Minggu, 22 Februari 2009

Bidadari dari Desa

Aba Mardjani
http://oase.kompas.com/

BAGI Ratri, langit di Cibaresah selama sebulan ini selalu saja biru. Bagi gadis kecil itu, langit di Cibaresah adalah padang angkasa luas tempat karnaval awan-awan yang tak pernah jemu dinikmatinya setiap hari. Gumpalan kapas yang putihnya amat kemilau itu seakan tak pernah bosan memamerkan segala keindahannya yang mengagumkan. Langit Cibaresah seakan tak pernah memperlihatkan kepekatannya. Kalaupun langit itu menangis, air matanya selalu luruh di malam hari saat seluruh warga dibuai lelap.

Itu pun berupa tempias halus atau gerimis. Seingat Ratri, sejak bulan lalu, tak pernah ada hujan lebat di kampungnya. Langit seolah telah kehabisan airnya. Sama seperti Ratri yang tak mampu lagi mengalirkan air mata di kala ia menangis di malam yang sepi dalam dekapan dingin kampungnya.

Sebulan lalu kebahagiaan gadis berusia 7 tahun itu direnggut alam yang seolah murka. Bapak dan emak serta Giwo kakaknya pergi untuk selama-lamanya bersama luruhnya lereng bukit akibat pohon-pohon ditebangi warga secara serampangan. Sejak itu, tak ada lagi tempat bagi Ratri untuk mengadu dan berkeluh kesah.

Tak ada bapaknya yang selalu pulang dari kebun dengan seikat jagung muda di tangannya. Tak ada lagi ibu, wanita yang tak pernah kehabisan dongeng-dongeng indah atau terkadang lucu menggelikan. Dongeng-dongeng yang selalu dirindukan Ratri saat waktu tidur tiba. Tak ada lagi Giwo yang selalu berada di depannya bila ia disakiti teman bermainnya, laki-laki atau perempuan.

Ratri ingat sekali peristiwa setelah magrib kelabu itu. Ia tengah belajar mengaji di sebuah rumah tak jauh dari rumahnya. Sendirian karena Giwo membandel ketika disuruh ibunya pergi mengaji bersama Ratri. Ia bilang mau menyusul belakangan. Tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara gemuruh. Lalu orang-orang berlarian menuju lokasi rumahnya yang telah tertimbun tanah longsor. Mereka berupaya menolong. Sebisanya. Dengan peralatan seadanya. Sambil terus berdoa dan berharap semoga orang-orang yang tertimbun tanah yang menggunung itu bisa diselamatkan.

Tapi bapak dan emak serta kakaknya tak lagi terselamatkan. Ratri menangis sekerasnya. Menjerit sekencangnya. Membelah kegelapan Cibaresah. Ia berharap orang-orang yang dicintainya terbangun mendengar lengkingan tangisnya. Ia berharap orang-orang yang selama ini menyayangi dan melindunginya bukanlah jasad-jasad yang kini terbujur kaku.

Tak ada yang bisa mencegah ketika Ratri kemudian menghabiskan hari-harinya di pekuburan bapak, emak, serta Giwo kakaknya. Di sana ia menemukan dunia baru. Dunia yang damai dalam terpaan angin lembut di bawah payung rindangnya pepohonan. Di sana ia bisa bermain masak-masakan sembari berceloteh sendirian. Tanpa rasa lelah dan bosan. Di sana ia kadang-kadang bermain boneka-bonekaan terbuat dari gumpalan kain bekas sembari sesekali cekikikan. Berada di antara pekuburan keluarganya Ratri tak lagi merasa sendirian.

Untuk makan Ratri tak pernah pusing. Setiap hari selalu ada warga yang membawakannya makanan. Apa saja. Dan Ratri memakan semua yang disuguhkan. Untuk tidur di malam hari pun Ratri tak pernah risau. Ia bisa membuang lelahnya dan kemudian lelap di mana ia suka tanpa ada yang tega melarang. Setiap balai-balai terbuat dari bambu yang ada di hampir semua teras rumah penduduk adalah tempat yang nyaman baginya. Dan, begitu kokok ayam jantan terdengar ditingkahi suara cerewet burung-burung prenjak yang kelaparan, ia membuka matanya.

Sama seperti pagi ini, ketika ia membuka matanya di balai-balai Pak Somad yang letaknya tak seberapa jauh dari kompleks pekuburan wakaf itu. Laki-laki setengah tua itu membelai rambut Ratri yang kusut karena tak pernah kena air dan disisir. Sepiring singkong rebus sudah tersedia di sampingnya. Aroma sedapnya membuat caping hidung Ratri kembang kempis.
"Ayo makan. Perutmu pasti kosong, Rat."

Pak Somad adalah tukang bersih-bersih kuburan yang setiap hari, tanpa diminta, dan tanpa bayaran, menjaga serta mengawasi Ratri. Ia yang selalu mengingatkan Ratri untuk beristirahat dari bermain bila matahari telah tergelincir dan sinarnya tumpah di pekuburan orangtuanya. Sesekali Ratri menurut. Sesekali ia seperti sama sekali tak mendengar suara Pak Somad dan terus bermain sampai matahari benar-benar menyelinap di balik perbukitan.

"Sudah hampir sebulan kamu begini, Rat," Pak Somad seolah bergumam. "Sayang sekali kamu tak mau diambil sebagai anak oleh Pak Jaya yang kaya raya itu."

Ratri terus menyantap singkong mentega berwarna gading itu. Matanya terus menatap pekuburan ketiga anggota keluarganya.
"Oya, hari ini Pak Somad dengar orang-orang kota yang sedang membuat film seram yang nantinya mau dimasukkan ke televisi itu akan datang lagi. Ini hari yang terakhir. Bagaimana menurutmu, Rat?"

Ratri tak menjawab. Terus mengunyah singkong. Diam-diam Pak Somad mengamati wajah gadis kecil di hadapannya itu. Diam-diam ia mengagumi garis kecantikan pada wajah bocah itu. Andaikan ia hidup bersama orang berharta dan berkecukupan, Pak Somad membatin, tentulah Ratri bakal terlihat amat cantik. Sayang ia tak bisa dibujuk untuk menuruti keinginan Pak Jaya, begitu Pak Somad mengenalnya, yang siap membawa Ratri ke kota jika ia bersedia. Pak Jaya adalah salah satu pemain film yang sangat ramah dengan para penduduk setempat.

Sekitar pukul sembilan pagi serombongan orang dengan pakaian serba indah datang lagi ke kompleks pekuburan wakaf itu. Seperti juga kemarin, kini pun para wanita-wanita jelitanya datang dengan wajah bening seperti tanpa bekas noda. Senyum mereka sumringah. Tak ada yang jelek di mata Pak Somad membuatnya tak mampu berkedip.

Yang mengherankan Pak Somad, hari ini tiba-tiba Ratri jadi berubah begitu ceria. Ia tanpa ragu-ragu mengungkap kekagumannya pada kecantikan wanita-wanita itu.

"Mereka cantik sekali. Wajah mereka bening. Kayak bidadari," katanya di telinga Pak Somad membuat Pak Somad terperangah. Belum pernah ia melihat Ratri seceria itu.
"Saya pun ingin seperti mereka."

Pak Somad agak terkejut. Dipandanginya wajah gadis itu. Wajah yang polos dengan gurat-gurat kecantikannya yang tak terawat. "Ratri bisa seperti mereka kalau Ratri mau," katanya dengan hati-hati. Ia masih menerka-nerka isi hati Ratri. "Bukankah sudah saya katakan bahwa Pak Jaya ingin mengambilmu sebagai anak? Kamu tinggal bilang ya, maka semuanya akan beres."

Tanpa diduga, Ratri mengangguk pelan membuat Pak Somad berjingkrak gembira. Saat itu juga jauh di lubuk hatinya melintas bayangan seorang bidadari cantik dari desa Cibaresah bernama Ratri yang kemudian menjadi terkenal. Agak tergopoh-gopoh ia kemudian menemui Pak Jaya. Laki-laki simpatik itu tengah istirahat di bawah pohon.

"Apa saya tak salah dengar?" laki-laki dengan kumis tebal itu memandangi wajah Pak Somad.
"Kalau benar begitu, besok saya jemput. Pak Somad bisa membantu Ratri membereskan segala sesuatunya."

***

Malam itu Ratri duduk sendirian di gubuk Pak Somad. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu pun langit memamerkan kebiruannya. Awan-awan putih yang bergumpal bagai cendawan berjalan beriringan.

Pada diamnya melintas kembali dalam benak Ratri tentang para bidadari yang tadi siang tampil untuk terakhir kalinya di desanya. Orang-orang menyebut bidadari-bidadari itu bintang film. Ia kemudian tersenyum. Terbayang wajah Pak Jaya, laki-laki yang sangat baik yang ingin membawanya ke kota.

Pelan-pelan Ratri lalu melangkah menuju pekuburan tempat ayah dan ibunya serta Giwo kakaknya berbaring. Di sana air matanya meleleh.

"Maafkan aku, emak, bapak, dan kak Giwo," suara Ratri pelan. "Besok aku akan pergi ke kota. Tapi, aku berjanji akan selalu datang menjenguk emak, bapak, dan kak Giwo."

Sepi menyungkup. Ratri menarik napas. "Malam ini, aku akan tidur di sini. Aku ingin minum dan mandi embun bersama bunda, bapak, dan kak Giwo."

Ratri merebahkan tubuhnya di sela-sela ketiga makam itu. Tanpa alas apa-apa. Dalam telentang ia pandangi birunya langit dan putihnya awan. Udara dingin membuat tubuhnya agak menggigil. Tapi Ratri tak peduli. Untuk terakhir kali sebelum meninggalkan Cibaresah, ia ingin betul-betul berada di dekat orang-orang yang dicintainya. Ia tak ingin meninggalkan mereka begitu saja. Beberapa saat kemudian, ketika embun bening mulai turun, mata Ratri pun terpejam.

***

Di pagi buta keesokan harinya Pak Somad menangis sekeras-kerasnya sambil memeluk Ratri. Tubuh itu telah lunglai. Di mata Pak Somad seluruh tubuh Ratri tampak begitu bening. Belum pernah ia melihat Ratri sebening itu. Ia bahkan lebih bening dibandingkan para bintang film yang kemarin berdatangan ke pemakaman itu. Ratri benar-benar telah menjelma menjadi seorang bidadari.

September 2005/Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati