Sobirin Zaini
http://www.riaupos.com/
ALUNAN syahdu lirik-lirik lagu itu masih juga terngiang di telingaku sekaligus menusuk-nusuk dadaku ketika kakiku mulai menginjakkan pintu ruang tunggu pelabuhan itu. Tadi malam, lagu Allahyarham Sudirman dari negeri seberang Malaysia itu berkali-kali on play di winamp komputerku.
Sejak puluhan tahun lalu, ketika aku masih tahu betul apa rasanya kebahagiaan idul fitri, lagu itu sebenarnya telah mulai kudengar, dan karena lagu itu pula, aku tak menangis kecuali hanya untuk sebuah kebahagiaan.
Restu ayah bonda kuharap selalu
Hanya kusampaikan doa dan kiriman tulus ikhlas
Dari jauh kumohonkan ampun maaf
Jangan sedih pagi ini tak dapat kita bersama
Meraikan aidil fitri yang mulia..
Tapi sekarang, bukankah aku juga tetap menangis karena lagu itu? Ya, lirik dan alunannya memang masih punya kekuatan untuk mencabik-cabik ulu hatiku dan memaksa airmata itu tumpah. Tapi kenapa itu bukan lagi terjadi karena sebuah kebahagiaan?
Kenapa iramanya kini tak lagi sekuat takbir yang biasa kudengar beberapa kali saat menonton televisi, hingga kemudian semua aroma sengak tanah redang itu menyeruap di jantungku dan membuat aku rindu? Maka keputusanku untuk menuju kota itu siang ini tak dapat kutawar-tawar lagi. Seperti semangat di mata orang-orang yang menunggu keberangkatan kapal kayu itu di ruangan ini, seperti itu jugalah aku coba menunjukkan semangat sebuah kepulangan di mataku.
***
Beberapa kapal masih tenang bersandar di dermaga itu. Sesekali kulihat lewat beberapa boat kecil membawa sejumlah orang dari arah yang tak sama. Saat-saat seperti ini, pelabuhan bernama Sungai Duku ini memang takkan pernah sepi. Aku sendiri kini berada di ruang tunggu keberangkatan kapal ke Selatpanjang.
Tepat disebelahku, dimana kini aku duduk dan sesekali pula menyandar di dinding pemisah itu, ruangan tunggu keberangkatan ke Bengkalis berada. Lamat kudengar, suara orang-orang yang menunggu keberangkatan kapal terakhir ke kota kelahiranku itu semakin ramai. Kulihat lagi jam yang tersangkut tepat di atas pintu keluar itu, jarumnya menunjuk angka 12. Masih ada banyak waktu untuk bergerak menuju kapal kayu itu dan berangkat menuju Selatpanjang untuk selanjutnya menuju Tanjungbalai.
Jujur harus kukatakan, di dadaku, gemuruh kepulangan itu kembali terasa menyesakkan. Tapi lagi-lagi perlu kutanyakan, kenapa gemuruh kepulangan itu tak sama seperti yang kurasakan saat kepulangan ke tanah kelahiranku sebelum ini? Entahlah. Yang jelas, semua ini karena hatiku memang setengah hati untuk tak pulang kampung, sementara aku kini justru memlilih kepulangan ke kota yang lain.
Maka pertanyaan itu pun muncul di benakku ketika seorang penjual koran terbitan pagi tadi tiba-tiba berdiri di hadapanku dan menyodorkan gulungan kertas itu ke ujung hidungku; sebegitu kuatkah alasanku, hanya karena tak ada lagi kebahagiaan, aku kini berada di ruangan ini dan menunggu kapal yang asing di mataku itu? Aku sendiri masih tak pasti menjawab, yang jelas dari pagi tadi, semua gerak tubuhku tetap saja membuat aku berada disini, dan kapal kayu yang bersandar di tepi dermaga itu makin lama makin seperti wujud seorang peri, yang menawarkan sebuah kebahagiaan yang lain untuk memberhentikan sejenak kecamuk yang lintangpukang di dada ini.
***
Aku masih berjibaku di ruangan itu dengan gemuruh kepulangan yang lain di dadaku. Lalu-lalang orang menarik tasnya seperti menarik leher anjing peliharaan itu masih saja sama seperti asap rokok yang dari tadi berkelebat di sebelahku. Rupanya, asap rokok itu keluar dari mulut seorang tua berkaca mata di belakangku. Dasar tak beradat! Pikirku. Jelas hari ini masih di suasana Ramadan, orang-orang berusaha untuk tidak sarapan, dan menahan untuk tidak minum segelas teh seperti menahan keinginan untuk menenggak sebutir tablet anti mabuk, mengapa orang tua gembel ini justru dengan santai mengepulkan asap beracun itu?
Kujelingkan tatapan tajamku ke arahnya, matanya melawan, dan kulihat dari bibir itu justru tersungging sebentuk senyuman. Duh! Celaka! Kualihkan segera pandanganku dari tatapan mata dan senyuman yang tak penting itu. Pandanganku kembali kuarahkan ke kapal kayu. Tapi beberapa detik setelah itu, aku terkejut bukan main, orang tua berkaca mata itu tiba-tiba telah duduk di bangku sebelahku. Bedebah! Batinku.
“Apa kabar?” sapanya sembari menyodorkan ujung tangannya ke arahku. Kalimat yang diucapkan santai dan uluran tangan itu membuatku terdiam. Kubiarkan ia berlama-lama dengan uluran tangannya yang tampak keriput itu. Rokok di mulutnya kini sudah berpindah di lantai.
“Ya. Baik,” sambutku berusaha tak melawan senyum itu, dan tak balik bertanya kabar seperti yang ditanyakan kepadaku. Tapi justru kulihat dia semakin tersenyum. Aku tahu, matanya masih saja tak lepas menatapku, tapi dari sana pula aku tahu, dia seperti ingin ramah padaku.
“Maaf, Nak. Mau ke mana?” tanyanya lagi. Ehm, kalau sudah begini, tak berusaha ramah bagi anak kampung yang tahu bagaimana berhadapan dengan orang tua, rasanya tak lagi mungkin.
“Mau ke Selatpanjang, Pak,” jawabku. “Maaf, Bapak ke Selatpanjang juga?” tambahku kemudian. Senyumnya makin mengembang.
“O ya Nak, sama kita. Anak asli orang Selatpanjang? Di mana rumahmu, Nak?” tanyanya lagi.
“Oh, bukan Pak. Saya bukan orang Selatpanjang, saya asli Bengkalis. Dan saya bukan mau ke Selatpanjang, tapi saya mau ke Tanjungbalai,” jawabku.
“Jadi, Anak mau lebaran di Tanjungbalai? Mengapa tak lebaran di Bengkalis?” balas lelaki berkaca mata itu. Pertanyaan terakhir yang keluar dari mulutnya itu tiba-tiba membuatku gugup. Tak kusangka sama sekali. Aku terdiam sejenak. Kulihat balik orang tua itu, matanya masih tak berkedip. Ia seperti heran. Aku tahu, dia menunggu jawabanku dengan sangat seperti menunggu uluran tangan petugas BLT di kantor pos.
Dan aku berusaha bersikap wajar, tak perlu aku gugup untuk sebuah jawaban dari semua kisah yang nyata-nyata kualami ini hingga aku memilih untuk tak pulang ke tanah kelahiranku itu. Meskipun seperti yang kurasakan sejak tiba di pelabuhan ini, alasan itu memang tak cukup kuat.
”Eeghh, ya Pak. Saya memang tak balek ke Bengkalis. Sengaja. Memangnya pulang itu harus ke kampung kita, Pak? Bagi Bapak mungkin ya, bagi saya tidak. Bagi Bapak mungkin banyak kebahagiaan di sana, bagi saya untuk saat ini tidak ada,” jawabku ringan dan beruntun. Ada rasa lega dan puas setelah kuucapkan kalimat-kalimat itu. Apalagi setelah kulihat orang tua itu kini terdiam, dan aku tak menunggu jawabannya seperti ia menunggu jawabanku tadi.
Suasana di sekeliling kami semakin seperti ruangan reuni pemelihara anjing-anjing kesayangan, yang hilir mudik menarik anjingnya dengan berbagai warna dan ukuran. Orang tua itu kemudian bicara lagi.
“Mengapa seperti itu sekali, Nak? Maafkan Bapak. Sepertinya ada satu hal yang berat sehingga Anak bicara seperti itu,” ujarnya. Betul semua yang kukira tadi, kini dia seperti memaksaku untuk menceritakan semuanya. Tapi, apakah perlu kuceritakan itu pada orang tua ini? Aku jadi berpikir ulang. Sudah berbuih rasanya mulutku menceritakan persoalanku itu pada semua orang yang dekat denganku sebelum ini. Tapi kenyataannya, aku masih juga memilih untuk mengobatinya dengan pergi ke kota lain. Karena memang kebahagiaan itu kuanggap di mana-mana tak kunjung ada. Dan soalnya lagi-lagi, alasanku itu sebenarnya...; tak cukup kuat sama sekali.
“Ya, memang ada hal berat yang saya rasakan saat ini. Dan saya kira tak perlulah apak tahu. Yang jelas, saya cuma menganggap, saat ini kebahagiaan belum ada di mana-mana. Makanya, tak pulang ke kampung saya pun, keadaannya tetap sama saja,” jawabku serius dan setengah acuh, memalingkan kembali pandangan pada kapal kayu di dermaga itu. Orang tua itu kulihat juga mengalihkan pandangannya, meski dia masih ingin mengatakan sesuatu.
“O, begitu ya, ak. Maafkan Bapak. Tapi, kalau boleh bertanya, Anak masih ada orang tua?”
Semakin menjadi-jadi pertanyaan yang tak kuinginkan dari orang tua itu. Kepalaku tiba-tiba jadi terasa semakin berat. Gemuruh yang lain semakin tak tentu berdenyut di dadaku. Aku mengangguk terpaksa. Selebihnya, kubiarkan orang tua di sampingku itu bicara sendiri.
“Bapak juga sebelumnya merasa tak ada kebahagiaan di mana-mana, Nak. Karena itu dua bulan lalu Bapak putuskan untuk ke kota ini. Serasa telah puas berada di kota ini, Bapak putuskan pula untuk berangkat ke Singapura. Yah, hasilnya sama saja, kebahagiaan tak kunjung tiba juga. Hanya beberapa hari saja Bapak di sana, kini Bapak memutuskan kembali ke kota ini. Dan karena lebaran tiba, akhirnya bapak pulang ke kampung juga,” ujar lelaki itu seperti ingin bercerita tentang dirinya. Aku masih diam, berusaha untuk tak merespon apa yang diceritakannya itu. Tapi entah mengapa, ada sesuatu yang lain menyerbu di kepalaku setelah kusimak baik-baik kalimat-kalimat itu. Jujur saja, sebenarnya aku tertarik untuk bertanya, tapi kuurung setelah tiba-tiba dia berujar lagi.
“Kalau boleh tahu, apa masalahnya Nak? Sehingga Anak lebih memilih ke kota lain saat lebaran seperti ini?” tanyanya tiba-tiba padaku, lalu seperti sebelumnya, dia kembali tampak menunggu jawaban dari pertanyaannya itu seperti seseorang menunggu uluran tangan petugas BLT di kantor pos. Aku tak dapat lagi mengelak.
“Karena perempuan, Pak!” jawabku tegas. Singkat dengan ekspresi wajah seratus persen padam. Aku berusaha menatapnya sejenak, ingin tahu apa reaksinya. Dan, celaka! Dia malah menutup mulut dengan telapak tangannya. Tersenyum tanggung. Getir seperti menyindir. Ah, aku tersinggung.
“Lho, kok tertawa Pak. Ada yang lucu?” gertakku pada orang tua itu. Kutatap serius sesuatu di balik kaca mata itu, pantatku bergeser dan aku hampir saja berdiri. Tapi dia justru tak menatapku. Betul-betul menjengkelkan, pikirku. Sejak awal tadi memang, kehadiran orang tua ini kuanggap tak menawarkan apa-apa kecuali menambah kecamuk di dada. Tapi entah kenapa, hatiku luluh setelah kulihat perlahan ia melepaskan kaca mata yang sejak tadi bertengger di hidungnya itu. Dia berusaha tak menatapku dan tak menjawab sepatah pun pertanyaanku tadi. Tapi sembari ingin beranjak dari bangku itu dan menatapku sendu, ia berujar lagi.
“Dengar baik-baik Nak. Bapak tahu, pasti perempuan itu telah membuatmu kecewa. Bahkan mungkin, dia tak lagi kau miliki, benar kan? Bapak juga seperti itu Nak, sama-sama karena perempuan. Bedanya dia tak pernah mengecewakan,” ucapnya perlahan. Aku terkejut. Dia seperti telah tahu semua yang aku alami, padahal tadi aku hanya menjawab satu kalimat saja; karena perempuan. Lalu tiba-tiba aku seperti ingin mendengarkan kelanjutan kalimat-kalimat dari mulut orang tua itu.
“Mencintai tak mesti selamanya memiliki. Ingatlah, di dunia ini, memang tak ada yang kekal, Nak. Baru beberapa bulan lalu, apak kehilangan istri tercinta, dia dijemput Tuhan secara mendadak. Padahal dia satu-satunya orang yang sangat berharga di kehidupan bapak, karena Bapak ditakdirkan tak punya keturunan. Tapi, mengapa Bapak masih juga ingin pulang kampung sementara tak ada lagi siapa-siapa d isana? Karena Bapak merasa kebahagiaan memang tak ada di mana-mana, tapi justru ada dalam diri kita. Di kampung itu, Bapak masih bisa berziarah ke kuburnya, juga kubur orang tua Bapak, bersimpuh dan berdoa di sana. Bapak pikir, kita memang harus selalu ingat pada orang yang kita cintai meski mereka telah meninggalkan kita. Cinta memang tak harus selamanya memiliki, Nak. Yakinlah, Tuhan pasti punya rencana lain yang lebih baik untuk kita. Dan bersyukurlah, anak masih ada orang tua dan keluarga. Jujur, Bapak tak punya...” ujarnya sembari beranjak pergi begitu saja dari bangku itu. Aku termangu. Gemuruh yang lain di dadaku itu kini bercampur-aduk. Kalimat-kalimat yang diucapkan orang tua itu betul-betul membuat hatiku terusik. Lalu entah mengapa, seperti setengah sadar, aku segera menyambar ponsel dan menghubungi Erwan, sahabatku wartawan kota yang telah lama mangkal di pelabuhan Sungai Duku itu.
“Wan, bisa tolong carikan tiket satu Wan? Aku nak balek.”
“Kapan?”
“Sekarang, Wan.”
“Awak di mane?”
“Aku dah di Sungai Duku ni.”
“O, ya. Awak tunggu saje di pintu kelua, sebentar lagi aku ke sana.”
Selang beberapa menit setelah itu, aku sudah berada di bangku CC paling belakang speed boat yang bersebelahan dengan kapal kayu itu.
Aku pulang ke Bengkalis.***
Rumahsenja, September 2008- Ramadhan 1429 H
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 26 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar