Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
D.W. Fokkema dan Elrud Kunne-Ibsch, Teori Sastra Abad Kedua Puluh, terjemahan J. Praptadihardja dan Kepler Silaban (Jakarta: Gramedia, 1988), xxiii + 281 halaman.
Perkembangan kritik sastra akademis di Indonesia dewasa ini, sesungguhnya berutang budi pada kritik sastra aliran Rawamangun. Terlepas dari segala kekurangannya, kritik Rawamangun telah menanamkan satu tradisi ilmiah dalam pengkajian sastra.
Kini, berbagai perkembangan kritik sastra di Barat yang juga mulai semarak di Indonesia selepas tahun 1980-an, makin memberi kemungkinan lain yang lebih beragam dari pendekatan struktural yang dipegang teguh kritik aliran Rawamangun. Teks sastra yang semula diperlakukan sebagai struktur yang otonom dan mandiri, terlepas dari konteks sosio-kultural, menjadi objek kajian yang dapat dihubungkaitkan dengan teks-teks lain di luar sastra.
Satu kecenderungan baru yang marak belakangan ini adalah mun-culnya berbagai tulisan yang secara tidak tepat menyinggung kritik sastra mutakhir. Konsep atau istilah strukturalisme, dekonstruksionisme, hermeneutika, resepsi sastra, dan semiotika dibicarakan secara agak serampangan. Akibatnya, sudah dapat diduga, kritik sastra yang mestinya berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara pengarang –lewat teks– dan pembaca, menjadi sebuah hutan belantara yang gelap dan menyesatkan. Dalam konteks itulah, buku ini niscaya dapat dijadikan sebagai panduan mendasar dan berharga guna memahami apa yang sesungguhnya hendak dicapai aliran-aliran itu dan bagaimana lalu-lintas aliran-aliran itu berkembang dan berusaha saling melengkapi.
Pada bagian Kata Pengantar, misalnya, Fokkema dan Kunne-Ibsch memaparkan secara singkat bagaimana perkembangan kritik sastra tahun 1970-an yang diwakili hermeneutik versus studi sastra yang empiris berkembang sedemikian pesatnya. Pada dasawarsa yang sama, muncul pula naratologi, kritik dekonstruksi, dan ideologis. Dan dengan caranya sendiri, sebuah teks sastra dibongkar dan dihubungkan dengan berbagai disiplin yang berbeda (hlm. xi). Lalu, timbul pertanyaan: di mana tempatnya kritik sastra?
Dalam melakukan interpretasi teks, kritik memerlukan teori. Perlu adanya mengenai konsep sastra dan kriteria penilaian dalam kritik sastra. Di sini, kita melihat, betapa simpang-siur perdebatan konsep sastra, perumusan teori dan keperluannya dalam menentukan kriteria penilaian. Dalam hal ini, “teori sastra harus menciptakan dasar konsep yang universal yang dapat dipakai mendeskripsikan fakta-kata tertentu” (hlm. 12).
Selanjutnya kedua penulis Belanda itu mencermati secara tajam “Formalisme Rusia,
Strukturalisme Ceko dan Semiotik Soviet”.Meski uraiannya begitu njlimet, kita disajikan serangkaian catatan kritis atas gagasan dasar kaum formalis yang kemudian kelak menjadi cikal-bakal strukturalisme. Bahwa kaum formalis telah berjasa membawa studi sastra sebagai kegiatan ilmiah yang lalu ditekankan Roman Jakobson mengenai pentingnya ilmu sastra sebagai cabang ilmu tersendiri, telah mengundang banyak ilmuwan memasuki perdebatan akademis. Tak pelak lagi, bagian ini menjadi penting manakala kita hendak memahami percabangannya menuju strukturalisme Prancis.
Di Prancis, strukturalisme semula berkembang agak tersendat. Namun berkat perjuangan kaum strukturalis dalam menentang pendukung gagasan faktualitas yang diwariskan positivisme dan individualitas yang ditekankan eksistensialisme, strukturalisme mendapat tempat dan momentum yang tepat. Bahkan, strukturalisme linguistik pasca-Saussure dan strukturalisme antropologi lambat-laun makin semarak. Belakangan, muncul pula Raymond Picard sebagai wakil kritik lama dan dan Roland Barthes sebagai wakil kritik baru.
Ada tiga kecenderungan perkembangan strukturalisme Prancis: Pertama, kritik strukturalisme dengan tokoh sentral, antara lain, Merleau-Ponty dan Barthes. Kedua, naratologi strukturalis yang bersandar pada gagasan Vladimir Propp versus Greimas. Ketiga, deskripsi teks strukturalis-linguistik khasnya lewat gagasan Claude Levi-Strauss dan Michael Riffaterre.
Bagian penting lainnya dalam buku ini menyangkut pembicaraan teori sastra Marxis. Di sini Fokkema dan Kunne-Ibsch mengungkapkan secara kritis landasan teori sastra Marxis. Uraiannya dimulai dari gagasan materialisme-dialektika Marx-Engels dan Lenin; yang disertai pula dengan deskripsi latar belakang Realisme Sosialis sampai ke neo-Marxisme Georg Lukacs. Perkembangan teori sastra Marxis di Cina baru mendapat perhatian setelah Gerakan Empat Mei (1919). Selepas itu, tumbuh pesat gerakan sastra dan jurnal sastra yang membahas seni untuk seni sampai ke utilitarianisme Marxis (hlm. 133). Belakangan, teori sastra Marxis didasarkan pada gagasan Mao. Namun, karena terlalu meyakini ideologi Marxis, teori sastra Mao di Cina pada dasarnya menolak eksperimentasi dan perbedaan pendapat.
Dalam teori sastra neo-Marxisme, karya-karya avant-garde justru menjadi salah satu bahan perdebatan. Dari keberatan Lukacs atas ekspresionisme yang dipertentangkan dengan realisme, Bertold Brecht, Ernst Bloch, Theodor W. Adorno dan bahkan tokoh-tokoh neo-Marxisme sendiri, terlibat dalam perdebatan itu. Menurut Adorno, Lukacs terlalu dogmatis dalam memberi batasan mengenai Realisme Sosialis. Dari konteks perdebatan itu, Fokkema dan Kunne-Ibsch memasukkan Lukacs ke dalam kotak Marxis ortodoks, sementara yang lain, di antaranya, Adorno, Lucien Goldmann, Walter Benyamin, dan Fredric Jameson, termasuk neo-Marxisme.
Satu hal yang menarik dalam bagian ini adalah uraian mengenai gagasan Realisme Sosialis yang mengingatkan kita pada propaganda seniman Lekra tahun 1960-an. Sesungguhnya, Realisme Sosial, baik yang hendak diterapkan di Cina, maupun yang dijadikan sebagai bagian garis politik partai, tidak lebih dari teori sastra yang penuh dengan pemaksaan ideologis.
Agak berbeda dengan teori sastra yang sudah dibicarakan sebelumnya, resepsi sastra tidak begitu menekankan pada teks sastra, melainkan pada pemaknaannya atas teks. Seperti dikatakan Jurij M. Lotman, “Realitas kultural dan historis yang disebut karya sastra tidak berhenti di dalam teks. Teks hanyalah salah satu unsur dalam suatu relasi. Nyatanya karya sastra terdiri atas teks dalam relasinya dengan ekstratekstual; dengan norma-norma sastra, tradisi, dan imajinasi” (hlm. 174). Dalam hal ini, “teori resepsi menghargai relativisme kultural dan relativisme historis …” (hlm. 175).
Begitulah, para ahli resepsi sastra (Jerman), banyak yang memanfaatkan sejarah, hermeneutika dan strukturalisme, meski tekanan pada bidang-bidang itu berbeda. Maka, tidak terhindarkan pemikiran Hans Robert Jauss, Wolfgang Iser dan Roman Ingarden dijadikan sebagai landasan teori resepsi. Aliran Konstanz, misalnya, secara gencar menerapkan teori Jauss; kelompok Werner Bauer mengembangkannya menjadi analisis kontemporer, dan bukan analisis historis, sementara Georg Just mendasari gagasannya dengan menggabungkan teori Iser dan Jauss.
Di luar itu, muncul pula pendekatan sosial-politik, sebagaimana yang dilakukan Manfred Durzal yang berbeda dengan pendekatan Georg Just. Menurutnya, estetika resepsi yang meneliti kondisi-kondisi putusan kritis harus memusatkan perhatiannya pada dunia kesadaran politik dan sosial, sebagaimana yang tersirat dalam novel-novel Amerika dan Jerman.
Bagian akhir dalam buku ini mengungkapkan peluang bagi pengembangan teori sastra yang lain yang lebih beragam. Semiotika yang dikembangkan Umberto Eco, sosiologi pengetahuan yang ditekankan Jauss atau yang berdasarkan pada pemikiran sosiologi Peter Berger dan Thomas Luckman, sesungguhnya sangat memungkinkan menemukan fungsi-fungsi kognitif seni atau setidak-tidaknya menjadi objek penelitian, bagaimana konsep sosiologi pengetahuan dimanfaatkan untuk kepentingan teori sastra.
Akhirnya, Fokkema dan Kunne-Ibsch menekankan kembali tujuan buku ini. Bahwa keduanya tidak bermaksud menjawab simpang-siur aliran-aliran teori sastra, namun sejumlah masalah mendasar mengenai studi ilmiah sastra dapat dihadapi dengan pemahaman baru. Memang, membaca buku ini, kita banyak disuguhi pemahaman baru mengenai berbagai aliran teori sastra secara sangat mendasar dan lebih jelas. Tak pelak lagi, bagi peminat sastra, khususnya mereka yang ingin mendalami teori dan kritik sastra, buku ini dapatlah dijadikan sebagai acuan penting yang mesti dicermati.
*) Staf Pengajar FSUI, Depok.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 05 April 2009
Berbagi Ceruk Pasar Novel Asia
Bagja Hidayat
http://www.ruangbaca.com/
Penjualannya cukup tinggi, meski masih kalah dibanding terjemahan novel Barat.
Abad 20 adalah sebuah masa yang rusuh dengan ide-ide. Rusuh ide yang melahirkan rusuh massal, juga ketakutan yang akut—a continuous frenzy— jika meminjam istilah George Orwell. Kolonialisme modern mencapai puncaknya yang paling nyata pada abad itu. Negara-negara jajahan di belahan Timur bereaksi aktif terhadap datangnya kultur yang merangsek ke dalam ingatan setiap orang.
India, misalnya, menangguk ‘untung’ dari merasuknya semangat koloni ke dalam hidup mereka. Para penulis mutakhir bertutur dengan ringan dalam bahasa Inggris, sebuah media yang memungkinkan setiap karya berhadapan langsung dengan karya-karya kanon Eropa dan Amerika. Di Amerika Selatan kita mengenal el boom sastra pada sekitar dasawarsa 1960.
India, juga Cina dan Jepang, adalah sebuah wilayah yang unik dalam percaturan sastra dunia. Para penulis di sini memanfaatkan riwayat panjang kebudayaan mereka. Tiga negara itu kini menjelma sebagai wakil Asia Timur, dalam pelbagai segi. Apa sebetulnya sastra Asia Timur?
Tak mudah mengungkai definisinya. Lembar ini—lebih luas edisi ini—hanya akan menyorot novel-novel yang pernah ditulis para pengarang ketiga negara itu yang sudah diindonesiakan. Kemunculan mereka telah membuka mata kita bahwa sastra kanon Eropa dan Amerika bukan kiblat jauh satu-satunya.
Para pengarang itu telah menyajikan —seraya bimbang dalam berpijak di bumi sendiri dan memandang dunia luar, hal yang menjadi faktor unik—kekayaan khazanah budayanya, sajian yang tak ada dalam sastra wilayah lain. Mereka telah menjadi juru bicara kebudayaannya sendiri. Ciri yang paling nyata dari pengarang Asia mutakhir adalah mengemukanya usaha menghidupkan metafora yang lebih intim dengan memberinya hidup lewat bahasa.
Realisme diusung lalu dihadirkan bukan sematamata reportase. Arundhati Roy, misalnya, menyegarkan bukan karena menghadirkan kisah si kembar Estha dan Rachel dalam The God of Small Things dengan cara yang unik dan kontroversi tentang identitas India, tapi juga ada terasa pergulatan yang intens dalam memperlakukan bahasa.
Ia menghidupkan benda-benda yang remeh sehingga lanskap hadir lebih visual tapi mustahil difilmkan. Jhumpa Lahiri, Bharati Mukherjee, Amitav Gosh memotret India dari tanah seberang. Mereka menghadirkan benua ketiga yang sering rusuh karena persoalan agama dan ras.
Soal umum dalam diri manusia ini memang tema yang seksi. Juga sikap main-main terhadap bentuk seni novel. Dalam Gunung Jiwa, misalnya, Gao Xingjian seperti tengah mengejek bentuk novel yang sudah dirumuskan dengan ajeg oleh para pendahulunya. Sebuah sikap yang juga dipakai Milan Kundera dalam menghasilkan novel yang lebih radikal, yakni anti-novel.
Novel yang mengantarkan Gao meraih nobel itu adalah “sebuah fiksi gabungan catatan perjalanan, celoteh moralitas, perasaan, coretan, diskusi tanpa teori, cuplikan folklor, omong kosong legenda bohong…”
Pendeknya, novel, bagi Gao, adalah sebentuk perayaan kekacauan, centang perenang yang tak saja tergambar pada tokoh-tokohnya. Bentuk yang amat bertolak belakang dengan, antara lain, novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Gunung Jiwa semacam oleholeh Gao ketika buron selama 10 bulan menyusuri Sungai Yangtze karena dituduh kontra-revolusi.
Hasilnya memang kacau. Ada banyak tokoh dan ragam peristiwa di sana dalam bentuknya yang paling musykil: kisah manusia renik pelahap dahak yang dituturkan perempuan tua ompong. Dari Jepang muncul Ring karya Koji Suzuki dan Norwegian Wood dari Haruki Murakami. Kemunculan mereka tentu saja sebuah petanda gairah baru dalam sastra Jepang.
Sebelumnya, karya- karya puncak Jepang mewakili zaman Taisyo dengan lanskap yang tradisional, meski cara bertuturnya sudah mendobrak pakem lama. Sebut antara lain novel-novel Kawabata, Akutagawa, Mishima atau Soseki. Tapi yang tradisonal juga tetap eksotik dan asyik. Kisah-kisah samurai, biksu-biksu, dan kuil-kuil yang mistis adalah sumur-sumur cerita yang tak habis-habis ditulis di zaman ini.
Takashi Matsuoka menulis kisah samurai terakhir dengan manis dalam Kastil Awan Burung Gereja. Jepang memang sering mengagetkan orang seberang: mereka yang menyebut dirinya Barat. Ada yang berkelakar Jepang mengedutkan dunia setiap 25 tahun sekali. Karena itu tradisi-tradisi Jepang terus dikuntit dan ditulis.
Semua novel yang telah disebut itu kini bisa dibaca dalam terjemahan Indonesia. Tampaknya ada gairah lama yang tumbuh kembali dalam khazanah sastra terjemahan kita. Setelah bosan dengan kanon sastra Barat, kini giliran novel Timur yang membanjiri rak-rak toko buku. Pada sekitar 1980, Ajip Rosidi telah dengan tekun menerjemahkan novel-novel Jepang dari bahasa aslinya.
Penerbit-penerbit yang menerjemahkan novel Asia Timur mengaku penjualan novel-novel ini cukup memuaskan meski tak bagus-bagus amat. Anastasia Mustika dari Gramedia menyebut angka penjualan rata-rata novel Asia Timur hanya 5.000 eksemplar. “Tertinggi buku Totto-chan,” kata Anas, “sudah 57 ribu eksemplar dan cetakan ke-10.”
Tapi angka 5.000 bagi pasar buku Indonesia sudah terbilang bagus. Penyunting Penerbit Qanita, Berliani Mantili Nugrahani, mengatakan rata-rata angka penjualan buku berkisar 3.000-4.000 eksemplar. “Tiga-ribu saja sudah tergolong tinggi,” katanya. Penjualan tertinggi Qanita masih ditempati novel 24 Wajah Billy. Tapi mencengangkan juga jika Kastil Awan Burung Gereja karya Matsuoka terjual 10 ribu eksemplar dalam tiga kali cetak (Maret, April, Agustus 2005).
Respon yang baik dari pembaca ini mendorong para penerbit menyiapkan terjemahan novel-novel Asia berikutnya. Di Gramedia, kata Anas, novel-novel Cina, Jepang, dan India kini menunggu diterbitkan. Selain respon, penerbit menginginkan pembaca tak hanya mengenal novel Barat. “Tema novel Asia lebih mengena dan tidak asing bagi orang Indonesia,” kata Anas.
Maraknya drama Asia di televisi turut memudahkan orang mengenal cerita novel kawasan ini. Qanita dan Gramedia mengail pembeli terjemahan novel Asia karena ada “kecenderungan orang sekarang berminat mengenal budaya oriental”—ini memang kemajuan Indonesia pascareformasi. Penerbit Obor bahkan sudah punya program Seri Sastra Dunia Ketiga.
Manajer Umum Obor Kartini Nurdin mengakui penjualan terjemahan novel Asia memang tergolong tinggi. Novel Arundhati Roy dan Adeline Yen Mah menempati urutan tertinggi novel terjemahan Obor. “Novel Asia memang menjanjikan,” katanya, “paling tidak naik cetak lebih dari sekali.”
Sementara Penerbit Jalasutra lebih didorong keinginan mengukuhkan keseriusan menggarap terjemahan novel Asia. “Kami ingin menguatkan brand dan image Jalasutra bagi pembaca,” kata Anwar Holid, penyunting fiksi. Penerbit Jogja ini juga sedang menyiapkan terjemahan novel-novel Cina.
Semangat “demokratisasi” bacaan, tentu saja. Apalagi ini agaknya ceruk baru tren penerbitan, setelah “sastra jerawat” mengharu biru hingga ditiru habis-habisan oleh para penulis belia lokal beberapa tahun terakhir. “Penerbit buku itu memang mengikuti tren, tapi idealisme (mendidik masyarakat) lebih di depan,” kata Kartini.
Kanon sastra dunia konon juga sudah berhenti. Kini tak ada lagi “pusat”. Sastra pinggiran lebih segar dan menjanjikan. Menurut Budi Darma [baca rubrik Percakapan edisi ini], sastra masa depan adalah sastra yang mengusung tema multikultularisme. India dan Cina sudah mempraktekkannya, meskipun semangat poskolonial ternyata tak menular dan digarap oleh para penulis Indonesia.
Sayangnya, terjemahan yang marak itu tak diimbangi dengan kualitas. Masih banyak yang mengeluh buruknya terjemahan novel asing. Judul saja kadang tak diterjemahkan. Berliani beralasan, pemakaian judul asli ini semacam strategi promosi. Di Qanita, judul dari pengarang yang sudah dikenal, menarik, dan mudah diingat akan dipertahankan.
Menurut Berliani, mengubah judul atau mencantumkan padanan Indonesianya dikhawatirkan justru membuat novel itu tak dikenal calon pembeli. Novel Ring, misalnya, tetap memakai judul bahasa Inggris karena pernah difilmkan. “Kalau diubah, orang tak akan lagi ingat filmnya,” katanya. Alasan yang bisa diterima.
Itu berbeda dengan pilihan yang dibuat Ajip Rosidi. Dua dasawarsa lalu, ketika menejermahkan novel Kawabata Yasunari, Yukiguni, Ajip perlu menulis kata pengantar untuk menjelaskan judul terjemahan yang dipilihnya. Oleh Edward Seidensticker, Yukiguni diterjemahkan menjadi Snow Country. Anas Ma’ruf mengindonesikannya menjadi Negeri Salju.
Ajip, yang pernah mengajar di Universitas Bahasa Asing Osaka, menerangkan bahwa kata dasar “kuni” dalam judul itu memang sepadan dengan “country”, tapi ini bukan sebuah wilayah administratif pemerintahan seperti dalam kata “negeri”. Ia pun memilih padanan Yukiguni dengan Daerah Salju. Pertimbangan Ajip tentu lain dengan pertimbangan Berliani.
Kendati Negeri Salju jauh lebih puitis—seperti novelnya sendiri yang penuh renungan—ketimbang Daerah Salju, Ajip memilih yang kedua oleh pertimbangan setia pada teks asli dengan memberdayakan kosakata Indonesia yang ada. Berliani lebih memilih alasan bisnis dan praktis, yakni buku cepat sampai ke tangan pembaca. Judul asli, kata dia, juga sudah dikenal dalam “komunitas buku”.
Ketika judul asli dipertahankan orang tak lagi merasa asing. Bagaimana dengan pembaca awam? Menurut dia, pembaca awam akan membeli buku setelah orang di “komunitas buku” meributkannya: mengulas di media, di blog, atau ribut-ribut di mailinglist. Laris-tidaknya sebuah buku baru dilihat pada bulan kedua setelah naik cetak.
Respon pembaca awam baru terlihat pada bulan kedua ini. “Tapi daya serap pasar ini sebuah misteri,” katanya. Artinya, terjualnya sebuah judul buku tak bisa ditentukan waktunya. Novel-novel Asia mutakhir sebagian besar diterjemahkan dari bahasa Inggris. Itu karena teks aslinya ditulis dalam bahasa Inggris.
Penulis India, Cina dan Jepang sudah banyak yang menulis di tanah asing, karena imigrasi atau kelahiran. Tapi ada juga karena alasan penguasaan bahasa asli para penyunting di penerbit. Jalasutra menerjemahkan Gunung Jiwa justru dari edisi Prancis. Kepustakaan Populer Gramedia tak banyak memiliki penerjemah bahasa asli.
Menurut penyunting KPG, Candra Gautama, hanya penerjemah Jepang dan Rusia yang sudah siap dan bagus. Karena itu KPG baru menerbitkan Norwegian Wood yang sudah terjual 8.000 eksemplar. “Untuk Asia kami akan fokus ke sastra Jepang dulu, selain nanti ke Filipina,” katanya. Novel negara Asia lainnya belum disentuh KPG karena terbatasnya pengetahuan peta novel di negara asalnya.
Sastra India dan Cina, kata Candra, belum dijajaki seberapa tinggi responnya. “Kami lebih mempertimbangkan isi novel ketimbang tren,” katanya. Norwegian dipilih karena menggambarkan dengan telak Jepang modern yang sedang berubah ciri khas negeri pinggiran yang kini merangkak tampil ke muka sebuah ladang tema warisan dari sebuah masa yang rusuh oleh ide-ide.
http://www.ruangbaca.com/
Penjualannya cukup tinggi, meski masih kalah dibanding terjemahan novel Barat.
Abad 20 adalah sebuah masa yang rusuh dengan ide-ide. Rusuh ide yang melahirkan rusuh massal, juga ketakutan yang akut—a continuous frenzy— jika meminjam istilah George Orwell. Kolonialisme modern mencapai puncaknya yang paling nyata pada abad itu. Negara-negara jajahan di belahan Timur bereaksi aktif terhadap datangnya kultur yang merangsek ke dalam ingatan setiap orang.
India, misalnya, menangguk ‘untung’ dari merasuknya semangat koloni ke dalam hidup mereka. Para penulis mutakhir bertutur dengan ringan dalam bahasa Inggris, sebuah media yang memungkinkan setiap karya berhadapan langsung dengan karya-karya kanon Eropa dan Amerika. Di Amerika Selatan kita mengenal el boom sastra pada sekitar dasawarsa 1960.
India, juga Cina dan Jepang, adalah sebuah wilayah yang unik dalam percaturan sastra dunia. Para penulis di sini memanfaatkan riwayat panjang kebudayaan mereka. Tiga negara itu kini menjelma sebagai wakil Asia Timur, dalam pelbagai segi. Apa sebetulnya sastra Asia Timur?
Tak mudah mengungkai definisinya. Lembar ini—lebih luas edisi ini—hanya akan menyorot novel-novel yang pernah ditulis para pengarang ketiga negara itu yang sudah diindonesiakan. Kemunculan mereka telah membuka mata kita bahwa sastra kanon Eropa dan Amerika bukan kiblat jauh satu-satunya.
Para pengarang itu telah menyajikan —seraya bimbang dalam berpijak di bumi sendiri dan memandang dunia luar, hal yang menjadi faktor unik—kekayaan khazanah budayanya, sajian yang tak ada dalam sastra wilayah lain. Mereka telah menjadi juru bicara kebudayaannya sendiri. Ciri yang paling nyata dari pengarang Asia mutakhir adalah mengemukanya usaha menghidupkan metafora yang lebih intim dengan memberinya hidup lewat bahasa.
Realisme diusung lalu dihadirkan bukan sematamata reportase. Arundhati Roy, misalnya, menyegarkan bukan karena menghadirkan kisah si kembar Estha dan Rachel dalam The God of Small Things dengan cara yang unik dan kontroversi tentang identitas India, tapi juga ada terasa pergulatan yang intens dalam memperlakukan bahasa.
Ia menghidupkan benda-benda yang remeh sehingga lanskap hadir lebih visual tapi mustahil difilmkan. Jhumpa Lahiri, Bharati Mukherjee, Amitav Gosh memotret India dari tanah seberang. Mereka menghadirkan benua ketiga yang sering rusuh karena persoalan agama dan ras.
Soal umum dalam diri manusia ini memang tema yang seksi. Juga sikap main-main terhadap bentuk seni novel. Dalam Gunung Jiwa, misalnya, Gao Xingjian seperti tengah mengejek bentuk novel yang sudah dirumuskan dengan ajeg oleh para pendahulunya. Sebuah sikap yang juga dipakai Milan Kundera dalam menghasilkan novel yang lebih radikal, yakni anti-novel.
Novel yang mengantarkan Gao meraih nobel itu adalah “sebuah fiksi gabungan catatan perjalanan, celoteh moralitas, perasaan, coretan, diskusi tanpa teori, cuplikan folklor, omong kosong legenda bohong…”
Pendeknya, novel, bagi Gao, adalah sebentuk perayaan kekacauan, centang perenang yang tak saja tergambar pada tokoh-tokohnya. Bentuk yang amat bertolak belakang dengan, antara lain, novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Gunung Jiwa semacam oleholeh Gao ketika buron selama 10 bulan menyusuri Sungai Yangtze karena dituduh kontra-revolusi.
Hasilnya memang kacau. Ada banyak tokoh dan ragam peristiwa di sana dalam bentuknya yang paling musykil: kisah manusia renik pelahap dahak yang dituturkan perempuan tua ompong. Dari Jepang muncul Ring karya Koji Suzuki dan Norwegian Wood dari Haruki Murakami. Kemunculan mereka tentu saja sebuah petanda gairah baru dalam sastra Jepang.
Sebelumnya, karya- karya puncak Jepang mewakili zaman Taisyo dengan lanskap yang tradisional, meski cara bertuturnya sudah mendobrak pakem lama. Sebut antara lain novel-novel Kawabata, Akutagawa, Mishima atau Soseki. Tapi yang tradisonal juga tetap eksotik dan asyik. Kisah-kisah samurai, biksu-biksu, dan kuil-kuil yang mistis adalah sumur-sumur cerita yang tak habis-habis ditulis di zaman ini.
Takashi Matsuoka menulis kisah samurai terakhir dengan manis dalam Kastil Awan Burung Gereja. Jepang memang sering mengagetkan orang seberang: mereka yang menyebut dirinya Barat. Ada yang berkelakar Jepang mengedutkan dunia setiap 25 tahun sekali. Karena itu tradisi-tradisi Jepang terus dikuntit dan ditulis.
Semua novel yang telah disebut itu kini bisa dibaca dalam terjemahan Indonesia. Tampaknya ada gairah lama yang tumbuh kembali dalam khazanah sastra terjemahan kita. Setelah bosan dengan kanon sastra Barat, kini giliran novel Timur yang membanjiri rak-rak toko buku. Pada sekitar 1980, Ajip Rosidi telah dengan tekun menerjemahkan novel-novel Jepang dari bahasa aslinya.
Penerbit-penerbit yang menerjemahkan novel Asia Timur mengaku penjualan novel-novel ini cukup memuaskan meski tak bagus-bagus amat. Anastasia Mustika dari Gramedia menyebut angka penjualan rata-rata novel Asia Timur hanya 5.000 eksemplar. “Tertinggi buku Totto-chan,” kata Anas, “sudah 57 ribu eksemplar dan cetakan ke-10.”
Tapi angka 5.000 bagi pasar buku Indonesia sudah terbilang bagus. Penyunting Penerbit Qanita, Berliani Mantili Nugrahani, mengatakan rata-rata angka penjualan buku berkisar 3.000-4.000 eksemplar. “Tiga-ribu saja sudah tergolong tinggi,” katanya. Penjualan tertinggi Qanita masih ditempati novel 24 Wajah Billy. Tapi mencengangkan juga jika Kastil Awan Burung Gereja karya Matsuoka terjual 10 ribu eksemplar dalam tiga kali cetak (Maret, April, Agustus 2005).
Respon yang baik dari pembaca ini mendorong para penerbit menyiapkan terjemahan novel-novel Asia berikutnya. Di Gramedia, kata Anas, novel-novel Cina, Jepang, dan India kini menunggu diterbitkan. Selain respon, penerbit menginginkan pembaca tak hanya mengenal novel Barat. “Tema novel Asia lebih mengena dan tidak asing bagi orang Indonesia,” kata Anas.
Maraknya drama Asia di televisi turut memudahkan orang mengenal cerita novel kawasan ini. Qanita dan Gramedia mengail pembeli terjemahan novel Asia karena ada “kecenderungan orang sekarang berminat mengenal budaya oriental”—ini memang kemajuan Indonesia pascareformasi. Penerbit Obor bahkan sudah punya program Seri Sastra Dunia Ketiga.
Manajer Umum Obor Kartini Nurdin mengakui penjualan terjemahan novel Asia memang tergolong tinggi. Novel Arundhati Roy dan Adeline Yen Mah menempati urutan tertinggi novel terjemahan Obor. “Novel Asia memang menjanjikan,” katanya, “paling tidak naik cetak lebih dari sekali.”
Sementara Penerbit Jalasutra lebih didorong keinginan mengukuhkan keseriusan menggarap terjemahan novel Asia. “Kami ingin menguatkan brand dan image Jalasutra bagi pembaca,” kata Anwar Holid, penyunting fiksi. Penerbit Jogja ini juga sedang menyiapkan terjemahan novel-novel Cina.
Semangat “demokratisasi” bacaan, tentu saja. Apalagi ini agaknya ceruk baru tren penerbitan, setelah “sastra jerawat” mengharu biru hingga ditiru habis-habisan oleh para penulis belia lokal beberapa tahun terakhir. “Penerbit buku itu memang mengikuti tren, tapi idealisme (mendidik masyarakat) lebih di depan,” kata Kartini.
Kanon sastra dunia konon juga sudah berhenti. Kini tak ada lagi “pusat”. Sastra pinggiran lebih segar dan menjanjikan. Menurut Budi Darma [baca rubrik Percakapan edisi ini], sastra masa depan adalah sastra yang mengusung tema multikultularisme. India dan Cina sudah mempraktekkannya, meskipun semangat poskolonial ternyata tak menular dan digarap oleh para penulis Indonesia.
Sayangnya, terjemahan yang marak itu tak diimbangi dengan kualitas. Masih banyak yang mengeluh buruknya terjemahan novel asing. Judul saja kadang tak diterjemahkan. Berliani beralasan, pemakaian judul asli ini semacam strategi promosi. Di Qanita, judul dari pengarang yang sudah dikenal, menarik, dan mudah diingat akan dipertahankan.
Menurut Berliani, mengubah judul atau mencantumkan padanan Indonesianya dikhawatirkan justru membuat novel itu tak dikenal calon pembeli. Novel Ring, misalnya, tetap memakai judul bahasa Inggris karena pernah difilmkan. “Kalau diubah, orang tak akan lagi ingat filmnya,” katanya. Alasan yang bisa diterima.
Itu berbeda dengan pilihan yang dibuat Ajip Rosidi. Dua dasawarsa lalu, ketika menejermahkan novel Kawabata Yasunari, Yukiguni, Ajip perlu menulis kata pengantar untuk menjelaskan judul terjemahan yang dipilihnya. Oleh Edward Seidensticker, Yukiguni diterjemahkan menjadi Snow Country. Anas Ma’ruf mengindonesikannya menjadi Negeri Salju.
Ajip, yang pernah mengajar di Universitas Bahasa Asing Osaka, menerangkan bahwa kata dasar “kuni” dalam judul itu memang sepadan dengan “country”, tapi ini bukan sebuah wilayah administratif pemerintahan seperti dalam kata “negeri”. Ia pun memilih padanan Yukiguni dengan Daerah Salju. Pertimbangan Ajip tentu lain dengan pertimbangan Berliani.
Kendati Negeri Salju jauh lebih puitis—seperti novelnya sendiri yang penuh renungan—ketimbang Daerah Salju, Ajip memilih yang kedua oleh pertimbangan setia pada teks asli dengan memberdayakan kosakata Indonesia yang ada. Berliani lebih memilih alasan bisnis dan praktis, yakni buku cepat sampai ke tangan pembaca. Judul asli, kata dia, juga sudah dikenal dalam “komunitas buku”.
Ketika judul asli dipertahankan orang tak lagi merasa asing. Bagaimana dengan pembaca awam? Menurut dia, pembaca awam akan membeli buku setelah orang di “komunitas buku” meributkannya: mengulas di media, di blog, atau ribut-ribut di mailinglist. Laris-tidaknya sebuah buku baru dilihat pada bulan kedua setelah naik cetak.
Respon pembaca awam baru terlihat pada bulan kedua ini. “Tapi daya serap pasar ini sebuah misteri,” katanya. Artinya, terjualnya sebuah judul buku tak bisa ditentukan waktunya. Novel-novel Asia mutakhir sebagian besar diterjemahkan dari bahasa Inggris. Itu karena teks aslinya ditulis dalam bahasa Inggris.
Penulis India, Cina dan Jepang sudah banyak yang menulis di tanah asing, karena imigrasi atau kelahiran. Tapi ada juga karena alasan penguasaan bahasa asli para penyunting di penerbit. Jalasutra menerjemahkan Gunung Jiwa justru dari edisi Prancis. Kepustakaan Populer Gramedia tak banyak memiliki penerjemah bahasa asli.
Menurut penyunting KPG, Candra Gautama, hanya penerjemah Jepang dan Rusia yang sudah siap dan bagus. Karena itu KPG baru menerbitkan Norwegian Wood yang sudah terjual 8.000 eksemplar. “Untuk Asia kami akan fokus ke sastra Jepang dulu, selain nanti ke Filipina,” katanya. Novel negara Asia lainnya belum disentuh KPG karena terbatasnya pengetahuan peta novel di negara asalnya.
Sastra India dan Cina, kata Candra, belum dijajaki seberapa tinggi responnya. “Kami lebih mempertimbangkan isi novel ketimbang tren,” katanya. Norwegian dipilih karena menggambarkan dengan telak Jepang modern yang sedang berubah ciri khas negeri pinggiran yang kini merangkak tampil ke muka sebuah ladang tema warisan dari sebuah masa yang rusuh oleh ide-ide.
Pramoedya Ananta Toer: Dulu, Saya Tak Pernah Menyangka akan Menjadi Tua
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Kabar tentang terpilihnya Pramoedya Ananta Toer sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time ternyata ditanggapi dengan sangat biasa oleh yang bersangkutan. Menurutnya, pemilihan semacam itu adalah hak dari publik. ”Saya memang sudah sering ditulis dan diwawancara oleh Time. Untuk kabar ini, saya belum membacanya, baru dengar dari wartawan,” ujarnya.
Namun, sesungguhnya ada kabar lain yang menggembirakan hatinya. Novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal. Pada sampul novel yang judulnya menjadi Soliloquio Mudo, dikutip juga tentang pernyataan majalah Time beberapa waktu lalu, bahwa Pramoedya adalah salah satu penulis kuat untuk calon pemenang Nobel. ”Sejak 1981, saya telah menjadi kandidat Nobel,” katanya.
Matahari belum menunjukkan kegarangannya saat SH menemui seorang sastrawan besar yang karyanya terkenal ke seantero dunia, Pramoedya Ananta Toer di rumahnya yang cukup luas. Kata orang, sastrawan memang kerap memilih kediaman yang terpencil. Lihat saja Rendra, Hamsad Rangkuti, atau Gerson Poyk yang tinggal di Depok. Mungkin Pram bisa masuk kategori itu. Namun, sekalipun terpencil di daerah Bojong Gede, rumahnya tetap terbuka. Cahaya matahari dapat masuk dengan leluasa ke setiap kisi pintu dan jendela.
Tiba di kediamannnya—setelah terlebih dahulu menetapkan janji untuk bertemu—kami melihat sebuah kendaraan dengan tanda CD (Corps Diplomatic) terparkir di halaman rumah. Pram sedang menerima tamu dari Kedutaan Portugal. Untungnya, dalam percakapan keduanya yang serius itu, ibu Maemunah—istri Pram—melihat kedatangan kami dan mempersilakan duduk. Senyum yang ramah bercampur keakraban menyambut kehadiran kami disambung dengan sajian teh.
Baru setelah tamu dari Kedutaan Portugal pamit, Pram kemudian muncul. ”Tunggu ya,” katanya, dengan wajah dan senyum yang tak berubah. Hangat. Kami pun menunggu di teras rumahnya. Pram masuk sebentar, kembali dengan sebungkus rokoknya.
”Dari media mana tadi? Sinar Harapan?” kata lelaki kelahiran 6 Februari 1925. Kami lalu mengatakan niat untuk mewawancarainya sehubungan dengan berita tentang Pramoedya Ananta Toer yang terpilih sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia versi majalah Time.
”Saya tidak tahu itu, saya justru baru dengar dari wartawan,” katanya. Namun, Pram mengatakan telah beberapa kali diwawancara oleh Time. Nyatanya, tak hanya penghargaan dari majalah itu, anugerah Magsaysay pun sudah pernah diraihnya. Bahkan pada novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Portugal, Soliloquio Mudo tertera keterangan di sampulnya: O Principal candidato asiatico ao premio Nobel (Time)—bahwa Pram adalah calon kuat peraih Nobel.
Tentang Nobel, Pram mengatakan telah mendengar beberapa kali tentang pencalonannya. Soal kontroversi di negaranya sendiri, menurutnya Amerika kadang bisa lebih demokratis dalam melihat profil seorang pemikir. ”Gao Xingjian, pemenang Nobel dari Cina yang lari ke Amerika atau siapa itu yang dari Italia (komedian Dario Fo-red), itu kan juga kontroversial. Waktu mereka menang, banyak orang yang marah,” ujar mantan karyawan Kantor Berita Domei di masa penjajahan Jepang.
Seberapa kuat karya sastra bisa mempengaruhi masyarakat global? ”Ya persisnya saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah karya saya yang telah diterjemahkan lebih dari 30 bahasa di seluruh dunia. Artinya, apa yang ada di karya saya itu masuk ke dalam alam pikiran pembaca. Tentang apakah alam pikiran bisa menggerakkan perbuatan atau tidak, itu soal lain,” ujarnya.
Nyatanya, bagi Pram, Indonesia memang suatu saat harus mampu menampilkan penulis Indonesia yang mampu memperoleh Nobel. ”Kalau Indonesia tidak bisa meraih Nobel karena mungkin Akademi Swedia tidak punya ahli bahasa Indonesia sehingga semuanya harus melalui terjemahan,” ujar Pram, setengah bercanda.
Detail
Hidup Pram memang tak lepas dari terali penjara. Tak hanya dalam rezim Orde Baru, pada pemerintahan Belanda pun dia pernah ditahan pada tahun 1947—1949. Tahun 1965 hingga 1979, dia pun kembali ditahan di beberapa tempat seperti di penjara Jakarta, Tangerang, Nusakambangan, Magelang, Semarang dan Pulau Buru.
Begitu pun dengan nasib karyanya. Banyak hasil tulisannya yang dirampas Belanda, Inggris dan bahkan pemerintahan Indonesia sendiri. ”Nggak ngerti hidup saya begini. Dirampasin, diinjek, dihina,” katanya. Bahkan saat mendengar tentang karyanya yang pernah dibakar dan dirampas oleh rezim Orde Baru, wajah Pram makin terlihat mendung. ”Nggak ngerti saya, kalau negara membutuhkan, silakan ambil. Tapi, pakai tanda terima segala macem. Itu ‘kan lebih baik. Ini dirampas dan dibakari, nggak ngerti. Naskah-naskah, dokumentasi, dokumentasi saya itu mulai abad sebelumnya, berapa harganya, nggak bisa dihitung. Nggak ngerti kok bisa berbuat begitu,” ujarnya. Suaranya tertahan, ada tangisan yang berusaha dia sembunyikan di balik wajah tuanya.
Menurut Pram, setiap sastrawan, harus siap menanggung segala konsekuensi atas karya-karyanya. ”Penulis harus berani. Dia harus mau mempertanggungjawabkan karyanya,” ujar Pram. Perkara keberanian juga membuat dia tetap konsisten untuk berkarya, bahkan ketika ia dipenjara sekalipun. Pada tahun 1972, saat di penjara, Pram ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Waktu itu, Amerikalah yang memaksa rezim agar Pram dikirimi mesin tik—walau kiriman mesin tik itu nyatanya tidak pernah sampai—sehingga kawan-kawan sesama napi pun terpaksa membikinkan mesin tik bekas buat Pram.
Lantas, apakah pengarang yang cukup dikenal di dunia ini juga menyukai karya sastrawan lain? Dengan rendah hati, dia katakan kalau dia pun menyukai beberapa karya dari luar, termasuk Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. ”Saya belajar dari Steinbeck, pernah baca karya Steinbeck? Coba perhatikan, sampai lalat terbang, segala macam diungkap untuk menggambarkan suasana. Sehingga kalau kita baca Steinbeck seperti nonton film. Nah, itu berpengaruh sama saya. Kalau baca buku saya ‘kan seperti nonton film. Pelajari gaya bahasa dia, itu gaya plastik namanya. Kita baca seperti nonton film, semua tergambar,” ujarnya. Namun, Pram tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, ”Tidak manusiawi,” kata pengagum peraih Nobel, Gunter Grass.
Selain membuat novel, ternyata Pram pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional.
Pram berpendapat penulis sekarang juga harus berani dan mampu mengangkat hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat. Hanya, dia sadari kondisi saat ini membuat penulis dan pemikir muda harus menghadapi sesuatu yang sangat berat, keberanian menempuh risiko seorang diri. Di negara dunia ketiga di mana kondisi rakyat memprihatinkan, para penulis sesungguhnya memikul tanggung jawab yang lebih berat. Cuma, banyak generasi sekarang yang pemikirannya terlampau miskin, perhatiannya pada kemanusiaan nggak ada. ”Cuma, itu urusan kalian lho. Sudah bukan urusan saya lagi,” kata Pram, dengan nada yang kocak.
Tegar
Kini, Pram mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu dia bisa lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. ”Rupanya suhu badan saya dipatahkan oleh suhu alam,” katanya, dengan gaya bahasa khas Pram.
Dia bahkan sudah tidak membuat karya lagi kini. Bagaimana kalau ada ide yang mendesak, tidak berupa Kali Lusi di Blora, tapi tentang rel di Stasiun Bojong Gede? Menjawab itu, Pram hanya tersenyum tipis, sedikit menggiris. ”Lha, konsentrasinya udah bubar nggak keruan. Itulah, dulu saya tidak pernah menyangka akan menjadi tua.
Perasaan kuat badan saya, nggak tahunya sama saja dengan yang lain, kemerosotan otak,” kata lelaki asal Blora yang berasal dari daerah bagian kelompok masyarakat Samin. ”Masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis itu menginspirasi Gandhi lewat Swadeshi dan Satyagraha lho,” ujarnya.
Kini, dia ingin bersunyi-sunyi di kediamannya, berternak dan berkebun. Dia memang sudah lama tidak ke Blora. ”Nanti dari Eropa, mungkin saya ke sana. Betulin rumah,” katanya. Mulai bulan Mei, dia akan melakukan perjalanan ke beberapa negara di Eropa. Negara yang akan ditujunya pertama adalah Swiss, lalu menyeberang ke Italia untuk menerima penghargaan Laureate Novelist dari Universitas Bologna, Italia Utara.
Dia juga berencana akan ke Spanyol (dalam bahasa Catalon) dan ke Yunani untuk meluncurkan Gadis Pantai. ”Juga undangan ke Prancis yang saya tidak tahu acaranya,” ujar lelaki ini sambil terus menghisap rokoknya dalam-dalam. Tampaknya, novelis Anak Segala Bangsa ini telah menjadi anak segala bangsa dalam arti sesungguhnya. Berkelana, mengarungi beberapa negara dan bangsa …
http://www.sinarharapan.co.id/
Kabar tentang terpilihnya Pramoedya Ananta Toer sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time ternyata ditanggapi dengan sangat biasa oleh yang bersangkutan. Menurutnya, pemilihan semacam itu adalah hak dari publik. ”Saya memang sudah sering ditulis dan diwawancara oleh Time. Untuk kabar ini, saya belum membacanya, baru dengar dari wartawan,” ujarnya.
Namun, sesungguhnya ada kabar lain yang menggembirakan hatinya. Novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal. Pada sampul novel yang judulnya menjadi Soliloquio Mudo, dikutip juga tentang pernyataan majalah Time beberapa waktu lalu, bahwa Pramoedya adalah salah satu penulis kuat untuk calon pemenang Nobel. ”Sejak 1981, saya telah menjadi kandidat Nobel,” katanya.
Matahari belum menunjukkan kegarangannya saat SH menemui seorang sastrawan besar yang karyanya terkenal ke seantero dunia, Pramoedya Ananta Toer di rumahnya yang cukup luas. Kata orang, sastrawan memang kerap memilih kediaman yang terpencil. Lihat saja Rendra, Hamsad Rangkuti, atau Gerson Poyk yang tinggal di Depok. Mungkin Pram bisa masuk kategori itu. Namun, sekalipun terpencil di daerah Bojong Gede, rumahnya tetap terbuka. Cahaya matahari dapat masuk dengan leluasa ke setiap kisi pintu dan jendela.
Tiba di kediamannnya—setelah terlebih dahulu menetapkan janji untuk bertemu—kami melihat sebuah kendaraan dengan tanda CD (Corps Diplomatic) terparkir di halaman rumah. Pram sedang menerima tamu dari Kedutaan Portugal. Untungnya, dalam percakapan keduanya yang serius itu, ibu Maemunah—istri Pram—melihat kedatangan kami dan mempersilakan duduk. Senyum yang ramah bercampur keakraban menyambut kehadiran kami disambung dengan sajian teh.
Baru setelah tamu dari Kedutaan Portugal pamit, Pram kemudian muncul. ”Tunggu ya,” katanya, dengan wajah dan senyum yang tak berubah. Hangat. Kami pun menunggu di teras rumahnya. Pram masuk sebentar, kembali dengan sebungkus rokoknya.
”Dari media mana tadi? Sinar Harapan?” kata lelaki kelahiran 6 Februari 1925. Kami lalu mengatakan niat untuk mewawancarainya sehubungan dengan berita tentang Pramoedya Ananta Toer yang terpilih sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia versi majalah Time.
”Saya tidak tahu itu, saya justru baru dengar dari wartawan,” katanya. Namun, Pram mengatakan telah beberapa kali diwawancara oleh Time. Nyatanya, tak hanya penghargaan dari majalah itu, anugerah Magsaysay pun sudah pernah diraihnya. Bahkan pada novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Portugal, Soliloquio Mudo tertera keterangan di sampulnya: O Principal candidato asiatico ao premio Nobel (Time)—bahwa Pram adalah calon kuat peraih Nobel.
Tentang Nobel, Pram mengatakan telah mendengar beberapa kali tentang pencalonannya. Soal kontroversi di negaranya sendiri, menurutnya Amerika kadang bisa lebih demokratis dalam melihat profil seorang pemikir. ”Gao Xingjian, pemenang Nobel dari Cina yang lari ke Amerika atau siapa itu yang dari Italia (komedian Dario Fo-red), itu kan juga kontroversial. Waktu mereka menang, banyak orang yang marah,” ujar mantan karyawan Kantor Berita Domei di masa penjajahan Jepang.
Seberapa kuat karya sastra bisa mempengaruhi masyarakat global? ”Ya persisnya saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah karya saya yang telah diterjemahkan lebih dari 30 bahasa di seluruh dunia. Artinya, apa yang ada di karya saya itu masuk ke dalam alam pikiran pembaca. Tentang apakah alam pikiran bisa menggerakkan perbuatan atau tidak, itu soal lain,” ujarnya.
Nyatanya, bagi Pram, Indonesia memang suatu saat harus mampu menampilkan penulis Indonesia yang mampu memperoleh Nobel. ”Kalau Indonesia tidak bisa meraih Nobel karena mungkin Akademi Swedia tidak punya ahli bahasa Indonesia sehingga semuanya harus melalui terjemahan,” ujar Pram, setengah bercanda.
Detail
Hidup Pram memang tak lepas dari terali penjara. Tak hanya dalam rezim Orde Baru, pada pemerintahan Belanda pun dia pernah ditahan pada tahun 1947—1949. Tahun 1965 hingga 1979, dia pun kembali ditahan di beberapa tempat seperti di penjara Jakarta, Tangerang, Nusakambangan, Magelang, Semarang dan Pulau Buru.
Begitu pun dengan nasib karyanya. Banyak hasil tulisannya yang dirampas Belanda, Inggris dan bahkan pemerintahan Indonesia sendiri. ”Nggak ngerti hidup saya begini. Dirampasin, diinjek, dihina,” katanya. Bahkan saat mendengar tentang karyanya yang pernah dibakar dan dirampas oleh rezim Orde Baru, wajah Pram makin terlihat mendung. ”Nggak ngerti saya, kalau negara membutuhkan, silakan ambil. Tapi, pakai tanda terima segala macem. Itu ‘kan lebih baik. Ini dirampas dan dibakari, nggak ngerti. Naskah-naskah, dokumentasi, dokumentasi saya itu mulai abad sebelumnya, berapa harganya, nggak bisa dihitung. Nggak ngerti kok bisa berbuat begitu,” ujarnya. Suaranya tertahan, ada tangisan yang berusaha dia sembunyikan di balik wajah tuanya.
Menurut Pram, setiap sastrawan, harus siap menanggung segala konsekuensi atas karya-karyanya. ”Penulis harus berani. Dia harus mau mempertanggungjawabkan karyanya,” ujar Pram. Perkara keberanian juga membuat dia tetap konsisten untuk berkarya, bahkan ketika ia dipenjara sekalipun. Pada tahun 1972, saat di penjara, Pram ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Waktu itu, Amerikalah yang memaksa rezim agar Pram dikirimi mesin tik—walau kiriman mesin tik itu nyatanya tidak pernah sampai—sehingga kawan-kawan sesama napi pun terpaksa membikinkan mesin tik bekas buat Pram.
Lantas, apakah pengarang yang cukup dikenal di dunia ini juga menyukai karya sastrawan lain? Dengan rendah hati, dia katakan kalau dia pun menyukai beberapa karya dari luar, termasuk Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. ”Saya belajar dari Steinbeck, pernah baca karya Steinbeck? Coba perhatikan, sampai lalat terbang, segala macam diungkap untuk menggambarkan suasana. Sehingga kalau kita baca Steinbeck seperti nonton film. Nah, itu berpengaruh sama saya. Kalau baca buku saya ‘kan seperti nonton film. Pelajari gaya bahasa dia, itu gaya plastik namanya. Kita baca seperti nonton film, semua tergambar,” ujarnya. Namun, Pram tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, ”Tidak manusiawi,” kata pengagum peraih Nobel, Gunter Grass.
Selain membuat novel, ternyata Pram pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional.
Pram berpendapat penulis sekarang juga harus berani dan mampu mengangkat hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat. Hanya, dia sadari kondisi saat ini membuat penulis dan pemikir muda harus menghadapi sesuatu yang sangat berat, keberanian menempuh risiko seorang diri. Di negara dunia ketiga di mana kondisi rakyat memprihatinkan, para penulis sesungguhnya memikul tanggung jawab yang lebih berat. Cuma, banyak generasi sekarang yang pemikirannya terlampau miskin, perhatiannya pada kemanusiaan nggak ada. ”Cuma, itu urusan kalian lho. Sudah bukan urusan saya lagi,” kata Pram, dengan nada yang kocak.
Tegar
Kini, Pram mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu dia bisa lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. ”Rupanya suhu badan saya dipatahkan oleh suhu alam,” katanya, dengan gaya bahasa khas Pram.
Dia bahkan sudah tidak membuat karya lagi kini. Bagaimana kalau ada ide yang mendesak, tidak berupa Kali Lusi di Blora, tapi tentang rel di Stasiun Bojong Gede? Menjawab itu, Pram hanya tersenyum tipis, sedikit menggiris. ”Lha, konsentrasinya udah bubar nggak keruan. Itulah, dulu saya tidak pernah menyangka akan menjadi tua.
Perasaan kuat badan saya, nggak tahunya sama saja dengan yang lain, kemerosotan otak,” kata lelaki asal Blora yang berasal dari daerah bagian kelompok masyarakat Samin. ”Masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis itu menginspirasi Gandhi lewat Swadeshi dan Satyagraha lho,” ujarnya.
Kini, dia ingin bersunyi-sunyi di kediamannya, berternak dan berkebun. Dia memang sudah lama tidak ke Blora. ”Nanti dari Eropa, mungkin saya ke sana. Betulin rumah,” katanya. Mulai bulan Mei, dia akan melakukan perjalanan ke beberapa negara di Eropa. Negara yang akan ditujunya pertama adalah Swiss, lalu menyeberang ke Italia untuk menerima penghargaan Laureate Novelist dari Universitas Bologna, Italia Utara.
Dia juga berencana akan ke Spanyol (dalam bahasa Catalon) dan ke Yunani untuk meluncurkan Gadis Pantai. ”Juga undangan ke Prancis yang saya tidak tahu acaranya,” ujar lelaki ini sambil terus menghisap rokoknya dalam-dalam. Tampaknya, novelis Anak Segala Bangsa ini telah menjadi anak segala bangsa dalam arti sesungguhnya. Berkelana, mengarungi beberapa negara dan bangsa …
Penulisan Feminin dan Maskulin
Daya Hidup, Seks, dan Narasi
Kematian dalam Semangat Tubuh
Mariana Amiruddin
http://www2.kompas.com/
APA lagi yang dapat kita temukan dalam karya penulisan? Setelah deretan pujangga mencoba menyihir manusia membuat kategori mana yang indah dan mana yang tidak, lahir kemudian penulisan menara gading versus pinggiran, seks versus moral, sastra-wangi versus sastra-bau. Lalu apa yang dapat kita nikmati dari penciptaan kategori?
BISA negatif: sesuatu yang merendahkan atau meninggikan. Bisa positif: sesuatu yang menjelaskan. Untuk sesuatu yang menjelaskan, saya akan turut serta menciptakan kategori penulisan feminin dan maskulin, ecriture feminine-masculine, yang wilayahnya adalah jender. Adakah yang lebih baik satu dengan lainnya? Tidak ada. Di sini saya akan membuat identifikasi bahwa setiap karya cipta tak dapat lepas dari identitas jender atau jenis kelamin. Berangkat dari penjelajahan hidup masing-masing, sebuah karya lahir tak lepas dari jenis kelamin pengarang, dengan sekian kekhasan dan beda.
Pemahaman vagina, misalnya, dari yang esensialis menjadi morfologis. Vagina jelas berbeda dengan penis. Fungsinya saja sangat berseberangan. Sigmund Freud lebih dulu mengidentifikasinya dengan sekian gagasan imajinasi (morfologi) yang kelewat ilmiah. Klitoris menurut dia penis kecil yang inferior dan kehilangan hasrat, sedangkan penis direpresentasikan sebagai pemilik hasrat yang paling utuh. Freud percaya hanya pria yang bisa masturbasi karena penis konkret dan kelihatan.
Ide Freud ini membuat saya ikut-ikutan (baca: mendapatkan inspirasi) mencapai imajinasi yang kelewat ilmiah: vagina merupakan organ seks perempuan yang kompleks dan hasrat tertingginya adalah multiorgasme meski tanpa klimaks. Strukturnya tak tunggal seperti penis, melainkan multiorgan. Penuh kemungkinan, memiliki tabungan kehidupan dan kematian dalam rahim. Vagina bukan semata-mata hasrat seks dan aktivitas masturbasi, melainkan penghadir kehidupan dan kematian. Berseberangan dengan Freud, identitas feminin adalah keutuhan hasrat yang mencakup kehidupan, seks, dan kematian. Itulah reproduksi feminin yang khas dan berbeda dari maskulin.
Kita adalah tubuh kita sendiri
Dari pembicaraan di atas, penulisan feminin dan maskulin adalah pembicaraan tentang hasrat (desire) kehidupan, seks, dan kematian. Ketiganya adalah kenikmatan (pleasure) atas tubuh. Tubuh, karena ia adalah materi hidup yang paling intim, terutama untuk keluar dari kegagalan pencarian akar kebudayaan. Tubuh adalah satu-satunya pencapaian sekaligus keintiman yang mudah diraih, yang selama ini cenderung dilupakan seperti gajah di pelupuk mata. Maka, ketika orang tanya apakah akar kebudayaan saya, tahukah asal-muasal sejarah kebudayaan saya, saya akan menjawabnya, “Kebudayaan saya adalah tubuh saya sendiri”. Tubuh itu sendiri begitu dekat dengan jenis (alat) kelamin. Maka, penulisan feminin-maskulin adalah penggalian tentang tubuh kita. Tubuh di sini adalah keseluruhan: esensi, eksistensi, wacana, dan wahanayangbertumpukdanbermesraan-peleburancakrawala dalam dunia penulisan.
Tubuh perlu dilahirkan kembali sebagai wacana internal yang dibangkitkan menuju wacana eksternal manusia sebab kesadaran tentang tubuh sama pentingnya dengan kesadaran tentang hasrat (hidup, seks, dan kematian). Hasrat adalah cakrawala tubuh itu sendiri. Kurangnya pengetahuan atas tubuh membuat manusia tidak memiliki bekal mengatasi persoalan hidup, seks, dan kematian-nya.
Perbincangan tentang tubuh dan hasrat dalam tulisan ini akan kita mulai dengan pemahaman penulisan feminin dan maskulin. Kedua tipe penulisan ini akan meluapkan ide tentang kematian, seks, kehidupan, dan menerangkan sesuatu yang berbasis perbedaan identitas jender.
Determinasi penulisan feminin-maskulin
Ecriture adalah kata atau konsep yang diambil dari bahasa Perancis tentang gagasan dunia penulisan. Istilah ecriture lahir dari Helene Cixous, tokoh sastra feminis Prancis yang biasa dikenal dengan ecriture feminine “penulisan feminin”. Ide ini tidak menutup kemungkinan penulisan maskulin atau penulisan yang dibangun oleh pengalaman pria. Penulisan feminin adalah dunia penulisan yang diciptakan berdasarkan perbedaan seks yang di dalamnya terdapat ketiadabatasan, seperti mimpi. Perbedaan seks dapat menunjukkan determinasi penulisan yang berbasis jender dan memiliki potensi alternatif sekaligus jalan memahami dunia. Penulisan feminin memiliki potensi kemungkinan analisis bagi kedua jenis kelamin, meski perempuan akan lebih dekat dengan konsep ini daripada laki-laki. Penulisan feminin berpotensi menyatakan dan memformulasi struktur yang bahkan meliputi atau memasukipengalamanlainnya(baca:pengalamanmaskulin)
Penulisan feminin adalah ide yang berangkat dari tubuh, seperti advokasi Cixous yang menyuarakan women’s writing their bodies dan tidak menutup kemungkinan men’s writing their bodies. Penulisan feminin adalah representasi tubuh untuk mendapatkan kesadaran tentang kehidupan, seks, dan kematian (baca: ketiadabatasan-kebebasan-ke-berada-an). “Write! Writing is for you, you are for you; your body is yours, take it. I know why you haven’t written. (And why I didn’t write before the age of twenty-seven). Because writing is at once to high, too great for you, it’s reserved for the great –that is, for ’greatmen’andit’s’silly’.”
Esai sastra Helene Cixous penuh dengan muatan hasrat kehidupan, seks, dan kematian. Dalam esainya Pancaran Kematian, ia mencatat, “Menulis adalah hidup dan hidup selalu mempertanyakan kematian.” Kematian menurut Cixous adalah daya sebab ia mengucapkannya dengan istilah pancaran yang sebanding dengan kehidupan. Lalu, ia luapkan hal itu dalam skenario esainya, “Kematian bukanlah apa-apa. Mati bukanlah sesuatu. Itu hanya sebuah lubang. Saya dapat mengisinya dengan fantasi (imajinasi) dan memberinya nama (baru), jika saya ingin. Saya juga dapat bicara tentang kastrasi (kebiri, pemotongan, pembunuhan) di mana tidak ada manusia atau ’segala yang harus’ kepada sayauntukmelakukannya.”
Penulisan feminin kental dengan hasrat kematian sebagai kehidupan (kelahiran) atau kebangkitan. Sedangkan penulisan maskulin menjadikan kematian sebagai inspirasi kesudahan, the end of the world. Penulisan feminin mencari kehidupan di balik kematian karena investasi organ seksnya yang bernama rahim selalu mengandung semangat kehidupan. Perempuan meninggalkan kehidupan karena penindasan dan posisinya sebagai jenis kelamin kedua setelah pria (meminjam The Second Sex Simone de Beauvoir). Kematian bagi perempuan adalah kehidupan yang tiada batas. Sedangkan pada laki-laki, kematian adalah lari dari absurditas hidup yang bergelimang kuasa dan kedudukan, yang sesungguhnya sangat terbatas dan tak bebas. Penulisan maskulin tertarik pada kematian karena jenuh dengan kemenangan dan kekuasaannya yang ternyata kaku, membosankan, dan penuh aturan.
Mereka yang mengais tubuh sendiri
“Tubuh adalah seismograf kebudayaan,” demikian respons Ignas Kleden terhadap puisi Di bawah Kibaran Sarung Joko Pinurbo. Seperti pandangan tradisional yang kerap mengidentikkan tubuh dengan dosa, Ignas meluruskan stigma tubuh yang murung ini dengan representasi kebudayaan manusia, “…karena dia (tubuh) menyingkapkan dan mengingatkan kembali pentingnya badan dan hidup, dalam kebudayaan… memahami bahasa badan dengan lebih sensitif adalah jalan aman untuk memahami banyak perkara pentingdalamkebudayaandanmasyarakat…”
Semangat tubuh memang tampil dominan dalam puisi Joko Pinurbo. Tubuh laki-laki sebagai proyeksi menangkap dunia, menangkap “kegenitan” masyarakat. Joko Pinurbo memancarkan tubuhnya dengan kengerian, keengganan, penyesalan, sekaligus penghormatan atas dunia yang ia hadapi. Dunia pribadi laki-laki yang hidupnya dikutuk berkutat dalam status dan pekerjaan dan, untuk tidak terjebak pada kemiskinan atau pengabdian pada publik hingga terseret, nyaris melupakan ke-diri-an, mengingkari tubuhnya sendiri. Karena itu, ia berpaling, melucuti tubuhnya melalui doa dalam puisi Doa Sebelum Mandi:
Tuhan, saya takut mandi/saya takut dilucuti/saya takut pada tubuh saya sendiri/kalau saya buka tubuh saya nanti/mayat yang saya sembunyikan akan bangun dan berkeliaran/saya ini orang miskin yang celaka/hidup saya sehari-hari sudah telanjang/kerja saya mencari pekerjaan….
Merepresentasikan kebudayaan, Joko Pinurbo cukup memilih wilayah-wilayah pribadi yang identik dengan aktivitas tubuh seperti mandi, bercukur, becermin, dan mengganti pakaian. Ia tidak terlalu repot-repot meluaskannya, kegiatan-kegiatan sepele laki-laki yang dekat dengan tubuhnya dapat mengeksplorasi kekayaan itu sendiri. Seperti komentar Ignas Kleden yang mengawang, ia menyebutnya “suatu metanoia yang tuntas”.
Puisi Binhad Nurrohmat adalah pernyataan tubuh laki-laki yang norak, namun percaya diri. Tubuh laki-laki tak menjadi haram bila tidak dibicarakan dalam konteks kejantanan. Bila Joko Pinurbo menggambarkan kebotakan seorang lelaki, maka dalam puisi Berak, Binhad membiarkan penis dan bokong bergelayut dalam bentuk yang buruk. Zakarmu sekuyu gelambir leher jompo/bungkuk dan malu-malu/mengintip puing tahi/terjepit bongkah coklat bokongmu. Joko Pinurbo melihat dunia dengan tubuhnya, Binhad melihat tubuhnya untuk terus meringkuk di dalamnya, merenung dan memandangnya sendiri, tubuh yang merana dalam dunia yang luas.
Joko Pinurbo dan Binhad Nurrohmat dalam gerak penulisan maskulin berlari, melongok tubuhnya sendiri, di sana ada dunia, wahana maskulin yang tak disadari dan tak berdaya. Semangat tubuh dalam kerangka maskulin ini mengingatkan saya dengan penulisan feminin eseis feminis Perancis, Annie Leclerc, dalam kumpulan esei Perempuan Angkat Bicara tentang menstruasi. Ia angkat bicara tentang ketimpangan jender melalui tubuh: Datang bulan atau tidak bagi mereka (laki-laki) sama saja. Mereka bukanlah orang yang tepat untuk diajak bicara tentang penderitaan… Bahkan, mereka tidak merasakan aliran darah hangat dan mirip madu… Begitu ada darah menetes, langsung disumbat dengan sumpal kapas, sederhana sekali. Asal tahu saja, darah perempuan memang bau… yang lazim dan benar-benar menimbulkan rasa muak. Lebih memuakkan daripada bau air susu, daripada bau sperma, daripada bau keringat, jauh lebih bau daripada tinja kita… Begitu banyak cara menolak tubuh kita sendiri, melakukankekerasanterhadapnya,menyucikannya,melupakannya…
Wacana tubuh pada penulisan feminin memang tampak lebih kompleks dan terbuka. Ia tidak hanya bicara bentuk-bentuk tubuh dalam melihat dunia, melainkan tubuh yang membawa proses-proses reproduksi, di antaranya menstruasi. Senapas dengan cerpen Menyusu Ayah Djenar Maesa Ayu dalam Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), Djenar membentang proses tubuh yang melahirkan manusia sebagai awal pertarungan hidup-mati Ibu dan anak perempuannya, Nayla. Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah daripada laki-laki. Sayalah yang membantu Ibu melahirkan, bukan dokter kandungan. Ketika Ibu kehabisan napas dan sudah tidak dapat lagi mengejan, saya menggigiti dinding vagina Ibu dengan gusi supaya jalan keluar bagi saya lebih mudah… saya menendang rahim Ibu dan mendorong badan saya keluar keras-keras. Dalam cerita ini Djenar mainkan imajinasinya, cerita baru tentang Electra Complex yang berangkat dari tubuh: tubuh anak yang terpisah dari tubuh Ibu, kerinduan pada tubuh Ibu, tetapi terlempar pada tubuh ayah: dokter kandungan memegang kedua kaki saya dan mengangkat saya hingga jungkir balik. Saya menangis keras. Saya ingin memeluk Ibu. Tapi dokter kandungan seperti tidak peduli. Ia malah menggunting tali pusar saya… saya berteriak memohon Ibu. Dokter menutup tubuh Ibu dengan kain putih… Terpisah dari Ibu… Saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Saya ingin membela Ibu.
Obsesi kematian tubuh
Selain hidup dan seksualitas, tubuh juga melihat dunia lain. Seperti lubang, ia adalah ruang yang berisi imaji, bebas untuk mencipta apa pun. Sekalipun mengerikan, ia bahkan mengharukan. Ia seperti mimpi atau gudang bawah sadar kita: penuh misteri, berantakan, mengentak, seperti percik api yang melompat, tak terbayangkan. Dan, semua dimediasi tubuh. Joko Pinurbo mengejanya dalam Tamu, masih dalam kengerian dan ketakutan: tubuh yang sumpek dan temaram/tamu itu merapal doa sepanjang malam/doanya mencengkeram meremas-remas jantung/sampai darahku bergolak dan tubuhku tersentak:/”Aku takut mati!”
Berbeda dengan Bertengkar dengan Maut Hudan Hidayat dalam Keluarga Gerilya, ia malah menyambutnya dengan antusias bahwa kematian sebagai cita-cita dan kepuasan ditemukan melalui kesakitan tubuh sekalian penaklukan Tuhan. Aku siap di kamarku. Aku ingin membunuh diriku sendiri. Tanganku menggenggam pistol. Aku telah mengisinya dengan peluru. Jadi siap tembak. Tinggal mengokang dan menarik pelatuknya/…siapa yang berkuasa kini? Atau aku? Atau Tuhan? Aku tinggal menarik pelatuk, maka meledaklah kepalaku. Mungkinkah Tuhan dapat menahan ledakan itu? Tidak bisa. Jadi siapa yang berkuasa?
Berbeda pula dengan Sakratul Maut dan Bom Tommy F Awuy dalam Logika Falus, ia mencangkoknya dengan logika cerita: permainan situasi dan pikiran untuk menghentikan organisasi tubuh atas beban hidup yang dipanggul. Melalui tokoh Rio, Tommy memetik semangat kisah Romeo dan Juliet yang membuat peristiwa bunuh diri jadi agung, mengakhiri tubuh sendiri. Rio gelisah tak karuan. Keinginan untuk mengalami sakratul maut makin lama makin kencang menekan-nekan obsesi… aku ingin mencari bagaimana caranya mengalami sakratul maut dalam kondisi yang kita buat sendiri, menikmatinya biar sebentar saja lalu kembali ke alam sadar… Ayo Wisdom, tolong carikan jalan untukku. Aku tak sabar lagi.
Namun, Hudan membangun kematian tanpa latar depresi, trauma, ataupun beban, melainkan hasrat kematian yang penuh kenikmatan untuk mencapai penderitaan tubuh sekaligus mengakhiri kesakitan: Tanganku menarik besi hitam itu, perlahan-lahan. Aku ingin merasakan tahap-tahap kematian. Saat maut menjemput, kata orang, adalah saat-saat istimewa.
Luapan hasrat bunuh diri Hudan seperti antusiasme anak-anak mencicipi es krim rasa coklat-vanila dan stroberi sambil bercita-cita jadi insinyur. Pasti menarik melihat darahku mengucur. Darah yang seperti manusia berjalan, melebar, membasahi karpet dan lantai, akhirnya akan merembes ke luar. Pada saat itu, sudah matikah aku? Kalau belum mati, kacau jadinya. Cita-citaku untuk membunuh diri gagal. Padahal sudah lama kuangankan. Sejak SMP.
Obsesi bunuh diri Hudan bukan sebuah kegilaan yang ekstrem. Ia cuma mau menantang hidup dan menjawabnya dengan kematian, mengajak pengoperasian tubuhnya berhenti. Dirobeklah tubuhnya, tepatnya di bagian perut dan bergumam, aku tidak merasa sedih meninggalkan dunia ini. Mereka bukan milikku. Dan aku bukan milik mereka. Kami membutuhkan secara fungsional saja.
Bila Tommy mencapai kematian dengan keteraturan logika, Hudan mencapai kematian dengan bentuknya yang impulsif, melompat, tercerai-berai. Keduanya berangkat dari pengalaman kelelakian yang menoleh pada kematian. Kematian sebagai ruang yang lengang untuk berjingkrak dan berakrobat. Bahkan, Hudan menyandingkan keinginan untuk mati dengan hasrat untuk membunuh. Bayang-bayang pembunuhan memenuhi otakku. Pokoknya kau harus membunuh! Mencari orang lain tidak mungkin, mengapa tidak diri sendiri? Tanpa menimbang lagi, kugigit lidahku sampai putus.
Mereka dengan pengalaman tubuh lelaki menghasilkan penulisan maskulin untuk mengatasi (baca: melawan) kejenuhan, kekakuan, dan keteraturan melalui kematian. Mereka mengatasi kejenuhannya dengan rentetan kengerian dan permainan kematian, seperti figur Ayah yang lelah bekerja seharian di bawah tekanan struktur kantor, seperti tokoh Ayah dalam Menyusu Ayah Djenar Maesa Ayu yang berperan dominan, juga Joko Pinurbo dalam puisinya yang takut mati tapi ingin pula mencapainya.
A Man’s World adalah dunia laki-laki yang terkungkung. Dengan pembagian kerja yang melelahkan, pria harus selalu mencari nafkah sekalipun tak berbakat. Kelelahan ini tampak pada Keluarga Gila Hudan Hidayat yang membalik pembagian kerja suami istri dan bersama anaknya, tema pembunuhan kemudian menjadi puncak kenikmatannya: Ayah memasak di dapur. Ibu membaca surat kabar-kopinya masih mengepul. Kami saling membenci. Ribuan kali ayah mau membunuh ibu, tapi ibu berhasil lolos… tidak hanya ayah yang mau membunuh ibu. Ibu juga selalu mau membunuh ayah. Juga membunuhku.
Mereka yang jenuh dengan tubuh dan dengannya dunia maskulin tercipta, semuanya begitu transparan terlihat. Saya menyebut kehidupan maskulin sebagai kehidupan yang tunggal seperti penis: tegang, kaku, harus besar dan senantiasa perkasa, tidak intim atau berjarak dan terlalu mengagungkan rasio. Itu sebabnya penulisan maskulin nekat lari ke tepi jurang dan menjatuhkan diri mereka pada kebebasan: membuat ketidakberaturan, membiarkan cair, melompat (kiasme), dan sengaja menjadi tidak rasional. Kematian menjadi nikmat dibandingkan dengan kehidupan yang kaku.
Cerpen-cerpen Hudan dalam Keluarga Gerilya tidak pernah mau tunduk pada aturan, tatanan, selalu ingin keluar dari struktur bahkan dari pembaca. Ia tidak pernah mau jadi obyek pembaca, maunya selalu jadi subyek yang mempermainkan pembaca. Ia selalu keluar dari logika yang mau mengatur. Inilah perjuangan Hudan menjadi bebas (kebetulan menjadi seperti Jean- Paul Sartre), yang tak pernah rela dijadikan obyek: keluar dari predikat maskulin dan aturan peran jender yang dibuat masyarakat. Selain Hudan, mungkinkah mereka berani keluar dari sejarah yang bekerja menurutlogikaLogosSpermatikos?
Mariana Amiruddin
Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan, Magister Humaniora Kajian Wanita UI. Tesisnya “Representasi Seksualitas Perempuan dalam Novel Saman” (Memakai Metode Hermeneutik dan Perspektif Feminis) Sedang dibukukan.
1. Sastra wangi adalah sebutan untuk karya-karya sastra perempuan yang diciptakan oleh kalangan sastrawan, sedangkan sastra bau adalah ciptaan saya sendiri untuk memosisikan bahwa yang bukan karya perempuan berarti “sastra bau”.
2. Baca pendapat Sigmund Freud tentang penis kecil dalam Juliet Mitchel, Psychoanalysis and Feminism (New York: Vintage Books a Division of Random Haouse, 1975) hal 46.
3. Istilah peleburan cakrawala diambil dari Paul Ricoeur dalam tulisan Bronwen Martin tentang Dictionary of Semiotics (New York: Cassel, 2001) hal 7. Peleburan cakrawala adalah konsep hermeneutika di mana penafsir memosisikan diri sebagai peneliti teks yang melebur masuk cakrawala teks yang ia teliti dan di dalamnya akan lahir wacana baru (memproduksi makna baru). Demikian pula dalam tubuh sebagai teks, maka tubuh bisa sebagai tubuh ataupun bukan semata tubuh itu sendiri.
4. Konsep penulisan feminin dapat pula diterapkan pada penulisan maskulin untuk menyatakan suatu hasrat: hidup, seks, dan narasi kematian seperti yang dikemukakan Helena Cixous dalam http://www.geocities.com/Paris/Metro/1022/female.htm tanggal 22 Februari 1998.
5. Baca pemikiran Helena Cixous yang lebih lengkap dalam esei sastranya The Laugh of the Medusa dalam Robyn R Warhol (Ed), Feminisms on Anthology of Literary Theory and Criticism (New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press, 1991) hal 334.
6. Esei Cixous ini sangat mengagumkan. Ia selalu bicara soal ketiadabatasan yang ia imajinasikan dalam kematian dan kehidupan. “Menyerang segala yang terstruktur” itulah misi Cixous yang dipengaruhi dekonstruksi Jacques Derrida dan Lacan, serta feminis Simone de Beauvoir. Baca Helena Cixous dalam Verena Andermatt Conley, Helena Cixous: Writing the Feminine, Expanded Edition (Lincoln and London: University of Nebraska Press, 1991), hal 9.
7. Lihat komentar Ignas Kleden dalam sampul belakang buku Joko Pinurbo, Di bawah Kibaran Sarung (Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001).
8. Pembahasan ini lebih lengkap di Jurnal Perempuan edisi 30, “Perempuan dan Seni Sastra”, hal 89.
9. Istilah Logos Spermatikos sebetulnya senada dengan Phallosentris, ciri cara berpikir dan mencipta ala maskulin. Istilah ini saya pinjam dari epilog Rocky Gerung berjudul Thank God, It’s Feminism dalam buku Feminis Laki-laki Solusi atau Persoalan? (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,2001)
Kematian dalam Semangat Tubuh
Mariana Amiruddin
http://www2.kompas.com/
APA lagi yang dapat kita temukan dalam karya penulisan? Setelah deretan pujangga mencoba menyihir manusia membuat kategori mana yang indah dan mana yang tidak, lahir kemudian penulisan menara gading versus pinggiran, seks versus moral, sastra-wangi versus sastra-bau. Lalu apa yang dapat kita nikmati dari penciptaan kategori?
BISA negatif: sesuatu yang merendahkan atau meninggikan. Bisa positif: sesuatu yang menjelaskan. Untuk sesuatu yang menjelaskan, saya akan turut serta menciptakan kategori penulisan feminin dan maskulin, ecriture feminine-masculine, yang wilayahnya adalah jender. Adakah yang lebih baik satu dengan lainnya? Tidak ada. Di sini saya akan membuat identifikasi bahwa setiap karya cipta tak dapat lepas dari identitas jender atau jenis kelamin. Berangkat dari penjelajahan hidup masing-masing, sebuah karya lahir tak lepas dari jenis kelamin pengarang, dengan sekian kekhasan dan beda.
Pemahaman vagina, misalnya, dari yang esensialis menjadi morfologis. Vagina jelas berbeda dengan penis. Fungsinya saja sangat berseberangan. Sigmund Freud lebih dulu mengidentifikasinya dengan sekian gagasan imajinasi (morfologi) yang kelewat ilmiah. Klitoris menurut dia penis kecil yang inferior dan kehilangan hasrat, sedangkan penis direpresentasikan sebagai pemilik hasrat yang paling utuh. Freud percaya hanya pria yang bisa masturbasi karena penis konkret dan kelihatan.
Ide Freud ini membuat saya ikut-ikutan (baca: mendapatkan inspirasi) mencapai imajinasi yang kelewat ilmiah: vagina merupakan organ seks perempuan yang kompleks dan hasrat tertingginya adalah multiorgasme meski tanpa klimaks. Strukturnya tak tunggal seperti penis, melainkan multiorgan. Penuh kemungkinan, memiliki tabungan kehidupan dan kematian dalam rahim. Vagina bukan semata-mata hasrat seks dan aktivitas masturbasi, melainkan penghadir kehidupan dan kematian. Berseberangan dengan Freud, identitas feminin adalah keutuhan hasrat yang mencakup kehidupan, seks, dan kematian. Itulah reproduksi feminin yang khas dan berbeda dari maskulin.
Kita adalah tubuh kita sendiri
Dari pembicaraan di atas, penulisan feminin dan maskulin adalah pembicaraan tentang hasrat (desire) kehidupan, seks, dan kematian. Ketiganya adalah kenikmatan (pleasure) atas tubuh. Tubuh, karena ia adalah materi hidup yang paling intim, terutama untuk keluar dari kegagalan pencarian akar kebudayaan. Tubuh adalah satu-satunya pencapaian sekaligus keintiman yang mudah diraih, yang selama ini cenderung dilupakan seperti gajah di pelupuk mata. Maka, ketika orang tanya apakah akar kebudayaan saya, tahukah asal-muasal sejarah kebudayaan saya, saya akan menjawabnya, “Kebudayaan saya adalah tubuh saya sendiri”. Tubuh itu sendiri begitu dekat dengan jenis (alat) kelamin. Maka, penulisan feminin-maskulin adalah penggalian tentang tubuh kita. Tubuh di sini adalah keseluruhan: esensi, eksistensi, wacana, dan wahanayangbertumpukdanbermesraan-peleburancakrawala dalam dunia penulisan.
Tubuh perlu dilahirkan kembali sebagai wacana internal yang dibangkitkan menuju wacana eksternal manusia sebab kesadaran tentang tubuh sama pentingnya dengan kesadaran tentang hasrat (hidup, seks, dan kematian). Hasrat adalah cakrawala tubuh itu sendiri. Kurangnya pengetahuan atas tubuh membuat manusia tidak memiliki bekal mengatasi persoalan hidup, seks, dan kematian-nya.
Perbincangan tentang tubuh dan hasrat dalam tulisan ini akan kita mulai dengan pemahaman penulisan feminin dan maskulin. Kedua tipe penulisan ini akan meluapkan ide tentang kematian, seks, kehidupan, dan menerangkan sesuatu yang berbasis perbedaan identitas jender.
Determinasi penulisan feminin-maskulin
Ecriture adalah kata atau konsep yang diambil dari bahasa Perancis tentang gagasan dunia penulisan. Istilah ecriture lahir dari Helene Cixous, tokoh sastra feminis Prancis yang biasa dikenal dengan ecriture feminine “penulisan feminin”. Ide ini tidak menutup kemungkinan penulisan maskulin atau penulisan yang dibangun oleh pengalaman pria. Penulisan feminin adalah dunia penulisan yang diciptakan berdasarkan perbedaan seks yang di dalamnya terdapat ketiadabatasan, seperti mimpi. Perbedaan seks dapat menunjukkan determinasi penulisan yang berbasis jender dan memiliki potensi alternatif sekaligus jalan memahami dunia. Penulisan feminin memiliki potensi kemungkinan analisis bagi kedua jenis kelamin, meski perempuan akan lebih dekat dengan konsep ini daripada laki-laki. Penulisan feminin berpotensi menyatakan dan memformulasi struktur yang bahkan meliputi atau memasukipengalamanlainnya(baca:pengalamanmaskulin)
Penulisan feminin adalah ide yang berangkat dari tubuh, seperti advokasi Cixous yang menyuarakan women’s writing their bodies dan tidak menutup kemungkinan men’s writing their bodies. Penulisan feminin adalah representasi tubuh untuk mendapatkan kesadaran tentang kehidupan, seks, dan kematian (baca: ketiadabatasan-kebebasan-ke-berada-an). “Write! Writing is for you, you are for you; your body is yours, take it. I know why you haven’t written. (And why I didn’t write before the age of twenty-seven). Because writing is at once to high, too great for you, it’s reserved for the great –that is, for ’greatmen’andit’s’silly’.”
Esai sastra Helene Cixous penuh dengan muatan hasrat kehidupan, seks, dan kematian. Dalam esainya Pancaran Kematian, ia mencatat, “Menulis adalah hidup dan hidup selalu mempertanyakan kematian.” Kematian menurut Cixous adalah daya sebab ia mengucapkannya dengan istilah pancaran yang sebanding dengan kehidupan. Lalu, ia luapkan hal itu dalam skenario esainya, “Kematian bukanlah apa-apa. Mati bukanlah sesuatu. Itu hanya sebuah lubang. Saya dapat mengisinya dengan fantasi (imajinasi) dan memberinya nama (baru), jika saya ingin. Saya juga dapat bicara tentang kastrasi (kebiri, pemotongan, pembunuhan) di mana tidak ada manusia atau ’segala yang harus’ kepada sayauntukmelakukannya.”
Penulisan feminin kental dengan hasrat kematian sebagai kehidupan (kelahiran) atau kebangkitan. Sedangkan penulisan maskulin menjadikan kematian sebagai inspirasi kesudahan, the end of the world. Penulisan feminin mencari kehidupan di balik kematian karena investasi organ seksnya yang bernama rahim selalu mengandung semangat kehidupan. Perempuan meninggalkan kehidupan karena penindasan dan posisinya sebagai jenis kelamin kedua setelah pria (meminjam The Second Sex Simone de Beauvoir). Kematian bagi perempuan adalah kehidupan yang tiada batas. Sedangkan pada laki-laki, kematian adalah lari dari absurditas hidup yang bergelimang kuasa dan kedudukan, yang sesungguhnya sangat terbatas dan tak bebas. Penulisan maskulin tertarik pada kematian karena jenuh dengan kemenangan dan kekuasaannya yang ternyata kaku, membosankan, dan penuh aturan.
Mereka yang mengais tubuh sendiri
“Tubuh adalah seismograf kebudayaan,” demikian respons Ignas Kleden terhadap puisi Di bawah Kibaran Sarung Joko Pinurbo. Seperti pandangan tradisional yang kerap mengidentikkan tubuh dengan dosa, Ignas meluruskan stigma tubuh yang murung ini dengan representasi kebudayaan manusia, “…karena dia (tubuh) menyingkapkan dan mengingatkan kembali pentingnya badan dan hidup, dalam kebudayaan… memahami bahasa badan dengan lebih sensitif adalah jalan aman untuk memahami banyak perkara pentingdalamkebudayaandanmasyarakat…”
Semangat tubuh memang tampil dominan dalam puisi Joko Pinurbo. Tubuh laki-laki sebagai proyeksi menangkap dunia, menangkap “kegenitan” masyarakat. Joko Pinurbo memancarkan tubuhnya dengan kengerian, keengganan, penyesalan, sekaligus penghormatan atas dunia yang ia hadapi. Dunia pribadi laki-laki yang hidupnya dikutuk berkutat dalam status dan pekerjaan dan, untuk tidak terjebak pada kemiskinan atau pengabdian pada publik hingga terseret, nyaris melupakan ke-diri-an, mengingkari tubuhnya sendiri. Karena itu, ia berpaling, melucuti tubuhnya melalui doa dalam puisi Doa Sebelum Mandi:
Tuhan, saya takut mandi/saya takut dilucuti/saya takut pada tubuh saya sendiri/kalau saya buka tubuh saya nanti/mayat yang saya sembunyikan akan bangun dan berkeliaran/saya ini orang miskin yang celaka/hidup saya sehari-hari sudah telanjang/kerja saya mencari pekerjaan….
Merepresentasikan kebudayaan, Joko Pinurbo cukup memilih wilayah-wilayah pribadi yang identik dengan aktivitas tubuh seperti mandi, bercukur, becermin, dan mengganti pakaian. Ia tidak terlalu repot-repot meluaskannya, kegiatan-kegiatan sepele laki-laki yang dekat dengan tubuhnya dapat mengeksplorasi kekayaan itu sendiri. Seperti komentar Ignas Kleden yang mengawang, ia menyebutnya “suatu metanoia yang tuntas”.
Puisi Binhad Nurrohmat adalah pernyataan tubuh laki-laki yang norak, namun percaya diri. Tubuh laki-laki tak menjadi haram bila tidak dibicarakan dalam konteks kejantanan. Bila Joko Pinurbo menggambarkan kebotakan seorang lelaki, maka dalam puisi Berak, Binhad membiarkan penis dan bokong bergelayut dalam bentuk yang buruk. Zakarmu sekuyu gelambir leher jompo/bungkuk dan malu-malu/mengintip puing tahi/terjepit bongkah coklat bokongmu. Joko Pinurbo melihat dunia dengan tubuhnya, Binhad melihat tubuhnya untuk terus meringkuk di dalamnya, merenung dan memandangnya sendiri, tubuh yang merana dalam dunia yang luas.
Joko Pinurbo dan Binhad Nurrohmat dalam gerak penulisan maskulin berlari, melongok tubuhnya sendiri, di sana ada dunia, wahana maskulin yang tak disadari dan tak berdaya. Semangat tubuh dalam kerangka maskulin ini mengingatkan saya dengan penulisan feminin eseis feminis Perancis, Annie Leclerc, dalam kumpulan esei Perempuan Angkat Bicara tentang menstruasi. Ia angkat bicara tentang ketimpangan jender melalui tubuh: Datang bulan atau tidak bagi mereka (laki-laki) sama saja. Mereka bukanlah orang yang tepat untuk diajak bicara tentang penderitaan… Bahkan, mereka tidak merasakan aliran darah hangat dan mirip madu… Begitu ada darah menetes, langsung disumbat dengan sumpal kapas, sederhana sekali. Asal tahu saja, darah perempuan memang bau… yang lazim dan benar-benar menimbulkan rasa muak. Lebih memuakkan daripada bau air susu, daripada bau sperma, daripada bau keringat, jauh lebih bau daripada tinja kita… Begitu banyak cara menolak tubuh kita sendiri, melakukankekerasanterhadapnya,menyucikannya,melupakannya…
Wacana tubuh pada penulisan feminin memang tampak lebih kompleks dan terbuka. Ia tidak hanya bicara bentuk-bentuk tubuh dalam melihat dunia, melainkan tubuh yang membawa proses-proses reproduksi, di antaranya menstruasi. Senapas dengan cerpen Menyusu Ayah Djenar Maesa Ayu dalam Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), Djenar membentang proses tubuh yang melahirkan manusia sebagai awal pertarungan hidup-mati Ibu dan anak perempuannya, Nayla. Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah daripada laki-laki. Sayalah yang membantu Ibu melahirkan, bukan dokter kandungan. Ketika Ibu kehabisan napas dan sudah tidak dapat lagi mengejan, saya menggigiti dinding vagina Ibu dengan gusi supaya jalan keluar bagi saya lebih mudah… saya menendang rahim Ibu dan mendorong badan saya keluar keras-keras. Dalam cerita ini Djenar mainkan imajinasinya, cerita baru tentang Electra Complex yang berangkat dari tubuh: tubuh anak yang terpisah dari tubuh Ibu, kerinduan pada tubuh Ibu, tetapi terlempar pada tubuh ayah: dokter kandungan memegang kedua kaki saya dan mengangkat saya hingga jungkir balik. Saya menangis keras. Saya ingin memeluk Ibu. Tapi dokter kandungan seperti tidak peduli. Ia malah menggunting tali pusar saya… saya berteriak memohon Ibu. Dokter menutup tubuh Ibu dengan kain putih… Terpisah dari Ibu… Saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Saya ingin membela Ibu.
Obsesi kematian tubuh
Selain hidup dan seksualitas, tubuh juga melihat dunia lain. Seperti lubang, ia adalah ruang yang berisi imaji, bebas untuk mencipta apa pun. Sekalipun mengerikan, ia bahkan mengharukan. Ia seperti mimpi atau gudang bawah sadar kita: penuh misteri, berantakan, mengentak, seperti percik api yang melompat, tak terbayangkan. Dan, semua dimediasi tubuh. Joko Pinurbo mengejanya dalam Tamu, masih dalam kengerian dan ketakutan: tubuh yang sumpek dan temaram/tamu itu merapal doa sepanjang malam/doanya mencengkeram meremas-remas jantung/sampai darahku bergolak dan tubuhku tersentak:/”Aku takut mati!”
Berbeda dengan Bertengkar dengan Maut Hudan Hidayat dalam Keluarga Gerilya, ia malah menyambutnya dengan antusias bahwa kematian sebagai cita-cita dan kepuasan ditemukan melalui kesakitan tubuh sekalian penaklukan Tuhan. Aku siap di kamarku. Aku ingin membunuh diriku sendiri. Tanganku menggenggam pistol. Aku telah mengisinya dengan peluru. Jadi siap tembak. Tinggal mengokang dan menarik pelatuknya/…siapa yang berkuasa kini? Atau aku? Atau Tuhan? Aku tinggal menarik pelatuk, maka meledaklah kepalaku. Mungkinkah Tuhan dapat menahan ledakan itu? Tidak bisa. Jadi siapa yang berkuasa?
Berbeda pula dengan Sakratul Maut dan Bom Tommy F Awuy dalam Logika Falus, ia mencangkoknya dengan logika cerita: permainan situasi dan pikiran untuk menghentikan organisasi tubuh atas beban hidup yang dipanggul. Melalui tokoh Rio, Tommy memetik semangat kisah Romeo dan Juliet yang membuat peristiwa bunuh diri jadi agung, mengakhiri tubuh sendiri. Rio gelisah tak karuan. Keinginan untuk mengalami sakratul maut makin lama makin kencang menekan-nekan obsesi… aku ingin mencari bagaimana caranya mengalami sakratul maut dalam kondisi yang kita buat sendiri, menikmatinya biar sebentar saja lalu kembali ke alam sadar… Ayo Wisdom, tolong carikan jalan untukku. Aku tak sabar lagi.
Namun, Hudan membangun kematian tanpa latar depresi, trauma, ataupun beban, melainkan hasrat kematian yang penuh kenikmatan untuk mencapai penderitaan tubuh sekaligus mengakhiri kesakitan: Tanganku menarik besi hitam itu, perlahan-lahan. Aku ingin merasakan tahap-tahap kematian. Saat maut menjemput, kata orang, adalah saat-saat istimewa.
Luapan hasrat bunuh diri Hudan seperti antusiasme anak-anak mencicipi es krim rasa coklat-vanila dan stroberi sambil bercita-cita jadi insinyur. Pasti menarik melihat darahku mengucur. Darah yang seperti manusia berjalan, melebar, membasahi karpet dan lantai, akhirnya akan merembes ke luar. Pada saat itu, sudah matikah aku? Kalau belum mati, kacau jadinya. Cita-citaku untuk membunuh diri gagal. Padahal sudah lama kuangankan. Sejak SMP.
Obsesi bunuh diri Hudan bukan sebuah kegilaan yang ekstrem. Ia cuma mau menantang hidup dan menjawabnya dengan kematian, mengajak pengoperasian tubuhnya berhenti. Dirobeklah tubuhnya, tepatnya di bagian perut dan bergumam, aku tidak merasa sedih meninggalkan dunia ini. Mereka bukan milikku. Dan aku bukan milik mereka. Kami membutuhkan secara fungsional saja.
Bila Tommy mencapai kematian dengan keteraturan logika, Hudan mencapai kematian dengan bentuknya yang impulsif, melompat, tercerai-berai. Keduanya berangkat dari pengalaman kelelakian yang menoleh pada kematian. Kematian sebagai ruang yang lengang untuk berjingkrak dan berakrobat. Bahkan, Hudan menyandingkan keinginan untuk mati dengan hasrat untuk membunuh. Bayang-bayang pembunuhan memenuhi otakku. Pokoknya kau harus membunuh! Mencari orang lain tidak mungkin, mengapa tidak diri sendiri? Tanpa menimbang lagi, kugigit lidahku sampai putus.
Mereka dengan pengalaman tubuh lelaki menghasilkan penulisan maskulin untuk mengatasi (baca: melawan) kejenuhan, kekakuan, dan keteraturan melalui kematian. Mereka mengatasi kejenuhannya dengan rentetan kengerian dan permainan kematian, seperti figur Ayah yang lelah bekerja seharian di bawah tekanan struktur kantor, seperti tokoh Ayah dalam Menyusu Ayah Djenar Maesa Ayu yang berperan dominan, juga Joko Pinurbo dalam puisinya yang takut mati tapi ingin pula mencapainya.
A Man’s World adalah dunia laki-laki yang terkungkung. Dengan pembagian kerja yang melelahkan, pria harus selalu mencari nafkah sekalipun tak berbakat. Kelelahan ini tampak pada Keluarga Gila Hudan Hidayat yang membalik pembagian kerja suami istri dan bersama anaknya, tema pembunuhan kemudian menjadi puncak kenikmatannya: Ayah memasak di dapur. Ibu membaca surat kabar-kopinya masih mengepul. Kami saling membenci. Ribuan kali ayah mau membunuh ibu, tapi ibu berhasil lolos… tidak hanya ayah yang mau membunuh ibu. Ibu juga selalu mau membunuh ayah. Juga membunuhku.
Mereka yang jenuh dengan tubuh dan dengannya dunia maskulin tercipta, semuanya begitu transparan terlihat. Saya menyebut kehidupan maskulin sebagai kehidupan yang tunggal seperti penis: tegang, kaku, harus besar dan senantiasa perkasa, tidak intim atau berjarak dan terlalu mengagungkan rasio. Itu sebabnya penulisan maskulin nekat lari ke tepi jurang dan menjatuhkan diri mereka pada kebebasan: membuat ketidakberaturan, membiarkan cair, melompat (kiasme), dan sengaja menjadi tidak rasional. Kematian menjadi nikmat dibandingkan dengan kehidupan yang kaku.
Cerpen-cerpen Hudan dalam Keluarga Gerilya tidak pernah mau tunduk pada aturan, tatanan, selalu ingin keluar dari struktur bahkan dari pembaca. Ia tidak pernah mau jadi obyek pembaca, maunya selalu jadi subyek yang mempermainkan pembaca. Ia selalu keluar dari logika yang mau mengatur. Inilah perjuangan Hudan menjadi bebas (kebetulan menjadi seperti Jean- Paul Sartre), yang tak pernah rela dijadikan obyek: keluar dari predikat maskulin dan aturan peran jender yang dibuat masyarakat. Selain Hudan, mungkinkah mereka berani keluar dari sejarah yang bekerja menurutlogikaLogosSpermatikos?
Mariana Amiruddin
Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan, Magister Humaniora Kajian Wanita UI. Tesisnya “Representasi Seksualitas Perempuan dalam Novel Saman” (Memakai Metode Hermeneutik dan Perspektif Feminis) Sedang dibukukan.
1. Sastra wangi adalah sebutan untuk karya-karya sastra perempuan yang diciptakan oleh kalangan sastrawan, sedangkan sastra bau adalah ciptaan saya sendiri untuk memosisikan bahwa yang bukan karya perempuan berarti “sastra bau”.
2. Baca pendapat Sigmund Freud tentang penis kecil dalam Juliet Mitchel, Psychoanalysis and Feminism (New York: Vintage Books a Division of Random Haouse, 1975) hal 46.
3. Istilah peleburan cakrawala diambil dari Paul Ricoeur dalam tulisan Bronwen Martin tentang Dictionary of Semiotics (New York: Cassel, 2001) hal 7. Peleburan cakrawala adalah konsep hermeneutika di mana penafsir memosisikan diri sebagai peneliti teks yang melebur masuk cakrawala teks yang ia teliti dan di dalamnya akan lahir wacana baru (memproduksi makna baru). Demikian pula dalam tubuh sebagai teks, maka tubuh bisa sebagai tubuh ataupun bukan semata tubuh itu sendiri.
4. Konsep penulisan feminin dapat pula diterapkan pada penulisan maskulin untuk menyatakan suatu hasrat: hidup, seks, dan narasi kematian seperti yang dikemukakan Helena Cixous dalam http://www.geocities.com/Paris/Metro/1022/female.htm tanggal 22 Februari 1998.
5. Baca pemikiran Helena Cixous yang lebih lengkap dalam esei sastranya The Laugh of the Medusa dalam Robyn R Warhol (Ed), Feminisms on Anthology of Literary Theory and Criticism (New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press, 1991) hal 334.
6. Esei Cixous ini sangat mengagumkan. Ia selalu bicara soal ketiadabatasan yang ia imajinasikan dalam kematian dan kehidupan. “Menyerang segala yang terstruktur” itulah misi Cixous yang dipengaruhi dekonstruksi Jacques Derrida dan Lacan, serta feminis Simone de Beauvoir. Baca Helena Cixous dalam Verena Andermatt Conley, Helena Cixous: Writing the Feminine, Expanded Edition (Lincoln and London: University of Nebraska Press, 1991), hal 9.
7. Lihat komentar Ignas Kleden dalam sampul belakang buku Joko Pinurbo, Di bawah Kibaran Sarung (Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001).
8. Pembahasan ini lebih lengkap di Jurnal Perempuan edisi 30, “Perempuan dan Seni Sastra”, hal 89.
9. Istilah Logos Spermatikos sebetulnya senada dengan Phallosentris, ciri cara berpikir dan mencipta ala maskulin. Istilah ini saya pinjam dari epilog Rocky Gerung berjudul Thank God, It’s Feminism dalam buku Feminis Laki-laki Solusi atau Persoalan? (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,2001)
Merayakan Pembacaan
Eka Kurniawan
http://www2.kompas.com/
”Aku menemukanmu dalam pelarian,” tulis Intan Paramaditha dalam pembukaan cerita pendek Mak Ipah dan Bunga-Bunga, (Sihir Perempuan, Kata Kita, 2005). Perhatikan dengan saksama kalimat pembuka itu. Siapa yang sedang dalam pelarian? Aku atau kamu, atau keduanya? Kalimat yang tak memberi kepastian apa pun seperti itu dengan mudah kita temukan dalam hampir setiap buku kumpulan cerpen atau novel yang datang dari para penulis generasi paling mutakhir.
Perhatikan pula satu cuplikan kalimat dari cerpen Cakra Punarbhawa Wayan Sunarta (Cakra Punarbhawa, Gramedia Pustaka Utama, 2005) ini: ”Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Siapa yang suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu? Guru bahasa kita yang baik di sekolah pasti akan mencoret kalimat seperti itu, sebagaimana mungkin akan dilakukan oleh editor-editor terbaik kita. Kalimat tanpa subyek dianggap bukan kalimat yang baik. Tapi, benarkah kalimat-kalimat tak lengkap seperti itu tak termaafkan sama sekali?
Izinkan saya menambah dua contoh lagi. Puthut EA dalam Kitab Salah Paham (Dua Tangisan pada Satu Malam, Penerbit Kompas, 2003) menulis: ”Puntung rokoknya yang masih menyala jatuh di kaus oblong yang lusuh dan membuat beberapa lubang.” Meski kita bisa menebak dengan tepat maksud kalimat itu, paling tidak sebuah pertanyaan masih bisa diajukan kepadanya: siapa yang membuat beberapa lubang? Jawabannya bisa rokoknya yang masih menyala atau kaus oblong yang lusuh. Dengan kata lain, kalimat tersebut bahkan masih bisa menyesatkan.
Dan, ini sebaris kalimat yang dicuplik dari cerita pendek Lubang Hitam Linda Christanty (Kuda Terbang Maria Pinto, Kata Kita, 2004): ”Dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai, baju obral, empat dollar.” Sejenak kita akan mengira ini merupakan kalimat majemuk, gabungan dari tiga kalimat: dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai; dia kenakan baju obral; dan dia kenakan empat dollar. Tapi, apa maksudnya ”dia kenakan empat dollar”? Aha, ternyata yang dimaksud Linda adalah ”dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai, yang adalah baju obral, dan harganya empat dollar”. Lagi-lagi kalimat menyesatkan, tapi dengan mudah kita segera tahu maksudnya, dan segalanya (dibuat) terang-benderang kembali. Mengapa?
Kalimat-kalimat tak lengkap, atau kalimat gelap (dengan asumsi kalimat-kalimat tersebut tidak bersifat terang dan jernih), sangat mudah kita jumpai dalam ragam bahasa lisan. Dalam lisanan, semua masalah tata bahasa semacam itu termaafkan disebabkan munculnya satu anasir: konteks. Konteks inilah yang biasanya mengisi ruang kosong dalam kalimat tak lengkap dan memberi cahaya bagi kalimat yang gelap. Sepotong kalimat, ”Sepi,” misalnya, barangkali tak memberi penjelasan apa pun disebabkan kalimat tersebut tak menampilkan subyek. Namun, jika kalimat itu dikatakan sambil melihat rumah tanpa penghuni dan tanpa cahaya, pendengarnya bisa segera mengisi ruang kosong dalam kalimat tak lengkap tersebut dengan sebuah konteks: ”Rumah itu sepi.” Rumah itu menjadi subyek yang tak terucapkan. Apakah dalam ragam bahasa tulis juga ada konteks?
Konteks dalam bahasa tulis muncul dalam bentuk yang lain. Kutipan cerpen Wayan Sunarta di atas, jika dilengkapi dengan kalimat sebelumnya, akan menjadi begini: ”Ayahku nelayan tua bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Dalam kalimat pertama kita menemukan ayahku sebagai subyek. Di sini penulis seperti meminta kita agar menyimpan informasi itu untuk sesekali dipergunakan kembali sebagai pengisi ruang kosong. Maka, ketika kita menghadapi kalimat kedua, pembacaannya akan menjadi: ”Ayahku suka becengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Wayan bermain dengan ruang kosong yang meminta kita menebak dan kemudian mengisinya.
Operasi yang berbeda dilakukan oleh Intan Paramaditha. Ketika kita menghadapi kalimat ”aku menemukanmu dalam pelarian,” kita tak dibekali apa pun sebagai penerang untuk membuat kalimat tersebut benderang. Sebaliknya, justru kita diminta menyimpan kalimat gelap itu dan di sepanjang cerita, Intan perlahan-lahan menerangi kalimat tersebut. Demikianlah akhirnya kita tahu, atau mencoba tahu, bahwa yang dalam pelarian adalah si aku. Aku adalah pengantin baru yang melarikan diri dari tetek-bengek pestanya.
Permainan bahasa ini—tentu dalam pengertian yang agak berbeda dengan language games Wittgenstein—sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Bahkan, bisa kita temukan dalam tradisi sastra yang jauh lebih lama. Ini serupa dengan ruang kosong dalam lukisan: kanvas yang dibiarkan tak tersentuh cat. Atau seperti jeda di dalam musik. Namun, dalam tradisi prosa mutakhir kita, saya menemukan pemanfaatannya dalam cakupan yang mencengangkan. Penulis-penulis ini tak khawatir dengan ketersesatan. Mereka barangkali bahkan menganggap ketersesatan, karena ruang kosong yang gelap, sebagai strategi yang penuh kesadaran. Ia menjelma menjadi sejenis misteri dalam cerita detektif atau hantu dalam cerita horor yang kita tunggu kemunculannya.
Dalam kutipan kalimat Linda Christanty, kita diminta bermain tebak-tebakan hubungan tiga frasa ”mantel berkerah bulu cerpelai”, ”baju obral”, dan ”empat dollar”. Sejak awal kita seperti diingatkan bahwa kalimat tersebut meminta untuk tidak dibaca sebagaimana biasanya, apa yang dimaksudnya tidak sebagaimana apa yang tertulis di sana. Prosa-prosa ini jelas tidak ditujukan kepada para pembaca yang malas, pembaca yang tak ingin diajak bermain tebak-tebakan, sebab jebakan tak hanya ada di tingkat cerita, tapi bahkan di tingkat kalimat, klausa, frasa, atau mungkin kata.
Kita seolah menghadapi titik tiga di antara frasa-frasa tersebut dan, seperti dalam kalimat Intan, akan diisi sementara kita melanjutkan pembacaan kalimat berikutnya: ”Menurut penjualnya, milik artis terkenal Carole Lombard. Hah? Yang benar saja! Lombard sudah lama mati. Baju ini sempat mampir di mana sebelum masuk toko loak?” Rentetan kalimat itu mengisi ruang kosong dan akan terbaca ringkas menjadi mantel berkerah bulu cerpelai itu baju obral. Dan, kalimat selanjutnya: ”Dia kirim mantel tersebut ke penatu, biar karbon tertraklorida mematikan kuman-kuman yang bersembunyi di situ”, semakin memperkuat kesan loak dan ujung-ujungnya murah. Ia merujuk ke frasa empat dollar.
Dan bagaimana dengan kalimat ”Puntung rokoknya yang masih menyala jatuh di kaus oblong yang lusuh dan membuat beberapa lubang”? Kita tahu bisa membuat frasa ”[puntung rokoknya yang masih menyala] jatuh [...] dan membuat [...]” sebagai frasa predikat/kata kerja, dan tampaknya inilah yang dimaksud. Namun, kata membuat barangkali bisa juga diberikan kepada frasa yang lain: ”[kaus oblong yang] lusuh dan membuat [...]”. Puthut tidak memberi penjelasan apa pun untuk meneranginya di kalimat berikut (atau sebelumnya): ”Aku ingin menolongnya, tapi kepala ini berat rasanya, dan ia sendiri tidak merasa kepanasan.”
Kata kepanasan mungkin membawa kita ke asumsi bahwa puntung rokok itulah yang membuat lubang meski kita dihadang masalah lain: kita tak tahu di mana puntung rokok membuat lubang, dan seandainya menebak lubang itu di kaus oblong, kita tak tahu itu kaus oblong siapa sehingga bisa jadi tak berhubungan dengan potongan kalimat ia sendiri tak merasa kepanasan. Dalam kalimat Puthut, kita menemukan pemanfaatan kalimat ”misterius” yang begitu maksimal, permainan tebak-tebakan yang nyaris tanpa akhir, dan ia tak merasa perlu memiliki nafsu untuk memberinya penerang yang benderang.
Pengarang sudah mati dan pembacalah yang harus membawa obor di kegelapan kuburan. Bagi saya, ini adalah daya tarik luar biasa dari prosa kita belakangan hari ini, membuat saya ingin mengulang tak hanya pembacaan sebuah cerita pendek atau novel, tapi bahkan sebaris kalimat, sambil bertanya-tanya apa yang bisa saya temukan di sana.
Kegiatan intelek
”Membaca merupakan aktivitas yang lebih intelek daripada menulis,” kata cerpenis Jorge Luis Borges.
Barangkali dalam rangka menghormati peran pembaca sebagai pemegang kuasa mutlak pemaknaan, penulis-penulis prosa kita ini tak merasa perlu membuat segalanya benderang. Usaha membuat makna yang seterang-terangnya bisa dikatakan sia-sia sebab pada akhirnya akan selalu ada pembacaan yang berbeda. Ada persepsi yang lain. Dan, bahwa tak ada sesuatu pun yang tanpa makna. Demikianlah saya pikir bagaimana ruang-ruang kosong dan gelap dalam prosa merupakan suatu perayaan atas pembacaan dan pemaknaan. Di sini tak hanya pembaca, tapi juga penulis mencoba menemukan kemungkinan-kemungkinan persepsi dan, pada akhirnya, makna. Dengan kata lain, ini merupakan usaha para penulis mengambil kembali peran inteleknya tanpa harus merebutnya dari pembaca.
Saya ingin memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan ini dalam penggunaan mereka atas metafora, misalnya, jika apa yang mereka lakukan masih bisa kita anggap sebagai metafora.
Djenar Maesa Ayu dalam Waktu Nayla (Mereka Bilang, Saya Monyet!, Gramedia Pustaka Utama, 2002) membayangkan akhir waktu dengan kalimat: ”… jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu.” Bagian dirinya berubah jadi abu relatif mudah dibayangkan sebagai momen kematian, barangkali kematian di panggung kremasi, atau Djenar membayangkan mayat di kuburan yang hancur menjadi tanah juga sebagai abu. Namun, bagaimana dengan jam tangan yang jadi sapu dan sedan yang jadi labu? Itu bukan gambaran yang umum mengenai kematian, paling tidak bagi saya. Djenar seolah menantang kita untuk menciptakan suatu persepsi lain mengenai kematian dari kalimat tersebut. Saya membayangkan, misalnya, barangkali di akhir waktu perempuan seperti Nayla akan berakhir serupa penyihir. Sapu mengingatkan saya kepada sapu terbang nenek sihir dan labu mengingatkan saya kepada malam Halloween. Dan, abu adalah mayat penyihir yang dibakar. Ingat, Nayla telah divonis hidupnya tak lama lagi. Itu serupa kutukan.
Zen Hae dalam Taman Pemulung (Rumah Kawin, Kata Kita, 2004) menulis sebaris metafora mencengangkan: ”Sembari menikmati suara azan zuhur [...]. Suara azan itu seperti air liur. Meleleh. Bersekutu dengan hujan.” Mencengangkan sebab, pertama, saya harus bersusah-payah membayangkan suara azan (yang) meleleh. Barangkali suara yang berleret-leret, mengalir pelan dan panjang. Kedua, saya juga harus bersusah-payah membayangkan menikmati suara azan (yang) seperti air liur. Sangat sulit membayangkan saya bisa menikmati air liur. Air liur bagi saya cenderung menjijikkan untuk dinikmati. Namun, saya mencoba membacanya kembali dan membacanya dengan cara lain. Saya mencoba membayangkan azan sebagai waktu dan meleleh membuat saya teringat kepada jam-jam Salvador Dali yang meleleh. Saya tak yakin apakah itu yang dimaksud Zen Hae, tapi membacanya dengan cara seperti itu memberi kesenangan tertentu, membayangkan dunia ”Taman Pemulung” menjadi semakin surealis.
Bandingkan contoh-contoh tersebut dengan pandangan umum tentang metafora. Saya akan mencomot satu dari Cassel’s Dictionary: ”… a word is transferred in application from one object to another, so as to imply comparison.” Atau dari yang versi Indonesia, Kamus Istilah Sastra karya Abdul Rozak Zaidin dkk terbitan Balai Pustaka ini: majas yang mengandung perbandingan yang tersirat yang menyamakan hal yang satu dengan hal yang lain. Kata kuncinya: perbandingan. Kata ini menyiratkan akan adanya satu keparalelan. Dan, biasanya, metafora dipergunakan untuk memperoleh kesan lebih terpahami, atau lebih memperkuat efek yang dimaksud.
Harimau dan kucing besar adalah perbandingan yang bersifat paralel. Mata hari (matahari) adalah perbandingan untuk bintang kate kita yang sebelumnya dikenal sebagai surya. Kemudian lihat kembali suara azan yang seperti liur atau jam tangan yang jadi abu untuk menggantikan akhir waktu. Metafora di sini tak serupa dengan perbandingan yang paralel, tidak pula untuk memperjelas maupun memperkuat efek. Bagi saya, metafora-metafora ini lebih tampak sebagai penciptaan persepsi lain yang telanjur kita kenal mengenai azan maupun akhir waktu. Sebenarnya Aristoteles sudah mengatakannya jauh-jauh hari dalan Poetics: metafora adalah tranferensi term dari satu hal ke hal lainnya: genus ke spesies, spesies ke genus, atau spesies ke spesies, atas dasar analogi.
Definisi ini jauh lebih longgar. Perhatikan kembali kata ini: analogi. Analogi tak hanya menyiratkan perbandingan, tapi juga kias, bahkan persepsi. Analogi tak hanya melulu menuntut perbandingan yang paralel, tapi bahkan hal-hal yang sangat tidak serupa. Kita sedang menghadapi pergeseran penciptaan metafora (atau kembali ke wataknya yang lebih kuno). Surya bukan lagi sekadar mata hari, mungkin bisa pula sebagai komputer rusak. Dan harimau boleh jadi malam keparat.
Kita, penulis dan pembaca, bersekutu dalam mereka ulang bayangan mengenai azan dan akhir waktu. Dengan kata lain, mencari kembali, dan terus kembali sebab memang dibiarkan menjadi begitu labil, apa yang kita sebut sebagai realitas. Dan, pada akhirnya: makna.
Perhatikan pula cerpen yang tampak profetis ini: Air Raya (Perempuan Pala, Aky Press, 2004) karya Azhari. Ditulis beberapa saat sebelum tragedi ”air raya” sungguhan di Aceh, cerpen ini tak sekadar suatu simbolisme semata. Ia adalah persekutuan ajaib antara banjir besar, kapal yang terus tumbuh, Nuh, bapak yang pergi, anak dan ibu yang menunggu di rumah, yang satu sama lain tampak tak memiliki hubungan apa pun. Senyatanya memang begitu. Dua kisah berbeda, tentang pelayaran Nuh dan tentang keluarga yang terimpit perang saudara, berkelindan menciptakan makna fiksi yang hanya bisa diketahui pembacanya seorang demi seorang. Demikianlah, alih-alih membuat cerita pendek menjadi segepok pesan yang centang-perenang, karya-karya ini membiarkan dirinya jadi puzzle yang pembaca sendiri tahu maknanya.
Dengan cara yang agak berbeda mengenai pemaknaan ini, Raudal Tanjung Banua memilih menyodorkan peristiwa biasa: tentang rumah-rumah menghadap jalan, yang telah membuka pintu-pintunya untuk kepergian, tapi belum tentu menerima kepulangan (Rumah-Rumah Menghadap Jalan, dalam Parang tak Berulu, Gramedia Pustaka Utama, 2005). Peristiwa umum yang disodorkan untuk dimaknai ulang.
Rasional dan positivistik
Zaman modern dihiasi oleh tradisi ilmu pengetahuan yang rasional dan positivistik. Apa yang tersisa dalam tradisi itu di dunia sastra? Realisme mungkin sudah banyak ditinggalkan. Omong-omong tentang orisinalitas mungkin sudah sangat membosankan. Meskipun banyak penulis masih mempergunakannya, mereka membicarakannya dengan penuh kecemasan, atau dilihat orang dengan penuh kecurigaan. Namun, realisme dan orisinalitas bukan satu-satunya hal yang masih tertinggal dari tradisi rasional dan positivistik ini. Tuntutan akan suatu kalimat yang terang dan jernih jelas merupakan bawaan tradisi serupa itu. ”Clear and distinct,” kata Descartes.
Sifat-sifat ”terang”, ”jernih”, dan ”tepat” jelas menyiratkan adanya suatu makna yang tunggal. Siapa pun pembaca yang menuntut hal semacam itu merupakan pembaca yang gagap menanggung beban otonominya sendiri. Pembaca seperti ini juga merupakan pembaca yang cenderung sinis terhadap kelisanan dan terutama terhadap kelisanan dalam keberaksaraan, serta mengagungkan yang sebaliknya.
Sikap-sikap seperti itu tampak semakin luntur dalam kepenulisan para penulis generasi terkini. Tanpa beban dan bahkan cenderung bersikap enteng, Dina Octaviani mereka ulang cerpen William Faulkner Setangkai Mawar untuk Emily dalam cerpennya sendiri yang berjudul Setangkai Mawar dari Emily (Como un Sueno, Orakel, 2005). Demikian pula Gunawan Maryanto (Bon Suwung, Insist Press, 2005), misalnya, menulis ulang mitologi Jawa lama dalam ”Jangan Bilang-bilang Kala” (dari Centhini), ”Serat Padi” (Serat Cariyos Dewi Sri), atau cerita orang lain dalam Lantana (dari Simfoni Pastoral, Andre Gide).
Saya pikir antara kalimat-kalimat yang tak taat tata bahasa sebagaimana contoh-contoh di awal hingga reka ulang cerita di contoh-contoh akhir, semuanya menyiratkan hal yang sama: merayakan pembacaan, dan akhirnya sekali lagi, makna. Atau dengan kata lain: merayakan ketersesatan.
*) Penulis Novel dan Cerita Pendek, Menyelesaikan Studi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
http://www2.kompas.com/
”Aku menemukanmu dalam pelarian,” tulis Intan Paramaditha dalam pembukaan cerita pendek Mak Ipah dan Bunga-Bunga, (Sihir Perempuan, Kata Kita, 2005). Perhatikan dengan saksama kalimat pembuka itu. Siapa yang sedang dalam pelarian? Aku atau kamu, atau keduanya? Kalimat yang tak memberi kepastian apa pun seperti itu dengan mudah kita temukan dalam hampir setiap buku kumpulan cerpen atau novel yang datang dari para penulis generasi paling mutakhir.
Perhatikan pula satu cuplikan kalimat dari cerpen Cakra Punarbhawa Wayan Sunarta (Cakra Punarbhawa, Gramedia Pustaka Utama, 2005) ini: ”Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Siapa yang suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu? Guru bahasa kita yang baik di sekolah pasti akan mencoret kalimat seperti itu, sebagaimana mungkin akan dilakukan oleh editor-editor terbaik kita. Kalimat tanpa subyek dianggap bukan kalimat yang baik. Tapi, benarkah kalimat-kalimat tak lengkap seperti itu tak termaafkan sama sekali?
Izinkan saya menambah dua contoh lagi. Puthut EA dalam Kitab Salah Paham (Dua Tangisan pada Satu Malam, Penerbit Kompas, 2003) menulis: ”Puntung rokoknya yang masih menyala jatuh di kaus oblong yang lusuh dan membuat beberapa lubang.” Meski kita bisa menebak dengan tepat maksud kalimat itu, paling tidak sebuah pertanyaan masih bisa diajukan kepadanya: siapa yang membuat beberapa lubang? Jawabannya bisa rokoknya yang masih menyala atau kaus oblong yang lusuh. Dengan kata lain, kalimat tersebut bahkan masih bisa menyesatkan.
Dan, ini sebaris kalimat yang dicuplik dari cerita pendek Lubang Hitam Linda Christanty (Kuda Terbang Maria Pinto, Kata Kita, 2004): ”Dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai, baju obral, empat dollar.” Sejenak kita akan mengira ini merupakan kalimat majemuk, gabungan dari tiga kalimat: dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai; dia kenakan baju obral; dan dia kenakan empat dollar. Tapi, apa maksudnya ”dia kenakan empat dollar”? Aha, ternyata yang dimaksud Linda adalah ”dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai, yang adalah baju obral, dan harganya empat dollar”. Lagi-lagi kalimat menyesatkan, tapi dengan mudah kita segera tahu maksudnya, dan segalanya (dibuat) terang-benderang kembali. Mengapa?
Kalimat-kalimat tak lengkap, atau kalimat gelap (dengan asumsi kalimat-kalimat tersebut tidak bersifat terang dan jernih), sangat mudah kita jumpai dalam ragam bahasa lisan. Dalam lisanan, semua masalah tata bahasa semacam itu termaafkan disebabkan munculnya satu anasir: konteks. Konteks inilah yang biasanya mengisi ruang kosong dalam kalimat tak lengkap dan memberi cahaya bagi kalimat yang gelap. Sepotong kalimat, ”Sepi,” misalnya, barangkali tak memberi penjelasan apa pun disebabkan kalimat tersebut tak menampilkan subyek. Namun, jika kalimat itu dikatakan sambil melihat rumah tanpa penghuni dan tanpa cahaya, pendengarnya bisa segera mengisi ruang kosong dalam kalimat tak lengkap tersebut dengan sebuah konteks: ”Rumah itu sepi.” Rumah itu menjadi subyek yang tak terucapkan. Apakah dalam ragam bahasa tulis juga ada konteks?
Konteks dalam bahasa tulis muncul dalam bentuk yang lain. Kutipan cerpen Wayan Sunarta di atas, jika dilengkapi dengan kalimat sebelumnya, akan menjadi begini: ”Ayahku nelayan tua bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Dalam kalimat pertama kita menemukan ayahku sebagai subyek. Di sini penulis seperti meminta kita agar menyimpan informasi itu untuk sesekali dipergunakan kembali sebagai pengisi ruang kosong. Maka, ketika kita menghadapi kalimat kedua, pembacaannya akan menjadi: ”Ayahku suka becengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Wayan bermain dengan ruang kosong yang meminta kita menebak dan kemudian mengisinya.
Operasi yang berbeda dilakukan oleh Intan Paramaditha. Ketika kita menghadapi kalimat ”aku menemukanmu dalam pelarian,” kita tak dibekali apa pun sebagai penerang untuk membuat kalimat tersebut benderang. Sebaliknya, justru kita diminta menyimpan kalimat gelap itu dan di sepanjang cerita, Intan perlahan-lahan menerangi kalimat tersebut. Demikianlah akhirnya kita tahu, atau mencoba tahu, bahwa yang dalam pelarian adalah si aku. Aku adalah pengantin baru yang melarikan diri dari tetek-bengek pestanya.
Permainan bahasa ini—tentu dalam pengertian yang agak berbeda dengan language games Wittgenstein—sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Bahkan, bisa kita temukan dalam tradisi sastra yang jauh lebih lama. Ini serupa dengan ruang kosong dalam lukisan: kanvas yang dibiarkan tak tersentuh cat. Atau seperti jeda di dalam musik. Namun, dalam tradisi prosa mutakhir kita, saya menemukan pemanfaatannya dalam cakupan yang mencengangkan. Penulis-penulis ini tak khawatir dengan ketersesatan. Mereka barangkali bahkan menganggap ketersesatan, karena ruang kosong yang gelap, sebagai strategi yang penuh kesadaran. Ia menjelma menjadi sejenis misteri dalam cerita detektif atau hantu dalam cerita horor yang kita tunggu kemunculannya.
Dalam kutipan kalimat Linda Christanty, kita diminta bermain tebak-tebakan hubungan tiga frasa ”mantel berkerah bulu cerpelai”, ”baju obral”, dan ”empat dollar”. Sejak awal kita seperti diingatkan bahwa kalimat tersebut meminta untuk tidak dibaca sebagaimana biasanya, apa yang dimaksudnya tidak sebagaimana apa yang tertulis di sana. Prosa-prosa ini jelas tidak ditujukan kepada para pembaca yang malas, pembaca yang tak ingin diajak bermain tebak-tebakan, sebab jebakan tak hanya ada di tingkat cerita, tapi bahkan di tingkat kalimat, klausa, frasa, atau mungkin kata.
Kita seolah menghadapi titik tiga di antara frasa-frasa tersebut dan, seperti dalam kalimat Intan, akan diisi sementara kita melanjutkan pembacaan kalimat berikutnya: ”Menurut penjualnya, milik artis terkenal Carole Lombard. Hah? Yang benar saja! Lombard sudah lama mati. Baju ini sempat mampir di mana sebelum masuk toko loak?” Rentetan kalimat itu mengisi ruang kosong dan akan terbaca ringkas menjadi mantel berkerah bulu cerpelai itu baju obral. Dan, kalimat selanjutnya: ”Dia kirim mantel tersebut ke penatu, biar karbon tertraklorida mematikan kuman-kuman yang bersembunyi di situ”, semakin memperkuat kesan loak dan ujung-ujungnya murah. Ia merujuk ke frasa empat dollar.
Dan bagaimana dengan kalimat ”Puntung rokoknya yang masih menyala jatuh di kaus oblong yang lusuh dan membuat beberapa lubang”? Kita tahu bisa membuat frasa ”[puntung rokoknya yang masih menyala] jatuh [...] dan membuat [...]” sebagai frasa predikat/kata kerja, dan tampaknya inilah yang dimaksud. Namun, kata membuat barangkali bisa juga diberikan kepada frasa yang lain: ”[kaus oblong yang] lusuh dan membuat [...]”. Puthut tidak memberi penjelasan apa pun untuk meneranginya di kalimat berikut (atau sebelumnya): ”Aku ingin menolongnya, tapi kepala ini berat rasanya, dan ia sendiri tidak merasa kepanasan.”
Kata kepanasan mungkin membawa kita ke asumsi bahwa puntung rokok itulah yang membuat lubang meski kita dihadang masalah lain: kita tak tahu di mana puntung rokok membuat lubang, dan seandainya menebak lubang itu di kaus oblong, kita tak tahu itu kaus oblong siapa sehingga bisa jadi tak berhubungan dengan potongan kalimat ia sendiri tak merasa kepanasan. Dalam kalimat Puthut, kita menemukan pemanfaatan kalimat ”misterius” yang begitu maksimal, permainan tebak-tebakan yang nyaris tanpa akhir, dan ia tak merasa perlu memiliki nafsu untuk memberinya penerang yang benderang.
Pengarang sudah mati dan pembacalah yang harus membawa obor di kegelapan kuburan. Bagi saya, ini adalah daya tarik luar biasa dari prosa kita belakangan hari ini, membuat saya ingin mengulang tak hanya pembacaan sebuah cerita pendek atau novel, tapi bahkan sebaris kalimat, sambil bertanya-tanya apa yang bisa saya temukan di sana.
Kegiatan intelek
”Membaca merupakan aktivitas yang lebih intelek daripada menulis,” kata cerpenis Jorge Luis Borges.
Barangkali dalam rangka menghormati peran pembaca sebagai pemegang kuasa mutlak pemaknaan, penulis-penulis prosa kita ini tak merasa perlu membuat segalanya benderang. Usaha membuat makna yang seterang-terangnya bisa dikatakan sia-sia sebab pada akhirnya akan selalu ada pembacaan yang berbeda. Ada persepsi yang lain. Dan, bahwa tak ada sesuatu pun yang tanpa makna. Demikianlah saya pikir bagaimana ruang-ruang kosong dan gelap dalam prosa merupakan suatu perayaan atas pembacaan dan pemaknaan. Di sini tak hanya pembaca, tapi juga penulis mencoba menemukan kemungkinan-kemungkinan persepsi dan, pada akhirnya, makna. Dengan kata lain, ini merupakan usaha para penulis mengambil kembali peran inteleknya tanpa harus merebutnya dari pembaca.
Saya ingin memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan ini dalam penggunaan mereka atas metafora, misalnya, jika apa yang mereka lakukan masih bisa kita anggap sebagai metafora.
Djenar Maesa Ayu dalam Waktu Nayla (Mereka Bilang, Saya Monyet!, Gramedia Pustaka Utama, 2002) membayangkan akhir waktu dengan kalimat: ”… jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu.” Bagian dirinya berubah jadi abu relatif mudah dibayangkan sebagai momen kematian, barangkali kematian di panggung kremasi, atau Djenar membayangkan mayat di kuburan yang hancur menjadi tanah juga sebagai abu. Namun, bagaimana dengan jam tangan yang jadi sapu dan sedan yang jadi labu? Itu bukan gambaran yang umum mengenai kematian, paling tidak bagi saya. Djenar seolah menantang kita untuk menciptakan suatu persepsi lain mengenai kematian dari kalimat tersebut. Saya membayangkan, misalnya, barangkali di akhir waktu perempuan seperti Nayla akan berakhir serupa penyihir. Sapu mengingatkan saya kepada sapu terbang nenek sihir dan labu mengingatkan saya kepada malam Halloween. Dan, abu adalah mayat penyihir yang dibakar. Ingat, Nayla telah divonis hidupnya tak lama lagi. Itu serupa kutukan.
Zen Hae dalam Taman Pemulung (Rumah Kawin, Kata Kita, 2004) menulis sebaris metafora mencengangkan: ”Sembari menikmati suara azan zuhur [...]. Suara azan itu seperti air liur. Meleleh. Bersekutu dengan hujan.” Mencengangkan sebab, pertama, saya harus bersusah-payah membayangkan suara azan (yang) meleleh. Barangkali suara yang berleret-leret, mengalir pelan dan panjang. Kedua, saya juga harus bersusah-payah membayangkan menikmati suara azan (yang) seperti air liur. Sangat sulit membayangkan saya bisa menikmati air liur. Air liur bagi saya cenderung menjijikkan untuk dinikmati. Namun, saya mencoba membacanya kembali dan membacanya dengan cara lain. Saya mencoba membayangkan azan sebagai waktu dan meleleh membuat saya teringat kepada jam-jam Salvador Dali yang meleleh. Saya tak yakin apakah itu yang dimaksud Zen Hae, tapi membacanya dengan cara seperti itu memberi kesenangan tertentu, membayangkan dunia ”Taman Pemulung” menjadi semakin surealis.
Bandingkan contoh-contoh tersebut dengan pandangan umum tentang metafora. Saya akan mencomot satu dari Cassel’s Dictionary: ”… a word is transferred in application from one object to another, so as to imply comparison.” Atau dari yang versi Indonesia, Kamus Istilah Sastra karya Abdul Rozak Zaidin dkk terbitan Balai Pustaka ini: majas yang mengandung perbandingan yang tersirat yang menyamakan hal yang satu dengan hal yang lain. Kata kuncinya: perbandingan. Kata ini menyiratkan akan adanya satu keparalelan. Dan, biasanya, metafora dipergunakan untuk memperoleh kesan lebih terpahami, atau lebih memperkuat efek yang dimaksud.
Harimau dan kucing besar adalah perbandingan yang bersifat paralel. Mata hari (matahari) adalah perbandingan untuk bintang kate kita yang sebelumnya dikenal sebagai surya. Kemudian lihat kembali suara azan yang seperti liur atau jam tangan yang jadi abu untuk menggantikan akhir waktu. Metafora di sini tak serupa dengan perbandingan yang paralel, tidak pula untuk memperjelas maupun memperkuat efek. Bagi saya, metafora-metafora ini lebih tampak sebagai penciptaan persepsi lain yang telanjur kita kenal mengenai azan maupun akhir waktu. Sebenarnya Aristoteles sudah mengatakannya jauh-jauh hari dalan Poetics: metafora adalah tranferensi term dari satu hal ke hal lainnya: genus ke spesies, spesies ke genus, atau spesies ke spesies, atas dasar analogi.
Definisi ini jauh lebih longgar. Perhatikan kembali kata ini: analogi. Analogi tak hanya menyiratkan perbandingan, tapi juga kias, bahkan persepsi. Analogi tak hanya melulu menuntut perbandingan yang paralel, tapi bahkan hal-hal yang sangat tidak serupa. Kita sedang menghadapi pergeseran penciptaan metafora (atau kembali ke wataknya yang lebih kuno). Surya bukan lagi sekadar mata hari, mungkin bisa pula sebagai komputer rusak. Dan harimau boleh jadi malam keparat.
Kita, penulis dan pembaca, bersekutu dalam mereka ulang bayangan mengenai azan dan akhir waktu. Dengan kata lain, mencari kembali, dan terus kembali sebab memang dibiarkan menjadi begitu labil, apa yang kita sebut sebagai realitas. Dan, pada akhirnya: makna.
Perhatikan pula cerpen yang tampak profetis ini: Air Raya (Perempuan Pala, Aky Press, 2004) karya Azhari. Ditulis beberapa saat sebelum tragedi ”air raya” sungguhan di Aceh, cerpen ini tak sekadar suatu simbolisme semata. Ia adalah persekutuan ajaib antara banjir besar, kapal yang terus tumbuh, Nuh, bapak yang pergi, anak dan ibu yang menunggu di rumah, yang satu sama lain tampak tak memiliki hubungan apa pun. Senyatanya memang begitu. Dua kisah berbeda, tentang pelayaran Nuh dan tentang keluarga yang terimpit perang saudara, berkelindan menciptakan makna fiksi yang hanya bisa diketahui pembacanya seorang demi seorang. Demikianlah, alih-alih membuat cerita pendek menjadi segepok pesan yang centang-perenang, karya-karya ini membiarkan dirinya jadi puzzle yang pembaca sendiri tahu maknanya.
Dengan cara yang agak berbeda mengenai pemaknaan ini, Raudal Tanjung Banua memilih menyodorkan peristiwa biasa: tentang rumah-rumah menghadap jalan, yang telah membuka pintu-pintunya untuk kepergian, tapi belum tentu menerima kepulangan (Rumah-Rumah Menghadap Jalan, dalam Parang tak Berulu, Gramedia Pustaka Utama, 2005). Peristiwa umum yang disodorkan untuk dimaknai ulang.
Rasional dan positivistik
Zaman modern dihiasi oleh tradisi ilmu pengetahuan yang rasional dan positivistik. Apa yang tersisa dalam tradisi itu di dunia sastra? Realisme mungkin sudah banyak ditinggalkan. Omong-omong tentang orisinalitas mungkin sudah sangat membosankan. Meskipun banyak penulis masih mempergunakannya, mereka membicarakannya dengan penuh kecemasan, atau dilihat orang dengan penuh kecurigaan. Namun, realisme dan orisinalitas bukan satu-satunya hal yang masih tertinggal dari tradisi rasional dan positivistik ini. Tuntutan akan suatu kalimat yang terang dan jernih jelas merupakan bawaan tradisi serupa itu. ”Clear and distinct,” kata Descartes.
Sifat-sifat ”terang”, ”jernih”, dan ”tepat” jelas menyiratkan adanya suatu makna yang tunggal. Siapa pun pembaca yang menuntut hal semacam itu merupakan pembaca yang gagap menanggung beban otonominya sendiri. Pembaca seperti ini juga merupakan pembaca yang cenderung sinis terhadap kelisanan dan terutama terhadap kelisanan dalam keberaksaraan, serta mengagungkan yang sebaliknya.
Sikap-sikap seperti itu tampak semakin luntur dalam kepenulisan para penulis generasi terkini. Tanpa beban dan bahkan cenderung bersikap enteng, Dina Octaviani mereka ulang cerpen William Faulkner Setangkai Mawar untuk Emily dalam cerpennya sendiri yang berjudul Setangkai Mawar dari Emily (Como un Sueno, Orakel, 2005). Demikian pula Gunawan Maryanto (Bon Suwung, Insist Press, 2005), misalnya, menulis ulang mitologi Jawa lama dalam ”Jangan Bilang-bilang Kala” (dari Centhini), ”Serat Padi” (Serat Cariyos Dewi Sri), atau cerita orang lain dalam Lantana (dari Simfoni Pastoral, Andre Gide).
Saya pikir antara kalimat-kalimat yang tak taat tata bahasa sebagaimana contoh-contoh di awal hingga reka ulang cerita di contoh-contoh akhir, semuanya menyiratkan hal yang sama: merayakan pembacaan, dan akhirnya sekali lagi, makna. Atau dengan kata lain: merayakan ketersesatan.
*) Penulis Novel dan Cerita Pendek, Menyelesaikan Studi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Belajar Hidup kepada Sang Begawan
‘Immemorial’ Kuntowijoyo (18-9-1943–22-2-2005)
Bernando J. Sujibto*
http://www.lampungpost.com/
SUDAH 2 tahun lebih khazanah sastra Indonesia ditinggal salah satu putra terbaiknya, yaitu almarhum Bapak Prof. Dr. Kuntowijoyo (18 September 1943–22 Februari 2005), yang telah menyumbangkan paradigma kritis tentang sastra profetik (prophetic literature), sebuah konsep sastra transendental di tengah kegersangan spiritualitas masyarakat dewasa ini. Konsep sastra profetik sejatinya akan menjadi salah satu embrio dalam sastra Indonesia dengan jalannya sendiri.
Konsep sastra profetik berpijak kepada sebuah konsep berkarya yang berlandaskan pada elan kenabian. Kunto mengutip konsep tersebut dari Alquran, yaitu surat Al Imran Ayat 110: “Kamu ialah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi umat manusia, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah”. Sastra profetik mengedepankan humanisasi (amar makruf), liberasi (nahi mungkar) dan transendensi (tu’minuna billah) (Kuntowijowo, 1997). Hingga sekarang konsep yang digulirkan Pak Kunto, sapaan akrab Kuntowijoyo, masih ramai dibicarakan.
Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, tanggal 18 September 1943. Pendidikan formal keagamaan dijalani di madrasah ibtidaiah di Ngawonggo, Klaten, tempat menempuh SRN tahun 1950–1956. Tamat SMP 1 Klaten dan SMA 2 Solo, sebelum lulus sarjana sejarah UGM tahun 1969. Gelar MA American History diperoleh dari The University of Connecticut AS tahun 1974, dan Ph.D. ilmu sejarah dari Columbia University AS tahun 1980.
Kunto meraih master di University of Connecticut, AS (1974) dan gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980), dengan disertasi “Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940″.
Anak kedua dari sembilan bersaudara ini dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah yang seniman. Ayahnya yang Muhammadiyah juga suka mendalang. Dia diasuh dalam kedalaman lingkungan relijius dan seni. Dua lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya semasa kecil dan remaja.
Kesenangannya terhadap dunia sastra dan teater berlanjut hingga semasa kuliah. Dia bahkan pernah menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua Studi Grup Mantika, hingga tahun 1971. Pada kesempatan ini, dia berkesempatan bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan muda, seperti Arifin C. Noer, Syu’bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam, dan Salim Said.
Bakat menulisnya juga tumbuh sejak masih duduk di bangku madrasah ibtidaiah itu. Dia pun mengasah kemampuan menulis dengan terus menulis. Baginya, cara belajar menulis ialah banyak membaca dan menulis. Kunto kemudian melahirkan sebuah novel berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari dimuat di Harian Jihad sebagai cerita bersambung.
Ketabahan Sang Begawan
Setelah divonis menderita penyakit radang selaput otak kecil atau meningo encephalitis yang dapat mengakibatkan kelumpuhan total yang mengancam sejak tahun 1992, sang Begawan, meminjam sebutan Abdul Munir Mulkhan, dituntut tabah menjalani terapi gangguan saraf motorik otak tersebut. Pada tanggal 22 Februari 2005, pada usia yang ke-61, segenap kalangan masyarakat, khususnya dunia kesusastraan Indonesia, berduka atas berpulangnya putra terbaik bangsa itu akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare, dan ginjal setelah menderita.
Ketabahan yang luar biasa ditunjukkan Pak Kunto sewaktu mengalami gangguan saraf motorik! Penyakit itu tak menghentikan karya-karya sastra, budaya, dan ilmiah sang Begawan. Justru setelah divonis penyakit berat tersebut, Pak Kunto makin gigih berjihad dan menunjukkan kreativitasnya yang semakin gemilang. Bayang-bayang umur pun menjadi penyulut yang membakar fighting spirit dalam memanfaatkan keilmuannya yang selama bertahun-tahun ditekuninya. Hasilnya pun sungguh luar biasa!
Dalam sakit panjangnya itu, Sang Begawan lebih produktif dibanding dengan teman-temannya yang sehat. Otaknya tetap bekerja normal, opininya terus mengalir menghiasi berbagai media. Novel dan cerpen Sang Begawan bahkan terus menghiasi Harian Kompas. Tahun 2001 lahir novel Mantra Pejinak Ular yang dimuat Kompas sebagai cerita bersambung.
Di samping itu, Sang Begawan juga sempat menuliskan esai panjang “Maklumat Sastra Profetik”, sebagai “maklumat akhir” dari seorang yang telah menggulirkan istilah tersebut dalam konstilasi khazanah sastra kita yang sempat menggaung sejak tahun 1997, yang dimuat beberapa bulan setelah meninggalnya Pak Kunto di Majalah Sastra Horison lengkap dengan pengantarnya yang menyatakan dirinya bertanggung jawab atas istilah sastra profetik (prophetic literature), dan esai tersebut merupakan maklumat terakhirnya yang tidak akan memancing polemik lagi dengan dirinya.
Di tengah dera penyakit itu, Pak Kunto banyak menerima penghargaan sastra dan budaya. Beberapa cerpennya meraih hadiah Kompas sebagai cerpen terbaik Kompas secara berterut-turut sejak tahun 1995/1996/1997, sehingga ada satir dari beberapa temannya, seperti diakui Pak Kunto sendiri dalam beberapa kesempatan diskusi sastra agar “berhenti dahulu” menulis cerpen di Kompas.
Hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta diraih untuk naskah drama “Topeng Kayu” (tahun 1973). Penghargaan ASEAN Award on Culture diterima tahun 1997, selain penghargaan SEA Write Award dari Pemerintah Thailand tahun 1999. Beberapa penghargaan yang pernah diterimanya adalah penghargaan sastra dari Pusat Bahasa atas kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994), ASEAN (1997), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (1999), dan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) atas novel Mantra Pejinak Ular (2001).
Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku tahun 1972. Naskah dramanya berjudul “Rumput-Rumput Danau Bento” (1968) dan “Topeng Kayu” (1973) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalancana Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999), dan FEA Right Award Thailand (1999).
Dewasa ini, semua jejak dan peninggalan Pak Kunto yang tak terhingga itu harus kita jaga sebagai sebuah tafsir yang kritis terhadap dinamika peradaban. Sastra profetik yang telah ditinggalkannya hingga kini akan tetap mewarnai dan menjadi elan dalam khazanah sastra kita.
*) Penyair dan esais, bergiat di Komunitas KUTUB dan Eska Yogyakarta.
Bernando J. Sujibto*
http://www.lampungpost.com/
SUDAH 2 tahun lebih khazanah sastra Indonesia ditinggal salah satu putra terbaiknya, yaitu almarhum Bapak Prof. Dr. Kuntowijoyo (18 September 1943–22 Februari 2005), yang telah menyumbangkan paradigma kritis tentang sastra profetik (prophetic literature), sebuah konsep sastra transendental di tengah kegersangan spiritualitas masyarakat dewasa ini. Konsep sastra profetik sejatinya akan menjadi salah satu embrio dalam sastra Indonesia dengan jalannya sendiri.
Konsep sastra profetik berpijak kepada sebuah konsep berkarya yang berlandaskan pada elan kenabian. Kunto mengutip konsep tersebut dari Alquran, yaitu surat Al Imran Ayat 110: “Kamu ialah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi umat manusia, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah”. Sastra profetik mengedepankan humanisasi (amar makruf), liberasi (nahi mungkar) dan transendensi (tu’minuna billah) (Kuntowijowo, 1997). Hingga sekarang konsep yang digulirkan Pak Kunto, sapaan akrab Kuntowijoyo, masih ramai dibicarakan.
Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, tanggal 18 September 1943. Pendidikan formal keagamaan dijalani di madrasah ibtidaiah di Ngawonggo, Klaten, tempat menempuh SRN tahun 1950–1956. Tamat SMP 1 Klaten dan SMA 2 Solo, sebelum lulus sarjana sejarah UGM tahun 1969. Gelar MA American History diperoleh dari The University of Connecticut AS tahun 1974, dan Ph.D. ilmu sejarah dari Columbia University AS tahun 1980.
Kunto meraih master di University of Connecticut, AS (1974) dan gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980), dengan disertasi “Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940″.
Anak kedua dari sembilan bersaudara ini dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah yang seniman. Ayahnya yang Muhammadiyah juga suka mendalang. Dia diasuh dalam kedalaman lingkungan relijius dan seni. Dua lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya semasa kecil dan remaja.
Kesenangannya terhadap dunia sastra dan teater berlanjut hingga semasa kuliah. Dia bahkan pernah menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua Studi Grup Mantika, hingga tahun 1971. Pada kesempatan ini, dia berkesempatan bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan muda, seperti Arifin C. Noer, Syu’bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam, dan Salim Said.
Bakat menulisnya juga tumbuh sejak masih duduk di bangku madrasah ibtidaiah itu. Dia pun mengasah kemampuan menulis dengan terus menulis. Baginya, cara belajar menulis ialah banyak membaca dan menulis. Kunto kemudian melahirkan sebuah novel berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari dimuat di Harian Jihad sebagai cerita bersambung.
Ketabahan Sang Begawan
Setelah divonis menderita penyakit radang selaput otak kecil atau meningo encephalitis yang dapat mengakibatkan kelumpuhan total yang mengancam sejak tahun 1992, sang Begawan, meminjam sebutan Abdul Munir Mulkhan, dituntut tabah menjalani terapi gangguan saraf motorik otak tersebut. Pada tanggal 22 Februari 2005, pada usia yang ke-61, segenap kalangan masyarakat, khususnya dunia kesusastraan Indonesia, berduka atas berpulangnya putra terbaik bangsa itu akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare, dan ginjal setelah menderita.
Ketabahan yang luar biasa ditunjukkan Pak Kunto sewaktu mengalami gangguan saraf motorik! Penyakit itu tak menghentikan karya-karya sastra, budaya, dan ilmiah sang Begawan. Justru setelah divonis penyakit berat tersebut, Pak Kunto makin gigih berjihad dan menunjukkan kreativitasnya yang semakin gemilang. Bayang-bayang umur pun menjadi penyulut yang membakar fighting spirit dalam memanfaatkan keilmuannya yang selama bertahun-tahun ditekuninya. Hasilnya pun sungguh luar biasa!
Dalam sakit panjangnya itu, Sang Begawan lebih produktif dibanding dengan teman-temannya yang sehat. Otaknya tetap bekerja normal, opininya terus mengalir menghiasi berbagai media. Novel dan cerpen Sang Begawan bahkan terus menghiasi Harian Kompas. Tahun 2001 lahir novel Mantra Pejinak Ular yang dimuat Kompas sebagai cerita bersambung.
Di samping itu, Sang Begawan juga sempat menuliskan esai panjang “Maklumat Sastra Profetik”, sebagai “maklumat akhir” dari seorang yang telah menggulirkan istilah tersebut dalam konstilasi khazanah sastra kita yang sempat menggaung sejak tahun 1997, yang dimuat beberapa bulan setelah meninggalnya Pak Kunto di Majalah Sastra Horison lengkap dengan pengantarnya yang menyatakan dirinya bertanggung jawab atas istilah sastra profetik (prophetic literature), dan esai tersebut merupakan maklumat terakhirnya yang tidak akan memancing polemik lagi dengan dirinya.
Di tengah dera penyakit itu, Pak Kunto banyak menerima penghargaan sastra dan budaya. Beberapa cerpennya meraih hadiah Kompas sebagai cerpen terbaik Kompas secara berterut-turut sejak tahun 1995/1996/1997, sehingga ada satir dari beberapa temannya, seperti diakui Pak Kunto sendiri dalam beberapa kesempatan diskusi sastra agar “berhenti dahulu” menulis cerpen di Kompas.
Hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta diraih untuk naskah drama “Topeng Kayu” (tahun 1973). Penghargaan ASEAN Award on Culture diterima tahun 1997, selain penghargaan SEA Write Award dari Pemerintah Thailand tahun 1999. Beberapa penghargaan yang pernah diterimanya adalah penghargaan sastra dari Pusat Bahasa atas kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994), ASEAN (1997), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (1999), dan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) atas novel Mantra Pejinak Ular (2001).
Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku tahun 1972. Naskah dramanya berjudul “Rumput-Rumput Danau Bento” (1968) dan “Topeng Kayu” (1973) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalancana Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999), dan FEA Right Award Thailand (1999).
Dewasa ini, semua jejak dan peninggalan Pak Kunto yang tak terhingga itu harus kita jaga sebagai sebuah tafsir yang kritis terhadap dinamika peradaban. Sastra profetik yang telah ditinggalkannya hingga kini akan tetap mewarnai dan menjadi elan dalam khazanah sastra kita.
*) Penyair dan esais, bergiat di Komunitas KUTUB dan Eska Yogyakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati