Sabtu, 28 Maret 2009

PUNCAK PERKALIAN DUNIA PUISI

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Saat insan menemukan kesadarannya dalam kepungan kabut menyelimuti jiwa, dirinya merangkak menghindari keterbenturan, sebab belum mampu menegakkan keyakinan.

Namun semakin lama bersanggup menguasai kedalaman gamang, menarik satu-persatu pengertian, lalu dikumpulkannya menjadi bulir-bulir kepastian, sebagai temuan dirinya paling awal.

Perasaan pertama, logika awal, menjadi kembang asosiasi identitas dalam kelembagaan kesadarannya yang lebih menyegarkan. Sebab pada dasarnya, insan senantiasa haus segala, memperturutkan kekurangan bagi tetambahan.

Kemungkinan berjembatan, meneruskan langkah setelah cukup istirah. Ikatan bathin dirinya kepada lingkungan akan memperjelas tahap-tahap kesadaran, tangga menuntun pelajaran waktu demi kajian lebih dalam.

Menarik ulung perkiraan untuk menemukan kejituan, diharuskan menggagalkan keraguan yang menghantui dirinya. Meski kadang keraguan itu sanggup menentukan perbaikan, orang-orang menyebutnya latihan.

Dunia kemungkinan itu melemparkan jala ke segenap penjuru, seluas tenaganya merangkum balik gagasan, dan jawaban yang beredar atas pantulan keyakinan kemarin. Ini gegaris kejelasan, setelah lama melototi kemungkinan menjadi realitas masa depan.

Istirahnya tubuh bukan berarti berhentinya meneliti, namun merasai tugas pelahan sepenuh hitungan. Sebab penguasaan ruang-waktu kehidupan, sangat diperlukan untuk memperjelas yang disuntuki. Di mana sikap santai menguasai keadaan, kewajaran dengan diciptakannya kemungkinan lain.

Dan kabut gelap lama-kelamaan meningkatkan gumpalan embun paling bening, di sini berbicara ruang sekitar yang serba menjadi. Al-hasil, pelajaran jarak atau kedudukan di suatu sudut penelitian, juga menjadikan warna gagasan.

Bersebutlah yang berhias menawan tempat duduk yang kerap berubah, atas letak benda dari jarak pandang yang ditentukan kesadaran penerimaan maupun penolakan, yang berupa sangkalan atau pun persetujuan dalam kinerja lanjutan.

Kajian ini bukan mempersiapkan agar nafas panjang di suatu panggung, tapi bagaimana keluar-masuknya nafas bermanfaat, membuka kemungkinan lebih berarti, dan pada gilirannya mengokohkan di setingkap wacana.

Atau rangkuman dari prosesi perkembangan yang tidak terpecah, keluar dari asosiasi kesadaran, tetapi memberi wahana lain yang suatu saat menuntut jatah.

Saya rasa, membangun kemungkinan itu menciptakan ketaksadaran bagi saksi kehadiran umum, menuju dunia yang serba baru. Kata-kata yang terlontar dari himpunan daya duga yang seolah tak terkendali, semisal: “Perahu-perahu yang memadati peradaban pasar nelayan.”

Kalimah tersebut terlontar begitu saja dari benak, lalu saya tuliskan di selembar kertas. Semula kata-kata itu ingin saya pergunakan sebagai letupan awal penciptaan puisi.

Namun entah saya pergunakan begitu saja seperti sekarang, pembuka atau sekadar bertanya. Padahal keberangkatannya dari gagasan realis yang mengakar. Apakah ini disebut melontarkan gagasan, tetapi tidak sanggup menguasai rentetan anatominya?

Puisi bukan tidak memperturutkan gagasan semula, namun berulangkali menggagalkan kesadaran awal, demi pecahnya kulit dalam sebentuk rangkaian penuh makna.

Kalimah yang terjatuh saat membawa kesadaran, tubuh berhadap wacana lingkungan. Dan pandangan memberi kesaksian pertama, sebelum yang terdalam mengurai persetujuannya.

Kesaksian pertama belum tentu menjadi saksi utama, sebab pengembangan kemungkinan bisa paripurna, jika peredarannya mengikuti naluri, yang telah terpecahkan situasinya.

Mekarnya bunga semacam menumbuhkan nilai tambah, namun bukan berarti perkalian, sebab keadaan perkalian itu menyerupai hilangannya identitas, sedangkan penambahan itu yang merangkum beberapa identitas dengan hasil jumlah.

Namun tidak lantas meninggalkan cara perkalian, jika perangkat logikanya semakin tangguh memiliki daya simpan yang ampuh. Maka perkalian bisa dilaksanakan, demi mendekap realitas. Atau jumlah yang diinginkan itu menemukan standarisasi logika kesadarannya.

*) Pengelana asal Lamongan, 09. 16 Mei 2006.

Jumat, 27 Maret 2009

Sastra Indonesia dalam Dunia

Radhar Panca Dahana
http://kompas-cetak/

Wafatnya sastrawan ternama Pramoedya Ananta Toer tentu saja meninggalkan kesedihan, kehilangan, dan keprihatinan; terutama soal atensi pemerintah terhadap seseorang yang telah demikian rupa turut menegakkan dan menjelaskan keberadaan Indonesia di mata dunia. Dalam sastra pun, seakan kita kehilangan rantai terkuat yang selama ini menghubungkan dunia literer kita dengan dunia.

Mungkin tak banyak yang dapat memungkiri, ambisi bahkan obsesi sebagian dari kita untuk melihat sastra Indonesia pun memiliki tempat, bahkan peran, yang cukup signifikan dalam perkembangan sastra mutakhir. Baik di kawasan maupun di tingkat global. Gejolak ini sejak dulu sesungguhnya telah terasa. Sejak mula apa yang disebut "sastra modern" Indonesia dianggap muncul dan tumbuh.

Gelegak kebangsaan yang mencari kebebasannya, sejak paruh pertama abad ini, mendapat ekspresi literernya dalam berbagai bentuk. Mulai dari Sanusi Pane hingga Sutan Takdir Alisjahbana. Disusul oleh semangat "Gelanggang" yang dimotori Chairil Anwar yang mencoba memosisikan diri sebagai "bagian dari kesusastraan dunia". Hingga akhirnya di masa pos-kolonial, segolongan literati menabalkan barisannya sebagai pengusung "humanisme universal".

Sampai masa awal Orde Baru, gelegak ini sesungguhnya masih berlanjut. Kecenderungan beberapa sastrawan "eksperimentalis" mencoba masuk dalam mainstream kesusastraan global dengan mengadopsi gaya maupun bentuk ekspresi literernya. Dari naskah drama, puisi, cerpen, hingga novel. Sebut saja beberapa nama seperti Budi Darma, Danarto, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, bahkan Sutardji Calzoum Bachri.

Namun, setelah itu, ketika Soeharto menancapkan dengan keras kuku kekuasaannya, kecenderungan atau ambisi itu seperti luluh dan memendam. Selama tiga dekade setelah itu, sastra Indonesia seperti sibuk dengan dirinya sendiri, dengan tempurung yang tak juga membesar. Terjadi pembesaran-pembesaran artifisial, yang membuat sebagian dari kalangan sastra mabuk oleh kopi yang ia racik sendiri. Kondisi itu ditandai oleh banyak hal, seperti pergaulan sastra yang tidak mengambil ruang yang membesar kecuali sibuk dan bergaung sebatas kamar internalnya sendiri. Akses pengarang dan penikmat sastra yang rendah pada sastra dunia. Penulisan yang terjebak pada gaya dan bentuk tertentu (sastra koran, misalnya), dan sebagainya.

Dunia informasi

Namun, belakangan, di dekade terakhir ini, setelah reformasi dan dunia informasi memberi kita kemudahan mengakses dunia lain dan kebebasan berkomunikasi dengan dunia lain, tumbuh selapisan kecil anak muda yang tekun dan cerdas melahap kekayaan sastra dunia. Seperti batu "gua ali baba" terbuka, sebagian bahkan mengira katup kotak pandora mulai menganga. Muncul pengamat, pemikir sastra dan penulis-penulis kreatif yang mulai meninggalkan kebekuan dekade sebelumnya. Kajian wilayah dan penguasaan mereka pada genre atau perkembangan mutakhir sastra wilayah tampak sangat menjanjikan.

Apakah ini sebuah awal yang baik bagi keterlibatan kita yang lebih positif pada lingkungan global—yang kian tak terhindar belakangan ini? Sebuah jawaban harus ditemukan. Satu usaha identifikasi masalah, penemuan relasi kultural dan literer, dan posisi atau peran apa yang dimungkinkan oleh sastra Indonesia di tengah keluarga besarnya, tampaknya perlu dilakukan. Dengan begitu, Indonesia—yang terjungkal-jungkal mengikuti percepatan pertumbuhan dunia—dapat dilihat bukan hanya sebagai satu koordinat geografis atau demografis saja dalam peta dunia. Tapi juga sebuah ruang di mana dunia pun bermain di dalamnya. Begitupun sebaliknya.

*) Sastrawan, Tinggal di Tangerang.

Jumat, 20 Maret 2009

CERPEN INDONESIA KONTEMPORER

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Dalam perjalanan sastra Indonesia, periode pasca-reformasi merupakan masa paling semarak dan luar biasa. Kini, karya-karya sastra terbit seperti berdesakan dengan tema dan pengucapan yang beraneka ragam. Faktor utama yang memungkinkan sastra Indonesia berkembang seperti itu, tentu saja disebabkan oleh perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan. Kehidupan pers yang terkesan serbabebas-serbaboleh ikut mendorong terjadinya perkembangan itu. Maka, kehidupan sastra Indonesia seperti berada dalam pentas terbuka. Di sana, para pemainnya seolah-olah boleh berbuat dan melakukan apa saja.

Dibandingkan puisi, novel, dan drama, cerpen Indonesia pada paroh pertama pasca-reformasi mengalami booming. Cerpen telah sampai pada jatidirinya. Ia tak lagi sebagai selingan di hari Minggu. Kini, cerpenis dipandang sebagai profesi yang tak lebih rendah dari novelis atau penyair. Cerpenis tak diperlakukan sebagai orang yang sedang belajar menulis novel. Kondisi ini dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut:

Pertama, kesemarakan media massa –suratkabar dan majalah—telah membuka ruang yang makin luas bagi para cerpenis untuk mengirimkan karyanya. Di sana, rubrik cerpen mendapat tempat yang khas. Cerpen ditempatkan sama pentingnya dengan rubrik lain. Bahkan, di surat-surat kabar minggu, ia seperti sebuah keharusan. Di situlah tempat cerpen bertengger dan menyapa para pembacanya. Maka, hari Minggu adalah hari cerpen.

Bayangkanlah, setiap minggu kita dihadapkan pada ratusan cerpen yang mengisi lembaran koran Minggu. Di pelosok kota di Indonesia, cerpen masuk ke ruang publik dengan bebasnya. Pembaca disuguhi beragam pilihan. Dalam kondisi overproduksi itu, menyeruak pula sejumlah antologi cerpen. Ketika kita sedang menimang-nimang isi kocek dan tuntutan kebutuhan lain, muncul lagi antologi cerpen yang lain. Mereka datang susul-menyusul. Penerbitan buku antologi cerpen, seperti berlomba dengan penerbitan novel dan buku lain.

Kedua, adanya kegiatan lomba menulis cerpen, memungkinkan cerpen tak hanya berada di hari Minggu, tetapi juga pada event atau peristiwa tertentu. Majalah Horison setiap tahun menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Begitupun Diknas, Pusat Bahasa atau lembaga lain yang juga melakukan kegiatan serupa. Sejak 1992, harian Kompas memulai tradisi baru dengan memilih cerpen terbaik dan memberi penghargaan khusus untuk penulisnya. Kegiatan ini mengangkat kedudukan cerpen dalam posisi yang istimewa.

Ketiga, terbitnya Jurnal Cerpen yang diasuh Joni Ariadinata, dkk. serta adanya Kongres Cerpen yang diselenggarakan berkala dalam dua tahun sekali –di Yogyakarta (1999), Bali (2001), Lampung (2003), dan kongres mendatang di Pekanbaru (November 2005), berhasil mengangkat citra cerpen secara lebih terhormat. Kegiatan itu sekaligus untuk menyosialisasikan keberadaan cerpen sebagai bagian dari kegiatan sastra. Bersamaan dengan itu, usaha sejumlah penerbit melakukan semacam perburuan naskah cerpen untuk diterbitkan, memberi harga dan martabat cerpen tampak lebih baik dibandingkan keadaan sebelumnya.

Meskipun posisi cerpen berada dalam keadaan yang begitu semarak dan memperoleh tempat istimewa, dalam hal regenerasi boleh dikatakan belum cukup signifikan. Masalahnya, secara substansial sejumlah cerpenis muda yang muncul belakangan, harus diakui, belum menunjukkan usahanya mengusung sebuah gerakan estetik yang kemudian menjadi sebuah mainstream. Arus besar cerpen Indonesia pascareformasi masih tetap didominasi nama-nama lama yang memang telah menjadi ikon cerpen Indonesia kontemporer. Cerpen Indonesia mutakhir masih tetap tak dapat menenggelamkan sejumlah nama yang muncul justru sebelum terjadi reformasi, seperti Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto, dan sederet panjang nama lain yang tergolong pemain lama. Mereka masih tetap menjadi bagian penting dalam peta cerpen Indonesia pascareformasi. Jadi, cerpenis lama dan baru, kini bertumpukan, semua ikut menyemarakkan peta cerpen Indonesia.
***

Bagaimana dengan kemunculan cerpenis baru dalam peta cerpen Indonesia? Memang ada geliat yang tak dapat diabaikan. Martin Aleida misalnya, mengangkat tema korban politik bagi mereka yang terlibat PKI. Tetapi Martin termasuk pemain lama. Setidaknya ia sudah matang sebelum terjadi reformasi. Maka, ketika terbit Leontin Dewangga (2003), kita terkejut bukan karena ia sebagai pendatang baru, melainkan pada hasratnya mengangkat tema yang tak mungkin muncul pada zaman Orde Baru. Dari sudut itu, ia telah memperkaya tema cerpen Indonesia. Kasus Martin Aleida tentu berbeda dengan Linda Christanty yang juga sebenarnya termasuk pemain lama. Antologinya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004) seolah-olah memperlihatkan ketergodaannya pada model dan style yang sedang semarak pada saat itu. Pengabaian latar tempat dengan permainan pikiran malah seperti sengaja membuyarkan unsur lain –yang dalam kerangka strukturalisme justru menempati posisi yang sama penting. Style itu memang pilihannya, dan Linda telah memilih cara itu.

Pendatang baru yang cukup menjanjikan muncul atas nama Eka Kurniawan. Karya pertamanya, antologi cerpen Corat-Coret di Toilet (2000) mula hadir kurang meyakinkan. Tetapi ketika novelnya Cantik itu Luka (2002) terbit yang ternyata mengundang kontroversi, namanya mulai diperhitungkan. Setelah itu terbit pula novel kedua, Lelaki Harimau (2004) yang memamerkan kepiawaian melakukan eksperimen. Dalam antologi cerpen yang terbit belakangan, Cinta tak Ada Mati (2005), Eka belum kehilangan semangat eksperimentasinya. Cerpen yang berjudul “Bau Busuk” menunjukkan kesungguhan Eka melakukan eksperimen.

Azhari, cerpenis kelahiran Aceh adalah pendatang baru yang lain lagi. Cerpennya, “Yang Dibalut Lumut” yang menjadi Juara Pertama Lomba Penulisan Cerpen Festival Kreativitas Pemuda, Depdiknas—Creative Writing Institute memperlihatkan kekuatannya dalam mengungkap kepedihan rakyat Aceh yang terjepit dalam konflik bersenjata antara aparat keamanan (: TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka. Ia juga berhasil menyajikan sebuah potret kultural dan tradisi rakyat Aceh yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keseharian masyarakat di sana. Antologi cerpen pertamanya, Perempuan Pala (2004) memperlihatkan sosok Azhari yang matang dalam memandang persoalan Aceh dalam tarik-menarik sejarah dan kebudayaannya yang agung dengan kondisi sosial dan politik yang menimpa rakyat Aceh yang justru menebarkan luka dan kepedihan. Boleh jadi antologi ini merupakan potret yang merepresentasikan kegelisahan masyarakat Aceh dalam tarik-menarik itu.

Dengan kekuatan narasi yang hampir sama, Raudal Tanjung Banua hadir meyakinkan. Antologi cerpennya, Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), dan Parang tak Berulu (2005) menunjukkan perkembangan kepengarangannya yang makin kuat. Lihat saja, cerpennya ““Cerobong Tua Terus Mendera” terpilih sebagai penerima Anugerah Sastra Horison 2004. Cerpen yang lain, “Tali Rabab” termasuk 15 cerpen terbaik dalam sayembara itu. Salah satu kekuatan Raudal adalah narasinya yang sanggup menciptakan suasana peristiwa begitu intens, metaforis, dan asosiatif. Pembaca dibawa masuk ke dunia entah-berantah. Lalu, tiba-tiba merasa ikut menjadi saksi peristiwa yang diangkat cerpen itu.

Sejumlah nama cerpenis lain yang kelak menjadi sastrawan penting Indonesia, dapat disebutkan beberapa di antaranya: Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan Hidayat (Orang Sakit, 2001; Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng, 2002; Cinta Tai Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu, 2003), Mustofa W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia Effendi (Senapan Cinta, 2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar (Sepasang Maut, 2004), Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Stiawan (Perempuan Sunyi, 2004; Dawai Kembali Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo (Anak-Anak Mengasah Pisau, 2003), Damhuri Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku, 2005). Keseluruhan antologi itu menunujukkan kekuatan narasi yang lancar mengalir dan kedalaman tema yang diangkatnya. Dalam lima tahun ke depan, mereka akan ikut menentukan perkembangan sastra Indonesia.

Selain nama-nama itu, cerpenis wanita yang muncul dalam lima tahun terakhir ini, juga tidak dapat diabaikan kontribusinya. Selain Linda Christanty, masih ada deretan cerpenis wanita yang sebenarnya lebih kuat dan matang. Oka Rusmini (Sagra, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu, 2004), Maya Wulan (Membaca Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita (Sihir Perempuan, 2005), Nukila Amal (Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004), Labibah Zain (Addicted to Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam Perkawinan, 2005). Mereka berpeluang mengikuti jejak seniornya, Nh Dini, Titis Basino, Leila S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim atau Abidah el-Khalieqy.

Yang menarik dari karya cerpenis perempuan ini adalah semangatnya melakukan gugatan. Tokoh-tokoh perempuan yang dalam banyak karya para penulis laki-laki kerap menjadi korban dan tersisih, dalam karya para penulis perempuan itu, justru cenderung berada dalam posisi yang sebaliknya. Tokoh laki-laki kerap digambarkan tersisih dan kalah sebagai pecundang di bawah kekuasaan perempuan. Selain itu, mereka juga begitu berani mengangkat perkara seks untuk membungkus pesan ideologi jendernya.
***

Deretan panjang nama-nama lain yang kerap muncul di hari Minggu, patut pula mendapat perhatian. Tentu dengan melihat daya tahan dan konsistensinya mempertahankan kualitas dan kontribusi mereka bagi pemerkayaan khazanah cerpen Indonesia mutakhir. Akhirnya, seperti sinyalemen Budi Darma, dalam keadaan overproduksi, pengamatan cerpen Indonesia mutakhir dengan analisis yang mendalam, tak mungkin dapat dilakukan dalam rentang waktu yang pendek. Kita sekarang ini seperti sedang berhadapan dengan air bah yang bernama cerpen Indonesia kontemporer dan kita hanyut terseret dalam gelombang besar deras arusnya.

*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, Depok.

Apresiasi Semarak, Kritik Sastra Senyap

Darma Putra
http://www.balipost.com/

KEHIDUPAN sastra nasional dan daerah di Bali terus berlanjut sejak dulu. Banyak karya diciptakan, dibaca, dipentaskan dalam bentuk seni pertunjukan seperti sendratari dan wayang, atau ditransformasi dalam bentuk seni rupa atau seni ukir di tembok-tembok. Ada juga novel disajikan lewat film atau sinetron.

Apresiasi sastra berlangsung di masyarakat ketika ada kegiatan ritual, atau di radio dan televisi lewat kidung interaktif, dagang gantal, atau gita shanti. Fakta-fakta ini mengindikasikan kreativitas dan apresiasi seni sastra di Bali berjalan semarak, tetapi ada satu hal yang kurang yaitu absennya kegiatan kritik sastra. Isi dan pesan karya banyak disimak tetapi tidak pernah dikritik sebagai karya sastra. Tulisan kritik sastra jarang dibuat.

Yang dimaksud dengan apresiasi adalah pembacaan atau penikmatan sastra. Pembicaraan isi secara verbal juga termasuk di dalam apresiasi. Sedangkan kritik sastra meliputi kajian atau ulasan secara menyeluruh atas sebuah/sejumlah karya. Tulisan tentang sejarah sastra dan kajian atas fenomena sastra juga termasuk di dalamnya.

Sangat Dinamis

Sesudah kemerdekaan, perkembangan sastra Indonesia sangat dinamis seperti bisa diikuti lewat puisi dan cerpen yang dimuat di majalah Bhakti dan Damai serta Mingguan Harapan. Penulis Windhya Wirawan, Putu Shanti, dan Made Kirtya, dan Tjok Rai Sudharta banyak berkarya tahun 1950-an. Tahun 1960-an, geliat itu kian ramai akibat serunya perseteruan antara seniman yang pro-partai politik PNI dan PKI, atau antara LKN dan Lekra, sayap kanan dan sayap kiri. Koran Suara Indonesia, Suluh Indonesia, atau Suluh Marhaen (nama lama Bali Post) banyak memuat puisi dan cerpen.

Zaman Orde Baru kehidupan sastra berjalan terus, ditandai dengan publikasi karya di surat kabar dan majalah, apresiasi sastra, lomba baca puisi, pentas drama, dan sebagainya. Ada juga teks yang diangkat menjadi sinetron seperti “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” karya Nyoman Rastha Sindhu. Cerpen ini keluar sebagai cerpen terbaik Horison tahun 1969, menorehkan sebuah prestasi nasional penulis Bali.

Media massa memainkan peran sangat besar karena membuka diri untuk mempublikasikan puisi, cerpen, novel atau naskah drama. Sastrawan Bali seperti Oka Rusmini dan Aryantha Soethama berjaya di tingkat nasional. Antologi cerpen Aryantha Soethama berjudul “Mandi Api” berhasil menyabet gelar prestisius Khatulistiwa Literary Award tahun 2006. Sementara itu, sejumlah penyair Bali diundang ke forum baca puisi internasional sampai ke Den Haag, Jerman, atau Paris seperti Warih Wisatsana, Oka Rusmini, Tan Lioe Ie.

Namun, di tengah dinamika kehidupan sastra Indonesia di Bali, yang sangat terasa kurang adalah kegiatan kritik sastra. Apresiasi berjalan baik tetapi kritik sastra hanya satu-dua bahkan nyaris kosong melompong. Kecuali sedikit ulasan berupa resensi buku di koran, kritik sejati sungguh sepi.

Kalau mencari siapakah kritikus sastra Indonesia di Bali, kita mungkin hanya menemukan satu-dua nama seperti almarhum I Made Sukada (dosen Fakultas Sastra Unud) dan I Nyoman Tusthi Eddy (seorang guru SMA di Karangasem). Mereka menulis ulasan sastra di koran, menulis makalah dan menerbitkan buku, itu pun tidak banyak, tidak berpengaruh.

Tanpa kritik sastra memang bisa maju, tetapi dengan kritik kontribusi sastra untuk kehidupan kebudayaan dan pengetahuan humaniora bisa kian lengkap. Sastra tanpa kritik seperti api unggun tanpa angin, tak membara dan tak memberi hangat optimal.

Sastra Bali

Kehidupan sastra Bali tradisional dan sastra Bali modern juga menghadapi kenyataan langkanya kritik sastra. Ulusan sastra umumnya ditulis untuk skripsi atau thesis atau desertasi, di luar itu nyaris tidak ada. Karya sastra tradisional seperti kakawin, kidung, gaguritan banyak dibaca dalam mabebasan, gita shanti, kidung interaktif, di pura, di banjar, di radio, di televisi, tetapi itu semua sebatas apresiasi sastra, yakni mengungkap atau menikmati nilai yang terkandung dalam teks.

Menjamurnya sekaa shanti di seluruh pelosok kota dan desa di Bali membuat apresiasi sastra ttradisional semarak sekali. Di Bali dewasa ini ada sekitar 1430 desa pakraman, jika diasumsikan tiap desa ada 10 banjar dan setiap banjar ada satu sekaa shanti, maka ada seka shanti di sekitar 14.300. Atau, kalau sekaa shanti di kantor swasta, kantor pemerintah, bank, sekolah, kampus, hotel, dihitung, maka jumlah sekaa shanti di Bali bisa mencapai 15.000. Sekaa ini merupakan pilar apresiasi sastra Bali.

Namun, studi atau kajian atau ulasan tentang sastra Bali tradisional sepi sekali. Analisis karya dalam bentuk tulisan kritik atau esai bisa dikatakan kosong. Sastra Bali modern pertama muncul tahun 1910-an berupa cerita pendek yang ditulis Made Pasek (seorang guru dari Singaraja) dan Mas Nitisastro (seorang guru di Bali Utara). Dalam sepuluh tahun terakhir, banyak sekali terbit karya sastra Bali modern, tetapi ulasan terhadap karya yang muncul nyaris tidak ada.

Dalam sejarahnya yang relatif panjang, dunia sastra Bali modern baru memiliki dua-tiga buku tentang objek ini antara lain karya “Mengenal Sastra Bali Modern” (1991) karya Tusthi Eddy dan “Tonggak Baru Sastra Bali Modern” (2000) karya Darma Putra. Namun, masih banyak mutiara terpendam dalam sastra Bali modern yang belum tergali, yang perlu ditambang, atau didulang untuk mendapatkan emas-emas nasihat.

Kalau apresiasi sastra diumpamakan kepompong dan kritik sastra ibarat kupu-kupu, maka dalam kehidupan sastra kepompong jarang sekali yang berubah menjadi kupu-kupu. Apresiasi riuh rendah tetapi kritik sastra sepi-jampi.

Mengapa Senyap?

Mengapa kritik sastra tidak sesemarak penciptaan dan apresiasi sastra? Sunyi senyapnya kritik sastra di Bali atau di Indonesia secara umum karena kehidupan sosial budaya kita berdasarkan sistem budaya Timur yang mengutamakan harmoni dan kerukunan. Tradisi ini kurang kondusif dalam menumbuhkan sikap kritis. Menilai orang lain, apalagi mencela atau mengkritik, adalah hal yang dihindari karena bisa mengganggu kerukunan. Kritik diberikan konotasi negatif.

Dalam budaya Bali terkenal ungkapan “eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin” (jangan menganggap diri bisa, biar orang menilai), sepintas terasa mendorong sikap menilai, tetapi sebetulnya jelas bermakna menyuruh kita diam, tidak banyak bicara, apalagi mengkritik. Ada karya yang merangsang sikap kritis, yaitu Gaguritan Bungkling, yang berisi pikiran kritis terhadap adat dan sistem nilai Bali, tetapi karya seperti ini sedikit sekali jumlahnya alias perkecualian.

Perubahan sosial politik Indonesia dewasa ini yang ditandai dengan kebebasan berekspresi seharusnya mulai menumbuhkan tradisi kritik sastra atau seni yang kuat. Hal ini belum menampakkan hasil menggembirakan buktinya aktivitas kritik sastra masih nyanyi sunyi. Masalahnya mungkin, seperti pernah disampaikan Budi Darma, karena masyarakat kita kurang berfikir analitik, artikulatif, kurang argumentatif, dan kurang formulatif. Kerja kritik sangat membutuhkan sikap analitik, argumentatif, artikulatif dan formulatif.

Bakat menjadi kritikus bisa diasah dengan mulai rajin membaca karya sastra, mengumpulkan dan mengolah informasi, memulai dengan memetakan persoalan dan memformulasikan pemikiran atas materi yang ada atau karya yang dibaca. Kerja kritik memerlukan teori, itu sudah jelas. Namun, perspektif keliru tentang teori banyak membuat orang enggan menulis kritik sastra, padahal teori tidak mesti berupa sesuatu yang canggih, kompleks, abstrak, asing seperti yang umumnya datang dari dunia pemikiran Barat.

Pemakaian teori dalam analisis seni bisa dimulai dengan pendekatan sederhana tetapi ampuh, seperti komparatif, misalnya dengan mengungkapkan persamaan dan perbedaan beberapa teks atau aspek dari beberapa teks yang potensial untuk itu. Patut juga dibiasakan memformulasikan pikiran dengan pola analisis induktif (khusus ke umum) atau deduktif (umum ke khusus). Tantangan kehidupan sastra di Bali adalah mengubah tradisi apresiasi yang kuat menjadi tradisi kritik produktif sehingga kehidupan sastra tidak saja semarak tetapi kian bernilai-guna untuk dunia seni itu sendiri dan ilmu pengetahuan humaniora lainnya.

Kalau penulis diumpamakan api unggun, kritikus adalah angin, yang berhembus setia bukan untuk membunuh api unggun tetapi membuat unggun tetap membara, tetap memberikan semangat kreativitas. Era baru pascareformasi ini, di mana kebebasan berekspresi hampir-hampir tanpa batas, tidak ditekan seperti era Orde Baru, semestinya memberikan iklim baru tumbuhnya sikap kritis dan juga kritik sastra. Semoga!

Abdul Hadi W.M., Belajar dari Kisah Burung Botak

Dewi Sri Utami
http://www.gatra.com/

SEBUAH ruang dosen Universitas Paramadina Mulya, di Gedung Bidakara, kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa sore pekan lalu tampak sesak. Paket-paket dalam kardus besar memenuhi ruangan seluas 6 x 5 meter. Di tepi tumpukan kardus, tampak pria setengah baya sedang duduk sambil membaca buku Hikmah dari Timur, karya Idries Shah.

Pembawaannya sederhana, dan tenang. Jari-jemarinya tak pernah berhenti memainkan batang rokok yang sesekali diisapnya. Setiap kali habis, ia sambung dengan menyulut batang rokok berikutnya.

Abdul Hadi Wiji Muthari, penyair yang pernah menobatkan dirinya sebagai wakil presiden penyair Indonesia itu, hanya tersenyum sejenak ketika diminta bercerita tentang kiprahnya sebagai penyair. ”Ah, itu masa lalu saya yang tak perlu digembar-gemborkan lagi,” katanya merendah.

Lebih dari 10 tahun memang, Abdul Hadi WM –demikian nama populernya– sudah tak aktif membaca dan menulis puisi. Saat ini, ia lebih banyak berkutat dengan buku-buku yang berhubungan dengan sastra, agama, dan juga penelitian. Abdul Hadi telah mengabdikan dirinya sebagai dosen di beberapa universitas, termasuk Paramadina Mulya. Di sini ia mengajar mata kuliah falsafah dan agama serta ilmu agama Islam.

”Sepulang dari Malaysia, 1997, saya terjun di dunia akademisi dan jadi ilmuwan,” katanya. Pilihan tersebut merupakan putusan yang cukup berat bagi pria kelahiran Sumenep, Madura, 24 Juni, 55 lima tahun lalu ini. ”Saya salut pada teman-teman yang punya naluri seni kuat, hidup dalam tradisi dan kreativitas,” katanya.

Menurut pengakuannya, menulis puisi makin hari justru kian sulit. ”Kalau nggak penting-penting amat, saya males nulis puisi,” kata peraih Hadiah Sastra untuk Puisi Terbaik majalah Horison pada 1969 ini. Setiap ada ide dan pemikiran di benaknya untuk membuat puisi, selalu saja didahului penyair lain. Abdul Hadi enggan menulis puisi dengan tema sama. ”Sekarang makin sulit mencari tema yang spesifik,” ia menambahkan. Sebab, setiap sudut kehidupan sudah tersoroti oleh karya penyair lain.

Abdul Hadi tak pernah menyesali putusannya, karena pilihan jalur yang diambilnya punya manfaat lebih. ”Dampaknya, lebih banyak waktu untuk membaca dan tak tenggelam dalam dunia penulisan,” katanya. Tak mengherankan jika hampir setiap tahun ia menulis buku sastra bernapaskan Islam.

Di dunia sastra, Abdul Hadi cukup dikenal sebagai salah satu pendukung kebangkitan sastra yang memperhatikan dunia Islam pada awal 1970-an, bersama sastrawan lain, seperti Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, dan Danarto. Dan pada 1980-an, secara terbuka ia sudah menganjurkan tentang sastra bercorak sufi atau transendental.

Sufi dinilainya sebagai kekayaan khazanah sastra yang merupakan warisan sangat berharga dalam sastra Melayu di zaman Islam. ”Kalau tak dipelihara dan dikembangkan, akan lenyap dari sejarah,” ujarnya. Dalam pandangannya, sastra sufi punya peran ganda: sebagai pembangkit kesusastraan serta sebagai jembatan antara tradisi dan kehidupan masyarakat kosmopolitan.

Abdul Hadi mengaku telah menemukan pencerahan lewat ajaran sastra sufi. ”Hidup beragama saya tidak kering, dan saya menemukan diri saya yang hilang,” katanya. Hidupnya terasa menjadi lebih berwarna, ketika kehidupan beragamanya didukung dengan membaca sastra, dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. ”Karya sastra sufi tidak hanya mengungkap masalah kerohanian atau cinta transendental,” tuturnya.

Banyak hal yang bisa diambil, karena beberapa karya sastra sufi mengandung kritik sosial, serta memberikan contoh kehidupan individu dan masyarakat. Kisah burung beo yang dicukur gundul dalam Matsnawi, karya Rumi, merupakan salah satu cerita yang disukainya. Ceritanya sebagai berikut:

Diceritakan seorang pedagang memiliki burung beo yang pandai bicara. Suatu hari tuannya pergi untuk salat lohor. Burung itu disuruh menjagai kedai. Karena merasa bebas, si burung bermain sesuka hati dan menumpahkan botol minyak goreng hingga pecah. Sebagai ganjaran, kepala burung beo dicukur sampai gundul. Keesokan harinya, si beo melihat profesor botak melintas di depan kedai majikannya. Merasa menemukan teman senasib, burung beo berteriak, ”Hai Kawan Gundul, mengapa kepala tuan botak? Apakah tuan menumpahkan minyak goreng seperti saya?”

Penggalan cerita itu, menurut Abdul Hadi, menggambarkan sikap orang yang suka meniru orang lain, tanpa tahu inti persoalannya. ”Seperti orang sekarang yang selalu melihat ilmu dari segi lahirnya semata-mata,” katanya.

Pandangan, tafsiran, dan penyikapan terhadap sastra sufi telah mengantarkan Abdul Hadi sebagai sastrawan sufi yang intens di jalurnya. Ia pun mulai mengulas sastra sufi asli Indonesia, seperti pemikiran Hamzah Fansuri dan Sunan Bonang. Saking bangganya pada karya sastra Indonesia asli, Abdul Hadi mengangkat pemikiran Hamzah Fansuri sebagai tesis S-3-nya di Universiti Sains Malaysia.

Keseriusan Abdul Hadi mendalami dunia sastra sudah dilakoni sejak usia belia. Sulung dari empat bersaudara pasangan K. Abu Muthar dan R.A. Martiya ini sering mendengarkan saat kakeknya membaca macapat, suluk, atau hikayat Nabi Muhammad. ”Saya mulai mengikuti dengan membaca buku-buku Al-Ghazali,” ujarnya.

Di samping menggeluti sastra, darah seni sang ayah juga menurun padanya. Ayahnya –saudagar yang sering berdagang emas– biasa menghabiskan waktu dengan melukis, bermain musik, dan nanggap wayang di rumah, usai berniaga di beberapa kota di Pulau Jawa. ”Pendalaman seni dan budaya saya makin bertambah sejak mengikuti kegiatan Ayah,” katanya.

Sayangnya, bakat dagang pria keturunan Cina ini kurang begitu menonjol dibandingkan dengan saudara-saudaranya. ”Seni dan sastra sudah menjadi jalan saya,” kata peraih Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1979 itu.

Sebagai konsekuensi, sepanjang hidupnya diwarnai segala hal yang berhubungan dengan sastra. Menulis puisi dan buku sastra, mengikuti berbagai seminar sastra sebagai pembicara, dan sesekali menjadi partisipan festival puisi internasional.

Selama mendalami sastra, lulusan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini merasakan ketertinggalan dunia sastra di Indonesia. Terlebih ketika ia menimba ilmu di Pusat Pengkajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia, selama empat tahun (1992-1996). ”Saya begitu kagum melihat anak SD terbiasa baca-tulis karya sastra,” tuturnya.

Dari sanalah ia merasa perlu melakukan pembenahan pengajaran sastra di sekolah. Pendidikan sastra di Indonesia dinilai sangat minim. ”Selama ini, siswa hanya hafal nama pengarang dan judul bukunya, tanpa memahami isinya,” katanya. Pengajaran sastra tentang kajian teks lama dan baru, menurut dia, harus diperbarui.

Demikian halnya pemupukan jurusan bahasa harus dimulai sejak anak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sebagai pendorong, ia berharap, beasiswa untuk bidang sastra diperbanyak.

Dalam pandangannya, sastra di Indonesia masih dalam tahap teori, bukan pada tahap penafsiran. Akibatnya, sastra Indonesia tidak berkembang. Sebaliknya, jika banyak penafsir, katanya, perkembangan sastra akan mendukung kemajuan perekonomian bangsa. ”Ibaratnya, kita bisa jual karya sastra dan seni khas sendiri, tanpa harus mencontek negara lain,” ia menjelaskan.

Dalam kehidupan keluarga, ayah dari Gayatri Wedotami, 22 tahun, Dian Kuswandini, 18 tahun, dan Ayusha Ayutthaya, 16 tahun, ini tak pernah memaksa ketiga putrinya mengikuti jejaknya di dunia sastra. ”Biar mereka memilih jalur sendiri,” kata pria yang masih aktif di Lembaga Sensor Film ini.

Tapi, urusan kebiasaan membaca sudah diterapkan sejak putrinya masih duduk di taman kanak-kanak. ”Saya beri mereka bahan bacaan segala macam,” katanya. Di rumahnya, Vila Mahkota Pesona, Jatiasih, Bogor, tersimpan ratusan koleksi buku karya sastra yang ia jadikan bahan acuan.

Istrinya, Tedjawati, 50 tahun, juga mempunyai minat di dunia seni. ”Bedanya, istri saya lebih suka melukis,” kata Ketua Dewan Kurator Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal ini. Satu hal yang masih menjadi obsesi Abdul Hadi adalah menjadikan karya sastra sebagai komoditas. Seperti Prancis yang bisa menjual situs seni dan sastra sebagai komoditas wisatanya.

[Gatra Nomor 41 Beredar 27 Agustus 2001]

Jejak Religius dalam Perpuisian Indonesia

Lukman Asya
http://www.infoanda.com/

Dalam konteks tulisan ini religiositas dimaknai sebagai religious feeling or sentiment atau perasaan keagamaan. Religiusitas berarti termanifestasikannya suatu keyakinan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia; adanya suatu penyerahan diri, ketundukan dan ketaatan (Atmosuwito, 1989). Rohaniwan Muji Sutrisno mengartikan religiusitas sebagai intinya inti agama. Mangunwijaya (1982) memahami religiusitas lebih pada getaran hati nurani.

Religiusitas dalam sastra Indonesia selalu hadir dalam konteks wacana (pembacaan maupun penciptaan) sekularisme dan materialisme yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai spiritualitasnya. Penghayatan yang intens terhadap Tuhan, menyoal aspek-aspek personalitas kebaktian makhluk kepada Tuhan, sedu-sedannya di dalam suatu karya bukan hanya karena alasan untuk memperoleh pengetahuan tentang religiositas an sich, melainkan juga karena secara pragmatis sebagai suatu gerakan mencari dimensi yang hilang dari religi. Religiositas, menurut Rumi, merupakan suatu yang dapat digunakan sebagai sarana pembinaan dan pendewasaan mental manusia.

Kemunculan karya sastra, baik prosa maupun puisi, yang berlandaskan religiusitas mengesankan kehadiran suatu genre sastra yang khas yang dianggap dekat dengan sastra falsafi. Sastra falsafi berbicara tentang esensi hidup dan kehidupan dan persoalan kemanusiaan seperti dalam tulisan Dostoyevsky, Rimbaud, Tolstoy, Kafka, Sartre atau Camus.

Sastra religius menampakkan pandangan yang lebih jernih dan transenden dibanding sastra falsafi. Ini dapat dilihat pada karya-karya Dante Alighieri dalam Divina Comedia, dan Johann Wolfgang van Goethe dalam Faust. Begitu juga karya-karya Muhammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, Hamzah Fansuri, dan Raja Ali Haji.

Dalam khasanah sastra Indonesia, spirit religius yang kental juga dapat dilihat pada karya-karya Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, A Mustofa Bisri, Emha Ainun Nadjib, Jamal D Rahman, Rukmi Wisnu Wardhani, dan Din M Yanwari.

Hamzah Fansuri adalah seorang pujangga Melayu-Islam di zaman kegemilangan kerajaan Acheh. Lahir di Barus dan terkenal sebagai penyair dan ahli suluk yang hidup dalam abad ke-16. Dalam bidang ilmu agama, Hamzah Fansuri mengembangkan ajaran-ajarannya dengan dibantu oleh Syamsuddin al-Sumaterani.

Penyair sufi ini banyak memberikan sumbangan besar bagi khazanah perpuisian. Hamzah Fansuri adalah pembuka jalan sastra-sastra kitab yang mengedepankan unsur religiusitas. Bahkan, beberapa kalangan menempatkannya sebagai ‘bapak puisi Indonesia’. Karya-karyanya secara alegoris mengandung kias-ibarat yang merujuk kepada Martabat Tujuh, mendedahkan keteladanan kemanusiaan di depan sang khalik.

Menurut Abdul Hadi WM, Hamzah Fansuri merupakan pencipta ’syair Melayu’ yang bercirikan puisi empat baris dengan pola sajak akhir a-a-a-a. Bakatnya sebagai sastrawan besar tampak dalam kesanggupan kreatifnya merombak bahasa lama menjadi bahasa baru dengan cara memasukkan ratusan kata Arab, istilah konseptual dari Alquran dan falsafah Islam. Ia juga membuat sintesis antara puisi-puisi Arab Parsi dengan puisi-puisi tradisi Melayu. Bahasa Melayu lantas tampil sebagai bahasa intelektual yang dihormati, sebab dapat menampung gagasan baru yang diperlukan pada zaman itu.

Peranan penting Hamzah Fansuri bukan saja karena gagasan tasawufnya, tetapi puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya. Karya penting Hamzah Fansuri adalah Zinat Al-Wahidin yang ditulis pada akhir abad ke-16 ketika perdebatan sengit tentang paham wahdat al-wujud sedang berlangsung dengan tegang di Sumatera.

Prof Madya Hadijah Rahmat, dari Institut Pendidikan di Universiti Teknologi Nanyang, menulis bahwa Hamzah Fansuri mempunyai sifat berani bersuara dengan bersandarkan keyakinan ilmu, sehingga dikenal sebagai seorang pelopor dan pembaru melalui Syair Perahu, Syair Burung Pungguk, Syair Dagang, Syair Sidang Fakir dan Syair Burung Pingai.
Ia banyak mengeritik perilaku politik dan moral raja-raja, bangsawan, dan kaum kaya.

Pada hakekatnya yang ditekankan Hamzah Fansuri melalui karya-karyanya adalah bagaimana manusia hadir mencapai maqom kesempurnaan yakni apabila tidak menafikan aspek rohaniah dan batiniah. Manusia sebagai makhluk religi perlu berusaha meningkatkan martabat kerohanian, ilmu pengetahuan dan amalannya. Puncak seorang manusia yakni ketika dia tidak saja mengenal dirinya tetapi juga dapat mengenal siapa Tuhannya yang akhirnya mencapai ekstase: penyatuan antara manusia dengan Tuhan.

Penyair A Mustofa Bisri (Gus Mus) juga dikenal sebagai politisi dan kiai. Pengasuh Pondok Pesantren ’salafiah’ Raudatut Thalibin, Rembang, ini termasuk seorang manusia yang multi talent. Karya-karyanya berupa puisi dan cerpen telah dibukukan dalam beberapa antologi. Ia memiliki komitmen sosial dan religius yang sangat kuat. Konsep hidupnya mengedepankan ruh ketimbang ‘daging’ terekspresikan dalam antologi puisinya Negeri Daging (Bentang Budaya, 2002). Buku itu memantapkan sosok dirinya sebagai penyair yang terlibat dengan masalah-masalah sosial, politik dan budaya.

Gus Mus mengingatkan semua orang untuk meyakini nilai ruhiah dan spiritualitas dalam kehidupan, sebagaimana tergambar dalam puisi Negeri Daging berikut ini:

di negeri daging
setiap hari banyak orang
asyik memperagakan daging
setiap hari banyak orang
hilir-mudik menjajakan daging
di negeri daging
setiap hari banyak orang mati
memperebutkan daging
di negeri daging
jagal-jagal berkeliaran
daging-daging berserakan

Dari kalangan yang lebih muda pasca-Abdul Hadi WM dan Emha Ainun Nadjib ada nama Ahmadun Yosi Herfanda, dengan buku kumpulan sajak terbarunya, Ciuman Pertama untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2003), yang sedikit berbeda dengan beberapa antologi sebelumnya. Dalam Sembahyang Rumputan dan Fragmen-fragmen Kekalahan, ekspresi estetik sang penyair lebih mengedepankan kritik sosial dalam kerangka religiusitas atau meminjam terminologi Ahmadun sendiri sebagai karya sastra religius yang sosialistik.

Sedangkan dalam Ciuman Pertama untuk Tuhan Ahmadun lebih memperlihatkan “mabuk asyik” sang makhluk dengan Tuhannya. Puisi-puisi yang termuat di dalamnya ditaburi nama-nama sufi semisal Rabiah, Hallaj, Rumi dan lain-lain yang tentu saja ada tendensi positif tertentu dan tidak sekedar menyebut nama tetapi secara intertekstual membawa dan menghubungkan konteks kekinian yang dibangun si penyair dengan khazanah tasawuf di masa silam, minimal spiritualitasnya. Misalnya pada puisi Ciuman Pertama untuk Tuhan berikut ini:

merendahkan hati di bawah telapak kaki dalam tahajud paling putih dan sunyi, akhirnya sampai juga aku mencium tuhan, mungkin kaki atau telapak tangannya — tapi aku ingin mengecup dahinya duhai, hangatnya sampai ke ulu jiwa

inilah ciuman pertamaku, setelah berabad-abad gagal meraihnya dengan beribu rakaat dan dahaga tiada kecerdasan kata-kata yang bisa menjangkaunya tak juga doa dalam tipu daya air mata — duhai kekasih raihlah hatiku dalam hangatnya cinta

Begitu pula pada puisi-puisi lainnya, seperti Membaca Rumi, Solilokui, dan Syeh Siti Jenar, yang secara hermenetis membawa si aku lirik pada etos religiusitas yang khusuk dalam suluk kerinduannya: meneguhkan tradisi sufistik sebagai ittiba’ yang dia pertaruhkan.

Penyair-penyair lain yang lebih muda dan karya-karyanya kental religiusitas adalah Rukmi Wisnu Wardhani dan Din M Yanwari. Nama yang terakhir itu adalah sosok penyair muda dari Bandung yang belum terkenal tetapi puisi-puisinya secara religiusitas cukup berpengharapan di belantika perpuisian Indonesia. Beberapa puisinya sempat dimuat di Galamedia, Pikiran Rakyat dan majalah Syir’ah. Antologi puisi tunggalnya, Arasy Imaji diterbitkan oleh Pustaka ADeDi, 2005.

Membaca puisi-puisi Din M Yanwari dalam antologi puisi tersebut kita dapat menemukan peristiwa nyata yang seakan hadir sebagai suatu perjalanan kemakhlukan yang menghanyutkan perasaan: meditasi batiniah. Seolah-olah puisi adalah pita kaset yang memutar kembali pengalaman-pengalaman keagamaan. Gambaran nyata suasana si aku lirik (penyair) itu secara sederhana terekspresikan dalam puisi puisi Dalam Yasin berikut ini:

Dalam gerimis
yasin-yasin melepas tiga rakaat senja
memancang tiga prasasti doa

Terpancang prasasti pertama:
“Ya Allah, panjangkan usiaku
sepanjang liku-liku jalan-Mu.”

Tertanam prasasti kedua:
“Ya Allah, limpahkan rizkiku
semelimpah ayat-ayat-Mu.”

Tertancap prasasti ketiga:
“Ya Allah, teguhkan imanku
seteguh ulul azmi-Mu.”

Dalam puisi di atas tergambar sebuah kepasrahan, ketakziman dan keajrihan sekaligus penjarakan. Ada jarak yang coba diciptakan si penyair guna menegaskan dirinya benar-benar “tukang kebun” di lahan milik “tuan” Tuhan. Ya, si penyair cuma hamba yang biasa dengan kendaraan kata-kata yang biasa. Tetapi dari itulah kian tegas secara posisioning siapa hamba siapa Mu (dalam M besar). Si hamba adalah seseorang yang sedang melakukan kerja-kerja kecil dalam laku estetiknya berusaha konsisten di jagat konvensi kata dan religiusitas.

Bahasa yang sederhana pada sebagian besar puisi-puisi dalam antologi Arasy Imaji tersebut digunakan penyair sebagai medium untuk meyakinkan dirinya cuma hamba dengan seribu keluh dan sedu sebagai si ‘tolol’ yang berlayar dengan perahu puisinya di tengah lautan ilmu Allah yang maha luas.

*) Penyair dan penyiar radio.

Abdul Hadi W.M., Seni Itu Kendaraan Naik

Abdul Hadi W.M., Kurniawan / Wawancara
http://www.ruangbaca.com/

Kesenian, bagi kaum sufi, adalah representasi simbolik dari pengalaman kerohaniannya. Demikian pandangan Abdul Hadi W. M. (Wiji Muthari), sastrawan kelahiran Sumenep, Madura pada 24 Juni 1946. Dia mulai menekuni sastra sufi sejak kuliah di Fakultas Sastra dan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada. Bahkan, saat meraih gelar Ph.D di Universiti Sains Malaysia dia menulis disertasi yang diterbitkan sebagai Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri

Sebagai sastrawan, dia menulis sajak-sajak ketuhanan. Salah satu yang terkenal seperti “Tuhan, Kita Begitu Dekat”: Tuhan,/Kita begitu dekat/Sebagai api dengan panas/Aku panas dalam apimu/… Tuhan,/Kita begitu dekat/Seperti kain dengan kapas/aku kapas dalam kainmu.

Dia juga menulis banyak buku tentang sastra sufi dan kebudayaan Islam, di antaranya Rumi, Sufi dan Penyair, Sastra Sufi, Sebuah Antologi, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, dan Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya.

Untuk mengetahui seberapa jauh Rumi mempengaruhi sastra dan kebudayaan Indonesia, wartawan Tempo Kurniawan dan fotografer Dimas Adityo menemui Abdul Hadi di ruang kerjanya di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pada Senin, 13 Agustus lalu. Berikut ini petikannya.

Pak Abdul Hadi, sejak kapan dunia kesastraan Indonesia dipengaruhi oleh karya sastra Jalaluddin Rumi?

Dalam sejarah kesasatraan Melayu, pengaruh sastra sufi Rumi telah muncul sejak abad ke-15. Salah seorang tokoh yang banyak mendapatkan pengaruh, artinya berinteraksi dengan pemikiran Rumi, itu adalah Sunan Bonang, satu dari para wali yang menyebarkan agama Islam di Nusantara.

Apakah wali-wali lain tidak?

Masalahnya warisan teks yang tersedia sejauh ini baru dari Sunan Bonang. Sedangkan teks dari para wali lain tak ada atau sukar mencarinya. Dalam buku saya, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, saya telah menguraikan tentang Sunan Bonang, hubungannya dengan Rumi, gagasan cinta Rumi dan lainnya.

Bagaimana awal perjumpaannya dengan Rumi?

Pada akhir abad ke-15 Sunan Bonang pergi ke Samudera Pasai melalui Malaka bersama Sunan Giri. Dia belajar pada guru yang namanya Syekh Bari. Ini dia abadikan dalam bukunya Pitutur Seh Bari, yang kemudian diterjemahkan dan disunting oleh GWJ Drewes sebagai The Admonition of Seh Bari pada 1967. Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan di situ dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali dan Rumi.

Salah satu pengaruh Rumi yang paling jelas terahdap Sunan Bonang adalah, pertama, ajaran cinta. Kemudian, menerjemahkan asketisme itu dengan kesalehan sosial, di mana aktivitas sosial sangat diutamakan sebagai padanan dari zikir. Lalu, estetika. Pemikiran Rumi tentang seni sangat berpengaruh terhadap Sunan Bonang.

Bisa Anda uraikan konsep seni bagi Rumi?

Rumi berpikir bahwa karya sastra atau seni itu simbolisasi, representasi simbolik dari ide dan pengalaman kerohanian. Pengalaman kerohanian yang paling tinggi adalah tafakur, semacam kontemplasi untuk mencapai kesatuan mistik dengan Tuhan.

Karena sebagai simbol, karya seni itu seakan sebagai jalan naik atau kendaraan naik dari pengalaman empiris ke pengalaman kerohanian.

Konsep ini, contohnya, terlihat dalam komposisi gamelan yang dibuat Sunan Bonang, Gending Dharma, yang berpengaruh terhadap gamelan Jawa kini. Konsepnya konsentrik. Nada-nada, semua bunyi gamelan itu, membawa suasana terpusat ke alam transenden.

Apa bedanya dengan gamelan lain?

Gamelan Sunan Bonang agak berbeda, misalnya, dengan gamelan Hindu. Gamelan jaman Hindu itu digunakan untuk drama, pemujaan kepada dewa-dewa, sehingga eksotik sifatnya, seperti pada gamelan Bali. Gamelan Sunan Bonang bersifat konsentrik. Kedua jenis gamelan ini membawa perubahan pada gamelan Jawa, yang merupakan campuran dari estetika sufi dan estetika tantriisme Hindu.

Adakah bentuk modern dari gamelan Sunan Bonang ini?

Itu gending Kebo Giro (yang biasa mengiringi prosesi perkawinan adat Jawa). Gending itu sangat kontemplatif sekali. Juga tembang Lir-ilir, lir-ilir (yang konon ciptaan Sunan Kalijaga). [Abdul Hadi sejenak menembangkannya: Lir-ilir, lir-ilir/tandure wus sumilir/Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar....] Nah, itu kan jaman Sunan Bonang dan Kalijaga.

Bagaimana dengan sastranya?

Pengaruh Rumi dan ajaran tasawuf paling banyak ditemukan dalam teks-teks suluk karya Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Keduanya adalah yang paling terpelajar dalam hal sastra sufi di antara para wali. Di Jawa suluk adalah karangan bercorak tasawuf yang disampaikan dalam bentuk tembang. Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal adalah Suluk Wujil.

Dari mana saja sumber ajaran tasawuf mereka?

Setidak-tidaknya ada lima tokoh tasawuf yang populer di Nusantara pada abad-abad itu. Yang pertama, Imam Ghazali, lewat ajaran etikanya. Kedua, falsafah metafisik tentang wujud dari Ibn Arabi. Kemudian, Abdul Karim al-Jili tentang ajaran insan kamil. Tapi, dari segi seni atau sastra, yang banyak memberikan pengaruh adalah Fariduddin Attar dan Jalaluddin Rumi. Ini terbukti dari banyaknya terjemahan dari karya-karya penyair Persia seperti Attar dan Rumi.

Jejak mereka juga tampak dari pemakaian simbol burung, yang banyak dipakai dalam motif seni ukir. Itu kan bermula dari karya Attar yang disadur ke dalam bahasa Melayu menjadi, Hikayat Burung Pingai, yang kemudian dipopulerkan lagi oleh Hamzah Fansuri dengan sajak-sajaknya tentang burung. Di situ burung menjadi simbol jiwa manusia yang merindukan Tuhan. Burung sebagai simbol itu terutama burung simugh atau pingai atau phoenix.

Kalau jejak Rumi?

Bagian pertama dari Matsnawi karya Rumi, “Muqadimah”, itu berisi lagu seruling bambu yang terpisah dari asal-usulnya. Nah, hikayat-hikayat Pasai kemudian mengambilnya, bahwa asal-usul atau nenek moyang mereka berasal dari pokok bambu. Ini muncul juga dalam cerita dongeng di tanah Batak.

Dari lagu serulingnya Rumi ini pula lahir istilah “buluh perindu”. Di situ seruling, serunai, atau saluang menjadi peralatan paling penting dalam kesenian dan kebudayaan. Sebelumnya, alat musik semacam ini tak dipakai, misalkan dalam gamelan Hindu.

Bagi Hamzah Fansuri, apakah dia mendapat pengaruh juga dari Rumi?

Ya, tapi tidak langsung karena abadnya sudah berbeda. Tetapi jelas bahwa dari segi estetik karya-karya Fansuri banyak dipengaruhi, terutama, oleh Fariduddin Attar. Paling jelas dari Attar, tapi itu dekat sekali dengan Rumi, karena Attar itu sambungannya dengan Rumi. Sedangkan dari pemikiran filsafatnya, baru Fansuri dipengaruhi Ibnu Arabi.

Apa hubungan Attar dan Rumi?

Attar itu guru spiritualnya Rumi, pendahulunya Rumi. Rumi melanjutkannya. Ini merupakan tradisi para sufi, karena mereka tak berpretensi sebagai pembaharu seperti penyair modern sekarang. Yang penting bagi dia (sufi), karyanya merupakan pengalaman pribadi, yang dialaminya dan dihayatinya. Cukup itu saja sudah orisinal bagi mereka. Apakah hal itu sudah dikatakan sebelumnya atau tidak, itu bukan soal bagi mereka. Sekarang saja kita orang rewel tentang orisinalitas semacam ini, kan?

Seperti cerita rakyat, misalnya. Mereka (para sufi) lontarkan kembali dalam bentuk yang sesuai dengan sifat karya sastra sebagai bentuk simbolik. Sehingga mereka memakai cerita rakyat yang sudah berkembang, seperti kisah Laila Majnun dan sebagainya. Juga kisah-kisah binatang, sejarah, dan ada juga yang diambil dari Al-Quran. Cuma dia olah dengan cara dia sendiri. Jadi, bukan soal temanya yang penting. Tema itu bisa sama saja. Justru dengan mengolahnya menjadi baru, dia memberi dimensi-dimensi baru, dimensi estetik, pengalaman, dan sosial pada cerita lama itu.

Bagaimana dengan karya sastra Indonesia modern, seperti Amir Hamzah dan sesudahnya?

Ya, jelas sekali pengaruhnya. Namun, sebelum Amir Hamzah, yang ada pengaruh Ruminya adalah pada Sanusi Pane. Sedangkan Amir jelas sekali terpengaruh secara langsung maupun tidak. Amir kan pernah menerjemahkan Rumi dalam Setanggi Timur. Dan, Rumi sangat dikenal pada masa itu oleh penyair-penyair romantik Indonesia. Sedangkan puisi Rumi itu memang sesuai dengan jiwa romantik. Kalau dalam sastra kontermporer tinggal lihat saja pengaruhnya pada, misalnya, Danarto dan Sutardji Calzoum Bachri.

Bagaimana Anda menilai keterpengaruhan itu?

Saya melihat dari dua hal saja. Pertama, estetik, bahwa karya sastra itu simbol, idealisasi dari realitas yang dialami penyair, jadi bukan langsung diambil dari realitas. Pengalaman diolah oleh imajinasi, lalu dijadikan simbol untuk menceritakan sesuatu yang lain, baik pengalaman kehidupan maupun kritik sosial.

Hal ini lain dengan karya sastra yang coraknya imitasi, peniruan terhadap realitas, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Di sini pengalaman diidealisasi dengan kerangka historis, pertentangan kelas, dan sebagainya.

Nah, sastra sufi itu betul-betul simbol. Di dalam tradisi Timur, termasuk dalam tradisi Islam, seni murni itu demikian, bersifat simbolik. Dia disebut seni murni karena karya itu tidak punya kepentingan politik, tidak ada kepentingan duniawi. Dia semata-mata kerohanian, spiritualitas.

Ini lain dengan corak yang kedua, seni dinamik. Seni ini mempersoalkan masalah sosial, keduniaan. Hanya saja, tradisi Barat tak mengenal seni murni, karena sudah sekuler. Sedangkan dalam tradisi Timur, mulai dari jaman Jawa Hindu, seni murni sudah digarap, tapi seni sosial juga digarap.

Kala itu pengarang bisa kedua-duanya. Tapi, kalau dia mengarang seni murni, pasti simbolik. Karena, yang abstrak, yakni pengalaman spiritual, itu tak bisa ditiru. Jadi dia harus disimbolkan dengan hal-hal yang kongkret. Misalkan pada pepatah “tak ada rotan akar pun jadi”. Nah, yang dibicarakan kan bukan rotan, bukan pula akar yang kongkret, kan?

Dari segi bentuk, apakah sastra sufi lebih cenderung memilih puisi ketimbang prosa?

Puisi atau prosa-puisi. Karena prosa itu kan baru berkembang kemudian setelah orang lebih banyak dekat pada pemikiran diskursif. Bahasa diskursif itu tidak dapat mewadahi hal ini, kecuali distilisasikan, gayanya jadi puitik. La Divina Comedia karya Dante itu kan simbolik.

Hal ini berbeda dengan novel modern. Novel modern itu setelah realisme. Baik realisme maupun romantisme di dunia modern itu merupakan reaksi terhadap saintisme, pemikiran yang selalu mengandalkan akal. Romantisme mengedepankan kebebasan individual dengan imajinasi, sedangkan realisme dengan menceritakan yang buruk-buruk dalam masyarakat.

Apakah realisme itu mempengaruhi sastra Indonesia?

Setelah Sanusi Pane, kita didominasi oleh aliran-aliran dari Barat itu, seolah-olah aliran dari Timur itu sudah kuno. Nah, yang Timur ini baru diangkat kembali pada 1970-an oleh Kuntowijoyo, Danarto, Fudoli Zaini. Yang diangkat itu estetikanya, jadi tidak mesti sama karyanya dengan mereka (aliran dari Timur). Kebaruan mereka jutru karena mereka bisa mengelola sesuatu yang berbeda dengan sastra klasik dan dengan sastra pada zamannya.

Dalam novel-novel sebelum Danarto kan nggak mungkin awan, bekicot, kodok, jadi tokoh novel. Tapi, dalam Mahabharata, dongeng-dongeng, hal itu ada. Danarto justru mengangkatnya lagi, tapi dengan cara yang baru, konteks baru, relevansi baru. Bahkan ayat-ayat Al-Quran dijadikan tokohnya.

[Di salah satu artikelnya Abdul Hadi menyebut sejumlah karya bercorak sufistik dan sosial-keagamaan seperti karya Kuntowijoyo (novel Khotbah di atas Bukit, antologi puisi Suluk Awang Uwung dan kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga), Danarto (kumpulan cerpen Adam Makrifat dan Berhala serta novel Asmaraloka), dan M. Fudoli Zaini (kumpulan cerpen Arafah dan Batu-batu Setan)]

Apakah generasi berikutnya Anda masih melihat pengaruhnya?

Dalam prosa memang jarang sekali, tapi dalam puisi banyak sekali pengaruh gerakan sufistik ini. Tapi, suatu gerakan itu kan tidak selalu harus berkembang terus. Dia kadang harus mengendap dulu, lalu suatu ketika muncul lagi.

Kalau Sutardji?

Ya, dia memang terpukau (pada sastra sufi) setelah kebuntuan pengalaman nihilismenya itu. Misalnya lewat sajak Orangnya Tuhan karya Rumi. Sajak itu jelas berpengaruh pada Sutardji sejak awal masa kepenyairannya. Jadi, pengaruhnya sudah ada waktu itu tapi dia belum bisa mencernanya, kecuali pada masa akhir kepenyairannya.

Dalam acara di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu lalu saya telah menyampaikan bahwa Sutardji itu melalui tiga fase. Pertama, sajak mantera. Saya analisa di situ dia dipengaruhi samanisme, tapi samanisme itu juga sebetulnya mistik. Kedua, nihilis, gayanya kok seperti Nietszche. Kemudian, ke sufi.

Selanjutnya, bagaimana perkembangan sastra sufi?

Memang sejak munculnya Angkatan 45 sampai awal 1960-an, pengaruh sufi itu surut karena hingar bingar realisme, realisme sosial, eksistensialisme, dan segala macam. Tapi kok berbenih lagi pada karya pasca-1966, pada 1970-an pada karya Danarto dan lainnya. Jadi ini tampak sebagai reaksi terhadap realisme, entah realisme formal atau sosial, dalam penulisan sastra dari segi estetik, ditambah lagi kecintaan mereka (para sastrawan) yang mendapat ilham dari tradisi.

Tapi kan pada Chairil punya sajak “Doa”, Tuhanku/di pintuMu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling?

Ya, itu kan remang-remang. Nafas keagamaan memang muncul pada karya-karya tahun 1950-an itu, seperti pada Taufik Ismail, AA Navis, dan lainnya. Tapi, di situ agama pada level legalistik-formal, dalam pengertian dengan adat, dengan pergaulan, tingkah laku masyarakat, ahlak. Sedangkan agama sebagai penghayatan spiritual baru muncul pasca-1966.

Apakah ada konteks sosial tertentu yang mendorong mereka demikian?

Saya tidak tahu mereka. Tapi, dari segi saya, pada waktu itu mulai populer lagi kecenderungan untuk melihat dan membaca karya-karya Asia. Salah satunya buku yang dibaca adalah The Treasure of Asian Litterature (1956). [Abdul Hadi mengambil buku itu dari rak di belakangnya dan memperlihatkan isinya]. Isinya nukilan-nukilan karya berbagai pengaran Asia, tapi penting bagi orang yang belajar sastra. Saya membelinya tahun 1970-an.

Buku ini populer setelah tahun 1966, dibaca oleh penyair-penyair Yogyakarta waktu itu. Di buku itu ada karya Rumi, ada Rubaiyat Omar Khayam. Jadi, mereka bersentuhan dengan ini. Kami yang masih muda-muda waktu, itu, masih 20-an tahun usianya, melihat bahwa ternyata sastra Timur itu kaya, bukan hanya karya sastra Barat. Banyak lagi buku-buku semacam ini yang populer.

Sutardji kan membaca Orangnya Tuhan (The Man of God) karya Rumi kan di situ. Bahkan mereka menerjemahkannya. Sapardi, misalnya, menerjemahkan Shakuntala. Saya sendiri menerjemahkan Rubaiyat Omar Khayam.

Bagaimana dengan latar belakang para sastrawan itu?

Ini memang kebetulan. Kuntowijoyo ini kan mahasiswa jurusan sejarah, yang pasti mempelajari kebudayaan dan kesusasteraan Indonesia. Danarto juga memang lahir dari keluarga kebatinan dan menyukai tasawuf. Fudoli Zaini juga begitu, lahir dari keluarga pesantren, orang Nahdlatul Ulama tulen yang banyak mempelajari tasawufnya Al-Gazali dan lainnya, apalagi ditambah dengan mempelajari sastra Arab di Kairo, Mesir. Kemudian Sutardji sendiri dari tradisi sastra Melayunya pasti membawa itu. Kalau saya kan memang dari studi sastra Melayu.

Seberapa besar peluang sastra sufi untuk muncul saat ini?

Sulit juga bicara soal peluang, karena peluang itu kini ditentukan oleh publikasi dan pasar. Pasar memilih yang mana? Tapi, sebagai aktivitas dia tetap ada. Dipublikasikan atau tidak ia tetap berlangsung dalam kajian-kajian tasawuf yang banyak terdapat di Jakarta.

Banyak sekali kelompok kajian tasawuf di Jakarta, sukar dihitung dan bermacam-macam jenisnya. Ada yang sifatnya cuma majelis zikir saja, ada yang juga mengkaji masalah-masalah sastra sufi ini, bahkan ada yang khusus mengkaji Rumi, seperti kelompok Pusaka Hati yang akan mementaskan “Semalam Rumi” di Gedung Kesenian Jakarta pada 30 Agustus nanti.

Sabtu, 07 Maret 2009

Sajak-Sajak Riki Utomi

http://www.riaupos.com/
Amuk Selat (1)

kalau hendak angin menampar mukamu yang batu
tunduklah! camkan ombak yang memecah langit
sampai di tanjung. menggelepar. bagai todak
melanggar tumasik

selat Melaka itu dalam diam menaruh dendam
pada muka yang garang dan gatal kakiku
hendak menendang bangkai kolonial yang jalang

hah! kepal tangan sudah diacungkan
amuk selat menggema mengancam
puak bergelut dalam gelombang
hancurkan kezaliman
jangan sampai tertelan zaman

Selatpanjang, Februari 2009



Amuk Selat (2)

tak usah turunkan jangkar kalau tak bergeming
tak usah mengharap badai menerjang musuh

menghindarlah
merajuklah
mengaruklah
mengamuklah!!!

gaung teriakmu terbang ke penjuru puak
bangkitkan ceruk langit yang bisu
gelombang itu turut membantu
pada niatmu yang sudah batu

Selatpanjang, Februari 2009.



Amuk Selat (3)

cecaplah asin laut yang membahana
pesisir pantai menciumnya sambil berkata:
"kan kutebus segala rintangan yang jalang
menikam hati dengan pekik lantang
tersentak sampai alang-kepalang."

tapi laut tak pernah diam
mengabari tindak laku kami
sampai jejak tak lagi menapak
dia hilang di sapu ombak

Selatpanjang, 21-02-09



Bangkai Pena, Lembar Lesu

mari kita tunjuk perilaku santun
pada anak cucu. lautan khayal menyempal
dalam kepala yang tak cukup waktu
mengeja tulisan yang sudah kusam itu

tak terjejak langkah jejari tangan
menghampiri tuah-tuah arab melayu
yang telah disusun dengan tertatih-tatih
di masa dulu

mari kita resamkan hati
mencari hakikat pasti. meneroka rotan
yang dulu setiap saat menyentuh
tubuh-tubuh yang ngilu

Selatpanjang, Februari 2009.

Minggu, 01 Maret 2009

Sang Pembunuh Syams

Salamet Wahedi
http://www.surabayapost.co.id/

Syams. Kami memanggilnya. Syams Al-Wahed. Sudah dua tahun, ia telah meninggalkan kami. Ia telah menjadi manusia impian. Banyak hal dan peristiwa yang, tiba-tiba, minta dikenang. ’ee’, logat-gaya bicaranya agak lambat. Matanya yang selalu menampak kuyu. Kebiru-biruan. Pakaiannya ala kadar. ”si charokonx”, begitu kami memanggilnya. Lalu, ia nyengir. Lalu keluarlah filosofi andalannya, ”chasing boleh charokonx, tapi isi tetap tetap nomer settong”.

Kami tak mengerti. Kami begitu asing dengan nama dan tokoh yang disebutnya. Tapi kami- dengan bahasanya, dengan tuturnya yang meledak, melemah- dibuatnya begitu akrab. Begitu terhibur.

Syams. Satu dari sekian nama yang dipakainya. Suatu kali Kami menemukannya dalam sebuah majalah. Atau el-habib, ketika kami mendengar teman-teman kuliahnya. Atau Bang Slam, panggilan yang dilekatkan anak didiknya. Syams. Satu dari sekian nama yang kami pakai untuk mengenangnya. Sosok yang begitu rupawan, tapi bersahaja. Sosok yang penuh kontroversi, tapi arif dan bijak. Celotehnya, di samping membuat kami mengernyitkan kening, juga memberi sebuah dunia lain, -yang sekali lagi dengan bahasanya yang ritmis, tuturnya yang lemah-lembut, syams membuatnya begitu akrab. Dunia lain, tempat peristiwa yang akrab bagi kami. Sekaligus asing. Dan syams, seperti kebiasaannya, sehabis isya’, selalu kami temukan nongkrong di warung babeh.

”Kita mesti bertanya tentang diri kita. Tentang sejarah yang berjalan atas nama nenek moyang kita.” Malam itu syams datang dengan gaya yang amat nyentrik. Pakai gelang, kalung, serta anting-anting. ”Banyak potongan sejarah ini digudangkan dan diganti dengan cerita birahi para penguasa. Koruptor...”

”Semalam mimpi apa Syams?” Adi menyela. ”Pakaianmu kayak penyair tidak diakui orang.”

”Aku hendak bertemu izrail.”

Seperti angin malam yang menusuk sumsum, kata-kata Syams membuat kami terkesiap. Malam itu kami hanya berpandangan dengan mata nanar penasaran. Kata-kata yang polos. Tentang kamatian yang tulus. Isyarat yang halus. Tapi kami tidak dapat menangkap bahwa kematian itu, telah ditangguhkannya sendiri. Kematian itu, telah dijemputnya dengan kepala tegak.

Dua tahun, Syams telah meninggalkan warung bapak Babeh. Jejaknya tidak hanya minta dikenang, tapi telah menyelipkan kesunyian bersama desir angin malam. Syams mati malam itu. Malam, di mana ia berpakaian amat nyentriknya. Kata-katanya mengandung magis. Tentang nasib petani yang ditemui dan didampinginya mengurus hak-hak tanahnya. Tentang para mahasiswa yang mulai kehilangan jati dirinya. Tentang caleg muda yang terjebak pada euforia kekuasaan semata. Tentang....

Syams mati mengenaskan dan penuh misteri. Tubuhnya tersayat. Potongan tubuhnya berserakan sepanjang selokan. Lidahnya hilang. Matanya copot. Ia mati dibunuh. Jejak ceritanya yang menghibur bagi kami, ternyata begitu runcing dalam kenangan. Pun tokoh-tokoh yang berulang disebutnya: Pak Mahmud yang tanahnya kena gusur, Bu Karti yang merelakan warung kopinya demi mal, atau Dr. Mizoh, M.M yang getol menawarkan diri jadi caleg dengan seribu janji copypaste, K.H. Ali Gili, yang dengan gaya da’i sejuta umat mengajak para pemiarsanya mencoblos gambarnya, atau Moh. Aris, Mahasiswa tekhnik yang jadi kader partai biru-merah, Al-Jaber, Mahasiswa yang nyentrik dan merasa jagoan karena jadi ketua tim sukses pasangan pilpres no. 27 dan banyak lagi.

2

”Syams,” ia memperkenalkan diri. Wajahnya sayu. Rambutnya awut-awutan. Selain kata-katanya yang rancak, sosok 20-an ini memiliki aura yang sungguh menarik. Tuturnya yang runtut, untaian kalimatnya yang berantai, serta mimiknya yang ekspresif. Apalagi humor dan joke-jokenya yang memecah kebuntuan, bahkan ketegangan.

Malam masih merambat 20.30 ketika kami berjabat tangan. ”Sudah dua tahun saya mengadu nasib di kota bratakala ini,” matanya berkaca-kaca. Ada tetes bening di pelupuk matanya. Seperti embun yang mulai merembes, dan memenuhi udara dingin rongga dada. Mata yang memandang kilat matanya terlalu lama, dengan raut yang runcing akan terhipnotis. Terhisap pada pusaran kata-kata. Kubangan welas asih tak tertangguh.

Setiap malam. Setiap pukul 20.30 kami mulai menghabiskan dua pertiga malam kami dengan puntung rokok, secangkir kopi, cerita-cerita remeh orang-orang pinggiran, siasat perang orang-orang besar. Tidak terlewatkan, tentang wanita-wanita yang hilir mudik memasuki memori dan diary kami. ”Tanpa bunga revolusi, kita akan sepi. Lalu mati,” ia ngakak. Seperti tak ada beban yang perlu dipikirkan, ”Tetapi siapakah orang-orang revolusioner? Kita? Mereka?” tawanya semakin jumawa. Tawa yang tidak hanya menertawakan keadaan yang berjalan tanpa arah, tapi tawa yang begitu menusuk hatiku. Menusuk ulunya yang paling dalam.

Suatu malam, syams menghilang. Kata Adi, temannya, ia menghadiri acara sastra, baca puisi! ”Sosok yang energik!” seruku dalam hati.

Hilangnya syams memberi gambaran lain akan sosoknya. Tiba-tiba aku memahami segala ucapannya. Kata-katanya yang berangkai, kalimat-kalimatnya seirama dan beruntai, serta kritikannya yang berlambai dan landai. Sesekali aku membayangkan rautnya yang kuyu. Matanya sayu. ”Jangan percaya pada siapa pun. Bahkan pada diri kita sendiri, kita perlu mawas. Was-was.” wajahnya tanpa ekspresi suatu waktu.

Waktu itu kami memutuskan untuk cangkrukan di cafe, di lantai tiga sebuah mal. ”Dari sini kita dapat menyaksikan kelap-kelip lampu. Gelap dan terang yang berisisian menciptakan nuansa.” Lalu malam. Sejenak ia menyeruput es juice-nya, akan membawakan aku sepotong puisi, lalu menyelorohlah ia tentang seribu lembar mimpinya. Aku hanya sesekali menimpali.

Di Jerman, Syams nampak berbinar menghisap rokoknya. Ya di Jerman, aku akan membacakan sebuah puisi. Aku akan berkeliling dunia membacakan puisiku. Tentang Utari, yang menjadi kekasih impian. Sebab ia telah memilih suaminya bukan aku. Lalu puisi ”bapakku”, seorang petani yang tiada lelahnya menantang matahari.

”Tentang aku?” tukasku. Bibirku mengembang senyum. Syams pun mengiya. Sekali lagi diseruputnya minumannya. Dan dihembuskannya asap rokoknya.

”Ya tentang Mahfud. Seorang teman yang setia menemani sepiku. Seorang teman yang menghitung jejak di malam tahun baru. Seorang teman, ah Mahfud. Malam itu,” cerocos Syams begitu puitis. Aku tidak dapat membedakan apakah ia sedang berpuisi atau mengingau. Kau tampak gemetar. Bibirmu yang tirus meringis. Menahan dingin yang datang dengan segenap bisanya. Seperti daun dini hari. Tubuhmu pun menguar aroma cendana. Aroma...

Lalu mengalirlah berbagai angan dan khayalannya. Cita-citanya ingin jadi orang bebas, berpenghasilan tetap. Ia punya istri seperti Utari. Perempuan berjilbab. Pipi bulat telur. Mata seperti kerling tetas air di kejauhan. Dan tutur kata yang halus dan sopan. Dan yang tak dapat dilupakan Syams, rona mukanya ketika ia marah. Di antara celoteh dan seloroh Syams, yang membuat darahku tersirap, adalah sikapnya tentang gerakan mahasiswa. Tentang anak muda bangsa negeri ini yang sepanjang sejarah ikut andil mengawal negeri ini menjadi republik berfikir bebas. ”Kalau dulu, suasana dan situasi yang kurang ajar terhadap kita, tapi sekarang kitalah yang kurang ajar pada kesempatan,” ujarnya suatu malam. ”Apalagi di tengah krisis kepercayaan...”

Ah, Syams celoteh dan selorohmu adalah bumbu dapur. Kini aku hanya bisa mengenangmu. Wajahmu yang lugu, tapi penuh semangat yang berkobar. Kata-kata berangkai, tapi penuh tikungan dan kawah terjal. Serta pendirianmu yang memancang bak tembok China.

Tapi di luar itu semua. Terlepas akan kenangan yang kadang menyakitkan. Kadang menyenangkan. Aku hanya menunaikan tugasku. Khayalmu terlalu tinggi. Cita-citamu menjulang meninju langit, Syams.

Akhirnya di malam jumat kliwon. malam yang hujan, yang menandai rapuhnya saton hidupmu, saat kau mengendap kedinginan, sengaja kuambil kesempatan itu. Kesempatan yang akan menyempurnakan segala keluh kesahmu dengan janji tuhanmu.

3

Perempuan separuh abad, kurang lebih, menatapku dengan mata sembab. Kilatnya penuh gairah dan harapan, yang tiba-tiba liar oleh prahara. Di hadapannya potongan tubuh anaknya semisal fragmen yang menghantui masa-usianya yang kian menua dan lampau. Keriput pipinya menyimpan sisa air tangisnya yang tumpah sejak kabar kematian anak semata wayangnya.

Sejenak aku terenyuh. Rasa bersalah tiba-tiba pun berseliweran di setiap pori-pori dan sendi tubuhku. Ibu separuh abad, Ibu Kunti, merangkulku. Degup dadanya seperti hentakan musik yang bertalu di ruang-ruang diskotik malamku. Dan sengak isaknya seperti ujung kuku jarum menusuk ulu hati. Seperti gunung yang lama tidak meledak, Ibu Kunti menumpahkan segala kehilangan dan kehampaannya ke dadaku. Tubuhku bergetar. Darahku tersirap panas.

”Ibu,” seruku. ”Maafkan aku telah...,” kata-kataku tersekat dalam dada. Seperti para pelayat yang ikut berbelasungkawa dengan kebaya hitam, beras, uang dan ngaji Yaa-sin yang mulai menggerumung di kamar tengah.

Sementara persiapan pemberangkatan jenazah telah menyedot dan menarik perhatian beratus pasang mata. Seorang dara berkebaya hitam legam, rambut sebahu, terus memantau gerak-gerikku. Seperti pemburu yang mengintai mangsanya. Rautnya runcing. Bias wajahnya menanarkan aura kejantanan. Aku rikuh. Mungkin inilah sosok perempuan yang memikat Syams, Utari. Sosok yang diceritakannya akan hadir dan menghantui pembunuhnya. Aku bergidik

Kubelai kepala Ibu Kunti. Isaknya kian sengak. Arakan jenazah mulai bergerak. Dan gema kalimat tauhid mendendangkan lagu dingin di hatiku. Di tambah suara isak Ibu Kunti, sendi-sendi tubuhku semakin bergidik. Apalagi sepasang mata tajam si dara itu, yang tidak mau melepasku barang sebentar.

Pemakaman berlangsung syahdu. Pembaca talqin tidak hanya menyudahi bekal bagi si mayit Syams. Tapi ia juga seperti putusan yang ditimpakan padaku. Ada rasa sesal. Tapi juga kesal. Tanpa terasa airmataku juga menetes. Satu-satu. Seperti para pelayat yang mulai pulang.

Kini tinggal Ibu Kunti, aku dan si dara berkebaya legam hitam itu yang termangu. Menghikmati upacara duka yang baru usai. Menikmati cuaca berkabung yang tunai. Lalu Ibu Kunti menatapku dingin. Tatapan yang membuat bulu kudukku berdiri. Lebih dingin dari aroma tubuh Syams. Ia melepaskan rangkulanku.

”Benar kata Syam,” suara ibu Kunti lirih. ”Suatu hari nanti pembunuh anakku akan datang kepadaku. Dan meminta tolong untuk mencincang tubuhnya di bilik suara.”

Aku tersentak. Ibu Kunti berlalu dengan lambaian jumawa. Si dara berkebaya hitam legam meremas stiker gambarku. Lalu menginjaknya.

Sedang aku menghunus pisau untuk mereka.

*) Penulis Tinggal di Sumenep, 2008.

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati