Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/
Meniatkan diri untuk merantau, sebab desa tak dapat membuat nasib menjadi baik. Mengupayakan diri untuk mendapatkan sangu buat berangkat ke kota. Hutang pun dilakukan. Impian besar di pundak menatap ruang hingar bingar bahwa nasib akan menjadi lebih baik. Dengan kereta yang melaju ternaik dirii, hingga sampailah pada kota yang di tuju. Tak ada sanak famili dan sendiri. Memulai menanya satu dua orang yang tertemui, tapi tak juga ada kabar gembira kemana melabuhkan diri.
Masa terlewati dengan harapan sia akan kota. Hutang di kampung halaman belum terlunasi. Apa mau di kata, menetap dengan upaya yang penuh jerih. Menawarkan diri mengangkut barang dari mobil yang membawa dagangan untuk ditaruhnya pada kios Juragan di pasar terbesar kota yang tersinggahi. Kadang juga tak ada hasil dalam sehari, dengan terpaksa meminta pada yang berpunya untuk sebungkus nasi.
Bulan tepat di atas kepala saat Ia duduk di taman kota. Tiap hari bila waktu tak bersahabat dengannya. Ia menghabiskan detik yang merambat di bangku tengah taman kota. Melamun memandang gedung-gedung megah. Hiruk pikuk orang-orang belanja dengan canda tawa. Ia mulai merindukan hidup saling sapa di desa walau tak berpunya. Hati sudah tentram dengan makan nasi jagung dansayur-sayuran walaupun tanpa lauk.
Kerinduannya membuat gerimis di matanya tak terbendung lagi. Mili sampai ke pipi menuju bibir. Tersadar ketika rasa asin menyusup ke lidah. Adalah hal biasa denganku untuk duduk melepas lelah ketika resah menyapa. Aku melihat tubuhnya tanpa daya di tengah taman kota. Tiada berfikir lama, kakiku menghampirinya. Sambil membawa sebotol minuman yang aku beli di pinggir taman kota. Aku sodorkan kepadanya.
Ia menatap heran, mungkin saja Ia beranggapan aku akan melukainya. Dengan cara lembut, kembali aku menawarkan air yang tinggal separoh padanya. Ia pun menerima dan meminumnya seperti orang kehausan. Mulailah kata demi kata keluar lewat katub bibirnya. Menceritakan tentang dirinya, harapannya, dan nasibnya.
Air dalam botol dihabiskannya sambil berkata: di desa air tak beli tinggal timba lalu masak sudah dapat kita minum sebagai pengobat dahaga. Tetapi di sini tak ada yang tak beli semuanya serba uang. Aku mengangukkan kepala. Ia mulai membaringkan tubuhnya di bangku sambil membenarkan letak sarung untuk menghalau angin malam menerpa dirinya.
Aku mengangkat pantatku lalu berjalan tak tenang. Sambil mengingat tingkah masyarakat modern. Kota dengan masyarakat yang individualis adalah ciri masyarakat modern. Hal tersebut aku alami sendiri ketika berada di rumah yang telah aku huni beberapa tahun ketika menekatkan diri untuk pindah dari desa ke kota. Aku punya tetangga tapi tak pernah saling sapa. Mungkin saja tetanggaku sibuk dengan segala aktivitasnya. Dan aku pun merasa kesepian. Mungkin sudah terbiasa akhirnya menjadi hal yang biasa.
Hingga aku menikmati segala individualis masyarakat kota dengan sadar. Beda dengan Ia yang terbaring di tengah taman kota. Kesadaranku semakin menajam pada ingatan masa lalu, ketika masih hidup di desa. Aku merindukan gotong royong, saling sapa, saling bantu tanpa pandang materi. Mungkin Ia kehilangan suasana itu serupa aku.
Mataku mulai menerawang, langkahku mulai gontai. Apa yang aku rasakan pernah juga temaktub dalam puisi Arab.yang di tulis oleh Baulnd Al-Haidari. Penyair yang lahir di Irak pada tahun 1926 dari keluarga Kurdish dan pernah juga di asingkan akibat keterlibatannya dalam aktivitas politik (Puisi Arab Modern: disusun dan diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja. Pustaka Jaya 1983).
LANGKAH SUMBANG
Mata pisau musim dingin yang tajam menembus peron,
Angin-ribut mengeong bagai kucing,
Dan di atas rel-rel
Berayun lampu kuno,
Dan dusun kami yang sederhana
Gemetar di bawah sinarnya.
“Mau apa aku di kota?”
Dia bertanya kepada:
“Mau apa kau di kota?”
Menuruni jalan-jalan yang panjang itu
Akan tersesat langkahmu yang dungu,
Dan gang-gang yang buntu
Akan menelanmu.
Malam akan menyala di dalam hatimu yang dingin-beku,
Dan sangsi rindu pun timbul dari hatimu.
Mau apa kau di sana, tak berkawan?
“Tidak, di kota itu tak mungkin kau dapat kawan”
Kau tertawakan aku,
Namun ku tunggu juga kereta yang menuju ke kota.
Kau pergi dariku,
Dan aku darimu.
Di seberang jendela kereta-kereta
Berlintasan desa-desa
Bangkit dan tengelam di pasir kembali,
Dan aku menunggu pagi
Di kota
Buat siapa mesti kembali aku?
Baut dusunku?
Baut peron yang ditembut mata pisau dingin yang tajam itu?
Sinar lampu di mana dusun kami yang papa gemetar?
Atau perempuan-perempuan yang keranjingan sopan dan malunya?
Tidak, aku tak akan kembali
Buat siapa aku mesti kembali?
Dusunku tengah menjadi kota.
Dan di tiap sudut
Sinar tajam lampu baru
Akan berseru kepadaku
“Apa maumu?”
Ya, apa mauku?
Di sini tak ada yang kukenal
Dan tak ada yang mengenalku;
Tak ada yang kuingat
Dan tak ada yang mengingatku.
Aku akan menyeret langkahku yang pendek ini
Menuruni jalan-jalan yang panjang itu,
Dan akan tertelan aku
Hilang di gang-gang buntu.
Tidak, aku tak akan kembali.
Buat siapa aku mesti kembali?
Dusunku telah menjadi kota.
Merambatlah waktu dari titik tumpuan masa ke masa yang melaju. Tak aku dengar lagi degub jantung desaku dulu. Mereka yang pernah menetap di kota kembali dengan segala gaya ke desa. Tak beda laku dan hidupnya, membawa kota ke desa desa. Aku pun kini kehilangan jejak sejarah.Hidup di gang-gang sempit di himpit bangunan-bangunan mall dan perkantoran yang tak ramah. Pada alam, pada diriku, pada mereka yang tak berpunya. Ia dan Aku terasing dalam kota.
Malang, Mei 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 30 Juni 2010
Senjakala Tamansari
M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Hari ini adalah Kamis, di sore hari ketika darah telah bergejolak karena kabar angin yang memang selalu terdengar sebagai lagu duka bagi seorang lelaki pendosa. Dia memang selalu bangga menyebut dirinya sebagai lelaki pendosa, lelaki yang dilumuri dengan kesalahan di setiap tapak kehidupan. Memang, dia sengaja. Tapi, di dalam hatinya diniatkan agar namanya yang dia sematkan itu mampu mengingatkan, kalau dirinya hanya seorang lelaki pendosa dan musti berjalan jauh untuk menjadi pembenaran atas pemahaman sampai dia yakin ketika bertemu denganNya, bahwa dia bukan seorang lelaki pendosa. Bukan manusia yang dialiri darah kesalahan.
Hari Kamis, menjadi hari perjalanan bagi si Lelaki Pendosa untuk melewati perjalanan waktu bersama dengan seorang Perempuan Pendoa yang pernah dia temui ketika perjalanannya mengantarkan pada surau kecil yang bercahaya. Entah dalam alur yang bagaimana, Dia yang memiliki kuasa atas alur kehidupan telah menggariskan keduanya dalam pertemuan sunyi pada persetubuhan cinta yang akan mengkristal menjadi abadi. Lelaki Pendosa dan Perempuan Pendoa bertemu di Senin dan Kamis, pada senjakala yang memerah indah.
Lelaki Pendosa menapaki anak tangga yang terus membawanya pada dataran tinggi. Perempuan Pendoa di belakangnya, mengamit tangan kakasihnya dengan erat, sambil menahan lapar-dahaga yang bergejolak di dalam dada. Perempuan itu menahan segalanya. Hasrat di dalam dada dikekang, terantai oleh dirinya sendiri tanpa ada yang mampu mengusik. Itu lah perjuangan yang indah dalam perjalanan Perempuan Pendoa yang selalu tengadah memohon cinta yang memiliki kesempurnaan.
“Entah mulai kapan sayang, aku menjadi jatuh cinta dengan tanah kita pijak ini.” Ucap Lelaki Pendosa ketika mereka menapaki jalan ke atas dimana orang-orang bercanda, menatap matahari, mengambil foto berada di bawah keduanya. “Reruntuhan masa lalu di tengah kota. Perbukitan di tengah kota. Rumah-rumah yang padat, mengepung dalam pengabdian yang tidak terbayar oleh berjuta uang bahkan segunung Merapi emas yang berkilauan.”
Perempuan Pendoa tersenyum sambil menatap ke sekeliling dimana, lalu pada langit yang mulai memerah. “Kamu selalu memiliki kata-kata untuk setiap hal yang telah kau tangkap dan reguk, Mas!” sahut Perempuan Pendoa dalam pandangan teduh yang membuat dada Lelaki Pendosa bergetar.
“Dan kamu selalu memiliki senyuman yang manis, menyimpan semua duka dan kebahagiaanmu!” ungkap Lelaki Pendosa sampai mereka bertatapan untuk beberapa saat.
“Ah, Mas,” Perempuan Pendoa menundukkan kepala menahan senyuman yang semakin merekah.
Lelaki Pendosa menggelengkan kepala. Dia melemparkan pandangan jauh ke langit yang semakin memerah ketika matahari diam-diam merangkak untuk bersembunyi di dalam cakrawala. Pandangannya pun jatuh pada lingkaran masjid yang hanya bisa dirasakan dari atas puncak Tamansari. “Kalau kita berbuat dosa, berzina, apa yang paling kamu takutkan, sayang?” Lelaki Pendosa melemparkan pertanyaan sambil memandangi Masjid yang melingkar di bawahnya. “Adakah ketakutanmu pada Tuhan di sana?”
Seketika, pandangan Perempuan Pendoa berubah. Pandangan diarahkan ke langit yang luas. Tatapan mata perempuan itu menengadah begitu jauh. Sangat jauh sekali ke langit yang luas. Sementara itu, di dalam tubuhnya, rasa lapar memberondong benteng-benteng lambung yang begitu tipisnya. Di lorong gerbang yang lain, rasa kering kerontang menggelitik, menggerus rasa yang berbeda. Dan pada gerbang bibirnya yang tipis dan memerah, tertutup rapat untuk menggerakkan lidah yang tetap berusaha berdoa. Perempuan Pendoa itu pun kemudian menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan kekasih yang duduk di sampingnya.
“Ada, Mas, tapi baru aku sadari kalau Dia tidak menjadi ketakutan yang pertama.” Ucap Perempuan Pendoa dengan resah.
“Yah, kita masih sama, Sayangku, Kekasihku, Istriku, Pujaanku, Perempuan Pendoaku! Kita ini masih manusia. Dan bersyukurlah masih menjadi manusia!” ungkap Lelaki Pendosa dalam senyuman lebar yang di dalamnya tanpa ketakutan sedikit pun. “Pernah aku membuat suatu lingkaran, dimimpikan pada ajaran-ajaran lama yang berharga bahwa hidup manusia itu berputar. Aku mencintai simbol ini, ternyata, baru kali ini mata butaku ini mampu melihat. Bahwa dari nol akan kembali pada nol, yang dari satu akan kembali ke satu, yang dari tanah akan kembali ke tanah.”
“Mas?”
“Manusia berasal dari Tuhan, dan dia akan kembali kepadaNya!” ungkap Lelaki Pendosa yang masih dalam senyuman yang sama, senyuman tanpa ketakutan yang kemudian melemparkan pandangan pada Masjid yang melingkar di bawahnya.
Seruan telah melengking, mengalun di dalam angin dari masjid-masjid yang berdiri di sudut-sudut bumi. Perempuan Tersenyum, meraih tangan Lelaki Pendosa, Kekasihnya, dan Suaminya. Dia mencium tangan lelaki itu, “Terima kasih, Mas, Sayang!” ucap Perempuan Pendoa dalam senyuman manisnya yang telah meruntuhkan kepongahan Lelaki Pendosa.
Ketika sang Perempuan Pendosa meneguk air yang langsung menghujani tanah kering di dalam dirinya, dia memejamkan mata. Mulutnya bergetar, tentang sesuatu yang hanya dia sendiri dan Tuhannya yang tahu. Di dalam angin, sebuah tembang terdengar oleh Lelaki Pendosa yang memejamkan mata ketika senja mereka habiskan di puncak Tamansari:
Kemudian,
di puncak Tamansari kita memandang matahari
Kau memandang ke barat, berdoa dalam berbuka. *
Sang Lelaki Pendosa bangkit dari duduknya. Dia mengamit tangan kekasihnya untuk menuju ke temaram di Wijilan. Memuaskan hasrat dan kemudian untuk berdiri tegak menegakkan pelaksanaan kewajiban.
Bantul – Studio SDS Fictionbooks,
Minggu, 27 Juni 2010.
*) Dikutip dari sajak “Permata Air Mata” karya Dhian Hari M.D. Atmaja
Sumber: http://www.dhianhmda.wordpress.com/
http://www.sastra-indonesia.com/
Hari ini adalah Kamis, di sore hari ketika darah telah bergejolak karena kabar angin yang memang selalu terdengar sebagai lagu duka bagi seorang lelaki pendosa. Dia memang selalu bangga menyebut dirinya sebagai lelaki pendosa, lelaki yang dilumuri dengan kesalahan di setiap tapak kehidupan. Memang, dia sengaja. Tapi, di dalam hatinya diniatkan agar namanya yang dia sematkan itu mampu mengingatkan, kalau dirinya hanya seorang lelaki pendosa dan musti berjalan jauh untuk menjadi pembenaran atas pemahaman sampai dia yakin ketika bertemu denganNya, bahwa dia bukan seorang lelaki pendosa. Bukan manusia yang dialiri darah kesalahan.
Hari Kamis, menjadi hari perjalanan bagi si Lelaki Pendosa untuk melewati perjalanan waktu bersama dengan seorang Perempuan Pendoa yang pernah dia temui ketika perjalanannya mengantarkan pada surau kecil yang bercahaya. Entah dalam alur yang bagaimana, Dia yang memiliki kuasa atas alur kehidupan telah menggariskan keduanya dalam pertemuan sunyi pada persetubuhan cinta yang akan mengkristal menjadi abadi. Lelaki Pendosa dan Perempuan Pendoa bertemu di Senin dan Kamis, pada senjakala yang memerah indah.
Lelaki Pendosa menapaki anak tangga yang terus membawanya pada dataran tinggi. Perempuan Pendoa di belakangnya, mengamit tangan kakasihnya dengan erat, sambil menahan lapar-dahaga yang bergejolak di dalam dada. Perempuan itu menahan segalanya. Hasrat di dalam dada dikekang, terantai oleh dirinya sendiri tanpa ada yang mampu mengusik. Itu lah perjuangan yang indah dalam perjalanan Perempuan Pendoa yang selalu tengadah memohon cinta yang memiliki kesempurnaan.
“Entah mulai kapan sayang, aku menjadi jatuh cinta dengan tanah kita pijak ini.” Ucap Lelaki Pendosa ketika mereka menapaki jalan ke atas dimana orang-orang bercanda, menatap matahari, mengambil foto berada di bawah keduanya. “Reruntuhan masa lalu di tengah kota. Perbukitan di tengah kota. Rumah-rumah yang padat, mengepung dalam pengabdian yang tidak terbayar oleh berjuta uang bahkan segunung Merapi emas yang berkilauan.”
Perempuan Pendoa tersenyum sambil menatap ke sekeliling dimana, lalu pada langit yang mulai memerah. “Kamu selalu memiliki kata-kata untuk setiap hal yang telah kau tangkap dan reguk, Mas!” sahut Perempuan Pendoa dalam pandangan teduh yang membuat dada Lelaki Pendosa bergetar.
“Dan kamu selalu memiliki senyuman yang manis, menyimpan semua duka dan kebahagiaanmu!” ungkap Lelaki Pendosa sampai mereka bertatapan untuk beberapa saat.
“Ah, Mas,” Perempuan Pendoa menundukkan kepala menahan senyuman yang semakin merekah.
Lelaki Pendosa menggelengkan kepala. Dia melemparkan pandangan jauh ke langit yang semakin memerah ketika matahari diam-diam merangkak untuk bersembunyi di dalam cakrawala. Pandangannya pun jatuh pada lingkaran masjid yang hanya bisa dirasakan dari atas puncak Tamansari. “Kalau kita berbuat dosa, berzina, apa yang paling kamu takutkan, sayang?” Lelaki Pendosa melemparkan pertanyaan sambil memandangi Masjid yang melingkar di bawahnya. “Adakah ketakutanmu pada Tuhan di sana?”
Seketika, pandangan Perempuan Pendoa berubah. Pandangan diarahkan ke langit yang luas. Tatapan mata perempuan itu menengadah begitu jauh. Sangat jauh sekali ke langit yang luas. Sementara itu, di dalam tubuhnya, rasa lapar memberondong benteng-benteng lambung yang begitu tipisnya. Di lorong gerbang yang lain, rasa kering kerontang menggelitik, menggerus rasa yang berbeda. Dan pada gerbang bibirnya yang tipis dan memerah, tertutup rapat untuk menggerakkan lidah yang tetap berusaha berdoa. Perempuan Pendoa itu pun kemudian menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan kekasih yang duduk di sampingnya.
“Ada, Mas, tapi baru aku sadari kalau Dia tidak menjadi ketakutan yang pertama.” Ucap Perempuan Pendoa dengan resah.
“Yah, kita masih sama, Sayangku, Kekasihku, Istriku, Pujaanku, Perempuan Pendoaku! Kita ini masih manusia. Dan bersyukurlah masih menjadi manusia!” ungkap Lelaki Pendosa dalam senyuman lebar yang di dalamnya tanpa ketakutan sedikit pun. “Pernah aku membuat suatu lingkaran, dimimpikan pada ajaran-ajaran lama yang berharga bahwa hidup manusia itu berputar. Aku mencintai simbol ini, ternyata, baru kali ini mata butaku ini mampu melihat. Bahwa dari nol akan kembali pada nol, yang dari satu akan kembali ke satu, yang dari tanah akan kembali ke tanah.”
“Mas?”
“Manusia berasal dari Tuhan, dan dia akan kembali kepadaNya!” ungkap Lelaki Pendosa yang masih dalam senyuman yang sama, senyuman tanpa ketakutan yang kemudian melemparkan pandangan pada Masjid yang melingkar di bawahnya.
Seruan telah melengking, mengalun di dalam angin dari masjid-masjid yang berdiri di sudut-sudut bumi. Perempuan Tersenyum, meraih tangan Lelaki Pendosa, Kekasihnya, dan Suaminya. Dia mencium tangan lelaki itu, “Terima kasih, Mas, Sayang!” ucap Perempuan Pendoa dalam senyuman manisnya yang telah meruntuhkan kepongahan Lelaki Pendosa.
Ketika sang Perempuan Pendosa meneguk air yang langsung menghujani tanah kering di dalam dirinya, dia memejamkan mata. Mulutnya bergetar, tentang sesuatu yang hanya dia sendiri dan Tuhannya yang tahu. Di dalam angin, sebuah tembang terdengar oleh Lelaki Pendosa yang memejamkan mata ketika senja mereka habiskan di puncak Tamansari:
Kemudian,
di puncak Tamansari kita memandang matahari
Kau memandang ke barat, berdoa dalam berbuka. *
Sang Lelaki Pendosa bangkit dari duduknya. Dia mengamit tangan kekasihnya untuk menuju ke temaram di Wijilan. Memuaskan hasrat dan kemudian untuk berdiri tegak menegakkan pelaksanaan kewajiban.
Bantul – Studio SDS Fictionbooks,
Minggu, 27 Juni 2010.
*) Dikutip dari sajak “Permata Air Mata” karya Dhian Hari M.D. Atmaja
Sumber: http://www.dhianhmda.wordpress.com/
Marco Ketua DKJ Mengusir Saut Situmorang dkk
Saut Situmorang*
http://sautsitumorang.multiply.com/
Jumat 19 Desember 2008 kira-kira jam 2 siang lebih. Saya Saut Situmorang, Wowok Hesti Prabowo dan Viddy A Daery masuk ke sebuah ruangan tempat diadakannya “mukernas” dewan kesenian se-Indonesia di hotel Sheraton Media Jakarta. Saya mendapat info bahwa mukernas tersebut akan membahas soal “dewan kesenian Indonesia” yang beberapa waktu dulu ide pembentukannya mendapat tentangan keras dari banyak seniman. Ide awal pembentukan dewan kesenian Indonesia tersebut, kata orang, berasal dari Ratna Sarumpaet dan dia hari itu akan memberikan pidato tanggapan atas idenya yang mungkin dia rasa dicuri orang itu. Sebuah acara menarik untuk ditonton, bukan? Di pintu masuk ruangan mukernas itu saya sempat disapa oleh seorang cewek yang bekerja untuk Dewan Kesenian Jakarta alias DKJ, yang merupakan tuan rumah mukernas. Di pintu masuk saya tidak melihat ada pengumuman “YANG TIDAK DIUNDANG DILARANG MASUK!”.
Setelah berada di dalam ruangan saya dipanggil oleh Iyut Fitrah kawan penyair dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Dia minta saya duduk dekatnya. Saya pun pergi ke arahnya dan duduk di sebuah kursi di dekatnya. Begitu pula Wowok dan Viddy. Sambil ngomong-ngomong, saya bagikan jurnal keren “boemipoetra” yang segera saja beredar ke meja-meja para peserta mukernas. Saya juga melihat bekas adik kelas saya di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dulu, Jabatin, duduk di meja dekat saya itu dan saya pun menyapanya. Wowok kemudian berdiri dan mulai membagikan “boemipoetra” ke meja-meja di sudut lain ruangan. Saat itu Ratna Sarumpaet sudah berdiri di podium setelah diundang untuk memberikan pidatonya.
Pada waktu itulah tiba-tiba saja terdengar suara seseorang berteriak membentak, “Wowok, keluar!!! Anda tidak diundang, keluar!!!” Begitulah kira-kira bunyi teriakan tersebut yang ternyata berasal dari mulut seseorang bernama Marco yang adalah ketua Dewan Kesenian Jakarta. Wowok merespon dengan mengatakan bahwa dia “diundang” oleh Ratna Sarumpaet. Ratna membenarkan waktu Sang Marco mengkonfirmasikannya ke dia. Tentu saja peristiwa itu menciptakan suasana tegang. Para peserta pun nampak kaget heran kebingungan penasaran. What the fuck is going on? Saya yakin begitulah yang mereka gumamkan dalam gumaman mereka. Lalu tiba-tiba lagi suara tadi berteriak membentak lagi, “Saut, keluar!!! Saya tidak mengundang Anda, keluar!!!” Saya nyaris gemetaran mendengar bentakan yang kayaknya dikeluarkan pakek sinkang ala ilmu Auman Singa Kim-mo Say-ong Cia Sun dari kitab “Ie Thian To Liong” karya Chin Yung itu! Kemudian Sang Pangcu DKJ itu melambai-lambaikan jurnal “boemipoetra” ke udara sambil berkata sesuatu seperti “Dilarang membagikan ‘boemipoetra’ di sini. Ini cuma berisi fitnah!”. Untunglah berkat latihan Kiuyang Sinkang yang saya pelajari dari Bu Kie saya cepat memperolah ketenangan saya kembali dan segera menjawab Sang Pangcu DKJ itu, “Kalau benar jurnal ‘boemipoetra’ adalah fitnah, silahkan bawa kami ke pengadilan!” Di tengah-tengah keributan itu saya mendengar Ratna Sarumpaet berkata sesuatu seperti kenapa acara kesenian bisa jadi sekaku ini, atau yang mirip-mirip itu maksudnya. Lalu, entah dari mana nongolnya, seorang laki-laki bertampang sangar kayak “bouncer bar” di Selandia Baru sana mulai juga berteriak-teriak sambil berpidato di tengah ruangan bahwa dia akan membubarkan acara tersebut! Pokoknya penuh otoritas macam itulah. Saya gak kenal makhluk aneh ini tapi Wowok kemudian di taxi mengatakan dia itu orang DKJ juga. Karena bosan mendengar retorika kekuasaannya itu saya berdiri dan mengajak Wowok dan Viddy untuk keluar saja dari hiruk-pikuk drama kekuasaan Dewan Kesenian Jakarta tersebut. Banyak juga ternyata peserta dari dewan kesenian se-Indonesia di situ yang keluar ruangan. Waktu saya mulai beranjak dari tempat duduk saya itulah Sang Marco, sambil tetap teriak-teriak, mendatangai saya dan tiba-tiba saja memegang lengan kiri saya. Tentu saja secara spontan ilmu Kiankun Taylo-ie Sinkang dari Bengkaw yang juga saya warisi dari suhu Bu Kie bereaksi cepat dan saya tampar tangan jahat yang penuh racun itu! Dia nampak kaget jugak rupanya, hahaha… Tapi dia tidak melakukan apa-apa lagi dan kami bertiga pun keluar dari ruangan pibu itu dengan penuh kemenangan.
Di luar, seorang kawan dari Jawa Tengah yang juga salah seorang peserta mukernas tersebut menghampiri dan menyalami kami. Oiya, di luar itu saya juga tidak melihat ada pengumuman, “DILARANG MEMBAGIKAN ‘BOEMIPOETRA’ DI DALAM RUANGAN!”
Bagaimana ya seandainya yang kami bagikan itu adalah majalah “Kalam” milik Teater Utan Kayu? Apa kami akan mendapat perlakuan yang sangat premanis, ketimbang Pramis, begitu? Siapa sebenarnya yang direpresentasikan Marco dan Dewan Kesenian Jakarta-nya di acara dewan kesenian se-Indonesia tersebut? Lucunya lagi, waktu dia membuat kericuhan di acara dewan kesenian se-Indonesia itu, tidak pernah sekalipun dia menanyakan pendapat para peserta mukernas soal “kehadiran” kami, apa mereka keberatan atau tidak! Menurut SMS seorang kawan yang juga peserta “diundang” acara, setelah kami bertiga keluar ruangan, para peserta dipaksa untuk “mengembalikan” kepada DKJ jurnal “boemipoetra” yang sedang dibaca para peserta tersebut! Banyak juga, kata kawan tersebut, yang tidak bersedia “mengembalikan” jurnal keren kami itu, hahaha…
Oiya, ada yang bilang (saya tidak tahu benar atau salah karena saya sendiri tidak diundang juga, hehehe…) ada yang bilang bahwa para peserta mukernas dewan kesenian se-Indonesia itu dibawa Marco dan DKJ-nya makan malam di Salihara, hahaha…
http://sautsitumorang.multiply.com/
Jumat 19 Desember 2008 kira-kira jam 2 siang lebih. Saya Saut Situmorang, Wowok Hesti Prabowo dan Viddy A Daery masuk ke sebuah ruangan tempat diadakannya “mukernas” dewan kesenian se-Indonesia di hotel Sheraton Media Jakarta. Saya mendapat info bahwa mukernas tersebut akan membahas soal “dewan kesenian Indonesia” yang beberapa waktu dulu ide pembentukannya mendapat tentangan keras dari banyak seniman. Ide awal pembentukan dewan kesenian Indonesia tersebut, kata orang, berasal dari Ratna Sarumpaet dan dia hari itu akan memberikan pidato tanggapan atas idenya yang mungkin dia rasa dicuri orang itu. Sebuah acara menarik untuk ditonton, bukan? Di pintu masuk ruangan mukernas itu saya sempat disapa oleh seorang cewek yang bekerja untuk Dewan Kesenian Jakarta alias DKJ, yang merupakan tuan rumah mukernas. Di pintu masuk saya tidak melihat ada pengumuman “YANG TIDAK DIUNDANG DILARANG MASUK!”.
Setelah berada di dalam ruangan saya dipanggil oleh Iyut Fitrah kawan penyair dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Dia minta saya duduk dekatnya. Saya pun pergi ke arahnya dan duduk di sebuah kursi di dekatnya. Begitu pula Wowok dan Viddy. Sambil ngomong-ngomong, saya bagikan jurnal keren “boemipoetra” yang segera saja beredar ke meja-meja para peserta mukernas. Saya juga melihat bekas adik kelas saya di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dulu, Jabatin, duduk di meja dekat saya itu dan saya pun menyapanya. Wowok kemudian berdiri dan mulai membagikan “boemipoetra” ke meja-meja di sudut lain ruangan. Saat itu Ratna Sarumpaet sudah berdiri di podium setelah diundang untuk memberikan pidatonya.
Pada waktu itulah tiba-tiba saja terdengar suara seseorang berteriak membentak, “Wowok, keluar!!! Anda tidak diundang, keluar!!!” Begitulah kira-kira bunyi teriakan tersebut yang ternyata berasal dari mulut seseorang bernama Marco yang adalah ketua Dewan Kesenian Jakarta. Wowok merespon dengan mengatakan bahwa dia “diundang” oleh Ratna Sarumpaet. Ratna membenarkan waktu Sang Marco mengkonfirmasikannya ke dia. Tentu saja peristiwa itu menciptakan suasana tegang. Para peserta pun nampak kaget heran kebingungan penasaran. What the fuck is going on? Saya yakin begitulah yang mereka gumamkan dalam gumaman mereka. Lalu tiba-tiba lagi suara tadi berteriak membentak lagi, “Saut, keluar!!! Saya tidak mengundang Anda, keluar!!!” Saya nyaris gemetaran mendengar bentakan yang kayaknya dikeluarkan pakek sinkang ala ilmu Auman Singa Kim-mo Say-ong Cia Sun dari kitab “Ie Thian To Liong” karya Chin Yung itu! Kemudian Sang Pangcu DKJ itu melambai-lambaikan jurnal “boemipoetra” ke udara sambil berkata sesuatu seperti “Dilarang membagikan ‘boemipoetra’ di sini. Ini cuma berisi fitnah!”. Untunglah berkat latihan Kiuyang Sinkang yang saya pelajari dari Bu Kie saya cepat memperolah ketenangan saya kembali dan segera menjawab Sang Pangcu DKJ itu, “Kalau benar jurnal ‘boemipoetra’ adalah fitnah, silahkan bawa kami ke pengadilan!” Di tengah-tengah keributan itu saya mendengar Ratna Sarumpaet berkata sesuatu seperti kenapa acara kesenian bisa jadi sekaku ini, atau yang mirip-mirip itu maksudnya. Lalu, entah dari mana nongolnya, seorang laki-laki bertampang sangar kayak “bouncer bar” di Selandia Baru sana mulai juga berteriak-teriak sambil berpidato di tengah ruangan bahwa dia akan membubarkan acara tersebut! Pokoknya penuh otoritas macam itulah. Saya gak kenal makhluk aneh ini tapi Wowok kemudian di taxi mengatakan dia itu orang DKJ juga. Karena bosan mendengar retorika kekuasaannya itu saya berdiri dan mengajak Wowok dan Viddy untuk keluar saja dari hiruk-pikuk drama kekuasaan Dewan Kesenian Jakarta tersebut. Banyak juga ternyata peserta dari dewan kesenian se-Indonesia di situ yang keluar ruangan. Waktu saya mulai beranjak dari tempat duduk saya itulah Sang Marco, sambil tetap teriak-teriak, mendatangai saya dan tiba-tiba saja memegang lengan kiri saya. Tentu saja secara spontan ilmu Kiankun Taylo-ie Sinkang dari Bengkaw yang juga saya warisi dari suhu Bu Kie bereaksi cepat dan saya tampar tangan jahat yang penuh racun itu! Dia nampak kaget jugak rupanya, hahaha… Tapi dia tidak melakukan apa-apa lagi dan kami bertiga pun keluar dari ruangan pibu itu dengan penuh kemenangan.
Di luar, seorang kawan dari Jawa Tengah yang juga salah seorang peserta mukernas tersebut menghampiri dan menyalami kami. Oiya, di luar itu saya juga tidak melihat ada pengumuman, “DILARANG MEMBAGIKAN ‘BOEMIPOETRA’ DI DALAM RUANGAN!”
Bagaimana ya seandainya yang kami bagikan itu adalah majalah “Kalam” milik Teater Utan Kayu? Apa kami akan mendapat perlakuan yang sangat premanis, ketimbang Pramis, begitu? Siapa sebenarnya yang direpresentasikan Marco dan Dewan Kesenian Jakarta-nya di acara dewan kesenian se-Indonesia tersebut? Lucunya lagi, waktu dia membuat kericuhan di acara dewan kesenian se-Indonesia itu, tidak pernah sekalipun dia menanyakan pendapat para peserta mukernas soal “kehadiran” kami, apa mereka keberatan atau tidak! Menurut SMS seorang kawan yang juga peserta “diundang” acara, setelah kami bertiga keluar ruangan, para peserta dipaksa untuk “mengembalikan” kepada DKJ jurnal “boemipoetra” yang sedang dibaca para peserta tersebut! Banyak juga, kata kawan tersebut, yang tidak bersedia “mengembalikan” jurnal keren kami itu, hahaha…
Oiya, ada yang bilang (saya tidak tahu benar atau salah karena saya sendiri tidak diundang juga, hehehe…) ada yang bilang bahwa para peserta mukernas dewan kesenian se-Indonesia itu dibawa Marco dan DKJ-nya makan malam di Salihara, hahaha…
Taufik Ikram Gelar Kembara Sajak Tersebab Aku Melayu
Yurnaldi
http://oase.kompas.com/
Sastrawan Taufik Ikram Jamil, akan membacakan sajak-sajak yang terhimpun dalam buku sajaknya yang terbaru tersebab aku melayu , di Bentara Budaya, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, hari Selasa (22/6/2010) malam. Ini merupakan tempat pertama yang dikunjunginya dalam kegiatan yang dinamakannya kembara sajak tersebab aku melayu. Beberapa tempat akan dikunjunginya di Sumatera dan Jawa dalam kegiatan serupa sampai Agustus mendatang.
Ikram akan membacakan sembilan sajaknya dengan masa sekitar satu jam. Di antara sajak yang dibacakannya berisi tentang perspektif kejayaan Melayu untuk masa kini dan bagaimana memanfaatkannya seperti dalam sajak gurindam bukit siguntang (sriwijaya,Red.), catatan terakhir oleh raffles, di sungai siak, dan orang asing rupanya aku. Ia juga membawa dialog keruntuhan Majapahit melalui sajak hanya karena aku bukan seorang jawa (biografi dara petak). Dalam membacakan sajak, ia dibantu multimedia.
“Inti acara ini adalah silaturahim dengan mengajak untuk saling pengertian antara puak yang satu dengan puak lainnya,” ujar Ikram, Minggu (20/6/2010) . Silaturahim ini semakin penting di tengah pergaulan antaretnis yang menajam, apalagi menarik garis pembangunan nasional yang bertopang pada otonomi daerah. Selain itu adalah hubungan antarnegara serumpun Melayu yang selalu buram.
Buku sajak Ikram yang kedua ini, tersebab aku melayu, memuat 59 sajak yang sebagian besar sudah dipublikasikan di berbagai media seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos, Republika, Riau Pos, Padang Ekspres. Buku ini disebut sebagai buku sajak penggal kedua, setelah buku sajak penggal pertama yang berjudul hampir serupa dengan buku kedua ini yakni tersebab haku melayu diterbitkan tahun 1995.
Penanggalan huruf h pada judul buku sajak kedua ini dibandinghkan buku sajak pertama, ternyata memberi pengaruh besar pada daya ungkap sajak-sajak Ikram. Tak kurang penyair semacam Sutardji Calzoum Bachri, Tan Lie Ie (Indonesia), A.Samad Said (Malaysia), Suratman Markasan (Singapura), dan seorang pengamat sastra Melayu lulusan Universitas Leiden Jan van der Puten, memberi penghargaan tinggi pada buku ini.
Taufik Ikram Jamil yang lahir di Telukbelitung, Riau, 19 September 1963 memang menulis pada semua jenis sastra, diperlihatkan dengan penerbitan dua novelnya dan tiga kumpulan cerpen. Ia sempat meraih berbagai penghargaan dari Yayasan Sagang (1997 dan 2003).
Majalah sastra Horison pernah menobatkan cerpennya yang berjudul Menjadi Batu sebagai cerpen terbaik. Ini disusul dengan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta yang menetapkan cerpennya Pagi Jumat Bersama Amuk sebagai cerpen utama Indonesia tahun 1998. Setahun kemudian, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan kumpulan cerpennya Membaca Hang Jebat sebagai karya sastra terbaik tahun 1999.
Karyanya menarik perhatian antara lain disebabkan kemampuan mengangkat khazanah Melayu. Will Derks dari Universitas Leiden misalnya mengatakan, puisi-puisi Ikram mengawinkan kelisanan dan keberaksaraan yang memberi perlawanan pada dominasi pusat. Maman S.Mahayana dari Unversitas Indonesia menyebutkan bahwa novelnya yang berjudul Hempasan Gelombang merupakan satu dari dua novel terpenting Indonesia tahun 1990 -an. Sedangkan Michael Bodden dari University of Victoria, Canada, menyebutkan bahwa karya Taufik Ikram Jamil mengajukan sebuah makna baru untuk novel warna lokal yang diubah menjadi sebuah identitas linguistik, budaya, dan sejarah yang berbeda dengan prosa Indonesia pada umumnya.
Dengan kondisi ini, Bodden melihat bahwa sastra Indonesia sedang menegaskan otonomi dari ideologi negara dan sebagian besar politikus dengan perintisan sebuah gagasan baru tentang nasionalisme dan identitas lokal.
Sehari-hari Taufik Ikram Jamil juga dikenal bergiat sebagai pekerja seni. Bersama kawan-kawan, dia sempat mendirikan majalah sastra menyimak dan berdaulat, bahkan mendirikan perguruan tinggi sekaligus berkhidmat sebagai pengajar yakni Akademi Kesenian Melayu Riau. Selain itu juga pernah menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Riau. Dia telah membaca kan sajak-sajaknya di berbagai kota di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
http://oase.kompas.com/
Sastrawan Taufik Ikram Jamil, akan membacakan sajak-sajak yang terhimpun dalam buku sajaknya yang terbaru tersebab aku melayu , di Bentara Budaya, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, hari Selasa (22/6/2010) malam. Ini merupakan tempat pertama yang dikunjunginya dalam kegiatan yang dinamakannya kembara sajak tersebab aku melayu. Beberapa tempat akan dikunjunginya di Sumatera dan Jawa dalam kegiatan serupa sampai Agustus mendatang.
Ikram akan membacakan sembilan sajaknya dengan masa sekitar satu jam. Di antara sajak yang dibacakannya berisi tentang perspektif kejayaan Melayu untuk masa kini dan bagaimana memanfaatkannya seperti dalam sajak gurindam bukit siguntang (sriwijaya,Red.), catatan terakhir oleh raffles, di sungai siak, dan orang asing rupanya aku. Ia juga membawa dialog keruntuhan Majapahit melalui sajak hanya karena aku bukan seorang jawa (biografi dara petak). Dalam membacakan sajak, ia dibantu multimedia.
“Inti acara ini adalah silaturahim dengan mengajak untuk saling pengertian antara puak yang satu dengan puak lainnya,” ujar Ikram, Minggu (20/6/2010) . Silaturahim ini semakin penting di tengah pergaulan antaretnis yang menajam, apalagi menarik garis pembangunan nasional yang bertopang pada otonomi daerah. Selain itu adalah hubungan antarnegara serumpun Melayu yang selalu buram.
Buku sajak Ikram yang kedua ini, tersebab aku melayu, memuat 59 sajak yang sebagian besar sudah dipublikasikan di berbagai media seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos, Republika, Riau Pos, Padang Ekspres. Buku ini disebut sebagai buku sajak penggal kedua, setelah buku sajak penggal pertama yang berjudul hampir serupa dengan buku kedua ini yakni tersebab haku melayu diterbitkan tahun 1995.
Penanggalan huruf h pada judul buku sajak kedua ini dibandinghkan buku sajak pertama, ternyata memberi pengaruh besar pada daya ungkap sajak-sajak Ikram. Tak kurang penyair semacam Sutardji Calzoum Bachri, Tan Lie Ie (Indonesia), A.Samad Said (Malaysia), Suratman Markasan (Singapura), dan seorang pengamat sastra Melayu lulusan Universitas Leiden Jan van der Puten, memberi penghargaan tinggi pada buku ini.
Taufik Ikram Jamil yang lahir di Telukbelitung, Riau, 19 September 1963 memang menulis pada semua jenis sastra, diperlihatkan dengan penerbitan dua novelnya dan tiga kumpulan cerpen. Ia sempat meraih berbagai penghargaan dari Yayasan Sagang (1997 dan 2003).
Majalah sastra Horison pernah menobatkan cerpennya yang berjudul Menjadi Batu sebagai cerpen terbaik. Ini disusul dengan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta yang menetapkan cerpennya Pagi Jumat Bersama Amuk sebagai cerpen utama Indonesia tahun 1998. Setahun kemudian, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan kumpulan cerpennya Membaca Hang Jebat sebagai karya sastra terbaik tahun 1999.
Karyanya menarik perhatian antara lain disebabkan kemampuan mengangkat khazanah Melayu. Will Derks dari Universitas Leiden misalnya mengatakan, puisi-puisi Ikram mengawinkan kelisanan dan keberaksaraan yang memberi perlawanan pada dominasi pusat. Maman S.Mahayana dari Unversitas Indonesia menyebutkan bahwa novelnya yang berjudul Hempasan Gelombang merupakan satu dari dua novel terpenting Indonesia tahun 1990 -an. Sedangkan Michael Bodden dari University of Victoria, Canada, menyebutkan bahwa karya Taufik Ikram Jamil mengajukan sebuah makna baru untuk novel warna lokal yang diubah menjadi sebuah identitas linguistik, budaya, dan sejarah yang berbeda dengan prosa Indonesia pada umumnya.
Dengan kondisi ini, Bodden melihat bahwa sastra Indonesia sedang menegaskan otonomi dari ideologi negara dan sebagian besar politikus dengan perintisan sebuah gagasan baru tentang nasionalisme dan identitas lokal.
Sehari-hari Taufik Ikram Jamil juga dikenal bergiat sebagai pekerja seni. Bersama kawan-kawan, dia sempat mendirikan majalah sastra menyimak dan berdaulat, bahkan mendirikan perguruan tinggi sekaligus berkhidmat sebagai pengajar yakni Akademi Kesenian Melayu Riau. Selain itu juga pernah menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Riau. Dia telah membaca kan sajak-sajaknya di berbagai kota di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Aceh Butuh Kritikus Sastra
Thayeb Loh Angen*
http://blog.harian-aceh.com/
Aceh butuh kritikus sastra untuk merawat mutu karya dan arahnya. Namun banyak yang belum siap mengupasnya.
Kehadiran orang-orang yang memahami dunia kesusastraan di Aceh patut disyukuri dan diharapkan ada beberapa di antara mereka yang mengambil posisi sebagai kritikus yang adil, atas dasar standar dan dilengkapi dengan keahlian yang cukup.
Demi majunya dunia sastra di Aceh, orang-orang yang telah memposisikan dirinya sebagai senior dan menyamankan diri di menara gading kita minta keluar ke halaman atau setidaknya bukalah jendela atau pintu, lihatlah sekeliling dunia sastra kita.
Indonesia kekurangan kritikus sastra, apalagi Aceh. Tulisan-tulisan yang tersebar di beberapa media di Aceh terlihat berjalan sendiri tanpa ada pengamat yang disebut kritikus sastra. Fakta ini terjadi karena beberapa sebab, di antaranya: kurangnya orang yang memahami seluk beluk tentang kesusastraan. Para lulusan akademik bidang sastra pun jarang menampilkan dirinya untuk ambil bagian sebagai kritikus. Jika mereka tidak bisa berkarya bagus, setidaknya menggerakkan orang lain untuk berkarya bagus dan standar nasional dan dunia.
Di Aceh, kebanyakan dari orang-orang yang menggeluti sastra memposisikan dirinya sebagai pengkarya, yang kebanyakan telah memilih masa aman tanpa memperbaiki mutu karyanya lagi sehingga kemajuan sastra di Aceh terhenti pada menara gading yang mereka bentuk, maka menara gading puja-puji semu itu harus diruntuhkan kini, dan telah runtuh. Perasaan senioritas dari kalangan penulis bikin mutu karya sastra yang tersebar di Aceh tidak meningkat.
Tidak adanya orang yang ambil resiko sebagai kritikus sastra di Aceh karena penerimaan dari pengarya yang miring. Ini terjadi karena penulis hanyut dalam utopia yang menganggap karyanya begitu hebat sementara di balik penolakan itu ada rasa ingin diakui tapi tidak percaya diri untuk menerima kekurangan karyanya. Memang, media dan juri bukan hakim untuk karya penulis, di samping itu, para penulis harus sadar benar kelebihan dan kekurangan karyanya karena tidak pernah ada yang sempurna diciptakan.
Selama ini, orang yang jadi kritikus di Aceh rada-rada setengah hati, mungkin karena sikap penerimaan para pengarya yang kurang beretika. Walau begitu penghakiman untuk sebuah karya sebaiknya dihindari karena kita hanya butuh wawasan, jadi para kritikus bisa mengatakan kelebihan dan kekurangan sebuah karya dari segala sisi. Nah, penting dipahami oleh penulis yang baru-baru muncul, bahwa bagi kritikus, yang penting menguasai konteks sastra dari segala lini, tak penting apa para kritikus itu punya karya atau tidak.
Kitikus satra penting hadir di Aceh sebagai cermin untuk karya-karya seperti hikayat, cerpen, puisi, dan novel yang telah dilahirkan. Adanya kritikus bikin dunia sastra hidup, tidak hilang gaungnya begitu saja, dan penulis atau pembaca punya pilihan penilaian selain yang telah miliki sendiri. Di negara luar, sastra mereka maju karena selain banyak penulis yang serius menelorkan karya bagus juga banyak kritikus yang serius mengulas karya mereka. Di Indonesia, Chairil Anwar yang melegenda itu tidak pernah dikenal orang bila tidak ada HB Jassin –Disebutkan sebagai Paus Sastra Indonesia- yang habis-habisan membela karya Chairil Anwar.
Sejarah sastra Aceh yang gemilang sudah saatnya dikembalikan di zaman ini seraya membikin perbaikan mendasar dalam setiap sendi sastra di Aceh. Kehadiran beberapa organisasi yang bergerak di bidang sastra telah memperbaiki keadaan ini walau jauh dari cukup karena masing-masing organisasi tersebut telah membuat tempurung diri mereka masing-masing dan menilai dunia dengannya –rasa senioritas dan pakar tak tertandingi- sebuah klaim kebenaran terhadap ideologi organisasi. Tapi setidaknya mereka telah melakukan sesuatu dan sampai tahap tertentu itu berguna bagi sastra di Aceh.
Pertemuan Sastra di Aceh
Demi mendukung perbaikan dunia sastra di Aceh, penting dihadirkan fakultas sastra dan seni jika atau merealisasikan Institut Kesenian Aceh –tapi harus diurus oleh orang tepat. Pertemuan-pertemuan berbasis budaya dan sastra sebaiknya lebih sering diadakan untuk membahas tentang budaya, sastra dan peradaban Aceh. Peran organisasi bidang kepenulisan, sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan pemerintah amat penting dalam memajukan sastra di Aceh.
Pertemuan yang menghadirkan para penulis di Aceh yang karya mereka telah dipublis di media atau tidak, penting dilakukan pertemuan ini untuk mengetahui apa masalah sehingga sastra di daratan peninggalan Bapak Sastra Melayu Hamzah Fansuri ini belum mengatasi zaman.
Para penulis yang telah memilih jalan sunyi dalam keputusasaan harus dijemput kembali karena mereka adalah wakil zaman, dan kita sandingkan mereka kembali dengan para penulis yang baru muncul agar kedua generasi ini saling terispirasi.
Yang generasi awal terispirasi pada muda bahwa kenapa ia yang lebih dulu tidak lagi sekreatif dan sesemangat yang muda. Yang muda terispirasi dengan generasi lebih awal bahwa semangat yang lebih awal patut dihargai karena telah menyambungkan tali dunia sastra kita di saat orang-orang tidak menghiraukannya. Kekompakan, persatuan adalah sumber kemajuan peradaban, budaya, dan sastra kita.
Pertemuan sastra di Aceh perlu segera diadakan dengan konsep rapi dan terarah agar tidak terjebak pada romantisme dan seremonial seperti yang dialami pengurus sastra di negara Malaysia dengan acaranya dialog utara, juga tidak terjebak hal serupa seperti pertemuan-pertemuan lain di Indonesia. Aceh harus lebih cerdas dan harus punya konsep selangkah lebih maju, agar tidak malu pada indatu kita yang jadi penggebrak dunia kesusastraan di Asia Tenggara. Salam dunia menulis, salam humanisme, salam persatuan dan perdamaian.[]
*) Wartawan Harian Aceh, Penulis Novel TEUNTRA ATOM, Inisiator Lembaga Budaya SAMAN
http://blog.harian-aceh.com/
Aceh butuh kritikus sastra untuk merawat mutu karya dan arahnya. Namun banyak yang belum siap mengupasnya.
Kehadiran orang-orang yang memahami dunia kesusastraan di Aceh patut disyukuri dan diharapkan ada beberapa di antara mereka yang mengambil posisi sebagai kritikus yang adil, atas dasar standar dan dilengkapi dengan keahlian yang cukup.
Demi majunya dunia sastra di Aceh, orang-orang yang telah memposisikan dirinya sebagai senior dan menyamankan diri di menara gading kita minta keluar ke halaman atau setidaknya bukalah jendela atau pintu, lihatlah sekeliling dunia sastra kita.
Indonesia kekurangan kritikus sastra, apalagi Aceh. Tulisan-tulisan yang tersebar di beberapa media di Aceh terlihat berjalan sendiri tanpa ada pengamat yang disebut kritikus sastra. Fakta ini terjadi karena beberapa sebab, di antaranya: kurangnya orang yang memahami seluk beluk tentang kesusastraan. Para lulusan akademik bidang sastra pun jarang menampilkan dirinya untuk ambil bagian sebagai kritikus. Jika mereka tidak bisa berkarya bagus, setidaknya menggerakkan orang lain untuk berkarya bagus dan standar nasional dan dunia.
Di Aceh, kebanyakan dari orang-orang yang menggeluti sastra memposisikan dirinya sebagai pengkarya, yang kebanyakan telah memilih masa aman tanpa memperbaiki mutu karyanya lagi sehingga kemajuan sastra di Aceh terhenti pada menara gading yang mereka bentuk, maka menara gading puja-puji semu itu harus diruntuhkan kini, dan telah runtuh. Perasaan senioritas dari kalangan penulis bikin mutu karya sastra yang tersebar di Aceh tidak meningkat.
Tidak adanya orang yang ambil resiko sebagai kritikus sastra di Aceh karena penerimaan dari pengarya yang miring. Ini terjadi karena penulis hanyut dalam utopia yang menganggap karyanya begitu hebat sementara di balik penolakan itu ada rasa ingin diakui tapi tidak percaya diri untuk menerima kekurangan karyanya. Memang, media dan juri bukan hakim untuk karya penulis, di samping itu, para penulis harus sadar benar kelebihan dan kekurangan karyanya karena tidak pernah ada yang sempurna diciptakan.
Selama ini, orang yang jadi kritikus di Aceh rada-rada setengah hati, mungkin karena sikap penerimaan para pengarya yang kurang beretika. Walau begitu penghakiman untuk sebuah karya sebaiknya dihindari karena kita hanya butuh wawasan, jadi para kritikus bisa mengatakan kelebihan dan kekurangan sebuah karya dari segala sisi. Nah, penting dipahami oleh penulis yang baru-baru muncul, bahwa bagi kritikus, yang penting menguasai konteks sastra dari segala lini, tak penting apa para kritikus itu punya karya atau tidak.
Kitikus satra penting hadir di Aceh sebagai cermin untuk karya-karya seperti hikayat, cerpen, puisi, dan novel yang telah dilahirkan. Adanya kritikus bikin dunia sastra hidup, tidak hilang gaungnya begitu saja, dan penulis atau pembaca punya pilihan penilaian selain yang telah miliki sendiri. Di negara luar, sastra mereka maju karena selain banyak penulis yang serius menelorkan karya bagus juga banyak kritikus yang serius mengulas karya mereka. Di Indonesia, Chairil Anwar yang melegenda itu tidak pernah dikenal orang bila tidak ada HB Jassin –Disebutkan sebagai Paus Sastra Indonesia- yang habis-habisan membela karya Chairil Anwar.
Sejarah sastra Aceh yang gemilang sudah saatnya dikembalikan di zaman ini seraya membikin perbaikan mendasar dalam setiap sendi sastra di Aceh. Kehadiran beberapa organisasi yang bergerak di bidang sastra telah memperbaiki keadaan ini walau jauh dari cukup karena masing-masing organisasi tersebut telah membuat tempurung diri mereka masing-masing dan menilai dunia dengannya –rasa senioritas dan pakar tak tertandingi- sebuah klaim kebenaran terhadap ideologi organisasi. Tapi setidaknya mereka telah melakukan sesuatu dan sampai tahap tertentu itu berguna bagi sastra di Aceh.
Pertemuan Sastra di Aceh
Demi mendukung perbaikan dunia sastra di Aceh, penting dihadirkan fakultas sastra dan seni jika atau merealisasikan Institut Kesenian Aceh –tapi harus diurus oleh orang tepat. Pertemuan-pertemuan berbasis budaya dan sastra sebaiknya lebih sering diadakan untuk membahas tentang budaya, sastra dan peradaban Aceh. Peran organisasi bidang kepenulisan, sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan pemerintah amat penting dalam memajukan sastra di Aceh.
Pertemuan yang menghadirkan para penulis di Aceh yang karya mereka telah dipublis di media atau tidak, penting dilakukan pertemuan ini untuk mengetahui apa masalah sehingga sastra di daratan peninggalan Bapak Sastra Melayu Hamzah Fansuri ini belum mengatasi zaman.
Para penulis yang telah memilih jalan sunyi dalam keputusasaan harus dijemput kembali karena mereka adalah wakil zaman, dan kita sandingkan mereka kembali dengan para penulis yang baru muncul agar kedua generasi ini saling terispirasi.
Yang generasi awal terispirasi pada muda bahwa kenapa ia yang lebih dulu tidak lagi sekreatif dan sesemangat yang muda. Yang muda terispirasi dengan generasi lebih awal bahwa semangat yang lebih awal patut dihargai karena telah menyambungkan tali dunia sastra kita di saat orang-orang tidak menghiraukannya. Kekompakan, persatuan adalah sumber kemajuan peradaban, budaya, dan sastra kita.
Pertemuan sastra di Aceh perlu segera diadakan dengan konsep rapi dan terarah agar tidak terjebak pada romantisme dan seremonial seperti yang dialami pengurus sastra di negara Malaysia dengan acaranya dialog utara, juga tidak terjebak hal serupa seperti pertemuan-pertemuan lain di Indonesia. Aceh harus lebih cerdas dan harus punya konsep selangkah lebih maju, agar tidak malu pada indatu kita yang jadi penggebrak dunia kesusastraan di Asia Tenggara. Salam dunia menulis, salam humanisme, salam persatuan dan perdamaian.[]
*) Wartawan Harian Aceh, Penulis Novel TEUNTRA ATOM, Inisiator Lembaga Budaya SAMAN
Perlawanan dari Tegal
Dahono Fitrianto
http://cetak.kompas.com/
Apa hal pertama yang mampir di kepala saat mendengar nama Kota Tegal? Seorang teman dengan cepat menjawab, warteg dan ”ngapak-ngapak”.
Begitulah, kota di pesisir utara Jawa Tengah ini telanjur diidentikkan dengan dua stereotip: warung tegal alias warteg dan logat bahasa khasnya. Itu juga lebih sering ditampilkan dalam konteks olok- olok, untuk lucu-lucuan, yang secara tidak langsung sebenarnya mengandung sikap agak meremehkan.
Perhatikan dunia pop kita yang selalu menampilkan Tegal sebagai bahan lawakan, mulai dari Cici Tegal, Parto Patrio, hingga terakhir grup musik Warteg Boyz dengan lagunya yang sangat populer, ”Okelah Kalau Begitu”.
Padahal, jika diteliti lebih jauh, banyak yang tidak pas dengan olok-olok soal Tegal tadi. ”Bahkan, bahasa ngapak-ngapak yang dibawakan para pelawak itu sebenarnya bukan bahasa Tegal, tetapi bahasa banyumasan. Bahasa Tegal tidak ngapak-ngapak,” kata Yono Daryono, salah seorang tokoh sastra dan teater, pertengahan Februari lalu di Tegal.
Intens
Banyak orang awam yang tidak paham bahwa masyarakat Tegal sejak dulu sangat intens dan serius dalam berkesenian, terutama di bidang sastra dan teater. Kota ini bahkan melahirkan nama-nama yang cukup dikenal dalam dunia sastra, seperti penyair Angkatan ’66 Piek Ardijanto Soeprijadi (1929-2001), cerpenis SN Ratmana (73), dan penyair Widjati.
Di angkatan yang lebih muda ada nama-nama seperti Yono Daryono, Nurhidayat Poso, Eko Tunas, Lanang Setiawan, M Enthieh Mudakir, dan Dwi Ery Santoso. Bahkan, dua sutradara senior di dunia perfilman Indonesia, yakni Imam Tantowi dan Chaerul Umam, adalah orang- orang yang berasal dari Tegal.
Yono Daryono bersama Teater RSPD-nya pernah menancapkan Tegal di peta perteateran nasional pada era 1980-an dengan karya-karya seperti Roro Mendut (1983), Ronggeng Ronggeng (1986), dan Mandor (1987). Sementara Lanang Setiawan pernah memelopori aktivitas sastra Tegalan dengan menerjemahkan puisi- puisi karya penyair terkenal ke dalam bahasa Tegal pada tahun 1994.
Begitu riuhnya aktivitas sastra di Tegal ini sampai-sampai pada Agustus 1994 majalah sastra Horison menerbitkan sisipan khusus berjudul ”Sastra Tegalan” yang merangkum karya para sastrawan Tegal.
Di bidang seni yang lebih dekat dengan seni tradisional, Tegal juga menelurkan dua dalang unik yang karya-karyanya bahkan sudah dikenal dunia internasional. Ki Enthus Susmono (43) dikenal sebagai dalang ”edan” karena pentas wayangnya suka menerabas pakem-pakem wayang kulit yang biasanya berlaku kaku di Yogyakarta atau Solo.
Ki Slamet Gundono (43) bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan membongkar semua konsep ruang pertunjukan wayang dengan wayang suket (wayang dari rumput ilalang)-nya. Gundono mendalang tanpa beber, blencong, dan kedebong pisang seperti lazimnya pertunjukan wayang. Alih-alih, ia memainkan wayang minimalis terbuat dari rumput ilalang kering dengan iringan gitar mandolin kecil, tanpa kehilangan pesona dan makna kisah wayang yang ia mainkan.
Persimpangan
Apa yang membuat kota kecil di jalur pantai utara (pantura) ini menjadi sedemikian unik dan memiliki aktivitas kesenian yang khas seperti ini? Menurut penyair Eko Tunas, salah satu pemicunya adalah posisi geografis Tegal yang terletak di jalur jalan raya utama penghubung pusat- pusat kebudayaan di Jawa, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Solo.
”Sejak tahun 1960-an, Tegal itu menjadi ’tempat kencing’-nya seniman-seniman besar di Indonesia. Setiap mereka dalam perjalanan dari Jakarta ke Yogya, misalnya, selalu mampir ke Tegal,” tutur seniman seangkatan Emha Ainun Nadjib ini.
Sastrawan, seperti Rendra, pada era itu cukup rajin bertandang ke Tegal untuk melihat pentas teater. Beberapa catatan Rendra tentang pentas teater di Tegal ini bisa ditemui dalam buku Catatan-catatan Rendra Tahun 1960-an (penerbit Burung Merak, Jakarta, 2005). ”Informasi dari orang-orang yang ’mampir kencing’ inilah yang membuat orang Tegal terpicu untuk berkesenian,” ungkap Eko.
Hampir senada dengan Eko, Slamet Gundono berpendapat bahwa Tegal beruntung karena terletak di persimpangan pusat- pusat kebudayaan. ”Di barat ada Cirebon dan Indramayu, di selatan ada Banyumas dan Purwokerto, di timur ada Yogya dan Solo sehingga hampir semua kesenian dari daerah-daerah itu bisa ditemui di Tegal,” tutur Gundono.
Karakter masyarakat pesisir yang dinamis, lanjut Gundono, menerima dengan tangan terbuka setiap bentuk kebudayaan yang masuk. Jadi, pada akhirnya, masyarakat Tegal terbiasa menyerap bentuk-bentuk kebudayaan ini, termasuk kesenian.
Hermawan Pancasiwi, sosiolog dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, menambahkan, keunikan Tegal tersebut dipicu oleh sebuah keinginan untuk menunjukkan eksistensi masyarakat yang jauh dari pusat-pusat kebudayaan, dalam hal ini keraton. ”Gejalanya hampir sama seperti Cirebon yang berada di persilangan kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga ingin menunjukkan eksistensi jati dirinya,” papar Hermawan.
Perlawanan orang-orang Tegal terhadap ”dominasi” kebudayaan, terutama bahasa, ditunjukkan secara masif saat daerah itu menggelar Kongres Bahasa Tegal pada tahun 2006. Kongres itu jelas-jelas ingin menegaskan bahwa bahasa Tegal adalah bahasa yang berdiri sendiri dan bukan sekadar dialek Jawa. Bahkan, Lanang Setiawan, penulis dari Tegal, dalam memoarnya mencatat perjalanan para sastrawan Tegal ke Solo pada tahun 1994 sebagai pemberontakan kaum pesisiran.
Menurut Hermawan, karena posisi Tegal yang jauh dari pusat kebudayaan Jawa di keraton-keraton, ekspresi kesenian Tegal pun mengambil bentuk yang berbeda. ”Seperti daerah-daerah pantura yang lain, bentuk-bentuk keseniannya bersifat kerakyatan, berupa hiburan-hiburan merakyat,” lanjutnya.
Ditambah dengan kekhasan dialek Tegal, ekspresi kesenian Tegal pun menjadi semacam ”perlawanan” terhadap unsur- unsur kebudayaan yang sudah mapan di keraton-keraton. ”Mereka ingin mengatakan, ’Kami pun ada dan kami berbeda dengan Anda’,” kata Hermawan.
http://cetak.kompas.com/
Apa hal pertama yang mampir di kepala saat mendengar nama Kota Tegal? Seorang teman dengan cepat menjawab, warteg dan ”ngapak-ngapak”.
Begitulah, kota di pesisir utara Jawa Tengah ini telanjur diidentikkan dengan dua stereotip: warung tegal alias warteg dan logat bahasa khasnya. Itu juga lebih sering ditampilkan dalam konteks olok- olok, untuk lucu-lucuan, yang secara tidak langsung sebenarnya mengandung sikap agak meremehkan.
Perhatikan dunia pop kita yang selalu menampilkan Tegal sebagai bahan lawakan, mulai dari Cici Tegal, Parto Patrio, hingga terakhir grup musik Warteg Boyz dengan lagunya yang sangat populer, ”Okelah Kalau Begitu”.
Padahal, jika diteliti lebih jauh, banyak yang tidak pas dengan olok-olok soal Tegal tadi. ”Bahkan, bahasa ngapak-ngapak yang dibawakan para pelawak itu sebenarnya bukan bahasa Tegal, tetapi bahasa banyumasan. Bahasa Tegal tidak ngapak-ngapak,” kata Yono Daryono, salah seorang tokoh sastra dan teater, pertengahan Februari lalu di Tegal.
Intens
Banyak orang awam yang tidak paham bahwa masyarakat Tegal sejak dulu sangat intens dan serius dalam berkesenian, terutama di bidang sastra dan teater. Kota ini bahkan melahirkan nama-nama yang cukup dikenal dalam dunia sastra, seperti penyair Angkatan ’66 Piek Ardijanto Soeprijadi (1929-2001), cerpenis SN Ratmana (73), dan penyair Widjati.
Di angkatan yang lebih muda ada nama-nama seperti Yono Daryono, Nurhidayat Poso, Eko Tunas, Lanang Setiawan, M Enthieh Mudakir, dan Dwi Ery Santoso. Bahkan, dua sutradara senior di dunia perfilman Indonesia, yakni Imam Tantowi dan Chaerul Umam, adalah orang- orang yang berasal dari Tegal.
Yono Daryono bersama Teater RSPD-nya pernah menancapkan Tegal di peta perteateran nasional pada era 1980-an dengan karya-karya seperti Roro Mendut (1983), Ronggeng Ronggeng (1986), dan Mandor (1987). Sementara Lanang Setiawan pernah memelopori aktivitas sastra Tegalan dengan menerjemahkan puisi- puisi karya penyair terkenal ke dalam bahasa Tegal pada tahun 1994.
Begitu riuhnya aktivitas sastra di Tegal ini sampai-sampai pada Agustus 1994 majalah sastra Horison menerbitkan sisipan khusus berjudul ”Sastra Tegalan” yang merangkum karya para sastrawan Tegal.
Di bidang seni yang lebih dekat dengan seni tradisional, Tegal juga menelurkan dua dalang unik yang karya-karyanya bahkan sudah dikenal dunia internasional. Ki Enthus Susmono (43) dikenal sebagai dalang ”edan” karena pentas wayangnya suka menerabas pakem-pakem wayang kulit yang biasanya berlaku kaku di Yogyakarta atau Solo.
Ki Slamet Gundono (43) bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan membongkar semua konsep ruang pertunjukan wayang dengan wayang suket (wayang dari rumput ilalang)-nya. Gundono mendalang tanpa beber, blencong, dan kedebong pisang seperti lazimnya pertunjukan wayang. Alih-alih, ia memainkan wayang minimalis terbuat dari rumput ilalang kering dengan iringan gitar mandolin kecil, tanpa kehilangan pesona dan makna kisah wayang yang ia mainkan.
Persimpangan
Apa yang membuat kota kecil di jalur pantai utara (pantura) ini menjadi sedemikian unik dan memiliki aktivitas kesenian yang khas seperti ini? Menurut penyair Eko Tunas, salah satu pemicunya adalah posisi geografis Tegal yang terletak di jalur jalan raya utama penghubung pusat- pusat kebudayaan di Jawa, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Solo.
”Sejak tahun 1960-an, Tegal itu menjadi ’tempat kencing’-nya seniman-seniman besar di Indonesia. Setiap mereka dalam perjalanan dari Jakarta ke Yogya, misalnya, selalu mampir ke Tegal,” tutur seniman seangkatan Emha Ainun Nadjib ini.
Sastrawan, seperti Rendra, pada era itu cukup rajin bertandang ke Tegal untuk melihat pentas teater. Beberapa catatan Rendra tentang pentas teater di Tegal ini bisa ditemui dalam buku Catatan-catatan Rendra Tahun 1960-an (penerbit Burung Merak, Jakarta, 2005). ”Informasi dari orang-orang yang ’mampir kencing’ inilah yang membuat orang Tegal terpicu untuk berkesenian,” ungkap Eko.
Hampir senada dengan Eko, Slamet Gundono berpendapat bahwa Tegal beruntung karena terletak di persimpangan pusat- pusat kebudayaan. ”Di barat ada Cirebon dan Indramayu, di selatan ada Banyumas dan Purwokerto, di timur ada Yogya dan Solo sehingga hampir semua kesenian dari daerah-daerah itu bisa ditemui di Tegal,” tutur Gundono.
Karakter masyarakat pesisir yang dinamis, lanjut Gundono, menerima dengan tangan terbuka setiap bentuk kebudayaan yang masuk. Jadi, pada akhirnya, masyarakat Tegal terbiasa menyerap bentuk-bentuk kebudayaan ini, termasuk kesenian.
Hermawan Pancasiwi, sosiolog dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, menambahkan, keunikan Tegal tersebut dipicu oleh sebuah keinginan untuk menunjukkan eksistensi masyarakat yang jauh dari pusat-pusat kebudayaan, dalam hal ini keraton. ”Gejalanya hampir sama seperti Cirebon yang berada di persilangan kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga ingin menunjukkan eksistensi jati dirinya,” papar Hermawan.
Perlawanan orang-orang Tegal terhadap ”dominasi” kebudayaan, terutama bahasa, ditunjukkan secara masif saat daerah itu menggelar Kongres Bahasa Tegal pada tahun 2006. Kongres itu jelas-jelas ingin menegaskan bahwa bahasa Tegal adalah bahasa yang berdiri sendiri dan bukan sekadar dialek Jawa. Bahkan, Lanang Setiawan, penulis dari Tegal, dalam memoarnya mencatat perjalanan para sastrawan Tegal ke Solo pada tahun 1994 sebagai pemberontakan kaum pesisiran.
Menurut Hermawan, karena posisi Tegal yang jauh dari pusat kebudayaan Jawa di keraton-keraton, ekspresi kesenian Tegal pun mengambil bentuk yang berbeda. ”Seperti daerah-daerah pantura yang lain, bentuk-bentuk keseniannya bersifat kerakyatan, berupa hiburan-hiburan merakyat,” lanjutnya.
Ditambah dengan kekhasan dialek Tegal, ekspresi kesenian Tegal pun menjadi semacam ”perlawanan” terhadap unsur- unsur kebudayaan yang sudah mapan di keraton-keraton. ”Mereka ingin mengatakan, ’Kami pun ada dan kami berbeda dengan Anda’,” kata Hermawan.
Selayang Pandang Tentang TKW di Hong Kong:
Dari Terbitkan Buku Hingga Kuliah S2!
Uly Giznawati*
http://regional.kompasiana.com/
Tenaga kerja wanita atau buruh migran adalah jutaan manusia yang mencoba mengadu nasib dengan bekerja di luar negeri, meninggalkan keluarga, saudara dan kampung halaman. Demi tercapainya kesejahteraan bagi individu, keluarga, komunitas dan negara. Seperti di Hong Kong (HK), jumlah buruh migran tiap tahunnya selalu bertambah. Dan saat ini tercatat 124.000 buruh migran yang bekerja di HK. Sebagian besar dari mereka (99 persen) bekerja disektor rumah tangga.
Salah satu faktor yang paling utama adalah para BMI di HK memiliki hak dan kewajiban yang sama dan standar kontrak kerja yang telah diatur sedemikian rupa oleh pemerintah HK, salah satunya hak untuk libur.
Jatah libur satu hari dalam seminggu, memberikan ruang pada teman teman BMI untuk melakukan banyak aktifitas. Sehingga tidak heran jika lapangan Viktoria Park mendadak berubah menjadi ”Kampung Jawa”, pada hari minggu.
Pada hari minggu, bermacam macam aktifitas dipusatkan di ”Kampung Jawa” tersebut. Ada yang hanya duduk duduk sekedar melepas lelah, makan bareng dan bersantai dengan teman teman yang biasanya satu daerah. Tapi banyak pula yang melakukan aktifitas yang sangat produktif dan kreatif, seperti melakukan aktifitas seni dan budaya, keagamaan, olahraga, kursus dan sekolah lagi, bahkan berorganisasi. Aktifitas seni dan budaya sendiri sangat beragam, ada yang menekuni tarian, seni suara juga karya sastra.
Sastra Seni di Kalangan BMI
Aktifitas sastra BMI, juga perlu mendapat apresiasi khusus. Kerena minat teman teman BMI menulis sangat tinggi. Lahirnya organisasi-organisasi buruh migran berbagai yang melakukan kerjasama dengan sesama buruh migran dan dengan organisasi buruh setempat. Demikian juga munculnya komunitas-komunitas sastra-seni di kalangan buruh migran Indonesia seperti Forum Lingkar Pena (FLP), Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara), dan Café de Costa. Di tambah kehadiran koran lokal HK yang berbahas Indonesia seperti Suara, Berita Indonesia, Tabloid Dwi Mingguan Apa Kabar, Peduli, Ekspresi, Intermezo, Rosemawar, Indonews, Indoswara. Yang mana ikut menyuburkan minat sekaligus memberikan ruang bagi para BMI ini untuk menulis.
Tercatat beberapa nama BMI yang sudah melintang di dunia tulis menulis, yang mana nama mereka sudah tidak asing lagi di kalangan BMI. Mereka menulis artikel ke media lokal (HK) dan Nasional (Indonesia). Seperti :
Mega Vristian
(pernah meraih Esso Wenni Award, untuk sebuah karya puisinya di tahun 2005).Karya tulisannya, baik berupa puisi, cerpen, artikel lepas sering dimuat diberbagai media di Indonesia, juga di Koran SUARA dan Tabloid APAKABAR di Hong Kong. Beberapa cerpennya juga telah diterbitkan dan dibukukan, antara lain:
-Antologi Puisi-Cerpen Esai Sastra Pembebasan [2004]
-Puisi Trilogy Dian Sastro For President-On/Off Book [2005]
-Antology Puisi untuk Munir berjudul Nubuat Labirin Luka-Sayap
-Kumpulan Cerpen ‘’Nyanyian Migran’’, Dragon Family Publisher [2006]
-Kumpulan Cerita Mini, Selasar Kenangan, AKOER [2006]
-Antology puisi 5 Kelopak Mata Bauhina [2008], bersama Kristina Dian Safitri, Tarini Sorita, Tanti, Adepunk.
Etik Juwita
(penerima anugrah Pena Kencana 2008 dengan cerpennya yang berjudul ”Bukan Yem”).
Etik Juwita, lahir di Blitar, 14 April 1982. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Hong Kong sejak tahun 2003. Tulisannya berupa opini dan cerpen pernah diterbitkan oleh SUARA, Intermezo, Apakabar, Srikandi (tabloid dan majalah yang terbit di Hong Kong), Jawa Pos, Sinar Harapan dan Harian Surya. Satu cerpennya termasuk dalam buku kumcer (kumpulan cerpen) Nyanyian Imigran terbitan DF Publishing (2006). Tergabung di komunitas menulis BMI (Buruh Migran Indonesia) di Hong Kong, Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara) dan Kafe de Costa.
Tarini Sorita
BMI asal Cirebon, selain bekerja ikut orang. Ia pun dikenal sebagai penulis puisi, juga cerpenis. Beberapa cerpennya telah dibukukan dalam ”Penari Naga Kecil” [2006]. Tarini juga beberapa kali menjuarai lomba penulisan essai , puisi dan cerpen yang digelar di HK. Beberapa karyanya pun sering muncul di media cetak.
Kristina DS
Tulisannya baik berupa cerpen, artikel sering dimuat di media baik di Indonesia mau pun di HK. Dan tentunya masih banyak lagi.
Sastrawan Ahmad Tohari, akhirnya mengubah persepsinya tentang perempuan, khususnya para BMI, yang mungkin selama ini di pandang sebelah mata, ketika sudah membaca karya sastra BMI yang dinilainya sangat bagus baik dari segi kalimat ataupun gramatikalnya [Nabonenar,2007].
Kisah Sukses Mantan BMI
Menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri, bagi sebagian orang barangkalii sebagai langkah keterpaksaan. Namun bagi sebagian yang lain adalah sebuah pilihan, karena tergiur tawaran gaji yang lumayan tinggi, dan para tenaga kerja wanita ini bisa menabung dan merencanakan masa depan sesuai obsesi yang sempat terpendam.
Diantara sejumlah cerita sedih para BMI (Buruh Migran Indonesia), ada juga cerita sukses, sebagian dari mereka berhasil menjadikan hasil jerih payahnya selama bekerja di HK untuk kegiatan investasi, sehingga menghasikan nilai tambah yang berkelanjutan. Ini memang tak lepas dari terbukanya wawasan dan cara berpikir BMI. Mereka di HK tidak hanya sekedar bekerja, namun juga belajar tentang banyak hal. Itulah sebabnya, para BMI di HK terlihat lebih menonjol/berbeda, jika dibandingkan BMI yang ada di negara lain (Malaysia, Singapura, Timur Tengah).
Dan ada beberapa mantan BMI yang telah membuktikannya sepulang dari Hong Kong, seperti :
Maria Bo Niok
Dan sebuah nama yang tidak asing lagi bagi kalangan buruh migrant indonesia di HK, yaitu Maria Bo Niok, asal desa Lipursari Leksono, Wonosobo. Maria Bo Niok mantan seorang BMI yang pernah bekerja di Taiwan dan di HK ini , namanya cukup dikenal , karena ia aktif dalam dunia tulis menuis, ia juga aktif mempopulerkan karya sastra Pembantu Rumah Tangga (PRT) , kesejumlah kota seperti di Jogjakarta, Surabaya dan Wonosobo bersama Komunitas Sastra Terminal Tiga. Maria Bo Niok juga telah menghasilkan 5 buku berupa novel. cerpen, kumpulan puisi dan buku pedoman menjadi BMI yg aman, dan semuanya telah diterbitkan. Karya karya Maria Bo Niok yg cukup populer diantaranya ada : Geliat Sang Kungyan, Ranting Sakura, Putri Kelana, Jejak Cinta Perempuan Gila dan Serpihan Cinta diatas Sejadah. Bahkan Maria Bo Niok dengan sesama mantan BMI asal Wonosobo juga membentuk organisasi koperasi ”Koperasi Srikandi” yg memberdayakan anggota dan lingkungan dan masyarakat sekitar. Merka punya kegiatan produktif seperti pemancingan, warung serba ada, ternak bebek dan kini tengah merintis kursus bahasa inggris.
Dina Nuriyati
Mantan BMI HK asal Malang, Jawa Timur, dan juga mantan seorang aktivis IMWU yg kini sedang menempuh studi S2 di Iniversitas Kassel Jerman mengaambil jurusan International Labour Organisation (ILO).
Romlah
Mantan seorang BMI HK asal Wonosobo, yang sepulang dari HK berhasil menjadi Kepala Desa di Garung- Wonosobo, Jateng.
Eko Indriatin
Mantan BMI HK asal Cianjur, Jawa Barat dan juga mantan aktivitas IMWU sepulang dari HK ia menggunakan hasil jerih payahnya untuk kuliah di fakultas hukum dan kini ia bekerja di sebuah bank swasta di Jakarta.
Juga masih ada Mei dan Narsidah, mantan BMI HK asal Purwokerto, Jawa Tengah. Yang sepulang dari HK kini aktif mengajar di sebuah SD di Karang Salam, dan juga bersama teman teman mantan BMI yang lainnya mereka membuat sebuah paguyuban untuk BMI di daerah setempat.
Tentu, masih banyak lagi BMI yang sukses yang belum terjangkau dan terekam. Namun, yang penting pengalaman para mantan BMI diatas bisa membuka cakrawala pandang BMI yang kini masih bekerja di HK untuk menyiapkan bekal sebanyak banyaknya. Karena ini serba mungkin karena di HK kemungkinan dan fasilitas itu tersedia dan kemudahan dalam meningkatkan kualitas diri.
Tunjukan bahwa kita bukan perempuan biasa.Sehingga tidak pantas diposisikan hanya sebagai”mantan babu” semata. Hidup BMI !
Terpublikasi di Tabloid Memorandum- Surabaya
Uly Giz
hongkong
*) Seorang pembantu rumahtangga di Hongkong. Juga seorang Blogger, yang mempunyai 3 blog, 2 wordpress. Dan aktif menulis di Tabloid Memorandum,di rubrik ”Kabar Dari Sebrang”.
Uly Giznawati*
http://regional.kompasiana.com/
Tenaga kerja wanita atau buruh migran adalah jutaan manusia yang mencoba mengadu nasib dengan bekerja di luar negeri, meninggalkan keluarga, saudara dan kampung halaman. Demi tercapainya kesejahteraan bagi individu, keluarga, komunitas dan negara. Seperti di Hong Kong (HK), jumlah buruh migran tiap tahunnya selalu bertambah. Dan saat ini tercatat 124.000 buruh migran yang bekerja di HK. Sebagian besar dari mereka (99 persen) bekerja disektor rumah tangga.
Salah satu faktor yang paling utama adalah para BMI di HK memiliki hak dan kewajiban yang sama dan standar kontrak kerja yang telah diatur sedemikian rupa oleh pemerintah HK, salah satunya hak untuk libur.
Jatah libur satu hari dalam seminggu, memberikan ruang pada teman teman BMI untuk melakukan banyak aktifitas. Sehingga tidak heran jika lapangan Viktoria Park mendadak berubah menjadi ”Kampung Jawa”, pada hari minggu.
Pada hari minggu, bermacam macam aktifitas dipusatkan di ”Kampung Jawa” tersebut. Ada yang hanya duduk duduk sekedar melepas lelah, makan bareng dan bersantai dengan teman teman yang biasanya satu daerah. Tapi banyak pula yang melakukan aktifitas yang sangat produktif dan kreatif, seperti melakukan aktifitas seni dan budaya, keagamaan, olahraga, kursus dan sekolah lagi, bahkan berorganisasi. Aktifitas seni dan budaya sendiri sangat beragam, ada yang menekuni tarian, seni suara juga karya sastra.
Sastra Seni di Kalangan BMI
Aktifitas sastra BMI, juga perlu mendapat apresiasi khusus. Kerena minat teman teman BMI menulis sangat tinggi. Lahirnya organisasi-organisasi buruh migran berbagai yang melakukan kerjasama dengan sesama buruh migran dan dengan organisasi buruh setempat. Demikian juga munculnya komunitas-komunitas sastra-seni di kalangan buruh migran Indonesia seperti Forum Lingkar Pena (FLP), Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara), dan Café de Costa. Di tambah kehadiran koran lokal HK yang berbahas Indonesia seperti Suara, Berita Indonesia, Tabloid Dwi Mingguan Apa Kabar, Peduli, Ekspresi, Intermezo, Rosemawar, Indonews, Indoswara. Yang mana ikut menyuburkan minat sekaligus memberikan ruang bagi para BMI ini untuk menulis.
Tercatat beberapa nama BMI yang sudah melintang di dunia tulis menulis, yang mana nama mereka sudah tidak asing lagi di kalangan BMI. Mereka menulis artikel ke media lokal (HK) dan Nasional (Indonesia). Seperti :
Mega Vristian
(pernah meraih Esso Wenni Award, untuk sebuah karya puisinya di tahun 2005).Karya tulisannya, baik berupa puisi, cerpen, artikel lepas sering dimuat diberbagai media di Indonesia, juga di Koran SUARA dan Tabloid APAKABAR di Hong Kong. Beberapa cerpennya juga telah diterbitkan dan dibukukan, antara lain:
-Antologi Puisi-Cerpen Esai Sastra Pembebasan [2004]
-Puisi Trilogy Dian Sastro For President-On/Off Book [2005]
-Antology Puisi untuk Munir berjudul Nubuat Labirin Luka-Sayap
-Kumpulan Cerpen ‘’Nyanyian Migran’’, Dragon Family Publisher [2006]
-Kumpulan Cerita Mini, Selasar Kenangan, AKOER [2006]
-Antology puisi 5 Kelopak Mata Bauhina [2008], bersama Kristina Dian Safitri, Tarini Sorita, Tanti, Adepunk.
Etik Juwita
(penerima anugrah Pena Kencana 2008 dengan cerpennya yang berjudul ”Bukan Yem”).
Etik Juwita, lahir di Blitar, 14 April 1982. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Hong Kong sejak tahun 2003. Tulisannya berupa opini dan cerpen pernah diterbitkan oleh SUARA, Intermezo, Apakabar, Srikandi (tabloid dan majalah yang terbit di Hong Kong), Jawa Pos, Sinar Harapan dan Harian Surya. Satu cerpennya termasuk dalam buku kumcer (kumpulan cerpen) Nyanyian Imigran terbitan DF Publishing (2006). Tergabung di komunitas menulis BMI (Buruh Migran Indonesia) di Hong Kong, Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara) dan Kafe de Costa.
Tarini Sorita
BMI asal Cirebon, selain bekerja ikut orang. Ia pun dikenal sebagai penulis puisi, juga cerpenis. Beberapa cerpennya telah dibukukan dalam ”Penari Naga Kecil” [2006]. Tarini juga beberapa kali menjuarai lomba penulisan essai , puisi dan cerpen yang digelar di HK. Beberapa karyanya pun sering muncul di media cetak.
Kristina DS
Tulisannya baik berupa cerpen, artikel sering dimuat di media baik di Indonesia mau pun di HK. Dan tentunya masih banyak lagi.
Sastrawan Ahmad Tohari, akhirnya mengubah persepsinya tentang perempuan, khususnya para BMI, yang mungkin selama ini di pandang sebelah mata, ketika sudah membaca karya sastra BMI yang dinilainya sangat bagus baik dari segi kalimat ataupun gramatikalnya [Nabonenar,2007].
Kisah Sukses Mantan BMI
Menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri, bagi sebagian orang barangkalii sebagai langkah keterpaksaan. Namun bagi sebagian yang lain adalah sebuah pilihan, karena tergiur tawaran gaji yang lumayan tinggi, dan para tenaga kerja wanita ini bisa menabung dan merencanakan masa depan sesuai obsesi yang sempat terpendam.
Diantara sejumlah cerita sedih para BMI (Buruh Migran Indonesia), ada juga cerita sukses, sebagian dari mereka berhasil menjadikan hasil jerih payahnya selama bekerja di HK untuk kegiatan investasi, sehingga menghasikan nilai tambah yang berkelanjutan. Ini memang tak lepas dari terbukanya wawasan dan cara berpikir BMI. Mereka di HK tidak hanya sekedar bekerja, namun juga belajar tentang banyak hal. Itulah sebabnya, para BMI di HK terlihat lebih menonjol/berbeda, jika dibandingkan BMI yang ada di negara lain (Malaysia, Singapura, Timur Tengah).
Dan ada beberapa mantan BMI yang telah membuktikannya sepulang dari Hong Kong, seperti :
Maria Bo Niok
Dan sebuah nama yang tidak asing lagi bagi kalangan buruh migrant indonesia di HK, yaitu Maria Bo Niok, asal desa Lipursari Leksono, Wonosobo. Maria Bo Niok mantan seorang BMI yang pernah bekerja di Taiwan dan di HK ini , namanya cukup dikenal , karena ia aktif dalam dunia tulis menuis, ia juga aktif mempopulerkan karya sastra Pembantu Rumah Tangga (PRT) , kesejumlah kota seperti di Jogjakarta, Surabaya dan Wonosobo bersama Komunitas Sastra Terminal Tiga. Maria Bo Niok juga telah menghasilkan 5 buku berupa novel. cerpen, kumpulan puisi dan buku pedoman menjadi BMI yg aman, dan semuanya telah diterbitkan. Karya karya Maria Bo Niok yg cukup populer diantaranya ada : Geliat Sang Kungyan, Ranting Sakura, Putri Kelana, Jejak Cinta Perempuan Gila dan Serpihan Cinta diatas Sejadah. Bahkan Maria Bo Niok dengan sesama mantan BMI asal Wonosobo juga membentuk organisasi koperasi ”Koperasi Srikandi” yg memberdayakan anggota dan lingkungan dan masyarakat sekitar. Merka punya kegiatan produktif seperti pemancingan, warung serba ada, ternak bebek dan kini tengah merintis kursus bahasa inggris.
Dina Nuriyati
Mantan BMI HK asal Malang, Jawa Timur, dan juga mantan seorang aktivis IMWU yg kini sedang menempuh studi S2 di Iniversitas Kassel Jerman mengaambil jurusan International Labour Organisation (ILO).
Romlah
Mantan seorang BMI HK asal Wonosobo, yang sepulang dari HK berhasil menjadi Kepala Desa di Garung- Wonosobo, Jateng.
Eko Indriatin
Mantan BMI HK asal Cianjur, Jawa Barat dan juga mantan aktivitas IMWU sepulang dari HK ia menggunakan hasil jerih payahnya untuk kuliah di fakultas hukum dan kini ia bekerja di sebuah bank swasta di Jakarta.
Juga masih ada Mei dan Narsidah, mantan BMI HK asal Purwokerto, Jawa Tengah. Yang sepulang dari HK kini aktif mengajar di sebuah SD di Karang Salam, dan juga bersama teman teman mantan BMI yang lainnya mereka membuat sebuah paguyuban untuk BMI di daerah setempat.
Tentu, masih banyak lagi BMI yang sukses yang belum terjangkau dan terekam. Namun, yang penting pengalaman para mantan BMI diatas bisa membuka cakrawala pandang BMI yang kini masih bekerja di HK untuk menyiapkan bekal sebanyak banyaknya. Karena ini serba mungkin karena di HK kemungkinan dan fasilitas itu tersedia dan kemudahan dalam meningkatkan kualitas diri.
Tunjukan bahwa kita bukan perempuan biasa.Sehingga tidak pantas diposisikan hanya sebagai”mantan babu” semata. Hidup BMI !
Terpublikasi di Tabloid Memorandum- Surabaya
Uly Giz
hongkong
*) Seorang pembantu rumahtangga di Hongkong. Juga seorang Blogger, yang mempunyai 3 blog, 2 wordpress. Dan aktif menulis di Tabloid Memorandum,di rubrik ”Kabar Dari Sebrang”.
Perjuangan Rakyat, Berpameran, dan ”Tak Termuat di Antologi”
HUT Ke-80 Sitor Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Rekonsiliasi itu perlu. Namun penegakan kebenaran juga tetap harus dilakukan sejalan dengan rekonsiliasi itu. Kalimat ini mengalir dari pendapat seorang Sitor Situmorang, penyair, prosais, yang terlibat dalam aktivitas dan sejarah kebangsaan, di momen pembacaan puisi dan cerpen bersama generasi terbaru.
Dengan tajuk ”Menengok ke Belakang, Mengintip ke Depan: 1965 sampai 2004” yang diadakan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin (5/10), Sitor Situmorang, tampil bersama nama lain yang tak jauh dari generasinya, Putu Oka Sukanta dan Martin Aleida. Di momen yang diadakan oleh milis Sastra Pembebasan itu, Sitor mengatakan bahwa hal terpenting adalah memperjuangkan suara rakyat dan kebenaran.
Sitor, penyair kelahiran 2 Oktober 1924 di Harianboho, Sumatera Utara ini sehari sebelumnya juga baru merayakan hari ulang tahunnya di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki. Hadir di acara itu generasi muda, dengan disiplin yang berbeda, akademisi, aktivis mahasiswa, hingga penikmat sastra.
Nama Sitor memang bukan hanya dikenal di kalangan budayawan tapi juga pergerakan Indonesia. Kehadiran rekannya di acara itu, Pramoedya Ananta Toer, menguatkan kesan, bahwa hingga kini, perjuangan tetap setia dan konsisten mereka jalani.
Inilah, salah satu sikap di antara untaian ceramah sang penyair di momen HUT-nya di Galeri Cipta II, saat berbicara tentang puisi: Akal dan bathin, pikiran dan perasaan ingin dipadukan dalam puisi, kesadaran manusiawi yang utuh, dan yang tidak dapat diuraikan, dianalisa memuaskan dengan akal semata.
Di momen ulang tahun ini, menarik juga melongok pameran yang digelar, mengetengahkan ”figur dan karya” Sitor Situmorang di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin.
Pameran seputar Sitor Situmorang yang dimulai sejak 1 Oktober itu, menggelar seputar biografi Sitor dan karyanya. Ada fotonya semasa perjuangan pergerakan nasional, masa kecil Sitor di Tanah Batak, Sitor muda dan keluarga, berita surat kabar seputar aktivitas politik dan budaya, surat-menyurat dia bersama sastrawan lain termasuk HB Yassin, tarombo (silsilah keturunan marga Situmorang-nya Sitor), juga buku-buku karya pengarang ini, yang tampak sudah usang namun bertahan oleh usia.
Yang menarik, keseluruhan karya-karya Sitor ini diletakkan di medium ”estetik” khas seorang Afrizal Malna. Afrizal jugalah yang mengusung foto-foto dan menempelkannya di kulkas tua, menempelkan foto lainnya di mesin cuci tua, menyandarkan bambu tepat di foto Sitor sehingga seolah tangan di foto itu menyentuh bambu. Ada juga karya pelukis Pande Ketut Taman, berupa pulasan hitam membentuk mawar ”tampak dari atas”, karya yang menerjemahkan puisi Sitor berjudul Mawar, yang hanya terdiri dari delapan kata: //Mawar jingga/ Mawar semesta/ Mawar nestapa/ Ciuman buta//
Sentuhan Afrizal di pameran ini, mau tak mau mengingatkan pada puisi Afrizal yang ”hiper-realis” dengan ”benda-benda yang berseliweran”, ”fantasmagoria”, ”lipatan waktu”, terasa berbenturan dengan figur dan karya seorang sastrawan pada masa ”Angkatan 1945”, yang lebih mengarah pada ”kebijakan alam dan romantisme” termasuk ”nuansa perjuangan dan kebangsaan”. Namun justru itulah, membuatnya tema paradoksal di antara keduanya itu jadi terkesan unik.
Sitor: Antologi, Teks, dan Apresian
Di Pusat Dokumentasi HB Yassin, beberapa hari setelahnya (6/10), diadakan acara bertajuk ”Dialog dengan Sitor Situmorang”. Sitor mengatakan di acara itu bahwa politik sudah lama dia jalani. Begitu pun tentang politik di dalam kesenian yang banyak macamnya. ”Termasuk ada generasi baru yang ingin dapat pengakuan pada generasi yang lebih tua,” ujarnya, sambil tersenyum.
Tapi bagi Sitor, justru sikap berpolitik itu lebih baik daripada ”berpura-pura tak berpolitik padahal berpolitik”. Ungkapan yang perlu dimengerti – bisa saja mengarah pada perbedaan yang pernah terjadi puluhan tahun silam. ”Itu sikap saya, termasuk ketika saya berhadapan dengan Soeharto dan rezim Orde Barunya,” ujarnya.
Sitor bahkan mengatakan di dalam politik kesenian, antologinya sempat tak diikutsertakan pada generasi yang sama dengan dirinya, tanpa pemberitahuan, tanpa mengajak debat dulu tentang kualitas karyanya atau memilih beberapa karya yang terbaik saja dari dirinya. Sama sekali pengujian itu tak dilakukan. ”Jadi bukan karena nilai karya, maka itu semua jadi (membuat saya punya) persangkaan-persangkaan. Tahunya ada (seniman di baliknya) masih layani keinginan ‘orang Orba’ tertentu,” ujar Sitor, seperti ingin membeberkan kembali kejadian masa lalunya itu.
Itu hal yang bagi Sitor, sesuatu yang rendah dan kekanak-kanakan, berupa kecemburuan. Memang, saat itu tak bisa diingkari bahwa karya Sitor sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa internasional, selain juga dia masuk dalam sejarah sastra periode 1945 dan 1966, suatu pembicaraan yang sempat terangkat dalam tulisan Ajip Rosidi (lewat bukunya Kapankah Kesusasteraan Indonesia Lahir). ”Memang perilaku itu bahkan tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh dunia,” ujar Sitor, membubuhkan.
Menurut Sitor lagi, secara pribadi, dia tak pernah ada ketakutan tidak diakui atau ikhlas mengakui kelebihan orang lain. Dia terus berkarya 1.000 sajak pun, belum tentu semua sama butuhnya (tergantung minat dan selera pembaca, red). Menurutnya, dia bahkan bisa membingungkan orang-orang yang ”tanggung-tanggung” referensi sastranya, sehingga ”sajak politik” saya lantas dibilang ”bukan puisi”. Bahkan, ada yang mengatakan, bahwa setelah Sitor berpolitik, dia jadi malu membaca karya Sitor yang berpolitik itu. Saat Sitor menulis tentang Marsinah (buruh yang terbunuh, red), lantas dibilang memalukan karena Sitor membuat sajak politik tentang Marsinah. ”Saya bahkan dibilang melacur kalau bikin sajak semacam itu. Bagi saya, orang semacam itu ”beda” budaya dan beda dunianya dengan saya. Untuk itu, saya tak perlu masuk antologi untuk orang yang kayak begitu!” ujarnya, berapi-api.
Dia kemudian memaparkan bahwa sekalipun tak masuk antologi, nyatanya pada generasi setelahnya, orang masih mengingat dirinya. Dia mencontohkan saat dirinya datang ke acara Cakrawala Sastra Indonesia (14-17 September 2004 yang lalu), sebagai undangan dan bukan sebagai peserta. Dia akan menyaksikan mereka baca. ”Saya yakin saya belum kenal mereka dan mereka belum kenal saya. Tapi ternyata malah tegur saya, ‘Wah Pak Sitor…’ lalu tet..tett..tett… dia ngomong banyak sambil mengutip kalimat yang dikutip dari sajak saya. Tidak ada yang lebih memuaskan dan membahagiakan saya daripada suasana pertemuan semacam itu,” ujarnya. Bagi Sitor itu lebih daripada sekedar antologi, karena sifat pertemuan kali ini tak formal dan spontan, dan lebih tulus.
Dengan kisah pertemuan dengan generasi ”penyair generasi sekarang” itu, dia kemudian menghubungkannya dengan pendapat seorang Fuad Hassan yang pernah melontarkan bahwa hubungan antargenerasi sastra di Indonesia sudah terputus. ”Sebenarnya tidak Itu tak mungkin, buktinya, seniman dari Bali dan Bugis yang belum pernah bergaul dengan saya bisa tahu bahkan hafal sajak saya,” ujar penyair dan esais ini. Selamat ulang tahun, Bung Sitor.
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Rekonsiliasi itu perlu. Namun penegakan kebenaran juga tetap harus dilakukan sejalan dengan rekonsiliasi itu. Kalimat ini mengalir dari pendapat seorang Sitor Situmorang, penyair, prosais, yang terlibat dalam aktivitas dan sejarah kebangsaan, di momen pembacaan puisi dan cerpen bersama generasi terbaru.
Dengan tajuk ”Menengok ke Belakang, Mengintip ke Depan: 1965 sampai 2004” yang diadakan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin (5/10), Sitor Situmorang, tampil bersama nama lain yang tak jauh dari generasinya, Putu Oka Sukanta dan Martin Aleida. Di momen yang diadakan oleh milis Sastra Pembebasan itu, Sitor mengatakan bahwa hal terpenting adalah memperjuangkan suara rakyat dan kebenaran.
Sitor, penyair kelahiran 2 Oktober 1924 di Harianboho, Sumatera Utara ini sehari sebelumnya juga baru merayakan hari ulang tahunnya di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki. Hadir di acara itu generasi muda, dengan disiplin yang berbeda, akademisi, aktivis mahasiswa, hingga penikmat sastra.
Nama Sitor memang bukan hanya dikenal di kalangan budayawan tapi juga pergerakan Indonesia. Kehadiran rekannya di acara itu, Pramoedya Ananta Toer, menguatkan kesan, bahwa hingga kini, perjuangan tetap setia dan konsisten mereka jalani.
Inilah, salah satu sikap di antara untaian ceramah sang penyair di momen HUT-nya di Galeri Cipta II, saat berbicara tentang puisi: Akal dan bathin, pikiran dan perasaan ingin dipadukan dalam puisi, kesadaran manusiawi yang utuh, dan yang tidak dapat diuraikan, dianalisa memuaskan dengan akal semata.
Di momen ulang tahun ini, menarik juga melongok pameran yang digelar, mengetengahkan ”figur dan karya” Sitor Situmorang di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin.
Pameran seputar Sitor Situmorang yang dimulai sejak 1 Oktober itu, menggelar seputar biografi Sitor dan karyanya. Ada fotonya semasa perjuangan pergerakan nasional, masa kecil Sitor di Tanah Batak, Sitor muda dan keluarga, berita surat kabar seputar aktivitas politik dan budaya, surat-menyurat dia bersama sastrawan lain termasuk HB Yassin, tarombo (silsilah keturunan marga Situmorang-nya Sitor), juga buku-buku karya pengarang ini, yang tampak sudah usang namun bertahan oleh usia.
Yang menarik, keseluruhan karya-karya Sitor ini diletakkan di medium ”estetik” khas seorang Afrizal Malna. Afrizal jugalah yang mengusung foto-foto dan menempelkannya di kulkas tua, menempelkan foto lainnya di mesin cuci tua, menyandarkan bambu tepat di foto Sitor sehingga seolah tangan di foto itu menyentuh bambu. Ada juga karya pelukis Pande Ketut Taman, berupa pulasan hitam membentuk mawar ”tampak dari atas”, karya yang menerjemahkan puisi Sitor berjudul Mawar, yang hanya terdiri dari delapan kata: //Mawar jingga/ Mawar semesta/ Mawar nestapa/ Ciuman buta//
Sentuhan Afrizal di pameran ini, mau tak mau mengingatkan pada puisi Afrizal yang ”hiper-realis” dengan ”benda-benda yang berseliweran”, ”fantasmagoria”, ”lipatan waktu”, terasa berbenturan dengan figur dan karya seorang sastrawan pada masa ”Angkatan 1945”, yang lebih mengarah pada ”kebijakan alam dan romantisme” termasuk ”nuansa perjuangan dan kebangsaan”. Namun justru itulah, membuatnya tema paradoksal di antara keduanya itu jadi terkesan unik.
Sitor: Antologi, Teks, dan Apresian
Di Pusat Dokumentasi HB Yassin, beberapa hari setelahnya (6/10), diadakan acara bertajuk ”Dialog dengan Sitor Situmorang”. Sitor mengatakan di acara itu bahwa politik sudah lama dia jalani. Begitu pun tentang politik di dalam kesenian yang banyak macamnya. ”Termasuk ada generasi baru yang ingin dapat pengakuan pada generasi yang lebih tua,” ujarnya, sambil tersenyum.
Tapi bagi Sitor, justru sikap berpolitik itu lebih baik daripada ”berpura-pura tak berpolitik padahal berpolitik”. Ungkapan yang perlu dimengerti – bisa saja mengarah pada perbedaan yang pernah terjadi puluhan tahun silam. ”Itu sikap saya, termasuk ketika saya berhadapan dengan Soeharto dan rezim Orde Barunya,” ujarnya.
Sitor bahkan mengatakan di dalam politik kesenian, antologinya sempat tak diikutsertakan pada generasi yang sama dengan dirinya, tanpa pemberitahuan, tanpa mengajak debat dulu tentang kualitas karyanya atau memilih beberapa karya yang terbaik saja dari dirinya. Sama sekali pengujian itu tak dilakukan. ”Jadi bukan karena nilai karya, maka itu semua jadi (membuat saya punya) persangkaan-persangkaan. Tahunya ada (seniman di baliknya) masih layani keinginan ‘orang Orba’ tertentu,” ujar Sitor, seperti ingin membeberkan kembali kejadian masa lalunya itu.
Itu hal yang bagi Sitor, sesuatu yang rendah dan kekanak-kanakan, berupa kecemburuan. Memang, saat itu tak bisa diingkari bahwa karya Sitor sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa internasional, selain juga dia masuk dalam sejarah sastra periode 1945 dan 1966, suatu pembicaraan yang sempat terangkat dalam tulisan Ajip Rosidi (lewat bukunya Kapankah Kesusasteraan Indonesia Lahir). ”Memang perilaku itu bahkan tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh dunia,” ujar Sitor, membubuhkan.
Menurut Sitor lagi, secara pribadi, dia tak pernah ada ketakutan tidak diakui atau ikhlas mengakui kelebihan orang lain. Dia terus berkarya 1.000 sajak pun, belum tentu semua sama butuhnya (tergantung minat dan selera pembaca, red). Menurutnya, dia bahkan bisa membingungkan orang-orang yang ”tanggung-tanggung” referensi sastranya, sehingga ”sajak politik” saya lantas dibilang ”bukan puisi”. Bahkan, ada yang mengatakan, bahwa setelah Sitor berpolitik, dia jadi malu membaca karya Sitor yang berpolitik itu. Saat Sitor menulis tentang Marsinah (buruh yang terbunuh, red), lantas dibilang memalukan karena Sitor membuat sajak politik tentang Marsinah. ”Saya bahkan dibilang melacur kalau bikin sajak semacam itu. Bagi saya, orang semacam itu ”beda” budaya dan beda dunianya dengan saya. Untuk itu, saya tak perlu masuk antologi untuk orang yang kayak begitu!” ujarnya, berapi-api.
Dia kemudian memaparkan bahwa sekalipun tak masuk antologi, nyatanya pada generasi setelahnya, orang masih mengingat dirinya. Dia mencontohkan saat dirinya datang ke acara Cakrawala Sastra Indonesia (14-17 September 2004 yang lalu), sebagai undangan dan bukan sebagai peserta. Dia akan menyaksikan mereka baca. ”Saya yakin saya belum kenal mereka dan mereka belum kenal saya. Tapi ternyata malah tegur saya, ‘Wah Pak Sitor…’ lalu tet..tett..tett… dia ngomong banyak sambil mengutip kalimat yang dikutip dari sajak saya. Tidak ada yang lebih memuaskan dan membahagiakan saya daripada suasana pertemuan semacam itu,” ujarnya. Bagi Sitor itu lebih daripada sekedar antologi, karena sifat pertemuan kali ini tak formal dan spontan, dan lebih tulus.
Dengan kisah pertemuan dengan generasi ”penyair generasi sekarang” itu, dia kemudian menghubungkannya dengan pendapat seorang Fuad Hassan yang pernah melontarkan bahwa hubungan antargenerasi sastra di Indonesia sudah terputus. ”Sebenarnya tidak Itu tak mungkin, buktinya, seniman dari Bali dan Bugis yang belum pernah bergaul dengan saya bisa tahu bahkan hafal sajak saya,” ujar penyair dan esais ini. Selamat ulang tahun, Bung Sitor.
“Tuk”, Menziarahi (Legenda) Sastra Jawa
Ardus M Sawega, Sonya Helen Sinombor
http://cetak.kompas.com/
”Ana tangis layung-layung/Tangise wong wedi mati/Gedongana, kuncenana/Wong mati mangsa wurunga….”
Sepenggal Ketawang Soyung yang dilagukan dengan nada pilu di bagian awal pementasan lakon ”Tuk” —sebuah repertoar berbahasa Jawa yang dipentaskan pada 26-28 Juni 2008 di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo—itu seakan mengentak setiap penghayat yang memahami filsafat yang terkandung di dalamnya.
Terjemahan tembang di atas: Ada tangis terdengar samar/Tangis orang yang takut mati/Meski dikepung gedung, meski digembok serapat apa pun/Maut mustahil dicegah…. Tembang ageng serupa requiem atau nyanyian kematian itu hanya pembuka, nyaris tak ada kaitan langsung dengan adegan-adegan berikutnya yang penuh gebrakan dan cerocos caci-maki ala Jawa.
Lakon ”Tuk” yang selama tiga malam dipentaskan oleh Teater Lungid Solo tak lain adalah lakon sama yang beberapa kali dipentaskan oleh kelompok Teater Gapit, sekitar tahun 1980-1990. Bahkan, sebagian besar personel pemainnya pun adalah pemain Teater Gapit: Pelok Sutrisno, Budi Bayek, Wahyu Cunong, Djarot B Santoso, Cempluk Lestari, dan lain-lain.
”Teman-teman pendukung Teater Gapit ingin lepas dari bayang-bayang Kenthut (Bambang Widoyo SP, pendiri, penulis naskah, dan sutradara Teater Gapit). Mereka ingin membuat produksi baru, bukan dengan lakon-lakon yang ditulis Kenthut. Biarlah nama Gapit menyatu dengan Kenthut, tetapi kami akan memulai debut baru dalam pementasan teater berbahasa Jawa pada masa mendatang,” papar Budi Bayek, pimpinan Teater Lungid.
Pernyataan Budi Bayek itu bisa memancing debat panjang, tetapi tulisan kali ini hanya mau membuat refleksi tentang keberadaan Teater Gapit atau lebih tepat repertoar-repertoar karya mendiang Bambang Widoyo SP alias Kenthut (1957-1996). Setidaknya ada tujuh lakon telah ditulis Kenthut sejak 1982, yaitu ”Suksukpeng”, ”Brug”, ”Rol”, ”Leng”, ”Tuk”, ”Dom”, dan ”Reh”. Lakon terakhir, ”Luh”, tak sempat dia selesaikan karena Kenthut keburu menghadap Sang Pencipta akibat sakit yang bertahun ia derita.
Ode kaum miskin
Pementasan ”Tuk” di Taman Buadaya Jawa Tengah lalu memang bukan pentas pertama, melainkan sebuah repetisi—hanya dengan nama kelompok berbeda. Tak ada perubahan sedikit pun dari lakon yang ditulis Kenthut pada tahun 1992. Setelah 10 tahun absen, para pemain (lama) masih menunjukkan stamina yang sama. Dialog-dialognya masih terasa segar dan mengundang gelak tawa, berikut pisuhan (makian) spontan khas masyarakat marginal.
Dari tujuh lakon karya Kenthut, ”Tuk” mungkin bisa disebut sebagai masterpiece. Lakon yang berdurasi sekitar 2 jam 15 menit ini bercerita tentang nasib wong cilik dan kaum miskin yang tinggal dalam lingkungan magersaren. Magersaren adalah permukiman rumah-rumah sempit sewaan yang berjejalan dalam satu areal.
Para penghuni magersaren itu antara lain terdiri atas tukang jahit, bakul pasar, preman, pengangguran, tukang kerok, tukang tambal ban, dan pedagang kelontong keliling. Mereka disatukan oleh nasib sebagai orang kecil, marginal, menghadapi kekuasaan pemilik magersari dan pemilik modal besar yang konon hendak menggusur areal magersaren tersebut untuk dijadikan pertokoan modern. Sebuah tema yang akan tetap ”abadi” dalam persoalan perkotaan kita.
Kelompok marginal ini oleh Kenthut diletakkan dalam latar dunia pikir atau world view Jawa yang sedikit banyak diwarnai oleh mistikisme dan mitologi wayang yang hidup hingga sekarang. Salah satunya adalah pandangan—diwakili tokoh perempuan tua Mbah Kawit—tentang sumur atau tuk sebagai sumber kehidupan, yang kebetulan berada di tengah lingkungan magersaren.
Ketika sumber kehidupan itu ternoda lantaran dikencingi oleh tokoh preman Soleman alias Lisman Lempit dan jadi lokasi perselingkuhan Menik (anak pemilik magersari), penunggu sumur pun murka. Magersaren itu diamuk api dan terbakar habis. Bersamaan dengan itu, Mbak Kawit, janda tua tanpa anak yang menjadi panutan komunitas ini, mengembuskan napas terakhir. Pementasan panjang yang menghabiskan napas itu pun berakhir.
Selain ”Tuk”, repertoar-repertoar Gapit umumnya menyuarakan nasib orang-orang kecil yang tertindas, sebuah ode atau nyanyian sedih bagi kaum miskin. ”Suksukpeng” misalnya bercerita tentang masa senja seorang juragan kesenian, ”Rol” bercerita tentang kecemasan para preman dan gali akan ancaman penembakan misterius atau ”petrus” yang dilakukan aparat keamanan, ”Leng” cerita tentang pembangunan pabrik yang menjadi simbol kapitalisme yang menindas, atau ”Dom” cerita tentang nasib masyarakat yang terbuang oleh stigma yang dilakukan pemerintah.
Karena itu, tak heran bila ”ideologi” Bambang Widoyo itu terekspresikan lewat ”orasi” para tokoh dalam lakonnya. Ekspresi orang tertindas yang marah dan tak berdaya sehingga sering terkesan bertele-tele.
Legenda
Nilai lebih Teater Gapit dengan lakon-lakon yang ditulis Bambang Widoyo SP justru karena ia ditulis dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa, sebagaimana bahasa daerah atau bahasa ibu lain yang dalam konteks kebudayaan Indonesia, dilaporkan mengalami penggerusan alias terancam tidak populer di tengah masyarakat penuturnya sendiri.
Pilihan penggunaan media bahasa Jawa jelas bukan sekadar romantisme. Dalam pementasan Teater Gapit yang melibatkan para pendukung—pada tahun 1980-an terdiri atas mahasiswa Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta—yang amat akrab dengan elemen-elemen seni budaya tradisi Jawa, betul-betul telah memperkaya seluruh pementasan. Mereka bukan hanya sebagai pemain, melainkan juga sebagai kontributor yang konkret sejak proses penulisan naskah hingga pemanggungan karena masing-masing memiliki latar keterampilan yang memadai, seperti karawitan, pedalangan, dan tari.
Oleh karena itu, pementasan Teater Gapit terasa utuh dan memperlihatkan kekompakan dari setiap unsur pemanggungannya. Ini mungkin yang membedakannya dengan pementasan kelompok teater lain. Sering kali, pada lakon-lakon Gapit kita menemukan dunia pikir Jawa yang mistik, seperti pada Ketawang Soyung yang dikutip di awal tulisan. Ini memperlihatkan kedalaman Bambang Widoyo pada ajaran spiritual ala Kejawen.
Pilihan Teater Gapit menggunakan media bahasa Jawa lisan atau sehari-hari yang kadang vulgar bagi telinga priayi, pasti bukan sekadar berangkat dari romantisme. Ini sebuah pilihan akan sebuah genre yang berpretensi bahwa sastra Jawa (modern) akan bisa diterima di tengah masyarakat (Jawa) yang selalu berubah. Inilah yang membedakannya dengan bentuk sandiwara berbahasa Jawa lainnya, baik di panggung maupun radio.
Dalam konteks perjalanan dan perkembangan sastra Jawa, Teater Gapit dan lakon-lakonnya bisa disebut sebagai ”metamorfosis” tradisi kapujanggan yang pernah hidup di Surakarta. Seperti kita tahu, pada kurun pertengahan abad ke-19, Surakarta menjadi mercusuar sastra Jawa, yang adiluhung lewat sejumlah pujangga, seperti RNg Ronggowarsito dan KGPAA Mangkunegara IV. Namun, tradisi itu telah lama ”putus” dan kini tinggal legenda.
Sejak lebih dari 10 tahun, sebagian kalangan pemerhati memprihatinkan perkembangan sastra Jawa yang dewasa ini bisa dibilang ”mati suri” atau antara ada dan tiada. Namun, anehnya, fenomena Teater Gapit dengan lakon-lakon yang ditulis oleh Bambang Widoyo tidak pernah menjadi bahan telaah di tengah masyarakat sastra dan bahasa Jawa. Teater Gapit berhenti semenjak meninggalnya Bambang pada tahun 1996.
Lalu, Gapit seolah menjadi legenda dan tinggal sebagai kenangan. Maka, jangan-jangan pementasan ”Tuk” di TBJT yang lalu menjadi semacam ”peziarahan” belaka. Entah ziarah pada Gapit (Bambang Widoyo) atau pada sastra Jawa.…
http://cetak.kompas.com/
”Ana tangis layung-layung/Tangise wong wedi mati/Gedongana, kuncenana/Wong mati mangsa wurunga….”
Sepenggal Ketawang Soyung yang dilagukan dengan nada pilu di bagian awal pementasan lakon ”Tuk” —sebuah repertoar berbahasa Jawa yang dipentaskan pada 26-28 Juni 2008 di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo—itu seakan mengentak setiap penghayat yang memahami filsafat yang terkandung di dalamnya.
Terjemahan tembang di atas: Ada tangis terdengar samar/Tangis orang yang takut mati/Meski dikepung gedung, meski digembok serapat apa pun/Maut mustahil dicegah…. Tembang ageng serupa requiem atau nyanyian kematian itu hanya pembuka, nyaris tak ada kaitan langsung dengan adegan-adegan berikutnya yang penuh gebrakan dan cerocos caci-maki ala Jawa.
Lakon ”Tuk” yang selama tiga malam dipentaskan oleh Teater Lungid Solo tak lain adalah lakon sama yang beberapa kali dipentaskan oleh kelompok Teater Gapit, sekitar tahun 1980-1990. Bahkan, sebagian besar personel pemainnya pun adalah pemain Teater Gapit: Pelok Sutrisno, Budi Bayek, Wahyu Cunong, Djarot B Santoso, Cempluk Lestari, dan lain-lain.
”Teman-teman pendukung Teater Gapit ingin lepas dari bayang-bayang Kenthut (Bambang Widoyo SP, pendiri, penulis naskah, dan sutradara Teater Gapit). Mereka ingin membuat produksi baru, bukan dengan lakon-lakon yang ditulis Kenthut. Biarlah nama Gapit menyatu dengan Kenthut, tetapi kami akan memulai debut baru dalam pementasan teater berbahasa Jawa pada masa mendatang,” papar Budi Bayek, pimpinan Teater Lungid.
Pernyataan Budi Bayek itu bisa memancing debat panjang, tetapi tulisan kali ini hanya mau membuat refleksi tentang keberadaan Teater Gapit atau lebih tepat repertoar-repertoar karya mendiang Bambang Widoyo SP alias Kenthut (1957-1996). Setidaknya ada tujuh lakon telah ditulis Kenthut sejak 1982, yaitu ”Suksukpeng”, ”Brug”, ”Rol”, ”Leng”, ”Tuk”, ”Dom”, dan ”Reh”. Lakon terakhir, ”Luh”, tak sempat dia selesaikan karena Kenthut keburu menghadap Sang Pencipta akibat sakit yang bertahun ia derita.
Ode kaum miskin
Pementasan ”Tuk” di Taman Buadaya Jawa Tengah lalu memang bukan pentas pertama, melainkan sebuah repetisi—hanya dengan nama kelompok berbeda. Tak ada perubahan sedikit pun dari lakon yang ditulis Kenthut pada tahun 1992. Setelah 10 tahun absen, para pemain (lama) masih menunjukkan stamina yang sama. Dialog-dialognya masih terasa segar dan mengundang gelak tawa, berikut pisuhan (makian) spontan khas masyarakat marginal.
Dari tujuh lakon karya Kenthut, ”Tuk” mungkin bisa disebut sebagai masterpiece. Lakon yang berdurasi sekitar 2 jam 15 menit ini bercerita tentang nasib wong cilik dan kaum miskin yang tinggal dalam lingkungan magersaren. Magersaren adalah permukiman rumah-rumah sempit sewaan yang berjejalan dalam satu areal.
Para penghuni magersaren itu antara lain terdiri atas tukang jahit, bakul pasar, preman, pengangguran, tukang kerok, tukang tambal ban, dan pedagang kelontong keliling. Mereka disatukan oleh nasib sebagai orang kecil, marginal, menghadapi kekuasaan pemilik magersari dan pemilik modal besar yang konon hendak menggusur areal magersaren tersebut untuk dijadikan pertokoan modern. Sebuah tema yang akan tetap ”abadi” dalam persoalan perkotaan kita.
Kelompok marginal ini oleh Kenthut diletakkan dalam latar dunia pikir atau world view Jawa yang sedikit banyak diwarnai oleh mistikisme dan mitologi wayang yang hidup hingga sekarang. Salah satunya adalah pandangan—diwakili tokoh perempuan tua Mbah Kawit—tentang sumur atau tuk sebagai sumber kehidupan, yang kebetulan berada di tengah lingkungan magersaren.
Ketika sumber kehidupan itu ternoda lantaran dikencingi oleh tokoh preman Soleman alias Lisman Lempit dan jadi lokasi perselingkuhan Menik (anak pemilik magersari), penunggu sumur pun murka. Magersaren itu diamuk api dan terbakar habis. Bersamaan dengan itu, Mbak Kawit, janda tua tanpa anak yang menjadi panutan komunitas ini, mengembuskan napas terakhir. Pementasan panjang yang menghabiskan napas itu pun berakhir.
Selain ”Tuk”, repertoar-repertoar Gapit umumnya menyuarakan nasib orang-orang kecil yang tertindas, sebuah ode atau nyanyian sedih bagi kaum miskin. ”Suksukpeng” misalnya bercerita tentang masa senja seorang juragan kesenian, ”Rol” bercerita tentang kecemasan para preman dan gali akan ancaman penembakan misterius atau ”petrus” yang dilakukan aparat keamanan, ”Leng” cerita tentang pembangunan pabrik yang menjadi simbol kapitalisme yang menindas, atau ”Dom” cerita tentang nasib masyarakat yang terbuang oleh stigma yang dilakukan pemerintah.
Karena itu, tak heran bila ”ideologi” Bambang Widoyo itu terekspresikan lewat ”orasi” para tokoh dalam lakonnya. Ekspresi orang tertindas yang marah dan tak berdaya sehingga sering terkesan bertele-tele.
Legenda
Nilai lebih Teater Gapit dengan lakon-lakon yang ditulis Bambang Widoyo SP justru karena ia ditulis dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa, sebagaimana bahasa daerah atau bahasa ibu lain yang dalam konteks kebudayaan Indonesia, dilaporkan mengalami penggerusan alias terancam tidak populer di tengah masyarakat penuturnya sendiri.
Pilihan penggunaan media bahasa Jawa jelas bukan sekadar romantisme. Dalam pementasan Teater Gapit yang melibatkan para pendukung—pada tahun 1980-an terdiri atas mahasiswa Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta—yang amat akrab dengan elemen-elemen seni budaya tradisi Jawa, betul-betul telah memperkaya seluruh pementasan. Mereka bukan hanya sebagai pemain, melainkan juga sebagai kontributor yang konkret sejak proses penulisan naskah hingga pemanggungan karena masing-masing memiliki latar keterampilan yang memadai, seperti karawitan, pedalangan, dan tari.
Oleh karena itu, pementasan Teater Gapit terasa utuh dan memperlihatkan kekompakan dari setiap unsur pemanggungannya. Ini mungkin yang membedakannya dengan pementasan kelompok teater lain. Sering kali, pada lakon-lakon Gapit kita menemukan dunia pikir Jawa yang mistik, seperti pada Ketawang Soyung yang dikutip di awal tulisan. Ini memperlihatkan kedalaman Bambang Widoyo pada ajaran spiritual ala Kejawen.
Pilihan Teater Gapit menggunakan media bahasa Jawa lisan atau sehari-hari yang kadang vulgar bagi telinga priayi, pasti bukan sekadar berangkat dari romantisme. Ini sebuah pilihan akan sebuah genre yang berpretensi bahwa sastra Jawa (modern) akan bisa diterima di tengah masyarakat (Jawa) yang selalu berubah. Inilah yang membedakannya dengan bentuk sandiwara berbahasa Jawa lainnya, baik di panggung maupun radio.
Dalam konteks perjalanan dan perkembangan sastra Jawa, Teater Gapit dan lakon-lakonnya bisa disebut sebagai ”metamorfosis” tradisi kapujanggan yang pernah hidup di Surakarta. Seperti kita tahu, pada kurun pertengahan abad ke-19, Surakarta menjadi mercusuar sastra Jawa, yang adiluhung lewat sejumlah pujangga, seperti RNg Ronggowarsito dan KGPAA Mangkunegara IV. Namun, tradisi itu telah lama ”putus” dan kini tinggal legenda.
Sejak lebih dari 10 tahun, sebagian kalangan pemerhati memprihatinkan perkembangan sastra Jawa yang dewasa ini bisa dibilang ”mati suri” atau antara ada dan tiada. Namun, anehnya, fenomena Teater Gapit dengan lakon-lakon yang ditulis oleh Bambang Widoyo tidak pernah menjadi bahan telaah di tengah masyarakat sastra dan bahasa Jawa. Teater Gapit berhenti semenjak meninggalnya Bambang pada tahun 1996.
Lalu, Gapit seolah menjadi legenda dan tinggal sebagai kenangan. Maka, jangan-jangan pementasan ”Tuk” di TBJT yang lalu menjadi semacam ”peziarahan” belaka. Entah ziarah pada Gapit (Bambang Widoyo) atau pada sastra Jawa.…
Sajak-Sajak Wahyu Prasetya
http://www.sastra-indonesia.com/
Harapan Rumah Petak Rojali
tak ada apa apa di sini. televisi, koran,
dan sarapan pagi maupun gelas kopi.
di depan meja kayu, kami biasa menguraikan
masa lalu dan masa depan di atas
telapak tangan masing masing.
pagi hingga petang udara tak pernah
berganti, selain dengus itu saja.
tak ada pintu dengan nasi dan krupuk
hanya jari jari tangan mengetuk ngetuk
hari demi hari yang berlompatan itu.
bagai mengajak siang hari untuk memeras
pikirannya menjadi kepulan debu.
dan di sini pula kota besar, kota kecil
tumpah antara cinta dan benci.
hanya guratan guratan huruf di benak,
mengantar nasib keluar pintu.
mengatakan pada diri sendiri, hari ini
iklan untuk hidup lebih manusiawi,
makan 3 kali sehari dan gizi dan kerja
buat ongkos bermimpi mencaci makimu!
tak ada siapa siapa selain gerit jendela.
menciptakan musik dari kehampaan,
melukiskan kekasih dan mata pisau,
kami membayangkan manusia yang terbelah
seperti dinding dan atap seng ini,
betapa rapuhnya di hadapan buldozer,
di depan ketakberdayaan yang menakjubkan.
Tambak, 1992-1993
Wish You were Here*
bagi: umbu landu paranggi
di mana mana tangan itu menggali jurang untuk kekosongan
dengan lengan yang terkikis waktu, menyerahkan hujan pada
laut, hingga badai memutihkan ubun ubun sendiri
begitu tak ada yang harus diperihkan, ketika manusia runtuh
masih saja menyelinap, dari bayang herbert marcuse, ronggo warsito
atau sidharta gautama,
kemudian berombak ke arah angin yang meniupkan usia itu
kau yang kenyang mendengar kelopak mawar jatuh, menahan tangis
seperti ombak atau rimba dalam dirimu
apa kau juga menghapal pidato dari televisi dan sandiwara
kekuasaan jaman ini
mungkin kau tak perlu belati yang terhunus di balik dadamu
hanya rindu kepada semesta untuk mengembalikan pada nol
kalau nanti maut menyergap, antara kebiruan langit dan
kelelawar, aku kira sudah saatnya peradaban aids ini
membuat dunia mengangkang dan sekarat
sebait lagi, kau baca rembulan yang turun ke laut,
gedeburnya kau kemanakan?
selain pada hening. kebisuan jari jari tangan yang melambai
di situ barangkali kita berhadapan,
mengelus keranda.
Malang, 1993-1994
*judul lagu Pink Floyd.
Sesudah Gelas Pecah
sebelum kau selesaikan lagu terakhir telinga itu terlepas
asap rokok yang membakar seorang teman dari kertas
berhadapan dengan meja yang menyediakan nafas,
juga janji memabukan, supaya tak mengubah diri siapa
siapa
selain musik yang berjatuhan menimpa kedua sepatumu
dan melemparkan kepingan jari jari tangan ke arah jendela
memecahkan genggaman kita di sana
habiskanlah malam hari yang mengisi botol atau udara
jam berapa sekarang? “aku sudah melukai bayangan ini”
kemudian seorang teman dari pecahan kaca, gelas, cermin,
bahkan ia berasal dari angin yang kau tiup lewat keluhan
sampai kini aku tak ingin menceritakan kepada orang lain
sejak cucuran urat nadi itu mengalirkanku sebagai kran
dan menceburkan benih gerimis airmata manusia biasa
sebelum kau selesaikan lagu terakhir leher itu terkulai
ada yang ingin menemukannya
ada yang mencarinya. ada di manakah?
Malang, 1994
More Fool Me*
buat: beni setia
menemukan ketenangan jalan dalam wajah debu
masihkah kecermatan bayang bayang itu menangkap keberanian
atau kemuliaan dari cinta yang gusar oleh ajakan peradaban
daya hidupku selalu tak serupa dengan kelembutan di dadamu
karena kita harus memilih jalan menuju pintu, jendela rumah
atau hanya mencengkram abjad untuk dilemparkan ke angin
aku dan kau mungkin bersalah untuk rasa mengalah ini
dengan kearifan yang menuntun kegelapan di sini
padahal, lihatlah, kukepal pedih luka dengan kasar
kurebut dari ratapan anak anak yang kujumpai dalam hatiku
lalu apa lagi yang akan kita usung dari hidup ini?
dunia di luar mimpi adalah cercaan, siksaan, hinaan yang diciptakan
peperangan, teror atau kemerdekaan
siapapun bisa membaca dan tak perduli apakah manusia sekarang
sekarat dalam diri sendiri,
apakah manusia sekarang lebih teliti dalam menentukan impian
hasrat jaman berlarian.
mengejar perih yang pernah kita lagukan kemarin
ketika kerikil kita lepas dari genggaman
di kolam manapun, riaknya menjelma nyanyian.
Malang, 1994
*judul lagu Genesis
Urbanisasi dari Meja Makan
bagi: goenawan muhamad
anak anakku menggelar peta dunia di wajahku
mencari syair samudra dan reruntuhan perang
juga menebak dongeng sebuah porselin yang fana,
ketika mereka jumpai alamat rumahnya sendiri,
dengan mengepal pisau lipat di sela tawanya
entah, aku harus berkata apa,
musik mozart, chopin atau keroncong kini jadi irama aneh
mereka mencari dalam diriku, siapa yang menelan impiannya
karena di sekolah, mereka belajar menghafal dan mengeja puisi
ketika rumah menjadi tumpah ke arah yang tak menentu
aku menahannya dengan lengan, jari jari dan lutut,
tapi jaman membentak dari spiker yang mereka keraskan
agar melahirkan gempuran dan mencopot telinga bersama
aku kini sudah terbiasa. bersembunyi di buku, koran atau
bisikan tengah malam. setiap gelap menghampiriku
dengan mereka, kulihat juga asyik menjalin bayang bayang
tentang gaya hidup amerika atau manapun
begitu aku memulai menulis sebaris kalimat
tentang makan pagi, malam, siang juga dalam tidur
sesaat ingin kutaruh batu di meja ini, di kepala mereka,
juga di dada dan tenggorokannya
dan memecah porselin yang menyimpan dongengan dunia modern.
1995
Kemerdekaan dalam Diary Anni Fitria
kesenyapan yang menjauh dari keriuhan kota serta mikrophon,
menjauh dari berita dan gerutu,
Allahuakbar,
huruf tak pernah sampai, tarji tak juga sampai,
chairil anwar yang menjabat bung karno, menjabat arti luka parah
dan kini, aku menelan ectasy, menelan diskotik, menelan obrolan serta
para demonstran yang entah sedang mencupakan bahasa apa
Allahuakbar.
rendra tak sampai, taufiq ismail tak juga sampai, juga kalian hai!
selain di spiker dengan tangan yang terkepal lemas dan mulut berbusa
katakan pada kalimat dari huruf hurufku ini, apa arti kemerdekaan kini?
sujudku tak sampai, alifku tak sampai, dzikirku pun tak sampai
lalu kutatap sorot matamu yang berteriak dengan pandangan seorang serdadu
merdeka atau mati, sejarah telah mencatat nama nama nama nama nama…
seorang jagoan, ia sebut namanya wahyu, tak punya lidah dan bibir yang
akan menciumku lewat kata kata dan huruf kesunyian ini
tapi aku melihat ia di sela kerumunan angin malam, seperti sedang mengeja
kebahagiaan tikus, dan bahasa yang ia lempar dalam setiap subuhku,
anni,
yang merdeka ternyata desir daunan dan cinta Tuhan yang merampasku
dari pelukan sebuah laras bedil atau bayonet. hanya itu anni.
Malang, 11-5-1995
Dipetik dengan hampir sesuai aslinya dari buku “Sesudah Gelas Pecah; 20 Puisi Pilihan Wahyu Prasetya” (diterbitkan untuk; Forum Sastra Bandung, oleh PT. Rekamedia Multiprakarsa Bandung, 1996)
Tentang Penyair:
Lahir 5 Februari 1957 di Malang, Jawa Timur dengan nama Eko Susetyo Wahyu Ispurwanto. Dalam kepenyairannya ia dikenal sebagai penyair “keras kepala sekaligus berhati dingin”. Mulai menulis sejak 1979 dengan menyebarkan karya-karyanya di berbagai media massa terbitan ibu kota maupun daerah. Termasuk Majalah sastra Horison (Jakarta). Bahana (Brunei), dan Dewan Bahasa (Kuala Lumpur). Pada tahun 1982 berkelana ke berbagai Negara ASEAN, dan pada tahun 1983-1985 sempat bermukim di Berlin, Jerman Barat.
Sebagai penyair, Wahyu termasuk salah satu penyair yang sangat diperhitungkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam forum Puisi Indonesia 1987 yang diselenggarakan oleh dewan kesenian Jakarta (DKJ) di TIM, forum lainnya yang diikuti dan diselengarakan oleh DKJ antara lain forum Dialog Penyair Jakarta (1989). Ia kerap pula diundang membacakan puisinya serta puisinya pernah diterbitkan dalam suatu antologi tunggal oleh Sorbone University-Paris.
Adapun kumpulan puisinya yang sudah terbit, antara lain Nafas Telanjang (1980), Tonggak IV (disunting oleh Linus Suryadi AG,1987), Sesudah Gelas Pecah (1996) diterbitkan Forum Sastra Bandung. Antologi Temu Penyair Indonesia (1987), dan Dialog Penyair Jakarta (1989), Amsal Patung (1997) dan beberapa kumpulan bersama.
Harapan Rumah Petak Rojali
tak ada apa apa di sini. televisi, koran,
dan sarapan pagi maupun gelas kopi.
di depan meja kayu, kami biasa menguraikan
masa lalu dan masa depan di atas
telapak tangan masing masing.
pagi hingga petang udara tak pernah
berganti, selain dengus itu saja.
tak ada pintu dengan nasi dan krupuk
hanya jari jari tangan mengetuk ngetuk
hari demi hari yang berlompatan itu.
bagai mengajak siang hari untuk memeras
pikirannya menjadi kepulan debu.
dan di sini pula kota besar, kota kecil
tumpah antara cinta dan benci.
hanya guratan guratan huruf di benak,
mengantar nasib keluar pintu.
mengatakan pada diri sendiri, hari ini
iklan untuk hidup lebih manusiawi,
makan 3 kali sehari dan gizi dan kerja
buat ongkos bermimpi mencaci makimu!
tak ada siapa siapa selain gerit jendela.
menciptakan musik dari kehampaan,
melukiskan kekasih dan mata pisau,
kami membayangkan manusia yang terbelah
seperti dinding dan atap seng ini,
betapa rapuhnya di hadapan buldozer,
di depan ketakberdayaan yang menakjubkan.
Tambak, 1992-1993
Wish You were Here*
bagi: umbu landu paranggi
di mana mana tangan itu menggali jurang untuk kekosongan
dengan lengan yang terkikis waktu, menyerahkan hujan pada
laut, hingga badai memutihkan ubun ubun sendiri
begitu tak ada yang harus diperihkan, ketika manusia runtuh
masih saja menyelinap, dari bayang herbert marcuse, ronggo warsito
atau sidharta gautama,
kemudian berombak ke arah angin yang meniupkan usia itu
kau yang kenyang mendengar kelopak mawar jatuh, menahan tangis
seperti ombak atau rimba dalam dirimu
apa kau juga menghapal pidato dari televisi dan sandiwara
kekuasaan jaman ini
mungkin kau tak perlu belati yang terhunus di balik dadamu
hanya rindu kepada semesta untuk mengembalikan pada nol
kalau nanti maut menyergap, antara kebiruan langit dan
kelelawar, aku kira sudah saatnya peradaban aids ini
membuat dunia mengangkang dan sekarat
sebait lagi, kau baca rembulan yang turun ke laut,
gedeburnya kau kemanakan?
selain pada hening. kebisuan jari jari tangan yang melambai
di situ barangkali kita berhadapan,
mengelus keranda.
Malang, 1993-1994
*judul lagu Pink Floyd.
Sesudah Gelas Pecah
sebelum kau selesaikan lagu terakhir telinga itu terlepas
asap rokok yang membakar seorang teman dari kertas
berhadapan dengan meja yang menyediakan nafas,
juga janji memabukan, supaya tak mengubah diri siapa
siapa
selain musik yang berjatuhan menimpa kedua sepatumu
dan melemparkan kepingan jari jari tangan ke arah jendela
memecahkan genggaman kita di sana
habiskanlah malam hari yang mengisi botol atau udara
jam berapa sekarang? “aku sudah melukai bayangan ini”
kemudian seorang teman dari pecahan kaca, gelas, cermin,
bahkan ia berasal dari angin yang kau tiup lewat keluhan
sampai kini aku tak ingin menceritakan kepada orang lain
sejak cucuran urat nadi itu mengalirkanku sebagai kran
dan menceburkan benih gerimis airmata manusia biasa
sebelum kau selesaikan lagu terakhir leher itu terkulai
ada yang ingin menemukannya
ada yang mencarinya. ada di manakah?
Malang, 1994
More Fool Me*
buat: beni setia
menemukan ketenangan jalan dalam wajah debu
masihkah kecermatan bayang bayang itu menangkap keberanian
atau kemuliaan dari cinta yang gusar oleh ajakan peradaban
daya hidupku selalu tak serupa dengan kelembutan di dadamu
karena kita harus memilih jalan menuju pintu, jendela rumah
atau hanya mencengkram abjad untuk dilemparkan ke angin
aku dan kau mungkin bersalah untuk rasa mengalah ini
dengan kearifan yang menuntun kegelapan di sini
padahal, lihatlah, kukepal pedih luka dengan kasar
kurebut dari ratapan anak anak yang kujumpai dalam hatiku
lalu apa lagi yang akan kita usung dari hidup ini?
dunia di luar mimpi adalah cercaan, siksaan, hinaan yang diciptakan
peperangan, teror atau kemerdekaan
siapapun bisa membaca dan tak perduli apakah manusia sekarang
sekarat dalam diri sendiri,
apakah manusia sekarang lebih teliti dalam menentukan impian
hasrat jaman berlarian.
mengejar perih yang pernah kita lagukan kemarin
ketika kerikil kita lepas dari genggaman
di kolam manapun, riaknya menjelma nyanyian.
Malang, 1994
*judul lagu Genesis
Urbanisasi dari Meja Makan
bagi: goenawan muhamad
anak anakku menggelar peta dunia di wajahku
mencari syair samudra dan reruntuhan perang
juga menebak dongeng sebuah porselin yang fana,
ketika mereka jumpai alamat rumahnya sendiri,
dengan mengepal pisau lipat di sela tawanya
entah, aku harus berkata apa,
musik mozart, chopin atau keroncong kini jadi irama aneh
mereka mencari dalam diriku, siapa yang menelan impiannya
karena di sekolah, mereka belajar menghafal dan mengeja puisi
ketika rumah menjadi tumpah ke arah yang tak menentu
aku menahannya dengan lengan, jari jari dan lutut,
tapi jaman membentak dari spiker yang mereka keraskan
agar melahirkan gempuran dan mencopot telinga bersama
aku kini sudah terbiasa. bersembunyi di buku, koran atau
bisikan tengah malam. setiap gelap menghampiriku
dengan mereka, kulihat juga asyik menjalin bayang bayang
tentang gaya hidup amerika atau manapun
begitu aku memulai menulis sebaris kalimat
tentang makan pagi, malam, siang juga dalam tidur
sesaat ingin kutaruh batu di meja ini, di kepala mereka,
juga di dada dan tenggorokannya
dan memecah porselin yang menyimpan dongengan dunia modern.
1995
Kemerdekaan dalam Diary Anni Fitria
kesenyapan yang menjauh dari keriuhan kota serta mikrophon,
menjauh dari berita dan gerutu,
Allahuakbar,
huruf tak pernah sampai, tarji tak juga sampai,
chairil anwar yang menjabat bung karno, menjabat arti luka parah
dan kini, aku menelan ectasy, menelan diskotik, menelan obrolan serta
para demonstran yang entah sedang mencupakan bahasa apa
Allahuakbar.
rendra tak sampai, taufiq ismail tak juga sampai, juga kalian hai!
selain di spiker dengan tangan yang terkepal lemas dan mulut berbusa
katakan pada kalimat dari huruf hurufku ini, apa arti kemerdekaan kini?
sujudku tak sampai, alifku tak sampai, dzikirku pun tak sampai
lalu kutatap sorot matamu yang berteriak dengan pandangan seorang serdadu
merdeka atau mati, sejarah telah mencatat nama nama nama nama nama…
seorang jagoan, ia sebut namanya wahyu, tak punya lidah dan bibir yang
akan menciumku lewat kata kata dan huruf kesunyian ini
tapi aku melihat ia di sela kerumunan angin malam, seperti sedang mengeja
kebahagiaan tikus, dan bahasa yang ia lempar dalam setiap subuhku,
anni,
yang merdeka ternyata desir daunan dan cinta Tuhan yang merampasku
dari pelukan sebuah laras bedil atau bayonet. hanya itu anni.
Malang, 11-5-1995
Dipetik dengan hampir sesuai aslinya dari buku “Sesudah Gelas Pecah; 20 Puisi Pilihan Wahyu Prasetya” (diterbitkan untuk; Forum Sastra Bandung, oleh PT. Rekamedia Multiprakarsa Bandung, 1996)
Tentang Penyair:
Lahir 5 Februari 1957 di Malang, Jawa Timur dengan nama Eko Susetyo Wahyu Ispurwanto. Dalam kepenyairannya ia dikenal sebagai penyair “keras kepala sekaligus berhati dingin”. Mulai menulis sejak 1979 dengan menyebarkan karya-karyanya di berbagai media massa terbitan ibu kota maupun daerah. Termasuk Majalah sastra Horison (Jakarta). Bahana (Brunei), dan Dewan Bahasa (Kuala Lumpur). Pada tahun 1982 berkelana ke berbagai Negara ASEAN, dan pada tahun 1983-1985 sempat bermukim di Berlin, Jerman Barat.
Sebagai penyair, Wahyu termasuk salah satu penyair yang sangat diperhitungkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam forum Puisi Indonesia 1987 yang diselenggarakan oleh dewan kesenian Jakarta (DKJ) di TIM, forum lainnya yang diikuti dan diselengarakan oleh DKJ antara lain forum Dialog Penyair Jakarta (1989). Ia kerap pula diundang membacakan puisinya serta puisinya pernah diterbitkan dalam suatu antologi tunggal oleh Sorbone University-Paris.
Adapun kumpulan puisinya yang sudah terbit, antara lain Nafas Telanjang (1980), Tonggak IV (disunting oleh Linus Suryadi AG,1987), Sesudah Gelas Pecah (1996) diterbitkan Forum Sastra Bandung. Antologi Temu Penyair Indonesia (1987), dan Dialog Penyair Jakarta (1989), Amsal Patung (1997) dan beberapa kumpulan bersama.
Jumat, 25 Juni 2010
MERAYAKAN KE-BODOH-AN PENYAIR-PENYAIR MUDA KONTEMPORER
Catatan untuk ‘PENYAIR (ITU) BODOH
Ahmad Kekal Hamdani
http://www.sastra-indonesia.com/
2 Paragraf Pertama Tentang Penyair dan Kebodohan
Beberapa bulan yang lalu (entah tepatnya kapan), saya mendapatkan sebuah buku antologi puisi “Penyair (itu) Bodoh” karya seorang kawan di Yogyakarta; Dea Anugrah mahasiswa Filsafat UGM, sahabat saya yang mirip Chow Yun-Fat itu. tapi tentu saja dia bukan penjudi, tapi penyair yang bodoh. Dan atas kebodohannya itu, saya nyaris jatuh cinta kepadanya. Secara pribadi (kepenyairan) dia memang bodoh setengah mati, bayangkan saja; tanpa banyak nulis di Koran dia sudah berani menerbitkan buku puisinya itu, yang sama-saja tingkat kebodohannya. yah, karena memang tidak banyak penyair yang mau menuju ‘bodoh’ seperti dirinya. Ini tentu saja karena, kebodohan, kecerobohan dan ketololan hanya dimiliki oleh mereka-mereka yang masih berjiwa muda (dalam hal ini saya sama mudanya) yang nota-bene tak gentar pada yang namanya kalah dan disingkirkan (terlepas kawan saya ini menyadarinya atau tidak). Nah yang Intelek, Masyhur, dan Terkenal itu cuma golongan tua (atau yang menuakan diri) yang hampir-hampir impoten dan kebal rangsang! dan satu lagi yang membuat saya ingin mencium kawan saya ini, dia begitu bangga dengan kebodohannya! busyet, dia memang benar-benar bukan penyair yang sudah tua. Saya mendapati ekspresi yang hidup dan real dari interaksi dengan orang-orang bodoh dan muda seperti dia, sebagaimana juga diri saya.
Saat itu kebetulan saya menjadi Moderator dalam acara bedah bukunya. Banyak kawan-kawan penulis yang hadir dan ikut memeriahkan, termasuk juga Saut Situmorang(kebetulan juga saat itu beliau pembicara) dan Katrin Bandel. Di sinilah saya mendapati orang-orang bodoh dengan berbagai macam kebodohannya, ada yang bodoh amat, ada yang setengah bodoh dan ada juga yang baru belajar menjadi ‘Bodoh’. Setelah diskusi berjalan cukup lama, percakapan semakin mengarah pada kebodohan, mereka ingat luka-luka itu sembari tertawa-tawa, ada juga yang bertanya ’saya sebenarnya bodoh gak sih?’ lugu. Tiba-tiba saya jadi berpikir dengan pintarnya ‘Apa yang sebenarnya terjadi adalah benih kebaruan, meski tak baru-baru amat. Tentang bagaimana mencoba membagun muara lain dari kesusastraan, dan kebaruan ini harus dimulai dengan begitu banyak kebodohan! penyair selalu membangun pengertian tentang dirinya sendiri dari saat ke saat, ini saatnya membangun kebaruan itu dengan jalan menuju ‘Kebodohan’ itu!. Dea, telah mulai melakukannya.
5 Paragraf Tentang Meledakkan ‘Kemewahan naif’ Kepenyairan
Ada yang tidak bisa dipungkiri dari seorang penyair (terutama yang pintar), yakni perihal kemasyhuran. Ini salah satu obat bagi kesakitan-kesakitan, tapi obat ini juga semacam racun yang diperas dari para zombie. dan cawan dari obat-obat ini begitu banyak, ada yang namanya koran (semacam kertas lebar yang berisi sampah-sampah harian), ada majalah (Biasanya memuat sampah itu satu bulan sekali), ada Buku, ada Panggung, ada Mimbar juga dengan segala mimpi kebesarannya. Oleh karena itu, dengan pikiran saya yang masih pintar, saya akan mengajukan pandangan bodoh saya tentang kepenyairan. Yang nantinya akan mengarah kepada kebodohan-kebodohan yang lain, terutama kebodohan Dea Anugrah yang setengah mati itu!
Dalam terminologi kebodohan dalam kepala saya, seharusnya ada tiga wilayah dalam memetakan kesusastraan Indonesia dan dunia pada umumnya. pertama, Dunia yang ‘politis’ (bukan politik tapi saya tekankan sekali lagi, dunia yang politis). Kedua, sastra dan sastrawan itu secara an-sich. Dan yang terakhir adalah masyarakat bersih (yakni masyarakat awam yang perlu disodori sampah-sampah yang dimuat dalam kesusastraan selama berabad-abad). Tiga wilayah ini harus didudukkan secara seimbang dan merata, mari satu persatu kita adili tiga hal ini.
Di sini, dunia yang politis bukanlah dunia politik, bila dalam bahasa Ricoeur adalah “The Political” atau “Yang Politis” bukan “Politics”. Tapi perihal letupan-letupan sosial antara kehendak ingin bertahan dan menguasai, serta kehendak ingin menerima dan terbuka. Kesusastraan berada dan terlibat di dalamnya. Seorang gila penghancur modernisme, yang lebih akrab saya panggil Kanjeng Kyai Nietzche pernah mengatakan bahwa kita dibangun oleh kehendak itu. Kehendak untuk berkuasa , tentu dengan penjabaran dan perumpamaan yang perlu dipikir tidak sebentar. Pandangan ‘dunia politis’ ini perlu dicercap dan dirasai oleh mereka yang hendak Nyastra, sebab menulis sastra sama halnya bertindak politis, yakni menggelembungkan ruang dalam diri ke ruang batin sosial.
Setelah Sastra dan Sastrawan, yakni masyarakat bersih. Yakni masyarakat awam sastra, yang sebenarnya kalau kita mau berpikir bodoh merekalah seharusnya subjek yang terlibat dalam transliterasi antara dunia real dan kesusastraan. Nah, walau tidak terang-terangan mengatakan anti koran sobat Dea Anugrah ini telah mengenyahkan jauh-jauh legitimasi kepenyairan koran itu. Bila ditelisik lebih lanjut (entah ini disadari tidak oleh Dea) ini akan menjadi gerakan kesusastraan baru yang sebenarnya ini sudah menjadi perbincangan cukup lama di komunitas saya berproses, sebuah gerakan, yakni Gerakan Anti Sastra Koran (GASAK). Apa ini berarti saya membenci koran? hahaha tidak, tapi ada sebuah usaha penghancuran berhala, penghancuran panggung, saya akan meminjam bahasa teaterawan Grotowski yakni “Kleptomania Artistik” sebuah kemegahan tanpa tiang penyangga, tanpa visi kebudayaan. Di mana media justru menjadi fokusnya, panggung menjadi sempit dan para aktor tidak menyatu dengan para penontonnya.
Runtuhnya sastra koran, akan mencairkan kebekuan-kebekuan. Dan itu tentu saja tidak hanya perlu dilakukan, tapi disikapi dengan visi yang panjang. Oleh karena itu, mari kita lakukan kebodohan-kebodohan kecil dengan menghancurkan apa yang selama ini kita pijak, yang hal ini sesungguhnya telah banyak dimulai oleh satrawan-sastrawan di lokal-an, yang jauh dari media nasional, dan membuang jauh-jauh mimpi penyair koran, yang tentu saja juga telah dan semoga terus berlanjut oleh kawan saya Dea Anugrah itu. Zaman baru kepenyairan akan segera dimulai!!!
1 Paragraf Penutup
Apalah guna kita menulis puisi bila yang membaca puisi kita hanya orang-orang yang juga menulis puisi. Dekatkan diri kepada masyarakat, bacakan syair-syair teduh dan membangun kepada mereka. Hancurkan politik busuk dengan menyuntikkan puisi ke dalam kekuatan-kekuatan politis. Tidak cukup kita hanya menulis puisi dan membaca buku, tapi bertindak ke ruang sosial lain, hancurkan kebiasaan menggantungkan diri pada komunitas sastra, mari tampil sebagai individu dan muncul ke permukaan sosial yang lebih pahit. Meminjam istilah Mbah Karl Marx, dunia tidak hanya perlu ditafsiri tapi harus dirubah. Bangun masyarakat baru, hancurkan panggung! mari menuju ‘KEBODOHAN PERTAMA’.
kata Dea:
ah benar, memang enak
sekali-kali tak pakai sempak
cobalah lepaskan sempak kalian
marilah
l
e
p
a
s
k
a
n
s
e
m
p
a
k!
Yogyakarta, 2010
Ket: Catatan ini ditulis untuk mengomentari dan menindak lanjuti “Penyair (Itu) Bodoh” karya Dea Anugrah.
Ahmad Kekal Hamdani
http://www.sastra-indonesia.com/
2 Paragraf Pertama Tentang Penyair dan Kebodohan
Beberapa bulan yang lalu (entah tepatnya kapan), saya mendapatkan sebuah buku antologi puisi “Penyair (itu) Bodoh” karya seorang kawan di Yogyakarta; Dea Anugrah mahasiswa Filsafat UGM, sahabat saya yang mirip Chow Yun-Fat itu. tapi tentu saja dia bukan penjudi, tapi penyair yang bodoh. Dan atas kebodohannya itu, saya nyaris jatuh cinta kepadanya. Secara pribadi (kepenyairan) dia memang bodoh setengah mati, bayangkan saja; tanpa banyak nulis di Koran dia sudah berani menerbitkan buku puisinya itu, yang sama-saja tingkat kebodohannya. yah, karena memang tidak banyak penyair yang mau menuju ‘bodoh’ seperti dirinya. Ini tentu saja karena, kebodohan, kecerobohan dan ketololan hanya dimiliki oleh mereka-mereka yang masih berjiwa muda (dalam hal ini saya sama mudanya) yang nota-bene tak gentar pada yang namanya kalah dan disingkirkan (terlepas kawan saya ini menyadarinya atau tidak). Nah yang Intelek, Masyhur, dan Terkenal itu cuma golongan tua (atau yang menuakan diri) yang hampir-hampir impoten dan kebal rangsang! dan satu lagi yang membuat saya ingin mencium kawan saya ini, dia begitu bangga dengan kebodohannya! busyet, dia memang benar-benar bukan penyair yang sudah tua. Saya mendapati ekspresi yang hidup dan real dari interaksi dengan orang-orang bodoh dan muda seperti dia, sebagaimana juga diri saya.
Saat itu kebetulan saya menjadi Moderator dalam acara bedah bukunya. Banyak kawan-kawan penulis yang hadir dan ikut memeriahkan, termasuk juga Saut Situmorang(kebetulan juga saat itu beliau pembicara) dan Katrin Bandel. Di sinilah saya mendapati orang-orang bodoh dengan berbagai macam kebodohannya, ada yang bodoh amat, ada yang setengah bodoh dan ada juga yang baru belajar menjadi ‘Bodoh’. Setelah diskusi berjalan cukup lama, percakapan semakin mengarah pada kebodohan, mereka ingat luka-luka itu sembari tertawa-tawa, ada juga yang bertanya ’saya sebenarnya bodoh gak sih?’ lugu. Tiba-tiba saya jadi berpikir dengan pintarnya ‘Apa yang sebenarnya terjadi adalah benih kebaruan, meski tak baru-baru amat. Tentang bagaimana mencoba membagun muara lain dari kesusastraan, dan kebaruan ini harus dimulai dengan begitu banyak kebodohan! penyair selalu membangun pengertian tentang dirinya sendiri dari saat ke saat, ini saatnya membangun kebaruan itu dengan jalan menuju ‘Kebodohan’ itu!. Dea, telah mulai melakukannya.
5 Paragraf Tentang Meledakkan ‘Kemewahan naif’ Kepenyairan
Ada yang tidak bisa dipungkiri dari seorang penyair (terutama yang pintar), yakni perihal kemasyhuran. Ini salah satu obat bagi kesakitan-kesakitan, tapi obat ini juga semacam racun yang diperas dari para zombie. dan cawan dari obat-obat ini begitu banyak, ada yang namanya koran (semacam kertas lebar yang berisi sampah-sampah harian), ada majalah (Biasanya memuat sampah itu satu bulan sekali), ada Buku, ada Panggung, ada Mimbar juga dengan segala mimpi kebesarannya. Oleh karena itu, dengan pikiran saya yang masih pintar, saya akan mengajukan pandangan bodoh saya tentang kepenyairan. Yang nantinya akan mengarah kepada kebodohan-kebodohan yang lain, terutama kebodohan Dea Anugrah yang setengah mati itu!
Dalam terminologi kebodohan dalam kepala saya, seharusnya ada tiga wilayah dalam memetakan kesusastraan Indonesia dan dunia pada umumnya. pertama, Dunia yang ‘politis’ (bukan politik tapi saya tekankan sekali lagi, dunia yang politis). Kedua, sastra dan sastrawan itu secara an-sich. Dan yang terakhir adalah masyarakat bersih (yakni masyarakat awam yang perlu disodori sampah-sampah yang dimuat dalam kesusastraan selama berabad-abad). Tiga wilayah ini harus didudukkan secara seimbang dan merata, mari satu persatu kita adili tiga hal ini.
Di sini, dunia yang politis bukanlah dunia politik, bila dalam bahasa Ricoeur adalah “The Political” atau “Yang Politis” bukan “Politics”. Tapi perihal letupan-letupan sosial antara kehendak ingin bertahan dan menguasai, serta kehendak ingin menerima dan terbuka. Kesusastraan berada dan terlibat di dalamnya. Seorang gila penghancur modernisme, yang lebih akrab saya panggil Kanjeng Kyai Nietzche pernah mengatakan bahwa kita dibangun oleh kehendak itu. Kehendak untuk berkuasa , tentu dengan penjabaran dan perumpamaan yang perlu dipikir tidak sebentar. Pandangan ‘dunia politis’ ini perlu dicercap dan dirasai oleh mereka yang hendak Nyastra, sebab menulis sastra sama halnya bertindak politis, yakni menggelembungkan ruang dalam diri ke ruang batin sosial.
Setelah Sastra dan Sastrawan, yakni masyarakat bersih. Yakni masyarakat awam sastra, yang sebenarnya kalau kita mau berpikir bodoh merekalah seharusnya subjek yang terlibat dalam transliterasi antara dunia real dan kesusastraan. Nah, walau tidak terang-terangan mengatakan anti koran sobat Dea Anugrah ini telah mengenyahkan jauh-jauh legitimasi kepenyairan koran itu. Bila ditelisik lebih lanjut (entah ini disadari tidak oleh Dea) ini akan menjadi gerakan kesusastraan baru yang sebenarnya ini sudah menjadi perbincangan cukup lama di komunitas saya berproses, sebuah gerakan, yakni Gerakan Anti Sastra Koran (GASAK). Apa ini berarti saya membenci koran? hahaha tidak, tapi ada sebuah usaha penghancuran berhala, penghancuran panggung, saya akan meminjam bahasa teaterawan Grotowski yakni “Kleptomania Artistik” sebuah kemegahan tanpa tiang penyangga, tanpa visi kebudayaan. Di mana media justru menjadi fokusnya, panggung menjadi sempit dan para aktor tidak menyatu dengan para penontonnya.
Runtuhnya sastra koran, akan mencairkan kebekuan-kebekuan. Dan itu tentu saja tidak hanya perlu dilakukan, tapi disikapi dengan visi yang panjang. Oleh karena itu, mari kita lakukan kebodohan-kebodohan kecil dengan menghancurkan apa yang selama ini kita pijak, yang hal ini sesungguhnya telah banyak dimulai oleh satrawan-sastrawan di lokal-an, yang jauh dari media nasional, dan membuang jauh-jauh mimpi penyair koran, yang tentu saja juga telah dan semoga terus berlanjut oleh kawan saya Dea Anugrah itu. Zaman baru kepenyairan akan segera dimulai!!!
1 Paragraf Penutup
Apalah guna kita menulis puisi bila yang membaca puisi kita hanya orang-orang yang juga menulis puisi. Dekatkan diri kepada masyarakat, bacakan syair-syair teduh dan membangun kepada mereka. Hancurkan politik busuk dengan menyuntikkan puisi ke dalam kekuatan-kekuatan politis. Tidak cukup kita hanya menulis puisi dan membaca buku, tapi bertindak ke ruang sosial lain, hancurkan kebiasaan menggantungkan diri pada komunitas sastra, mari tampil sebagai individu dan muncul ke permukaan sosial yang lebih pahit. Meminjam istilah Mbah Karl Marx, dunia tidak hanya perlu ditafsiri tapi harus dirubah. Bangun masyarakat baru, hancurkan panggung! mari menuju ‘KEBODOHAN PERTAMA’.
kata Dea:
ah benar, memang enak
sekali-kali tak pakai sempak
cobalah lepaskan sempak kalian
marilah
l
e
p
a
s
k
a
n
s
e
m
p
a
k!
Yogyakarta, 2010
Ket: Catatan ini ditulis untuk mengomentari dan menindak lanjuti “Penyair (Itu) Bodoh” karya Dea Anugrah.
OMBAK MEMECAH-TERPECAH
M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/
Ia berdiri, mematung menghadap ke selatan di tepian pantai yang tidak bising akan hasrat yang terus bergejolak. Pandangannya jauh ke selatan, menerawang langit yang bersih dan juga biru. Cakarawala yang berdiri di selatan, terus saja berusaha mengundang jiwanya untuk menyusur sampai ke sana. Ia, sang Perempuan Pendoa memandang takjub pada keindahan nan dalam.
“Indah, Mas!” ucapnya yang langsung dibungkam debur ombak Pantai Selatan.
Di atas tebing yang dibuat oleh manusia itu, si Perempuan Pendoa berdiri sambil merajut angannya pada keindahan yang lebih besar. Dua bola matanya menerawang, semakin jauh untuk menggapai cakrawala. Perempuan Pendoa terus berusaha.
“Apa yang kamu lihat?” tanya si Lelaki Pendosa yang telah berdiri di samping sang kekasih yang tengah berdoa.
“Langit biru, ombak yang pecah dan menghambur!” ungkap Perempuan Pendoa sambil memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Ia merasakan semilir angin yang membasuh muka dan mengibarkan rambut yang terjuntai setelah kerudungnya tersibak.
“Ada apa di sana?” tanya si Lelaki Pendosa sambil meraih tangan kekasihnya, lalu mengajaknya melangkah mendekati ombak yang pecah ketika menghantam tumpukan beton yang bergelimpangan.
“Ada Dia kan di sana, Mas, Sayangku?” tanya Perempuan Pendoa dalam bisikan di samping Lelaki Pendosa ketika tangan yang kurus dan lelah meraih tubuh si Perempuan Pendoa.
“Dalam angin basah yang menerpamu, Sayang, Dia ada di sana. Pada angin yang setiap kali kamu rasakan, kau hirup setiap saat, Dia juga ada di sana. Di dalam diri kita sendiri, Dia juga ada, bersemayam seperti kita ini. Dunia ini dan isinya adalah wujud akan keberadaanNya!” ungkap Lelaki Pendosa sambil memeluk erat tubuh kekasihnya.
“Lalu, kenapa kamu musti berjalan jauh? Musti menyusur jalan-jalan gelap? Kenapa harus menjadi seorang pejalan jauh?” tanya si Perempuan Pendoa dan Lelaki Pendosa terkesiap.
Perempuan Pendoa memandangi lelaki yang berdiri di sampingnya. Lelaki yang justru melemparkan pandangan ke tengah laut yang jauh. Ke cakrawala.
Menemukan, Sayangku, untuk menemukan!” jawab si Lelaki Pendosa dengan suara bergetar.
“Bukankah Dia ada di dalam diri kita sendiri?” sahut Perempuan Pendoa dengan cepat yang kembali membuat lelaki di sampingnya hampir terbungkam. “Apa yang sebenarnya ingin kamu temukan, Sayang?”
“Pemahaman,”
“Pengukuhan atas keraguanmu sendiri!” sahut Perempuan Pendoa sebelum Lelaki Pendosa sempat menyelesaikan kalimatnya.
Ombak terus bergerak, menghantam dinding dan pecah. Ombak datang lagi, menghantam lagi dan pecah lagi. Kejadian ini terus saja berulang yang entah telah terjadi selama berapa tahun. Namun, ombak tidak juga berhenti untuk tidak menghantam pantai.
“Ombak memecah pantai, pantai memecah ombak. Kenapa? Itu yang ingin aku temukan dan pahami!” ucap si Lelaki Pendosa dengan suara bergetar sambil menggenggam erat tangan perempuannya yang baru saja berdoa.
Senja di Tamansari, 21 Juni 2010
http://www.sastra-indonesia.com/
Ia berdiri, mematung menghadap ke selatan di tepian pantai yang tidak bising akan hasrat yang terus bergejolak. Pandangannya jauh ke selatan, menerawang langit yang bersih dan juga biru. Cakarawala yang berdiri di selatan, terus saja berusaha mengundang jiwanya untuk menyusur sampai ke sana. Ia, sang Perempuan Pendoa memandang takjub pada keindahan nan dalam.
“Indah, Mas!” ucapnya yang langsung dibungkam debur ombak Pantai Selatan.
Di atas tebing yang dibuat oleh manusia itu, si Perempuan Pendoa berdiri sambil merajut angannya pada keindahan yang lebih besar. Dua bola matanya menerawang, semakin jauh untuk menggapai cakrawala. Perempuan Pendoa terus berusaha.
“Apa yang kamu lihat?” tanya si Lelaki Pendosa yang telah berdiri di samping sang kekasih yang tengah berdoa.
“Langit biru, ombak yang pecah dan menghambur!” ungkap Perempuan Pendoa sambil memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Ia merasakan semilir angin yang membasuh muka dan mengibarkan rambut yang terjuntai setelah kerudungnya tersibak.
“Ada apa di sana?” tanya si Lelaki Pendosa sambil meraih tangan kekasihnya, lalu mengajaknya melangkah mendekati ombak yang pecah ketika menghantam tumpukan beton yang bergelimpangan.
“Ada Dia kan di sana, Mas, Sayangku?” tanya Perempuan Pendoa dalam bisikan di samping Lelaki Pendosa ketika tangan yang kurus dan lelah meraih tubuh si Perempuan Pendoa.
“Dalam angin basah yang menerpamu, Sayang, Dia ada di sana. Pada angin yang setiap kali kamu rasakan, kau hirup setiap saat, Dia juga ada di sana. Di dalam diri kita sendiri, Dia juga ada, bersemayam seperti kita ini. Dunia ini dan isinya adalah wujud akan keberadaanNya!” ungkap Lelaki Pendosa sambil memeluk erat tubuh kekasihnya.
“Lalu, kenapa kamu musti berjalan jauh? Musti menyusur jalan-jalan gelap? Kenapa harus menjadi seorang pejalan jauh?” tanya si Perempuan Pendoa dan Lelaki Pendosa terkesiap.
Perempuan Pendoa memandangi lelaki yang berdiri di sampingnya. Lelaki yang justru melemparkan pandangan ke tengah laut yang jauh. Ke cakrawala.
Menemukan, Sayangku, untuk menemukan!” jawab si Lelaki Pendosa dengan suara bergetar.
“Bukankah Dia ada di dalam diri kita sendiri?” sahut Perempuan Pendoa dengan cepat yang kembali membuat lelaki di sampingnya hampir terbungkam. “Apa yang sebenarnya ingin kamu temukan, Sayang?”
“Pemahaman,”
“Pengukuhan atas keraguanmu sendiri!” sahut Perempuan Pendoa sebelum Lelaki Pendosa sempat menyelesaikan kalimatnya.
Ombak terus bergerak, menghantam dinding dan pecah. Ombak datang lagi, menghantam lagi dan pecah lagi. Kejadian ini terus saja berulang yang entah telah terjadi selama berapa tahun. Namun, ombak tidak juga berhenti untuk tidak menghantam pantai.
“Ombak memecah pantai, pantai memecah ombak. Kenapa? Itu yang ingin aku temukan dan pahami!” ucap si Lelaki Pendosa dengan suara bergetar sambil menggenggam erat tangan perempuannya yang baru saja berdoa.
Senja di Tamansari, 21 Juni 2010
Sepasang Mata di Malam Hari
Restu Ashari Putra
http://oase.kompas.com/
Suatu waktu aku ingat perkataan nenek, saat kami datang berdua mengunjunginya di sebuah rumah di kaki gunung. Sebelum kami sendiri yang menyaksikan ajalnya tiba. Ia masih tertawa berseri-seri dengan sederet gigi palsunya. Dengan sepasang mata yang masih ceria. Saat itu, di bawah aroma kebun teh Goalpara, aku masih mengingatnya ketika aku bersama Saskia di sana.
“Berbahagialah kalian. Tapi jangan lupa, seseorang yang mengutamakan cinta, mereka pasti mengetahui siapa sesungguhnya yang mencintai kalian,” Ia kembali tertawa berseri-seri. Lagi-lagi dengan sederet gigi palsunya. Dengan sepasang mata yang kemudian menyimpan rahasia.
Ini kali pertamanya kata-kata itu keluar dari bibirnya. Dan aku seperti akan mendengar yang kedua kalinya. Entah di mana.
****
Satu hal yang paling kubenci di dunia ini di antara kebencianku yang lain adalah menunggu angkutan umum (angkot) ngetem selama berjam-jam. Seperti halnya malam ini. Kalau saja bukan karena ini kendaraan terakhir, aku pasti langsung turun pada saat lima menit pertama angkot ini ngetem. Kesalnya bukan main. Ditambah lagi hati yang lagi resah. Tuntas sudah rasa sesakku malam ini.
Di seputar bundaran Cibiru. Sebuah terminal bayangan. Aku mau pulang tapi tidak kembali ke rumah. Sebab rumahku pasti sudah dikunci. Itu juga bukan rumahku, melainkan rumah pamanku. Dan angkot ini kira-kira masih akan menunggu dua sampai tiga penumpang lagi. Biasa, sudah lewat malam begini sangat sayang kalau angkot kosong tanpa muatan penumpang sebab mereka tak yakin di tengah jalan nanti bakal banyak penumpang. Huh, sungguh sudah tak tahan rasanya.
“Ayo pak digeser, digeser, palih kanan, palih kanan,”
“Tahan, tahan, tahan, dua deui, dua deui, ayo, ayo pak!”
“Cadas, Cicadas, Cicadas,” teriak calo menggaet penumpang di terminal bayangan, bundaran Cibiru.
Malam semakin pekat. Jalanan becek karena hujan baru saja reda setengah jam yang lalu. Padahal biasanya dua hari berturut-turut, sampai pagi pun hujan tak akan reda.
Kaca jendela yang basah berembun aku susut dengan tangan. Di luar sana, mereka yang bertarung dengan malam masih asyik dengan pergulatan hidupnya. Ini demi hidup yang harus terus bertahan!
Di ujung dekat warung yang sudah tutup, pedagang rokok hampir tak kuat menahan beban matanya. Tapi mungkin wajah anaknya yang meringkuk di balik bungkus rokok dagangannya, selalu muncul dan menyulutnya menjadi kobaran semangat bertahan barang dua atau tiga jam lagi.
Di dekat toilet umum, dua orang pengamen jalanan masih sibuk menyetel senar gitar yang terasa sumbang. Masih muda. Sekitar duapuluh tahunan. Padahal aku yakin tak akan ada bus lagi yang akan lewat kecuali mereka hanya sekadar asyik memainkan gitar. Dan satu kehidupan lagi: calo angkot yang bersaing dengan angin menarik penumpang dari segenap penjuru, sebanyak-bayaknya.
Dari sekian potret keidupan itu tak ada yang tahu bahwa di dalam sini, di angkot ini, ada anak muda yang sedang gundah hatinya. Aneh, padahal ia baru saja bertemu kekasihnya.
“Radika, kecintaanku tak bisa diukur dengan kalimat yang selalu kau tuliskan dalam degup jantung dadaku,” ujarnya meyakinkanku dengan tatap mata sangat dalam. “melainkan seberapa besar kau mau melangkah bersamaku dengan langkahmu sendiri. Aku mencintaimu Radika.”
Bayangan Saskia masih hinggap di mataku. Saat ia memelukku erat. Saat bibirku mendarat di keningnya, kemudian bibirnya. Seperti kalimat-kalimat yang selalu kutulis dalam degup jantungnya. Saat itu pula mataku mengatakan cinta. Indah sekali matanya.
Dari sanalah kegelisahanku dimulai. Sejak tangannya melepas genggaman tanganku. Sejak bibirnya melepas bibirku. Sejak tubuhnya melepas pelukanku. Dan sejak waktu melepas pertemuanku dengannya.
“Aku juga mencintaimu Saskia, sampai bertemu bess….”
Belum sempat kalimat dari lidahku meluncur seluruhnya, tiba-tiba tubuh Saskia rebah di tubuhku. Ia memelukku sekali lagi. Matanya basah di jaketku dan semakin menggenapkan keresahanku.
****
Sekarang mengapa hatiku jadi resah. Hei, ada apa ini? Aku baru saja bertemu kekasihku. Tapi ah, suasana hati siapa sangka. Sekalipun sudah bertemu surga, kalau hati menginginkan lain, ya terjadilah. Padahal aku baru saja melepas rindu dengan sang kekasih di rumahnya. Padahal aku baru saja menatapnya. Tapi mengapa resah. Aku baru saja mengulum bibirnya dengan kata cinta. Tapi mengapa gulana. Aneh bukan. Dan angkot ini kian menambah keresahanku, kegundahanku, kegulanaanku dan sekian bentuk kegalauan lainnya.
Bayangkan mau tanya pada siapa coba kalau hati sendiri yang bermasalah. Masak bertanya sama penumpang di sebelahku yang tak kukenal sama sekali. Kan tak mungkin. Tapi tunggu, tunggu, sepertinya aku mampu mendeteksinya. Aku baru habis bertemu kekasih. Apa karena telah menatapnya lantas aku jadi merasa kecewa karena diriku mungkin bukan orang yang sempurna di matanya. Atau tiba-tiba pandangannya tentangku berubah. Seperti misalnya aku tak tulus lagi mencintainya. Ah, andai ia bisa mendekam dalam bilik jiwaku, ia akan tahu bagaimana sebenarnya perasaanku.
Setidaknya itu gejala-gejala yang baru bisa kudeteksi saat ini. Sebab keresahanku terjadi setelah aku bertemu dengan sang kekasih. Dan, yap! angkot sudah penuh. Paling lama dua menit lagi pasti jalan.
“A, ieu bade ka Cicadas nya?” taya ibu tua padaku.
“Sumuhun, bu, hayu bu, hayu,”
“Mbak, ini bener lewat Margahayu Raya?” suara lirih kudengar dari penumpang sebelah kiriku yang bertanya pada penumpang lain.
“Huh, lama banget ya. Udah penuh juga,” komentar penumpang lain.
“Duh ieu mah dugi ka enjing ge moal nepi,”
“Nya maklum we kusabab ieu nu terakhir, sayang upami kosong.”
Aku makin tak betah lama-lama di sini. Sumpek. Padahal bagiku naik angkot bukan hal aneh lagi. Ke mana-mana aku manfaatkan kendaraan ini. Dan kalau ngetem, selalu aku siasati dengan cara naik yang setengah penuh supaya tidak menunggu lama seperti ini. Sekarang aku duduk di ujung paling dalam. Nyempil. Badan kecil. Hati dan pikiran amburadul. Sesaknya minta ampun. Aku ingin cepat-cepat turun. Rasanya ingin berteriak saja.
Seandainya jiwaku bisa keluar dari tubuh ini.
AAAAAARRGGHH!
Kupejamkan mata. Kulenyapkan tubuhku dari dunia sekelilingku. Hening. Samar.
ZEPPPPSSSSS….
****
Aku masih berada dalam angkot. Angkotnya sudah berjalan. Para penumpang hanyut dalam pikirannya sendiri. Aku bisa menebak yang ada dalam bayangannya pasti rumah yang sudah dinanti-nanti.
Jalanan lengang. Itu bisa kusaksikan dari kaca jendela. Kendaraan jarang melintas. Orang-orang sepi.
“Bu, maaf, jam berapa ya?” tanyaku pada ibu yang duduk tepat di depanku.
Ia diam.
Lho, kenapa tak ada respon. Sekali lagi kutanyakan,
“Bu, ibu, maaf kalau boleh tau sekarang jam berapa ya?”
Sunyi.
Aneh. Coba kutanya bapak di sampingku. Aku lihat ia memakai jam tangan. Kebetulan jam dalam ponselku sedang kurang akurat.
“Pak, bapak, sekarang jam berapa ya?” pertanyaanku lagi-lagi direspon diam.
”Hei pak, bapak…!”
Kenapa mereka tidak menanggapiku. Ada apa ini?
Ah, mungkinkah mereka tuli. Atau memang mereka tak melihatku. Ah, tidak mungkin, tidak mungkin!
Udara dingin di luar menyeruak masuk. Pak supir mengendarai angkot semakin kencang. Aku semakin begidik campur gelisah yang belum hilang. Sekarang aku coba tanya jam pada penumpang lain. Mungkin dua orang tadi bermasalah pada pendengarannya. Aku tak ingin mengusiknya, bisa-bisa nanti tersinggung.
“Kang, maaf boleh tau sekarang jam berapa?”
Ia hanya melirikku. Kedua bola matanya tajam menusuk tatapanku. Dan ya ampun, kenapa tatapan itu, tatapan itu….
Aku kembali duduk tenang. Menenangkan diri tepatnya. Aku lupakan perkara waktu yang hanya membuatku semakin gelisah. Tiba-tiba pikiranku jadi melayang pada peristiwa satu tahun silam. Tatapan mata orang tadi. Ya, tatapannya. Sorat matanya. Ah, tidak mungkin, tidak mungkin!
Bayangan almarhum nenek berkelebat dalam pandangan mataku. Kemudian bayang-bayang dalam ingatanku menyusuri perisriwa satu tahun silam. Peristiwa di mana aku mengantar tubuhnya pada sisa hidup terakhir: “Kalau kau ingin cintamu yang abadi, maka masukilah keabadian. Maka masukilah kebadian, Radika!”
Aku mengenal tutur katanya. Tapi itu seperti bukan suaranya. Dan yang paling membuatku mengerikan saat itu adalah tatapan matanya. Ya, tatapan matanya. Bola mata nenek tiba-tiba keluar menusuk lubang mataku. Aku terhenyak dalam hitungan detik. Kemudian aku melihat ruh nenek sunyi dalam pelukan ajal. Sunyi. Sunyi sekali!
Ah, persetan dengan misteri-misteri, dengan mistis! Aku tidak percaya! Ketika itu aku hanya percaya diriku sendiri.
Tapi saat ini. Di kendaraan ini. Aku menciut. Aku terbayang lagi sorot mata nenek. Juga ucap kata nenek. Kubiarkan segala situasi di luar diriku terjadi. Harapanku hanya satu:: cepat sampai tujuan. Ya, cepat sampai tujuan!
Ah, lebih baik aku memperhatikan jalan. Ternyata baru sampai Riung Bandung. Berarti sebentar lagi. Sebab tujuanku adalah komplek Margahayu Raya. Melewati satu supermarket dan kemudian rumah sakit.
Tapi, aduh, kenapa pak supir mengendarai mobilnya oleng seperti ini. Hei, hei ada apa ini? Tak lama kemudian ada mobil ambulance mengikuti mobil ini. Perasaaku tadi tidak ada mobil sama sekali. Mustahil dalam waktu yang begitu cepat. Ini aneh! Aneh!
WIUW, WIUW, WIUW……..
WIUW, WIUW, WIUW……..
WIUW, WIUW, WIUW……..
Mobil ambulance semakin banyak. Ada dua. Tiga. Empat. Banyak sekali.
Ada apa ini? Ada kecelakaankah? Kebakarankah? Ada bom meledakkah? Atau mungkin peperangan antar warga yang memakan banyak korban? Kurasa Bandung bukan daerah konflik seperti itu meskipun bisa saja terjadi.
“Bu, Pak, ada apa ya?” tanyaku pada penumpang di depan dan di sampingku.
Sekali lagi, mereka tetap tak ada jawaban. Mereka hanya menatapku. Dan tatapan itu. Tatapan itu…..
Tiba-tiba, ya Tuhan, kepala penumang bergoyang-goyang ke kanan dan kiri. Bergoyang. Ya, bergoyang-goyang. Aku ingat, aku pernah melihatnya saat aku terakhir shalat berjamaah di masjid dekat rumah Saskia. Mereka menggerak-gerakan kepalanya saat berzikir setelah solat. Mereka mengucap Lailahaillalah.
Tapi di sini mulut mereka diam. Tidak seperti jamaah masjid yang pernah kulihat waktu itu.
O, Tuhan ada apa ini? Apa yang terjadi?
Ah ya lebih baik kucoba sms kekasihku. Pasti dia sudah tidur. Tapi tak apalah.
ABADI, A-B-A-D-I, A-B-A-D-I!
Ya ampun kali ini mereka mengucap kata-kata itu: Abadi, apa maksudnya? Apa lagi gerangan yang mereka katakan.
Kepala mereka terus bergoyang-goyang. tak terkecuali sopir angkotnya: Abadi! Abadi! Abadi! Wajah mereka lama kelamaan memutih. Bibir memucat. Dan matanya, bola matanya!
Angkot apa ini??
Aku masih tetap mengetik sms pada kekasihku.
ABADI, ABADI, ABADI!
O, tidak! apa maksud mereka? Di mana aku sebenarnya?
WIUW, WIUW, WIUW, WIUW………
Sirine ambulance semakin ramai mengikuti laju angkot yang kutumpangi. Meraka membuntuti kendaraanku semakin dekat. Jalur jalan by-pass menuju tujuanku ini memang ada dua jalur jalan. Jalur jalan lambat yang biasanya untuk angkutan umum dan motor. Kemudian jalur jalan cepat untuk kendaraan mobil pribadi dan truk.
Dan hei, hei pak supir kenapa belok kanan dan masuk jalur cepat, kan angkot dilarang?
Mobil belok seketika dalam kecepatan tinggi. Jalannya pun ugal-ugalan. Aku sudah panik tak karuan. Bibirku sudah ribuan kali mengucap istighfar. Dan tiba-tiba.
“Pir, supir, awas dari belakang adaaa……..”
TET TEEEEEETTT……..
BRAKKK!!
AAAAKKHHH !!
WIUW, WIUW,WIUW….
Aku melihat sebuah truk melesat cepat meninggalkanku jauh-jauh. Kemudian samar. Dan di mataku, ya, di mataku seperti ada potongan kaca dan darah. Aku tak mendengar lagi raungan siapa pun. Malam telah senyap. Bahkan aku tak lagi mengenal gelap. Samar-samar terdengar di kejauhan suara sepasang mata yang melambai, “Aku mencintaimu, Radika. Dan kau telah sampai ke tujuan,” saat itu, aku seperti diingatkan pada yang abadi.
2008-2010
*****
Goalpara: sebuah perkebunan teh di Kabupaten Sukabumi
Ieu bade ka Cicadas nya?: Ini mau ke Cicadas ya?
Sumuhun, hayu bu, hayu: Betul, ayo bu, ayo
Duh ieu mah dugi ka enjing ge moal nepi: Aduh, ini sampai besok juga nggak bakal sampai
Nya maklum we kusabab ieu nu terakhir, jadi sayang upami kosong : ya maklum aja sebab ini yang terakhir jadi sayang kalau kosong
*) Lahir di Jakarta tanggal 31 Desember 1985. Merampungkan studinya di Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Karyanya berupa puisi, cerpen dan artikel tersebar di beberapa media seperti Pikiran Rakyat, Seputar Indonesia, Radar Bandung, Batam Pos, Tribun Jabar, kompas.com. Kini bergiat di Komunitas Rumput dan Majelis Sastra Bandung.
http://oase.kompas.com/
Suatu waktu aku ingat perkataan nenek, saat kami datang berdua mengunjunginya di sebuah rumah di kaki gunung. Sebelum kami sendiri yang menyaksikan ajalnya tiba. Ia masih tertawa berseri-seri dengan sederet gigi palsunya. Dengan sepasang mata yang masih ceria. Saat itu, di bawah aroma kebun teh Goalpara, aku masih mengingatnya ketika aku bersama Saskia di sana.
“Berbahagialah kalian. Tapi jangan lupa, seseorang yang mengutamakan cinta, mereka pasti mengetahui siapa sesungguhnya yang mencintai kalian,” Ia kembali tertawa berseri-seri. Lagi-lagi dengan sederet gigi palsunya. Dengan sepasang mata yang kemudian menyimpan rahasia.
Ini kali pertamanya kata-kata itu keluar dari bibirnya. Dan aku seperti akan mendengar yang kedua kalinya. Entah di mana.
****
Satu hal yang paling kubenci di dunia ini di antara kebencianku yang lain adalah menunggu angkutan umum (angkot) ngetem selama berjam-jam. Seperti halnya malam ini. Kalau saja bukan karena ini kendaraan terakhir, aku pasti langsung turun pada saat lima menit pertama angkot ini ngetem. Kesalnya bukan main. Ditambah lagi hati yang lagi resah. Tuntas sudah rasa sesakku malam ini.
Di seputar bundaran Cibiru. Sebuah terminal bayangan. Aku mau pulang tapi tidak kembali ke rumah. Sebab rumahku pasti sudah dikunci. Itu juga bukan rumahku, melainkan rumah pamanku. Dan angkot ini kira-kira masih akan menunggu dua sampai tiga penumpang lagi. Biasa, sudah lewat malam begini sangat sayang kalau angkot kosong tanpa muatan penumpang sebab mereka tak yakin di tengah jalan nanti bakal banyak penumpang. Huh, sungguh sudah tak tahan rasanya.
“Ayo pak digeser, digeser, palih kanan, palih kanan,”
“Tahan, tahan, tahan, dua deui, dua deui, ayo, ayo pak!”
“Cadas, Cicadas, Cicadas,” teriak calo menggaet penumpang di terminal bayangan, bundaran Cibiru.
Malam semakin pekat. Jalanan becek karena hujan baru saja reda setengah jam yang lalu. Padahal biasanya dua hari berturut-turut, sampai pagi pun hujan tak akan reda.
Kaca jendela yang basah berembun aku susut dengan tangan. Di luar sana, mereka yang bertarung dengan malam masih asyik dengan pergulatan hidupnya. Ini demi hidup yang harus terus bertahan!
Di ujung dekat warung yang sudah tutup, pedagang rokok hampir tak kuat menahan beban matanya. Tapi mungkin wajah anaknya yang meringkuk di balik bungkus rokok dagangannya, selalu muncul dan menyulutnya menjadi kobaran semangat bertahan barang dua atau tiga jam lagi.
Di dekat toilet umum, dua orang pengamen jalanan masih sibuk menyetel senar gitar yang terasa sumbang. Masih muda. Sekitar duapuluh tahunan. Padahal aku yakin tak akan ada bus lagi yang akan lewat kecuali mereka hanya sekadar asyik memainkan gitar. Dan satu kehidupan lagi: calo angkot yang bersaing dengan angin menarik penumpang dari segenap penjuru, sebanyak-bayaknya.
Dari sekian potret keidupan itu tak ada yang tahu bahwa di dalam sini, di angkot ini, ada anak muda yang sedang gundah hatinya. Aneh, padahal ia baru saja bertemu kekasihnya.
“Radika, kecintaanku tak bisa diukur dengan kalimat yang selalu kau tuliskan dalam degup jantung dadaku,” ujarnya meyakinkanku dengan tatap mata sangat dalam. “melainkan seberapa besar kau mau melangkah bersamaku dengan langkahmu sendiri. Aku mencintaimu Radika.”
Bayangan Saskia masih hinggap di mataku. Saat ia memelukku erat. Saat bibirku mendarat di keningnya, kemudian bibirnya. Seperti kalimat-kalimat yang selalu kutulis dalam degup jantungnya. Saat itu pula mataku mengatakan cinta. Indah sekali matanya.
Dari sanalah kegelisahanku dimulai. Sejak tangannya melepas genggaman tanganku. Sejak bibirnya melepas bibirku. Sejak tubuhnya melepas pelukanku. Dan sejak waktu melepas pertemuanku dengannya.
“Aku juga mencintaimu Saskia, sampai bertemu bess….”
Belum sempat kalimat dari lidahku meluncur seluruhnya, tiba-tiba tubuh Saskia rebah di tubuhku. Ia memelukku sekali lagi. Matanya basah di jaketku dan semakin menggenapkan keresahanku.
****
Sekarang mengapa hatiku jadi resah. Hei, ada apa ini? Aku baru saja bertemu kekasihku. Tapi ah, suasana hati siapa sangka. Sekalipun sudah bertemu surga, kalau hati menginginkan lain, ya terjadilah. Padahal aku baru saja melepas rindu dengan sang kekasih di rumahnya. Padahal aku baru saja menatapnya. Tapi mengapa resah. Aku baru saja mengulum bibirnya dengan kata cinta. Tapi mengapa gulana. Aneh bukan. Dan angkot ini kian menambah keresahanku, kegundahanku, kegulanaanku dan sekian bentuk kegalauan lainnya.
Bayangkan mau tanya pada siapa coba kalau hati sendiri yang bermasalah. Masak bertanya sama penumpang di sebelahku yang tak kukenal sama sekali. Kan tak mungkin. Tapi tunggu, tunggu, sepertinya aku mampu mendeteksinya. Aku baru habis bertemu kekasih. Apa karena telah menatapnya lantas aku jadi merasa kecewa karena diriku mungkin bukan orang yang sempurna di matanya. Atau tiba-tiba pandangannya tentangku berubah. Seperti misalnya aku tak tulus lagi mencintainya. Ah, andai ia bisa mendekam dalam bilik jiwaku, ia akan tahu bagaimana sebenarnya perasaanku.
Setidaknya itu gejala-gejala yang baru bisa kudeteksi saat ini. Sebab keresahanku terjadi setelah aku bertemu dengan sang kekasih. Dan, yap! angkot sudah penuh. Paling lama dua menit lagi pasti jalan.
“A, ieu bade ka Cicadas nya?” taya ibu tua padaku.
“Sumuhun, bu, hayu bu, hayu,”
“Mbak, ini bener lewat Margahayu Raya?” suara lirih kudengar dari penumpang sebelah kiriku yang bertanya pada penumpang lain.
“Huh, lama banget ya. Udah penuh juga,” komentar penumpang lain.
“Duh ieu mah dugi ka enjing ge moal nepi,”
“Nya maklum we kusabab ieu nu terakhir, sayang upami kosong.”
Aku makin tak betah lama-lama di sini. Sumpek. Padahal bagiku naik angkot bukan hal aneh lagi. Ke mana-mana aku manfaatkan kendaraan ini. Dan kalau ngetem, selalu aku siasati dengan cara naik yang setengah penuh supaya tidak menunggu lama seperti ini. Sekarang aku duduk di ujung paling dalam. Nyempil. Badan kecil. Hati dan pikiran amburadul. Sesaknya minta ampun. Aku ingin cepat-cepat turun. Rasanya ingin berteriak saja.
Seandainya jiwaku bisa keluar dari tubuh ini.
AAAAAARRGGHH!
Kupejamkan mata. Kulenyapkan tubuhku dari dunia sekelilingku. Hening. Samar.
ZEPPPPSSSSS….
****
Aku masih berada dalam angkot. Angkotnya sudah berjalan. Para penumpang hanyut dalam pikirannya sendiri. Aku bisa menebak yang ada dalam bayangannya pasti rumah yang sudah dinanti-nanti.
Jalanan lengang. Itu bisa kusaksikan dari kaca jendela. Kendaraan jarang melintas. Orang-orang sepi.
“Bu, maaf, jam berapa ya?” tanyaku pada ibu yang duduk tepat di depanku.
Ia diam.
Lho, kenapa tak ada respon. Sekali lagi kutanyakan,
“Bu, ibu, maaf kalau boleh tau sekarang jam berapa ya?”
Sunyi.
Aneh. Coba kutanya bapak di sampingku. Aku lihat ia memakai jam tangan. Kebetulan jam dalam ponselku sedang kurang akurat.
“Pak, bapak, sekarang jam berapa ya?” pertanyaanku lagi-lagi direspon diam.
”Hei pak, bapak…!”
Kenapa mereka tidak menanggapiku. Ada apa ini?
Ah, mungkinkah mereka tuli. Atau memang mereka tak melihatku. Ah, tidak mungkin, tidak mungkin!
Udara dingin di luar menyeruak masuk. Pak supir mengendarai angkot semakin kencang. Aku semakin begidik campur gelisah yang belum hilang. Sekarang aku coba tanya jam pada penumpang lain. Mungkin dua orang tadi bermasalah pada pendengarannya. Aku tak ingin mengusiknya, bisa-bisa nanti tersinggung.
“Kang, maaf boleh tau sekarang jam berapa?”
Ia hanya melirikku. Kedua bola matanya tajam menusuk tatapanku. Dan ya ampun, kenapa tatapan itu, tatapan itu….
Aku kembali duduk tenang. Menenangkan diri tepatnya. Aku lupakan perkara waktu yang hanya membuatku semakin gelisah. Tiba-tiba pikiranku jadi melayang pada peristiwa satu tahun silam. Tatapan mata orang tadi. Ya, tatapannya. Sorat matanya. Ah, tidak mungkin, tidak mungkin!
Bayangan almarhum nenek berkelebat dalam pandangan mataku. Kemudian bayang-bayang dalam ingatanku menyusuri perisriwa satu tahun silam. Peristiwa di mana aku mengantar tubuhnya pada sisa hidup terakhir: “Kalau kau ingin cintamu yang abadi, maka masukilah keabadian. Maka masukilah kebadian, Radika!”
Aku mengenal tutur katanya. Tapi itu seperti bukan suaranya. Dan yang paling membuatku mengerikan saat itu adalah tatapan matanya. Ya, tatapan matanya. Bola mata nenek tiba-tiba keluar menusuk lubang mataku. Aku terhenyak dalam hitungan detik. Kemudian aku melihat ruh nenek sunyi dalam pelukan ajal. Sunyi. Sunyi sekali!
Ah, persetan dengan misteri-misteri, dengan mistis! Aku tidak percaya! Ketika itu aku hanya percaya diriku sendiri.
Tapi saat ini. Di kendaraan ini. Aku menciut. Aku terbayang lagi sorot mata nenek. Juga ucap kata nenek. Kubiarkan segala situasi di luar diriku terjadi. Harapanku hanya satu:: cepat sampai tujuan. Ya, cepat sampai tujuan!
Ah, lebih baik aku memperhatikan jalan. Ternyata baru sampai Riung Bandung. Berarti sebentar lagi. Sebab tujuanku adalah komplek Margahayu Raya. Melewati satu supermarket dan kemudian rumah sakit.
Tapi, aduh, kenapa pak supir mengendarai mobilnya oleng seperti ini. Hei, hei ada apa ini? Tak lama kemudian ada mobil ambulance mengikuti mobil ini. Perasaaku tadi tidak ada mobil sama sekali. Mustahil dalam waktu yang begitu cepat. Ini aneh! Aneh!
WIUW, WIUW, WIUW……..
WIUW, WIUW, WIUW……..
WIUW, WIUW, WIUW……..
Mobil ambulance semakin banyak. Ada dua. Tiga. Empat. Banyak sekali.
Ada apa ini? Ada kecelakaankah? Kebakarankah? Ada bom meledakkah? Atau mungkin peperangan antar warga yang memakan banyak korban? Kurasa Bandung bukan daerah konflik seperti itu meskipun bisa saja terjadi.
“Bu, Pak, ada apa ya?” tanyaku pada penumpang di depan dan di sampingku.
Sekali lagi, mereka tetap tak ada jawaban. Mereka hanya menatapku. Dan tatapan itu. Tatapan itu…..
Tiba-tiba, ya Tuhan, kepala penumang bergoyang-goyang ke kanan dan kiri. Bergoyang. Ya, bergoyang-goyang. Aku ingat, aku pernah melihatnya saat aku terakhir shalat berjamaah di masjid dekat rumah Saskia. Mereka menggerak-gerakan kepalanya saat berzikir setelah solat. Mereka mengucap Lailahaillalah.
Tapi di sini mulut mereka diam. Tidak seperti jamaah masjid yang pernah kulihat waktu itu.
O, Tuhan ada apa ini? Apa yang terjadi?
Ah ya lebih baik kucoba sms kekasihku. Pasti dia sudah tidur. Tapi tak apalah.
ABADI, A-B-A-D-I, A-B-A-D-I!
Ya ampun kali ini mereka mengucap kata-kata itu: Abadi, apa maksudnya? Apa lagi gerangan yang mereka katakan.
Kepala mereka terus bergoyang-goyang. tak terkecuali sopir angkotnya: Abadi! Abadi! Abadi! Wajah mereka lama kelamaan memutih. Bibir memucat. Dan matanya, bola matanya!
Angkot apa ini??
Aku masih tetap mengetik sms pada kekasihku.
ABADI, ABADI, ABADI!
O, tidak! apa maksud mereka? Di mana aku sebenarnya?
WIUW, WIUW, WIUW, WIUW………
Sirine ambulance semakin ramai mengikuti laju angkot yang kutumpangi. Meraka membuntuti kendaraanku semakin dekat. Jalur jalan by-pass menuju tujuanku ini memang ada dua jalur jalan. Jalur jalan lambat yang biasanya untuk angkutan umum dan motor. Kemudian jalur jalan cepat untuk kendaraan mobil pribadi dan truk.
Dan hei, hei pak supir kenapa belok kanan dan masuk jalur cepat, kan angkot dilarang?
Mobil belok seketika dalam kecepatan tinggi. Jalannya pun ugal-ugalan. Aku sudah panik tak karuan. Bibirku sudah ribuan kali mengucap istighfar. Dan tiba-tiba.
“Pir, supir, awas dari belakang adaaa……..”
TET TEEEEEETTT……..
BRAKKK!!
AAAAKKHHH !!
WIUW, WIUW,WIUW….
Aku melihat sebuah truk melesat cepat meninggalkanku jauh-jauh. Kemudian samar. Dan di mataku, ya, di mataku seperti ada potongan kaca dan darah. Aku tak mendengar lagi raungan siapa pun. Malam telah senyap. Bahkan aku tak lagi mengenal gelap. Samar-samar terdengar di kejauhan suara sepasang mata yang melambai, “Aku mencintaimu, Radika. Dan kau telah sampai ke tujuan,” saat itu, aku seperti diingatkan pada yang abadi.
2008-2010
*****
Goalpara: sebuah perkebunan teh di Kabupaten Sukabumi
Ieu bade ka Cicadas nya?: Ini mau ke Cicadas ya?
Sumuhun, hayu bu, hayu: Betul, ayo bu, ayo
Duh ieu mah dugi ka enjing ge moal nepi: Aduh, ini sampai besok juga nggak bakal sampai
Nya maklum we kusabab ieu nu terakhir, jadi sayang upami kosong : ya maklum aja sebab ini yang terakhir jadi sayang kalau kosong
*) Lahir di Jakarta tanggal 31 Desember 1985. Merampungkan studinya di Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Karyanya berupa puisi, cerpen dan artikel tersebar di beberapa media seperti Pikiran Rakyat, Seputar Indonesia, Radar Bandung, Batam Pos, Tribun Jabar, kompas.com. Kini bergiat di Komunitas Rumput dan Majelis Sastra Bandung.
Kamis, 24 Juni 2010
Putu Wijaya, Sejak Remaja Sudah Menggemari Sastra
Faidil Akbar
http://www.suarakarya-online.com/
Putu Wijaya yang kita kenal sebagai sastrawan mempunyai nama yang cukup panjang, yaitu I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya itu dapat diketahui bahwa ia berasal dari Bali. Putu memang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944.
Pada masa remaja ia sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Saat masih duduk di sekolah menengah pertama di Bali, ia mulai menulis cerita pendek dan beberapa di antaranya dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Ketika duduk di sekolah menengah atas, ia memperluas wawasannya dengan melibatkan diri dalam kegiatan sandiwara. Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya.
Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra.
Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.
Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres. Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974). Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1975 ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Setelah itu, ia juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman (1979-1985).
Ia juga mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001). Di samping itu, Ia juga pernah mengajar di Amerika Serikat (1985-1988).
Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya. Terhadap karya-karya Putu itu, Rachmat Djoko Pradopo (dalam Memahami Drama Putu Wijaya: Aduh, 1985) memberi komentar bahwa Putu berani mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bawah sadar, lebih-lebih libido seksual yang ada dalam daerah kegelapan. Di samping itu, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron.
Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Karyanya berupa drama ialah Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986), Edan, Hum-Pim-Pah, Dor, Blong, Ayo, Awas, Los, Aum, Zat, Tai, Front, Aib, Wah, Hah, Jpret, Aeng, Aut, dan Dar-Dir-Dor.
Sedangkan dalam bentuk novel diantaranya Bila Malam Bertambah Malam (1971), Pabrik (1976), Stasiun (1977), Keok (1978), Sobat (1981), Lho (1982), Telegram (1972), Tiba-Tiba Malam (1977), Pol (1987), Terror (1991), Merdeka (1994), Perang (1992), Lima (1992), Nol (1992), Dang Dut (1992), Kroco (1995), Byarpet (1995), Cas-Cis-Cus (1995), dan Aus (1996). Dalam bentuk cerpen terkumpul di sejumlah buku diantaranya bertajuk Bom (1978), Es (1980), Gres (1982), Klop, Bor, Protes (1994), Darah (1995), Yel (1995), Blok (1994), Zig Zag (1996), dan Tidak (1999).
Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang Ada.
Penghargaan yang telah diterimanya ialah sebagai berikut: 1967 Pemenang ketiga Lomba Sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (drama Lautan Bernyanyi). 1971 Pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ ( novel Telegram). 1975 Pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ ( novel Stasiun). 1980 Penerima SEA Write Award dari Kerajaan Thailand 1991-1992 Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang.
Sabtu hari ini, 12 Juni 2010, Putu Wijaya kembali memperlihatkan kepiawaiannya dalam sebuah drama pertunjukan menarik Kereta Kencana di Taman Budaya, Yogyakarta. ***
http://www.suarakarya-online.com/
Putu Wijaya yang kita kenal sebagai sastrawan mempunyai nama yang cukup panjang, yaitu I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya itu dapat diketahui bahwa ia berasal dari Bali. Putu memang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944.
Pada masa remaja ia sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Saat masih duduk di sekolah menengah pertama di Bali, ia mulai menulis cerita pendek dan beberapa di antaranya dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Ketika duduk di sekolah menengah atas, ia memperluas wawasannya dengan melibatkan diri dalam kegiatan sandiwara. Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya.
Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra.
Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.
Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres. Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974). Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1975 ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Setelah itu, ia juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman (1979-1985).
Ia juga mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001). Di samping itu, Ia juga pernah mengajar di Amerika Serikat (1985-1988).
Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya. Terhadap karya-karya Putu itu, Rachmat Djoko Pradopo (dalam Memahami Drama Putu Wijaya: Aduh, 1985) memberi komentar bahwa Putu berani mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bawah sadar, lebih-lebih libido seksual yang ada dalam daerah kegelapan. Di samping itu, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron.
Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Karyanya berupa drama ialah Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986), Edan, Hum-Pim-Pah, Dor, Blong, Ayo, Awas, Los, Aum, Zat, Tai, Front, Aib, Wah, Hah, Jpret, Aeng, Aut, dan Dar-Dir-Dor.
Sedangkan dalam bentuk novel diantaranya Bila Malam Bertambah Malam (1971), Pabrik (1976), Stasiun (1977), Keok (1978), Sobat (1981), Lho (1982), Telegram (1972), Tiba-Tiba Malam (1977), Pol (1987), Terror (1991), Merdeka (1994), Perang (1992), Lima (1992), Nol (1992), Dang Dut (1992), Kroco (1995), Byarpet (1995), Cas-Cis-Cus (1995), dan Aus (1996). Dalam bentuk cerpen terkumpul di sejumlah buku diantaranya bertajuk Bom (1978), Es (1980), Gres (1982), Klop, Bor, Protes (1994), Darah (1995), Yel (1995), Blok (1994), Zig Zag (1996), dan Tidak (1999).
Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang Ada.
Penghargaan yang telah diterimanya ialah sebagai berikut: 1967 Pemenang ketiga Lomba Sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (drama Lautan Bernyanyi). 1971 Pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ ( novel Telegram). 1975 Pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ ( novel Stasiun). 1980 Penerima SEA Write Award dari Kerajaan Thailand 1991-1992 Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang.
Sabtu hari ini, 12 Juni 2010, Putu Wijaya kembali memperlihatkan kepiawaiannya dalam sebuah drama pertunjukan menarik Kereta Kencana di Taman Budaya, Yogyakarta. ***
Zawawi Imron: Tak Ada Alasan untuk Tidak Mencintai Indonesia
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Hingga tak terpikir lagi bagi kami untuk membayarnya, lalu kami tambah lagi dengan utang-utang baru. Barangkali utang itu sejenis iblis yang tidak boleh memasuki pintu rumah kami. Kalau utang itu telah menjadi bulu rambut dan bulu ketiak dan tak sempat kami lunasi….
Jakarta – Petikan puisi bebas itu adalah salah satu puisi yang dibacakan penyair D Zawawi Imron selain sajaknya yang lain seperti “Ibu” dan “Zikir”, yang dia lantunkan sesuai orasi budaya di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (28/11).
“Zawawi lebih memikat dalam membacakan puisinya,” ujar sastrawan Imam Mutahrom, seusai acara orasi sekaligus pembacaan karya oleh penyair asal Batang-batang Madura itu. Namun, Zawawi memang punya cara tersendiri dalam mengawali, merangkai dan mengalirkan pendapatnya tentang kebudayaan.
“Kalau di desa, dengan Rp 500, kita bisa makan pagi, makan siang lontong soto Rp 1.000, dan makan malam seharga Rp 1.500. Di Jakarta uang sebesar itu cuma bisa kencing tiga kali di terminal,” ujarnya yang disambut tawa para hadirin.
Jenaka, itu gaya Zawawi. Penyair ini kemudian menyuarakan “romantisme agraris”-nya.
Demikianlah si penyair yang dijuluki si “Clurit Emas” itu berkisah tentang manusia yang berbeda dengan binatang, tak bisa seenaknya, penuh rambu-rambu moral. Manusia sejak kecil harus sudah bersekolah, harus pintar, harus jujur, harus mandi, harus pakai sabun, harus bikin rumah, harus bikin pabrik, harus demokrasi dan puluhan ribu harus yang lain.
“Jadi, dengan menghindari diri berlagak dengan gaya binatang, sebenarnya seorang manusia hanya menjalankan kodratnya sebagai manusia. Apa sulitnya seorang manusia menjalankan kodratnya sebagai lazimnya manusia,” ujar Zawawi, retoris.
Di depan podium Teater Kecil itu, lelaki pensiunan pegawai negeri Departemen Agama yang juga kerap di sapa “Pak Haji” dan hingga kini senantiasa berdakwah itu, mengomentari kemanusiaan yang pernah diucap Sayidina Ali bin Abi Thalib yang pantas untuk direnungkan, “Tidak lapar orang miskin kecuali karena rakusnya orang kaya.” Menurut pemahaman ini, sebenarnya rezeki dari Tuhan untuk manusia telah cukup.
Dari orasinya ini, Zawawi kemudian menyebutkan positif dan negatif dari sisa penjajahan Belanda, karena bagaimanapun adanya penjajahan Belanda pada awal abad ke-20 telah membawa bangsa Indonesia kepada wawasan baru dan modern.
“Namun, model pendidikan kita agaknya masih merupakan kelanjutan dari sisa pendidikan kolonial. Anak didik pedesaan diajak seperti anak Jakarta. Jarang ada keterampilan yang diajarkan sesuai dengan alam desa dan alam pesisir.
Anak-anak petani tidak ditanami penghayatan mendalam terhadap aroma lumpur sawah dan tanah tegalan, serta anak nelayan tidak diajar terampil menebar jala dan mengembangkan layar. Akibatnya sesudah tamat SMA sebagian mereka menjadi anak yang gagap untuk bekerja di desanya sendiri,” ujar Zawawi.
Dibuka oleh Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Marco Kusumawijaya, Zawawi pun berorasi puitik: “… Nanti bila saatnya kita mati, kita akan dikubur dalam pelukan bumi Indonesia. Daging kita yang meleleh akan bersatu dengan bumi Indonesia. Tak ada alasan untuk tidak mencintai tanah air. Tidak ada alasan untuk tidak menyantuni bangsa,” lantunnya.
http://www.sinarharapan.co.id/
Hingga tak terpikir lagi bagi kami untuk membayarnya, lalu kami tambah lagi dengan utang-utang baru. Barangkali utang itu sejenis iblis yang tidak boleh memasuki pintu rumah kami. Kalau utang itu telah menjadi bulu rambut dan bulu ketiak dan tak sempat kami lunasi….
Jakarta – Petikan puisi bebas itu adalah salah satu puisi yang dibacakan penyair D Zawawi Imron selain sajaknya yang lain seperti “Ibu” dan “Zikir”, yang dia lantunkan sesuai orasi budaya di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (28/11).
“Zawawi lebih memikat dalam membacakan puisinya,” ujar sastrawan Imam Mutahrom, seusai acara orasi sekaligus pembacaan karya oleh penyair asal Batang-batang Madura itu. Namun, Zawawi memang punya cara tersendiri dalam mengawali, merangkai dan mengalirkan pendapatnya tentang kebudayaan.
“Kalau di desa, dengan Rp 500, kita bisa makan pagi, makan siang lontong soto Rp 1.000, dan makan malam seharga Rp 1.500. Di Jakarta uang sebesar itu cuma bisa kencing tiga kali di terminal,” ujarnya yang disambut tawa para hadirin.
Jenaka, itu gaya Zawawi. Penyair ini kemudian menyuarakan “romantisme agraris”-nya.
Demikianlah si penyair yang dijuluki si “Clurit Emas” itu berkisah tentang manusia yang berbeda dengan binatang, tak bisa seenaknya, penuh rambu-rambu moral. Manusia sejak kecil harus sudah bersekolah, harus pintar, harus jujur, harus mandi, harus pakai sabun, harus bikin rumah, harus bikin pabrik, harus demokrasi dan puluhan ribu harus yang lain.
“Jadi, dengan menghindari diri berlagak dengan gaya binatang, sebenarnya seorang manusia hanya menjalankan kodratnya sebagai manusia. Apa sulitnya seorang manusia menjalankan kodratnya sebagai lazimnya manusia,” ujar Zawawi, retoris.
Di depan podium Teater Kecil itu, lelaki pensiunan pegawai negeri Departemen Agama yang juga kerap di sapa “Pak Haji” dan hingga kini senantiasa berdakwah itu, mengomentari kemanusiaan yang pernah diucap Sayidina Ali bin Abi Thalib yang pantas untuk direnungkan, “Tidak lapar orang miskin kecuali karena rakusnya orang kaya.” Menurut pemahaman ini, sebenarnya rezeki dari Tuhan untuk manusia telah cukup.
Dari orasinya ini, Zawawi kemudian menyebutkan positif dan negatif dari sisa penjajahan Belanda, karena bagaimanapun adanya penjajahan Belanda pada awal abad ke-20 telah membawa bangsa Indonesia kepada wawasan baru dan modern.
“Namun, model pendidikan kita agaknya masih merupakan kelanjutan dari sisa pendidikan kolonial. Anak didik pedesaan diajak seperti anak Jakarta. Jarang ada keterampilan yang diajarkan sesuai dengan alam desa dan alam pesisir.
Anak-anak petani tidak ditanami penghayatan mendalam terhadap aroma lumpur sawah dan tanah tegalan, serta anak nelayan tidak diajar terampil menebar jala dan mengembangkan layar. Akibatnya sesudah tamat SMA sebagian mereka menjadi anak yang gagap untuk bekerja di desanya sendiri,” ujar Zawawi.
Dibuka oleh Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Marco Kusumawijaya, Zawawi pun berorasi puitik: “… Nanti bila saatnya kita mati, kita akan dikubur dalam pelukan bumi Indonesia. Daging kita yang meleleh akan bersatu dengan bumi Indonesia. Tak ada alasan untuk tidak mencintai tanah air. Tidak ada alasan untuk tidak menyantuni bangsa,” lantunnya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati