Sabtu, 13 Februari 2010

MEMBANGUN PENDIDIKAN, MELAKSANAKAN OTONOMI DAERAH

Catatan Kecil atas Berbagai Gagasan Besar

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

“Kunci kemajuan sebuah bangsa terletak pada pendidikan” (Fukuzawa Yukichi (1835—1901), Bapak Pendidikan Modern Jepang)

Membaca sebuah buku antologi, boleh jadi kita merasa laksana dibawa masuk ke sebuah lanskap yang penuh panorama. Dari sana, tema-tema yang beragam seperti hendak saling menyerbu dan memaksa kita (pembaca) melakukan pilihan-pilihan. Jika keberagaman tema yang dihadirkan itu mengesankan berbagai gagasan yang fragmentaris, maka tugas pembaca kemudian mencoba mencari benang merahnya. Mencoba pula menemukan pesan keseluruhan yang hendak disampaikannya. Bagaimana hubungan dan keterkaitan antara tema yang satu dan tema yang lain. Bagaimana pula masing-masing tema itu menyatakan diri dan menyampaikan pesan sponsornya. Apakah ada pesan holistik atau ideologis yang melatarbelakangi dan melatardepani keseluruhan tulisan-tulisan itu.

Dalam hal itulah, buku antologi kerapkali menghadirkan dua hal yang seperti berjalan sendiri-sendiri. Di satu pihak, pembaca disodori oleh tema yang beraneka ragam yang tentu saja memberi hal, wawasan, atau bahkan masalah baru. Jika disikapi secara arif, niscaya ia menjadi penting untuk meluaskan cakrawala pengetahuan kita. Tetapi, di lain pihak, ia cenderung diminati oleh pembaca yang merasa mempunyai kepentingan dengan satu atau beberapa tema saja dari sejumlah tulisan yang ada di sana. Akibatnya, tulisan lain yang tidak menjadi minatnya, cenderung diabaikan. Di sinilah kita (pembaca) dituntut kearifannya untuk membuka diri dan menyikapi buku antologi yang bersangkutan secara proporsional. Kita harus senantiasa siap menerima gagasan apapun, meski mungkin kita belum menemukan kepentingan dan manfaatnya secara langsung.

Demikianlah, menghadapi buku antologi Pendidikan dalam Semangat Otonomi Daerah (atau judul lain yang lebih provokatif) ini pun, eloklah kita melihatnya dalam perspektif mengusung semangat hendak menempatkan dunia pendidikan sebagai ujung tombak pembangunan nilai-nilai dan karakter suatu komunitas. Pendidikan sesungguhnya bukanlah sekadar transfer ilmu pengetahuan dari pendidik ke anak didik, melainkan juga sebuah proses pembentukan karakter, sikap, dan nilai-nilai. Ada optimisme yang tidak dapat ditutupi atas terjadinya perubahan sosial-politik yang terjadi di negeri ini. Sebuah optimisme yang didasari oleh kesadaran menempatkan dunia pendidikan sebagai basis pembangunan bangsa. Hanya dengan menempatkan dunia pendidikan itulah, niscaya bangsa ini akan bangkit kembali dari keterpurukan.

Bukankah hal itu pula yang dilakukan Jepang ketika negerinya hancur akibat kekalahan dalam Perang Dunia II. Apa yang dikatakan Kaisar Jepang waktu itu sesaat setelah melihat negaranya hancur akibat dua bom atom yang dijatuhkan di sana? “Di manakah para guru dan tinggal tersisa berapa banyak lagi guru yang masih hidup?” Sebuah pertanyaan retoris dari seorang kaisar yang sekaligus menunjukkan betapa pentingnya peranan guru (baca: dunia pendidikan). Melalui dunia pendidikan, Jepang kemudian membangun kembali negerinya hingga menjadi bangsa yang secara ekonomi dapat menempatkan diri menjadi kekuatan yang disegani di dunia. Jepang tidak perlu lagi membangun kembali kebesaran militernya, karena yang diperlukan adalah memperkuat basis SDM-nya melalui pembangunan di bidang pendidikan.

Menempatkan dunia pendidikan sebagai ujung tombak itulah yang justru tidak dilakukan para pemimpin bangsa Indonesia. Jika selepas merdeka sampai pada pemerintahan Orde Lama kehidupan politik begitu pentingnya, maka pada masa Orde Baru, politik diperlakukan sebagai “barang haram”. Masyarakat tidak diberi peluang yang lebih luas untuk mengembangkan kehidupan politik. Politik menjadi semacam kamuflase untuk menutupi usaha melanggengkan kekuasaan.

Sementara itu, pembangunan ekonomi melalui utang luar negeri yang menggunung dan bertumpuk-tumpuk, seperti sebuah jawaban Sim Salabim yang seketika dapat mengangkat martabat bangsa ini menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera. Memang kemudian terjadi kemakmuran dan kesejahteraan. Tetapi itu hanya dirasakan segelintir orang. Ada kemajuan yang selalu dapat diukur secara fisikal. Gedung-gedung menjulang dan mobil berderet-deret. Pembangunan ekonomi telah berdampak menceburkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang konsumtif. Keberhasilan seseorang selalu ditentukan oleh seberapa banyak ia berhasil mengeruk uang, memamerkan kekayaan fisik. Akibatnya luar biasa. Pembangunan yang menghasilkan kekayaan psikis, pencerahan intelektual, keagungan moral, dan harga diri yang menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, tidak mendapat tempat yang sepatutnya. Dunia pendidikan dibiarkan carut-marut. Dunia pendidikan seperti sengaja dibiarkan menggelinding, terbentur-bentur dalam lingkaran masalah yang tidak berujung pangkal. Dunia pendidikan menjelma menjadi benang kusut yang ruwet dan penuh virus.

Dalam situasi seperti itu, status sosial guru di tengah masyarakat cukuplah dibujuk-rayu dan dihibur melalui slogan: “Pahlawan tanpa tanda jasa!” Guru sebagai bagian dari agen ilmu pengetahuan, sebagai pembawa pesan-pesan kemanusiaan dan kebudayaan, dan sebagai perintis perubahan, dibiarkan hidup dengan penghasilan serba kekurangan. Guru yang bertugas memberikan pencerahan, menyampaikan ilmu pengetahuan kepada anak didik, diperlakukan sebagai sebagai sapi perahan dengan penghasilan yang buruk. Akibat perlakuan itu, profesi guru seperti tiada arti, tiada guna. Pada gilirannya, ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang juga tidak berguna, karena tidak secara langsung dapat menghasilkan uang yang berlimpah. Masyarakat pun kemudian cenderung berorientasi pada materi, uang atau segala sesuatu yang bersifat fisik, daripada ilmu pengetahuan. Padahal, menuntut ilmu adalah kewajiban umat manusia, begitu pesan setiap agama kepada umatnya. “Pengetahuan adalah kunci keberhasilan hidup dan tidak seorang pun boleh mengabaikannya,” begitulah Fukuzawa Yukichi menyampaikan pesannya lebih dari seabad yang lalu.

Setelah rezim yang penuh kamuflase itu tumbang, euforia politik seperti sebuah sihir yang membius berbagai aspek kehidupan dalam bidang-bidang lainnya, termasuk di dalamnya dunia pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) masih saja tergoda berkutat dalam persoalan perubahan kurikulum dan harapan ideal Ujian Akhir Nasional (UAN) yang sebenarnya malah mendatangkan musibah bagi guru-guru di daerah. Gonta-ganti kurikulum seperti sebuah permainan yang mengasyikkan elite penentu kebijakan, tetapi malapetaka bagi para guru lantaran tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas mereka sebagai ujung tombak dunia pendidikan. Oleh karena itu, ketika diberlakukan Otonomi Daerah, kebijakan-kebijakan Diknas yang tak membumi bagi daerah-daerah mestilah disikapi sebagai sebuah tantangan dan sekaligus peluang. Maka, diberlakukannya otonomi daerah yang secara praktis mengubah sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik, tidak hanya memungkinkan pemerintah daerah lebih leluasa mengatur berbagai rencana membangun daerahnya sendiri, melainkan juga sebagai sebuah kepercayaan bagi pemerintah daerah untuk mengangkat martabat dan harkat masyarakat di daerahnya tidak lagi terbelakang, baik secara ekonomi, maupun pendidikan: dua bidang yang harus menjadi prioritas utama.

Sebuah komunitas atau bangsa secara keseluruhan yang mempunyai harta kekayaan berlimpah, tetapi miskin ilmu, terbelakang, dan bodoh, hanya akan menjadi bulan-bulanan penipuan bangsa lain. Itulah yang dilakukan bangsa Belanda terhadap bangsa kita selama berabad-abad. Yang tersisa sebagai warisan bagi generasi berikutnya adalah sikap rendah diri, inferior, dan mental kacung. Sikap dan mental yang seperti itu, terus terpelihara dengan baik, lantaran tidak ada usaha untuk menempatkan dunia pendidikan sebagai basis, pondasi pembangunan bangsa. Justru melalui pendidikan itulah, sikap dan mental buruk yang seperti itu, akan terkikis secara meyakinkan. Jika ada kesadaran yang seperti itu, maka langkah yang tidak dapat diabaikan adalah memperkuat basis peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pembangunan dunia pendidikan.

Bagaimanapun juga, keberlimpahan sumber daya alam hanya mungkin dapat mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan umat manusia jika manusia itu sendiri mempu mengelolanya secara baik dan benar. Di sinilah perhatian pada SDM menjadi sangat sentral dan strategis. Ia boleh dikatakan merupakan investasi atau saham untuk masa depan. Ia akan menjadi harta warisan yang luar biasa berharganya lantaran ia telah menempatkan dirinya sebagai khalifah di bumi. Salah satu bidang yang bertanggung jawab atas peningkatan SDM ini tidak lain adalah dunia pendidikan. Buku ini, sungguh seperti hendak mewartakan itu. Tanggung jawab dunia akademik atas masyarakat di sekitarnya, atau bahkan masyarakat bangsa ini. Semangat itulah yang tampak mendasari gagasan-gagasan yang menyeruak dalam berbagai tulisan dalam buku antologi ini. Serangkaian gagasan atau pemikiran penting dalam buku ini, sungguh relevan dalam konteks menempatkan pelaksanaan otonomi daerah sebagai sebuah peluang dan tantangan.
***

Ada sepuluh tulisan yang terhimpun dalam buku antologi ini, dan sebagian besar memusatkan perhatian pada dunia pendidikan. Dari sudut itu, kita (pembaca) disuguhi berbagai gagasan yang cerdas mengenai peluang-peluang yang mungkin dijalankan sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah. Dari sudut yang lain, ia seperti menawarkan sebuah dialog untuk membincangkan lebih lanjut mengenai dunia pendidikan dan kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah.

Tulisan Asnawi Syarbini, “Politik Pendidikan Indonesia” mencoba mengungkapkan sejumlah undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan yang membentuk sebuah sistem pendidikan Indonesia. Bagaimana mekanisme pelaksanaannya ketika diberlakukan otonomi daerah? Meski belum begitu jelas, langkah-langkah konkret yang bagaimana yang harus dilakukan dalam pelaksanaan sistem pendidikan Indonesia, Syarbini coba menawarkan pendidikan dalam peranannya sebagai bagian integral dari visi politik yang dijalankan pemerintah. Gagasan itu memang ideal jika pemerintah –siapapun yang berkuasa kelak—menjalankan politik dengan basis pendidikan. Dengan begitu, pendidikan ditempatkan dalam arti yang seluas-luasnya dan dapat memasuki berbagai bidang dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pendidikan sebagai basis peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia tentu saja akan bermuara pada apa yang disebut profesionalisme. Dengan demikian, penghargaan pada profesi, keahlian, dan prestasi, akan menempatkan profesi apapun dalam proporsi yang sejajar, setara, dan sama penting dalam sistem besar kehidupan sebuah bangsa. Tidak ada satu profesi yang dipandang lebih penting atau lebih rendah dari profesi lain. Yang menjadi ukuran adalah prestasi dan kinerja orang per orang dalam profesinya, dan bukan institusi atau organisasi profesinya. Seorang perajin atau nelayan yang berdedikasi pada profesinya, bertindak profesional dalam menjalankan pekerjaannya, akan lebih bermakna bagi masyarakat dibandingkan dokter atau pengusaha yang bekerja tidak profesional. Dalam pengertian politik pendidikan, pendidikan (di Indonesia) mestinya tidak hanya bertujuan menjadikan seseorang berpengetahuan dan mempunyai keterampilan, tetapi juga menumbuhkan loyalitas dan pengabdian kepada bangsa dan negara. Dengan demikian, pendidikan dibangun dan dijalankan semata-mata untuk kemajuan negara dan mengangkat harkat dan martabat bangsa.

Tulisan Anwar Syarbini sebagai sebuah gagasan yang coba menawarkan politik pendidikan dalam tata pemerintahan kita, tentu saja dapat dianggap merupakan sumbangan penting, meskipun sesungguhnya belum begitu jelas, bagaimana implementasi dalam dunia pendidikan kita. Demikian juga, keterjebakan Syarbini untuk memaparkan berbagai konsep pendidikan telah menyeretnya pada kelalaian membuat analisis kritis, bagaimana politik pendidikan dijalankan pemerintah selama ini. Meskipun demikian, pemerintah kiranya memang patut memikirkan adanya politik pendidikan yang jelas yang memang diarahkan untuk memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa dan negara

Dalam tulisan Sudadio, “Pendidikan di Era Otonomi Daerah” pembicaraan mengenai “politik pendidikan” tampak lebih fokus mengingat ia membatasi diri pada pelaksanaannya dengan otonomi daerah. Dalam kaitan itu, pembicaraan Sudadio dapat lebih leluasa mengungkapkan pentingnya mutu pendidikan, termasuk pengertian, kriteria, syarat, serta alat ukur untuk membuat kualifikasi mutu pendidikan. Jadi, pada hakikatnya ia hendak menekankan, bagaimana meningkatkan mutu pendidikan ketika suatu daerah mulai melaksanakan otonomi daerah. Meskipun perbicangannya cenderung konseptual dan bermain dalam tataran teoretis, setidaknya kita disuguhi berbagai pemikiran mengenai langkah-langkah teoretis, bagaimana seharusnya usaha meningkatkan mutu pendidikan.

Lalu, bagaimana kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah? Tidak begitu jelas, bagaimana langkah-langkah konkret dan strategis, bagaimana operasionalisasi upaya meningkatkan mutu pendidikan di satu wilayah tertentu. Justru di situlah, kita seolah-olah “diajak” untuk juga memikirkan, bagaimana dunia pendidikan harus dibangun, bagaimana meningkatkan mutunya, dan bagaimana pula membuat semacam parameter sebagai alat ukur dalam menentukan kualifikasi sebuah institusi menyelenggarakan pendidikan.

Tulisan Muhyi Mohas dengan titik perhatian otonomi daerah, mengungkapkan sejumlah peluang yang dapat dimasuki dalam usaha membangun dunia pendidikan. Deskripsinya tentang manfaat penyelenggaraan otonomi daerah menyodorkan optimisme, bahwa desentralisasi memberi peluang yang begitu luas bagi daerah mengembangkan diri, menggali berbagai potensi, dan tentu saja mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan skala prioritas. Dengan itu, peranan pemerintah daerah menjadi sangat menentukan untuk melakukan restorasi bagi daerahnya sendiri. Tetapi, jika yang diprioritaskan hanya pembangunan fisik, maka ia akan tergelincir dan masyarakat dijerumuskan kepada pola berpikir yang mengukur segala sesuatu berdasarkan pencapaian material; konsumtif dan materistik. Maka, pembangunan pendidikan sebagai dasar, basis peningkatan kualitas SDM mestinya menjadi prioritas utama.

Muhyi Mohas ternyata melihatnya dari perspektif lain. Paling tidak, ada tiga bidang yang disoroti secara ringkas, yaitu pembangunan pendidikan, hukum dan ekonomi. Namun ketika pembicaraannya memasuki wilayah pembangunan hukum, ia seperti kehabisan napas, dan segera menutup perbincangannya tanpa ada kejelasan, bagaimana pembangunan hukum harus dilakukan. Meskipun demikian, uraiannya mengenai sejumlah peluang dan sekaligus tantangan diberlakukannya desentralisasi, cukup alasan bagi kita untuk optimis bahwa otonomi daerah (desentralisasi) akan membawa pengaruh positif bagi peningkatan taraf hidup masyarakat, jika pemerintah daerah menjalankan peranan, fungsi dan tanggung jawabnya yang berpihak kepada kemaslahatan masyarakat.

Sementara itu, tulisan Aris Suhadi, “Mazhab Sejarah, Pembentukan Hukum, dan Otonomi Daerah” seperti memaksakan diri agar pembicaraan mengenai mazhab sejarah (dalam ilmu hukum), ada hubungannya dengan otonomi daerah. Memang ada beberapa contoh kasus mengenai pengaruh mazhab sejarah dalam pembentukan hukum nasional maupun hukum adat. Tetapi contoh tersebut terkesan seperti kasusistis, dan tidak cukup representatif untuk mengatakan betapa besarnya pengaruh mazhab sejarah dalam pembentukan hukum nasional dan hukum adat (di Indonesia). Akibatnya, di satu pihak, Suhadi seperti hendak mengungkap panjang lebar mengenai ihwal mazhab sejarah dalam bidang hukum secara meyakinkan, di pihak lain, ia tidak cukup meyakinkan menyodorkan beberapa kasus sebagai bukti adanya pengaruh aliran itu dalam pembentukan hukum di Indonesia.

Yang justru cukup menarik dari tulisan Aris Suhadi adalah uraiannya mengenai mazhab sejarah hukum. Menarik lantaran ia cukup mendalam membicarakannya. Sampai di situ, sesungguhnya tulisan itu menyampaikan wawasan yang relatif luas. Tetapi, kesimpulannya yang dihubungkan dengan otonomi daerah, terkesan tiba-tiba saja muncul dan seperti ada kesengajaan harus diadakan dan dikait-kaitkan begitu saja.

Dua tulisan yang berkaitan dengan muatan lokal disampaikan Yoyo Mulyana “Pengembangan Kompetensi Dasar Bahasa Daerah Banten” dan Syafrizal “Bahasa Inggris sebagai Muatan Lokal Sekolah Dasar”. Kedua tulisan itu tentu saja penting mengingat konteksnya dalam pelaksanaan otonomi daerah. Jika tulisan Mulyana berorientasi pada bahasa setempat (lokal) yang di banyak kasus di berbagai daerah, cenderung diabaikan, maka tulisan Syafrizal berorientasi pada upaya mengantisipasi dan sekaligus menyiapkan SDM agar berperan aktif dalam proses globalisasi.

Mengenai keberadaan bahasa daerah, bagaimanapun juga, keberadaannya harus dipertahankan mengingat fungsinya sebagai alat komunikasi lokal. Di samping itu, ia juga merupakan alat refleksi kultural. Dengan demikian, pemahaman bahasa daerah dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami kebudayaannya. Di sinilah sosialisasi kebijakan pemerintah daerah akan lebih mudah diterima masyarakat jika dilakukan melalui pendekatan kultural. Maka, melalui bahasa daerah itulah salah satu sarana yang efektif bagi pemerintah daerah untuk mensosialisasikan berbagai kebijakan yang akan dijalankannya. Oleh karena itu, pengajaran bahasa daerah menempati kedudukan yang cukup penting dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kaitan itu, perlu kiranya dipikirkan penyusunan kamus bahasa daerah Banten sebagai salah satu usaha mempertahankan bahasa daerah itu.

Bahasa Inggris sebagai muatan lokal di sekolah, di banyak daerah sesungguhnya sudah dilaksanakan sejak beberapa tahun belakangan ini. Tulisan Syafrizal sangat boleh jadi merupakan masukan yang mestinya menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah.

Selain masalah muatan lokal di sekolah yang mesti dipikirkan kemanfaatannya dalam hubungannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, juga patut dicatat keberadaan pesantren-pesantren yang bertebaran di wilayah Banten. Tulisan Nandang Faturohman yang mencatat sebagian kecil keberadaan pesantren di wilayah Banten, boleh dikatakan memberi informasi berharga mengingat usahanya yang mencoba membuat klasifikasi antara pesantren tradisional dan pesantren modern (terpadu). Sejumlah karakteristik yang dikemukakannya menunjukkan betapa arus modernisme mulai memasuki wilayah dunia pesantren yang sebelumnya cenderung eksklusif. Bagi pemerintah daerah, keberadaan pasantren-pesantren itu sesungguhnya juga aset pendidikan, karena dari sanalah diharapkan SDM yang menjunjung tinggi moralitas dan ketakwaan, di samping kualitas yang andal, dapat dilahirkan.

Tiga tulisan berikutnya boleh jadi seperti tidak ada hubungannya dengan otonomi daerah. Tentu saja ketiganya masih ada kaitannya dengan itu, meskipun konteksnya dapat diperluas memasuki wilayah kepentingan nasional. Tulisan Wan Anwar “Pendekar Akademis di Jalan Raya Sastra Indonesia, misalnya, dapat disikapi sebagai sebuah bentuk evaluasi atas mundurnya peranan kritikus sastra di Indonesia. Meskipun ia melakukan semacam simplifikasi atas problem di tingkat fakultas (sastra) sebagai problem mata kuliah, yang seolah-olah harus melahirkan kritikus (sastra), setidak-tidaknya gagasannya dapat kita tempatkan sebagai ekspresi dari pengharapan yang begitu besar kepada institusi itu. Agak mengherankan, Wan Anwar kurang dapat mencermati pengembangan ilmu di institusi-institusi seperti itu. Di sana ada usaha untuk mengembangkan ilmu sebagai ilmu dan ilmu sebagai keterampilan yang dapat bermanfaat secara praktis.

Dikotomi yang dilakukan Anwar yang secara tegas membedakan kalangan akademis dengan praktisi, tentu saja tidak relevan mengingat wilayah dan kerangka berpikir keduanya berbeda satu sama lain. Para sarjana yang bekerja di lingkungan akademis, misalnya, “terpaksa” harus berkutat dengan cara pandang ilmiah yang sering tak sejalan dengan tuntutan masyarakat. Di sisi yang lain, kaum praktisi –yang diisitilahkan sebagai pendekar di jalan raya— tentu saja harus berpikir untuk kepentingan yang praktis mengingat sasarannya masyarakat luas. Jadi, sarjana (pendidikan) sastra, tidak harus menjadi kritikus, mengingat ia dididik untuk menjadi seseorang yang dapat berpikir kritis, komprehensif, objektif, dan argumentatif. Oleh karena itu, bolehlah ia menjadi pegawai negeri, guru, pegawai bank, wartawan, atau apapun, termasuk kritikus (sastra). Dengan begitu, profesi sebagai kritikus hanya salah satu saja. Ia ibarat sebuah sekrup dari mesin raksasa yang bernama kehidupan.

Meskipun demikian, catatan kritis yang dilakukan Wan Anwar tentu saja penting dan relevan dalam hubungannya dengan otonomi daerah. Ia menyadarkan kita bahwa idealnya, seorang sarjana yang bekerja di lingkungan dunia akademis, hendaknya tidak menjadi jago kandang di lingkungannya sendiri. Ia jangan sekadar cemerlang di menara gading. Ia harus juga mampu mengaplikasikan ilmua untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, gagasan-gagasannya juga harus dapat dipahami dan diterima masyarakat luas. Setidak-tidaknya, gagasan Wan Anwar menggambarkan sebuah problem kultural yang juga terjadi di dalam dunia pendidikan kita.

Dua tulisan lainnya, “Gaya Kepemimpinan” (Romli Ardie) dan “Peranan Supervisi dalam Pendidikan” (Suherman), seperti dua tulisan yang saling melengkapi, komplementer. Romli Ardie lebih mencermati pentingnya gaya kepemimpinan dan kecerdasan emosional bagi seseorang yang diberi kepercayaan mengelola institusi pendidikan. Boleh dikatakan, Ardie seperti memberi semacam panduan yang baik, bagaimana seseorang menjadi manajer dalam institusi pendidikan. Sebuah uraian yang niscaya dapat dimanfaatkan bagi siapa pun yang ingin atau sedang menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.

Dalam wilayah yang lebih khusus, terutama yang menyangkut bidang studi, peranan supervisi, pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan seorang pemimpin. Ia harus terus-menerus melakukan komunikasi dengan guru bidang-bidang studi agar pengajaran di dalam kelas dan kualifikasi guru menjalankan tugasnya dapat berjalan dengan baik dan optimal. Sebuah sumbangan pemikiran yang sangat baik bagi usaha peningkatan kualitas guru dan pengajaran di sekolah.
***

Uraian ringkas mengenai ke-10 tulisan tadi, tentu saja sangat tidak memadai jika dibandingkan dengan kualitas tulisan-tulisan itu sendiri. Dalam hal ini, ada banyak gagasan dan pemikiran yang dapat ditindaklanjuti, baik untuk kepentingan memberi masukan bagi pemerintah daerah, maupun untuk kepentingan pengembangan dunia pendidikan itu sendiri. Di situlah, kontribusi –meminjam istilah Wan Anwar— “pendekar akademis” tidak sekadar sebagai “jago kandang” melainkan mencoba pula menawarkannya ke wilayah yang lebih luas: masyarakat! Apapun tanggapan masyarakat, tentu saja patut diperhatikan sebagai masukan yang berharga.

Bagaimanapun juga, penerbitan buku ini, mestilah ditempatkan sebagai bagian dari perhatian pendekar akademis terhadap perkembangan sosial-politik yang terjadi di sekitarnya. Bahwa mereka “hanya dapat” menyumbangkan gagasannya, justru di situ peranan dan fungsinya sebagai pendekar akademis, intelektual yang juga ikut bertanggung jawab atas maju-mundurnya dunia pendidikan di negeri Indonesia.

Kehadiran buku ini, juga harus dipandang sebagai bentuk komunikasi –kaum intelektual—yang berkecimpung di dunia pendidikan, dengan masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, jika kita cermati benar berbagai gagasan yang terhimpun dalam buku ini, banyak hal yang sesungguhnya menyodorkan sesuatu yang baru. Setidak-tidaknya, jika kita menganganggap berbagai tulisan itu belum memadai, maka tugas kitalah untuk memperbaiki dan menyempurnakannya lebih lanjut. Jadi, komunikasi yang ditawarkannya berupa kajian kritis atau penelitian lanjutan mengenai berbagai problem yang dapat kita tangkap dari gagasan-gagasan yang ditawarkan buku ini. Itulah salah satu bentuk komunikasi pendekar akademis dalam menawarkan gagasannya kepada masyarakat. Satu tindakan yang sungguh terpuji dan elegan!

Bojonggede, 9 Mei 2004

Pilar Kesadaran Rendra

Agus R Sarjono*
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

SUASANA hening dan mencekam–hingga jika saat itu ada jarum jatuh, dentingnya akan nyaring terdengar– saat Rendra membacakan sajaknya “Khotbah”, di Festival Puisi Internasional, Rotterdam. Usai pembacaan, ruang meledak oleh gemuruh tepuk tangan. “Bravo!” ucap seseorang dari barisan penonton, sambil menghampiri Rendra dan memeluknya erat di hadapan para hadirin. Orang itu bernama Pablo Neruda.

Kisah tersebut diriwayatkan oleh penyair Taufiq Ismail yang berada dalam festival itu bersama Rendra berpuluh tahun lalu. Saya yang diceritai kisah itu hanya bisa membayangkannya saja. Namun, beberapa tahun lalu, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri penerimaan publik asing atas pembacaan puisi Rendra. Dalam festival puisi Berlin, Rendra tampil di panggung terbuka yang didirikan di tengah jalan khusus untuk keperluan festival. Para penonton memenuhi kursi yang dipasang berjajar sepanjang jalan dan sedikit naik ke trotoar. Sementara itu, para pejalan kaki masih bisa berlalu lalang di trotoar dan sebagian duduk-duduk di kursi kafe atau restoran yang ada di sepanjang jalan itu.

Derek Walcott, penyair masyhur pemenang Hadiah Nobel, membacakan sejumlah puisi di sana, dan tepuk tangan penonton bisa dikatakan ala kadarnya. Selepas itu, Rendra tampil membacakan hanya satu puisi, yakni “Khotbah”. Tepuk tangan penonton membahana mengiringi Rendra turun dari panggung hingga akhirnya dia naik lagi ke atas panggung dan memberi salam berkali-kali. Tepuk tangan yang panjang dan lama, rupanya tidak berhasil membujuk Rendra membacakan sajak tambahan.

Waktu itu, Rendra tentulah tidak semuda saat ia membaca puisi di Rotterdam. Namun daya cekam dan pesonanya masih kuat dirasakan para penonton yang jumlahnya ratusan orang, termasuk para pejalan kaki yang berhenti untuk menikmati puisi yang dibacakan Rendra sampai selesai.

Derek Walcott tidak naik ke panggung untuk memeluk Rendra saat itu. Karena saya bukan pemenang Hadiah Nobel, saya hanya memberi selamat dan memeluknya di bawah panggung. Ternyata, bukan hanya di Indonesia, di mancanegara, Rendra adalah pembaca puisi yang hebat. Banyak orang lupa bahwa membaca puisi di hadapan publik, termasuk penonton yang berbondong-bondong membeli karcis untuk menonton pembacaan puisi, pertama kali dipopulerkan oleh Rendra.

Sebagai penyair, nama Rendra sudah dikenal sejak dia masih duduk di bangku SMA, menulis sajak-sajak yang kemudian terkumpul dalam “Balada Orang-orang Tercinta”. Di tengah dominasi sajak-sajak liris ala Chairil Anwar, kehadiran sajak-sajak balada Rendra memberi angin segar pada perpuisian Indonesia saat itu. Berturut-turut kemudian muncul kumpulan puisinya, seperti “Empat Kumpulan Sajak”, “Sajak-sajak Sepatu Tua”, “Blues untuk Bonnie”, dan “Potret Pembangunan dalam Puisi”.

Sajak-sajaknya dalam kumpulan “Blues untuk Bonnie”, merupakan sajak-sajaknya yang terkuat. Meskipun begitu, kumpulan sajaknya yang paling kontroversial adalah “Potret Pembangunan dalam Puisi”. Terbitnya buku itu membuat rakyat dan mahasiswa bersorak, para kritikus kecewa, para pemuja puisi lirik sewot, dan para penguasa meradang berang.

Kekecewaan para kritikus dan sewotnya pencinta lirik dapat dipahami karena mereka merasa kehilangan sajak-sajak master piece Rendra, seperti “Nyanyian Angsa”, “Khotbah”, atau “Blues untuk Bonnie”, dan digantikan oleh sajak-sajak yang oleh Rendra sendiri disebut sebagai “Pamplet Penyair”. Rakyat dan mahasiswa bersorak karena sajak-sajak ini menyuarakan kegelisahan dan protes mereka yang selama ini dibungkam. Para penguasa, sudah barang tentu berang karena dengan sajak-sajak itu, mereka “dibongkar” segala kebobrokannya dengan lantang oleh Rendra.

Rendra, di mata para pencinta liris dikenal sebagai penyair keindahan alam dan panasnya asmara, berkat sajak-sajaknya, seperti “Surat Cinta” dan “Stanza”. Kini menjadi penyair rakyat berkat sajak-sajak protesnya. Ini mengingatkan kita pada sosok Neruda yang dicintai wanita dan Asmaraman dengan kumpulan sajaknya “40 Sajak Cinta dan Satu Sajak Dukalara”; dan dielu-elukan seluruh rakyat Chile sebagai penyair rakyat berkat kumpulan sajak raksasanya “Canto General”. Sekalipun begitu, baik skala maupuan gaya perpuisian Rendra, berbeda dengan Neruda.

**

SELAIN sebagai penyair, Rendra dikenal luas sebagai seorang dramawan. Ia menulis naskah drama, mendirikan Bengkel Teater Rendra, menyutradarai sejumlah pertunjukan, baik repertoir asing maupun karangannya sendiri. Sebagaimana dengan puisi-puisinya dalam “Potret Pembangunan dalam Puisi”, drama yang ia pertunjukkan pun sarat dengan kritik dan renungan sosial, seperti Mastodon dan Burung Kondor, Sekda, atau Panembahan Reso.

Baik pembacaan puisi maupun pertunjukkan teaternya, senantiasa dipadati penonton, bahkan ada suatu masa penonton harus membeli tiket dari calo dengan harga berlipat hanya untuk dapat menonton Rendra baca puisi atau bermain teater. Berbagai pencekalan sudah dilakukan terhadap Rendra, bahkan ia sempat mendekam di penjara karena dianggap pembangkang oleh pemerintah. Semua itu tak bisa menahan Rendra menjadi sang pembangkang paling terkemuka saat itu. Saat itu, ia menjadi idola di mana-mana, khususnya di kalangan muda.

Di masa tua, ia makin jarang berpentas teater. Puisi-puisi makin jarang pula ditulisnya. Politik Indonesia sudah mengalami pergantian dan pergeseran. Rendra masih berada pada keprihatinan yang sama. Reformasi yang terjadi– dan bagaimanapun harus diakui, dia salah satu tokoh utama penyadaran masyarakat jauh sebelum reformasi–rupanya di mata Rendra belum memberi perbaikan signifikan bagi nasib rakyat Indonesia. Di pembaringan rumah sakit pun, ia masih memprihatinkan nasib dan kedaulatan rakyat Indonesia yang dianggapnya mulai dilupakan bersama makin asyiknya para elite bermain politik-politikan.

Keterbukaan yang membuat segala sesuatu boleh disuarakan, di satu sisi, dan dominasi kebanalan industri konsumerisme di sisi lain, membuat sajak-sajak protes sosial tak lagi menjadi suara alternatif bagi banyak orang. Dalam hal itu, keprihatinan atas kondisi nyata harus terus disuarakan oleh penyair yang sadar dan terlibat dengan nasib masyarakatnya. Rendra bagaimanapun harus mencari jalan menjawab persoalan ini. Namun, Tuhan berkehendak memanggilnya dari tengah kita. Boleh jadi, Tuhan Yang Mahapengasih menganggap sudah banyak yang dia korbankan bagi bangsa ini, dan tidak tega membiarkannya masih berkutat memprihatinkan bangsa yang memprihatinkan ini. Sembari melihat dengan mata kepala sendiri, mereka yang sama sekali tak pernah bertungkus lumus melawan rezim, kini bertampilan sebagai pahlawan dan bergelimang kemakmuran dari situasi sosial politik yang tak ikut mereka perjuangkan.

Mbah Surip meninggalkan kita, presiden berbelasungkawa, bangsa Indonesia kehilangan nyanyian pop riang sederhana. Rendra meninggalkan kita, bangsa Indonesia kehilangan salah satu pilar kesadaran berkebudayaannya.

Rendra telah berpulang. Ia sudah selesai bertugas di dunia. Kita yang ditinggalkan berkewajiban menjadikan warisan sastrawi dan pemikiran Rendra sebagai warisan bersama, agar tidak seperti sekarang ini. Semua mengenal Rendra dan kaget kehilangan Rendra, namun tak banyak yang mengenal karya-karyanya.***

*) Penyair dan esais.

Marco Polo (1254-1324) Mampir di Jogjakarta?

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=389

Marco Polo (15 Sep 1254 - 8 Jan 1324), pedagang penjelajah lahir di Venezia, Italia. Pergi ke Tiongkok semasa kuasanya Dinasti Mongol. Menemukan kekisah menarik dan aneh, dari dunia Timur bagi bangsa Eropa. Para cendekia berpendapat Marco ke Tiongkok, tetapi tidak mengunjungi semua tempat, yang tergambar di bukunya (Xanadu). Kisah menarik untuk Indonesia, cerita unicorn (kuda bertanduk satu) yang dijumpai di Sumatra. Namun ilmu pengetahuan membuktikan, yang ditemuinya bukan sembrani, melainkan badak.
Dataran Indonesia yang disebut di bukunya: Pulau Jawa Besar (Jawa); diperkirakan sangat luas, karena pantai selatannya tidak sempat dikunjungi. Juga diceritakan ekspedisi penyerangan, kegagalan Kubilai Khan. Pulau-pulau Sondur dan Condur (belum jelas); diperkirakan kepulauan di Laut Cina Selatan, yang digunakan patokan pelayaran. Pulau Pentam (Bintan); letaknya dari selat Singapura. Kota Malaiur (Melayu atau Palembang?); dikisahkan raja-raja Melayu, diantaranya Paramasura. Pulau Jawa Kecil (Sumatra?); diperkirakan Sumatra, sebab ciri-ciri komoditas pun hewan (gajah, badak, elang hitam) disebutkan. Kerajaan-kerajaan Ferlec (Perlak) pula Basma (Pasai?); dituturkan beberapa kerajaan bertetangga, juga suku Battas (Batak) di pedalaman. Kerajaan-kerajaan Samara (Samudra) dan Dagroian (belum jelas); disebutkan pohon kelapa (Malay palm) disamping legenda kanibalisme famili yang meninggal. Kerajaan-kerajaan Lambri (Lamuri) dan Fansur (Barus); mengenai legenda manusia berbulu memiliki ekor (orangutan?), kapur barus, pula sagu kelapa.
{dari http://id.wikipedia.org/wiki/Marco_Polo}
***

Sebelum menguak misteri kuda sembrani, akan kuceritakan awal diriku terpikat olehnya. Semasa kecil, ketika orang tua masih hidup di kediaman buyut Kasipah, setiap malam tak ingin melewati mendengarkan kisah sembrani, yang katanya bertengger di dahan pohon klampis, belakang rumah dekat kuburan.

Dongeng masa kanak membayang, laksana menghidupi alam bawah sadarku, kerap kali tiba-tiba melonjak, dibangunkan dinaya kesadaran ganjil, menghantar diriku terus berolah rasa, bergulat pada alam antara;

Kreativitas angan menjelajahi penalaran, berkumpul di degup kesaksian, dibopong dan ditopang realitas laku kenyataan, dan Tuhan Maha Ajaib mendorong kepada puncak kepastian.

Kala bertemu penulis senior KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum) di Jogja, dan mengetahui jiwaku terperdaya kisah belia, aku diajaknya jalan-jalan ke percandian sekitar Jogja.

Kali itu bukan candi kutemui, namun sebongkah batu besar persegi empat, panjangnya satu depa satu depa, yang kukira seratus orang tak mampu mengangkatnya, tepatnya di daerah Piyungan Jogjakarta.

Batu besar itu menarik, tengahnya tertanca besi, yang berada persisi di tengah atas, anehnya di sebelah batu, ada pohon beringin, yang seyogyanya dedahannya menaungi.

Tapi memang ganjil, dedahannya semestinya menjunur menutupi ubun-ubun batu, menyamping atau berubah arah ke posisi tidak wajar, menjauhi batu tersebut.

Batu ajaib itu di sekelilingnya tergurat beraneka relief, yang paling menarik bagiku, relief kuda sembrani atau unicorn di sebelah barat letaknya.

Ciri-cirinya kuda bersayap, ujung ekornya tumpul seakan dipenuhi lebat bulu-bulu. Aku melihat takjub merinding, sebab dongeng buyutku tidak main-main, setidaknya Tuhan perjodohkanku akrab dengan beliau, yang kuanggap guru spiritual menulis.

Bersama mas Suryanto, pribadiku sangat dekat dengan bebatuan candi, sampai mengetahui prosesi membangun ulang atas candi Ijo misalnya, pun candi-candi lainnya.

Walau kami bukan arkeolog sekadar pengelana, tapi dari buku-buku yang ada, bisa membedakan bebatuan candi atas usianya, lalu selisih ratusan tahun pun mengerti, walau dengan tatapan mata elusan jemari.

Kadang sempat dicurigai para dinas resmi, namun dengan arkeolog luar negeri, yang ditugaskan menata ulang batuan, malah santun, mungkin merasa sejiwa.

Cacatan di wikipedia disebutkan, Marco Polo bertemu sembrani, atau kuda bertanduk satu, yang dijumpai di pulau Sumatra, namun ilmu pengetahuan menyangkal, dengan menyangka badak bercula satu.

Kukira tersebut bukan dongeng semata, Morco pun mendengar ringkikan kuda, serta kepakan sayapnya, seperti kudengar saat-saat mau tidur, diselimuti malam gelap di kedalaman pedesaan.

Kuda itu memiliki lintasan penerbangan, serta waktu-waktu tertentu yang merindingkan bulu, hanya orang pernah mendengar dan melihatnya saja yang percaya.

Serupa perihal langkah kaki-kaki para prajurit, yang kadang mengelilingi keraton Jogjakarta di tengah malam, ada banyak saksi mendengar, padahal tak tampak oleh mata.

Sampai sekarang ilmu pengetahuan, masih kerap disenggol perihal yang belum sanggup diwedarkan, dengan tuntas secara jasadiah.

Ini menggejala tak hanya di dunia Timur, di Barat pula mengakui alam lain selain yang tampak. Ditemukannya relief kuda sembrani ialah menguatkan kesaksian, serupa relief-relief lain pada candi-candi lain.

Ada kehidupan di sana, peradaban ditumpuk timbunan kebodohan, serupa bebatuan candi tertimbun tanah liat, datangnya longsor serta banjir besar.

Tapi gending nyanyiannya terus mengidupi rerumputan, perasaan halus bersama alam atas bumi, dengan kalbu menjaga kelestarian, demi dipunggah kembali, sebagai kekayaan bathin perbendaharaan, bagi mau bersanding nafas-nafas pertiwi.

Di belahan lain, jika menelisiki jauh, dimungkinkan mendapati kenyataan mengagumkan, semisal ditemukannya tulang belulang Dinosaurus, wujud kepurbakalaan, yang menghampiri logika indrawi.

Demikian memakan waktu bertahun-tahun, seperti mengembalikan batuan candi berserakan tidak tentu arah, hanya arsitektur para ahli arkeolog dan dibentuk panitia khusus.

Serupa pemugaran pertama candi Borobudur di tahun 1900, diketuai Dr. J.L.A. Brandes, dilanjutkan Van ERP (1907-1911) yang berlangsung besar-besaran dengan biaya 100.000 Gulden, lantas menjadi kebanggaan?

Semoga nilai leluhur tetap luhur terpelihara di jagad bumi Nusantara, dengan kasih sayang merawat juang, serupa embun kembali muda di pagi harinya, pada rerumputan tropis Indonesia.

Kesadaran Puitis & Politik

Damhuri Muhammad*
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

BAGAIMANA semestinya sastrawan menyikapi keriuhan retorika politik yang belakangan ini tampak semakin mentereng? Perlukah seorang penyair menyelami realitas politik yang ingar-bingar dan penuh intrik itu -setidaknya melibatkan sebentuk kesadaran politik dalam gairah kepenyairannya atau sebaliknya-sebagaimana petuah Julian Benda (1928)- karena sudah “ditakdirkan” untuk mencari kepuasan di ranah kesenian, dan oleh karena itu, para penyair seyogianya menjauh dari zona kesadaran politik. Agar lelaku kepenyairan tetap terjaga, tidak terkontaminasi efek kuasa politik yang sejak dari perkembangan yang paling purba telah dianggap ancaman laten.

Tapi, apalah guna sebait sajak yang hanya mampu menggambarkan setetes embun yang jatuh di atas sehelai daun, atau hujan bulan November yang mengingatkan ia pada serpihan-serpihan yang hilang. Mengawang-awang, tak membumi, sesekali bahkan utopia. Ada atau tak adanya bait-bait cengeng itu tidak akan berpengaruh pada fenomena kebimbangan massal lantaran imbauan-jika tidak bisa disebut “tekanan”-untuk menegaskan sebuah pilihan, di saat kita sedang mengalami krisis kepercayaan yang semakin banal. Jangankan pada orang yang belum dipilih, yang nyata-nyata sudah terpilih pun sukar dipercaya. Itu sebabnya ongkos kampanye melonjak tinggi. Sejatinya, bila ada trust, tentu ongkos politik tidak akan mahal sebagaimana kini.

Janji-janji pun diikrarkan, segala modus dan siasat dikerahkan, termasuk dengan membeli kepercayaan itu dengan harga tinggi. Segala macam retorika berhamburan. Sebagaimana penyair, para politisi pun membacakan “puisi” di hadapan khalayak, guna menyentuh perasaan, meraih simpati hingga akhirnya terpanggil untuk menjatuhkan pilihan.

Lalu, di mana para penyair semestinya tegak berdiri? Berpangku tangan sembari menonton dari puncak menara kepenyairannya? Atau turun gunung, lalu merancang semacam budaya tanding guna mengimbangi retorika politik yang kerap menyesatkan itu?

Inilah ketegangan yang disuarakan oleh sajak-sajak dalam antologi Demonstran Sexy (2008), karya Binhad Nurrohmat. Alih-alih takut terkontaminasi oleh efek kuasa politik, sajak-sajak Binhad justru sedapat-dapatnya menyekutukan kesadaran puitis dengan kesadaran politik. Meski dengan persekutuan dua sumbu kesadaran itu sajak-sajaknya menjadi sangat sederhana, cair, dan menyehari, misalnya: Dari pemilu ke pemilu/Undang-Undangnya selalu baru/kayak orang ganti baju/Dari pemilu ke pemilu/banyak kontestannya yang baru/Ada yang asli dan palsu.

Tidak ada yang asing, apalagi rumit, dalam sajak “Pemilu Modis” itu, hingga gampang dicerna siapa saja, termasuk kelompok anti-puisi sekali pun. Tapi, ekspektasi puitis tentu tidak sekadar mampu melakukan simplifikasi puisi-dari gelap menjadi terang, dari kabur menjadi terang, dari keruh menjadi jernih-lebih jauh, tentu tidak harus terjerumus pada hal-hal remeh dan tak berkedalaman, sebagaimana lelaku retorik para politisi yang hendak disanggahnya. Ada benarnya tinjauan pakar sosiologi politik, Yudi Latif, yang menulis epilog untuk antologi itu, bahwa relasi penyair dengan realitas politik sesungguhnya bukan tanpa persoalan. Bila kurang waspada, efek kuasa politik bisa lebih dominan daripada otoritas kepenyairan itu sendiri.

“Tak ada penulis yang kebal dari `jaring laba-laba` politik,” begitu kata Luisa Valenzuela, sastrawan Argentina, “Dunia bernapas politik, makan politik, berak politik.”

Tengoklah sajak “Sumpah Penyair” karya Binhad: Penyair Indonesia, berani hidup tanpa uang pensiun/Penyair Indonesia, tidak menjual harga diri puisinya/Penyair Indonesia, menjaga kerukunan rumah tangga/ Penyair Indonesia, tidak suka berdusta kepada rakyat/ Penyair Indonesia, pantang mencuri harta masyarakat/Penyair Indonesia, setia menjunjung martabat bangsa/ Penyair Indonesia, mendukung pemimpin yang bijak/ Penyair Indonesia, menebarkan cinta ke seluruh dunia.

Alih-alih dapat dipersepsi sebagai puisi, malah terdengar begitu memukau sebagai slogan. Bukankah ini bahasa politik yang telah menyaru ke dalam tubuh puisi? Dalam batas-batas tertentu, sajak ini lebih terasa sebagai kesadaran politik ketimbang kesadaran puitis itu sendiri. Inilah salah satu bukti perihal efek kuasa politik terhadap lelaku ujaran para penyair. Itu pula sebabnya, Mudji Sutrisno, dalam sebuah diskusi baru-baru ini, mengungkapkan bahwa sajak-sajak Binhad dalam buku itu berada di posisi yang tarik-ulur antara “puisi sejati” dan “puisi yang terlibat”. Bila ditimbang sebagai “puisi sejati” ia mendekonstruksi semua “syarat-rukun” yang mengabsahkan sebuah pencapaian estetika puisi. Tapi bila diposisikan sebagai “puisi yang terlibat” ia tidak menegaskan sebuah usungan ideologi sebagaimana “puisi-pusi terlibat” lazimnya.

Sebegitu gamblangnya muatan sajak-sajak itu, penyair Radhar Panca Dahana sampai-sampai dengan sumringah menantang; “Kalau hanya segitu, saya bisa menulis 30 puisi dalam sehari.” Lain lagi dengan Yudi Latif, sajak-sajak pendek seperti Tuhan, beri aku kekuasaan/Kekuasaan, beri aku uang (Munajat Pejabat), sepadan dengan gejala instan dari gaya hidup generasi SMS, yang sangat berpeluang untuk jatuh menjadi slogan dan pamflet. Di sini, lagi-lagi lelaku ujaran puitis tak berdaya menandingi kuatnya arus kuasa politik. “Sajak-sajak Binhad itu hendak memperlihatkan gairah estetisasi puisi atau justru terjebak pada estetisasi politik?” begitu Mudji Sutrisno mempertanyakan.

Namun, di sebalik semua tudingan perihal kegamblangan-bila tidak bisa disebut kedangkalan-itu, bagaimanapun juga, antologi Demonstran Sexy itu telah berjasa membumikan puisi, menjadi rumusan teks yang bisa dicerna siapa saja, puisi menjadi mampu memperkenalkan dirinya sendiri, tidak seperti puisi-puisi yang konon berselera tinggi, yang bahkan setelah diulas oleh sejumlah kritikus, tetap saja gelap, bahkan di mata para penyuka puisi sekali pun. Tengoklah pula sajak “Menjelang Pemilu”: Ayo dukung saya!/Ayo coblos saya!/Bersama kita bisa/gratiskan sekolah yang sudah roboh gedungnya/Bersama kita bisa/menangkapi semua koruptor lantas melepasnya/ Bersama kita bisa/mewujudkan negara kita paling miskin sedunia/Please, saudara-saudara!/Siapa berani pilih saya? Jitu. Tanpa basa-basi. Langsung ke pokok soal. Tajam.

Maka, hanya ada dua pilihan; puisi sejati, tapi rumit, mbulet, dan hanya berguna bagi kritikus dan segelintir penyuka puisi belaka, atau sajak-sajak gamblang dan sederhana ala Binhad-meski dianggap slogan atau pamflet-tapi sangat berguna bagi rakyat jelata? Tuan pilih yang mana?***

*) Cerpenis, bermukim di pinggiran Jakarta.

Memotret Singkat Perjalanan Sang Pengelana

(Catatan Kenangan Perjalanan)

Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/

Udara panas kota Lamongan membuat gerah, waktu itu tak ada alasan untuk tidak berjumpa dengannya. Saya hubungi lewat hand phone, memastikan keberadaannya. Saya baru pertama kali jumpa dengannya waktu dia berkunjung ke kota rantau saya untuk membincang bukunya Kitab Para Malaikat kira-kira tahun 2008-an.

Sungguh buku kumpulan puisi yang tak biasa bagiku, bukan saja aku yang berkata demikian. Sehabis acara tersebut, saya tunjukkan pada kawan. Lalu bertanya padaku “Apa ini puisi?” aku jawab “Ya, ini puisi, lihat saja tertulis antologi puisi pada caver depan.” Begitulah awal perjumpaanku dengan pengelana dari Kendal Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Saya yang baru saja memasuki dunia kata-kata (penulisan) khusunya puisi, ingin sekali berkunjung kerumahnya. Setelah saya pastikan ada dirumahnya. Motor saya pacu menuju kediamannya. Saya disambut hangat olehnya. Dan kita berbincang-bincang tentang kepenulisan, dia mengeluarkan buku-buku yang pernah di terbitkan stensilan, juga yang sudah di cetak dengan bagus. Saya terkesima dengan prosesnya. Kita berbicara kesana kemari, lalu dia masuk kedalam rumahnya. Rupanya mengambil buku yang isinya puisi di tulisnya dengan mesin ketik dan tebal sekali. Dia rekatkan dengan lem puisi-puisinya di buku tulis yang tebal sekali. Dalam hatiku ketika tulisan menggunakan mesin ketik tentunya sudah lama sekali.

Sehabis kita berbincang tentang buku-bukunya, lalu kita lanjutkan mengenai web yang di kelolanya yakni Sastra-Indonesia.com. Saya mengikuti perkembangan web ini juga blog-blognya sebagai pasukan jemari ujarnya. Sungguh kegigihan untuk berjuang mengenai kesusastraan. Aku selalu berdo’a untuknya agar kerjanya tak perna sia-sia dan berguna untuk Indonesia khusunya dunia sastra.

Tidak hanya sekali itu kami berjumpa, setiap pulang ke kampung halaman saya usahan untuk mengunjunginya. saya berharap ada motivasi-motivasi yang selalu disulutkan. Sebab saya masih sering terlena mendiami kemalasan untuk berusaha lebih baik. Dan dia selalu mendorong saya untuk lebih baik dan ulet untuk menulis khususnya puisi. Tak pernah aku dapat pelajaran yang berharga ini dari seorang yang benar-benar total di dunia kesussatraan, itu pandangan saya sebab saya belum tahu banyak tentang dunia sastra hanya orang-orang penulis satra di malang. Tempat saya kuliah dan bekerja.

Tak habis berpikir tanpa bantuan siapa-siapa dia mengelola web yang tampilan dan segalanya dia pesan pada temannya untuk di buatkan dan dia tinggal memposting tulisan-tulsannya juga tulisan-tulisan yang ia suntuki di halaman-halaman web koran, blog-blog punya penulis-penulis lainya atau buku-buku yang sudah lama. Ruang kerjanya adalah rumah dan tempat-tempat dimana dia singgah waktu itu.

Untuk kesekian kalinya, saya berkunjung kerumahnya. Saya temui di ruang kerja rumahnya. Yakni dalam toko kelontong di antara tumpukan-tumpukan barang jualannya dia membuat kolong yang bisa di tempati untuk tiduran dan menulis, sambil menjaga tokonya, kalau ada orang beli dia melayani.

Segalahnya daya dia berupaya untuk benar-benar masuk, berdiam dan bergerak dalam dunia kesusastraan. Tidak pernah mempertimbangkan untung dan rugi secara materi yang dia lakukan. Saya melihatnya adalah upaya-upaya membuat karyanya lebih baik dan terus baik. Bahan bakunya dalam menuangkan karya puisi dan karya tulisnya, dia membongkar-bongkar buku-buku lama yang isinya belum tentu sastra tetapi refrensi-refrensi lain yang menunjang baginya.

Begitulah kamera saya membidik sang pengelana Nurel Javissyarqi. Pengelana asal Kendal Kemlagi, desa yang jauh dari pusat kota Lamongan bahkan tranportasi umum jarang lewat. Tentu banyak hal juga yang tak saya ketahui. Tulisan ini saya buat, agar saya selalu terdorong akan kesemangatannya, ketotalannya, juga karya-karyanya banyak memberi pengetahuan bagi saya.

Malang-Lamongan, 2009

“Lirisme” Sajak Sunda

Djasepudin*
http://www.pikiran-rakyat.com/

DALAM khazanah sastra Sunda, sajak merupakan produk budaya paling bungsu. Bahkan, di awal kelahirannya sajak Sunda sempat menuai pro-kontra. Setelah melewati lebih dari lima dasawarsa kiwari, keberadaan sajak Sunda masih mendapat tempat di hati masyarakat.

Sastrawan Sunda munggaran yang menulis sajak adalah Kis Ws, nama lain dari Kiswa Wiriasasmita (1922-1995). Meski produk budaya anyar, sajak Sunda sejatinya masih berpijak pada akar tradisi karuhun. Tidak hanya bahasa, pengaruh nilai-nilai dangding atau pantun pun masih menjadi ilham para pengarang Sunda dalam menuangkan ekspresinya.

Sayudi (1932-2000), misalnya. Penyair alumnus Konservatori Karawitan jurusan Sunda ini, sajak-sajaknya memiliki ruh puisi lama semacam pantun, sisindiran, atau kakawihan. Kumpulan sajak Sunda yang pertama terbit pun buah pikirnya, Lalaki di Tegal Pati (1963). Sajak Sunda ti kamari tepi ka kiwari masih mengedepankan unsur musikal alias terpatri melalui dimensi bunyi, berasyik-masyuk menikmati indahnya purwakanti atau rima dan irama. Sebutlah wanita penyajak Etti R.S. Penyajak yang lahir di Ciamis, 31 Agustus 1958 ini, telah menghasilkan empat kumpulan sajak, yaitu Jamparing (1984), Gondéwa (1987), Maung Bayangan (1994), dan Lagu Hujan Silantang (2003). Maung Bayangan beroleh Hadiah Sastera Rancagé 1995.

Hanya Godi Suwarna yang agak minculak. Dengan dalih menolak tradisi dan bertolak dari tradisi Godi melabrak pakem sajak yang sebelumnya dibiarkan mandek. Keliaran imaji Godi paling tidak dapat dilihat dalam kumpulan sajak Blues Kéré Lauk (1992) dan Dongéng Si Ujang (1998). Cara ucap Godi dalam Blues Kéré Lauk tidak lagi merengek-rengek menangis. Sunda yang diungkap Godi sesuai dengan zamannya, yakni generasi “abad metal”. Sangat beralasan jika kumpulan sajak tersebut beroleh Hadiah Sastera Rancagé 1993.

Beberapa sastrawan yang telah menghasilkan buku sajak Sunda adalah Ajip Rosidi, Janté Arkidam jeung Salikur Sajak Sunda Lianna (1967), Surachman R.M., Surat Kayas (1968) dan Basisir Langit (1976), Yus Rusyana, Nu Mahal ti Batan Inten (1980) dan Buana nu Pinuh ku Méga (1992), Usep Romli H.M., Sabelas Taun (1979), Wahyu Wibisana ,Urang Naon di Cinaon (1992), Dédy Windyagiri, Di Lembur Bulan Dikubur (1992), Rachmat M. Sas. Karana, Ombak Laut Kidul (1967), Tepung di Bandung (1972), serta Surat Panjang ti Cijulang (1983), Acép Zamzam Noor, Dayeuh Matapoé (1993), Yous Hamdan, Kalakay Budah (1994), Edddy D. Iskandar, Kasidah Langit (1992), serta Hadi A.K.S., Ombak jeung Halimun (2002).

Adapun antologi sajak bersama di antaranya Saratus Sajak Sunda (1992), Puisi Sunda Indonesia Emas (1995), Nyurup Lambak (1995) yang diterbitkan Paguyuban Mahasiswa Sastra Sunda Unpad, serta Néangan Bulan (2006) diterbitkan BPTB Jabar. Jumlah kumpulan sajak Sunda yang relatif banyak itu akan lebih bermakna bila diberdayakan dengan penuh kesadaran. Salah satu caranya dengan memusikalisasi sajak Sunda, seperti yang diretas Mang Koko (Koko Koswara). Mang Koko banyak menggubah sajak-sajak karya Wahyu Wibisana, Dedy Windyagiri, Winarya Artadinata, dan R. Sukendar K.

Jejak Mang Koko diikuti musisi Ferry Curtis. Sajak yang digarap adalah Langit Ceudeum (Sayudi), Tawis Soca (Etti R.S.), Saré, Priangan, dan Pananjung (Rachmat M. Sas Karana), serta Cikaracak (Godi Suwarna).

Sementara itu, Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PP-SS) yang digawangi Dian Hendrayana dkk. memusikalisasi sajak Sunda dalam album Lalaki Langit (2008). Dalam album itu kita bisa menikmati dan menghayati musikalisai sajak Tresnaning Tresna (Godi Suwarna), Hiji Peuting (Etti R.S.), Pangbalikan (Wahyu Wibisana), Leuwi (Abdullah Mustapa), Ilangna Mustika (Kis W.S.), Onih (Sayudi), Priangan (Racmat M. Sas Karana), Harepan (Taufik Fatorohman), Lalaki Langit (Juniarso Ridwan), Hujan di Buruan (Hadi A.K.S.), dan Cirebon (Eddy D. Iskandar). Disamping menyampaikan pesan moral, upaya musikalisasi sajak Sunda pun merupakan salah satu cara untuk mengenalkan kembali kata-kata Sunda yang tergolong buhun alias arkhaik.

*) Alumnus Program Studi Sastra Sunda Unpad)***

Sastra Tradisi Sekadar Tempelan Sastra Modern?

Hazwan Iskandar Jaya
http://www.suarakarya-online.com/

Masih patutkah membenturkan dua arus kutub sastra sastra tradisi (lisan/ lokal) dengan sastra modern KRG kontemporer KRG, ketika ruang kreatif makin terbuka? Mengapa pula sastra tradisi (lisan/lokal) makin tak bergeming dari keterpakuannya (baca: stagnan), ketika sastra modern yang melaju kencang?

Menyuguhkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu tidaklah gampang. Namun paling tidak, Jung Fondation dan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung mendiskusikannya dalam sebuah forum Diskusi Ragam Sastra Lampung, di Chriza Art Gallery Bandar Lampung, Nopember silam.

Sebuah upaya memberi “pencerahan” kepada 50 peserta dari berbagai siswa SMA/SMK se Bandar Lampung. Dengan harapan peserta dapat mengenal lebih dekat apa dan bagaimana sastra tradisi yang telah lama berkembang di Lampung, dan bagaimana pula proses perkembangan kreativitas perjalanan sastra modern di Lampung.

Maka tak heran bila para sastrawan Lampung dalam dua arus kutub sastra dipertemukan. Ada Havisi Hasan, Azhari Kadir dan Suntan Purnama mewakili kutub sastra tradisi (lisan/lokal) Lampung, sementara Isbedy Stiawan ZS (Paus Sastra Lampung), Oyos Saroso HN (Penyair/Cerpenis) dan AM Zulqarnain (Penyair Lampung) merupakan keterwakilan kutub sastra Indonesia modern.

Pertemuan Dua Arus

Dalam diskusi selama dua hari tersebut, nampak kedua arus sastra itu sengaja hendak dipersandingkan. Christian Heru Cahyo Saputro, Direktur Eksekutif Jung Fondation menegaskan bahwa tradisi sastra lisan dan sastra Indonesia modern (kontemporer) sebagai hasil kreatif para sastrawan merupakan dua kekuatan karya sastra yang saling melengkapi. Kerapkali, muatan lokal mewarnai karya sastra Indonesia modern, sehingga nilai-nilai tradisi lokal cukup memberi unsur kematangan sebuah karya sastra.

Toh, demikian, nilai-nilai lokal yang diusung dalam bentuk sastra tradisi lisan agaknya kurang memperoleh tempat yang layak dalam khazanah kesusastraan di Lampung.

Menurut Havisi Hasan, tidak saja terkendala oleh minat yang kurang dari generasi muda Lampung, akan tetapi juga terkendala oleh penguasaan bahasa. Bayangkan saja! Diantara 50-an peserta yang mengikuti diskusi Ragam Sastra Lampung itu saja, hanya 1 peserta yang “mengaku” memang benar-benar menguasai bahasa Daerah Lampung. Nyaris serupa dengan kendala yang dihadapi di beberapa daerah lain.

Bagaimana mungkin dapat memahami isi dan ruh sastra tradisi lisan Lampung yang sarat dengan makna, jenis dan bentuk yang beragam, jika tak ada penguasaan bahasa. Bagaimana mampu memahami ragam sastra lisan Lampung, seperti dari Pubian Lampung Tengah dan Selatan yang terdapat jenis sastra tradisi lisan yang disebut dengan Pisaan, Pepancokh, Dadi, Babakh Bunyi Sukat dan Pantun Canggot misalnya.

Belum lagi ada jenis sastra Reringget dan Bebandung dari Marga Abung dan Manggala dan masih banyak lagi. Semua mempunyai kekhasan dan aroma adat istiadat yang kental. Menurut data Havisi Hasan, pakar budaya dan pengamat seni tradisi Lampung, terdapat kurang lebih 36 jenis sastra tradisi di Lampung.

Lantas bagaimana jadinya, bila sang apresian dan sastrawan tak memahami atas penguasaan gramatika bahasa daerah itu sendiri? Kendala penguasaan bahasa daerah, agaknya turut memberi pengaruh yang besar pada para sastrawan dalam menentukan pilihan berkarya.

Sebagaimana dikatakan Isbedy Stiawan ZS, para sastrawan Lampung lebih setia menekuni pilihan sastra modern kontemporer sebagai pilihan dalam berkreasi dan berkarya. Apalagi, mereka adalah secara “biologis” memang bukan berangkat dari suku asli Lampung. Tentu agak sulit untuk mengembangkan sastra tradisi lisan yang pernah ada.

Meski tak perlu dipertentangkan, dua arus kutub sastra ini memang saling komplementer. Pengusungan nilai-nilai lokal ini bisa kita tandai dengan adanya karya-karya sastra modern yang kerap bersentuhan dengan nilai tradisi setempat. Sebut saja karya Isbedy Stiawan ZS yang berjudul “Tiyuh”, yang diterjemahkan menjadi “Village” dalam sebuah antologi Asia.

Oleh karena itu, sastra tradisi lisan yang memang khas bermuatan karakteristik tradisionalnya, memberi sumbangan penting bagi pengembangan local genius dalam sastra modern.

Meski jika diamati lebih jujur, maka muatan nilai-nilai lokal kadang hanya dijadikan sekadar “tempelan” pada karya sastra modern. Sehingga, tidak tuntas ditampilkan secara utuh, sebagaimana karya-karya tradisi lisan yang telah lama berkembang. Meski hanya sebagai tempelan, pun sesungguhnya sudah cukup untuk memberi warna tersendiri.

Dengan demikian, perlu jangan tengah. Perlu goodwill semua pihak untuk mengembangkan dua arus kutub sastra yang akan terus menggeliat. Sebagaimana yang dikerjakan oleh Jung Fondation dan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung. Barangkali perlu segera dimulai! ***

*)Sastrawan Yogyakarta .

Fenomena Penyair Facebook Indonesia

Kurniawan Junaedhie
http://www.suarakarya-online.com/

Akhir tahun lalu, saya menjadi kurator buku antologi berjudul Merah Yang Meremah. Buku yang laris manis dijual Facebook itu memuat hampir 100 puisi yang ditulis oleh 10 penyair perempuan yang biasa menulis di situs perkawanan yang sedang ngetrend itu. Kesepuluh penyair itu adalah Dewi Maharani, Faradina Izdhihary, Helga Worotitjan, Kwek Li Na, Nona Muchtar, Pratiwi Seyaningrum, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K, dan, Weni Suryandari.

Saya tergugah untuk membukukan puisi mereka, karena beberapa alasan. Pertama, nama mereka pada umumnya (kecuali satu dua nama) belum pernah saya dengar dalam perbicangan sastra, karena memang belum pernah dipublikasikan di media mainstream berupa koran atau majalah berskala nasional. Kedua, motivasi mereka menulis di Facebook, tampaknya murni ‘hanya’ didorong keinginan mengekspresikan dan beraktualisasi diri, tidak sebagaimana gerakan Cybersastra pada tahun 2005 yang ditokohi penyair Medy Loekito dkk; yang secara terang-terangan menjadikan Internet sebagai media untuk ‘melawan’ dominasi dan hegemoni sastra koran. Alasan lain, puisi-puisi yang mereka tulis menarik perhatian saya dari segi tema, sementara dalam hal ‘rasa bahasa’, pada umumnya mereka sudah dikaruniai ‘bakat alam’ dalam menulis syair. Munculnya fenomena dunia maya sebagai media ekspresi sastra di Indonesia memang bukan hal baru. Namun demikian, menurut saya ada karakteristik khas yang membedakan penyair Facebook dengan penyair di dunia maya sebelumnya yang ‘masih’ menggunakan situs web, dan paling banter situs blog (blogger, multiply, worldpress dll).

Facebook, seperti halnya situs blog adalah situs yang termasuk dalam generasi Web 2.0. Situs generasi ini bersifat interaktif, sedang situs-situs web generasi Web 1.00 bersifat statis atau tidak interaktif. Pada web generasi lama, penyair sebagai users hanya bebas menayangkan tulisan, namun pembaca (readers) tidak bisa memberikan komentarnya secara langsung atau at moment. Komunitas tidak terbentuk dengan sendirinya. Penyair harus mempromosikan atau memperkenalkan dulu nama domain situs webnya kepada publik agar situswebnya dikunjungi orang.

Dengan web generasi baru yang dimulai dengan munculnya situs-situs blog seperti blogger, multiply, worldpress dll, pengguna atau penyair dengan mudah bisa nge-blog kapan saja di mana saja sekaligus bisa menjadi penerbit dengan mempublikasikan sendiri ke seluruh dunia, tanpa harus melewati seleksi dari lembaga yang bernama redaksi.

Itulah yang kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai jurnalisme warga (citizen journalism) yang dalam konteks ini kita sebut sebagai ‘kesusastraan warga’. Seperti halnya jurnalisme warga di mana masyarakat punya kebebasan berbicara, maka ‘kesusastraan warga’ pun membuat para penyair bebas mengekspresikan diri di dunia maya. Mereka bisa melepaskan diri dari apa yang disebut ‘keangkuhan media massa mainstream’ dan tak perlu mengikuti selera redaksi atau trend yang terbentuk karenanya.

Keunggulan generasi Web 2.00 adalah, kita bisa menggunakan situs ini tanpa harus mahir dalam bidang HTML. Tapi keunggulan Facebook yang dikatagorikan sebagai situs jejaring sosial (seperti halnya Friendster) lebih hebat lagi. Selama kita punya alamat email, maka kita sudah bisa memiliki akun yang memungkinkan kita nge-blog atau memposting tulisan kita ke Facebook, kapan saja di mana saja secara instant.

Yang hebat, teman satu minat akan muncul dengan sendirinya sebagai sebuah jaringan (networking) tanpa perlu kita mengiklankan diri atau memberitahu alamat situs kita pada orang. Networking itu sendiri pada dasarnya adalah komunitas, atau khalayak yang memiliki minat yang sama. Keunggulan lain, penyair bisa secara langsung mengirim puisinya kepada jaringan pertemanannya (tag atau tagging) dan segera mendapat komentar. Keuntungan lain dari sisi penyair, situs jejaring pertemanan ini tidak memberi peluang untuk melakukan tinjauan secara mendalam. Facebook juga tampaknya memang dirancang sebagai media pertemanan sehingga agak aneh bila ada debat kusir di sana. Lihat saja. Kolom komentar Facebook, misalnya, ‘hanya’ menampung sekitar 200 karakter.

Tingginya interaksi yang nyaris tanpa jeda dalam hitungan detik dan menit, tanpa disadari ikut ‘mendorong’ agar orang memberi komentar bersifat selayang pandang, tidak perlu in depth. Dan lagi-lagi, karena Facebook merupakan situs jejaring sosial, maka semua komentar itu selalu dibalut dengan semangat persahabatan yang kental. Bahkan pembaca yang malas berkomentar, ‘hanya bisa memilih gambar jempol yang berarti ‘tanda suka’, karena media ini tidak menyediakan pilihan simbol ‘tanda tidak suka’. Namun di sinilah nilai plus-nya, para penyair bisa berinteraksi dengan para sejawatnya secara intens di Facebook sekaligus berkreasi tanpa rendah diri.

Di dunia Facebook, siapa saja bisa jadi penyair, bisa jadi penerbit, sekaligus bisa jadi kritikus atau reviewer tanpa perlu risi. Maka tak perlu heran, di Facebook, setiap hari puisi terus ditulis dan penyair-penyair termasuk kritikus baru pun bermunculan. Bahkan di media demokratis itu, seakan-akan dikesankan, puisi dan menjadi penyair bukan lagi menjadi hal yang rumit dan sakral.

Penyair Iwan Soekrie secara spekulatif pernah menaksir ada ribuan penyair berbahasa Indonesia berkarya di dunia maya dewasa ini; dan separuh diantaranya bergumul di Facebook. Jika Soekrie benar, maka ini jelas hal yang pantas untuk meyakinkan kita bahwa Indonesia memang sebuah ‘negeri produsen syair dan penulis syair terbesar’ di dunia. Memang bukan mustahil, dengan semaraknya situs-situs jejaring sosial sejenis, akan terus lahir sebuah generasi penyair baru Indonesia dengan karakteristik yang baru pula. Ke-10 penyair perempuan yang tergabung dalam buku Merah Yang Meremah itu buktinya.***

*) Penulis adalah penyair dan kurator buku puisi Merah Yang Meremah, antologi 10 Penyair Perempuan di Facebook terbitan Bisnis2030, Jakarta.

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati