Trisna
http://oase.kompas.com/
Siang itu matahari terasa lebih terik dari biasanya. Panasnya seolah menusuk setiap pori-pori kulit tubuh dan menembus hingga bagian dalam kepala. Angin yang bertiup pun terasa kering, karena asap kendaraan yang selalu memenuhi udara dan memberi warna kehitaman pada langit Jakarta.
Meskipun begitu, suasana hiruk pikuk tetap terlihat di sebuah terminal bus. Jika bukan karena tuntutan hidup, supir-supir angkutan umum, para pedagang, dan berpuluh-puluh penumpang itu akan memilih untuk tinggal di rumah, menghindari panas menyengat itu, sambil berharap, seandainya mereka bisa bekerja di sebuah ruangan ber ac milik perusahaan-perusahaan besar. Sebuah ‘andai saja’ yang juga mereka sadari, mungkin tak akan pernah tertulis dalam buku kehidupan yang dibuat Tuhan untuk mereka.
Di sebuah masjid dekat terminal itu, kumpulan artis jalanan cilik sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar gratis binaan sekelompok mahasiswa. Jauh di sudut ruangan itu, seorang gadis dengan gitar yang selalu dibawanya untuk mencari nafkah, terus memperhatikan sosok lelaki yang sedang mengajar. Matanya jauh menembus kedalam pikiran dan hati lelaki itu, berusaha mencari-cari sel saraf mana yang menyimpan dua buah kata ‘ingin berhenti’, dan sebuah ruang tempat rasa jenuh bersembunyi.
Dia tak juga menemukannya. Senyum sang guru terlalu hangat. Tawanya terlalu renyah. Perhatiannya terlalu alami. Semua terlihat seperti berasal dari dalam hati. Atau mungkin, aktingnya bagus sekali, batin gadis itu. Dia berpikir, mungkin lain kali bila ia kembali ke situ, ia sudah akan menemukannya. Akhirnya dia beranjak menuju terminal, kembali menjajakan suaranya di bus-bus ibukota.
Dia memasuki bus patas jurusan Thamrin yang hampir seluruh kursinya telah terisi. Dia menyanyikan lagu-lagu favoritnya. Dilihatnya satu persatu wajah penumpang bus. Penampilan mereka beragam, tapi entah bagaimana, matanya menangkap sebuah kesamaan. Individualis. Ya, di matanya hanya hal itu yang membuat mereka semua tampak sama, tak berbeda. Pandangannya jauh kedalam, mencari tahu yang tersembunyi dibalik setiap pasang mata. Dia tak perduli bila tatapannya tampak sinis, karena puluhan pasang mata yang dilihatnya pun tak jauh lebih baik. Arogan. Tak bersahabat.
Malam hari dia pulang ke rumah. Ayahnya yang seorang supir bajaj, sedang sibuk memperbaiki sebuah kipas angin butut, sementara adik lelakinya sudah tertidur pulas. Dia membaringkan diri di kamar, kembali memulai pertarungannya dengan malam yang tak pernah bisa mengantarkan dirinya terlelap. Malam yang selalu membawanya pada berbagai masalah hidup dan ingatan pahit tentang ibunya.
Dari celah gorden yang menjadi penutup kamarnya, dia bisa melihat punggung sang ayah. Ayah yang masih saja giat bekerja meski usianya tak lagi muda. Ayah yang tak pernah mengeluh meski banyak hal baik dirasa menjauh. Ayah yang telah mewariskan berjuta keteladanan tentang bagaimana bersabar. Dan bagian yang dibencinya dari warisan itu adalah kenyataan bahwa untuk bersabar, dia harus bisa berpikir positif. Karena untuknya, itu berarti dia harus selalu maklum, termasuk untuk setiap hal buruk yang orang lain lakukan padanya.
Dia selalu berpikir, entah bagaimana seseorang bisa selalu berpikir positif tanpa harus sakit hati dan menyimpan dendam. Dia ingat betul percakapan dengan ayahnya, saat ia bertanya tentang kepergian sang ibu. Ibu, yang di matanya hanya tampak sebagai makhluk individualis lain di muka bumi ini.
“Ibumu pasti punya alasan…” kata sang ayah.
“Itu sudah jelas. Dia bosan hidup susah. Dia ingin melepas tanggung jawabnya sebagai istri sekaligus ibu. Begitu kan Pak?” Gadis itu menjawab datar.
“Entahlah. Ibumu tak pernah mengatakan alasannya. Kalau memang benar begitu, wajar Nak. Manusiawi. Siapakah orang yang mau selamanya hidup dalam kemiskinan?
Itu tak sepenuhnya salah ibumu. Bapak pun bersalah karena tidak bisa memberikan hidup berkecukupan sebagaimana mestinya. Ya sudah. Biarlah. Ini yang sudah ditakdirkan Tuhan untuk Bapak, untuk kalian. Mungkin ini yang terbaik”
Kata-kata itu lagi. Dia tahu, kata-kata itu bagi ayahnya, berarti sebuah mantra ampuh. Mantra yang membuatnya terus bersemangat untuk melanjutkan hidup. Mantra yang membuatnya percaya, akan selalu ada hal baik menunggu di luar sana. Kata-kata itu juga yang didengungkan banyak orang. Orang-orang yang selalu menyerahkan semuanya pada keadaan, orang-orang gagal, orang-orang yang dalam hidupnya salah membuat pilihan. Beberapa karena kepasrahan pada Yang Kuasa agar dapat bertahan, sementara yang lain demi sebuah pembenaran, bahwa mereka, tak melakukan kesalahan.
Dia teringat juga lain hari saat dia berbicara soal kakak lelakinya yang telah menikah, dan hampir tak pernah mengunjungi mereka.
“Maklum saja. Dia sudah berkeluarga. Dia punya tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya. Mungkin untuk itu saja tak mudah, apalagi bila harus memenuhi kebutuhan kita juga? Yang penting dia masih datang menengok sesekali…”
Sesekali yang amat jarang sekali, batin gadis itu.
Begitupun saat dirinya membicarakan keputusannya untuk berhenti sekolah saat SMA. Saat itu, dia diterima di salah satu sekolah negeri cukup ternama. Dia memutuskan keluar ketika pada semester dua, dia sudah diharuskan melunasi uang pendaftaran yang kemarin sempat ditangguhkan. Belum lagi biaya buku-buku dan akomodasinya yang juga tak murah.
“Sepertinya semua jadi sia-sia. Bapak sudah mengeluarkan uang banyak untuk sekolahku hingga SMA, sekarang harus berhenti. Pernahkah Bapak meyesal?”
“Dari SD hingga kemarin kamu masuk SMA, apa kamu senang?”
Gadis itu mengangguk.
“Maka Bapak tak pernah menyesal. Kalaupun ada penyesalan, itu karena tidak bisa membuatmu menyelesaikan pendidikan di SMA…”
Dibalikkan tubuhnya hingga menghadap dinding. Dipejamkan matanya. Ingatan terakhir telah merubuhkan benteng ketegarannya. Benteng yang dibangunnya demi menghindari serangan dari manusia-manusia yang tak pernah tampak manusiawi di matanya. Manusia yang mendewakan materi, manusia yang tak pernah menyadari kehadiran orang seperti ia dan keluarganya, manusia yang tak pernah tulus menghargai. Manusia yang mengukur segalanya dari harta dan jabatan. Dan betapa dia membenci mereka semua.
Benteng itu juga yang sering rubuh tiap kali ia tersakiti. Tapi dia paham kenapa. Fondasi bentengnya adalah campuran material yang tak seimbang antara sabar dan paham, sekaligus benci dan dendam. Dia membenci dirinya sendiri. Kalau saja material warisan sang ayah diterimanya, bentengnya tak akan pernah rubuh. Dia tak akan pernah terluka.
Matanya masih terpejam saat air mata bergulir dari kedua sudut matanya. Sekali lagi, malam menjadi satu-satunya saksi kejatuhan bentengnya, kerapuhan dirinya. Ia menahan sakit pada tenggorokannya agar isakannya tak terdengar. Pada akhirnya lelah mengantarnya terlelap. Dia bermimpi, dirasakannya seseorang menyentuh pipinya. Tangan kasar itu dengan halus menghapus jejak air mata di wajahnya. Sebuah mimpi indah baginya.
Lelaki itu masih memandangi putrinya yang tertidur pulas. Hatinya menangis. Setiap kali ia melihat kesedihan di wajah putrinya, ia hanya bisa berdoa lebih banyak lagi, berharap Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk putra-putrinya, untuk semua orang seperti mereka di seluruh dunia.
Gadis itu sedang beristirahat di depan sebuah pertokoan tak jauh dari terminal. Dia mengenali wajah beberapa orang yang terlihat hilir mudik di pertokoan itu. Bukan karena mereka benar-benar kenalannya, tapi karena ia terlalu sering duduk di depan pertokoan, dan mereka terlalu sering berbelanja.
Seperti wanita cantik yang selalu kelihatan modis itu. Dia membawa banyak tas belanjaan di kedua tangannya. Seperti biasa pula, dia akan duduk di kafe sebelah pertokoan untuk menunggu sang supir datang dengan mobil sedannya. Lalu, hal yang tak biasa terjadi. Dia memanggil si gadis pengamen yang sudah sejak tadi, tidak, tepatnya sejak berminggu-minggu lalu, selalu menatap sinis padanya dari kejauhan.
Gadis itu mengambil tempat duduk di hadapan si wanita cantik. Tanpa berbasa-basi, wanita itu berkata,
“Berhenti memandang orang seperti itu…” Wanita itu meletakkan segelas moccachino yang baru diteguknya.
“Memandang seperti apa?” Gadis itu keheranan.
“Pandangan itu. Skeptis. Sinis. Kamu harus lebih sering berbicara dengan orang lain…”
“Maaf Tante, ini tentang apa ya?” Gadis itu masih tak mengerti.
Seolah tak perduli, wanita itu terus melanjutkan perkataannya.
“Buka pandanganmu lebih luas. Kamu akan menemukan dan kemudian paham, bahwa dunia ini, tak cuma dipenuhi orang-orang jahat. Tak semua orang tak peduli. Mungkin, jenis orang-orang yang tak kau sukai itu memang bertebaran di muka bumi ini, tapi kamu tahu? Orang sepertimu juga tak sedikit. Orang yang sibuk mempertanyakan banyak hal, sibuk membenci semua orang…”
Ditatapnya wanita yang sejak tadi dia rasakan tengah menegur dirinya. Dia telah mengerti apa yang dimaksud wanita itu. Meski terdengar sok tahu, tapi entah bagaimana, wanita itu seolah bisa mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan dirinya.
“Aku beritahu padamu. Yang sebenarnya Kamu benci bukan mereka, tetapi nasib dan ketidakberdayaanmu sendiri. Nikmati saja hidup, tak peduli betapa tak beruntungnya dirimu, tak peduli bila tak ada yang mau memperhatikanmu…”
Supir sudah datang dengan mobil sedan silver-hitamnya. Tanpa menunggu perintah, dimasukkannya tas-tas belanjaan itu ke dalam mobil. Sang majikan memintanya menunggu di dalam mobil.
“Seharusnya Tante juga yang paling mengerti bahwa semua itu tidak mudah. Praktik selalu lebih sulit daripada teori bukan? Tante butuh berapa lama untuk menyadari semua?” Kali ini, si gadis berbalik seperti memahami wanita itu, yang sejenak, memperlihatkan raut wajah terkejut.
Wanita itu tidak menggubris pertanyaan terakhirnya.
“Memang sulit, tapi bukan tidak mungkin. Membayangkan dirimu akan kehilangan banyak momen indah dalam hidup, mungkin akan membantumu kembali berpikir”
“Aku tidak punya apa-apa, apa yang bisa hilang?”
Wanita itu menghela napas.
“Kalau kamu terus begitu, mungkin kemanusiaanmu yang akan hilang. Bila Kamu begitu membenci sesuatu, hanya ada dua kemungkinan. Kelak Kamu benar-benar menghindari sesuatu itu, atau sebaliknya Kamu menjadi bagian dari sesuatu itu.
Kamu masih muda. Ubah stereotyping mu terhadap orang-orang, karena pikiranmu itulah yang akan terus membuatmu tersakiti.”
Wanita itu bangkit dari duduknya. Dia membuka tas dan mengambil sebuah amplop berisi sejumlah uang yang telah dipersiapkannya untuk diberikan ke sebuah yayasan.
“Ini untukmu. Lanjutkan sekolah.”
Si wanita baru akan beranjak pergi, ketika gadis itu berkata sesuatu yang mengejutkannya.
“Ada kemungkinan ketiga bukan? Menghindari sesuatu itu, dengan menjadi bagian darinya. Tante memilih itu…”
“Hidup hanya hitam putih. Manusia memilih abu-abu. Sudah biasa kan?” Kata wanita itu tanpa memalingkan wajah pada si gadis. Dia tersenyum dan berjalan menuju mobilnya.
“Ke yayasan, Nyonya?” Tanya si supir.
“Nggak. Kita ke ATM dulu…”
Gadis itu masih memegang amplop.
Tujuh juta rupiah.
Dia masih terpana, memandangi mobil si wanita yang sudah tak tampak lagi di depan mata. Uang itu serta merta membuat pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Semua masih samar. Hanya sebuah rencana yang tergambar jelas di pikirannya. Dia akan membangun kembali fondasi bentengnya, kali ini tanpa material benci dan dendam. Dia tahu, pembangunan itu akan menghabiskan banyak malam…
*****
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar