Minggu, 22 Februari 2009

Benteng Kebencian

Trisna
http://oase.kompas.com/

Siang itu matahari terasa lebih terik dari biasanya. Panasnya seolah menusuk setiap pori-pori kulit tubuh dan menembus hingga bagian dalam kepala. Angin yang bertiup pun terasa kering, karena asap kendaraan yang selalu memenuhi udara dan memberi warna kehitaman pada langit Jakarta.

Meskipun begitu, suasana hiruk pikuk tetap terlihat di sebuah terminal bus. Jika bukan karena tuntutan hidup, supir-supir angkutan umum, para pedagang, dan berpuluh-puluh penumpang itu akan memilih untuk tinggal di rumah, menghindari panas menyengat itu, sambil berharap, seandainya mereka bisa bekerja di sebuah ruangan ber ac milik perusahaan-perusahaan besar. Sebuah ‘andai saja’ yang juga mereka sadari, mungkin tak akan pernah tertulis dalam buku kehidupan yang dibuat Tuhan untuk mereka.

Di sebuah masjid dekat terminal itu, kumpulan artis jalanan cilik sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar gratis binaan sekelompok mahasiswa. Jauh di sudut ruangan itu, seorang gadis dengan gitar yang selalu dibawanya untuk mencari nafkah, terus memperhatikan sosok lelaki yang sedang mengajar. Matanya jauh menembus kedalam pikiran dan hati lelaki itu, berusaha mencari-cari sel saraf mana yang menyimpan dua buah kata ‘ingin berhenti’, dan sebuah ruang tempat rasa jenuh bersembunyi.

Dia tak juga menemukannya. Senyum sang guru terlalu hangat. Tawanya terlalu renyah. Perhatiannya terlalu alami. Semua terlihat seperti berasal dari dalam hati. Atau mungkin, aktingnya bagus sekali, batin gadis itu. Dia berpikir, mungkin lain kali bila ia kembali ke situ, ia sudah akan menemukannya. Akhirnya dia beranjak menuju terminal, kembali menjajakan suaranya di bus-bus ibukota.

Dia memasuki bus patas jurusan Thamrin yang hampir seluruh kursinya telah terisi. Dia menyanyikan lagu-lagu favoritnya. Dilihatnya satu persatu wajah penumpang bus. Penampilan mereka beragam, tapi entah bagaimana, matanya menangkap sebuah kesamaan. Individualis. Ya, di matanya hanya hal itu yang membuat mereka semua tampak sama, tak berbeda. Pandangannya jauh kedalam, mencari tahu yang tersembunyi dibalik setiap pasang mata. Dia tak perduli bila tatapannya tampak sinis, karena puluhan pasang mata yang dilihatnya pun tak jauh lebih baik. Arogan. Tak bersahabat.

Malam hari dia pulang ke rumah. Ayahnya yang seorang supir bajaj, sedang sibuk memperbaiki sebuah kipas angin butut, sementara adik lelakinya sudah tertidur pulas. Dia membaringkan diri di kamar, kembali memulai pertarungannya dengan malam yang tak pernah bisa mengantarkan dirinya terlelap. Malam yang selalu membawanya pada berbagai masalah hidup dan ingatan pahit tentang ibunya.

Dari celah gorden yang menjadi penutup kamarnya, dia bisa melihat punggung sang ayah. Ayah yang masih saja giat bekerja meski usianya tak lagi muda. Ayah yang tak pernah mengeluh meski banyak hal baik dirasa menjauh. Ayah yang telah mewariskan berjuta keteladanan tentang bagaimana bersabar. Dan bagian yang dibencinya dari warisan itu adalah kenyataan bahwa untuk bersabar, dia harus bisa berpikir positif. Karena untuknya, itu berarti dia harus selalu maklum, termasuk untuk setiap hal buruk yang orang lain lakukan padanya.

Dia selalu berpikir, entah bagaimana seseorang bisa selalu berpikir positif tanpa harus sakit hati dan menyimpan dendam. Dia ingat betul percakapan dengan ayahnya, saat ia bertanya tentang kepergian sang ibu. Ibu, yang di matanya hanya tampak sebagai makhluk individualis lain di muka bumi ini.
“Ibumu pasti punya alasan…” kata sang ayah.
“Itu sudah jelas. Dia bosan hidup susah. Dia ingin melepas tanggung jawabnya sebagai istri sekaligus ibu. Begitu kan Pak?” Gadis itu menjawab datar.
“Entahlah. Ibumu tak pernah mengatakan alasannya. Kalau memang benar begitu, wajar Nak. Manusiawi. Siapakah orang yang mau selamanya hidup dalam kemiskinan?

Itu tak sepenuhnya salah ibumu. Bapak pun bersalah karena tidak bisa memberikan hidup berkecukupan sebagaimana mestinya. Ya sudah. Biarlah. Ini yang sudah ditakdirkan Tuhan untuk Bapak, untuk kalian. Mungkin ini yang terbaik”
Kata-kata itu lagi. Dia tahu, kata-kata itu bagi ayahnya, berarti sebuah mantra ampuh. Mantra yang membuatnya terus bersemangat untuk melanjutkan hidup. Mantra yang membuatnya percaya, akan selalu ada hal baik menunggu di luar sana. Kata-kata itu juga yang didengungkan banyak orang. Orang-orang yang selalu menyerahkan semuanya pada keadaan, orang-orang gagal, orang-orang yang dalam hidupnya salah membuat pilihan. Beberapa karena kepasrahan pada Yang Kuasa agar dapat bertahan, sementara yang lain demi sebuah pembenaran, bahwa mereka, tak melakukan kesalahan.

Dia teringat juga lain hari saat dia berbicara soal kakak lelakinya yang telah menikah, dan hampir tak pernah mengunjungi mereka.
“Maklum saja. Dia sudah berkeluarga. Dia punya tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya. Mungkin untuk itu saja tak mudah, apalagi bila harus memenuhi kebutuhan kita juga? Yang penting dia masih datang menengok sesekali…”
Sesekali yang amat jarang sekali, batin gadis itu.

Begitupun saat dirinya membicarakan keputusannya untuk berhenti sekolah saat SMA. Saat itu, dia diterima di salah satu sekolah negeri cukup ternama. Dia memutuskan keluar ketika pada semester dua, dia sudah diharuskan melunasi uang pendaftaran yang kemarin sempat ditangguhkan. Belum lagi biaya buku-buku dan akomodasinya yang juga tak murah.
“Sepertinya semua jadi sia-sia. Bapak sudah mengeluarkan uang banyak untuk sekolahku hingga SMA, sekarang harus berhenti. Pernahkah Bapak meyesal?”
“Dari SD hingga kemarin kamu masuk SMA, apa kamu senang?”
Gadis itu mengangguk.
“Maka Bapak tak pernah menyesal. Kalaupun ada penyesalan, itu karena tidak bisa membuatmu menyelesaikan pendidikan di SMA…”

Dibalikkan tubuhnya hingga menghadap dinding. Dipejamkan matanya. Ingatan terakhir telah merubuhkan benteng ketegarannya. Benteng yang dibangunnya demi menghindari serangan dari manusia-manusia yang tak pernah tampak manusiawi di matanya. Manusia yang mendewakan materi, manusia yang tak pernah menyadari kehadiran orang seperti ia dan keluarganya, manusia yang tak pernah tulus menghargai. Manusia yang mengukur segalanya dari harta dan jabatan. Dan betapa dia membenci mereka semua.

Benteng itu juga yang sering rubuh tiap kali ia tersakiti. Tapi dia paham kenapa. Fondasi bentengnya adalah campuran material yang tak seimbang antara sabar dan paham, sekaligus benci dan dendam. Dia membenci dirinya sendiri. Kalau saja material warisan sang ayah diterimanya, bentengnya tak akan pernah rubuh. Dia tak akan pernah terluka.

Matanya masih terpejam saat air mata bergulir dari kedua sudut matanya. Sekali lagi, malam menjadi satu-satunya saksi kejatuhan bentengnya, kerapuhan dirinya. Ia menahan sakit pada tenggorokannya agar isakannya tak terdengar. Pada akhirnya lelah mengantarnya terlelap. Dia bermimpi, dirasakannya seseorang menyentuh pipinya. Tangan kasar itu dengan halus menghapus jejak air mata di wajahnya. Sebuah mimpi indah baginya.

Lelaki itu masih memandangi putrinya yang tertidur pulas. Hatinya menangis. Setiap kali ia melihat kesedihan di wajah putrinya, ia hanya bisa berdoa lebih banyak lagi, berharap Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk putra-putrinya, untuk semua orang seperti mereka di seluruh dunia.

Gadis itu sedang beristirahat di depan sebuah pertokoan tak jauh dari terminal. Dia mengenali wajah beberapa orang yang terlihat hilir mudik di pertokoan itu. Bukan karena mereka benar-benar kenalannya, tapi karena ia terlalu sering duduk di depan pertokoan, dan mereka terlalu sering berbelanja.

Seperti wanita cantik yang selalu kelihatan modis itu. Dia membawa banyak tas belanjaan di kedua tangannya. Seperti biasa pula, dia akan duduk di kafe sebelah pertokoan untuk menunggu sang supir datang dengan mobil sedannya. Lalu, hal yang tak biasa terjadi. Dia memanggil si gadis pengamen yang sudah sejak tadi, tidak, tepatnya sejak berminggu-minggu lalu, selalu menatap sinis padanya dari kejauhan.

Gadis itu mengambil tempat duduk di hadapan si wanita cantik. Tanpa berbasa-basi, wanita itu berkata,
“Berhenti memandang orang seperti itu…” Wanita itu meletakkan segelas moccachino yang baru diteguknya.
“Memandang seperti apa?” Gadis itu keheranan.
“Pandangan itu. Skeptis. Sinis. Kamu harus lebih sering berbicara dengan orang lain…”
“Maaf Tante, ini tentang apa ya?” Gadis itu masih tak mengerti.
Seolah tak perduli, wanita itu terus melanjutkan perkataannya.
“Buka pandanganmu lebih luas. Kamu akan menemukan dan kemudian paham, bahwa dunia ini, tak cuma dipenuhi orang-orang jahat. Tak semua orang tak peduli. Mungkin, jenis orang-orang yang tak kau sukai itu memang bertebaran di muka bumi ini, tapi kamu tahu? Orang sepertimu juga tak sedikit. Orang yang sibuk mempertanyakan banyak hal, sibuk membenci semua orang…”

Ditatapnya wanita yang sejak tadi dia rasakan tengah menegur dirinya. Dia telah mengerti apa yang dimaksud wanita itu. Meski terdengar sok tahu, tapi entah bagaimana, wanita itu seolah bisa mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan dirinya.
“Aku beritahu padamu. Yang sebenarnya Kamu benci bukan mereka, tetapi nasib dan ketidakberdayaanmu sendiri. Nikmati saja hidup, tak peduli betapa tak beruntungnya dirimu, tak peduli bila tak ada yang mau memperhatikanmu…”

Supir sudah datang dengan mobil sedan silver-hitamnya. Tanpa menunggu perintah, dimasukkannya tas-tas belanjaan itu ke dalam mobil. Sang majikan memintanya menunggu di dalam mobil.
“Seharusnya Tante juga yang paling mengerti bahwa semua itu tidak mudah. Praktik selalu lebih sulit daripada teori bukan? Tante butuh berapa lama untuk menyadari semua?” Kali ini, si gadis berbalik seperti memahami wanita itu, yang sejenak, memperlihatkan raut wajah terkejut.
Wanita itu tidak menggubris pertanyaan terakhirnya.
“Memang sulit, tapi bukan tidak mungkin. Membayangkan dirimu akan kehilangan banyak momen indah dalam hidup, mungkin akan membantumu kembali berpikir”
“Aku tidak punya apa-apa, apa yang bisa hilang?”
Wanita itu menghela napas.
“Kalau kamu terus begitu, mungkin kemanusiaanmu yang akan hilang. Bila Kamu begitu membenci sesuatu, hanya ada dua kemungkinan. Kelak Kamu benar-benar menghindari sesuatu itu, atau sebaliknya Kamu menjadi bagian dari sesuatu itu.
Kamu masih muda. Ubah stereotyping mu terhadap orang-orang, karena pikiranmu itulah yang akan terus membuatmu tersakiti.”

Wanita itu bangkit dari duduknya. Dia membuka tas dan mengambil sebuah amplop berisi sejumlah uang yang telah dipersiapkannya untuk diberikan ke sebuah yayasan.
“Ini untukmu. Lanjutkan sekolah.”

Si wanita baru akan beranjak pergi, ketika gadis itu berkata sesuatu yang mengejutkannya.
“Ada kemungkinan ketiga bukan? Menghindari sesuatu itu, dengan menjadi bagian darinya. Tante memilih itu…”
“Hidup hanya hitam putih. Manusia memilih abu-abu. Sudah biasa kan?” Kata wanita itu tanpa memalingkan wajah pada si gadis. Dia tersenyum dan berjalan menuju mobilnya.
“Ke yayasan, Nyonya?” Tanya si supir.
“Nggak. Kita ke ATM dulu…”
Gadis itu masih memegang amplop.
Tujuh juta rupiah.

Dia masih terpana, memandangi mobil si wanita yang sudah tak tampak lagi di depan mata. Uang itu serta merta membuat pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Semua masih samar. Hanya sebuah rencana yang tergambar jelas di pikirannya. Dia akan membangun kembali fondasi bentengnya, kali ini tanpa material benci dan dendam. Dia tahu, pembangunan itu akan menghabiskan banyak malam…
*****

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati