga kubur orang tua Bapak, bersimpuh dan berdoa di sana. Bapak pikir, kita memang harus selalu ingat pada orang yang kita cintai meski mereka telah meninggalkan kita. Cinta memang tak harus selamanya memiliki, Nak. Yakinlah, Tuhan pasti punya rencana lain yang lebih baik untuk kita. Dan bersyukurlah, anak masih ada orang tua dan keluarga. Jujur, Bapak tak punya...” ujarnya sembari beranjak pergi begitu saja dari bangku itu. Aku termangu. Gemuruh yang lain di dadaku itu kini bercampur-aduk. Kalimat-kalimat yang diucapkan orang tua itu betul-betul membuat hatiku terusik. Lalu entah mengapa, seperti setengah sadar, aku segera menyambar ponsel dan menghubungi Erwan, sahabatku wartawan kota yang telah lama mangkal di pelabuhan Sungai Duku itu.

“Wan, bisa tolong carikan tiket satu Wan? Aku nak balek.”
“Kapan?”
“Sekarang, Wan.”
“Awak di mane?”
“Aku dah di Sungai Duku ni.”
“O, ya. Awak tunggu saje di pintu kelua, sebentar lagi aku ke sana.”

Selang beberapa menit setelah itu, aku sudah berada di bangku CC paling belakang speed boat yang bersebelahan dengan kapal kayu itu.

Aku pulang ke Bengkalis.***

Rumahsenja, September 2008- Ramadhan 1429 H

Minggu, 25 Januari 2009

Romansa Kebun Tebu

Aris Kurniawan
http://www.sinarharapan.co.id/

Dua malam lagi aku akan meninggalkan kota ini. Beberapa menit setelah tiang listrik dipukul orang tiga kali, dan penjual nasi goreng mendorong gerobaknya pulang meninggalkan kawanan tukang becak yang terkapar di dalam becak mereka setelah lelah berjudi. Saat-saat seperti itulah aku bisa keluar dari kamar kontrakan dengan perasaan lapang. Mengunci pintu perlahan-lahan, kemudian meletakkannya bersama sebuah surat di bawah keset untuk ibu kontrakan.

Dua malam lagi kamar kontrakan yang bertahun-tahun menghidupiku dengan kesunyian hanya akan kubawa dalam ingatan. Meninggalkan tumpukan baju kotor yang menggelantung di balik pintu. Meninggalkan percakapan anak-anak mahasiswa yang selalu diselingi gelak tawa. Meninggalkan gadis kecil yang dua minggu ini setiap menjelang magrib melintas di jalan itu. Gadis kecil berambut kemerahan yang selalu berjalan dengan langkah-langkah kecil dan tergesa. Dua tangan mungilnya mendekap sebuah buku di dadanya. Gadis kecil yang telah membatalkan niatku pulang.

Mestinya sejak dua minggu lalu aku meninggalkan kota ini. Tetapi niatku yang sudah bulat mendadak menguap begitu saja ketika memandang gadis kecil itu. Gadis kecil berbaju biru yang segera menghilang di tikungan begitu kukejar. Sehingga aku harus menunggunya menjelang magrib pada keesokan harinya. Tetapi sampai berkali-kali aku mengejarnya, dia selalu lebih cekatan menghilang. Seakan menghindari bahaya yang siap menerkam.

Aku pernah mencoba mengadangnya untuk dapat menatap wajahnya dengan jelas. Aku berdiri di balik pintu pagar menatap ke arah ia biasanya muncul. Beberapa lama menunggu, kulihat dia akhirnya muncul dengan langkah-langkah kecil dan tergesa menapaki jalanan berkerikil, dengan gerak tubuh yang tiba-tiba sangat kuhapal. Terutama dua tangan mungilnya yang mendekap sebuah buku di dadanya. Rambutnya keriting dan sedikit dikacaukan angin tampak makin kemerahan oleh matahari menjelang magrib. Pandangannya lurus, kadang tertunduk, melihat buku di dadanya yang tampak begitu dikhawatirkannya lepas terjatuh.

Dia makin mendekat. Hanya beberapa langkah lagi dia akan melintas di depanku, aku akan menyapa dan menghentikan langkahnya, memegang pundaknya, memberinya senyum seraya menatap wajahnya. Namun ketika selangkah lagi dia melintas di depanku, tiba-tiba terdengar bunyi benturan amat keras yang mengalihkan perhatianku ke seberang jalan. Dan manakala rasa terkejutku hilang, gadis itu sudah jauh berada di ujung jalan dan segera lenyap ditelan tikungan. Peristiwa ini kuingat terjadi lebih dari satu kali. Ketika beberapa waktu kemudian berhasil mencegat langkahnya, dia hanya membisu, menatapku beberapa lama, menepis tanganku, dan lekas-lekas berlalu. Wajah gadis itu mirip Laila yang tengah kucari di kota ini.

Laila, gadis yang telah kuhancurkan masa depannya. Mungkin aku akan menanggung rasa bersalah sepanjang umurku. Apa boleh buat, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Laila, maafkan aku.

Kukemasi sejumlah barang dan pakaianku yang tak seberapa. Mengemasi baju-baju ke dalam tas seperti mengemasi perjalanan hidupku yang belum selesai. Ini sungguh pekerjaan yang tidak mudah. Dan yang lebih berat lagi, aku harus mengemas perasaanku yang rawan. Lalu bagaimana aku mengemas perasaan bersalah pada Laila yang gagal kutemukan di kota ini?

“Katanya takkan pulang sebelum Laila kamu temukan?” Terngiang ucapan ibu kontrakan siang tadi. Aku menggeleng seraya tersenyum getir.

Lima tahun lalu, sekembali dari kuliah di kota ini, ayah-ibuku menyambut dengan gembira. Aku berhasil lulus dengan predikat cum laude. Ini prestasi yang membanggakan orangtuaku. Selain jodoh, telah disiapkan pekerjaan buatku di pabrik gula yang ada di kota kecamatan. Ayahku adalah salah seorang pembesar di perusahaan yang telah banyak menghidupi warga desa tersebut. Namun sayang, keduanya gagal kuperoleh. Bukan hanya karena aku tidak tertarik pada kedua pilihan tersebut, melainkan karena aku bertemu dengan Laila. Gadis kecil anak seorang kuli tebu. Matanya yang indah dan pipinya yang penuh membuat hatiku tak dapat mengelak mencintainya. Tak peduli Laila seorang gadis kecil 13 tahun, dan aku insinyur 27 tahun. Aku sering secara sembunyi-sembunyi mendatangi rumahnya di tepi kebun tebu. Biasanya menjelang magrib.

Aku tahu Laila merasa senang setiap aku datang, bukan cuma karena aku membawakan majalah-majalah remaja yang disukainya dan mengajarinya menggunakan handphone. Laila senang, karena dirinya bisa bercerita pada orang lain tentang dirinya. Maklum, tak ada teman sebaya di sekitar rumahnya. Ia baru lulus sekolah dasar, dan tak mungkin melanjutkan ke SMP. Tidak dengan ibu-bapaknya yang tampak cemas. Aku mengerti, tentu mereka khawatir aku hanya mempermainkan anaknya. Tapi mereka tak mungkin mengatakannya.

Kuajak Laila berjalan menemaniku menyusuri pematang, melompati parit. Duduk di atas pematang, memandang langit merah yang berangsur gelap. Kami menerobos kebun tebu. Kupetik bunga tebu untuk Laila, dan kucium bibirnya dengan gairah yang meletup tak terkendali. Masih sempat kudengar Laila merintih dan memekik. Suaranya hilang timbul di antara gemuruh nafasku dan suara angin yang terengah menggetarkan daun-daun tebu, menerbangkan serat-serat kembang tebu. Entah berapa kali batang-batang tebu merekam peristiwa indah itu. Sampai tibalah suatu hari aku menangis di pangkuan ibunya karena aku telah membuatnya hamil.

Kubuktikan tanggung jawabku sebagai laki-laki, aku meminang Laila. Tapi ayah-ibuku tak menerima Laila menjadi menantunya. Tentu perbedaan usia yang terpaut jauh hanya alasan mereka menolak Laila. Alasan yang sesungguhnya adalah karena Laila hanya lulusan SD dan hanya anak seorang buruh tani. Aku dipaksa menikah dengan perempuan yang telah disiapkan orang tuaku. Sementara Laila harus menanggung penderitaan seorang diri. Kudengar Laila kemudian diungsikan ke kota.

Beberapa lama setelah mendengar kabar tersebut, aku pergi meninggalkan rumah, menyusul Laila ke kota ini. Menyewa kamar kontrakan, tempat aku menitipkan baju-bajuku, meletakkan tubuh lelahku setelah melakukan pencarian. Kuingat hampir lima tahun aku melakukannya. Lima tahun, berarti lima kali masa tanam dan potong tebu di kampungku. Dan selama lima tahun seluruh sudut kota ini telah kususuri sepanjang siang sepanjang malam, bertanya pada hampir semua orang.

“Berambut lurus, ada tahi lalat di bawah dagu.” kataku seraya menyodorkan selembar foto kusam. Dan selalu gelengan kepala yang kudapatkan, atau kalimat “Nggak ada,” dengan nada yang sering kali amat ketus.

Memang kadang ada pula yang menjawab lembut, penuh perhatian dan berkeinginan membantu,
“Adik atau istri sampeyan?”
“Istri saya, namanya Laila”
“O, tapi dia bukan Laila. Tapi Lilis namanya,” ujar ibu penjaga warung rokok.
“Mungkin saja dia ganti nama. Antarkan saya pada Lilis,” kataku mengharap.
“Walah, saya nggak tahu rumahnya. Kemarin sih dia datang. Besok saja datang lagi kemari. Siapa tahu dia ke sini,”

Esoknya dan esoknya, dan esoknya lagi aku datang. Tapi Lilis tak juga muncul. Ibu penjaga warung itu memberi kabar, “Kata si Nur, dia sudah pulang kampung,”
“Nur, siapa dia? Temannya? Bisa saya ketemu dengan dia,”
“Tunggu saja di sini. Malam ini pasti dia datang,”

Sampai hampir subuh Nur tidak pernah tampak. Bahkan sampai beberapa malam aku tunggu. Kini kesabaranku sudah sampai pada batasnya. Aku tak mungkin membiarkan umurku habis untuk mencari Laila di kota ini. Menghabiskan malam-malamku menyusuri tikungan jalan, membebat tubuhku dengan jaket atau sweter, menyelinap ke pintu pub, bar, dan warung remang-remang sepanjang kota ini.

Dua malam lagi, waktu yang akhirnya kupilih untuk menghentikan pencarian dan kembali pulang menemui rumah dan ayah-ibu. Mungkin aku akan menemui ibu dan bapak Laila, untuk kesekian aku akan meminta maaf. Maafkan aku, Laila. Maafkan aku…

Pondok Pinang, 2008

ANAK LAUT

Syarif Hidayatullah
http://www.surabayapost.co.id/

Ayahku bercumbu gelombang dan lautan, begitu mesra hingga malam-malamnya penuh dengan tarian ombak dan ikan-ikan yang ia tangkap melalui tebaran jala miliknya.

“Sekali waktu ajari aku mengaji,” ujarku padanya. Namun tak ada jawaban yang aku terima melainkan desis ombak yang mengetuk daun pintu rumahku.

Kemudian ia mulai merobek pekatnya malam dengan perahu Kencananya. Sesekali aku diajaknya, mengarungi lautan, ombak menjilati tubuh hingga garam begitu asin terasa di bibir.

“Ha-ha, ha-ha! Hadi tidak bisa baca Quran,” ejek teman-teman sekelasku.

“Sudah besar tidak bisa baca Al-Quran,” lanjut temanku yang lain.

Bukan main malunya aku, sampai-sampai aku menundukan wajahku di kursi tempatku duduk. Sepulang sekolah, aku meraung-raung kepada bapak yang sedang asyik beristirahat. Namun, tanpa menggubris tangisku ia berusaha memejamkan terus matanya. Bahkan ia malah memarahiku untuk diam. Mendapat perlakuan seperti itu tangisku semakin menjadi-jadi. Kemudian, sederas ombak ia menampar pipiku.

“Jangan berisik, Bapakmu ini lelah!”

Akupun kemudian berlari kecil di bibir pantai, duduk sendiri di perahu bapak, menikmati ayunan ombak yang terus menerus berdebur. Aku selalu mengenang ombak ini sebagai tubuh ibu yang membelaiku. Di saat aku sedih, ombak inilah yang meredakan segala kesedihanku.

Karena ibu, ya ibu selalu membawaku ke sini, menekuri hidup yang ombak, deras dalam perubahan dan akhirnya malabu pada keharibaan. Namun, aku selalu menyesali sesuatu. Kenapa kau begitu cepat meninggalkanku ibu? Kenapa kau lebih dulu mencapai keharibaan? Kenapa kau tak mengajakku ibu?

“Tuhan memberi kita ketentuan, kau memiliki jalan, Ibupun memilik jalan, segala pun berjalan,” kenangku akan nasihat ibu.

Dan aku begitu malu saat ini, ketika tak sepotong yasinpun kukirimkan kepadanya, padahal aku ingin menjadi anak shaleh seperti yang diimpikannya.

Akupun terus memaksa ayah. Namun sekali aku bicara, seribu debur ombak menjawabnya. Ia selalu sibuk dengan perahunya. Aku semakin merasa terkucil di sekolah itu. Aku satu-satunya orang yang tidak bisa membaca Al-Quran. Hampir setiap waktu mereka mengejekku, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dari sekolah.

Bahkan ketika aku berhenti bersekolah, ia tetap seperti samudra, tenang membawa perahu kemanapun tujuannya.

Kalau seperti ini, aku selalu memanggil-manggil ibu, karena harusnya ibulah yang mengajariku mengaji. Seperti teman-temanku di sekolah ini. Ayolah ibu, ajari aku mengaji!

Ombak pun berdebur, lautan menafsir rinduku...



***

“Bang, kapan Abang akan menikahiku?” ujar Harisah ketika aku baru saja menurunkan jangkar kapal Kemuning. Tampaknya ia telah menungguku begitu lama. Ah, menanti ombak sama saja menanti kepastian diri.

Aku menatap wajah Harisah, begitu banyak kenangan yang telah kuukir bersamanya. Bahkan untuk mendapatkannya, aku sangat bersusah payah. Karena Harisah bukanlah gadis yang mudah dirayu. Selain saja tentu karena ayahku yang tidak setuju, sebelumnya ia telah menentukan dengan siapa aku menikah. Namun aku bersikeras mempertahankan Harisah, aku selalu berkata pada ayah, aku tidak bisa hidup tanpa Harisah. Aku cinta padanya!

“Nak, tahu apa kau tentang cinta? Ibumu mati karena cinta,” nasehatnya. Ketika itu tubuhnya sudah terbatuk-batuk hingga aku harus menggantikannya berlayar. Aku memberikannya minuman, ketika itu penyakit demam benar-benar telah menarik ketegaran ombak dari dirinya. Sudah hampir sebulan ia tergolek lemah seperti itu.

“Maksud Bapak?”

“Kau itu anak laut, kau harus menikah dengan anak laut pula,” penjelasannya makin tak kupahami. Tapi aku mencoba menerkanya.

Yang kuingat ibu adalah gadis bukit, hampir mirip dengan Harisah. Sebab, ibu pernah menceritakan kerinduannya pada padi serta tetumbuhan yang hijau, ladang-ladang juga sapi yang membajak sawah. Ketika itu, aku begitu terkagum mendengarkan cerita ibu tentang kampung halamannya. Aku tidak pernah mengetahui rumah ibu, karena sejak kelahiranku kami tidak pernah menyempatkan diri untuk ke bukit. Bahkan di hari raya sekalipun. Tak ada biaya dan kendaraan, selalu menjadi alasan.

“Mereka tidak akan benar-benar mengerti laut,” kembali ayah berujar di sela batuknya.

Perkataan ayah benar-benar memancing nostalgia masa kanak-kanakku.

“Kenapa Ibu sering membawaku ke sini?” tanyaku pada ibu, ketika ia berada di perahu Kencana kami.

“Memahami laut,” jawabnya selalu.

Aku sekarang baru paham, kenapa dulu ibu hampir setiap sore membawaku ke tempat itu. Ayah terkadang keras pada ibu, aku pernah melihatnya. Ayah memarahi ibu hanya karena ibu memintanya untuk tidak sering berlayar.

“Kita itu butuh uang, kalau aku tidak melaut berarti aku tidak dapat uang, berarti kita juga tidak makan!”

Ah, inikah yang disebut mengerti laut?

Namun, cintaku benar-benar tidak terbendung untuk Harisah, bahkan ketika ia bertanya kepastianku, aku menganggukan kepalaku. Aku hanya perlu dua-tiga kali berlayar, untuk mendapat uang yang cukup demi menggelar acara pernikahan kami berdua. Tapi lagi-lagi aku memiliki kendala.

“Kau bisa mengaji?” tanya ayah Harisah.

Cintaku ditantang dengan satu syarat yang menurut temanku yang mengantarkanku sangatlah mudah. Tapi benarkah itu mudah? Bahkan untuk mengeja alif saja, aku sudah kepalang susahnya.

Teringat kembali aku pada ibu juga ayahku, berapa banyak yasin yang belum aku kirim pada mereka?

Belum sempat aku menuntaskan syarat itu, ayah Harisah sudah datang beberapa minggu kemudian dengan muka yang begitu berang.

“Kali ini kau harus menikahinya! Kau harus bertanggung jawab atas kehamilan anakku!”

Akupun mengiyakannya, tak perlu aku bahas tentang suatu kehamilan, karena itu hanya kebohongan. Harisah hanya berbohong pada keluarganya, karena dia tahu betapa aku begitu sukar untuk membaca Al-Quran.

Ayah, kata siapa bukit tidak bisa memahami lautan...?

***

Meninggalnya istriku membuat diriku benar-benar kesepian. Hanya tujuh tahun ia menemaniku. Cukup banyak hal yang telah terjadi pada kami, suka maupun duka. Adapun buah percintaan kami, seorang anak lelaki kini berumur enam tahun.

Aku sangat menyayangi anak itu. Makanya terkadang aku tidak enak meninggalkan dirinya sendirian di rumah. Acap kali aku membawanya ikut melaut. Sekaligus, aku ingin mengajarkan betapa kerasnya hidup, sekeras ombak yang mengombang-ambing perahu kami.

Setiap aku melabukan jangkar perahuku, teringat selalu wajah Harisah, kerinduan yang membumbung selalu membuat dirinya menanti. Kau adalah kanal jiwaku, bisikku selalu padanya. Ah, betapa mesra kami dulu, walau terkadang kami harus bertengkar untuk masalah laut.

“Anakmu ini masih kecil, sering-seringlah di rumah. Aku lelah seharian menjaganya. Siang aku merawatnya, memandikan, memberi makan menyusuinya, sementara malam harinya, aku harus mendengar tangisnya. Aku sungguh lelah Bang, sekali-kali bantulah aku!”

Mendengar kata-kata itu, seringailah diriku. Ia pikir aku tidak kerja apa?!

“Kau pikir aku melaut untuk bersenang-senang apa?! Aku harus menantang ombak, menjala ikan. Itu semua demi kita, kalau tidak seperti itu, bagaimana dengan makan kita nantinya?!”

Lalu kami saling beralasan satu sama lainya. Aku bersikukuh, begitupun dengan dirinya. Sementara ombak terus berdebur mengetuk-ngetuk pintu rumah kami yang rapuh.

Ayah teringat aku padamu, benarkah apa yang kau ucapkan dulu tentang anak laut?

Ketika aku baru merebahkan tubuhku di kasur untuk beristirahat setelah berlayar, entah kenapa anakku menangis, meraung-raung sejadi-jadinya sepulang dari sekolah.

“Ayah ajari aku mengaji,” disela tangisnya. Aku terdiam, selama ini keinginannya untuk diajariku mengaji tak juga kupenuhi, bukan karena apa, akupun tak bisa membaca Al-Quran.

Aku menutupinya dengan berusaha tak menghiraukannya. Namun, tangisnya semakin menjadi-jadi. Tubuhku yang lelah membuatku menjadi pemarah. Aku menjadi begitu dongkol, kupukul ia diselangi bentakanku yang cukup keras.

Ia terdiam, kemudian pergi entah ke mana. Aku kembali merebahkan tubuhku, teringat wajah ayah, apakah kau bisa mengaji?

Seperti biasa, tak ada jawaban yang aku terima melainkan desis ombak yang mengetuk daun pintu rumahku...

Mengenang pelayan Madura, Ombak mengajari kita bersembahyang

Jumat, 23 Januari 2009

Sajak-Sajak Nirwan Dewanto

http://kompas-cetak/
Gong

Tengah kami cerna hamparan abu yang meluas hingga ke Prabalingga ketika kau datang tiba-tiba. Menyuapkan sebilah anak kunci ke mulutku kau berkata, "Aku pandai membuka semua pintu. Jangan lagi lari dariku." Waktu kaulepaskan gaunmu tahulah kami bahwa tubuhmu masih setengah-matang. Tapi aku tak lagi bisa tertawa sebab baru saja kami kuburkan sang panakawan di antara batang-batang pisang.

Malam ini sungguh terlalu panjang. Maka menarilah, Adinda. Tak akan kami pulang sebab kami mahir bertepuk sebelah tangan. Menarilah. Inilah lingkaran yang akan kami berikan esok hari kepada ki lurah Baradah. Namun sekarang ambillah. Sebab tubuhmu kian merona merah.

Baiklah, bahkan lingkaran seluas padang ara-ara pun tak cukup bagimu. Telah kunyalakan segala suluh agar hutan pring dan rotan ini menjauh darimu. Dan kami tanam pokok-pokok pinang kencana di sekitarmu agar tanganmu gemas meninggi melupakan leluka para leluhur di bumi. Tapi kau ingin bergerak seperti lautan seperti awan-gemawan seperti berjelatang seperti menuju timpas perang. Kami pun tuli oleh derak sendi dan rusukmu selepas tengah malam.

Tapi kami pemujamu, bukan? Sebab parasmu murni seperti sebutir telur (seperti parasku yang tak kunjung hancur): putih yang mengeras dalam gelap keparat, dan hanya retak pada hari kiamat. Bahkan balatentara Kadiri yang mengintai dari kedua sayap panggung gentar oleh kilaumu, oleh ketelanjanganmu.

Setiap kali para penabuh menjalang hendak menggiringmu ke tepi jurang, kugaungkan diriku lirih-lirih, panjang-panjang. Kembalilah lagi ke tengah, Adinda, di mana cahaya memancar paling merah (dan meruapkan harum darah), di mana kau harus mulai belajar lagi menggerakkan jari-jemari seperti bayi.

Dan sang perias di balik tirai (kurasa ia janda, dan ia datang dari Girah, di mana aku pernah lahir) menunggu kau segera dewasa. Sungguh ia berharap kau tak lagi menyiksa ia dengan lagumu, "Tolong hitamkan alisku, Ibu! Tolong tebarkan beras kuning dan daun sirih dan pecahan pedang di kaki ranjangku agar aku segera menari segera setelah bangun pagi!"

Ah, pastilah kucegah ia menjadi ibumu.

Maka kugiring kau ke puncak (Sumeru, itulah mungkin namanya) di mana delapan penari bertubuh perunggu segera merebutmu, memandikanmu dengan hujan kelopak melur. Memasang topeng Durga ke wajahmu mereka berseru, "Kaulah lubuk kami, busur kami. Dan kamilah anak-anak panah atau benang-benang topan yang melesat darimu, sehingga mereka yang memujamu tak lagi tahu kau juru tenun atau juru tenung." Tapi diam-diam kusisipkan bara arang ke bawah kakimu, dan si anak kunci ke celah payudaramu.

Selamat jalan, Ratna Manggali.

Aku akan lekas-lekas sembunyi. Sudah terdengar olehku kokok ayam jantan. Dan kuburan panakawan itu, tepat di bawah julai tandan pisang raja, akan segera terlihat olehmu. Kemudian, bukankah kau akan memburuku, mungkin membunuhku, bahkan sebelum surya mengemasi tirai panggung kita? Maafkan kami, sebab kami penabuh yang tak pernah mengaku (tak pernah kautahu bahwa Siwa berada di antara kami, dan oleh ia kami akan jadi serdadu yang ganas berebut kainmu). Sebab kau perawan baka, perawan paling sempurna.

Dan aku hanya lingkaran lingga. Terlalu purba, terlalu sederhana.

Tak mampu aku memuasi dahagamu.

(2006)



Torso Pualam
—untuk Gregorius Sidharta Soegijo (1932-2006)

Pakaiannya tertinggal di tepi perigi, tapi betapa gentar terang siang memekik di antara kedua susunya.

Di jalan pulang, bujang yang mengikutinya seperti bayangan itu berkata, "Puan, wajahmu dan tubuhmu adalah milik malam. Aku tak mampu mencintaimu. Mereka pun tak."

Hari hampir senja ketika belum juga rumahnya terlihat. Mereka tiba di bawah pohon mahoni. "Ambil pahatmu," kata dia pada si bujang. "Haluskan punggungku ketika aku berpejam mata menghadap ke utara."

Ia lupa arah mata angin. Ia merasa kakinya tercelup ke arus kali ketika mulai memahat.

"Jika darah mengucur dari tubuhku, berhentilah."

Tapi tubuh si perempuan berkilau-kilau ketika malam tiba. Maka ia perindah sepasang payudara itu meski ia tak akan lagi bisa minum dari sana. Dan ia sesap kembang api dari lengkung pinggang yang

kian tampak purba itu.

Makin nyaring bunyi pahatnya.

Sampai jari-jemarinya sendiri berdarah...

Kuhisap darah itu agar aku mampu mendengar tangisan sang puan dewi batari. Dia tak lagi betah di bawah pohon keramat itu sebab aku telah memberinya baju dari kain perca warna-warni.

Dan dengan kuda sembrani dari kayu mahoni kami melaju ke Bandung atau Craiova sehingga Brancusi yang selalu seperti datang dari esok hari tak lagi bersiteguh membanggakan kepala bayi atau telur dari pualam mahaputih itu.

Sesekali kaukuburkan pahatku pada lubuk perigi.

Tapi aku bukan lagi bayang-bayangmu. Wajahku menghadap ke semua penjuru. Sehingga setiap sungai membawa laut ke pangkuanku. Bahuku bertuliskan nun. Sehingga setiap akar menghisap bentang langit paling biru.

Dan setiap tangan adalah milikku yang membawa wajah dan payudaramu ke arah siang.

(2006)



Gandrung Campuhan

Kuminum apa dari cawanmu
—sari limau atau arak madu—
tetap saja kusesap tilas bibirmu.
Habis senja makin dahaga aku.
Kuiri pada kalung manikmu,
bebulir merah tak kunjung ungu,
terus saja melingkari lehermu.
Sedang lenganku, lengan perihku
membelit sebutir jantung hanya,
jantung semu milikmu. Segera sirna
ia, begitu kau membunuh surya
pada kulit kitabku, dengan kecut cuka.
Kucoba roti apa saja. Roti udara
atau roti batu. Tapi dengan selai ceri
olesan tanganmu, aku akan tega
melupakan segala nasi, segala kari.
Silau oleh album negeri salju, kau
menarik tabir magnolia. Mengigau
aku seperti batang neon terendam
suara kekasihmu separuh malam.
Telah tercuri wajahmu di Singapadu
—Durga atau Maria dari Magdala?—
sebab seperti Siwa tubuhku penuh abu
memanggul salib kayu nangka.
Di restoran itu pun segera terpercik bara
ke ujung kainmu. Sebab kau tampak tiba
dari lukisan Lempad, menjelang pagi,
tapi dengan pipi seperti telur mata sapi,
pada pelepah pisang kau sigap menari,
pada talam Siam kautahan sang koki,
hingga siap aku mencicipimu, mengulummu
dengan lidah berbalur kaldu empedu.
Tapi lambung kananku tercabik tiba-tiba
oleh pisau pacarmu. Penyadap betapa muda,
lekas ia terakan namaku pada kedua susumu
dengan getah pala dari segenap pembuluhku.
Matamu badam biru dari bawah seprei
—sepasang terakhir kubawa mati—
sambil kupahatkan busur pinggangmu
pada cermin berlumur darah lembu.

(2006)



Madah Merah

Terlalu dekat kau ke lumbung padi
sehingga rambutmu tak kilau lagi.
Terlalu pagi mungkin kauminta aku
mengunggah sembilu ke tepian dagu.
Terlalu gabah kutampi bebayangmu,
terlalu payah kautenggang lingkar nyiru.
Tapi tengah hari alismu tetap teka-teki
meski terengah lidahku ke ujung nyanyi.
Layu tanganku seperti kembang sepatu
tak lagi terperam di sebarang rambutmu.
Pada payudaramu bibirku akan lupa,
pada ani-ani buku jarimu berutang luka.
Lempang pematang oleh mata dara,
terbang kiambang oleh mara buah ara,
tapi tak lagi menjulai malai jantungku
sebab sembunyi darahmu ke pucuk meru.

(2006)



Sarapan di Undak Sayan

Antara piring putih ini
dan cakram matahari
kukekalkan sepetak roti
dengan luka ujung jari.
Antara meja tohor ini
dan gerimis sore nanti
lap penuh bara birahi
menempel ke pucat pipi.
Antara kilau sungai itu
dan gelap geligi beku
seraya cemburu, kuburu
ke ujung garpu, rambutmu,
dan ke mata pisau, matamu.
Sebab lapar tak juga milikku.

(2006)

Kamis, 22 Januari 2009

Puisi-Puisi Fauzi Absal

http://sastrakarta.multiply.com/
SESOBEK ANGIN

sesobek angin mula-mula
mengembara di benua-benua di agama-agama:
sesobek angin!
hanya angin sesobek - "cukup" - katanya
menyayangi namaku. sesobek angin
adalah berita adam terguling

sesobek angin bercengkerama di pelabuhan
berjodoh dengan denyutku
sesobek angin merayakan pelaminan
membongkar kucir lilin menetapkan darah:

sesobek angin membubuhkan berkah kunang-kunang
sambungan nasib moyangku!

sesobek angin memuat kerlap-kerlip ikan
sesobek angin adalah makna
atau taman makna
adalah bahasa arwah.
sesobek angin menemukan mata
menemukan telinga menemukan mulut
memperoleh leher memperoleh kemaluan
memperoleh kegairahan dalam hidupku

sesobek angin adalah berita persembahan
adalah berita mengenai kincir angin di surga



MATA ZAMAN

Mataku ini makin menyala
sebelah jadi bajingan sebelah jadi pelacur
telah semakin sempurna menyamarkan kebenaran
baik dan buruk telah sama-sama percaya diri
pada suatu pesta yang menenung hati nurani

mataku kini adalah sepasang mempelai yang gembira
merayakan keajaiban makna
membuat kota-kota menggeram dan marah
sibuk dan bingung
dengan api unggun yang mencekam
mataku mengembara
merencanakan suatu dunia jadi pasar malam
berdampingan langsung bangunan bordil
tatapannya menembus perahu layar dalam hati kecilmu.
artinya

apakah lilin putihmu yang masih menyala
tahan amukan cuaca?

1995



HALUSINASI DUNIA KELAM

"Di dunia kelam
semua orang ingin tampak jadi pahlawan." kata mataku yang
kelam
"Itu peradaban yang tidak beradab," kata mataku yang
putih
"Kebajikan terbit dengan cara ajaib dan mati secara
gaib," kata mata kakiku
"Ada burung hantu yang suka menakuti kita," kata kaca
mataku yang kiri
"Hei, ada ular membentuk karangan bunga di cakrawala,"
kata manik mataku
"Wah, ada yang menguntit kita," kata bulu mataku
"Ada orang makan orang," kata mata tetanggaku
"Ada yang lihat? Ada orang berjalan dengan kepalanya,"
kata mata penggemar jambu bol
"Hei, jangan Kau tinggalkan daku. Mohon
Jangan Engkau tinggalkan daku," kata doaku yang rabun dan
sembab

1991



OBSESI ESKALATOR

Semua bangunan patah tak sampai pada puncaknya
Karenanya permohonan-permohonan dengan ruangan
berlantai banyak. Eskalator itu meluncur ke bawah
dengan suara mesin berat yang harus kami sangga

Merambat-rambat di udara yang dindingnya berkapur
garam. Sedikit banyak kami adalah rombongan
cacing yang akhir-akhir ini tersedot
Terdorong jadi rakus
Kami sudah mengenakan helm menyibukkan lalu-lintas
di parit-parit di lembah-lembah dan bukit-bukit
dan di segala penjuru saluran industri

Kami bernafsu besar tinggal landas dari lantai
paling bawah. Apa yang selalu kami ingat
adalah sejarah. Kami adalah tokoh-tokoh sejarah
dengan dinding-dinding garam. Bahkan gunung, bukit
dan langit bergaram terus-menerus meneteskan
garam industri

Kami terus-menerus di sini seolah sembuh
semangat kami. Kami sudah mengenakan helm
Tapi eskaltor itu meluncur ke bawah
dengan peralatan berat yang harus kami sangga

1988



CATATAN DARI KASONGAN

Membangun wilayah, menekuni tanah liat
Ada ia, menyambung sejarah warisan leluhur, yakni
Memahami impian bumi pertiwi
Sembari bertegur sapa dengan irama pariwisata
Atau kata Gibran: "Mencintai kehidupan dengan bekerja"
dalam ayunan sang nasib yang beringas
Ia rumuskan kehendak zaman elektronik-informatika
dalam bentuk-bentuk patung gerabah komuditas
Ada naga ada jago ada gajah ada katak
atau celengan masa depan dipoles aksesori
namun betapa aroma tanah liatnya:
Bertautan antara kerajinan dan cocok tanam
Superman atau ksatria baja hitam tidak menjadi obsesinya
Barangkali karena tidak perlu
mengganggap zaman ini penuh dusta dan kekerasan
Sumeh saja seperti menghadapi tustel-tustel dari kota besar
yang banyak maunya
Lakoni saja pandom kehidupan yang nyasar-nyasar mau ke mana

Di tengah-tengah jagad manusia yang ngendon polutan
Masa depan toh masih terjaga dalam semilir setiap adzan
menghampar ladang dan pebukitan dengan
palawija dan jewawud padi-padian
‘Palagi perjuangan mengisi kemerdekaan
tak ‘kan pernah ada habisnya
Dan jantung kota Malioboro yang jauh di sana
Bukanlah puncak nomor gencet-gencetan.
Ya, membangun wilayahnya, membangun jiwanya
memahami tanah litany

1995

Rabu, 21 Januari 2009

Surat Pada Gubernur

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

“Bapak Gubernur, saya Pak Amat, seorang di antara berjuta-juta warga lain. Saya mengucapkan selamat bertugas pada Bapak. Semoga dalam kepemimpinan Bapak, apa yang kita cita-cita akan tercapai,” tulis Amat.

Surat itu diperlihatkan pada tetangga.

“Bagaimana?”

Tetangga manggut-manggut.

“Hebat.”

“Hebatnya apa?”

“Ya Pak Amat sudah berani menulis surat pada Gubernut.”

“Lho, apa salahnya?”

“Pak Amat kenal dengan beliau?”

“Siapa tidak kenal beliau. Kan sering ada di koran.”

“Hebat. Tapi lebih hebat lagi kalau Pak Amat tambahkan sedikit.”

“Apa?’

“Itu jalan yang masuk ke kompleks kita kan rusak. Kalau bisa diperbaiki, kita semua akan senang sekali.”

Amat ketawa.

“Masak Gubernut ngurus jalan rusak. Jalan kampung lagi!”

“Lho kenapa tidak, Pak Amat. Beliau kan pemimpin kita. Beliau pelindung rakyat. Beliau bukan hanya milik orang-orang yang tinggal di hotel dan real estate. Beliau juga adalah milik kita yang hidup di kampung seperti kita ini. Seorang pemimpin yang baik wajib mengayomi seluruh rakyat. Jangankan jalan rusak, batin yang rusak pun jadi urusan beliau. Ingat ada pepatah: karena nila setitik rusak susu sebelangan. Benar nggak?!! Nah, pemimpinn yang baik itu memperhatikan semua sampai sekecil-kecilnya. Karena yang kecil itu justru sering menentukan!”"

Amat tesenyum.

“Kalau Pak Amat tidak percaya, coba periksa ke dapur. Masakan yang sudah disiapkan dengan susah-payah dan mahal, tapi kalau garamnya kelupaan, tidak akan ada rasanya. Ya tidak?!”

“Kalau itu benar.”

“Nah jangan menganggap remeh yang remeh Pak Amat. Yang sepele itu sangat penting. Yang kecil-kecil karena kecilnya sering dilupakan, akhirnya yang kecil-kecil itu jadi merusakkan segala-galanya! Kelebihan pemimpin adalah dia bisa melihat pentingnya soal-soal kecil. Orang biasa, tidak. Orang biasa hanya melihat hal-hal besar, yang megah, yang banyak, yangmahal. Itu sebabnya kita semua tidak jadi pemimpin. Pemimpin itu melihat apa yang tidak kita lihat, Pak Amat.”

Amat ketawa.

“Kalau begitu, jalan rusak itu tidak perlu lagi dilaporkan!”

“Kenapa tidak?”

“Kan tadi sudah bilang sendiri pemimpin melihat apa yang tidak dilihat orang lain!”

“Tapi yang kecil-kecil itu kan banyaksekali, Pak Amat! Kalau ditunggu, nanti masa jabatannya sudah selesai, belum juga giliran perbaikannya datang. Makanya dilaporkan supaya dapat prioritas. Pak Amat mau tidak jalannan depan kompleks kita diaspal licin?”

“Ya mau!”

“Makanya surat kepada Pak Gubernur itu harus ditambahin!”

Amat tertawa.

“Jangan ketawa saja Pak Amat, tambahin!”

“Ya, ya, nanti ditambahin,”kata pak Amat menyudahi pembicaraan itu lalu cepat-cepat pulang.

Di rumah Amat menceritakan usulan tetangga itu pada istrinya.

“Masak Gubernur disuruh mikirin jalan kampung rusak. Masalah yang kita hadapi sekarang kan besar sekali. Narkoba, Aids, kenaikan harga bensin, pemasan global, belum lagi korupsi. Jalan rusak itu kan soal kecil sekali. Kalau masyarakat mau bergotong-royong, sehari saja jalan itu sudah bisa dilalui mobil lagi. Ya kan Bu? Lagian kalan rusak ada baiknya, sebab dengan begitu mobil tidak lewat kompleks kita lagi. Pusing aku kalau kendaraan seliweran lagi memakai wilayah kita sebagai jalan pintas!”

“Jadi usulan itu ditolak?”

“Habis masak Gubernur mesti ngurus jalan kampung?”

“Apa salahnya?”

Amat tercengang.

“Itu kan tugas bawahan Bu?”

“Orang bawahan banyak urusannya, Pak. Kalau Gubernur tidak kasih perintah pasti yang lain-lain dulu yang diurus. Aku juga seneng kalau kendaraan umum bisa masuk ke kompleks kita lagi. Jadi kalau mau pergi ke mana begitu, tidak usah jalan kaki, apalagi bawa banyak barang!”

“Jadi Ibu setuju?”

“Ya, iyalah! Apa Gubernur turun gengsinya kalau memperbaiki jalan rusak?”

“Ya tidak .”

“Makanya!”

“Makanya apa?”

“Masukkan itu ke dalam surat Bapak kepada Gubernur itu!”

Amat ketawa.

“Ya sudah, nanti tak masukkan!” kata Amat mengakhiri percakapan.

Sambil melipat surat yang mau dikirimkannya Amat nongkrong depan pesawat televisi. Ia bengong melihat berita ada Manusia Kawat. Manusia yang tumbuh kawat-kawat dari perutnya. Ia tak habis pikir, mengapa semua itu bisa terjadi.

Belum sampai pukul 11 malam, Amat teler, lalu menyerah di tempat tidur. Ia bermimpi bertemu Gubernut baru. Ia membacakan permintaan tetangga soal jalan rusak itu. Heran ternyata Gubernur menanggapi serius. Menurut beliau jalan itu memang sangat penting. Bukan hanya diperbaiki, jalan itu akan diperlebar, sehingga menjadi jalan utama. Artinya akan ada penggusuran sekitar 20 meter. Itu berarti rumah tetangga yang mengusul perbaikan itu akan kena bongkar.

Tiba-tiba tubuh Amat diguncang. Amat gelagapan bangun. Bu Amat berdiri di depannya dan berbisik panik.

“Pak! Batalkan Surat Kepada Gubernur itu! Batalkan saja!”

“Kenapa?”

“Di depan rumah ada 20 orang tetangga menunggu, Bapak!”

“Kenapa?”

“Mereka mau nitip.”

“Nitip apa?”

“Ada yang anaknya tidak bisa bayar SPP. Ada yang berkelahi dengan saudaranya soal warisan. Ada yang suaminya kawin lagi. Ada yang hutangnya belum dibayar padahal sudah 5 tahun nunggak. Ada juga yang minta bantuan karena di PHK. Ada yang dapat kasus tabrak lari. Ada yang minta santunan untuk membayar rumah sakit, kalau tidak istrinya tidak bisa keluar. Ada yang minta bantuan sebab mau kredit motor pingin jadi tukang ojek. Ada yang …. “Su

BELAJAR MENULIS DARI AZYUMARDI AZRA*

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Sejak mahasiswa tingkat S1, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini sudah rajin menulis. Awalnya dia menulis sajak dan puisi yang dimuat majalah Ti¬me. Berangkat dari kelompok diskusi mulailah dia menulis artikel di berbagai media massa, dan buku pertama yang diterbitkan adalah tesis dan disertasinya. Hingga kini –paling tidak-- telah mengha¬silkan 18 judul.

Menulis bagi Azyumardi menebarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Dia tidak pernah memikirkan pendapatan yang dihasilkan dari menulis buku. Bahkan, dia tidak pernah tahu berapa royalti yang dia dapatkan ataupun eksemplar bukunya yang terjual. "Bagi saya, begitu selesai menulis, saya tidak memikirkan hal lain lagi, bahkan saya tidak pernah tahu persis honor yang saya terima dari hasil menulis kolom atau artikel," ujar ayah empat anak ini.

Keseriusan dalam menulis menyebabkan dia mendapat penghargaan Buku Utama dari Yayasan di bawah naungan Depdiknas tahun 2000, buku berjudul Renaisans Islam di Asia Tenggara mendapat penghargaan karya terbaik dalam bidang humaniora dan ilmu sosial. Tahun 2002 ia mendapat penghargaan dari Mizan sebagai penulis paling produktif dan mendapat hadiah sebesar Rp 10 juta. Akan tetapi, jika dia harus menghitung, tentu saja honor menulis buku sama sekali ti¬dak menutupi biaya yang harus dia keluarkan untuk menghasilkan buku tersebut. "Saya harus riset, kadang membutuhkan waktu lama." ujarnya.

Nah, dari pengakuan Azyumardi demikian, apa yang dapat dipetik? Pertama, menulis itu membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan untuk melakukan research --yang tentu-- biayanya tidak sedikit. Di samping, pengorbanan waktu untuk meluangkan setiap saat. Menulis, dengan begitu, membutuhkan kerelaan untuk memfasilitasi, memberikan ruang, dan apa pun untuk memfasilitasi ide penulisan. Dalam banyak kasus menulis perlu mengumpulkan bahan, baik itu melalui penelitian ataupun dari berbagai sumber referensi yang memadai. Di sinilah, tergambar bagaimana menulis sesungguhnya membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Permasalahannya adalah bagaimana untuk kita yang pemula? Sebab, permodalan seringkali menjadi hambatan utamanya. Berbagai sumber bisa diakses gratis, katakanlah lewat internet, perpustakaan daerah, atau boleh jadi pinjam. Jika ini yang kita lakukan hal penting yang dapat dilakukan adalah membuat kartu kutipan yang akan berisi hal-hal penting dari berbagai sumber bacaan terperoleh.

Kedua, sebaiknya menulis tidak usah mempertimbangkan berapa honor yang kita terima, tetapi pada tingkat kepuasan dan keinginan untuk berbagi ilmu pengetahuan. Sebuah idealisme kepenulisan yang luar biasa, yang dapat dicontoh oleh siapa pun kita. Meskipun, sesungguhnya menulis juga dapat dipergunakan untuk mencari uang tetapi bagi Azyumardi hal itu dinomorduakan karena komitmen keinginan berbagi. Penulisan buku, misalnya, memang dapat menjadi jariyah bagi penulisnya. Hal ini, sebagaimana Steven Covey, pengarang buku Eight Habits, yang pernah mengatakan bahwa orang harus punya sesuatu yang bisa diwariskan setelah mati selain nama. Covey bilang, “Apa sih yang ingin orang ucapkan tentang kamu di depan makam kamu. Cuma nama saja, atau kamu ingin diumpat sebagai penjahat, atau diingat karya-karyanya atau pemikirannya?"

Keinginan berbagi, ini sebenarnya tidak saja bagi Azyumardi tetapi juga Rhenald Kasali. Bagi Rhenald Kasali, misalnya, bisa menulis buku itu satu anugerah, suatu kebanggaan yang tidak terhingga lantaran penulisnya meninggalkan warisan pemikiran kepada orang lain. Di sinilah, makna terpenting dari hal yang dapat kita petik dari Azyumardi yang dalam bahasa Rhenald dimaknakan sebagai anugerah. Bagaimana dengan kita? Berbagi pengalaman lewat tulisan tentunya akan menjadi forum komunikasi positif yang ujungnya mewariskan pengalaman pada orang lain.

Ketiga, membiasakan menulis sejak kecil sangat bermanfaat bagi kepenulisan selanjutnya. Di sinilah, menariknya andai kita mau membiasakan menulis sejak dini. Jika kita belajar dari Azyumardi, paling tidak, ketika kuliah di perguruan tinggi, penting untuk mengembangkan kepenulisan itu. Usia mahasiswa boleh jadi usia produktif secara intelektual, karena itu, jika kita ingin mengembangkannya masa-masa ini adalah “masa emas” yang penting diselamatkan.

Pelatihan yang dapat dilakukan sejak dini adalah membiasakan untuk (a) memiliki buku harian, (b) latihan mengungkapkan gagasan secara tertulis, (c) mencatat hal-hal penting yang ditemukan, (d) merespon pikiran orang lewat tulisan, (e) memberikan komentar kritis atas realita yang terjadi, (f) membuat laporan hasil kunjungan, dan (g) menulis feature hasil perjalanan, ilmu pengetahuan, maupun ketokohan. Dalam pelatihan ini, mengingatkan kita akan kiat yang dilakukan Maman S Mahayana dalam melatihkan kepenulisan kepada para mahasiswa dengan berbagai kegiatan kecil: mendeskripsikan tokoh, melukiskan peristiwa, menggambarkan tempat, merangkaikan peristiwa, dan seterusnya.

Keempat, jangan remehkan puisi. Kalau Azyumardi mengawali kepenulisannya lewat puisi yang dimuat di majalah Time maka makna yang dapat ditarik adalah dengan menulis puisi (a) kita melatih empati, (b) menuangkan ekspresi, dan (c) mengorganisasi “potongan-potongan” ekspresi. Dalam teori menulis kreatif, sebenarnya, menulis puisi relatif lebih sulit dibandingkan dengan menulis popular. Pengalaman Azymardi menjadi unik dan menarik untuk direnungkan.

Menulis puisi pada tahap awal biasanya berpusar pada masalah cinta dan kemanusiaan. Ungkapan remaja dan mahasiswa yang sedang kasmaran, misalnya, dapat dijadikan media awal latihan itu. Banyak penulis yang mengawali darinya. Untuk itu, jangan malu ketika kita arif belajar dari pesan Azyumardi ini.

Dalam pengalamannya yang mengesankan bagi saya adalah (a) bagaimana Azyumardi mendampingi tulisan-tulisan yang dihasilkan mahasiswanya, (b) mengoreksi, dan (c) memberikan rekomendasi untuk dikirimkan ke media tertentu yang cocok. Pengorbanan seorang Azyumardi, karenanya, adalah contoh keteladanan intelektual yang menarik untuk dibudidayakan di masyarakat kita. Dalam kasus ini, akan menjadi wahana penting dalam belajar menulis.

Akhirnya, belajar dari pengalaman Azyumardi itu ada baiknya kita bertanya: maukah kita menulis? Mengorbankan waktu dan finansial untuk berbagi ilmu? Jika kita ingin dikenang dalam sejarah peradaban manusia, maka menulis tentu akan menjadi pilihan yang harus dilakukan. Mudah-mudahan.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati