Senin, 26 Januari 2009

Gemuruh Kepulangan

Sobirin Zaini
http://www.riaupos.com/

ALUNAN syahdu lirik-lirik lagu itu masih juga terngiang di telingaku sekaligus menusuk-nusuk dadaku ketika kakiku mulai menginjakkan pintu ruang tunggu pelabuhan itu. Tadi malam, lagu Allahyarham Sudirman dari negeri seberang Malaysia itu berkali-kali on play di winamp komputerku.

Sejak puluhan tahun lalu, ketika aku masih tahu betul apa rasanya kebahagiaan idul fitri, lagu itu sebenarnya telah mulai kudengar, dan karena lagu itu pula, aku tak menangis kecuali hanya untuk sebuah kebahagiaan.

Restu ayah bonda kuharap selalu
Hanya kusampaikan doa dan kiriman tulus ikhlas
Dari jauh kumohonkan ampun maaf
Jangan sedih pagi ini tak dapat kita bersama
Meraikan aidil fitri yang mulia..

Tapi sekarang, bukankah aku juga tetap menangis karena lagu itu? Ya, lirik dan alunannya memang masih punya kekuatan untuk mencabik-cabik ulu hatiku dan memaksa airmata itu tumpah. Tapi kenapa itu bukan lagi terjadi karena sebuah kebahagiaan?

Kenapa iramanya kini tak lagi sekuat takbir yang biasa kudengar beberapa kali saat menonton televisi, hingga kemudian semua aroma sengak tanah redang itu menyeruap di jantungku dan membuat aku rindu? Maka keputusanku untuk menuju kota itu siang ini tak dapat kutawar-tawar lagi. Seperti semangat di mata orang-orang yang menunggu keberangkatan kapal kayu itu di ruangan ini, seperti itu jugalah aku coba menunjukkan semangat sebuah kepulangan di mataku.
***

Beberapa kapal masih tenang bersandar di dermaga itu. Sesekali kulihat lewat beberapa boat kecil membawa sejumlah orang dari arah yang tak sama. Saat-saat seperti ini, pelabuhan bernama Sungai Duku ini memang takkan pernah sepi. Aku sendiri kini berada di ruang tunggu keberangkatan kapal ke Selatpanjang.

Tepat disebelahku, dimana kini aku duduk dan sesekali pula menyandar di dinding pemisah itu, ruangan tunggu keberangkatan ke Bengkalis berada. Lamat kudengar, suara orang-orang yang menunggu keberangkatan kapal terakhir ke kota kelahiranku itu semakin ramai. Kulihat lagi jam yang tersangkut tepat di atas pintu keluar itu, jarumnya menunjuk angka 12. Masih ada banyak waktu untuk bergerak menuju kapal kayu itu dan berangkat menuju Selatpanjang untuk selanjutnya menuju Tanjungbalai.

Jujur harus kukatakan, di dadaku, gemuruh kepulangan itu kembali terasa menyesakkan. Tapi lagi-lagi perlu kutanyakan, kenapa gemuruh kepulangan itu tak sama seperti yang kurasakan saat kepulangan ke tanah kelahiranku sebelum ini? Entahlah. Yang jelas, semua ini karena hatiku memang setengah hati untuk tak pulang kampung, sementara aku kini justru memlilih kepulangan ke kota yang lain.

Maka pertanyaan itu pun muncul di benakku ketika seorang penjual koran terbitan pagi tadi tiba-tiba berdiri di hadapanku dan menyodorkan gulungan kertas itu ke ujung hidungku; sebegitu kuatkah alasanku, hanya karena tak ada lagi kebahagiaan, aku kini berada di ruangan ini dan menunggu kapal yang asing di mataku itu? Aku sendiri masih tak pasti menjawab, yang jelas dari pagi tadi, semua gerak tubuhku tetap saja membuat aku berada disini, dan kapal kayu yang bersandar di tepi dermaga itu makin lama makin seperti wujud seorang peri, yang menawarkan sebuah kebahagiaan yang lain untuk memberhentikan sejenak kecamuk yang lintangpukang di dada ini.
***

Aku masih berjibaku di ruangan itu dengan gemuruh kepulangan yang lain di dadaku. Lalu-lalang orang menarik tasnya seperti menarik leher anjing peliharaan itu masih saja sama seperti asap rokok yang dari tadi berkelebat di sebelahku. Rupanya, asap rokok itu keluar dari mulut seorang tua berkaca mata di belakangku. Dasar tak beradat! Pikirku. Jelas hari ini masih di suasana Ramadan, orang-orang berusaha untuk tidak sarapan, dan menahan untuk tidak minum segelas teh seperti menahan keinginan untuk menenggak sebutir tablet anti mabuk, mengapa orang tua gembel ini justru dengan santai mengepulkan asap beracun itu?

Kujelingkan tatapan tajamku ke arahnya, matanya melawan, dan kulihat dari bibir itu justru tersungging sebentuk senyuman. Duh! Celaka! Kualihkan segera pandanganku dari tatapan mata dan senyuman yang tak penting itu. Pandanganku kembali kuarahkan ke kapal kayu. Tapi beberapa detik setelah itu, aku terkejut bukan main, orang tua berkaca mata itu tiba-tiba telah duduk di bangku sebelahku. Bedebah! Batinku.

“Apa kabar?” sapanya sembari menyodorkan ujung tangannya ke arahku. Kalimat yang diucapkan santai dan uluran tangan itu membuatku terdiam. Kubiarkan ia berlama-lama dengan uluran tangannya yang tampak keriput itu. Rokok di mulutnya kini sudah berpindah di lantai.

“Ya. Baik,” sambutku berusaha tak melawan senyum itu, dan tak balik bertanya kabar seperti yang ditanyakan kepadaku. Tapi justru kulihat dia semakin tersenyum. Aku tahu, matanya masih saja tak lepas menatapku, tapi dari sana pula aku tahu, dia seperti ingin ramah padaku.

“Maaf, Nak. Mau ke mana?” tanyanya lagi. Ehm, kalau sudah begini, tak berusaha ramah bagi anak kampung yang tahu bagaimana berhadapan dengan orang tua, rasanya tak lagi mungkin.

“Mau ke Selatpanjang, Pak,” jawabku. “Maaf, Bapak ke Selatpanjang juga?” tambahku kemudian. Senyumnya makin mengembang.

“O ya Nak, sama kita. Anak asli orang Selatpanjang? Di mana rumahmu, Nak?” tanyanya lagi.

“Oh, bukan Pak. Saya bukan orang Selatpanjang, saya asli Bengkalis. Dan saya bukan mau ke Selatpanjang, tapi saya mau ke Tanjungbalai,” jawabku.

“Jadi, Anak mau lebaran di Tanjungbalai? Mengapa tak lebaran di Bengkalis?” balas lelaki berkaca mata itu. Pertanyaan terakhir yang keluar dari mulutnya itu tiba-tiba membuatku gugup. Tak kusangka sama sekali. Aku terdiam sejenak. Kulihat balik orang tua itu, matanya masih tak berkedip. Ia seperti heran. Aku tahu, dia menunggu jawabanku dengan sangat seperti menunggu uluran tangan petugas BLT di kantor pos.

Dan aku berusaha bersikap wajar, tak perlu aku gugup untuk sebuah jawaban dari semua kisah yang nyata-nyata kualami ini hingga aku memilih untuk tak pulang ke tanah kelahiranku itu. Meskipun seperti yang kurasakan sejak tiba di pelabuhan ini, alasan itu memang tak cukup kuat.

”Eeghh, ya Pak. Saya memang tak balek ke Bengkalis. Sengaja. Memangnya pulang itu harus ke kampung kita, Pak? Bagi Bapak mungkin ya, bagi saya tidak. Bagi Bapak mungkin banyak kebahagiaan di sana, bagi saya untuk saat ini tidak ada,” jawabku ringan dan beruntun. Ada rasa lega dan puas setelah kuucapkan kalimat-kalimat itu. Apalagi setelah kulihat orang tua itu kini terdiam, dan aku tak menunggu jawabannya seperti ia menunggu jawabanku tadi.

Suasana di sekeliling kami semakin seperti ruangan reuni pemelihara anjing-anjing kesayangan, yang hilir mudik menarik anjingnya dengan berbagai warna dan ukuran. Orang tua itu kemudian bicara lagi.

“Mengapa seperti itu sekali, Nak? Maafkan Bapak. Sepertinya ada satu hal yang berat sehingga Anak bicara seperti itu,” ujarnya. Betul semua yang kukira tadi, kini dia seperti memaksaku untuk menceritakan semuanya. Tapi, apakah perlu kuceritakan itu pada orang tua ini? Aku jadi berpikir ulang. Sudah berbuih rasanya mulutku menceritakan persoalanku itu pada semua orang yang dekat denganku sebelum ini. Tapi kenyataannya, aku masih juga memilih untuk mengobatinya dengan pergi ke kota lain. Karena memang kebahagiaan itu kuanggap di mana-mana tak kunjung ada. Dan soalnya lagi-lagi, alasanku itu sebenarnya...; tak cukup kuat sama sekali.

“Ya, memang ada hal berat yang saya rasakan saat ini. Dan saya kira tak perlulah apak tahu. Yang jelas, saya cuma menganggap, saat ini kebahagiaan belum ada di mana-mana. Makanya, tak pulang ke kampung saya pun, keadaannya tetap sama saja,” jawabku serius dan setengah acuh, memalingkan kembali pandangan pada kapal kayu di dermaga itu. Orang tua itu kulihat juga mengalihkan pandangannya, meski dia masih ingin mengatakan sesuatu.

“O, begitu ya, ak. Maafkan Bapak. Tapi, kalau boleh bertanya, Anak masih ada orang tua?”

Semakin menjadi-jadi pertanyaan yang tak kuinginkan dari orang tua itu. Kepalaku tiba-tiba jadi terasa semakin berat. Gemuruh yang lain semakin tak tentu berdenyut di dadaku. Aku mengangguk terpaksa. Selebihnya, kubiarkan orang tua di sampingku itu bicara sendiri.

“Bapak juga sebelumnya merasa tak ada kebahagiaan di mana-mana, Nak. Karena itu dua bulan lalu Bapak putuskan untuk ke kota ini. Serasa telah puas berada di kota ini, Bapak putuskan pula untuk berangkat ke Singapura. Yah, hasilnya sama saja, kebahagiaan tak kunjung tiba juga. Hanya beberapa hari saja Bapak di sana, kini Bapak memutuskan kembali ke kota ini. Dan karena lebaran tiba, akhirnya bapak pulang ke kampung juga,” ujar lelaki itu seperti ingin bercerita tentang dirinya. Aku masih diam, berusaha untuk tak merespon apa yang diceritakannya itu. Tapi entah mengapa, ada sesuatu yang lain menyerbu di kepalaku setelah kusimak baik-baik kalimat-kalimat itu. Jujur saja, sebenarnya aku tertarik untuk bertanya, tapi kuurung setelah tiba-tiba dia berujar lagi.

“Kalau boleh tahu, apa masalahnya Nak? Sehingga Anak lebih memilih ke kota lain saat lebaran seperti ini?” tanyanya tiba-tiba padaku, lalu seperti sebelumnya, dia kembali tampak menunggu jawaban dari pertanyaannya itu seperti seseorang menunggu uluran tangan petugas BLT di kantor pos. Aku tak dapat lagi mengelak.

“Karena perempuan, Pak!” jawabku tegas. Singkat dengan ekspresi wajah seratus persen padam. Aku berusaha menatapnya sejenak, ingin tahu apa reaksinya. Dan, celaka! Dia malah menutup mulut dengan telapak tangannya. Tersenyum tanggung. Getir seperti menyindir. Ah, aku tersinggung.

“Lho, kok tertawa Pak. Ada yang lucu?” gertakku pada orang tua itu. Kutatap serius sesuatu di balik kaca mata itu, pantatku bergeser dan aku hampir saja berdiri. Tapi dia justru tak menatapku. Betul-betul menjengkelkan, pikirku. Sejak awal tadi memang, kehadiran orang tua ini kuanggap tak menawarkan apa-apa kecuali menambah kecamuk di dada. Tapi entah kenapa, hatiku luluh setelah kulihat perlahan ia melepaskan kaca mata yang sejak tadi bertengger di hidungnya itu. Dia berusaha tak menatapku dan tak menjawab sepatah pun pertanyaanku tadi. Tapi sembari ingin beranjak dari bangku itu dan menatapku sendu, ia berujar lagi.

“Dengar baik-baik Nak. Bapak tahu, pasti perempuan itu telah membuatmu kecewa. Bahkan mungkin, dia tak lagi kau miliki, benar kan? Bapak juga seperti itu Nak, sama-sama karena perempuan. Bedanya dia tak pernah mengecewakan,” ucapnya perlahan. Aku terkejut. Dia seperti telah tahu semua yang aku alami, padahal tadi aku hanya menjawab satu kalimat saja; karena perempuan. Lalu tiba-tiba aku seperti ingin mendengarkan kelanjutan kalimat-kalimat dari mulut orang tua itu.

“Mencintai tak mesti selamanya memiliki. Ingatlah, di dunia ini, memang tak ada yang kekal, Nak. Baru beberapa bulan lalu, apak kehilangan istri tercinta, dia dijemput Tuhan secara mendadak. Padahal dia satu-satunya orang yang sangat berharga di kehidupan bapak, karena Bapak ditakdirkan tak punya keturunan. Tapi, mengapa Bapak masih juga ingin pulang kampung sementara tak ada lagi siapa-siapa d isana? Karena Bapak merasa kebahagiaan memang tak ada di mana-mana, tapi justru ada dalam diri kita. Di kampung itu, Bapak masih bisa berziarah ke kuburnya, juga kubur orang tua Bapak, bersimpuh dan berdoa di sana. Bapak pikir, kita memang harus selalu ingat pada orang yang kita cintai meski mereka telah meninggalkan kita. Cinta memang tak harus selamanya memiliki, Nak. Yakinlah, Tuhan pasti punya rencana lain yang lebih baik untuk kita. Dan bersyukurlah, anak masih ada orang tua dan keluarga. Jujur, Bapak tak punya...” ujarnya sembari beranjak pergi begitu saja dari bangku itu. Aku termangu. Gemuruh yang lain di dadaku itu kini bercampur-aduk. Kalimat-kalimat yang diucapkan orang tua itu betul-betul membuat hatiku terusik. Lalu entah mengapa, seperti setengah sadar, aku segera menyambar ponsel dan menghubungi Erwan, sahabatku wartawan kota yang telah lama mangkal di pelabuhan Sungai Duku itu.

“Wan, bisa tolong carikan tiket satu Wan? Aku nak balek.”
“Kapan?”
“Sekarang, Wan.”
“Awak di mane?”
“Aku dah di Sungai Duku ni.”
“O, ya. Awak tunggu saje di pintu kelua, sebentar lagi aku ke sana.”

Selang beberapa menit setelah itu, aku sudah berada di bangku CC paling belakang speed boat yang bersebelahan dengan kapal kayu itu.

Aku pulang ke Bengkalis.***

Rumahsenja, September 2008- Ramadhan 1429 H

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati