Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=340
Penyair dipertentangkan dengan dunia, karena ia tak dapat menerima segala yang tampak sebagaimana apa adanya (Ben Okri).
Penyair hadir dari kegelisahan menggila atas beban lingkungannya; ladang di mana dirinya menemukan benturan hebat, di hadapannya rumusan hidup tiada yang becus, wewarna sengkarut. Namun tatkala melihat langit biru peroleh rongga pernafasannya lega, awan beterbangan sewujud pergerakan sosial, peradaban bertumpuk-tumpuk. Dan saat angin menghampiri didapati abad silam-semilam memberi kabar, lantas turun balik peroleh kekacauan yang sedikit jinak.
Maka diteruskan kembara memasuki gelombang hayati mengendarai ombak perasaan sesama, bertemu tebing curam mata-mata di tengah laluan pun jurang terjal pandangan sinis antar manusia. Ia melangkah seolah tak berjejak juga tiada bayangan, dalam keadaan itulah mengenal kata-kata.
Ia bayang-bayang berlarian dari awan tubuhnya, menggembol kesedihan teramat sangat akan nasib bermakhluk yang hilang di rimba belantara kebisingan. Kala kepedihan memuncak bertambah air mata tumpah membeningkan pandangan. Kerutan dahi bekerja berkumpulnya awan-gemawan menghitam hujan deras turun, bumi bathinnya disegarkan menyerupai keajaiban. Sisi tertentu sama kusut rambunya terkenai rintikan hujan semerah besi karatan.
Di sini penyair tengah mengimbangi ruang-waktu memadukan jarak nilai tatapan, direntangkan kemungkinan sejauh-jauhnya sewaktu anak panah cahaya matahari sampai ke telatah kelahiran. Ia setubuhi pelbagai kodrat benda menyelisik lembut melewati cela-cela fikiran, meramu perihal berpeluk utuh mengaduk relung kemanusiaan, menghampiri bibir molek analisa melumat tandas sebelum mengeja cumbui kata-kata.
Malam-siang bukan jadi soal baginya sebab menghidupi alam antara, sejenis terselubungi tabir hawa singkupnya senja mekaran fajar; bumi langit berbahasa. Tetumbuhan tebarkan petuah, bunga-bunga menginspirasi harapan manusia. Kelak gilirannya dianggap setengah gila sampai derajat tak waras oleh kerap memenggal jalan-jalan dianggap penting kebanyakan orang, yaitu aturan pemerataan yang membunuh. Maka kadang ia seolah terlihat menelikungi realitas demi peroleh jawaban purna, semisal menggeser tempat duduk.
Karena perenungannya begitu khas, mereka terpesona tetapi penuh kebencian, lantaran yang hadir mendongkolkan faham sudah berlaku. Namun mereka membutuhkan dukungan sebab segala permasalahan jatuh di linggiran penciumannya. Yang tentu kalimahnya tak berasal anganan tampak pun tidak dari lecutan mimpi berakar kepercayaan sempit menunggu pulung. Keyakinannya telah tanak membumi hingga gayuhannya menjelma gelegar suara bathin bersama. Atau spiritualitasnya bermeditasi sosial mengikuti pusaran hayati terjaga, makanya kita sulit memahami darinya kata-kata.
Ia bukan terbangun atas definisi para ahli kritik, kritikus sastra sekadar meraba berusaha mendekati seolah-olah mengenyam penghidupan penyair dan kerap terbentur persilangan teori dipegangnya. Sedang jika penyair menghasilkan kritik ialah yang selama ini dialami, kritik diri jalan dilewati membetot ingatan pada geliat kreatif, andai mengutip kata-kata penyair lain sekadar senggol menyapa.
Renungan di masa kanak merupakan sketsa mahal tatkala menuju remaja sampai jenjang dewasa, detikan hari-hari tertancap mawas terjaga kehati-hatian. Umpama pembawa gelas berair penuh diharapkan tak tumpah, atau menyunggi tampa di mana keseimbangan nomor pertama antara nalar-perasaan dalam tungku perapian malam. Juga membaca tidak silap berkedip kantuk menghilang, kekantuknya menyerupai ruh kekasih meninggal dunia yang mendatangi dengan pengertian. Maka kesadarannya memperlus wilayah menganyam panjang jejaring untuk tangkapan tidak luput sedari sergapan makna kata-kata.
Lelangkahnya pemburu hujan lebat batu-batu runcing pada wajah spekulan politik mengancam ambruknya nilai saham kemanusiaan. Seperti takdirnya titisan kembang segar diperbaharui kelopak-kelopak, andai gugur menjelma emas pertukaran kasih. Lihatlah dirinya memukul ketebalan bayu keadaan atas perubahan tak tampak, tapi tekanan udara dari jantungnya dipompa kesungguhan menetralisir wacana berseliweran. Maka semakin mantab memilah peristiwa dijadikan cermin pandangan terang yang membalikkan pantulan panorama.
Ia bukan makluk seperti peramal atau pesulap, tapi atas rasa nggigil menyaksikan pembantaian diejawantah dalam kehalusan. Tiupan syairnya menandaskan hati membuai hormon dibangkitkan tubuh kata-kata tak sekali saji. Kala melenyapkan rasa dingin berbaju basah kehujanan pulas tidur di lantai tanpa alas, kecuali matanya masih tajam mengamati genangan air kericuan di selokan sampah kebendaan. Ia membersihkan hingga para pendengarnya tercukupi perbendaharaan niscaya dalam kehidupan berbeda, yang seyogyanya dimaknai ulang puitika.
Suatu kali melihat penyair berbisik sesama penyair dengan jarak terdekat padahal bersuara keras. Ini ketulian pendengaran kita oleh telah disibukkan suara sumbang benturan benda, atau kegiatan sehari-hari mementingkan masa depan sendiri saling jegal mengejar mimpi. Sudah jauh kita tinggalkan bahasa hati hingga apa saja dikatakannya tidak faham, lantas menganggap ia hanya mengucapkan kata-kata kosong.
Penyair tulen berjalan seolah lenyap memasuki gelap malam dan kita sulit menyimak jejak-jejaknya karena ditumbuhi kesombongan, menganggap hidup penyair tak lebih berguna dari gelandangan. Kala itu ia masuk menafsirkan watak-watak manusia yang seolah bermain catur sendiri menata kata-kata. Kita semakin pekat hanya menikmati keindahan ucapannya sampai merasakan terkurung, lantas melepaskan hati pada kebiasaan membuta.
Dunia penyair berada dalam naungan jaman-jaman jauh dilupakan manusia pun kerap mengunjungi masa belum terfikirkan. Melintasi sekat-sekat waktu keluar-masuk reingkarnasi dengan karcis rangkap, atau di sisi tertentu menggunakan paspor perenungan dalam, sedang visanya ajek menguliti realitas kehidupan.
Ia insan paling ganjil seperti keunikan tradisi yang mengerami bentukan puisi tidak terganti wujud lain. Penampakan alam raya teman sejati, dirinya peroleh dialog yang tak terdengar kita akan masa-masa. Dan para informan paling obyektifnya ialah orang-orang yang kita anggap gila, padahal mereka menggembol kegilaan dunia, tapi karena tidak pernah menempati keluasaan kesadaran, maka tak sanggup mengutarakan. Olehnya penyair mengambil saripati kegelisahannya dalam percakapan membisu; ini betapa saling menyenangkan dan ia mendapatkan lebih.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 29 Desember 2009
Nilai Budaya dalam ”Puteri Malam” Cerita Rakyat Bangka
L.K. Ara
http://www.sinarharapan.co.id/
Penggemar cerita rakyat mungkin akan mendapat kesulitan untuk menemukan cerita rakyat Pulau Bangka. Berbeda dengan cerita rakyat daerah lainnya seperti: Sunda, Jawa, Batak, Aceh, Sulawesi, yang sudah banyak diterbitkan. Baik dalam suatu kumpulan bersama antara cerita rakyat dari berbagai daerah maupun sendiri-sendiri.
Namun demikian penggemar cerita rakyat Pulau Bangka yang dikenal sebagai penghasil timah itu tidak perlu kecewa karena masih dapat ditolong oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1983 Proyek ini pernah menerbitkan buku Puteri Ladang dan Puteri Malam yang ditulis oleh Amiruddin D (Dja’far) berisi cerita rakyat Bangka . Dalam kata pengantar pengarang kita pun akhirnya mengetahui bahwa buku ini merupakan lanjutan penerbitan sebelumnya yakni Cerita-Cerita Purba dari P. Bangka yang ditulis oleh pengarang yang sama. Mungkin karena penerbitan dengan oplah terbatas kedua buku ini pun sukar ditemukan di tengah masyarakat.
Selanjutnya dalam tulisan ini kita mencoba melihat nilai budaya daerah dalam cerita rakyat Puteri Malam.
Puteri Malam mengisahkan Pak Raje seorang kepala desa yang memiliki sawah dan bertindak sewenang-wenang. Sawah yang ditanami padi yang sedang berbuah itu dimasuki beberapa ekor babi. Pak Raje meminta kepada Sang Penyumpit menjaganya dengan dalih orang tua Sang Penyumpit yang sudah almarhum pernah berutang kepadanya. Demi membayar utang orang tua Sang Penyumpit rela bekerja pada Pak Raje. Ketika menjalankan tugasnya Sang Penyumpit mendapat rezeki yang tak diduga sehingga kaya raya. Melihat ini Pak Raje juga ingin mengikuti jejak Sang Penyumpit namun nasibnya sial, Pak Raje mati. Untunglah kemudian Sang Penyumpit mau membantu sehingga Pak Raje pulih kembali. Di akhir cerita Pak Raje insaf akan perbuatannya. Lalu menikahkan anaknya yang bungsu dengan Sang Penyumpit. Jabatan kepala desa pun diserahkannya kepada menantunya yang baik hati itu.
Tema cerita ini memperlihatkan bahwa orang yang jahat akan mendapat hukuman yang setimpal dan orang yang baik akan mendapat keberuntungan. Sedang pesan atau amanat cerita adalah sebaiknya jangan berbuat jahat dan sewenang-wenang kepada orang lain.
Perlakuan jahat yang dilakukan Pak Raje pada mulanya ketika sawahnya dimasuki babi. Dia memaksa Sang Penyumpit untuk mau menjaga. Agar Sang Penyumpit tak dapat menolak Pak Raje mengatakan bahwa pekerjaan ini sebagai ganti membayar utang ayahnya yang sudah almarhum. Sang Penyumpit tak dapat menolak demi untuk melunasi hutang ayahnya dan inilah tanda ia berbakti kepada orang tua. Sang Penyumpit bekerja keras siang malam demi membela nama baik orang tuanya.
Tutur Amiruddin Ja’far dalam cerita Puteri Malam:
Sampai diladang ia pun membakar kemenyan minta restu dewa-dewanya, tak lupa ia memuja mentemau (dewa babi) agar suka menolongnya supaya babi-babi jangan dilepaskan memakan ladang Pak Raje. Jika malam telah menyungkupi alam ini, sunyi senyaplah perladangan itu, merondalah Sang Penyumpit kesegenap pojok ladang. Tiga malam belum kejadian apa-apa, demikianlah hingga tujuh malam berlalu. Siang hari ia harus bekerja di ladang menuai padi dan malam hari harus pula jaga hingga tubuhnya merasa lemas dan pucat. Kadang-kadang ingin ia beristirahat tapi mengingat ancaman Pak Raje terpaksa ia terus berjaga-jaga.
Kerja keras Sang Penyumpit diberi imbalan yang baik. Dalam cerita dikisahkan ketika babi memasuki sawah ia sempat menombak dan mengenai seekor babi. Ingin tahu Sang Penyumpit menelusuri ke mana babi itu lari lewat darah yang bercucuran. Tiba di sebuah desa dalam rimba itu ia akhirnya mengetahui yang terkena seorang puteri. Ibu puteri itu minta kepada Sang Penyumpit menyembuhkan sakit puteri. Sang Penyumpit menolong puteri yang sakit. Nilai budaya menolong di sini digambarkan pengarang dalam cerita sebagai berikut:
Didekatinya gadis yang sedang sakit itu, dibukanya selimut yang menutupi kakinya. Sang Penyumpit meneliti tampak olehnya suatu benda hitam mencuat, sedikit ditelitinya betul-betul nyatalah bahwa itu mata tombak. ”Bik, kuminta agar disediakan buluh seruas panjang sehasta, daun keremunting yang sudah ditumbuk banyaknya secupak”, kata Sang Penyumpit kepada ibu gadis itu……..
……………dicabutnya mata tombak yang terhunus , ….luka bekas cabutan ditutupinya dengan daun keremunting untuk penahan darah yang keluar.
Besok tentu ia sudah bisa berjalan-jalan kembali….
Di sini kita juga diberi informasi bagaimana mengobati orang luka dengan dedaunan obat yang tersedia di daerah itu.
Nilai budaya tolong-menolong dapat ditemukan juga dalam cerita rakyat ini, ketika Sang Penyumpit akan pergi meninggalkan desa puteri itu. Sang Penyumpit yang telah menolong menyembuhkan puteri yang sakit diberi hadiah. Hal itu digambarkan pengarang sebagai berikut:
……tetapi sebelum anak pulang paman mau menyiapkan oleh-oleh guna kau bawa ke duniamu.
Inilah oleh-oleh dari dunia kami, ini bungkusan kunyit, ini bungkusan buah nyatoh, ini daun simpur, ini buah jering. Tapi kempat bungkusan ini jangan anakku buka sebelum sampai ke rumah. Supaya anak tidak mendapat kesulitan di jalan bakarlah dulu kemenyan ini.
Dalam cerita selanjutnya digambarkan ketika oleh-oleh itu dibuka dirumah Sang Penyumpit ternyata isinya bukan kunyit dan jering tetapi perhiasan emas, pemata intan berlian. Sejak itu tersiar kabar bahwa Sang Penyumpit telah menjadi kaya raya. Hutang ayahnya kepada Pak Raje pun segera dilunasi.
Mendengar pengalaman Sang Penyumpit yang akhirnya menjadi kaya raya, Pak Raje pun ingin meniru. Tapi sial ketika Pak Raje mengikuti jejak Sang Penyumpit dalam cerita dikisahkan mati. Setelah mengobati anak gadis yang kena tombak itu Pak Raje tertidur. Ketika bangun ia diserang berpuluh-puluh ekor babi yang besar-besar. Tubuhnya disobek-sobek. Berita ini tersiar di desa Pak Raje. Puteri tua Pak Raje menyampaikan nasib ayahnya kepada Sang Penyumpit. Mendengar kabar ini Sang Penyumpit ingin segera menolong lebih-lebih ia sudah mengenal desa itu. Sifat menolong dan jujur yang dimiliki oleh Sang Penyumpit merupakan nilai budaya daerah yang khas dalam cerita rakyat Puteri Malam. Hal ini tercermin dalam baris-baris yang disusun pengarang Amiruddin Ja’far sebagai berikut:
Dewa Matemau mengetahui bahwa anakku seorang yang jujur. Karena kejujuranmu itu, anakku dianiaya ataupun ditipu oleh sebangsamu di duniamu sendiri. Sebat itulah Matemau pada mulanya melarang adik-adikmu ke tempat buah-buahan yang enak di ladang Pak Raje, kemudian Matemau memerintahkan supaya adik-adikmu datang lagi ke ladang. Kami bertanya mengapa Matemau memerintahkan demikian? Katanya cucuku Sang Penyumpit harus ditolong karena dia sendiri ditipu oleh Pak Raje. Bagaimana caranya Sang Penyumpit menolong Pak Raje sehingga tubuhnya tak tersobek-sobek lagi dan hidup kembali? Dikisahkan Sang Penyumpit menggunakan 7 helai daun. Lalu dia membakar kemenyan lalu menyebut, ada tangan, ada kaki. Semua anggota tubuh Pak Raje disebut. Terakhir diucapkan Pak Raje.
Digambarkan dalam asap mengepul Sang Penyumpit membacakan manteranya lalu tampak Pak Raje berusaha duduk. Dia tampak menggosok-gosokkan matanya.
Pak Raje yang telah insaf dan mengaku bersalah digambarkan pengarang dengan kalimat sebagai berikut:
” Marilah kita pulang Sang Penyumpit segala kesalahankku kepadamu dan kepada rakyat segera kuminta maaf. Sesudah itu engkau kukawinkan dengan si Bungsu lalu aku akana mengundurkan diri, engkaulah akan menggantiku. Marilah kita pulang agar kabar gembira ini segera kita laksanakan”.
Sesuai dengan janji Pak Raje pada saat yang telah ditentukan puteri Bungsunya dinikahkannya dengan Sang Penyumpit. Jabatan sebagai kepala desa pun diserahkan kepada menantunya yang baik hati itu. Selanjutnya kedua insan yang baru menjadi suami isteri ini hidup berbahagia.***
http://www.sinarharapan.co.id/
Penggemar cerita rakyat mungkin akan mendapat kesulitan untuk menemukan cerita rakyat Pulau Bangka. Berbeda dengan cerita rakyat daerah lainnya seperti: Sunda, Jawa, Batak, Aceh, Sulawesi, yang sudah banyak diterbitkan. Baik dalam suatu kumpulan bersama antara cerita rakyat dari berbagai daerah maupun sendiri-sendiri.
Namun demikian penggemar cerita rakyat Pulau Bangka yang dikenal sebagai penghasil timah itu tidak perlu kecewa karena masih dapat ditolong oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1983 Proyek ini pernah menerbitkan buku Puteri Ladang dan Puteri Malam yang ditulis oleh Amiruddin D (Dja’far) berisi cerita rakyat Bangka . Dalam kata pengantar pengarang kita pun akhirnya mengetahui bahwa buku ini merupakan lanjutan penerbitan sebelumnya yakni Cerita-Cerita Purba dari P. Bangka yang ditulis oleh pengarang yang sama. Mungkin karena penerbitan dengan oplah terbatas kedua buku ini pun sukar ditemukan di tengah masyarakat.
Selanjutnya dalam tulisan ini kita mencoba melihat nilai budaya daerah dalam cerita rakyat Puteri Malam.
Puteri Malam mengisahkan Pak Raje seorang kepala desa yang memiliki sawah dan bertindak sewenang-wenang. Sawah yang ditanami padi yang sedang berbuah itu dimasuki beberapa ekor babi. Pak Raje meminta kepada Sang Penyumpit menjaganya dengan dalih orang tua Sang Penyumpit yang sudah almarhum pernah berutang kepadanya. Demi membayar utang orang tua Sang Penyumpit rela bekerja pada Pak Raje. Ketika menjalankan tugasnya Sang Penyumpit mendapat rezeki yang tak diduga sehingga kaya raya. Melihat ini Pak Raje juga ingin mengikuti jejak Sang Penyumpit namun nasibnya sial, Pak Raje mati. Untunglah kemudian Sang Penyumpit mau membantu sehingga Pak Raje pulih kembali. Di akhir cerita Pak Raje insaf akan perbuatannya. Lalu menikahkan anaknya yang bungsu dengan Sang Penyumpit. Jabatan kepala desa pun diserahkannya kepada menantunya yang baik hati itu.
Tema cerita ini memperlihatkan bahwa orang yang jahat akan mendapat hukuman yang setimpal dan orang yang baik akan mendapat keberuntungan. Sedang pesan atau amanat cerita adalah sebaiknya jangan berbuat jahat dan sewenang-wenang kepada orang lain.
Perlakuan jahat yang dilakukan Pak Raje pada mulanya ketika sawahnya dimasuki babi. Dia memaksa Sang Penyumpit untuk mau menjaga. Agar Sang Penyumpit tak dapat menolak Pak Raje mengatakan bahwa pekerjaan ini sebagai ganti membayar utang ayahnya yang sudah almarhum. Sang Penyumpit tak dapat menolak demi untuk melunasi hutang ayahnya dan inilah tanda ia berbakti kepada orang tua. Sang Penyumpit bekerja keras siang malam demi membela nama baik orang tuanya.
Tutur Amiruddin Ja’far dalam cerita Puteri Malam:
Sampai diladang ia pun membakar kemenyan minta restu dewa-dewanya, tak lupa ia memuja mentemau (dewa babi) agar suka menolongnya supaya babi-babi jangan dilepaskan memakan ladang Pak Raje. Jika malam telah menyungkupi alam ini, sunyi senyaplah perladangan itu, merondalah Sang Penyumpit kesegenap pojok ladang. Tiga malam belum kejadian apa-apa, demikianlah hingga tujuh malam berlalu. Siang hari ia harus bekerja di ladang menuai padi dan malam hari harus pula jaga hingga tubuhnya merasa lemas dan pucat. Kadang-kadang ingin ia beristirahat tapi mengingat ancaman Pak Raje terpaksa ia terus berjaga-jaga.
Kerja keras Sang Penyumpit diberi imbalan yang baik. Dalam cerita dikisahkan ketika babi memasuki sawah ia sempat menombak dan mengenai seekor babi. Ingin tahu Sang Penyumpit menelusuri ke mana babi itu lari lewat darah yang bercucuran. Tiba di sebuah desa dalam rimba itu ia akhirnya mengetahui yang terkena seorang puteri. Ibu puteri itu minta kepada Sang Penyumpit menyembuhkan sakit puteri. Sang Penyumpit menolong puteri yang sakit. Nilai budaya menolong di sini digambarkan pengarang dalam cerita sebagai berikut:
Didekatinya gadis yang sedang sakit itu, dibukanya selimut yang menutupi kakinya. Sang Penyumpit meneliti tampak olehnya suatu benda hitam mencuat, sedikit ditelitinya betul-betul nyatalah bahwa itu mata tombak. ”Bik, kuminta agar disediakan buluh seruas panjang sehasta, daun keremunting yang sudah ditumbuk banyaknya secupak”, kata Sang Penyumpit kepada ibu gadis itu……..
……………dicabutnya mata tombak yang terhunus , ….luka bekas cabutan ditutupinya dengan daun keremunting untuk penahan darah yang keluar.
Besok tentu ia sudah bisa berjalan-jalan kembali….
Di sini kita juga diberi informasi bagaimana mengobati orang luka dengan dedaunan obat yang tersedia di daerah itu.
Nilai budaya tolong-menolong dapat ditemukan juga dalam cerita rakyat ini, ketika Sang Penyumpit akan pergi meninggalkan desa puteri itu. Sang Penyumpit yang telah menolong menyembuhkan puteri yang sakit diberi hadiah. Hal itu digambarkan pengarang sebagai berikut:
……tetapi sebelum anak pulang paman mau menyiapkan oleh-oleh guna kau bawa ke duniamu.
Inilah oleh-oleh dari dunia kami, ini bungkusan kunyit, ini bungkusan buah nyatoh, ini daun simpur, ini buah jering. Tapi kempat bungkusan ini jangan anakku buka sebelum sampai ke rumah. Supaya anak tidak mendapat kesulitan di jalan bakarlah dulu kemenyan ini.
Dalam cerita selanjutnya digambarkan ketika oleh-oleh itu dibuka dirumah Sang Penyumpit ternyata isinya bukan kunyit dan jering tetapi perhiasan emas, pemata intan berlian. Sejak itu tersiar kabar bahwa Sang Penyumpit telah menjadi kaya raya. Hutang ayahnya kepada Pak Raje pun segera dilunasi.
Mendengar pengalaman Sang Penyumpit yang akhirnya menjadi kaya raya, Pak Raje pun ingin meniru. Tapi sial ketika Pak Raje mengikuti jejak Sang Penyumpit dalam cerita dikisahkan mati. Setelah mengobati anak gadis yang kena tombak itu Pak Raje tertidur. Ketika bangun ia diserang berpuluh-puluh ekor babi yang besar-besar. Tubuhnya disobek-sobek. Berita ini tersiar di desa Pak Raje. Puteri tua Pak Raje menyampaikan nasib ayahnya kepada Sang Penyumpit. Mendengar kabar ini Sang Penyumpit ingin segera menolong lebih-lebih ia sudah mengenal desa itu. Sifat menolong dan jujur yang dimiliki oleh Sang Penyumpit merupakan nilai budaya daerah yang khas dalam cerita rakyat Puteri Malam. Hal ini tercermin dalam baris-baris yang disusun pengarang Amiruddin Ja’far sebagai berikut:
Dewa Matemau mengetahui bahwa anakku seorang yang jujur. Karena kejujuranmu itu, anakku dianiaya ataupun ditipu oleh sebangsamu di duniamu sendiri. Sebat itulah Matemau pada mulanya melarang adik-adikmu ke tempat buah-buahan yang enak di ladang Pak Raje, kemudian Matemau memerintahkan supaya adik-adikmu datang lagi ke ladang. Kami bertanya mengapa Matemau memerintahkan demikian? Katanya cucuku Sang Penyumpit harus ditolong karena dia sendiri ditipu oleh Pak Raje. Bagaimana caranya Sang Penyumpit menolong Pak Raje sehingga tubuhnya tak tersobek-sobek lagi dan hidup kembali? Dikisahkan Sang Penyumpit menggunakan 7 helai daun. Lalu dia membakar kemenyan lalu menyebut, ada tangan, ada kaki. Semua anggota tubuh Pak Raje disebut. Terakhir diucapkan Pak Raje.
Digambarkan dalam asap mengepul Sang Penyumpit membacakan manteranya lalu tampak Pak Raje berusaha duduk. Dia tampak menggosok-gosokkan matanya.
Pak Raje yang telah insaf dan mengaku bersalah digambarkan pengarang dengan kalimat sebagai berikut:
” Marilah kita pulang Sang Penyumpit segala kesalahankku kepadamu dan kepada rakyat segera kuminta maaf. Sesudah itu engkau kukawinkan dengan si Bungsu lalu aku akana mengundurkan diri, engkaulah akan menggantiku. Marilah kita pulang agar kabar gembira ini segera kita laksanakan”.
Sesuai dengan janji Pak Raje pada saat yang telah ditentukan puteri Bungsunya dinikahkannya dengan Sang Penyumpit. Jabatan sebagai kepala desa pun diserahkan kepada menantunya yang baik hati itu. Selanjutnya kedua insan yang baru menjadi suami isteri ini hidup berbahagia.***
Pendobrak Pintu Cerpen Indonesia
Theresia Purbandini
http://jurnalnasional.com/
Perjalanan hidup Danarto kaya dengan pengalaman di dalam dan di luar negeri. Selain sebagai sastrawan, ia dikenal juga sebagai pelukis, yang memang ditekuni sejak masa muda. Sebagai pelukis ia pernah mengadakan pameran di beberapa kota. Sebagai sastrawan ia juga pernah mengikuti program penulisan di luar negeri di antaranya di Kyoto, Jepang.
Wayan Sunarta, seorang penulis puisi dan cerpen asal Bali mengagumi karya-karya Danarto dan menganggap karya-karyanya fenomenal dalam kesusastraan Indonesia. Melalui karya Godlob, Wayan menganggap bahwa Danarto telah mendobrak genre cerpen di Indonesia pada tahun 70-an hingga 80-an dengan penyajian fiksinya yang mengangkat persoalan kehidupan sosial sehari-hari dengan bumbu sufisme Jawa.
Akmal Naseri Basral, seorang cerpenis, novelis dan juga wartawan yang telah menyelesaikan buku-buku: Naga Bonar Jadi 2, Imperia dan kumpulan cerpen Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku, amat mengagumi karya Danarto sejak duduk di bangku SMU. “Karya Danarto amat dashyat layaknya science-fiction, menceritakan pertempuran antara kebaikan dan kejahatan yang selalu dibungkus dalam nilai-nilai Islami,“ kata Akmal.
Gaya menulis seseorang umumnya menggambarkan pengembaraan semasa hidupnya. Hal ini juga diyakini oleh kedua sastrawan ini. Wayan mengatakan, ”Segala sesuatu hal yang telah dipelajari, diyakini, berdasarkan tingkat intelegensia, akan muncul pada setiap torehan karya tulisnya. Juga ilmu gaib yang mistik secara tak sadar dibawa oleh Danarto ke dalam tulisannya. Karena melalui Godlob bisa dilihat gambaran pengembaraan batinnya menuju Tuhan,” ujarnya.
Akmal juga berpendapat kurang lebih sama. “Setiap tulisan akan mencirikan sidik jari si pengarangnya. Tapi mungkin hal ini hanya bisa disadari oleh pembaca tingkat tinggi. Karena dalam karya-karya Danarto, mungkin pembaca awam tak bisa mencapai daya khayal tinggi yang diungkapkan sebenarnya merupakan biografi si pengarang, bukan hanya sekadar imajinasi biasa,” kata Akmal.
Lauk dari Langit
Salah satu cerpen apik Danarto berjudul Lauk dari Langit yang diambil dari buku yang berjudul Kaca Piring, menceritakan satu keluarga petani miskin yang tinggal di atas bukit tak bertuan. Tiba-tiba mereka mendapat karunia hujan ikan dari langit. Begitu banyaknya, sampai-sampai mereka kebingungan hendak diapakan ikan-ikan tersebut. Saat mereka hendak menjual ikan-ikan yang banyak itu ke pasar, ternyata mereka begitu kaget saat melihat di bibir bukit bahwa kota telah musnah dan mayat-mayat telah bergelimpangan.
Kisah ini memberikan kesan mendalam terhadap Akmal. Diakuinya, cara pandang Danarto dalam menyusun rentetan alur ceritanya mengungkapkan kadar intelegensia si pengarang yang tinggi. Melalui penataan etalase (judul) yang menarik dan acapkali cenderung tak lazim, juga diisi dengan cerita yang seakan-akan membawa pembaca ke dimensi lain dan makin terasah hebat ketika dapat menarik relevansi dengan dunia ini ke dalam tulisannya. Seperti cerpen Lauk dari Langit di atas yang menggambarkan bencana tsunami yang menelan banyak korban dan baru diungkapkan di akhir cerita.
Meski Danarto juga menulis novel, namun publik pembaca sastra Indonesia lebih mengenalnya sebagai cerpenis. Ia telah menggeluti dunia penulisan fiksi sejak masih remaja. Cerpen-cerpennya dianggap oleh Wayan sebagai genre sastra surealis-sufistik yang menjadi masterpiece di Indonesia. Banyak pula pengarang yang mencoba mengekor gaya penulisan Danarto, tapi menurut Wayan tak sampai dikenang dan meninggalkan kesan seperti dilakukan Danarto.
Sementara Akmal menyebutkan gaya bercerita Danarto sebagai realisme magis yang popular lewat Godlob dan Adam Ma’rifat. Belakangan cerpen-cerpen Danarto dirasa Akmal lebih kental unsur realismenya dibanding magis-nya. Namun secara keseluruhan menurut Akmal, pengaruh yang dibawa Danarto hingga kini masih terasa hingga tanpa sadar jadi arahan dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku.
Kini lebih membumi
Seperti cerpen yang berjudul Alhamdulilah Masih Ada Dangdut dan Mie Instant. Dengan menarik dan jenaka, Danarto mendongeng tentang perjalanan panjang kehidupan seorang Slamet yang mengalami jatuh bangun sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga era reformasi. Melalui tokoh jelata Slamet, Danarto menjadikan cerpen ini semacam catatan dan kritik kepada pemerintah yang kerap menindas rakyatnya dengan mengatasnamakan kepentingan negara.
Diakui oleh Akmal dan Wayan pula, bahwa dalam konstelasi perkembangan cerpen di Indonesia, pergeseran konteks yang digarap Danarto berkembang menjadi realitas yang lebih manusiawi, membumi. Danarto tak lagi berbicara tentang keambiguan kehidupan, tapi lebih dekat pada masalah-masalah sosial yang menghinggapi manusia-manusia urban.
Meski begitu gaya penulisan Danarto yang telah melalui proses waktu dianggap keduanya sebagai konsep pembelajaran dalam mencari jati dirinya yang sesungguhnya di dalam sufisme Jawa. Jadi agak mustahil bila menimbang kemungkinan adanya pengaruh Gabriel Garcia Marquez dari Kolombia atau Ben Okri dari Nigeria yang juga menganut paham realisme magis. Menurut Akmal, meskipun sealiran, namun gaya penulisan masing-masing memiliki daya tarik tersendiri.
Mengenai muatan Islam dalam karya Danarto, novelis lokal seperti Muhidin M. Dahlan pernah diganjar somasi pada 2005 karena novelnya Adam dan Hawa dianggap menyentuh kesensitifan umat beragama. Dari sisi ini, menurut Akmal, Danarto paling berhasil membuka lebih luas koridor prosa dengan segala peluang tematik dan gayanya di peta kesusastraan Indonesia.
http://jurnalnasional.com/
Perjalanan hidup Danarto kaya dengan pengalaman di dalam dan di luar negeri. Selain sebagai sastrawan, ia dikenal juga sebagai pelukis, yang memang ditekuni sejak masa muda. Sebagai pelukis ia pernah mengadakan pameran di beberapa kota. Sebagai sastrawan ia juga pernah mengikuti program penulisan di luar negeri di antaranya di Kyoto, Jepang.
Wayan Sunarta, seorang penulis puisi dan cerpen asal Bali mengagumi karya-karya Danarto dan menganggap karya-karyanya fenomenal dalam kesusastraan Indonesia. Melalui karya Godlob, Wayan menganggap bahwa Danarto telah mendobrak genre cerpen di Indonesia pada tahun 70-an hingga 80-an dengan penyajian fiksinya yang mengangkat persoalan kehidupan sosial sehari-hari dengan bumbu sufisme Jawa.
Akmal Naseri Basral, seorang cerpenis, novelis dan juga wartawan yang telah menyelesaikan buku-buku: Naga Bonar Jadi 2, Imperia dan kumpulan cerpen Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku, amat mengagumi karya Danarto sejak duduk di bangku SMU. “Karya Danarto amat dashyat layaknya science-fiction, menceritakan pertempuran antara kebaikan dan kejahatan yang selalu dibungkus dalam nilai-nilai Islami,“ kata Akmal.
Gaya menulis seseorang umumnya menggambarkan pengembaraan semasa hidupnya. Hal ini juga diyakini oleh kedua sastrawan ini. Wayan mengatakan, ”Segala sesuatu hal yang telah dipelajari, diyakini, berdasarkan tingkat intelegensia, akan muncul pada setiap torehan karya tulisnya. Juga ilmu gaib yang mistik secara tak sadar dibawa oleh Danarto ke dalam tulisannya. Karena melalui Godlob bisa dilihat gambaran pengembaraan batinnya menuju Tuhan,” ujarnya.
Akmal juga berpendapat kurang lebih sama. “Setiap tulisan akan mencirikan sidik jari si pengarangnya. Tapi mungkin hal ini hanya bisa disadari oleh pembaca tingkat tinggi. Karena dalam karya-karya Danarto, mungkin pembaca awam tak bisa mencapai daya khayal tinggi yang diungkapkan sebenarnya merupakan biografi si pengarang, bukan hanya sekadar imajinasi biasa,” kata Akmal.
Lauk dari Langit
Salah satu cerpen apik Danarto berjudul Lauk dari Langit yang diambil dari buku yang berjudul Kaca Piring, menceritakan satu keluarga petani miskin yang tinggal di atas bukit tak bertuan. Tiba-tiba mereka mendapat karunia hujan ikan dari langit. Begitu banyaknya, sampai-sampai mereka kebingungan hendak diapakan ikan-ikan tersebut. Saat mereka hendak menjual ikan-ikan yang banyak itu ke pasar, ternyata mereka begitu kaget saat melihat di bibir bukit bahwa kota telah musnah dan mayat-mayat telah bergelimpangan.
Kisah ini memberikan kesan mendalam terhadap Akmal. Diakuinya, cara pandang Danarto dalam menyusun rentetan alur ceritanya mengungkapkan kadar intelegensia si pengarang yang tinggi. Melalui penataan etalase (judul) yang menarik dan acapkali cenderung tak lazim, juga diisi dengan cerita yang seakan-akan membawa pembaca ke dimensi lain dan makin terasah hebat ketika dapat menarik relevansi dengan dunia ini ke dalam tulisannya. Seperti cerpen Lauk dari Langit di atas yang menggambarkan bencana tsunami yang menelan banyak korban dan baru diungkapkan di akhir cerita.
Meski Danarto juga menulis novel, namun publik pembaca sastra Indonesia lebih mengenalnya sebagai cerpenis. Ia telah menggeluti dunia penulisan fiksi sejak masih remaja. Cerpen-cerpennya dianggap oleh Wayan sebagai genre sastra surealis-sufistik yang menjadi masterpiece di Indonesia. Banyak pula pengarang yang mencoba mengekor gaya penulisan Danarto, tapi menurut Wayan tak sampai dikenang dan meninggalkan kesan seperti dilakukan Danarto.
Sementara Akmal menyebutkan gaya bercerita Danarto sebagai realisme magis yang popular lewat Godlob dan Adam Ma’rifat. Belakangan cerpen-cerpen Danarto dirasa Akmal lebih kental unsur realismenya dibanding magis-nya. Namun secara keseluruhan menurut Akmal, pengaruh yang dibawa Danarto hingga kini masih terasa hingga tanpa sadar jadi arahan dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku.
Kini lebih membumi
Seperti cerpen yang berjudul Alhamdulilah Masih Ada Dangdut dan Mie Instant. Dengan menarik dan jenaka, Danarto mendongeng tentang perjalanan panjang kehidupan seorang Slamet yang mengalami jatuh bangun sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga era reformasi. Melalui tokoh jelata Slamet, Danarto menjadikan cerpen ini semacam catatan dan kritik kepada pemerintah yang kerap menindas rakyatnya dengan mengatasnamakan kepentingan negara.
Diakui oleh Akmal dan Wayan pula, bahwa dalam konstelasi perkembangan cerpen di Indonesia, pergeseran konteks yang digarap Danarto berkembang menjadi realitas yang lebih manusiawi, membumi. Danarto tak lagi berbicara tentang keambiguan kehidupan, tapi lebih dekat pada masalah-masalah sosial yang menghinggapi manusia-manusia urban.
Meski begitu gaya penulisan Danarto yang telah melalui proses waktu dianggap keduanya sebagai konsep pembelajaran dalam mencari jati dirinya yang sesungguhnya di dalam sufisme Jawa. Jadi agak mustahil bila menimbang kemungkinan adanya pengaruh Gabriel Garcia Marquez dari Kolombia atau Ben Okri dari Nigeria yang juga menganut paham realisme magis. Menurut Akmal, meskipun sealiran, namun gaya penulisan masing-masing memiliki daya tarik tersendiri.
Mengenai muatan Islam dalam karya Danarto, novelis lokal seperti Muhidin M. Dahlan pernah diganjar somasi pada 2005 karena novelnya Adam dan Hawa dianggap menyentuh kesensitifan umat beragama. Dari sisi ini, menurut Akmal, Danarto paling berhasil membuka lebih luas koridor prosa dengan segala peluang tematik dan gayanya di peta kesusastraan Indonesia.
Jiwa Manusia Kota dalam Cerpen
Imam Muhtarom*
http://jurnalnasional.com/
Pelajaran yang berharga dari membaca cerpen maupun novel karya Budi Darma kita disadarkan bahwa manusia itu pada hakikatnya berjiwa. Jiwa inilah yang mengatasi dunia material tempat ia berada. Dalam khasanah sastra Indonesia posisi karya-karya Budi Darma sudah jelas letak dan sumbangannya. Juga semakin jelas perbedaannya apabila kita membandingkannya dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Semua karya Pramoedya memberi pelajaran pada kita bahwa manusia pada dasarnya pertarungan tak selesei antara kelas penguasa dengan kelas yang dikuasai. Jika pada karya-karya Pramoedya berpijak pada material, maka bisa dikatakan karya-karya Budi Darma berpijak pada yang immaterial, jiwa.
Namun demikian, tokoh-tokoh dalam karya Budi Darma, khususnya dalam kumpulan Orang-Orang Bloomington (selanjutnya disingkat OOB), sekalipun dengan jelas menunjukkan sosok manusia lewat tokoh-tokohnya yang memiliki jiwa, memiliki kepribadian, bukan berarti mereka berada di luar lingkungannya. Yang terjadi justru tokoh-tokoh dalam OOB hidup di tengah-tengah kota yang pada dasarnya adalah susunan material. Bukan saja material tersebut berupa sekian gedung, apartemen, jalan, mobil, uang, tetapi kota tak lain sebuah relasi kompleks yang sifatnya determinis terhadap penghuninya.
Pertama-tama kota dengan strukturnya mengikat dan menetapkan gerak badan, selanjutnya kota akan mengungkung pikiran, imajinasi, dan harapan para penghuninya. Dengan perkataan lain, kota sebagai struktur kompleks yang memungkinkan kota ada tak lain materialisasi segenap aspek kehidupan. Persoalan serius yang mengidap kota di mana pun di dunia ini semacam kriminal, bunuh diri, pembantaian, salit jiwa, demonstrasi massa, dan contoh-contoh kekerasan lain bisa dijelaskan lewat struktur yang mematerialisasi ini. Karena itu, dalam konteks penulisan sastra sebagaimana pernah dilakukan Walter Benjamin saat menulis kritiknya atas puisi-puisi Baudelaire, ia menggunakan determinasi ekonomi Karl Marx yang kemudian dikecam justru oleh koleganya sendiri, Adorno.
Tulisan ini tidak hendak membawa ke pembahasan cara Benjamin, melainkan sebaliknya, bagaimana OOB keluar dari jebakan determinasi struktur yang mematerialisasi ini dan justru secara jelas menunjukkan tokoh-tokoh OOB bukan budak materi. Sekalipun tokoh-tokoh dalam OOB adalah tokoh-tokoh yang terikat struktur kota yang mematerialisasi ini, tetapi pada saat yang sama, istimewanya, berhasil menunjukkan bahwa tokoh-tokoh tersebut berjiwa. Tokoh-tokoh yang bebas dari materi dan memiliki kepribadian. Sekalipun tokoh-tokoh tersebut terjatuh-jatuh oleh sekian masalah di tengah kungkungan kota, mereka tetap berusaha berdiri untuk tidak takluk dalam cengkaman kota.
Di tengah struktur kota
Keberhasilan menunjukkan adanya jiwa di tengah determinasi struktur kota yang mematerialisasi ini, bukan dikarenakan tokoh-tokohnya memiliki latar belakang kelas sosial menengah ke atas sehingga memiliki kesempatan untuk melakukan refleksi oleh sebab waktunya tidak habis untuk bertahan hidup secara fisik. Justru cerpen-cerpen dalam OOB ini tak lain argumentasi berupa cerita bahwa manusia (di) kota bukanlah sejenis ternak yang selesei atau tidak selesai lantaran sandang, pangan, dan papan. Lebih dari itu, manusia itu berjiwa. Terseok-seok oleh berbagai kekurangan fisik, ekonomi, dan sosial sebagaimana dialami tokoh Joshua Karabish dalam cerpen “Joshua Karabish”, ia tetaplah sosok manusia yang berjiwa, memiliki pikiran, dan yang utama, memiliki nurani.
Secara cukup meyakinkan, tokoh Joshua yang dikisahkan nyaris tidak memiliki kelebihan kecuali selalu kekurangan uang, minder, tak punya teman, mengidap penyakit kronis yang membawanya ke alam baka, justru memiliki nurani dengan sikapnya yang rendah hati, tahu diri, dan tabah. Ia tidak mengatakan ‘penyair‘™ sekalipun ia banyak sekali menulis puisi. Ia hanya mengatakan lewat tokoh “saya” ia hanyalah sosok yang tidak memiliki kepribadian sebagai syarat mutlak seseorang menjadi penyair. Ia mengaku orang bodoh yang kebetulan suka menulis puisi. Pandangan ideal tentang penyair dan karyanya yang dipahaminya dengan baik ini tidak membuatnya jumawa kepada siapa pun. Ia hanya menulis tanpa pretensi apa-apa. Justru tokoh “saya” dengan culas mengganti nama dirinya atas puisi-puisinya dalam lomba penulisan puisi ketika Joshua sudah mati. Alhasil, puisi karya Joshua menang. Pembaca dapat menghayatinya bahwa dari sosok invalid dan menjijikkan ini justru bisa membuat terharu. Ada mutiara dalam sosok yang bahkan bagi ibu dan kakaknya sendiri dianggap manusia tidak berguna ini.
Pararel dengan tokoh Joshua Karabish, adalah tokoh lelaki tua tanpa nama dalam cerpen “Lelaki Tua Tanpa Nama”. Dalam cerpen ini tokoh Lelaki Tua tak lain orang yang dianggap tidak waras dan membahayakan orang lain. Dianggap tidak waras karena tokoh ini sering mengacung-acungkan tangannya seakan ia tengah menggenggam pistol di tengah jalan. Ini sering menjadi tontonan orang akibat perilaku tak wajrnya ini. Beberapa orang yang melihatnya dibuat senang, beberapa yang mengutuknya. Ia juga dicurigai oleh tokoh di sekelilingnya di mana ia menyewa kamar bahwa dia sudah sejak lama telah menyimpan senjata, terutama oleh tokoh Ny. Nolan. Tokoh Lelaki Tua ini yang menurut salah seorang tokoh pernah dikirim dalam perang Vietnam telah kehilangan kedua anaknya dan istrinya. Ia hidup sendirian dan sering menceracau dengan keinginannya tinggal di gedung tinggi yang dilengkapi senjata mitraliur.
Dari keterangan tersebut tokoh Lelaki Tua tak lain tokoh terasing bukan saja traumatik masa lampau dan keluarganya, tetapi juga oleh lingkungan sosial pada masa kininya. Ia hidup seorang diri dan orang-orang di lingkungannya tidak memiliki empati kecuali tokoh “saya”. Mereka justru menghindarinya dengan alasan privasi sebagaimana ditunjukkan oleh tokoh Ny. Nolan, Ny. Casper, dan Ny. Macmilan. Akibat privasi atau sebenarnya tak mau tahu urusan orang lain, ketika tokoh Lelaki Tua mengacung-acungkan senapannya ke arah Ny Casper yang berlari ketakutan, tindakan yang diambil tokoh Ny. Nolan adalah mengambil senjata laras panjang dan menembak tokoh Lelaki Tua. Tokoh Lelaki Tua mati. Ketika diketahui bahwa senjata yang diacung-acungkan Lelaki Tua tidak berisi peluru, Ny Nolan tetap yakin Lelaki Tua itu pasti memiliki peluru. Ny. Nolan bersikeras dengan pendapatnya, bahkan dalam kesaksiannya di hadapan polisi. Apa yang mengharukan dari cerita ini adalah untuk menggedor kesadaran yang telah rutin manusia kota, terutama di Amerika Serikat, diperlukan seorang korban. Posisi korban dari tokoh Lelaki Tua ini sesungguhnya menjadi pemicu dalam melahirkan kepekaan terhadap sesama manusia. Justru pada diri manusia semacam Lelaki Tua inilah seseorang akan disadarkan bahwa manusia itu memiliki jiwa yang luhur. Pesannya jelas, individualisme ekstrem manusia kota mengandung tidak saja buruk, tapi juga membahayakan.
Penghayatan penulis
Kelima cerpen lain dalam OOB, antara lain “Ny. Elberhart”, “Yourick”, “Charlese Lebourne”, “Orez”, dan “Keluarga M” juga upaya menunjukkan bahwa orang-orang malang dalam struktur kota yang mematerialisasi ini tidak harus identik dengan orang yang merugikan. Manusia, khususnya orang kalah di sebuah kota, tetap memiliki jiwa seandainya orang mau menghayatinya. Di antara kelima cerpen tersebut, cerpen “Keluarga M” bagaimana posisi keluarga yang terpinggirkan secara ekonomi maupun sosial sangat terasa. Menariknya, Keluarga M yang berkali-kali dihina oleh tokoh “saya” ketika dalam keadaan sengsara tidak mau tunduk oleh kedengkian tokoh “saya”. Ketika mereka menolak segala bantuan tokoh “saya” bukan dengan alasan dendam, tetapi menunjukkan keinginan untuk berdiri atas usahanya sendiri. Bantuan pada beberapa hal sebagai ekspresi kerapuhan jiwa. Ketika kerapuhan menerpa seseorang maka jiwa itu akan tenggelam.
Pelajaran yang berharga dari cerpen OOB ini bukan semata kemampuannya memperlihatkan jiwa pada diri manusia (jiwa kethok) pada diri orang-orang kalah di lingkungan kota, tetapi masalah bagaimana tema tersebut diwujudkan dalam cerita. Masalah cara pewujudan lewat cerita ini tentu saja tidak sekadar terbatas pada kemampuan cerita itu mengorganisasikan berbagai elemen strukturalnya. Lebih dari itu, penghayatan yang kuat dan mendalam dari penulisnya atas subjek yang ditulisnya adalah faktor yang tak bisa diabaikan. Ini sepadan dengan Pramoedya Ananta Toer sekali pun dengan pijkan yang berbalikan dengan subjek yang ditulis Budi Darma. Namun, keduanya sama-sama ingin mengatakan bahwa manusia itu mulia, agung, dan mengagumkan.
*) Lahir 12 Mei 1977. Lulus dari fakultas sastra Unair tahun 2001. Menulis fiksi, resensi buku, artikel sastra, dan karya terjemahan. Berbagai tulisannya tersebar di pelbagai media antara lain Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Kalam, Jurnal Anarki, Majalah Bahana (Brunei), Kompas, Jurnal Nasional, Media Indonesia, The Jakarta Post, Koran Tempo, Suara Karya, Jawa Pos, Sinar Harapan, Republika, Surabaya Post, Surya, Surabaya News, BUSOS, Jawa Pos, Suara Merdeka, Bali Post, Lampung Pos, Riau Pos, Karya Dharma, Memorandum.
http://jurnalnasional.com/
Pelajaran yang berharga dari membaca cerpen maupun novel karya Budi Darma kita disadarkan bahwa manusia itu pada hakikatnya berjiwa. Jiwa inilah yang mengatasi dunia material tempat ia berada. Dalam khasanah sastra Indonesia posisi karya-karya Budi Darma sudah jelas letak dan sumbangannya. Juga semakin jelas perbedaannya apabila kita membandingkannya dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Semua karya Pramoedya memberi pelajaran pada kita bahwa manusia pada dasarnya pertarungan tak selesei antara kelas penguasa dengan kelas yang dikuasai. Jika pada karya-karya Pramoedya berpijak pada material, maka bisa dikatakan karya-karya Budi Darma berpijak pada yang immaterial, jiwa.
Namun demikian, tokoh-tokoh dalam karya Budi Darma, khususnya dalam kumpulan Orang-Orang Bloomington (selanjutnya disingkat OOB), sekalipun dengan jelas menunjukkan sosok manusia lewat tokoh-tokohnya yang memiliki jiwa, memiliki kepribadian, bukan berarti mereka berada di luar lingkungannya. Yang terjadi justru tokoh-tokoh dalam OOB hidup di tengah-tengah kota yang pada dasarnya adalah susunan material. Bukan saja material tersebut berupa sekian gedung, apartemen, jalan, mobil, uang, tetapi kota tak lain sebuah relasi kompleks yang sifatnya determinis terhadap penghuninya.
Pertama-tama kota dengan strukturnya mengikat dan menetapkan gerak badan, selanjutnya kota akan mengungkung pikiran, imajinasi, dan harapan para penghuninya. Dengan perkataan lain, kota sebagai struktur kompleks yang memungkinkan kota ada tak lain materialisasi segenap aspek kehidupan. Persoalan serius yang mengidap kota di mana pun di dunia ini semacam kriminal, bunuh diri, pembantaian, salit jiwa, demonstrasi massa, dan contoh-contoh kekerasan lain bisa dijelaskan lewat struktur yang mematerialisasi ini. Karena itu, dalam konteks penulisan sastra sebagaimana pernah dilakukan Walter Benjamin saat menulis kritiknya atas puisi-puisi Baudelaire, ia menggunakan determinasi ekonomi Karl Marx yang kemudian dikecam justru oleh koleganya sendiri, Adorno.
Tulisan ini tidak hendak membawa ke pembahasan cara Benjamin, melainkan sebaliknya, bagaimana OOB keluar dari jebakan determinasi struktur yang mematerialisasi ini dan justru secara jelas menunjukkan tokoh-tokoh OOB bukan budak materi. Sekalipun tokoh-tokoh dalam OOB adalah tokoh-tokoh yang terikat struktur kota yang mematerialisasi ini, tetapi pada saat yang sama, istimewanya, berhasil menunjukkan bahwa tokoh-tokoh tersebut berjiwa. Tokoh-tokoh yang bebas dari materi dan memiliki kepribadian. Sekalipun tokoh-tokoh tersebut terjatuh-jatuh oleh sekian masalah di tengah kungkungan kota, mereka tetap berusaha berdiri untuk tidak takluk dalam cengkaman kota.
Di tengah struktur kota
Keberhasilan menunjukkan adanya jiwa di tengah determinasi struktur kota yang mematerialisasi ini, bukan dikarenakan tokoh-tokohnya memiliki latar belakang kelas sosial menengah ke atas sehingga memiliki kesempatan untuk melakukan refleksi oleh sebab waktunya tidak habis untuk bertahan hidup secara fisik. Justru cerpen-cerpen dalam OOB ini tak lain argumentasi berupa cerita bahwa manusia (di) kota bukanlah sejenis ternak yang selesei atau tidak selesai lantaran sandang, pangan, dan papan. Lebih dari itu, manusia itu berjiwa. Terseok-seok oleh berbagai kekurangan fisik, ekonomi, dan sosial sebagaimana dialami tokoh Joshua Karabish dalam cerpen “Joshua Karabish”, ia tetaplah sosok manusia yang berjiwa, memiliki pikiran, dan yang utama, memiliki nurani.
Secara cukup meyakinkan, tokoh Joshua yang dikisahkan nyaris tidak memiliki kelebihan kecuali selalu kekurangan uang, minder, tak punya teman, mengidap penyakit kronis yang membawanya ke alam baka, justru memiliki nurani dengan sikapnya yang rendah hati, tahu diri, dan tabah. Ia tidak mengatakan ‘penyair‘™ sekalipun ia banyak sekali menulis puisi. Ia hanya mengatakan lewat tokoh “saya” ia hanyalah sosok yang tidak memiliki kepribadian sebagai syarat mutlak seseorang menjadi penyair. Ia mengaku orang bodoh yang kebetulan suka menulis puisi. Pandangan ideal tentang penyair dan karyanya yang dipahaminya dengan baik ini tidak membuatnya jumawa kepada siapa pun. Ia hanya menulis tanpa pretensi apa-apa. Justru tokoh “saya” dengan culas mengganti nama dirinya atas puisi-puisinya dalam lomba penulisan puisi ketika Joshua sudah mati. Alhasil, puisi karya Joshua menang. Pembaca dapat menghayatinya bahwa dari sosok invalid dan menjijikkan ini justru bisa membuat terharu. Ada mutiara dalam sosok yang bahkan bagi ibu dan kakaknya sendiri dianggap manusia tidak berguna ini.
Pararel dengan tokoh Joshua Karabish, adalah tokoh lelaki tua tanpa nama dalam cerpen “Lelaki Tua Tanpa Nama”. Dalam cerpen ini tokoh Lelaki Tua tak lain orang yang dianggap tidak waras dan membahayakan orang lain. Dianggap tidak waras karena tokoh ini sering mengacung-acungkan tangannya seakan ia tengah menggenggam pistol di tengah jalan. Ini sering menjadi tontonan orang akibat perilaku tak wajrnya ini. Beberapa orang yang melihatnya dibuat senang, beberapa yang mengutuknya. Ia juga dicurigai oleh tokoh di sekelilingnya di mana ia menyewa kamar bahwa dia sudah sejak lama telah menyimpan senjata, terutama oleh tokoh Ny. Nolan. Tokoh Lelaki Tua ini yang menurut salah seorang tokoh pernah dikirim dalam perang Vietnam telah kehilangan kedua anaknya dan istrinya. Ia hidup sendirian dan sering menceracau dengan keinginannya tinggal di gedung tinggi yang dilengkapi senjata mitraliur.
Dari keterangan tersebut tokoh Lelaki Tua tak lain tokoh terasing bukan saja traumatik masa lampau dan keluarganya, tetapi juga oleh lingkungan sosial pada masa kininya. Ia hidup seorang diri dan orang-orang di lingkungannya tidak memiliki empati kecuali tokoh “saya”. Mereka justru menghindarinya dengan alasan privasi sebagaimana ditunjukkan oleh tokoh Ny. Nolan, Ny. Casper, dan Ny. Macmilan. Akibat privasi atau sebenarnya tak mau tahu urusan orang lain, ketika tokoh Lelaki Tua mengacung-acungkan senapannya ke arah Ny Casper yang berlari ketakutan, tindakan yang diambil tokoh Ny. Nolan adalah mengambil senjata laras panjang dan menembak tokoh Lelaki Tua. Tokoh Lelaki Tua mati. Ketika diketahui bahwa senjata yang diacung-acungkan Lelaki Tua tidak berisi peluru, Ny Nolan tetap yakin Lelaki Tua itu pasti memiliki peluru. Ny. Nolan bersikeras dengan pendapatnya, bahkan dalam kesaksiannya di hadapan polisi. Apa yang mengharukan dari cerita ini adalah untuk menggedor kesadaran yang telah rutin manusia kota, terutama di Amerika Serikat, diperlukan seorang korban. Posisi korban dari tokoh Lelaki Tua ini sesungguhnya menjadi pemicu dalam melahirkan kepekaan terhadap sesama manusia. Justru pada diri manusia semacam Lelaki Tua inilah seseorang akan disadarkan bahwa manusia itu memiliki jiwa yang luhur. Pesannya jelas, individualisme ekstrem manusia kota mengandung tidak saja buruk, tapi juga membahayakan.
Penghayatan penulis
Kelima cerpen lain dalam OOB, antara lain “Ny. Elberhart”, “Yourick”, “Charlese Lebourne”, “Orez”, dan “Keluarga M” juga upaya menunjukkan bahwa orang-orang malang dalam struktur kota yang mematerialisasi ini tidak harus identik dengan orang yang merugikan. Manusia, khususnya orang kalah di sebuah kota, tetap memiliki jiwa seandainya orang mau menghayatinya. Di antara kelima cerpen tersebut, cerpen “Keluarga M” bagaimana posisi keluarga yang terpinggirkan secara ekonomi maupun sosial sangat terasa. Menariknya, Keluarga M yang berkali-kali dihina oleh tokoh “saya” ketika dalam keadaan sengsara tidak mau tunduk oleh kedengkian tokoh “saya”. Ketika mereka menolak segala bantuan tokoh “saya” bukan dengan alasan dendam, tetapi menunjukkan keinginan untuk berdiri atas usahanya sendiri. Bantuan pada beberapa hal sebagai ekspresi kerapuhan jiwa. Ketika kerapuhan menerpa seseorang maka jiwa itu akan tenggelam.
Pelajaran yang berharga dari cerpen OOB ini bukan semata kemampuannya memperlihatkan jiwa pada diri manusia (jiwa kethok) pada diri orang-orang kalah di lingkungan kota, tetapi masalah bagaimana tema tersebut diwujudkan dalam cerita. Masalah cara pewujudan lewat cerita ini tentu saja tidak sekadar terbatas pada kemampuan cerita itu mengorganisasikan berbagai elemen strukturalnya. Lebih dari itu, penghayatan yang kuat dan mendalam dari penulisnya atas subjek yang ditulisnya adalah faktor yang tak bisa diabaikan. Ini sepadan dengan Pramoedya Ananta Toer sekali pun dengan pijkan yang berbalikan dengan subjek yang ditulis Budi Darma. Namun, keduanya sama-sama ingin mengatakan bahwa manusia itu mulia, agung, dan mengagumkan.
*) Lahir 12 Mei 1977. Lulus dari fakultas sastra Unair tahun 2001. Menulis fiksi, resensi buku, artikel sastra, dan karya terjemahan. Berbagai tulisannya tersebar di pelbagai media antara lain Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Kalam, Jurnal Anarki, Majalah Bahana (Brunei), Kompas, Jurnal Nasional, Media Indonesia, The Jakarta Post, Koran Tempo, Suara Karya, Jawa Pos, Sinar Harapan, Republika, Surabaya Post, Surya, Surabaya News, BUSOS, Jawa Pos, Suara Merdeka, Bali Post, Lampung Pos, Riau Pos, Karya Dharma, Memorandum.
Fiksi Perempuan Dunia Maya
Judul: Suicide
Penulis: Latree Manohara
Editor: Dwi Cipta
Penerbit: Gigih Pustaka Mandiri
Cetakan: Pertama, Agustus 2009
Tebal: 112 halaman
Peresensi: Agunghima
http://suaramerdeka.com/
DUNIA realita mungkin memang sudah terlampau sesak dan padat. Ada begitu banyak hal yang membuat manusia selalu ingin mencari jalan keluar dari rutinitas yang menderanya. Pada era modern ini bukanlah hal yang kuno ketika segala persoalan keseharian dibawa menuju dunia maya, sebagai salah satu jalan keluar. Dari curhat, pisuhan, puisi hingga cerpen melaju dengan kencang di portal-portal dunia yang nyaris tak bersekat itu, menciptakan bahasa dan jalannya sendiri. Dan bahasa pada wilayah ini menjadi alat komunikasi yang membentuk ruang dan tanda bagi dirinya sendiri, membentuk sebuah ‘’sastra’’-nya sendiri.
Latree Manohara adalah salah satu di antara jutaan manusia yang memanfaatkan berbagai portal di dunia maya ini menjadi alat ekspresi dan komunikasinya. Dengan bahasa yang dipunyai ia melontarkan gagasan yang diyakini sebagai cerita pendek. Sebagai pegawai negeri sipil di salah satu instasi pemerintahan dengan curahan pekerjaan yang tiada henti, kesibukan sebagai ibu rumah tangga, mengurus anak dan suaminya adalah sesuatu yang cukup luar biasa mendedahkan dirinya dalam bentuk cerita pendek. Tentu saja dengan keberaniannya membukukan kumpulan cerita pendek ini, ia telah memasuki sebuah ranah yang berbeda. Beberapa cerita pendek dalam buku ini, memang sudah dipublikasikan lewat portal-portal dunia maya miliknya, dari sinilah ia membentuk jaringan pembacanya dan menawarkan gagasannya tersebut.
Latree Manohara sama sekali tidak tercatat dalam ranah sastra Indonesia, karenanya ia sama sekali tidak mengenal ‘’substansi’’ sastra yang sangat diyakini oleh sebagian pengarang sebagai universalitas, bebas-nilai (apolitis) dan abadi itu. Apalagi terlibat dalam politik sastra Indonesia, bukanlah sesuatu yang dibayangkan saat menulis cerita pendeknya ini. Maka menuntutnya untuk menyadari faktor ekstra-literer dalam cerita pendeknya sebagai bagian standarisasi baik-buruknya karya sastra sangat tidak dimungkinkan. Faktor ekstra-literer yang bisa berbentuk ideologi politik, wacana pemikiran nasional atau kecenderungan nilai estetik sastra yang sering bersikelebat di diskusi sastra, kampus-kampus, industri penerbitan buku atau politik jurnalistik sangatlah jauh dari bayangannya. Maka lewat usaha menyeimbangkan gagasan dan merealisasikannya dalam sebuah buku dilaluinya dengan semangat ‘’swadaya’’ dengan tujuan paling sederhana bahwa cerita pendeknya ini didedikasikan untuk keluarganya yang memang telah mendorongnya untuk memaknai hidup dengan baik.
Masalah Perempuan
Mambaca cerita pendek karya Latree Manohara di dalam buku ini dalam pandangan subyektif saya adalah membaca masalah perempuan dengan istilah kesehariannya. Latree memang tidak sedang memikirkan sesuatu hal yang besar-besar. Ide kesehariannya diceritakannya dengan gaya khas ‘’ngrumpi’’ ibu-ibu rumah tangga yang memang sedang mencari jalan keluar. Pada karya yang berjudul hidup ini membuatku terpana, ia menceritakan bagaimana menerima kepasrahan hidup sast miskin di waktu kecil dengan membandingkan tetangganya yang hidup berlimpah. Sebuah cerita yang memang biasa dialami oleh siapa saja. Di akhir cerita ia menunjukan simbolisasi yang mengatakan bahwa roda nasib manusia itu bisa berputar. Si kaya bias menjadi miskin dan si miskin bias menjadi berkecukupan. (halaman 7). Dengan gaya penceritaan yang sederhana tanpa harus terlihat pintar ataupun cerdas di hadapan pembaca kata Dwi Cipta dalam Kata Pengantar.
Dalam karya berjudul ‘’Kondom’’, Latree malah seperti menceritakan persoalan sederhana ini dengan gaya yang kocak tanpa harus terlihat seperti seorang pelawak. Cerita mengalir dengan cukup lancar ketika dua manusia berlainan jenis gagal melakukan hubungan seksual gara-gara kondom yang sudah dipersiapkan untuk melakukan aktivitas tersebut. (halaman 73). Atau bagaimana imajinasi besar yang dimilikinya itu mengarah pada persoalan politik yang pernah dibacanya dari surat kabar lantas menerobos dalam sebuah karya dengan judul sangat enteng: ‘’Kesentil!’’ Dalam cerita ini, bagaimana si tokoh terlibat dengan sesuatu persoalan serius (pembunuhan) yang dilakukan oleh kekasihnya. Dan si kekasih tersentil oleh cerita pendek yang dibuat oleh sang tokoh, imajinasinya mengembara ke adegan-adegan kekejaman yang diakhiri dengan sebuah tanda tanya yang asyik, (halaman 79). Saya sendiri tidak pernah menghubungkan cerita pendek Latree ini dengan mazhab apa pun. Mazhab yang diyakini menolak tipe karya sastra dalam kerangka pemahaman historis politis. Meski dalam cerita pendek Latree seolah memang ‘’menyentil’’ tema-tema seperti itu juga.
Tonggak Baru
Bagi saya, gagasan membukukan cerita pendek yang dilakukan Latree adalah sebuah tonggak baru yang cukup diberi apresiasi. Ketika beberapa tahun yang lalu artis dan tokoh-tokoh membukukan karyanya, maka seorang pegawai negeri sipil menuangkan gagasannya ini adalah bagian dari keunikan yang terjadi dalam ranah sastra. Tentu saja dengan semangat perayaan kebersamaan untuk membangun sebuah jalan baru yang lebih tertata, saya sendiri berharap Latree bisa lebih memuncratkan ide-ide liar yang dimiliki untuk membumi.
Dengan harapan yang tidak terlalu muluk, gaya Latree Manohara ini bisa merupakan stimulus baru bagi siapa saja yang bersiap untuk menemukan jalan keluar yang memang diinginkan. Dan Suicide adalah kumpulan cerita pendek yang memang tidak ditujukan untuk menjadi ‘’heboh’’, seperti yang dikatakan Dwi Cipta dalam Kata Pengantar. Namun lebih mulia lagi adalah dengan buku ini, ada semacam komunikasi baru yang bisa memulai ruang diskusi ataupun apa saja yang membuat sastra Indonesia lebih berwarna.
Penulis: Latree Manohara
Editor: Dwi Cipta
Penerbit: Gigih Pustaka Mandiri
Cetakan: Pertama, Agustus 2009
Tebal: 112 halaman
Peresensi: Agunghima
http://suaramerdeka.com/
DUNIA realita mungkin memang sudah terlampau sesak dan padat. Ada begitu banyak hal yang membuat manusia selalu ingin mencari jalan keluar dari rutinitas yang menderanya. Pada era modern ini bukanlah hal yang kuno ketika segala persoalan keseharian dibawa menuju dunia maya, sebagai salah satu jalan keluar. Dari curhat, pisuhan, puisi hingga cerpen melaju dengan kencang di portal-portal dunia yang nyaris tak bersekat itu, menciptakan bahasa dan jalannya sendiri. Dan bahasa pada wilayah ini menjadi alat komunikasi yang membentuk ruang dan tanda bagi dirinya sendiri, membentuk sebuah ‘’sastra’’-nya sendiri.
Latree Manohara adalah salah satu di antara jutaan manusia yang memanfaatkan berbagai portal di dunia maya ini menjadi alat ekspresi dan komunikasinya. Dengan bahasa yang dipunyai ia melontarkan gagasan yang diyakini sebagai cerita pendek. Sebagai pegawai negeri sipil di salah satu instasi pemerintahan dengan curahan pekerjaan yang tiada henti, kesibukan sebagai ibu rumah tangga, mengurus anak dan suaminya adalah sesuatu yang cukup luar biasa mendedahkan dirinya dalam bentuk cerita pendek. Tentu saja dengan keberaniannya membukukan kumpulan cerita pendek ini, ia telah memasuki sebuah ranah yang berbeda. Beberapa cerita pendek dalam buku ini, memang sudah dipublikasikan lewat portal-portal dunia maya miliknya, dari sinilah ia membentuk jaringan pembacanya dan menawarkan gagasannya tersebut.
Latree Manohara sama sekali tidak tercatat dalam ranah sastra Indonesia, karenanya ia sama sekali tidak mengenal ‘’substansi’’ sastra yang sangat diyakini oleh sebagian pengarang sebagai universalitas, bebas-nilai (apolitis) dan abadi itu. Apalagi terlibat dalam politik sastra Indonesia, bukanlah sesuatu yang dibayangkan saat menulis cerita pendeknya ini. Maka menuntutnya untuk menyadari faktor ekstra-literer dalam cerita pendeknya sebagai bagian standarisasi baik-buruknya karya sastra sangat tidak dimungkinkan. Faktor ekstra-literer yang bisa berbentuk ideologi politik, wacana pemikiran nasional atau kecenderungan nilai estetik sastra yang sering bersikelebat di diskusi sastra, kampus-kampus, industri penerbitan buku atau politik jurnalistik sangatlah jauh dari bayangannya. Maka lewat usaha menyeimbangkan gagasan dan merealisasikannya dalam sebuah buku dilaluinya dengan semangat ‘’swadaya’’ dengan tujuan paling sederhana bahwa cerita pendeknya ini didedikasikan untuk keluarganya yang memang telah mendorongnya untuk memaknai hidup dengan baik.
Masalah Perempuan
Mambaca cerita pendek karya Latree Manohara di dalam buku ini dalam pandangan subyektif saya adalah membaca masalah perempuan dengan istilah kesehariannya. Latree memang tidak sedang memikirkan sesuatu hal yang besar-besar. Ide kesehariannya diceritakannya dengan gaya khas ‘’ngrumpi’’ ibu-ibu rumah tangga yang memang sedang mencari jalan keluar. Pada karya yang berjudul hidup ini membuatku terpana, ia menceritakan bagaimana menerima kepasrahan hidup sast miskin di waktu kecil dengan membandingkan tetangganya yang hidup berlimpah. Sebuah cerita yang memang biasa dialami oleh siapa saja. Di akhir cerita ia menunjukan simbolisasi yang mengatakan bahwa roda nasib manusia itu bisa berputar. Si kaya bias menjadi miskin dan si miskin bias menjadi berkecukupan. (halaman 7). Dengan gaya penceritaan yang sederhana tanpa harus terlihat pintar ataupun cerdas di hadapan pembaca kata Dwi Cipta dalam Kata Pengantar.
Dalam karya berjudul ‘’Kondom’’, Latree malah seperti menceritakan persoalan sederhana ini dengan gaya yang kocak tanpa harus terlihat seperti seorang pelawak. Cerita mengalir dengan cukup lancar ketika dua manusia berlainan jenis gagal melakukan hubungan seksual gara-gara kondom yang sudah dipersiapkan untuk melakukan aktivitas tersebut. (halaman 73). Atau bagaimana imajinasi besar yang dimilikinya itu mengarah pada persoalan politik yang pernah dibacanya dari surat kabar lantas menerobos dalam sebuah karya dengan judul sangat enteng: ‘’Kesentil!’’ Dalam cerita ini, bagaimana si tokoh terlibat dengan sesuatu persoalan serius (pembunuhan) yang dilakukan oleh kekasihnya. Dan si kekasih tersentil oleh cerita pendek yang dibuat oleh sang tokoh, imajinasinya mengembara ke adegan-adegan kekejaman yang diakhiri dengan sebuah tanda tanya yang asyik, (halaman 79). Saya sendiri tidak pernah menghubungkan cerita pendek Latree ini dengan mazhab apa pun. Mazhab yang diyakini menolak tipe karya sastra dalam kerangka pemahaman historis politis. Meski dalam cerita pendek Latree seolah memang ‘’menyentil’’ tema-tema seperti itu juga.
Tonggak Baru
Bagi saya, gagasan membukukan cerita pendek yang dilakukan Latree adalah sebuah tonggak baru yang cukup diberi apresiasi. Ketika beberapa tahun yang lalu artis dan tokoh-tokoh membukukan karyanya, maka seorang pegawai negeri sipil menuangkan gagasannya ini adalah bagian dari keunikan yang terjadi dalam ranah sastra. Tentu saja dengan semangat perayaan kebersamaan untuk membangun sebuah jalan baru yang lebih tertata, saya sendiri berharap Latree bisa lebih memuncratkan ide-ide liar yang dimiliki untuk membumi.
Dengan harapan yang tidak terlalu muluk, gaya Latree Manohara ini bisa merupakan stimulus baru bagi siapa saja yang bersiap untuk menemukan jalan keluar yang memang diinginkan. Dan Suicide adalah kumpulan cerita pendek yang memang tidak ditujukan untuk menjadi ‘’heboh’’, seperti yang dikatakan Dwi Cipta dalam Kata Pengantar. Namun lebih mulia lagi adalah dengan buku ini, ada semacam komunikasi baru yang bisa memulai ruang diskusi ataupun apa saja yang membuat sastra Indonesia lebih berwarna.
Membaca Ensiklopedi Aceh, Mengulang Dongeng Lama
Peresensi: Herman RN
http://blog.harian-aceh.com/
Judul buku : ENSIKLOPEDI ACEH
Adat Hikayat dan Sastra
Penulis : L.K. Ara dan Medri (editor)
Tebal buku : 468 + xvi
Penerbit : Yayasan Mata Air Jernih (YMAJ) bekerja sama BRR-Badan
Arsip dan Perpustakaan NAD, JKMA-ICCO
Edisi : Cetakan Pertama, April 2008
Setelah Aceh mengalami sejarah panjang dengan derai air mata, maka menjadi sebuah kepatutan mendokumentasikan segala yang pernah ada di sini, baik yang telah hilang maupun masih tersisa. Salah satu upaya mendokumentasikan tersebut dapat berupa menuliskannya menjadi sebuah buku lalu menerbitkannya.
Adalah L.K. Ara dan Medri, mereka mendokumentasikan sejumlah hal sekitar sastra dan budaya dalam sebuah buku bertadjuk “Ensiklopedi Aceh” Adat Hikayat dan Sastra. L.K. Ara adalah seorang penyair dari Tanah Gayo, Aceh Tengah. Sedangkan Medri merupakan seorang sastrawan asal Riau yang menjadi salah seorang peneliti di Balai Bahasa Banda Aceh sejak tahun 2001—karena lama berkiprah dan menulis di media-media Aceh, dia mulai akrab juga disapa sebagai sastrawan Aceh.
Melalui buku dengan tebal 468 halaman lebih ini, kedua sastrawan Aceh itu mencoba membuka cakrawala tentang Aceh, adat budayanya, juga sastra dan sastrawan yang pernah ada di Bumi Iskandar Muda. Mereka–Ara dan Medri–yang mengeditori buku ini, patut diberikan aplus, sebab Aceh dan sejarahnya yang pernah jaya pada masa Iskandar Muda hingga bergelut tsunami dan pasca-perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah dicoba-rangkum Ara dan Medri, yang mana nantinya akan menjadi panduan atau semacam pedoman bagi orang-orang yang hendak mengetahui tentang Aceh. Karena itu, buku ini diberi judul besar “Ensiklopedi Aceh”.
Ensiklopedi atau disebut juga ensiklopedia, berasal dari bahasa Yunani, “enkyklios paideia” (????????? ???????), yang berarti sebuah lingkaran atau pengajaran yang lengkap. Ensiklopedi menurut wikipedia, dianggap juga sebagai sejumlah buku yang berisi penjelasan setiap cabang ilmu pengetahuan yang terususun menurut huruf abjad. Karena itu, sebuah ensiklopedi sering dianggap sebagai kamus atau pendamping kamus dan awalnya ensiklopedi memang berasal dari kamus.
Dengan demikian, pengertian “Ensiklopedi Aceh” dapat dipahami sebagai sesuatu isitilah tentang segala hal yang ada di Aceh. Jadi, buku ini hendaknya mencakup hal-hal dimaksud. Apalagi dibubuhi judul kecil “Adat Hikayat dan Sastra”, maka seyogianya buku ini memuat penjelasan tentang peristilahan adat, hikayat, dan sastra Aceh.
Buku yang mendapat tanda tangan dan setempel basah dari pemimpin Aceh—Gubernur Irwandi dan Wagub Muhammad Nazar—ini memang dapat dijadikan sebagai salah satu arsip, yang suatu bila, bagi peneliti atau siapa saja yang hendak mengetahui tentang Aceh; adat, hikayat, satrawan, dan karyanya, mungkin buku ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan.
Layaknya sebuah kamus, Ensiklopedi Aceh (selanjutnya disingkat EA) ini disusun berdasarkan abjad juga. Di dalamnya termuat tentang biografi ulama, sastrawan, peneliti, pemimpin, istilah tentang adat dan tradisi masyarakat Aceh, kesenian, dan karya-karya orang Aceh yang pernah diterbitkan di Aceh, atau diterbitkan di luar Aceh tetapi ditulis oleh orang Aceh atau bercerita tentang Aceh. Semua itu disusun secara apik. Layaknya sebuah kamus, buku ini pun memiliki indeks guna mempermudah pembaca melacak istilah-istilah di dalamnya.
Kopi Paste Buku Lama
Buku “Ensiklopedi Aceh” sebagai buku baru menjadi kemestian memuat informasi baru tentang apa yang hendak diungkapkan, semisal tentang biografi sastrawan Aceh. Namun, buku ini kelihatan hanya kopi paste dari buku-buku yang sudah diterbitkan. Di sini letaknya mirisnya.
Banyak memang informasi tentang sastrawan dan karya yang baru lahir di Aceh dalam EA, tetapi data-datanya sama seperti yang terdapat dalam buku-buku yang pernah diterbitkan sebelumnya. Sejumlah data tentang sastrawan Aceh misalnya, lebiih sebagian diambil dari buku “Seulawah, Antologi Sastra Aceh” terbitan Yayasan Nusantara (1995). Bahkan, dalam “Seulawah” yang tebalnya hingga 727 halaman itu, pemuatan tentang sastrawan Aceh lebih rinci. Di sana dipilah sastrawan menurut abjad nama pertamanya berdasarkan bidang sastra yang dia geluti, misalnya penyair, dikhususkan pada halaman syair, disusun berdasarkan abjad yang sesuai.
Nah, EA juga mencoba memuat serupa itu, tetapi yang namanya kopi paste dari buku sebelumnya, kesempurnaan dalam buku ini masih disayangkan. Sejatinya, sebagai sebuah buku yang ditulis baru, meskipun sejumlah data diambil dari buku yang sudah pernah ada, mestinya “Ensiklopedi Aceh” lebih baik dari yang sudah-sudah. Karenanya, sungguh sangat disayangkan banyak data yang diambil secara utuh dari buku sebelumnya, lalu diedit, bahkan ada yang hilang dalam pengeditannya, sehingga bukan bertambah lengkap, melainkan semakin ‘hancur’.
Sebagai contoh, pada biodata sastrawan bernama Zulfikar Sawang. Tentunya sangat mudah menemui biodata sastrawan satu ini, karena abjad awal namanya yang berfonem [Z] sehingga dilampirkan pada halaman terakhir isi buku. Biodata Zul kelihatan sekali diambil dari file lama yang dicoba edit kembali. Sayangnya, pengeditan telah menghilangkan beberapa hal tentang Zul. Misalnya, tempat lahir Zul ditiadakan dalam buku tersebut dan usianya disebutkan masih 32 tahun. Padahal, Zulfikar Sawang yang sekarang sudah menjadi Anggota Dewan di DPR Aceh telah berusia 36 tahun, tentang jabatannya sebagai Anggota Dewan pun tidak disebutkan dalam buku EA tersebut.
Contoh kedua, pada biodata Mustafa A. Glanggang, dituliskan bahwa dia (Mustafa) sejak 2002 sampai dengan sekarang menjabat sebagai Bupati Bureuen. Masa iya sih, Mustafa Glanggang masih menjabat bupati? Kelihatan sekali biodata satu ini dikopi paste dari buku “Celoteh Budaya Politik” karangan Mustafa (DKB, 2003). Mustafa sudah tidak lagi menjabat sebagai bupati sejak akhir tahun 2006. Jelas, upaya L.K. Ara dan Medri dalam EA bukan memberikan informasi terbaru kepada pembaca, melainkan ‘mendongengkan’ hal yang sudah pernah ditulis/ diterbitkan orang.
Tidak Dimuat
Di samping dua contoh kasus di atas, ada pula biodata sastrawan Aceh yang tidak dimuat sama sekali dalam EA. Mungkin jika sastrawan dimaksud adalah sastrawan baru muncul pasca-MoU Helsinky, masih dapat dimaklumi. Namun, terdapat juga biodata sastrawan senior yang sudah menerbitkan beberapa buku.
Adalah Hilmi Hasballah, seorang sastrawan Aceh yang dua tahun lalu menerbitkan sebuah kumpulan hikayat. Dia juga tercatat sebagai salah seorang penerima Award Sastra Aceh dari Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh tahun 2007, tetapi dia maupun “Hikayat Tsunami”-nya tidak dimuat dalam EA. Padahal, teman-teman dekat Hilmi seperti Harun Al-Rasyid dan D. Keumalawati, tertera dalam EA. Saya tidak tahu, apakah ada upaya deskriminasi standar kelayakan untuk dimuat dalam EA oleh L.K Ara dan Medri sehingga hal ini terjadi. Yang jelas, sejumlah data lainnya masih banyak yang tak tertera, yang menurut banyak orang (sastrawan dan pengamat sastra di Aceh), mereka mesti disertakan juga, sebab buku ini adalah sebuah ensiklopedi.
Beberapa nama sastrawan Aceh lainnya yang sempat tercatat pada saya, tidak disertakan dalam EA adalah Alfi Rahman (seorang sastrawan dari FLP Aceh yang masih produktif), sedangkan istrinya (Cut Januarita) disertakan. Musmarwan Abdullah juga tidak diterakan, tetapi buku dia “Pada Tikungan Berikutnya” ada. Taufik Al Mubarak juga tidak ada, tetapi teman seperjuangannya, Muhammad Nazar, disertakan dalam EA. Selanjutnya, Alimuddin (sastrawan muda dari FLP Aceh) yang masih produktif menulis hingga ke media nasional tidak juga dilampirkan, sedangkan Ferhat (teman dekat Alimuddin) ada.
Hal yang sangat disayangkan adalah ketiadaan data tentang Muhklis A. Hamid dalam buku tersebut. Padahal, baik L.K.Ara maupun Medri, sama-sama tahu, Mukhlis adalah satu-satunya (untuk saat ini) dipercayakan sebagai kritikus sastra di Aceh.
Kemudian, dari segi kesenian tari juga banyak yang dilupakan EA. Tatkala tari seudati dilampirkan, tetapi tari likok pulo, rapai geleng, ratep meuseukat, tidak ada. Bahkan, tari ranub lampuan yang sudah mentradisi sebagai tarian penyambut tamu yang sudah dipamerkan hingga ke luar negeri, juga luput dalam EA. Tambah lagi, alat-alat kesenian tradisi Aceh, sebagian kecil diterakan, selebihnya yang masih patut dijaga seperti seurunei kale tidak ada.
Tak cukup sampai di situ, sejumlah nama lembaga kebudayaan yang juga dimuat dalam EA masih banyak ditulis salah. Misalnya, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh ditulis menjadi “Jaringan Komunitas Masyarakat Aceh”–kata “Adat” hilang–(halaman 193). Padahal, JKMA Aceh merupakan salah satu lembaga penyokong terbitanya buku ini. Sungguh dangat disayangkan.
Sebagai sebuah buku yang ditulis ulang, sejatinya memuat data-data terbaru dari yang dituliskan. Hal ini guna menghindari diri istilah “Mengejar Buku Proyek” yang sementara ini sangat akrab di Aceh. Namun, yang terkesan dalam EA, memang ‘kejar terbit’.
Terakhir, yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah tentang pembubuhan nama (logo) penerbit yang sudah bekerja sama dengan YMAJ menerbitkan buku ini. Sejumlah lembaga yang bekerja sama menerbitkan EA adalah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR)-Badan Arsip, Perpustakaan NAD, JKMA-ICCO. Namun, beberapa buku itu hanya melampirkan logo BRR tanpa lembaga lainnya, sebagian lainnya hanya membubuhkan logo JKMA dan ICCO, tanpa BRR. Sebagian lainnya pula hanya ada tulisan YMAJ tanpa lembaga lainnnya yang bekerja sama menerbitkan buku tersebut. (Ada apa ini?).
Terlepas dari semua itu, buku ini masih layak dibaca, kendati mungkin hanya untuk pengulangan pembacaan dari buku-buku sebelumnya sebagai sebuah ‘dongeng’ sebelum menulis buku.
*) Penikmat sastra. Alumni Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyah.
http://blog.harian-aceh.com/
Judul buku : ENSIKLOPEDI ACEH
Adat Hikayat dan Sastra
Penulis : L.K. Ara dan Medri (editor)
Tebal buku : 468 + xvi
Penerbit : Yayasan Mata Air Jernih (YMAJ) bekerja sama BRR-Badan
Arsip dan Perpustakaan NAD, JKMA-ICCO
Edisi : Cetakan Pertama, April 2008
Setelah Aceh mengalami sejarah panjang dengan derai air mata, maka menjadi sebuah kepatutan mendokumentasikan segala yang pernah ada di sini, baik yang telah hilang maupun masih tersisa. Salah satu upaya mendokumentasikan tersebut dapat berupa menuliskannya menjadi sebuah buku lalu menerbitkannya.
Adalah L.K. Ara dan Medri, mereka mendokumentasikan sejumlah hal sekitar sastra dan budaya dalam sebuah buku bertadjuk “Ensiklopedi Aceh” Adat Hikayat dan Sastra. L.K. Ara adalah seorang penyair dari Tanah Gayo, Aceh Tengah. Sedangkan Medri merupakan seorang sastrawan asal Riau yang menjadi salah seorang peneliti di Balai Bahasa Banda Aceh sejak tahun 2001—karena lama berkiprah dan menulis di media-media Aceh, dia mulai akrab juga disapa sebagai sastrawan Aceh.
Melalui buku dengan tebal 468 halaman lebih ini, kedua sastrawan Aceh itu mencoba membuka cakrawala tentang Aceh, adat budayanya, juga sastra dan sastrawan yang pernah ada di Bumi Iskandar Muda. Mereka–Ara dan Medri–yang mengeditori buku ini, patut diberikan aplus, sebab Aceh dan sejarahnya yang pernah jaya pada masa Iskandar Muda hingga bergelut tsunami dan pasca-perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah dicoba-rangkum Ara dan Medri, yang mana nantinya akan menjadi panduan atau semacam pedoman bagi orang-orang yang hendak mengetahui tentang Aceh. Karena itu, buku ini diberi judul besar “Ensiklopedi Aceh”.
Ensiklopedi atau disebut juga ensiklopedia, berasal dari bahasa Yunani, “enkyklios paideia” (????????? ???????), yang berarti sebuah lingkaran atau pengajaran yang lengkap. Ensiklopedi menurut wikipedia, dianggap juga sebagai sejumlah buku yang berisi penjelasan setiap cabang ilmu pengetahuan yang terususun menurut huruf abjad. Karena itu, sebuah ensiklopedi sering dianggap sebagai kamus atau pendamping kamus dan awalnya ensiklopedi memang berasal dari kamus.
Dengan demikian, pengertian “Ensiklopedi Aceh” dapat dipahami sebagai sesuatu isitilah tentang segala hal yang ada di Aceh. Jadi, buku ini hendaknya mencakup hal-hal dimaksud. Apalagi dibubuhi judul kecil “Adat Hikayat dan Sastra”, maka seyogianya buku ini memuat penjelasan tentang peristilahan adat, hikayat, dan sastra Aceh.
Buku yang mendapat tanda tangan dan setempel basah dari pemimpin Aceh—Gubernur Irwandi dan Wagub Muhammad Nazar—ini memang dapat dijadikan sebagai salah satu arsip, yang suatu bila, bagi peneliti atau siapa saja yang hendak mengetahui tentang Aceh; adat, hikayat, satrawan, dan karyanya, mungkin buku ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan.
Layaknya sebuah kamus, Ensiklopedi Aceh (selanjutnya disingkat EA) ini disusun berdasarkan abjad juga. Di dalamnya termuat tentang biografi ulama, sastrawan, peneliti, pemimpin, istilah tentang adat dan tradisi masyarakat Aceh, kesenian, dan karya-karya orang Aceh yang pernah diterbitkan di Aceh, atau diterbitkan di luar Aceh tetapi ditulis oleh orang Aceh atau bercerita tentang Aceh. Semua itu disusun secara apik. Layaknya sebuah kamus, buku ini pun memiliki indeks guna mempermudah pembaca melacak istilah-istilah di dalamnya.
Kopi Paste Buku Lama
Buku “Ensiklopedi Aceh” sebagai buku baru menjadi kemestian memuat informasi baru tentang apa yang hendak diungkapkan, semisal tentang biografi sastrawan Aceh. Namun, buku ini kelihatan hanya kopi paste dari buku-buku yang sudah diterbitkan. Di sini letaknya mirisnya.
Banyak memang informasi tentang sastrawan dan karya yang baru lahir di Aceh dalam EA, tetapi data-datanya sama seperti yang terdapat dalam buku-buku yang pernah diterbitkan sebelumnya. Sejumlah data tentang sastrawan Aceh misalnya, lebiih sebagian diambil dari buku “Seulawah, Antologi Sastra Aceh” terbitan Yayasan Nusantara (1995). Bahkan, dalam “Seulawah” yang tebalnya hingga 727 halaman itu, pemuatan tentang sastrawan Aceh lebih rinci. Di sana dipilah sastrawan menurut abjad nama pertamanya berdasarkan bidang sastra yang dia geluti, misalnya penyair, dikhususkan pada halaman syair, disusun berdasarkan abjad yang sesuai.
Nah, EA juga mencoba memuat serupa itu, tetapi yang namanya kopi paste dari buku sebelumnya, kesempurnaan dalam buku ini masih disayangkan. Sejatinya, sebagai sebuah buku yang ditulis baru, meskipun sejumlah data diambil dari buku yang sudah pernah ada, mestinya “Ensiklopedi Aceh” lebih baik dari yang sudah-sudah. Karenanya, sungguh sangat disayangkan banyak data yang diambil secara utuh dari buku sebelumnya, lalu diedit, bahkan ada yang hilang dalam pengeditannya, sehingga bukan bertambah lengkap, melainkan semakin ‘hancur’.
Sebagai contoh, pada biodata sastrawan bernama Zulfikar Sawang. Tentunya sangat mudah menemui biodata sastrawan satu ini, karena abjad awal namanya yang berfonem [Z] sehingga dilampirkan pada halaman terakhir isi buku. Biodata Zul kelihatan sekali diambil dari file lama yang dicoba edit kembali. Sayangnya, pengeditan telah menghilangkan beberapa hal tentang Zul. Misalnya, tempat lahir Zul ditiadakan dalam buku tersebut dan usianya disebutkan masih 32 tahun. Padahal, Zulfikar Sawang yang sekarang sudah menjadi Anggota Dewan di DPR Aceh telah berusia 36 tahun, tentang jabatannya sebagai Anggota Dewan pun tidak disebutkan dalam buku EA tersebut.
Contoh kedua, pada biodata Mustafa A. Glanggang, dituliskan bahwa dia (Mustafa) sejak 2002 sampai dengan sekarang menjabat sebagai Bupati Bureuen. Masa iya sih, Mustafa Glanggang masih menjabat bupati? Kelihatan sekali biodata satu ini dikopi paste dari buku “Celoteh Budaya Politik” karangan Mustafa (DKB, 2003). Mustafa sudah tidak lagi menjabat sebagai bupati sejak akhir tahun 2006. Jelas, upaya L.K. Ara dan Medri dalam EA bukan memberikan informasi terbaru kepada pembaca, melainkan ‘mendongengkan’ hal yang sudah pernah ditulis/ diterbitkan orang.
Tidak Dimuat
Di samping dua contoh kasus di atas, ada pula biodata sastrawan Aceh yang tidak dimuat sama sekali dalam EA. Mungkin jika sastrawan dimaksud adalah sastrawan baru muncul pasca-MoU Helsinky, masih dapat dimaklumi. Namun, terdapat juga biodata sastrawan senior yang sudah menerbitkan beberapa buku.
Adalah Hilmi Hasballah, seorang sastrawan Aceh yang dua tahun lalu menerbitkan sebuah kumpulan hikayat. Dia juga tercatat sebagai salah seorang penerima Award Sastra Aceh dari Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh tahun 2007, tetapi dia maupun “Hikayat Tsunami”-nya tidak dimuat dalam EA. Padahal, teman-teman dekat Hilmi seperti Harun Al-Rasyid dan D. Keumalawati, tertera dalam EA. Saya tidak tahu, apakah ada upaya deskriminasi standar kelayakan untuk dimuat dalam EA oleh L.K Ara dan Medri sehingga hal ini terjadi. Yang jelas, sejumlah data lainnya masih banyak yang tak tertera, yang menurut banyak orang (sastrawan dan pengamat sastra di Aceh), mereka mesti disertakan juga, sebab buku ini adalah sebuah ensiklopedi.
Beberapa nama sastrawan Aceh lainnya yang sempat tercatat pada saya, tidak disertakan dalam EA adalah Alfi Rahman (seorang sastrawan dari FLP Aceh yang masih produktif), sedangkan istrinya (Cut Januarita) disertakan. Musmarwan Abdullah juga tidak diterakan, tetapi buku dia “Pada Tikungan Berikutnya” ada. Taufik Al Mubarak juga tidak ada, tetapi teman seperjuangannya, Muhammad Nazar, disertakan dalam EA. Selanjutnya, Alimuddin (sastrawan muda dari FLP Aceh) yang masih produktif menulis hingga ke media nasional tidak juga dilampirkan, sedangkan Ferhat (teman dekat Alimuddin) ada.
Hal yang sangat disayangkan adalah ketiadaan data tentang Muhklis A. Hamid dalam buku tersebut. Padahal, baik L.K.Ara maupun Medri, sama-sama tahu, Mukhlis adalah satu-satunya (untuk saat ini) dipercayakan sebagai kritikus sastra di Aceh.
Kemudian, dari segi kesenian tari juga banyak yang dilupakan EA. Tatkala tari seudati dilampirkan, tetapi tari likok pulo, rapai geleng, ratep meuseukat, tidak ada. Bahkan, tari ranub lampuan yang sudah mentradisi sebagai tarian penyambut tamu yang sudah dipamerkan hingga ke luar negeri, juga luput dalam EA. Tambah lagi, alat-alat kesenian tradisi Aceh, sebagian kecil diterakan, selebihnya yang masih patut dijaga seperti seurunei kale tidak ada.
Tak cukup sampai di situ, sejumlah nama lembaga kebudayaan yang juga dimuat dalam EA masih banyak ditulis salah. Misalnya, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh ditulis menjadi “Jaringan Komunitas Masyarakat Aceh”–kata “Adat” hilang–(halaman 193). Padahal, JKMA Aceh merupakan salah satu lembaga penyokong terbitanya buku ini. Sungguh dangat disayangkan.
Sebagai sebuah buku yang ditulis ulang, sejatinya memuat data-data terbaru dari yang dituliskan. Hal ini guna menghindari diri istilah “Mengejar Buku Proyek” yang sementara ini sangat akrab di Aceh. Namun, yang terkesan dalam EA, memang ‘kejar terbit’.
Terakhir, yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah tentang pembubuhan nama (logo) penerbit yang sudah bekerja sama dengan YMAJ menerbitkan buku ini. Sejumlah lembaga yang bekerja sama menerbitkan EA adalah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR)-Badan Arsip, Perpustakaan NAD, JKMA-ICCO. Namun, beberapa buku itu hanya melampirkan logo BRR tanpa lembaga lainnya, sebagian lainnya hanya membubuhkan logo JKMA dan ICCO, tanpa BRR. Sebagian lainnya pula hanya ada tulisan YMAJ tanpa lembaga lainnnya yang bekerja sama menerbitkan buku tersebut. (Ada apa ini?).
Terlepas dari semua itu, buku ini masih layak dibaca, kendati mungkin hanya untuk pengulangan pembacaan dari buku-buku sebelumnya sebagai sebuah ‘dongeng’ sebelum menulis buku.
*) Penikmat sastra. Alumni Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyah.
Ihwal Biografi Sastrawan Riau Modern
(Apresiasi Atas Buku Leksikon Sastra Riau)
Marhalim Zaini
http://www.riaupos.com/
Betapa pun pakar semiotika Roland Barthes (1915-1980) menggemaungkan, “the death of the author,” saya yakin, kita masih sangat percaya bahwa sosok sastrawan (pengarang) tak dapat dengan mudah “terpisah” dengan karyanya.
Dan tentu, kita juga tahu bahwa Roland Barthes memang tidak sedang hendak “memisahkan” keduanya, meski dia menandaskan tentang “matinya seorang pengarang.” Sebab, makna kematian di sini bukan berarti nama si pengarang serta merta terhapus dari karyanya, menjadi anonim nasibnya, akan tetapi ini soal “makna” yang menguar dari teks karyanya itu. Di titik ini, si pengarang tidak lagi punya “kekuatan” untuk menjangkau makna akhir dari (teks) karyanya. Tak ada otoritas tunggal. Begitu sampai ke tangan pembaca, teks seperti liar tak terkendali, dan “tanda-tanda” bertebaran, memproduksi makna-makna baru. Maka, jika begitu, bukankah yang “hidup” dan terus “lahir” adalah para pembaca?
Lalu, apa kabar si pengarang? Ya, mestinya dia tetap sebagai pengarang, yang terus bekerja melahirkan teks yang baru. Teks yang juga kelak, setelah lahir, akan menempuh perjalanan nasib yang sama. Apakah kemudian teks itu akan diterima dan tumbuh dalam dunia permaknaan pembaca yang beragam dan luas, serta menuai populeritas tersebab berbagai faktor yang membesarkannya, atau ia tersudut di ruang-ruang sunyi dan kehilangan daya hidup (juga oleh tersebab berbagai faktor intrinsik atau ekstrinsik), tentu kita serahkan saja pada waktu. Yang pasti, pengarang tak boleh berhenti dan menyerah oleh “nasib tak baik” yang menimpa karyanya, juga “nasib tak baik” yang juga kerap menimpa diri si pengarang sendiri. Tak beruntung secara ekonomi misalnya, tak pula “dihargai” dalam lingkungan sosial yang masih jauh dari tradisi keberaksaraan, dan sejumlah ketakberuntungan lain yang kerap membuat banyak orang untuk lari dari pilihan menjadi pengarang. Maka kondisi semcam ini pun, pengarang (mestinya) tetap terus saja menyusun jejak-jejak biografisnya (lewat karya-karya) dalam sejarah duniakepenulisan/kesusastraan, sampai ia menemu batas, menemu tetes akhir dari tinta kalamnya.
Jejak. Ya, ihwal merekam jejak inilah yang sesungguhnya terkait dengan hadirnya berbagai buku dalam berbagai bentuk: kamus, leksikon, ensiklopedi, buku pintar, bibliografi, dan entah apa lagi namanya. Ihwal merekam jejak inilah pula yang sedikit-banyak dapat “mengobati” rasa kecil-hati si pengarang, untuk kemudian membantunya meneguhkan eksistensi, baik secara individu maupun komunal. Tapi kenapa jejak? Sebab yang tertulis/tertera di sana adalah sesuatu yang lampau, yang telah terjadi, yang telah dilalui, sebuah sejarah. Maka dalam konteks dunia penciptaan sastra, jejak itu adalah karya. Jejak seorang pengarang adalah karya. Tak pernah ada yang namanya pengarang, sebelum karya lahir. Dan “nilai” dari karya pulalah yang akan membuat jejak perjalanan seorang pengarang menjadi penting atau tidak, menjadi bernilai atau sekedar tercatat namanya.
Selain itu, tak dapat dinafikan bahwa kehadiran buku-buku sejenis ini adalah referensi penting bagi para peneliti sastra, terutama yang hendak mendekati kajian melalui struktural genetik, psikologi sastra, sosiologi sastra, dan beberapa pendekatan lain. Studi tentang tokoh sastra pun secara historis, sudah sangat banyak dilakukan para sejarawan bahkan sejak era Yunani Kuno. Dan aspek biografi, menjadi tak terhindarkan hadir sebagai salah satu sumber utama mereka. Artinya, lewat studi inilah kelak sebuah buku sejenis ini diuji, apakah nama-nama yang tercantum di dalamnya representatif atau tidak, sudah patut dicatat atau belum.
Cukup banyak, buku yang mencoba merekam jejak dunia kesusastraan kita di Indonesia. Pamusuk Eneste saja setidaknya telah menyusun dua buku sejenis, Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000), dan Buku Pintar Sastra Indonesia (Kompas, 2001). Berikutnya Hasanuddin WS dengan buku Ensiklopedia Sastra Indonesia (Titian Bandung, 2004). Jauh sebelumnya, di tahun 1989, seorang dosen dari University of London, Ernest Ullich Krastz, juga telah menyusun Bibliografi Karya Sastra Indonesia, spesifikasi tentang naskah drama, prosa, dan puisi yang terbit di majalah di tahun 1920-1980. Belum lagi yang ruang lingkupnya lebih kedaerahan, seperti Leksikon Sastra Jakarta, Leksikon Sastra Aceh, dan termasuklah di Riau yang kini telah hadir buku Leksikon Sastra Riau, selain juga di dunia maya yang sedang dikerjakan oleh Sutrianto dengan tajuk Pusat Dokumentasi Sastra Melayu Riau. Apapun bentuk dan namanya, saya kira, pencinta sastra Riau khususnya, patut menyambut baik berbagai upaya untuk pengembangan dan pergerakan sastra di negeri ini.
Leksikon Sastra Riau yang disusun oleh Husnu Abadi dan M Badri (diterbitkan oleh BKKI Riau dan UIR Press, Januari 2009) adalah juga sebuah jejak. Karena dalam buku setebal 154 halaman ini terkandung biografi 173 sastrawan. Jika mendasarkan diri pada isi kandungan buku ini (yang hanya berisi biografi sastrawan) maka andai boleh saya memberi usul, ihwal penyebutan judul buku, hemat saya lebih terwakili jika diubah menjadi Leksikon Sastrawan Riau Modern. Kata “sastrawan” di sana jelas merujuk kepada individu pengarangnya, yang memang nampaknya menjadi fokus dalam penyusunan leksikon ini. Sebab, jika dipakai kata “sastra” maka mestinya yang terkandung di dalamnya tak hanya biografi sastrawannya, akan tetapi berbagai hal-ihwal yang terkait dengan dunia sastra di Riau secara lebih luas.
Semisal yang dapat kita tengok dalam buku yang disusun Pamusuk Eneste di atas. Dalam Leksikon Susastra Indonesia, selain biografi sastrawan juga tercantum berbagai majalah sastra dan penerbit sastra. Agaknya, untuk lebih spesifik lagi, dalam Buku Pintar Sastra Indonesia, Pamusuk membagi dalam sejumlah sub: Biografi Pengarang dan Karyanya, Majalah Sastra, Penerbit Sastra, Penerjemah, Lembaga Sastra, sampai pada Daftar Hadiah dan Penghargaan. Sementara itu, untuk kata “modern” sebenarnya hanya memberi garis pembatas dan wilayah kerja penyusunan buku ini, sebab memang lebih terfokus pada sastrawan Riau modern, tak termasuk para pengarang klasik macam Raja Ali Haji, Raja Zaleha, dan yang lain-lain lagi.
Saya percaya, sebagai sebuah awal dari kerja yang sebetulnya tak bisa dikatakan mudah, Leksikon Sastra Riau (selanjutnya disingkat LSR) ini, tentu saja memiliki sejumlah kelemahan. Tidak mudah, karena tak semua penyuka sastra yang mau dengan rajin mengungkai satu persatu riwayat hidup sastrawan dan karyanya. Kerja semacam ini, sesungguhnya lebih pada kerja “pengabdian” terhadap dunia sastra. Kerja yang lebih didasari dari betapa pentingnya mencatat dan mengumpulkan proses kreativitas di dunia sastra. Jika pun kemudian terdapat kelemahan, ia adalah jalan menuju “kesempurnaan” (meski tak ada yang betul-betul sempurna di dunia ini). Lima tahun terkahir misalnya, saya juga telah turut melakukan kerja semacam itu, dengan mengkliping (hampir) semua karya penulis Riau yang termuat di media massa dan buku. Selain untuk dokumentasi, saya sangat membutuhkannya untuk dapat melakukan pembacaan atas pergerakan sastra yang terjadi dari tahun ke tahun. Setidaknya, tiap akhir tahun (sejak 2005-2008) saya berupaya untuk menulis “Catatan Sastra Riau.” Maka, harapan terbesar kita terhadap hadirnya LSR tentu dalam proses kerja-kerja berikutnya, bisa menjadi salah satu data dan dokumen representatif dan komprehensif tentang dunia sastra (di) Riau.
Untuk berupaya ikut mendukung terwujudnya harapan itu, di sini saya hendak mendiskusikan sejumlah hal. Selain, judul buku yang sudah saya ulas di atas, hal lain yang hemat saya patut dipertimbangkan adalah tentang penjelasan-penjelasan yang lebih “akademis” (di samping soal rujukan yang sudah disarankan dalam esai Musa Ismail di Harian Riau Pos, beberapa waktu lalu) dan lebih argumentatif tentang berbagai aspek metode yang dipakai penyusun dalam mengerjakan buku ini. Penjelasan itu tentu diharapkan tertera pada pengantar buku, sehingga pembaca dapat merujuknya ketika menemukan sejumlah hal yang “mengganggu.” Nah, pengantar yang saya temukan dalam buku LSR ini, hemat saya belum memadai untuk dapat menjawab beberapa hal yang “mengganggu” itu.
Di antaranya soal selektivitas nama-nama yang masuk dalam LSR. Bagaimanakah sebenarnya metode (atau semacam standarisasi) yang dipakai penyusun untuk memilih dan juga memilah nama-nama yang masuk dalam daftar inventarisasi (daftar pendataan awal). Jika memang tujuannya “sekedar” bersifat dokumentatif, semata-mata hendak mengumpulkan semua yang “pernah” menulis sastra, meski hanya satu-dua karya, maka buku ini pun akan berhenti pada setakat titik itu. Kegelisahan awal penyusun—yang sempat diutarakan dalam pengantar buku ini—memberi kesan pada saya bahwa sebab utama buku LSR disusun adalah lebih pada karena tidak banyak ditemukannya nama-nama sastrawan Riau dalam berbagai buku sejenis. Saya kira, boleh jadi kerisauan ini juga menjadi kerisauan kita semua. Namun, andai saja, penyusun dapat menjelaskan satu atau dua nama yang dimaksud (yang tidak masuk dalam buku sejenis), dengan sejumlah data yang ada, maka ini tentu dapat membantu menyempurnakan buku yang disusun oleh Hasanuddin, maupun Pamusuk. Sebab, seturut Husnu Abadi, saya meyakini bahwa para penyusun buku sejenis, tampaknya memang tidak maksimal menjangkau “titik-titik penyebaran informasi.”
Agaknya, tidak banyaknya nama-nama sastrawan Riau masuk dalam buku sejenis itulah yang kemudian mendasari dan memotivasi penyusun buku LSR untuk juga menyertakan sejumlah nama yang menurut saya “mengganggu,” sehingga proses selektivitas menjadi terkesan lemah.
Misalnya, penjelasan biografis atas nama Qori Islami (hal. 78), yang lebih menunjukkan bahwa ia adalah seorang pembaca puisi, tanpa menyertakan satu pun judul karya, membuat nama itu tak representatif untuk masuk, meski telah melakukan pembacaan puisi sampai ke luar negeri. Contoh lain, nama Asori (tertulis di LSR, sementara dalam buku antologi puisi & cerpen pemenang lomba DKR, 1994 tertulis Nasori) dan nama Ruswanto (hal. 83) terdapat kesamaan kalimat biografi, yang membedakan hanya satu karya mereka masing-masing. Hal ini, saya kira, juga membuat pembacaan kita atas pengarang tersebut sangat terbatas, dan belum memadai untuk dapat disertakan dalam sebuah leksikon. Contoh lain, pada nama Saidat Dahlan (hal. 85), tak ada contoh karya sastra yang disebut di sana.
Menjadi juri lomba penulisan sastra, saya kira, tak serta merta dapat memberi kategori sastrawan atas tokoh tersebut. Selain itu, agaknya penting juga membuat klasifikasi menjadi “Kritikus Sastra Riau” misalnya pada sejumlah nama yang tertera dalam LSR ini, seperti UU Hamidy, Muchtar Ahmad, dan beberapa nama lain.
Selektivitas juga terkait tentang penjelasan apakah sastrawan yang tertera dalam LSR dapat disebut sebagai “sastrawan Riau.” Penyusun memang telah memberi penjelasan prihal ini dalam pengantar, dengan kategori: lahir di Riau, atau tinggal di Riau, atau yang pernah mengenyam aura negeri Riau dengan bertempat tinggal beberapa masa di Riau. Pada prinsipnya, saya turut sepakat dengan kategori tersebut. Meskipun, harus juga dilihat apakah sastrawan tersebut juga melakukan proses menulis di Riau, dan ikut “mengalami” pergerakan sastra (di) Riau. Nama Sariamin Ismail (hal. 87) misalnya, dari keterangan biografinya, agak ragu bagi kita apakah ia bisa dikatakan sebagai sastrawan Riau.
Sementara ia lahir di Pasaman, jadi guru di Bengkulu dan Bukittinggi. Keterangan bahwa “terakhir bermukim di Pekanbaru, dan punya kegemaran memelihara bunga” tak dapat menunjukkan indikasi yang akurat dan kuat bahwa ia dapat dikatakan sebagai sastrawan Riau. Meskipun misalnya banyak orang dari generasi Sariamin mengatakan bahwa ia memang benar sastrawan Riau, tapi jika merujuk ke buku LSR, pernyataan itu sulit dibenarkan.
Selain Sariamin, ada nama Aldian Arifin (hal. 6), yang bagi saya, juga sulit untuk mengindikasikan bahwa ia adalah sastrawan Riau. Terutama karena sejumlah data utama menunjukkan ia lebih cenderung ke Sumatera Utara. Selain itu, hemat saya, penting juga bagi penyusun untuk memberi penjelasan lebih kuat tentang kenapa para sastrawan dari Kepulauan Riau juga masuk dalam buku ini.
Saya kira, terlepas dari berbagai tema diskusi yang saya suguhkan di atas, saya hendak mengapresiasi bahwa boleh jadi penyusun buku LSR ini sedang hendak memperlihatkan panorama (atau mungkin dinamika) perkembangan sastra Riau itu. Jika kita semua yakin bahwa mereka yang tercatat dalam LSR ini adalah para sastrawan Riau, maka hari ini, saat ini, kita patut berbangga sekaligus bersedih. Kenapa? Bangga karena rupanya demikian ramai sastrawan kita, demikian semarak dunia sastra kita. Bersedih, karena kita harus bertanya, di manakah (karya-karya) sebagian dari mereka kini?***
SPN Marhalim Zaini, SSn, menulis dalam berbagai genre. Sepuluh bukunya telah terbit. Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan Portugal. Terpilih sebagai 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 dan 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009 oleh Anugerah Pena Kencana. Diundang baca karya pada International Literary Biennale 2005 dan Ubud Writers and Readers Faetival 2007. Kini berkhidmat sebagai Kepala Sekolah Menulis Paragraf.
Marhalim Zaini
http://www.riaupos.com/
Betapa pun pakar semiotika Roland Barthes (1915-1980) menggemaungkan, “the death of the author,” saya yakin, kita masih sangat percaya bahwa sosok sastrawan (pengarang) tak dapat dengan mudah “terpisah” dengan karyanya.
Dan tentu, kita juga tahu bahwa Roland Barthes memang tidak sedang hendak “memisahkan” keduanya, meski dia menandaskan tentang “matinya seorang pengarang.” Sebab, makna kematian di sini bukan berarti nama si pengarang serta merta terhapus dari karyanya, menjadi anonim nasibnya, akan tetapi ini soal “makna” yang menguar dari teks karyanya itu. Di titik ini, si pengarang tidak lagi punya “kekuatan” untuk menjangkau makna akhir dari (teks) karyanya. Tak ada otoritas tunggal. Begitu sampai ke tangan pembaca, teks seperti liar tak terkendali, dan “tanda-tanda” bertebaran, memproduksi makna-makna baru. Maka, jika begitu, bukankah yang “hidup” dan terus “lahir” adalah para pembaca?
Lalu, apa kabar si pengarang? Ya, mestinya dia tetap sebagai pengarang, yang terus bekerja melahirkan teks yang baru. Teks yang juga kelak, setelah lahir, akan menempuh perjalanan nasib yang sama. Apakah kemudian teks itu akan diterima dan tumbuh dalam dunia permaknaan pembaca yang beragam dan luas, serta menuai populeritas tersebab berbagai faktor yang membesarkannya, atau ia tersudut di ruang-ruang sunyi dan kehilangan daya hidup (juga oleh tersebab berbagai faktor intrinsik atau ekstrinsik), tentu kita serahkan saja pada waktu. Yang pasti, pengarang tak boleh berhenti dan menyerah oleh “nasib tak baik” yang menimpa karyanya, juga “nasib tak baik” yang juga kerap menimpa diri si pengarang sendiri. Tak beruntung secara ekonomi misalnya, tak pula “dihargai” dalam lingkungan sosial yang masih jauh dari tradisi keberaksaraan, dan sejumlah ketakberuntungan lain yang kerap membuat banyak orang untuk lari dari pilihan menjadi pengarang. Maka kondisi semcam ini pun, pengarang (mestinya) tetap terus saja menyusun jejak-jejak biografisnya (lewat karya-karya) dalam sejarah duniakepenulisan/kesusastraan, sampai ia menemu batas, menemu tetes akhir dari tinta kalamnya.
Jejak. Ya, ihwal merekam jejak inilah yang sesungguhnya terkait dengan hadirnya berbagai buku dalam berbagai bentuk: kamus, leksikon, ensiklopedi, buku pintar, bibliografi, dan entah apa lagi namanya. Ihwal merekam jejak inilah pula yang sedikit-banyak dapat “mengobati” rasa kecil-hati si pengarang, untuk kemudian membantunya meneguhkan eksistensi, baik secara individu maupun komunal. Tapi kenapa jejak? Sebab yang tertulis/tertera di sana adalah sesuatu yang lampau, yang telah terjadi, yang telah dilalui, sebuah sejarah. Maka dalam konteks dunia penciptaan sastra, jejak itu adalah karya. Jejak seorang pengarang adalah karya. Tak pernah ada yang namanya pengarang, sebelum karya lahir. Dan “nilai” dari karya pulalah yang akan membuat jejak perjalanan seorang pengarang menjadi penting atau tidak, menjadi bernilai atau sekedar tercatat namanya.
Selain itu, tak dapat dinafikan bahwa kehadiran buku-buku sejenis ini adalah referensi penting bagi para peneliti sastra, terutama yang hendak mendekati kajian melalui struktural genetik, psikologi sastra, sosiologi sastra, dan beberapa pendekatan lain. Studi tentang tokoh sastra pun secara historis, sudah sangat banyak dilakukan para sejarawan bahkan sejak era Yunani Kuno. Dan aspek biografi, menjadi tak terhindarkan hadir sebagai salah satu sumber utama mereka. Artinya, lewat studi inilah kelak sebuah buku sejenis ini diuji, apakah nama-nama yang tercantum di dalamnya representatif atau tidak, sudah patut dicatat atau belum.
Cukup banyak, buku yang mencoba merekam jejak dunia kesusastraan kita di Indonesia. Pamusuk Eneste saja setidaknya telah menyusun dua buku sejenis, Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000), dan Buku Pintar Sastra Indonesia (Kompas, 2001). Berikutnya Hasanuddin WS dengan buku Ensiklopedia Sastra Indonesia (Titian Bandung, 2004). Jauh sebelumnya, di tahun 1989, seorang dosen dari University of London, Ernest Ullich Krastz, juga telah menyusun Bibliografi Karya Sastra Indonesia, spesifikasi tentang naskah drama, prosa, dan puisi yang terbit di majalah di tahun 1920-1980. Belum lagi yang ruang lingkupnya lebih kedaerahan, seperti Leksikon Sastra Jakarta, Leksikon Sastra Aceh, dan termasuklah di Riau yang kini telah hadir buku Leksikon Sastra Riau, selain juga di dunia maya yang sedang dikerjakan oleh Sutrianto dengan tajuk Pusat Dokumentasi Sastra Melayu Riau. Apapun bentuk dan namanya, saya kira, pencinta sastra Riau khususnya, patut menyambut baik berbagai upaya untuk pengembangan dan pergerakan sastra di negeri ini.
Leksikon Sastra Riau yang disusun oleh Husnu Abadi dan M Badri (diterbitkan oleh BKKI Riau dan UIR Press, Januari 2009) adalah juga sebuah jejak. Karena dalam buku setebal 154 halaman ini terkandung biografi 173 sastrawan. Jika mendasarkan diri pada isi kandungan buku ini (yang hanya berisi biografi sastrawan) maka andai boleh saya memberi usul, ihwal penyebutan judul buku, hemat saya lebih terwakili jika diubah menjadi Leksikon Sastrawan Riau Modern. Kata “sastrawan” di sana jelas merujuk kepada individu pengarangnya, yang memang nampaknya menjadi fokus dalam penyusunan leksikon ini. Sebab, jika dipakai kata “sastra” maka mestinya yang terkandung di dalamnya tak hanya biografi sastrawannya, akan tetapi berbagai hal-ihwal yang terkait dengan dunia sastra di Riau secara lebih luas.
Semisal yang dapat kita tengok dalam buku yang disusun Pamusuk Eneste di atas. Dalam Leksikon Susastra Indonesia, selain biografi sastrawan juga tercantum berbagai majalah sastra dan penerbit sastra. Agaknya, untuk lebih spesifik lagi, dalam Buku Pintar Sastra Indonesia, Pamusuk membagi dalam sejumlah sub: Biografi Pengarang dan Karyanya, Majalah Sastra, Penerbit Sastra, Penerjemah, Lembaga Sastra, sampai pada Daftar Hadiah dan Penghargaan. Sementara itu, untuk kata “modern” sebenarnya hanya memberi garis pembatas dan wilayah kerja penyusunan buku ini, sebab memang lebih terfokus pada sastrawan Riau modern, tak termasuk para pengarang klasik macam Raja Ali Haji, Raja Zaleha, dan yang lain-lain lagi.
Saya percaya, sebagai sebuah awal dari kerja yang sebetulnya tak bisa dikatakan mudah, Leksikon Sastra Riau (selanjutnya disingkat LSR) ini, tentu saja memiliki sejumlah kelemahan. Tidak mudah, karena tak semua penyuka sastra yang mau dengan rajin mengungkai satu persatu riwayat hidup sastrawan dan karyanya. Kerja semacam ini, sesungguhnya lebih pada kerja “pengabdian” terhadap dunia sastra. Kerja yang lebih didasari dari betapa pentingnya mencatat dan mengumpulkan proses kreativitas di dunia sastra. Jika pun kemudian terdapat kelemahan, ia adalah jalan menuju “kesempurnaan” (meski tak ada yang betul-betul sempurna di dunia ini). Lima tahun terkahir misalnya, saya juga telah turut melakukan kerja semacam itu, dengan mengkliping (hampir) semua karya penulis Riau yang termuat di media massa dan buku. Selain untuk dokumentasi, saya sangat membutuhkannya untuk dapat melakukan pembacaan atas pergerakan sastra yang terjadi dari tahun ke tahun. Setidaknya, tiap akhir tahun (sejak 2005-2008) saya berupaya untuk menulis “Catatan Sastra Riau.” Maka, harapan terbesar kita terhadap hadirnya LSR tentu dalam proses kerja-kerja berikutnya, bisa menjadi salah satu data dan dokumen representatif dan komprehensif tentang dunia sastra (di) Riau.
Untuk berupaya ikut mendukung terwujudnya harapan itu, di sini saya hendak mendiskusikan sejumlah hal. Selain, judul buku yang sudah saya ulas di atas, hal lain yang hemat saya patut dipertimbangkan adalah tentang penjelasan-penjelasan yang lebih “akademis” (di samping soal rujukan yang sudah disarankan dalam esai Musa Ismail di Harian Riau Pos, beberapa waktu lalu) dan lebih argumentatif tentang berbagai aspek metode yang dipakai penyusun dalam mengerjakan buku ini. Penjelasan itu tentu diharapkan tertera pada pengantar buku, sehingga pembaca dapat merujuknya ketika menemukan sejumlah hal yang “mengganggu.” Nah, pengantar yang saya temukan dalam buku LSR ini, hemat saya belum memadai untuk dapat menjawab beberapa hal yang “mengganggu” itu.
Di antaranya soal selektivitas nama-nama yang masuk dalam LSR. Bagaimanakah sebenarnya metode (atau semacam standarisasi) yang dipakai penyusun untuk memilih dan juga memilah nama-nama yang masuk dalam daftar inventarisasi (daftar pendataan awal). Jika memang tujuannya “sekedar” bersifat dokumentatif, semata-mata hendak mengumpulkan semua yang “pernah” menulis sastra, meski hanya satu-dua karya, maka buku ini pun akan berhenti pada setakat titik itu. Kegelisahan awal penyusun—yang sempat diutarakan dalam pengantar buku ini—memberi kesan pada saya bahwa sebab utama buku LSR disusun adalah lebih pada karena tidak banyak ditemukannya nama-nama sastrawan Riau dalam berbagai buku sejenis. Saya kira, boleh jadi kerisauan ini juga menjadi kerisauan kita semua. Namun, andai saja, penyusun dapat menjelaskan satu atau dua nama yang dimaksud (yang tidak masuk dalam buku sejenis), dengan sejumlah data yang ada, maka ini tentu dapat membantu menyempurnakan buku yang disusun oleh Hasanuddin, maupun Pamusuk. Sebab, seturut Husnu Abadi, saya meyakini bahwa para penyusun buku sejenis, tampaknya memang tidak maksimal menjangkau “titik-titik penyebaran informasi.”
Agaknya, tidak banyaknya nama-nama sastrawan Riau masuk dalam buku sejenis itulah yang kemudian mendasari dan memotivasi penyusun buku LSR untuk juga menyertakan sejumlah nama yang menurut saya “mengganggu,” sehingga proses selektivitas menjadi terkesan lemah.
Misalnya, penjelasan biografis atas nama Qori Islami (hal. 78), yang lebih menunjukkan bahwa ia adalah seorang pembaca puisi, tanpa menyertakan satu pun judul karya, membuat nama itu tak representatif untuk masuk, meski telah melakukan pembacaan puisi sampai ke luar negeri. Contoh lain, nama Asori (tertulis di LSR, sementara dalam buku antologi puisi & cerpen pemenang lomba DKR, 1994 tertulis Nasori) dan nama Ruswanto (hal. 83) terdapat kesamaan kalimat biografi, yang membedakan hanya satu karya mereka masing-masing. Hal ini, saya kira, juga membuat pembacaan kita atas pengarang tersebut sangat terbatas, dan belum memadai untuk dapat disertakan dalam sebuah leksikon. Contoh lain, pada nama Saidat Dahlan (hal. 85), tak ada contoh karya sastra yang disebut di sana.
Menjadi juri lomba penulisan sastra, saya kira, tak serta merta dapat memberi kategori sastrawan atas tokoh tersebut. Selain itu, agaknya penting juga membuat klasifikasi menjadi “Kritikus Sastra Riau” misalnya pada sejumlah nama yang tertera dalam LSR ini, seperti UU Hamidy, Muchtar Ahmad, dan beberapa nama lain.
Selektivitas juga terkait tentang penjelasan apakah sastrawan yang tertera dalam LSR dapat disebut sebagai “sastrawan Riau.” Penyusun memang telah memberi penjelasan prihal ini dalam pengantar, dengan kategori: lahir di Riau, atau tinggal di Riau, atau yang pernah mengenyam aura negeri Riau dengan bertempat tinggal beberapa masa di Riau. Pada prinsipnya, saya turut sepakat dengan kategori tersebut. Meskipun, harus juga dilihat apakah sastrawan tersebut juga melakukan proses menulis di Riau, dan ikut “mengalami” pergerakan sastra (di) Riau. Nama Sariamin Ismail (hal. 87) misalnya, dari keterangan biografinya, agak ragu bagi kita apakah ia bisa dikatakan sebagai sastrawan Riau.
Sementara ia lahir di Pasaman, jadi guru di Bengkulu dan Bukittinggi. Keterangan bahwa “terakhir bermukim di Pekanbaru, dan punya kegemaran memelihara bunga” tak dapat menunjukkan indikasi yang akurat dan kuat bahwa ia dapat dikatakan sebagai sastrawan Riau. Meskipun misalnya banyak orang dari generasi Sariamin mengatakan bahwa ia memang benar sastrawan Riau, tapi jika merujuk ke buku LSR, pernyataan itu sulit dibenarkan.
Selain Sariamin, ada nama Aldian Arifin (hal. 6), yang bagi saya, juga sulit untuk mengindikasikan bahwa ia adalah sastrawan Riau. Terutama karena sejumlah data utama menunjukkan ia lebih cenderung ke Sumatera Utara. Selain itu, hemat saya, penting juga bagi penyusun untuk memberi penjelasan lebih kuat tentang kenapa para sastrawan dari Kepulauan Riau juga masuk dalam buku ini.
Saya kira, terlepas dari berbagai tema diskusi yang saya suguhkan di atas, saya hendak mengapresiasi bahwa boleh jadi penyusun buku LSR ini sedang hendak memperlihatkan panorama (atau mungkin dinamika) perkembangan sastra Riau itu. Jika kita semua yakin bahwa mereka yang tercatat dalam LSR ini adalah para sastrawan Riau, maka hari ini, saat ini, kita patut berbangga sekaligus bersedih. Kenapa? Bangga karena rupanya demikian ramai sastrawan kita, demikian semarak dunia sastra kita. Bersedih, karena kita harus bertanya, di manakah (karya-karya) sebagian dari mereka kini?***
SPN Marhalim Zaini, SSn, menulis dalam berbagai genre. Sepuluh bukunya telah terbit. Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan Portugal. Terpilih sebagai 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 dan 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009 oleh Anugerah Pena Kencana. Diundang baca karya pada International Literary Biennale 2005 dan Ubud Writers and Readers Faetival 2007. Kini berkhidmat sebagai Kepala Sekolah Menulis Paragraf.
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati