Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/
Tujuh tahun berkenalan dengan seseorang adalah waktu yang pendek jika jarak membentang, tetapi jadi waktu yang panjang kala hati tertali dalam hubungan guru-murid. Begitulah, barangkali hal menarik yang dapat penulis petik ketika mengenalnya. Ia selalu memberikan motivasi, mendorong etos untuk berbuat, dan tak jarang “memberi” pujian. Begitulah selalu. Tetapi tidak jarang, lelaki itu langsung memberikan kritik ketika ada kekurangan yang menurutnya adalah kelemahan.
Pada tanggal 11/6/08 ketika ia mengenalkan penulis dengan seorang peneliti dari Malasyia, dia langsung komentar, “Kritik ya! Kalau berhadapan dengan orang kita tak perlu takut. Semua orang sama. Mereka belum tentu lebih pinter dari kita. Tegak dan sigap, katanya.” Bagi, penulis hal itu kritik konstruktif yang saya sambut dengan lapang dada. Dua lelaki Malasyia itu adalah Prof. Datuk Abdul Latif Abu Bakar dan Prof. Abdullah Zakaria bin Ghazali (Universitas Malaya Kuala Lumpur). Hal itu, terjadi di sebuah seminar internasional di Jakarta. Dan, lelaki “sang guru” itu adalah Maman S. Mahayana (Universitas Indonesia).
Apa yang menarik dipetik dari pengalaman Maman? Lelaki ini lebih dikenal sebagai kritikus sastra yang telah begitu banyak menulis buku diantaranya 9 Jawaban Sastra (2005), Bermain-main dengan Cerpen (2006), Ekstrinsikalitas Karya Sastra (2007). Dalam menulis kritik, misalnya, hal yang sering dikatakan adalah: (a) jangan banyak menggunakan istilah asing (b) pergunakan bahasa yang sederhana tetapi bermakna, (c) jangan bombastis, dan (d) lakukan secara tajam dan argumentatif.
Empat hal ini seperti pigura yang senantiasa memberikan batas atas gagasan dalam berekspresi. Esai, yang kemudian, banyak saya tekuni –terus terang— ada kecenderungan untuk menerjemahkan pesan sang Maman. Yang oleh beberapa mahasiswa, ia sering dipanggil sang Dewa Mahayana. Hal itu paralel dengan teori fungsionalisasi yang sering disarang Budi Darma dalam penampingan kepenulisan pada para mahasiswa. Bahwa segala sesuatu dalam deret kalimat “harus” berfungsi. Karena itu, kalau bisa diungkapkan 5 kalimat mengapa harus 15 kalimat? Begitulah barangkali jika diungkapkan secara oratoris. Untuk ini, memang kejernihan dalam berbahasa merupakan sebuah kunci penting. Demikian atas teori tertentu yang dipergunakan dalam sebuah esai, misalnya, tidak boleh bombastis. Secukupnya.
Di sinilah, sesungguhnya dalam penulisan esai, memang, yang dibutuhkan adalah eksplorasi, impresi, dan investigasi yang mendalam. Gaya tentunya tidak terikat. Sebagaimana sifat esai yang pribadi, maka kekhasan tulisan yang “tidak terikat” merupakan pilihan yang tepat. Sebuah esai, karena itu, dituntut kompetensi bidang yang andal di samping kejelian dalam mengajinya. Inilah, pesan terdalam yang sering dipesankan Maman dalam penulisan ulasan berupa esai.
Selama ini, dalam berbagai pelatihan penulisan fiksi, Maman S. Mahayana mengilustrasikan kemampuan dasar yang penting dimiliki calon penulis. Kemampuan dasar itu mencakup diantaranya: (a) mendeskripsikan ruang dan tempat, (b) mendeskripsikan profil, (c) menarasikan peristiwa, (d) merangkai kejadian, (e) melatihkan gaya cerita, (f) membuat potongan kisah, (g) melukiskan karakter, dan sebagainya. Kemampuan dasar dalam penulisan fiksi seringkali merupakan faktor yang perlu dimiliki. Logikanya, hal-hal itu akan menjadi bahan penting dalam pembangunan kemampuan kreatif selanjutnya. Cerpen yang baik, misalnya, kata Maman mutlak menuntut kemampuan pembuatan seting yang menarik. Karena hal itu merupakan hal pertama. Ia mencohtohkan Ahmad Tohari, seorang novelis yang kuat dalam penulisan setting. Mau tidak mau, memang, setting akan berandil atas karakter tokoh yang dipilihnya.
Karena itu, jika Anda pengin menulis fiksi tentunya pesan-pesan ini tidak boleh diabaikan. Kekokohan totalitas cerita karena itu, mau tidak mau, ditentukan oleh kekokohan aspek-aspen pembangunnya. Baru setelah itu, kemengaliran dalam penceritaan. Ibarat alir air, sebuah cerita mampu mengantarkan aliran imajinasi seakan-akan pembaca arus dalam geraknya. Kalaupun tokoh bercakap, seakan tokoh hidup dalam pikiran yang diciptakannya. Dalam bahasa Budi Darma, dengan alat demikian, tokoh akan bisa hidup (bercahaya?) lewat pikiran dan bahasa yang digunakannya dalam dialog.
Lebih dari itu, hal lain yang penting Anda miliki adalah pentingnya kebiasaan membaca. Membaca, kata Maman, adalah ruang dialog, ruang berbagi, dan ruang pemodelan. Bagaimana akan menulis cerpen kalau tidak tahu cerpen. Di sinilah, ukuran pertama-tama setelah orang mampu membedakan karakter cerpen (termasuk yang baik dan buruk), baru akan terjadi proses transformasi pengetahuan secara tidak langsung. Cerpen yang baik, katanya, tokohnya tidak harus banyak. Tetapi inspiratif dan menggerakkan imaji pembaca.
Pada tengah Juni 2008 lalu, hal itu juga diungkapkan pada penyair Nurel Javissyarqi (asal Lamongan). Lelaki kurus yang bukan pendidik (karena alergi keberaturan pola guru) itu terus-menerus terjebak dalam ruang diskusi. Apakah kemudian karya itu baik atau tidak, tentunya akan terus bisa diperdebatkan. Hanya, yang penting dipahami adalah dalam menulis maupun memahami teks sastra ada tiga kode menarik yang perlu direnungkan: (a) kode bahasa, (b) kode budaya, dan (c) kode sastra. Penguasaan penulis dalam menulis teks sastra, tentunya mutlak menguasai ketiganya.
Kode bahasa akan menuntun pada ketepatan dan keruntuntan, termasuk kejernihan dalam berbahasa. Kode budaya akan menggiring penulis pada kemampuan membuat imajinasi pembaca lewat pilihan kata yang berbudaya, mencerminkan konteks sosial, dan lain sebagainya. Di sini, penulis merupakan bagian dari struktur budaya itu sendiri, dan karenannya pilihan bahasa itu pun dengan sendirinya merupakan simbol kebudayaan sosial masyarakatnya. Dalam menampilkan tokoh-tokohnya, misalnya, tokoh tidak boleh tercerabut dalam “koridor budaya” ini. Baik secara bahasa maupun kemungkinan simbol-simbol budaya yang melingkarinya. Sedangkan, kode sastra mengingatkan kita bahwa tulisan sastra bukanlah bahasa biasa. Tetapi bahasa indah estetik yang memberikan ruang imajinasi, ruang bayang hingga terawang angan pembaca yang terus alirkan pikiran bimbang. Artinya, teks sastra memang bukanlah menyuguhkan kebenaran mutlak. Tetapi, pemaknaan yang terus berproses dan berulang sehingga kebenaran yang ditawarkan pun bersifat implisit.
Maman, barangkali termasuk sedikit orang yang sabar dalam meberikan pengantar para penulis muda. Melalui bahasa yang kadang “bombastis” untuk menggali motivasi yang diantarkannya sesungguhnya selalu ada bahasa komunikasi penting yang menarik untuk direfleksikan. Ditawar ulang. Tugas kritikus, katanya, memberikan ruang dialog, membuka pintu, dan membukakan jendela estetis. Sejauh dan sedapat mungkin. Kritikus sastra bukanlah pembunuh kreativitas tetapi penumbuh dan penggali keestetikan yang –barangkali pula—masih terpendam.
Bagaimanapun, lanjutnya, menulis dan berkesenian membutuhkan latihan yang terus-menerus. Mengapa? Jika Anda penulis (terlebih calon penulis) berhenti berlatih adalah kemandekan. Kemandekan artinya kepuasan. Padahal dunia kepenulisan adalah dunia alir air laut yang terus bergulung dan berombak. Kepenulisan terus-menerus mengalami pendakian sesekali, tetapi mengalami penurunan pula dalam kala yang berbeda. Artinya, latihan (dan pembacaan atas teks-teks terbaik) merupakan ruang pemodelan kreatif yang menarik untuk dilatihkan. Ini sama sekali bukan berarti pemasungan kreatif, tetapi lebih dari itu, adalah ruang tinju untuk membangkitkan nyali tak henti untuk meniti. Jalan kepenulisan adalah titian hati dai satu sisi dan di sisi lain adalah titian pikir. Memadukan keduanya adalah butuh kearifan kreatif –yang seringkali—antar penulis bersifat unik.
Bagaimana dengan Anda? Meminjam bahasa motivasi, berlatih adalah saat penemuan diri, dan berlatih pula adalah kala berdoa. Pasrah atas hasil yang diungkapkan bersifat gerak menerima dan berubah. Untuk itu, berlatihlah untuk menemukan style diri, bahasa pengucapan, sehingga akan menjadi pesona pada saatnya.
***
*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 21 Mei 2010
Aktivis Kamar yang Kreatif
A Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/
Sangatlah sulit mencari manusia kreatif. Tak segampang sekadar pengakuan diri: sayalah yang kreatif. Kreatifitas adalah praktik atau amal yang sangat menyehari.
Menjadi manusia kreatif niscaya dibutuhkan dalam hal penyelesaian masalah. Tiap sesuatu bila selesai secara kreatif akan tampak beda dibanding dengan penyelesaian masalah sebelumnya.
Mula-mula membaca rubrik Humaniora-Dedaktika, Susah Menjadi Guru Kreatif (Kompas, 20/04), saya tersadar sehabis membacanya. Kreatifitas tak melulu berguna bagi insan pers, artistik, iklan, entertain, dll, yang semua ini tergolong pekerja kreatif. Tapi kreatifitas pula menyelusup di tiap-tiap aras edukasi. Misalnya, agar siswa kreatif, maka itu tak luput dari sejauh mana kreatifitas gurunya.
Mencapai derajat kreatif, guru dituntut menanggalkan otoritas linearnya di kelas dalam mendidik siswa. Guru tak lagi bersikap laiknya instruktur kepada murid hingga ia leluasa dan memiliki kuasa memerintah. Jika guru memaksa melakukan tindakan itu, maka jelas akan menumpulkan daya kreatifitas murid/siswa.
Jika zaman dulu guru ditempatkan sebagai penceramah tunggal di kelas, kini sudah berbeda. Di kelas guru tak hanya tunggal dalam proses belajar-mengajar. Demi dalih kreatifitas, guru turut mengapresiasi siswa yang aktif-kreatif dalam proses belajar-mengajar. Sehingga, ada masa di mana sumber inspirasi pengetahuan tak selalu hadir dari guru, tapi juga bersumber dari siswanya.
Nyala kreatifitas haruslah dianggit atau diimajinasikan. Imajinasi dan kreatifitas bak uang yang memiliki dua mata sisi. Mata air kreatifitas bisa mengalir bila didekati dengan imajinasi. Kekuatan dasar kreatif tergantung seberapa kuat berimajinasi.
Di jagad penelitian pun, imajinasi memiliki andil penting. Menurut pengakuan peneliti Biologi-Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, agar penelitian itu dinamis maka peneliti niscaya berimajinasi. Hal itu, Hera buktikan dalam karya penelitiannya yang berjudul Keanekaragaman Genetik Manusia Nusantara. Pra-riset asal-usul nenek moyang Nusantara berbasis penelusuran DNA itu, Hera mengimajinasikan bagaimana mereka bermigrasi. “Saya membayangkan mereka berjalan dari Afrika, lalu ke Eropa, terus ke Asia Timur, India, dan masuk ke Sumatera, Kalimantan, dan Jawa yang ketika masih bersatu. Setelah itu meraka menyeberang ke Papua dan Australia. Sebagian ke Nusa Tenggara.”
Dirasa penting berimajinasi demi tampilnya daya kreatifitas. Sehingga, pekerjaan apapun yang dikerjakan itu seakan butuh sentuhan tangan-tangan kreatif. Tak hanya seorang guru dan peneliti melulu. Tak hanya pengecer jasa iklan, artististik, dan audio-visual saja. Tapi bagi seluruh lini-lini pekerjaan butuh kreatifitas. Di mana, pemantik kreatifitas tersebut bermula muncul dari kamar kerja yang imajinatif.
Imajinasi dan Kamar
Kencangnya arus informasi di dunia ketiga membuat siapa saja gampang mengakses apapun. Sekali klik berjibun-jibun data mudah teraup. Hal ini tak dapat ditampik, sebab kelaziman perubahan zaman (perubahan tekhnologi mengubah perubahan sosial) menghantarkan kemajuan manusia. Mc Luhan menuturkan runtuhnya sekat-sekat negara yang disebabkan gencarnya arus informasi. Semuanya mengklimaks menjadi warga global. Lebih rinci Mc Luhan menyebut zaman ini dengan global village.
Temuan Mc Luhan itu memicu asumsi bahwa apapun kini bisa dikerjakan dalam kamar. Jika saat Sekolah Dasar (SD), saya sering dipetuahi guru bahwa membaca membuka jendela dunia. Dengan membaca maka kita bakal tahu pengetahuan dunia. Ini mirip amal tesis Mc Luhan. Dunia dapat dipandang dengan sekadar melongok dari jendela dalam kamar. Kita bakal serba tahu seluruh informasi dunia dengan hanya berada dalam kamar. Tentunya, kamar yang dimaksud ialah kamar imajinatif. Sebuah kamar yang dianggit sebagai peranti dasar mewujudkan nyala kreatif.
Kamar imajinatif tak lepas dari pelaku atau penghuni kamar yang imajinatif pula. Dan, penghuni kamar tersebut juga harus memangku perilaku prolifik, yaitu gemar menyimpan dirinya dalam kamar. Ia mau berlarat sepi, tekun di suasana hening, tak getir dirajam kesenyapan.
Naguib Mahfouz, pesastra adib Mesir ditengarai gemar mengamalkan lelaku prolifik. Ia kerap menangkis serangan keramaian kerumunan masyarakat sekitarnya. Saat berangkat bekerja ia mesti mampir di sebuah kafe langganannya sekadar menghisap rokok dan menyeruput kopi. Lalu ia tak menyengaja dirinya ngobrol atau ngerumpi dengan orang lain, tapi ia memilih membaca koran. Aktivitas seperti itu telah menyehari dilakukannya.
Kendati Mahfouz prolifik ia tak bakal jenuh dengan aktivitasnya yang tampak linear itu. Sebab, ia mampu menafsir kreatifitas dalam kamar kerjanya. Ia menempatkan secara mapan kamar kerja imajinatifnya. Kamar kerja kreatif-imajinatif, lebih tepat Mahfouz menganggap tempat itu laiknya ladang tunggal yang bisa berganti-ganti ditanami tumbuh-tumbuhan. Dan di ruang itulah, pesastra tersohor Mesir itu membesut karya agung literer demi pencerahan masyarakat Mesir. Dengan sastra, Mahfouz hendak mengungkap ketabuan yang meliliti pemafhuman masyarakat Mesir. Hingga pada masanya, karya Mahfouz dilarang beredar.
Kendati demikian, manusia kreatif yang lahir dari embrio kamar kerja kreatif tak mudah dilumpuhkan dan dibungkam suaranya. Sebab, ia terbiasa dalam kamar yang didera kesepian berlarat. Kamar sejatinya ruang ibadah mengabdi pada hidup dengan berkarya. Tentunya, kamar yang dimaksud ialah kamar yang disesaki serakan buku-buku, jurnal, majalah, dan kliping koran.
Mari jadi aktivis kamar, memulai gerak-gerilya dalam kamar. Mengusung dan melakukan perubahan besar dari kamar. Menyusun strategi pergerakan dalam kamar. Memimpikan idealisme mahasiswa dalam kamar. Al-hasil, kamar pun rupa-rapanya menjadi rekayasa sosial baru. Semoga!
http://indonimut.blogspot.com/
Sangatlah sulit mencari manusia kreatif. Tak segampang sekadar pengakuan diri: sayalah yang kreatif. Kreatifitas adalah praktik atau amal yang sangat menyehari.
Menjadi manusia kreatif niscaya dibutuhkan dalam hal penyelesaian masalah. Tiap sesuatu bila selesai secara kreatif akan tampak beda dibanding dengan penyelesaian masalah sebelumnya.
Mula-mula membaca rubrik Humaniora-Dedaktika, Susah Menjadi Guru Kreatif (Kompas, 20/04), saya tersadar sehabis membacanya. Kreatifitas tak melulu berguna bagi insan pers, artistik, iklan, entertain, dll, yang semua ini tergolong pekerja kreatif. Tapi kreatifitas pula menyelusup di tiap-tiap aras edukasi. Misalnya, agar siswa kreatif, maka itu tak luput dari sejauh mana kreatifitas gurunya.
Mencapai derajat kreatif, guru dituntut menanggalkan otoritas linearnya di kelas dalam mendidik siswa. Guru tak lagi bersikap laiknya instruktur kepada murid hingga ia leluasa dan memiliki kuasa memerintah. Jika guru memaksa melakukan tindakan itu, maka jelas akan menumpulkan daya kreatifitas murid/siswa.
Jika zaman dulu guru ditempatkan sebagai penceramah tunggal di kelas, kini sudah berbeda. Di kelas guru tak hanya tunggal dalam proses belajar-mengajar. Demi dalih kreatifitas, guru turut mengapresiasi siswa yang aktif-kreatif dalam proses belajar-mengajar. Sehingga, ada masa di mana sumber inspirasi pengetahuan tak selalu hadir dari guru, tapi juga bersumber dari siswanya.
Nyala kreatifitas haruslah dianggit atau diimajinasikan. Imajinasi dan kreatifitas bak uang yang memiliki dua mata sisi. Mata air kreatifitas bisa mengalir bila didekati dengan imajinasi. Kekuatan dasar kreatif tergantung seberapa kuat berimajinasi.
Di jagad penelitian pun, imajinasi memiliki andil penting. Menurut pengakuan peneliti Biologi-Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, agar penelitian itu dinamis maka peneliti niscaya berimajinasi. Hal itu, Hera buktikan dalam karya penelitiannya yang berjudul Keanekaragaman Genetik Manusia Nusantara. Pra-riset asal-usul nenek moyang Nusantara berbasis penelusuran DNA itu, Hera mengimajinasikan bagaimana mereka bermigrasi. “Saya membayangkan mereka berjalan dari Afrika, lalu ke Eropa, terus ke Asia Timur, India, dan masuk ke Sumatera, Kalimantan, dan Jawa yang ketika masih bersatu. Setelah itu meraka menyeberang ke Papua dan Australia. Sebagian ke Nusa Tenggara.”
Dirasa penting berimajinasi demi tampilnya daya kreatifitas. Sehingga, pekerjaan apapun yang dikerjakan itu seakan butuh sentuhan tangan-tangan kreatif. Tak hanya seorang guru dan peneliti melulu. Tak hanya pengecer jasa iklan, artististik, dan audio-visual saja. Tapi bagi seluruh lini-lini pekerjaan butuh kreatifitas. Di mana, pemantik kreatifitas tersebut bermula muncul dari kamar kerja yang imajinatif.
Imajinasi dan Kamar
Kencangnya arus informasi di dunia ketiga membuat siapa saja gampang mengakses apapun. Sekali klik berjibun-jibun data mudah teraup. Hal ini tak dapat ditampik, sebab kelaziman perubahan zaman (perubahan tekhnologi mengubah perubahan sosial) menghantarkan kemajuan manusia. Mc Luhan menuturkan runtuhnya sekat-sekat negara yang disebabkan gencarnya arus informasi. Semuanya mengklimaks menjadi warga global. Lebih rinci Mc Luhan menyebut zaman ini dengan global village.
Temuan Mc Luhan itu memicu asumsi bahwa apapun kini bisa dikerjakan dalam kamar. Jika saat Sekolah Dasar (SD), saya sering dipetuahi guru bahwa membaca membuka jendela dunia. Dengan membaca maka kita bakal tahu pengetahuan dunia. Ini mirip amal tesis Mc Luhan. Dunia dapat dipandang dengan sekadar melongok dari jendela dalam kamar. Kita bakal serba tahu seluruh informasi dunia dengan hanya berada dalam kamar. Tentunya, kamar yang dimaksud ialah kamar imajinatif. Sebuah kamar yang dianggit sebagai peranti dasar mewujudkan nyala kreatif.
Kamar imajinatif tak lepas dari pelaku atau penghuni kamar yang imajinatif pula. Dan, penghuni kamar tersebut juga harus memangku perilaku prolifik, yaitu gemar menyimpan dirinya dalam kamar. Ia mau berlarat sepi, tekun di suasana hening, tak getir dirajam kesenyapan.
Naguib Mahfouz, pesastra adib Mesir ditengarai gemar mengamalkan lelaku prolifik. Ia kerap menangkis serangan keramaian kerumunan masyarakat sekitarnya. Saat berangkat bekerja ia mesti mampir di sebuah kafe langganannya sekadar menghisap rokok dan menyeruput kopi. Lalu ia tak menyengaja dirinya ngobrol atau ngerumpi dengan orang lain, tapi ia memilih membaca koran. Aktivitas seperti itu telah menyehari dilakukannya.
Kendati Mahfouz prolifik ia tak bakal jenuh dengan aktivitasnya yang tampak linear itu. Sebab, ia mampu menafsir kreatifitas dalam kamar kerjanya. Ia menempatkan secara mapan kamar kerja imajinatifnya. Kamar kerja kreatif-imajinatif, lebih tepat Mahfouz menganggap tempat itu laiknya ladang tunggal yang bisa berganti-ganti ditanami tumbuh-tumbuhan. Dan di ruang itulah, pesastra tersohor Mesir itu membesut karya agung literer demi pencerahan masyarakat Mesir. Dengan sastra, Mahfouz hendak mengungkap ketabuan yang meliliti pemafhuman masyarakat Mesir. Hingga pada masanya, karya Mahfouz dilarang beredar.
Kendati demikian, manusia kreatif yang lahir dari embrio kamar kerja kreatif tak mudah dilumpuhkan dan dibungkam suaranya. Sebab, ia terbiasa dalam kamar yang didera kesepian berlarat. Kamar sejatinya ruang ibadah mengabdi pada hidup dengan berkarya. Tentunya, kamar yang dimaksud ialah kamar yang disesaki serakan buku-buku, jurnal, majalah, dan kliping koran.
Mari jadi aktivis kamar, memulai gerak-gerilya dalam kamar. Mengusung dan melakukan perubahan besar dari kamar. Menyusun strategi pergerakan dalam kamar. Memimpikan idealisme mahasiswa dalam kamar. Al-hasil, kamar pun rupa-rapanya menjadi rekayasa sosial baru. Semoga!
Uang, Modernitas, dan Tafsir Sastra
Bandung Mawardi*
http://cetak.kompas.com/
Uang adalah wacana tak selesai untuk memperkarakan kehidupan manusia modern. Uang sebagai benda, kata, dan makna terus jadi kuasa untuk mengantarkan manusia pada permainan-permainan hidup dalam seribu satu risiko. Pengenalan manusia modern terhadap uang menjadi absorsi dan internalisasi untuk melakoni hidup dengan konstitusi atas nama nilai dan kompensasi. Uang sebagai juru bicara membuat manusia menerima mekanisme atau prosedur hidup dalam perhitungan angka untuk mencapai makna. Angka jadi penentu, tetapi makna kadang hadir dalam kesamaran.
Uang mengantarkan peradaban manusia pada pertaruhan ekonomi modern secara sistemik. Efek pertaruhan itu meluber dalam lakon politik, spiritualitas, sosial, pendidikan, dan kultural. Uang menjelma monster dengan sabda-sabda untuk memberi instruksi dan sanksi. Manusia-manusia modern jadi tokoh-tokoh dalam lakon fiksi modern karena uang telah mengaburkan fakta-fakta dalam nalar tradisional. Fiksi mutakhir adalah pembenaran uang dalam konstruksi nalar modern dengan penentuan tema, alur, dan latar.
Karl Marx dengan satire mengungkapkan uang adalah dewa. Uang telah menjadi penguasa manusia dan alam. Uang menjelma pusat dari nilai segala sesuatu. Uang telah merampas dunia dari tatanan kosmis yang mengacu pada norma spiritualitas dan kultural menuju ke tatanan ekonomi dan politik yang materialistik. Karl Marx pun menilai uang sebagai esensi alineatif dari eksistensi manusia dan laku kerja untuk hidup. Uang justru menemukan eksistensi dalam iman manusia karena ritual pemujaan dalam mekanisme produksi dan konsumsi.
Satire itu muncul dari lakon peradaban manusia modern dengan pemahaman uang sebagai dewa atau pusat. Fakta-fakta modernitas jadi ”fiksi realisme” atau ”fiksi absurd” karena kuasa uang. Georg Simmel memberi penjelasan lanjutan bahwa uang memang jadi pokok dan tokoh dalam modernitas. Dalil reflektif dari Simmel adalah modernitas digerakkan oleh kota dan uang. Kota adalah tempat modernitas dipusatkan dan diintensifkan. Uang adalah sebab untuk sebaran kuasa modernitas. Uang adalah lambang dan metafora yang terus mendapati terjemahan dan realisasi untuk lakon konstruktif atau destruktif.
Wacana uang di Eropa mendapat perhatian dari kalangan studi filsafat, sosiologi, ekonomi, politik, teologi, seni, dan sastra. Pelbagai pembacaan dan penilaian terhadap uang menjadi prosedur legitimasi uang dalam lakon manusia modern. Uang jadi dalil untuk alienasi, hedonisme, perbankan, kapitalisme, pasar bebas, revolusi, pasar modal, asuransi, dan globalisasi. Legitimasi uang pun menampakkan pengaruh pada laku spiritual, olah estetika, interaksi sosial, dan operasionalisasi demokrasi.
Uang dalam wacana-wacana kritis memang jadi momok untuk berkah atau kutukan. Pemahaman uang secara kuantitatif dan kualitatif lalu memunculkan kontradiksi-kontradiksi dilematis. Uang menjadi tukang sulap untuk manusia modern melakoni hidup sebagai fakta atau fiksi. Pembedaan rasionalitas dan irrasionalitas semakin tak mempan ketika uang menjebol definisi dan tafsir atas peradaban modern. Uang bisa menjelma dewa kapitalisme, spiritualisasi ekonomi, lokomotif politik, sakralitas prestise, mistik sosial, aktor seni populer, atau iblis kemiskinan.
Tafsir
Membaca dan menilai uang dalam garapan sastra tentu jadi tindakan reflektif untuk memahami resepsi manusia-manusia modern terhadap uang. Sastra memang pewartaan dalam bentuk dokumentasi fragmen-fragmen historis, sosiologis, etis, teologis, dan estetis. Sastra pun memiliki orientasi untuk memuat nubuat atas kondisi manusia dan peradaban modern dalam kuasa uang. Sastra memberi warta reflektif ketimbang analisis ekonomi atau sosiologi dengan suguhan data dan tafsir-tafsir ilmiah dan rasional.
Hugh Dalziel Duncan (1997) memberi paparan reflektif tentang uang dalam fiksi-fiksi modern. Uang adalah tema penting dalam arus modernitas dan hasrat manusia untuk melegitimasi eksistensi-esensi. Uang mengandung misteri dan kodrat hierarkis untuk membedakan derajat manusia dalam mengonsumsi seni atau materi-materi lain untuk klaim kemapanan atau prestise. Uang jadi kunci untuk menciptakan nikmat atau jatuh dalam sengsara.
Edith Wharton (1862-1937) dalam novel The House of Mirth (1905) memberikan deskripsi tentang relasi manusia modern dengan uang untuk eksplisitas eksistensi melalui tindakan konsumsi dan gaya hidup: ”Tuan Rosedale memiliki ketepatan khas rasanya dalam hal memuja nilai-nilai, dan untuk dilihat orang tatkala ia berjalan menuruni tangga di jam istirahat makan siang yang penuh sesak dengan ditemani oleh Nona Lily Bart sama rasanya dengan uang dalam kantong, sebagaimana kata-kata yang akan dipilih sendiri oleh Tuan Rosedale”. Uang adalah aura modernitas, tetapi mungkin jadi faktor untuk membuka aurat hedonisme dan kapitalisme.
Konklusi kritis diajukan Duncan ketika menilai novel-novel F Scott Fitzgerald dan Thomas Mann. Fitzgerald dalam novel The Great Gatsby menciptakan tokoh-tokoh yang terangsang secara seksual dan rohani oleh uang. Tokoh-tokoh dalam novel Buddenbrooks anggitan Thomas Mann justru luluh, membusuk, dan musnah oleh kuasa dan aura uang. Tokoh-tokoh itu adalah representasi dari lakon manusia-manusia modern di Amerika dan Jerman.
Fiksi-fiksi di Eropa memang kentara untuk mewartakan lakon uang dalam peradaban modern. Bagaimana lakon uang di negeri Indonesia? Novel-novel awal abad XX di Indonesia sudah merepresentasikan tema uang dalam kadar tertentu terkait dengan hasrat untuk hedonis, kawin paksa, gaya hidup modern oleh kaum pribumi, kemiskinan di desa dan kota, modal dalam pendidikan modern, atau progresivitas kebudayaan populer di kota. Penggarapan sastra dengan tema uang tentu bisa jadi dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia terhadap uang sebagai pamrih untuk hidup atau menjadi modern.
Eksplorasi terhadap tema uang justru masih jarang dilakukan oleh empu-empu sastra Indonesia. Kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra. Uang tentu jadi perkara besar dalam biografi manusia-manusia Indonesia ketika dengan gairah atau gerah tumbuh dalam arus dan alur modernitas pada abad XX.
*) Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai.
http://cetak.kompas.com/
Uang adalah wacana tak selesai untuk memperkarakan kehidupan manusia modern. Uang sebagai benda, kata, dan makna terus jadi kuasa untuk mengantarkan manusia pada permainan-permainan hidup dalam seribu satu risiko. Pengenalan manusia modern terhadap uang menjadi absorsi dan internalisasi untuk melakoni hidup dengan konstitusi atas nama nilai dan kompensasi. Uang sebagai juru bicara membuat manusia menerima mekanisme atau prosedur hidup dalam perhitungan angka untuk mencapai makna. Angka jadi penentu, tetapi makna kadang hadir dalam kesamaran.
Uang mengantarkan peradaban manusia pada pertaruhan ekonomi modern secara sistemik. Efek pertaruhan itu meluber dalam lakon politik, spiritualitas, sosial, pendidikan, dan kultural. Uang menjelma monster dengan sabda-sabda untuk memberi instruksi dan sanksi. Manusia-manusia modern jadi tokoh-tokoh dalam lakon fiksi modern karena uang telah mengaburkan fakta-fakta dalam nalar tradisional. Fiksi mutakhir adalah pembenaran uang dalam konstruksi nalar modern dengan penentuan tema, alur, dan latar.
Karl Marx dengan satire mengungkapkan uang adalah dewa. Uang telah menjadi penguasa manusia dan alam. Uang menjelma pusat dari nilai segala sesuatu. Uang telah merampas dunia dari tatanan kosmis yang mengacu pada norma spiritualitas dan kultural menuju ke tatanan ekonomi dan politik yang materialistik. Karl Marx pun menilai uang sebagai esensi alineatif dari eksistensi manusia dan laku kerja untuk hidup. Uang justru menemukan eksistensi dalam iman manusia karena ritual pemujaan dalam mekanisme produksi dan konsumsi.
Satire itu muncul dari lakon peradaban manusia modern dengan pemahaman uang sebagai dewa atau pusat. Fakta-fakta modernitas jadi ”fiksi realisme” atau ”fiksi absurd” karena kuasa uang. Georg Simmel memberi penjelasan lanjutan bahwa uang memang jadi pokok dan tokoh dalam modernitas. Dalil reflektif dari Simmel adalah modernitas digerakkan oleh kota dan uang. Kota adalah tempat modernitas dipusatkan dan diintensifkan. Uang adalah sebab untuk sebaran kuasa modernitas. Uang adalah lambang dan metafora yang terus mendapati terjemahan dan realisasi untuk lakon konstruktif atau destruktif.
Wacana uang di Eropa mendapat perhatian dari kalangan studi filsafat, sosiologi, ekonomi, politik, teologi, seni, dan sastra. Pelbagai pembacaan dan penilaian terhadap uang menjadi prosedur legitimasi uang dalam lakon manusia modern. Uang jadi dalil untuk alienasi, hedonisme, perbankan, kapitalisme, pasar bebas, revolusi, pasar modal, asuransi, dan globalisasi. Legitimasi uang pun menampakkan pengaruh pada laku spiritual, olah estetika, interaksi sosial, dan operasionalisasi demokrasi.
Uang dalam wacana-wacana kritis memang jadi momok untuk berkah atau kutukan. Pemahaman uang secara kuantitatif dan kualitatif lalu memunculkan kontradiksi-kontradiksi dilematis. Uang menjadi tukang sulap untuk manusia modern melakoni hidup sebagai fakta atau fiksi. Pembedaan rasionalitas dan irrasionalitas semakin tak mempan ketika uang menjebol definisi dan tafsir atas peradaban modern. Uang bisa menjelma dewa kapitalisme, spiritualisasi ekonomi, lokomotif politik, sakralitas prestise, mistik sosial, aktor seni populer, atau iblis kemiskinan.
Tafsir
Membaca dan menilai uang dalam garapan sastra tentu jadi tindakan reflektif untuk memahami resepsi manusia-manusia modern terhadap uang. Sastra memang pewartaan dalam bentuk dokumentasi fragmen-fragmen historis, sosiologis, etis, teologis, dan estetis. Sastra pun memiliki orientasi untuk memuat nubuat atas kondisi manusia dan peradaban modern dalam kuasa uang. Sastra memberi warta reflektif ketimbang analisis ekonomi atau sosiologi dengan suguhan data dan tafsir-tafsir ilmiah dan rasional.
Hugh Dalziel Duncan (1997) memberi paparan reflektif tentang uang dalam fiksi-fiksi modern. Uang adalah tema penting dalam arus modernitas dan hasrat manusia untuk melegitimasi eksistensi-esensi. Uang mengandung misteri dan kodrat hierarkis untuk membedakan derajat manusia dalam mengonsumsi seni atau materi-materi lain untuk klaim kemapanan atau prestise. Uang jadi kunci untuk menciptakan nikmat atau jatuh dalam sengsara.
Edith Wharton (1862-1937) dalam novel The House of Mirth (1905) memberikan deskripsi tentang relasi manusia modern dengan uang untuk eksplisitas eksistensi melalui tindakan konsumsi dan gaya hidup: ”Tuan Rosedale memiliki ketepatan khas rasanya dalam hal memuja nilai-nilai, dan untuk dilihat orang tatkala ia berjalan menuruni tangga di jam istirahat makan siang yang penuh sesak dengan ditemani oleh Nona Lily Bart sama rasanya dengan uang dalam kantong, sebagaimana kata-kata yang akan dipilih sendiri oleh Tuan Rosedale”. Uang adalah aura modernitas, tetapi mungkin jadi faktor untuk membuka aurat hedonisme dan kapitalisme.
Konklusi kritis diajukan Duncan ketika menilai novel-novel F Scott Fitzgerald dan Thomas Mann. Fitzgerald dalam novel The Great Gatsby menciptakan tokoh-tokoh yang terangsang secara seksual dan rohani oleh uang. Tokoh-tokoh dalam novel Buddenbrooks anggitan Thomas Mann justru luluh, membusuk, dan musnah oleh kuasa dan aura uang. Tokoh-tokoh itu adalah representasi dari lakon manusia-manusia modern di Amerika dan Jerman.
Fiksi-fiksi di Eropa memang kentara untuk mewartakan lakon uang dalam peradaban modern. Bagaimana lakon uang di negeri Indonesia? Novel-novel awal abad XX di Indonesia sudah merepresentasikan tema uang dalam kadar tertentu terkait dengan hasrat untuk hedonis, kawin paksa, gaya hidup modern oleh kaum pribumi, kemiskinan di desa dan kota, modal dalam pendidikan modern, atau progresivitas kebudayaan populer di kota. Penggarapan sastra dengan tema uang tentu bisa jadi dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia terhadap uang sebagai pamrih untuk hidup atau menjadi modern.
Eksplorasi terhadap tema uang justru masih jarang dilakukan oleh empu-empu sastra Indonesia. Kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra. Uang tentu jadi perkara besar dalam biografi manusia-manusia Indonesia ketika dengan gairah atau gerah tumbuh dalam arus dan alur modernitas pada abad XX.
*) Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai.
Sabtu, 01 Mei 2010
ORASI TERAKHIR
Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/
Di suatu kota tinggal keluarga yang kata orang taat beragama. Mereka hidup tentram dan damai, mereka sekeluarga baik dan sopan pada tetangga. Bahkan para tetangga sering minta bantuan kepada mereka. Pemimpin keluarga tersebut sangat berpengaruh Pak Umar sebut banyak orang dan isterinya bernama Aisyah. Mereka berdua memiliki putra yang dikasih nama Yudi. Dia masih sekolah SMU didekat rumahnya. Yudi anak yang pandai karena dia selalu belajar kepada Ayahnya tentang agama dan banyak hal tentang kehidupan.
Suatu hari pak Umar menjadi pembicara pengkajian bulanan di daerah sekitar rumahnya. Sudah kebiasanya, menjadi penceramah disuatu pengajian keagamaan. Memang dia salah satu kyai yang disegani. Pak Umar berangkat dengan mengajak Yudi. Tiba saat Pak Umar mengisi pengajian, di dalam pidatonya Dia bilang “Melihat kondisi bangsa kita saat ini, kita harus banyak interopeksi diri, dan pemerintah harus segerah memberantas korupsi. Agar bangsa kita menjadi bangsa yang diridlohi Allah Swt. Dan bangsa kita menjadi makmur”. Para pendengar menganggukkan kepala tandanya setuju dengan apa yang diucapkan Pak Umar. Dua jam berlalu, banyak sudah yang ducapkan oleh Pak Umar kepada peserta pengajian dan akhirnya mereka berdua pulang kerumah.
Seorang anak biasanya meniru kebiasaanya orang tuanya, sama halnya dengan Yudi selalu menjadi pelopor pada acara diskusi soal agama di sekolahnya, sehingga Dia dapat julukan “Ustad” dari teman-temannya. Dia sangat disukai sama teman-temannya, tak jarang temanya minta tolong sama Dia untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan soal agama dengan jawaban yang bisa diterimaolehakal.
Waktu terus melaju hingga yudi harus mengakhiri masa SMU-nya dan beralih keperguruan tinggi. Dari awal dia punya rencana masuk jalur khusus, untuk masuk di perguruan tinggi yang masih satu daerah dengan dia, tapi memilki jarak yang sangat jauh. Dan dia harus meninggalkan rumah untuk kost. Yudi mulai mengurus segalanya sendirian tanpa ditemani oleh keluarganya hingga semuanya selesai dan tinggal melaksanakan perkuliahan.
Awal kuliah, yudi sangat gembira sekali kerena mendapatkan teman yang baru dan lain seperti di SMU dulu. Di dalam kelas Dia disukai oleh teman-temannya seperti dulu di SMU-nya. Bahkan sering dimintai tolong mengajari teman-temanya dalam hal mata kuliah. Memang yudi orangnya pandai dan cerdas.
Sudah sebulan Yudi kuliah, ada sedikit janggal yang dirasakannya, Dia terus berfikir.
“Oh ya, aku belum menemukan forum diskusi”.
Biasa dari SMU memang suka diskusi apalagi soal Agama. Malam tak bisa tidur, terus berfikir dimana ada kominitas diskusi “Besok habis kuliah aku harus jalan-jalan keliling kampus dulu dan tidak boleh langsung pulang”.
Pagi sudah tiba kebetulan hari itu Cuma satu mata kuliah dan sudah tidak ada tugas, jadi rencanya bisa dijalankan. Habis kuliah dia jalan-jalan keliling kampus. Tepat didepannya agak ke kiri Yudi melihat orang bergerombol
“Sepertinya orang diskusi” dalam hatinya.
Lalu dihampirinya “Lagi diskusi ya, boleh saya bergabung”. Lalu Yudi berkenalan satu satu,
“Anton, Mira, Ahmad, Ridwan, Aisyah”.
Diskusinya berlanjut lagi, menjadi tambah banyak permasalahn dengan datangnya Yudi, hingga waktu tidak bersahabat sama mereka. “ Sudah soreh” ujar Mira, “Ya, dilanjutkan nanti malam saja” Ridwan menyahut.
“Dimana?“Yudi bertanya kemereka, serempak menjawab “ Di sekret”, “Memang kalian punya?” Tanya yudi. Ahmad menjawab dan memberi alamat ke yudi, lalu pulang bersama-sama tiba sampai depan kampus mereka berpisah.
***
Yudi lansung pulang ke kost, menaruh tasnya di kamarnya dan lansung masuk kamar mandi untuk membersihkan badan. Seusai mandi Yudi mengabil buku yang dia punya, “Walaupun sedikit usang masih bisa dibaca dan tidak ketinggalan wacananya” ujar dalam hatinya. Lembar demi lembar dibukanya tak terasa adzan mahrib tiba. Sajadahnya dibentangkan dan langsung melaksanakan sholat tanpa ambil wudlu lagi, karena belum batal dari wudlu sholat ashar. Selesai sholat magrib, Yudi lansung pergi ke sekret teman-temannya tadi
“ Halloo kawan….!” Sapa Ahmad ke Yudi,
“Mana teman-teman yang lain?” Yudi menyahuti.
“Lagi makan sebentar lagi datang, itu mereka” jawab Ahmad.
Mereka diskusi lagi dan kali ini yudi agak kebinggungan karena banyak teori-teori baru yang muncul.
“Kawan aku tidak yambung” Yudi merasa binggung,
“Dengarkan aja dulu Yud nanti kamu nyambung sendiri”. Dan akhirnya mereka semua menyelesaikan diskusinya dengan banyak sekali pertanyaan bagi Yudi.
Besok paginya Yudi ketemu Ahmad
“Mau kemana, Mad?”
“Mau ke toko buku, kamu mau iku?”.
Dengan senang Yudi mengikuti Ahmad ke toko buku. Hingga sore tiba mereka pulang dengan membawa buku barunya yang tak sabar untuk dibaca.
Hari demi hari berlalu, Yudi senang mendapatkan komunitas yang baru, karena kemarin mengikuti pengkaderan sebagai syarat masuk dan menjadi anggota resmi di komunitas barunya. Hingga tak sadar dia nggak perna pulang kerumah orang tuanya hanya telfon dan kalau butuh uang minta transfer, walaupun satu kota tapi jaraknya jauh. Yudi, semua aktivis bertanya-tanya mana orangnya. Memang yudi pandai dan selalu konsisten dengan perjuangannya bahkan hampir tiap minggu tulisannya masuk di koran lokal, regional bahkan nasional juga masuk. Dengan ketelatenan dan kerajinannya membaca buku serta diskusi, menjadikan dia dikagumi oleh teman-temannya. Bahkan oleh para aktivis dari organisani kemasiswaan yang ada di kota tempat Yudi Kuliah.
***
Di rumah Yudi tinggal, Ayah dan Ibunya kangen sekali pada Yudi. Pak umar semakin terkenal dengan keahlian dan keapandaianya bercerama dihadapan publik. Hingga suatu hari ada rekanan dari politisi datang kerumahnya. Mereka memberi tawaran pada Pak Umar untuk bergabung di partainya dan langsung ditawari menjadi caleg. Tanpa berpiker panjang pak umar menyetujui. Karena itu yang menjadi keingginannya dibalik kepawaianya dan kepandaianya soal agama. Dalam hati berujar “Kesempatan untuk memasuki sistem dan merubah dari dalam prilaku politisi yang amoral”. Dan juga partai yang menawari pak Umar partai terbesar di Kotanya.
***
Masa libur kuliah telah tiba, Yudi pulang kerumah. Karena rasa kangennya terhadap kedua orang tua nya Ia cepat-cepat lari masuk kerumah, begitu di dalam rumah pak Umar dan istrinya menyambut kedatangan yudi. “ Yah, aku di rumah tidak lama, di kampus banyak kegiatan dan aku dibutuhkan sama teman-teman” bilang ke Ayahnya sambil memasuki kamarnya dan langsung merebahkan diri karena kecapean. Dua hari Yudi dirumah dan sudah waktunya kembali ke kampus.
Seminggu berlalu yudi dari rumah, di dalam organisasinya lagi sibuk menyiapkan aksi untuk mengontrol pemilu yang akan berlangsung. Sampai saat itu Yudi belum tahu kalau Ayahnya jadi Caleg dari partai terbesar di kotanya. Aktivis partai tersebut banyak melakukan dosa sosial.
Tiba di hari kampanye dengan kaget dan tersentak Yudi melihat Koran dengan Foto Ayahnya terpampam disana, dengan tulisan Caleg Jadi dari partai Pohon Kates. Saat itu juga Yudi telfon kerumah untuk memastikan tentang kebenaran apa yang barusan dilihat di koran. Dan yang menerima telfon adalah Ibunya, teryata benar itu adalah Ayahnya.
Sebulan selesai pemilahan umum yang diadakan di kotanya Ayah Yudi masuk di dewan dan jadi ketua dewan di darehanya.
***
“Bagaimana Yud, kamu masih meneruskan perjuangmu untuk melawan penindasan, walaupun kamu melawan Ayahmu sendiri” Kawan-kawan meyakinkan Yudi lagi “Setiap penindasan harus kita lawan, Ayahku sudah melakukan perselingkuhan terhadap politisi dan ini harus ditentang agar Agama tidak dijadikan komoditas politik dan membodohi rakyak”. Ujar Yudi dengan nada keras.
***
Yudi pulang kerumah pada hari libur Ayahnya, karena Dia ingin bertemu dengan Ayahnya. Sampai dirumah Dia bicara pada Ayahnya
“Yah, kenapa semua Ayah lakukan, untuk apa? Untuk Yudi, Yudi tidak butuh itu semua”
“Bukan begitu maksud Ayah, Kita harus berterima kasih pada partai Kates”,
“Apa yang perlu diterimasihkan, semua itu menjebak Ayah dengan massa yang Ayah miliki”
“Ayah sadar semua itu”
“Pokoknya Ayah harus Mengundurkan diri dan kembali lagi ke profesi Ayah sebagai pencerah Umat, kalau tidak mau Ayah berlawan dengan Yudi”
Yudi langsung berpamitan ke Ibunya untuk balik ke kampusnya.
***
Di kampus kawan Yudi menyiapkan Aksi untuk penolakan kebijakan pemerintah daerah yang tidak menguntungkan Rakyat. Dan semua itu Ayah Yudi terlibat dalam pengesahan Undang Undang yang dibuat untuk melegitimasi penindasan.
“Yud, besok kita aksi kamu jadi korlapnya kita aliansi dengan Organ Prodem yang lain”
Kawan-kawan yudi menginformasikan kepadaYudi
“Siap“ jawab Yudi.
Malam hari mempersiapkan perangkat-perangkatnya. Pagi hari Aksi dimulai, yudi berdiri paling depan dengan semangat yang berkobar-kobar. Tiba di depan kantor dewan di sana sudah di jaga ketat sekali oleh aparat Negara. Orasi bergantian menuntut pencabutan Undang-Undang yang disahkan oleh Dewan. Dan meminta ketua Dewan keluar, di tunggu lama tidak keluar-keluar. Aksi pun beruba menjadi panas, terjadi dorong mendorong antara peserta Aksi dengan aparat. Yudi kena pukul Aparat kepalanya bocor dan parah sekali, langsung dibawah kerumah sakit terdekat. Aksi dibubarkan oleh Aparat dengan banyak korban dari peserta aksi tapi yang paling parah adalah Yudi.
Kawannya mengabari ke Ibu Yudi, dan seketika itu Ibu Yudi berangkat menjenguk Yudi.
“Sudahlah Nak berhentilah melakukan demontrasi begini akibatnya” Ibunya berbisik ditelinga Yudi. Dengan nada agak keras “Tidak, tidak Mau” Yudi menjawab dengan nada agak kesakitan dikepalanya, sampai-sampai teman Yudi kaget. Yudi tidak mau pulang kerumah dan tidak mau minta Uang kekeluarganya. Beberapa hari dirumah sakit dan yudi akhirnya sembuh
Aksi besar-besaran terjadi Yudi ikut lagi, saatnya Yudi mengambil posisi di depan kawan-kawannya untuk melakukan orasi “Salam perlawanan, Kawan-kawan-kawan…..” belum sempat meneneruskan kalimatnya Yudi terjatuh dari tempat untuk orasi. “ Yudi tertembak…Yudi tertembak …” teriak barisan depan aksi demontarsi,.
Berakhir sudah perjuangan Yudi, “Kawan jangan berhenti sampai sini, perjuangan harus terus dilanjutkan walaupun orang terdekat kita yang melakukan penindasan…! harus kita lawan…!” “Yud bertahanlah“
“Aku tidak kuat lagi, sampaikan kepada Ayahku, menyerah dan cepat-cepat melakukan pengakuan dosa pada masyrakat yang ditindasnya.”“
Yud, bertahanlah…”
“Kawan-kawan lanjutkan perjuangan kita sampai ketidakadilan musnah di bumi ini”.
Bunga-bunga bertebaran dimana-mana seiring kepergian Yudi. Dan Aksi menjadi semakin besar
Malang, 2004
http://www.sastra-indonesia.com/
Di suatu kota tinggal keluarga yang kata orang taat beragama. Mereka hidup tentram dan damai, mereka sekeluarga baik dan sopan pada tetangga. Bahkan para tetangga sering minta bantuan kepada mereka. Pemimpin keluarga tersebut sangat berpengaruh Pak Umar sebut banyak orang dan isterinya bernama Aisyah. Mereka berdua memiliki putra yang dikasih nama Yudi. Dia masih sekolah SMU didekat rumahnya. Yudi anak yang pandai karena dia selalu belajar kepada Ayahnya tentang agama dan banyak hal tentang kehidupan.
Suatu hari pak Umar menjadi pembicara pengkajian bulanan di daerah sekitar rumahnya. Sudah kebiasanya, menjadi penceramah disuatu pengajian keagamaan. Memang dia salah satu kyai yang disegani. Pak Umar berangkat dengan mengajak Yudi. Tiba saat Pak Umar mengisi pengajian, di dalam pidatonya Dia bilang “Melihat kondisi bangsa kita saat ini, kita harus banyak interopeksi diri, dan pemerintah harus segerah memberantas korupsi. Agar bangsa kita menjadi bangsa yang diridlohi Allah Swt. Dan bangsa kita menjadi makmur”. Para pendengar menganggukkan kepala tandanya setuju dengan apa yang diucapkan Pak Umar. Dua jam berlalu, banyak sudah yang ducapkan oleh Pak Umar kepada peserta pengajian dan akhirnya mereka berdua pulang kerumah.
Seorang anak biasanya meniru kebiasaanya orang tuanya, sama halnya dengan Yudi selalu menjadi pelopor pada acara diskusi soal agama di sekolahnya, sehingga Dia dapat julukan “Ustad” dari teman-temannya. Dia sangat disukai sama teman-temannya, tak jarang temanya minta tolong sama Dia untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan soal agama dengan jawaban yang bisa diterimaolehakal.
Waktu terus melaju hingga yudi harus mengakhiri masa SMU-nya dan beralih keperguruan tinggi. Dari awal dia punya rencana masuk jalur khusus, untuk masuk di perguruan tinggi yang masih satu daerah dengan dia, tapi memilki jarak yang sangat jauh. Dan dia harus meninggalkan rumah untuk kost. Yudi mulai mengurus segalanya sendirian tanpa ditemani oleh keluarganya hingga semuanya selesai dan tinggal melaksanakan perkuliahan.
Awal kuliah, yudi sangat gembira sekali kerena mendapatkan teman yang baru dan lain seperti di SMU dulu. Di dalam kelas Dia disukai oleh teman-temannya seperti dulu di SMU-nya. Bahkan sering dimintai tolong mengajari teman-temanya dalam hal mata kuliah. Memang yudi orangnya pandai dan cerdas.
Sudah sebulan Yudi kuliah, ada sedikit janggal yang dirasakannya, Dia terus berfikir.
“Oh ya, aku belum menemukan forum diskusi”.
Biasa dari SMU memang suka diskusi apalagi soal Agama. Malam tak bisa tidur, terus berfikir dimana ada kominitas diskusi “Besok habis kuliah aku harus jalan-jalan keliling kampus dulu dan tidak boleh langsung pulang”.
Pagi sudah tiba kebetulan hari itu Cuma satu mata kuliah dan sudah tidak ada tugas, jadi rencanya bisa dijalankan. Habis kuliah dia jalan-jalan keliling kampus. Tepat didepannya agak ke kiri Yudi melihat orang bergerombol
“Sepertinya orang diskusi” dalam hatinya.
Lalu dihampirinya “Lagi diskusi ya, boleh saya bergabung”. Lalu Yudi berkenalan satu satu,
“Anton, Mira, Ahmad, Ridwan, Aisyah”.
Diskusinya berlanjut lagi, menjadi tambah banyak permasalahn dengan datangnya Yudi, hingga waktu tidak bersahabat sama mereka. “ Sudah soreh” ujar Mira, “Ya, dilanjutkan nanti malam saja” Ridwan menyahut.
“Dimana?“Yudi bertanya kemereka, serempak menjawab “ Di sekret”, “Memang kalian punya?” Tanya yudi. Ahmad menjawab dan memberi alamat ke yudi, lalu pulang bersama-sama tiba sampai depan kampus mereka berpisah.
***
Yudi lansung pulang ke kost, menaruh tasnya di kamarnya dan lansung masuk kamar mandi untuk membersihkan badan. Seusai mandi Yudi mengabil buku yang dia punya, “Walaupun sedikit usang masih bisa dibaca dan tidak ketinggalan wacananya” ujar dalam hatinya. Lembar demi lembar dibukanya tak terasa adzan mahrib tiba. Sajadahnya dibentangkan dan langsung melaksanakan sholat tanpa ambil wudlu lagi, karena belum batal dari wudlu sholat ashar. Selesai sholat magrib, Yudi lansung pergi ke sekret teman-temannya tadi
“ Halloo kawan….!” Sapa Ahmad ke Yudi,
“Mana teman-teman yang lain?” Yudi menyahuti.
“Lagi makan sebentar lagi datang, itu mereka” jawab Ahmad.
Mereka diskusi lagi dan kali ini yudi agak kebinggungan karena banyak teori-teori baru yang muncul.
“Kawan aku tidak yambung” Yudi merasa binggung,
“Dengarkan aja dulu Yud nanti kamu nyambung sendiri”. Dan akhirnya mereka semua menyelesaikan diskusinya dengan banyak sekali pertanyaan bagi Yudi.
Besok paginya Yudi ketemu Ahmad
“Mau kemana, Mad?”
“Mau ke toko buku, kamu mau iku?”.
Dengan senang Yudi mengikuti Ahmad ke toko buku. Hingga sore tiba mereka pulang dengan membawa buku barunya yang tak sabar untuk dibaca.
Hari demi hari berlalu, Yudi senang mendapatkan komunitas yang baru, karena kemarin mengikuti pengkaderan sebagai syarat masuk dan menjadi anggota resmi di komunitas barunya. Hingga tak sadar dia nggak perna pulang kerumah orang tuanya hanya telfon dan kalau butuh uang minta transfer, walaupun satu kota tapi jaraknya jauh. Yudi, semua aktivis bertanya-tanya mana orangnya. Memang yudi pandai dan selalu konsisten dengan perjuangannya bahkan hampir tiap minggu tulisannya masuk di koran lokal, regional bahkan nasional juga masuk. Dengan ketelatenan dan kerajinannya membaca buku serta diskusi, menjadikan dia dikagumi oleh teman-temannya. Bahkan oleh para aktivis dari organisani kemasiswaan yang ada di kota tempat Yudi Kuliah.
***
Di rumah Yudi tinggal, Ayah dan Ibunya kangen sekali pada Yudi. Pak umar semakin terkenal dengan keahlian dan keapandaianya bercerama dihadapan publik. Hingga suatu hari ada rekanan dari politisi datang kerumahnya. Mereka memberi tawaran pada Pak Umar untuk bergabung di partainya dan langsung ditawari menjadi caleg. Tanpa berpiker panjang pak umar menyetujui. Karena itu yang menjadi keingginannya dibalik kepawaianya dan kepandaianya soal agama. Dalam hati berujar “Kesempatan untuk memasuki sistem dan merubah dari dalam prilaku politisi yang amoral”. Dan juga partai yang menawari pak Umar partai terbesar di Kotanya.
***
Masa libur kuliah telah tiba, Yudi pulang kerumah. Karena rasa kangennya terhadap kedua orang tua nya Ia cepat-cepat lari masuk kerumah, begitu di dalam rumah pak Umar dan istrinya menyambut kedatangan yudi. “ Yah, aku di rumah tidak lama, di kampus banyak kegiatan dan aku dibutuhkan sama teman-teman” bilang ke Ayahnya sambil memasuki kamarnya dan langsung merebahkan diri karena kecapean. Dua hari Yudi dirumah dan sudah waktunya kembali ke kampus.
Seminggu berlalu yudi dari rumah, di dalam organisasinya lagi sibuk menyiapkan aksi untuk mengontrol pemilu yang akan berlangsung. Sampai saat itu Yudi belum tahu kalau Ayahnya jadi Caleg dari partai terbesar di kotanya. Aktivis partai tersebut banyak melakukan dosa sosial.
Tiba di hari kampanye dengan kaget dan tersentak Yudi melihat Koran dengan Foto Ayahnya terpampam disana, dengan tulisan Caleg Jadi dari partai Pohon Kates. Saat itu juga Yudi telfon kerumah untuk memastikan tentang kebenaran apa yang barusan dilihat di koran. Dan yang menerima telfon adalah Ibunya, teryata benar itu adalah Ayahnya.
Sebulan selesai pemilahan umum yang diadakan di kotanya Ayah Yudi masuk di dewan dan jadi ketua dewan di darehanya.
***
“Bagaimana Yud, kamu masih meneruskan perjuangmu untuk melawan penindasan, walaupun kamu melawan Ayahmu sendiri” Kawan-kawan meyakinkan Yudi lagi “Setiap penindasan harus kita lawan, Ayahku sudah melakukan perselingkuhan terhadap politisi dan ini harus ditentang agar Agama tidak dijadikan komoditas politik dan membodohi rakyak”. Ujar Yudi dengan nada keras.
***
Yudi pulang kerumah pada hari libur Ayahnya, karena Dia ingin bertemu dengan Ayahnya. Sampai dirumah Dia bicara pada Ayahnya
“Yah, kenapa semua Ayah lakukan, untuk apa? Untuk Yudi, Yudi tidak butuh itu semua”
“Bukan begitu maksud Ayah, Kita harus berterima kasih pada partai Kates”,
“Apa yang perlu diterimasihkan, semua itu menjebak Ayah dengan massa yang Ayah miliki”
“Ayah sadar semua itu”
“Pokoknya Ayah harus Mengundurkan diri dan kembali lagi ke profesi Ayah sebagai pencerah Umat, kalau tidak mau Ayah berlawan dengan Yudi”
Yudi langsung berpamitan ke Ibunya untuk balik ke kampusnya.
***
Di kampus kawan Yudi menyiapkan Aksi untuk penolakan kebijakan pemerintah daerah yang tidak menguntungkan Rakyat. Dan semua itu Ayah Yudi terlibat dalam pengesahan Undang Undang yang dibuat untuk melegitimasi penindasan.
“Yud, besok kita aksi kamu jadi korlapnya kita aliansi dengan Organ Prodem yang lain”
Kawan-kawan yudi menginformasikan kepadaYudi
“Siap“ jawab Yudi.
Malam hari mempersiapkan perangkat-perangkatnya. Pagi hari Aksi dimulai, yudi berdiri paling depan dengan semangat yang berkobar-kobar. Tiba di depan kantor dewan di sana sudah di jaga ketat sekali oleh aparat Negara. Orasi bergantian menuntut pencabutan Undang-Undang yang disahkan oleh Dewan. Dan meminta ketua Dewan keluar, di tunggu lama tidak keluar-keluar. Aksi pun beruba menjadi panas, terjadi dorong mendorong antara peserta Aksi dengan aparat. Yudi kena pukul Aparat kepalanya bocor dan parah sekali, langsung dibawah kerumah sakit terdekat. Aksi dibubarkan oleh Aparat dengan banyak korban dari peserta aksi tapi yang paling parah adalah Yudi.
Kawannya mengabari ke Ibu Yudi, dan seketika itu Ibu Yudi berangkat menjenguk Yudi.
“Sudahlah Nak berhentilah melakukan demontrasi begini akibatnya” Ibunya berbisik ditelinga Yudi. Dengan nada agak keras “Tidak, tidak Mau” Yudi menjawab dengan nada agak kesakitan dikepalanya, sampai-sampai teman Yudi kaget. Yudi tidak mau pulang kerumah dan tidak mau minta Uang kekeluarganya. Beberapa hari dirumah sakit dan yudi akhirnya sembuh
Aksi besar-besaran terjadi Yudi ikut lagi, saatnya Yudi mengambil posisi di depan kawan-kawannya untuk melakukan orasi “Salam perlawanan, Kawan-kawan-kawan…..” belum sempat meneneruskan kalimatnya Yudi terjatuh dari tempat untuk orasi. “ Yudi tertembak…Yudi tertembak …” teriak barisan depan aksi demontarsi,.
Berakhir sudah perjuangan Yudi, “Kawan jangan berhenti sampai sini, perjuangan harus terus dilanjutkan walaupun orang terdekat kita yang melakukan penindasan…! harus kita lawan…!” “Yud bertahanlah“
“Aku tidak kuat lagi, sampaikan kepada Ayahku, menyerah dan cepat-cepat melakukan pengakuan dosa pada masyrakat yang ditindasnya.”“
Yud, bertahanlah…”
“Kawan-kawan lanjutkan perjuangan kita sampai ketidakadilan musnah di bumi ini”.
Bunga-bunga bertebaran dimana-mana seiring kepergian Yudi. Dan Aksi menjadi semakin besar
Malang, 2004
Sejarah yang Dibebaskan
Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX
Penyusun:E. Ulrich Kratz
Penyunting:Pax Benedanto
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000
Peresensi :Radhar Panca Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/
Hal yang paling menarik dari buku ini tentu bukan tebalnya yang lebih dari 1.000 halaman, atau ketekunan penyusunnya yang telah lebih dari tiga dekade menggumuli sastra Indonesia dan sastra Melayu pada umumnya, tetapi pada keberanian sang penyusun menampilkan 97 artikel pilihan (tepatnya 98, jika ditambah artikel pengantar dari penyusunnya sendiri) dari tahun 1928 hingga 1997, atas nama “Sejarah Sastra Indonesia”. Keberanian ini setidaknya terlihat pada absennya penjelasan dari penyusunnya tentang arti “sejarah”. Inilah sebuah istilah yang ternyata begitu menimbulkan polemik dan penuh risiko jebakan menyesatkan, bahkan untuk mereka yang kita sebut sejarawan.
Dalam sastra, kata “sejarah” banyak dibincangkan dengan tekanan (yang terus direproduksi hingga hari ini) pada soal asal-muasal “sastra Indonesia”, dominasi politik pada historiografi sastra, peran sastrawan, atau soal periodisasi.
Sementara itu, dalam pengantarnya, yang justru menjadi salah satu artikel paling menarik dalam “menggugat” apa yang kita sebut “sastra Indonesia”, Kratz mendasari pemilihannya pada artikel-artikel “yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (xvi). Ini adalah sebuah pilihan yang luas dan terbuka, yang bagi penyusunnya tak memiliki ambisi menyodorkan “sejarah alternatif”, tapi jelas menawarkan arti sejarah pergulatan intelektual para pelakunya.
Betapapun upaya Kratz membuka arti sejarah sastra, tampaknya ia belum berhasil meloloskan diri dari asumsi dasar kita tentang “sejarah sastra”, yang justru paling digugat. Pilihan dua artikel pertamanya, misalnya Poetoesan Congres Pemoeda Indonesia dan Sumpah Indonesia Raya, menyodorkan pertimbangan bahwa sastra Indonesia tumbuh dan diawali oleh peristiwa dan pemahaman politik. Begitu pun pilihan artikel ketiga, tentang Peranan Balai Pustaka, yang dijelaskan Nur St. Iskandar berawal dari Politik Etis dan kebijakan bahasa pemerintahan kolonial yang sangat ketat, memberi pemahaman betapa perkembangan sastra Indonesia berikutnya dipengaruhi dan ditentukan oleh politisasi acuan dan standar-standar artisitik.
Pemahaman ini secara tak langsung menjelaskan kerisauan utama sang penyusun akan begitu bakunya “kayu ukur nilai sastra”, juga tentang klise-klise seputar hubungan seni dan masyarakat, serta posisi sastra sebagai pemersatu kebudayaan nasional. Bahkan, sejak awalnya, semua soal sastra (di) Indonesia, dalam setiap mainstream-nya, secara taken for granted berada dalam lingkaran diskursus politik.
Hal inilah yang menciptakan alasan kedua bagi keberanian Kratz menempatkan sejarah sastra dalam diskursus intelektual yang sejak mula sejarahnya disesaki oleh praduga-praduga dialektis antara modernisme dan tradisionalisme, Barat dan Timur, subordinat dan superordinat, atau pusat dan daerah. Karenanya, sejarah semacam ini tak kan mampu meloloskan diri dari elitisme intelektual dalam setiap dimensinya. Sebagai risiko, kecenderungan-kecenderungan dan ekspresi-ekspresi literer non-Melayu dan yang minor atau “picisan” menjadi luput dalam diskursus semacam ini.
Kita mengetahui benar, beberapa pengarang dan kritikus keturunan Tionghoa atau Indo (secara genetis atau kultural), macam Lie Kim Hok, Breton de Nijs, atau Tjalie Robinson, membuat catatan-catatan cukup penting dalam riwayat sastra di kepulauan ini. Catatan penting itu juga terlihat pada esai dan pembelaan para pengarang picisan atau sastra pop, dari Matu Mona hingga Motingge Busye, dari D. Sudraji hingga Marianne Katoppo. Belum lagi menghitung esai-esai para pengarang berbahasa etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Bali, Batak, dan lainnya, yang riwayatnya membujur jauh melewati batas sejarah politik dan nasionalisme bahasa Melayu.
Hal ketiga yang kita puji atas keberanian Kratz menyusun Sejarah Sastra Indonesia Abad XX adalah luputnya esai-esai pendek Chairil Anwar, Dami N. Toda, Remy Silado, atau beberapa esai berharga di antara kemeriahan sastra tahun 1980 dan 1990-an, yang tak dapat diwakili hanya oleh—sekali lagi—masalah klasik yang politis dari “pernyataan” Mochtar Lubis, Asrul Sani, dan Putu Wijaya yang membahas Pramudya dan hadiah Magsaysay.
Dalam upaya memandang sejarah sastra Indonesia dari diskursus intelektualnya, ia tetap tak terbebaskan dari penjara praduga politik. Artinya, sejarah itu, kalaupun ia harus disusun, mendesak untuk dibebaskan pada segala kemungkinan literer yang pernah ada. Tentu saja itu tidak dilakukan melalui pilihan-pilihan subyektif dalam sebuah buku yang begitu tebal dan dokumentatif.
Penyusun:E. Ulrich Kratz
Penyunting:Pax Benedanto
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000
Peresensi :Radhar Panca Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/
Hal yang paling menarik dari buku ini tentu bukan tebalnya yang lebih dari 1.000 halaman, atau ketekunan penyusunnya yang telah lebih dari tiga dekade menggumuli sastra Indonesia dan sastra Melayu pada umumnya, tetapi pada keberanian sang penyusun menampilkan 97 artikel pilihan (tepatnya 98, jika ditambah artikel pengantar dari penyusunnya sendiri) dari tahun 1928 hingga 1997, atas nama “Sejarah Sastra Indonesia”. Keberanian ini setidaknya terlihat pada absennya penjelasan dari penyusunnya tentang arti “sejarah”. Inilah sebuah istilah yang ternyata begitu menimbulkan polemik dan penuh risiko jebakan menyesatkan, bahkan untuk mereka yang kita sebut sejarawan.
Dalam sastra, kata “sejarah” banyak dibincangkan dengan tekanan (yang terus direproduksi hingga hari ini) pada soal asal-muasal “sastra Indonesia”, dominasi politik pada historiografi sastra, peran sastrawan, atau soal periodisasi.
Sementara itu, dalam pengantarnya, yang justru menjadi salah satu artikel paling menarik dalam “menggugat” apa yang kita sebut “sastra Indonesia”, Kratz mendasari pemilihannya pada artikel-artikel “yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (xvi). Ini adalah sebuah pilihan yang luas dan terbuka, yang bagi penyusunnya tak memiliki ambisi menyodorkan “sejarah alternatif”, tapi jelas menawarkan arti sejarah pergulatan intelektual para pelakunya.
Betapapun upaya Kratz membuka arti sejarah sastra, tampaknya ia belum berhasil meloloskan diri dari asumsi dasar kita tentang “sejarah sastra”, yang justru paling digugat. Pilihan dua artikel pertamanya, misalnya Poetoesan Congres Pemoeda Indonesia dan Sumpah Indonesia Raya, menyodorkan pertimbangan bahwa sastra Indonesia tumbuh dan diawali oleh peristiwa dan pemahaman politik. Begitu pun pilihan artikel ketiga, tentang Peranan Balai Pustaka, yang dijelaskan Nur St. Iskandar berawal dari Politik Etis dan kebijakan bahasa pemerintahan kolonial yang sangat ketat, memberi pemahaman betapa perkembangan sastra Indonesia berikutnya dipengaruhi dan ditentukan oleh politisasi acuan dan standar-standar artisitik.
Pemahaman ini secara tak langsung menjelaskan kerisauan utama sang penyusun akan begitu bakunya “kayu ukur nilai sastra”, juga tentang klise-klise seputar hubungan seni dan masyarakat, serta posisi sastra sebagai pemersatu kebudayaan nasional. Bahkan, sejak awalnya, semua soal sastra (di) Indonesia, dalam setiap mainstream-nya, secara taken for granted berada dalam lingkaran diskursus politik.
Hal inilah yang menciptakan alasan kedua bagi keberanian Kratz menempatkan sejarah sastra dalam diskursus intelektual yang sejak mula sejarahnya disesaki oleh praduga-praduga dialektis antara modernisme dan tradisionalisme, Barat dan Timur, subordinat dan superordinat, atau pusat dan daerah. Karenanya, sejarah semacam ini tak kan mampu meloloskan diri dari elitisme intelektual dalam setiap dimensinya. Sebagai risiko, kecenderungan-kecenderungan dan ekspresi-ekspresi literer non-Melayu dan yang minor atau “picisan” menjadi luput dalam diskursus semacam ini.
Kita mengetahui benar, beberapa pengarang dan kritikus keturunan Tionghoa atau Indo (secara genetis atau kultural), macam Lie Kim Hok, Breton de Nijs, atau Tjalie Robinson, membuat catatan-catatan cukup penting dalam riwayat sastra di kepulauan ini. Catatan penting itu juga terlihat pada esai dan pembelaan para pengarang picisan atau sastra pop, dari Matu Mona hingga Motingge Busye, dari D. Sudraji hingga Marianne Katoppo. Belum lagi menghitung esai-esai para pengarang berbahasa etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Bali, Batak, dan lainnya, yang riwayatnya membujur jauh melewati batas sejarah politik dan nasionalisme bahasa Melayu.
Hal ketiga yang kita puji atas keberanian Kratz menyusun Sejarah Sastra Indonesia Abad XX adalah luputnya esai-esai pendek Chairil Anwar, Dami N. Toda, Remy Silado, atau beberapa esai berharga di antara kemeriahan sastra tahun 1980 dan 1990-an, yang tak dapat diwakili hanya oleh—sekali lagi—masalah klasik yang politis dari “pernyataan” Mochtar Lubis, Asrul Sani, dan Putu Wijaya yang membahas Pramudya dan hadiah Magsaysay.
Dalam upaya memandang sejarah sastra Indonesia dari diskursus intelektualnya, ia tetap tak terbebaskan dari penjara praduga politik. Artinya, sejarah itu, kalaupun ia harus disusun, mendesak untuk dibebaskan pada segala kemungkinan literer yang pernah ada. Tentu saja itu tidak dilakukan melalui pilihan-pilihan subyektif dalam sebuah buku yang begitu tebal dan dokumentatif.
Pembacaan Ulang Pengarang Stensilan
Sidik Nugroho*
http://www.jawapos.com/
NAMA Abdullah Harahap tak pernah dikenal sebagai tokoh penting dalam sastra Indonesia pada eranya (tahun 80-an). Namun ia adalah seorang pengarang produktif, menulis banyak novel stensilan tentang setan, balas dendam, seks, jimat, dan segala yang berbau horor. Kepengarangan Abdullah memang telah usai. Bahkan buku-bukunya kini susah ditemui di toko-toko buku loak sekalipun.
Namun, ada tiga sastrawan muda yang mempunyai kesamaan sejarah literer dalam membangun dunia kepengarangannya. Ketiganya, dalam suatu masa, pernah membaca karya-karya Abdullah Harahap. Dan mereka kemudian menghadirkan buku kumpulan cerpen, Kumpulan Budak Setan, sebagai karya kreatif-kolaboratif hasil pembacaan ulang karya-karya si pengarang stensilan itu.
Cerpen-cerpen dalam buku ini, utamanya ditilik dari cara bertuturnya, sebagian besar mengemas horor sebagai tema cerita. Kita tak disuguhi cerita-cerita yang mirip dengan adegan-adegan film atau sinetron bertema horor yang tayang di bioskop atau televisi, yang kebanyakan hanya mengandalkan penjejalan teror dan terkesan hanya menakut-nakuti pemirsa. Ketiganya berusaha menampilkan horor yang lebih membumi dan berpijak pada realitas, seperti yang pernah dinyatakan filsuf Thomas Hobbes: ”All generous minds have a horror of what are commonly called ‘Facts’. They are the brute beasts of the intellectual domain.” Ya, para cerpenis di buku ini berupaya mengisahkan horor dengan lebih masuk akal, lebih manusiawi.
CERPENIS Ugoran Prasad dikenal sebagai seniman multitalenta yang menggeluti berbagai bidang seni seperti film, teater, dan musik, selain sastra. Dalam buku ini Ugoran menghadirkan cerita-cerita yang tergolong gamblang dalam upayanya menjabarkan horor. Tapi, ada juga cerpen yang kelewat liar dan vulgar berjudul Topeng Darah. Dalam cerpen ini Ugoran memadukan horor dengan mimpi buruk, dengan penggambaran yang sadis.
Cerpennya yang lain, Hidung Iblis, memuat banyak dialog dengan motif paksaan dan tekanan dari tokoh utama. Dialog-dialog ini mengingatkan pembaca pada film-film mafia yang dibintangi Robert De Niro, atau tokoh yang diperankan Joe Pesci dalam film Goodfellas atau Al Pacino dalam Scarface. Dalam cerpen ini Ugoran mampu menghadirkan bacaan yang filmis dan naratif.
Dua cerpennya yang lain, Hantu Nancy dan Penjaga Bioskop, terbilang berhasil mengajak pembaca menyusuri misteri yang berkecamuk sepanjang cerita.
Gaya penceritaan Eka Kurniawan berbeda dengan gaya Ugoran. Eka menghadirkan nuansa-nuansa mistis dan romantis dalam dua cerpennya: Taman Patah Hati dan Riwayat Kesendirian. Dalam dua cerpen ini, kita nyaris tak menemukan nuansa horor yang mencekam.
Nuansa mencekam baru terlihat pada cerpen Eka berjudul Penjaga Malam, yang menjadi pembuka buku kumpulan cerpen ini. Eka menampilkan horor dengan suasana yang sunyi senyap. Kelebihan Eka, ia mampu mengemas suasana mistis itu dengan estetika bahasa yang terjaga.
Namun, pencapaian terbaik Eka ada pada cerpen Jimat Sero. Di cerpen ini dengan sangat lugas Eka menceritakan tulah yang harus ditanggung seorang pria yang memiliki jimat. Seorang pria yang sebenarnya tak perlu berjimat karena awalnya menyatakan, ”Umurku dua puluh sembilan tahun, dan aku baik-baik saja tanpa jimat sero.”
Jimat itu membuat kehidupannya yang awalnya berjalan serbabaik dan mulus berakhir pilu dan pedih. Jimat itu membuat batin si pria terbelah dan jiwanya menjadi kacau karena membiarkan si pemberi jimat mengendalikan dan menguasai hidupnya.
Cerpenis Intan Paramaditha tampak tampak paling terobsesi dengan tema besar horor. Mirip dengan Ugoran, ada sebuah cerpen Intan yang sangat mencekam dan membuat pembacanya resah. Itulah cerpen berjudul Si Manis dan Lelaki Ketujuh. Cerpen ini mengisahkan seorang pria yang mendapat pekerjaan mengerikan: melayani nafsu berahi seorang wanita dengan wajah hancur dan berbau bangkai hewan yang baru mati. Sebuah pekerjaan yang tak hendak dipilihnya, namun terpaksa dipilih karena tuntutan ekonomi.
Dua cerpen Intan yang lain, Pintu serta Apel dan Pisau, pemilihan karakter utamanya terkesan monoton: wanita yang dikecewakan. Cerpen yang mewakili kemahiran Intan bercerita adalah Goyang Penasaran. Di sini ia membangun cerita bertema balas dendam dengan alur yang sangat tertata. Di cerpen ini, isu feminisme pun tersirat: bagaimana seorang wanita ingin diperlakukan dengan wajar dan adil.
Tampilnya buku kumpulan cerpen ini perlu disambut mengingat proses kreatif yang ditenun masing-masing penulisnya bukan sekadar membaca ulang karya-karya Abdullah Harahap. Ketiganya adalah pengarang muda yang peka dengan arus zaman dan perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Buku ini hendaknya dipandang sebagai sebuah upaya membangun kontekstualisasi yang pas bagi horor saat ini –horor yang akan terus ada di sepanjang zaman.
Judul buku ini, Kumpulan Budak Setan, dalam kata pengantar yang disusun ketiga penulisnya disebut sebagai frasa yang sering muncul dalam karya-karya Abdullah Harahap. Namun judul itu juga memuat refleksi bagi sidang pembaca: bahwa manusia selalu dihadapkan pada pilihan yang menggiurkan, yang ujung-ujungnya membawanya masuk perangkap menjadi budak-budak kegelapan. Waspadalah! (*)
*) Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo.
—
Judul Buku: Kumpulan Budak Setan
Penulis: Eka Kurniawan, Ugoran Prasad, dan Intan Paramaditha
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Februari 2010
Tebal : xvii + 174 halaman
http://www.jawapos.com/
NAMA Abdullah Harahap tak pernah dikenal sebagai tokoh penting dalam sastra Indonesia pada eranya (tahun 80-an). Namun ia adalah seorang pengarang produktif, menulis banyak novel stensilan tentang setan, balas dendam, seks, jimat, dan segala yang berbau horor. Kepengarangan Abdullah memang telah usai. Bahkan buku-bukunya kini susah ditemui di toko-toko buku loak sekalipun.
Namun, ada tiga sastrawan muda yang mempunyai kesamaan sejarah literer dalam membangun dunia kepengarangannya. Ketiganya, dalam suatu masa, pernah membaca karya-karya Abdullah Harahap. Dan mereka kemudian menghadirkan buku kumpulan cerpen, Kumpulan Budak Setan, sebagai karya kreatif-kolaboratif hasil pembacaan ulang karya-karya si pengarang stensilan itu.
Cerpen-cerpen dalam buku ini, utamanya ditilik dari cara bertuturnya, sebagian besar mengemas horor sebagai tema cerita. Kita tak disuguhi cerita-cerita yang mirip dengan adegan-adegan film atau sinetron bertema horor yang tayang di bioskop atau televisi, yang kebanyakan hanya mengandalkan penjejalan teror dan terkesan hanya menakut-nakuti pemirsa. Ketiganya berusaha menampilkan horor yang lebih membumi dan berpijak pada realitas, seperti yang pernah dinyatakan filsuf Thomas Hobbes: ”All generous minds have a horror of what are commonly called ‘Facts’. They are the brute beasts of the intellectual domain.” Ya, para cerpenis di buku ini berupaya mengisahkan horor dengan lebih masuk akal, lebih manusiawi.
CERPENIS Ugoran Prasad dikenal sebagai seniman multitalenta yang menggeluti berbagai bidang seni seperti film, teater, dan musik, selain sastra. Dalam buku ini Ugoran menghadirkan cerita-cerita yang tergolong gamblang dalam upayanya menjabarkan horor. Tapi, ada juga cerpen yang kelewat liar dan vulgar berjudul Topeng Darah. Dalam cerpen ini Ugoran memadukan horor dengan mimpi buruk, dengan penggambaran yang sadis.
Cerpennya yang lain, Hidung Iblis, memuat banyak dialog dengan motif paksaan dan tekanan dari tokoh utama. Dialog-dialog ini mengingatkan pembaca pada film-film mafia yang dibintangi Robert De Niro, atau tokoh yang diperankan Joe Pesci dalam film Goodfellas atau Al Pacino dalam Scarface. Dalam cerpen ini Ugoran mampu menghadirkan bacaan yang filmis dan naratif.
Dua cerpennya yang lain, Hantu Nancy dan Penjaga Bioskop, terbilang berhasil mengajak pembaca menyusuri misteri yang berkecamuk sepanjang cerita.
Gaya penceritaan Eka Kurniawan berbeda dengan gaya Ugoran. Eka menghadirkan nuansa-nuansa mistis dan romantis dalam dua cerpennya: Taman Patah Hati dan Riwayat Kesendirian. Dalam dua cerpen ini, kita nyaris tak menemukan nuansa horor yang mencekam.
Nuansa mencekam baru terlihat pada cerpen Eka berjudul Penjaga Malam, yang menjadi pembuka buku kumpulan cerpen ini. Eka menampilkan horor dengan suasana yang sunyi senyap. Kelebihan Eka, ia mampu mengemas suasana mistis itu dengan estetika bahasa yang terjaga.
Namun, pencapaian terbaik Eka ada pada cerpen Jimat Sero. Di cerpen ini dengan sangat lugas Eka menceritakan tulah yang harus ditanggung seorang pria yang memiliki jimat. Seorang pria yang sebenarnya tak perlu berjimat karena awalnya menyatakan, ”Umurku dua puluh sembilan tahun, dan aku baik-baik saja tanpa jimat sero.”
Jimat itu membuat kehidupannya yang awalnya berjalan serbabaik dan mulus berakhir pilu dan pedih. Jimat itu membuat batin si pria terbelah dan jiwanya menjadi kacau karena membiarkan si pemberi jimat mengendalikan dan menguasai hidupnya.
Cerpenis Intan Paramaditha tampak tampak paling terobsesi dengan tema besar horor. Mirip dengan Ugoran, ada sebuah cerpen Intan yang sangat mencekam dan membuat pembacanya resah. Itulah cerpen berjudul Si Manis dan Lelaki Ketujuh. Cerpen ini mengisahkan seorang pria yang mendapat pekerjaan mengerikan: melayani nafsu berahi seorang wanita dengan wajah hancur dan berbau bangkai hewan yang baru mati. Sebuah pekerjaan yang tak hendak dipilihnya, namun terpaksa dipilih karena tuntutan ekonomi.
Dua cerpen Intan yang lain, Pintu serta Apel dan Pisau, pemilihan karakter utamanya terkesan monoton: wanita yang dikecewakan. Cerpen yang mewakili kemahiran Intan bercerita adalah Goyang Penasaran. Di sini ia membangun cerita bertema balas dendam dengan alur yang sangat tertata. Di cerpen ini, isu feminisme pun tersirat: bagaimana seorang wanita ingin diperlakukan dengan wajar dan adil.
Tampilnya buku kumpulan cerpen ini perlu disambut mengingat proses kreatif yang ditenun masing-masing penulisnya bukan sekadar membaca ulang karya-karya Abdullah Harahap. Ketiganya adalah pengarang muda yang peka dengan arus zaman dan perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Buku ini hendaknya dipandang sebagai sebuah upaya membangun kontekstualisasi yang pas bagi horor saat ini –horor yang akan terus ada di sepanjang zaman.
Judul buku ini, Kumpulan Budak Setan, dalam kata pengantar yang disusun ketiga penulisnya disebut sebagai frasa yang sering muncul dalam karya-karya Abdullah Harahap. Namun judul itu juga memuat refleksi bagi sidang pembaca: bahwa manusia selalu dihadapkan pada pilihan yang menggiurkan, yang ujung-ujungnya membawanya masuk perangkap menjadi budak-budak kegelapan. Waspadalah! (*)
*) Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo.
—
Judul Buku: Kumpulan Budak Setan
Penulis: Eka Kurniawan, Ugoran Prasad, dan Intan Paramaditha
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Februari 2010
Tebal : xvii + 174 halaman
Chairil Anwar dan Bahasa Baru dalam Sastra Indonesia
Sapardi Djoko Damono
majalah.tempointeraktif.com
Sastra Indonesia ada zaman Jepang, seorang pemuda menulis sebuah sajak yang salah satu barisnya adalah “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Hanya beberapa tahun sesudah itu, yakni pada 1949, ia meninggal dunia pada usia menjelang 27 tahun. Tetapi sajak-sajaknya tetap hidup sampai hari ini dan mungkin sampai seribu tahun lagi. Pada tahun terakhir menjelang kematiannya, ia menulis “Hidup hanya menunda kekalahan…, sebelum pada akhirnya kita menyerah”.
majalah.tempointeraktif.com
Sastra Indonesia ada zaman Jepang, seorang pemuda menulis sebuah sajak yang salah satu barisnya adalah “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Hanya beberapa tahun sesudah itu, yakni pada 1949, ia meninggal dunia pada usia menjelang 27 tahun. Tetapi sajak-sajaknya tetap hidup sampai hari ini dan mungkin sampai seribu tahun lagi. Pada tahun terakhir menjelang kematiannya, ia menulis “Hidup hanya menunda kekalahan…, sebelum pada akhirnya kita menyerah”.
Modernitas yang Dilecut Kartini
Misbahus Surur*
http://www.lampungpost.com/
KARTINI lahir dan besar dalam lingkup keluarga ningrat Jawa yang feodalis. Alur hidupnya dikerubungi tarikan norma serta konvensi yang sering eksploitatif, terutama pada persoalan gender. Hampir-hampir perempuan tak punya andil, lebih lagi nyali untuk menyibak jalur terang sendiri.
Perempuan kerap dijerat patriarki, dicengkram hegemoni lelaki. Perempuan di zaman itu, kata Siti Soemandari Soeroto dalam Kartini; Sebuah Biografi (Gunung Agung: 1982) karena akar dan konstruk budaya, sangat bergantung sepenuhnya pada nafkah suami, dengan dalih takut dicerai dan sejenisnya. Ditambah suburnya pandangan hidup yang mengalienasi perempuan; ia tak memerlukan kepandaian, mengingat fungsi utamanya yang semata konco wingking bagi lelaki: sekadar masak, macak, dan manak. Sebab itu, bagi puteri kedua Bupati Jepara R. M. Adipati Ario Sosroningrat ini, prestise nasab yang secara kodrat harus ia terima, tak lagi menjadi suatu privilese, tapi tak lebih dari senarai duka-lara.
Meskipun demikian, berbahagialah ia yang lahir dari keluarga (ayah hingga kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro) yang menjunjung tinggi pengetahuan, memuliakan pendidikan, dan mentradisikan sekolahan. Dengan memiliki ayah yang menyadari urgensitas ilmu seperti itu, belenggu adat pun tak menghalangi sang ayah untuk menyekolahkan anak perempuannya. Meskipun hanya memperbolehkannya hingga tingkat sekolah dasar.
Namun, sebagaimana kata Sulastin Sutrisno dalam Surat-Surat Kartini (Djambatan: cetakan 1985), meski keinginan Kartini melanjutkan ke HBS Semarang, setamat dari ELS, yang menggebu itu kemudian begitu saja dijegal kata “tidak”, sang ayah mengganti keputusan itu dengan “jenis studi lain” yang tak kalah seru; memfasilitasi bacaan dan izin selebar-lebarnya untuk surat-menyurat kepada teman-temannya yang mayoritas berbangsa Belanda.
Tak disangka, justru karena akses buku-buku (membaca) dan habitus korespondensi itu, menjadi pintu masuk ide, pencerahan dan modernitas yang menghantarkan jiwa dan pikirannya menjadi pribadi yang tak biasa. Kartini belajar segala-galanya lewat buku juga berlatih menyatakan pikiran (berdialektika) melalui surat-menyurat. Dengan langgam ini, pelan tapi pasti cara berpikir dan kejiwaannya menjadi matang saat usianya masih begitu belia, belum lagi genap 20 tahun dari umurnya.
Waktu itu, iklim modernitas telah merasuki pikiran Kartini. Ia telah mendidik diri dan otaknya dengan pikiran-pikiran Barat lewat bacaan-bacaan. Meskipun ia tidak bisa seperti kakaknya, Sosrokartono, yang mampu menyesap putik modernitas langsung di negeri asalnya (Belanda). Tempaan berbagai bacaan itu, di mana seluruh pikirannya sengaja ia biarkan berdialektika dengan persoalan-persolan bangsa dan jerat tradisi. Dan, terutama perjumpaannya dengan dunia Barat lewat beberapa orang Belanda yang mewujud dalam hikayat korespondensi, yang kemudian melahirkan ratusan surat yang diterbit-bukukan dengan judul Door Duisternis tot Lich (DDtL) oleh Luctor et Emergo, ’sGravenhage juga oleh Gee Nabrink, Amsterdam, atau dalam versi Indonesia, Habis Gelap Terbitlah Terang, dalam kadar tertentu, ikut menyumbang bentuk dan konstruksi pikirannya saat itu. Dalam kumpulan surat-surat tersebut, entah itu kepada Mr. J.H. Abendanon sekeluarga, Estella Zeehandelaar, Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, Nyonya Nelly van Kol, Dr. N. Andriani dan seterusnya, sungguh penderitaan, benturan-benturan hebat, tentang keterbelakangan bangsanya dan segala keluh kesahnya, begitu kuat tergurat di sana.
Jejak yang Menyala
Kartini bukan sastrawan maupun seniman dalam pemaknaan normatif, tapi sejarah mencatat, selain melukis, membatik, dan kumpulan surat-suratnya yang masyhur, ia juga menulis prosa dan puisi. Mungkin, bukan kumpulan surat-suratnya dengan kapasitas yang menyejarah itu yang membikin namanya sanggup menggema dalam lembaran catatan dunia. Bisa jadi, malah sebuku gagasan dan ketinggian susunan kemasan (bahasa) itu yang membuat namanya harum.
Jamak diketahui, Kartini adalah sosok dengan kemampuan literer yang menawan. Mutu sastra pada tulisan-tulisannya yang terbukukan dalam DDtL, sering dinilai sebagai hal yang jarang atau asing bagi zamannya. Terlebih saat ditelisik dari riwayat pendidikannya yang hanya tamatan sekolah rendah. Tak heran pula bila pada awalnya banyak yang meragukan orisinalitas DDtL, terutama karena kemasan bahasa DDtL yang cenderung muluk tapi juga patetis untuk seorang yang hanya lulus sekolah dasar, Europe Lagere School (ELS).
Namun, saat manuskrip aslinya ditemukan, dan diterbitkan kembali dengan tanpa secuil sortiran pun oleh Jaquet tahun 1987, baru terbukti secara meyakinkan bahwa Kartini benar-benar mampu menguasai pemakaian gaya bahasa Belanda, secara bagus dan kreatif. Bahkan, A. Teuuw (1994), dalam Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, yang pada awalnya sempat tak mempercayai putri Jawa yang hanya lulus sekolah tingkat dasar Belanda, serta belajar privat secara terbatas itu dapat menulis dalam bahasa Belanda, yang tidak hanya tata bahasanya yang tanpa cela, tetapi penguasaan dan penggunaan gaya kesusastraan Belandanya yang mencengangkan, terpaksa harus memercayainya. Dalam hal ini keunggulan Kartini terletak pada renungannya yang dalam atas dirinya juga nasib bangsanya. Renungan itu dibalut dengan tuturan segar, orisinil, dan amat piawai. Bahkan, beberapa pengarang Belanda saat itu, salah satunya Augusta de Wit, juga menilai bahasa Kartini cakap dan segar.
Tahun 1911, surat-surat Kartini untuk pertama kali diterbitkan. Dan pada tahun 1922, untuk yang pertama kali pula diterjemahkan dalam bahasa Melayu. Sejak kemunculan surat-surat Kartini dalam bahasa Melayu, 16 tahun kemudian, dengan dialihbahasakan oleh salah seorang sastrawan pujangga baru, Armijn Pane, tepatnya tahun 1938, surat-surat Kartini terbit kembali dalam bahasa Indonesia yang masih kecampuran kata-kata Melayu. Terbitan kali ini agak terbatas, yakni dengan sengaja menanggalkan sejumlah 16 surat, di samping juga terdapat surat-surat yang dipotong. Dan tebalnya tak lebih dari separuh dari edisi 1922.
Kemudian pada 1979, dengan menggunakan edisi kelima dalam bahasa aslinya (Belanda) terbitan 1976, dan dengan tambahan surat-surat Kartini yang lain, atas usaha Soelastin Sutrisno, surat-surat itu diulangterbitkan dalam edisi Indonesia yang jauh lebih lengkap dan sempurna dari dua edisi terdahulu. Dengan bubuhan tajuk baru: Surat-surat Kartini; Renungan Tentang dan untuk Bangsanya. Baru setelah itu, sekira tahun 1987, surat-surat asli Kartini dalam edisi F.G.P. Jaquet, terbit. Edisi kali ini, di samping memuat surat-surat Kartini kepada keluarga Abendanon secara lengkap, juga menyertakan beberapa surat dari adik-adik Kartini: Kardinah, Roekmini, dan Kartinah (Teeuw, 1994).
Tampaknya terbitan surat Kartini, baik dalam teks aslinya yang berbahasa Belanda dan juga terjemahan awal dalam bahasa Melayu tahun 1922 oleh empat orang pribumi ahli bahasa Melayu yang tinggal di Belanda, salah satunya semisal Zainoedin Rasad, atas usaha Abendanon, dan juga surat-suratnya setelah itu, bukan saja kekayaan literatur historis bangsa yang harus dijaga. Lebih dari itu adalah buah usaha yang patut dilestarikan sebagai pengayaan kehidupan rohani Kartini dan spirit kemanusianya yang tentu masih aktual diteladani hingga hari ini.
Pada titik ini, –terlepas dari dilematika yang sering dilekatkan ke sosoknya, seperti Kartini produk brilian hadiah Belanda dan semacamnya-, Kartini adalah subjek yang menemukan dirinya di atas puing-puing reruntuhan tradisi feodalisme hegemonik. Lantas diraihnya cahaya modernitas; menjadi manusia pembelajar bagi bangsanya.
Tak urung, “si anak durhaka” pada adat moyangnya ini adalah buah dari sintesa zaman. Dengan topangan semangat dan kesadaran untuk memahami, mencerna kemudian mengambil nilai-nilai baru dari pertemuan dua arus kebudayaan yang berbeda, demi kemajuan kebudayaan bangsanya. Pramudya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja, pernah menganalogikan begini: jika Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi adalah kunang-kunang di tengah malam gelap-gulita di rimba belantara yang hendak ditaklukkannya, Kartini merupakan obor dengan minyak pengetahuan dan pemikiran yang lebih masak dengan oktan yang lebih tinggi sebagai sesama gaba-gaba dalam sejarah kebudayaan Asia Tenggara.
*) Esais, pegiat buku, mahasiswa pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
http://www.lampungpost.com/
KARTINI lahir dan besar dalam lingkup keluarga ningrat Jawa yang feodalis. Alur hidupnya dikerubungi tarikan norma serta konvensi yang sering eksploitatif, terutama pada persoalan gender. Hampir-hampir perempuan tak punya andil, lebih lagi nyali untuk menyibak jalur terang sendiri.
Perempuan kerap dijerat patriarki, dicengkram hegemoni lelaki. Perempuan di zaman itu, kata Siti Soemandari Soeroto dalam Kartini; Sebuah Biografi (Gunung Agung: 1982) karena akar dan konstruk budaya, sangat bergantung sepenuhnya pada nafkah suami, dengan dalih takut dicerai dan sejenisnya. Ditambah suburnya pandangan hidup yang mengalienasi perempuan; ia tak memerlukan kepandaian, mengingat fungsi utamanya yang semata konco wingking bagi lelaki: sekadar masak, macak, dan manak. Sebab itu, bagi puteri kedua Bupati Jepara R. M. Adipati Ario Sosroningrat ini, prestise nasab yang secara kodrat harus ia terima, tak lagi menjadi suatu privilese, tapi tak lebih dari senarai duka-lara.
Meskipun demikian, berbahagialah ia yang lahir dari keluarga (ayah hingga kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro) yang menjunjung tinggi pengetahuan, memuliakan pendidikan, dan mentradisikan sekolahan. Dengan memiliki ayah yang menyadari urgensitas ilmu seperti itu, belenggu adat pun tak menghalangi sang ayah untuk menyekolahkan anak perempuannya. Meskipun hanya memperbolehkannya hingga tingkat sekolah dasar.
Namun, sebagaimana kata Sulastin Sutrisno dalam Surat-Surat Kartini (Djambatan: cetakan 1985), meski keinginan Kartini melanjutkan ke HBS Semarang, setamat dari ELS, yang menggebu itu kemudian begitu saja dijegal kata “tidak”, sang ayah mengganti keputusan itu dengan “jenis studi lain” yang tak kalah seru; memfasilitasi bacaan dan izin selebar-lebarnya untuk surat-menyurat kepada teman-temannya yang mayoritas berbangsa Belanda.
Tak disangka, justru karena akses buku-buku (membaca) dan habitus korespondensi itu, menjadi pintu masuk ide, pencerahan dan modernitas yang menghantarkan jiwa dan pikirannya menjadi pribadi yang tak biasa. Kartini belajar segala-galanya lewat buku juga berlatih menyatakan pikiran (berdialektika) melalui surat-menyurat. Dengan langgam ini, pelan tapi pasti cara berpikir dan kejiwaannya menjadi matang saat usianya masih begitu belia, belum lagi genap 20 tahun dari umurnya.
Waktu itu, iklim modernitas telah merasuki pikiran Kartini. Ia telah mendidik diri dan otaknya dengan pikiran-pikiran Barat lewat bacaan-bacaan. Meskipun ia tidak bisa seperti kakaknya, Sosrokartono, yang mampu menyesap putik modernitas langsung di negeri asalnya (Belanda). Tempaan berbagai bacaan itu, di mana seluruh pikirannya sengaja ia biarkan berdialektika dengan persoalan-persolan bangsa dan jerat tradisi. Dan, terutama perjumpaannya dengan dunia Barat lewat beberapa orang Belanda yang mewujud dalam hikayat korespondensi, yang kemudian melahirkan ratusan surat yang diterbit-bukukan dengan judul Door Duisternis tot Lich (DDtL) oleh Luctor et Emergo, ’sGravenhage juga oleh Gee Nabrink, Amsterdam, atau dalam versi Indonesia, Habis Gelap Terbitlah Terang, dalam kadar tertentu, ikut menyumbang bentuk dan konstruksi pikirannya saat itu. Dalam kumpulan surat-surat tersebut, entah itu kepada Mr. J.H. Abendanon sekeluarga, Estella Zeehandelaar, Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, Nyonya Nelly van Kol, Dr. N. Andriani dan seterusnya, sungguh penderitaan, benturan-benturan hebat, tentang keterbelakangan bangsanya dan segala keluh kesahnya, begitu kuat tergurat di sana.
Jejak yang Menyala
Kartini bukan sastrawan maupun seniman dalam pemaknaan normatif, tapi sejarah mencatat, selain melukis, membatik, dan kumpulan surat-suratnya yang masyhur, ia juga menulis prosa dan puisi. Mungkin, bukan kumpulan surat-suratnya dengan kapasitas yang menyejarah itu yang membikin namanya sanggup menggema dalam lembaran catatan dunia. Bisa jadi, malah sebuku gagasan dan ketinggian susunan kemasan (bahasa) itu yang membuat namanya harum.
Jamak diketahui, Kartini adalah sosok dengan kemampuan literer yang menawan. Mutu sastra pada tulisan-tulisannya yang terbukukan dalam DDtL, sering dinilai sebagai hal yang jarang atau asing bagi zamannya. Terlebih saat ditelisik dari riwayat pendidikannya yang hanya tamatan sekolah rendah. Tak heran pula bila pada awalnya banyak yang meragukan orisinalitas DDtL, terutama karena kemasan bahasa DDtL yang cenderung muluk tapi juga patetis untuk seorang yang hanya lulus sekolah dasar, Europe Lagere School (ELS).
Namun, saat manuskrip aslinya ditemukan, dan diterbitkan kembali dengan tanpa secuil sortiran pun oleh Jaquet tahun 1987, baru terbukti secara meyakinkan bahwa Kartini benar-benar mampu menguasai pemakaian gaya bahasa Belanda, secara bagus dan kreatif. Bahkan, A. Teuuw (1994), dalam Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, yang pada awalnya sempat tak mempercayai putri Jawa yang hanya lulus sekolah tingkat dasar Belanda, serta belajar privat secara terbatas itu dapat menulis dalam bahasa Belanda, yang tidak hanya tata bahasanya yang tanpa cela, tetapi penguasaan dan penggunaan gaya kesusastraan Belandanya yang mencengangkan, terpaksa harus memercayainya. Dalam hal ini keunggulan Kartini terletak pada renungannya yang dalam atas dirinya juga nasib bangsanya. Renungan itu dibalut dengan tuturan segar, orisinil, dan amat piawai. Bahkan, beberapa pengarang Belanda saat itu, salah satunya Augusta de Wit, juga menilai bahasa Kartini cakap dan segar.
Tahun 1911, surat-surat Kartini untuk pertama kali diterbitkan. Dan pada tahun 1922, untuk yang pertama kali pula diterjemahkan dalam bahasa Melayu. Sejak kemunculan surat-surat Kartini dalam bahasa Melayu, 16 tahun kemudian, dengan dialihbahasakan oleh salah seorang sastrawan pujangga baru, Armijn Pane, tepatnya tahun 1938, surat-surat Kartini terbit kembali dalam bahasa Indonesia yang masih kecampuran kata-kata Melayu. Terbitan kali ini agak terbatas, yakni dengan sengaja menanggalkan sejumlah 16 surat, di samping juga terdapat surat-surat yang dipotong. Dan tebalnya tak lebih dari separuh dari edisi 1922.
Kemudian pada 1979, dengan menggunakan edisi kelima dalam bahasa aslinya (Belanda) terbitan 1976, dan dengan tambahan surat-surat Kartini yang lain, atas usaha Soelastin Sutrisno, surat-surat itu diulangterbitkan dalam edisi Indonesia yang jauh lebih lengkap dan sempurna dari dua edisi terdahulu. Dengan bubuhan tajuk baru: Surat-surat Kartini; Renungan Tentang dan untuk Bangsanya. Baru setelah itu, sekira tahun 1987, surat-surat asli Kartini dalam edisi F.G.P. Jaquet, terbit. Edisi kali ini, di samping memuat surat-surat Kartini kepada keluarga Abendanon secara lengkap, juga menyertakan beberapa surat dari adik-adik Kartini: Kardinah, Roekmini, dan Kartinah (Teeuw, 1994).
Tampaknya terbitan surat Kartini, baik dalam teks aslinya yang berbahasa Belanda dan juga terjemahan awal dalam bahasa Melayu tahun 1922 oleh empat orang pribumi ahli bahasa Melayu yang tinggal di Belanda, salah satunya semisal Zainoedin Rasad, atas usaha Abendanon, dan juga surat-suratnya setelah itu, bukan saja kekayaan literatur historis bangsa yang harus dijaga. Lebih dari itu adalah buah usaha yang patut dilestarikan sebagai pengayaan kehidupan rohani Kartini dan spirit kemanusianya yang tentu masih aktual diteladani hingga hari ini.
Pada titik ini, –terlepas dari dilematika yang sering dilekatkan ke sosoknya, seperti Kartini produk brilian hadiah Belanda dan semacamnya-, Kartini adalah subjek yang menemukan dirinya di atas puing-puing reruntuhan tradisi feodalisme hegemonik. Lantas diraihnya cahaya modernitas; menjadi manusia pembelajar bagi bangsanya.
Tak urung, “si anak durhaka” pada adat moyangnya ini adalah buah dari sintesa zaman. Dengan topangan semangat dan kesadaran untuk memahami, mencerna kemudian mengambil nilai-nilai baru dari pertemuan dua arus kebudayaan yang berbeda, demi kemajuan kebudayaan bangsanya. Pramudya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja, pernah menganalogikan begini: jika Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi adalah kunang-kunang di tengah malam gelap-gulita di rimba belantara yang hendak ditaklukkannya, Kartini merupakan obor dengan minyak pengetahuan dan pemikiran yang lebih masak dengan oktan yang lebih tinggi sebagai sesama gaba-gaba dalam sejarah kebudayaan Asia Tenggara.
*) Esais, pegiat buku, mahasiswa pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati