Judul Buku : Sahibul Hikayat al Hayat
Pengarang : KRT. Suryanto Sastroatmodjo
Pengantar : Nurel Javissyarqi
Jenis Buku : Kumpulan Prosa
Penerbit : PUstaka puJAngga
Tebal Buku : xxiv + 144 hlm; 14 x 20 cm
Peresensi : Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/
Seberapa jauh perjalanan hidup manusia? Seberapa lama ia hidup untuk sesamanya? Seberapa kuat ia dikenang oleh generasinya? Pertanyaan-pertanyaan itu yang mesti direnungkan jauh lebih dalam bagi setiap orang. Fenomena yang terjadi dalam psikologi manusia, hanya dalam beberapa kurun waktu jenjang keturunan, ia masih diingat oleh generasi selanjunya. Yang jelas, seorang anak pasti masih mengingat dan mengenal orang tuanya. Ia juga pasti masih mengenal dan mengingat kakek-neneknya. Lebih jauh lagi, ia mungkin masih mengingat buyutnya. Namun yang terakhir ini intensitasnya cukup rendah. Dalam bahasa Jawa, seseorang pasti sangat sulit mengenal maupun mengingat cangga, wareng, udeg-udeg, siwur atau jenjang keturunan ke bawah lainnya.
Fenomena di atas menggambarkan bahwa betapa sulitnya perjalanan hidup seorang manusia untuk bisa tetap hidup dan abadi dalam jiwa-hati sesamanya. Ia dalam suatu masa pasti lekang terhapus oleh waktu. Dari sisi keturunun saja hanya dalam jangka waktu yang relatif singkat, apalagi dari sisi manusia secara keseluruhan. Hal itu secara mendasar bertumpu pada kenangan hidup yang ditorehkan. Tentunya kenangan itu memiliki arti yang begitu dalam bagi sesamanya. Adakalanya hal tersebut diabadikan melalui cerita-cerita heroik dan menyentuh secara turun-temurun maupun dari lisan ke lisan. Adakalanya juga melalui barang peninggalan yang diangap sebagai barang berharga maupun pusaka.
Adanya kisah, barang berhara, maupun pusaka merupakan suatu media dalam membangkitkan kembali kenangan-kenangan yang sempat terukir oleh pribadi seseorang. Hal itu sebagai bentuk perjalanan sejarah hidup seorang manusia. Dapat dikatakan, jika seseorang banyak meninggalkan sesuatu yang berharga, benda pusaka, maupun kisah-kisah yang heroik dan menyentuh kepada sesamanya, dialah yang kelak namanya bakal abadi dan rekat di jiwa-hati sesamanya. Dengan satu catatan, generasi berikutnya berkenan merumat sesuatu tersebut dengan seksama.
Sahibul Hikayat al Hayat, merupakan cerminan diri dari seorang KRT Suryanto Sastroatmodjo. Karya ini disusun sebagai bentuk pengabadian namanya dalam jiwa-hati sesamanya. Karya ini sarat akan makna yang mampu memberikan arti hidup bagi pembacanya. Selain itu, karya ini merupakan suatu rangkaian perjalanan hidup yang sempat tersapa oleh KRT Suryanto Sastroatmodjo (Mas Sur) bersama sahabat-sahabatnya. Hal itulah yang kemudian mengendap dalam batin lantas menjadi kristal-kristal kenangan yang begitu menyentuh dan patut untuk dituangkan sebagai bentuk sejarah kecil-kecilan bahkan jika tuhan berkenan, ini mampu menjadi sejarah universal. Kenagan-kenangan itu akan melampaui zamannya.
Ada nan taklebur dikubur umur
Ada nan takgugur disapur uzur
Ada nan terngiang selarut zaman
Sedayung Kasih di arus kenangan (Sahibul Hikayat al Hayat: xv)
Ungkapan tersebut pada dasarnya tertuang untuk sahabat Mas Sur, yaitu Lorenzo. Namun ini patut untuk kita renungkan secara bersama akan kedalamannya. Beliau mengisyarahkan bahwa yang akan mengabadi dan menjadi kenangan dalam kehidupan ini adalah Kasih. Konotasi maknanya cukup luas. Kasih dapat merujuk pada budi baik, kekasih, maupun tuhan. Ketiga hal inilah yang menjadi poros kenangan yang abadi dalam jiwa-hati kemanusian. Kalau kita tidak bisa menjadi idola atau kekasih kebanyakan orang, maka seyogyanya kita menorehkan budi baik kepadanya. Karena dengan melakukan hal tersebut, secara lambat-laun dalam jiwa-hati seseorang pastilah tumbuh sepercik cahaya kasih yang pada akhirnya menjadikannya kekasih yang akan dikenang terus dalam hidup ini.
Sebagai usaha pengabadian nama dalam jiwa-hati sesama, selain untuk mengenang sahabat-sahabatnya, karya ini tergurat sebagai budi baik seorang Mas Sur. Sebab di dalam karya ini menyimpan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang patut diteladani bagi kita semua. Ini merupakan suatu persembahan besar oleh seorang Mas Sur menjelang akhir hayatnya yang kelak diharapkan mampu menjadikan namanya tetap abadi di jiwa-hati kita semua.
Karya ini sungguh luar biasa intensitas kedalamannya. Meskipun demikian, kadang-kadang pembaca secara umum akan sedikit disibukkan dengan ungkapan bahasa yang mampu mengganggu proses penyelaman isinya. Hal itu disebabkan oleh adanya penyematan bahasa Jawa di dalamnya. Bahkan tidak tanggung-tanggung, konstruksi bahasa Jawa yang disematkan adalah dari jenis kromo inggil yang notabenenya hanya dapat dipahami oleh mereka yang benar-benar dekat dan akarab dengan bahasa tersebut. Namun itu tidak mendominasi karya ini. Ungkapan tersebut kadarnya relatif kecil. Dan adanya penyematan ungkapan tersebut terbilang sangat wajar, sebab Mas Sur adalah seorang pujangga keraton Yogyakarta yang secara penuh bergulat dalam kesusastraan Jawa. Jadi tidak mustahil, unsur-unsur Jawa mewarnai dalam setiap karyanya.
Sahibul Hikayat al Hayat ini merupakan karya yang disusun melalui pundi-pundi kasih sayang. Di dalamnya mengisyarahkan suatu proses memanusiakan manusia. Sanjungan, penghargaan, maupun pernghormatan terhadap eksistensi manusia begitu kental terlukis di dalamnya. Seorang manusia benar-benar ditempatkan pada kemuliaannya. Ia diposisikan pada derajat yang sesumgguhnya; sebagai makhluk yang mulia. Tutur bahasa yang diungkapkannya begitu sejuk dan damai. Mengalir bagaikan ricik hening sungai Nil. Memberi pencerahan dan kehidupan batin bagi mereka yang berada di sisinya. Sungguh, karya ini tidak layak untuk disisihkan. Karya ini tidak patut untuk ditinggalkan. Terutama bagi jiwa-jiwa yang merindu kedamaian. Inilah pusaka yang mampu merombak peradaban batin pembacanya. Menjadi saksi, sejarah perjalanan anak manusia. Selanjutnya, selamat membaca. Semoga berolehkan guna.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 25 Maret 2010
Jumat, 19 Maret 2010
INTRIK PENYAIR DAN KARYANYA
(Ini hasil perasaan saja, andai saya seorang penyair. Dan jika benar istilah perasaan itu, awal daripada ilmu pengetahuan).
Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/
Apa yang kalian impikan pada tinggi kepenyairan? (Goethe).
Puisi ialah masa-masa mati. Terhenti atas kekakuan dirinya yang telah terselubung kelenturan. Ia tidak bisa bergerak terlampau jauh, ketika “kata-kata” sudah mewakili kehadirannya. Maka penciptaan puisi, sejenis latihan bunuh diri berkali-kali.
Siapa yang mati di sana? Penciptanya, dipermalukan kejujurannya. Meski berselimutkan kerahasiaan, tetaplah ada keinginan untuk diketahui, difahami. Mungkin ini sisi lain kebinalan puisi sebelum mati, sedurung di kubur dalam keranda kata-kata.
Saya tidak hendak menghakimi. Ini realitas keindahan terbatas di muka bumi, sebuah musim bunga terhilangkan lewat gugurnya dedaunan atas musim berubah. Matahari yang kita nikmati, menciptakan hayalan, yang keinginannya terus bertambah dari dorongan naluri, dari kedalaman maksud jiwa.
Tapi siapa yang sanggup memetik kecantikan langitan? Mereguk kemolekan dasar imaji, demi ditampilkan ke muka kesadaran? Apalagi melewati nalar-nalar umum puisi? Hanya terbatas orang dan menjadi bunga bagkai, jikalau konstruksi yang mengitari teknik tidak sampai membuai, jika benar-benar ilham tampak murni.
Maka keindahan, mau tidak mau kudu rela terpenggal di tengah jalan. Jika tidak ingin langut tanpa tragedi. Ada saatnya kayungyung menemui juntrung, masa-masa persetubuhan jiwa ke dalam kebakuaan tertentu. Yang ada sisi-sisi menggorok, kalau berharap lebih nikmat, terus berkurang dari keinginan bertambah. Sebab kesadaran dalam puisi sangatlah terbatas, taklah mungkin melalui pandang sambillalu.
Puisi tidak jauh lahirnya mitos, demi kemunculan aliran filsafat. Dan kejiwaan para penemu, menyuplai faham-faham psikologi. Di sini, puisi tentu berbeda jauh pengertian dari ayat-ayat suci yang dibawa malaikat Jibril kepada para nabi dari Yang Asih. Namun ada saja yang menyebut semacam wahyu, padahal bisa pula dari beberapa angan terdahulu, yang belum sampai ke puncak keyakinan.
Atau puisi terlahir dari sela-sela kenangan silam dan kini menemui muara. Jika telah tertancap sebilah pedang pena. Garis-garis pada kertas bermuatan renungan. Yang tampak di permukaan, kadang berserak tanpa harmoni yang jelas. Ini sama pengertiannya tidak memahami situasi diri, di sekitar nasib yang terus melayarkan sampan usia kemenjadian.
Keindahan puncak, di mana keuniversalan dunia mengakui. Mereka terperangah kecantikan pucuk Himalaya, ketampanan Candi Borobudur, atau kesejukan lembah bunga. Keindahan itu masuk dalam bayang-bayang ingatan atau terekam. Lalu kata-kata penceritaannya menjadi rumusan, sebagai logika daripada paras keelokan tersebut.
Demikian ngeri rasa tercengang, pun peperangan serta bencana alam. Membekas dalam diri sebagai timbangan menilai langgam-langgam hayat, dari getaran rasa yang termiliki. Oleh sebab itu, para penyair merawat perasaannya. Guna sampai pada getaran puncak daripada keindahan.
Ada penyair yang mengumpulkan puing-puing nama benda. Ada pula yang melukis deretan peristiwa lama, atau jangkauan hayal ke muka. Pun bunyi-bunyian alam, deburan ombak, jeritan, tangis, suara serangga. Kesatuan itu terkumpul, dan masuk terekam dalam ingatan. Para insan menimbang suara-suara itu dengan rasa, kata-kata dengan rasa, hitungan dengan perasaan. Sebelum dunia logika menawarkan dirinya, sebagai jembatan utama suatu karya.
Penilaian itu, takdir yang terus mengikuti jaman, bersama kerepotannya. Juga suasana kekosongan, termasuk jalan menuju penilaian lain. Seperangkat kebertemuan menjelma takdir lain atas pandangan tertentu, yang merasuk bergetar pada jiwa-jiwa penyaksi.
Puisi, sering luput dari tangkapan jika mengambilnya tidak dengan kesamaan. Peneriman, persetujuan, pun penolakan, mampu memberi jawaban. Tentunya atas ketepatan masa yang dituliskan takdir pertemuan, seperti kalimat “Manusia berhendak, tuhan yang menentukan.” Begitulah yang terjadi atas terkumpulnya kata-kata.
Berangkat dari endapan masa-masa yang tidak terkira atas terjadinya. Meski hal lain sangat mendukung, sebagaimana rindu, cemburu atau kasih damai pada lubuk sanubari. Ada saatnya ketergebuhan itu berhenti oleh lelah yang belum waktunya tiba. Atas jegalan masa-masa yang tidak mendukung kehadirannya sebagai hasil kerja. Dan keikhlasan melahirkan kembali, serupa gelombang laut ke pantai. Penerimaan karang atas buih busa yang menggenangkan masa menenggelamkan kesaksian. Juga serasa surut dan susut penilaian tubuh alamiah, saat-saat lelah istirah.
Puisi ialah himpunan kata-kata yang sangat berbeda jauh kalau menilik sisi tercetuskan gagasan. Jikalau ditimbang melewati masa pelaksanaannya. Ada endapan lama, mimpi lampau yang mengunduh tepat-waktu, serupa harapan yang tersampaikan. Kangen terjawab kelahiran tanpa operasi, atau rindu bertemu realitas cakrawala. Langit biru, awan menyisir, jalan-jalan dilalui, sungguh menapak.
Adapun penggarapan puisi yang berolah lama, sebab ketat daya saringnya. Meski tidak bisa dihakimi, tercetus lama belum tentu baik, atau sebaliknya. Sebab kerja yang sungguh, belum tentu diterima dengan kesungguhan. Terkadang keisengan di mata jiwa lain, malah menimbulkan takdir sesungguhnya. Inilah salahsatu problem, yang senantiasa mengintrik jiwa.
Semua perkumpulan ragu dan sungguh, terjawab sudah kesetiaan pelaku. Merawat cita-cita, sejak kanak sampai tidur tidak enak, tidak tersangka kantuk memberat. Ketenangan terjaga, kelebihan kehati-hatian, diet mencerna timbangan, bisa memberi solusi, tidak terjungkal jika ada saat-saat tidak nyaman. Duduk menyendiri atau kebersamaan ganjil. Dan keakraban mendesak maju, menghadirkan waktu ketaktepatan menjadi kejelasan. Lantas isyarat segera terungkap, atas kerja serius menyungguhi ruh.
Ben Okri pernah berkata; “Dunia tempat si penyair hidup tidak harus selalu puitis. Di tangannya, dunia ini sungguh menantang. Hanya dengan semangat penciptaan dan pencarianlah, dunia yang keras terubah menjadi nyanyian dan metafor baru.” Yang nantinya akan menghasilkan apa yang dikatakan, Paul Eluerd; “Seorang penyair adalah orang yang mampu mengilhami lebih banyak daripada orang yang diilhaminya.”
Maka sepatutnya sering mendengungkan rasa bersyukur, menghirup denyutan semesta, ingatan serta masa lalu, dalam genggaman kuasa-Nya. Fikiran bisa mempatenkan prodak, namun hatilah yang menentukan langgeng atau lepas sasaran. Olehnya, seorang penyair dituntut mencintai hal-hal yang tidak mengenak. Jikalau berharap perolehan lebih, sebab bukan di sekitar saja yang berguna.
Ternyata, yang selama ini tidak terkirakan, esok meminta jatah direnungkan dan lebih. Ini dinamakan jalan-jalan kepastian yang tidak terpetik jauh dibenak. Suatu rana yang dikembangkan kalbu-kalbu pencipta situasi di dalam kondisi kejiwaannya. Di tempat lain, Oktavio Paz berujar; “Pengaruh tersebut juga merupakan sebuah penciptaan, bukannya imitasi, melainkan okulasi yang menghasilkan sebuah tanaman baru, lebih kuat dan majemuk dibanding induk aslinya.”
Tetapi bukan berarti saya menganjurkan memejamkan mata, dalam menentukan jalan-jalan itu akan sampai atau mentok pada dataran ketakmampuan. Melewati jalan kedua bisa merasakan, memejamkan mata, dan memandang realitas berkesungguhan kerja. Dengan keduanya, malam dan siang, senja dan fajar selalu mengembang dalam jiwa. Kita rawat kestabilan kondisi, hawa saat-saat datangnya sembuh. Tidak berlebih atau sehat yang melenakan unsur-unsur lain.
Tao Teh Ching pernah berucap; “Karena tidak memiliki kehendak pribadi, maka ia bisa menyempurnakan pribadinya.” Namun bukan berarti lantas takut terjebak kedirian, lalu melemparkan kalimat puisi seperti melesatkan panah tanpa sasaran. Kondisilah yang mengharuskan Arjuna maju ke medan tempur. Dari kumpulan masa keharusan, bukan menunggu diterjemahkan sebagai situasi.
Setelah membaca perjalanan, terketahui bagaimana sampai di sini atau belum, kita tahu jawabannya. Itulah keseimbangan pandang yang selalu menjaga diri, agar tidak dalam kegilaan atau konstruksi yang merecoki kefahaman lembut puisi. Maka, merawat kasih sayang berimbang, bukanlah menyulitkan, jika melatih keinginan serta keadaan diri. Kesulitannya terasa, jika memasuki rayuan di jalan-jalan lena, atau keterlaluan culas memandang sebelah mata. Namun tentunya menyadari, kanan dan kiri bukanlah jalan sesungguhnya, tetapi pinggiran yang bisa mempelesetkan ke jurang.
Ketika terjatuh, sulit memulai kembali. Maka rawatlah kesetiaan, agar bertemu keseimbangan tanpa cemburu berlebih. Dan kepercayaan atau pun perubahan, atas genggaman-Nya, penilaian-penilaian terus berputar pada poros-Nya. Ia penggenggam ingatan manusia, pencuri harta kelupaan, atas keterbatasan kefahaman menerka, di dalam menyinaui hayat.
Rasa bersyukur menghantarkan kepada pembaca, bagi tercinta merindu temuan. Pun kuasa pemahaman ada pada pembaca. Runtut atau bejatnya kalimat atas konstruksi sulaman, kemenjadian yang jadi-jadian, pun yang kelewat serius. Tetaplah yang memenangkan permainan, pemahaman membaca dinding-dinding kata dari tampakan tubuh puisi.
Apalagi susunan yang dimasukkan perlambang, perlu digali lebih, bercangkul berbeda dengan kebaikan pemahaman. Tidak luput dari polarisasi yang dibangun penulis, atau pembaca perlu mengundang nalar penulis, demi diperbandingkan sejauh mana kerangka yang terbangun itu atas realitas sejarahnya.
Saya tidak banyak menerangkan makna yang terkandung dalam bidang kalimat. Dengan itu, kefahaman bisa meliar, memperoleh dari sekadar penggalan pengertian. Apa yang terhidang bukanlah rambu-rambu. Dari pembacalah aturan dimulai, sedang yang tertawarkan, sekadar cerminan kemungkinan lain. Andai ada kesamaan yang muncul, tentu kegelisahannya serupa meresapi keberadaan hayat. Menjadi pejalan kaki sunyi bukan membaca kalimat, tetapi meresapinya tanpa suara. Yang masuk ke telinga bathin, unsur lain yang terterka, semisal hendak mempersunting nyanyian bathin sendiri.
Ruang berbicara kepada saya dan waktu menyediakan nafas-nafas kata dalam setiap perjamuan. Saya tidak hendak menyapa panjang lebar. Kita bisa dimana tempat dengan keseiramaan, jika menjangkau penerimaan sebagai getaran rasa. Dan rindu pertemuan sinyal itu, kefahaman yang runtut di kuncup setia, cungkup keabadian atau nilai universal jiwa-jiwa. Harapannya, apa yang terhaturkan dapat menembusi pemahaman, meski tidak dalam satu lingkaran meja. Walau kadar penciumannya berbeda, pun kecenderungan lidah tidak serupa. Namun masih ada keyakinan, kesamaan itu tentunya ada, seperti iman akan hari depan yang lebih gemilang.
Di saat-saat memahami, terketahui sisi-sisi kosong segera terisi. Lembar-lembar ketebalan lelapisan pengalaman, bukan dari membaca saja, melewati ingatan kenangan, perjuangan menempuh hayat bertambah makna. Pandangan bukanlah semata kudu digurui, sebelum kepada maksudnya. Atau mengandaikan gugusan pengertian akan sampai kepadanya, kostruksi itu seluruhnya milik pembaca.
Bisa dibilang, ini sekadar pemancing jawab bagi pendapat. Sebab masing-masing memiliki, meski orang lain seolah mengerti lebih. Kecerdasan pencipta, tidak berarti mengerti psikologi pembaca secara keseluruhan, tetapi sekadar pengantar ada sisi-sisi kesamaan yang kudu dipertajam. Atau dihindari untuk pengolahan lebih mantab dengan kepribadian mandiri, sebagai bentuk-bentuk puisi yang kuat.
Wilayah penyair itu kata, seperti kita memandangi warna dunia. Tanpa membawa rentetan pengalaman, seolah yang terbaca itu sia-sia. Olehnya, sambungan pengalaman dari sesama ialah suatu usaha kebertemuan muara. Walau sudut pandangnya berlainan, meski mata air serta alirannya ke tempat yang tidak sama. Yang kita miliki hanyalah milik kita, meski telah ditulis mereka. Tetapi kita tidak akan memiliki apa-apa, jikalau tidak mendapatkan gesekan sesama. Sebab keraguan, kecemasan, juga keyakinan, merupakan tahap yang harus menemui kejelasan hakiki.
Cahaya terang itu tidak akan diketemukan, kalau sekadar membaca diri sendiri. Bagaimana pun cerdasnya seseorang, ia bergantung yang lain. Pun khusyuknya merenungkan makna hayati, toh perlu angin sapaan, yang tampil sebagai sarana dialog, yang nantinya membuahkan berkah. Atau nilai tambah yang berupa harapan kemerdekaan, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.
Usia suatu karya itu kemurahan kefahaman, kesehatannya menjadi melodi dan gairah. Sedangkan nada-nada naik-turunnya mengikuti gerakan takdir nyawa-nyawa pertemuan. Maka pantaslah puisi itu pecahan waktu yang pernah terlaksana. Juga bisa berasal dari pecahan masalah, yang menghadirkan kemangfaatan hayat di dalam penghayatan.
Apa yang terkupas di atas, bukan menyeluruh menyoal puisi dan penyairnya. Saya menggunakan beragam kacamata, agar masuk ke segenap keilmuan yang lain. Olehnya, terimalah kekenesannya sebagai bumbu, agar yang terhidang di benak, semakin sampai kekentalannya. Sebab buah permainan, bukan berapakali bertanding. Tetapi berapa baik mencetak gol cantik, meski sangat sederhana, atau primitif sekalipun. Maka kedatangannya, menyisir seberapa jauh lekukan fenomena, agar lebih terangsang dari sekadar wacana.
Perlu juga memecahkan tanggul-tanggul realita, demi menemukan relitas baru, sebab penampakan itu belum tentu sampai. Sebab kehakikian itu pada kompenen rasa yang terasai, seperti menemukan pahit atau manisnya. Camus sempat menuliskan, bahwa; “Semakin besar seorang seniman memberontak melawan realitas dunia, semakin besar bobot realitas untuk mengimbangi pemberontakan itu. Namun bobot itu tidak pernah dapat melumpuhkan kebutuhan soliter seniman.”
Yang selalu dahaga waktu, tidak puas baju kebesaran, jiwanya dituntut curiga kepada pakaian gembel yang menarik belas kasihan. Maka kesepakatan tercapai, bisa menerima segala hal dengan kesatuan tujuan. Sebagai pembaca, demi memperoleh wawasan lebih, serta rasan-rasan diri, agar yang masuk dan keluar, selalu pada bingkai kemungkinan. Yakni alat timbangan hidup, karena ramainya pembeli di pasar kebudayaan, daripada sastra pada lintasan keilmuan lain.
Puisi, dalam bentuknya yang baku, telah mengangkangi dunia hingga berabad-abad, sampai kita seolah tak berani keluar dari sarangnya, meski telah banyak mengeluarkan teknik baru, strategi anyar. Tetapi ketakutan tidak dianggap puisi khususnya, masih hadir di benak para penyair. Ini perbudakan sungguh ganas, lagi memalukan. Betapa jauhnya penyair lari dari dirinya, bayang-bayang itu tetap ia bawa. Sungguh menggelitik, apalagi terjadi pada titik kulminasi peradaban sekarang. Padahal bayang-bayang itu seharusnya sudah tidak tampak.
Saya membongkar identitas tersebut, agar tahu sejauh mana anatomi puisi dari tubuh penyair. Lebih jauh Albert Camus, meyakinkan; “Jika seni berkeras untuk menjadi suatu kemewahan, ia juga akan menjadi suatu kebohongan.” Kemewahan, tidak jauh dari tatanan; modernitas, primitif, posmo, motif ukiran, batik, pahat dan sejenisnya. Seharusnya, hasil cipta yang dimotori kata-kata, lebih jauh keluar dari pakem tersebut. Jika tidak ingin terperangkap dalam lingkaran yang disebut dinamai.
Namun mungkinkah kereta api bisa berjalan di luar relnya? Di sisi lain, tragedi itu perlu, pengorbanan wajib, dan bencana alam itu ada. Ini yang dinamakan kereta api yang keluar dari relnya. Kejadian ini seperti keberangkatan tukang bikin kue. Yang berani menginovasi prodaknya dengan tidak takut kalau-kalau tidak disebut kue. Inilah yang menghadirkan karya tandingan, bukan sekadar mengikut sejarah.
Maka persiapan perlu, ancang-ancang harus, kuda-kuda diadakan sebelum menempelkan tapal di kaki kuda. Dan keberanian mencipta, dari kilatan cahaya inspirasi itu akan terasa lebih, tidak sekadar kedalaman bahasa. Kita sering dan sudah lama dikelabuhi bentuk-bentuk baru, yang senyatanya itu-itu saja. Keseluruhan tulisan ini mungkin salahsatu jawaban, bahwa Kitab Para Malaikat sejatinya bukan “puisi.” Karena ada yang mengatakan itu puisi, barulah sebagai jawaban di masa sekarang. Padahal di sana, telah terjadi tragedi matinya suatu “puisi.”
Sekali lagi, “bunuh diri itu perlu,” kalau ingin mengetahui sejauh mana keberanian dinilai bobrok, atau tidak berguna di depan publik setelah kematian. Saat itu tidak ada pembela sama sekali, kalau bukan kedirian karya tersebut yang mandiri tanpa pamrih. Tidakkah keperawanan jiwa lebih dicari? Dan bukankah karya-karya yang seronok, yang mudah dikunyah, tidak lagi mengundang “penasaran?”
Karya sastra memungkinkan menggali kerahasian dirinya, untuk selalu mereka mencari, kedalaman murni mataair hayati. Sebab itu, pandangan subyek kita senantiasa hadir, kalau eksis di mana saja. “Kamu bisa tidak menyukai saya, tetapi pengaruhku takkan terbantah,” itulah perumpamaan sikap Nietzsche. Kesadaran itu sejenis anak yang kecil bermain. Apakah orang tua percaya? ia mendapati begitu banyak temuan? Ketika anak muda bekerja. Apa orang tua yakin seratus persen, bahwa ia bakal sukses besar? Ketika orang gagal membanting tulang. Apakah mereka percaya, bahwa ia lebih sukses daripada pemerhati yang sesaat?
Buah kemenangan tidak luput dari jerih payah keyakinan serta kesungguhan bekerja, meski ruang-waktunya mereka bantah. Sudah cukup cemooh sebagai penggerak yang menghadirnya seolah tiba-tiba. Namun tidakkah ketika insan menempa kesangsian dirinya dengan berulang, akan menemukan keniscayaan? Kebulatan seluruh antara ragu dan kenyataan. Keadaannya bersatu, dalam integritas dirinya sebagai tempaan -kematangan.
Saat nalar dan perasaan bertambah, menciptakan formula keseimbangan jiwa. Maka pemungkiran, pengundatan dan kesangsian terhilangkan bunyinya. Terhadap itu semua, penjelajahan kedirian menjadi kilatan-kilatan kesadaran. Yang menampar setiap muka, memecut sapi pongah untuk menggaru sawah, menyuburkan tanah dengan langkah-langkah. Inilah jalan yang bernama kemakmuran jiwa.
Pada prolog; Faust-nya Goethe, ada larikan berbunyi begini; “Hati yang teguh menjadi tampak jauh, dan apa yang hilang bagiku menjadi nyata.” Kalau memaknai dua potong kalimat itu, seakan tidak bertemu dalam satu bidang yang sama menuju kesepakatan berjumpa. Tetapi, jika menelisik ke dalam inti tubuh permasalahannya.
Apa yang terhidang, “hati yang teguh menjadi nampak jauh.” Ialah bukan keputusasaan yang terus dihentikan langkahnya. Namun usaha sejauh-jauhnya mendekati realitas kerja demi mendapati temuan, yang mulanya tiada manfaat keculi lelah. Ini semacam kunjungan kasih kepada tercinta. Dan apa yang tersampaikan di tengah jalan, merupakan perolehan yang berharga, untuk waktu serta tempat yang berbeda.
Ketika “apa yang hilang bagiku menjadi nyata,” merupakan bulir-bulir intan, tambang emas kenangan yang hadir dalam kebakuan bentuk membatu, menstupa. Sebab bagaimana pun awalnya pengalaman dari keraguan, diakhirnya tentu kepastian. Bertemunya manfaat di saat-saat tepat, atas tabungan memori silam, bacaan yang lalu atau peyelidikan masa lampau.
Lalu hadirlah capaian Plato dalam bukunya yang bertitel Republik; “Genggamlah kebenaran sebagai satu kesatuan, dan dalam cara yang benar, maka engkau tidak akan menemui kesulitan memahami berbagai ucapan sebelumnya, dan semuanya tidak lagi tampak aneh bagimu.”
Dari sini, kita dikehendaki melahap hidangan itu bukan menurut ukuran kelembekan lambung masing-masing. Tetapi bagaimana berbagi dengan yang lain, agar bisa merasakan bersama, meski kadar resapannya berbeda, setidaknya gula tetap manis. Untuk sampai tahap ini, harus sadar kata-kata Machiavelli, bahwa; “Kemampuan insan dikenalikan lewat dua cara, pertama kemampuan memilih lokasi untuk membangun kota, kedua ialah kemampuan mengorganisasikan hukum.”
Kalau tubuh ibarat negara, maka kemampuan memilih lokasi untuk membangun kota, kemampuan menyelidiki hal-hal yang kita sanggup mengangkatnya. Sehingga apa yang tampil bukan suatu hasil kegagapan, namun telah terpendam sejak lama dalam keakraban kerja. Jikalau tampil dalam suatu karya, kilatan itu tersampaikan bukan potret semata, tetapi gambaran dari ahli tukang foto yang professional, yang menyentuh ketajaman detail. Ini dibawah kendali daripada kemampuan mengorganisasikan hukum.
Hukum disini, aturan-aturan di dalam diri yang tersepakati sebagai kacamata standar terhadap suatu karya. Sehingga tanggup jawab itu ada, dan perlu adanya lelatihan keras, sampai hasilnya melewati persyaratan secara ketat. Tidak asal seruduk aman lantas bablas, maka pertimbangan estetik, etika, nada suara, nafas kata, gaya bahasa atau tampilan bentuk muka. Serta yang teridam menjadi kebenaran yang tampil dengan pertimbangan paripurna. Tidak menggencet sisi-sisi lain atau melakukan pembunuhan terhadap gagasan kecil, meski itu seolah-olah perlu.
Apa yang tersampaikan di atas, seperti tarian dramitisasi pemikiran menyoal judul, tetapi bukan sewarna permainan dadu yang dilakukan Kurawa dan Puntadewa. Yang demi hak milik negara atau di sini gagasan, dan demi kecantikannya Dewi Drupadi. Menuju penaklukan kerajaan Amarta, masuk wilayah Astina. Tetapi, “bila cinta dan penalaran saling berpelukan, akan terciptalah sebuah dunia baru,” Iqbal.
Ini yang terharapkan, bukan berasal dari emosional sesaat ego, namun perasaan yang berkendara kesadaran, kepada ruang yang dibangun. Temuan dunia baru, tidak berdasarkan agresi, integrasi atas ancaman. Tetapi kesadaran membangun kebaikan bersama. Bukan meninggikan identitas kepenyairan dengan mengesampingkan yang lain.
Pada puncaknya, pemaknaan dihasilkan renung kemanusiaan. Yang terus berjalin demi pemahaman lebih bening, bukan gelembung air yang pecah kala tersentuh. Ibaratkan karya terbaik itu pandangan elang laut, yang sanggup menembus gerakan ikan dari jarak cukup jauh. Buah intuisi, daya sugesti yang telah terlatih.
Atau gerak penciptaan itu dari kumpulan getaran, sinyal yang menyambung kabel saat hendak mencipta dari beberapa kemungkinan lalu. Selihai menangkap bola, setelah mengamati ke mana titik sasaran, seperti ungkapan Nietzsche, “Perasaan mula-mula tidak memiliki obyek yang didefinisikan dengan jelas. Obyek itu dibentuk belakangan. Atmosfir suasana hati musikal tertentu mendahului, dan ide puitis datang sesudahnya.”
Mungkin itulah insting penjaga gawang jaman. Tentunya tidak mau kecolongan, lalai merekam sedapatnya, saat terjadi perasaan bertemu. Sebab itu, pengulangan bukanlah sesuatu yang muspro, jika memiliki tekanan titik temu yang dimaksud. Bukan sekadar perpanjangan tangan atau rantai kapal yang nganggur tidak terpakai oleh usang.
Maka jadilah pemain yang tidak bosan-bosannya berlatih, meski belum tahu kapan bertanding. Sudahkah permainan dimulai? Ini demi menjaga daya gairah. Tidak semuanya berasal dari gerakan luar, tetapi membongkar kesatuan diri untuk menjadi momentum yang diterjemah. Sebagai pelaku yang tidak terbatas masa-masa, usia juga bidang kajian.
Cobalah simak apa yang dikatakan Sartre, saat mengantari bukunya Franth Fanon; “Selagi dia menunggu kemenangan nyata, atau bahkan tidak mengharapkan sama sekali, dia meletihkan musuh-musuhnya sampai mereka muak terhadapnya.” Perasaan muak itu muka lain dari kebosaan, putusasa, kepengecutan, juga hal-hal yang menandakan lemahnya mental. Yang bukan dihasilkan dari gairah murni memperbaikan kualitas diri.
Tapi tampakan manisan semata, gagah-gagahan di podium, bursa karya agar dibilang mentereng. Sungguh ini lepas satu-persatu, tidak terasa dilucuti, terbius daya rayu tepuk tanda. Sedangkan bermain tanpa beban itu, anak kecil yang lupa kalau punggungnya tersengat matahari, saat layang-layangnya merasai grafitasi, serta hembusan bayu nurani. Bocah itu penuh daya pikat, tanpa meninggalkan fikiran-fikiran nakal.
—–
13 Maret 2006, Senin Wage.
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.
Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/
Apa yang kalian impikan pada tinggi kepenyairan? (Goethe).
Puisi ialah masa-masa mati. Terhenti atas kekakuan dirinya yang telah terselubung kelenturan. Ia tidak bisa bergerak terlampau jauh, ketika “kata-kata” sudah mewakili kehadirannya. Maka penciptaan puisi, sejenis latihan bunuh diri berkali-kali.
Siapa yang mati di sana? Penciptanya, dipermalukan kejujurannya. Meski berselimutkan kerahasiaan, tetaplah ada keinginan untuk diketahui, difahami. Mungkin ini sisi lain kebinalan puisi sebelum mati, sedurung di kubur dalam keranda kata-kata.
Saya tidak hendak menghakimi. Ini realitas keindahan terbatas di muka bumi, sebuah musim bunga terhilangkan lewat gugurnya dedaunan atas musim berubah. Matahari yang kita nikmati, menciptakan hayalan, yang keinginannya terus bertambah dari dorongan naluri, dari kedalaman maksud jiwa.
Tapi siapa yang sanggup memetik kecantikan langitan? Mereguk kemolekan dasar imaji, demi ditampilkan ke muka kesadaran? Apalagi melewati nalar-nalar umum puisi? Hanya terbatas orang dan menjadi bunga bagkai, jikalau konstruksi yang mengitari teknik tidak sampai membuai, jika benar-benar ilham tampak murni.
Maka keindahan, mau tidak mau kudu rela terpenggal di tengah jalan. Jika tidak ingin langut tanpa tragedi. Ada saatnya kayungyung menemui juntrung, masa-masa persetubuhan jiwa ke dalam kebakuaan tertentu. Yang ada sisi-sisi menggorok, kalau berharap lebih nikmat, terus berkurang dari keinginan bertambah. Sebab kesadaran dalam puisi sangatlah terbatas, taklah mungkin melalui pandang sambillalu.
Puisi tidak jauh lahirnya mitos, demi kemunculan aliran filsafat. Dan kejiwaan para penemu, menyuplai faham-faham psikologi. Di sini, puisi tentu berbeda jauh pengertian dari ayat-ayat suci yang dibawa malaikat Jibril kepada para nabi dari Yang Asih. Namun ada saja yang menyebut semacam wahyu, padahal bisa pula dari beberapa angan terdahulu, yang belum sampai ke puncak keyakinan.
Atau puisi terlahir dari sela-sela kenangan silam dan kini menemui muara. Jika telah tertancap sebilah pedang pena. Garis-garis pada kertas bermuatan renungan. Yang tampak di permukaan, kadang berserak tanpa harmoni yang jelas. Ini sama pengertiannya tidak memahami situasi diri, di sekitar nasib yang terus melayarkan sampan usia kemenjadian.
Keindahan puncak, di mana keuniversalan dunia mengakui. Mereka terperangah kecantikan pucuk Himalaya, ketampanan Candi Borobudur, atau kesejukan lembah bunga. Keindahan itu masuk dalam bayang-bayang ingatan atau terekam. Lalu kata-kata penceritaannya menjadi rumusan, sebagai logika daripada paras keelokan tersebut.
Demikian ngeri rasa tercengang, pun peperangan serta bencana alam. Membekas dalam diri sebagai timbangan menilai langgam-langgam hayat, dari getaran rasa yang termiliki. Oleh sebab itu, para penyair merawat perasaannya. Guna sampai pada getaran puncak daripada keindahan.
Ada penyair yang mengumpulkan puing-puing nama benda. Ada pula yang melukis deretan peristiwa lama, atau jangkauan hayal ke muka. Pun bunyi-bunyian alam, deburan ombak, jeritan, tangis, suara serangga. Kesatuan itu terkumpul, dan masuk terekam dalam ingatan. Para insan menimbang suara-suara itu dengan rasa, kata-kata dengan rasa, hitungan dengan perasaan. Sebelum dunia logika menawarkan dirinya, sebagai jembatan utama suatu karya.
Penilaian itu, takdir yang terus mengikuti jaman, bersama kerepotannya. Juga suasana kekosongan, termasuk jalan menuju penilaian lain. Seperangkat kebertemuan menjelma takdir lain atas pandangan tertentu, yang merasuk bergetar pada jiwa-jiwa penyaksi.
Puisi, sering luput dari tangkapan jika mengambilnya tidak dengan kesamaan. Peneriman, persetujuan, pun penolakan, mampu memberi jawaban. Tentunya atas ketepatan masa yang dituliskan takdir pertemuan, seperti kalimat “Manusia berhendak, tuhan yang menentukan.” Begitulah yang terjadi atas terkumpulnya kata-kata.
Berangkat dari endapan masa-masa yang tidak terkira atas terjadinya. Meski hal lain sangat mendukung, sebagaimana rindu, cemburu atau kasih damai pada lubuk sanubari. Ada saatnya ketergebuhan itu berhenti oleh lelah yang belum waktunya tiba. Atas jegalan masa-masa yang tidak mendukung kehadirannya sebagai hasil kerja. Dan keikhlasan melahirkan kembali, serupa gelombang laut ke pantai. Penerimaan karang atas buih busa yang menggenangkan masa menenggelamkan kesaksian. Juga serasa surut dan susut penilaian tubuh alamiah, saat-saat lelah istirah.
Puisi ialah himpunan kata-kata yang sangat berbeda jauh kalau menilik sisi tercetuskan gagasan. Jikalau ditimbang melewati masa pelaksanaannya. Ada endapan lama, mimpi lampau yang mengunduh tepat-waktu, serupa harapan yang tersampaikan. Kangen terjawab kelahiran tanpa operasi, atau rindu bertemu realitas cakrawala. Langit biru, awan menyisir, jalan-jalan dilalui, sungguh menapak.
Adapun penggarapan puisi yang berolah lama, sebab ketat daya saringnya. Meski tidak bisa dihakimi, tercetus lama belum tentu baik, atau sebaliknya. Sebab kerja yang sungguh, belum tentu diterima dengan kesungguhan. Terkadang keisengan di mata jiwa lain, malah menimbulkan takdir sesungguhnya. Inilah salahsatu problem, yang senantiasa mengintrik jiwa.
Semua perkumpulan ragu dan sungguh, terjawab sudah kesetiaan pelaku. Merawat cita-cita, sejak kanak sampai tidur tidak enak, tidak tersangka kantuk memberat. Ketenangan terjaga, kelebihan kehati-hatian, diet mencerna timbangan, bisa memberi solusi, tidak terjungkal jika ada saat-saat tidak nyaman. Duduk menyendiri atau kebersamaan ganjil. Dan keakraban mendesak maju, menghadirkan waktu ketaktepatan menjadi kejelasan. Lantas isyarat segera terungkap, atas kerja serius menyungguhi ruh.
Ben Okri pernah berkata; “Dunia tempat si penyair hidup tidak harus selalu puitis. Di tangannya, dunia ini sungguh menantang. Hanya dengan semangat penciptaan dan pencarianlah, dunia yang keras terubah menjadi nyanyian dan metafor baru.” Yang nantinya akan menghasilkan apa yang dikatakan, Paul Eluerd; “Seorang penyair adalah orang yang mampu mengilhami lebih banyak daripada orang yang diilhaminya.”
Maka sepatutnya sering mendengungkan rasa bersyukur, menghirup denyutan semesta, ingatan serta masa lalu, dalam genggaman kuasa-Nya. Fikiran bisa mempatenkan prodak, namun hatilah yang menentukan langgeng atau lepas sasaran. Olehnya, seorang penyair dituntut mencintai hal-hal yang tidak mengenak. Jikalau berharap perolehan lebih, sebab bukan di sekitar saja yang berguna.
Ternyata, yang selama ini tidak terkirakan, esok meminta jatah direnungkan dan lebih. Ini dinamakan jalan-jalan kepastian yang tidak terpetik jauh dibenak. Suatu rana yang dikembangkan kalbu-kalbu pencipta situasi di dalam kondisi kejiwaannya. Di tempat lain, Oktavio Paz berujar; “Pengaruh tersebut juga merupakan sebuah penciptaan, bukannya imitasi, melainkan okulasi yang menghasilkan sebuah tanaman baru, lebih kuat dan majemuk dibanding induk aslinya.”
Tetapi bukan berarti saya menganjurkan memejamkan mata, dalam menentukan jalan-jalan itu akan sampai atau mentok pada dataran ketakmampuan. Melewati jalan kedua bisa merasakan, memejamkan mata, dan memandang realitas berkesungguhan kerja. Dengan keduanya, malam dan siang, senja dan fajar selalu mengembang dalam jiwa. Kita rawat kestabilan kondisi, hawa saat-saat datangnya sembuh. Tidak berlebih atau sehat yang melenakan unsur-unsur lain.
Tao Teh Ching pernah berucap; “Karena tidak memiliki kehendak pribadi, maka ia bisa menyempurnakan pribadinya.” Namun bukan berarti lantas takut terjebak kedirian, lalu melemparkan kalimat puisi seperti melesatkan panah tanpa sasaran. Kondisilah yang mengharuskan Arjuna maju ke medan tempur. Dari kumpulan masa keharusan, bukan menunggu diterjemahkan sebagai situasi.
Setelah membaca perjalanan, terketahui bagaimana sampai di sini atau belum, kita tahu jawabannya. Itulah keseimbangan pandang yang selalu menjaga diri, agar tidak dalam kegilaan atau konstruksi yang merecoki kefahaman lembut puisi. Maka, merawat kasih sayang berimbang, bukanlah menyulitkan, jika melatih keinginan serta keadaan diri. Kesulitannya terasa, jika memasuki rayuan di jalan-jalan lena, atau keterlaluan culas memandang sebelah mata. Namun tentunya menyadari, kanan dan kiri bukanlah jalan sesungguhnya, tetapi pinggiran yang bisa mempelesetkan ke jurang.
Ketika terjatuh, sulit memulai kembali. Maka rawatlah kesetiaan, agar bertemu keseimbangan tanpa cemburu berlebih. Dan kepercayaan atau pun perubahan, atas genggaman-Nya, penilaian-penilaian terus berputar pada poros-Nya. Ia penggenggam ingatan manusia, pencuri harta kelupaan, atas keterbatasan kefahaman menerka, di dalam menyinaui hayat.
Rasa bersyukur menghantarkan kepada pembaca, bagi tercinta merindu temuan. Pun kuasa pemahaman ada pada pembaca. Runtut atau bejatnya kalimat atas konstruksi sulaman, kemenjadian yang jadi-jadian, pun yang kelewat serius. Tetaplah yang memenangkan permainan, pemahaman membaca dinding-dinding kata dari tampakan tubuh puisi.
Apalagi susunan yang dimasukkan perlambang, perlu digali lebih, bercangkul berbeda dengan kebaikan pemahaman. Tidak luput dari polarisasi yang dibangun penulis, atau pembaca perlu mengundang nalar penulis, demi diperbandingkan sejauh mana kerangka yang terbangun itu atas realitas sejarahnya.
Saya tidak banyak menerangkan makna yang terkandung dalam bidang kalimat. Dengan itu, kefahaman bisa meliar, memperoleh dari sekadar penggalan pengertian. Apa yang terhidang bukanlah rambu-rambu. Dari pembacalah aturan dimulai, sedang yang tertawarkan, sekadar cerminan kemungkinan lain. Andai ada kesamaan yang muncul, tentu kegelisahannya serupa meresapi keberadaan hayat. Menjadi pejalan kaki sunyi bukan membaca kalimat, tetapi meresapinya tanpa suara. Yang masuk ke telinga bathin, unsur lain yang terterka, semisal hendak mempersunting nyanyian bathin sendiri.
Ruang berbicara kepada saya dan waktu menyediakan nafas-nafas kata dalam setiap perjamuan. Saya tidak hendak menyapa panjang lebar. Kita bisa dimana tempat dengan keseiramaan, jika menjangkau penerimaan sebagai getaran rasa. Dan rindu pertemuan sinyal itu, kefahaman yang runtut di kuncup setia, cungkup keabadian atau nilai universal jiwa-jiwa. Harapannya, apa yang terhaturkan dapat menembusi pemahaman, meski tidak dalam satu lingkaran meja. Walau kadar penciumannya berbeda, pun kecenderungan lidah tidak serupa. Namun masih ada keyakinan, kesamaan itu tentunya ada, seperti iman akan hari depan yang lebih gemilang.
Di saat-saat memahami, terketahui sisi-sisi kosong segera terisi. Lembar-lembar ketebalan lelapisan pengalaman, bukan dari membaca saja, melewati ingatan kenangan, perjuangan menempuh hayat bertambah makna. Pandangan bukanlah semata kudu digurui, sebelum kepada maksudnya. Atau mengandaikan gugusan pengertian akan sampai kepadanya, kostruksi itu seluruhnya milik pembaca.
Bisa dibilang, ini sekadar pemancing jawab bagi pendapat. Sebab masing-masing memiliki, meski orang lain seolah mengerti lebih. Kecerdasan pencipta, tidak berarti mengerti psikologi pembaca secara keseluruhan, tetapi sekadar pengantar ada sisi-sisi kesamaan yang kudu dipertajam. Atau dihindari untuk pengolahan lebih mantab dengan kepribadian mandiri, sebagai bentuk-bentuk puisi yang kuat.
Wilayah penyair itu kata, seperti kita memandangi warna dunia. Tanpa membawa rentetan pengalaman, seolah yang terbaca itu sia-sia. Olehnya, sambungan pengalaman dari sesama ialah suatu usaha kebertemuan muara. Walau sudut pandangnya berlainan, meski mata air serta alirannya ke tempat yang tidak sama. Yang kita miliki hanyalah milik kita, meski telah ditulis mereka. Tetapi kita tidak akan memiliki apa-apa, jikalau tidak mendapatkan gesekan sesama. Sebab keraguan, kecemasan, juga keyakinan, merupakan tahap yang harus menemui kejelasan hakiki.
Cahaya terang itu tidak akan diketemukan, kalau sekadar membaca diri sendiri. Bagaimana pun cerdasnya seseorang, ia bergantung yang lain. Pun khusyuknya merenungkan makna hayati, toh perlu angin sapaan, yang tampil sebagai sarana dialog, yang nantinya membuahkan berkah. Atau nilai tambah yang berupa harapan kemerdekaan, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.
Usia suatu karya itu kemurahan kefahaman, kesehatannya menjadi melodi dan gairah. Sedangkan nada-nada naik-turunnya mengikuti gerakan takdir nyawa-nyawa pertemuan. Maka pantaslah puisi itu pecahan waktu yang pernah terlaksana. Juga bisa berasal dari pecahan masalah, yang menghadirkan kemangfaatan hayat di dalam penghayatan.
Apa yang terkupas di atas, bukan menyeluruh menyoal puisi dan penyairnya. Saya menggunakan beragam kacamata, agar masuk ke segenap keilmuan yang lain. Olehnya, terimalah kekenesannya sebagai bumbu, agar yang terhidang di benak, semakin sampai kekentalannya. Sebab buah permainan, bukan berapakali bertanding. Tetapi berapa baik mencetak gol cantik, meski sangat sederhana, atau primitif sekalipun. Maka kedatangannya, menyisir seberapa jauh lekukan fenomena, agar lebih terangsang dari sekadar wacana.
Perlu juga memecahkan tanggul-tanggul realita, demi menemukan relitas baru, sebab penampakan itu belum tentu sampai. Sebab kehakikian itu pada kompenen rasa yang terasai, seperti menemukan pahit atau manisnya. Camus sempat menuliskan, bahwa; “Semakin besar seorang seniman memberontak melawan realitas dunia, semakin besar bobot realitas untuk mengimbangi pemberontakan itu. Namun bobot itu tidak pernah dapat melumpuhkan kebutuhan soliter seniman.”
Yang selalu dahaga waktu, tidak puas baju kebesaran, jiwanya dituntut curiga kepada pakaian gembel yang menarik belas kasihan. Maka kesepakatan tercapai, bisa menerima segala hal dengan kesatuan tujuan. Sebagai pembaca, demi memperoleh wawasan lebih, serta rasan-rasan diri, agar yang masuk dan keluar, selalu pada bingkai kemungkinan. Yakni alat timbangan hidup, karena ramainya pembeli di pasar kebudayaan, daripada sastra pada lintasan keilmuan lain.
Puisi, dalam bentuknya yang baku, telah mengangkangi dunia hingga berabad-abad, sampai kita seolah tak berani keluar dari sarangnya, meski telah banyak mengeluarkan teknik baru, strategi anyar. Tetapi ketakutan tidak dianggap puisi khususnya, masih hadir di benak para penyair. Ini perbudakan sungguh ganas, lagi memalukan. Betapa jauhnya penyair lari dari dirinya, bayang-bayang itu tetap ia bawa. Sungguh menggelitik, apalagi terjadi pada titik kulminasi peradaban sekarang. Padahal bayang-bayang itu seharusnya sudah tidak tampak.
Saya membongkar identitas tersebut, agar tahu sejauh mana anatomi puisi dari tubuh penyair. Lebih jauh Albert Camus, meyakinkan; “Jika seni berkeras untuk menjadi suatu kemewahan, ia juga akan menjadi suatu kebohongan.” Kemewahan, tidak jauh dari tatanan; modernitas, primitif, posmo, motif ukiran, batik, pahat dan sejenisnya. Seharusnya, hasil cipta yang dimotori kata-kata, lebih jauh keluar dari pakem tersebut. Jika tidak ingin terperangkap dalam lingkaran yang disebut dinamai.
Namun mungkinkah kereta api bisa berjalan di luar relnya? Di sisi lain, tragedi itu perlu, pengorbanan wajib, dan bencana alam itu ada. Ini yang dinamakan kereta api yang keluar dari relnya. Kejadian ini seperti keberangkatan tukang bikin kue. Yang berani menginovasi prodaknya dengan tidak takut kalau-kalau tidak disebut kue. Inilah yang menghadirkan karya tandingan, bukan sekadar mengikut sejarah.
Maka persiapan perlu, ancang-ancang harus, kuda-kuda diadakan sebelum menempelkan tapal di kaki kuda. Dan keberanian mencipta, dari kilatan cahaya inspirasi itu akan terasa lebih, tidak sekadar kedalaman bahasa. Kita sering dan sudah lama dikelabuhi bentuk-bentuk baru, yang senyatanya itu-itu saja. Keseluruhan tulisan ini mungkin salahsatu jawaban, bahwa Kitab Para Malaikat sejatinya bukan “puisi.” Karena ada yang mengatakan itu puisi, barulah sebagai jawaban di masa sekarang. Padahal di sana, telah terjadi tragedi matinya suatu “puisi.”
Sekali lagi, “bunuh diri itu perlu,” kalau ingin mengetahui sejauh mana keberanian dinilai bobrok, atau tidak berguna di depan publik setelah kematian. Saat itu tidak ada pembela sama sekali, kalau bukan kedirian karya tersebut yang mandiri tanpa pamrih. Tidakkah keperawanan jiwa lebih dicari? Dan bukankah karya-karya yang seronok, yang mudah dikunyah, tidak lagi mengundang “penasaran?”
Karya sastra memungkinkan menggali kerahasian dirinya, untuk selalu mereka mencari, kedalaman murni mataair hayati. Sebab itu, pandangan subyek kita senantiasa hadir, kalau eksis di mana saja. “Kamu bisa tidak menyukai saya, tetapi pengaruhku takkan terbantah,” itulah perumpamaan sikap Nietzsche. Kesadaran itu sejenis anak yang kecil bermain. Apakah orang tua percaya? ia mendapati begitu banyak temuan? Ketika anak muda bekerja. Apa orang tua yakin seratus persen, bahwa ia bakal sukses besar? Ketika orang gagal membanting tulang. Apakah mereka percaya, bahwa ia lebih sukses daripada pemerhati yang sesaat?
Buah kemenangan tidak luput dari jerih payah keyakinan serta kesungguhan bekerja, meski ruang-waktunya mereka bantah. Sudah cukup cemooh sebagai penggerak yang menghadirnya seolah tiba-tiba. Namun tidakkah ketika insan menempa kesangsian dirinya dengan berulang, akan menemukan keniscayaan? Kebulatan seluruh antara ragu dan kenyataan. Keadaannya bersatu, dalam integritas dirinya sebagai tempaan -kematangan.
Saat nalar dan perasaan bertambah, menciptakan formula keseimbangan jiwa. Maka pemungkiran, pengundatan dan kesangsian terhilangkan bunyinya. Terhadap itu semua, penjelajahan kedirian menjadi kilatan-kilatan kesadaran. Yang menampar setiap muka, memecut sapi pongah untuk menggaru sawah, menyuburkan tanah dengan langkah-langkah. Inilah jalan yang bernama kemakmuran jiwa.
Pada prolog; Faust-nya Goethe, ada larikan berbunyi begini; “Hati yang teguh menjadi tampak jauh, dan apa yang hilang bagiku menjadi nyata.” Kalau memaknai dua potong kalimat itu, seakan tidak bertemu dalam satu bidang yang sama menuju kesepakatan berjumpa. Tetapi, jika menelisik ke dalam inti tubuh permasalahannya.
Apa yang terhidang, “hati yang teguh menjadi nampak jauh.” Ialah bukan keputusasaan yang terus dihentikan langkahnya. Namun usaha sejauh-jauhnya mendekati realitas kerja demi mendapati temuan, yang mulanya tiada manfaat keculi lelah. Ini semacam kunjungan kasih kepada tercinta. Dan apa yang tersampaikan di tengah jalan, merupakan perolehan yang berharga, untuk waktu serta tempat yang berbeda.
Ketika “apa yang hilang bagiku menjadi nyata,” merupakan bulir-bulir intan, tambang emas kenangan yang hadir dalam kebakuan bentuk membatu, menstupa. Sebab bagaimana pun awalnya pengalaman dari keraguan, diakhirnya tentu kepastian. Bertemunya manfaat di saat-saat tepat, atas tabungan memori silam, bacaan yang lalu atau peyelidikan masa lampau.
Lalu hadirlah capaian Plato dalam bukunya yang bertitel Republik; “Genggamlah kebenaran sebagai satu kesatuan, dan dalam cara yang benar, maka engkau tidak akan menemui kesulitan memahami berbagai ucapan sebelumnya, dan semuanya tidak lagi tampak aneh bagimu.”
Dari sini, kita dikehendaki melahap hidangan itu bukan menurut ukuran kelembekan lambung masing-masing. Tetapi bagaimana berbagi dengan yang lain, agar bisa merasakan bersama, meski kadar resapannya berbeda, setidaknya gula tetap manis. Untuk sampai tahap ini, harus sadar kata-kata Machiavelli, bahwa; “Kemampuan insan dikenalikan lewat dua cara, pertama kemampuan memilih lokasi untuk membangun kota, kedua ialah kemampuan mengorganisasikan hukum.”
Kalau tubuh ibarat negara, maka kemampuan memilih lokasi untuk membangun kota, kemampuan menyelidiki hal-hal yang kita sanggup mengangkatnya. Sehingga apa yang tampil bukan suatu hasil kegagapan, namun telah terpendam sejak lama dalam keakraban kerja. Jikalau tampil dalam suatu karya, kilatan itu tersampaikan bukan potret semata, tetapi gambaran dari ahli tukang foto yang professional, yang menyentuh ketajaman detail. Ini dibawah kendali daripada kemampuan mengorganisasikan hukum.
Hukum disini, aturan-aturan di dalam diri yang tersepakati sebagai kacamata standar terhadap suatu karya. Sehingga tanggup jawab itu ada, dan perlu adanya lelatihan keras, sampai hasilnya melewati persyaratan secara ketat. Tidak asal seruduk aman lantas bablas, maka pertimbangan estetik, etika, nada suara, nafas kata, gaya bahasa atau tampilan bentuk muka. Serta yang teridam menjadi kebenaran yang tampil dengan pertimbangan paripurna. Tidak menggencet sisi-sisi lain atau melakukan pembunuhan terhadap gagasan kecil, meski itu seolah-olah perlu.
Apa yang tersampaikan di atas, seperti tarian dramitisasi pemikiran menyoal judul, tetapi bukan sewarna permainan dadu yang dilakukan Kurawa dan Puntadewa. Yang demi hak milik negara atau di sini gagasan, dan demi kecantikannya Dewi Drupadi. Menuju penaklukan kerajaan Amarta, masuk wilayah Astina. Tetapi, “bila cinta dan penalaran saling berpelukan, akan terciptalah sebuah dunia baru,” Iqbal.
Ini yang terharapkan, bukan berasal dari emosional sesaat ego, namun perasaan yang berkendara kesadaran, kepada ruang yang dibangun. Temuan dunia baru, tidak berdasarkan agresi, integrasi atas ancaman. Tetapi kesadaran membangun kebaikan bersama. Bukan meninggikan identitas kepenyairan dengan mengesampingkan yang lain.
Pada puncaknya, pemaknaan dihasilkan renung kemanusiaan. Yang terus berjalin demi pemahaman lebih bening, bukan gelembung air yang pecah kala tersentuh. Ibaratkan karya terbaik itu pandangan elang laut, yang sanggup menembus gerakan ikan dari jarak cukup jauh. Buah intuisi, daya sugesti yang telah terlatih.
Atau gerak penciptaan itu dari kumpulan getaran, sinyal yang menyambung kabel saat hendak mencipta dari beberapa kemungkinan lalu. Selihai menangkap bola, setelah mengamati ke mana titik sasaran, seperti ungkapan Nietzsche, “Perasaan mula-mula tidak memiliki obyek yang didefinisikan dengan jelas. Obyek itu dibentuk belakangan. Atmosfir suasana hati musikal tertentu mendahului, dan ide puitis datang sesudahnya.”
Mungkin itulah insting penjaga gawang jaman. Tentunya tidak mau kecolongan, lalai merekam sedapatnya, saat terjadi perasaan bertemu. Sebab itu, pengulangan bukanlah sesuatu yang muspro, jika memiliki tekanan titik temu yang dimaksud. Bukan sekadar perpanjangan tangan atau rantai kapal yang nganggur tidak terpakai oleh usang.
Maka jadilah pemain yang tidak bosan-bosannya berlatih, meski belum tahu kapan bertanding. Sudahkah permainan dimulai? Ini demi menjaga daya gairah. Tidak semuanya berasal dari gerakan luar, tetapi membongkar kesatuan diri untuk menjadi momentum yang diterjemah. Sebagai pelaku yang tidak terbatas masa-masa, usia juga bidang kajian.
Cobalah simak apa yang dikatakan Sartre, saat mengantari bukunya Franth Fanon; “Selagi dia menunggu kemenangan nyata, atau bahkan tidak mengharapkan sama sekali, dia meletihkan musuh-musuhnya sampai mereka muak terhadapnya.” Perasaan muak itu muka lain dari kebosaan, putusasa, kepengecutan, juga hal-hal yang menandakan lemahnya mental. Yang bukan dihasilkan dari gairah murni memperbaikan kualitas diri.
Tapi tampakan manisan semata, gagah-gagahan di podium, bursa karya agar dibilang mentereng. Sungguh ini lepas satu-persatu, tidak terasa dilucuti, terbius daya rayu tepuk tanda. Sedangkan bermain tanpa beban itu, anak kecil yang lupa kalau punggungnya tersengat matahari, saat layang-layangnya merasai grafitasi, serta hembusan bayu nurani. Bocah itu penuh daya pikat, tanpa meninggalkan fikiran-fikiran nakal.
—–
13 Maret 2006, Senin Wage.
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.
TAUFIQ ISMAIL: MENULIS DENGAN KEHARUAN HATI
Maman S. Mahayana*
http://mahayana-mahadewa.com/
Taufiq Ismail, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1—4 (Jakarta: Horison, 2008; xlii + 1076 hlm; xxxiv + 801 hlm; xxxii + 880 hlm; xxxviii + 101 hlm)
“Taufiq Ismail tak ingin memperingati usianya, tetapi perbuatannya. Sebab, hidup itu perbuatan,” begitu Fadli Zon, Ketua Panitia Peluncuran Buku Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1—4 (Jakarta: Horison, 2008; xlii + 1076 hlm; xxxiv + 801 hlm; xxxii + 880 hlm; xxxviii + 101 hlm) menegaskan semangat yang melandasi acara peluncuran keempat buku karya Taufiq Ismail (14 Mei 2008) di Aula Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Keseluruhannya, keempat buku itu berjumlah 3004 halaman, termasuk halaman pelengkap dan indeks. Inilah rekor baru ketebalan buku karya seorang penyair.
Meskipun begitu, tentu saja yang jauh lebih penting bukanlah perkara tebal—tipisnya buku, melainkan isinya; kedalaman dan gagasannya dalam mencermati dan memandang berbagai persoalan dan mengungkapkannya dalam berbagai ragam tulisan—prosa, puisi, drama, esai yang sedap dibaca. Meski juga ketebalan itu belum dapat dianggap mewakili kesegenapan kiprah penyair Angkatan 66 itu dalam kesusastraan dan kebudayaan Indonesia, setidak-tidaknya, kita dapat memandang sebuah lanskap yang membentangkan dinamika sosio-kultural bangsa ini dalam bingkai perpsektif perjalanan berkebudayaan 55 tahun Taufiq Ismail.
***
Mencermati keempat buku itu, tak pelak lagi, segera kita akan gagal menyembunyikan decak kita, betapa sangat serius Panitia mempersiapkan segalanya: cover dan kemasan buku yang cantik, pembagian ragam tulisan yang tepat-pas dengan sistematika yang cerdas, dan pengantar yang jernih dan terang-benderang. Jilid 1 misalnya, menghimpun puisi-puisi Taufiq Ismail yang dihasilkannya selama 55 tahun kiprah kepenyairannya (1953—2008). Di sana, ada pengantar Taufiq Ismail yang bersahaja dengan segala kerendahan hatinya; ada pula Pengantar Fadli Zon yang ringkas mengungkap latar belakang dan muatan keempat buku itu. Selepas itu, Prof. Dr. Abdul Hadi WM membentangkan apresiasi komprehensif dan analisis yang tajam—lewat estetika India—atas keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku ini.
Bagi Abdul Hadi, puisi-puisi Taufiq Ismail secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga periode: awal (1950-an—1970-an), tengah (1970-an—1980-an) dan ketiga (1980-an sampai sekarang). Pada periode awal, puisi-puisi Taufiq Ismail hadir bukan sekadar sebagai potret sosial an sich, melainkan juga ekspresi penghayatan dan keharuan hati. Faktor itulah yang kerap menggiring pembaca ikut menggerakkan hati dan imajinasinya. Pada periode kedua, salah satu kekuatannya terletak pada aspek afinitas, pertalian batin lantaran ada pengalaman yang sama yang bersumber pada sikap religiusitas. Adapun periode ketiga, selain ditandai dengan kecenderungan gaya prosaik—naratif dengan pemanfaatan bahasa diskursif yang indah dan memikat, juga menunjukkan kepekaannya pada sejarah dan lingkungan sosial yang ditopang oleh ketangkasan dan kemahirannya berpuisi (hlm. xlii).
Pengantar Abdul Hadi sungguh merupakan jalan terang yang memungkinkan kita dapat mengapresiasi keseluruhan puisi Taufiq Ismail tanpa kecemasan terjerumus ke dalam lorong gelap yang menyesatkan. Tentu saja di sana masih tersedia lautan tafsir sesuai dengan tingkat pengalaman pembaca berkenaan dengan pengetahuannya tentang sejarah bangsa ini, intensitas tindak spiritualitas dalam berdekatan dengan Tuhan, dan kegelisahan atas karut-marut kehidupan sosial—budaya—politik yang kini laksana telah menjadi pemandangan sehari-hari.
Jilid 2 berisi 193 esai –dan beberapa puisi—yang pernah dipublikasikan di delapan media massa dan satu di media lain untuk berbagai keperluan dalam rentang waktu 1960—2008. Beberapa di antara esai itu, ada pula yang dimuat secara bersambung. Kembali, yang lebih penting dari data kuantitatif itu adalah gagasan Taufiq Ismail dengan muara yang sama: kehidupan berkebudayaan bangsa ini yang disampaikan dengan kualitas esai yang setaraf dengan kepenyairannya. Dalam konteks itu, khasnya membaca esai-esai Taufiq Ismail, kita enteng saja diajak pada sebuah dongeng, kelakar, laporan, atau kisah ringan, padahal yang dibincangkan di sana adalah pegunungan masalah kemanusiaan nasional—internasional, yang diteroka, diingatkan, disentuh-sindir, bahkan dikritik pedas.
Dari sana sesungguhnya kita dapat pula mencermati perjalanan intelektual Taufiq Ismail dan konsistensinya dalam memusuhi penindasan. Dengan begitu, secara keseluruhan muatan buku ini tidak hanya memantulkan berbagai gagasan Taufiq Ismail tentang problem manusia dan kemanusiaan (: Indonesia), tetapi juga melengkapkan pemahaman kita pada proses kreatif dan pesan ideologisnya sekaligus.
Jamal D Rahman, Pemred Horison yang menulis Pengantar buku Jilid 2 dan 3, mencermati adanya dua hal berkenaan dengan sikap intelektualitas Taufiq Ismail. Pertama, menyangkut lingkaran masalah besar di sekitar: ideologi, perang, peradaban, dan pendidikan. Kedua, menyangkut kepekaan—kepedulian Taufiq Ismail dalam menjalankan tanggung jawab dan peran sosialnya sebagai sastrawan. (hlm. xxi). Bukankah salah satu tugas sastrawan coba mengolah peristiwa biasa menjadi sesuatu yang luar biasa. “… kegelisahan pada masalah besar dan kepedulian pada masalah sederhana, tampaknya dibangkitkan oleh kesadaran pengarang pada adanya ancaman serius terhadap masalah kemanusiaan.” (hlm. xxii).
Begitulah buku jilid 2 ini pun, pada hakikatnya bermuara pada perlawanan Taufiq Ismail pada siapa, pihak mana pun, wacana apa pun, atau pemikiran dan ideologi macam apa pun yang sengaja merendahkan martabat kemanusiaan atau yang coba menyakitkan hati rakyat. Sumbernya bisa lantaran terjadi pelecehan pada pendidikan, sosial, budaya, bahasa, sastra, atau apa pun. Sekadar contoh, buka saja secara sembarang buku setebal 801 halaman ini—tentu di luar pengantar dan indeks—maka yang segera dapat kita tangkap adalah muara atas sikap perlawanan atau suara pembelaan itu.
Jika Abdul Hadi WM menyebut kepenyairan Taufiq Ismail tidak terlepas pada ketangkasan dan kemahirannya berpuisi, maka dalam keseluruhan esainya, kita pun akan tersihir oleh ketangkasan dan kemahirannya menciptakan narasi. Dalam hal ini, ada semacam kesadaran, bahwa kecantikan esai –seperti juga puisi—terletak pada permainan bahasa. Maka benarlah kiranya adagium: penyair yang baik adalah penulis esai yang baik. Taufiq Ismail telah membuktikan adagium itu. Periksa misalnya, esai “Dongeng-Dongeng Seri Hewan” (Harian Kami, 16 Desember 1967; hlm. 163—5), “Bahasa Indonesia, 2128” (Tempo, 8 November 1980; hlm. 314—8) atau esai mana pun yang termuat dalam buku ini. Jadi, di luar pesan moral atau ideologis yang disampaikannya, buku jilid 2 ini boleh juga kita tempatkan sebagai panduan menulis esai tentang perlawanan dan pembelaan yang dikemas dalam bahasa yang cantik, metaforis, dan menyentuh hati.
Jilid 3 juga berisi Himpunan Tulisan Taufiq Ismail dalam rentang waktu yang sama dengan jilid 2 (1960—2008). Yang membedakannya adalah pengelompokannya. Jika jilid 2 berdasarkan media massa yang memuatnya, jilid 3 berdasarkan ragam tulisannya. Seluruhnya ada 149 tulisan yang dikelompokkan secara tematik. Sambutan untuk buku lain menempati urutan terbanyak (55 tulisan). Berikutnya berasal dari wawancara (24 tulisan), perbandingan pengajaran sastra (23 tulisan), kesan perjalanan di Afrika Selatan (19 tulisan), obituari (18 tulisan), cerpen (tujuh cerpen, tiga di antaranya cerpen terjemahan), tulisan dari buku antologi (tiga) dan sebuah drama yang pernah dimuat Horison, Agustus 1966.
Nada tulisan dalam jilid 3 ini agak berbeda dengan buku jilid 2. Di luar tulisan tentang pengajaran sastra dan karya kreatif, sebagian besar cenderung apresiatif. Meski begitu, kita masih dapat merasakan bahwa keseluruhannya ditulis Taufiq Ismail dengan empati, dengan keharuan hati. Maka, esai-esai obituari (hlm. 259—358) dan pengantar untuk buku lain (hlm. 617—852), tidak hanya memancarkan kearifan dan aroma apresiasi, tetapi juga inspiring. Lalu, masalah apa saja yang diungkap dalam buku ini melalui beragam tulisan itu? Saya jadi ingat tulisan puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Dengan Puisi, Aku” (1965) dan “Aku Ingin Menulis Puisi, Yang” (1971).
Begitulah, seperti yang dikatakan Jamal D Rahman dalam Pengantarnya: ”membaca tulisan Taufiq Ismail, terutama esai-esainya (kita) hampir selalu berhadapan dengan kelincahan meramu pikiran, perasaan, imajinasi, dan kenyataan.” Sebuah kepiawaian mengarang yang sudah sampai maqamnya. Maka, membaca buku-buku Taufiq Ismail ini, tak perlu kita berkerut kening, meski kadang kala, nurani kita disentuhnya halus dan menyengat.
Jilid 4 memuat Himpunan Lirik Lagu (1972—2008) yang dibawakan grup musik Bimbo, God Bless, Ucok Harahap, Chryse, Niki Astria sampai ke Armand Maulana. Meski lirik lagu itu juga termuat dalam jilid 1, dua Kata Pengantar Taufiq Ismail: “Panjang Kali boleh Diukur, Panjang Sajadah Siapa dapat Menduga” (xi—xxx) dan “Rindu Menonton Konser Nabi Daud ‘Alayhissalam” (xxxi—xxxv) mengungkapkan sisi lain dari sebuah proses kreatif. Itulah yang kerap diistilahkan para penyair sebagai “wahyu” atau yang diyakini para penulis sebagai “tangan malaikat”.
***
Akhirnya, tak ada kata lain yang pantas disematkan pada keempat buku karya Taufiq Ismail ini: Bacalah! Niscaya kau akan gagal menyembunyikan kebahagian yang menyergap seketika selepas membacanya. Percayalah!
*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok.
http://mahayana-mahadewa.com/
Taufiq Ismail, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1—4 (Jakarta: Horison, 2008; xlii + 1076 hlm; xxxiv + 801 hlm; xxxii + 880 hlm; xxxviii + 101 hlm)
“Taufiq Ismail tak ingin memperingati usianya, tetapi perbuatannya. Sebab, hidup itu perbuatan,” begitu Fadli Zon, Ketua Panitia Peluncuran Buku Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1—4 (Jakarta: Horison, 2008; xlii + 1076 hlm; xxxiv + 801 hlm; xxxii + 880 hlm; xxxviii + 101 hlm) menegaskan semangat yang melandasi acara peluncuran keempat buku karya Taufiq Ismail (14 Mei 2008) di Aula Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Keseluruhannya, keempat buku itu berjumlah 3004 halaman, termasuk halaman pelengkap dan indeks. Inilah rekor baru ketebalan buku karya seorang penyair.
Meskipun begitu, tentu saja yang jauh lebih penting bukanlah perkara tebal—tipisnya buku, melainkan isinya; kedalaman dan gagasannya dalam mencermati dan memandang berbagai persoalan dan mengungkapkannya dalam berbagai ragam tulisan—prosa, puisi, drama, esai yang sedap dibaca. Meski juga ketebalan itu belum dapat dianggap mewakili kesegenapan kiprah penyair Angkatan 66 itu dalam kesusastraan dan kebudayaan Indonesia, setidak-tidaknya, kita dapat memandang sebuah lanskap yang membentangkan dinamika sosio-kultural bangsa ini dalam bingkai perpsektif perjalanan berkebudayaan 55 tahun Taufiq Ismail.
***
Mencermati keempat buku itu, tak pelak lagi, segera kita akan gagal menyembunyikan decak kita, betapa sangat serius Panitia mempersiapkan segalanya: cover dan kemasan buku yang cantik, pembagian ragam tulisan yang tepat-pas dengan sistematika yang cerdas, dan pengantar yang jernih dan terang-benderang. Jilid 1 misalnya, menghimpun puisi-puisi Taufiq Ismail yang dihasilkannya selama 55 tahun kiprah kepenyairannya (1953—2008). Di sana, ada pengantar Taufiq Ismail yang bersahaja dengan segala kerendahan hatinya; ada pula Pengantar Fadli Zon yang ringkas mengungkap latar belakang dan muatan keempat buku itu. Selepas itu, Prof. Dr. Abdul Hadi WM membentangkan apresiasi komprehensif dan analisis yang tajam—lewat estetika India—atas keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku ini.
Bagi Abdul Hadi, puisi-puisi Taufiq Ismail secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga periode: awal (1950-an—1970-an), tengah (1970-an—1980-an) dan ketiga (1980-an sampai sekarang). Pada periode awal, puisi-puisi Taufiq Ismail hadir bukan sekadar sebagai potret sosial an sich, melainkan juga ekspresi penghayatan dan keharuan hati. Faktor itulah yang kerap menggiring pembaca ikut menggerakkan hati dan imajinasinya. Pada periode kedua, salah satu kekuatannya terletak pada aspek afinitas, pertalian batin lantaran ada pengalaman yang sama yang bersumber pada sikap religiusitas. Adapun periode ketiga, selain ditandai dengan kecenderungan gaya prosaik—naratif dengan pemanfaatan bahasa diskursif yang indah dan memikat, juga menunjukkan kepekaannya pada sejarah dan lingkungan sosial yang ditopang oleh ketangkasan dan kemahirannya berpuisi (hlm. xlii).
Pengantar Abdul Hadi sungguh merupakan jalan terang yang memungkinkan kita dapat mengapresiasi keseluruhan puisi Taufiq Ismail tanpa kecemasan terjerumus ke dalam lorong gelap yang menyesatkan. Tentu saja di sana masih tersedia lautan tafsir sesuai dengan tingkat pengalaman pembaca berkenaan dengan pengetahuannya tentang sejarah bangsa ini, intensitas tindak spiritualitas dalam berdekatan dengan Tuhan, dan kegelisahan atas karut-marut kehidupan sosial—budaya—politik yang kini laksana telah menjadi pemandangan sehari-hari.
Jilid 2 berisi 193 esai –dan beberapa puisi—yang pernah dipublikasikan di delapan media massa dan satu di media lain untuk berbagai keperluan dalam rentang waktu 1960—2008. Beberapa di antara esai itu, ada pula yang dimuat secara bersambung. Kembali, yang lebih penting dari data kuantitatif itu adalah gagasan Taufiq Ismail dengan muara yang sama: kehidupan berkebudayaan bangsa ini yang disampaikan dengan kualitas esai yang setaraf dengan kepenyairannya. Dalam konteks itu, khasnya membaca esai-esai Taufiq Ismail, kita enteng saja diajak pada sebuah dongeng, kelakar, laporan, atau kisah ringan, padahal yang dibincangkan di sana adalah pegunungan masalah kemanusiaan nasional—internasional, yang diteroka, diingatkan, disentuh-sindir, bahkan dikritik pedas.
Dari sana sesungguhnya kita dapat pula mencermati perjalanan intelektual Taufiq Ismail dan konsistensinya dalam memusuhi penindasan. Dengan begitu, secara keseluruhan muatan buku ini tidak hanya memantulkan berbagai gagasan Taufiq Ismail tentang problem manusia dan kemanusiaan (: Indonesia), tetapi juga melengkapkan pemahaman kita pada proses kreatif dan pesan ideologisnya sekaligus.
Jamal D Rahman, Pemred Horison yang menulis Pengantar buku Jilid 2 dan 3, mencermati adanya dua hal berkenaan dengan sikap intelektualitas Taufiq Ismail. Pertama, menyangkut lingkaran masalah besar di sekitar: ideologi, perang, peradaban, dan pendidikan. Kedua, menyangkut kepekaan—kepedulian Taufiq Ismail dalam menjalankan tanggung jawab dan peran sosialnya sebagai sastrawan. (hlm. xxi). Bukankah salah satu tugas sastrawan coba mengolah peristiwa biasa menjadi sesuatu yang luar biasa. “… kegelisahan pada masalah besar dan kepedulian pada masalah sederhana, tampaknya dibangkitkan oleh kesadaran pengarang pada adanya ancaman serius terhadap masalah kemanusiaan.” (hlm. xxii).
Begitulah buku jilid 2 ini pun, pada hakikatnya bermuara pada perlawanan Taufiq Ismail pada siapa, pihak mana pun, wacana apa pun, atau pemikiran dan ideologi macam apa pun yang sengaja merendahkan martabat kemanusiaan atau yang coba menyakitkan hati rakyat. Sumbernya bisa lantaran terjadi pelecehan pada pendidikan, sosial, budaya, bahasa, sastra, atau apa pun. Sekadar contoh, buka saja secara sembarang buku setebal 801 halaman ini—tentu di luar pengantar dan indeks—maka yang segera dapat kita tangkap adalah muara atas sikap perlawanan atau suara pembelaan itu.
Jika Abdul Hadi WM menyebut kepenyairan Taufiq Ismail tidak terlepas pada ketangkasan dan kemahirannya berpuisi, maka dalam keseluruhan esainya, kita pun akan tersihir oleh ketangkasan dan kemahirannya menciptakan narasi. Dalam hal ini, ada semacam kesadaran, bahwa kecantikan esai –seperti juga puisi—terletak pada permainan bahasa. Maka benarlah kiranya adagium: penyair yang baik adalah penulis esai yang baik. Taufiq Ismail telah membuktikan adagium itu. Periksa misalnya, esai “Dongeng-Dongeng Seri Hewan” (Harian Kami, 16 Desember 1967; hlm. 163—5), “Bahasa Indonesia, 2128” (Tempo, 8 November 1980; hlm. 314—8) atau esai mana pun yang termuat dalam buku ini. Jadi, di luar pesan moral atau ideologis yang disampaikannya, buku jilid 2 ini boleh juga kita tempatkan sebagai panduan menulis esai tentang perlawanan dan pembelaan yang dikemas dalam bahasa yang cantik, metaforis, dan menyentuh hati.
Jilid 3 juga berisi Himpunan Tulisan Taufiq Ismail dalam rentang waktu yang sama dengan jilid 2 (1960—2008). Yang membedakannya adalah pengelompokannya. Jika jilid 2 berdasarkan media massa yang memuatnya, jilid 3 berdasarkan ragam tulisannya. Seluruhnya ada 149 tulisan yang dikelompokkan secara tematik. Sambutan untuk buku lain menempati urutan terbanyak (55 tulisan). Berikutnya berasal dari wawancara (24 tulisan), perbandingan pengajaran sastra (23 tulisan), kesan perjalanan di Afrika Selatan (19 tulisan), obituari (18 tulisan), cerpen (tujuh cerpen, tiga di antaranya cerpen terjemahan), tulisan dari buku antologi (tiga) dan sebuah drama yang pernah dimuat Horison, Agustus 1966.
Nada tulisan dalam jilid 3 ini agak berbeda dengan buku jilid 2. Di luar tulisan tentang pengajaran sastra dan karya kreatif, sebagian besar cenderung apresiatif. Meski begitu, kita masih dapat merasakan bahwa keseluruhannya ditulis Taufiq Ismail dengan empati, dengan keharuan hati. Maka, esai-esai obituari (hlm. 259—358) dan pengantar untuk buku lain (hlm. 617—852), tidak hanya memancarkan kearifan dan aroma apresiasi, tetapi juga inspiring. Lalu, masalah apa saja yang diungkap dalam buku ini melalui beragam tulisan itu? Saya jadi ingat tulisan puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Dengan Puisi, Aku” (1965) dan “Aku Ingin Menulis Puisi, Yang” (1971).
Begitulah, seperti yang dikatakan Jamal D Rahman dalam Pengantarnya: ”membaca tulisan Taufiq Ismail, terutama esai-esainya (kita) hampir selalu berhadapan dengan kelincahan meramu pikiran, perasaan, imajinasi, dan kenyataan.” Sebuah kepiawaian mengarang yang sudah sampai maqamnya. Maka, membaca buku-buku Taufiq Ismail ini, tak perlu kita berkerut kening, meski kadang kala, nurani kita disentuhnya halus dan menyengat.
Jilid 4 memuat Himpunan Lirik Lagu (1972—2008) yang dibawakan grup musik Bimbo, God Bless, Ucok Harahap, Chryse, Niki Astria sampai ke Armand Maulana. Meski lirik lagu itu juga termuat dalam jilid 1, dua Kata Pengantar Taufiq Ismail: “Panjang Kali boleh Diukur, Panjang Sajadah Siapa dapat Menduga” (xi—xxx) dan “Rindu Menonton Konser Nabi Daud ‘Alayhissalam” (xxxi—xxxv) mengungkapkan sisi lain dari sebuah proses kreatif. Itulah yang kerap diistilahkan para penyair sebagai “wahyu” atau yang diyakini para penulis sebagai “tangan malaikat”.
***
Akhirnya, tak ada kata lain yang pantas disematkan pada keempat buku karya Taufiq Ismail ini: Bacalah! Niscaya kau akan gagal menyembunyikan kebahagian yang menyergap seketika selepas membacanya. Percayalah!
*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok.
Mempromosikan Karya Penulis Indonesia
Rofiqi Hasan
http://www.tempointeraktif.com/
Dewa Syiwa dan Dewi Uma resah. Situasi jagat sedang diwarnai kekalutan, konflik, dan ketidakseimbangan. Dari Nirwana, akhirnya mereka mengutus tiga dewa, yakni Brahma, Wisnu, dan Iswara, untuk mengatasinya. Ketiganya lalu menjelma menjadi tiga tokoh yang populer dalam kesenian Bali, yakni Telek (wanita berparas cantik dengan pakaian serba putih), Barong, dan Topeng Merah.
Bahu-membahu mereka mengatasi para perusuh yang dilambangkan oleh Rangda. Melalui berbagai pertempuran, akhirnya mereka berhasil mewujudkan Tri Hita Karana. Ini adalah keseimbangan dalam hubungan manusia dengan Tuhan, dengan alam, serta dengan sesama.
Fragmentari karya Made Wija itu menandai pembukaan Ubud Writers & Reader Festival (UWRF), Rabu malam lalu, di Puri Saren, Ubud. Ratusan penulis dari 30 negara, termasuk dari Indonesia, berbaur menikmati tarian itu.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika, penggagas UWRF Janet De Neefe, dan para tokoh Puri Ubud menjadi tuan rumah. “Terima kasih, karena event ini memberi kesan positif bagi Bali, padahal tanpa bantuan sedikit pun dari pemerintah,” ujar Pastika. Tri Hita Karana, yang menjadi tema utama UWRF, disebutnya akan membuat orang luar makin penasaran pada keindahan Bali.
Menurut Janet, tema itu dirasa relevan di tengah situasi konflik antarbangsa yang terjadi saat ini. Padahal, di sisi lain manusia menghadapi masalah bersama terkait degradasi lingkungan, perubahan iklim, kemiskinan, dan lain-lain. ”Di sini didialogkan masalah-masalah itu dengan pendekatan sastra,” ujarnya.
Meski sedikit kurang paham, para penulis asing mengaku sangat tertantang untuk menjelajahi tema tersebut. ”Sangat luas dan bisa menjadi background untuk semua tulisan,” kata penulis novel Cina Socialism is The Great, Lia Zang.
Penulis Mesir, Bahaa Taher, mengaku agak sulit memahami tema itu karena dinilainya terlalu berbau metafisika. Peraih International Prize for Arabic Fiction 2008 itu justru ingin mendapatkan perspektif baru melalui pembicaraan dengan penulis dari latar belakang budaya yang sangat beragam.
Keduanya berharap tema itu akan menjadi pengantar untuk lebih jauh mengenal kesusastraan Indonesia. Selama ini karya sastrawan Indonesia sangat sulit diperoleh di negara mereka.
Separah apakah kondisinya? Penulis Indonesia yang tinggal di Jepang, Lily Yulianti, menyebutkan, sastra Indonesia di luar negeri nyaris tak dikenal. Karya yang bisa ditemui masih sebatas karya penulis senior semisal Pramoedya Ananta Toer (alm.) dan Ahmad Tohari. Ia menilai perlu agen khusus untuk menerjemahkan dan mempromosikan karya penulis Indonesia ke luar.
Soal itu, menurut Janet De Neefe, memang menjadi tujuan UWRF. Salah satunya dirintis dengan forum yang mempertemukan penulis dengan kalangan penerbit asing. Mulai tahun ini, pihaknya juga akan menyeleksi karya-karya sastrawan Indonesia yang dianggap layak untuk diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Inggris.
http://www.tempointeraktif.com/
Dewa Syiwa dan Dewi Uma resah. Situasi jagat sedang diwarnai kekalutan, konflik, dan ketidakseimbangan. Dari Nirwana, akhirnya mereka mengutus tiga dewa, yakni Brahma, Wisnu, dan Iswara, untuk mengatasinya. Ketiganya lalu menjelma menjadi tiga tokoh yang populer dalam kesenian Bali, yakni Telek (wanita berparas cantik dengan pakaian serba putih), Barong, dan Topeng Merah.
Bahu-membahu mereka mengatasi para perusuh yang dilambangkan oleh Rangda. Melalui berbagai pertempuran, akhirnya mereka berhasil mewujudkan Tri Hita Karana. Ini adalah keseimbangan dalam hubungan manusia dengan Tuhan, dengan alam, serta dengan sesama.
Fragmentari karya Made Wija itu menandai pembukaan Ubud Writers & Reader Festival (UWRF), Rabu malam lalu, di Puri Saren, Ubud. Ratusan penulis dari 30 negara, termasuk dari Indonesia, berbaur menikmati tarian itu.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika, penggagas UWRF Janet De Neefe, dan para tokoh Puri Ubud menjadi tuan rumah. “Terima kasih, karena event ini memberi kesan positif bagi Bali, padahal tanpa bantuan sedikit pun dari pemerintah,” ujar Pastika. Tri Hita Karana, yang menjadi tema utama UWRF, disebutnya akan membuat orang luar makin penasaran pada keindahan Bali.
Menurut Janet, tema itu dirasa relevan di tengah situasi konflik antarbangsa yang terjadi saat ini. Padahal, di sisi lain manusia menghadapi masalah bersama terkait degradasi lingkungan, perubahan iklim, kemiskinan, dan lain-lain. ”Di sini didialogkan masalah-masalah itu dengan pendekatan sastra,” ujarnya.
Meski sedikit kurang paham, para penulis asing mengaku sangat tertantang untuk menjelajahi tema tersebut. ”Sangat luas dan bisa menjadi background untuk semua tulisan,” kata penulis novel Cina Socialism is The Great, Lia Zang.
Penulis Mesir, Bahaa Taher, mengaku agak sulit memahami tema itu karena dinilainya terlalu berbau metafisika. Peraih International Prize for Arabic Fiction 2008 itu justru ingin mendapatkan perspektif baru melalui pembicaraan dengan penulis dari latar belakang budaya yang sangat beragam.
Keduanya berharap tema itu akan menjadi pengantar untuk lebih jauh mengenal kesusastraan Indonesia. Selama ini karya sastrawan Indonesia sangat sulit diperoleh di negara mereka.
Separah apakah kondisinya? Penulis Indonesia yang tinggal di Jepang, Lily Yulianti, menyebutkan, sastra Indonesia di luar negeri nyaris tak dikenal. Karya yang bisa ditemui masih sebatas karya penulis senior semisal Pramoedya Ananta Toer (alm.) dan Ahmad Tohari. Ia menilai perlu agen khusus untuk menerjemahkan dan mempromosikan karya penulis Indonesia ke luar.
Soal itu, menurut Janet De Neefe, memang menjadi tujuan UWRF. Salah satunya dirintis dengan forum yang mempertemukan penulis dengan kalangan penerbit asing. Mulai tahun ini, pihaknya juga akan menyeleksi karya-karya sastrawan Indonesia yang dianggap layak untuk diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Inggris.
Kata-Kata Telah Membuat Teater Tersiksa*
S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/
Tahun 2009 menjadi tahun yang sibuk bagi proses berteater S.Jai. Di tahun yang penuh agenda politik ini, S.Jai melakukan serangkaian pentas monolog. Naskah yang diusung sama, Racun Tembakau. Saduran dari cerpen Anton Chekov berjudul “On The Harmful Effects of Tobacco.”
Selama bulan Oktober kemarin, S.Jai bersama Teater Keluarganya menggelar Campus Tour Monologue di Universitas Dr Soetomo Surabaya, Universitas Negeri Malang, dan Universitas Trunojoyo Madura. Sebelumnya, Drama ini dipentaskan dua kali di Unair Surabaya dan satu kali di RRI Surabaya.
Apakah spirit yang menggelibat dalam diri S.Jai? Apakah hal ikwal dramaturgi yang dikukuhinya? Dan, Apakah visi sosio-kultural yang sedang diperjuangkannya? Kepada Kidung, S.Jai membeberkan secara panjang dan lebar.
1. Beberapa seniman, saya tidak perlu menyebutkan namanya, mencibir kerja teater Anda yang bekerjasama dengan LSM yang bergerak di bidang kampanye anti rokok. Dikatakan, teater Anda pun tidak terbebas dari kampanye tersebut. Artinya, tujuan teater Anda patut dicurigai sebatas pesanan. Bagaimana Anda menanggapi situasi ini? Apa yang sebenarnya Anda usung dalam teater Anda?
Oya? Ha..ha.. Tapi memang itu sangat mungkin terjadi. Ya, dari pilihan kata anda “mencibir” ini ada semacam rasa tidak hormat entah ditujukan pada saya atau pada orang yang karna itu tak perlu anda sebut. Begini, barangkali anggapan itu bisa terjadi lebih karena ketidakmauan atau kekurang pahaman atas apa itu LSM dan sangat mungkin juga tentang kesenian itu sendiri. Tapi ini saya kira sangat mungkin terjadi. Di negeri ini lebih sekadar fakta LSM memang punya nasib direputasikan buruk, meski tentu saja tidak semuanya seperti itu. Ini persoalan sendiri yang tidak satupun tidak penting. Bagaimana ini bisa terjadi di negeri berkembang seperti negara kita tapi sungguh tidak terjadi pada Non Government Organisation (NGO) Negara-negara maju. Tidak satu pun negera di dunia ini tidak menghendaki kemajuan. NGO menjadi sangat terhormat, disegani, professional dan tidak lebih buruk perannya atas Negara. Lalu, dalam hal kesenian termasuk di dalamnya teater, tentu saya memahami bahwa teater yang bagus justru jauh dari pesan, apalagi pesanan. Teater yang bagus yang mempertimbangkan, mencari dan menemukan kesan mendalam.
2. Lantas mengapa Anda tetap bertaruh terhadap tema pesanan?
Saya bekerja atas dasar konsep yang saya cari dan saya gagas, tidak atas dasar pesanan instan. Dengan penuh rasa hormat, saya bisa mengerti dengan tuduhan pada saya seperti itu. Apalagi, wilayah ini amat mengundang kontroversi. Karena itu, saya perlu ungkapkan perihal gagasan dasar dari teater saya ini segamblang-gamblangnya di dalam katalog pertunjukkan. Tapi begini, pilihan atas naskah Anton Chekov bukan tanpa pertimbangan penting bagi proses kerja teater ini. Meski sebetulnya saya bisa menulis naskah saya sendiri, apalagi andaikata saya betul-betul bekerja atas pesanan. Kesederhanaan karya Anton Chekov seperti kita ketahui sangat misterius, apalagi dibungkus dengan tragic comedy atau black humor yang amat menggelikan. Menziarahi naskah seperti ini, saya kira dalam kerja teater sudah benar dan menjaga keutuhan proses kreatif. Amat jelas misteri itu ternyata lebih banyak dari yang diciptakan Anton Chekov. Dari pilihan judulnya saja “Racun Tembakau” sudah memukul sebagian orang bukan? Permulaan abad 20 ketika muncul Racun Tembakau, tentu berbeda dengan masa sekarang abad 21. Dalam pekerjaan teater saya tentu hal ini membutuhkan gagasan baru, setidaknya untuk ditawarkan pada public teater. Inipun saya kira proses kerja berkesinambungan yang tidak gampang. Memerlukan pembacaan paradigma teater, sejarah teater dan sebagainya. Pendeknya, tidak satupun pekerjaan kreatif saya, dalam hal init eater, juga sastra yang benar-benar melepaskan diri dari masalah keilmuan. Nah, saya kira ini tidak terjadi pada setiap yang disebut pesanan, apalagi kampanye. Saya mempertimbangkan betul dari banyak kajian keilmuan kendati semuanya pada akhirnya musti mengerucut pada persoalan kesenian itu sendiri, sejak imajinasi, persepsi , interpretasi, intuisi dan lain-lain. Bahkan untuk membuat satu kesimpulan atau solusi saja dalam teater saya ini tidak bisa. Karena memang kesenian tidak menghendaki pentingnya kesimpulan atau pesan. Menjauhkan pesan dan menggali kesan saya kira lebih bijak.
3. Anda berlari jauh dari pesan dan justru menyelami ilmu pengetahuan. Bisa dijabarkan maksudnya?
Saya kira itulah pentingnya bekerja atas dasar keilmuan, dan saya yakin titik temunya pada apa yang digariskan Bertolt Brecht bahwa antara ilmuwan dan seniman itu memiliki tugas kemanusiaan yang sama yakni meringankan beban hidup manusia. Bila ilmuwan bertugas untuk menemukan jawaban persoalan-persoalan dalam mengungkap misteri keilmuan demi kesejahteraan hidup manusia di semesta, maka kehadiran kesenian sebagai penyeimbang karena keberadaannya dimaksudkan untuk “menghibur.” Bagi siapa yang bisa bertarung di situ, kepada mereka kita sudah selayaknya dan patut mengangkat topi karena sebetulnya mereka bergulat memaknai diri di tengah samudera alam semesta—sekecil apapun makna itu baginya—inilah kreativitas. Di luar tentu banyak kontroversi kendati disiplin ilmu telah demikian diterapkan. Jika pun itu terjadi ya mungkin ilmu itu sendiri perlu dihadapi dengan sikap apriori—terus mempertanyakan keabsahnya—juga demi kualitas hidup yang lebih baik. Bolehlah saya sedikit singgung perihal tembakau misalnya. Kajian ilmu kesehatan silakan bicara, dari sisi ilmu social boleh menyampaikan pendapatnya, juga agama. Bahkan dari lembaga-lembaga yang punya otoritas dan kekuasaan saja ketika menyampaikan sikap dan kesimpulannnya ternyata membuahkan gurita kontroversi yang berbelit melilit. Apalagi andaikata kemudian kesenian sudi terlibat di dalamnya. Teater saya tidak melakukan hal itu. Itu bukan wilayahnya teater. Saya hanya bermain saja dan mengajak penonton teater untuk sepakat bermain dalam satu ruang pertunjukkan yang saya bangun dengan apa yang saya sebut Realisme Primitif itu. Seharusnya memang di luar ruang bermain yang saya bangun, di luar sana mustinya banyak ruang-ruang bermain lainnya. Tapi sepertinya tidak banyak terjadi.
4. Anda mengutip salah satu dialog dalam drama Caligula karya Albert Camus. Apa arti dari pemikiran Albert Camus dalam kerja kreatif Anda?
Benar. Itu saya pakai untuk mengawali tulisan konsep estetis dan artistic pada katalog pertunjukkan saya. Ya, dunia sastra juga drama saat ini saya kira tidak bisa tidak musti berteduh di bawah bayang karya-karya dan pemikiran Albert Camus. Dalam arti lintasan sejarah, karya dan kritik sastra dan teater pastilah bersentuhan dengan pemikiran-pemikirannya, sejauh atau sedikit apapun garis paradigma yang dia pilih. Saya mengutip salah satu dialog Caligula-nya Camus, Mencintai seseorang sama artinya rela menjadi tua di sampingnya.” Untuk menumbuhkan spirit absurditas yang harus kita akui hingga kini jadi ujung terjauh pemikiran yang luar biasa pencapaiannya di bidang seni. Hanya Camus memang bukan satu-satunya masih ada yang perlu dibaca lainnya, Sampar (Camus), The Waiting for Godot, Endgame (Beckett), Zarathustra (Nietzsche) dan sejenisnya. Nah, apa salahnya mana kala di masa kini kutipan itu untuk menumbuhkan spirit menggali dan menziarahi naskah lain demi keperluan penggarapan proses teater Racun Tembakau. Saya kira saya punya hak untuk itu. Sebagaimana saya punya hak untuk membangun kembali pikiran tokoh-tokoh itu, atau setidaknya menghadirkan lagi dalam kontek baru, untuk kemudian saya coba memaknai dalam pengertiannya yang baru pula di teater ini. Diakui, Camus dan sederet nama tokoh absudis yang lain, mereka adalah sederet para “nabi” senjakala mondernitas, dengan kitab-kitabnya yang mengkritik puncak-puncak nalar yang diboncengi cemburu, ambisi, serakah, dan berbuah sikap metafisik atau sikap jiwa yang nampaknya samar tetapi jelas, jauh tetapi dekat. Suatu sikap yang dalam pandangan mereka sebetulnya sama sekali sia-sia, tapi perlu meski tak harus berarti penting. Bahkan hingga paling tersia (pesimis maupun optimis). Bagi mereka yang penting adalah hidup “indah” menyongsong kematian. Pendeknya, setiap orang harus menjadi “nabi” baru dengan kitab baru.
5. Ini menarik sekali. Menjadi nabi baru dengan kitab baru. Anda menjangkau dimensi spiritual.
Nah, dengan spirit seperti ini, atas nama “nabi” dan “kitab” pula pada akhirnya saya mensebangunkan absurditas dalam gaya hidup untuk menghibur diri dan bermain. Menghibur dan bermain dalam pengertian berada pada tingkat keseriusan yang menurut istilah Johan Huizinga ludic, bermain tapi bukan main-main. Menghibur dalam kurungan hukum mitos sisiphus mendorong batu besar ke atas bukit sebelum akhirnya menggelinding lagi ke bawah lembah. Atau sang Dajjal yang menggergaji besi api neraka, tapi suara adzan mengutuhkannya lagi dari gigitan gigi gergaji. Bahwa Adanya kepercayaan pada suatu tragedi besar manusia—sadar bahwa dirinya sia-sia. Yaitu, kesadaran yang menggerakkan eksistensinya, kesadaran sebagaimana gairah jabang bayi saat mula pertama menyusuri, menyusui payudara ibunya. Saya kira, dan ini menurut pendapat saya, atas nama kepuasan pribadi pula sebetulnya pada diri seorang ”nabi” seperti Nietzsche, sehingga dengan itu ia kemudian kembali ke sikap filosof yang penuh penderitaan yang dalam bahasa penganut budha Tanha dan purba, dengan mengembalikan filsafat ke alam aslinya dalam kebudayaan yang primitif. Saya kira, kegairahan hidup seperti itu bisa terjadi pada siapa saja. Pada para “nabi” hebat di bumi ini ketika melawan atau setidaknya menundukkan, mengerti duduk perkaranya, berhadapan setiap yang terang-terangan mengamputasi bagian “tubuh” dan jiwa seseorang demi untuk menemukan keutuhannya, kebebasannya, kegairahannya. Semacam ke kegairahan dalam diri yang tak pernah berhenti, dari seorang penganut spirit neo-absurdis. Nah, saya mencoba menumbuhkan spirit itu pada tokoh On the Harmful Effects of Tobacco versi saya, versi abad supercanggih dan avantgard, abad yang menggelikan ha..ha..ha..:
6. Anda mengusung estetika realisme-primitif. Saya kira ini gagasan baru dalam khazanah teater di Jawa Timur, mungkin juga Indonesia. Kalau tidak salah, Anda bertahan dengan kalimat-kalimat keseharian (realism) sekaligus Anda mengekspresikannya dengan bahasa tubuh yang nyeneh (primitif). Tolong dijabarkan pokok-pokok dari gagasan estetik tersebut?
Saya kira seluruh proses kerja kesenian, juga tentu saja teater tak bisa terlepas dari gagasan estetik dan artistic. Tadi sempat saya singgung sedikit perihal proses kreatif teater Racun Tembakau. Ya, estetika realism primitif sebetulnya bermula dari kegelisahan saya atas suatu peristiwa teater. Ketika peristiwa teater itu sebetulnya adalah peristiwa sederhana, tapi perkembangan mutakhir sejarah teater menyebabkan kata-kata telah membuat teater itu sendiri tersiksa, yaitu ketika kata-kata memenjara jiwa dan tubuh aktor dalam realitasnya. Kegelisahan itu mungkin bukan hal baru, ketika teater yang percaya pada kata untuk sanggup membebaskan tubuh dan jiwa aktornya, sebetulnya hal itu suatu kesia-siaan. Lalu dimana spirit teater saya dalam hal ini? Saya kira pada usaha saya menyoal kata-kata keseharian sebagai semacam realism, dan semangat bertahan pada derita tubuh itu demi menumbuhkan temuan-temuan bermain yang agak nyleneh. Ya, saya kira semangat itu lebih pada suatu kesanggupan dan kerelaan untuk menyerahkan diri pada proses berteater dan terbuka pada konsep keindahan, pencarian kebenaran melalui gagasan estetik maupun artistik dalam ruang dan waktu demi meringankan beban tugas kemanusiaan. Tanpa kesanggupan itu, kita hanya menjadi sekadar orang biasa. Dalam bahasa dramawan Rusia Stanilavsky, sesuatu yang dimaksud adalah ketika teater digagas dalam sifatnya yang ilusif dengan menyikapi kehidupan ilusif secara tulus dan jujur. Semacam peneguhan sikap metafisis dan jiwa seseorang untuk menyampaikan kegairahan hidup bahwa di tubuhnya terhampar ruang dan waktu yang terdesak untuk dihadirkan dalam suasana masa kini—dunia baru pertunjukkan teater dalam konsepsi yang sama sekali baru, di luar stereotif hidup sehari-hari.
7. Anda menyoba menafsirkan kembali paham realism, begitukah?
Nah, saya kira yang saya sebut belakangan ini nampaknya sudah melompat dari paham realism yang kita kenal. Yang tentu saja, tak bisa begitu saja dilepaskan dari muasal kegelisahan saya. Saya sering tergoda untuk berpendapat bahwa jangan-jangan tidak ada hal yang betul-betul penganut realism dalam teater. Atau setidaknya barangkali perlu epistemology baru perihal apa itu realisme. Atau bukan mustahil musti dicari jawab atas pertanyaan sejauh mana kesalingterpengaruhan antara teater realis dan yang bukan dalam hal ini saya coba tawarkan kehadiran teater tradisi dengan kelisanannya. Saya harus mengakui kita punya tradisi kelisanan yang luar biasa sebelum akhirnya dihibrida dan lain sebagainya. Pertanyaan penting sebetulnya teater tradisi kita yang dipengaruhi atau mengapa kita tidak gali dengan teater tradisi lantas kita coba mempengaruhi teater realis misalnya. Terus terang itu cukup menggoda saya. Terlebih godaan lainnya saya kira juga terinspirasi dari apa yang telah dilakukan oleh dramawan-dramawan kita yang mendunia Akhudiat, Basuki Rachmat. Bahkan pencapaain-pencapaian seniman Markeso dan juga Kartolo juga amat menginspirasi saya.
8. Apakah Anda juga mengambil spirit homo ludens?
Apa yang saya sebut konsepsi yang sama sekali baru, di luar stereotif hidup sehari-hari, dan dalam ruang waktu tertentu, itu memang saya ambil dari bahasa Johan Huizinga. Saya teringat pengakuan seorang avantgard Sardono W Kusumo saat puncak-puncak pencapaian kesenimanannya yang membuatnya kesohor di seantero dunia, bagaimana mulanya ia amat tertarik dan mengeksplorasi dunia anak-anak. Saya kira barangkali kitabnya serupa dangan punya Johan Huizinga, homo ludens. Bagi Huizinga, makluk bermain ada pada tubuh binatang dan manusia yang dalam masa kini cukup terwakili pada diri anak-anak dan sebagian orang yang mengalami gangguan jiwa. Tidak ada salahnya bila saya coba di teater, sekaligus saya bisa menghitung seberapa jauh kemungkinan pencapaiannya, sebagaimana kawan-kawan Kelompok Seni Rupa Bermain pernah mencobanya di bidang seni rupa. Terlebih di era yang kian tipis batas-batas antar tata artistic bidang seni yang lain. Saya coba mempertimbangkan metode bermain dalam arti guna menjajagi segala kemungkinan estetik dan artistik dalam teater, terbuka terhadap segala ruang bagi paradigma-paradigma paling mutakhir, konsepsi-konsepsi paling avant-garde, wilayah-wilayah garapan paling actual, juga bentuk-bentuk paling tidak mungkin. Asalkan, persyaratan kebebasan, bukan kehidupan biasa, dan tertutup sejak mula hingga berakhirnya, tak bisa ditawar. Suasana penuh keriangan, sonder peduli apakah sifatnya sakral atau hiburan meski tetap disertai semangat luhur. Apa yang saya kemukakan belakangan ini, sebetulnya dalam rangka upaya saya untuk menciptakan ruang, baik dalam tubuh maupun di luar tubuh dalam suasana ruang teater. Apa yang saya katakan ini sekaligus usaha saya untuk membangun kembali pengutuhan, setidaknya tak saling menjauh dari keadaan itu. Inilah kreativitas sesuatu tempat bermain keluar masuknya ide-ide dan keluar masuknya jiwa dalam tubuh-tubuh teater tanpa menganiaya, memperkosanya.
9. Anda memilih bermain monolog. Dalam arti harafiah, monolog dipahami sebagai teater yang dimainkan hanya oleh satu aktor. Artinya, banyak tantangan yang musti dihadapi sendiri oleh sang aktor di atas panggung. Bagaimana Anda telah mengantisipasi tantangan ini dan apakah Anda memiliki pemahaman khusus atas kinerja monolog dalam teater?
Pertanyaan inilah yang seringkali mengusik audience teater di tempat-tempat pertunjukkan saya. Harus jujur saya akui, hal yang sama terjadi pada saya. Saya juga punya kegelisahan perihal monolog baik dari sisi estetika maupun artistiknya. Terlebih manakala dua hal estetika dan artistiknya terjadi pengutuhan dalam satu garapan pertunjukkan teater, saya kira ternyata banyak muncul hal-hal baru yang boleh jadi bila kita kritis tentu memperkaya pandangan tentang monolog itu sendiri. Betapa pun saya kira itu sah terjadi dalam ruang waktu peristiwa teater. Saya tak bisa berpanjang lebar menjelaskan hal ini, selain karena terlalu banyak contoh kasusnya, juga saya kira jatuh pada masalah-masalah gambaran teknis belaka. Mungkin saya bisa katakana perihal kemungkinan konsepsi-konsepsi monolog yang bisa ditumbuhkan atas pemahaman saya. Saya sering mengajukan banyak tanya, mungkinkah sebuah pertunjukkan mencoba menggali kemungkinan baru tentang monolog dalam teater? Lalu, akankah dalam situasi di tengah hiruk pikuk zaman ketika dari hari ke hari, jam, menit dan detik makin banyak pula orang dan barang yang sibuk bermonolog, lantas menawarkan bentuk lain monolog sebagai sebuah ideologi dalam arti point of view (sudut pandang)? Lantas efektifkah bila “menyebarkan” sudut pandang aku yang bukan mustahil tak ada bedanya jika diganti sudut pandang kami asalkan keduanya sama-sama mempertahankan sikap sepihak? Saya kira jawaban dari seorang yang menjunjung tinggi keilmuan, tentu semua itu bukan hal yang tidak mungkin. Saya pernah coba ekperimen gagasan ini saat menggarap pertunjukkan monolog naskah saya Alibi, beberapa waktu lalu ketika saya gagas dari tradisi teater tutur dalam konsep “Upaya Mengelola Spirit Neo-Primitif.” Secara kritis boleh saja kita berpendapat jangan-jangan tidak ada hal-hal yang benar-benar monolog, pada saat pertunjukkan ternyata serius menciptakan, memelihara, dan menumbuhkan “dialog” dalam bentuk apapun dan kepada siapapun yang ada dalam satu ruang bermain teater, justru demi kelangsungan teater itu sendiri baik sebagai tontonan, upacara, hiburan, atau sebagai apa saja. Saya kira ini persoalan konseptual dan epistemologi kita bersama. Saya sendiri tidak bersikukuh pada satu bentuk. Yang terpenting bagi saya adalah mencari puncak pencapaian keindahan dari titik temu persoalan gagasan estetik dan bentuk artistic. Yang saya tegaskan adalah kita atau saya tidak sedang bermain teater sendiri. Di luar lebih banyak tubuh-tubuh dan benda yang memiliki ruang waktu dan sejarah sendiri pula. Bermain teater bergaul dengan banyak riwayat di luar diri dan tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang, Sesuatu yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung terdalam manusia. Sesuatu telah menggerakkan untuk saling menjaga, sepanjang tidak mengurangi kebebasannya untuk mengaktualisasi diri ke dalam sebentuk peristiwa teater.
10. Bergerak ke wilayah tema. Apa yang menarik dari naskah Racun Tembakau sampai Anda merasa perlu memainkannya berulangkali dan di beberapa tempat?
Misterinya. Saya katakan tadi setiap karya yang bagus, menyimpan banyak misterinya. Bukan berarti saya gila misteri dalam arti sempit. Tentu saja misteri yang saya maksudkan adalah karya yang menginspirasi untuk terciptanya bentuk dan gagasan baru berkesenian. Sebetulnya jawaban atas pertanyaan ini tak bisa terlepas dari apa yang sebelumnya saya kemukakan perihal gagasan estetik saya tadi, sehingga saya menempatkan Racun Tembakau-nya Anton Chekov sebagai semacam naskah dasar yang perlu saya tulis ulang dengan di sana-sini saya perkaya dengan tafsir saya atas suatu zaman, suatu keadaan, dan suatu trauma-trauma untuk demi pertanggungjawaban kualitas proses kreatif saya. Ketika membaca Racun Tembakau, sastra ini berusaha menyingkap problem kejiwaan manusia modern. Yakni manusia yang menggugat dimana batas-batasnya dari pelbagai konflik kejiwaan, antara lelaki dan perempuan, masalah pribadi dan keilmuan, kepribadian dan hilangnya kepribadian, keluarga dan masyarakat, juga masalah ingatan akan masa lalu dan hari depan. Masalah merokok bisa jadi adalah pemantik. Namun, bukan mustahil justru menjadi ruang yang luang, bagi seorang yang sangat peka, memiliki masalah kejiwaan yang akut dan komplek seperti terjadi pada tokoh suami dalam Racun Tembakau ini. Titik temu dari gagasan estetik dan artistik saya dengan drama yang dikenal tragic comedi yang sarat dengan guyonan satir nan getir ini, pada apa yang saya sebut “estetika mempersulit diri” dari setiap soal sederhana perjalanan hidup tokoh Racun Tembakau. Saya coba menggarap ruang yang luang untuk mengembangkan estetika paling sulit ini.
11. Estetika paling sulit? Mengapa bisa begitu?
Ruang luang yang saya maksudkan adalah samudera jiwa yang selama ini abai karena serbuan nalar-nalar yang sangat cerdas. Pentingnya menziarahi trauma jiwa tokoh suami dalam drama ini. Kendatipun dari gagasan estetik yang saya sampaikan, puncak alam bawah sadar yang penting pula diziarahi adalah peluang mitos, agama, dan kepercayaan tokoh suami dalam menjalani kesulitan hidupnya. Beberapa hal terakhir ini tak tergarap juga atas pertimbangan estetik dan artistik karena tak adanya puncak pencapaian di situ. Saya lebih fokus pada upaya mengeksplorasi trauma jiwa sampai batas ujung terjauh, tanpa menafikan sisi kemanusian, baik terhadap masyarakat, keluarga—istri dan anak-anak, juga sudah barangtentu agama. Lantas mengapa saya perlu memainkannya berkali-kali, saya kira selain karena ini terkait proses kerja berkesenian, juga atas pertimbangan komunikasi dengan publik teater sebanyak mungkin, seluas mungkin. Yang menggelitik saya dari keberlangsungan penggarapan teater ini, di luar dugaan saya, ketika mengerahkan segala daya imajinasi, intuisi, interpretasi, juga persepti atas tokoh itu, saya punya keberanian untuk menyangka bahwa bahaya laten yang kuat diidap tokoh suami dalam Racun Tembakau adalah: memiliki ingatan. Memiliki ingatan menjadi sebuah hukuman seumur hidup. Kerinduan satu-satunya hanyalah pada kemampuan untuk tidak mengingat. Merindukan kepala, pikiran, perasaan, emosi yang bersih dari segala noda bernama ingatan. Ingatanlah yang menyebabkan dirinya tersiksa, kesulitan hidup sepanjang masa. Karena itu kerinduannya hanyalah pada saat diri tidak tahu berapa umur, siapa nama anak-anak istri, dan apa yang bakal diperbuat esok hari. Membayangkan bila tak memiliki ingatan adalah mendapatkan kenyataan betapa jernih hidup sehari-hari. Tak perlu lagi mengisahkan bagaimana ada saling hisap dalam kehidupan sehari-hari, rumah tangga, negara dan sebagainya apalagi yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Membayangkan tanpa ingatan, hanyalah perlu ruang tanpa waktu untuk bermain sesuka ria, bermain drama sekehendak hatinya, karena bagi yang tanpa ingatan setiap waktu adalah masa kini. Sayang, hal itu hanya kerinduan belaka. Kenyataannya, masih perlu menggagas ”estetika mempersulit diri” dalam bermain drama meski jelas-jelas saling menyiksa, saling menganiaya. Sekalipun menyiksa dan menganiaya diri sendiri. Begitulah kurang lebihnya, ada kurang ada lebihnya..he..he…
12. Saat ini, bidang seni teater di Surabaya atau di Jawa Timur bisa dikatakan cukup memprihatinkan. Sangat sedikit jumlah kelompok teater yang mengadakan pentas. Dari sedikit itu, kualitas pertunjukannya juga masih patut dipertanyakan. Menurut Anda, apa yang menjadi latar belakang situasi ini? Apakah perlu ada terobosan sehingga situasi bisa lebih kondusif?
Ini pertanyaan yang terus terang saya sulit menjawab. Dibutuhkan banyak data, dan saya kira tidak cukup dengan banyak data. Butuh analisa. Sebab boleh jadi pertanyaan itu berujung pada penghakiman teaterawan-teaterawan kita. Padahal dari banyak data mustinya pertanyaan serupa juga musti dijawab oleh semisal perihal keberadaan kritikus teater kita, pengetahuan dan pendokumentasian sejarah teater kita utamanya di Surabaya dan Jawa Timur, kelompok-kelompok teater, sejauh mana peran media, atau barangkali juga kepedulian pemerintah dan sebagainya. Jawaban atas segala pertanyaan itupun, sekalipun dengan analisa, bukan mustahil juga tidak sepenuhnya tepat. Saya sendiri sangat percaya pada sikap keras kepala dan saya yakin seniman-seniman teater kita tidak sedikit yang keras kepala, baik teater tradisional maupun modern, di daerah-daerah terpencil yang kurang tersentuh, atau di kampus-kampus dan laboratorium seni hanya bisa bekerja tetapi tidak terbiasa dengan publikasi yang bagus. Dari rangkaian perjalanan saya ke daerah utamanya di kampus-kampus di Malang, Madura, dan Tentu saja di Surabaya, gairah dan kegelisahan kreatif mereka luar biasa. Secara umum, memang boleh dikata memprihatinkan bila dibandingkan dengan kegairahan perkembangan sejarah teater di era-era sebelumnya utamanya tahun 1980. Tapi itu tidak hanya terjadi pada teater. Seni yang lain sama halnya demikian. Era-era itu nama Akhudiat dan Basuki Rachmat amat disegani dengan kentrung rock dan mendunianya ludruk melalui tangan dan pikiran dingin Basuki Rachmat. Penulis lakon dan sutradara yang keras kepala. Mencuatnya teater sampakan di Surabaya yang sempat mempengaruhi gaya teater di Yogyakarta saya kira perlu dicatat pencapaian teater Jawa Timur yang penting. Tentu saja dua tokoh teater itu tidak muncul sendiri dengan membawa nama BMSnya itu. Di tahun 1990 sejarah teater sebagai tontonan pun menempatkan kelompok-kelompok seperti Teater Ragilnya Meimura dan Teater API cukup disegani, setidaknya juga dalam hal keras kepalanya pada proses berteater. Pada era-era itu sebetulnya banyak orang berharap pada sosok sutradara muda yang gemilang Zaenuri, ketika drama Nyai Adipati memukau para kritikus teater dalam ajang bergengsi Temu Teater Indonesia 1993. Sekali lagi nama dan kelompok ini tidak sendiri. Puluhan komunitas teater yang lain juga di luar daerah terus mencari diri dalam setiap pertunjukkannya, keras kepala menemukan estetika dan bentuk pengucapan bahasa-bahasa teaternya sendiri pula. Bagitulah, sedikit banyak saya harus bicara masa lalu karena pertanyaan anda sebetulnya mengarah pada bagaimana sejarah teater kita Surabaya atau Jawa Timur.
13. Apakah problem ini sebatas tanggungjawab pelaku teater?
Saya kira saat ini yang jauh lebih penting selain keras kepala para teaterawan kita, juga adalah memiliki harapan yang lebih baik. Soal kualitas pertunjukkan boleh dinomor duakan, juga kepedulian luar perkembangan teater penting untuk dipacu utamanya terkait dengan dunia kritik teater kita. Bagi yang menilai perhatian pemerintah penting ataukah tidak silakan saja. Saya sendiri bukan mengatakan tidak penting, namun selama ini tak pernah mendapatkan hal itu. Syukurlah banyak kawan-kawan lama saya yang mensupport dan mungkin juga kasihan dengan keras kepala saya he..he..he.. Sebetulnya, bagi saya sendiri ada hal yang sejak lama mengelitik pikirannya saya sejak lama dan menjadi pertanyaan yang tak pernah usai. Yaitu tentang keberadaan teater kampus. Teater kampus ini, dalam sejarah pertumbuhan teater kita punya andil besar. Dugaan saya saat ini andil untuk menciptakan iklim pertumbuhan teater yang lebih baik, dari kampus ini jauh lebih besar. Ini catatan rangkaian pertemuan saya dengan sejumlah komunitas di Madura, Surabaya dan Malang. Saya kira bila diimbangi kritikus yang matang dan bertanggungjawab serta media yang serius dan intens menyuarakan gagasan kesenian, beberapa tahun kedepan iklim teater kita berubah. Syukur bila pemerintah turun tangan setidaknya merawat pencapaian-pencapaian mereka. Anda bisa bayangkan bagaimana pertunjukkan saya di Bangkalan ditonton lebih 200 audiense dari Sampang, Sumenep, Pamekasan dan Bangkalan. Bahkan sampai datang menyewa bus. Komunitas-komunitas mereka bersemangat, kritis, terbuka, antusias. Saya menduga kalaupun kelak komunitas mereka gigih berteater itu karena kemauannya kerasnya sendiri. Oya, soal terobosan saya kira dalam kerja berkebudayaan musti semuanya berpikir. Bagaimana pun juga kebudayaan selalu demi memperjuangkan kualitas hidup yang lebih baik. Terobosannya secara filosofis yaitu tadi demi kualitas hidup yang lebih baik dalam hal ini kesenian dan jangan keluar dari itu semua, apalagi untuk kepentingan lain, semisal memperkaya diri, jalan pintas menuju terkenal dan lain sebagainya. Bayangkan bila kita bersama-sama memberikan ruang bagi kebudayaan, kesenian, teater sebaik kita bagaimana memikirkan kualitas hidup yang lebih baik. Saat ini saya kira tidak semuanya berpikiran seperti ini, kecuali bagi yang keras kepala tadi.
14. Bagaimana Anda membandingkan kinerja teater di Jawa Timur dengan kinerja teater di Jogyakarta, Solo, Bandung, maupun Jakarta?
Saya kira masing-masing punya keunikan sendiri, termasuk Surabaya atau Jawa Timur, bila dibandingkan Jogjakarta, Solo, Bandung maupun Jakarta. Yang punya jaringan kuat ya teater kampus. Tadi saya sudah singgung sedikit perihal sejarah teater di Surabaya dan Jawa Timur. Salah satu keunikan Surabaya adalah mengapa kota ini lebih cepat lumpuh perkembangan keseniannya, teater juga sastra. Meskipun dalam keadaan seperti ini mereka-mereka yang berani melawan virus melumpuhkan ternyata memang sangat disegani di dunia luar. Sudah ada contoh dalam bidang sastra sikap keras kepala penyair-penyair muda dari kampus Universitas Airlangga dan kemudian menyusul dari Universitas Negeri Surabaya. Bidang teater tidak ada. Saya geli dengan iklim seperti ini, lantas saya 2004 saya mendirikan Komunitas Teater Keluarga. Komunitas ini bermula dari kegelisahan di pinggiran Jalan Airlangga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga) yang berlanjut kehendak mempertemukan setiap lalu lintas ide dalam satu simpul—untuk mengejawantahkannya. Di sekitar Jalan Airlangga, tepatnya depan kampus Universitas Airlangga Surabaya berhumbalang gagasan-gagasan dari sekelompok intelektual muda yang mampir di kedai-kedai kopi. Sejak dari penyair, wartawan, pengarang, penganggur hingga yang masih menyandang status mahasiswa. Jadi semangatnya karena puncak-puncak pencapaian kepenyairan kala itu, kian membuat timpang untuk jagad teater dan prosa. Saya kira keunikan teater di Surabaya dan Jawa Timur lebih pada ”bertahan pada wilayah gersang” itu. Selain di Jawa Timur yang punya sub-kultur beragam juga berimplikasi pada tumbuhnya teater-teater di daerah yang tentu saja dalam hal ini perlu kajian lebih mendalam. Teater di Jogjakarta munculnya teater Garasi yang bermula dari kampus UGM menarik untuk disimak sebagai teater yang ”sangat modern” meninggalkan jauh kelompok-kelompok teater ”modern” yang marak sisa peninggalan gaya Mataram dari Teater Dinasti dan Bengkel Teater Rendra dan sebagian lagi teater sampakan yang ”diimpor” dari Surabaya. Solo saya kira tidak banyak yang bisa saya catat selain belum bergesernya dari puncak pencapaian estetika Teater Gapitnya almarhum Bambang Widoyo SP. Kalaupun punya punya keunikan saya kira jelas dibanding Bandung dan Jakarta, ya pada iklim perteateran di dalamnya. Maraknya pagelaran dan diskusi yang diselenggarakan komunitas-komunitas seni di Jakarta dan Bandung. Sementara di sini, hal itu jarang terjadi. []
***
S. JAI Jebolan Sastra Indonesia saat bernaung pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga. Dari ingatan orangtuanya—pasangan Ali Bin Tamsir, tukang kebun sebuah perusahaan peninggalan Hindia Belanda dan Markonah bekas bunga desa yang buta huruf—ia lahir Ahad Kliwon, 4 Pebruari 1973 melalui dukun bayi dekat kaki gunung Kelud. Namun demi keperluan birokrasi sekolah, surat kenal lahir musti diubah 4 Pebruari 1972. Pada 1991 memperdalam sastra dan budaya hingga menyelesaikan studinya tujuh tahun lamanya. Bergaul sejumlah komunitas seniman Bengkel Muda Surabaya (BMS), Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB), Teater Puska, Teater Gapus, Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Bermula dari bermain drama, terlibat penggarapan sejumlah lakon baik sebagai aktor, penulis maupun sutradara. Diantaranya, Nyai Adipati, Jalan Tembakau, Samadi, Alibi, Caligula. Pernah mengikuti Pertemuan Teater Indonesia tahun 1993 di Surakarta. Di awal gerakan reformasi, tahun 1994 terlibat kegiatan Malam Seni Luar Biasa di Dewan Kesenian Surabaya memperingati 100 hari pembredelan Tempo, Editor, Detik bersama seniman dari Surabaya, Gresik, Blitar, Solo dan Yogyakarta. Tahun 1995 bersama KSRB membuat gerakan budaya dalam puisi, cerpen, teater, seni rupa dalam Kami di Depan Republik di STSI Denpasar. Selaku kontributor gagasan Seni Rupa Peristiwa, tahun 1998 esainya termaktub dalam katalog Istighotsah Tanah Garam, penyerta ritual tanah di lokasi rencana pembangunan waduk Nipah di Sampang Madura. Pada 1999 selaku kontributor gagasan gerakan budaya Wayang Kentrung Tiji Tibeh kerjasama dengan The Japan Foundation. Selain esainya termaktub pada katalog, juga selaku sutradara bersama Saiful Hadjar, Harman Sumarta, Amir Kiah, dan dramawan Akhudiat. Di lapangan sastra, cerita pendek pertamanya priyayi dimuat di koran Surya yang kemudian memberinya kesempatan untuk bekerja sebagai jurnalis selama beberapa tahun. Sastra digelutinya setelah meninggalkan kegiatan jurnalistiknya. Berturut-turut ia melahirkan sejumlah novel. Novel pertamanya Tanah Api diterbitkan LkiS Yogyakarta 2005. Sementara novelnya yang lain Gurah , semula sebagian fragmennya dimuat bersambung di harian sore Surabaya Post dari Pebruari hingga Mei 2005 di bawah Tak Sempat Dikubur. Lantas, Tanha, Kekasih yang Terlupa adalah sebuah novel yang diilhami dari menggali spirit mitos Cerita Panji dan kini dalam persiapan terbit, 2010. Salah satu gagasan sastra pasca mitos termaktub dalam buku Konservasi Budaya Panji diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009. Agustus 2004 mendirikan Komunitas Teater Keluarga—Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga. Inilah awal Komunitas Teater Keluarga menggagas teater monolog Alibi yang ditulis dan disutradarainya sendiri. Alibi digagas dalam bentuk ”Gerakan Seni Budaya Mengelola Spirit Neo-Primitif: Sebuah Konsep Gagasan Teater Tutur” pada November 2004 di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Sederet penggagas utama S. Jai, penyair F Aziz Manna, dan musisi Widi Asyaari. Kemudian sejumlah nama turut memberi kontribusi diantaranya Mashuri, Indra Tjahjadi, Putera Manuaba, Zeus NUman Anggara, Listiyono Santoso, Adi Setidjowati. Pada Oktober 2008 menggelar teater Racun Tembakau adaptasi dari On the Harmful Effects of Tobacco, Anton Chekov dengan gagasan “Estetika Realisme - Primitif, Testimoni, dan Pengutuhan Kualitas Hidup.” Berlanjut hingga sepanjang tahun 2009 gencar menyebarkan gagasan tersebut di kampus-kampus Surabaya, Malang dan Bangkalan. Menulis esai, cerpen di pelbagai media massa. Sejumlah gagasan kesenian dan kebudayaan dari prosa, puisi, drama, hingga film yang hendak dikumpulkan di bawah Kumpulan Konsep Kebudayaan. Sedikit dari cerita pendeknya masih tersimpan dalam bentuk manuskrip biasa di bawah judul Sepotong Cinta dan Senyum Rupiah. Hingga kini masih rajin mempublikasikan dan membacakan cerita-ceritanya pada khalayak. Catatan pekerjaannya juga dikumpulkan di bawah judul Berbagi Nikotin (Inspirasi di Balik Hisap Menghisap Tembakau). Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehari-harinya ayah Raushan Damir, Khasyful Kanzan Makhfi dan Zahra Ulayya Mahjati ini bekerja selaku Head of Arts and Cultural Outreach, The Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya–sebuah lembaga pemberdayaan yang bergerak di bidang pendampingan, pendidikan alternatif dan penelitian masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.
*) Dalam Majalah Seni dan Budaya Dewan Kesenian Jawa Timur, KIDUNG Edisi 15 2009.
http://ahmad-sujai.blogspot.com/
Tahun 2009 menjadi tahun yang sibuk bagi proses berteater S.Jai. Di tahun yang penuh agenda politik ini, S.Jai melakukan serangkaian pentas monolog. Naskah yang diusung sama, Racun Tembakau. Saduran dari cerpen Anton Chekov berjudul “On The Harmful Effects of Tobacco.”
Selama bulan Oktober kemarin, S.Jai bersama Teater Keluarganya menggelar Campus Tour Monologue di Universitas Dr Soetomo Surabaya, Universitas Negeri Malang, dan Universitas Trunojoyo Madura. Sebelumnya, Drama ini dipentaskan dua kali di Unair Surabaya dan satu kali di RRI Surabaya.
Apakah spirit yang menggelibat dalam diri S.Jai? Apakah hal ikwal dramaturgi yang dikukuhinya? Dan, Apakah visi sosio-kultural yang sedang diperjuangkannya? Kepada Kidung, S.Jai membeberkan secara panjang dan lebar.
1. Beberapa seniman, saya tidak perlu menyebutkan namanya, mencibir kerja teater Anda yang bekerjasama dengan LSM yang bergerak di bidang kampanye anti rokok. Dikatakan, teater Anda pun tidak terbebas dari kampanye tersebut. Artinya, tujuan teater Anda patut dicurigai sebatas pesanan. Bagaimana Anda menanggapi situasi ini? Apa yang sebenarnya Anda usung dalam teater Anda?
Oya? Ha..ha.. Tapi memang itu sangat mungkin terjadi. Ya, dari pilihan kata anda “mencibir” ini ada semacam rasa tidak hormat entah ditujukan pada saya atau pada orang yang karna itu tak perlu anda sebut. Begini, barangkali anggapan itu bisa terjadi lebih karena ketidakmauan atau kekurang pahaman atas apa itu LSM dan sangat mungkin juga tentang kesenian itu sendiri. Tapi ini saya kira sangat mungkin terjadi. Di negeri ini lebih sekadar fakta LSM memang punya nasib direputasikan buruk, meski tentu saja tidak semuanya seperti itu. Ini persoalan sendiri yang tidak satupun tidak penting. Bagaimana ini bisa terjadi di negeri berkembang seperti negara kita tapi sungguh tidak terjadi pada Non Government Organisation (NGO) Negara-negara maju. Tidak satu pun negera di dunia ini tidak menghendaki kemajuan. NGO menjadi sangat terhormat, disegani, professional dan tidak lebih buruk perannya atas Negara. Lalu, dalam hal kesenian termasuk di dalamnya teater, tentu saya memahami bahwa teater yang bagus justru jauh dari pesan, apalagi pesanan. Teater yang bagus yang mempertimbangkan, mencari dan menemukan kesan mendalam.
2. Lantas mengapa Anda tetap bertaruh terhadap tema pesanan?
Saya bekerja atas dasar konsep yang saya cari dan saya gagas, tidak atas dasar pesanan instan. Dengan penuh rasa hormat, saya bisa mengerti dengan tuduhan pada saya seperti itu. Apalagi, wilayah ini amat mengundang kontroversi. Karena itu, saya perlu ungkapkan perihal gagasan dasar dari teater saya ini segamblang-gamblangnya di dalam katalog pertunjukkan. Tapi begini, pilihan atas naskah Anton Chekov bukan tanpa pertimbangan penting bagi proses kerja teater ini. Meski sebetulnya saya bisa menulis naskah saya sendiri, apalagi andaikata saya betul-betul bekerja atas pesanan. Kesederhanaan karya Anton Chekov seperti kita ketahui sangat misterius, apalagi dibungkus dengan tragic comedy atau black humor yang amat menggelikan. Menziarahi naskah seperti ini, saya kira dalam kerja teater sudah benar dan menjaga keutuhan proses kreatif. Amat jelas misteri itu ternyata lebih banyak dari yang diciptakan Anton Chekov. Dari pilihan judulnya saja “Racun Tembakau” sudah memukul sebagian orang bukan? Permulaan abad 20 ketika muncul Racun Tembakau, tentu berbeda dengan masa sekarang abad 21. Dalam pekerjaan teater saya tentu hal ini membutuhkan gagasan baru, setidaknya untuk ditawarkan pada public teater. Inipun saya kira proses kerja berkesinambungan yang tidak gampang. Memerlukan pembacaan paradigma teater, sejarah teater dan sebagainya. Pendeknya, tidak satupun pekerjaan kreatif saya, dalam hal init eater, juga sastra yang benar-benar melepaskan diri dari masalah keilmuan. Nah, saya kira ini tidak terjadi pada setiap yang disebut pesanan, apalagi kampanye. Saya mempertimbangkan betul dari banyak kajian keilmuan kendati semuanya pada akhirnya musti mengerucut pada persoalan kesenian itu sendiri, sejak imajinasi, persepsi , interpretasi, intuisi dan lain-lain. Bahkan untuk membuat satu kesimpulan atau solusi saja dalam teater saya ini tidak bisa. Karena memang kesenian tidak menghendaki pentingnya kesimpulan atau pesan. Menjauhkan pesan dan menggali kesan saya kira lebih bijak.
3. Anda berlari jauh dari pesan dan justru menyelami ilmu pengetahuan. Bisa dijabarkan maksudnya?
Saya kira itulah pentingnya bekerja atas dasar keilmuan, dan saya yakin titik temunya pada apa yang digariskan Bertolt Brecht bahwa antara ilmuwan dan seniman itu memiliki tugas kemanusiaan yang sama yakni meringankan beban hidup manusia. Bila ilmuwan bertugas untuk menemukan jawaban persoalan-persoalan dalam mengungkap misteri keilmuan demi kesejahteraan hidup manusia di semesta, maka kehadiran kesenian sebagai penyeimbang karena keberadaannya dimaksudkan untuk “menghibur.” Bagi siapa yang bisa bertarung di situ, kepada mereka kita sudah selayaknya dan patut mengangkat topi karena sebetulnya mereka bergulat memaknai diri di tengah samudera alam semesta—sekecil apapun makna itu baginya—inilah kreativitas. Di luar tentu banyak kontroversi kendati disiplin ilmu telah demikian diterapkan. Jika pun itu terjadi ya mungkin ilmu itu sendiri perlu dihadapi dengan sikap apriori—terus mempertanyakan keabsahnya—juga demi kualitas hidup yang lebih baik. Bolehlah saya sedikit singgung perihal tembakau misalnya. Kajian ilmu kesehatan silakan bicara, dari sisi ilmu social boleh menyampaikan pendapatnya, juga agama. Bahkan dari lembaga-lembaga yang punya otoritas dan kekuasaan saja ketika menyampaikan sikap dan kesimpulannnya ternyata membuahkan gurita kontroversi yang berbelit melilit. Apalagi andaikata kemudian kesenian sudi terlibat di dalamnya. Teater saya tidak melakukan hal itu. Itu bukan wilayahnya teater. Saya hanya bermain saja dan mengajak penonton teater untuk sepakat bermain dalam satu ruang pertunjukkan yang saya bangun dengan apa yang saya sebut Realisme Primitif itu. Seharusnya memang di luar ruang bermain yang saya bangun, di luar sana mustinya banyak ruang-ruang bermain lainnya. Tapi sepertinya tidak banyak terjadi.
4. Anda mengutip salah satu dialog dalam drama Caligula karya Albert Camus. Apa arti dari pemikiran Albert Camus dalam kerja kreatif Anda?
Benar. Itu saya pakai untuk mengawali tulisan konsep estetis dan artistic pada katalog pertunjukkan saya. Ya, dunia sastra juga drama saat ini saya kira tidak bisa tidak musti berteduh di bawah bayang karya-karya dan pemikiran Albert Camus. Dalam arti lintasan sejarah, karya dan kritik sastra dan teater pastilah bersentuhan dengan pemikiran-pemikirannya, sejauh atau sedikit apapun garis paradigma yang dia pilih. Saya mengutip salah satu dialog Caligula-nya Camus, Mencintai seseorang sama artinya rela menjadi tua di sampingnya.” Untuk menumbuhkan spirit absurditas yang harus kita akui hingga kini jadi ujung terjauh pemikiran yang luar biasa pencapaiannya di bidang seni. Hanya Camus memang bukan satu-satunya masih ada yang perlu dibaca lainnya, Sampar (Camus), The Waiting for Godot, Endgame (Beckett), Zarathustra (Nietzsche) dan sejenisnya. Nah, apa salahnya mana kala di masa kini kutipan itu untuk menumbuhkan spirit menggali dan menziarahi naskah lain demi keperluan penggarapan proses teater Racun Tembakau. Saya kira saya punya hak untuk itu. Sebagaimana saya punya hak untuk membangun kembali pikiran tokoh-tokoh itu, atau setidaknya menghadirkan lagi dalam kontek baru, untuk kemudian saya coba memaknai dalam pengertiannya yang baru pula di teater ini. Diakui, Camus dan sederet nama tokoh absudis yang lain, mereka adalah sederet para “nabi” senjakala mondernitas, dengan kitab-kitabnya yang mengkritik puncak-puncak nalar yang diboncengi cemburu, ambisi, serakah, dan berbuah sikap metafisik atau sikap jiwa yang nampaknya samar tetapi jelas, jauh tetapi dekat. Suatu sikap yang dalam pandangan mereka sebetulnya sama sekali sia-sia, tapi perlu meski tak harus berarti penting. Bahkan hingga paling tersia (pesimis maupun optimis). Bagi mereka yang penting adalah hidup “indah” menyongsong kematian. Pendeknya, setiap orang harus menjadi “nabi” baru dengan kitab baru.
5. Ini menarik sekali. Menjadi nabi baru dengan kitab baru. Anda menjangkau dimensi spiritual.
Nah, dengan spirit seperti ini, atas nama “nabi” dan “kitab” pula pada akhirnya saya mensebangunkan absurditas dalam gaya hidup untuk menghibur diri dan bermain. Menghibur dan bermain dalam pengertian berada pada tingkat keseriusan yang menurut istilah Johan Huizinga ludic, bermain tapi bukan main-main. Menghibur dalam kurungan hukum mitos sisiphus mendorong batu besar ke atas bukit sebelum akhirnya menggelinding lagi ke bawah lembah. Atau sang Dajjal yang menggergaji besi api neraka, tapi suara adzan mengutuhkannya lagi dari gigitan gigi gergaji. Bahwa Adanya kepercayaan pada suatu tragedi besar manusia—sadar bahwa dirinya sia-sia. Yaitu, kesadaran yang menggerakkan eksistensinya, kesadaran sebagaimana gairah jabang bayi saat mula pertama menyusuri, menyusui payudara ibunya. Saya kira, dan ini menurut pendapat saya, atas nama kepuasan pribadi pula sebetulnya pada diri seorang ”nabi” seperti Nietzsche, sehingga dengan itu ia kemudian kembali ke sikap filosof yang penuh penderitaan yang dalam bahasa penganut budha Tanha dan purba, dengan mengembalikan filsafat ke alam aslinya dalam kebudayaan yang primitif. Saya kira, kegairahan hidup seperti itu bisa terjadi pada siapa saja. Pada para “nabi” hebat di bumi ini ketika melawan atau setidaknya menundukkan, mengerti duduk perkaranya, berhadapan setiap yang terang-terangan mengamputasi bagian “tubuh” dan jiwa seseorang demi untuk menemukan keutuhannya, kebebasannya, kegairahannya. Semacam ke kegairahan dalam diri yang tak pernah berhenti, dari seorang penganut spirit neo-absurdis. Nah, saya mencoba menumbuhkan spirit itu pada tokoh On the Harmful Effects of Tobacco versi saya, versi abad supercanggih dan avantgard, abad yang menggelikan ha..ha..ha..:
6. Anda mengusung estetika realisme-primitif. Saya kira ini gagasan baru dalam khazanah teater di Jawa Timur, mungkin juga Indonesia. Kalau tidak salah, Anda bertahan dengan kalimat-kalimat keseharian (realism) sekaligus Anda mengekspresikannya dengan bahasa tubuh yang nyeneh (primitif). Tolong dijabarkan pokok-pokok dari gagasan estetik tersebut?
Saya kira seluruh proses kerja kesenian, juga tentu saja teater tak bisa terlepas dari gagasan estetik dan artistic. Tadi sempat saya singgung sedikit perihal proses kreatif teater Racun Tembakau. Ya, estetika realism primitif sebetulnya bermula dari kegelisahan saya atas suatu peristiwa teater. Ketika peristiwa teater itu sebetulnya adalah peristiwa sederhana, tapi perkembangan mutakhir sejarah teater menyebabkan kata-kata telah membuat teater itu sendiri tersiksa, yaitu ketika kata-kata memenjara jiwa dan tubuh aktor dalam realitasnya. Kegelisahan itu mungkin bukan hal baru, ketika teater yang percaya pada kata untuk sanggup membebaskan tubuh dan jiwa aktornya, sebetulnya hal itu suatu kesia-siaan. Lalu dimana spirit teater saya dalam hal ini? Saya kira pada usaha saya menyoal kata-kata keseharian sebagai semacam realism, dan semangat bertahan pada derita tubuh itu demi menumbuhkan temuan-temuan bermain yang agak nyleneh. Ya, saya kira semangat itu lebih pada suatu kesanggupan dan kerelaan untuk menyerahkan diri pada proses berteater dan terbuka pada konsep keindahan, pencarian kebenaran melalui gagasan estetik maupun artistik dalam ruang dan waktu demi meringankan beban tugas kemanusiaan. Tanpa kesanggupan itu, kita hanya menjadi sekadar orang biasa. Dalam bahasa dramawan Rusia Stanilavsky, sesuatu yang dimaksud adalah ketika teater digagas dalam sifatnya yang ilusif dengan menyikapi kehidupan ilusif secara tulus dan jujur. Semacam peneguhan sikap metafisis dan jiwa seseorang untuk menyampaikan kegairahan hidup bahwa di tubuhnya terhampar ruang dan waktu yang terdesak untuk dihadirkan dalam suasana masa kini—dunia baru pertunjukkan teater dalam konsepsi yang sama sekali baru, di luar stereotif hidup sehari-hari.
7. Anda menyoba menafsirkan kembali paham realism, begitukah?
Nah, saya kira yang saya sebut belakangan ini nampaknya sudah melompat dari paham realism yang kita kenal. Yang tentu saja, tak bisa begitu saja dilepaskan dari muasal kegelisahan saya. Saya sering tergoda untuk berpendapat bahwa jangan-jangan tidak ada hal yang betul-betul penganut realism dalam teater. Atau setidaknya barangkali perlu epistemology baru perihal apa itu realisme. Atau bukan mustahil musti dicari jawab atas pertanyaan sejauh mana kesalingterpengaruhan antara teater realis dan yang bukan dalam hal ini saya coba tawarkan kehadiran teater tradisi dengan kelisanannya. Saya harus mengakui kita punya tradisi kelisanan yang luar biasa sebelum akhirnya dihibrida dan lain sebagainya. Pertanyaan penting sebetulnya teater tradisi kita yang dipengaruhi atau mengapa kita tidak gali dengan teater tradisi lantas kita coba mempengaruhi teater realis misalnya. Terus terang itu cukup menggoda saya. Terlebih godaan lainnya saya kira juga terinspirasi dari apa yang telah dilakukan oleh dramawan-dramawan kita yang mendunia Akhudiat, Basuki Rachmat. Bahkan pencapaain-pencapaian seniman Markeso dan juga Kartolo juga amat menginspirasi saya.
8. Apakah Anda juga mengambil spirit homo ludens?
Apa yang saya sebut konsepsi yang sama sekali baru, di luar stereotif hidup sehari-hari, dan dalam ruang waktu tertentu, itu memang saya ambil dari bahasa Johan Huizinga. Saya teringat pengakuan seorang avantgard Sardono W Kusumo saat puncak-puncak pencapaian kesenimanannya yang membuatnya kesohor di seantero dunia, bagaimana mulanya ia amat tertarik dan mengeksplorasi dunia anak-anak. Saya kira barangkali kitabnya serupa dangan punya Johan Huizinga, homo ludens. Bagi Huizinga, makluk bermain ada pada tubuh binatang dan manusia yang dalam masa kini cukup terwakili pada diri anak-anak dan sebagian orang yang mengalami gangguan jiwa. Tidak ada salahnya bila saya coba di teater, sekaligus saya bisa menghitung seberapa jauh kemungkinan pencapaiannya, sebagaimana kawan-kawan Kelompok Seni Rupa Bermain pernah mencobanya di bidang seni rupa. Terlebih di era yang kian tipis batas-batas antar tata artistic bidang seni yang lain. Saya coba mempertimbangkan metode bermain dalam arti guna menjajagi segala kemungkinan estetik dan artistik dalam teater, terbuka terhadap segala ruang bagi paradigma-paradigma paling mutakhir, konsepsi-konsepsi paling avant-garde, wilayah-wilayah garapan paling actual, juga bentuk-bentuk paling tidak mungkin. Asalkan, persyaratan kebebasan, bukan kehidupan biasa, dan tertutup sejak mula hingga berakhirnya, tak bisa ditawar. Suasana penuh keriangan, sonder peduli apakah sifatnya sakral atau hiburan meski tetap disertai semangat luhur. Apa yang saya kemukakan belakangan ini, sebetulnya dalam rangka upaya saya untuk menciptakan ruang, baik dalam tubuh maupun di luar tubuh dalam suasana ruang teater. Apa yang saya katakan ini sekaligus usaha saya untuk membangun kembali pengutuhan, setidaknya tak saling menjauh dari keadaan itu. Inilah kreativitas sesuatu tempat bermain keluar masuknya ide-ide dan keluar masuknya jiwa dalam tubuh-tubuh teater tanpa menganiaya, memperkosanya.
9. Anda memilih bermain monolog. Dalam arti harafiah, monolog dipahami sebagai teater yang dimainkan hanya oleh satu aktor. Artinya, banyak tantangan yang musti dihadapi sendiri oleh sang aktor di atas panggung. Bagaimana Anda telah mengantisipasi tantangan ini dan apakah Anda memiliki pemahaman khusus atas kinerja monolog dalam teater?
Pertanyaan inilah yang seringkali mengusik audience teater di tempat-tempat pertunjukkan saya. Harus jujur saya akui, hal yang sama terjadi pada saya. Saya juga punya kegelisahan perihal monolog baik dari sisi estetika maupun artistiknya. Terlebih manakala dua hal estetika dan artistiknya terjadi pengutuhan dalam satu garapan pertunjukkan teater, saya kira ternyata banyak muncul hal-hal baru yang boleh jadi bila kita kritis tentu memperkaya pandangan tentang monolog itu sendiri. Betapa pun saya kira itu sah terjadi dalam ruang waktu peristiwa teater. Saya tak bisa berpanjang lebar menjelaskan hal ini, selain karena terlalu banyak contoh kasusnya, juga saya kira jatuh pada masalah-masalah gambaran teknis belaka. Mungkin saya bisa katakana perihal kemungkinan konsepsi-konsepsi monolog yang bisa ditumbuhkan atas pemahaman saya. Saya sering mengajukan banyak tanya, mungkinkah sebuah pertunjukkan mencoba menggali kemungkinan baru tentang monolog dalam teater? Lalu, akankah dalam situasi di tengah hiruk pikuk zaman ketika dari hari ke hari, jam, menit dan detik makin banyak pula orang dan barang yang sibuk bermonolog, lantas menawarkan bentuk lain monolog sebagai sebuah ideologi dalam arti point of view (sudut pandang)? Lantas efektifkah bila “menyebarkan” sudut pandang aku yang bukan mustahil tak ada bedanya jika diganti sudut pandang kami asalkan keduanya sama-sama mempertahankan sikap sepihak? Saya kira jawaban dari seorang yang menjunjung tinggi keilmuan, tentu semua itu bukan hal yang tidak mungkin. Saya pernah coba ekperimen gagasan ini saat menggarap pertunjukkan monolog naskah saya Alibi, beberapa waktu lalu ketika saya gagas dari tradisi teater tutur dalam konsep “Upaya Mengelola Spirit Neo-Primitif.” Secara kritis boleh saja kita berpendapat jangan-jangan tidak ada hal-hal yang benar-benar monolog, pada saat pertunjukkan ternyata serius menciptakan, memelihara, dan menumbuhkan “dialog” dalam bentuk apapun dan kepada siapapun yang ada dalam satu ruang bermain teater, justru demi kelangsungan teater itu sendiri baik sebagai tontonan, upacara, hiburan, atau sebagai apa saja. Saya kira ini persoalan konseptual dan epistemologi kita bersama. Saya sendiri tidak bersikukuh pada satu bentuk. Yang terpenting bagi saya adalah mencari puncak pencapaian keindahan dari titik temu persoalan gagasan estetik dan bentuk artistic. Yang saya tegaskan adalah kita atau saya tidak sedang bermain teater sendiri. Di luar lebih banyak tubuh-tubuh dan benda yang memiliki ruang waktu dan sejarah sendiri pula. Bermain teater bergaul dengan banyak riwayat di luar diri dan tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang, Sesuatu yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung terdalam manusia. Sesuatu telah menggerakkan untuk saling menjaga, sepanjang tidak mengurangi kebebasannya untuk mengaktualisasi diri ke dalam sebentuk peristiwa teater.
10. Bergerak ke wilayah tema. Apa yang menarik dari naskah Racun Tembakau sampai Anda merasa perlu memainkannya berulangkali dan di beberapa tempat?
Misterinya. Saya katakan tadi setiap karya yang bagus, menyimpan banyak misterinya. Bukan berarti saya gila misteri dalam arti sempit. Tentu saja misteri yang saya maksudkan adalah karya yang menginspirasi untuk terciptanya bentuk dan gagasan baru berkesenian. Sebetulnya jawaban atas pertanyaan ini tak bisa terlepas dari apa yang sebelumnya saya kemukakan perihal gagasan estetik saya tadi, sehingga saya menempatkan Racun Tembakau-nya Anton Chekov sebagai semacam naskah dasar yang perlu saya tulis ulang dengan di sana-sini saya perkaya dengan tafsir saya atas suatu zaman, suatu keadaan, dan suatu trauma-trauma untuk demi pertanggungjawaban kualitas proses kreatif saya. Ketika membaca Racun Tembakau, sastra ini berusaha menyingkap problem kejiwaan manusia modern. Yakni manusia yang menggugat dimana batas-batasnya dari pelbagai konflik kejiwaan, antara lelaki dan perempuan, masalah pribadi dan keilmuan, kepribadian dan hilangnya kepribadian, keluarga dan masyarakat, juga masalah ingatan akan masa lalu dan hari depan. Masalah merokok bisa jadi adalah pemantik. Namun, bukan mustahil justru menjadi ruang yang luang, bagi seorang yang sangat peka, memiliki masalah kejiwaan yang akut dan komplek seperti terjadi pada tokoh suami dalam Racun Tembakau ini. Titik temu dari gagasan estetik dan artistik saya dengan drama yang dikenal tragic comedi yang sarat dengan guyonan satir nan getir ini, pada apa yang saya sebut “estetika mempersulit diri” dari setiap soal sederhana perjalanan hidup tokoh Racun Tembakau. Saya coba menggarap ruang yang luang untuk mengembangkan estetika paling sulit ini.
11. Estetika paling sulit? Mengapa bisa begitu?
Ruang luang yang saya maksudkan adalah samudera jiwa yang selama ini abai karena serbuan nalar-nalar yang sangat cerdas. Pentingnya menziarahi trauma jiwa tokoh suami dalam drama ini. Kendatipun dari gagasan estetik yang saya sampaikan, puncak alam bawah sadar yang penting pula diziarahi adalah peluang mitos, agama, dan kepercayaan tokoh suami dalam menjalani kesulitan hidupnya. Beberapa hal terakhir ini tak tergarap juga atas pertimbangan estetik dan artistik karena tak adanya puncak pencapaian di situ. Saya lebih fokus pada upaya mengeksplorasi trauma jiwa sampai batas ujung terjauh, tanpa menafikan sisi kemanusian, baik terhadap masyarakat, keluarga—istri dan anak-anak, juga sudah barangtentu agama. Lantas mengapa saya perlu memainkannya berkali-kali, saya kira selain karena ini terkait proses kerja berkesenian, juga atas pertimbangan komunikasi dengan publik teater sebanyak mungkin, seluas mungkin. Yang menggelitik saya dari keberlangsungan penggarapan teater ini, di luar dugaan saya, ketika mengerahkan segala daya imajinasi, intuisi, interpretasi, juga persepti atas tokoh itu, saya punya keberanian untuk menyangka bahwa bahaya laten yang kuat diidap tokoh suami dalam Racun Tembakau adalah: memiliki ingatan. Memiliki ingatan menjadi sebuah hukuman seumur hidup. Kerinduan satu-satunya hanyalah pada kemampuan untuk tidak mengingat. Merindukan kepala, pikiran, perasaan, emosi yang bersih dari segala noda bernama ingatan. Ingatanlah yang menyebabkan dirinya tersiksa, kesulitan hidup sepanjang masa. Karena itu kerinduannya hanyalah pada saat diri tidak tahu berapa umur, siapa nama anak-anak istri, dan apa yang bakal diperbuat esok hari. Membayangkan bila tak memiliki ingatan adalah mendapatkan kenyataan betapa jernih hidup sehari-hari. Tak perlu lagi mengisahkan bagaimana ada saling hisap dalam kehidupan sehari-hari, rumah tangga, negara dan sebagainya apalagi yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Membayangkan tanpa ingatan, hanyalah perlu ruang tanpa waktu untuk bermain sesuka ria, bermain drama sekehendak hatinya, karena bagi yang tanpa ingatan setiap waktu adalah masa kini. Sayang, hal itu hanya kerinduan belaka. Kenyataannya, masih perlu menggagas ”estetika mempersulit diri” dalam bermain drama meski jelas-jelas saling menyiksa, saling menganiaya. Sekalipun menyiksa dan menganiaya diri sendiri. Begitulah kurang lebihnya, ada kurang ada lebihnya..he..he…
12. Saat ini, bidang seni teater di Surabaya atau di Jawa Timur bisa dikatakan cukup memprihatinkan. Sangat sedikit jumlah kelompok teater yang mengadakan pentas. Dari sedikit itu, kualitas pertunjukannya juga masih patut dipertanyakan. Menurut Anda, apa yang menjadi latar belakang situasi ini? Apakah perlu ada terobosan sehingga situasi bisa lebih kondusif?
Ini pertanyaan yang terus terang saya sulit menjawab. Dibutuhkan banyak data, dan saya kira tidak cukup dengan banyak data. Butuh analisa. Sebab boleh jadi pertanyaan itu berujung pada penghakiman teaterawan-teaterawan kita. Padahal dari banyak data mustinya pertanyaan serupa juga musti dijawab oleh semisal perihal keberadaan kritikus teater kita, pengetahuan dan pendokumentasian sejarah teater kita utamanya di Surabaya dan Jawa Timur, kelompok-kelompok teater, sejauh mana peran media, atau barangkali juga kepedulian pemerintah dan sebagainya. Jawaban atas segala pertanyaan itupun, sekalipun dengan analisa, bukan mustahil juga tidak sepenuhnya tepat. Saya sendiri sangat percaya pada sikap keras kepala dan saya yakin seniman-seniman teater kita tidak sedikit yang keras kepala, baik teater tradisional maupun modern, di daerah-daerah terpencil yang kurang tersentuh, atau di kampus-kampus dan laboratorium seni hanya bisa bekerja tetapi tidak terbiasa dengan publikasi yang bagus. Dari rangkaian perjalanan saya ke daerah utamanya di kampus-kampus di Malang, Madura, dan Tentu saja di Surabaya, gairah dan kegelisahan kreatif mereka luar biasa. Secara umum, memang boleh dikata memprihatinkan bila dibandingkan dengan kegairahan perkembangan sejarah teater di era-era sebelumnya utamanya tahun 1980. Tapi itu tidak hanya terjadi pada teater. Seni yang lain sama halnya demikian. Era-era itu nama Akhudiat dan Basuki Rachmat amat disegani dengan kentrung rock dan mendunianya ludruk melalui tangan dan pikiran dingin Basuki Rachmat. Penulis lakon dan sutradara yang keras kepala. Mencuatnya teater sampakan di Surabaya yang sempat mempengaruhi gaya teater di Yogyakarta saya kira perlu dicatat pencapaian teater Jawa Timur yang penting. Tentu saja dua tokoh teater itu tidak muncul sendiri dengan membawa nama BMSnya itu. Di tahun 1990 sejarah teater sebagai tontonan pun menempatkan kelompok-kelompok seperti Teater Ragilnya Meimura dan Teater API cukup disegani, setidaknya juga dalam hal keras kepalanya pada proses berteater. Pada era-era itu sebetulnya banyak orang berharap pada sosok sutradara muda yang gemilang Zaenuri, ketika drama Nyai Adipati memukau para kritikus teater dalam ajang bergengsi Temu Teater Indonesia 1993. Sekali lagi nama dan kelompok ini tidak sendiri. Puluhan komunitas teater yang lain juga di luar daerah terus mencari diri dalam setiap pertunjukkannya, keras kepala menemukan estetika dan bentuk pengucapan bahasa-bahasa teaternya sendiri pula. Bagitulah, sedikit banyak saya harus bicara masa lalu karena pertanyaan anda sebetulnya mengarah pada bagaimana sejarah teater kita Surabaya atau Jawa Timur.
13. Apakah problem ini sebatas tanggungjawab pelaku teater?
Saya kira saat ini yang jauh lebih penting selain keras kepala para teaterawan kita, juga adalah memiliki harapan yang lebih baik. Soal kualitas pertunjukkan boleh dinomor duakan, juga kepedulian luar perkembangan teater penting untuk dipacu utamanya terkait dengan dunia kritik teater kita. Bagi yang menilai perhatian pemerintah penting ataukah tidak silakan saja. Saya sendiri bukan mengatakan tidak penting, namun selama ini tak pernah mendapatkan hal itu. Syukurlah banyak kawan-kawan lama saya yang mensupport dan mungkin juga kasihan dengan keras kepala saya he..he..he.. Sebetulnya, bagi saya sendiri ada hal yang sejak lama mengelitik pikirannya saya sejak lama dan menjadi pertanyaan yang tak pernah usai. Yaitu tentang keberadaan teater kampus. Teater kampus ini, dalam sejarah pertumbuhan teater kita punya andil besar. Dugaan saya saat ini andil untuk menciptakan iklim pertumbuhan teater yang lebih baik, dari kampus ini jauh lebih besar. Ini catatan rangkaian pertemuan saya dengan sejumlah komunitas di Madura, Surabaya dan Malang. Saya kira bila diimbangi kritikus yang matang dan bertanggungjawab serta media yang serius dan intens menyuarakan gagasan kesenian, beberapa tahun kedepan iklim teater kita berubah. Syukur bila pemerintah turun tangan setidaknya merawat pencapaian-pencapaian mereka. Anda bisa bayangkan bagaimana pertunjukkan saya di Bangkalan ditonton lebih 200 audiense dari Sampang, Sumenep, Pamekasan dan Bangkalan. Bahkan sampai datang menyewa bus. Komunitas-komunitas mereka bersemangat, kritis, terbuka, antusias. Saya menduga kalaupun kelak komunitas mereka gigih berteater itu karena kemauannya kerasnya sendiri. Oya, soal terobosan saya kira dalam kerja berkebudayaan musti semuanya berpikir. Bagaimana pun juga kebudayaan selalu demi memperjuangkan kualitas hidup yang lebih baik. Terobosannya secara filosofis yaitu tadi demi kualitas hidup yang lebih baik dalam hal ini kesenian dan jangan keluar dari itu semua, apalagi untuk kepentingan lain, semisal memperkaya diri, jalan pintas menuju terkenal dan lain sebagainya. Bayangkan bila kita bersama-sama memberikan ruang bagi kebudayaan, kesenian, teater sebaik kita bagaimana memikirkan kualitas hidup yang lebih baik. Saat ini saya kira tidak semuanya berpikiran seperti ini, kecuali bagi yang keras kepala tadi.
14. Bagaimana Anda membandingkan kinerja teater di Jawa Timur dengan kinerja teater di Jogyakarta, Solo, Bandung, maupun Jakarta?
Saya kira masing-masing punya keunikan sendiri, termasuk Surabaya atau Jawa Timur, bila dibandingkan Jogjakarta, Solo, Bandung maupun Jakarta. Yang punya jaringan kuat ya teater kampus. Tadi saya sudah singgung sedikit perihal sejarah teater di Surabaya dan Jawa Timur. Salah satu keunikan Surabaya adalah mengapa kota ini lebih cepat lumpuh perkembangan keseniannya, teater juga sastra. Meskipun dalam keadaan seperti ini mereka-mereka yang berani melawan virus melumpuhkan ternyata memang sangat disegani di dunia luar. Sudah ada contoh dalam bidang sastra sikap keras kepala penyair-penyair muda dari kampus Universitas Airlangga dan kemudian menyusul dari Universitas Negeri Surabaya. Bidang teater tidak ada. Saya geli dengan iklim seperti ini, lantas saya 2004 saya mendirikan Komunitas Teater Keluarga. Komunitas ini bermula dari kegelisahan di pinggiran Jalan Airlangga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga) yang berlanjut kehendak mempertemukan setiap lalu lintas ide dalam satu simpul—untuk mengejawantahkannya. Di sekitar Jalan Airlangga, tepatnya depan kampus Universitas Airlangga Surabaya berhumbalang gagasan-gagasan dari sekelompok intelektual muda yang mampir di kedai-kedai kopi. Sejak dari penyair, wartawan, pengarang, penganggur hingga yang masih menyandang status mahasiswa. Jadi semangatnya karena puncak-puncak pencapaian kepenyairan kala itu, kian membuat timpang untuk jagad teater dan prosa. Saya kira keunikan teater di Surabaya dan Jawa Timur lebih pada ”bertahan pada wilayah gersang” itu. Selain di Jawa Timur yang punya sub-kultur beragam juga berimplikasi pada tumbuhnya teater-teater di daerah yang tentu saja dalam hal ini perlu kajian lebih mendalam. Teater di Jogjakarta munculnya teater Garasi yang bermula dari kampus UGM menarik untuk disimak sebagai teater yang ”sangat modern” meninggalkan jauh kelompok-kelompok teater ”modern” yang marak sisa peninggalan gaya Mataram dari Teater Dinasti dan Bengkel Teater Rendra dan sebagian lagi teater sampakan yang ”diimpor” dari Surabaya. Solo saya kira tidak banyak yang bisa saya catat selain belum bergesernya dari puncak pencapaian estetika Teater Gapitnya almarhum Bambang Widoyo SP. Kalaupun punya punya keunikan saya kira jelas dibanding Bandung dan Jakarta, ya pada iklim perteateran di dalamnya. Maraknya pagelaran dan diskusi yang diselenggarakan komunitas-komunitas seni di Jakarta dan Bandung. Sementara di sini, hal itu jarang terjadi. []
***
S. JAI Jebolan Sastra Indonesia saat bernaung pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga. Dari ingatan orangtuanya—pasangan Ali Bin Tamsir, tukang kebun sebuah perusahaan peninggalan Hindia Belanda dan Markonah bekas bunga desa yang buta huruf—ia lahir Ahad Kliwon, 4 Pebruari 1973 melalui dukun bayi dekat kaki gunung Kelud. Namun demi keperluan birokrasi sekolah, surat kenal lahir musti diubah 4 Pebruari 1972. Pada 1991 memperdalam sastra dan budaya hingga menyelesaikan studinya tujuh tahun lamanya. Bergaul sejumlah komunitas seniman Bengkel Muda Surabaya (BMS), Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB), Teater Puska, Teater Gapus, Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Bermula dari bermain drama, terlibat penggarapan sejumlah lakon baik sebagai aktor, penulis maupun sutradara. Diantaranya, Nyai Adipati, Jalan Tembakau, Samadi, Alibi, Caligula. Pernah mengikuti Pertemuan Teater Indonesia tahun 1993 di Surakarta. Di awal gerakan reformasi, tahun 1994 terlibat kegiatan Malam Seni Luar Biasa di Dewan Kesenian Surabaya memperingati 100 hari pembredelan Tempo, Editor, Detik bersama seniman dari Surabaya, Gresik, Blitar, Solo dan Yogyakarta. Tahun 1995 bersama KSRB membuat gerakan budaya dalam puisi, cerpen, teater, seni rupa dalam Kami di Depan Republik di STSI Denpasar. Selaku kontributor gagasan Seni Rupa Peristiwa, tahun 1998 esainya termaktub dalam katalog Istighotsah Tanah Garam, penyerta ritual tanah di lokasi rencana pembangunan waduk Nipah di Sampang Madura. Pada 1999 selaku kontributor gagasan gerakan budaya Wayang Kentrung Tiji Tibeh kerjasama dengan The Japan Foundation. Selain esainya termaktub pada katalog, juga selaku sutradara bersama Saiful Hadjar, Harman Sumarta, Amir Kiah, dan dramawan Akhudiat. Di lapangan sastra, cerita pendek pertamanya priyayi dimuat di koran Surya yang kemudian memberinya kesempatan untuk bekerja sebagai jurnalis selama beberapa tahun. Sastra digelutinya setelah meninggalkan kegiatan jurnalistiknya. Berturut-turut ia melahirkan sejumlah novel. Novel pertamanya Tanah Api diterbitkan LkiS Yogyakarta 2005. Sementara novelnya yang lain Gurah , semula sebagian fragmennya dimuat bersambung di harian sore Surabaya Post dari Pebruari hingga Mei 2005 di bawah Tak Sempat Dikubur. Lantas, Tanha, Kekasih yang Terlupa adalah sebuah novel yang diilhami dari menggali spirit mitos Cerita Panji dan kini dalam persiapan terbit, 2010. Salah satu gagasan sastra pasca mitos termaktub dalam buku Konservasi Budaya Panji diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009. Agustus 2004 mendirikan Komunitas Teater Keluarga—Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga. Inilah awal Komunitas Teater Keluarga menggagas teater monolog Alibi yang ditulis dan disutradarainya sendiri. Alibi digagas dalam bentuk ”Gerakan Seni Budaya Mengelola Spirit Neo-Primitif: Sebuah Konsep Gagasan Teater Tutur” pada November 2004 di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Sederet penggagas utama S. Jai, penyair F Aziz Manna, dan musisi Widi Asyaari. Kemudian sejumlah nama turut memberi kontribusi diantaranya Mashuri, Indra Tjahjadi, Putera Manuaba, Zeus NUman Anggara, Listiyono Santoso, Adi Setidjowati. Pada Oktober 2008 menggelar teater Racun Tembakau adaptasi dari On the Harmful Effects of Tobacco, Anton Chekov dengan gagasan “Estetika Realisme - Primitif, Testimoni, dan Pengutuhan Kualitas Hidup.” Berlanjut hingga sepanjang tahun 2009 gencar menyebarkan gagasan tersebut di kampus-kampus Surabaya, Malang dan Bangkalan. Menulis esai, cerpen di pelbagai media massa. Sejumlah gagasan kesenian dan kebudayaan dari prosa, puisi, drama, hingga film yang hendak dikumpulkan di bawah Kumpulan Konsep Kebudayaan. Sedikit dari cerita pendeknya masih tersimpan dalam bentuk manuskrip biasa di bawah judul Sepotong Cinta dan Senyum Rupiah. Hingga kini masih rajin mempublikasikan dan membacakan cerita-ceritanya pada khalayak. Catatan pekerjaannya juga dikumpulkan di bawah judul Berbagi Nikotin (Inspirasi di Balik Hisap Menghisap Tembakau). Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehari-harinya ayah Raushan Damir, Khasyful Kanzan Makhfi dan Zahra Ulayya Mahjati ini bekerja selaku Head of Arts and Cultural Outreach, The Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya–sebuah lembaga pemberdayaan yang bergerak di bidang pendampingan, pendidikan alternatif dan penelitian masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.
*) Dalam Majalah Seni dan Budaya Dewan Kesenian Jawa Timur, KIDUNG Edisi 15 2009.
Naskah Sastra Arab Betawi
Alwi Shahab
http://www.republika.co.id/
Jangka waktu penguasaan Fatahillah atas Jakarta memang tidak lama (1527-1610), namun telah berhasil mengubah masyarakat Jakarta menjadi masyarakat Muslim. Salah satu peninggalan kekuasaannya atas Jakarta antara lain berupa adanya kawasan yang dihuni masyarakat Muslim yang kita kenal dengan nama Jatinegara Kaum yang ada sejak masa Pangeran Jayakarta.
Tempat tersebut terletak di Pulogadung, Jakarta Timur. Di tempat tersebut terdapat sebuah perkampungan yang hingga kini menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulan antar penduduknya. Di sana juga terdapat sebuah pemakaman yang oleh penduduk diyakini sebagai makam keturunan Pangeran Jayakarta yang melarikan diri setelah tidak mampu melawan VOC.
Menurut Prof Dr Muhajir, ahli sejarah dari UI yang banyak menulis tentang sejarah Jakarta, Fatahillah dan keturunannya berhasil membina masyarakat Betawi di Jayakarta menjadi masyarakat Islami. Betapa meresapnya ajaran Islam pada masyarakat Jayakarta yang dibinanya. Hal ini dapat kita lihat bahwa masyarakat Betawi sekarang, yang sebagian berasal dari pendatang dengan berbagai penganut agama, ternyata sampai sekarang menjadi Muslim.
Peninggalan-peninggalan bersejarah lain yang merupakan perwujudan keislaman masyarakat Betawi antara lain berupa masjid-masjid tua yang hingga sekarang masih berdiri tegak. Termasuk Masjid As-Salafiyah, yang diyakini didirikan oleh Pangeran Ahmad Jakerta saat dia dan para pengikutnya diusir oleh VOC ketika menaklukkan kratonnya di sekitar bandar Sunda Kalapa.
Sampai tahun 1940-an, masyarakat Betawi lebih memilih putra-putrinya bersekolah di madrasah karena khawatir sekolah yang didirikan pemerintah kolonial melakukan kristenisasi.
Meski tidak pandai membaca huruf Latin, sebagian besar masyarakat Betawi pandai tulis dan baca huruf Arab. Sampai-sampai, pada mata uang Belanda terdapat tulisan dalam bahasa Arab-Melayu atau huruf Jawi yang memperingatkan mereka yang memalsukan akan dihukum berat.
Di Jakarta, menurut Prof Dr Muhadjir, pada saat sastra cetak dengan huruf Latin belum menguasai dunia sastra, terdapat sejumlah naskah tulis tangan dengan bahasa Arab. Baik berupa karya asli, terjemahan maupun saduran dari berbagai karya sastra yang tersebar di Indonesia saat itu.
Di daerah-daerah, seperti Kerukut, Pecenongan, Kampung Sawah, Jembatan Lima, Peluit, Tambora, Sawah Besar, Kampung Sawah, Jembatan Lima, dan Tanah Abang, banyak tempat persewaan buku (taman bacaan) yang menyediakan naskah-naskah tulisan tangan Arab-Melayu untuk umum. Kebanyakan para pemilik naskah kaum wanita, biasanya janda, yang mengandalkan penghasilannya dari menyewakan naskah-naskahnya (T Iskandar).
Pada umumnya naskah tersebut tidak dibaca sendiri, melainkan dibacakan keras-keras oleh seseorang di hadapan publiknya. Kebiasaan ini juga merupakan kebiasaan di tempat lain. Menurut Bunga Rampai Sastra Betawi yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Permuseuman Pemproov DKI, publik yang termasuk menikmati pembacaan naskah terbagi atas tiga kelompok: penduduk asli yang tinggal di kampung itu, keturunan Indo dan Cina.
Menurut penelitian C Salmon yang banyak mengungkap sastra Tionghoa, penduduk keturunan Cina pada akhir abad ke-19 banyak yang masih dapat membaca dan menulis huruf Arab-Melayu. Akan tetapi juga jelas bahwa dari akhir abad ke-19 dan selanjutnya, huruf Latin cenderung menggantikan huruf Arab dan banyak Cina peranakan yang tidak dapat lagi membaca huruf Arab-Melayu.
Sebuah contoh adalah Hikayat Sultan Ibrahim, edisi Arab-Melayu. Hikayat tersebut sangat populer, tetapi banyak orang Cina minta hikayat itu dibacakan, karena mereka tidak dapat memahami huruf Arabnya. Lalu pada tahun 1891 hikayat tersebut diterbitkan dalam huruf Latin. Dalam buku itu diumumkan pula bahwa sebuah cerita lain, yaitu Hikayat Amir Hamzah, akan terbit pula dalam bahasa Latin. Supaya, “moedah toewan-toewan bangsa Olanda dan Tjina yang koerang paham atgas hoeroef Arab itoe toeroet membatja.”
Usaha penyalinan naskah ke bahasa Latin dilakukan dalam masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Capellen di Batavia, dengan mendirikan sebuah badan yang dinamakan Algemeene Secxretarie. Tugas badan itu melakukan penyalinan naskah-naskah bagi para pejabat pemerintah Hindia Belanda untuk keperluan mempelajari bahasa Melayu.
Di atas disebutkan bahwa tempat-tempat perpustakaan rakyat cukup banyak jumlahnya. Namun, naskah karya sastra yang dapat diindentifikasi oleh para penelaah sastra naskah Betawi belum banyak. Juga baru ada tiga penelaah yang serius, di antaranya Muhammad Bakir yang aktif menyalin dan mengarang sejak 1884 sampai 1906. Dia adalah putra Betawi dari Pecenongan, Jakarta Pusat.
Selama masa aktifnya itu sekurang-kurangnya terdapat 60 judul naskahnya. Dan bila ditambahkan naskah-naskah yang disimpan di Leiden dan Leningrad mencapai 76 naskah yang dimililiki keluarga Fadli, termasuk saudara-saudara Bakir.
http://www.republika.co.id/
Jangka waktu penguasaan Fatahillah atas Jakarta memang tidak lama (1527-1610), namun telah berhasil mengubah masyarakat Jakarta menjadi masyarakat Muslim. Salah satu peninggalan kekuasaannya atas Jakarta antara lain berupa adanya kawasan yang dihuni masyarakat Muslim yang kita kenal dengan nama Jatinegara Kaum yang ada sejak masa Pangeran Jayakarta.
Tempat tersebut terletak di Pulogadung, Jakarta Timur. Di tempat tersebut terdapat sebuah perkampungan yang hingga kini menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulan antar penduduknya. Di sana juga terdapat sebuah pemakaman yang oleh penduduk diyakini sebagai makam keturunan Pangeran Jayakarta yang melarikan diri setelah tidak mampu melawan VOC.
Menurut Prof Dr Muhajir, ahli sejarah dari UI yang banyak menulis tentang sejarah Jakarta, Fatahillah dan keturunannya berhasil membina masyarakat Betawi di Jayakarta menjadi masyarakat Islami. Betapa meresapnya ajaran Islam pada masyarakat Jayakarta yang dibinanya. Hal ini dapat kita lihat bahwa masyarakat Betawi sekarang, yang sebagian berasal dari pendatang dengan berbagai penganut agama, ternyata sampai sekarang menjadi Muslim.
Peninggalan-peninggalan bersejarah lain yang merupakan perwujudan keislaman masyarakat Betawi antara lain berupa masjid-masjid tua yang hingga sekarang masih berdiri tegak. Termasuk Masjid As-Salafiyah, yang diyakini didirikan oleh Pangeran Ahmad Jakerta saat dia dan para pengikutnya diusir oleh VOC ketika menaklukkan kratonnya di sekitar bandar Sunda Kalapa.
Sampai tahun 1940-an, masyarakat Betawi lebih memilih putra-putrinya bersekolah di madrasah karena khawatir sekolah yang didirikan pemerintah kolonial melakukan kristenisasi.
Meski tidak pandai membaca huruf Latin, sebagian besar masyarakat Betawi pandai tulis dan baca huruf Arab. Sampai-sampai, pada mata uang Belanda terdapat tulisan dalam bahasa Arab-Melayu atau huruf Jawi yang memperingatkan mereka yang memalsukan akan dihukum berat.
Di Jakarta, menurut Prof Dr Muhadjir, pada saat sastra cetak dengan huruf Latin belum menguasai dunia sastra, terdapat sejumlah naskah tulis tangan dengan bahasa Arab. Baik berupa karya asli, terjemahan maupun saduran dari berbagai karya sastra yang tersebar di Indonesia saat itu.
Di daerah-daerah, seperti Kerukut, Pecenongan, Kampung Sawah, Jembatan Lima, Peluit, Tambora, Sawah Besar, Kampung Sawah, Jembatan Lima, dan Tanah Abang, banyak tempat persewaan buku (taman bacaan) yang menyediakan naskah-naskah tulisan tangan Arab-Melayu untuk umum. Kebanyakan para pemilik naskah kaum wanita, biasanya janda, yang mengandalkan penghasilannya dari menyewakan naskah-naskahnya (T Iskandar).
Pada umumnya naskah tersebut tidak dibaca sendiri, melainkan dibacakan keras-keras oleh seseorang di hadapan publiknya. Kebiasaan ini juga merupakan kebiasaan di tempat lain. Menurut Bunga Rampai Sastra Betawi yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Permuseuman Pemproov DKI, publik yang termasuk menikmati pembacaan naskah terbagi atas tiga kelompok: penduduk asli yang tinggal di kampung itu, keturunan Indo dan Cina.
Menurut penelitian C Salmon yang banyak mengungkap sastra Tionghoa, penduduk keturunan Cina pada akhir abad ke-19 banyak yang masih dapat membaca dan menulis huruf Arab-Melayu. Akan tetapi juga jelas bahwa dari akhir abad ke-19 dan selanjutnya, huruf Latin cenderung menggantikan huruf Arab dan banyak Cina peranakan yang tidak dapat lagi membaca huruf Arab-Melayu.
Sebuah contoh adalah Hikayat Sultan Ibrahim, edisi Arab-Melayu. Hikayat tersebut sangat populer, tetapi banyak orang Cina minta hikayat itu dibacakan, karena mereka tidak dapat memahami huruf Arabnya. Lalu pada tahun 1891 hikayat tersebut diterbitkan dalam huruf Latin. Dalam buku itu diumumkan pula bahwa sebuah cerita lain, yaitu Hikayat Amir Hamzah, akan terbit pula dalam bahasa Latin. Supaya, “moedah toewan-toewan bangsa Olanda dan Tjina yang koerang paham atgas hoeroef Arab itoe toeroet membatja.”
Usaha penyalinan naskah ke bahasa Latin dilakukan dalam masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Capellen di Batavia, dengan mendirikan sebuah badan yang dinamakan Algemeene Secxretarie. Tugas badan itu melakukan penyalinan naskah-naskah bagi para pejabat pemerintah Hindia Belanda untuk keperluan mempelajari bahasa Melayu.
Di atas disebutkan bahwa tempat-tempat perpustakaan rakyat cukup banyak jumlahnya. Namun, naskah karya sastra yang dapat diindentifikasi oleh para penelaah sastra naskah Betawi belum banyak. Juga baru ada tiga penelaah yang serius, di antaranya Muhammad Bakir yang aktif menyalin dan mengarang sejak 1884 sampai 1906. Dia adalah putra Betawi dari Pecenongan, Jakarta Pusat.
Selama masa aktifnya itu sekurang-kurangnya terdapat 60 judul naskahnya. Dan bila ditambahkan naskah-naskah yang disimpan di Leiden dan Leningrad mencapai 76 naskah yang dimililiki keluarga Fadli, termasuk saudara-saudara Bakir.
Budak Setan Menafsir Horor
Iwank, Ismi Wahid
http://www.tempointeraktif.com/
Kupejamkan kembali mataku dan kubayangkan apa yang dilakukannya di balik punggungku. Mungkin ia berbaring telentang? Mungkin ia sedang memandangiku? Aku merasakan sehembus napas menerpa punggungku. Akhirnya aku berbisik pelan, hingga kupingku pun nyaris tak mendengar: “Ina Mia?” (Riwayat Kesendirian, Eka Kurniawan)
Jilbabnya putih kusam, membingkai wajahnya yang tertutup bedak putih murahan–lebih mirip terigu menggumpal tersapu air–dan gincu merah tak rata serupa darah yang baru dihapus. Orang kampung tak yakin apakah mereka sedang melihat bibir yang tersenyum atau meringis kesakitan. (Goyang Penasaran, Intan Paramaditha)
“Duluan mana ayam sama telur,” gumam Moko pelan. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Laki-laki yang ia cekal tak tahu harus bilang apa, tengadah dan menatap ngeri pada pisau berkilat di tangannya. Moko tak menunggu laki-laki itu bersuara, menancapkan pisaunya cepat ke arah leher mangsanya. Sekali. Sekali lagi. Lagi. Darah di mana-mana. (Hidung Iblis, Ugoran Prasad)
***
Penggalan cerita tersebut adalah karya tiga penulis muda yang termuat di dalam Kumpulan Budak Setan, buku kumpulan 12 cerpen horor yang diluncurkan Rabu pekan lalu di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta. Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama setebal 192 halaman ini merupakan bentuk nyata dari ketertarikan ketiga penulis itu, yakni Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad, terhadap novel-novel horor Abdullah Harahap. Mereka membaca ulang karya Abdullah dan menuliskannya kembali menjadi kumpulan cerita horor ini.
Pada 1970 hingga 1980-an, Abdullah terkenal sebagai penulis novel horor picisan. Karya-karyanya tak pernah menjadi bagian dari kanon sastra Indonesia. Tapi, “Ia adalah penulis yang sangat produktif menghasilkan novel horor pada saat itu,” ujar Eka.
Novel-novel Abdullah, seperti Panggilan Neraka, Menebus Dosa Turunan, dan Penyesalan Seumur Hidup, umumnya dicetak dalam format buku saku murahan. Tebalnya sekitar 100-200 halaman. Tahun terbitnya tak disebut, tanpa nomor ISBN, dan nama penerbit dan alamatnya tak begitu jelas.
Abdullah bisa dikatakan sebagai pionir novel Gothic modern. Jacob Sumarjo dalam Novel Populer Indonesia (1985) menyinggung nama Abdullah ini sebagai pengekor Motinggo Busye dalam mempopulerkan novel bertema percintaan dengan pelukisan seksualitas yang lebih terbuka dengan menyisipkan tema Gothic.
Pada masa jayanya, novel-novel Abdullah dengan mudah dapat ditemukan di toko-toko buku, pasar loak, maupun lapak-lapak buku di stasiun kereta api. Anehnya, ketika proyek pembacaan dan penulisan ulang karya Abdullah ini mereka sepakati, Eka ternyata tak mudah menemukannya di pasar loak.
“Bukunya sudah langka dan tak banyak dicari orang,” ujar Eka.
Ide proyek ini muncul dari Intan. Perempuan manis ini menemukan koleksi lengkap Abdullah Harahap di perpustakaan Universitas Cornell, Amerika Serikat. “Pembacaan ulang ini tak hanya meminjam motif Abdullah, tetapi diluaskan menjadi eksplorasi terhadap horor,” ujar Intan. Bersama Ugo dan Eka, mereka mendiskusikan bersama gagasan ini melalui chatting.
Selama ini Intan menyenangi novel horor Gothic. Dari sini, Intan membandingkannya dengan karya Abdullah. Ternyata motif-motif yang menyertai cerita horor Abdullah mendekati novel Barat, mulai motif balas dendam, seks, pembunuhan, hingga motif stereotipe seperti jimat, topeng, dan susuk. Bahkan, dalam karya Abdullah, sering kali permasalahan muncul bermula dari tempat yang sangat intern, yaitu rumah atau keluarga.
Lalu apa yang disebut horor? Menurut Intan, batas horor berbeda-beda menurut persepsi setiap orang yang mengartikannya. Ia mencontohkan soal pembunuhan para jenderal pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 bisa dikatakan horor, “Karena orang akan miris dan teringat terus dengan kejadian itu,” ujar Intan.
Ugo, panggilan akrab Ugoran Prasad, heran ketika menemukan bahwa jumlah judul novel Abdullah sangatlah banyak, tapi isinya mirip. “Terkadang saya menemukan judul novel yang berbeda, tetapi isi, motif, dan alur cerita hampir sama. Tokohnya saja yang berbeda,” ujar Ugo. Keterlibatan setan, arwah penasaran, atau manusia jadi-jadian acap kali muncul dalam novel Abdullah.
Pada 1980-an, Abdullah bukanlah satu-satunya pengarang cerita horor. Nama lain yang pernah muncul adalah S.B. Chandra, yang terkenal dengan serial Manusia Harimau, dan Motinggo Busye, yang populer lewat serial 7 Manusia Harimau.
Menurut Eka, karya-karya S.B. Chandra memang lebih bagus ketimbang karya Abdullah. Hanya, koleksi karyanya tak banyak. Adapun Intan menilai latar tempat pada karya Chandra hanya terbatas di Sumatera. “Abdullah lebih bermacam-macam, ada desa maupun kota,” ujar Intan.
Selain itu, kata Intan, banyak dimensi sosial-politik yang muncul pada karya Abdullah. Penyelesaian konflik internal dalam karyanya tak melibatkan institusi, tapi mempercayakannya pada keterlibatan benda-benda gaib atau subyek yang tak lazim, seperti arwah.
Proyek pembacaan dan penulisan ulang karya Abdullah ini memakan waktu setahun. Mereka tidak serta-merta menjiplak alur dan logika Abdullah Harahap. Seperti Eka dalam Riwayat Kesendirian, ia menulis prelude dalam cerita itu seolah-olah mengalaminya. “Saya menulisnya seolah memang ada sesuatu di punggung saya waktu itu,” ujarnya.
Adapun Intan membumbui kisah horornya dengan kisah-kisah seksual, seperti pada Goyang Penasaran. Tokohnya, Salimah, digambarkan Intan sebagai perempuan dengan goyangan erotis yang akan membuat siapa pun selalu penasaran. Tapi tokoh ini terbunuh dengan sangat tragis.
Lain halnya dengan Ugo dalam Hidung Iblis. Ia menafsirkan horor dengan kesadisan. Tokoh Moko yang dingin dan tak kenal kompromi serta-merta membunuh korbannya dengan pisau yang siap di tangannya. Ugo memiliki definisi sendiri atas horor. Menurut dia, setiap teror yang mengancam psikis maupun fisik adalah horor. Latar tempat dan situasi yang digambarkan oleh ke-12 cerpen itu didominasi oleh kejadian-kejadian yang ada di sekitar masyarakat saat ini.
http://www.tempointeraktif.com/
Kupejamkan kembali mataku dan kubayangkan apa yang dilakukannya di balik punggungku. Mungkin ia berbaring telentang? Mungkin ia sedang memandangiku? Aku merasakan sehembus napas menerpa punggungku. Akhirnya aku berbisik pelan, hingga kupingku pun nyaris tak mendengar: “Ina Mia?” (Riwayat Kesendirian, Eka Kurniawan)
Jilbabnya putih kusam, membingkai wajahnya yang tertutup bedak putih murahan–lebih mirip terigu menggumpal tersapu air–dan gincu merah tak rata serupa darah yang baru dihapus. Orang kampung tak yakin apakah mereka sedang melihat bibir yang tersenyum atau meringis kesakitan. (Goyang Penasaran, Intan Paramaditha)
“Duluan mana ayam sama telur,” gumam Moko pelan. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Laki-laki yang ia cekal tak tahu harus bilang apa, tengadah dan menatap ngeri pada pisau berkilat di tangannya. Moko tak menunggu laki-laki itu bersuara, menancapkan pisaunya cepat ke arah leher mangsanya. Sekali. Sekali lagi. Lagi. Darah di mana-mana. (Hidung Iblis, Ugoran Prasad)
***
Penggalan cerita tersebut adalah karya tiga penulis muda yang termuat di dalam Kumpulan Budak Setan, buku kumpulan 12 cerpen horor yang diluncurkan Rabu pekan lalu di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta. Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama setebal 192 halaman ini merupakan bentuk nyata dari ketertarikan ketiga penulis itu, yakni Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad, terhadap novel-novel horor Abdullah Harahap. Mereka membaca ulang karya Abdullah dan menuliskannya kembali menjadi kumpulan cerita horor ini.
Pada 1970 hingga 1980-an, Abdullah terkenal sebagai penulis novel horor picisan. Karya-karyanya tak pernah menjadi bagian dari kanon sastra Indonesia. Tapi, “Ia adalah penulis yang sangat produktif menghasilkan novel horor pada saat itu,” ujar Eka.
Novel-novel Abdullah, seperti Panggilan Neraka, Menebus Dosa Turunan, dan Penyesalan Seumur Hidup, umumnya dicetak dalam format buku saku murahan. Tebalnya sekitar 100-200 halaman. Tahun terbitnya tak disebut, tanpa nomor ISBN, dan nama penerbit dan alamatnya tak begitu jelas.
Abdullah bisa dikatakan sebagai pionir novel Gothic modern. Jacob Sumarjo dalam Novel Populer Indonesia (1985) menyinggung nama Abdullah ini sebagai pengekor Motinggo Busye dalam mempopulerkan novel bertema percintaan dengan pelukisan seksualitas yang lebih terbuka dengan menyisipkan tema Gothic.
Pada masa jayanya, novel-novel Abdullah dengan mudah dapat ditemukan di toko-toko buku, pasar loak, maupun lapak-lapak buku di stasiun kereta api. Anehnya, ketika proyek pembacaan dan penulisan ulang karya Abdullah ini mereka sepakati, Eka ternyata tak mudah menemukannya di pasar loak.
“Bukunya sudah langka dan tak banyak dicari orang,” ujar Eka.
Ide proyek ini muncul dari Intan. Perempuan manis ini menemukan koleksi lengkap Abdullah Harahap di perpustakaan Universitas Cornell, Amerika Serikat. “Pembacaan ulang ini tak hanya meminjam motif Abdullah, tetapi diluaskan menjadi eksplorasi terhadap horor,” ujar Intan. Bersama Ugo dan Eka, mereka mendiskusikan bersama gagasan ini melalui chatting.
Selama ini Intan menyenangi novel horor Gothic. Dari sini, Intan membandingkannya dengan karya Abdullah. Ternyata motif-motif yang menyertai cerita horor Abdullah mendekati novel Barat, mulai motif balas dendam, seks, pembunuhan, hingga motif stereotipe seperti jimat, topeng, dan susuk. Bahkan, dalam karya Abdullah, sering kali permasalahan muncul bermula dari tempat yang sangat intern, yaitu rumah atau keluarga.
Lalu apa yang disebut horor? Menurut Intan, batas horor berbeda-beda menurut persepsi setiap orang yang mengartikannya. Ia mencontohkan soal pembunuhan para jenderal pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 bisa dikatakan horor, “Karena orang akan miris dan teringat terus dengan kejadian itu,” ujar Intan.
Ugo, panggilan akrab Ugoran Prasad, heran ketika menemukan bahwa jumlah judul novel Abdullah sangatlah banyak, tapi isinya mirip. “Terkadang saya menemukan judul novel yang berbeda, tetapi isi, motif, dan alur cerita hampir sama. Tokohnya saja yang berbeda,” ujar Ugo. Keterlibatan setan, arwah penasaran, atau manusia jadi-jadian acap kali muncul dalam novel Abdullah.
Pada 1980-an, Abdullah bukanlah satu-satunya pengarang cerita horor. Nama lain yang pernah muncul adalah S.B. Chandra, yang terkenal dengan serial Manusia Harimau, dan Motinggo Busye, yang populer lewat serial 7 Manusia Harimau.
Menurut Eka, karya-karya S.B. Chandra memang lebih bagus ketimbang karya Abdullah. Hanya, koleksi karyanya tak banyak. Adapun Intan menilai latar tempat pada karya Chandra hanya terbatas di Sumatera. “Abdullah lebih bermacam-macam, ada desa maupun kota,” ujar Intan.
Selain itu, kata Intan, banyak dimensi sosial-politik yang muncul pada karya Abdullah. Penyelesaian konflik internal dalam karyanya tak melibatkan institusi, tapi mempercayakannya pada keterlibatan benda-benda gaib atau subyek yang tak lazim, seperti arwah.
Proyek pembacaan dan penulisan ulang karya Abdullah ini memakan waktu setahun. Mereka tidak serta-merta menjiplak alur dan logika Abdullah Harahap. Seperti Eka dalam Riwayat Kesendirian, ia menulis prelude dalam cerita itu seolah-olah mengalaminya. “Saya menulisnya seolah memang ada sesuatu di punggung saya waktu itu,” ujarnya.
Adapun Intan membumbui kisah horornya dengan kisah-kisah seksual, seperti pada Goyang Penasaran. Tokohnya, Salimah, digambarkan Intan sebagai perempuan dengan goyangan erotis yang akan membuat siapa pun selalu penasaran. Tapi tokoh ini terbunuh dengan sangat tragis.
Lain halnya dengan Ugo dalam Hidung Iblis. Ia menafsirkan horor dengan kesadisan. Tokoh Moko yang dingin dan tak kenal kompromi serta-merta membunuh korbannya dengan pisau yang siap di tangannya. Ugo memiliki definisi sendiri atas horor. Menurut dia, setiap teror yang mengancam psikis maupun fisik adalah horor. Latar tempat dan situasi yang digambarkan oleh ke-12 cerpen itu didominasi oleh kejadian-kejadian yang ada di sekitar masyarakat saat ini.
KONCOISME DALAM SASTRA, ADAKAH?
Budhi Setyawan
http://budhisetyawan.wordpress.com/
Mungkin judul di atas akan sangat menohok bagi yang merasa seperti itu. Sebenarnya saya lebih mempertanyakan pada pemuatan sebuah karya sastra, terutama cerpen dan puisi, di media massa. Lebih utama pada sejumlah koran edisi minggu yang menyediakan kolom sastra. Ada beberapa media nasional yang bisa disebutkan di sini antara lain: Kompas, Media Indonesia, Republika, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan.
Mungkin beberapa pembaca ada yang lebih jeli mengamati? Sejauh pengamatan saya yang awam dengan dunia jurnalisme dan persuratkabaran, sangat sering muncul karya-karya sastra dari pengarang yang telah begitu dikenal. Ada juga beberapa nama baru, dengan karya yang cukup bagus. Namun ada juga nama baru, yang dengan karya yang menurut penilaian saya ‘biasa-biasa saja’ tetapi dimuat di media nasional. Nah yang terakhir ini apa pertimbangannya?
Untuk karya dari pengarang terkenal, itu sudah pasti dari pihak koran tersebut ingin menaikkan nilai medianya pada edisi tersebut. Apabila ada pembagian yang relatif adil mungkin bisa diterima, misalnya pada satu edisi minggu dimuat karya dari pengarang terkenal, dan di 3 atau empat minggu yang lain dimuat karya pengarang baru/pemula, tetap dengan seleksi secara fair. Sudahkah ada pola semacam itu? Karena jika pola semacam tersebut berjalan baik, maka para pengarang baru yang karyanya bagus tetapi mempunyai keterbatasan ekonomi, bisa mengenalkan karyanya melalui media tersebut. Lain halnya apabila seorang pengarang baru dan belum dikenal (meskipun dalam profesi lain telah sangat terkenal, misalnya sebagai pengusaha, artis, akademisi, dll), tetapi mempunyai kekuatan secara financial, maka dia bisa menerbitkan dalam jumlah besar, kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi di kampus-kampus atau tempat-tempat tertentu. Lebih dahsyat lagi apabila ada orang dari kalangan penggiat sastra (baca: sastrawan senior) yang memberi komentar secara bombastis, pasti di pasaran akan ikut terbantu.
Kembali ke permasalahan pokok, adakah koncoisme, atau apa pun istilahnya agar karya yang ‘biasa-biasa saja’ bisa nampang masuk di koran? Kalau memang ada, sepertinya ini sedikit menciderai sportivitas. Saya beberapa kali membaca karya, terutama puisi yang ‘biasa-biasa saja’ dan terpampang di halaman sastra surat kabar nasional. Bagaimana pun juga redaktur adalah manusia biasa, yang juga bisa subyektif, itu pasti. Subyektivitas sanagt mempengaruhi pada penilaian sebuah karya dikatakan baik atau tidak, lebih pastinya ‘layak muat’ atau tidak. Akan tetapi kalau berkaitan dengan pertemanan, lantas tanpa ada penilaian langsung dimuat? Sebenarnya juga koncoisme atau pertemanan itu sah-sah saja, sejauh mana karya dari teman tersebut memang layak muat. Nah kalau sebenarnya tidak layak muat, tapi muncul di halaman sastra?
Sangat disayangkan apabila kebusukan tidak hanya ada di politik, ekonomi, hukum, tetapi juga telah merambah ke dunia sastra. Atau koncoisme hanyalah hal kecil saja? Adakah sesuatu yang lebih dahsyat di dunia sastra Indonesia? Kita lihat saja bersama-sama….
Bekasi, 24 Desember 2007.
http://budhisetyawan.wordpress.com/
Mungkin judul di atas akan sangat menohok bagi yang merasa seperti itu. Sebenarnya saya lebih mempertanyakan pada pemuatan sebuah karya sastra, terutama cerpen dan puisi, di media massa. Lebih utama pada sejumlah koran edisi minggu yang menyediakan kolom sastra. Ada beberapa media nasional yang bisa disebutkan di sini antara lain: Kompas, Media Indonesia, Republika, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan.
Mungkin beberapa pembaca ada yang lebih jeli mengamati? Sejauh pengamatan saya yang awam dengan dunia jurnalisme dan persuratkabaran, sangat sering muncul karya-karya sastra dari pengarang yang telah begitu dikenal. Ada juga beberapa nama baru, dengan karya yang cukup bagus. Namun ada juga nama baru, yang dengan karya yang menurut penilaian saya ‘biasa-biasa saja’ tetapi dimuat di media nasional. Nah yang terakhir ini apa pertimbangannya?
Untuk karya dari pengarang terkenal, itu sudah pasti dari pihak koran tersebut ingin menaikkan nilai medianya pada edisi tersebut. Apabila ada pembagian yang relatif adil mungkin bisa diterima, misalnya pada satu edisi minggu dimuat karya dari pengarang terkenal, dan di 3 atau empat minggu yang lain dimuat karya pengarang baru/pemula, tetap dengan seleksi secara fair. Sudahkah ada pola semacam itu? Karena jika pola semacam tersebut berjalan baik, maka para pengarang baru yang karyanya bagus tetapi mempunyai keterbatasan ekonomi, bisa mengenalkan karyanya melalui media tersebut. Lain halnya apabila seorang pengarang baru dan belum dikenal (meskipun dalam profesi lain telah sangat terkenal, misalnya sebagai pengusaha, artis, akademisi, dll), tetapi mempunyai kekuatan secara financial, maka dia bisa menerbitkan dalam jumlah besar, kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi di kampus-kampus atau tempat-tempat tertentu. Lebih dahsyat lagi apabila ada orang dari kalangan penggiat sastra (baca: sastrawan senior) yang memberi komentar secara bombastis, pasti di pasaran akan ikut terbantu.
Kembali ke permasalahan pokok, adakah koncoisme, atau apa pun istilahnya agar karya yang ‘biasa-biasa saja’ bisa nampang masuk di koran? Kalau memang ada, sepertinya ini sedikit menciderai sportivitas. Saya beberapa kali membaca karya, terutama puisi yang ‘biasa-biasa saja’ dan terpampang di halaman sastra surat kabar nasional. Bagaimana pun juga redaktur adalah manusia biasa, yang juga bisa subyektif, itu pasti. Subyektivitas sanagt mempengaruhi pada penilaian sebuah karya dikatakan baik atau tidak, lebih pastinya ‘layak muat’ atau tidak. Akan tetapi kalau berkaitan dengan pertemanan, lantas tanpa ada penilaian langsung dimuat? Sebenarnya juga koncoisme atau pertemanan itu sah-sah saja, sejauh mana karya dari teman tersebut memang layak muat. Nah kalau sebenarnya tidak layak muat, tapi muncul di halaman sastra?
Sangat disayangkan apabila kebusukan tidak hanya ada di politik, ekonomi, hukum, tetapi juga telah merambah ke dunia sastra. Atau koncoisme hanyalah hal kecil saja? Adakah sesuatu yang lebih dahsyat di dunia sastra Indonesia? Kita lihat saja bersama-sama….
Bekasi, 24 Desember 2007.
Rasanya Malu pada Mpu Tantular…
Kris Razianto Mada
http://cetak.kompas.com/
Tahun 2007, riuh sekali penerbitan sastra Jawa dari Jawa Timur. Tercatat sedikitnya 15 buku dengan beragam isi diterbitkan sepanjang tahun lalu. Ada geguritan, kumpulan cerita cekak (cerita pendek), hingga novel.
Tahun ini, para sastrawan Jawa di Jatim tidak ingat berapa pastinya buku yang terbit. Namun, hampir dipastikan tidak sampai lima buku terbit sepanjang tahun ini dari provinsi dengan penduduk terbanyak di Jawa dan Indonesia ini.
Bagi Ketua Perhimpunan Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) Bonari Nabonenar, itu salah satu tanda kesalahan dalam pengembangan sastra Jawa. “Penerbitan karya masih mengacu pada keberadaan festival atau acara-acara terkait sastra Jawa. Untuk tahun ini, penerbitan boleh disebut antiklimaks,” ucapnya.
Sepanjang 2007 setidaknya ada dua perhelatan nasional terkait sastra Jawa. Ada Kongres Bahasa Jawa yang digelar pemerintah. Ada Kongres Sastra Jawa yang dibuat para pengarang. Sebaliknya, sepanjang 2008 tidak ada festival. Jadi, tidak ada ajang untuk unjuk kebolehan bagi para pengarang. Boleh jadi gara-gara itu para pengarang memilih bentuk kreasi lain daripada menerbitkan buku sastra Jawa.
Pasalnya, penerbitan buku sastra Jawa bukan perkara mudah untuk kondisi saat ini. Pengarang dan penerbit, semenjak akhir tahun 1980-an, harus siap rugi karena buku tak laku.
Pewajiban belajar bahasa Jawa di sekolah-sekolah sejak bertahun-tahun lalu tidak banyak menolong. Seperti halnya model pembelajaran bahasa lain di sekolah, pembelajaran bahasa Jawa tidak untuk mendorong anak cakap berbahasa dan suka membaca karya sastra Jawa. Jangankan murid, para guru sekalipun tidak cakap dan tidak suka membaca karya sastra Jawa.
Dalam kondisi itu, wajarlah para pengarang lebih suka melabuhkan karya pada Jaya Baya atau Djaka Lodang. Pada majalah bahasa Jawa itu, mereka paling banyak mengirimkan cerita pendek dan cerita bersambung. Dengan cara itu, hasrat berkarya tetap terpenuhi. Di sisi lain ada bayaran mengalir, meski mungkin tidak sebanyak bayaran dari media massa mapan lainnya. Darah baru
Meski minat baca terhadap karya sastra Jawa di kalangan pelajar teramat rendah, masih ada harapan baru untuk pengarang. Di berbagai daerah, beberapa pengarang atau penggiat yang menjadi pengajar dengan getol membentuk komunitas sastra Jawa.
Di Surabaya dan Bojonegoro setidaknya sudah muncul beberapa nama baru yang berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Namun, masih harus diberi waktu lagi sebelum nama-nama baru itu hadir secara konsisten sebagai pengarang sastra Jawa.
Sementara di daerah-daerah lain, nama-nama baru muncul dari kalangan umum. Namun, amat sedikit yang bisa konsisten berkarya. Karya mereka juga lebih banyak beredar di kalangan amat terbatas. Karya penggurit di Tulungagung amat jarang terbaca sampai Kediri atau Trenggalek.
Peneliti pada Balai Bahasa Surabaya Mashuri menyatakan, kondisi itu bisa diperbaiki. Prioritas perbaikan pertama dengan mengubah pusat kegiatan. Segala kegiatan terkait sastra Jawa jangan lagi di kota besar seperti selama ini. “Memang tidak mudah, tetapi perlu dicoba,” tuturnya.
Pusat kegiatan perlu digeser ke wilayah pinggiran. Di sana, para pembaca setia sastra Jawa masih banyak. Seharusnya mereka disentuh dengan berbagai kegiatan terkait sastra Jawa. Sentuhan itu akan menggairahkan sastra Jawa di pinggiran.
Prestasi
Selain soal karya yang minim, para pengarang Jatim juga sudah dua tahun tidak mendapat Rancage. Anugerah itu diberikan untuk pengarang dan penggiat sastra berbahasa Lampung, Sunda, Jawa, dan Bali. Anugerah untuk pengarang sastra Jawa diraih pengarang Jatim hingga 2005.
Setelah itu, tidak ada lagi pengarang Jatim yang dapat anugerah itu. Penerbitan belasan buku sepanjang tahun lalu tidak cukup membuat anugerah itu hinggap ke Jatim. Panitia seleksi penerima Rancage hanya memberikan Jatim untuk kategori jasa untuk penganugerahan 2008. Untuk kategori ini, Jatim diwakili redaktur majalah Jaya Baya, Sriyono.
Tidak mudah mengharapkan anugerah itu kembali ke Jatim. Apalagi, praktis hanya dua buku terbitan Persatuan Pengarang Sastra Jawa Bojonegoro (PPJB) yang muncul tahun ini. Namun, harapan itu harus dipelihara.
Rasanya malu Jatim kepada Mpu Kanwa yang menggubah Arjuna Wiwaha, kepada Mpu Tantular yang menyusun Sutasoma, dan Mpu Prapanca yang mengarang Negara Kertagama kalau sastra Jawa terpuruk di sini. Di Jatim ini justru sastra Jawa mulai dikembangkan. Jangan sampai di Jatim sastra Jawa redup lalu mati. ” Pusat kegiatan perlu digeser ke wilayah pinggiran. Di sana, para pembaca setia sastra Jawa masih banyak. “
http://cetak.kompas.com/
Tahun 2007, riuh sekali penerbitan sastra Jawa dari Jawa Timur. Tercatat sedikitnya 15 buku dengan beragam isi diterbitkan sepanjang tahun lalu. Ada geguritan, kumpulan cerita cekak (cerita pendek), hingga novel.
Tahun ini, para sastrawan Jawa di Jatim tidak ingat berapa pastinya buku yang terbit. Namun, hampir dipastikan tidak sampai lima buku terbit sepanjang tahun ini dari provinsi dengan penduduk terbanyak di Jawa dan Indonesia ini.
Bagi Ketua Perhimpunan Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) Bonari Nabonenar, itu salah satu tanda kesalahan dalam pengembangan sastra Jawa. “Penerbitan karya masih mengacu pada keberadaan festival atau acara-acara terkait sastra Jawa. Untuk tahun ini, penerbitan boleh disebut antiklimaks,” ucapnya.
Sepanjang 2007 setidaknya ada dua perhelatan nasional terkait sastra Jawa. Ada Kongres Bahasa Jawa yang digelar pemerintah. Ada Kongres Sastra Jawa yang dibuat para pengarang. Sebaliknya, sepanjang 2008 tidak ada festival. Jadi, tidak ada ajang untuk unjuk kebolehan bagi para pengarang. Boleh jadi gara-gara itu para pengarang memilih bentuk kreasi lain daripada menerbitkan buku sastra Jawa.
Pasalnya, penerbitan buku sastra Jawa bukan perkara mudah untuk kondisi saat ini. Pengarang dan penerbit, semenjak akhir tahun 1980-an, harus siap rugi karena buku tak laku.
Pewajiban belajar bahasa Jawa di sekolah-sekolah sejak bertahun-tahun lalu tidak banyak menolong. Seperti halnya model pembelajaran bahasa lain di sekolah, pembelajaran bahasa Jawa tidak untuk mendorong anak cakap berbahasa dan suka membaca karya sastra Jawa. Jangankan murid, para guru sekalipun tidak cakap dan tidak suka membaca karya sastra Jawa.
Dalam kondisi itu, wajarlah para pengarang lebih suka melabuhkan karya pada Jaya Baya atau Djaka Lodang. Pada majalah bahasa Jawa itu, mereka paling banyak mengirimkan cerita pendek dan cerita bersambung. Dengan cara itu, hasrat berkarya tetap terpenuhi. Di sisi lain ada bayaran mengalir, meski mungkin tidak sebanyak bayaran dari media massa mapan lainnya. Darah baru
Meski minat baca terhadap karya sastra Jawa di kalangan pelajar teramat rendah, masih ada harapan baru untuk pengarang. Di berbagai daerah, beberapa pengarang atau penggiat yang menjadi pengajar dengan getol membentuk komunitas sastra Jawa.
Di Surabaya dan Bojonegoro setidaknya sudah muncul beberapa nama baru yang berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Namun, masih harus diberi waktu lagi sebelum nama-nama baru itu hadir secara konsisten sebagai pengarang sastra Jawa.
Sementara di daerah-daerah lain, nama-nama baru muncul dari kalangan umum. Namun, amat sedikit yang bisa konsisten berkarya. Karya mereka juga lebih banyak beredar di kalangan amat terbatas. Karya penggurit di Tulungagung amat jarang terbaca sampai Kediri atau Trenggalek.
Peneliti pada Balai Bahasa Surabaya Mashuri menyatakan, kondisi itu bisa diperbaiki. Prioritas perbaikan pertama dengan mengubah pusat kegiatan. Segala kegiatan terkait sastra Jawa jangan lagi di kota besar seperti selama ini. “Memang tidak mudah, tetapi perlu dicoba,” tuturnya.
Pusat kegiatan perlu digeser ke wilayah pinggiran. Di sana, para pembaca setia sastra Jawa masih banyak. Seharusnya mereka disentuh dengan berbagai kegiatan terkait sastra Jawa. Sentuhan itu akan menggairahkan sastra Jawa di pinggiran.
Prestasi
Selain soal karya yang minim, para pengarang Jatim juga sudah dua tahun tidak mendapat Rancage. Anugerah itu diberikan untuk pengarang dan penggiat sastra berbahasa Lampung, Sunda, Jawa, dan Bali. Anugerah untuk pengarang sastra Jawa diraih pengarang Jatim hingga 2005.
Setelah itu, tidak ada lagi pengarang Jatim yang dapat anugerah itu. Penerbitan belasan buku sepanjang tahun lalu tidak cukup membuat anugerah itu hinggap ke Jatim. Panitia seleksi penerima Rancage hanya memberikan Jatim untuk kategori jasa untuk penganugerahan 2008. Untuk kategori ini, Jatim diwakili redaktur majalah Jaya Baya, Sriyono.
Tidak mudah mengharapkan anugerah itu kembali ke Jatim. Apalagi, praktis hanya dua buku terbitan Persatuan Pengarang Sastra Jawa Bojonegoro (PPJB) yang muncul tahun ini. Namun, harapan itu harus dipelihara.
Rasanya malu Jatim kepada Mpu Kanwa yang menggubah Arjuna Wiwaha, kepada Mpu Tantular yang menyusun Sutasoma, dan Mpu Prapanca yang mengarang Negara Kertagama kalau sastra Jawa terpuruk di sini. Di Jatim ini justru sastra Jawa mulai dikembangkan. Jangan sampai di Jatim sastra Jawa redup lalu mati. ” Pusat kegiatan perlu digeser ke wilayah pinggiran. Di sana, para pembaca setia sastra Jawa masih banyak. “
MEREKA TIDAK HARUS MATI
Haris del Hakim
http://sastragerilyawan.blogspot.com/
Kastumiun menambatkan perahu di batang trembesi sebesar lengan, menjejakkan kaki di bibir perahu, melompat ke atas pematang tambak, melihat tambak yang berair keruh dan ikan-ikan bandeng timbul tenggelam; sesekali bagian perut ke atas, berusaha menyelam lagi, timbul lagi. Ikan-ikan dalam keadaan seperti itu memenuhi separuh permukaan tambak.
Lelaki berumur setengah baya itu melompat ke tambak, tanpa melepas baju atau celana seperti yang dilakukannya saat menabur pupuk urea untuk menghijaukan air, dan merabai tanah. Tangannya berkali-kali menyentuh ikan-ikan yang mati. Kemudian dia mentas ke pematang dan melompat lagi ke perahu. Setelah melepas ikatan tali di pohon trembesi, dia mengayuh perahu itu cepat-cepat. Dia hanya menoleh sebentar pada tambaknya yang ada di sebelah kiri kali desa dan mendayung kembali. Dari kejauhan dia melihat anak sulungnya sedang mengayuh sepeda dengan boncengan kosong belum mengangkut rumput sama sekali. Dia memanggilnya dan anak berumur limabelas tahun itu pun mendekat dan bertanya, “Ada apa, Pak?”
“Cepat panggil Paman Sartono dan Kak Muji. Katakan ikan di tambak timur kali sedang mati,” kata Kastumiun.
“Bapak mau ke mana?”
“Ambil keranjang,” jawab Kastumiun seraya mendayung perahunya kembali.
Satu jam kemudian empat orang sedang menyelami tambak Kastumiun. Mereka mengambil ikan-ikan yang mati. Ikan-ikan bandeng itu masih terhitung kecil, 1 kg berisi 10 ekor, walaupun sudah dipelihara selama lima bulan lebih. Tetapi, daripada harus membiarkannya mati lebih baik dipanen sekadar cukup untuk menutupi biaya pengairan dan beli pupuk; meskipun penghasilan mereka hanya ¼ dari semua biaya itu sudah terhitung lumayan daripada rugi total.
“Pupuknya pasti telat,” tebak Sartono yang berkumis tebal. Caping hitamnya hampir basah oleh air.
“Mestinya sepuluh hari lalu ditaburi,” jawab Kastumiun. “Tapi, tidak ada yang punya pupuk sekarang.”
“Aku kemarin dapat satu zak,” sela Muji sambil melemparkan ikan bandeng ke dalam keranjang. “Itu pun belum cukup untuk tiga petak tambakku.”
“Berapa harganya?” tanya Sartono.
“Dua kalilipat dari harga biasa,” jawab Muji.
“Namaku sudah terdaftar di toko Hasri, tetapi stoknya belum datang. Katanya seminggu lagi, padahal tambak yang satu sudah seminggu tidak disebari pupuk,” jelas Kastumiun.
Tanpa terasa matahari sudah bergerak ke arah barat. Istri Kastumiun datang membawa kiriman makanan dan minuman sekadarnya. Dia menyuruh semua orang berhenti sejenak, “Makan dulu!”
Empat orang di dalam tambak itu menjawab hampir secara bersamaan, “Sebentar lagi!”
Mereka telah menyisir hampir separuh luas tambak dan masih ada separuh lagi. Sartono berdiri, melihat ikan di keranjang, dan mengajak keponakannya—anak sulung Kastumiun—untuk membantu mengangkat keranjang ke pematang dekat kali.
“Istirahat dulu, Ji,” kata Kastumiun.
Panen dini itu selesai ketika matahari sudah lengser ke barat. Pembeli ikan sudah datang sejam lalu sambil membawa timbangan dan colt bak terbuka. Orang-orang bersicepat menimbang ikan-ikan dalam keranjang. Mereka harus sampai di gudang pabrik sebelum matahari tenggelam, kata pembeli ikan itu makin membuat Kastumiun dan kerabat yang membantunya tergesa-gesa.
Pembeli ikan mengulurkan kertas nota hasil panen dini kepada Kastumiun. Lelaki berpandangan sayu itu mencermati angka yang tertulis dalam kertas itu. Dia hanya menjawab sekadar saja ketika pembeli ikan berangkat mengangkut ikannya. Istrinya yang sudah mengemasi wadah makanan dan minuman kemudian memanggulnya di punggung bertanya lirih, “Dapat berapa, Pak?”
“Lumayan,” jawab Kastumiun kalem. “Cukup untuk beli pupuk urea sekali tanam lagi. Tentu saja kalau harga ikan kita tidak turun.”
Istri Kastumiun memandang suaminya yang berkulit coklat kehitaman karena terbakar matahari sepanjang hari. Dia kembali bertanya, “Benih ikannya dulu sudah dibayar?”
Kastumiun terbelalak memandang istrinya. Dia baru ingat kalau benih ikannya dulu belum dibayar dan masih hutang di pembenihan Haji Saman.
***
Siang itu Kastumiun berada di toko Hasri. Dia mendengar kabar kalau hari ini stok pupuk akan turun dan dia tidak mau ketinggalan lagi. Tiga hari lagi dia tidak mendapatkan pupuk, ikan-ikan di tambak satunya tidak mustahil akan menyusul untuk dipanen dini. Meskipun usia ikan di sana sudah waktunya panen, tetapi Kastumiun masih enggan untuk mengambilnya karena beratnya belum layak untuk diambil; lima atau enam tahun lalu Kastumiun dapat memanen ikannya tiga bulan sekali, tetapi saat ini mereka tidak bisa banyak berharap dengan waktu tiga bulan, sebab hingga berumur enam bulan pun ikan-ikan tidak bertambah besar, matanya saja yang kian lebar dengan ekor yang mekar tanpa ada perkembangan berat pada tubuhnya.
“Pak Kastum,” teriak Hasri pemilik toko sarana pertanian itu. “Sedang kaya baru panen?”
“Ya,” gurau Kastumiun sambil mendekat. “Katanya hari ini pupuk akan dikirim?”
“Katanya seperti itu, tetapi sampai sekarang belum juga datang. Pak Kastum sudah daftar?”
“Sudah. Sudah dua minggu lalu aku mendaftar minta jatah pupuk. Katanya, seminggu lalu ada yang turun, tetapi aku kok tidak dapat?”
“Memang jatahnya hanya sedikit, Pak. Tapi sebentar,” kata pemilik toko. Dia mengambil buku tulis tebal yang tersimpan dalam rak. “Hutang Pak Kastum di sini lima zak pupuk urea dan setinting waring. Nah, Pak Kastum kan sudah panen, bagaimana kalau dibayar dulu yang lima zak nanti baru mengambil lagi?”
“Hasil penjualan kemarin belum dibayar. Sartono dan Muji saja belum saya beri uang rokok.”
“Kalau Pak Kastum belum bayar, aku belum bisa mengasih pupuk lagi?”
“Berarti sudah ada pupuknya kalau begitu?”
“Belum datang!”
“Katanya kalau aku membayar akan diberi pupuk lagi, berarti sudah ada pupuknya?!”
“Pak Kastum sendiri tahu pupuknya belum datang,” kata pemilik toko Hasri dengan galak.
Kastumiun mengerutkan kening. Dia tidak bisa mengandalkan toko-toko lain, karena meskipun harganya murah tetapi harga di sana akan berlipat setiap bulannya. Dengan nada kalem Kastumiun bicara lagi, “Pembeli ikanku kan saudaramu sendiri. Kamu minta saja padanya?”
Pemilik toko yang berbadan tambun dan berperawakan tinggi itu berkata lirih, “Tidak mungkin, Pak Kastum. Meskipun kami berdua saudara, tetapi ini persoalan bisnis dan bukan masalah keluarga.”
“Apa kamu tidak percaya kalau aku pasti membayarnya?”
“Bukan percaya atau tidak, tetapi semua orang berhutang. Coba Pak Kastum hitung sendiri. Penduduk sini yang berhutang duapuluh orang. Masing-masing mempunyai hutang pupuk lima zak. Berarti saya menanggung seratus zak. Semua orang mengatakan akan membayar kalau sudah panen, tetapi panen mereka tidak ada yang memuaskan hasilnya. Katanya tiga bulan, tetapi panennya menjadi enam bulan dan bahkan ada yang setahun. Mereka yang rugi, tetapi mengapa saya juga harus rugi?”
“Kita juga tidak ingin rugi, Has,” kata Kastum berat.
“Rugi sih tidak apa-apa, tetapi jangan banyak-banyak seperti itu biar kita tidak bangkrut,” kata pemilik toko Hasri dengan nada enggan bicara lagi.
“Hari ini aku mendapat jatah pupuk atau tidak? Kalau tidak ikanku bisa mati lagi.”
“Pak Kastum masih lumayan hanya ikan yang mati, tetapi saya bisa ditinggal mati oleh anak dan istri.”
Kastumiun diam bukan karena memahami keadaan pemilik toko Hasri itu, tetapi keadaannya yang tersudut pada satu pilihan untuk mendatangi rumah pembeli ikannya. Dia bergegas memacu sepeda ontel-nya. Ada yang mengganjal di hati. Tidak biasa dia menagih hasil penjualan ikannya, sebab pembeli ikan itu akan datang sendiri ke rumah.
Lelaki itu tiba di tempat tujuannya beberapa menit saja. Ia bertanya pada anak kecil yang asik bermain di halaman rumah. “Bapakmu di rumah?”
Anak itu tidak menjawab. Dia meninggalkan semua mainan dan masuk ke dalam rumah. Tidak berapa lama kemudian anak itu kembali dan mengatakan kalau bapaknya sedang bepergian dan belum datang.
“Ibumu di rumah?”
Anak itu mengangguk.
“Coba panggilkan.”
Anak kecil itu pun kembali masuk ke dalam. Kemudian dia kembali lagi dan meneruskan permainan setelah menjawab disuruh menunggu. Seorang perempuan separuh baya keluar dan mempersilakan Kastumiun masuk dan duduk. Mereka berbasa-basi sebentar. Tuan rumah masuk ke dalam dan Kastumiun mencegah dengan alasan hanya sebentar.
“Saya hendak menanyakan uang hasil penjualan ikan kemarin,” kata Kastumiun dengan nada datar.
“Oh, persoalan itu,” jawab istri pembeli ikan dengan nada keras membuat Kastumiun berbunga, sebab perempuan itu pasti dititipi sesuatu. “Kata suami saya, sebagian diminta oleh Haji Saman pemilik benih. Katanya, Pak Kastum punya hutang benih di sana.”
“Ya,” jawab Kastumiun tersedak. “Berarti aku sudah tidak punya hutang ke Haji Saman?”
“Saya tidak tahu apakah sudah lunas belum.”
“Bagaimana dengan sisa hasil penjualannya?”
“Kata suami saya, baru separuh yang dibayarkan oleh pemilik gudang dan separuh lagi menunggu dia ke gudang lagi.”
“Kapan?”
“Saya tidak tahu.”
“Tapi, suamimu mengatakan berapa harga ikannya?”
“Yang jelas murah sekali, sebab ikan Pak Kastum dipanen dini.”
***
Hari ini hari kesepuluh sejak Kastumiun menebarkan pupuk urea ke tambak sebelah barat kali. Dia bisa membayangkan betapa keruh airnya dan lemah ikan-ikan bandengnya. Karena itu, sengaja dia tidak pergi ke tambak pagi-pagi. Kedatangannya tidak lebih untuk memastikan bahwa ikannya tidak mati dan dia bisa menunda hingga siang hari. Makanya dia cekatan memecahkan batang-batang kayu trembesi ketika istrinya mengeluh tidak punya kayu bakar lagi. Anak sulungnya sudah berangkat ke sawah mencari rumput bagi lima ekor kambingnya, sedangkan ketiga anak lain sudah berangkat ke sekolah.
Kapak besar itu mengayun berkali-kali dan memecahkan gelondong kayu. Keringat membasahi kaos Kastumiun. Dia hanya melengok sebentar ketika anak sulungnya sudah pulang dengan rumput di boncengan sepeda.
“Ikan kita mati lagi,” kata putra sulungnya menuju kandang di belakang rumah, “kambing kita juga.”***
november 2006
http://sastragerilyawan.blogspot.com/
Kastumiun menambatkan perahu di batang trembesi sebesar lengan, menjejakkan kaki di bibir perahu, melompat ke atas pematang tambak, melihat tambak yang berair keruh dan ikan-ikan bandeng timbul tenggelam; sesekali bagian perut ke atas, berusaha menyelam lagi, timbul lagi. Ikan-ikan dalam keadaan seperti itu memenuhi separuh permukaan tambak.
Lelaki berumur setengah baya itu melompat ke tambak, tanpa melepas baju atau celana seperti yang dilakukannya saat menabur pupuk urea untuk menghijaukan air, dan merabai tanah. Tangannya berkali-kali menyentuh ikan-ikan yang mati. Kemudian dia mentas ke pematang dan melompat lagi ke perahu. Setelah melepas ikatan tali di pohon trembesi, dia mengayuh perahu itu cepat-cepat. Dia hanya menoleh sebentar pada tambaknya yang ada di sebelah kiri kali desa dan mendayung kembali. Dari kejauhan dia melihat anak sulungnya sedang mengayuh sepeda dengan boncengan kosong belum mengangkut rumput sama sekali. Dia memanggilnya dan anak berumur limabelas tahun itu pun mendekat dan bertanya, “Ada apa, Pak?”
“Cepat panggil Paman Sartono dan Kak Muji. Katakan ikan di tambak timur kali sedang mati,” kata Kastumiun.
“Bapak mau ke mana?”
“Ambil keranjang,” jawab Kastumiun seraya mendayung perahunya kembali.
Satu jam kemudian empat orang sedang menyelami tambak Kastumiun. Mereka mengambil ikan-ikan yang mati. Ikan-ikan bandeng itu masih terhitung kecil, 1 kg berisi 10 ekor, walaupun sudah dipelihara selama lima bulan lebih. Tetapi, daripada harus membiarkannya mati lebih baik dipanen sekadar cukup untuk menutupi biaya pengairan dan beli pupuk; meskipun penghasilan mereka hanya ¼ dari semua biaya itu sudah terhitung lumayan daripada rugi total.
“Pupuknya pasti telat,” tebak Sartono yang berkumis tebal. Caping hitamnya hampir basah oleh air.
“Mestinya sepuluh hari lalu ditaburi,” jawab Kastumiun. “Tapi, tidak ada yang punya pupuk sekarang.”
“Aku kemarin dapat satu zak,” sela Muji sambil melemparkan ikan bandeng ke dalam keranjang. “Itu pun belum cukup untuk tiga petak tambakku.”
“Berapa harganya?” tanya Sartono.
“Dua kalilipat dari harga biasa,” jawab Muji.
“Namaku sudah terdaftar di toko Hasri, tetapi stoknya belum datang. Katanya seminggu lagi, padahal tambak yang satu sudah seminggu tidak disebari pupuk,” jelas Kastumiun.
Tanpa terasa matahari sudah bergerak ke arah barat. Istri Kastumiun datang membawa kiriman makanan dan minuman sekadarnya. Dia menyuruh semua orang berhenti sejenak, “Makan dulu!”
Empat orang di dalam tambak itu menjawab hampir secara bersamaan, “Sebentar lagi!”
Mereka telah menyisir hampir separuh luas tambak dan masih ada separuh lagi. Sartono berdiri, melihat ikan di keranjang, dan mengajak keponakannya—anak sulung Kastumiun—untuk membantu mengangkat keranjang ke pematang dekat kali.
“Istirahat dulu, Ji,” kata Kastumiun.
Panen dini itu selesai ketika matahari sudah lengser ke barat. Pembeli ikan sudah datang sejam lalu sambil membawa timbangan dan colt bak terbuka. Orang-orang bersicepat menimbang ikan-ikan dalam keranjang. Mereka harus sampai di gudang pabrik sebelum matahari tenggelam, kata pembeli ikan itu makin membuat Kastumiun dan kerabat yang membantunya tergesa-gesa.
Pembeli ikan mengulurkan kertas nota hasil panen dini kepada Kastumiun. Lelaki berpandangan sayu itu mencermati angka yang tertulis dalam kertas itu. Dia hanya menjawab sekadar saja ketika pembeli ikan berangkat mengangkut ikannya. Istrinya yang sudah mengemasi wadah makanan dan minuman kemudian memanggulnya di punggung bertanya lirih, “Dapat berapa, Pak?”
“Lumayan,” jawab Kastumiun kalem. “Cukup untuk beli pupuk urea sekali tanam lagi. Tentu saja kalau harga ikan kita tidak turun.”
Istri Kastumiun memandang suaminya yang berkulit coklat kehitaman karena terbakar matahari sepanjang hari. Dia kembali bertanya, “Benih ikannya dulu sudah dibayar?”
Kastumiun terbelalak memandang istrinya. Dia baru ingat kalau benih ikannya dulu belum dibayar dan masih hutang di pembenihan Haji Saman.
***
Siang itu Kastumiun berada di toko Hasri. Dia mendengar kabar kalau hari ini stok pupuk akan turun dan dia tidak mau ketinggalan lagi. Tiga hari lagi dia tidak mendapatkan pupuk, ikan-ikan di tambak satunya tidak mustahil akan menyusul untuk dipanen dini. Meskipun usia ikan di sana sudah waktunya panen, tetapi Kastumiun masih enggan untuk mengambilnya karena beratnya belum layak untuk diambil; lima atau enam tahun lalu Kastumiun dapat memanen ikannya tiga bulan sekali, tetapi saat ini mereka tidak bisa banyak berharap dengan waktu tiga bulan, sebab hingga berumur enam bulan pun ikan-ikan tidak bertambah besar, matanya saja yang kian lebar dengan ekor yang mekar tanpa ada perkembangan berat pada tubuhnya.
“Pak Kastum,” teriak Hasri pemilik toko sarana pertanian itu. “Sedang kaya baru panen?”
“Ya,” gurau Kastumiun sambil mendekat. “Katanya hari ini pupuk akan dikirim?”
“Katanya seperti itu, tetapi sampai sekarang belum juga datang. Pak Kastum sudah daftar?”
“Sudah. Sudah dua minggu lalu aku mendaftar minta jatah pupuk. Katanya, seminggu lalu ada yang turun, tetapi aku kok tidak dapat?”
“Memang jatahnya hanya sedikit, Pak. Tapi sebentar,” kata pemilik toko. Dia mengambil buku tulis tebal yang tersimpan dalam rak. “Hutang Pak Kastum di sini lima zak pupuk urea dan setinting waring. Nah, Pak Kastum kan sudah panen, bagaimana kalau dibayar dulu yang lima zak nanti baru mengambil lagi?”
“Hasil penjualan kemarin belum dibayar. Sartono dan Muji saja belum saya beri uang rokok.”
“Kalau Pak Kastum belum bayar, aku belum bisa mengasih pupuk lagi?”
“Berarti sudah ada pupuknya kalau begitu?”
“Belum datang!”
“Katanya kalau aku membayar akan diberi pupuk lagi, berarti sudah ada pupuknya?!”
“Pak Kastum sendiri tahu pupuknya belum datang,” kata pemilik toko Hasri dengan galak.
Kastumiun mengerutkan kening. Dia tidak bisa mengandalkan toko-toko lain, karena meskipun harganya murah tetapi harga di sana akan berlipat setiap bulannya. Dengan nada kalem Kastumiun bicara lagi, “Pembeli ikanku kan saudaramu sendiri. Kamu minta saja padanya?”
Pemilik toko yang berbadan tambun dan berperawakan tinggi itu berkata lirih, “Tidak mungkin, Pak Kastum. Meskipun kami berdua saudara, tetapi ini persoalan bisnis dan bukan masalah keluarga.”
“Apa kamu tidak percaya kalau aku pasti membayarnya?”
“Bukan percaya atau tidak, tetapi semua orang berhutang. Coba Pak Kastum hitung sendiri. Penduduk sini yang berhutang duapuluh orang. Masing-masing mempunyai hutang pupuk lima zak. Berarti saya menanggung seratus zak. Semua orang mengatakan akan membayar kalau sudah panen, tetapi panen mereka tidak ada yang memuaskan hasilnya. Katanya tiga bulan, tetapi panennya menjadi enam bulan dan bahkan ada yang setahun. Mereka yang rugi, tetapi mengapa saya juga harus rugi?”
“Kita juga tidak ingin rugi, Has,” kata Kastum berat.
“Rugi sih tidak apa-apa, tetapi jangan banyak-banyak seperti itu biar kita tidak bangkrut,” kata pemilik toko Hasri dengan nada enggan bicara lagi.
“Hari ini aku mendapat jatah pupuk atau tidak? Kalau tidak ikanku bisa mati lagi.”
“Pak Kastum masih lumayan hanya ikan yang mati, tetapi saya bisa ditinggal mati oleh anak dan istri.”
Kastumiun diam bukan karena memahami keadaan pemilik toko Hasri itu, tetapi keadaannya yang tersudut pada satu pilihan untuk mendatangi rumah pembeli ikannya. Dia bergegas memacu sepeda ontel-nya. Ada yang mengganjal di hati. Tidak biasa dia menagih hasil penjualan ikannya, sebab pembeli ikan itu akan datang sendiri ke rumah.
Lelaki itu tiba di tempat tujuannya beberapa menit saja. Ia bertanya pada anak kecil yang asik bermain di halaman rumah. “Bapakmu di rumah?”
Anak itu tidak menjawab. Dia meninggalkan semua mainan dan masuk ke dalam rumah. Tidak berapa lama kemudian anak itu kembali dan mengatakan kalau bapaknya sedang bepergian dan belum datang.
“Ibumu di rumah?”
Anak itu mengangguk.
“Coba panggilkan.”
Anak kecil itu pun kembali masuk ke dalam. Kemudian dia kembali lagi dan meneruskan permainan setelah menjawab disuruh menunggu. Seorang perempuan separuh baya keluar dan mempersilakan Kastumiun masuk dan duduk. Mereka berbasa-basi sebentar. Tuan rumah masuk ke dalam dan Kastumiun mencegah dengan alasan hanya sebentar.
“Saya hendak menanyakan uang hasil penjualan ikan kemarin,” kata Kastumiun dengan nada datar.
“Oh, persoalan itu,” jawab istri pembeli ikan dengan nada keras membuat Kastumiun berbunga, sebab perempuan itu pasti dititipi sesuatu. “Kata suami saya, sebagian diminta oleh Haji Saman pemilik benih. Katanya, Pak Kastum punya hutang benih di sana.”
“Ya,” jawab Kastumiun tersedak. “Berarti aku sudah tidak punya hutang ke Haji Saman?”
“Saya tidak tahu apakah sudah lunas belum.”
“Bagaimana dengan sisa hasil penjualannya?”
“Kata suami saya, baru separuh yang dibayarkan oleh pemilik gudang dan separuh lagi menunggu dia ke gudang lagi.”
“Kapan?”
“Saya tidak tahu.”
“Tapi, suamimu mengatakan berapa harga ikannya?”
“Yang jelas murah sekali, sebab ikan Pak Kastum dipanen dini.”
***
Hari ini hari kesepuluh sejak Kastumiun menebarkan pupuk urea ke tambak sebelah barat kali. Dia bisa membayangkan betapa keruh airnya dan lemah ikan-ikan bandengnya. Karena itu, sengaja dia tidak pergi ke tambak pagi-pagi. Kedatangannya tidak lebih untuk memastikan bahwa ikannya tidak mati dan dia bisa menunda hingga siang hari. Makanya dia cekatan memecahkan batang-batang kayu trembesi ketika istrinya mengeluh tidak punya kayu bakar lagi. Anak sulungnya sudah berangkat ke sawah mencari rumput bagi lima ekor kambingnya, sedangkan ketiga anak lain sudah berangkat ke sekolah.
Kapak besar itu mengayun berkali-kali dan memecahkan gelondong kayu. Keringat membasahi kaos Kastumiun. Dia hanya melengok sebentar ketika anak sulungnya sudah pulang dengan rumput di boncengan sepeda.
“Ikan kita mati lagi,” kata putra sulungnya menuju kandang di belakang rumah, “kambing kita juga.”***
november 2006
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati