Weni Suryandari
http://oase.kompas.com/
“Ma........Mama, Bu Mita udah pulang!” celoteh yang biasa kudengar setiap kali aku baru pulang mengajar dan baru mau membuka pintu pagar. Rumah yang terletak di hadapan rumahku itu selalu ramai dengan celoteh anak-anak kecil, si kembar dan si bungsu. Ketiganya laki-laki semua.
Aku menengok dan tertawa melihat celoteh mulut-mulut kecil itu. Mereka berebutan naik ayunan bahkan celah-celah pagar untuk bisa mengintipku dari balik pagar yang ditutupi fiberglass
“Iya, kenapa sayang? Ibu masuk dulu, ya?” Aku menyahut sambil membuka pagar.
“Ibu capek ya? Habis ngajar ya?” ah, anak itu sebenarnya santun. Pasti kalimat itu ditirunya dari sang mama. Biasanya sang Mama berada di dalam sambil membaca majalah atau menonton televisi. Papanya masih berdagang di pasar Kecapi, wilayah Pondok Gede, sebuah toko emas miliknya sendiri.
Siang itu, terik matahari meruapkan hawa panas pada tekanan atmosfir yang begitu pengap, menggigit seluruh permukaan kulitku, membuat suhu tubuhku meningkat. Bajuku basah di bagian punggung dan dada oleh keringat yang mengucur deras. Hal pertama yang ingin kulakukan adalah segera masuk ke kamar dan melucuti seluruh pakaian dinasku. Seperti biasanya aku langsung berbaring sambil menikmati udara dingin dari AC kamarku yang sudah dinyalakan oleh anak sulungku yang tiba lebih dulu dari sekolahnya di sebuah SMP di bilangan Halim, Jakarta. Jika sudah begini, aku tak bisa mendengar kicauan bocah-bocah itu dengan jelas, karena jendela tertutup rapat.
Ya. Sebuah keluarga Tionghoa tinggal persis di hadapan rumahku. Keluarga kecil bahagia sejahtera. Terdengar klise, tapi ini fakta. Mareka pandai berbaur dengan lingkungan Pribumi. Suami istri itu tak pernah memikirkan perbedaan warna kulit, mata, agama diantara kami. Aku muslim, berjilbab dan ia berpakaian biasa. Ia sering mengajakku pergi kemanapun yang kami inginkan Kebetulan aku bisa menyetir mobil dan ia belum lancar berkendara di jalan raya. Dari itulah kami saling membutuhkan sebagai teman bercerita selama perjalanan yang biasanya kami tempuh berdua. Ke mal-mal seputar Jakarta bahkan ke Bandungpun kami tempuh sendiri, tanpa dampingan laki-laki, suamiku maupun suaminya. Ia menungguiku melaksanakan sholat di Mushalla mal. Kadang pula kami pergi bersama dengan anak-anak kami.
Bocah-bocah itu, si kembar laki-laki yang sangat lucu berusia 5 tahun dan adik bungsunya yang baru 2,5 tahun. Mereka bergaul dengan keluargaku tanpa memandang bahwa aku berkulit gelap bermata bulat lebar, artinya tidak sipit dan berkulit putih seperti keluarga mereka. Akupun tidak merasa canggung bergaul dengan mereka, karena keterbukaan mereka (atau keterbukaanku juga?) dalam bertegur sapa.
Setiap pagi kudengar suara-suara ribut mereka berceloteh riang hendak berangkat ke sekolahnya, sebuah TK di sekitar perumahan kami. Bahkan pada sore hari, ketika mereka sedang bermain di jalanan depan rumah, terdengar suara mereka dengan bahasa Indonesia yang sangat lancar. Kadang mengetuk-ngetuk pintu pagarku sekedar untuk mengadukan kenakalan adik atau kakaknya. Maklum lingkunganku adalah perumahan kelas menengah, BTN bertipe 45 yang sederhana.
“Pak Kardi.....Pak Kardi...........Tian belum mandi!” Atau, “Pak Kardi........Pak Kardi.............Christoper main becek-becekan nih, gak mau pake sandal!” Aku tersenyum lucu. Meski yang dipanggil-panggil adalah suamiku, aku juga yang menyahut karena suamiku belum pulang dari kantor.
“Ayooo...........siapa yang gak mau mandi? Bukan anak pintar kalau gak mau mandi!” barulah yang disebut tadi buru-buru masuk pagar rumahnya, dan bilang,
“Aku mau mandi, aku mau mandi!” sambil terbirit-birit masuk dengan tidak bercelana. Mamanyapun kadang kewalahan menghadapi kenakalan anak-anak itu. Bagiku, anak-anak tetaplah anak-anak. dengan kelincahan dan kepolosan tingkahnya tanpa dipengaruhi dunia pikiran orang dewasa. Tak peduli Cina, Jawa, Ambon, Batak atau Belanda sekalipun. Aku senang karena mereka memelihara wibawaku sebagai Ibu Guru. Mamanya selalu menekankan pada mereka bahwa aku adalah Ibu Guru.
“Awas lo, ada Bu Guru. Nanti mama bilangin ke Bu Guru!” begitu bila didapatinya anak-anaknya sulit makan ketika disuapi. Biasanya mereka menurut dan terbirit-birit masuk rumah dengan berteriak............
“Bu Mita............aku mau mandi!” sambil terbirit-birit masuk rumah dengan tertawa riang. Jika mereka sudah mandi, mereka akan memberikan laporan singkat padaku
“Bu........Toper sudah mandi. Tian juga ! “ Dengan senang hati aku tertawa mendengar perbincangan mereka dari teras rumahku. Aku sama sekali tidak terusik dengan kehadiran mereka, karena mereka adalah tetangga yang menyenangkan dan tak terlalu usil pada tetangga sekitar.
Ci’ Abuy, begitu aku memanggil ibu dari si kembar, Christian dan Christoper, adalah sosok yang lugu. Tak terlalu bangga dengan ke-Cinaannya dan tak terlalu perduli tentang perbedaan etnis ini. Suatu hari aku mampir ke rumahnya sepulang mengajar, bercerita banyak hal tentang kejadian di sekolahku. Kutanyai anak-anak itu,
“Ayo........mana bukunya, Ibu mau lihat, sudah belajar apa saja? Sudah
bisa nyanyi apa?” Mereka tertawa girang berebutan mengambil tas masing-masing dan menyerahkan buku-buku tulisnya padaku.
“Ini.......ini! Kokoh sudah sampai huruf sa pu! ” Si Kakak menghambur kehadapanku membolak-balik bukunya. Adiknya berebut menyela
“Ini.....ini. Dedek sudah sampai sini!” ditunjuknya deretan huruf sa pi
Aku tertawa mengamati buku-buku mereka. Kusuruh mereka menyanyi satu persatu bergantian, lagu-lagu TK yang biasa dinyanyikan anak-anak sekolah. Mereka segara menyanyikan lagu Pelangi-pelangi, Taman Kanak-kanak, Naik Kereta Api, dan sebagainya. Ah.......mereka lancar membawakan lagu-lagu itu. Lidahnya bukan lidah Cina, meski agak samar pengucapan huruf “r” nya.
Dengan wajah tulus aku bertepuk tangan ketika mereka selesai menyanyi. Kuberikan soal hitungan di buku mereka masing-masing, berebutan mereka menjawab adu cepat. Sambil tertawa-tawa bangga akan dinilai oleh Bu Guru yang sebenarnya bukan gurunya. Kunilai juga keduanya dengan angka seratus dengan tanda tanganku dibawahnya. Mereka kegirangan dan berebutan duduk disebelahku. Berbagai permen dan makanan disuguhkan padaku. Aku tertawa terpingkal-pingkal. Kubilang, “Tidak nak......Ibu sudah kenyang!”
Pernah suatu hari anakku yang bungsu berulang tahun. Seperti biasanya aku membuatkan nasi kuning dan kukirimkan pada tetangga sekitar, tanpa merayakannya dengan pesta di rumah. Hanya kusisipkan kata-kata dalam secarik kertas dari komputer bahwa hari ini 15 Desember Qonita berusia 7 tahun. Disertai tulisan permohonan ucapan doa dari tetangga sekitar sebagai penutup pada kartu ucapan itu..
Dua hari setelah itu Ci’ Abuy bertandang ke rumahku. Ia amat menyesal tidak dapat membantuku. Dengan ekspresi kecewa ia ungkapkan penyesalannya karena tak membantu. Yah, memang menurutku tak perlu memberi kabar karena aku terbiasa memasak sendiri apalagi dengan lauk yang tak banyak macam.
“Ibu kok gak ngasih tahu saya. ‘Kan saya bisa bantuin masak. Kok diam-diam sih?” ujarnya
“Ah, Cuma masak sedikit Ci’! Gampang kok, aku takut ngerepotin kalau minta bantuan!” jawabku tersenyum.
Ia biasa ringan tangan. Jika ia tidak sedang pergi kemana-mana kalau di RT ku ada acara khusus dan kami masak banyak, ia tidak berat hati terjun membantu meski bersimbah peluh di dapur siapapun. Padahal kulit putihnya yang bersih dan wajahnya yang cantik (agak sedikit di bawah Gong Li), sering kuanggap tak patut belepotan masakan dan berbau bumbu. Begitulah keakraban kami dalam bertetangga dengannya. Karena sikap dan pembawaannya, tak ada tetangga lainnya yang merasa keberatan dengan kehadirannya di wilayah kami atau bersikap aneh dan tertutup menghadapinya. Karena kutahu ia memang asyik dalam bergaul. Tidak pernah ada masalah dengan siapapun.
Pagi belum saja beranjak ketika suamiku menerima surat penempatan tugas di kota lain. Ya, kami harus pindah ke kota S. Ci’ Abuy begitu kaget mendengar kami akan pindah rumah.
Setelah rumah kami laku terjual dan pekan depan akan ditempati oleh orang lain. Kami segera siap-siap berkemas. Seluruh perabotan rumah sudah kami paketkan sedikit demi sedikit, tinggal furniture yang akan berangkat dengan truk bersamaan dengan kami di mobil lainnya.
Selama sepekan Ci’ Abuy membantuku membereskan barang-barang kami. Tetangga sekitar sudah kupamiti dan kumintakan ma’af jika keluarga kami banyak berbuat khilaf dan menyakitkan mereka. Tentu saja semua tetangga terperangah. Betapa tidak!
Kami menempati rumah ini sejak anak keduaku berusia 6 bulan sampai saat ini, sudah kelas V SD. Semua merasa kehilangan dengan kepergianku. Teman akrab maupun yang kurang akrab, tetangga baru maupun lama, dengan karakter yang berbeda-beda semua pasti akan meninggalkan kenangan manis, atau pahit sekalipun dan tak terlupakan di benak masing-masing.
Tahukah mengapa aku ceritakan semua ini? Tak lebih karena tetangga Cina-ku itu selalu menangis setiap kali membantuku mengepak barang-barangku, seolah kami memang sudah berpisah.
“Ya Ampuun........Bu Mita, kenapa harus pergi sih? Saya jadi sedih, gak punya teman yang bisa diajak ngobrol..” Isaknya dengan hidung memerah menahan tangis. Dari tadi kulihat ia menahan sedu sedannya.
“Nanti siapa lagi yang bisa ngawasin Kokoh Dedek. Mereka cuma menurut sama Bu Mita. Ya Ampun Dedek....Kokoh.........Bu Mita mau pindah! Kita gak bisa ketemu lagi deh....” suaranya lirih sambil menengok anak-anaknya.
Si Kembar Kokoh dan Dedek terbengong-bengong di samping mamanya yang sedang memasang-masang lak ban buat menutup dus buku-bukuku. Mereka tak mengerti bagaimana harus bersikap. Tapi kutahu mereka sedih, menatapku dengan termangu dan pandangan mata memelas. Aku menangis juga. Kupeluki anak itu satu persatu. Meski jilbabku bersimbah keringat karena mondar-mandir berjongkok dan berdiri mengurusi barang-barang dan airmata di pipiku berlinangan, Kokoh dan Dedek tak perduli. Kedua bocah itu memelukku erat. Si Bungsu Ah Se (Lexi) memandang adegan itu dengan bengong. Ia belum mengerti toh usianya baru 2 tahun.
“ Ci’.........nanti kita telepon-teleponan ya. Jangan sampai putus hubungan. Sekali sekali mainlah ke sana!” Wanita cantik itu mengusap air matanya lagi!
Esoknya, pagi-pagi sekali selepas Subuh kami akan berangkat. Beberapa tetanggaku menunggui keberangkatan kami. Kusuruh anakku mencium tangan mereka semua, satu persatu. Suamiku memeluk bapak-bapaknya dan aku memeluk ibu-ibunya satu persatu. Semua terisak mengucapkan selamat jalan. Yang paling menyisakan kenangan bagiku adalah pribadi Ci’ Abuy. Ia diam-diam menitipkan masakannya yang merupakan makanan favoritku.
“Buat bekal di jalan Bu. Gak pake B lho!” ujarnya. Tentu saja aku tahu karena ia tak doyan B meski Cina. Duh, jam berapa ia bangun dan memasak untuk kami? Aku makin terharu. Kusambut paket itu. Berat amat! Tapi aku simpan juga. Nanti di jalan baru aku buka jika kami ingin makan. Ci’ menangis melambaikan tangannya ketika kami berangkat pelan-pelan. Akupun begitu. Christopher dan Christian si kembar belum bangun, Lexi si bungsu juga masih terlelap, toh pagi itu masih gelap.
Selang satu jam ketika hari sudah terang, diperjalanan aku membuka dus berat berisi makanan yang masih hangat itu. Ada fuyung hai dengan saus khasnya, kailan cah sapi dan nasi putih cukup untuk berlima. Semua diletakkan dalam wadah rapat. Ups, dibawah wadah makanan ada dus rapi terbungkus kertas kado rapat sekali. Kuangkat bungkusan itu. Berat juga! Tak sabar kubuka bungkusnya, aha, rupanya dua buah buku tebal-tebal. Dia tahu aku senang membaca). Satu berjudul La Tahzan yang terkenal itu, satunya lagi kisah cinta Nabi Muhammad dengan Khadijah dengan cover tebal berwarna pink. Kedua-duanya cukup mahal bagiku.
Betapa girang hatiku! Kupeluki kedua buku itu. Ia masih ingat, waktu itu ketika aku ajak dia ke toko buku, aku ingin sekali membeli kedua buku itu, namun aku meletakkannya kembali di rak buku, tidak jadi. Uangku sudah tak cukup, karena kubelikan novel-novel sastra dan psikologi. Sepanjang perjalanan pulang dari toko buku itu aku berceloteh tentang betapa bagusnya buku itu,
“Sayang uangku sudah habis untuk membeli buku-buku ini Ci’ !” keluhku saat itu ketika baru keluar dari tempat parkir. Ah, rupanya adegan itu ia ingat dalam-dalam.
Ia belikan kedua buku itu untukku sebagai kenang-kenangan. Tak peduli bahwa buku-buku itu adalah buku-buku Islam. Ikatan batin antara kami begitu kuat meski kami berbeda etnis. Aku membatin dalam hati, pasti Tuhan punya cara tersendiri untuk membalas ketulusannya. Ketulusan Ci’ Abuy, tetangga Cinaku itu...............
Jakarta, 26 Desember 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 22 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar