Sabtu, 20 November 2010

Puisi-Puisi Heri Latief

http://sastra-indonesia.com/

Logika Terbalik

maksudnya nasi
bilangnya padi

kasus century
misteri, si tante sri pergi

Amsterdam, 25/05/2010



Bukan Sekedar Hayalan

orang pacaran mati
dirayu ombak laut selatan

Amsterdam, 23/05/2010



Bukan Cerita Bersambung

aku mulai merasa sudah tua, umurku 51 hampir 52, alhamdullilah. 28 tahun lamanya aku merantau ke barat, dan berintegrasi dengan cara setempat, tapi tak pernah aku bisa jadi seperti mereka. seleraku lain, aku di lahirkan di negeri panas nan ganas (rezimnya), sedangkan mereka sejak bulan mei 1945 (setelah perang dunia ke 2 selesai) sampai sekarang aman-aman aja dan makin kayaraya.

perang dunia ke 2 tak membuat mereka bangkrut, malahan mereka menyerang indonesia (1945-1949), padahal republik indonesia sudah ada sejak 17 agustus 1945.

memang betul, kehilangan indonesia yang paling mereka sesali, kerna alamnya yang cantik, bangsanya yang gampang dibentuk-ditekuk-tekuk dan punya mentalitas ambtenaar yang doyan korupsi.

Amsterdam, 23/05/2010



Perempuan Yang Berlawan

nyai ontosoroh namanya
kisah perempuan berhati besi
budak yang berani melawan kolonial sistem

sanikem, yang dulunya dijual ayahnya seharga 25 gulden itu
meradang, menggugat penjajah yang menghina kemanusiaan

salut untuk pramoedya ananta toer!

Amsterdam, 22/05/2010



Balada Akar Rumput Liar

kesucian kerna punya simbol kepercayaan?
manusia bergaya dengan segala macam cara
kemunafikan menutupi dosa sekarung
dan pahala dibeli di pameran materi

kesadaran kelas bukan kado dari langit
realitas ganas dalam pertentangan kelas
masalah kemiskinan di sistem yang salah
bukan kepasrahan yang takluk pada dogma

kebenaran dicari di laci emosi?
sisa bir tadi malam masih setengah gelas
diskusi politik dibatasi traumatisme
melupakan sejarah adalah dosa tak berampun

tetaplah semangat membela hak rakyat
semua ide keadilan datang dari bawah sana
dari gerakan akar rumput liar

Amsterdam, 20/05/2010



Panggung Pembantaian

thailand, kemana bermuara idenya perang sodara?
banjir darah demi kepentingan siapa boss?

rakyat marah berbaju merah
dan peluru sembunyi di gedung pencakar langit

rajanya diam seribu bahasa
tahta kerajaan didukung ekonomi perbudakan

di balik senyum pecandu yaba
cermin kepedihan yang sangat luar biasa

tragedi negeri seribu patung budha
jadi panggung pembantaian manusia

Amsterdam, 19/05/2010

Kisah “Besar” Keluarga Toer

Nirwan Ahmad Arsuka*
http://cetak.kompas.com/

• Judul: Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer • Penulis: Koesalah Soebagyo Toer dilengkapi Soesilo Toer • Penerbit: KPG, Jakarta, 2009 • Tebal: 505 halaman (termasuk lampiran)

Sebagai karangan yang banyak bertumpu pada ingatan, memoar adalah ragam karya yang bergerak di antara dua kutub: sejarah dan sastra. Jika ingatan itu ditopang sekaligus dijaga ketat oleh catatan kejadian nyata, disusun mengikuti arus waktu yang bergerak lurus kronologis, karangan itu akan menjadi biografi atau otobiografi penting.

Jika ingatan tak harus tunduk sepenuhnya pada catatan ketat kejadian sejarah dan karangan disusun tak harus mengikuti aliran waktu yang lurus, tak jarang bahkan membiarkan diri terseret oleh arus kesadaran yang berkelok-kelok, karangan itu bisa menjadi novel besar.

Memoar ini memang disusun mengikuti arus waktu linier, tetapi terasa agak menjauh dari ”riwayat hidup” Pramoedya Ananta Toer yang ”seharusnya” menjadi pusat cerita dari awal hingga akhir. Pram memang tampil juga dalam karangan ini, tetapi cukup sering ia hadir agak jauh di latar belakang. Kita harus menempuh sekitar 100 halaman untuk sampai pada momen penting yang bisa mengoreksi, setidaknya memperkaya, pemahaman kita tentang Pram.

Momen-momen penting itu, antara lain, pertemuan Pram dengan ayahandanya yang sekarat, tekadnya membangun kembali rumah warisan yang telantar, atau pilihannya pada keris pusaka ayahandanya saat terjadi pembagian warisan.

Buat saya, kisah kecil itu mengubah kesan tentang Pram yang pendendam, yang tak bisa melupakan perlakuan ayahnya yang menyakitkan karena menganggap dia dungu dan harus mengulang sekolah. Kesan pendendam ini mencuat dalam prosa awal Pram sendiri, yang kemudian banyak dikutip dan disebarkan sejumlah pengkaji Pram.

Kisah kecil lain, seperti tekad Pram menyekolahkan adik-adiknya dan merawat yang sakit, kegundahannya menumpang sementara di rumah adik ipar yang kurang ia sukai, menunjukkan Pram, meski punya cita-cita kebangsaan besar, memang hanya manusia biasa saja yang tak perlu ditakuti. Maka, memang ada yang luar biasa ganjil jika pemerintah resmi negara besar yang punya angkatan bersenjata paling kuat di Asia Tenggara begitu takut kepada seseorang sehingga ia harus dicurigai dan diawasi terus dan seluruh karyanya digolongkan terlarang.

Pisau lipat

Cerita tentang Pram yang sempat membawa pisau lipat ke tempat kerja, prinsipnya untuk harus selalu menang dalam perdebatan, dan bahwa kepentingan bangsa lebih tinggi daripada kepentingan keluarga dan anak, semua ini mempertegas apa yang dengan mudah kita temui pada karya sastranya: ketangguhan tak tertandingi dalam memperjuangkan sesuatu yang dianggap berharga dan kesediaan menanggung seluruh akibat dari perjuangan tersebut.

Membaca memoar dua adik Pram ini dan mengingat apa yang telah diberikan Pram kepada bangsanya, kita memang bisa kecut melihat ketimpangan yang mencolok mata itu. Pram telah mempersembahkan begitu banyak buat bangsanya dan begitu sedikit yang dia peroleh.

Dari Pram, kita memperoleh karya yang bisa membangunkan pembaca menyadari sisi kelam masyarakat sembari menghamparkan wawasan sejarah dan dunia rasional buat bangsa belia yang tengah menjadi. Jika Raja Ali Haji dengan karya sastranya, misalnya, bisa diperjuangkan menjadi pahlawan nasional, Pram dengan anak-anak rohaninya jelas sangat layak (kalau bukannya lebih) juga dihormati sebagai putra terbaik bangsa.

Sambil menunggu berubahnya sikap resmi pemerintah terhadap Pram, saya membayangkan ada penulis yang bekerja mengolah lagi dengan sungguh-sungguh memoar setebal 500 halaman ini. Bahan yang disajikan bisa tumbuh menjadi novel bagus, di mana Blora bisa menjadi sejajar dengan Combray (Marcel Proust), Yoknapatawpha (William Faulkner), atau Macondo (Gabriel Garcia Marquez). Bedanya, Combray, Yoknapatawpha, atau Macondo adalah tempat fiktif meski mengambil ilham dari tempat nyata, sementara Blora sepenuhnya tempat yang benar-benar nyata.

Buat saya, Mastoer Imam Badjoeri, ayahanda Pram bersaudara itu, menduduki posisi yang agak mirip dengan Jose Arcadio Buendia dalam Seratus Tahun Kesunyian. Tentu saja Jose Arcadio Buendia, yang lahir dari tangan seorang tukang cerita piawai pemenang Hadiah Nobel, akan terasa lebih mencengangkan dibandingkan Mastoer. Tetapi, ada pola yang mirip di antara kedua kepala keluarga ini.

Memang, Mastoer tak membangun permukiman baru surgawi, yang ia namakan dengan kata yang tak pernah ia dengar sebelumnya, yang tak punya arti sama sekali, sebuah gema adikodrati dari mimpinya. Tetapi, Mastoer juga adalah seorang patriarkh yang melalui masa mudanya sebagai seorang penuh semangat, pekerja keras yang setia pada impiannya—membangun pendidikan dan menyebarkan pengetahuan ilmiah di kalangan pribumi yang tertinggal dan tertindas. Jika Jose Arcadio Buendia menjalani masa tuanya sebagai patriarkh linglung dan bertahun-tahun terikat pada pohon chestnut raksasa di halaman, Mastoer menghabiskan masa akhir hidupnya sebagai kepala sekolah yang kecewa, penjudi tangguh, sebelum akhirnya terpacak di tempat tidur dengan paru-paru remuk dimakan TBC.

Kisah Mastoer dan sejumlah tokoh kecil dalam memoar ini membuat saya sadar bahwa cara baca yang suntuk mencari Pram ternyata keliru. Pembacaan yang terpaku pada Pram, yang diarahkan judul memoar ini, mencegah saya larut sepenuhnya sejak dari halaman pertama. Buku ini harusnya dibaca tanpa perhatian yang memusat pada satu tokoh. Ia mesti dibaca dengan keterbukaan yang setara pada semua karakter yang muncul. Pram memang tokoh yang sangat menarik, tetapi buku ini menghidangkan sesuatu yang lebih kaya ketimbang ingatan pada seorang sosok istimewa.

Pada akhirnya, buku tebal ini adalah cerita tentang keluarga dengan anggota yang bergerak mencapai impian masing-masing, menanggapi zaman yang kadang bergejolak di luar kendali, dan kadang berselisih karena sejumlah hal yang mungkin penting mungkin sepele. Mereka menempuh berbagai gerak turun dan naik zaman yang berlalu, dari zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Terbawa arus waktu tak menentu, keluarga dengan patriarkh yang begitu peduli pada pendidikan bangsanya itu dihantam prasangka umum dan gejolak politik: hampir separuh anak sang patriarkh dituduh sebagai musuh negara. Tetapi, keluarga yang guncang dan terburai terjangan sejarah ini pelan-pelan berusaha menyembuhkan diri sembari membela dan meraih kembali martabatnya yang terampas.

Kisah keluarga Blora dengan segenap warnanya yang tak semua amat memikat ini adalah juga kisah orang-orang Indonesia—kisah yang mirip dengan yang dialami ribuan keluarga di Tanah Air. Setidaknya, kisah dengan pola seperti ini mungkin terjadi pada keluarga yang beberapa anggotanya punya nalar yang bermimpi kelewat aktif, mimpi tentang revolusi yang dapat mengubah nasib bangsanya dengan cepat. Sayangnya, mimpi itu tertabrak berbagai mimpi lain yang mungkin saja tak kalah aktifnya, tetapi telah diracuni berbagai prasangka dan kepicikan kolektif.

*) Nirwan Ahmad Arsuka Penulis Esai

Pulau Talango

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Talango menghampar di depan mata. Namun, untuk merengkuh serta menjalajahi datar tubuh, bukit, lembah, ranau pepohon nyiur dan sayur mayur, aku perlu setapak langkah lagi. Tanpa perahu-perahu dan kapal kecil, Talango masih sayup bergelayut di riak-riak ombak.

Essang, desa itu ditulis Sindi dalam suratnya kepadaku. Satu di antara beberapa desa jujugan tengkulak cabe merah dari Pamekasan, Sampang dan Sumenep. Luas pulau Talango, seluas kecamatanku. Namun rumah-rumah lawasnya sudah banyak berganti still desain baru. Apalagi hamparan tanaman cabe, bak gelaran emas 24 karat saat area cabe Brebes dan sebagian pulau jawa tergenang banjir.

Di ujung Kali Anget, mata para tengkulak sudah berwana hijau. Ubun ubun mereka terlihat sibuk mengacak angka. Berbeda dengan aku yang sibuk mengacak gadis berwajah oval, alis tebal, kuning langsat cina, dan keramahannya.

Aku menangkap wajah Sindi saat ia menyelinap di gang kota dekat bukit Asta Tinggi. Ia bagai merak biru sedang melintas. Kepakan sayapnya mengibas bulukudu dan memathuk segumpal darah jantung hatiku. Geragap pathukan itu benar-benar melumpuhkan daya cintaku dengan ramuan Maduranya. Sebusur anak panah ku lepaskan dari jemparingnya tepat ke ulu hati. Dan di malam valentine ia jatuh terkapar di alun alun kota Sumenep. Aku mendekatinya di antara denting time thunnel masjid barat alun alun. Segera kukemasi, kupungutu rontok helai bulu bulunya dan kusanggar rapi dalam sangkar hatiku.

Sejak itu kota yang tadinya asing, kini menjadi ramai. Lampu lampu tampak mencorong di pojok kota tua yang kerap aku habiskan malam malamnya. Aku jadi betah mendengarkan penjual kaset memutar lagu lagu ala Madura yang dinyanyikan dengan aransemen musik meniru garapan si Alif pencipta lagu oeseng Banyuwangian yang diminati perantau Singonjuruh, Blambangan, Sritanjung, Ketapang yang bermukim di Denpasar. Padahal, aku tidak mengerti bahasanya.

Bersama Sindi, hari dan kota itu menjadi tepian sorga yang semilirnya tercipta khusus untukku. Sementara orang lain hanya menjadi pelengkap sausana kota. Apalagi ketika gerimis mengguyur becek bumi dari langitnya yang dirundung mendung. Bumi dengan sabarnya mewadai segala tumpahan gelora asap jingga yang menyekat pandangan kampung halaman. Langit dan bumi pun larut dalam dekapan semusim yang merekahkan kelopak teratai ungu di pancuran jantung kota.

Pagi di Februari. Sindi mengajariku lagu ‘Sapu Tangan Merah’nyaYus Yunus yang sering ku lantunkan. Duh Halimah se manis / manis rasana manggis / kenangan yang indah / tetap teroker di mata / duh Halimah se redin / potrana bapak Moden / kenangan yang indah / tetap teroker di mata /. Bagai sepasang menjangan kami berlarian menerobos semak belukar kawasan hutan Batangbatang. Selain pembakaran batu putih di tungku perapian, pemandangan memanjang adalah bonsai cemara udang, tanaman yang hanya tumbuh di tempat itu, sekitar pantai Lombeng. Kata Sindi, harga bonsai cemara berdahan elok itu mencapai jutaan rupiah. Bahkan kerap dipesan hotel berbintang dan reil esteat ibu kota.

Berbeda dengan Jawa yang banyak ditanami tebu, Batangbatang pohon nyiur berbaris rapat. Sesekali kami melihat petani turun dan memanjat pohon kelapa. Tak heran jika pelosok utara Sumenep ini terkenal penyuplai gula kelapa. Seingatku, inilah desa yang D.Zawawi Imron pernah mengatakan kalau dirinya tidak dibesarkan di gedung mewah milik orang kota, melainkan dari deresan pohon kelapa dan siwalan.

Dua jam pelesir bersama Sindi waktu memendek sepuluh menit. Dan pantai Lombengnya / berpagar pohon cemara /. Ohh sungguh, tak hanya wajah Sindi selaksa jelmaan bidadari, pantai Lombeng ini lebih dari sekedar yang dinyanyikan Yus Yunus. Aku sadar, kesalahanku kadang memercayai kabar dari kenyataan.

Sindi lama duduk di sampingku. Pantai seperti tak henti berkisah tentang kepiting dan rajungan, atau siput dan kerang. Rambutnya tergerai, walau hanya pendek sebahu. Kuning tangan dengan bulu lenting yang agak kentara, Sindi menggandengku menginjak desiran ombak. Matanya yang teduh ia lempar jauh ke tengah samudera. Aku tak mengerti persis kata hatinya, sepertinya aku disuruh menyaksikannya.

Tiba tiba fikiranku mengembara seperti angin di atas samudera. Terkaku menyangka, apa sih yang dikatakan samudera ketika kita dibibirnya? Tentang keluasan? Yang aku harus melintasinya walau tak menyeberangi. Tentang kedalaman? Yang aku harus menyelami tuk menyaksikan terumbu karang, ikan dan mutiara. Tentang kapal dan perahu sampan? Yang aku diayunkan gelombang dalam bahtera setiap aku berlabuh. Atau tentang badai? Yang akan menenggelamkan aku hingga ke dasarnya.

Lama Sindi berdiri. Ia seperti berbicara kepada laut. Sedang aku menoleh ke belakang. Tampak bercak telapak sepasang kaki kami terukir di pesir putih. Sekali nelayan melaut, ada tiga jawabnya, pulang membawa ikan, membawa sampan, atau membawa nama. Aku yang tak berani mencampuri kekhusyukannya berelaxasi dengan laut, cuma menangkap bahasa tunggu. Ohh, aku ingin menjadi laut, agar mendengar segala keluhan dadanya selain saat bersamaku. Sebab lelaki yang mencintai wanita, ia mengetahui detail hal terkecil pun yang terselip dalam wanita.
***

Seminggu aku gelisah. Itulah ketololanku yang tak jelas. Gampang menarik persoalan orang lain kedalam pribadiku. Bahkan urusan negara sekali pun. Demo mahasiswa sudah membludak di mana mana. Sedang sekali demo, tak jarang ada tubuh terluka. Meski bukan sanak famili, tak kuasa aku menghapus cemas. Hidup di negri dungu seperti karbau ini, urusan demo tak dimengerti. Demo sampai mampus sekali pun tak digubris, tak dihargai, sebab pemerintah memang orang yang tak siap didemo, dikritik, diusik kenyamanannya saat bertahta. Yang pemerintah inginkan hanyalah enjoi dengan kenyamanan jabatan.

Sehabis isyak tiba-tiba pintu no 9 terbuka. Kamar persegi empat yang kuhuni bersama laptop bututku. Mul dan Mamat, “permisi Kak,” dua perjaka yang akrab denganku masuk sengan khas sarung dan kopyahnya. “Besok setelah jum’atan ada demo di masjid agung lun alun. Yang ramai ramai bawa kain panjang itu lho Kak.” Dengan logat Maduranya, Mul dan Mamat mengabariku. Jariku terhenti di keybord laptop. “Kalian antarkan aku ke studio siaran radio, yang jam segini memutar tembang hits anak negri.” Sejenak mereka berfikir, “oow Sancaka FM, aku kenal penyiarnya Kak, orang dari Malang. Aku sering ngasi bungkusan tembakau Prancak. Katanya sih, buat bapaknya kalau sedang pulang kampung.” Tanpa mereka tau tujuanku, kami boncengan bertiga.

Sebelumnya mereka menjelaskan kalau motornya ‘Durno’, motor di kota Sumenep yang tidak ada STNKnya. Motor ini dibeli dari kapal asing dengan harga murah meskipun baru. Dari pada tertangkap polisi, kami melewati gang gang terobosan ke Sancaka FM. “ Dari pada uang dikasikan polisi, mending buat nongkrong di warung kopi mas,” gumam Mul sambil nyetir berkelak-kelok. “Saya dan Durno ini pernah kepergok operasi satlantas, ahirnya motor tak tuntun dan tak jalankan mundur. Pas saya dicegat, ditanyai surat, tak jawab, lho pak polisi, yang ada undang-undangnyakan kelau mengendarai motor, inikan saya tak tuntun, lagian jalannya kebelakang, kan gak ada hukumnya.” Spontan kelakar Mamat membuatku terpingkal, dan konsentrasi setir Mul pun buyar. Siiett! Awas! Brakk! Durno terguling. Mamat terpental kejebur got bacin. Lututku berdarah. Kepala Mul bonyok. Gara-gara se ekor kucing betina lari menyeberang dadakan. Rupanya kucing betina tak punya pilihan, kecuali lari sekencang kencannya saat dikejar dan hendak diperkosa kucing jantan.

Sesampai di studio, Mamat melobi nimbrung kirim atensi. Dengan alasan penting, Mamat meminta penyiar membaca puisi yang kusuruh. Sketsa Wajah Rasul / Cukuplah tinta kebodohanmu melukis wajahnya / Mampukan jarak pandangmu merumuskannya / YaaRasul atas ketimpangan ini / Volume kepalaku tidaklah menciut atau membesar / Karna tetap saja aku bisa mengantuk / Cintaku takkan surut / Karna cahyamu adalah / bagian hidupku / YaaRasul / Bagiku kau lebih indah jika bersemayam / Dalam hati ketimbang eksemplar sampah / Yang kau kibar-kibarkan itu / Sumenep Februari 2006 /. Sebagai mana pendemo senusantara, atas nama pemuda muslim Sumenep turut memrotes ulah pemuda Denmark yang melukis wajah Rasululloh.

Sepulang dari studio, Durno dan tiga penunggangnya kembali belusukan di gang. Entah tak jelas sebabnya, esok hingga pukul empat sore, tidak ada tanda aktivis berdemo.
***

Semua alun-alun yang ku jumpai, kini dipakai pasar dadakan. Lumayan buat warga refresing bersama keluarga. Bersama Sindi, aku habiskan sisah waktu pulang kerjanya yang agak siang. Tak ku duga, sekeluar dari warung soto Madura, empat lelaki menghujaniku kepalan tangan berkali-kali. Mendengar perkataan kerasnya, mereka menuduh aku nyenggol pacarnya. Cerita Sindi, mereka lari setelah aku memar dan tidak sadarkan diri. Orang orang dan beberapa teman yang mengenalku selama di kota itu, membopongku pulang. Aku melihat Sindi sedang menyaput bonyok wajahku dengan air hangat saat aku siuman dari pingsan semalam.

Wajah cemas Sindi rubuh ke dadaku. Air mata kewanitaannya tumpah bersama tangis. Mul dan Mamat rupanya cerita ke Sindi perihal usahaku menggagalkan aksi demo dengan beratensi puisi ke studio. Ketangguhan hati seorang wanita tak sebanding dengan rasa kekhawatirannya atas kehilangan orang yang dicintainya. “Mas jangan konyol. Semenjak rencana pemangunan jembatan Suramadu tidak bisa digagalkan para kiai, negriku ini akan menjadi milik orang asing. Tembakau yang masih di sawah sudah ditukar dengan motor kriditan. Yang mengeroyok Mas semalam para provokator kordinasi demo yang sudah dibayar 60 ribu dollar oleh kedutaan Amerika. Mereka kecewa kerena puisi Mas di radio Sancaka FM semalam.” Aku terhenyak di awal siumanku. Ternyata Sindi mengetahui detail konstelasi perpolotikan penggalang demo.
***

Empat tahun sudah berlalu. Kota dengan segala kenangan masa laluku bersama Sindi memanggilku singgah di kota ini. Empat tahun lalu, bulan Rajab tanggal muda, aku meneguhkan kelulusan Sindi dalam mencintaiku. Ia tak hanya mendampingi kala sukaku, kala duka dan aku jatuh terpuruk pun ia setia menemaniku. Sungguh suatu pengorbanan yang oleh para lelaki perlu waktu seumur hidup untuk melupakannya.

Keinginanku untuk meminangnya pun kandas, saat tangisan Sindi meledak di dadaku. “Waktu kecil aku pernah dijadikan pendamping pernikahan kemanten. Dua gadis kecil sebelah kiri, dan dua lelaki kecil sebelah kanan. Tradisi di sini sama artinya aku sudah dijodohkan sejak kecil. Dengan pendamping lelaki kecil pasanganku, kami tak perlu lagi berijab kabul jika sudah dewasa. Tubuhku ini sudah terpasung tradisi. Namun cintaku dibiarkan mengembara. Sesungguhnya aku hanya bahagia jika hidup denganmu. Tetapi tak bisa menikah denganmu. Maafkan aku mas!”

Dari ujung pulau ini aku ingin menatapmu walau sejenak. Aku berharap hijau ranau Talango adalah riang wajahmu hidup di seberang sana. Mungkin anakmu satu atau dua, atau mungkin tradisi negrimu yang memecahkan rekor dunia menciptakan janda muda.

(Sumenep 2006-2010)

Pram, Buku dan Sastra Rasa Penjara

Catatan Buku Biografi Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)
Rama Prabu *
http://oase.kompas.com/

Membincangkan Pramoedya Ananta Toer atau lebih dikenal Pram memang tak ada habis-habisnya, terbukti satu lagi buku biografi menambah khasanah dalam hal itu. Pram memang menarik untuk dibahas, dari sudut manapun terlebih jalan hidupnya yang berliku tak sewajarnya sebagai seorang tokoh perjuangan yang pada akhirnya lebih memainkan penanya dari pada terjun langsung dalam kancah politik nasional. Tapi jangan dikira, menjadi pengarang, menjadi sastrawan justru Pram telah membuat jalur sendiri dan menarik lawan politiknya untuk ikut dalam konsep permainan tinta hitamnya.

Buku Muhammad Rifai, dengan judul Pramoedya Ananta Toer ini memang tidak menghadirkan kebaruan baik data maupun fakta-fakta sejarah, dia hanya merangkumnya, meramunya serta menghimpun cerita-cerita yang berserakan disekitar Pram. Tapi ini patut diapresiasi khususnya bagi mereka yang hendak melakukan penelitian mengenai sosok pram maupun bagi Pramis sendiri. Ada beberapa yang menarik perhatian, selain sejumlah karya baik yang dapat terselamatkan ataupun karya-karya yang dihilangkan penguasa sampai cerita dinominasikannya Pram untuk hadiah Nobel Sastra, hal itu pertama, ada dua periode yang menjadi pertentangan besar kalangan sastrawan sebut saja Kelompok Manikebu dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang didalamnya ada Pram, yaitu ketika Lekra memenangkan pertaruangan politik dengan ujung dilarangnya kelompok Manikebu oleh Soekarno karena menghalangi cita-cita Revolusi, satu kemenangan Pram secara nyata dengan realisme sosialisnya; dan kelompok Manikebu juga kemudian bersitegang kembali dengan Pram ketika Pram akan dianugerani hadiah Magsaysay Award, tokoh sastra seperti Muchtar Lubis, H.B. Jassin, Asrul Sani, Rendra, Taufik Ismail, Ikranagara da 26 pengarang lainnya melakukan protes terhadap keputusan Yayasan dan mendesaknya membatalkan keputusan tersebut. Alasan mereka peran terkemuka yang selama bertahun-tahun dimainkan Pram sebagai pemuka lekra dalam penindasan terhadap seniman yang tidak sepaham dengan dia, mereka juga berkata “dia memimpin penindasan kreativitas penulis, dramawan, sineas, pelukis dan musikus non komunis, melecehkan kebebasan ekpresi, menyambut pelarangan buku dan piringan hitam dan mengelu-elukan pembakaran buku besar-besaran di Jakarta dan Surabaya.

Disebut juga sebagai faktor pemberat bahwa ‘sebegitu jauh Pramoedya tidak pernah menyesalkan peran yang dilakukannya dahulu, tidak pernah mengakui seluruh sepak-terjangnya dimasa itu sebagai tindakan pemberangusan kemerdekaan kreatif yang dilakukan secara sistematik’, saya menyangkan pendapat Rifai dalam hal ini, dia seolah memberikan simpulan dari kejadian masa lalu yang masih abu-abu itu. Rifai berkata “Pram tetap keras kepala menolak bertobat dan meminta maaf atas kelakuannya sebagai pemuka Lekra. Ia tetap penuh amarah terhadap perlakuan yang ia derita selama 20 tahun lebih.” Pernyataan ini dapat disimpulkan oleh pembaca bahwa Pram benar melakukan apa seperti yang dituduhkan kelompok Manikebu yang minus Goenawan Mohamad, Arif Budiman dan Ajip Rosidi karena mereka justru berada pada kelompok yang kembali memberikan ruang bagi pencarian jalan tengah.

Saya tertarik dengan pernyataan Arif Budiman yang bijaksana “kita menciptakan budaya baru di mana kita saling menghormati martabat orang lain, meskipun dia berlainan pendapat dengan kita. Saya terntu berharap bahwa karena sikap saya ini, Pram akan menjadi setuju dengan saya, bahwa bagi seorang intelektual, kebebasan manusia lebih bernilai ketimbang kekuasaan”, bahkan Goenawan Muhamad sendiri mempunyai alasan dan tidak menandatangani nota protes tersebut yaitu bahwa Pram masih belum bebas, belum dipulihkan hak-hak sipilnya, masih ada pelarangan terhadap bukunya, pelarangan bepergian ke luar negeri, dan lain-lain.

Jadi simpulan yang masih wilayah kontroversi itu malah akan membuat kontoversi lain lagi. Kedua, pelakuan penindasan, penyiksaan dan tahanan tanpa proses pengadilan yang diterima Pram baik pada masa Orde Soekarno maupun Orde Soeharto oleh Pram tidak dibalas dengan menjelek-jelekan Indonesia begitu bahasa penulis buku tersebut, dalam karya-karyanya Pram mengajak seluruh rakyat dan penguasa Indonesia untuk tidak melupakan para pahlawan yang memberikan sumbangan tenaga, pikiran, harta dan nyawanya untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia. Dengan Pram-lah nama Indonesia menjadi terkenal di dunia Internasional lewat buku-buku yang humanisnya serta sarat dengan ajaran-ajaran kemanusiaan, keadilan dan perjuangan HAM-nya. Pertanyaannya, selain Pram pada kedua era tersebut siapa lagi Sastrawan yang dapat kita banggakan, mengharumkan nama bangsanya, kelompok Manikebu yang tetap menghirup udara bebas pun tak mampu melakukannya!

Itu fakta sejarah yang harus dicatat dengan tinta emas, bahwa bangsa Indonesia bangga pernah memiliki seorang sastrawan yang mencapai tingkatan paripurna. Dan bagi saya, bintang mahaputra itu harus segera disematkan pada dada kirinya walau beliau kini telah tiada, penghargaan terbaik dari bangsa untuk sastrawan yang jadi pahlawan. Jadi, gelar pahlawan itu tak hanya kita berikan pada mereka yang pernah mengangkat senjata bertempur walau jadi tukang bawa peluru tapi bagi sastrawan yang benar-benar telah berjasa memberikan pencerahan dan petunjuk jalan, jadi lentera bagi bangsanya, dalam hal ini saya setuju dengan yang dikemukakan penulis dalam hal nasionalisme Pram yaitu Pram tidak menyetujui penjajahan karena penjajahan telah merusak sendi kehidupan masyarakat, berbangsa termasuk sendi kehidupan keluarga dan menyengsarakan kehidupan manusia, konsepsi nasionalisme Pram dipengaruhi oleh pemikiran revolusi sosialis atau nasionalisme kiri, hal tersebut terlihat dari aspek humanisme, sosialisme, kebencian terhadap barat-asing nasionalisme dari spirit rakyat yang minoritas dan tertindas.

Dan perkembangan konsepsi nasionalisme Pram di era Orba bagaimana nasionalisme keindonesiaan dikontektualkan dengan perlawanan atau penentangan adanya kekuasaan yang absolut, tiran, korup, formalis, dan administratif, dimana Pram berkeinginan kekuasaan yang memberikan kebebasan berekspresi dan berkreasi dan terutama memikirkan kemiskinan warganya; ketiga, berkaitan dengan pelarangan buku yang pernah diderita Pram selama perode kepengaranganya, yang dalam hal ini dimulai semenjak penyerbuan rumah yang sekaligus perpustakaannya pada medio Oktober 1965 dan beberapa buku yang dilarang pihak Kejaksaan, dalam buku ini masih ditulis adanya pelarangan buku tetapi semenjak diumumkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pada 13 Oktober lalu, pelarangan barang cetakan, termasuk buku, kini hanya dapat dilakukan melalui proses hukum dan diputuskan oleh pengadilan. Putusan ini merupakan tanggapan Mahkamah Konstitusi atas permintaan uji materi terhadap UU No 4/PNPS/1963 yang diajukan oleh sejumlah penulis, penerbit, dan peminat bahan bacaan sejak akhir tahun lalu sampai awal tahun ini.

Menanggapi hal tersbeut, saya sependapat dengan Atmakusumah (Kompas, 18 Oktober 2010) bahwa larangan peredaran buku tidak pernah efektif dalam situasi politik apa pun. Termasuk pada 30 tahun masa pemerintahan otoriter Orde Baru dan dalam suasana yang sama selama 10 tahun terakhir masa Orde Lama. Buku-buku karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, misalnya, beredar luas di negeri kita pada masa Orde Baru walaupun dilarang oleh Kejaksaan Agung. Meski seorang penjual eceran buku Pramoedya di Yogyakarta ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan negeri, ada keluarga pembaca yang memiliki tiga sampai empat eksemplar dari setiap karya Pramoedya. Ini karena semua anggota keluarga berminat membaca buku—yang terbit selama masa pelarangan—pada waktu bersamaan tanpa harus bergiliran. Kita lihat saja faktanya, buku-buku Pramoedya yang dilarang beredar di Indonesia pada masa Orde Baru menjadi bacaan wajib bagi para mahasiswa jurusan sastra di Malaysia. Salah satu novelnya, yang diterbitkan di Malaysia, memasang foto Wakil Presiden Adam Malik di halaman kulit belakang dan komentarnya yang memuji karya sastra Pramoedya. Jadi seperti dikatakan Dr. Yudi Latif yang tampil sebagai ahli dalam persidangan putusan tentang nasib buku, beliau mengatakan “[Hari ini kita menarik] garis batas antara masa lalu dan masa depan, antara otoritarianisme dan demokrasi, antara masyarakat beradab dan masyarakat biadab.” Dan kini saatnya buku-buku Pram menjadi bacaan wajib juga anak-anak negeri ini, tentunya dengan satu tujuan agar jika kelak jadi penguasa tak berlaku keliru bahkan salah seperti yang pernah dilakukan masa Orde Lama maupun Orde Baru dan terakhir Orde Reformasi. ©

*) Peneliti di Dewantara Institute, Dewan Pembaca Indonesia Buku

Pramoedya Ananta Toer Juga Manusia

Mila Novita
http://www.sinarharapan.co.id/

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Begitu Pramoedya Ananta Toer (atau akrab disapa Pram) berpesan dalam Rumah Kaca, salah satu buku dari tetralogi roman Pulau Buru yang diwariskannya untuk Indonesia.

Tulisan Pram memang membuat ia tidak hilang dari sejarah, meskipun pada 30 April tiga tahun lalu jasadnya dimakamkan di pemakaman Karet Bivak, Jakarta. Ia sastrawan terbaik yang pernah dimiliki negeri ini. Ia juga satu-satunya sastrawan Indonesia yang berulang kali dinominasikan sebagai peraih penghargaan Nobel, meski tidak pernah “sukses” membawa penghargaan itu pulang ke negerinya.

Karakter-karakter ciptaan Pram, yang merefleksikan sejarah bangsa, dikenal luas sampai ke mancanegara. Tapi, seperti apa keseharian Pram sebagai manusia biasa? Juga ketika ia berada di penjara-penjara, tempat ia melahirkan karya-karya terbaiknya? Koesalah Soebagyo Toer dan Susilo Toer, dua adik Pram, menceritakannya dalam buku Bersama Mas Pram yang diluncurkan untuk mengenang tiga tahun kepergian Pram di Goethe Haus, Jakarta, Jumat (24/4). Teman-teman Pram, Djoko Sri Moeljono, dr Manto, dan Juwito juga ikut mengisahkan keseharian Pram selama di penjara, usai peluncuran buku itu.

Bersama Mas Pram ini berbeda dengan buku Koesalah sebelumnya, Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer. Nirwan A Arsuka, Redaktur Tamu “Lembar Kebudayaan Bentara” Kompas, yang bersama Yulianti Parani membedah buku ini, mengatakan bahwa dalam beberapa sisi buku ini lebih menarik daripada Tetralogi Pram.

“Ini tentang keluarga besar yang melalui berbagai jenjang dalam sejarah, tercerai-berai, menghadapi revolusi, diperlakukan sewenang-wenang, kemudian (mereka) merespons dengan caranya masing-masing. Pram hanya salah satu unsur dalam buku ini,” kata Nirwan. Nirwan melanjutkan, ketika memasuki buku ini lebih dalam barulah bisa “menemui” Pram. “Sekitar 100 halaman barulah Pram muncul, sebelumnya sebagai latar belakang saja.”

Di Balik Penjara

Banyak yang percaya bahwa karya-karya terbesar Pram dilahirkan ketika ia berada di penjara, 18 tahun dari 81 tahun usianya dihabiskan di penjara. Tetralogi roman yang membuat ia keluar-masuk nominasi Nobel, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, dilahirkan ketika ia diasingkan sebagai tahanan politik di Pulau Buru.

“Mungkin naskahnya sudah ada di kepala, tapi baru ditulis di sana. Kondisi di Pulau Buru membantu juga. Seandainya itu ditulis setelah ia bebas, mungkin kata-kata yang keluar akan berbeda,” kata Djoko Sri Moeljono, rekan Pram sesama di unit XV, unit yang berisi tahanan politik (tapol) berkepala batu, selama di Pulau Buru. Menurut Djoko, kekerasan selalu ada di sana, dari sumpah serapah, tendangan, tempelengan, sampai dengan pukulan popor senjata menjadi makanan mereka sehari-hari. “Hal-hal semacam itu yang pasti dirasakan Pram, itu akan mengubah penulisan dia,” kata Djoko.

Pram menjadi angkatan pertama di Pulau Buru bersama dengan 2.500 tapol lainnya. Ketika tahun 1974 tahanan menjadi 10.000, terjadi perombakan unit. Pram dimasukkan ke unit XV yang berisi tapol-tapol keras kepala. Di Unit XV, Pram ditempatkan di Mako (Markas Komando, berisi orang-orang pemerintah yang ditugaskan mengatur tapol) karena dianggap sebagai “tahanan pusat”. Para tahanan di Mako ini memiliki tugas yang berbeda dengan di barak-barak biasa, sesuai dengan keahlian masing-masing. Dr Manto, salah satu rekan Pram di Pulau Buru yang seorang dokter, bercerita bahwa di situlah ia bertemu dengan Pram. “Saya sering mengetes kesehatannya karena dia menderita kencing manis,” katanya.

Jika dr Manto bekerja sebagai dokter seusai keahliannya, Pram yang keahliannya menulis pun hanya duduk dan mengetik setiap harinya. “Di situlah Pram menulis tetralogi Pulau Buru dengan mesin tik. Lalu jika sudah jadi 200 lembar, ketikan itu disebar ke unit-unit, masing-masing 20 lembar supaya cepat. Pram terbuka terhadap kritikan,” kata Djoko.

Usai membaca karya itu, Djoko pernah bertanya pada Pram, sejarah atau fiksikah itu? Pram menjawab bahwa ia inginnya tetralogi itu menjadi sejarah, tapi karena bukti-bukti (sejarah) yang ia pinjam dari museum dibakar pada tahun 1965, karyanya itu pun menjadi fiksi.

Ada pula momen-momen manusiawi seperti ketika merayakan ulang tahun ke-53 (Pram dilahirkan di Blora, 6 Februari 1925). Ia “pulang kampung”, dari Mako ke unit XV. Tapol-tapol di unit itu memberinya kado berupa lima butir telur dan tiga gelondong gula jawa, dua barang yang ketika itu menjadi kemewahan bagi tapol.

Lain lagi cerita Juwito, rekan Pram di penjara Salemba, Jakarta. Juwito bersama Pram ditempatkan di blok Q dengan 25 sel kecil berukuran 1,5 m x 2 m, yang masing-masing sel ditempati tiga orang. Blok ini dikenal sebagai blok intelektual karena isinya kebanyakan orang-orang partai, wartawan, dan mahasiswa. Juwito yang bersama Pram selama tiga tahun mengatakan bahwa Pram diberi label sebagai tahanan “individualis” oleh tahanan lain. Alasannya, waktu Pram dihabiskan untuk membaca buku-buku yang umumnya berbahasa asing sampai waktunya makan, setelah makan ia melanjutkan membaca. Pram lebih banyak diam sehingga sepintas terlihat seperti angkuh.

“Hanya buka mulut kalau ditegur, itu pun seperlunya. Bahkan kalau tidak suka, ia menjawabnya dengan ketus,” ujar Juwito.

Sesekali di waktu luangnya, Pram juga bermain catur, melawan pamannya, Mudigdo, yang wartawan Antara. Pram biasanya kalah. Ia penasaran dan terus bermain sampai menang. “Ketika akhirnya menang, Pram tertawa. Di situlah kami baru melihat Pram tertawa.”

Pram memang masih bisa tertawa di tengah-tengah keseriusannya berpikir. Dia juga manusia biasa.

Dan Intuisi Membisikkan Peluang sang Legendaris

Selamat Jalan Pramoedya Ananta Toer…

IBM Dharma Palguna
http://www.balipost.co.id/

SAYA seorang mahasiswa yang sedang nenulis sebuah skripsi untuk menamatkan kuliah di Fakultas Sastra. Pramoedya Ananta Toer adalah nama yang langsung saya pilih tanpa keraguan sedikit pun. Setelah itu barulah memilih salah satu karyanya untuk dianalisis. Pilihan jatuh pada roman Perburuan. Ketika itu tahun 1984.

Saya tidak mengenal pemilik nama besar itu. Saya juga sama sekali tidak pernah melihatnya. Bagi saya ini seperti tokoh tidak nyata, yang samar-samar menampakkan diri hanya kalau saya sedang membaca bukunya. Saya pun lantas menulis surat kepada tokoh tidak nyata itu, menanyakan beberapa hal berkaitan dengan dirinya, kepengarangannya, dan pertanyaan seputar roman Perburuan.

”Tidakkah pilihan Anda akan menimbulkan kesulitan di masa depan? Saya siap membantu, asal bisa dipastikan dengan surat persetujuan Rektor.”

ITULAH salah satu isi jawaban yang saya terima. Kedatangan surat balasan itu sangat membesarkan hati saya. Ia seketika menjadi figur real yang bisa diajak berkorespondensi. Surat dengan bahasa Indonesia jernih cemerlang itu membuat hati saya lama berbunga-bunga. Saya bahkan tidak begitu memikirkan apa yang dikemaskan oleh Pramoedya, termasuk kecemasan beberapa rekan yang mengetahui permasalahan sejarah antara Pramoednya dengan Orde Baru. Saya hanya seorang mahasiswa yang mabuk oleh idealisme tentang sesuatu yang hanya saya ketahui dari buku-buku. Bacaan seputar politik dan sastra Indonesia seputar awal tahun 1960-an telah membentuk keyakinan saya, bahwa piilhan saya tidak salah. Sehingga mustahil saya mengganti nama pengarang dan judul karya pilihan demi ”keamanan”. Surat persetujuan yang diminta Pramoedya bisa saya dapatkan. Bukan persetujuan Rektor, cukup Dekan. Saya kirimkan dengan kilat khusus!

Setelah tonggak itu, saya terus berkirim surat. Ia tidak pernah tidak membalasnya. Tidak jarang dalam sebuah amplop besar Pramoedya mengirimkan buku, majalah, fotokopi artikel, dan nama serta alamat relasinya untuk saya hubungi. Kesabarannya meladeni anak ingusan seperti saya, membuat saya hormat di dalam hati. Saya merasa didukung oleh sebuah kekuatan besar, jauh lebih besar daripada kekuatan lembaga formal dan orang penakut yang ingin menggagalkan skripsi itu, baik dengan alasan stabilitas maupun alasan pribadi yang dibungkus bingkai akademis.

Waktu berjalan seperti apa adanya. Lama saya tidak mengabarkan perjalanan penulisan skripsi itu kepadanya. Suatu hari datanglah sebuah surat. Saya membacanya seperti menerima teguran dari seorang guru. Tapi mau bilang apa? Penulisan skripsi itu tidak selesai rencana, akibat permasalahan seputar ”stabilitas”. Saya hanya bisa mengatakan ”bersabarlah” kepada diri sendiri. Saya tahu kesadaran itu susah sekali direalisasikan, tapi saya harus mengatakan sesuatu pada diri. Dan kepada Pramoedya saya kabarkan, ”tidak akan lama lagi!” Saya percaya ia mengerti apa yang saya maksud berkaca pada pengalamannya sendiri, baik sebagai penulis maupun sebagai manusia.

Memang skripsi itu akhirnya selesai. Saya diuji dan dinyatakan lulus. Secara hukum saya dibolehkan memakai gelar ”drs.”. Tapi bukan gelar itu yang pertama-tama saya urus. Langsung saya berkabar dengan sebuah fotokopi skripsi sebagai tanda bukti. Pramoedya membalas dengan beberapa catatan, terutama hal yang berhubungan dengan kehidupan pribadinya, yang tidak bisa tidak juga muncul dalam skripsi itu.

Balasan itu adalah surat Pramoedya terakhir yang saya terima. Karena setelah itu saya tidak pernah mengiriminya surat. Bukan karena nama itu hilang dalam pikiran saya. Karena saya tidak lagi punya alasan bermutu untuk mengganggunya. Saya tidak bisa dan tidak biasa menulis surat untuk sekadar menanyakan musim apa sekarang di sana, apakah tanaman pisangnya sudah berbuah, apa acaranya menyambut hari raya nanti, dan sebagainya. Ketika untuk suatu urusan saya berada di Jakarta, saya beranikan diri mengunjunginya langsung. Ketika itu ia tinggal di sebuah daerah bernama Utan Kayu, Jalan Multikarya.

Seorang perempuan seumur ibu saya menyambut kedatangan saya di depan pintu. ”Siapa Dik?” sapanya pelan. Saya yakin perempuan itu tentulah istri Pramoedya yang bernama Maimunah. Fotonya menghiasi banyak surat kabar ketika Pramoedya dibebaskan dari pulau Buru, tempat ia diasingkan lebih dari sepuluh tahun atas ”dosanya” menjadi pengarang besar. Saya jelaskan siapa diri saya, dan mau apa datang ke sana.

”Oh, yang dari Bali itu ya,” katanya seperti mengingat-ingat sesuatu. ”Silahkan, Bapak ada di ruang kerjanya, di atas,” tangannya menunjuk ke lantai dua.

Rumah itu bertingkat dua. Sangat sederhana. Sebuah sepeda motor tua merek Honda berwarna merah bersandar di tembok samping rumah. Tangga kayu lapuk menuju lantai atas. Satu per satu saya naiki anak tangga. Di sana saya melihat seorang lelaki, tidak mengenakan baju, duduk di belakang meja menghadapi lembaran-lembaran kertas. Di sana sini buku dan kertas bertumpuk-tumpuk. Sebuah mesin ketik manual di atas meja. Wajahnya tidak berbeda dengan foto-foto yang disebarkan media cetak.

Saya merasa seperti murid sekolah dasar yang dipanggil menghadap guru karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Saya tidak bisa menebak bagaimana perasaannya. Bahwa saya sudah duduk manis di depan Sang Guru, sudah lebih dari cukup. Saya tidak berharap ia akan menuturkan rahasia kesaktiannya. Saya bahkan tidak ingin ngomong. Tapi alangkah konyolnya, jika saya bertamu hanya untuk diam. Percakapan yang kemudian terjadi tidak saya ingat. Saya hanya sibuk merasakan bahwa pengarang legendaris itu sedang berbicara kepada seorang murid malas.
***

BAU KATA pramoedya mengantarkan perjalanan saya selanjutnya. Kira-kita lima tahun setelah itu, saya memulai hidup di Leiden, Belanda. Di sana saya bertemu seseorang yang kemudian menjadi figur mempengaruhi hampir sepuluh tahun hidup saya selanjutnya. Ia mengaku betah berada di Jakarta karena sebuah kata, pramoedya. Namanya Henk Maier, seorang profesor sastra. Seminggu sekali saya ikuti kuliahnya yang sangat inspiratif. Banyak artikel tentang Pram lahir dari renungannya. Salah satunya bahkan pernah dikirimkan dan direkomendasikan oleh Pram sendiri untuk saya baca. Banyak pula terjemahan roman Pram ke dalam bahasa Belanda lahir dari ketekunannya.

Pada sebuah acara perkenalan mahasiswa baru ia nampak tertarik mendengar saya mengaku menaruh hormat dan kagum pada Pram. Pertemuan itu menjadi awal kerja-sama panjang selanjutnya. Henk, begitu saya memanggilnya, bukan saja dua tahun kemudian mengundang saya menjadi pengajar bahasa Indonesia di jurusannya, ia kemudian bahkan menjadi promotor saya. Dua keberuntungan itu datang bukannya tanpa sebab. Intuisi saya membisikkan bahwa peluang itu datang tidak lepas dari bau kata pramoedya.

Saya tidak hendak mengecilkan arti diri sendiri, karena pasti ada faktor lain yang menyebabkan kesempatan itu diberikan pada saya. Faktor itu tidak relevan dibicarakan di sini. Dalam batas tertentu, saya yakin, sebuah persamaan lebih mendekatkan seseorang dengan orang lain daripada sejumlah perbedaan. Salah satu persamaan itu adalah kata pramoedya, yang sama-sama kami jadikan password.

Intuisi saya mengatakan, kata pramoedya ikut membuka jalan yang kemudian saya tempuh bertahun-tahun. Intuisi itu tentu amat sangat subjektif. Karenanya, tidak usah dipercaya. Intuisi itu hanyan berbicara untuk saya. Itupun dengan suara yang tidak kedengaran. Tapi saya mendengarnya amat jelas. Tentang suara intuisi ini, bahwa Pram ikut membuka jalan, saya, saya tidak memiliki pembelaan apa pun. Walau saya jadi tercengang, ketercengangan itu bukan pembuktian sebuah kebenaran. Bisa jadi membuktikan saya terkena halusinasi.

Izinkan saya melanjutkan cerita ini. Ketika itu saya sering membayangkan, bagaimana ending cerita yang saya rekonstruksi dari potongan-potongan peristiwa. Jika Pram ikut membuka jalan, akankah ia ikut mengakhiri perjalanan ini? Bertahun-tahun di Leiden tidak ada yang tahun pertanyaan itu menempel di otak saya. Karena saya memang tidak memberitahu siapa pun.

Waktu terus berjalan dengan kecepatan yang sama. Kadang terasa cepat, kadang lambat, tergantung jumlah dan kualitas peristiwa yang saya alami. Sehari-hari saya mengajar. Bila tidak mengajar, saya melanjutkan penelitian untuk menyelesaikan studi. Bila tidak mengajar dan tidak meneliti, saya bermain dan diam. Sastra Jawa Kuno yang saya pelajari mengilhami saya untuk belajar diam. Saya tidak tahu apakah ilham yang saya dapatkan keliru atau benar. Yang jelas, saya tidak merasa mengkhianati Pram ketika memilih spesialisasi Filologi.

Beberapa orang menuduh saya menyeberang dari Sasra Modern ke Sastra Klasik. Bagi saya tuduhan itu tidak beralasan. Saya hanya menarik garis dari satu titik ke titik berikutnya. Pada titik yang mana pun berada, saya tetap berhadapan dengan kata. Apa yang bisa saya lakukan kecuali menghormati kata. Karena kata ternyata jauh lebih tua, dan menyimpan lebih banyak pengalaman daripada saya. Karenanya saya menjadikannya sebagai guru. Kata hanya berbicara kalau saya membuka mulutnya.

Banyak orang berhasil terbebaskan dari duka karena kata. Saya tidak termasuk di dalam kelompok orang berhasil itu. Yang saya dapatkan baru keletihan. Kata memang menjanjikan kebebasan itu, tapi entah kapan. Dalam suasana batin letih seperti itulah saya kumpulkan tahun demi tahun di Leiden. Sampai pada suatu hari, bulan Mei tahun 1999.

Saya mencatat dua peristiwa pada awal tahun itu. Pertama, saya akan segera meninggalkan Leiden karena misi saya menyelesaikan studi sudah berakhir. Kedua, Pramoedya datang ke Leiden untuk memberikan ceramah umum. Semua orang waras tahu, kedua peristiwa itu tidak berhubungan satu sama lainnya. Tapi ada satu orang tidak waras di dunia ini yang merasakan kedua peristiwa itu memiliki hubungan. Orang itu saya. Tapi jangan bertanya bagaimana kedua peristiwa itu berhubungan. Karena saya tidak akan sanggup menjelaskannya. Paling-paling, saya hanya akan mengatakan, di dunia ini tidak ada kebetulan. Bukan suatu kebetulan pada akhir keberadaan saya di Leiden saya bertemu Pramoedya.

”Ternyata saya duluan menjadi Doktor!” katanya bercanda. Pram baru datang dari penganugrahan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Michigan, Amerika. Saya hanya tersenyum, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Otak saya sibuk dengan kekagetan. Ternyata ia memang hadir di akhir perjalanan saya menempuh lorong, yang ia sendiri ikut membukakan pintunya. Saya tidak banyak berbicara, karena Henk Majer membisikkan bahwa pendengaran Pram sudah tidak bagus lagi. Saya hanya melakukan percakapan kecil dengan ibu Maimunah.

(Catatan: Tulisan ini selesai tanggal 30 April, pukul 16.00 Wita, di Tabanan, Bali. Petang harinya pukul 19.05, saya baru mendengar berita Pramoedya meninggal dunia dan telah dikuburkan).

Tinggalkan Bumi Manusia

Gunawan Budi Susanto
http://www.suaramerdeka.com/Senin, 01 Mei 2006

INNA lillahi wa inna ilaihi rajiun. Pramoedya Ananta Toer tak pernah menyerah di bawah kepongahan dan kebebalan (kekuasaan) manusia. Namun kini, mau tak mau, dia harus menyerah di bawah kuasa ilahi.

Ya, Minggu (30/4) kemarin pukul 08.30, dia mengembuskan napas terakhir dalam rengkuhan keluarga tercinta. Kini Pram telah pergi, meninggalkan bumi manusia.

Sebelumnya, pada saat kritis Pram sempat menceletuk bahwa kaum muda harus melahirkan pemimpin. Dia memang senantiasa menumpukan harapan akan perubahan ke arah kehidupan (berbangsa dan bernegara) yang jauh lebih baik pada kaum muda. Dia sudah kehilangan kepercayaan kepada generasi tua, termasuk generasi seangkatannya.

Menurut penilaian dia, mereka tak mampu mengelola negara ini menjadi lebih beradab dan bermartabat. Cuma kaum mudalah, ujar dia pada berbagai kesempatan, yang harus ambil peranan: merebut kesempatan dan menjadi pemimpin di segenap sektor kehidupan.

Pramoedya Ananta Toer dilahirkan di Jetis, Blora, 6 Februari 1925. Dia anak sulung sulung M Toer, aktivis politik dan sosial terkemuka di kota kecil itu. Sang ayah pernah menjadi Kepala Sekolah Institoet Boedi Oetomo, menggantikan dokter Soetomo yang pindah ke Surabaya.

Pramoedya telah menelurkan ratusan tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi, baik karya asli maupun terjemahan. Karya paling monumental adalah tetralogi Buru, Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca. Itulah sebagian karya yang dia tulis di pengasingan, di Pulau Buru, berbelas tahun pada masa pemerintahan Soeharto.

Dia dikenal sebagai sosok kontroversial, baik sebagai pengarang maupun aktivis kebudayaan. Dia senantiasa memperjuangkan kebebasan (kreatif). Namun justru karena itulah dia kerap tertelikung di balik jeruji penjara. Pada masa kolonial, dia dipenjara karena keberpihakannya pada kemerdekaan bangsa ini. Tahun 1961, pemerintahan Soekarno memenjara dia akibat menulis buku Hoakiau di Indonesia – wujud keberpihakan pada kebenaran sejarah dan keadilan bagi kelompok minoritas.

Sebagai pemuncak, pada masa Orde Baru, Pram harus “menikmati” belasan tahun hidup di berbagai penjara karena peranannya sebagai eksponen Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 13 Oktober 1965-Juli 1969 dia mendekam di Penjara Salemba, Jakarta. Kemudian dipindah ke Nusakambangan (sampai 16 Agustus 1969), Pulau Buru (sampai 12 November 1979), serta Penjara Magelang dan Banyumanik, Semarang (sampai Desember 1979).

Pulang dari pengasingan bukan berarti Pram bebas dari penistaan. Rumahnya terampas serta koleksi buku dan naskahnya dibakar. Dia juga mengalami pembunuhan karakter. Stigma sebagai eksponen komunis, yang tak pernah dibuktikan lewat pengadilan yang adil, jujur, dan terbuka, terus-menerus membayangi kehidupan Pram dan seluruh keluarganya.

Dia ada dan terus berkarya. Namun terus-menerus ditiadakan. Buku-bukunya dilarang beredar. Bahkan para pemuda, antara lain Bonar Tigor Naipospos dan Isti Nugroho di Yogyakarta, yang sekadar membaca dan mendiskusikan karyanya pada paro kedua 1980-an harus meringkuk di penjara. Berkali ulang penulis novel Koroepsi (1954) itu diunggulkan untuk menerima hadiah Nobel kesusastraan. Namun konon karena lobi pemerintahan Soeharto, suami Maemunah Thamrin, kemenakan pahlawan nasional Mohamad Husni Thamrin, itu tak pernah memperoleh anugerah tersebut.

Akan tetapi berbagai hadiah dan penghargaan lain telah lebih dari cukup mengukuhkan peran pria perokok berat yang dinobatkan sebagai orang paling berpengaruh oleh majalah Time itu. Dia menerima antara lain anugerah Freedom to Write Award dari PEN American Center (1988), The Fund for Free Expression, AS (1989), Wertheim Award, Belanda (1995), Ramon Magsaysay Award, Filipina (1995), Partai Demokratik Rakyat Award (1996), Unesco Madanjeet Singh Prize (1996), doctor of humane letters dari University of Michigan, Madison, AS (1999), Chanceller’s Distinguished Honor Award dari University of California, Berkeley, AS (1999), Chevalier de l’Ordre des Art et des Letters dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prancis (1999), New York Foundation for the Art Award, AS (2000), Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang (2000), dan Centenario Pablo Neruda, Cile (2004).

Pengumuman Yayasan Magsaysay, 19 Juli 1995, yang hendak memberikan penghargaan bidang sastra dan jurnalistik kepada Pramoedya memunculkan kehebohan. Pada 29 Juli 1995, 26 orang antara lain Mochtar Lubis, Rendra, dan Taufiq Ismail mempertanyakan pemberian hadiah itu. Mereka berpendapat Pram tak layak memperoleh penghargaan karena bertanggung jawab atas pengekangan kebebasan kreatif dan berpendapat pada masa paling gelap dalam sejarah kreativitas di negeri ini (1959-1965).

Mochtar Lubis bahkan bersikap lebih keras. Dia mengembalikan uang hadiah uang dari lembaga itu dengan mencicil – hadiah sama yang dia peroleh jauh sebelum Pram. Pemerintah juga menghambat kepergian Pram ke Filipina untuk menerima penghargaan. Akhirnya Maemunah Thamrin-lah yang datang ke negeri yang lebih bisa menghargai prestasi dan sumbangan Pram terhadap kemanusiaan itu ketimbang di negeri sendiri.

Sikap Mochtar Lubis dan kawan-kawan direspons kaum muda, antara lain Ariel Heryanto, Sitok Srengenge, Sutanto (Mendut), Sosiawan Leak, dan Tan Lioe Ie, dengan mengumumkan “Pernyataan Kaum Muda untuk Kebudayaan”. Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani 26 pemuda dari berbagai kota di Indonesia itu, mereka menilai sikap Mochtar Lubis dan kawan-kawan merupakan pewarisan dendam masa lalu dan pengobaran kembali prasangka politik. Bagi mereka, langkah itu jelas menghambat demokratisasi yang bertumpu pada kejujuran, keadilan, sikap kritis, serta kedewasaan sikap dan nurani.

Kontroversi sosok penerjemah Mother karya masterpiece Maxim Gorki menjadi Ibunda (1958) itu tampak pula, misalnya, dari kesediaan dia memenuhi permintaan Gus Dur datang ke Istana Negara pada hari-hari awal sang kiai itu menjadi presiden. Saat itu Gus Dur bertanya soal visi kemaritiman karena tahu betapa mendalam dan visioner pandangan Pram mengenai perkara itu. Banyak orang heran, namun tak menyadari bahwa visi itu telah tertuang secara menarik dan dramatis dalam novel Arus Balik (1995).

Namun, beberapa waktu kemudian, dia memboyakkan Gus Dur yang meminta maaf, baik sebagai pemimpin NU maupun pemimpin bangsa ini, atas keterlibatan jamaah NU dalam pembunuhan massal pasca-G30S 1965. Bagi Pram, rekonsiliasi bangsa ini hanya mungkin jika seluruh komponen mau mengakui secara jujur apa yang telah terjadi. Dan, kemudian mengubah keadaan menjadi lebih baik melalui pembangunan sistem hukum yang berkeadilan. Itu, menurut pendapat dia, tidak mungkin tercapai cuma lewat omongan. Namun harus diwujudkan dalam tindakan nyata.

Lihatlah pula, betapapun dicegah beredar di negeri sendiri, karya-karya Pram tak terhalangi untuk diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa di dunia. Karya-karya itu bakal tetap hidup, meski Pram sendiri telah pergi, sekali lagi, meninggalkan bumi manusia menuju ke keabadian.

Ya, dia meninggalkan bumi manusia, tempat selama ini dia nyaris senantiasa disalahpahami. Namun dia juga meninggalkan Bumi Manusia, karya yang akan senantiasa dibaca dan dibaca lagi oleh orang-orang di berbagai belahan bumi ini. Itulah karya kemanusiaan yang abadi. Karya-karya, yang menurut penilaian The Washington Post Book Review, muncul dari seorang master, seseorang yang berkecerdasan brilian dalam menata jejaring motivasi, karakter, dan emosi. Selamat, Pram, selamat jalan!

Kenapa Pramoedya Menolak Wayang?

Asep Sambodja
http://oase.kompas.com/

Ada pernyataan Pramoedya Ananta Toer yang membuat saya masygul. Dalam buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (Depok: Komunitas Bambu, 2008), Pramoedya Ananta Toer mengatakan kepada Kees Snoek bahwa sejak berumur 17 tahun, dirinya sudah menolak wayang, karena wayang pada dasarnya hanya omong kosong belaka.

Kenapa Pramoedya menilai wayang hanya omong kosong belaka? Menurut Pram, masyarakat Jawa dibesarkan oleh kisah Mahabarata dan mendapatkan inspirasi darinya. Dan, klimaks Mahabarata adalah pembantaian yang dilakukan saudaranya sendiri. Jadi, Pram menyimpulkan, pendidikan budaya Jawa terdiri dari perang saudara. “Oleh karena itu, orang Indonesia tidak pernah akan menang melawan bangsa asing,” katanya.

Pernyataan Pram yang singkat, padat, dan menyesakkan bagi pencinta wayang ini tidak lepas dari interpretasi seorang Pramoedya terhadap Mahabarata dan wayang itu sendiri. Tentu saja dalam menginterpretasikan hal itu pengalaman Pramoedya yang demikian sarat dan berat turut melatarbelakanginya. Penangkapan dan penahanan dirinya selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan di zaman Orde Baru merupakan sebagian saja dari siksaan yang dialaminya.

Kalau yang menjadi dasar pijakan Pram adalah klimaks Mahabarata, maka apa yang dikatakannya sangat berdasar, bahkan sangat mendasar, yakni adanya pembantaian akibat perang saudara. Dilihat dari perspektif manapun, perang Kurusetra adalah pembantaian sesama saudara. Tapi, kalau kita berupaya mengeksplorasi karya itu, maka yang ditemukan di dalamnya adalah mengenai kehidupan itu sendiri.

Benar bahwa dalam karya itu digambarkan ada perang. Namun, dalam karya sastra berbentuk epos di manapun di dunia pasti ada digambarkan peperangan, meskipun tidak selalu perang saudara. Bahkan dalam cerita-cerita nabi di Alquran pun ada peperangan. Bagaimana dengan kenyataan seperti ini? Jadi, menurut saya, tidak masalah ada perang dalam karya sastra berbentuk epos, asalkan saja peristiwanya bisa tergambar dengan asyik. Bahkan dalam karya sastra modern pun, seperti dalam Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma tergambar adanya peperangan.

Lalu, kenapa wayang dikatakan sebagai omong kosong? Tentu saja saya tidak sependapat dengan Pramoedya. Mahabarata dan juga Ramayana adalah karya sastra yang diimpor dari India, sementara wayang merupakan seni pertunjukan dalam bentuk yang lain sama sekali dengan karya sastra itu. Banyak anasir yang saling melengkapi dalam pertunjukan wayang, sehingga yang dinikmati masyarakat bukan hanya pesan dari cerita yang disampaikan dalang, melainkan gamelannya, suara sinden, sabetan dan cara dalang bercerita, dan sebagainya.

Karena itu, pernyataan Pram tentang wayang sebagai nonsens sangat tidak berdasar.

Dalam buku itu pula, Pramoedya mengakui bahwa hal yang positif dalam budaya Jawa adalah gamelan, musik polifonik yang dapat disetarakan dengan musik Eropa. “Musik zaman sekarang hanyalah ritme yang monofonik. Dibandingkan dengan gamelan, musik pop Barat tidak ada artinya,” tegas Pram.

Sanjungan Pram itu hanyalah pemanis saja, karena kita tahu bahwa Pram sangat antifeodalisme. Dan itu tercermin dalam budaya Jawa. Selain penggunaan bahasa Jawa yang berlapis-lapis itu, yang menunjukkan posisi penuturnya, Pram juga menolak sistem pemerintahan yang berdasarkan pada budaya Jawa. “Jika budaya Jawa dipakai sebagai ukuran, hanya ada satu orang di tempat teratas yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Itulah dasar dari budaya Jawa,” katanya.

Pernyataan Pram memang keras. Sekeras orangnya. Padahal, Pram sendiri lahir di Blora, Jawa Tengah. Apakah Pram bukan manusia Jawa? “Tidak, saya merasa sebagai orang Indonesia. Saya berpikir dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa,” jawabnya.
Demikianlah Pram. Jujur tanpa tedeng aling-aling. ***

Potret Pramoedya Sehari-hari

Sebuah catatan penting tentang sisi lain Pramoedya Ananta Toer. Banyak cerita lucu.
Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali
Penulis : Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I, Juli 2006
Tebal : xiv + 266 halaman
Peresensi : Bagja Hidayat
http://www.ruangbaca.com/

Pramoedya Ananta Toer, penulis Indonesia paling terkenal itu, punya ilmu kebal. Ilmu itu didapatnya ketika muda dari seorang dukun di Tanah Abang. Pram dan seorang pamannya datang ke sana sengaja untuk meminta kekuatan tubuh dalam menghadapi gonjang-ganjing revolusi. Pram pernah bekerja di dinas militer sepanjang 1945- 1947 yang bermarkas di Cikampek. Sebagai staf perhubungan, Pram bertugas mengirim berita dari medan perang.

Pram ikut-ikutan para tentara itu pergi ke dukun. Tapi ia menurut juga ketika si dukun memandikannya sembari melafalkan doa. Setelah pemandian selesai, semua orang diberi jimat berupa tulisan Arab berwarna merah. Kertas itu dijahit di topi.

Si dukun langsung menguji para ”muridnya”. Ia menggorok bibir, lidah dan leher lalu membacokkan pedang ke punggung semua orang. Tak ada yang mengaduh atau menjerit, kecuali Pram. Setiap kali mata pedang menyentuh punggungnya, ia berteriak, ”Aduh, yungngng!” Ia menjerit karena tak percaya jimat itu bisa bikin kebal.

”Simpan jimat ini baik-baik,” kata si dukun, ”kalau terkepung musuh ingatlah jimat itu.”

Pembuktian itu tiba. Pram terjebak dalam sebuah pertempuran di Kranji, ketika ikut-ikutan mengawal Jenderal Sudirman yang akan ke Jakarta. Ia ikut karena ingin bertemu Aryati, seorang petugas di koran Merdeka yang menerima setiap berita yang dikirimnya. Ia kesengsem oleh suara merdu Aryati, selain menagih honorarium. Belakangan, setelah bisa mampir ke kantor Merdeka, semua orang menyangkal ada nama Aryati di sana.

Tak ada celah untuk lari dari kepungan musuh itu. Satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah menerobos barikade. Pram melakukannya. Ia belari kencang menyeruak pagar berduri dan ratusan peluru yang berhamburan menyongsongnya. Ajaib. Ia selamat. Tak segores pun kulitnya terluka. Ia menyangka itu hanya kebetulan.

Tapi di Stasiun Kemayoran ada bukti lain. Pram tertangkap pasukan Inggris. Seorang tentara KNIL asal Ambon menghujamkan bayonet ke pelipisnya. Ajaib lagi. Ujung pisau itu mental. Pram meraba-raba kepalanya karena meyangka otaknya sudah amburadul. ”Ini betul terjadi,” kata Pram, memberi tekanan, meski ia masih tak percaya apakah itu karena jimat. Soalnya, kalau mengijak paku kakinya sakit juga.

Pram kerap menceritakan ilmu kebal ini kepada Koesalah Soebagyo Toer, adik tersayang. Koesalah mencatat, obrolan itu terjadi pada 19 Juli 1987 lalu diulang pada 11 Juni 1996.

Koes, yang dipanggil Liliek oleh Pram, tekun mencatat setiap obrolan dengan kakaknya. Yang unik, yang aneh, yang lucu, yang mengharukan. Dari catatan- catatan Koes sejak 1981 yang sekarang dibukukan ini, tergambar jelas bagaimana Pramoedya dalam potret sehari-hari.

Koes menyebut dirinya sebagai ”keranjang sampah Mas Pram”. Ia selalu menjadi teman bicara kakaknya itu dalam pelbagai kesempatan untuk pelbagai soal. Koes agaknya menjadi satusatunya adik yang paham dengan sikap dan jalan pikiran Pram. Tujuh puluh lima tulisan dalam buku ini layak disebut sebagai bahan biografi Pramoedya yang komplit. Tentang sisi lain seorang Pram yang sangat detail.

Misalnya soal anekdot Pram yang sukar ditebak. Pram yang perokok berat itu selalu minta izin jika akan menyulut rokok kalau sedang mengobrol dengan orang lain. Jika tamunya itu tidak merokok, dia akan bilang, ”Yang tidak merokok memang tidak adil,” katanya, ”maunya dirokok terus.” Pram mengatakannya dengan lurus. Tamunya seringkali bingung.

Dalam obrolan soal surat-surat tanah di Blora, Pram tiba-tiba berkata, ”Aku dapat bonanza bakalnya, Liek.” Bonanza itu adalah dokumen sepuluh halaman berisi surat-surat pribadi Soekarno, Tjipto Mangoennkoesoemo dan MH Thamrin kepada seorang Belanda bernama JE Stokvis. Suratsurat itu ditulis pada 1931. Itu masa kritis Soekarno karena ia ditahan tahun 1929.

Soekarno berterima kasih kepada Stokvis yang sudah membantu membebaskannya dari tahanan. Pram mendapat dokumen itu dari seseorang di Kanada. Ia menunjukkan kebanggaannya bisa mendapat dokumen penting itu. Jika diterbitkan, katanya, dokumen itu bakal laku keras.

Pram masih menunggu dokumen pendukung lainnya yaitu tentang peran Haji Agus Salim. Salimlah, menurut Pram, yang melapor ke Belanda hingga Soekarno ditahan. ”Memang dulu sudah ada yang menuduh dia sebagai cecunguk,” kata Pram, ”cuma nggak ada buktinya. Kalau bukti itu ada, bakal geger semuanya.”

Fotokopi surat-surat itu belum pernah diterbitkan. Tak ada yang tahu apakah Pram sudah memperoleh dokumen tentang Agus Salim itu. ”Saya tidak ngecek lagi,” kata Koes kepada Tempo pekan lalu.

Perseteruan Pram dengan para penulis lain juga disinggugn. Koes menyampaikan kabar bahwa DS Moeljanto dan Taufik Ismail menerbitkan buku Prahara Budaya pada 1995 yang mengungkap bagaimana perseteruan penulis kubu Manifes Kebudayaan dan Lekra di tahun 1965.

Taufik menuding Pram berdusta karena mengaku hanya kroco di kepengurusan Lekra. Bahannya diambil dari wawancara Pram dengan wartawan majalah mahasiswa UGM, Balairung. Pram menampiknya dengan mengatakan ia hanya ditunjuk sebagai anggota pleno di lembaga itu. ”Orang bilang aku Wakil Ketua Lekra segala macam. Orang-orang Lekra sendiri sinis sama aku,” katanya, ”Nyoto itu sinisnya bukan main.”

Begitulah kisah-kisah lain seorang Pramoedya Ananta Toer. Hidupnya memang bergemuruh. Sayangnya buku yang bagus ini tak dilengkapi dengan indeks. Sebagaimana halnya obrolan sehari- hari, setiap tema mencantumkan begitu banyak nama pendek atau panggilan. Karena itu agak susah jika akan melacak suatu obrolan tanpa indeks yang bisa membantu langsung ke halaman yang dituju.

Menikmati Perjalanan “Sang Kretek”

Hendriyo Widi
http://m.kompas.com/

Sastrawan asal Blora, Pramoedya Ananta Toer, mempunyai cara tersendiri menikmati kretek semasa kecilnya. Bukan dinyalakan apalagi diisap, tetapi menjadi mainan yang mengesan di dalam hati Pramoedya sehingga melahirkan tulisan tentang “Kretek”.

Tulisan tersebut menjadi kata pengantar buku Kretek, The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes (2000), karya Mark Hanusz. Dalam tulisan itu, Pramoedya mengisahkan pertama kali dia berkenalan dengan kretek. Waktu itu, dia masih berumur 14 tahun dan baru lulus Sekolah Rakyat Budi Utomo, Blora.

Dia mengumpulkan bungkus dan label kretek dan menggunakan bungkus serta label kretek tersebut sebagai media permainan bersama teman-teman sebayanya pada waktu itu. Bungkus kretek yang tipis itu dilipatnya dan dilempar ke udara. Jika bungkus kretek tersebut saat jatuh ke tanah tampak bagian atasnya, dia berhak mengambil label kretek dari teman-temannya.

Itulah sejarah kretek, setidaknya bagi Pramoedya. Kisahnya bisa diceritakan lewat berbagai media. Seperti halnya yang dilakukan Museum Kretek Kudus yang memilih media audio visual untuk mengisahkan kembali perjalanan kretek Kudus.

Kisah “Sang Kretek” itu terangkum dalam film dokudrama berjudul “Kudus Kota Kretek”. Film berdurasi sekitar 20 menit itu disutradarai Joko Anwar dan diproduksi Elang Mas Vision. Dengan mengambil suasana dan bangunan klasik kota Kudus, seperti Menara Kudus, rumah adat Kudus atau gebyok, dan tempat pembuatan rokok kretek tradisional, film tersebut bergulir.

Intinya adalah bertutur tentang sejarah kretek, perkembangan kretek, dan pengaruh kretek terhadap perkembangan perekonomian di Kudus. Penutur alur cerita film itu adalah Puteri Indonesia 2004 Artika Sari Devi.

Film tersebut dapat dinikmati di Bioskop Mini Museum Kretek yang memiliki kapasitas 20 kursi. Biaya sekali putar film tersebut adalah Rp 20.000 untuk semua pengunjung yang menyaksikan, bukan per orang.

Kurang promosi

Staf Museum Kretek Sari Juliastuti, Selasa (28/9), di Kudus, mengatakan, sejak dibuka sebulan lalu, Bioskop Museum Kretek masih minim pengunjung. Pada hari-hari biasa paling-paling hanya satu kali putar atau bahkan sama sekali tidak memutar film, sedangkan pada hari-hari libur bisa lima kali putar.

“Penyebabnya adalah kurangnya promosi ke masyarakat, terutama sekolah-sekolah. Padahal, film tersebut sangat bagus untuk mengembangkan pendidikan sejarah di luar sekolah,” kata dia.

Salah seorang pengunjung, Dwi Astiningsih (28), menilai Bioskop Mini Museum Kretek kurang dikembangkan secara optimal. Filmnya cuma satu. Padahal, pengelola dapat memutar film-film lain yang bernapaskan sejarah, budaya, dan pendidikan sesuai dengan konteks Kudus.

“Meski begitu, melalui film ‘Kudus Kota Kretek’, penonton dapat mencerna sekelumit sejarah kretek di Kudus,” kata dia.

Membicarakan Plus Minus Pramoedya

(Pramoedya Ananta Toer, Perahu yang Setia dalam Badai)
Arwan Tuti Artha
http://www.kr.co.id/

BUKU ini rasanya tidak terlalu istimewa, jika hanya membicarakan soal Pramoedya Ananta Toer. Apalagi, isinya berbagai kumpulan tulisan yang sebelumnya sudah dimuat media massa dan nyaris tak ada yang baru. Judulnya pun tidak simpel. Panjang dan penuh penjelasan. Pram misalnya diibaratkan sebagai perahu yang setia dalam badai. Toh, masih harus dijelaskan lagi sebagai serba-serbi tentang Pram. Tetapi, sebagai buku referensi yang membicarakan plus dan minusnya Pram, tak bisa dianggap enteng upaya yang dilakukan Penerbit Bukulaela ini.

Dalam catatannya disebutkan, lahirnya buku ini memang dengan kerja keras. Diawali pertengahan 2000. Situs-situs yang terbaca mengenai Pram, dikumpulkan hingga buku ini menjadi semacam tumpengan. Tidak salah kiranya jika Pram yang dipilih. Sebab, namanya sedang menanjak serenta tak lagi ada belenggu yang melarangnya. Nyaris tak ada perbantahan kecuali, ada yang menganggap Pram adalah sastrawan besar Indonesia. Ada pula yang menganggap Pram berdosa dalam memberangus sastrawan lain pada masa Lekra.

Di tengah perbantahan itu, buku ini kiranya akan menempatkan sebagai bahan bacaan yang menarik. Kita bisa menyelisik ide-idenya, gagasan-gagasannya, juga analisis-analisis yang dilakukan terhadap Pram. Buku ini terdiri mozaik-mozaik. Pertama mengungkap mozaik biografi. Kemudian mozaik visinya. Lalu mozaik apresiasi dan dialog.

Dalam biografinya dijelaskan siapa Pram. Siapa ayahnya. Pram, pada tahun 1984 pernah mengemukakan bahwa dirinya bosan jadi pengarang. Mestinya jadi petani saja seperti cita-citanya dahulu. Tapi, sudah telanjur basah dan dalam buku ini dipajang karya-karya Pram lengkap. Pada bagian visi, ditunjukkan bagaimana visi Pram yang dimuat di berbagai media. Apa yang harus dibabat dan apa yang harus dibangun. Pikiran-pikiran Pram ini memang tajam, yang oleh sementara kalangan dinilai sangat kiri. Pada masa Orde Baru barangkali kita tak sempat membacanya, melalui buku ini pikiran-pikiran itu bisa kita cermati.

Dari sekian banyak karya Pram, banyak pula orang yang memberi apresiasi, catatan, kritik, analisis. Dalam bagian ini dimuatkan berbagai tulisan mengenai Pram dari Goenawan Mohammad, Fadli Zon, Sumit K Mandal, atau Soetjipto Wirosardjono. Tentu, tulisan itu muncul karena Pram memang menarik ditulis. Apalagi pada masa Pram masih jadi tahanan di Pulau Buru.

Ya, itulah Pram, yang rasanya tak akan habis bila terus ditulis. Dialah yang mengatakan bahwa karyanya adalah anak-anak jiwanya. “Saya tetap mengakuinya setelah saya lepaskan di padang sosial budaya kehidupan. Itulah kebanggaan saya,” kata Pram dalam sebuah wawancaranya.

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels

Judul : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan : I, Oktober 2005
Tebal : 145 hal
ISBN : 979-97312-8-3
Peresensi : Hernadi Tanzil
http://www.ruangbaca.com/

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, membentang 1000 km sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun dibawah perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu : Herman Willem Daendels (1762-1818). Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa Daendels berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jendral Daendels memang menakutkan. Ia kejam, tak kenal ampun. Degan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.

Walau Jalan Raya Pos dikenal dan selalu diajarkan di bangku-bangku sekolah namun bisa dikatkan tak ada buku yang secara khusus mengungkap sejarah pembuatan dan sisi-sisi kelam dibalik pembuatan Jalan Raya Pos. Buku terbaru karya Pramoedya Ananta Toer(Pram) ini bisa dikatakan dapat mengisi kekosongan literatur Jalan Raya Pos dalam khazanah buku-buku berlatar belakang sejarah dewasa ini. Walau buku ini bukan merupakan buku sejarah resmi, namun buku yang ditulis Pram dimasa tuanya ini (1995) dapat dijadikan sebuah buku yang mengungkap dan memberi kesaksian tentang peristiwa kemanusiaan yang mengerikan dibalik pembangunan Jalan Raya Pos.

Buku ini ditulis dengan mengalir, tanpa pembagian bab. Pada halaman-halaman awal Pram mengurai awal ketertarikannya pada Jalan Raya Pos yang memakan banyak korban jiwa para pekerja paksa yang ia golongkan sebagai genosida, pembunuhan besar-besaran ia juga menyinggung beberapa genosida yang awalnya dilakukan oleh Jan Pietersz Coen (1621) di Bandaneira, Daendels dengan Jalan Raya Posnya (1808), Cuulturstelsel alias tanam paksa, genosida pada jaman Jepang di Kalimantan, genocida oleh Westerling (1947) hingga genosida terbesar dalam sejarah bangsa Indoenesia di awal-awal pemerintahan Orde Baru. Di halaman-halaman selanjutnya setelah mengurai sejarah tercetusnya ide pembuatan Jalan Raya Pos di benak Daendels Pram membagi bukunya ini berdasarkan kota-kota yang dilewati dan berada disepanjang Jalan Raya Pos. Pram mencatat dan mengurai 39 kota yang berada dalam jalur Jalan Raya Pos, baik kota-kota besar seperti Batavia,Bandung, Semarang, Surabaya, maupun kota-kota kecil yang namanya jarang terdengar bagi masyarakat umum seperti Juwana, Porong, Bagil dan lain-lain. Secara rinci Pram mengungkap sejarah terbentuknya kota-kota tersebut, dampak sosial saat dibangunnya Jalan Raya Pos, hingga keadaan kota-kota tersebut pada masa kini. Dengan sendirinya masa-masa kelam ketika Jalan Raya Pos dikerjakan akan terungkap di buku ini. Ketika Jalan Raya Pos sampai di kota Sumedang dimana pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Para pekerja paksa harus memetak pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya inilah untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh, 5000 orang! Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Walau angka-angka korban di daerah ini tidak pernah dilaporkan, mudah diduga betapa banyaknya kerja paksa yang kelelahan dan lapar itu menjadi makanan empuk malaria yang ganas (hal 94). Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan raya Pos sebanyak 12.000 orang!. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki.

Selain mengungkap sisi-sisi kelam dibalik pembangunan Jalan Raya Pos, Pram juga senantiasa menyelipkan penggalan kenangan-kenangan masa muda dirinya pada kota-kota disepanjang Jalan Raya Pos yang pernah ia singgahi. Ada kenangan yang pahit, mengesankan, dan lucu yang pernah dialaminya di berbagai kota yang ditulisnya di buku ini. Sebut saja pengalaman lucu ketika Pram muda yang sedang dalam tugas ketentaraannya bertugas di daerah Cirebon, dalam kegelapan malam secara tak disengaja ia pernah buang hajat disebuh tungku dapur yang disangkanya kakus, padahal tungku itu masih berisi sisa singkong rebus untuk rangsum para laskar rakyat.(hal 79)..O la la….!

Buku ini diutup dengan bab “Dan Siapa Daendels” yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer. Dalam bab ini diuraikan biografi singkat Daendels. Selain itu bagian daftar pustaka yang menyajikan sumber-sumber pustaka yang digunakan Pram untuk menyusun buku ini mencakup buku-buku yang terbit dipertengahan abad ke 19 hingga akhir abad ke 20. Tak heran jika membaca karya ini pembaca akan mendapatkan hal-hal yang detail mengenai sejarah kota yang dilalui oleh Jalan Raya Pos. Yang patut disayangan pada buku ini adalah tidak adanya peta yang secara jelas menggambarkan rute-rute Jalan Raya Pos. Buku ini hanya menyijikan reproduksi dari peta kuno yang diambil dari Rijks Museum Amsterdam (hal 129). Peta yang tak mnggambarkan Pulau Jawa secara utuh dan huruf yang tak terlihat pada peta tersebut tentu saja menyulitkan pembaca untuk memperoleh gambaran akan sebuah jalan yang dibuat Daendels sepanjang Anyer hingga Panarukan ini.

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels diselesaikan oleh Pramoedya pada tahun 1995, entah apa yang membuat buku ini harus menuggu 10 tahun untuk diterbitkan, tak ada penjelasan dari penerbit mengenai mengapa baru sekarang buku ini diterbitkan, padahal beberapa tahun setelah karya ini diselesaikan era reformasi memungkinkan diterbitkannya karya-karya Pram secara bebas. Namun walau bisa ditakan terlambat diterbitkan, buku ini masih sangat relevan untuk dibaca oleh siapa saja karena buku ini merupakan sebuah buku kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan dibalik pembangunan sebuah jalan sepanjang 1000 km yang dibangun beraspalkan darah dan air mata manusia-manusia pribumi yang dipaksa untuk membangunnya.

Jumat, 19 November 2010

Kebudayaan dalam Dua Wajah

Donny Anggoro
http://oase.kompas.com/

Sebagai salah satu wilayah negara berkembang di Asia Tenggara, Indonesia terlibat dalam proses mencari kesepakatan untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan yang mereka punya. Adapun kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah warisan berbagai bentuk yang diterima sebagai identitasnya.

Susunan pemerintahan lokal misalnya tata cara keraton Yogyakarta dan Solo, bahasa, nilai-nilai kepercayaan, dan berbagai bentuk ekspresi seni budaya di berbagai tempat dipertahankan sebagai bagian dari warisan sejarah itu.

Proses perkembangan dan modernisasi dengan menunjukkan pergeseran masyarakat agraris-feodal menjadi masyarakat yang lebih bersifat perkotaan dalam beberapa kasus tertentu menunjukkan perkembangan berarti. Tataran nilai-nilai konvensional dalam kebudayaan tradisi pelan-pelan didobrak sehingga dalam perkara kesenian, hasil-hasil seni yang dihasilkan relatif lebih kontekstual agar terlihat gesit mengikuti perkembangan zaman.

Tapi di tengah-tengah perkembangan tersebut, kegamangan ternyata meliputi mereka. Antara kebudayaan tradisi dan populer ternyata “jalan di tempat” dengan ideologinya sendiri-sendiri. Kebudayaan tradisional berpegang teguh pada nilai leluhur sedangkan yang modern (kini banyak disebut generasi “X” dan generasi “MTV” yang sungguh-sungguh tercerabut dari tradisi) begitu asyik dengan “cita rasa global”nya sehingga segala perkakas kebudayaan masa lalu perlu dipangkas menjadi sesuatu yang terlihat sungguh-sungguh modern.

Contoh kecil misalnya sebuah karya novel yang dihasilkan dari masyarakat kosmopolit tentunya sulit mendapat pengakuan kritikus atas kreativitas yang dihasilkannya sehingga hanya novel-novel yang akrab dengan budaya lokallah yang diterima. Tapi begitu berhadapan dengan selera masyarakat yang bersifat diskriminatif, novel-novel pop relatif nyatanya lebih mudah mencapai penjualan best seller dibandingkan novel-novel yang dikenal kuat muatan lokalnya.

Mungkin dalam perkara karya sastra, cara pencapaian dalam kerangka eksperimental (avant-garde) masih bisa diterima kaum kriktikus sebagai cara lain berpijak dari ungkapan-ungkapan yang bersifat dalam tataran kerangka lama. Tapi ini pun juga pada kenyataan yang sulit lantaran bentuk-bentuk keprihatinan yang seharusnya tidak terjadi diterima sebagai noda, bukan sebagai contoh perkembangan yang tengah terjadi di masyarakat.

Baiklah, fakta bahwa masing-masing mereka hanya “jalan di tempat” tak dapat disangkal. Fakta “jalan di tempat” membuat dua wajah kebudayaan kita ini, tradisi dan populer kemudian memiliki potensi yang dikembangkan oleh masyarakatnya sendiri. Tapi betapa ajaibnya tatkala mereka sama-sama menghadapi realitas ternyata persoalan marginalitas juga yang menyelimutinya.

Masing-masing tiba-tiba menjadi teralienasi dengan kehidupan sosialnya. Yang lahir dari akar tradisi gagap tatkala berupaya meleburkan diri dengan modernitas. Anggapan-anggapan sinis seperti primitif, terlalu mengawang-awang (tidak kontekstual), tidak modern, dan kuno muncul sehingga ia ditinggalkan masyarakat modern.

Sedangkan yang lahir dari ketercerabutan akar budaya tradisi begitu sulit mencapai pengakuan kreatif dari kaum budayawan lantaran hasil seni yang dicapainya hanya bertumpu pada konteks kekinian dan kontekstual semata yang sama sekali jauh dari semacam nilai-nilai permenungan apalagi sejarah.

Hasil seni yang dihasilkan sebagai “kebudayaan pop” dengan kesan yang diberikan dari kata “populer” atau dengan kata lain menyangkut “massa” yang banyak kemudian dicaci sebagai “racun” dengan alasan “tidak membumi” karena telah meninggalkan tradisi.

Baiklah, alasan “tidak membumi” dapat diterima sebagai salah satu batasan mutlak. Tapi apakah kemudian para pelaku kebudayaan kontemporer yang notabene sedang mencapai pemikiran penggabungan antara nilai-nilai tradisi dan modern mudah mendapatkan pengakuan di tengah-tengah modernitas?

Dalam tulisan saya berjudul Nasionalisme? di majalah GONG, edisi 64/VI/2004 terbukti masih sulit dicapainya pengakuan itu. Keberhasilan grup musik Discus menembus label rekaman Italia, Mellow Records misalnya hanya diakui segelintir orang sehingga posisinya menjadi marginal walau sudah mengharumkan nama bangsa. Perjuangan sastrawan Pramoedya Ananta Toer agar masuk nominasi hadiah Nobel pun malah digerakkan Profesor Koh Yung Hun, seorang berkebangsaan Korea yang juga menggerakkan pusat budaya Indonesia di Korea.

Baiklah, kondisi ini membuat kita lebih mandiri sehingga tak perlu mengemis kepada pemerintah. Tapi, bukankah hal naif setelah berpeluh keringat, para pegiat kebudayaan tetap saja dalam posisi marginal? Atau memang persoalan kebudayaan belum dianggap penting?

Jurang pemisah dalam dua wajah kebudayaan kita ini menjadi sangat terbentang lebar. Yang tradisi mencela sebagai dampak buruk globalisasi, sedangkan yang berwajah modern mencelanya sebagai “potret-potret tulang berserakan” sehingga ia harus ditinggalkan dengan alasan “tidak keren”.

Ya, setiap seniman telah berusaha agar karyanya dapat muncul ke permukaan. Karya seni apapun bentuknya harus muncul masing-masing ke permukaan dalam kehidupan dunia modern, era informasi, dan globalisasi sekarang ini. Tapi setiap hasil karya seni tiba-tiba mempunyai jarak yang jauh dengan masyarakat penikmatnya walau untuk menyiasati tantangan dunia modern, masing-masing telah berupaya sekuat tenaga membungkus dirinya ke dalam formula bernama kitsch hingga menjadi satu kesenian yang dapat dikemas sebagai komoditi dagang.

Baiklah, untuk mencapai keuntungan komersial, barisan hasil seni yang lahir sebagai respon terhadap permintaan masyarakat perkotaan dapat mencapai perhitungan untung secara komersial dibandingkan barisan hasil seni yang lahir dari tradisi. Baiklah, untuk menyikapi modernisasi, pelbagai upaya agar dapat melebur kepada hitungan massal harus ditempuh.

Tapi, apalah artinya ketika dihadapkan kepada masyarakat yang rata-rata cenderung bersikap sangat diskriminatif, karena tahu apa yang mereka inginkan, dan tahu apa yang mereka mau, sehingga kegamanganlah yang kemudian melanda para pelaku kebudayaan.

Pertanyaan mengusik, benarkah ada yang salah dalam cara-cara penyampaian komunikasi dan sosialisasi sebuah modernisasi? Bukankah masing-masing memiliki ideologinya sendiri-sendiri agar diterima masyarakat? Bukankah jika meminjam istilah Mohammad Diponegoro dalam dunia sastra Indonesia “tiap cerita punya sahibul hikayat, ia yang menentukan sudut pandangan, dari mana cerita itu harus dilihat” sehingga masing-masing memiliki masyarakat pendukungnya sendiri-sendiri? Jika benar masing-masing telah memiliki ideologi dan masyarakatnya sendiri-sendiri mengapa masalah untuk menjadi marginal yang selalu menjadi hambatan?

Pola Sikap yang Keruh

Kebudayaan dalam dua wajah tadi telah disinggung dalam usaha meleburkan diri dalam perkembangan hasil karya seni. Bagaimana dengan pola sikap yang sedang berkembang? Hal inilah yang justru terlihat di masa sekarang malah semakin menunjukkan kekeruhan. Di zaman modern yang senantiasa tengah bergerak ini akan lebih mudah didapatkan potret-potret masyarakat sosial yang secara finansial sangat mampu mengapresiasi karya seni, tapi nyatanya mereka sendiri bahkan buta terhadap kesenian.

Kesenian dan profesinya dianggap kurang berarti dibandingkan pencapaian ekonomis. Sekedar contoh dalam kebijakan editorial media massa, rubrik kesenian, dan budaya cenderung terpinggirkan. Mungkin untuk mencapai kesepakatan kompromi, ada yang lalu menggabungkannya menjadi “seni & hiburan”. Tapi bagi ukuran media massa yang belum mapan secara ekonomis rubrik seni rata-rata dihilangkan jika semula memang ada sehingga hanya media massa tertentu yang relatif mapan mau menyediakannya.

Rubrik kesenian akhirnya terhimpit pada iklan, gosip selebritis, dan berita seks serta politik. Ia dianggap tidak efisien lantaran bobotnya hanya dibaca dan diterima oleh kalangan tertentu saja. Contoh lain lagi lebih banyak didirikan lembaga-lembaga pendidikan yang orientasinya adalah bisnis. Bahkan, kegiatan pembisnisan lembaga pendidikan ini semakin parah dengan aspek komersialnya.

Komersialisasi sebetulnya membuat kita tak percaya akan fungsi utama pendidikan sebagai medium antara masyarakat dalam menghadapi era globalisasi. Komersialisasi pendidikan yang seolah menunjukkan kemajuan seperti dalam Orang Miskin Dilarang Sekolah (Eko Prasetyo, Insist Press, 2004) sesungguhnya malah kemudian berujung pada kompleksitas sosial dengan makin meningkatnya jumlah pengangguran. Sedangkan lembaga-lembaga pendidikan seni yang ada cenderung minim peminat karena ia tak mampu menunjukkan perkembangan yang membuat masyarakat kemudian percaya dalam kerangka ekonomis.

Baiklah, ada sejumlah pemilik modal yang “melek seni” atau para pelaku kesenian mencoba membuat media seni sendiri dengan cita-cita luhur “atas nama kebudayaan”. Tapi itupun juga lungkrah tatkala penerbitan berkala seperti jurnal, majalah, dan buku-buku setiap terbitnya hanya menumpuk di gudang.

Baiklah, ada juga media massa yang relatif mapan menambah porsi rubrik keseniannya. Tapi konsekuensinya ia menjadi begitu “gemuk” lantaran begitu banyak misi yang ingin disampaikan. Beruntunglah dengan modal yang dimiliki ia mampu menerbitkannya dengan format lain misalnya menerbitkan buku bunga rampai antologi cerpen, puisi, atau esai terbaik versinya. Bagaimana kalau tidak, sedangkan penerbitan buku-buku semacam itu toh ternyata juga kurang laku?

Penghargaan kesenian juga umumnya masih rendah sehingga para pelaku kesenian mau tak mau terpaksa harus “bersembunyi” ke dalam profesi lain sebagai alasan untuk bertahan hidup. Baiklah, mereka dapat bertahan, bisa survive dengan kemampuannya berkompromi dengan selera massa. Tapi apa jadinya tatkala ia selalu terjebak dalam keraguan untuk mengadakan eksperimen karena antara seniman, kritikus, penerbit, dan masyarakat masih jalan di tempat seraya masing-masing mencari pembenaran atas “idiologi” yang dianutnya?

Contoh paling gawat dari pola sikap masyarakat yang makin berkembang akibat tercerabutnya akar tradisi adalah pemakaian bahasa asing supaya terlihat “keren” dan bergengsi. Wilson Nadeak dalam Judul Asing, Daya Pikat? (Kompas, 7 November 2004) meresahkan pemberian judul dengan bahasa Inggris dalam penerbitan kita akhir-akhir ini. Ia resah karena tak jelas apakah dengan pemberian judul tersebut (dengan huruf bahasa Indonesia yang dikecilkan) bagian pracetak tak sulit menangani desain dari penerbit aslinya sehingga lebih komunikatif untuk menjangkau pembeli menengah ke atas atau memang pasar ASEAN sudah mulai merambah negeri ini?

Modernisasi sebagai Gagasan

Setelah 350 tahun dijajah, banyak yang belum menyadari kebudayaan sebagai aset nasional dalam wacana besar dapat membangkitkan nasionalisme. Wujud kebudayaan tradisi yang ada memang diperhatikan pemerintah. Akan tetapi hasilnya masih dalam tahap pelestarian yang boleh dibilang tersempitkan pada kesenian daerah saja. Sosoknya pun boleh dibilang hanya menjadi aksesoris penyambut turis semata karena tak melebur pada perkembangan budaya di negerinya sendiri.

Sedangkan untuk menjawab tuntutan “masyarakat global” di negeri sendiri pentas kesenian begitu ramai dengan pelbagai aktivitas pusat kebudayaan dari luar negeri. Tapi bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita punya pusat kebudayaan di luar negeri?

Umar Kayam dalam makalah kebudayaan yang pernah disampaikannya dalam Festival Ramayana di Pandaan tahun 1971 pernah melontarkan sebuah ide menjembatani dua wajah kebudayaan Indonesia. Penulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ini menyampaikan gagasan modernisasinya yang terpengaruh ide David Apter. Menurut Apter, untuk mencapai modernisasi yang ideal ada dua kondisi yang dibutuhkan.

Pertama, satu sistem sosial yang akan mampu secara berkala mengadakan inovasi tanpa harus berantakan di tengah jalan. Kedua, ada satu kerangka sosial yang dapat memberikan ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam teknologi. Umar Kayam sendiri kemudian menyimpulkan sistem sosial dalam kondisi pertama adalah sistem yang mampu mengembangkan unsur-unsur “lama” sehingga akan mungkin sekali peranan seni tradisi dalam keterlibatannya menciptakan infra-struktur guna menggalakkan pencapaian kondisi minimal yang ditawarkan. Sedangkan dalam kondisi kedua jika dapat dikembangkan lebih kreatif maka akan mungkin sekali seni tradisional masih bisa “ikut berbicara”.

Dalam teori yang dikemukakan Apter, dapat disimpulkan pergeseran masyarakat akan bisa berkembang lebih baik jika ada dialog yang memuaskan dengan unsur-unsur tradisional itu. Paling tidak rasa kegamangan yang terjadi akibat masing-masing terlampau yakin dengan ideologi yang dianut dan eksistensi yang dimilikinya dalam mengikuti perkembangan akhirnya dapat bertemu jika mengacu pada anggitan teoritis David Apter.

Missing Link dan Masalah Eksistensi

Heraclitus mengatakan bahwa manusia sesungguhnya sedang putus hubungan dengan sesuatu yang hakekatnya dekat dengan dirinya sehingga ia selalu terobsesi untuk menemukan kembali mata rantai yang hilang (missing link). William Barret mengemukakan ihwal missing link ini dalam Existensialism as A Symptom of Man Contempoary Crisis (“Spiritual Problem in Contemporay Literature”, Stanley Romain H. (ed) New York, Harper Torch Book. hlm. 139 sehingga ada usaha mempertanyakan arti dan tujuan hidup dalam kerangka menghadapi dua wajah kebudayaan yang sedang “asyik” berseberangan ini.

Missing link yang terjadi antara kebudayaan tradisi dan populer di sini jika merujuk pada William Barret umumnya terjadi antara dikotomi materialistik versus idealistik. Maka sulit ditolak di tengah krisis nilai yang melanda kehidupan, kita telah mengalami perubahan yang cenderung bertumpu pada kepentingan pragmatisme liberal. Homo economicus sebagai paham humanisme telah mempengaruhi pemegang kebijakan sistem bukan pada kompetensi.

Akibatnya segala sesuatu diukur secara ekonomis, begitu juga pada modernisasi sehingga produk-produk kebudayaan telah meninggalkan nilai-nilai luhurnya. Kalau kebudayaan tradisi “emoh” beranjak dari kekeliruannya, sedangkan kebudayaan populer serta merta juga meninggalkan sejarahnya sehingga masa lalu bukan dianggap sebagai cermin menyongsong masa depan.

Baiklah, sejarah telah mewariskan nilai-nilai adiluhung, akan tetapi kesalahan yang telah diperbuatnya misalnya cara-cara yang cenderung feodal dan sangat patronistik seperti ditinggalkan begitu saja sehingga dalam kebudayaan tradisi yang selalu diingatkan kepada anak cucu adalah kehebatannya, bukan pula kelemahannya.

Lewis W. Spitz seorang profesor sejarah dari Universitas Stanford dalam tulisannya Sejarawan dan Ia Yang Lanjut Usianya (God and Culture, D.A Carson/John D. Woodbridge (ed.), William B. Eerdmans Publishing Co. Diterbitkan versi Indonesianya menjadi Allah dan Kebudayaan oleh Penerbit Momentum, 2002) sudah mengingatkan bahwa seperti perkembangan semua umat manusia lainnya, sejarah pun memerlukan penglihatan ke depan seperti juga hikmat akan pandangan masa silam.

Baiklah, di antara kubu yang berseberangan itu masing-masing memiliki wujud eksistensinya. Sedangkan seorang eksistensialis menurut keyakinan Kierkegaard telah memiliki kebenaran mutlak dengan lompatan-lompatan yang dibuatnya.

Tapi, jika terus menerus melangsungkan atawa melanjutkan kehidupan adalah segalanya dalam ihwal eksistensi, guru besar filsafat New York, Profesor Sidney Hook berujar, telah ditentukan masa yang buruk bagi diri sendiri. Menurut Hook yang harus dihindari adalah kepercayaan pada kebenaran mutlak. Siapa yang mengira bahwa ia memiliki kebenaran mutlak akan melupakan batas-batas perspektif dalam rangka melihat atau menggambarkan sesuatu.

Nah, pertanyaannya sekarang apakah kita masih asyik melupakan batas-batas perspektif itu? Jika ya, sampai kapankah kita melupakannya?*

Rawamangun, Januari ‘05

Dari Puisi Mantra ke Kursi Presiden Penyair

Murparsaulian
http://riaupos.com/

Kepiawaiannya meramu kata telah menghipnotis, tidak hanya mahluk sastra, namun juga penikmat dan pemerhati sastra di tanah air bahkan dunia.

Di tangannya kata-kata menjadi wangi dan ranggi. Pada momen Anugerah Sagang ke-15 tahun ini, Yayasan Sagang memberikan anugerah khusus Sagang Kencana kepada presiden penyair ini.

Siapa yang tak mengenal Sutardji Calzoum Bachri. Kehadirannya di jagat sastra nusantara telah menguak tabir sastra kontemporer. Tardji muncul dengan karya-karyanya yang fenomenal. Mendobrak batasan-batasan umum dalam peta sastra di tanah air.

Keberaniannya dengan kredo puisinya mengejutkan publik sastra waktu itu. Tidak hanya mengejutkan dari segi karya, Tardji juga mengejutkan banyak orang ketika membacakan puisi-puisinya. ‘’Kejutan-kejutan’’ Tardji ini sontak saja mengalihkan perhatian publik sastra padanya.

Berbekal semangat kemelayuannya, Tardji muncul di pentas sastra nusantara dengan puisi mantra yang pada awalnya banyak mendapat ‘’perlawanan’’ karena puisinya yang tidak biasa itu. Keberaniannya ‘’memainkan’’ kata membawa dirinya ke sebuah ruang unik dan cerdas.

Ketika publik sastra mempertanyakan puisi mantra yang dihadirkan Tardji, dengan lantang Tardji mengatakan, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Karena tardji adalah anak Melayu maka dirinya memiliki kemampuan lebih dalam meramu bahasa Melayu untuk diracik menjadi puisi.

Dan usahanya itu tidak sia-sia. Karya-karyanya mendapat tempat khusus di hati publik sastra tanah air. Bahkan menghantarkannya pada beberapa penghargaan di bidang sastra antara lain; South East Asia Writer Award (1979, Bangkok, Thailand), Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia (Menteri Kebudayaan dan Pendidikan), Anugerah Sastra Chairil Anwar Dewan Kesenian Jakarta (1998), Seniman Perdana Dewan Kesenian Riau (2000), Anugerah sastra Majelis Sastra Asia Tenggara/Mastera (Brunai Darussalam, 2006), Anugerah Seni Akademi Jakarta (2008), dan lain-lain.

Tardji juga aktif mengikuti berbagai kegiatan sastra di antaranya International Poetry Reading (Rotterdam 1974), International Writing Program (Iowa City, Amerika Serikat, Oktober 1974- April 1975), International Poetry Reading Kuala Lumpur, International Poetry Reading Madellin (Colombia Amerika latin, 1977), 8th Poetry Reading Africa Festival (Durban, South Africa 2004), Tradewinds Literature International Festival (Cape Town, Afrika Selatan, 2004) dan berbagai kegiatan sastra dan budaya di tanah air. Beberapa karyanya terangkum dalam kumpulan puisi AMUK (1977), O Amuk Kapak (1981), Atau Ngit Cari Agar (2008), kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam, dan beberapa kumpulan esai.

Budayawan Riau Al Azhar mengatakan, baginya Tardji adalah ikon kesadaran kreatif dalam kehidupan seorang penyair.

Penyair adalah orang yang mengarungi samudera tanda-tanda yang diberikan bahasa dan gejala-gejala. Dengan demikian, setiap puisi yang dihasilkan penyair adalah semacam suara kepulangan dari perjalanan pengarungan itu. Tardji mengarungi tanda-tanda dengan keluasan dan kedalaman pikiran yang mengagumkan, serta ketulusan hati yang mencengangkan.

‘’Maka suara kepulangannya yaitu setiap puisi yang dihasilkannya terdengar lantang, gema-bergema, tidak hanya menembus ruang dan waktu yang berubah, tapi juga mencairkan konvensi-konvensi perpuisian yang membeku dan menisbikan makna-makna bahasa yang membaku,’’ terang Al Azhar yang banyak menghabiskan waktu dengan SCB di wilayah kebudayaan ini.

Dalam buku bertajuk ‘’ …Dan, Menghidu Pucuk Mawar Hujan’’, yang diterbitkan Dewan Kesenian Riau, Budayawan Riau Prof Dr Yusmar Yusuf, MPsi menuliskan, Sutardji telah mampu memberikan tanda atau sidik jari atas karya-karyanya. Sesuatu yang kecil telah disulap menjadi sesuatu yang memiliki daya takluk luar biasa.

Seperti manusia dalam kehidupan yang mengenal maqam (tapak berpijak dan tapak beranjak), maka maqam yang dipilih Sutardji adalah sebuah istana serba mungil yang sangat wangi. Kata-kata adalah kemerdekaan itu sendiri. Memerdekakan kata-kata dari serangkaian tugas yang dipersepsikan manusia selama ini adalah juga tugas ilahiah.

Bahwa kata-kata adalah makhluk, memiliki nyawa dan hayat sendiri, yang otonom dengan dirinya sendiri. Maka ketika dia terbebas dari segala beban makna, kata-kata pun menggelinjang menjadi mawar, menjelma dalam kewangian. Maka, jadilah karya-karya Tardji yang terlalu, mewangi dan menghidang kewangian.

Perjalanan karir sastra Sutardji di tanah air telah menciptakan sebuah aliran baru di peta sastra kotemporer. Tidaklah berlebihan, mengutip Marhalim Zaini menulis tentang Sutardji Calzoum Bachri, adalah serta merta menulis riwayat perjalanan sastra (modern) Indonesia.

Lebih dari setengah abad usianya, gelar Presiden penyair masih melekat di diri anak watan Melayu yang dilahirkan di Rengat 24 Juni 1941 ini. Besar di Tanjung Pinang dan hijrah ke Jakarta. Walaupun sudah merayau ke seterata benua, namun Tardji tetap membawa Melayu dalam dirinya yang terpancar dari karya-karya sastranya.(rpg)

Ristata Siradt, Pengarang Sumut, Pengabdi Sastra Indonesia

Sugeng Satya Dharma
http://waspadamedan.com/

Kerap berpeci, semasa hidupnya pria tua bertubuh kecil ini adalah figur lelaki dengan kesetiaan yang luar biasa. Bertahun-tahun menjadi guru bahasa di SMP Negeri IV Tebing Tinggi Sumatera Utara, lelaki ini adalah potret seorang pengabdi sejati sastra Indonesia.

Murid, tetangga dan teman-temannya menaruh rasa hormat yang sangat besar kepadanya. Tutur katanya lemah lembut, nyaris tak pernah bernada emosi. Ketaatannya sebagai hamba Allah pun ia wujudkan dalam khusyuk sholat yang nyaris tak pernah alpa.

Ristata Siradt, dialah salah seorang sastrawan besar Sumut yang sunyi dari publikasi. Sampai wafatnya pun, kecuali segelintir teman dekatnya sesama seniman, nyaris tak ada orang yang memberi penghargaan lebih pada apa yang dikerjakannya.

Bahkan pemerintah setempat (Pemkot Tebing Tinggi, Sumut), tak cukup peduli terhadap keberadaannya. Padahal, selain sebagai sastrawan yang produktif, Ristata Siradt adalah dokumentator sastra satu-satunya di kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

Lahir di Laras, Simalungun, Sumut pada 9 Juli 1932 dalam lingkungan keluarga buruh perkebunan tembakau, ayah dan ibunya berasal dari Jawa Timur. Saniman, ayahnya, berasal dari Ponorogo sedang ibunya Giah, berasal dari Trenggalek.

Ayahnya adalah seorang yang gemar memainkan gamelan dan ibunya pandai pula mengalunkan tembang-tembang Jawa. Kekentalan darah seni kedua orangtua itulah yang kemudian mengaliri buluh-buluh nadi Ristata. Meski demikian, semasa kecil Ristata justru tidak tertarik pada seni gamelan dan tembang Jawa. Ia justru lebih menyukai sobekan-sobekan “Sumatera Shimbun”, Koran lokal terbitan Pemerintah Pendudukan Jepang. “Saat itu saya masih duduk di kelas tiga sekolah rakyat,” tuturnya.

Bacaan-bacaan itulah yang kemudian mengasah kepekaannya pada sastra. Sampai ia dewasa dan kemudian menjadi guru, kegemarannya pada sastra terus berlanjut. Tak sekadar menulis cerita pendek, novel ataupun drama, ia bahkan bergelut dengan potongan-potongan guntingan koran yang dikumpulkannya dari hari ke hari.

Sampai wafatnya pun guntingan-guntingan koran dan majalah itu, yang berisi macam-macam esai, cerita pendek, cerita bersambung ataupun puisi, ia kumpulkan di lemari usang yang ada di sudut-sudut rumahnya yang tua.

“Cerpen kau yang pertama kali dipublikasi, juga ada tersimpan di sini, Geng. Lihat saja,” katanya suatu kali saat saya berkunjung ke rumahnya. Aku cuma tersenyum. Bangga. Sayang, hanya sedikit orang yang mau peduli dan menaruh penghormatan tinggi atas pengabdian yang dilakukannya itu.

Kini pak Ristata sudah tiada. Ia pergi dengan kesetiaan seorang pengabdi, bahkan sampai akhir usianya. Tapi apakah semangat dokumentasi karya sastra yang dilakukannya itu sudah mendapat apresiasi yang sepantasnya dari masyarakat dan pemerintah? Ataukah museum kecil sastra Indonesia di sebuah rumah sederhana di pojok kota Tebing Tinggi (kurang lebih 60 km sebelah Timur kota Medan) itu, pada akhirnya dilupakan begitu saja?

Harian Kompas edisi Rabu 18 September 2002 pernah menulis; Museum kecil sastra Indonesia itu memang tak sebesar Pusat Dokumentasi Sastra HB. Yassin. Museum itu hanyalah sebuah rumah milik seorang pria tua berusia 70-an tahun bernama Ristata Siradt.

Sebuah rumah yang setelah kematian isterinya, ditinggalinya bersama dua cucunya. Bangunan tersebut begitu sederhana. Sebagian atapnya terbuat dari anyaman daun kelapa, berdinding bata dan berlantai Semen. Perabotannya juga amat sederhana. Tak ada kompor, hanya tungku batu dan beberapa potong kayu bakar untuk memasak. Secara keseluruhan kehidupan pak Ristata adalah potret buram seorang pensiunan guru di republik yang telah puluhan tahun merdeka ini.

Namun di balik kesederhanaan itu, rumah yang terletak di jalan Tengku Hasyim tersebut memiliki begitu banyak rak buku. Empat lemari ia gunakan untuk menyimpan bundelan kliping koran dan majalah yang berjumlah kira-kira 550 buah. Ada lagi tiga lemari pakaian berisi koran yang masih utuh. Memang, telah sejak tahun 1950-an pak Ristata mengumpulkan aneka buku sastra dan guntingan koran tentang sastra.

Selain itu, dia sendiri juga menulis aneka karya sastra seperti cerita pendek maupun novel, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa. Berbagai pojok kota ia datangi untuk mendapatkan aneka kliping itu. Dengan masa pengumpulan sekitar 50 tahun tanpa henti, bisa dibayangkan berapa banyak koleksi buku dan data sastra yang dimilikinya.

Kliping karya sastra itu ia kumpulkan dari berbagai media seperti Kompas, Republika, Waspada, Analisa dan majalah seperti Horison. Termasuk di dalam koleksinya adalah karya-karya Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis sampai Danarto. Ia juga mengoleksi beberapa buku tua seperti karya Pramoedya Ananta Toer berjudul “Panggil Aku Kartini Sadja” cetakan pertama.

Sampai menjelang akhir hayatnya, perjalanan waktu tetap tak bisa menyurutkan semangatnya untuk terus mencipta karya sastra dan mengumpulkan karya tulis siapa saja. Kesibukan itu bahkan menjadi pekerjaan sekaligus hiburan bagi Ristata setelah tak lagi mengajar. Dengan pisau silet merek Goal yang sudah tinggal separuh, sebuah penggaris, satu set spidol aneka warna, serta sebotol lem kanji dan sebuah kuas, pak Ristata terlihat khusyuk menekuni dunia klipingnya itu.

Apapun jenis tulisan, baik itu sastra, kritik seni, sejarah sampai politik, dikumpulkannya. Sedangkan koran, majalah dan kertas diusahakannya sendiri dari menyisakan sedikit gajinya sebagai guru. Setelah pensiun, koran dan majalah itu ia beli dengan sisa uang pensiunnya yang tak seberapa.

Beberapa koran bahkan hanya ia beli jika ada rubrik budaya dan sastranya. Selebihnya ia hanya menunggu seseorang datang ke rumahnya membawakannya koran-koran atau majalah bekas.

Tulisan-tulisan itu kemudian ia tempel pada sehelai kertas buram, lalu ia jilid sendiri. Jilidan yang amat sederhana namun rapi itu kemudian ia simpan dalam tujuh lemari kayu yang sudah mulai keropos, bahkan beberapa di antara lemari itu ada pintunya uang telah copot. Untuk memelihara agar jilidan dan bundelan itu tidak rusak, iapun mengikatnya dengan tali rafia.

Dibawa kabur harta tak ternilai berupa aneka buku dan kliping sastra itu sempat mengundang banyak peneliti dari luar negeri. Pada awal September 2002 misalnya, seorang peneliti Malaysia, Abdur Razzaq dari Asian Public Intellectuals bahkan membutuhkan waktu berjam­jam mempelajari aneka kliping milik Ristata sebelum memutuskan untuk menfoto copy ratusan lembar naskah yang ada.

Tak hanya Abdur Razzaq, hasil ketekunan pak Ristata itu juga berguna bagi banyak kalangan seperti mahasiswa dan peneliti. Dalam seminggu rata-rata tiga mahasiswa datang ke rumahnya mencari bahan untuk menulis skripsi. Namun sayang, di antara mereka yang mendapatkan manfaat dari museum kecil sastra Indonesia itu, terselip pula orang yang mementingkan diri sendiri.

Beberapa tahun yang lalu ada seseorang yang meminjam koleksi kliping Ristata, namun tak mengembalikannya. Lebih dari 20 kilogram kumpulan tulisan itu dibawa kabur. Katanya untuk penelitian. Namun hingga pak Ristata wafat kliping-kliping itu tak juga dikembalikan. Pak Ristata sendiri sempat mengaku kapok meminjamkan dokumentasinya. “Sejak kejadian itu tak seorang pun saya bolehkan membawa kliping keluar dari rumah saya. Lebih baik saya membuatkan fotokopi dan saya sendiri yang akan mengantarkannya,” papar Ristata kala itu.

Atas dedikasinya pada dunia sastra itu, semasa hidupnya Dewan Kesenian Medan pada tahun 1982, menganugerahinya gelar Sastrawan Terbaik Sumatera Utara. Lalu pada tahun l984 naskah dramanya berjudul “Neraca” juga mendapat kesempatan untuk dipentaskan secara kolosal pada penutupan MTQ Nasional XVII di Tebing Tinggi.

Hebatnya, meski kesastrawanannya diakui secara nasional, sampai akhir hayatnya pak Ristata tetaplah pribadi yang bersahaja dan murah hati. Bahkan pengabdiannya pada sastra dan dokumentasi tetap tak berkurang seperti kebiasaannya lari pagi yang juga tak pernah berhenti. “Saya akan terus menulis dan membuat kliping sebagaimana saya terus berlari,” paparnya suatu kali. Ah….! (*)

*Penulis adalah Penyair dan Koordinator Gerakan Relawan Medan Hijau (Gerilya-Mu)

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati