Judul Buku : Delusi
Pengarang : Supaat I. Lathief
Jenis Buku : Novel
Prolog : Maman S Mahayana
Epilog : Herry Lamongan
Penerbit : PUstaka puJAngga, Lamongan, Januari 2010
Tebal Buku : 224 hlm; 12 x 19 cm
Peresensi : Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/
Mitos, kepercayaan, keyakinan dan keimanan merupakan satu hal yang utuh. Dapat diibaratkan dengan segelas teh atau susu. Membangun paradigma yang sulit terpisahkan. Dalam sebuah mitologi, orang yang percaya akan adanya roh halus, ia secara tidak lansung telah meyakini akan keberadaannya. Apabila ia telah yakin, keimanan pun tumbuh dalam hati kecilnya meski itu hanya seberat biji dzarrah.
Membaca Delusi, kita akan diajak menyelam jauh lebih dalam tentang perjalanan mitos yang berkembang di masyarakat Jawa. Pikiran kita seolah dibangkitkat kembali akan fenomena budaya Jawa klasik yang dalam modernitas ini lahan-perlahan mulai terkikis oleh budaya-budaya baru. Kita diajak kembali menengok akar budaya bangsa. Selain itu kita akan dihidangkan dengan eksistensi penyebaran agama Islam sebagai pewarna dalam tradisi kejawen. Tidak menolak, tetapi larut seperti gula ke dalam air. Dengan ajaran agama Islam, tradisi kejawen menjadi lebih manis jika dirasakan oleh kebanyakan masyarakat.
Kisah dalam Delusi mengambil Desa Woh sebagai setting utamanya. Desa tersebut merupakan suatu desa yang masyarakatnya masih menunjukkan intensitas tinggi terhadap kepercayaan dengan danyang. Yaitu makhluk halus penguasa desa yang memiliki kekuatan supranatural yang dipercaya sebagai pemberi rezeki, pelindung, pemberi keberuntungan dan mala petaka. Taraf berfikir masyarakat desa tersebut rata-rata masih terbelakang. Tidak aneh jika kehidupan masyarakat tampak primitif, buta aksara, tuna pengetahuan, bahkan gagap religius.
Melalui tokoh Madun, kisah ini dikembangkan. Meskipun itu ada cukup banyak tokoh di dalamnya, seperti Pri, Qin, Masyarakat, Karmin (Bapak Madun), Pasinem (Ibu Madun), Pak San (seorang guru), Ki Wasesa, Karti, Sarmili, Kasmin, Karmin, Bu Nis, Pak Kasan, Pak Darmo. Madunlah yang menjadi pembuka konflik mitos dalam Delusi ini. Cerita ini bermula ketika Madun sedang diajak ayahnya pergi ke sawah. Ia memakan sesajen untuk para danyang yang ditempatkan di sawah. Padahal dalam mitos masyarakat, setelah sesajen disajikan, tidak seorang pun yang diperbolehkan menyentuhnya, apalagi sampai berani memakannya. Jika hal itu dilakukan oleh seseorang, maka ada indikasi danyang akan marah dan orang tersebut akan terkena mala petaka, bahkan seluruh masyarakat pun akan terkena mala petaka juga.
Setelah memakan sesajen itu, Madun tiba-tiba jatuh sakit. Sakitnya, sakit perut. Ibunya merasa bingun dengan sakitnya Madun. Ia ke sana-ke mari membelikan obat untuknya tetapi semua obat di warung habis. Katanya sudah dibeli warga yang anaknya juga mengalami sakit perut. Saat itu Bapak Madun, sempat bercerita kepada istrinya tentang ulah Madun yang memakan sesajen di sawah. Saat mendengar cerita itu, Ibu Madun sedikit kaget. Ia lantas berfikiran bahwa sakit Madun akibat tulah danyang sebab sesajenya telah dimakan anaknya. Selain itu, akibat ulah Madun anak-anak yang lain juga terkena getahnya. Mereka mengalami sakit seperti yang dialami Madun. Pada dasarnya Bapak dan Ibu Madun tidak percaya dengan tahayul tentang danyang-danyang dan sesajen. Tapi pada akirnya mereka ikut arus masyarakat karena takut dengan masyarakat yang lain yang mempercayai dengan tahayul itu. Ibu Madun lalu bertanya kepada suaminya, apakah ada orang yang tahu tentang ulah Madun yang memakan sajen itu. Suaminya pun menjawab bahwa tidak ada orang yang tahu kecuali dia sendiri dan Pri yang telah diberitahu oleh Madun. Tapi ia menyarankan agar tidak hawar kepada Pri. Sebab Pri telah didoktrinnya bahwa Madun telah membohonginya. Dan Pri pun mempercayainya.
Tak lama kemudian timbul desas-desus tentang wabah penyakit yang menyerang anak-anak Desa Woh. Warga beranggapan bahwa penyakit tersebut akibat balak dari danyang desa. Hati Bapak dan Ibu Madun semakin was-was mendengar ungkapan itu. Mereka takut bahwa warga telah tahu tentang ulah Madun yang memakan sesajen para danyang. Tapi tidak, warga beranggapan lain. Mereka berfikir kalau wabah itu dipicu oleh sikap dan ulah anak-anak yang kerap bermain di kali dengan seenaknya saja. Anak-anak kerap merigis dan membuat mainan kali sesuka hati mereka. Bagi mereka, sebab itulah anak-anak banyak yang sakit. Dan kali harus segera diberi sajen yang lebih banyak.
Hampir seluruh orang mengiyakan dan menyiapkan sajen untuk kali tempat mandi Madun, Pri, dan Kawan-kawannya. Mereka menyiapkan sesajen dan akan melakukan upacara di kali malam hari secara bersama-sama. Tak ketinggalan juga dengan Bapak dan Ibu Madun. Biarpun mereka berdua sudah tak percaya lagi dengan balak dan danyang, namun mereka takut akan keirian warga yang akan menimbulkan masalah. Jadi ibu Madun menyiapkan sesajen sederhana. Bapak pun mengikuti upacara di kali dan menaruh sesajen di sana bersama warga yang lain.
Suasana seperti itu masih kental dilakukan oleh masyarakat Desa Woh. Ritual untuk para danyang dan sesajen-sesajen kerap dilakukan ketika ada setiap permasalahan yang timbul di desa itu. Mereka masi merasa bahwa permasalahan-permasalahan yang menimpa warga desa adalah balak dari danyang akibat dari perilaku yang menyimpang oleh masyarakat atau anak-anak. Selain itu ritual untuk para danyang dengan sesajen-sesajen itu dilakukan ketika warga desa banyak memperoleh keberuntungan yang melimpah ruah dari hasil pertanianya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, dengan masuknya ajaran agama Islam di desa itu, praktik ritual untuk para danyang sedikit bergeser persepsi dan pelaksanaannya. Sesajen kini tidak lagi dibiarkan membusuk dan sia-sia tak termakan. Ritual itu selanjutnya bergeser menjadi upacara doa-doa yang dilanjutkan dengan memakan seluruh sesajen yang ada oleh warga yang hadir. Fenomena itu terasa diakhir ceritanya. Diakhir cerita, para warga mengadakan syukuran atas kondisi desa yang gema ripa lohjinawe. Masyarakatnya tentram dan damai. Selain itu, di desa tersebut kemudian didirikan sebuah masjid sebagai tempat ritual keagamaan ajaran agama Islam yang lahan-perlahan mulai dipeluk oleh setiap warga.
Novel Delusi ini dibangun dari beberapa sub judul. Ada dia belas sub judul di dalamnya. Kedua belas sub judul itu adalah: Tingkah Sumbang, Simpang Keindahan, Tengah Kumamang, Tepian Langkah, Padang Rimba, Runtuhan Senyum, Lukisan Kedamaian, Lukisan Fatamorgana, Tarian Termanis, Pekat Kepalsuan, Samar Keutuhan, dan terakhir ditutup dengan Perayaan Delusi. Secara keseluruhan, novel ini enak untuk diapresiasi oleh pembaca. Di dalamnya terdapat nilai-nilai katarsis yang layak direnungkan. Tentang nilai-nilai budaya Jawa dan tentang waham atau tahayul yang kemudian tercerajkan oleh iman Islami. Alur yang dibangunnya begitu juntrung. Bahasanya sederhana dan komunikatif sehingga tak melelahkan saat dilakukan proses apresiatif.
Akan tetapi, novel ini tampaknya kurang memberi keleluasaan penikmat untuk berimajinasi lebih jauh. Kisahan novel ini tersaji sangat hitam putih. Bahkan untuk proses percintaan antara Karmin dan Pasinem hingga menjadi suami istri pada kehidupan masyarakat tahun 70-an terlalu sederhana. Tidak ada kesan yang menggigit dalam perjalanan ke pelaminan. Padahal mereka notabenenya adalah berasal dari desa yang kultur masyarakatnya berbeda jauh, baik dari pendidikan, agama, kebudayaan, dan lain-lain. Selain itu suasana batin Karmin dan Pasinem hampir tidak tersentuh. Dari setting antara Desa Woh dan Desa Legi terasa berat sebelah. Padahal desa ini bersebelahan. Kedua desa itu memiliki kultur masyarakat yang berbeda jauh. Seolah-olah Desa Woh berada di bawah permukaan bumi. Desa Legi jauh lebih maju dan warna-warni, tak sebanding dengan Desa Woh yang berantakan lahir-batin. Meskipun begitu, pembaca akan menemukan sesuatu yang lain dan lebih dari novel ini. Sebab novel ini berusaha menggali, mengungkapkam, dan menawarkan persoalan etnisitas yang dikemas dalam kisah nostalgia: tentang potret anak desa, sistem kepercayaan, dan segala aspek yang hidup dalam ingatan kolektif masyarakat pedesaan di Jawa. Di dalamnya, pembaca akan berjumpa dengan sesuatu yang eksotik dan menawan. Selanjutnya, selamat menikmati dan mengapresiasi.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 29 Desember 2010
ALUR PEMIKIRAN KRITIK SASTRA INDONESIA
Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Tradisi ilmiah dan kehidupan intelektual di negeri ini, mesti diakui, masih centang-perenang. Para dosen dan peneliti kita terpaksa harus menggunakan kata nyambi dan cawe-cawe sekadar untuk menghidupi asap dapurnya. Meski begitu, masih banyak di antaranya yang tetap setia dan bertanggung jawab pada profesi. Mereka juga tidak melupakan peran sosialnya dengan bekerja dan berkarya. Bagaimana hasilnya, masyarakat yang kelak menilainya.
Dalam kondisi kehidupan ilmiah yang masih centang-perenang itu, sejak zaman Belanda hingga kini, kiblat dunia pendidikan kita masih saja ke Barat. Jadilah, suka tak suka, sistem pendidikannya juga berorientasi ke sana. Termasuk di dalamnya tradisi kritik sastra! Dalam lingkaran itulah, kritik sastra Indonesia ngulet, menggeliat, kemudian merangkak bangun.
***
Jika ditarik ke belakang, sesungguhnya tradisi kritik sastra Indonesia relatif belum bersejarah panjang. Meski begitu, praktiknya justru terjadi sejak awal abad ke-20, seperti dapat kita lihat di media massa yang terbit dekade itu. Periksa saja komentar Tirto Adhi Soerjo mengenai cerita-cerita yang dimuat Medan Prijaji (1907-1912) atau Poetri Hindia (1908-1911). Majalah Pandji Poestaka, bahkan menyediakan rubrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam edisi 5 Juli 1932, muncul artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel ini yang pertama secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia. Dalam Pandji Poestaka edisi November 1932 — Maret 1933, dimuat pula secara berturut-turut tulisan Alisjahbana, “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe” yang secara teoretis menolak style dan bahasa klise dalam kesusastraan tradisional sambil mengajukan ciri-ciri sastra Indonesia modern.
Dalam majalah Poedjangga Baroe (1933) berbagai tulisan tentang sastra, tidak cuma berupa ulasan ringkas dan resensi, tetapi juga uraian mengenai konsep teoretis sastra dalam kaitannya dengan estetika, seni, dan kebudayaan Indonesia. Cermati tulisan Sutan Takdir Alisjahbana “Menoedjoe Seni Baroe” (Juli, 1933) dan “Poeisi Indonesia Zaman Baroe” (I-VI: September 1934-Februari 1935), Armijn Pane “Kesoesasteraan Baroe” (I-IV: Juli-Oktober 1933), Hoesein Djajadiningrat “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib” (I-V: November 1933-Maret 1934) dan Amir Hamzah “Kesoesasteraan” (I-IV: Juni 1933-September 1934) dan “Pantoen” (Maret 1934). Secara mendalam, mereka mencoba merumuskan konsepsi dan estetika sastra Indonesia, baik tradisional maupun modern. Ada dua arus besar pemikiran mengenai rumusan mereka: (1) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut pemikiran Barat yang diangkat Alisjahbana, dan (2) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut kultur Timur (termasuk Indonesia) yang dikedepankan Djajadiningrat dan Amir Hamzah.
Sebuah majalah yang terbit di Medan (1937), Pedoman Masjarakat, juga memuat ulasan dan resensi, meskipun masih dalam bentuk yang ringkas. Salah satu hal penting dari berbagai tulisan dalam majalah ini adalah munculnya semacam gerakan sastra di luar Balai Pustaka yang tidak mengikuti mainstream Poedjangga Baroe. Medan kemudian menjadi salah satu pusat penerbitan novel seperti itu. Karena formatnya begitu sederhana dengan cetakan dan kertas berkualitas rendah, harga jualnya jadi begitu murah. Dari sanalah lahir istilah roman picisan yang merujuk pada uang sepicis, sebagaimana yang diperkenalkan Dr. R. Roolvink (1952).
Pada zaman Jepang, pembicaraan mengenai konsep sastra cenderung terfokus pada fungsi sastra, tugas sastrawan, dan penolakan konsep seni untuk seni. Masalahnya berkaitan dengan kepentingan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Fungsi sastra dimanfaatkan untuk propaganda, dan tugas seniman memberi penyadaran akan semangat cinta tanah air, kerelaan berkorban, dan keberanian menghadapi perang. Majalah Djawa Baroe, harian Asia Raja, dan jurnal Keboedajaan Timoer –sekadar menyebut beberapa– adalah media massa yang dijadikan corong Pemerintah Jepang waktu itu.
Awal merdeka, kita melihat perdebatan seru mengenai konsep estetik Angkatan 45 berikut gagasan humanisme universal. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan representasi dari elan dan semangat Angkatan itu atas gerak dan kesadaran membangun dan mengisi kebudayaan Indonesia di masa mendatang. Masalah angkatan dan konsep kesusastraan, juga menjadi polemik hangat yang menjadi wacana pemikiran intelektual Angkatan 45.
Di tengah terjadinya polemik itu, Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) lahir dan mengusung humanisme proletariat lewat realisme sosialis dan konsep seni untuk rakyat. Pada dekade itu Jassin menerbitkan sejumlah bukunya yang berisi berbagai artikel yang pernah dimuat media massa. Inilah yang mengawali buku kritik sastra Indonesia. Teeuw juga mempublikasikan buku kritiknya, Pokok dan Tokoh (1952), meski isinya lebih dekat pada sejarah sastra Indonesia. Pada dasawarsa itu, terjadi perseteruan para pendukung gagasan humanisme universal dengan Lekra. Puncaknya jatuh pada Manifes Kebudayaan, 19 Oktober 1963 yang kemudian dibekukan Presiden Soekarno, 8 Mei 1964.
Memasuki zaman Orba, masalah konsep dan operasionalisasi kritik sastra lebih tegas dirumuskan dalam Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia, 31 Oktober 1968. Lahir dua arus pemikiran yang bermuara pada Aliran Rawamangun dan metode Ganzheit. Di luar terjadinya perbedaan pandangan dua arus pemikiran itu, sejak itu kritik sastra menjadi salah satu bagian penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra. Mengingat penguasa Orba selalu menyeragamkan apapun, termasuk pendidikan, maka di semua institusi pendidikan sastra diberlakukan kurikulum nasional. Di dalamnya termuat telaah atau kajian sastra yang tak lain adalah kritik sastra. Itulah perjalanan kritik sastra menjadi bagian penting –seperti juga mata kuliah telaah lainnya– dalam dunia akademik.
Tak dapat dinafikan sumbangan Aliran Rawamangun bagi institusi sastra di negeri ini. Penelitian yang dihasilkan para pendukung aliran ini, seperti M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, J.U. Nasution, atau Lukman Ali, kerapkali menjadi acuan, bagaimana operasionalisasi kritik akademis dilakukan. Bahkan, disertasi Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and His Language” (Den Haag, 1972) menjadi rujukan penting bagi peneliti Barat yang hendak “memahami” Chairil Anwar.
Sampai pertengahan dasawarsa 1980-an, berbagai macam buku kritik sastra, terus bermunculan. Yang berupa kritik teoretis dapat disebutkan beberapa di antaranya, karya Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern (1988), antologi artikel yang dihimpun Ariel Heryanto, Perdebatan Sastra Kontekstual (1985) atau kumpulan makalah yang disusun Mursal Esten, Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (1988). Yang berupa kritik terapan, secara kuantitatif lebih banyak lagi. Beberapa di antaranya, Novel Baru Iwan Simatupang (1980) dan Hamba-Hamba Kebudayaan (1984) karya Dami N. Toda, Sastra dan Religiositas (1982) karya Y.B. Mangunwijaya, Dialog antara Dunia Nyata dan tidak Nyata (1989) karya Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Menelusuri Makna Ziarah karya Iwan Simatupang (1990) karya Okke K.S. Zaimar.
Terbitnya buku yang membincangkan kritik teoretis dan kritik terapan yang beraneka macam itu memperlihatkan betapa semarak kehidupan kritik sastra Indonesia. Lalu bagaimana sesungguhnya peta kritik sastra Indonesia, baik yang dihasilkan kaum akademis, sastrawan, maupun sastrawan yang sekaligus juga kaum akademis. Dalam hal ini, kerja keras Rachmat Djoko Pradopo merupakan tonggak penting dalam usahanya menginventarisasi, mengklasifikasi, serta memetakan panorama kritik sastra Indonesia.
Dalam disertasi Rachmat Djoko Pradopo “Kritik Sastra Indonesia Modern: Telaah dalam Bidang Kritik Teoretis dan Kritik Terapan” (1989) yang hampir setebal bantal (949 halaman) itu—kemudian diterbitkan secara utuh sebagai buku berjudul Kritik Sastra Indonesia (Gama Media, 2002), dideskripsikan dan sekalian dianalisis secara mendalam dan luas berbagai jenis kritik sastra Indonesia sejak periode Balai Pustaka sampai penolakan teori kritik sastra khas Indonesia akhir dekade tahun 1980-an. Inilah penelitian yang sangat komprehensif mengenai panorama dan berbagai alur pemikiran dalam kritik sastra Indonesia.
Memasuki dasawarsa akhir abad ke-20, penerbitan karya para peneliti masih terus berlangsung. Bahkan, belakangan ini, sejumlah penerbit melakukan semacam “perburuan” naskah hasil penelitian kaum akademis. Jadi, jika faktanya begitu, adakah alasan lain yang memaksa entah siapa untuk berkata: “Krisis kritik sastra Indonesia?”
***
Bersamaan dengan pudarnya pengaruh Aliran Rawamangun, di berbagai institusi sastra mulai gencar dipelajari macam-macam teori kritik mutakhir. Praktik kritik sastra tidak lagi terpaku pada pendekatan struktural, baik yang mengacu pada gagasan Roland Barthes, maupun Kritik Baru (New Criticism) Amerika. Kejenuhan terhadap pendekatan ini, secara langsung telah membuka peluang penerapan berbagai macam jenis kritik.. Yang kini hangat, selain psikologi dan sosilogi sastra, juga kritik feminis, kajian budaya (cultural studies), dan New Historicism: sebuah gerakan kesadaran sejarah baru –sebagai reaksi atas New Criticism– dalam kritik sastra yang coba memanfaatkan berbagai macam aliran, mazhab, dan teori. Di luar itu, penggalian terhadap sumber-sumber kritik sastra Timur, juga terus dilakukan. Disertasi Bambang Wibawarta, “Modernisasi Jepang dalam Karya-Karya Mori Ogai” (2000) memberi cerita lain mengenai teori sastra Barat, khasnya strukturalisme dan “kematian pengarang” Barthes. Dalam sastra Jepang, “pengarang dapat dianggap sebagai sebuah teks” yang justru penting untuk melengkapi pemahaman teks yang dihasilkannya.
Karya Abdul Hadi WM, Tasauf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (2001), meski tidak menafikan teori sastra Barat, juga mengangkat hermeneutik dari tradisi intelektual Islam, terutama bersumber dari gagasan Ibn Arabi dan Al-Ghazali. Dengan begitu, kritik sastra Indonesia di masa hadapan, bakal makin semarak dengan masuknya tidak hanya pengaruh Barat, tetapi juga Timur. Bahkan, boleh jadi dari kultur dan estetika sendiri, seperti yang diangkat dalam disertasi Sapardi Djoko Damono, Novel Jawa tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1989).
Dalam konteks kritik sastra Indonesia, meski diakui, teori dan kritik sastra Barat tidak dapat kita hindarkan. Namun, tidaklah berarti kita lalu menelan bulat-mentah. Jadi, mengulang pernyataan yang lalu: ia sekadar kendaraan yang dapat dimuati apa pun dan ditumpangi siapa pun, sesuai dengan kebutuhan dan arah yang menjadi tujuannya. Jika begitu, tentu saja tidak perlu pula kita memberhalakannya. Barangkali, ada benarnya juga pepatah Minang ini: “Tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua” (Terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar).
(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok).
http://mahayana-mahadewa.com/
Tradisi ilmiah dan kehidupan intelektual di negeri ini, mesti diakui, masih centang-perenang. Para dosen dan peneliti kita terpaksa harus menggunakan kata nyambi dan cawe-cawe sekadar untuk menghidupi asap dapurnya. Meski begitu, masih banyak di antaranya yang tetap setia dan bertanggung jawab pada profesi. Mereka juga tidak melupakan peran sosialnya dengan bekerja dan berkarya. Bagaimana hasilnya, masyarakat yang kelak menilainya.
Dalam kondisi kehidupan ilmiah yang masih centang-perenang itu, sejak zaman Belanda hingga kini, kiblat dunia pendidikan kita masih saja ke Barat. Jadilah, suka tak suka, sistem pendidikannya juga berorientasi ke sana. Termasuk di dalamnya tradisi kritik sastra! Dalam lingkaran itulah, kritik sastra Indonesia ngulet, menggeliat, kemudian merangkak bangun.
***
Jika ditarik ke belakang, sesungguhnya tradisi kritik sastra Indonesia relatif belum bersejarah panjang. Meski begitu, praktiknya justru terjadi sejak awal abad ke-20, seperti dapat kita lihat di media massa yang terbit dekade itu. Periksa saja komentar Tirto Adhi Soerjo mengenai cerita-cerita yang dimuat Medan Prijaji (1907-1912) atau Poetri Hindia (1908-1911). Majalah Pandji Poestaka, bahkan menyediakan rubrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam edisi 5 Juli 1932, muncul artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel ini yang pertama secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia. Dalam Pandji Poestaka edisi November 1932 — Maret 1933, dimuat pula secara berturut-turut tulisan Alisjahbana, “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe” yang secara teoretis menolak style dan bahasa klise dalam kesusastraan tradisional sambil mengajukan ciri-ciri sastra Indonesia modern.
Dalam majalah Poedjangga Baroe (1933) berbagai tulisan tentang sastra, tidak cuma berupa ulasan ringkas dan resensi, tetapi juga uraian mengenai konsep teoretis sastra dalam kaitannya dengan estetika, seni, dan kebudayaan Indonesia. Cermati tulisan Sutan Takdir Alisjahbana “Menoedjoe Seni Baroe” (Juli, 1933) dan “Poeisi Indonesia Zaman Baroe” (I-VI: September 1934-Februari 1935), Armijn Pane “Kesoesasteraan Baroe” (I-IV: Juli-Oktober 1933), Hoesein Djajadiningrat “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib” (I-V: November 1933-Maret 1934) dan Amir Hamzah “Kesoesasteraan” (I-IV: Juni 1933-September 1934) dan “Pantoen” (Maret 1934). Secara mendalam, mereka mencoba merumuskan konsepsi dan estetika sastra Indonesia, baik tradisional maupun modern. Ada dua arus besar pemikiran mengenai rumusan mereka: (1) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut pemikiran Barat yang diangkat Alisjahbana, dan (2) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut kultur Timur (termasuk Indonesia) yang dikedepankan Djajadiningrat dan Amir Hamzah.
Sebuah majalah yang terbit di Medan (1937), Pedoman Masjarakat, juga memuat ulasan dan resensi, meskipun masih dalam bentuk yang ringkas. Salah satu hal penting dari berbagai tulisan dalam majalah ini adalah munculnya semacam gerakan sastra di luar Balai Pustaka yang tidak mengikuti mainstream Poedjangga Baroe. Medan kemudian menjadi salah satu pusat penerbitan novel seperti itu. Karena formatnya begitu sederhana dengan cetakan dan kertas berkualitas rendah, harga jualnya jadi begitu murah. Dari sanalah lahir istilah roman picisan yang merujuk pada uang sepicis, sebagaimana yang diperkenalkan Dr. R. Roolvink (1952).
Pada zaman Jepang, pembicaraan mengenai konsep sastra cenderung terfokus pada fungsi sastra, tugas sastrawan, dan penolakan konsep seni untuk seni. Masalahnya berkaitan dengan kepentingan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Fungsi sastra dimanfaatkan untuk propaganda, dan tugas seniman memberi penyadaran akan semangat cinta tanah air, kerelaan berkorban, dan keberanian menghadapi perang. Majalah Djawa Baroe, harian Asia Raja, dan jurnal Keboedajaan Timoer –sekadar menyebut beberapa– adalah media massa yang dijadikan corong Pemerintah Jepang waktu itu.
Awal merdeka, kita melihat perdebatan seru mengenai konsep estetik Angkatan 45 berikut gagasan humanisme universal. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan representasi dari elan dan semangat Angkatan itu atas gerak dan kesadaran membangun dan mengisi kebudayaan Indonesia di masa mendatang. Masalah angkatan dan konsep kesusastraan, juga menjadi polemik hangat yang menjadi wacana pemikiran intelektual Angkatan 45.
Di tengah terjadinya polemik itu, Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) lahir dan mengusung humanisme proletariat lewat realisme sosialis dan konsep seni untuk rakyat. Pada dekade itu Jassin menerbitkan sejumlah bukunya yang berisi berbagai artikel yang pernah dimuat media massa. Inilah yang mengawali buku kritik sastra Indonesia. Teeuw juga mempublikasikan buku kritiknya, Pokok dan Tokoh (1952), meski isinya lebih dekat pada sejarah sastra Indonesia. Pada dasawarsa itu, terjadi perseteruan para pendukung gagasan humanisme universal dengan Lekra. Puncaknya jatuh pada Manifes Kebudayaan, 19 Oktober 1963 yang kemudian dibekukan Presiden Soekarno, 8 Mei 1964.
Memasuki zaman Orba, masalah konsep dan operasionalisasi kritik sastra lebih tegas dirumuskan dalam Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia, 31 Oktober 1968. Lahir dua arus pemikiran yang bermuara pada Aliran Rawamangun dan metode Ganzheit. Di luar terjadinya perbedaan pandangan dua arus pemikiran itu, sejak itu kritik sastra menjadi salah satu bagian penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra. Mengingat penguasa Orba selalu menyeragamkan apapun, termasuk pendidikan, maka di semua institusi pendidikan sastra diberlakukan kurikulum nasional. Di dalamnya termuat telaah atau kajian sastra yang tak lain adalah kritik sastra. Itulah perjalanan kritik sastra menjadi bagian penting –seperti juga mata kuliah telaah lainnya– dalam dunia akademik.
Tak dapat dinafikan sumbangan Aliran Rawamangun bagi institusi sastra di negeri ini. Penelitian yang dihasilkan para pendukung aliran ini, seperti M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, J.U. Nasution, atau Lukman Ali, kerapkali menjadi acuan, bagaimana operasionalisasi kritik akademis dilakukan. Bahkan, disertasi Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and His Language” (Den Haag, 1972) menjadi rujukan penting bagi peneliti Barat yang hendak “memahami” Chairil Anwar.
Sampai pertengahan dasawarsa 1980-an, berbagai macam buku kritik sastra, terus bermunculan. Yang berupa kritik teoretis dapat disebutkan beberapa di antaranya, karya Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern (1988), antologi artikel yang dihimpun Ariel Heryanto, Perdebatan Sastra Kontekstual (1985) atau kumpulan makalah yang disusun Mursal Esten, Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (1988). Yang berupa kritik terapan, secara kuantitatif lebih banyak lagi. Beberapa di antaranya, Novel Baru Iwan Simatupang (1980) dan Hamba-Hamba Kebudayaan (1984) karya Dami N. Toda, Sastra dan Religiositas (1982) karya Y.B. Mangunwijaya, Dialog antara Dunia Nyata dan tidak Nyata (1989) karya Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Menelusuri Makna Ziarah karya Iwan Simatupang (1990) karya Okke K.S. Zaimar.
Terbitnya buku yang membincangkan kritik teoretis dan kritik terapan yang beraneka macam itu memperlihatkan betapa semarak kehidupan kritik sastra Indonesia. Lalu bagaimana sesungguhnya peta kritik sastra Indonesia, baik yang dihasilkan kaum akademis, sastrawan, maupun sastrawan yang sekaligus juga kaum akademis. Dalam hal ini, kerja keras Rachmat Djoko Pradopo merupakan tonggak penting dalam usahanya menginventarisasi, mengklasifikasi, serta memetakan panorama kritik sastra Indonesia.
Dalam disertasi Rachmat Djoko Pradopo “Kritik Sastra Indonesia Modern: Telaah dalam Bidang Kritik Teoretis dan Kritik Terapan” (1989) yang hampir setebal bantal (949 halaman) itu—kemudian diterbitkan secara utuh sebagai buku berjudul Kritik Sastra Indonesia (Gama Media, 2002), dideskripsikan dan sekalian dianalisis secara mendalam dan luas berbagai jenis kritik sastra Indonesia sejak periode Balai Pustaka sampai penolakan teori kritik sastra khas Indonesia akhir dekade tahun 1980-an. Inilah penelitian yang sangat komprehensif mengenai panorama dan berbagai alur pemikiran dalam kritik sastra Indonesia.
Memasuki dasawarsa akhir abad ke-20, penerbitan karya para peneliti masih terus berlangsung. Bahkan, belakangan ini, sejumlah penerbit melakukan semacam “perburuan” naskah hasil penelitian kaum akademis. Jadi, jika faktanya begitu, adakah alasan lain yang memaksa entah siapa untuk berkata: “Krisis kritik sastra Indonesia?”
***
Bersamaan dengan pudarnya pengaruh Aliran Rawamangun, di berbagai institusi sastra mulai gencar dipelajari macam-macam teori kritik mutakhir. Praktik kritik sastra tidak lagi terpaku pada pendekatan struktural, baik yang mengacu pada gagasan Roland Barthes, maupun Kritik Baru (New Criticism) Amerika. Kejenuhan terhadap pendekatan ini, secara langsung telah membuka peluang penerapan berbagai macam jenis kritik.. Yang kini hangat, selain psikologi dan sosilogi sastra, juga kritik feminis, kajian budaya (cultural studies), dan New Historicism: sebuah gerakan kesadaran sejarah baru –sebagai reaksi atas New Criticism– dalam kritik sastra yang coba memanfaatkan berbagai macam aliran, mazhab, dan teori. Di luar itu, penggalian terhadap sumber-sumber kritik sastra Timur, juga terus dilakukan. Disertasi Bambang Wibawarta, “Modernisasi Jepang dalam Karya-Karya Mori Ogai” (2000) memberi cerita lain mengenai teori sastra Barat, khasnya strukturalisme dan “kematian pengarang” Barthes. Dalam sastra Jepang, “pengarang dapat dianggap sebagai sebuah teks” yang justru penting untuk melengkapi pemahaman teks yang dihasilkannya.
Karya Abdul Hadi WM, Tasauf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (2001), meski tidak menafikan teori sastra Barat, juga mengangkat hermeneutik dari tradisi intelektual Islam, terutama bersumber dari gagasan Ibn Arabi dan Al-Ghazali. Dengan begitu, kritik sastra Indonesia di masa hadapan, bakal makin semarak dengan masuknya tidak hanya pengaruh Barat, tetapi juga Timur. Bahkan, boleh jadi dari kultur dan estetika sendiri, seperti yang diangkat dalam disertasi Sapardi Djoko Damono, Novel Jawa tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1989).
Dalam konteks kritik sastra Indonesia, meski diakui, teori dan kritik sastra Barat tidak dapat kita hindarkan. Namun, tidaklah berarti kita lalu menelan bulat-mentah. Jadi, mengulang pernyataan yang lalu: ia sekadar kendaraan yang dapat dimuati apa pun dan ditumpangi siapa pun, sesuai dengan kebutuhan dan arah yang menjadi tujuannya. Jika begitu, tentu saja tidak perlu pula kita memberhalakannya. Barangkali, ada benarnya juga pepatah Minang ini: “Tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua” (Terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar).
(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok).
Lidi Segala Kata, Sajak Herry Lamongan
Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/
Mungkin adalah benar bila sebuah pendapat menyatakan bahwa ketika kita menyakiti seseorang itu ibarat menancapkan sebuah paku pada sebuah kayu. Bila berkali-kali kita menyakiti seseorang berarti hal itu seperti berkali-kali pula kita menancapkan paku-paku itu pada sebuah kayu.
Sedangkan ketika permohona maaf kita lontarkan atas kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, mungkin hal itu ibarat kita mencabut paku-paku yang telah kita tancapkan tersebut dari sebuah kayu.
Memang benar dengan permohonan maaf seolah-olah kita telah mencabut paku-paku tersebut dari kayu, kita telah mencoba menghilangkan rasa sakit akibat perbuatan kita pada seseorang.
Namun demikian bila kita perhatikan, benarkan kita telah menghilangkan rasa sakit secara keseluruhan dengan mencabut paku-paku itu, melalui permintaan maaf tersebut.. Bila kita perhatikan lebih teliti ternyata bekas paku-paku yang telah kita tancapkan pada diri seseorang itu menyisakan lubang-lubang. Lubang-lubang luka atas perbuatan kita.
Mungkin demikian makna sajak karya Herry Lamongan yang tergabung dalam Antologi Bersama Lidi Segala Kata dengan judul yang sama yang dimuat dalam Majalah Sastra Indupati Tahun IX/2009 No. 1 yang diterbitkan oleh Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA).
Jadi problem (lindu) apakah yang paling menyedihkan diantara guncangan-guncangan yang ada yang mengisi hari-hari kita pada saat perjumpaan maupun saat perpisahan diantara jalinan hubungan antar manusia dalam koridor toleransi?
Kenapa problema-problema (lindu) itu bisa terjadi? Apakah karena diri pribadi kita yang tidak tahan atas guncangan-guncangan itu (terlalu gelap beranda dada) ataukah memang karena aksi yang kita terima memang terasa begitu menyakitkan?
Mengawali sajaknya dengan kalimat tanya seolah-olah Penyair ingin menyajikan permasalahan yang sering kita hadapi dalam perjalanan hidup yang harus berinteraksi dengan manusia-manusia lain sebagai makhluk social.
lindu apakah paling airmata
lalulalang ia di jalan jumpa
hiilrmudik ia di jalan pisah
gelincir waktu
lempeng sana dengan lempeng sini
dalam bumi pengertian
mungkin petang siap pesta amat pekat
atau terlalu gelap beranda dada
maka subuh dipijarkan
gempa diwujudkan
Penyair membuat lindu sebagai metafora bagi problema-problema yang dihadapi manusia sebagai hasil interaksi antar manusia: lempeng sana dengan lempeng sini / dalam bumi pengertian
Atas problema-problema yang datang kepada kita itu semestinya memang kita tak perlu menyesalinya sebab problema-problema hidup, kata-kata yang menyakitkan seperti yang disimbolkan dengan lidi segala kata itu dalam perjalanan hidup akan selau kita temui:
tak perlu sibuk menyesal
sebab lidi segala kata
sudah jauh
berulang-ulang
menyentuh ibukota terdalam wilayah hati
Kita akan seringkali menemui hal itu sebagai sebuah kewajaran dalam hidup yang berinteraksi dengan manusia lain dengan latar belakang kepentingan yang berbeda-beda: sebab lidi segala kata / sudah jauh / berulang-ulang / menyentuh ibukota terdalam wilayah hati.
Bilamanapun ada sesal, ada tangis atas problema-problema itu benak kita terkadang lebih bijak dalam mengambil keputusan. Sebagaimana filosofi orang-orang tua dulu yang sering menyatakan untuk “diunggahno ya diuduno” (dipikir-pikir / ditimbang-timbang / dipasrahkan) bila ada problema-problema kehidupan yang menerpa kita.
dan lelayung tangis
dari gugur atap dari puing dinding
usai gempa
hanya kabar pilu yang dikandaskan
atas benak
supaya kembali kepada makna
betapa kita tak sendiri
Problema-problema atas hasil interaksi dengan manusia lain itu adalah sebuah kewajaran atau sunatullah: supaya kembali kepada makna / betapa kita tak sendiri
Tapi entah mengapa meskipun telah mengemukakan alasan-alasan yang seharusnya membuat tak berduka atas problema-problema itu, sang penyair masih bersikukuh untuk merasa dalam kekal duka. Meskipun lindu itu telah berlalu kekal tetap membasah, kekal duka yang tak kunjung kering meski beribu kali dibasuh.
tapi lindu
sampai ia berlalu
mengapa kekal membasah
kekal duka
tak kunjung kering
meski beribu kali
tanganku pulang membasuhnya
Mengapa kekal duka tak kunjung kering? Mungkinkah karena terlalu gelap beranda pada dada? Mungkinkah karena pekat siap pada setiap pesta?
Inilah sajak selengkapnya karya Herry Lamongan, salah satu penyair senior lamongan yang giat membina para pengrajin syair pemula di Lamongan melalui Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) yang pada tanggal 6 Desember 2009 kemarin genap berusia 10 Tahun.
Sajak Herry Lamongan
Lidi Segala Kata
lindu apakah paling airmata
lalulalang ia di jalan jumpa
hiilrmudik ia di jalan pisah
gelincir waktu
lempeng sana dengan lempeng sini
dalam bumi pengertian
mungkin petang siap pesta amat pekat
atau terlalu gelap beranda dada
maka subuh dipijarkan
gempa diwujudkan
tak perlu sibuk menyesal
sebab lidi segala kata
sudah jauh
berulang-ulang
menyentuh ibukota terdalam wilayah hati.
dan lelayung tangis
dari gugur atap dari puing dinding
usai gempa
hanya kabar pilu yang dikandaskan
atas benak
supaya kembali kepada makna
betapa kita tak sendiri
tapi lindu
sampai ia berlalu
mengapa kekal membasah
kekal duka
tak kunjung kering
meski beribu kali
tanganku pulang membasuhnya
madedadi, Nov 2009
Peringatan 10 Tahun Kebangkitan Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) bertempat di Gedung Serba Guna Kecamatan Sukodadi, Lamongan berlangsung meriah.
Beberapa acara dilaksanakan mulai minggu siang sampai minggu malam pada 6 Desember 2009. Beberapa agenda diantaranya adalah pembacaan puisi, pementasan teater, dan bazaar buku murah, serta peluncuran Majalah Sastra Indupati. Majalah yang sudah pernah terbit beberapa kali sebelumnya, namun sempat terhenti penerbitannya.
Sangat disayangkan momen tersebut tidak digunakan untuk membedah karya sastra atau apresiasi sastra dan berdiskusi permasalahan-permasalahan yang menjadi kendala bagi terwujudnya kemajuan sastra dan teater di Lamongan. Padahal dalam momen tersebut telah berkumpul orang-orang yang terlibat dalam sastra setidaknya menyukai sastra.
Namun demikian saya hanya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun Ke-10 untuk KOSTELA, dan selamat pula atas keberhasilan KOSTELA sehingga mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jawa Timur sebagai komunitas aktif dalam berkegiatan sastra. Semoga tetap semangat dalam memprakarsai kemajuan dan kebangkitan sastra dan teater di Lamongan.
Gresik, 9 Desember 2009
http://dunia-awie.blogspot.com/
http://sastra-indonesia.com/
Mungkin adalah benar bila sebuah pendapat menyatakan bahwa ketika kita menyakiti seseorang itu ibarat menancapkan sebuah paku pada sebuah kayu. Bila berkali-kali kita menyakiti seseorang berarti hal itu seperti berkali-kali pula kita menancapkan paku-paku itu pada sebuah kayu.
Sedangkan ketika permohona maaf kita lontarkan atas kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, mungkin hal itu ibarat kita mencabut paku-paku yang telah kita tancapkan tersebut dari sebuah kayu.
Memang benar dengan permohonan maaf seolah-olah kita telah mencabut paku-paku tersebut dari kayu, kita telah mencoba menghilangkan rasa sakit akibat perbuatan kita pada seseorang.
Namun demikian bila kita perhatikan, benarkan kita telah menghilangkan rasa sakit secara keseluruhan dengan mencabut paku-paku itu, melalui permintaan maaf tersebut.. Bila kita perhatikan lebih teliti ternyata bekas paku-paku yang telah kita tancapkan pada diri seseorang itu menyisakan lubang-lubang. Lubang-lubang luka atas perbuatan kita.
Mungkin demikian makna sajak karya Herry Lamongan yang tergabung dalam Antologi Bersama Lidi Segala Kata dengan judul yang sama yang dimuat dalam Majalah Sastra Indupati Tahun IX/2009 No. 1 yang diterbitkan oleh Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA).
Jadi problem (lindu) apakah yang paling menyedihkan diantara guncangan-guncangan yang ada yang mengisi hari-hari kita pada saat perjumpaan maupun saat perpisahan diantara jalinan hubungan antar manusia dalam koridor toleransi?
Kenapa problema-problema (lindu) itu bisa terjadi? Apakah karena diri pribadi kita yang tidak tahan atas guncangan-guncangan itu (terlalu gelap beranda dada) ataukah memang karena aksi yang kita terima memang terasa begitu menyakitkan?
Mengawali sajaknya dengan kalimat tanya seolah-olah Penyair ingin menyajikan permasalahan yang sering kita hadapi dalam perjalanan hidup yang harus berinteraksi dengan manusia-manusia lain sebagai makhluk social.
lindu apakah paling airmata
lalulalang ia di jalan jumpa
hiilrmudik ia di jalan pisah
gelincir waktu
lempeng sana dengan lempeng sini
dalam bumi pengertian
mungkin petang siap pesta amat pekat
atau terlalu gelap beranda dada
maka subuh dipijarkan
gempa diwujudkan
Penyair membuat lindu sebagai metafora bagi problema-problema yang dihadapi manusia sebagai hasil interaksi antar manusia: lempeng sana dengan lempeng sini / dalam bumi pengertian
Atas problema-problema yang datang kepada kita itu semestinya memang kita tak perlu menyesalinya sebab problema-problema hidup, kata-kata yang menyakitkan seperti yang disimbolkan dengan lidi segala kata itu dalam perjalanan hidup akan selau kita temui:
tak perlu sibuk menyesal
sebab lidi segala kata
sudah jauh
berulang-ulang
menyentuh ibukota terdalam wilayah hati
Kita akan seringkali menemui hal itu sebagai sebuah kewajaran dalam hidup yang berinteraksi dengan manusia lain dengan latar belakang kepentingan yang berbeda-beda: sebab lidi segala kata / sudah jauh / berulang-ulang / menyentuh ibukota terdalam wilayah hati.
Bilamanapun ada sesal, ada tangis atas problema-problema itu benak kita terkadang lebih bijak dalam mengambil keputusan. Sebagaimana filosofi orang-orang tua dulu yang sering menyatakan untuk “diunggahno ya diuduno” (dipikir-pikir / ditimbang-timbang / dipasrahkan) bila ada problema-problema kehidupan yang menerpa kita.
dan lelayung tangis
dari gugur atap dari puing dinding
usai gempa
hanya kabar pilu yang dikandaskan
atas benak
supaya kembali kepada makna
betapa kita tak sendiri
Problema-problema atas hasil interaksi dengan manusia lain itu adalah sebuah kewajaran atau sunatullah: supaya kembali kepada makna / betapa kita tak sendiri
Tapi entah mengapa meskipun telah mengemukakan alasan-alasan yang seharusnya membuat tak berduka atas problema-problema itu, sang penyair masih bersikukuh untuk merasa dalam kekal duka. Meskipun lindu itu telah berlalu kekal tetap membasah, kekal duka yang tak kunjung kering meski beribu kali dibasuh.
tapi lindu
sampai ia berlalu
mengapa kekal membasah
kekal duka
tak kunjung kering
meski beribu kali
tanganku pulang membasuhnya
Mengapa kekal duka tak kunjung kering? Mungkinkah karena terlalu gelap beranda pada dada? Mungkinkah karena pekat siap pada setiap pesta?
Inilah sajak selengkapnya karya Herry Lamongan, salah satu penyair senior lamongan yang giat membina para pengrajin syair pemula di Lamongan melalui Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) yang pada tanggal 6 Desember 2009 kemarin genap berusia 10 Tahun.
Sajak Herry Lamongan
Lidi Segala Kata
lindu apakah paling airmata
lalulalang ia di jalan jumpa
hiilrmudik ia di jalan pisah
gelincir waktu
lempeng sana dengan lempeng sini
dalam bumi pengertian
mungkin petang siap pesta amat pekat
atau terlalu gelap beranda dada
maka subuh dipijarkan
gempa diwujudkan
tak perlu sibuk menyesal
sebab lidi segala kata
sudah jauh
berulang-ulang
menyentuh ibukota terdalam wilayah hati.
dan lelayung tangis
dari gugur atap dari puing dinding
usai gempa
hanya kabar pilu yang dikandaskan
atas benak
supaya kembali kepada makna
betapa kita tak sendiri
tapi lindu
sampai ia berlalu
mengapa kekal membasah
kekal duka
tak kunjung kering
meski beribu kali
tanganku pulang membasuhnya
madedadi, Nov 2009
Peringatan 10 Tahun Kebangkitan Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) bertempat di Gedung Serba Guna Kecamatan Sukodadi, Lamongan berlangsung meriah.
Beberapa acara dilaksanakan mulai minggu siang sampai minggu malam pada 6 Desember 2009. Beberapa agenda diantaranya adalah pembacaan puisi, pementasan teater, dan bazaar buku murah, serta peluncuran Majalah Sastra Indupati. Majalah yang sudah pernah terbit beberapa kali sebelumnya, namun sempat terhenti penerbitannya.
Sangat disayangkan momen tersebut tidak digunakan untuk membedah karya sastra atau apresiasi sastra dan berdiskusi permasalahan-permasalahan yang menjadi kendala bagi terwujudnya kemajuan sastra dan teater di Lamongan. Padahal dalam momen tersebut telah berkumpul orang-orang yang terlibat dalam sastra setidaknya menyukai sastra.
Namun demikian saya hanya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun Ke-10 untuk KOSTELA, dan selamat pula atas keberhasilan KOSTELA sehingga mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jawa Timur sebagai komunitas aktif dalam berkegiatan sastra. Semoga tetap semangat dalam memprakarsai kemajuan dan kebangkitan sastra dan teater di Lamongan.
Gresik, 9 Desember 2009
http://dunia-awie.blogspot.com/
SASTRA DAN BUDAYA SASAK DIBELANTARA MODEREN
Janual Aidi*
http://sastra-indonesia.com/
“Manusia tidak dipahami melalui eksistensi fisik, secara substansial, melainkan melalui karya dan ciptaannya…” (Ernst Cassirer)
Satu kenyataan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun juga bahwa sesungguhnya suku Sasak merupakan suku yang kaya akan sastra dan budaya. Sebut saja diantara karya-karya tulis pada zaman dahulu (naskah lama) seperti: Babad Selaparang, Babad Lombok, Babad Praya, Babad Praya (Mengawi), Babad Sakra, Babad Sari Manik, Jatiswara, Silsilah Batu Dendang, Nabi Haparas, Cilinaya, Cupak Gerantang, Doyan Neda, Pengganis, Kertanah, Dajjal dan Kotaragama. Ataupun yang dalam perkembangannya, naskah-naskah tersebut banyak diubah kedalam bentuk puisi yang selanjutnya ditembangkan. Tembang-tembang tersebut banyak dipergunakan untuk menulis sastra-sastra Sasak seperti Takepan Monyeh, Lontar Demung Sandubaya dan lainnya. Dan kurang lebih ada enam tembang yang biasa ditembangkan oleh suku Sasak pada masa dulu yaitu: tembang Maskumambang, tembang Asmarandana, tembang Dangdang, tembang Sinom, tembang Pangkur dan tembang Durma. Juga ada banyak karya-karya sastra lainnya yang tidak dapat disebut satu-persatu karena terbatas oleh “ruang kesadaran pewarisan” terhadap generasi penerus. Hal semacam ini sangat cukup untuk disayangkan. Manusia Sasak semakin digerogoti oleh ‘budaya pop’. Generasi Sasak sekarang seolah kehilangan identitas kesustraan ataupun budayanya. Mengalami kebuntuan dan terperosok jauh kedalam lembah kepopuleran. Saya yakin, diantara ribuan generasi Sasak sekarang hanya segelintir saja yang tahu sedikit, peduli dan cinta terhadap sastra dan budaya lokal. Generasi Sasak sekarang seolah ‘antipati’ terhadap sastra dan budaya sendiri. Dan kalau diadakan votting bagi generasi Sasak saat ini, apakah ingin mengonsumsi ‘sastra dan budaya Sasak’ atau ‘pop’, maka saya yakin 99,99% bahwa hasil akhirnya adalah generasi Sasak sekarang akan mengambil ‘option’ budaya pop.
Sebagai penguat argumentasi diatas, marilah kita coba perhatikan realitas generasi Sasak sekarang lewat sebuah studi penelitian kecil-kecilkan. Coba kita perhatikan dan telusuri sejenak mengenai simpanan ‘lagu apa’ yang ada atau lebih banyak di-save pada masing- masing Hand Phone , MP3 Player atau MP4 Player oleh generasi Sasak sekarang! Adapun hasil penelusuran yang saya lakukan menunjukkan bahwa dari 80 sampel hanya terdapat 2 sampel yang men-save lagu-lagu Sasak. Hasil identifikasi ini cukup mencengangkan sekaligus membuka mata kita bahwa generasi Sasak sekarang lebih condong pada sastra ataupun budaya ‘pop’ daripada sastra dan budaya sendiri.Yang perlu kita ketahui dan renungi sebagai generasi Sasak penerus adalah sejarah Sasak telah berbicara bahwa sebelum abad ke-20 hampir semua pesta rakyat yang dilangsungkan di pulau Lombok diramai-semarakkan dengan pembacaan tembang-tembang Sasak yang disusun pada daun lontar dan lainnya. Dan ternyata, pembacaan tembang-tembang tersebut selain berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat setempat, juga sebagai sarana pelestarian budaya atau sebagai sarana pembinaan ‘budi pekerti’ dan watak yang terpuji bagi para pendengarnya. Kini, masihkah tembang-tembang merdu yang termasuk bagian dari’kearifan local’ (local wisdom) tersebut bisa didengar dan dinikmati? Jawabannya telah kita ketahui bersama, jarang dan sulit untuk bisa didengar dan dinikmati bahkan mungkin nyaris kehilangan jiwa dan nyawa.
Terlepas dari semua hal di atas, maka lewat tulisan ini mengajak kita semua untuk kembali mencintai sastra dan budaya Sasak. Ada banyak nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam sastra dan budaya Sasak. Misalnya saja garis besar naskah Kotaragama yang berisi nilai-nilai penting yang menyangkut masalah kepemimpinan, kesejahteraan rakyat, keadilan, peraturan (hukum), dan masalah kehidupan lainnya seperti masalah perkawinan, hutang-piutang, pencurian, hak dan kewajiban raja serta rakyat dan lain sebagainya. Semua tersebut sebenarnya adalah kekayaan suku Sasak yang tak terhargakan karena semuanya syarat dengan nilai-nilai luhur. Artinya, sastra dan budaya Sasak yang ada tidak hanya sebatas memiliki kemolekan logat, melainkan ‘full’dengan nilai-nilai luhur yang sulit untuk ditandingi. Karya seni tidak lahir dari kekosongan, melainkan menggambarkan historik realitas sosial budaya yang khas dan mengandung kesadaran kolektif. Mari kita bersama peduli, mencintai dan mengonsumsi sastra dan budaya sasak yang ada. Mempelajarinya sehingga mendapatkan ‘intisari’ akan keluhuran nilai-nilai yang terkandung. Selain melestarikan sastra dan budaya Sasak dengan cara mencintai, peduli dan mengonsumsi, maka satu garis perjuangan dan pergerakan bendera sastra dan budaya yang harus dilakoni lagi adalah dengan cara menciptakan karya-karya sastra dan budaya yang berkaitan erat dengan realitas sosio-kultural masyarakat Sasak sekarang. Dengan kata lain, manusia Sasak sekarang harus mampu menelurkan karya sastra dan budaya baru. Sastra dan budaya Sasak harus eksis ditengah terpaan modernisme.
Nah, dengan memberikan perhatian pada sastra lokal berarti kita telah menopang program pengembangan sastra dan budaya secara multikultural. Dan dengan adanya kesadaran kolektif dan perhatian untuk menciptakan karya-karya bernuansa news local wisdom, maka sama artinya dengan melahirkan sastrawan dan budayawan baru. Dan pada dasarnya pula, tidak ada masyarakat yang tidak bersastra dan berbudaya. Maksudnya adalah tidak ada masyarakat yang tidak memberikan kontribusi terhadap perkembangan sastra dan budaya. Sebaliknya, tidak ada masyarakat yang tidak mendapat pengaruh perkembanagan sastra dan budaya. Institusi budayapun berfungsi untuk membangun kesadaran budaya, sebab tanpa institusi seni menjadi terasing bagi masyarakat. Institusi budaya harus berjalan efektif.
Selanjutnya, perkembangan sastra dan budaya Sasak adalah lahirnya karya-karya dan budaya yang ‘tidak sebanding’ dengan kuantitas masyarakat. Maksudnya, jumlah karya sastra yang lahir sangat jauh minimnya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk suku Sasak. Dengan mengetahui kenyataan sastra dan budaya Sasak seperti tadi, tetap kita tidak boleh berkecil hati. Kedepan, generasi Sasak harus bisa melahirkan karya-karya sastra dan budaya yang bersifat ‘kekinian’.
Adapun karya sastra budaya dari tangan generasi Sasak sekarang seperti novel yang berjudul “Tuan Guru” dengan tebal 641 halaman yang terdiri dari 40 bagian. Novel tersebut lahir dari buah karya ‘generasi Sasak tulen’ yang bernama Salman Faris, lelaki yang lahir dari wanita buta huruf diRensing Lombok Timur.
Meski pada bedah novel dikatakan bahwa karya sastra tersebut dinilai kontraversial, namun novel tersebut lebih pantas dinilai sebagai kritik sosial. Karena sebenarnya sastra dan realitas sosial adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sastra merupakan ‘buah karya’ yang diproduksi dan distrukturasi dari berbagai dinamika reel masyarakat. Sehingga sastra bisa saja dibahasakan sebagai potret sosial yang menyuguhkan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran ataupun sudut pandang pembacanya. Saya teringat dengan sosiolog Karl Manheim yang dalam teorinya menyatakan bahwa setiap karya seni (termasuk sastra) mau tidak mau akan menyampaikan makna pada tiga tingkat yang berbeda. Pertama, tingkat objektif meaning, yaitu hubungan suatu karya sastra dengan dirinya sendiri; apakah karya sastra gagal atau berhasil dalam menjelmakan keindahan ataupun pesan yang hendak disampaikan. Kedua, tingkat expressive meaning, yaitu hubungan antara karya sastra itu dengan latar belakang psikologi penciptanya; apakah karya sastra diciptakan untuk mengenang sesuatu yang penting ataupun bermakna dalam kehidupan penciptanya. Ketiga, tingkat docementary meaning, yaitu makna yang berhubungan antara karya sastra dengan konteks sosial penciptanya. Suatu karya sastra merupakan dokumen sosial tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran.
Nah, novel ‘Tuan Guru’ masuk pada tingkat yang ketiga. Struktur karya sastranya dibentuk dari proses strukturasi nilai-nilai sosial-budaya yang terjadi pada masyarakat Sasak. Adalah ‘Tuan Guru’ yang oleh masyarakat Sasak dipahami sebagai sosok guru yang pernah menjalankan ibadah haji serta dijadikan sebagai pemuka agama Islam yang dihormati dan menjadi panutan masyarakat. Namun, ‘Tuan Guru’ dalam karya Salman Faris lebih diartikan dari sisi lain, sisi aktor sentral yang memiliki pengaruh besar terhadap ‘pendulung suara rakyat’ pada Pemilu Pilpres ataupun Pemilu Kepala Daerah. Demikianlah ‘Tuan Guru’ ditempatkan pada nalar sastra sang pengarang. Sang pengarang yang melihat ‘Tuan Guru’ dari jendela yang berbeda. Hal demikian mungkin tidak jauh berbeda dengan sosok Nietzsche (pengarang terpenting kesusastraan Jerman) abad ke-19, Bapak Posmodernisme) dalam karya besarnya yang berjudul The Will to Power. Dalam karya tersebut Nietzsche menjelaskan pendapatnya tentang konsep “Tuhan sudah mati” (Gott ist tot). Gagasan Tuhan sudah mati, khusus kaitannya dengan seni, pengertian Tuhan sudah mati mengandung arti mengatasi pesimisme, kegagalan dan berbagai kelemahan manusia. Begitulah ketika sastra dam budaya berbicara.
Sedangkan karya sastra Sasak lainnya seperti “Tahajjut Cinta” buah karya dari Paidul Wizari, yang bisa dimasukkan pada tingkat kedua tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Dan yang tidak kalah bagus dan menariknya juga adalah beberapa karya tulis dalam bentuk untaian syair dari sosok legendaris suku Sasak yaitu Almagfullah Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Untaian-untaian syair tersebut bisa dimasukkan pada tingkat pertama tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Begitu pula dikala memerhatikan buku-buku garapan generasi Sasak sekarang (‘Membongkar Mistreri Politik diNTB’ karangan Badrun AM) yang sengaja memasukkan metafora simbolik Sasak seperti metafora Kao Dongol (metafora yang menunjuk pada sikap yang lahir tanpa berpikir), Kemodong Aur (metafora yang menggambarkan subyek penanda atas eksistensi sebuah mahluk yang cerdik, cerdas, berwawasan dan dapat memahami semua kepentingan), dan Lepang Kerek (metafora yang menyatakan sindiran kepada orang yang bersikap lamban dan tidak progresif). Adapula teater dan musik daerah garapan generasi Sasak sekarng yang didalamnya mengandung unsur-unsur sastra. Jelasnya, karya-karya sastra dan budaya Sasak baik lama maupun moderen memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat Sasak. Demikian gambaran sastra dan budaya Sasak ditengah belantara moderen saat ini. Terakhir, saya ingin mengatakan “sejarah sastra dan budaya adalah sejarah tanggapan pembaca sepanjang zaman”.***
*) Mahasiswa Program Studi Pend. Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong
http://sastra-indonesia.com/
“Manusia tidak dipahami melalui eksistensi fisik, secara substansial, melainkan melalui karya dan ciptaannya…” (Ernst Cassirer)
Satu kenyataan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun juga bahwa sesungguhnya suku Sasak merupakan suku yang kaya akan sastra dan budaya. Sebut saja diantara karya-karya tulis pada zaman dahulu (naskah lama) seperti: Babad Selaparang, Babad Lombok, Babad Praya, Babad Praya (Mengawi), Babad Sakra, Babad Sari Manik, Jatiswara, Silsilah Batu Dendang, Nabi Haparas, Cilinaya, Cupak Gerantang, Doyan Neda, Pengganis, Kertanah, Dajjal dan Kotaragama. Ataupun yang dalam perkembangannya, naskah-naskah tersebut banyak diubah kedalam bentuk puisi yang selanjutnya ditembangkan. Tembang-tembang tersebut banyak dipergunakan untuk menulis sastra-sastra Sasak seperti Takepan Monyeh, Lontar Demung Sandubaya dan lainnya. Dan kurang lebih ada enam tembang yang biasa ditembangkan oleh suku Sasak pada masa dulu yaitu: tembang Maskumambang, tembang Asmarandana, tembang Dangdang, tembang Sinom, tembang Pangkur dan tembang Durma. Juga ada banyak karya-karya sastra lainnya yang tidak dapat disebut satu-persatu karena terbatas oleh “ruang kesadaran pewarisan” terhadap generasi penerus. Hal semacam ini sangat cukup untuk disayangkan. Manusia Sasak semakin digerogoti oleh ‘budaya pop’. Generasi Sasak sekarang seolah kehilangan identitas kesustraan ataupun budayanya. Mengalami kebuntuan dan terperosok jauh kedalam lembah kepopuleran. Saya yakin, diantara ribuan generasi Sasak sekarang hanya segelintir saja yang tahu sedikit, peduli dan cinta terhadap sastra dan budaya lokal. Generasi Sasak sekarang seolah ‘antipati’ terhadap sastra dan budaya sendiri. Dan kalau diadakan votting bagi generasi Sasak saat ini, apakah ingin mengonsumsi ‘sastra dan budaya Sasak’ atau ‘pop’, maka saya yakin 99,99% bahwa hasil akhirnya adalah generasi Sasak sekarang akan mengambil ‘option’ budaya pop.
Sebagai penguat argumentasi diatas, marilah kita coba perhatikan realitas generasi Sasak sekarang lewat sebuah studi penelitian kecil-kecilkan. Coba kita perhatikan dan telusuri sejenak mengenai simpanan ‘lagu apa’ yang ada atau lebih banyak di-save pada masing- masing Hand Phone , MP3 Player atau MP4 Player oleh generasi Sasak sekarang! Adapun hasil penelusuran yang saya lakukan menunjukkan bahwa dari 80 sampel hanya terdapat 2 sampel yang men-save lagu-lagu Sasak. Hasil identifikasi ini cukup mencengangkan sekaligus membuka mata kita bahwa generasi Sasak sekarang lebih condong pada sastra ataupun budaya ‘pop’ daripada sastra dan budaya sendiri.Yang perlu kita ketahui dan renungi sebagai generasi Sasak penerus adalah sejarah Sasak telah berbicara bahwa sebelum abad ke-20 hampir semua pesta rakyat yang dilangsungkan di pulau Lombok diramai-semarakkan dengan pembacaan tembang-tembang Sasak yang disusun pada daun lontar dan lainnya. Dan ternyata, pembacaan tembang-tembang tersebut selain berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat setempat, juga sebagai sarana pelestarian budaya atau sebagai sarana pembinaan ‘budi pekerti’ dan watak yang terpuji bagi para pendengarnya. Kini, masihkah tembang-tembang merdu yang termasuk bagian dari’kearifan local’ (local wisdom) tersebut bisa didengar dan dinikmati? Jawabannya telah kita ketahui bersama, jarang dan sulit untuk bisa didengar dan dinikmati bahkan mungkin nyaris kehilangan jiwa dan nyawa.
Terlepas dari semua hal di atas, maka lewat tulisan ini mengajak kita semua untuk kembali mencintai sastra dan budaya Sasak. Ada banyak nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam sastra dan budaya Sasak. Misalnya saja garis besar naskah Kotaragama yang berisi nilai-nilai penting yang menyangkut masalah kepemimpinan, kesejahteraan rakyat, keadilan, peraturan (hukum), dan masalah kehidupan lainnya seperti masalah perkawinan, hutang-piutang, pencurian, hak dan kewajiban raja serta rakyat dan lain sebagainya. Semua tersebut sebenarnya adalah kekayaan suku Sasak yang tak terhargakan karena semuanya syarat dengan nilai-nilai luhur. Artinya, sastra dan budaya Sasak yang ada tidak hanya sebatas memiliki kemolekan logat, melainkan ‘full’dengan nilai-nilai luhur yang sulit untuk ditandingi. Karya seni tidak lahir dari kekosongan, melainkan menggambarkan historik realitas sosial budaya yang khas dan mengandung kesadaran kolektif. Mari kita bersama peduli, mencintai dan mengonsumsi sastra dan budaya sasak yang ada. Mempelajarinya sehingga mendapatkan ‘intisari’ akan keluhuran nilai-nilai yang terkandung. Selain melestarikan sastra dan budaya Sasak dengan cara mencintai, peduli dan mengonsumsi, maka satu garis perjuangan dan pergerakan bendera sastra dan budaya yang harus dilakoni lagi adalah dengan cara menciptakan karya-karya sastra dan budaya yang berkaitan erat dengan realitas sosio-kultural masyarakat Sasak sekarang. Dengan kata lain, manusia Sasak sekarang harus mampu menelurkan karya sastra dan budaya baru. Sastra dan budaya Sasak harus eksis ditengah terpaan modernisme.
Nah, dengan memberikan perhatian pada sastra lokal berarti kita telah menopang program pengembangan sastra dan budaya secara multikultural. Dan dengan adanya kesadaran kolektif dan perhatian untuk menciptakan karya-karya bernuansa news local wisdom, maka sama artinya dengan melahirkan sastrawan dan budayawan baru. Dan pada dasarnya pula, tidak ada masyarakat yang tidak bersastra dan berbudaya. Maksudnya adalah tidak ada masyarakat yang tidak memberikan kontribusi terhadap perkembangan sastra dan budaya. Sebaliknya, tidak ada masyarakat yang tidak mendapat pengaruh perkembanagan sastra dan budaya. Institusi budayapun berfungsi untuk membangun kesadaran budaya, sebab tanpa institusi seni menjadi terasing bagi masyarakat. Institusi budaya harus berjalan efektif.
Selanjutnya, perkembangan sastra dan budaya Sasak adalah lahirnya karya-karya dan budaya yang ‘tidak sebanding’ dengan kuantitas masyarakat. Maksudnya, jumlah karya sastra yang lahir sangat jauh minimnya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk suku Sasak. Dengan mengetahui kenyataan sastra dan budaya Sasak seperti tadi, tetap kita tidak boleh berkecil hati. Kedepan, generasi Sasak harus bisa melahirkan karya-karya sastra dan budaya yang bersifat ‘kekinian’.
Adapun karya sastra budaya dari tangan generasi Sasak sekarang seperti novel yang berjudul “Tuan Guru” dengan tebal 641 halaman yang terdiri dari 40 bagian. Novel tersebut lahir dari buah karya ‘generasi Sasak tulen’ yang bernama Salman Faris, lelaki yang lahir dari wanita buta huruf diRensing Lombok Timur.
Meski pada bedah novel dikatakan bahwa karya sastra tersebut dinilai kontraversial, namun novel tersebut lebih pantas dinilai sebagai kritik sosial. Karena sebenarnya sastra dan realitas sosial adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sastra merupakan ‘buah karya’ yang diproduksi dan distrukturasi dari berbagai dinamika reel masyarakat. Sehingga sastra bisa saja dibahasakan sebagai potret sosial yang menyuguhkan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran ataupun sudut pandang pembacanya. Saya teringat dengan sosiolog Karl Manheim yang dalam teorinya menyatakan bahwa setiap karya seni (termasuk sastra) mau tidak mau akan menyampaikan makna pada tiga tingkat yang berbeda. Pertama, tingkat objektif meaning, yaitu hubungan suatu karya sastra dengan dirinya sendiri; apakah karya sastra gagal atau berhasil dalam menjelmakan keindahan ataupun pesan yang hendak disampaikan. Kedua, tingkat expressive meaning, yaitu hubungan antara karya sastra itu dengan latar belakang psikologi penciptanya; apakah karya sastra diciptakan untuk mengenang sesuatu yang penting ataupun bermakna dalam kehidupan penciptanya. Ketiga, tingkat docementary meaning, yaitu makna yang berhubungan antara karya sastra dengan konteks sosial penciptanya. Suatu karya sastra merupakan dokumen sosial tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran.
Nah, novel ‘Tuan Guru’ masuk pada tingkat yang ketiga. Struktur karya sastranya dibentuk dari proses strukturasi nilai-nilai sosial-budaya yang terjadi pada masyarakat Sasak. Adalah ‘Tuan Guru’ yang oleh masyarakat Sasak dipahami sebagai sosok guru yang pernah menjalankan ibadah haji serta dijadikan sebagai pemuka agama Islam yang dihormati dan menjadi panutan masyarakat. Namun, ‘Tuan Guru’ dalam karya Salman Faris lebih diartikan dari sisi lain, sisi aktor sentral yang memiliki pengaruh besar terhadap ‘pendulung suara rakyat’ pada Pemilu Pilpres ataupun Pemilu Kepala Daerah. Demikianlah ‘Tuan Guru’ ditempatkan pada nalar sastra sang pengarang. Sang pengarang yang melihat ‘Tuan Guru’ dari jendela yang berbeda. Hal demikian mungkin tidak jauh berbeda dengan sosok Nietzsche (pengarang terpenting kesusastraan Jerman) abad ke-19, Bapak Posmodernisme) dalam karya besarnya yang berjudul The Will to Power. Dalam karya tersebut Nietzsche menjelaskan pendapatnya tentang konsep “Tuhan sudah mati” (Gott ist tot). Gagasan Tuhan sudah mati, khusus kaitannya dengan seni, pengertian Tuhan sudah mati mengandung arti mengatasi pesimisme, kegagalan dan berbagai kelemahan manusia. Begitulah ketika sastra dam budaya berbicara.
Sedangkan karya sastra Sasak lainnya seperti “Tahajjut Cinta” buah karya dari Paidul Wizari, yang bisa dimasukkan pada tingkat kedua tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Dan yang tidak kalah bagus dan menariknya juga adalah beberapa karya tulis dalam bentuk untaian syair dari sosok legendaris suku Sasak yaitu Almagfullah Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Untaian-untaian syair tersebut bisa dimasukkan pada tingkat pertama tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Begitu pula dikala memerhatikan buku-buku garapan generasi Sasak sekarang (‘Membongkar Mistreri Politik diNTB’ karangan Badrun AM) yang sengaja memasukkan metafora simbolik Sasak seperti metafora Kao Dongol (metafora yang menunjuk pada sikap yang lahir tanpa berpikir), Kemodong Aur (metafora yang menggambarkan subyek penanda atas eksistensi sebuah mahluk yang cerdik, cerdas, berwawasan dan dapat memahami semua kepentingan), dan Lepang Kerek (metafora yang menyatakan sindiran kepada orang yang bersikap lamban dan tidak progresif). Adapula teater dan musik daerah garapan generasi Sasak sekarng yang didalamnya mengandung unsur-unsur sastra. Jelasnya, karya-karya sastra dan budaya Sasak baik lama maupun moderen memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat Sasak. Demikian gambaran sastra dan budaya Sasak ditengah belantara moderen saat ini. Terakhir, saya ingin mengatakan “sejarah sastra dan budaya adalah sejarah tanggapan pembaca sepanjang zaman”.***
*) Mahasiswa Program Studi Pend. Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong
Gus Dur, Pluralisme dan Tuhan yang Tak Perlu Dibela
Jemie Simatupang
http://www.kompasiana.com/jemiesimatupang
Untuk: Gus Dur,
Tanda ziarahku kepadamu
KIRA-KIRA APA KOMENTAR orang ini, misal saja ia masih hidup, ketika tahu bangsa kita kalah 3-0 dari Malaysia di leg pertama final AFF tadi malam? Saya menduga pasti: “Mbok yo presiden kita itu jangan protas-protes, orang permainan Malaysia memang bagus kok! Yang sportif dong! Mestinya kita belajar dari mereka! Masak sih gara-gara, apa itu namanya? laser ya, kita kalah?” dan dilanjutkan dengan: “Begitu saja kok repot!”
Ya, saya berbicara tentang Kiyai Haji Abdurahman Wahid (1940-2009) atau yang sederhana kita kenal sebagai: Gus Dur. Mantan Presiden Indonesia—bahkan mungkin dunia—terlucu yang pernah ada. Akh, tak terasa sudah hampir setahun (30 Desember nanti) kita ditinggalkan olehnya, tapi humor-humornya nan cerdas serta ungkapan-ungkapan khasnya yang tak kalah lucu semisal: “Begitu saja kok repot!” masih hidup dalam benak kita—dan semoga juga kebijakan-kebijakan lain yang ditinggalkannya.
Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 Agustus 1940 dari pasangan Wahid Chasyim dan Solichah. Ia adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ia hidup dalam keluarga yang sangat terhormat pada komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. (www.wikipedia.org)
Walaupun berasal dari kalangan pesantren, namun Gus Dur tidak mengharamkan mempelajari hal-hal yang diluar agama Islam. Yang dari barat! Tradisi ini telah hidup dalam kelurganya sejak lama. Segala macam buku, majalah, dan literatur lainnya—yang diluar konten Islam—dibacanya. Sehingga wajar ia tumbuh menjadi sosok yang dengan pengetahuan yang luas. Ia bisa berbicara dan berdiskusi tentang kitab kuning sampai kitab suci kaum proletar (baca: Das Kapital). Pengetahuannya tentang sastra, musik, film, sepak bola, tak bisa diragukan. Jelas ia sosok yang memiliki multi talenta.
Pluralisme
Gus Dus semasa hidup dikenal sebagai orang terdepan membela pluralisme. Baginya hal ini sebuah keniscayaan ketika berhadapan dengan agama, kebudayaan, dan demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa pluralisme. N o n s e n s. Artinya memang tiap-tiap kelompok agama, budaya, atau apapun latarnya harus bisa saling menghargai di tengah perbedaan. Gagasan ini sejalan dengan jargon yang digagas para pendiri bangsa ini “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda tapi satu, atau dalam kata Obama: “Unity in diversitity!”
Barang tentu ia tak sedang bercanda dengan gagasan ini. Serius! Ketika ada minoritas yang terpinggirkan oleh sistem yang tak adil Gus Dur maju membela, padahal siapa yang dibela bukan berlatar agama yang sama dengannya. Tak heran kemudian ia sering dimusuhi oleh orang segamanya sendiri. Tapi ia tak ambil pusing. Maju terus membela yang benar! Keseriusan itu terbukti pula pada saat menjadi presiden, ia tanpa ragu mengeluarkan Keppres No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Intruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China yang mendiskriminasi warga China yang ada di Indonesia.
Setelah itu kita tahu, etnis China sekarang bisa menjalankan budayanya dengan lega di negeri ini. Juga menjalankan kepercayaa leluhurnya di bawah jaminan perlindungan negara. Tak boleh ada yang mengganggu. Imlek kemudian diperingati secara nasional dan dinyatakan sebagai hari libur bersama.
Tak hanya pada kebudayaan, Gus Dur juga aktif membela kebebasan orang-orang berideologi. Baginya, sebagai bagian dari hak asasi, tak ada suatu kekuasaan pun yang bisa melarang orang memiliki ideologi—walaupun mungkin seberapa jahatnya ideologi itu. Kan sejatinya ada kuasa orang menghalangi orang berpikir? Bahkan ketika dibui sekalipun. Karenanya pelarangan ini sangat absurd. Karenanya, Gus Dur acap mewacanakan pencabutan Tap MPR yang melarang partai politik PKI serta paham komunisme, marxisme, dan leninisme. Tapi karena banyak pertimbangan, ia belum melakukannya.
Bahkan ia juga dekat dengan kelompok-kelompok transgender. Ketika orang lain menghujat, Gus Dur justru pasang badan membela mereka. Tak heran kemudian mengapa banyak artis-artis seperti Dorce Malagama merasa sangat kehilangan ketika Gus Dur wafat setahun yang lalu.
Tuhan Tak Perlu Dibela
Tiap kali ada orang yang mati-matian membela agamanya—Tuhannya—dan menyerang agama ataupun sekte lain sebagai sesat, kafir, dlsb-nya, saya kembali teringat Gus Dur. Ia tentunya sangat jengah dengan orang-orang model ini, walau mestinya mereka seiman dengannya. Heran. Kok mesti dengan kekerasan membela Tuhan? Dengan bakar-bakar? Dengan gebuk-gebukan?
Padahal, “Tuhan tak perlu dibela” kata Gus Dur yakin.
Ya, Tuhan memang tak perlu dibela. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Tempo (bisa dibaca di wahidinstitute.org), Gus Dur menulis uraiannya tentang ketidakperluan kita membela Tuhan. Dengan mantap ia menulis: “Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.”
Lanjutnya dalam artikel itu: “bila engkau menganggap Allah ada karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia “menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.” Dalam hal ini Gus Dur mengutip Al-Hujwiri, seorang sufi dari Persia.
Lalu Gus Dur menyimpulkan bahwa benar Islam perlu dikembangkan, tapi tidak untuk dihadapkan kepada serangan orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang. Maka ia pun tenteram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.
Dengan pijakan-pijakan ini kemudian yang dilakukan Gus Dur dalam kehidupannya bukanlah membela Tuhan, tapi membela kaum minoritas yang seringkali tertindas oleh mayoritas. Tuhan tak perlu dibela, yang harus dibela adalah umatnya—yang tak mendapatkan keadilan. Tak heran kemudian ia membela kaum transgender, minoritas China, orang-orang yang berpaham komunis, dan lain kelompok terpinggirkan lainnya. Ia membela Tuhan dengan membela ummatnya yang menjadi korban kedzaliman.
***
Yah, kini Bapak Pluralisme itu telah pergi mendahului kita—setahun yang lalu. Semoga semangatnya dapat kita warisi di tengah masih sulitnya orang saling menghargai, menghormati, atau pun ber-empati. Tak bisa di dunia yang luas, mungkin kita praktikkan di kompasiana, blog kita ini, untuk saling menghargai pendapat, faham, budaya, kepercayaan, dan lain sebagainya. Tanpa perlu memaksakan apa yang menurut kita lebih benar, lebih beradab, lebih dekat diridhoi Tuhan, dlsb.
Terimakasih Gus, warisanmu selalu kami jaga … [*]
http://www.kompasiana.com/jemiesimatupang
Untuk: Gus Dur,
Tanda ziarahku kepadamu
KIRA-KIRA APA KOMENTAR orang ini, misal saja ia masih hidup, ketika tahu bangsa kita kalah 3-0 dari Malaysia di leg pertama final AFF tadi malam? Saya menduga pasti: “Mbok yo presiden kita itu jangan protas-protes, orang permainan Malaysia memang bagus kok! Yang sportif dong! Mestinya kita belajar dari mereka! Masak sih gara-gara, apa itu namanya? laser ya, kita kalah?” dan dilanjutkan dengan: “Begitu saja kok repot!”
Ya, saya berbicara tentang Kiyai Haji Abdurahman Wahid (1940-2009) atau yang sederhana kita kenal sebagai: Gus Dur. Mantan Presiden Indonesia—bahkan mungkin dunia—terlucu yang pernah ada. Akh, tak terasa sudah hampir setahun (30 Desember nanti) kita ditinggalkan olehnya, tapi humor-humornya nan cerdas serta ungkapan-ungkapan khasnya yang tak kalah lucu semisal: “Begitu saja kok repot!” masih hidup dalam benak kita—dan semoga juga kebijakan-kebijakan lain yang ditinggalkannya.
Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 Agustus 1940 dari pasangan Wahid Chasyim dan Solichah. Ia adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ia hidup dalam keluarga yang sangat terhormat pada komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. (www.wikipedia.org)
Walaupun berasal dari kalangan pesantren, namun Gus Dur tidak mengharamkan mempelajari hal-hal yang diluar agama Islam. Yang dari barat! Tradisi ini telah hidup dalam kelurganya sejak lama. Segala macam buku, majalah, dan literatur lainnya—yang diluar konten Islam—dibacanya. Sehingga wajar ia tumbuh menjadi sosok yang dengan pengetahuan yang luas. Ia bisa berbicara dan berdiskusi tentang kitab kuning sampai kitab suci kaum proletar (baca: Das Kapital). Pengetahuannya tentang sastra, musik, film, sepak bola, tak bisa diragukan. Jelas ia sosok yang memiliki multi talenta.
Pluralisme
Gus Dus semasa hidup dikenal sebagai orang terdepan membela pluralisme. Baginya hal ini sebuah keniscayaan ketika berhadapan dengan agama, kebudayaan, dan demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa pluralisme. N o n s e n s. Artinya memang tiap-tiap kelompok agama, budaya, atau apapun latarnya harus bisa saling menghargai di tengah perbedaan. Gagasan ini sejalan dengan jargon yang digagas para pendiri bangsa ini “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda tapi satu, atau dalam kata Obama: “Unity in diversitity!”
Barang tentu ia tak sedang bercanda dengan gagasan ini. Serius! Ketika ada minoritas yang terpinggirkan oleh sistem yang tak adil Gus Dur maju membela, padahal siapa yang dibela bukan berlatar agama yang sama dengannya. Tak heran kemudian ia sering dimusuhi oleh orang segamanya sendiri. Tapi ia tak ambil pusing. Maju terus membela yang benar! Keseriusan itu terbukti pula pada saat menjadi presiden, ia tanpa ragu mengeluarkan Keppres No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Intruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China yang mendiskriminasi warga China yang ada di Indonesia.
Setelah itu kita tahu, etnis China sekarang bisa menjalankan budayanya dengan lega di negeri ini. Juga menjalankan kepercayaa leluhurnya di bawah jaminan perlindungan negara. Tak boleh ada yang mengganggu. Imlek kemudian diperingati secara nasional dan dinyatakan sebagai hari libur bersama.
Tak hanya pada kebudayaan, Gus Dur juga aktif membela kebebasan orang-orang berideologi. Baginya, sebagai bagian dari hak asasi, tak ada suatu kekuasaan pun yang bisa melarang orang memiliki ideologi—walaupun mungkin seberapa jahatnya ideologi itu. Kan sejatinya ada kuasa orang menghalangi orang berpikir? Bahkan ketika dibui sekalipun. Karenanya pelarangan ini sangat absurd. Karenanya, Gus Dur acap mewacanakan pencabutan Tap MPR yang melarang partai politik PKI serta paham komunisme, marxisme, dan leninisme. Tapi karena banyak pertimbangan, ia belum melakukannya.
Bahkan ia juga dekat dengan kelompok-kelompok transgender. Ketika orang lain menghujat, Gus Dur justru pasang badan membela mereka. Tak heran kemudian mengapa banyak artis-artis seperti Dorce Malagama merasa sangat kehilangan ketika Gus Dur wafat setahun yang lalu.
Tuhan Tak Perlu Dibela
Tiap kali ada orang yang mati-matian membela agamanya—Tuhannya—dan menyerang agama ataupun sekte lain sebagai sesat, kafir, dlsb-nya, saya kembali teringat Gus Dur. Ia tentunya sangat jengah dengan orang-orang model ini, walau mestinya mereka seiman dengannya. Heran. Kok mesti dengan kekerasan membela Tuhan? Dengan bakar-bakar? Dengan gebuk-gebukan?
Padahal, “Tuhan tak perlu dibela” kata Gus Dur yakin.
Ya, Tuhan memang tak perlu dibela. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Tempo (bisa dibaca di wahidinstitute.org), Gus Dur menulis uraiannya tentang ketidakperluan kita membela Tuhan. Dengan mantap ia menulis: “Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.”
Lanjutnya dalam artikel itu: “bila engkau menganggap Allah ada karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia “menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.” Dalam hal ini Gus Dur mengutip Al-Hujwiri, seorang sufi dari Persia.
Lalu Gus Dur menyimpulkan bahwa benar Islam perlu dikembangkan, tapi tidak untuk dihadapkan kepada serangan orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang. Maka ia pun tenteram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.
Dengan pijakan-pijakan ini kemudian yang dilakukan Gus Dur dalam kehidupannya bukanlah membela Tuhan, tapi membela kaum minoritas yang seringkali tertindas oleh mayoritas. Tuhan tak perlu dibela, yang harus dibela adalah umatnya—yang tak mendapatkan keadilan. Tak heran kemudian ia membela kaum transgender, minoritas China, orang-orang yang berpaham komunis, dan lain kelompok terpinggirkan lainnya. Ia membela Tuhan dengan membela ummatnya yang menjadi korban kedzaliman.
***
Yah, kini Bapak Pluralisme itu telah pergi mendahului kita—setahun yang lalu. Semoga semangatnya dapat kita warisi di tengah masih sulitnya orang saling menghargai, menghormati, atau pun ber-empati. Tak bisa di dunia yang luas, mungkin kita praktikkan di kompasiana, blog kita ini, untuk saling menghargai pendapat, faham, budaya, kepercayaan, dan lain sebagainya. Tanpa perlu memaksakan apa yang menurut kita lebih benar, lebih beradab, lebih dekat diridhoi Tuhan, dlsb.
Terimakasih Gus, warisanmu selalu kami jaga … [*]
Rendra: “Semuanya Tersenyum dan Melambaikan Tangan Kepadaku”
Abdul Aziz Rasjid
Suara Karya, 15 Agus 2009
Rendra adalah usia dan nafas panjang, begitulah Binhad Nurrohmat mengawali esai yang berjudul “Dari Perempuan Hingga Kekuasaan” dalam buku Membaca Kepenyairan Rendra (KEPEL, 2005). Namun, Kamis malam, 6 Agustus 2009 tepatnya pukul 22.15, kabar duka kita terima; Willybordus Surendra meninggal dunia, Bagi saya pribadi, berita itu menyentakkan hati dan saya kira bukan hanya keluarga besar Rendra saja yang sedang diliputi duka.
Malam itu pula, saya membayangkan larik-larik sajak berjudul “Pertemuan Malam” sedang ia bacakan di antara akhir hayatnya: “Semua tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku./ Ternyata ada juga di antara mereka/ Atmo Karpo sang penyamun,/ dan Joko Pandan, anaknya yang membunuhnya./ Lalu Fatima yang dizinahi oleh Kasan/ serta Maria Zaitun yang dimakan raja singa./ Malahan Suto yang selalu mengembara/ Sepanjang masa juga ada../ Semuanya tersenyum/ dan melambaikan tangan kepadaku”.
Sajak yang seolah berkisah tentang iringan kematiannya itu, ditulis oleh Rendra di Rumah Sakit Cinere, 5 November 2003 silam, bait penutup sajak itu berbunyi begini: “Perempuan terkasih yang gelisah menunggu di rumah!/ Anak-anakku yang sedang mengusap mata!/ Cucu-cucuku yang sedang bermain air di kamar mandi!/ aku pulang/ Setelah mati di dalam hutan/ dan hidup kembali”. Tetapi, kenyataan yang terjadi di Rumah Sakit Mitra Keluarga di mana sang maestro terbaring sakit beberapa hari lalu, tak akan mungkin berkesesuaian dengan apa yang ditulis oleh Rendra enam tahun silam itu: “Setelah mati di dalam hutan/ dan hidup kembali”. Rendra, kini benar-benar telah mati dan tak akan hidup kembali, hanya karya-karyanya yang akan terus abadi mesti beberapa kali dalam negerinya sendiri, ia mesti mengalami pencekalan dan dalam pembacaan sajaknya pernah dilempari enam buah kantong plastik berisi cairan amoniak sampai masuk bui.
Sejarah hidup Rendra memang diwarnai pergulatan, pembangkangan ataupun pemberontakan, tak hanya sebatas mengkritik dan menentang epigon-epigon yang pernah dilontarkan Chairil Anwar atau sekadar ingin memberi kejutan atau menghadirkan kehebohan massal semacam Bip-Bop yang konon membikin bingung dan marah banyak orang. Pemberontakan Rendra telah menjadi sikap, sehingga tak mengherankan bila sajak-sajak pamfletnya pun pernah dituduh Letkol Anas Malik, mantan Kapendam V Jaya, sebagai sajak yang menghasut dan mendorong publik pada gejolak dan ketegangan sosial.
Sugiarta Sriwibisana mungkin adalah salah satu orang yang dapat dengan bijak menggambarkan sisi positif sosok pribadi Rendra sebagai seorang yang memiliki jiwa berlawan: “Berbahagialah manusia yang mengalami di kala mudanya masa-masa yang penuh ketegangan riuh membontang-banting dirinya. Tetapi yang paling bahagia adalah ia yang kemudian asyik bisa menuturkan segala pengalamannya, kapan ia telah merasa sanggup mengatasi masa kegoncangannya itu, sedang pengatasan itu pada waktunya dahulu sudah ia lakukan dengan keikhlasan”. Bukti tuturan dari mengkhikmati pengalaman kehidupan dan sikap dari jiwa berlawan Rendra itu, setidaknya akan terus kita dengar gemanya dalam kredo keseniannya yang ia tulis dalam “Sajak Sebatang Lisong” (1997): Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.
Mungkin, dari aspek psikologis, sikap dasar kepenyairan Rendra yang lahir di Solo, 7 november 1935 itu dipengaruhi oleh salah satu pengalaman masa kecilnya, ketika ia memperlihatkan puisi berjudul “Serigala” yang ditulisnya di kertas merang pada kakeknya, Prawiro Sudirdjo. Ketika itu, kakeknya berkata pada Rendra: “Kau tahu apa fungsi pujangga itu? Seorang pujangga ibarat roh. Dan ratu adalah ibarat badan….”. Mungkin pula, jalan pilihan sebagai seniman bagi Rendra, juga dipengaruhi oleh pengalaman metafisis yang pernah dialaminya, ketika ia melakukan Kumini -menyepi ingin berdialog dengan Tuhan, untuk mengetahui apa yang dikehendaki Tuhan atas dirinya- di sendang Srinding sambil berpuasa Sembilan hari lamanya. Dalam Kumini itu, konon ia mendengar bisikan bahwa nantinya ia akan menjadi penyair.
Tetapi kritik sosialnya yang terkandung dalam buku Potret Pembangunan Dalam Puisi bukanlah karya yang lahir dari sekadar bisikan ataupun bervisi spekulasi, dalam esai berjudul “Pamplet Penyair” terkumpul dalam buku Penyair&Kritik Sosial (KEPEL, 2001) Rendra menegaskan: “Saya lebih suka cara bekerja dengan mengumpulkan fakta.saya suka mengkliping koran, wawancara atau pun melakukan tour dan survey. Pada waktu mengarang, fakta-fakta inilah yang saya pilih, saya harus bisa menyeleksi mana yang paling plastis untuk menggambarkan kehidupan sosial, politik, ekonomi maupun kultural yang memang lebih banyak menjadi pendekatan bagi seniman”. Praktek dari pentingnya riset atas kenyataan yang ia tegaskan itu, setidaknya tertulis dengan lugas dalam terusan “Sajak Sebatang Lisong”: Kita mesti ke luar ke jalan raya./ ke luar ke desa-desa/ mencatat sendiri semua gejala/ dan menghayati persoalan yang nyata.
Dan kenyataan kamis malam ini, telah mencatat kembalinya Rendra pada sang pencipta meninggalkan para pecintanya. Tapi karya-karyanya terus akan hidup mengabadikan realitas sejarah berupa gambaran kondisi sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan sebuah bangsa. Dan saya kira apa yang di tulis oleh Binhad dalam penutup esainya sudahlah tepat: “Apa yang berharga dari yang diciptakannya menjadi lebih penting dikenang tanpa menjadikan dia sebagai mitos dan gosip”. Sebab Rendra sendiri pernah menulis: “Betapapun hebatnya kemungkinan yang bisa dicapai manusia di dunia, bila maut tiba, berakhirlah semua itu baginya”. Dan saya kira kita membenarkan apa yang diucapkan Rendra itu, sebab kita sama tahu; tak ada cara ataupun strategi untuk menghindari kematian. Selamat jalan Burung Merak, semuanya tersenyum dan melambaikan tangan kepadamu. ***
Catatan: Obituari untuk Rendra ini, disiar di Suara Karya, Sabtu, 15 Agustus 2009. Pernah pula disebar secara terbatas (20 lembar) pada Malam 3 hari kematian Rendra yang digelar oleh Dewan Kesenian Kabubaten Banyumas (DKKB) 9 Agustus 2009. Facebook: 22 agustus 2009.
Suara Karya, 15 Agus 2009
Rendra adalah usia dan nafas panjang, begitulah Binhad Nurrohmat mengawali esai yang berjudul “Dari Perempuan Hingga Kekuasaan” dalam buku Membaca Kepenyairan Rendra (KEPEL, 2005). Namun, Kamis malam, 6 Agustus 2009 tepatnya pukul 22.15, kabar duka kita terima; Willybordus Surendra meninggal dunia, Bagi saya pribadi, berita itu menyentakkan hati dan saya kira bukan hanya keluarga besar Rendra saja yang sedang diliputi duka.
Malam itu pula, saya membayangkan larik-larik sajak berjudul “Pertemuan Malam” sedang ia bacakan di antara akhir hayatnya: “Semua tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku./ Ternyata ada juga di antara mereka/ Atmo Karpo sang penyamun,/ dan Joko Pandan, anaknya yang membunuhnya./ Lalu Fatima yang dizinahi oleh Kasan/ serta Maria Zaitun yang dimakan raja singa./ Malahan Suto yang selalu mengembara/ Sepanjang masa juga ada../ Semuanya tersenyum/ dan melambaikan tangan kepadaku”.
Sajak yang seolah berkisah tentang iringan kematiannya itu, ditulis oleh Rendra di Rumah Sakit Cinere, 5 November 2003 silam, bait penutup sajak itu berbunyi begini: “Perempuan terkasih yang gelisah menunggu di rumah!/ Anak-anakku yang sedang mengusap mata!/ Cucu-cucuku yang sedang bermain air di kamar mandi!/ aku pulang/ Setelah mati di dalam hutan/ dan hidup kembali”. Tetapi, kenyataan yang terjadi di Rumah Sakit Mitra Keluarga di mana sang maestro terbaring sakit beberapa hari lalu, tak akan mungkin berkesesuaian dengan apa yang ditulis oleh Rendra enam tahun silam itu: “Setelah mati di dalam hutan/ dan hidup kembali”. Rendra, kini benar-benar telah mati dan tak akan hidup kembali, hanya karya-karyanya yang akan terus abadi mesti beberapa kali dalam negerinya sendiri, ia mesti mengalami pencekalan dan dalam pembacaan sajaknya pernah dilempari enam buah kantong plastik berisi cairan amoniak sampai masuk bui.
Sejarah hidup Rendra memang diwarnai pergulatan, pembangkangan ataupun pemberontakan, tak hanya sebatas mengkritik dan menentang epigon-epigon yang pernah dilontarkan Chairil Anwar atau sekadar ingin memberi kejutan atau menghadirkan kehebohan massal semacam Bip-Bop yang konon membikin bingung dan marah banyak orang. Pemberontakan Rendra telah menjadi sikap, sehingga tak mengherankan bila sajak-sajak pamfletnya pun pernah dituduh Letkol Anas Malik, mantan Kapendam V Jaya, sebagai sajak yang menghasut dan mendorong publik pada gejolak dan ketegangan sosial.
Sugiarta Sriwibisana mungkin adalah salah satu orang yang dapat dengan bijak menggambarkan sisi positif sosok pribadi Rendra sebagai seorang yang memiliki jiwa berlawan: “Berbahagialah manusia yang mengalami di kala mudanya masa-masa yang penuh ketegangan riuh membontang-banting dirinya. Tetapi yang paling bahagia adalah ia yang kemudian asyik bisa menuturkan segala pengalamannya, kapan ia telah merasa sanggup mengatasi masa kegoncangannya itu, sedang pengatasan itu pada waktunya dahulu sudah ia lakukan dengan keikhlasan”. Bukti tuturan dari mengkhikmati pengalaman kehidupan dan sikap dari jiwa berlawan Rendra itu, setidaknya akan terus kita dengar gemanya dalam kredo keseniannya yang ia tulis dalam “Sajak Sebatang Lisong” (1997): Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.
Mungkin, dari aspek psikologis, sikap dasar kepenyairan Rendra yang lahir di Solo, 7 november 1935 itu dipengaruhi oleh salah satu pengalaman masa kecilnya, ketika ia memperlihatkan puisi berjudul “Serigala” yang ditulisnya di kertas merang pada kakeknya, Prawiro Sudirdjo. Ketika itu, kakeknya berkata pada Rendra: “Kau tahu apa fungsi pujangga itu? Seorang pujangga ibarat roh. Dan ratu adalah ibarat badan….”. Mungkin pula, jalan pilihan sebagai seniman bagi Rendra, juga dipengaruhi oleh pengalaman metafisis yang pernah dialaminya, ketika ia melakukan Kumini -menyepi ingin berdialog dengan Tuhan, untuk mengetahui apa yang dikehendaki Tuhan atas dirinya- di sendang Srinding sambil berpuasa Sembilan hari lamanya. Dalam Kumini itu, konon ia mendengar bisikan bahwa nantinya ia akan menjadi penyair.
Tetapi kritik sosialnya yang terkandung dalam buku Potret Pembangunan Dalam Puisi bukanlah karya yang lahir dari sekadar bisikan ataupun bervisi spekulasi, dalam esai berjudul “Pamplet Penyair” terkumpul dalam buku Penyair&Kritik Sosial (KEPEL, 2001) Rendra menegaskan: “Saya lebih suka cara bekerja dengan mengumpulkan fakta.saya suka mengkliping koran, wawancara atau pun melakukan tour dan survey. Pada waktu mengarang, fakta-fakta inilah yang saya pilih, saya harus bisa menyeleksi mana yang paling plastis untuk menggambarkan kehidupan sosial, politik, ekonomi maupun kultural yang memang lebih banyak menjadi pendekatan bagi seniman”. Praktek dari pentingnya riset atas kenyataan yang ia tegaskan itu, setidaknya tertulis dengan lugas dalam terusan “Sajak Sebatang Lisong”: Kita mesti ke luar ke jalan raya./ ke luar ke desa-desa/ mencatat sendiri semua gejala/ dan menghayati persoalan yang nyata.
Dan kenyataan kamis malam ini, telah mencatat kembalinya Rendra pada sang pencipta meninggalkan para pecintanya. Tapi karya-karyanya terus akan hidup mengabadikan realitas sejarah berupa gambaran kondisi sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan sebuah bangsa. Dan saya kira apa yang di tulis oleh Binhad dalam penutup esainya sudahlah tepat: “Apa yang berharga dari yang diciptakannya menjadi lebih penting dikenang tanpa menjadikan dia sebagai mitos dan gosip”. Sebab Rendra sendiri pernah menulis: “Betapapun hebatnya kemungkinan yang bisa dicapai manusia di dunia, bila maut tiba, berakhirlah semua itu baginya”. Dan saya kira kita membenarkan apa yang diucapkan Rendra itu, sebab kita sama tahu; tak ada cara ataupun strategi untuk menghindari kematian. Selamat jalan Burung Merak, semuanya tersenyum dan melambaikan tangan kepadamu. ***
Catatan: Obituari untuk Rendra ini, disiar di Suara Karya, Sabtu, 15 Agustus 2009. Pernah pula disebar secara terbatas (20 lembar) pada Malam 3 hari kematian Rendra yang digelar oleh Dewan Kesenian Kabubaten Banyumas (DKKB) 9 Agustus 2009. Facebook: 22 agustus 2009.
SURAT KEPADA GERILYAWAN*
Herry Lamongan
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Satu hal kau benar: besar nyali. Dengan besar nyali itu rasa percaya diri berbiak. Proses kreatif dibangun. Alhasil, puluhan buah karyamu kau bukukan. Kau seleksi kau edit, selanjutnya kau terbitkan dan pasarkan sendiri. Bila Chairil Anwar memilih sesanti sekali berarti sudah itu mati. Kau tidak. Kau seakan berkejaran dengan usia, berkarya demikian banyak, apa pun: puisi, esei, atau sekadar ujaran, kemudian kau lepas ke ruang publik berkitab-kitab, sejak “Takdir Terlalu Dini” hingga yang sekarang ini “Kitab Para Malaikat”.
Umumnya para penulis memulai karir dengan mengirimkan karya ke berbagai media massa. Mungkin kau pun pernah. Sesungguhnya, dengan jatuh bangun, gagal/berhasil lewat media massa itu seorang penulis berkompetisi. Tulisan-tulisannya teruji. Dan hanya penulis bernyali besar yang tahan menghadapi seleksi redaksi media massa. Tampaknya, meski nyalimu pun besar, kau tak mau repot jatuh bangun menempuh jalan publikasi media massa. Kau lebih mengandalkan cara “gerilyawan”, datang ke kantong-kantong kesenian, kampus, juga pesantren, kemari kau jajakan sendiri karya-karyamu. Kau publikasikan buku-bukumu secara langsung dari pintu ke pintu.
Tentang antologi puisi “Kitab Para Malaikat” apa yang bisa saya komentari? Kang Maman S. Mahayana sudah begitu jeli dan panjang lebar mengulasnya. Bagi saya kau tinggal mengunyah-mamah ulasan itu, memilah-memilih bagian yang paling pas, lantas menjadikannya semacam daya dorong untuk meningkatkan kualitas karya-karyamu berikutnya, bukan hanya mengejar kuantitas. Ini langkah lanjut setelah sekian puluh buah tanganmu membuku. Setelah belasan diskusi gerilyamu menegur, menginterogasi, bahkan mengritikmu.
Terasa hampir di setiap puisi dalam antologi “Kitab Para Malaikat” ini ada lompatan-lompatan imaji yang saling bentur, yang tampaknya gagal kau padukan menjadi suatu bangunan puisi utuh. Bahkan dalam sebait puisi (dengan tanda angka romawi) yang hanya dua baris pun, terkesan upaya memanjang-manjangkan kalimat yang justru mengaburkan makna larik itu, misal:
Yang setia menyusuri jalan menapaki pantai hakikat, segera tahu
bunga Wijayakusuma merekah, bagi syarat penobatan Ratu Adil (XVIII).
Seperti pula ketika kau gunakan kosa kata bahasa Jawa, kurang mampu menampilkan citraan yang kuat sebagaimana harapanmu. Sebagai misal periksa larik:
…berkepompong senyawa pucuk daun manunggaling bayu semesta bathin (XIV: IX). Atau larik berikut ini:
…Anggur tumpahkan nurani atas cengkeraman gelisah dirasuki wedi … (XVIII: XCV)
Puisi-puisi dalam “Kitab Para Malaikat” kau tulis dari tahun 1998 – 1999. Jika pada tahun 2007 ini baru bisa diterbitkan, berarti sudah mengendap sembilan tahun. Sudah sublim. Dalam pengembaraan panjangmu selama ini “Kitab Para Malaikat” serta, dan kau ajeg merevisinya. Ketika masih ditemukan beberapa kekurangan di sana, itu hal biasa, karena kata-kata bisa juga tak mampu sepenuhnya menampung gagasan. Atau selera penyaji bertolak belakang dengan selera penikmat.
Tapi, engkau benar, tanpa nyali yang besar seseorang sangat sulit menghasilkan karya, apalagi karya sastra. Dengan cara unik dan nekat engkau telah membuktikan hal itu. Jakarta, Yogya, Jember, Tanjungkarang, Malang dan banyak kota lain pun berhasil engkau jadikan sasaran gerilya. Khas gaya Nurel. Apa pun, benar jua ujaran ini: kekuatanmu adalah kelemahanmu, dan kelemahanmu adalah kekuatanmu. Salam!
*) Epilog KPM (Kitab Para Malaikat)
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Satu hal kau benar: besar nyali. Dengan besar nyali itu rasa percaya diri berbiak. Proses kreatif dibangun. Alhasil, puluhan buah karyamu kau bukukan. Kau seleksi kau edit, selanjutnya kau terbitkan dan pasarkan sendiri. Bila Chairil Anwar memilih sesanti sekali berarti sudah itu mati. Kau tidak. Kau seakan berkejaran dengan usia, berkarya demikian banyak, apa pun: puisi, esei, atau sekadar ujaran, kemudian kau lepas ke ruang publik berkitab-kitab, sejak “Takdir Terlalu Dini” hingga yang sekarang ini “Kitab Para Malaikat”.
Umumnya para penulis memulai karir dengan mengirimkan karya ke berbagai media massa. Mungkin kau pun pernah. Sesungguhnya, dengan jatuh bangun, gagal/berhasil lewat media massa itu seorang penulis berkompetisi. Tulisan-tulisannya teruji. Dan hanya penulis bernyali besar yang tahan menghadapi seleksi redaksi media massa. Tampaknya, meski nyalimu pun besar, kau tak mau repot jatuh bangun menempuh jalan publikasi media massa. Kau lebih mengandalkan cara “gerilyawan”, datang ke kantong-kantong kesenian, kampus, juga pesantren, kemari kau jajakan sendiri karya-karyamu. Kau publikasikan buku-bukumu secara langsung dari pintu ke pintu.
Tentang antologi puisi “Kitab Para Malaikat” apa yang bisa saya komentari? Kang Maman S. Mahayana sudah begitu jeli dan panjang lebar mengulasnya. Bagi saya kau tinggal mengunyah-mamah ulasan itu, memilah-memilih bagian yang paling pas, lantas menjadikannya semacam daya dorong untuk meningkatkan kualitas karya-karyamu berikutnya, bukan hanya mengejar kuantitas. Ini langkah lanjut setelah sekian puluh buah tanganmu membuku. Setelah belasan diskusi gerilyamu menegur, menginterogasi, bahkan mengritikmu.
Terasa hampir di setiap puisi dalam antologi “Kitab Para Malaikat” ini ada lompatan-lompatan imaji yang saling bentur, yang tampaknya gagal kau padukan menjadi suatu bangunan puisi utuh. Bahkan dalam sebait puisi (dengan tanda angka romawi) yang hanya dua baris pun, terkesan upaya memanjang-manjangkan kalimat yang justru mengaburkan makna larik itu, misal:
Yang setia menyusuri jalan menapaki pantai hakikat, segera tahu
bunga Wijayakusuma merekah, bagi syarat penobatan Ratu Adil (XVIII).
Seperti pula ketika kau gunakan kosa kata bahasa Jawa, kurang mampu menampilkan citraan yang kuat sebagaimana harapanmu. Sebagai misal periksa larik:
…berkepompong senyawa pucuk daun manunggaling bayu semesta bathin (XIV: IX). Atau larik berikut ini:
…Anggur tumpahkan nurani atas cengkeraman gelisah dirasuki wedi … (XVIII: XCV)
Puisi-puisi dalam “Kitab Para Malaikat” kau tulis dari tahun 1998 – 1999. Jika pada tahun 2007 ini baru bisa diterbitkan, berarti sudah mengendap sembilan tahun. Sudah sublim. Dalam pengembaraan panjangmu selama ini “Kitab Para Malaikat” serta, dan kau ajeg merevisinya. Ketika masih ditemukan beberapa kekurangan di sana, itu hal biasa, karena kata-kata bisa juga tak mampu sepenuhnya menampung gagasan. Atau selera penyaji bertolak belakang dengan selera penikmat.
Tapi, engkau benar, tanpa nyali yang besar seseorang sangat sulit menghasilkan karya, apalagi karya sastra. Dengan cara unik dan nekat engkau telah membuktikan hal itu. Jakarta, Yogya, Jember, Tanjungkarang, Malang dan banyak kota lain pun berhasil engkau jadikan sasaran gerilya. Khas gaya Nurel. Apa pun, benar jua ujaran ini: kekuatanmu adalah kelemahanmu, dan kelemahanmu adalah kekuatanmu. Salam!
*) Epilog KPM (Kitab Para Malaikat)
Selasa, 07 Desember 2010
Membaca buku “HARMONIKA LELAKI SEPI” Sekumpulan Puisi karya Andi Wirambara
Peresensi: Imron Tohari
http://sastra-indonesia.com/
Judul Buku: Harmonika Lelaki Sepi (Kumpulan Puisi)
Copyright: Andi Muhammad Era Wirambara
Cetakan pertama: Oktober 2010
Penyunting: Anindra Saraswati
Proof Reader: Irwan Bajang
Desain Sampul: Leo Baskoro
Tata Letak: Indie Book Corner Team Work
Endorsmen: Khrisna Pabicara, Pringadi AS, Nanang Suryadi
ISBN: 978602-97441-3-2
Tebal buku: 94 halaman.
Harga: Rp. 30.000,-
“Cinta dan iman bersemi dan tumbuh dari proses spiritual yang sedikit mengandalkan kemampuan indrawi ( Helen Keller ).
“Menjadi manusia seutuhnya mahal harganya sehingga hanya sedikit orang yang memiliki cinta dan keberanian untuk membelinya. Seseorang harus melepaskan hasrat untuk mencari rasa aman dan harus menghadapi resiko hidup dengan kedua belah tangannya. Seseorang harus memeluk kehidupan seperti memeluk seorang kekasih”. (Morris West – Novelis).
Saya yakin semua orang pasti pernah merasakan rindu,merasakan pergolakan cinta yang tak berkesudah yang membawanya menyusuri labirinlabirin sunyi, yang pada akhirya entah ia (mereka) menemukan suatu sugest positip atau justru akan kian terjerat dalam lingkaran labirin tersebut.
Melalui larik-larik sunyi “ Harmonika Lelaki Sepi”, Andi Wirambara yang lebih dikenal sebagai Ikan Biroe di dunia virtual, ingin menyampaikan tentang hasil renungannya dalam merasakan serta memandang rindu, cinta, dengan segala pernak-pernik kehidupan.
Andi Wirambara penulis belia kelahiran 24 September 1991, mewakili perasaannya sebagai sosok lelaki muda dalam menyikapi rindu dan cinta, saya rasa cukup dewasa dan bijak dalam meletupkan pemikiran-pemikirannya melalui larik-larik sajak,puisi.
Rasa rindu yang membuncah, dan rasa cinta yang bergelora, pada dasarnya tiada beda antara perasaan lelaki dan wanita: samasama memanggil sunyi!. Jadi siapa bilang lelaki yang dibekap rindu dan didera cinta tidak bisa sentimentil?
Bermuasal dari rindu dan rasa sunyi inilah terbersit di imaji piker penyair tentang “lelaki” yang mewakili aku lirik, dan “Harmonika” yang mewakili geletar irama jiwa dalam hisapan sunyi. Ya, harmonika sebuah alat musik yang paling mudah dimainkan hanya tinggal meniup dan menghisapnya, namun justru dari “tiup” dan “hisap” yang berkaitan dengan nafas inilah kesan pergolakan yang tengah berkecamuk amuk dalam jiwa akibat hisapan sunyi sangat terwakili. Sejarah harmonika berasal dari alat musik tradisional China yang bernama ‘Sheng’ yang telah digunakan kira-kira 5000 tahun yang lalu sejak kekaisaran Nyu-kwa. Dan biasanya alat tiup ini sering dipakai remaja yang lagi rindu kekasih,kampong halaman,patah hati,atau mencoba membebaskan tekanan perasaan agar tetap kuat dalam menjalani kehidupan berikutnya.
Perjalanan sunyi aku lirik dalam “Harmonika Lelaki Sepi” dibuka dengan puisi romantic humanis yang begitu indah dan disajikan dengan gaya sampaian yang begitu membumi, yang justru kian membuat puisi ini terasa lebih manusiawi, baca kutipan bait 1 puisi bertajuk “Sesendok Saja” yang membungkus rasa rindu dan kesetiaan, di halaman 1,:
“Sesendok saja aku ingin menyuapimu
Ingin melihat peram matamu, melihat
Bagaimana parfait lumer dan pernik
Cokelat terjepit di merah bibir cerimu
Pada pucuk muffin yang kusentil dan
Terbang hinggap di jendela
Seperti kakaktua yang begitu setia
Pada nenek bergigi dua
Seperti segala rasa yang bersepakat
Sewaktu-waktu bermelankolia”
Dan pada halaman 29, Andi Wirambara, masih dengan tema rindu kekasih, pada puisi “Apel” begitu piawai menyembunyikan gejolak perasaan rindunya melalui simbolik poetika (metaphor/bahasa symbol), namun tetap mudah untuk dicerna oleh yang dituju tanpa kehilangan unsur puitisnya.
Apel
entah rindu apa kau punya
hingga kau bawa aku pada
wangi embun yang sejuk dan
ranum?
betapapun senyummu kuingat pada
kabutkabut tipis tatkala embun berlahan
turun dan singgah
anggun dikulit yang basah
sebagaimana aku terkenang
sayupmu di antara dahan pohon yang tenang
dan aku, menanti
kau temui pun lembut kau petik
apel yang kugelantungkan bersama sebalas
rindu, apel wewangi rindu.
Dari dua karya Andi Wirambara yang saya kutipkan sebagian, dan yang satunya saya kutipkan secara penuh tersebut, walau pilihan diksi terkesan sederhana, namun betapa detak kejujuran penyairnya bisa kita rasakan, dan hal inilah yang membuat karya ini mampu menarik imaji penikmat baca kedalam roh penjiwaan karya termaksud. Kesadaran akan kejujuran ini pula yang membawa D. Zawawi Imron tegas mengatakan : “ Sebuah sajak yang saya tulis tanpa kejujuran hati nurani tak akan pernah mengarungi perjalanan waktu sehingga tak akan punya nilai abadi.” (Sastra Pencerahan ; halaman 129-130).
Perihal puisi, Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur. Sedang Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturut-turut secara teratur).
Dan pemikiran saya sendiri, seperti yang sering saya tulis pada setiap esai yang saya buat, saya lebih suka menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa hati,pikiran ( samsara bahasa ) dari masing-masing pribadi/individu pengkarya cipta yang dituangkan ke dalam bentuk bahasa tulis pun lisan yang pada akhirnya menciptakan letupan-letupan imajinatip di alam imajinasi pengkarya cipta itu sendiri maupun penikmat baca/apresiator puisi. Di mana muatan emosi “puisi” sangat beragam, ada suka ada duka, ada kegembiraan ada kemarahan. Puisi sebagai permainan bahasa, mentranslate rasa/gejolak jiwa, melalui selubung simbol-simbol, atau tanda-tanda yang terangkum pada larik/baris/bait dalam menyampaikan pesan gejolak rasa jiwa dari penulis/penyair, yang merupakan hasil dari saripati sunyi (baca: perenungan!).
Kenapa saya lebih senang menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa atau samsara bahasa?
Samsara sebagai kata sifat mempunyai arti sengsara (berdasarkan kamus bahasa Indonesia), samsara berdasarkan yang termaktub pada surat Bagavad-gita (Budha)dan Weda ( Hindu ) samsara berarti kelahiran kembali/reinkarnasi, namun dalam kelahiran kembalipun (samsara ) , yang merupakan perpindahan jiwa ini dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau disebut reinkarnasi eksternal (samsara atau samsriti didalam bahasa sansekerta). Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) 5.11.5-7 menyebutkan bahwa pikiran terikat oleh indera kesenangan, saleh atau tidak saleh. Kemudian hal itu tertuju pada tiga model dari alam material dan menyebabkan penyesuaian kelahiran dalam berbagai tipe tubuh, lebih tinggi atau lebih rendah. Oleh karena itu, jiwa menderita ketidak bahagiaan atau menikmati kebahagiaan karena pikiran,kemudian pikiran di bawah pengaruh ilusi menciptakan aktivitas-aktivitas yang saleh dan aktivitas-aktivitas yang tidak saleh, ( berdasarkan ajaran agama Budha ) dan pengertian akan samsara ini juga tidak jauh beda dengan apa yang ada pada ajaran agama Hindu ; di dalam Weda disebutkan bahwa “Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Dan juga akan dipengaruhi akan adanya karma baik dan buruk disaat-saat sebelumnya.Dari sudut pandang saya selaku orang Islam, yaitu kelahiran kembali dari kematian di akhirat kelak,dengan segala pertimbangan baik buruknya semasa kehidupan di dunia.
Begitu hal dalam setiap proses penciptaan puisi, dalam kesunyiannya pasti akan terjadi suatu pertarungan batin dan atau pertarungan piker pada diri pengkarya cipta (pertarungan sinergi positip dan sinergis negatip). Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkaryacipta. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.
Pergulatan sunyi penyair tidak berhenti sampai pada karya-karya di atas, karena pada karya-karya selanjutnya, Andi lebih berani lagi membungkus perasaannya pada permainan simbolik poetika/metaphor, tanpa mesti kehilangan daya hisap serta pesan makna yang ingin dihantarkan kepermukaan. Lihat saja pada puisinya yang bertajuk “Ini Pilu”, “ Bintang Pulang”, Petasan”Dikamarku yang Berantakan”. Dan tentunya pada “Harmonika Lelaki sepi (hal. 39 – 40)” yang sekaligus dijadikan tajuk pada buku kumpulan puisi ini. Baca kutipan lengkapnya di bawah:
Harmonika Lelaki Sepi
harmonika
telah lekat ia pada bibir yang
mengatup
menada pada tiang-tiang malam
: pada rerumputan
Embun hendak turun, menyusur sisi ilalang
Yang tajam
Mengiris nadi
Ia nada rerumputan;merunduk
: pada bintang yang bergandengan
rasi bersenandung
mengangguk kepala
meniti
rangkai melodial langit
: pada bulan yang ringkih
menyapa ia,
menyiul sepi bersama sembilu angin
merayap
merayap lirih
sendu,
pada damaiku
(dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi)
Dari sekian puisi yang ada di buku ini, puisi “Malam yang Sempat Hilang”, tepatnya pada bait pertama, membuat saya terperanggah. Kelugasan dan pemilihan symbol-simbol alam untuk menyampaikan maksud, serta keindahan puitisasi bahasa yang dibalut dengan rima, mengingatkan saya dengan puisi/sajak-sajak klasik para penyair cina yang begitu menggeletarkan setiap hati pembacanya.
Bagaimana lelaku angin menyisir lamunku
Tentang sayupmu di dahan pohon yang tenang
Tentang gores angin laut yang lalu
Mengukir namamu pada karang-karang
Kukatakan memang, selalu ada yang kulaku seraya
menyeruput dingin yang menaiki bulu mata. Menjungkat-jungkit
daripadanya, jatuh ke muka pipi yang kaku, dan merayap
naik menyelinap ke bola mata, yang juga menggigil
melompat mencari selimut, di balik kenang yang mengungun
kala tiba aku bertamu pada malam
yang santun menuang bayang-bayang
nexts….
(Fragmen/1/ bait 1dan 2 “Malam yang Sempat Hilang” hal 18 Sekumpulan puisi “Harmonika Lelaki Sepi”)
Sayang kekuatan dan keindahan itu Andi tidak bisa menjaga rimanya pada bait 2 dan selanjutnya, padahal bait awalnya demikian kuat structural poetika bahasanya, yang kalau boleh aku kata, pada bait pertama tidak kalah indah dan kuat dalam bermain metaphor dan atau bahasa-bahasa symbol, juga sampaian pesannya tidak kalah dengan karya-karya sastra puisi china klasik yang patuh pada rima serta kekuatan penyair dalam mengeksplore alam sebagai sarana/symbol menyampaikan perasaan hati.
Mari kita lihat salah satu karya indah salah satu penyair zaman dinasti Wei yang menjadi acuan argumentasi pendapat saya mengenai bait 1 “Malam yang Sempat Hilang” karya Andi W.
Angin musim gugur pilu menderu udara membeku,
Daun rumput gugur melayang embun menjadi salju.
Sekawan wallet pulang angsa terbang ke selatan,
Mengingat kau yang dirantau kalbu dirundung angan.
(bait 1 “Nyanyian Bumi Yan” karya Cao Pi (187-226; Wei)
Sebagai akhir tulisan, saya memandang Andi W dalam kesunyiannya justru telah berhasil menaklukan sunyi seperti yang di tulis pada bait akhir Puisi “ Harmonika Lelaki Sepi “
: (dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi).
Salam lifespirit!
Pecinta sastra puisi, 7 Desember 2010.
http://sastra-indonesia.com/
Judul Buku: Harmonika Lelaki Sepi (Kumpulan Puisi)
Copyright: Andi Muhammad Era Wirambara
Cetakan pertama: Oktober 2010
Penyunting: Anindra Saraswati
Proof Reader: Irwan Bajang
Desain Sampul: Leo Baskoro
Tata Letak: Indie Book Corner Team Work
Endorsmen: Khrisna Pabicara, Pringadi AS, Nanang Suryadi
ISBN: 978602-97441-3-2
Tebal buku: 94 halaman.
Harga: Rp. 30.000,-
“Cinta dan iman bersemi dan tumbuh dari proses spiritual yang sedikit mengandalkan kemampuan indrawi ( Helen Keller ).
“Menjadi manusia seutuhnya mahal harganya sehingga hanya sedikit orang yang memiliki cinta dan keberanian untuk membelinya. Seseorang harus melepaskan hasrat untuk mencari rasa aman dan harus menghadapi resiko hidup dengan kedua belah tangannya. Seseorang harus memeluk kehidupan seperti memeluk seorang kekasih”. (Morris West – Novelis).
Saya yakin semua orang pasti pernah merasakan rindu,merasakan pergolakan cinta yang tak berkesudah yang membawanya menyusuri labirinlabirin sunyi, yang pada akhirya entah ia (mereka) menemukan suatu sugest positip atau justru akan kian terjerat dalam lingkaran labirin tersebut.
Melalui larik-larik sunyi “ Harmonika Lelaki Sepi”, Andi Wirambara yang lebih dikenal sebagai Ikan Biroe di dunia virtual, ingin menyampaikan tentang hasil renungannya dalam merasakan serta memandang rindu, cinta, dengan segala pernak-pernik kehidupan.
Andi Wirambara penulis belia kelahiran 24 September 1991, mewakili perasaannya sebagai sosok lelaki muda dalam menyikapi rindu dan cinta, saya rasa cukup dewasa dan bijak dalam meletupkan pemikiran-pemikirannya melalui larik-larik sajak,puisi.
Rasa rindu yang membuncah, dan rasa cinta yang bergelora, pada dasarnya tiada beda antara perasaan lelaki dan wanita: samasama memanggil sunyi!. Jadi siapa bilang lelaki yang dibekap rindu dan didera cinta tidak bisa sentimentil?
Bermuasal dari rindu dan rasa sunyi inilah terbersit di imaji piker penyair tentang “lelaki” yang mewakili aku lirik, dan “Harmonika” yang mewakili geletar irama jiwa dalam hisapan sunyi. Ya, harmonika sebuah alat musik yang paling mudah dimainkan hanya tinggal meniup dan menghisapnya, namun justru dari “tiup” dan “hisap” yang berkaitan dengan nafas inilah kesan pergolakan yang tengah berkecamuk amuk dalam jiwa akibat hisapan sunyi sangat terwakili. Sejarah harmonika berasal dari alat musik tradisional China yang bernama ‘Sheng’ yang telah digunakan kira-kira 5000 tahun yang lalu sejak kekaisaran Nyu-kwa. Dan biasanya alat tiup ini sering dipakai remaja yang lagi rindu kekasih,kampong halaman,patah hati,atau mencoba membebaskan tekanan perasaan agar tetap kuat dalam menjalani kehidupan berikutnya.
Perjalanan sunyi aku lirik dalam “Harmonika Lelaki Sepi” dibuka dengan puisi romantic humanis yang begitu indah dan disajikan dengan gaya sampaian yang begitu membumi, yang justru kian membuat puisi ini terasa lebih manusiawi, baca kutipan bait 1 puisi bertajuk “Sesendok Saja” yang membungkus rasa rindu dan kesetiaan, di halaman 1,:
“Sesendok saja aku ingin menyuapimu
Ingin melihat peram matamu, melihat
Bagaimana parfait lumer dan pernik
Cokelat terjepit di merah bibir cerimu
Pada pucuk muffin yang kusentil dan
Terbang hinggap di jendela
Seperti kakaktua yang begitu setia
Pada nenek bergigi dua
Seperti segala rasa yang bersepakat
Sewaktu-waktu bermelankolia”
Dan pada halaman 29, Andi Wirambara, masih dengan tema rindu kekasih, pada puisi “Apel” begitu piawai menyembunyikan gejolak perasaan rindunya melalui simbolik poetika (metaphor/bahasa symbol), namun tetap mudah untuk dicerna oleh yang dituju tanpa kehilangan unsur puitisnya.
Apel
entah rindu apa kau punya
hingga kau bawa aku pada
wangi embun yang sejuk dan
ranum?
betapapun senyummu kuingat pada
kabutkabut tipis tatkala embun berlahan
turun dan singgah
anggun dikulit yang basah
sebagaimana aku terkenang
sayupmu di antara dahan pohon yang tenang
dan aku, menanti
kau temui pun lembut kau petik
apel yang kugelantungkan bersama sebalas
rindu, apel wewangi rindu.
Dari dua karya Andi Wirambara yang saya kutipkan sebagian, dan yang satunya saya kutipkan secara penuh tersebut, walau pilihan diksi terkesan sederhana, namun betapa detak kejujuran penyairnya bisa kita rasakan, dan hal inilah yang membuat karya ini mampu menarik imaji penikmat baca kedalam roh penjiwaan karya termaksud. Kesadaran akan kejujuran ini pula yang membawa D. Zawawi Imron tegas mengatakan : “ Sebuah sajak yang saya tulis tanpa kejujuran hati nurani tak akan pernah mengarungi perjalanan waktu sehingga tak akan punya nilai abadi.” (Sastra Pencerahan ; halaman 129-130).
Perihal puisi, Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur. Sedang Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturut-turut secara teratur).
Dan pemikiran saya sendiri, seperti yang sering saya tulis pada setiap esai yang saya buat, saya lebih suka menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa hati,pikiran ( samsara bahasa ) dari masing-masing pribadi/individu pengkarya cipta yang dituangkan ke dalam bentuk bahasa tulis pun lisan yang pada akhirnya menciptakan letupan-letupan imajinatip di alam imajinasi pengkarya cipta itu sendiri maupun penikmat baca/apresiator puisi. Di mana muatan emosi “puisi” sangat beragam, ada suka ada duka, ada kegembiraan ada kemarahan. Puisi sebagai permainan bahasa, mentranslate rasa/gejolak jiwa, melalui selubung simbol-simbol, atau tanda-tanda yang terangkum pada larik/baris/bait dalam menyampaikan pesan gejolak rasa jiwa dari penulis/penyair, yang merupakan hasil dari saripati sunyi (baca: perenungan!).
Kenapa saya lebih senang menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa atau samsara bahasa?
Samsara sebagai kata sifat mempunyai arti sengsara (berdasarkan kamus bahasa Indonesia), samsara berdasarkan yang termaktub pada surat Bagavad-gita (Budha)dan Weda ( Hindu ) samsara berarti kelahiran kembali/reinkarnasi, namun dalam kelahiran kembalipun (samsara ) , yang merupakan perpindahan jiwa ini dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau disebut reinkarnasi eksternal (samsara atau samsriti didalam bahasa sansekerta). Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) 5.11.5-7 menyebutkan bahwa pikiran terikat oleh indera kesenangan, saleh atau tidak saleh. Kemudian hal itu tertuju pada tiga model dari alam material dan menyebabkan penyesuaian kelahiran dalam berbagai tipe tubuh, lebih tinggi atau lebih rendah. Oleh karena itu, jiwa menderita ketidak bahagiaan atau menikmati kebahagiaan karena pikiran,kemudian pikiran di bawah pengaruh ilusi menciptakan aktivitas-aktivitas yang saleh dan aktivitas-aktivitas yang tidak saleh, ( berdasarkan ajaran agama Budha ) dan pengertian akan samsara ini juga tidak jauh beda dengan apa yang ada pada ajaran agama Hindu ; di dalam Weda disebutkan bahwa “Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Dan juga akan dipengaruhi akan adanya karma baik dan buruk disaat-saat sebelumnya.Dari sudut pandang saya selaku orang Islam, yaitu kelahiran kembali dari kematian di akhirat kelak,dengan segala pertimbangan baik buruknya semasa kehidupan di dunia.
Begitu hal dalam setiap proses penciptaan puisi, dalam kesunyiannya pasti akan terjadi suatu pertarungan batin dan atau pertarungan piker pada diri pengkarya cipta (pertarungan sinergi positip dan sinergis negatip). Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkaryacipta. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.
Pergulatan sunyi penyair tidak berhenti sampai pada karya-karya di atas, karena pada karya-karya selanjutnya, Andi lebih berani lagi membungkus perasaannya pada permainan simbolik poetika/metaphor, tanpa mesti kehilangan daya hisap serta pesan makna yang ingin dihantarkan kepermukaan. Lihat saja pada puisinya yang bertajuk “Ini Pilu”, “ Bintang Pulang”, Petasan”Dikamarku yang Berantakan”. Dan tentunya pada “Harmonika Lelaki sepi (hal. 39 – 40)” yang sekaligus dijadikan tajuk pada buku kumpulan puisi ini. Baca kutipan lengkapnya di bawah:
Harmonika Lelaki Sepi
harmonika
telah lekat ia pada bibir yang
mengatup
menada pada tiang-tiang malam
: pada rerumputan
Embun hendak turun, menyusur sisi ilalang
Yang tajam
Mengiris nadi
Ia nada rerumputan;merunduk
: pada bintang yang bergandengan
rasi bersenandung
mengangguk kepala
meniti
rangkai melodial langit
: pada bulan yang ringkih
menyapa ia,
menyiul sepi bersama sembilu angin
merayap
merayap lirih
sendu,
pada damaiku
(dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi)
Dari sekian puisi yang ada di buku ini, puisi “Malam yang Sempat Hilang”, tepatnya pada bait pertama, membuat saya terperanggah. Kelugasan dan pemilihan symbol-simbol alam untuk menyampaikan maksud, serta keindahan puitisasi bahasa yang dibalut dengan rima, mengingatkan saya dengan puisi/sajak-sajak klasik para penyair cina yang begitu menggeletarkan setiap hati pembacanya.
Bagaimana lelaku angin menyisir lamunku
Tentang sayupmu di dahan pohon yang tenang
Tentang gores angin laut yang lalu
Mengukir namamu pada karang-karang
Kukatakan memang, selalu ada yang kulaku seraya
menyeruput dingin yang menaiki bulu mata. Menjungkat-jungkit
daripadanya, jatuh ke muka pipi yang kaku, dan merayap
naik menyelinap ke bola mata, yang juga menggigil
melompat mencari selimut, di balik kenang yang mengungun
kala tiba aku bertamu pada malam
yang santun menuang bayang-bayang
nexts….
(Fragmen/1/ bait 1dan 2 “Malam yang Sempat Hilang” hal 18 Sekumpulan puisi “Harmonika Lelaki Sepi”)
Sayang kekuatan dan keindahan itu Andi tidak bisa menjaga rimanya pada bait 2 dan selanjutnya, padahal bait awalnya demikian kuat structural poetika bahasanya, yang kalau boleh aku kata, pada bait pertama tidak kalah indah dan kuat dalam bermain metaphor dan atau bahasa-bahasa symbol, juga sampaian pesannya tidak kalah dengan karya-karya sastra puisi china klasik yang patuh pada rima serta kekuatan penyair dalam mengeksplore alam sebagai sarana/symbol menyampaikan perasaan hati.
Mari kita lihat salah satu karya indah salah satu penyair zaman dinasti Wei yang menjadi acuan argumentasi pendapat saya mengenai bait 1 “Malam yang Sempat Hilang” karya Andi W.
Angin musim gugur pilu menderu udara membeku,
Daun rumput gugur melayang embun menjadi salju.
Sekawan wallet pulang angsa terbang ke selatan,
Mengingat kau yang dirantau kalbu dirundung angan.
(bait 1 “Nyanyian Bumi Yan” karya Cao Pi (187-226; Wei)
Sebagai akhir tulisan, saya memandang Andi W dalam kesunyiannya justru telah berhasil menaklukan sunyi seperti yang di tulis pada bait akhir Puisi “ Harmonika Lelaki Sepi “
: (dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi).
Salam lifespirit!
Pecinta sastra puisi, 7 Desember 2010.
Senin, 06 Desember 2010
Jalur Awal Sastra Facebook
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/
Sebelum berbilang kata. Haturkan diri ini sekadar pengelana, serupa tamu kurang sopan dengan kesiapan mati konyol ke medan magnetik kesusastraan. Meski yang kutulis melewati keyakinan kuat, kadang keraguan ganjil segetaran menggejolaki tubuh melampaui masa.
Dapat dibilang kesusastraan facebook di Indonesia bermula tahun 2009, atas deru semarak hingga hantu-hantu sebelumnya terlelap berbangkit berupa ketampanan aneh. Ialah para sastrawan yang mati suri tak lagi berkarya, kini mendapati darah segar seharum perubahan yang dihembuskan para generasi muda, yang kemuncul memandangi hamparan luas padang rumput nan menghijau bersama kesegarannya.
Kelak mandek menstupa atau berpuing-puing atas pantulan kesungguhan ditimbang percepatan lesat alam halus bathiniah masing-masing. Sejarah ialah teks tercetak di lembaran kertas, demi kemudahan diteliti juga penjelmaan gairah abadi penciptaan itu wujud fisikal menjadi dokumentasi penting di kemudian hari.
Di sini aku tak sebut nama-nama pun komunitas yang berkisaran di facebook. Semua sampai terukur daya dinayanya sendiri-sendiri. Dan diriku lebih yakin kesemangatan murni bukan dari dorongan seorang pun golongan, tapi gairah dari dalam membumi. Ini kudu ditempa berkali-kali keraguan, penjegalan mematangkan jiwa bermandiri.
Jika mengguna istilah mengamati, pelaku sastra facebook yang baru sadar sejarah sastra Indonesia terhanyut setubuh menggumuli teks dunia maya, dan serasa abai kurang suntuk menyinahuni lebih di luarnya; buku-buku, koran, majalah pun jurnal sastra. Bagaimana sanggup mengganyang realitas seluruh, jika berpangku tangan menyimak hanya yang disuntuki, meski yakin menghantar ke mimbar perkenalan.
Kata abai terpantul minimnya perbendaharaan, tapi langsung nyempelung ke sumur yang diandaikan sampai terpesona tiada kemampuan bergerak lincah. Apalagi hanya mengedarkan pandangan ke alam susastra, namun kurang sudi menggali bencah di sekitarnya; sejarah, filsafat, agama, sosiologi pun lainnya yang memantabkan sendi-sendi bersastra.
Bagiku yang doyan merevisi karya, ladang maya sekadarlah wilayah pembelajaran, menjajal kemungkinan teks diedarkan demi kematangan kelak kala tercetak dalam buku, serta patut diuji ulang perbaikan lanjut jika mengharap kesegaran ruh jaman dinafaskan. Kalau menilik fitroh hayati berawal keraguan ataupun diragukan, namun tatkala makna pertahanan sama dengan perlawanan, kemungkinan menjelma tradisi dan mau tak mau ditelan meski pahit.
Sudah menjelma kutukan ialah sejarah terpegang bagi yang berkuasa dalam ruang-waktu kedirian menantang hasil-hasil luaran merangsek bentuk sebelumnya, lewat melahirkan peluang menebarkan jala kemungkinan pada yang jauh pula terdekat.
Ini berbenturan sampai ada yang pingsan juga lontang-lantung kurang manfaat. Maka hanya bermental baja dibalut beton ampuh sulit dihantam badai keisengan setengah lelah di tengah jalan juga yang lekas tergiur kemapanan.
Bergulat di dunia sastra dengan keuletan menggali nilai-nilai, ruh lengkingan suara yang dikumandangkan kalimah dengan pesona, maka kekurangseriusan tertebas di medan laga. Jika menegok para empu dunia sastra, ditimbang-timbang hampir 30% pelakunya mendekati mati keadaan gila. Ini dapat dimaklumi, tersebab karya sastra bersimpan keseimbangan jaman dirasai para pensiarnya.
Mereka sengaja bernafas di alam antara pertimbangan nalar angan mengambili bebatuan realitas, dipadu gagasan yang diharapkan abadi, terbaca setiap jaman setelahnya, seperti jiwa-jiwa menetralisir perubahan atas benturan budaya yang memayungi hayat di dalam hembusan peradaban.
Jika dicermati, hampir 60% karya sastra facebook merupakan cipta rasa dadakan, setidaknya terimbasi percepatan dunia maya yang tampak kurang endapan kukuh. Apa yang diandalkan? Kalau ini melaju tanpa kendali kritik diri, pihak lain dengan tajam, tapi cuman pujian. Lebih parah sanjungan dimasukkan hati tidak menggali ulang pencarian jati diri demi mempuni karyanya.
Sungguh malang nasibnya ditumbuhi jamur-jamur oleh hujan dadakan, tentu dapat dipastikan terlibas kekuatan sastra di negara tetangga Asia; Cina, Jepang yang kian memantabkan diri menggali kekayaan tradisi bathiniahnya.
Dengan tidak kesampingkan peran serta dedengkot pesastra Indonesia sebelumnya yang masih segar bugar berkarya. Tampak benar politik sastra lebih kental daripada pengujian karya secara terbuka, kekuatannya berpamorkan faham tertentu dan abai corak sastra yang tak semadzab dengannya.
Padahal jikalau ditengok pertumbuhan kesusastraan di bumi Nusantara, merupakan benturan berbagai aliran yang pernah tumbuh di Timur serta Barat. Maka keteguhan suntuk memegang kedaulatan jiwa-jiwa berkarya akan teruji perubahan masa-masa.
Bagiku karya sastra yang mengendap di facebook itu tantangan harus dihadapi, apalagi bagi yang telah merasa aman sudah dipertuan sejarah. Seyogyanya tidak memicingkan mata sebelah pada dunia yang bergerak mengukuhkan tapal batas pendapatan, kalau tak ingin terkena serangan jantung keyakinan nan serempak.
Aku tidak menjawab apakah catatan yang bercokol di facebook kelak bertahan di dunia luar, atas pergolakan budaya global melampaui jamannya. Semua kembali oleh citraan ruh penciptaan nasib teremban yang menggelinding padanya. Sebab facebook sekadar sarana perkenalan, mengukuhkan bathin penulisnya. Ini cuaca rindu musim berdamainya diri, kala negara dipimpin manusia bermental serakah.
Kelak bermuara ke batas kesungguhan masing-masing. Ini bisa disiasati bagi yang mampu mengatur nafas pengolah perasaan, tidak hanya hadir lewat, atau hujaman jantung sekali sudah. Maka bobot ruang-waktu pengendalian laju timbunan kenang pengalaman, patut diolah baik guna tak sia-sia pengetahuan yang selama ini dibaca.
Dapat dimaknai kesusastraan facebook baru gejala terciptanya karya lebih paripurna nantinya, semisal kawah candradimuka bagi yang tak menelan mentah pujian dalam proses kreatif berlangsung. Sebab sekurang-kurangnya kritik dan anggapan kurang tepat, sanggup membelokkan niatan unggul tercebur dalam pandangan sempit, jika tidak berbaca perluasan sejarah kesusastraan dunia juga yang tengah menggejolak.
Akan menjadi bahan sia-sia atau sampah abad 21 dari negeri dunia ketiga, sungguh ini tak kita harapkan. Padahal berkarya sastra merupakan benih unggul perkenalkan pandangan nalar perasaan, dari watak geografis menapaki tubuh bangsanya menuju derajat sejajar bangsa lainnya.
Bagiku, minimal tebaran gemintang kesastraan yang memancar di facebook seperti jembatan awal mengenali watak pesastra indonesia yang terperangkap pun sekadar ngincipi dunia maya. Di samping melihat gelagat kesusastraan dunia pada umumnya dalam jarak terdekat juga lebih mudah menjiwai karya dan pelakunya, sebab keluar-masuknya bathin menyuntuki teks tercetak serta yang betebaran di jendela beranda.
Pun sarana memahami karakter keindonesiaan dari karya sastra, nun tergantung penyikapan ruang-waktu manusianya. Kala kesempatan usia sempit atas padatnya pergolakan pribadi mematangkan diri melalui karangan, menuju pertemuan nyata pada gerak bertukar singgung keilmuan dalam memperluas jiwa mantab menapaki.
Dan gelagat bayang-bayang jaman menjadi nyata kesadaran sendiri, untuk pelaku berpandangan luas ke dapan, hingga mampu menarik benang kesimpulan. Darinya diharapkan terciptanya karya-karya mempuni, yang sanggup menjawab tantangan jaman, demi mencerahkan abad-abad mendatang di atas bumi kemanusiaan damai.
http://sastra-indonesia.com/
Sebelum berbilang kata. Haturkan diri ini sekadar pengelana, serupa tamu kurang sopan dengan kesiapan mati konyol ke medan magnetik kesusastraan. Meski yang kutulis melewati keyakinan kuat, kadang keraguan ganjil segetaran menggejolaki tubuh melampaui masa.
Dapat dibilang kesusastraan facebook di Indonesia bermula tahun 2009, atas deru semarak hingga hantu-hantu sebelumnya terlelap berbangkit berupa ketampanan aneh. Ialah para sastrawan yang mati suri tak lagi berkarya, kini mendapati darah segar seharum perubahan yang dihembuskan para generasi muda, yang kemuncul memandangi hamparan luas padang rumput nan menghijau bersama kesegarannya.
Kelak mandek menstupa atau berpuing-puing atas pantulan kesungguhan ditimbang percepatan lesat alam halus bathiniah masing-masing. Sejarah ialah teks tercetak di lembaran kertas, demi kemudahan diteliti juga penjelmaan gairah abadi penciptaan itu wujud fisikal menjadi dokumentasi penting di kemudian hari.
Di sini aku tak sebut nama-nama pun komunitas yang berkisaran di facebook. Semua sampai terukur daya dinayanya sendiri-sendiri. Dan diriku lebih yakin kesemangatan murni bukan dari dorongan seorang pun golongan, tapi gairah dari dalam membumi. Ini kudu ditempa berkali-kali keraguan, penjegalan mematangkan jiwa bermandiri.
Jika mengguna istilah mengamati, pelaku sastra facebook yang baru sadar sejarah sastra Indonesia terhanyut setubuh menggumuli teks dunia maya, dan serasa abai kurang suntuk menyinahuni lebih di luarnya; buku-buku, koran, majalah pun jurnal sastra. Bagaimana sanggup mengganyang realitas seluruh, jika berpangku tangan menyimak hanya yang disuntuki, meski yakin menghantar ke mimbar perkenalan.
Kata abai terpantul minimnya perbendaharaan, tapi langsung nyempelung ke sumur yang diandaikan sampai terpesona tiada kemampuan bergerak lincah. Apalagi hanya mengedarkan pandangan ke alam susastra, namun kurang sudi menggali bencah di sekitarnya; sejarah, filsafat, agama, sosiologi pun lainnya yang memantabkan sendi-sendi bersastra.
Bagiku yang doyan merevisi karya, ladang maya sekadarlah wilayah pembelajaran, menjajal kemungkinan teks diedarkan demi kematangan kelak kala tercetak dalam buku, serta patut diuji ulang perbaikan lanjut jika mengharap kesegaran ruh jaman dinafaskan. Kalau menilik fitroh hayati berawal keraguan ataupun diragukan, namun tatkala makna pertahanan sama dengan perlawanan, kemungkinan menjelma tradisi dan mau tak mau ditelan meski pahit.
Sudah menjelma kutukan ialah sejarah terpegang bagi yang berkuasa dalam ruang-waktu kedirian menantang hasil-hasil luaran merangsek bentuk sebelumnya, lewat melahirkan peluang menebarkan jala kemungkinan pada yang jauh pula terdekat.
Ini berbenturan sampai ada yang pingsan juga lontang-lantung kurang manfaat. Maka hanya bermental baja dibalut beton ampuh sulit dihantam badai keisengan setengah lelah di tengah jalan juga yang lekas tergiur kemapanan.
Bergulat di dunia sastra dengan keuletan menggali nilai-nilai, ruh lengkingan suara yang dikumandangkan kalimah dengan pesona, maka kekurangseriusan tertebas di medan laga. Jika menegok para empu dunia sastra, ditimbang-timbang hampir 30% pelakunya mendekati mati keadaan gila. Ini dapat dimaklumi, tersebab karya sastra bersimpan keseimbangan jaman dirasai para pensiarnya.
Mereka sengaja bernafas di alam antara pertimbangan nalar angan mengambili bebatuan realitas, dipadu gagasan yang diharapkan abadi, terbaca setiap jaman setelahnya, seperti jiwa-jiwa menetralisir perubahan atas benturan budaya yang memayungi hayat di dalam hembusan peradaban.
Jika dicermati, hampir 60% karya sastra facebook merupakan cipta rasa dadakan, setidaknya terimbasi percepatan dunia maya yang tampak kurang endapan kukuh. Apa yang diandalkan? Kalau ini melaju tanpa kendali kritik diri, pihak lain dengan tajam, tapi cuman pujian. Lebih parah sanjungan dimasukkan hati tidak menggali ulang pencarian jati diri demi mempuni karyanya.
Sungguh malang nasibnya ditumbuhi jamur-jamur oleh hujan dadakan, tentu dapat dipastikan terlibas kekuatan sastra di negara tetangga Asia; Cina, Jepang yang kian memantabkan diri menggali kekayaan tradisi bathiniahnya.
Dengan tidak kesampingkan peran serta dedengkot pesastra Indonesia sebelumnya yang masih segar bugar berkarya. Tampak benar politik sastra lebih kental daripada pengujian karya secara terbuka, kekuatannya berpamorkan faham tertentu dan abai corak sastra yang tak semadzab dengannya.
Padahal jikalau ditengok pertumbuhan kesusastraan di bumi Nusantara, merupakan benturan berbagai aliran yang pernah tumbuh di Timur serta Barat. Maka keteguhan suntuk memegang kedaulatan jiwa-jiwa berkarya akan teruji perubahan masa-masa.
Bagiku karya sastra yang mengendap di facebook itu tantangan harus dihadapi, apalagi bagi yang telah merasa aman sudah dipertuan sejarah. Seyogyanya tidak memicingkan mata sebelah pada dunia yang bergerak mengukuhkan tapal batas pendapatan, kalau tak ingin terkena serangan jantung keyakinan nan serempak.
Aku tidak menjawab apakah catatan yang bercokol di facebook kelak bertahan di dunia luar, atas pergolakan budaya global melampaui jamannya. Semua kembali oleh citraan ruh penciptaan nasib teremban yang menggelinding padanya. Sebab facebook sekadar sarana perkenalan, mengukuhkan bathin penulisnya. Ini cuaca rindu musim berdamainya diri, kala negara dipimpin manusia bermental serakah.
Kelak bermuara ke batas kesungguhan masing-masing. Ini bisa disiasati bagi yang mampu mengatur nafas pengolah perasaan, tidak hanya hadir lewat, atau hujaman jantung sekali sudah. Maka bobot ruang-waktu pengendalian laju timbunan kenang pengalaman, patut diolah baik guna tak sia-sia pengetahuan yang selama ini dibaca.
Dapat dimaknai kesusastraan facebook baru gejala terciptanya karya lebih paripurna nantinya, semisal kawah candradimuka bagi yang tak menelan mentah pujian dalam proses kreatif berlangsung. Sebab sekurang-kurangnya kritik dan anggapan kurang tepat, sanggup membelokkan niatan unggul tercebur dalam pandangan sempit, jika tidak berbaca perluasan sejarah kesusastraan dunia juga yang tengah menggejolak.
Akan menjadi bahan sia-sia atau sampah abad 21 dari negeri dunia ketiga, sungguh ini tak kita harapkan. Padahal berkarya sastra merupakan benih unggul perkenalkan pandangan nalar perasaan, dari watak geografis menapaki tubuh bangsanya menuju derajat sejajar bangsa lainnya.
Bagiku, minimal tebaran gemintang kesastraan yang memancar di facebook seperti jembatan awal mengenali watak pesastra indonesia yang terperangkap pun sekadar ngincipi dunia maya. Di samping melihat gelagat kesusastraan dunia pada umumnya dalam jarak terdekat juga lebih mudah menjiwai karya dan pelakunya, sebab keluar-masuknya bathin menyuntuki teks tercetak serta yang betebaran di jendela beranda.
Pun sarana memahami karakter keindonesiaan dari karya sastra, nun tergantung penyikapan ruang-waktu manusianya. Kala kesempatan usia sempit atas padatnya pergolakan pribadi mematangkan diri melalui karangan, menuju pertemuan nyata pada gerak bertukar singgung keilmuan dalam memperluas jiwa mantab menapaki.
Dan gelagat bayang-bayang jaman menjadi nyata kesadaran sendiri, untuk pelaku berpandangan luas ke dapan, hingga mampu menarik benang kesimpulan. Darinya diharapkan terciptanya karya-karya mempuni, yang sanggup menjawab tantangan jaman, demi mencerahkan abad-abad mendatang di atas bumi kemanusiaan damai.
SERAT KALATIDHA Karya Raden Ngabehi Ranggawarsita
Dan diterjemahkan oleh Puji Santosa
http://sastra-indonesia.com/
1. Mangkya darajating praja
kawuryan wus sunya-ruri
rurah pangrehing ukara
karana tanpa palupi.
Ponang parameng-kawi
kawileting tyas malatkung
kongas kasudranira
tidhem tandhaning dumadi.
Hardayengrat dening karoban rubeda.
2. Ratune ratu utama
patihe patih linuwih
pra nayaka tyas raharja
panekare becik-becik
parandene tan dadi
paliyasing kalabendu
Malah sangkin andadra
rubeda kang ngreribedi.
Beda-beda hardane wong sanagara.
3. Katatangi tangisira
sira sang parameng kawi
kawileting tyas duhtita
kataman ing reh wirangi
dening upaya sandi
sumaruna anarawang
panglipur manuhara
met pamrih melik pakolih
temah suh-ha ing karsa tanpa weweka.
4. Dhasar karoban pawarta
babaratan ujar lamis
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri.
Yen pinikir sayekti
pedah apa aneng ngayun
andhedher kaluputan
siniraman banyu lali.
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
5. Ujaring Panitisastra
awawarah asung peling
ing jaman keneng musibat
wong ambek jatmika kontit.
Mangkono yen niteni.
Pedah apa amituhu
pawarta lalawora
mundhak angroronta ati.
Angur-baya ngiketa cariteng kuna.
6. Keni kinarya darsana
palimbang ala lan becik.
Sayekti akeh kewala
lalakon kang dadi tamsil
masalahing ngaurip
wahanira tinemu
temahan anarima
mupus papasthening takdir
puluh-puluh anglakoni kaelokan.
7. Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wakasanipun.
Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.
8. Samono iku babasan
padu-paduning kapengin
enggih makoten Man Doplang
bener ingkang ngarani
nanging sajroning batin
sejatine nyamut-nyamut.
Wis tuwa arep apa
muhung mahasing ngasepi
supayantuk parimamaning Hyang Suksma.
9. Beda lan kang wus santosa
kinarilan ing Hyang Widhi
satiba malanganeya
tan susah ngupaya kasil
saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
marga samaning titah
rupa sabarang pikolih
parandene masih taberi ikhtiyar.
10. Sakadare linakonan
mung tumindak mara ati
angger tan dadi prakara
karana wirayat muni
ikhtiyar iku yekti
pamilihe reh rahayu
sinambi budi daya
kanthi awas lawan eling
kang kaesthi antuka parmaning Suksma.
11. Ya Allah ya Rasulullah
kang sipat murah lan asih
mugi-mugi aparinga
pitulung ingkang nartani
ing alam awal akhir
dumunung ing gesang ulun
mangkya sampun awredha
ing wekasan kadi pundi
mila mugi wontena pitulung Tuwan.
12. Sageda sabar santosa
mati sajroning ngaurip
kalis ing reh huru-hara
murka angkara sumingkir
tarlen meleng melatsih
sanityaseng tyas mamatuh
badharing sapudhendha
antuk wajar sawatawis
borong angga suwarga mesi martaya.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:
ZAMAN RUSAK
Raden Ngabehi Ranggawarsita
1. Sekarang derajat negara
terlihat telah suram
pelaksanaan undang-undang sudah rusak
karena tanpa teladan.
Kini, Sang Pujangga
hatinya diliputi rasa sedih, prihatin
tampak jelas kehina-dinannya
amat suram tanda-tanda kehidupan
akibat kesukaran duniawi, bertubi-tubi kebanjiran bencana.
2. Raja yang tengah berkuasa adalah raja utama
perdana menterinya pun seorang yang terpilih
para menteri juga bercita-cita menyejahterakan rakyat
pegawai aparatnya pun baik-baik,
meski demikian tidak menjadi
penolak atas zaman terkutuk ini,
malahan keadaan semakin menjadi-jadi
berbagai rintangan yang mengganggu
berbeda-beda perbuatan angkara orang seluruh negara.
3. Daripada menangis sedih, bangkitlah
wahai Sang Pujangga
meski diliputi penuh duka cita
mendapatkan rasa malu
atas berbagai fitnahan orang.
Mereka yang mendekatimu bergaul,
menghibur, seolah membuat enak hatimu,
padahal bermaksud memperoleh keuntungan,
sehingga merusak cita-cita luhur, karena tanpa kehati-hatianmu.
4. Dasarnya terbetik berbagai berita,
kabar angin yang berujar munafik
Sang Pujangga hendak diangkat menjadi pemuka,
akhirnya malahan berada di belakang.
Apabila dipikir-pikir dengan benar
berfaedah apa berada di muka?
Menanam benih-benih kesalahan
disirami oleh air kelupaan
apabila tumbuh berkembang menjadi kesukaran.
5. Menurut buku Panitisastra
memberi ajaran dan peringatan
di dalam zaman yang penuh bencana
bahwa orang berjiwa bijak justru kalah dan berada di belakang.
Demikian apabila mau memperhatikan tanda-tanda zaman.
Apakah gunanya kita percaya
pada berita-berita kosong
justru terasa semakin menyakitkan hati
lebih baik menulis cerita-cerita kuna.
6. Hal itu dapat digunakan sebagai teladan
untuk membandingkan hal buruk dan baik.
Tentunya banyak juga
lakuan-lakuan yang menjadi contoh
tentang masalah-masalah hidup
hingga akhirnya ditemukannya,
keadaan tawakal (narima),
menyadari akan ketentuan takdir Tuhan,
bagaimana pula hal ini mengalami keanehan.
7. Menghadapi zaman edan
keadaan menjadi serba sulit
turut serta edan tidak tahan
apabila tidak turut serta melakukan
tidak mendapatkan bagian
akhirnya menderita kelaparan.
Sudah kehendak Tuhan Allah
betapun bahagianya orang yang lupa
lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada.
8. Demikianlah perumpamaannya
padahal mereka menginginkan,
bukankah demikian Paman Doplang?
Benar juga yang menyangkanya,
namun di dalam batin
sesungguhnya hal itu masih jauh.
Sudah tua mau apalagi,
sebaiknya menjauhkan diri dari keramaian duniawi
supaya mendapatkan anugerah kasih Tuhan Yang Maha Esa.
9. Berbeda bagi mereka yang telah teguh sentosa jiwanya
dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa
betapapun tingkah laku perbuatannya
tidak susah untuk mendapatkan penghasilan
oleh karena dari datangnya pertolongan Tuhan
Tuhan senantiasa memberi petunjuk dan pertolongan
jalannya melalui sesama makhluk
berupa segala sesuatu yang bermanfaat.
Meskipun demikian, dia masih tetap tekun rajin berusaha.
10. Sekadar menjalani hidup
hanya semata bertindak mengenakan hati
asalkan tidak menjadi suatu masalah
dengan memperhatikan petuah orang tua
bahwa ikhtiar itu sesungguhnya
memilih jalan agar selamat
sambil terus berusaha
disertai dengan awas dan sadar
yang bertujuan agar mendapatkan kasih anugerah Tuhan.
11. Ya Allah, ya Rasulullah
yang bersifat pemurah dan pengasih
semoga berkenan melimpahkan
pertolongan yang menyelamatkan
di dunia hingga ke akhirat
tempat hidup hamba
padahal sekarang (hamba) sudah tua
pada akhirnya nanti bagaimana (terserah),
maka semoga ada pertolongan Tuhan.
12. Semoga dapat sabar sentausa
laksana mati di dalam hidup
terbebas dari segala kerusuhan,
angkara murka, tamak, loba menyingkir semua
tiada lain karena berkonsentrasi diri memohon kasih Tuhan
senantiasa melatih hatinya patuh
agar dapat mengurungkan kutukan
sehingga mendapatkan sinar terang sekadarnya
berserah diri agar dapat masuk surga yang berisi keabadian.
(Teks asli bahasa Jawa diambil dari Bratakesawa (ed). 1959. Djangka Ranggawarsitan. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Kulawarga Bratakesawa. Terjemahan bahasa Indonesia dilakukan oleh Puji Santosa).
[Puji Santosa adalah peneliti bidang kebahasaan dan kesusastraan pada Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, pernah menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (2006—2008), alumnus magister humaniora dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2002), dan kini menjabat sebagai Koordinator Jabatan Fungsional di lingkungan Pusat Bahasa. Naskah ini dimuat dalam Kakilangit 161/Mei 2010, halaman 1—13; Sisipan Majalah Sastra Horison Tahun XLIV, Nomor 5/2010. Mei 2010).http://www.facebook.com/topic.php?uid=151560011581&topic=16181
http://sastra-indonesia.com/
1. Mangkya darajating praja
kawuryan wus sunya-ruri
rurah pangrehing ukara
karana tanpa palupi.
Ponang parameng-kawi
kawileting tyas malatkung
kongas kasudranira
tidhem tandhaning dumadi.
Hardayengrat dening karoban rubeda.
2. Ratune ratu utama
patihe patih linuwih
pra nayaka tyas raharja
panekare becik-becik
parandene tan dadi
paliyasing kalabendu
Malah sangkin andadra
rubeda kang ngreribedi.
Beda-beda hardane wong sanagara.
3. Katatangi tangisira
sira sang parameng kawi
kawileting tyas duhtita
kataman ing reh wirangi
dening upaya sandi
sumaruna anarawang
panglipur manuhara
met pamrih melik pakolih
temah suh-ha ing karsa tanpa weweka.
4. Dhasar karoban pawarta
babaratan ujar lamis
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri.
Yen pinikir sayekti
pedah apa aneng ngayun
andhedher kaluputan
siniraman banyu lali.
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
5. Ujaring Panitisastra
awawarah asung peling
ing jaman keneng musibat
wong ambek jatmika kontit.
Mangkono yen niteni.
Pedah apa amituhu
pawarta lalawora
mundhak angroronta ati.
Angur-baya ngiketa cariteng kuna.
6. Keni kinarya darsana
palimbang ala lan becik.
Sayekti akeh kewala
lalakon kang dadi tamsil
masalahing ngaurip
wahanira tinemu
temahan anarima
mupus papasthening takdir
puluh-puluh anglakoni kaelokan.
7. Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wakasanipun.
Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.
8. Samono iku babasan
padu-paduning kapengin
enggih makoten Man Doplang
bener ingkang ngarani
nanging sajroning batin
sejatine nyamut-nyamut.
Wis tuwa arep apa
muhung mahasing ngasepi
supayantuk parimamaning Hyang Suksma.
9. Beda lan kang wus santosa
kinarilan ing Hyang Widhi
satiba malanganeya
tan susah ngupaya kasil
saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
marga samaning titah
rupa sabarang pikolih
parandene masih taberi ikhtiyar.
10. Sakadare linakonan
mung tumindak mara ati
angger tan dadi prakara
karana wirayat muni
ikhtiyar iku yekti
pamilihe reh rahayu
sinambi budi daya
kanthi awas lawan eling
kang kaesthi antuka parmaning Suksma.
11. Ya Allah ya Rasulullah
kang sipat murah lan asih
mugi-mugi aparinga
pitulung ingkang nartani
ing alam awal akhir
dumunung ing gesang ulun
mangkya sampun awredha
ing wekasan kadi pundi
mila mugi wontena pitulung Tuwan.
12. Sageda sabar santosa
mati sajroning ngaurip
kalis ing reh huru-hara
murka angkara sumingkir
tarlen meleng melatsih
sanityaseng tyas mamatuh
badharing sapudhendha
antuk wajar sawatawis
borong angga suwarga mesi martaya.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:
ZAMAN RUSAK
Raden Ngabehi Ranggawarsita
1. Sekarang derajat negara
terlihat telah suram
pelaksanaan undang-undang sudah rusak
karena tanpa teladan.
Kini, Sang Pujangga
hatinya diliputi rasa sedih, prihatin
tampak jelas kehina-dinannya
amat suram tanda-tanda kehidupan
akibat kesukaran duniawi, bertubi-tubi kebanjiran bencana.
2. Raja yang tengah berkuasa adalah raja utama
perdana menterinya pun seorang yang terpilih
para menteri juga bercita-cita menyejahterakan rakyat
pegawai aparatnya pun baik-baik,
meski demikian tidak menjadi
penolak atas zaman terkutuk ini,
malahan keadaan semakin menjadi-jadi
berbagai rintangan yang mengganggu
berbeda-beda perbuatan angkara orang seluruh negara.
3. Daripada menangis sedih, bangkitlah
wahai Sang Pujangga
meski diliputi penuh duka cita
mendapatkan rasa malu
atas berbagai fitnahan orang.
Mereka yang mendekatimu bergaul,
menghibur, seolah membuat enak hatimu,
padahal bermaksud memperoleh keuntungan,
sehingga merusak cita-cita luhur, karena tanpa kehati-hatianmu.
4. Dasarnya terbetik berbagai berita,
kabar angin yang berujar munafik
Sang Pujangga hendak diangkat menjadi pemuka,
akhirnya malahan berada di belakang.
Apabila dipikir-pikir dengan benar
berfaedah apa berada di muka?
Menanam benih-benih kesalahan
disirami oleh air kelupaan
apabila tumbuh berkembang menjadi kesukaran.
5. Menurut buku Panitisastra
memberi ajaran dan peringatan
di dalam zaman yang penuh bencana
bahwa orang berjiwa bijak justru kalah dan berada di belakang.
Demikian apabila mau memperhatikan tanda-tanda zaman.
Apakah gunanya kita percaya
pada berita-berita kosong
justru terasa semakin menyakitkan hati
lebih baik menulis cerita-cerita kuna.
6. Hal itu dapat digunakan sebagai teladan
untuk membandingkan hal buruk dan baik.
Tentunya banyak juga
lakuan-lakuan yang menjadi contoh
tentang masalah-masalah hidup
hingga akhirnya ditemukannya,
keadaan tawakal (narima),
menyadari akan ketentuan takdir Tuhan,
bagaimana pula hal ini mengalami keanehan.
7. Menghadapi zaman edan
keadaan menjadi serba sulit
turut serta edan tidak tahan
apabila tidak turut serta melakukan
tidak mendapatkan bagian
akhirnya menderita kelaparan.
Sudah kehendak Tuhan Allah
betapun bahagianya orang yang lupa
lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada.
8. Demikianlah perumpamaannya
padahal mereka menginginkan,
bukankah demikian Paman Doplang?
Benar juga yang menyangkanya,
namun di dalam batin
sesungguhnya hal itu masih jauh.
Sudah tua mau apalagi,
sebaiknya menjauhkan diri dari keramaian duniawi
supaya mendapatkan anugerah kasih Tuhan Yang Maha Esa.
9. Berbeda bagi mereka yang telah teguh sentosa jiwanya
dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa
betapapun tingkah laku perbuatannya
tidak susah untuk mendapatkan penghasilan
oleh karena dari datangnya pertolongan Tuhan
Tuhan senantiasa memberi petunjuk dan pertolongan
jalannya melalui sesama makhluk
berupa segala sesuatu yang bermanfaat.
Meskipun demikian, dia masih tetap tekun rajin berusaha.
10. Sekadar menjalani hidup
hanya semata bertindak mengenakan hati
asalkan tidak menjadi suatu masalah
dengan memperhatikan petuah orang tua
bahwa ikhtiar itu sesungguhnya
memilih jalan agar selamat
sambil terus berusaha
disertai dengan awas dan sadar
yang bertujuan agar mendapatkan kasih anugerah Tuhan.
11. Ya Allah, ya Rasulullah
yang bersifat pemurah dan pengasih
semoga berkenan melimpahkan
pertolongan yang menyelamatkan
di dunia hingga ke akhirat
tempat hidup hamba
padahal sekarang (hamba) sudah tua
pada akhirnya nanti bagaimana (terserah),
maka semoga ada pertolongan Tuhan.
12. Semoga dapat sabar sentausa
laksana mati di dalam hidup
terbebas dari segala kerusuhan,
angkara murka, tamak, loba menyingkir semua
tiada lain karena berkonsentrasi diri memohon kasih Tuhan
senantiasa melatih hatinya patuh
agar dapat mengurungkan kutukan
sehingga mendapatkan sinar terang sekadarnya
berserah diri agar dapat masuk surga yang berisi keabadian.
(Teks asli bahasa Jawa diambil dari Bratakesawa (ed). 1959. Djangka Ranggawarsitan. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Kulawarga Bratakesawa. Terjemahan bahasa Indonesia dilakukan oleh Puji Santosa).
[Puji Santosa adalah peneliti bidang kebahasaan dan kesusastraan pada Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, pernah menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (2006—2008), alumnus magister humaniora dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2002), dan kini menjabat sebagai Koordinator Jabatan Fungsional di lingkungan Pusat Bahasa. Naskah ini dimuat dalam Kakilangit 161/Mei 2010, halaman 1—13; Sisipan Majalah Sastra Horison Tahun XLIV, Nomor 5/2010. Mei 2010).http://www.facebook.com/topic.php?uid=151560011581&topic=16181
Membengkaknya Sastra Facebook
Yesi Devisa Putri*
http://www.surya.co.id/
Media cetak memberi porsi untuk sastra dalam tempat terbatas. Itu yang membuat pegiat sastra menjadi gerah karena kurangnya lahan untuk memublikasikan karyanya. Hingga pada akhirnya mereka beralih media. Facebook menjadi salah satu alternatif media untuk menjadi ‘ruang pamer’ sekaligus tempat mendokumentasian hasil cipta, rasa, dan karsa mereka.
Sejak munculnya istilah sastra cyber, lahir pula ‘penulis-penulis cyber’ di dunia maya. Setelah menyulap website dan blog menjadi ruang pamer karya, kini ganti Facebook yang menjadi alternatif ‘ruang pajang karya’ selanjutnya. Fenomena ini lebih booming dengan istilah ‘sastra Facebook’. Dalam situs jejaring sosial ini, tidak hanya penulis cyber yang ikut nampang. Penulis-penulis senior yang sudah memegang predikat penulis best seller pun tidak sungkan untuk memamerkan karya mereka.
Sebagian orang menganggap fenomena sastra Facebook ini adalah masalah dalam dunia sastra. Keresahan ini muncul lantaran adanya kekhawatiran akan lahirnya karya sastra dengan kualitas kurang. Selain itu, ditakutkan pula adanya kapitalisme dalam dunia sastra.
Namun, bagai dua sisi mata uang, selain sisi negatif tentu sastra Facebook juga memiliki kelebihan. Secara tidak langsung, kehadiran penulis senior dalam Facebook akan memberikan ilmunya kepada penulis pemula. Lewat tulisan, komentar-komentar, serta komunikasi antardinding yang mereka lakukan akan memberikan manfaat. Bagi penulis pemula akan mendapatkan ilmu cara berkarya yang baik. Sedangkan untuk penulis senior, selain bisa promosi karya secara gratis, juga mendapat koreksi langsung melalui komentar, baik dari rekan-rekan penulis pengguna Facebook ataupun juga dari pembaca lainnya.
Buku-buku sastra yang lahir dari para Facebooker juga banyak. Ini bukti kredibilitas sastra Facebook. Satu poin lagi untuk sastra Facebook untuk turut andilnya meramaikan pangsa pasar buku sastra yang tengah sepi.
Keuntungan lainnya dari sastra Facebook adalah, secara tidak langsung akan lahir para kritikus sastra yang akan mengasah, menyeleksi secara terus menerus sastra Facebook agar kualitasnya mampu bersaing dengan karya sastra-karya sastra pilihan dalam media massa. Tentu ini tidak bisa lepas dari tangan-tangan dingin para sesepuh dunia sastra.
Jadi, berdebat masalah untung rugi, semua hal pasti akan mengandung dua medan tersebut. Begitu juga dengan Facebook. Facebook hanyalah salah satu bentuk kemajuan teknologi. Kurang bijak rasanya bila Facebook dihindari karena citra miring yang menghinggapinya belakangan ini. Bila disikapi dengan baik, Facebook bisa dimanfaatkan untuk dijadikan media pembelajaran dan pengembangan sastra.
*) Jurusan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang.
http://www.surya.co.id/
Media cetak memberi porsi untuk sastra dalam tempat terbatas. Itu yang membuat pegiat sastra menjadi gerah karena kurangnya lahan untuk memublikasikan karyanya. Hingga pada akhirnya mereka beralih media. Facebook menjadi salah satu alternatif media untuk menjadi ‘ruang pamer’ sekaligus tempat mendokumentasian hasil cipta, rasa, dan karsa mereka.
Sejak munculnya istilah sastra cyber, lahir pula ‘penulis-penulis cyber’ di dunia maya. Setelah menyulap website dan blog menjadi ruang pamer karya, kini ganti Facebook yang menjadi alternatif ‘ruang pajang karya’ selanjutnya. Fenomena ini lebih booming dengan istilah ‘sastra Facebook’. Dalam situs jejaring sosial ini, tidak hanya penulis cyber yang ikut nampang. Penulis-penulis senior yang sudah memegang predikat penulis best seller pun tidak sungkan untuk memamerkan karya mereka.
Sebagian orang menganggap fenomena sastra Facebook ini adalah masalah dalam dunia sastra. Keresahan ini muncul lantaran adanya kekhawatiran akan lahirnya karya sastra dengan kualitas kurang. Selain itu, ditakutkan pula adanya kapitalisme dalam dunia sastra.
Namun, bagai dua sisi mata uang, selain sisi negatif tentu sastra Facebook juga memiliki kelebihan. Secara tidak langsung, kehadiran penulis senior dalam Facebook akan memberikan ilmunya kepada penulis pemula. Lewat tulisan, komentar-komentar, serta komunikasi antardinding yang mereka lakukan akan memberikan manfaat. Bagi penulis pemula akan mendapatkan ilmu cara berkarya yang baik. Sedangkan untuk penulis senior, selain bisa promosi karya secara gratis, juga mendapat koreksi langsung melalui komentar, baik dari rekan-rekan penulis pengguna Facebook ataupun juga dari pembaca lainnya.
Buku-buku sastra yang lahir dari para Facebooker juga banyak. Ini bukti kredibilitas sastra Facebook. Satu poin lagi untuk sastra Facebook untuk turut andilnya meramaikan pangsa pasar buku sastra yang tengah sepi.
Keuntungan lainnya dari sastra Facebook adalah, secara tidak langsung akan lahir para kritikus sastra yang akan mengasah, menyeleksi secara terus menerus sastra Facebook agar kualitasnya mampu bersaing dengan karya sastra-karya sastra pilihan dalam media massa. Tentu ini tidak bisa lepas dari tangan-tangan dingin para sesepuh dunia sastra.
Jadi, berdebat masalah untung rugi, semua hal pasti akan mengandung dua medan tersebut. Begitu juga dengan Facebook. Facebook hanyalah salah satu bentuk kemajuan teknologi. Kurang bijak rasanya bila Facebook dihindari karena citra miring yang menghinggapinya belakangan ini. Bila disikapi dengan baik, Facebook bisa dimanfaatkan untuk dijadikan media pembelajaran dan pengembangan sastra.
*) Jurusan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang.
Fungsi Sosial Karya Sastra
Dr Junaidi
http://www.riaupos.com/
Realitas sosial yang kita hadapi sering tidak sesuai dengan harapan orang kebanyakan orang.
Ketidaksesuaian realitas dengan harapan cenderung menimbulkan ketidakpuasan dan rasa ketidakpuasan itu mendorong orang untuk melakukan tindakan yang bersifat kontra terhadap realitas, misalnya dengan melakukan demonstasi kepada para pemimpin, penguasa, pejabat, anggota dewan, dan manajemen perusahaan. Bahkan ada teori yang menyatakan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa cenderung menyimpang dari ketentuan yang berlaku akibat syahwat kekuasaan sering sulit untuk dikendalikan.
Kasus korupsi dan penyelewengan lainnya merupakan akibat dari kekuasaan yang terlepas dari kontrolnya. Disebabkan adanya potensi penyeleuangan itulah kekuasaan itu perlu dikontrol oleh masyarakat dengan cara menyampaikan kritikan kepada pihak penguasa. Meskipun peran kontrol terhadap kekuasaan telah diberikan kepada lembaga-lembaga tertentu yang ditetapkan melalui undang-undang, peran kontrol sosial dari masyarakat tetap harus dijalankan sebab kadang-kadang lembaga-lembaga yang ditunjuk itu juga melakukan penyimpangan. Kontrol sosial masyarakat harus terus dilakukan sebab Negara bukan hanya milik pemimpin, penguasa, pejabat, dan aparat tetapi juga miliki semua rakyat. Semua elemen bertanggung jawab terhadap nasib bangsa ini. Salah satu wujud dari rasa tanggung jawab masyarakat terhadap bangsa ini adalah menyampaikan kritikan yang konstruktif untuk membangun bangsa ini.
Fungsi Sosial Karya Sastra
Kritikan dapat disampaikan secara langsung kepada penguasa dengan berkirim surat, demonstrasi, pidato, wawancara, sms, Facebook, email, dan media lainnya. Dalam era keterbukaan sekarang ini setiap orang bebas untuk menyampaikan kritikan dan aspirasi kepada pemerintah. Sesungguhnya ada satu media lagi yang berperan penting dalam penyampaian kritik sosial, yakni karya sastra. Di Indonesia, sejak zaman Belanda, Jepang, Revolusi, Orde Baru, dan Reformsi selalu saja ada karya sastra yang diarahkan untuk mengkritik pemerintahan yang berkuasa. Di Riau pun, juga banyak karya sastra yang berisikan kritikan terhadap dominasi Pemerintah Pusat dan para penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat. Karya sastra dijadikan salah satu media alternatif untuk menyampaikan “pemberontakan” terhadap realitas kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Jika karya sastra digunakan sebagai media untuk menyampaikan kritik terhadap realitas sosial yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat, maka karya sastra sesungguhnya memiliki fungsi sosial. Fungsi sosial karya sastra diwujudkan dengan cara memberikan respons terhadap fungsi-fungsi kekuasan yang dilakukan oleh para pemimpin. Respons yang diberikan karya sastra dalam bentuk kritik sosial yang diarahkan kepada pemimpin yang tidak bersungguh-bersungguh dalam membela kepentingan rakyat. Pesan-pesan yang disampaikan melalui karya sastra memberikan peringatan kepada orang-orang yang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Fungsi sosial karya sastra ini diharapkan dapat memberikan penyadaran kepada manusia untuk melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi kepentingan orang banyak.
Mengkritik dengan Indah
Sastra itu seni dan seni itu indah. Dengan demikian sastra itu selalu dihubungan dengan kreativitas yang berkaitan dengan keindahan. Meskipun sastra identik dengan keindahan, dunia sastra tidak hanya berbicara tentang keindahan, makna hidup, cinta, dan kasih sayang. Banyak karya sastra berisi tentang gagasan-gagasan perlawanan yang ditujukan kepada para pemimpin, pemerintah, dan realitas sosial yang dipandang tidak sesuai dengan harapan dan kepentingan masyarakat. Ini bermakna bahwa di dalam keindahan karya sastra ada kekuatan yang dapat digunakan untuk menyampaikan penolakan, kritikan dan pemberontakan. Penolakan tidak harus disampaikan dengan brutal, anarkis, dan kasar.
Tetapi penolakan juga bisa disampaikan dengan bahasa yang santun, indah, dan perlambangan. Kekuatan yang dipancarkan karya sastra dalam menyampaikan kritikan seperti “mencubit tapi tidak sakit”. Kekuatan “cupitan” karya sastra tidak menyakitkan tetapi dapat meresap ke dalam diri manusia sehingga pelan-pelan ia dapat menyadarkan manusia. Kekuatan karya sastra bermain dalam alam spiritual atau jiwa manusia sehingga pesan yang sampaikannya akan lebih mengarah kepada hati nurani manusia. Bila ini terjadi, kritikan yang disampaikan melalui karya sastra akan menyadarkan manusia.
Salah satu ciri karya sastra adalah penggunaan bahasa perlambangan. Bahasa perlampangan digunakan untuk menyampaikan sebuah pesan dengan menggunakan ungkapan lain. Bahasa perlambahan bersifat tidak langsung sehingga harus dimaknai pula secara konotatif dengan merenungkan secara mendalam makna kata yang digunakan dalam karya sastra. Bahasa perlambangan yang terdapat dalam karya sastra efektif digunakan untuk menyampaikan kritikan kepada penguasa sebab bahasa perlambangan mengandung makna yang lebih mendalam dari pada bahasa sehari-hari. Kedalaman makna bahasa perlambangan membuat pesan yang disampaikan lebih masuk ke dalam jiwa orang yang dikritik.
Sastra dan Ekpresi Kebebasan
Karya sastra terlahir dari suatu proses penciptaan yang dilakukan manusia. Karya sastra itu hasil kreativitas manusia dan tentu saja bukan ciptaan alam apalagi Tuhan. Kalau kitap suci jelas ciptaan Tuhan tetapi karya sastra hasil perenungan dan pemikiran manusia. Sastra itu sendiri merupakan ekspresi dari dalam diri manusia sehingga sastra itu cenderung bersifat bebas. Dalam dunia sastra orang mempunyai hak untuk menyampaikan sesuatu. Tidak perlu ada persetujuan orang lain untuk menyampaikan ekspresi melalui sastra. Orang boleh mengungkapkan apapun dalam sastra. Anggapan yang menyatakan bahwa bahwa karya sastra sebagai fiksi semakin memperkuat keberadaan sastra sebagai karya imajinatif. Dengan kemampuan imajinatinya, penulis sastra menyampaikan gagasannya secara bebas tanpa harus merujuk dengan realitas. Dengan demikian, tingkat kebenaran sastra itu bersifat artifisial. Kebenaran sastra tidak harus sesuai dengan fakta. Kebenaran sastra adalah kebenaran yang dibuat dan direkaya sedemikian rupa agar karya sastra itu tampak lebih menarik. Meskipun kebenaran yang terdapat dalam karya sastra dibuat-buat, karya sastra tetap mempunyai kekuatan dalam memberikan kesadaran terhadap realitas sosial sesungguhnya yang dihadapi manusia.
Karya sastra ditulis bukan untuk menyampaikan fakta atau menguangkap realitas sebenarnya. Tetapi fakta atau realitas bisa menjadi bahan atau gagasan untuk proses penciptaan karya sastra. Bahan dasar karya sastra tetap segala sesuatu yang terdapat di jagad raya ini. Bahan dasar inilah yang kemudian diolah manusia dengan potensi kreativitas yang dimiliknya.
Kegiatan kreativitas sastra sering dikaitkan dengan kebebasan. Perhatiankanlah penampilan seorang sastrawan. Seorang sastrawan cenderung mempunyai karakter yang khas dan ia biasanya tidak terlalu peduli dengan pandangan orang terhadap penampilannya. Kekhasan karakter yang dimiliki seorang sastrawan merupakan wujud dari konsep kebebasan berekspresi yang dimilikinya. Konsep kebebasan berekspresi ini pula yang menyebabkan karya sastra mengandung gagasan-gagasan bebas yang tidak terikat. Sifat bebas ini pula yang mendorong penulis karya sastra untuk mengyampaikan kritik sosial. Dalam kehidupan nyata kita sering tidak bebas untuk menyampaikan kritik terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Kita harus hati-hati mengkritik presiden, pemimpin dan pemerintah sebab bisa-bisa kita ditangkap polisii karena dianggap menyebarkan fitnah dan melawan pemerintah. Tetapi bila kritik disampaikan dengan karya sastra, kemungkinan kita akan lebih aman sebab karya sastra dianggap bersifat fiksi, imajinatif, dan dibuat-buat. Beruntunglah kita bila karya sastra dianggap seperti itu sebab akan lebih memudahkan sastrawan untuk menyampaikan kritik sosial yang lebih tajam.
Bila saluran resmi untuk menyampaikan pendapat, kritikan, dan gagasan telah ditutup maka karya sastra menjadi media alternatif untuk menyambaikan itu. Bila berpikir logis tidak lagi dihargai, maka karya sastra menjadi media alternatif yang bersifat intuitif dan imajinatif dalam menyampaikan kebenaran dalam kehidupan manusia. Bila para penguasa tidak peduli lagi dengan kritikan yang disampaikan secara langsung, maka karya sastra menjadi media alternatif untuk menyampaikan kritik secara perlambangan. Dan bila mereka juga tidak peduli dengan sindiran dan kritikan dengan bahasa perlambangan, berarti hati mereka telah buta. Meskipun hati mereka buta, karya sastra menjalankan fungsi sosialnya dengan menyampaikan kritik terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.***
Dr Junaidi adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak dan Dosen S-2 Ilmu Komunikasi UMRI. Telah menulis tiga buku telaah sastra dan budaya. Tinggal di Pekanbaru.
http://www.riaupos.com/
Realitas sosial yang kita hadapi sering tidak sesuai dengan harapan orang kebanyakan orang.
Ketidaksesuaian realitas dengan harapan cenderung menimbulkan ketidakpuasan dan rasa ketidakpuasan itu mendorong orang untuk melakukan tindakan yang bersifat kontra terhadap realitas, misalnya dengan melakukan demonstasi kepada para pemimpin, penguasa, pejabat, anggota dewan, dan manajemen perusahaan. Bahkan ada teori yang menyatakan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa cenderung menyimpang dari ketentuan yang berlaku akibat syahwat kekuasaan sering sulit untuk dikendalikan.
Kasus korupsi dan penyelewengan lainnya merupakan akibat dari kekuasaan yang terlepas dari kontrolnya. Disebabkan adanya potensi penyeleuangan itulah kekuasaan itu perlu dikontrol oleh masyarakat dengan cara menyampaikan kritikan kepada pihak penguasa. Meskipun peran kontrol terhadap kekuasaan telah diberikan kepada lembaga-lembaga tertentu yang ditetapkan melalui undang-undang, peran kontrol sosial dari masyarakat tetap harus dijalankan sebab kadang-kadang lembaga-lembaga yang ditunjuk itu juga melakukan penyimpangan. Kontrol sosial masyarakat harus terus dilakukan sebab Negara bukan hanya milik pemimpin, penguasa, pejabat, dan aparat tetapi juga miliki semua rakyat. Semua elemen bertanggung jawab terhadap nasib bangsa ini. Salah satu wujud dari rasa tanggung jawab masyarakat terhadap bangsa ini adalah menyampaikan kritikan yang konstruktif untuk membangun bangsa ini.
Fungsi Sosial Karya Sastra
Kritikan dapat disampaikan secara langsung kepada penguasa dengan berkirim surat, demonstrasi, pidato, wawancara, sms, Facebook, email, dan media lainnya. Dalam era keterbukaan sekarang ini setiap orang bebas untuk menyampaikan kritikan dan aspirasi kepada pemerintah. Sesungguhnya ada satu media lagi yang berperan penting dalam penyampaian kritik sosial, yakni karya sastra. Di Indonesia, sejak zaman Belanda, Jepang, Revolusi, Orde Baru, dan Reformsi selalu saja ada karya sastra yang diarahkan untuk mengkritik pemerintahan yang berkuasa. Di Riau pun, juga banyak karya sastra yang berisikan kritikan terhadap dominasi Pemerintah Pusat dan para penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat. Karya sastra dijadikan salah satu media alternatif untuk menyampaikan “pemberontakan” terhadap realitas kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Jika karya sastra digunakan sebagai media untuk menyampaikan kritik terhadap realitas sosial yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat, maka karya sastra sesungguhnya memiliki fungsi sosial. Fungsi sosial karya sastra diwujudkan dengan cara memberikan respons terhadap fungsi-fungsi kekuasan yang dilakukan oleh para pemimpin. Respons yang diberikan karya sastra dalam bentuk kritik sosial yang diarahkan kepada pemimpin yang tidak bersungguh-bersungguh dalam membela kepentingan rakyat. Pesan-pesan yang disampaikan melalui karya sastra memberikan peringatan kepada orang-orang yang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Fungsi sosial karya sastra ini diharapkan dapat memberikan penyadaran kepada manusia untuk melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi kepentingan orang banyak.
Mengkritik dengan Indah
Sastra itu seni dan seni itu indah. Dengan demikian sastra itu selalu dihubungan dengan kreativitas yang berkaitan dengan keindahan. Meskipun sastra identik dengan keindahan, dunia sastra tidak hanya berbicara tentang keindahan, makna hidup, cinta, dan kasih sayang. Banyak karya sastra berisi tentang gagasan-gagasan perlawanan yang ditujukan kepada para pemimpin, pemerintah, dan realitas sosial yang dipandang tidak sesuai dengan harapan dan kepentingan masyarakat. Ini bermakna bahwa di dalam keindahan karya sastra ada kekuatan yang dapat digunakan untuk menyampaikan penolakan, kritikan dan pemberontakan. Penolakan tidak harus disampaikan dengan brutal, anarkis, dan kasar.
Tetapi penolakan juga bisa disampaikan dengan bahasa yang santun, indah, dan perlambangan. Kekuatan yang dipancarkan karya sastra dalam menyampaikan kritikan seperti “mencubit tapi tidak sakit”. Kekuatan “cupitan” karya sastra tidak menyakitkan tetapi dapat meresap ke dalam diri manusia sehingga pelan-pelan ia dapat menyadarkan manusia. Kekuatan karya sastra bermain dalam alam spiritual atau jiwa manusia sehingga pesan yang sampaikannya akan lebih mengarah kepada hati nurani manusia. Bila ini terjadi, kritikan yang disampaikan melalui karya sastra akan menyadarkan manusia.
Salah satu ciri karya sastra adalah penggunaan bahasa perlambangan. Bahasa perlampangan digunakan untuk menyampaikan sebuah pesan dengan menggunakan ungkapan lain. Bahasa perlambahan bersifat tidak langsung sehingga harus dimaknai pula secara konotatif dengan merenungkan secara mendalam makna kata yang digunakan dalam karya sastra. Bahasa perlambangan yang terdapat dalam karya sastra efektif digunakan untuk menyampaikan kritikan kepada penguasa sebab bahasa perlambangan mengandung makna yang lebih mendalam dari pada bahasa sehari-hari. Kedalaman makna bahasa perlambangan membuat pesan yang disampaikan lebih masuk ke dalam jiwa orang yang dikritik.
Sastra dan Ekpresi Kebebasan
Karya sastra terlahir dari suatu proses penciptaan yang dilakukan manusia. Karya sastra itu hasil kreativitas manusia dan tentu saja bukan ciptaan alam apalagi Tuhan. Kalau kitap suci jelas ciptaan Tuhan tetapi karya sastra hasil perenungan dan pemikiran manusia. Sastra itu sendiri merupakan ekspresi dari dalam diri manusia sehingga sastra itu cenderung bersifat bebas. Dalam dunia sastra orang mempunyai hak untuk menyampaikan sesuatu. Tidak perlu ada persetujuan orang lain untuk menyampaikan ekspresi melalui sastra. Orang boleh mengungkapkan apapun dalam sastra. Anggapan yang menyatakan bahwa bahwa karya sastra sebagai fiksi semakin memperkuat keberadaan sastra sebagai karya imajinatif. Dengan kemampuan imajinatinya, penulis sastra menyampaikan gagasannya secara bebas tanpa harus merujuk dengan realitas. Dengan demikian, tingkat kebenaran sastra itu bersifat artifisial. Kebenaran sastra tidak harus sesuai dengan fakta. Kebenaran sastra adalah kebenaran yang dibuat dan direkaya sedemikian rupa agar karya sastra itu tampak lebih menarik. Meskipun kebenaran yang terdapat dalam karya sastra dibuat-buat, karya sastra tetap mempunyai kekuatan dalam memberikan kesadaran terhadap realitas sosial sesungguhnya yang dihadapi manusia.
Karya sastra ditulis bukan untuk menyampaikan fakta atau menguangkap realitas sebenarnya. Tetapi fakta atau realitas bisa menjadi bahan atau gagasan untuk proses penciptaan karya sastra. Bahan dasar karya sastra tetap segala sesuatu yang terdapat di jagad raya ini. Bahan dasar inilah yang kemudian diolah manusia dengan potensi kreativitas yang dimiliknya.
Kegiatan kreativitas sastra sering dikaitkan dengan kebebasan. Perhatiankanlah penampilan seorang sastrawan. Seorang sastrawan cenderung mempunyai karakter yang khas dan ia biasanya tidak terlalu peduli dengan pandangan orang terhadap penampilannya. Kekhasan karakter yang dimiliki seorang sastrawan merupakan wujud dari konsep kebebasan berekspresi yang dimilikinya. Konsep kebebasan berekspresi ini pula yang menyebabkan karya sastra mengandung gagasan-gagasan bebas yang tidak terikat. Sifat bebas ini pula yang mendorong penulis karya sastra untuk mengyampaikan kritik sosial. Dalam kehidupan nyata kita sering tidak bebas untuk menyampaikan kritik terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Kita harus hati-hati mengkritik presiden, pemimpin dan pemerintah sebab bisa-bisa kita ditangkap polisii karena dianggap menyebarkan fitnah dan melawan pemerintah. Tetapi bila kritik disampaikan dengan karya sastra, kemungkinan kita akan lebih aman sebab karya sastra dianggap bersifat fiksi, imajinatif, dan dibuat-buat. Beruntunglah kita bila karya sastra dianggap seperti itu sebab akan lebih memudahkan sastrawan untuk menyampaikan kritik sosial yang lebih tajam.
Bila saluran resmi untuk menyampaikan pendapat, kritikan, dan gagasan telah ditutup maka karya sastra menjadi media alternatif untuk menyambaikan itu. Bila berpikir logis tidak lagi dihargai, maka karya sastra menjadi media alternatif yang bersifat intuitif dan imajinatif dalam menyampaikan kebenaran dalam kehidupan manusia. Bila para penguasa tidak peduli lagi dengan kritikan yang disampaikan secara langsung, maka karya sastra menjadi media alternatif untuk menyampaikan kritik secara perlambangan. Dan bila mereka juga tidak peduli dengan sindiran dan kritikan dengan bahasa perlambangan, berarti hati mereka telah buta. Meskipun hati mereka buta, karya sastra menjalankan fungsi sosialnya dengan menyampaikan kritik terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.***
Dr Junaidi adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak dan Dosen S-2 Ilmu Komunikasi UMRI. Telah menulis tiga buku telaah sastra dan budaya. Tinggal di Pekanbaru.
Janji dan Mimpi Perpustakaan Maya
Mohamad Fauzi
http://www.jawapos.co.id/
TEKNOLOGI hampir selalu membawa janji dan mimpi. Datangnya teknologi internet telah memperkukuh janji dan mimpi teknologi pada salah satu pilar dunia akademik, yaitu perpustakaan. Perkembangan teknologi informasi yang pesat mengarahkan perpustakaan konvesional menjadi perpustakaan maya (online library). Perpustakaan maya memberikan janji dan mimpi kemudahan, kecepatan, keterjangkauan, kemurahan, fleksibilitas, serta kemampuan mengatasi ruang dan waktu.
Pada 1945 atau 30 tahun sebelum penemuan PC (personal computer) dan 50 tahun sebelum lahirnya world wide web, Dr Vannevar Bush dalam salah satu esainya yang terkenal As We May Think memimpikan sebuah desktop personal yang akan mengambil alih semua perpustakaan. Dalam impian yang dia sebut Memex, Bush membayangkan sebuah keyboard dan layar yang memungkinkan penggunanya untuk menghadirkan ilmu pengetahuan umat manusia yang terkumpul menjadi satu. Bush membayangkan sebuah mesin yang akan mencatat lompatan-lompatan individu inspiratif melalui teks yang menjadikan peneliti mengatasi limpahan ilmu pengetahuan. Dalam Libraries of the Future (1965) yang terpengaruh pemikiran Bush, Douglas Engelbart, penemu mouse komputer, dan J.C.R. Licklider membayangkan perpustakaan digital yang dihubungkan dengan sebuah jaringan agar dapat diakses oleh para pengguna yang berlipat ganda.
Melihatnya dari titik sekarang, impian direktur Lembaga Pengembangan dan Penelitian Amerika Serikat (Office of Scientific Research and Development) itu tampak menjadi nyata bahkan di Indonesia. Sekarang ini sedang berkembang pesat perpustakaan maya baik yang dilakukan lembaga pendidikan seperti universitas, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya. Ribuan teks dan dokumen mulai didigitalisasi dalam berbagai bentuk (umumnya berbentuk portable document format/pdf) dan di-upload di perpustakaan maya.
Di Indonesia, hampir semua universitas sudah mulai melakukan digitalisasi perpustakaan, menjadi dan mengutamakan perpustakaan maya. Tahun ini, untuk menyebut beberapa contoh, unit pelayanan teknis (UPT) Perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM) menganggarkan dana Rp 1 miliar untuk berlangganan database jurnal online, sangat jauh lebih banyak dibandingkan dengan anggaran pengadaan koleksi cetak yang ”hanya” Rp 150 juta. Belum lagi perpustakaan di fakultas. Total anggaran UGM untuk berlangganan jurnal internasional mencapai Rp 5,8 miliar (Balkon Balairung UGM edisi spesial 2010).
Di kampus saya, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, UPT Perpustakaan pusat sudah menghabiskan dana Rp 300 juta per tahun untuk berlangganan jurnal online. Pengadaan perpustakaan maya itu tentu saja harus didukung dengan berlangganan bandwith internet yang biasanya mencapai miliaran rupiah. UNS, sebagai contoh, menghabiskan dana Rp 3 miliar setiap tahun. Hal itu juga terjadi hampir pada seluruh universitas di Indonesia.
Ada semacam kesadaran bahwa mahasiswa, dosen, peneliti, dan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia akademis dan ilmu pengetahuan sudah mulai technology-minded yang harus diakomodasi. Hampir semua orang punya komputer atau laptop yang memengaruhi dan mengubah kebiasaan mereka dalam belajar-mengajar. Universitas, pemerintah daerah, pusat perbelanjaan, kafe, dan sebagainya menyediakan area hotspot (wifi) dengan berbagai kecepatan akses (bandwith) dan kebanyakan 24 jam penuh. Para operator telepon sudah gencar memasarkan produk dan jasa internet prabayar. Sekarang juga sedang marak dipasarkan teknologi e-book reader yang digagas Apple dengan produk Apple iPad dan situs penjualan online Amazon dengan produknya Amazon Kindle, yang konon akan menjadi tren baru. Semua itu mulai mengukuhkan janji dan mimpi perpustakaan maya di masa depan.
Selain itu, perkembangan perpustakaan maya tidak lepas dari perlombaan berbagai universitas di Indonesia untuk “go internasional”, menjadi universitas riset dan world class university. Perlombaan itu tentu saja mengharuskan sebuah universitas untuk memfasilitasi diri dengan perpustakaan maya yang bisa diakses dari seluruh dunia. Maka, dilihat dari segi teknologi serta dari tantangan dan tuntutan masa depan, perpustakaan maya tampak tak terelakkan.
Tapi, seperti dikatakan Ian F. McNeely dan Lisa Wolverton (2010) dalam buku mereka Para Penjaga Ilmu dari Alexandria Sampai Internet, mengorganisasi dan mengelola sebuah perpustakaan pada akhirnya adalah sebuah tugas besar yang menjemukan, yang memerlukan komitmen serius untuk menjustifikasi faedahnya. Butuh orang-orang yang akan memanfaatkannya. Tapi, sayangnya, yang terjadi di berbagai perpustakaan universitas dan berdasar riset kecil yang saya lakukan, tak banyak mahasiswa atau dosen yang menggunakan perpustakaan maya bahkan sekadar tahu ada perpustakaan maya. Kebanyakan mereka malah asyik dengan Facebook. Di kampus saya, dari total dana Rp 3 miliar per tahun, sekitar 60 persen habis untuk Facebook dan download film serta musik.
Bandingkan dengan yang terjadi di negara-negara seperti Amerika Serikat. Mahasiswa di sana mulai beralih pada perpustakaan maya (online library). Menurut hasil survei Thomas and Dorothy di Leavey Library yang berada di University of Southern California (USC), 73 persen mahasiswa sudah tidak lagi ke perpustakaan karena mereka sudah terhubung dengan internet dan perpustakaan online. Hanya 36 persen mahasiswa S-1 yang meminjam buku, 12 persen yang datang ke perpustakaan untuk menggunakan jurnal cetakan, dan 61 persen dari pengunjung perpustakaan yang datang untuk menggunakan komputer yang disediakan. Bila mahasiswa ditanya perbaikan apa yang mereka butuhkan dari perpustakaan, mereka hanya meminta untuk disediakan lebih banyak komputer (Gardner & Eng, 2005). Berbeda jauh.
Meski demikian, masa depan ada di sana dan hasrat menglobal universitas kita sepertinya mengharuskan ke sana. Begitukah?
*) Mahasiswa Kajian Amerika Universitas Sebelas Maret (UNS) dan bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin Solo
http://www.jawapos.co.id/
TEKNOLOGI hampir selalu membawa janji dan mimpi. Datangnya teknologi internet telah memperkukuh janji dan mimpi teknologi pada salah satu pilar dunia akademik, yaitu perpustakaan. Perkembangan teknologi informasi yang pesat mengarahkan perpustakaan konvesional menjadi perpustakaan maya (online library). Perpustakaan maya memberikan janji dan mimpi kemudahan, kecepatan, keterjangkauan, kemurahan, fleksibilitas, serta kemampuan mengatasi ruang dan waktu.
Pada 1945 atau 30 tahun sebelum penemuan PC (personal computer) dan 50 tahun sebelum lahirnya world wide web, Dr Vannevar Bush dalam salah satu esainya yang terkenal As We May Think memimpikan sebuah desktop personal yang akan mengambil alih semua perpustakaan. Dalam impian yang dia sebut Memex, Bush membayangkan sebuah keyboard dan layar yang memungkinkan penggunanya untuk menghadirkan ilmu pengetahuan umat manusia yang terkumpul menjadi satu. Bush membayangkan sebuah mesin yang akan mencatat lompatan-lompatan individu inspiratif melalui teks yang menjadikan peneliti mengatasi limpahan ilmu pengetahuan. Dalam Libraries of the Future (1965) yang terpengaruh pemikiran Bush, Douglas Engelbart, penemu mouse komputer, dan J.C.R. Licklider membayangkan perpustakaan digital yang dihubungkan dengan sebuah jaringan agar dapat diakses oleh para pengguna yang berlipat ganda.
Melihatnya dari titik sekarang, impian direktur Lembaga Pengembangan dan Penelitian Amerika Serikat (Office of Scientific Research and Development) itu tampak menjadi nyata bahkan di Indonesia. Sekarang ini sedang berkembang pesat perpustakaan maya baik yang dilakukan lembaga pendidikan seperti universitas, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya. Ribuan teks dan dokumen mulai didigitalisasi dalam berbagai bentuk (umumnya berbentuk portable document format/pdf) dan di-upload di perpustakaan maya.
Di Indonesia, hampir semua universitas sudah mulai melakukan digitalisasi perpustakaan, menjadi dan mengutamakan perpustakaan maya. Tahun ini, untuk menyebut beberapa contoh, unit pelayanan teknis (UPT) Perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM) menganggarkan dana Rp 1 miliar untuk berlangganan database jurnal online, sangat jauh lebih banyak dibandingkan dengan anggaran pengadaan koleksi cetak yang ”hanya” Rp 150 juta. Belum lagi perpustakaan di fakultas. Total anggaran UGM untuk berlangganan jurnal internasional mencapai Rp 5,8 miliar (Balkon Balairung UGM edisi spesial 2010).
Di kampus saya, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, UPT Perpustakaan pusat sudah menghabiskan dana Rp 300 juta per tahun untuk berlangganan jurnal online. Pengadaan perpustakaan maya itu tentu saja harus didukung dengan berlangganan bandwith internet yang biasanya mencapai miliaran rupiah. UNS, sebagai contoh, menghabiskan dana Rp 3 miliar setiap tahun. Hal itu juga terjadi hampir pada seluruh universitas di Indonesia.
Ada semacam kesadaran bahwa mahasiswa, dosen, peneliti, dan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia akademis dan ilmu pengetahuan sudah mulai technology-minded yang harus diakomodasi. Hampir semua orang punya komputer atau laptop yang memengaruhi dan mengubah kebiasaan mereka dalam belajar-mengajar. Universitas, pemerintah daerah, pusat perbelanjaan, kafe, dan sebagainya menyediakan area hotspot (wifi) dengan berbagai kecepatan akses (bandwith) dan kebanyakan 24 jam penuh. Para operator telepon sudah gencar memasarkan produk dan jasa internet prabayar. Sekarang juga sedang marak dipasarkan teknologi e-book reader yang digagas Apple dengan produk Apple iPad dan situs penjualan online Amazon dengan produknya Amazon Kindle, yang konon akan menjadi tren baru. Semua itu mulai mengukuhkan janji dan mimpi perpustakaan maya di masa depan.
Selain itu, perkembangan perpustakaan maya tidak lepas dari perlombaan berbagai universitas di Indonesia untuk “go internasional”, menjadi universitas riset dan world class university. Perlombaan itu tentu saja mengharuskan sebuah universitas untuk memfasilitasi diri dengan perpustakaan maya yang bisa diakses dari seluruh dunia. Maka, dilihat dari segi teknologi serta dari tantangan dan tuntutan masa depan, perpustakaan maya tampak tak terelakkan.
Tapi, seperti dikatakan Ian F. McNeely dan Lisa Wolverton (2010) dalam buku mereka Para Penjaga Ilmu dari Alexandria Sampai Internet, mengorganisasi dan mengelola sebuah perpustakaan pada akhirnya adalah sebuah tugas besar yang menjemukan, yang memerlukan komitmen serius untuk menjustifikasi faedahnya. Butuh orang-orang yang akan memanfaatkannya. Tapi, sayangnya, yang terjadi di berbagai perpustakaan universitas dan berdasar riset kecil yang saya lakukan, tak banyak mahasiswa atau dosen yang menggunakan perpustakaan maya bahkan sekadar tahu ada perpustakaan maya. Kebanyakan mereka malah asyik dengan Facebook. Di kampus saya, dari total dana Rp 3 miliar per tahun, sekitar 60 persen habis untuk Facebook dan download film serta musik.
Bandingkan dengan yang terjadi di negara-negara seperti Amerika Serikat. Mahasiswa di sana mulai beralih pada perpustakaan maya (online library). Menurut hasil survei Thomas and Dorothy di Leavey Library yang berada di University of Southern California (USC), 73 persen mahasiswa sudah tidak lagi ke perpustakaan karena mereka sudah terhubung dengan internet dan perpustakaan online. Hanya 36 persen mahasiswa S-1 yang meminjam buku, 12 persen yang datang ke perpustakaan untuk menggunakan jurnal cetakan, dan 61 persen dari pengunjung perpustakaan yang datang untuk menggunakan komputer yang disediakan. Bila mahasiswa ditanya perbaikan apa yang mereka butuhkan dari perpustakaan, mereka hanya meminta untuk disediakan lebih banyak komputer (Gardner & Eng, 2005). Berbeda jauh.
Meski demikian, masa depan ada di sana dan hasrat menglobal universitas kita sepertinya mengharuskan ke sana. Begitukah?
*) Mahasiswa Kajian Amerika Universitas Sebelas Maret (UNS) dan bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin Solo
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati