Jumat, 25 Februari 2011

Sekarang Ide Multikulturalisme lebih Diterima

Akmal Nasery Basral, Budi Darma
http://www.ruangbaca.com/

BUDI DARMA selalu dikenal sebagai sosok bersahaja dan rendah hati. Ketika sedang mempersiapkan disertasi doktoralnya yang berjudul Character and Moral Judgment in Jane Austen’s Novels di Universitas Indiana pada 1979-1980, ia menulis novel Olenka yang menorehkan namanya dalam lanskap sastra tanah air. Jauh sebelumnya di tahun 1963 saat usianya baru 26, ia sudah menjabat Dekan Fakultas Sastra dan Seni IKIP Surabaya (kini Universitas Negeri Surabaya/Unesa), kampus yang juga pernah merasakan gaya kepemimpinannya sebagai rektor (1984-1988).

Namanya juga tercatat sebagai anggota Modern Language Association, New York, dan dalam buku Who’s Who in the World. Tetapi ia selalu menolak dipanggil dengan sebutan akademis yang sudah menjadi haknya: Profesor Doktor. “Saya tidak memiliki prestasi luar biasa untuk dipanggil ‘doktor’ atau ‘profesor’. Apa yang saya tulis selama ini adalah kewajiban,” katanya. Padahal sumbangsihnya bagi dunia sastra tidak hanya dilakukan lewat Unesa. Dalam kerangka kerja sama Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), Budi Darma membimbing cerpenis dan esais muda berbakat dari Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia dalam wadah Program Penulisan Mastera (1998—1999). Tahun-tahun sebelumnya ia menjadi guru besar tamu di Barat maupun Timur. Dari Northern Territory University, Australia, almamaternya di Indiana, Bloomington; Ocemania University di Hyderabad India, sampai Nanyang University, Singapura. Tak syak lagi, lelaki kelahiran Rembang ini adalah seorang guru dunia. Selasa 25 April lalu, sang guru berulang tahun ke-69. “Saya berterima kasih kepada Tuhan, apalagi relatif tidak ada masalah kesehatan,” ujarnya kepada wartawan Tempo Akmal Nasery Basral.

Lebih jauh Budi Darma memaparkan pandangannya tentang Sastra Dunia dan perkembangan astra Indonesia dalam sebuah perbincangan yang menyenangkan. Berikut ini petikannya.

Bagaimana rasanya berusia 69 tahun?

Ini proses alami yang wajar. Saya berterima kasih kepada Tuhan, apalagi relatif tidak ada masalah kesehatan.

Maksud saya dalam konteks kreatif …

Kurang waktu untuk menulis. Cara saya menulis itu harus nge-blok waktu, tidak bisa terputus-putus. Banyak sekali tugas akademis dan makalah ilmiah yang harus saya kerjakan.

Termasuk untuk Seminar Redefinisi Sastra Dunia di Universitas Indonesia Juli nanti?

Ya. Tapi saya belum sempat menulis makalah sama sekali.

Mengapa harus ada redefinisi Sastra Dunia? Apa perbedaannya dengan pemahaman selama ini yang mengacu pada dominasi sastra berbahasa Inggris atau bahasa utama dunia lainnya?

Kita harus melihat pasca Perang Dunia II, pada tahun 1950-1960, ketika sastra Inggris dan Amerika sudah kekurangan darah, padahal publik ingin membaca hal-hal baru. Mereka beruntung dengan adanya penulis-penulis migran dari India, Jepang, dan Cina. Keadaan serupa juga terjadi di Prancis, Jerman. Lalu terjadi pergeseran makna sastra, antara lain lewat wacana posmo yang menyatakan bahwa semua tulisan adalah sastra. Tak ada tinggi rendah dalam sastra. Tulisan pop juga sastra, seperti semua bunyi adalah musik. Karena itu definisi sastra dunia perlu dipikirkan lagi. Tapi ada masalah di sini.

Yaitu?

Sekarang yang merajalela adalah budaya pop yang suka dengan sesuatu yang baru, tak suka yang usang. Setelah Perang Dunia II, musik-musik yang sebelumnya tidak dianggap, tiba-tiba mengubah wajah musik dunia seperti The Beatles, The Rolling Stones atau The Doors. Tapi kemunculan sastra pop tidak sehebat musik The Beatles atau grupgrup lain sesudah itu sehingga ketika membicarakan sebuah standar baru dalam sastra, yang muncul tetap saja standar lama seperti Hemingway atau Kipling.

Apakah penerjemahan ke dalam bahasa Inggris tidak bisa menjadi jembatan agar sebuah karya bisa disebut Sastra Dunia?

Belum tentu. Sastra Malaysia sangat gencar menerjemahkan karya-karya mereka ke dalam bahasa Inggris dan memasarkannya ke berbagai penjuru dunia. Tetapi di toko buku, karya-karya itu diletakkan di bagian bawah rak, atau tempat-tempat yang tidak mendapat perhatian utama pengunjung. Posisi karya sastra sebuah negara atau bangsa sebenarnya berkaitan dengan kekuatan ekonomi, politik, dan kebudayaan mereka dalam konteks global. Faktor-faktor itu yang tidak dimiliki Malaysia.

Bagaimana dengan sastra negara-negara Afrika, misalnya Nigeria yang banyak melahirkan sastrawan dunia seperti Chinua Achebe atau Ben Okri, meski sebagai negara Nigeria tidak lebih kokoh posturnya dibandingkan Malaysia?

Mengapa Nigeria diperhatikan? Itu pertanyaan bagus. Menurut saya selain faktor bahasa Inggris yang mereka kuasai, juga menyangkut eksotisme. Kombinasi ini yang menyebabkan Chinua Achebe dan kawan-kawan lebih mendapat tempat dibandingkan sastrawan Asia. Dalam pandangan Barat, yang disebut Asia itu hanya India, Cina, dan Jepang yang meninggalkan jejak kebudayaan yang tinggi, terutama lewat pengaruh Hindu dan Buddhisme. Itu bagian dari eksotisme. Selain itu kiprah para penulis asal ketiga negara itu di Inggris atau Amerika juga meyakinkan seperti ditunjukkan Bharati Mukherjee.

Jika tadi disebutkan pengaruh Hindu dan Buddhisme yang lebih mudah diterima Barat, bagaimana terhadap agama lain, Islam khususnya?

Ada prasangka Barat terhadap Islam yang sesungguhnya telah terbentuk lama sebelum Peristiwa 11 September. Misalnya pada cerpen Anton Chekhov di abad ke-19. Salah satu cerpennya menggambarkan seorang tokoh lelaki yang ingin menikahkan anaknya dan mengundang banyak orang. Salah seorang tamu yang datang adalah pembantunya. Si tokoh ini melakukan salam cium kepada pembantunya seperti kepada tamu lain. Bukan berciuman, tapi salam cium. Tapi setelahmelakukan hal itu, istri sang tokoh kurang lebih berkata, “Saya percaya kamu tidak akan macam-macam, tetapi kamu ternyata pengikut Nabi Muhammad.” Contoh lain menyangkut kartun Denmark yang menghina Nabi Muhammad.

Menurut saya jejaknya bisa ditelusuri sampai karya Dante Alighieri terutama bagian Inferno.

Bukankah Olenka sangat terinspirasi oleh The Darling karya Chekhov? Bagaimana menjelaskan citra Chekhov yang bias terhadap Islam dengan Chekhov sebagai sumber inspirasi Anda?

Betul, tapi masalahnya kan berbeda. Yang saya ambil dari Chekhov itu perhatiannya terhadap isu kemanusiaan yang sangat kritis. Sama saja dengan novel Anda Imperia yang concernnya juga terhadap masalah kemanusiaan. Saya kira pengaruhnya juga dari banyak pihak.

Tentang Sastra Indonesia, bagaimana Anda melihatnya sebagai sastra nasional?

Sebagai wacana, Orde Lama melihatnya sebagai pluralisme. Ini buah dari kompromi Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane yang ditengahi oleh Ki Hajar Dewantara, sehingga muncullah rumusan seperti kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, dan seterusnya itu. Tapi sekarang yang lebih diterima adalah ide multikulturalisme. Artinya, semua bentuk kebudayaan daerah itu mendapat tempat yang sama. Semuanya adalah kebudayaan nasional, sastra nasional, termasuk kebudayaan Cina yang mulai diakui secara terbuka sejak pemerintahan Gus Dur.

Adakah contoh multikulturalisme sebagai bentuk sastra nasional di negara lain?

Contoh terdekat adalah Singapura. Sastra Nasional di negeri itu ada empat bentuk, yakni Sastra Melayu, Sastra Cina, Sastra Tamil, dan Sastra yang ditulis dalam bahasa Inggris. Semua diakui sebagai bentuk Sastra Nasional. Jadi kalau ide multikulturalisme ini mau kita gunakan di Indonesia, maka setiap karya sastra dalam bahasa daerah apa pun ditulis sesungguhnya adalah sastra nasional.

Menjelang pergantian millennium Anda menyebutkan adanya bagian dari aliran pokok Sastra Indonesia, antara lain “Sastra Kabur” dan Sastra Feminis. Bagaimana kecenderungan dalam 5-6 tahun terakhir?

Dulu jumlah pengarang kita terbatas. Sastra kabur itu mencoba mengikuti bentuk seorang penulis terkemuka tetapi tak jelas hasilnya. Kalau kita lihat di tahun 50-an, semua penulis ingin seperti Toto Sudarto Bachtiar. Setelah itu, semuanya ingin menjadi Sapardi Djoko Damono atau Goenawan Mohamad. Tetapi yang dihasilkan adalah kekaburan. Saat ini kesempatan menulis ada di mana saja, dan setiap individu bisa menulis tanpa perlu mengidolakan penulis sebelumnya.

Yang muncul adalah segmentasi seperti teenlit atau chicklit. Saat ini setiap hari muncul 15 novel dalam bahasa Indonesia.

Anda sempat baca chicklit dan teenlit?

Ya. Tentu tidak semua, tapi saya ikuti perkembangannya.

Tentang sastra feminis di Indonesia apakah ada perkembangan baru yang Anda perhatikan?

Sastra feminis harus dibedakan dengan emansipasi wanita. Yang terakhir ini sekadar memberi cita-cita seperti karya Sutan Takdir “Layar Terkembang”. Sedangkan feminisme adalah gerakan yang menyalahkan laki-laki. Semua karya NH Dini menunjukkan ini dengan “memaki-maki” lelaki. Ayu Utami menurut saya tidak termasuk feminis. Kecuali dalam pendeskripsiannya tentang seks, ada kesetaraan jender antara pria dan wanita yang jelas dalam karya-karyanya. Misalnya jika si tokoh wanita melihat seorang lelaki terlambat menepati janji, dia tidak akan bilang, “Dasar lelaki!”, tetapi “Dasar tidak bertanggung jawab.”

Apakah Anda melihat predikat post-novel dalam karya sastra Indonesia sebagai sebuah konsep yang bisa dipertanggungjawabkan secara teoritis?

Ini tentang Tuan dan Nona Kosong dari Hudan dan siapa itu yang wanita?

Mariana Amiruddin.

Ya, Mariana. Saya kira mereka berdua menginginkan kebaruan dalam bentuk penceritaan.

Berhasilkah?

Waktu yang akan menentukan. Tapi cerpen “Kota Kelamin” yang ditulis Mariana (dimuat oleh edisi minggu Jawa Pos akhir tahun lalu – red) lebih banyak seksnya ketimbang muatan sastra. Di sini (Surabaya – red) menjadi heboh sampai ada yang berkomentar, “Matamu picek.” Itu ungkapan keras sekali dalam bahasa Jawa Timuran.

Siapa penulis Indonesia yang karyanya sedang Anda baca?

Filosofi Kopi dari Dewi Lestari. Dia tampaknya menulis secara main-main tapi isinya serius.

Sekarang kita bicarakan karya-karya Anda sendiri seperti Orang-orang Bloomington atau Olenka. Setelah tiga dekade berlalu, sejauh mana relevansinya sekarang?

Masalah kemanusiaan dalam karya-karya itu rasanya masih relevan. Hubungan antarpersonal, dan bagaimana individu mendefinisikan dirinya sendiri dalam konteks masyarakat. Saya kira sama juga dengan Imperia yang mencoba menyodorkan universalitas kemanusiaan dengan mencoba menghubungkan apa yang terjadi di Barat dengan problem kemanusiaan di Indonesia.

Boleh tidak sekarang saya yang bertanya, ‘Bagaimana Anda sendiri melihat Imperia?’

Secara umum belum puas.

Itu bagus. Setiap penulis selalu merasa tidak puas dengan karyanya, dan hal itu yang menyebabkannya menulis lagi. Penulis Abasalom Absalom (William) Faulkner berkata, “Penulis yang mudah puas itu sama saja dengan bunuh diri.” Tetapi, ada juga penulis yang hanya mau menulis sekali dan merasa karyanya itu masterpiece. Contohnya adalah E.M. Foster yang menulis A Passage to India. Setelah menulis itu, dia berhenti.

Karya-karya Anda banyak mengandung lanturan (digresi) berupa loncatan-loncatan pemikiran dari persoalan pokok yang justru memperkuat tema utama yang ingin disampaikan. Tapi teknik ini tak selalu berhasil dilakukan penulis lain. Bagaimana caranya agar lanturan itu tetap dalam kontrol penulis?

Prinsipnya kalau semua lanturan itu diurut kembali, maka semuanya harus relevan dengan tema utama. Setiap penulis saya kira tahu kapan tema lanturannya mulai tidak relevan. Ketika itu terjadi ia harus stop. Tapi sepanjang masih relevan, lakukan saja.

Hollywood semakin sering membuat film dari novel Jane Austen. Yang terakhir adalah Pride & Prejudice. Bagaimana Anda sebagai pakar Austen melihat hal ini?

Karya-karya Austen itu selalu mengejek orang-orang snob. Pada jaman dia menulis, yang disindirnya adalah bangsawan-bangsawan kecil kelas kampung. Ada juga istri-istri bangsawan atau pejabat yang tiba-tiba menjadi penyair atau pembaca puisi. Ini jenis snobisme yang juga ada di Indonesia sampai sekarang, juga di banyak masyarakat.

Jika harus diringkas, siapa tiga sastrawan yang paling banyak mempengaruhi Anda?

Pertama tetap Chekov dan Tolstoy. Kedua, penulis Yahudi (Isaac Bashevis) Singer yang pernah menerima Nobel Sastra (1978). Karya- karyanya sangat dalam. Lalu Albert Camus.

PERANG-PERANG BERKENDALA

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Pada galibnya, lewat ujung senjata, mestinya Prabu Duryudana dan Bima Sena dapat memperlihatkan pertarungan dahsyat yang mengecutkan hati. Bharatayudha memperlihatkan, awal dan ujung pergulatan ini sebenarnya amat seimbang, karena sama-sama memiliki semangat kerbau jantan, dan sama-sama pula memendam dendam. Walau, di babak yang menentukan, Duryudana remuk kepalanya oleh gada rujakpala, sebagaimana saudaranya, Dursasana, yang lebih dahulu maju ke medan laga. Peristiwanya kiranya semirip Resi Bisma, yang oleh Pandawa dan Kurawa dihormati sebagai seorang pinisepuh yang berasal dari Poyang terdahulu, namun pada perang besar ini, dia justru memihak kerabat Kurawa. Adalah tragedi yang melecut sanubari, bahwa tokoh mahasakti ini harus menghadapi prajurit wanita Srikandi, yang sepenuhnya masih muda, lagipula tergolong alergis untuk menghadapi senapati-senapati tua, seperti Bisma. Toh, Bisma terguling oleh anakpanah-anakpanah merajam tubuh, dilepaskan oleh gendewa Srikandi. Anda, mungkin teringat kematian Prabu Salyapati oleh tangan Prabu Puntadewa(walau tak secara langsung), lantaran sukma Resi Bagaspati yang menagih janji kepada Salya (yang masa mudanya bernama Raden Narasoma) ini. Perang tanding dan perang memang berkelibatan, namun bukan saringgit dua kupang. Perang tanding, anya mempertemukan dua batin yang saling bertarung dan adu nalar, setelah zaman-zaman silam meracut kepahitan. Sementara itu, perang mempergelarkan rona-rona adu senjata dan adu-wawasan yang ingin saling meruntuhkan potensi masing-masing, setelah perundingan tak berhasil membikin titik temu yang dikehendaki. Tapi siapa harus dikasihani..?

2.
Berbicara tentangperang-perang Jawa yang berlangsung di abad ke-18, 19, hingga abad ke-20, senantiasa memperlihatkan garis yang kurang lebih sejajar. Kalau bukan karena semboyan “Ratu Adil” yang membawa konsekuensi pertahanan diri untuk melembagakan aksi-aksi kerakyatan yang radikal-keras semacam ini, maka acapkali juga bahwa kaum jelata menggunakan pula semboyan-semboyan yang berasal dari masa yang jauh silam, seperti bangkitnya kembali “Pajajaran Larang”,”Sigaluh Mimpang Jaya”, “Majapahit Rumuhan”, “Mataram Adiluwih”, yang dapat kita simak, pada pemberontakan Haji Kosim di Sindanglaya pada tahun 1886, Gerakan Nyai Dewi Rasminah di bekas tanah perdikan Ciasem (1890), Pemberonntakan yang dicetuskan Bagus Juntuk di Lowanu, Purworejo(1901), dan aksi bawah tanah yang diletupkan bekas dukun Jalampuan di Selang, Kebumen, penghujung 1903—di mana kesemuanya menyebarkan isim-isim, jimat-jimat, rajah-rajah, berikut ramalan yang membawa keesatan orang-orang kecil. Kesesatan di sini, misalnya dengan menunjukkan bahwa perang besar bakal tiba di akhir tahun, yang ditandai dengan kemarau panjang dan gerhana rembulan. Tindakan orang-orang rindu masa lampau, dan terdorong oleh gerakan berbau utopis ini, bukan lain adalah kepingin membangun Peradaban Lebih Jernih, seraya mengenyahkan pengaruh kebudayaan Eropa di satu pihak, dan membangun kembali kerajaan nenek moyang di pihak lain. Sebagai variant dari aksi-aksi sporadif begini, adalah warna keagamaan (biasanya Islam) yang disertakan sebagai bandingan, untuk menunjujjan, betapa unsur religious ikut dikumandangkan di langit kemelut jamannya. Dan bahwasanya, gerakan ini hanya bersifat lokal.

3.
Manakala gerakan Saminisme juga dipandang relevan untuk dibicarakan sebagai gerakan yang berlatar kerinduan akan zaan kemasan yang telah lampau, maka sementara itu kita saksikan, bahaimana dengan aksi diam, satyagraha, ahimsa, dan “senantiasa takkan melawan penindasan”, namun “dengan cita-cita dan sikap bertapa yang membisu”, mereka menggerakkan perlawanan yang meluas, kiranya nampak gambling telaahnya. Sedari 1880, lewat Samin Sepuh Suryowijoyo, hingga Samin Anom Suryosentiko, yang tertangkap di pertengahan tahun 1904—prinsip-prinsip juangnya meluas, hingga tertangkap ke berbagai distrik di Jatim dan Jateng. Aksi serupa pernah dilakukan oleh Mbah Suradal alias Kyai Jangkung, yang kala itu melebar ke wilayah kabupaten Pasuruan dan Probolinggo, hingga meresahkan penduduk, dan merepotkan penguasa Belanda. Bupati kedua wilayah tersebut, bahkan melakukan beberapa penghampiran, untuk melunakkan hati Kyai Jangkung, tapi sia-sia. Hingga dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 6 Maret 1880, diadakan suatu persetujuan yang ditandatangani di lereng GunungBromo, bahkan Dukun tertua di kwasana Siluwih, diangkat sebagai sesepuh adat Tengger. Ia diperkenankan melakukan upacara-upacara suci, tanpa diganggu oleh keributan dan kekisruhan wisata yang dikelola orang-orang kulit putih. Toh, pada tahun 1893, terjadi ontran-ontran Siwalan dan Trenggalung, karena tampilnya Mbah Jowaru alias Raden Adiratu, yang berhasil menghimpun anakcucunya yang tersebar di dukuh-dukuh tersebut. Dikisahkan, Dalem Kabupaten Malang sempat diserbu barisan berandalan desa dan selama hampir dua jam, Adipati beserta keluarganya di sandera. Baru huru-hara dapat ditanggulangi setelah pasukan Belanda dari garnisun kotamelakukan penyerbuan, membebaskan kabupaten, dan menewaskan Adiratu! Tapi tuntutan mereka, supaya kawasan Tengger dijadikan bumi perdikan, tak ditanggapi.

4.
Dalam pembentukan sikap yang lebih bersahabat serta lebih intim, maka dalam kehidupan pasca kemerdekaan, kita harus lebih meningkatkan lagi kerjasama yang berlangsung antara kelompok-kelompok sosial yang ada pada masa silamnya pernah terkotak-kotak dalam beberapa kasta yang setiapnya terasa mengembun amanat budaya yang cukup tinggi. Sebagai contoh, antara kaum ksatria yang tergolong ningrat di Jawa, dengan kelompok-kelompok waisya (usahawan) dan sudra (kelompok tanpa kerja, tanpa profesi) dan hingga paria (mereka tak terjamah, karena merupakan orang-orang urakan. Fungsionalitas yang menghubungkan antara kelas yang satu dengan yang lain, pada zaman Hindhu adalah fungsionalitas yang formal dan struktural, dan membawa serta kebutuhan massa yang jadi penyangga komunalnya, bahkan juga peneguh dinasti yang bertahta. Demikian pula, pertautan antara ksatruan dengnan kasta yang paling tinggi, yakni Brahmana—senantiasa terlihat akrab, lantaran yang disebut tertinggi itu berpengaruh dalam agama, tradisi, restu kehidupan, maupun tatanilai senibudaya yang mendukung legalnya pemerintahan. Memang sedari zaman pengaruh Islam di Jawa (akhir abad ke-15), saat matahari kerajaan Islam Demak naik, mengikis sisa-sisa kerajaan Majapahit, maka kasta ksatria “memenangi, bahkan Berjaya” di atas kasta tertinggi, sebagai pengganti brahmana-brahmana asli, pengaruhnya dikebiri, hingga menjadi kelas penaseat, tetapi secara pelan-pelan tak diberi peranan besar dalam politik maupun ekonomi. Hanya saja, mereka lebih banyak dilibatkan dalam persoalan-persoalan agama, adat istiadat dan kultur. Pada zaman Pajang dan Matarm (abad 16 hingga akhir 17), maka kelompok Wali lebih tersudut lagi, lantaran raja yang berkasta ksatria enggunakan gelar “Ratu, sekaligus Wali” (Khalifatullah Sayidin Panatagama), yang memotong jalur pengaruh Wali khususnya, dan ulama umumnya, lebih-lebih yang bersifat tradisional-agraris, sehingga wibawa mereka makin menipis di kalangan rakyat.

5.
Ujung ke ujung penguasaan terhadap kawula alit, niscaya mengandung seni yang lebih mudah ditelusuri, lantaran tatanilai yang diendapkannya, lewat pelbagai zaman. Kriteria apa yang kita pakai untuk mereka, sebagai dimensi-dimensi pembangunan manusia yang kompleks, ternyata membawa serta pemikiran pokok tentang esensi “ pengkastaan baru”. Artinya, bahwa seiring dnegan tumbuhnya patron-patron sosial yang meliputi kedaerahan yang luas ini, kita melihat, sejauh ini terdapat nilai tambah yang lebih akumulatif lagi, teruhlah, bahwa kelas yang tergolong priyayi, yakni kaum bangsawan, pada masa lampau memegang tongkat-tongkat kepemimpinan, dan pada masa kini, memiliki pula sarana-sarana pelestari kelasnya itu, dengan semakin banyak mencampuri bisini terselubung, yang sudah barang tentu di luar kesibukan yang “diizinkan oleh instansinya”. Penyalahgunaan wewenang juga terjadi pada lingkungan ini. Sedangkan kaum saudagar atau usahawan pada umumnya, banyak yang menggunakan lisensi berdasarkan koneksi yang diberkahi oleh”perkenalan dekat dengan pihak yang di atas”, yang tiada lain adalah alat-alat administrasi resmi pemerintah. Sudah jelas, dua kelas bersaing untuk memperebutkan lahan-lahan rezeki, bahkan terjadi pula sudra dan paria, yang menjadi kelompok yenga terseret kesana-kemari, mengikuti arus limbahnya pihak yang berwenang, masih terus menjadi Si Lebai Malang, dewasa ini.

6.
Buana berkembang, karena peperangan jua. Kisah pewayangan di dalam perbendaharaan susastra Nusantara acapkali menyuguhkan untar-gemuntang peperangan, yang bukan hanya diselimuti oleh kemelut tak berkesudahan, melainkan juga lebih banyak disulut oleh saling tuding, salah-menyalahkan, serta keserba-ingintahu-an dari pihak-pihak yangtak mempunyai tenggangrasa yang baik. Kemungkinan yang dapat ditarik dari pecahnya pemberontakan kawula cilik dalam percaturan babad-babad setempat, memperlihatkan bagaimana mereka saling “tidak diacuhkan” sebagai warga besar komunitas terhormat, yang diterjang-diganyang, dalam artian prinsip bertetangga baik. Atau, dengan meminjam falsafah perang Dunia Timur (Hindhu-Tiongkok), sifatnya mementingkan keluhuran motif, tak jarang untuk menegakkan sesuatu missi yang dianggap luhur. Namun demikian, jika sifatnya berandalan, ontran-ontran, jelas tiada motif luhur, selain kepentingan sektoral, kepentingan segelintir orang yang tanpa pikir panjang, tanpa rencana terperinci. Maka menjadi kewajiban kita semua, untuk mencegah konflik berkepanjangan jika soalnya hanya berkisar pada ukuran moral yang belum punya standard tertentu, yang masih kudu dimusyawarahkan. Dan itulah yang patut diingat, keutuhan bangsa jadi dasar-pijak tindakan!

* Penanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]

Sitok Srengenge: Puisi sebagai Pertaruhan Berbahasa

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Dia menulis dengan bahasa yang sangat puitis. Barangkali inilah modal utamanya sebagai penyair—belakangan juga mencatatkan diri sebagai penulis prosa yang liris dan puitis, yang hanya bisa ditandingi oleh kejernihan bahasa prosa Nukila Amal. Terus terang, saya iri dengan kemampuan bahasa Indonesia yang dimilikinya. Bahkan, saya tak bisa menyembunyikan keterpesonaan setiap kali memukan sajak-sajaknya. Selalu ada semacam godaan untuk mengikutinya, jadi epigonnya, atau mengambilalih, atau memiuhnya. Mungkin benar kata sebagian orang: tulisan yang bagus akan selalu menggoda orang untuk jadi pencuri.

Sang mualim itu bernama Sitok Srengenge. Sebuah nama keren alias beken. Mungkin orang tuanya pernah bermimpi diberi nama seindah dan secantik lenggak-lenggok permaisuri. Atau mendapat ilham, atau diberi seorang petualang, atau apa saja. Yang jelas orang tuanya pasti tidak pernah mengira kalau anaknya akan jadi penyair. Penyair yang punya modal kata dan bahasa. Bukan menyair asal menyair.

Sebagai penyair namanya memang telah tercatat, tapi tak begitu mendapat tempat sesuai dengan kadar dan kualitas sajak-sajaknya. Apresiasi dan kritik yang dialamatkan pada puisi-puisinya sayup-sayup sampai, bahkan nyaris tenggelam oleh kehadiran ratusan penyair yang lebih muda darinya. Padahal, bila dibandingkan—bisa juga dibaca dipertandingkan—dengan kadar puitik yang dimiliki sejumlah penyair generasi 1990-an yang terlanjur ditahbis sebagai penyair kuat, belumlah seberapa dengan kadar puitik yang dimiliki penyair kita yang satu ini. Kecerdasannya merangkai kata bahasa Indonesia jadi puisi menawan hati, terhitung amat langka. Setiap kali saya membaca puisi dan prosanya, saya seperti sedang berhadapan dengan seorang jenius di lapangan kata-kata. Pilihan kata amat diperhitungkan, imajinya menawan hati, ritmenya sangat terjaga.

Saya mengenal Sitok mula-mula lewat puisi Takbir para Penyair, yang belakangan saya anggap sebagai sajak kurang menggigit bila dibandingkan dengan sajak-sajaknya yang muncul kemudian. Sebagai sebuah takbir, sudah sewajarnya jika sajak ini dimulai dengan kata “Atas nama para penyair”, yang mirip dengan bunyi slogan para demonstran: “Atas nama rakyat!”

Kekuatan Sitok rupanya bukan di situ; bukan pada kata-kata yang membahana semacam itu, apalagi sampai berpanjang-panjang seperti sajak Takbir para Penyair yang meletihkan membacanya. Kekuatan Sitok ada pada kesederhanaan ungkapan, pada kejernihan kata-kata dan metafor yang ”nirpolitik” serta tidak dibuat-buat.

Kalau puisi Takbir para Penyair adalah kredo, maka Sitok salah memilih kredo. Seharusnya ia memilih kredo Osmosa Asal Mula yang bicara ihwal persenyawaan yang mantap, atau sajak Elegi Dorolegi. Sajak Obituari Bulan juga lumayan bagus. Sajak ini dibuka dengan kisahan atau sebuah penceritaan tentang seorang bocah di Jawa, entah biografis sifatnya, atau potret dari suasana kampung halaman. “Anakku tidur menduga-duga bulan/dan di kelas matanya masih menyimpan malam/ketika ibu guru mengajari matahari/anakku lalu menggambar cakrawala, lautan/perahu layar tanpa nakhoda, dan/rok ibu guru dipermainkan ombak pasang/Ibu gurunya dimakna ikan”.

Sajak ini sangat lucu, dan membuat saya ingin tertawa. Rupanya Sitok bisa juga menulis sajak humor yang kena. Tapi bukan macam ini juga sajak Sitok yang menurutku termasuk yang tercantik dan terindah. Namun sajak yang bagaimana, tunggu dulu dan bersabar, saya ingin mengutip sajak Teluh Lanang yang agak merayu dulu. “Ketika kuntum cinta rekah di hati perempuan/dan suara geliat kelopaknya menjadi kata-kata/meluncur ke arah lelaki/sesungguhnya telah dicipta telaga di rahimnya/ditumbuhi buluh-bulu sepi”.

***

Sitok mempesona saya karena kepiawaiannya menghadirkan gersik kata-kata yang bisa menggoda kediam-dirian. Sajak-sajaknya di bawah ini, semuanya menggunakan bahasa yang indah dan nyaris tak ada bahasa yang sia-sia, apalagi sampai cacat. Semuanya penuh perhitungan dan ketelitian. Kadang sangat hemat kata, tapi kadang pula mengurai panjang menyusuri kelokan, mirip aliran sungai yang menyusuri tebing dan bebatuan.

Taak banyak penyair yang lihai serta piawai menghadirkan frase puitik, seperti “penyair terlunta dikutuk kata” dalam sajak Sonet Situmorang. Kata-katanya khidmat dan jauh dari bahana. Iramanya tenang namun bisa menggelembung bagai aliran pasir yang dibawa bandang. Perhatikan susun larik-larinya, atau cerna alunan irama dan pilihan katanya yang cerdas.

Malam dingin yang kesepian turun berjingkat dari Eiffel,
seakan ingin cari teman dan menghayati hangat mantel
Seusai risau mondar-mandir di bawah gedung tua
dia dekap kau, penyair terlunta dikutuk kata

Lidahnya lembut
menelusup ke lekuk-lekuk kulit kisut
Jantungmu bagai diremas gairah,
gelembung masa lalu membuncah di sungai sejarah

Berkemaslah, sebelum maut
sembari kenang pohon renah berlumut
yang kau titi melintas jurang
di belantara rimba nenek moyang

Dari dulu Seine mengalir, mengairi akar anemun dan angkuli
Kau pun tahu, tanah air tak sekedar gurun dan melankoli

Sekalipun bicara soal mitologi, elegi dan tragedi, sajak-sajaknya tidak jatuh jadi klise. Sitok memang banyak menimba mitologi Jawa dan tembang pesisiran dan lagu dolanan anak kecil di Jawa. Tapi tidak hanya Jawa dunianya, terbukti ia juga menulis sajak dengan tokoh dunia.

Tapi saying Sitok tak selamanya terpesona pada hal-hal kecil yang remeh. Ada beberapa puisinya dengan judul besar dari tokoh besar. Bagaimana penyair ini menafsirkan sosok Prometheus hingga terasa tidak akrab bahkan bagi orang yang sudah lama tahu tentang tokoh ini. Prometheus dalam tafsiran Sitok tentu berbeda dengan tafsiran Wiratmo Soekito. Prometheus dalam puisi Sitok lebih sunyi dan tidak sok cerdas, mengalami nasib yang tidak bebas sehingga memunculkan solidaritas dari aku. Tokoh mitologi ini dilukiskan sebagai sosok yang menyeru zaman baru dengan pengorbanan yang berdarah-darah.

Prometheus

Dengan rasa sakit yang sama, Prometheus,
aku pun diberangus,
Ketika kugenggam api
kehangatan beranjak
dan buku-buku jari
yang gemetar meraut sajak Baca! Dan akan kudengar rintih
pra penghuni generi laut yang air matanya buih

Ini kali, kali-kali berhasrat merasai lagi
geletar arus dalam nadi,
berbukit menggigil dalam sepi
rindu hangat tubuh lelaki
Kelak, kata-kataku akan menetas
di tebing-tebing cadas
Baca! Dan barangkali kau tak lagi bertanya:
hati siapa diresapi cahaya

Langit berkelepak
mengirim jerit selaksa gagak
Amarah menderu bagai Guntur
jatuh tercurah hujan sangkur
melukai kalbu yang menyeru zaman baru
darahnya mengalir ke dalam sajakku

Bahasa yang digunakan Sitok sangat berbahaya karena sangat bagus, tapi pilihan judul itu memperlihatkan semangat intelektualisme. Pilihan kata dan diksi tidak asal-asalan, melainkan penuh perhitungan. Pada titik ini, atau dalam sajak tadi, Sitok menghadirkan kekayaan kosakata bahasa Indonesia yang telah jauh lebih maju dibandingkan jaman Pujangga Baru.

Cukup banyak pembaca yang mengakui keindahan bahasa yang digunakan Sitok dalam sajak-sajaknya. Ada sebuah cerita yang menyedihkan ketika novel Saman Ayu Utami terbit. Beberapa penyair di Lampung tidak percaya kalau novel indah itu ditulis oleh Ayu. Mereka meyakini Sitok-lah yang menulisnya mengingat bahasanya dekat sekali dengan puisi-puisi Sitok.

Tentu saja hal itu meremehkan Ayu, dan sampai sekarang saya berkeyakinan Ayu Utami-lah yang menulis novel itu. Bahwa kemudian Ayu menulis novel Bilangan Fu dengan bahasa yang jelek, tema yang sudah banyak digarap, isi yang terlampau dirayakan hingga nyaris jadi novel pemikir yang garing.

Sejak buku puisi pertamanya, sudah tampak bakat Sitok. Sekarang bukan lagi bakat, tapi terlatiih menulis sajak-sajak bagus. Beberapa tema sajaknya dekat dengan pengucapan puisi Rendra, seperti sajak Rangkasbitung menarik dibandingkan dengan Orang-orang Rangkasbitung, sajak Elegi Dorolegi juga dekat dengan Rendra. Bedanya terletak pada sajak-sajak Sitor yang tidak realis, atau tidak berambisi untuk menjadi sajak sosial apalagi pamflet. Jadi kesimpulannya: kedaunya beda.

Sajak Peniup Angin juga sajak cantik yang hanya bisa lahir dari Sitok. Ingin saya kutip seluruhnya, sajak ini agak panjang dan menghabiskan ruangan saja. Tapi kalau dikutip sebagian sangat saying karena bisa jadi justru yang tidak dikutip adalah yang bagus. Marilah saya kutip seluruhnya saja agar pembaca bisa kembali menyedap-nyedapkan diri dengan sajak Sitor:

Peniup Angin

Peniup angin yang kaukisahkan padaku ketika sebelum subuh
terdengar lenguh menjauh
susut- di padang-padang rumput yang menggelepar
dirambahi birahi kuda liar
telah membekaliku sehimpun getun
ke stasiun
Maka kubayangkan sekuntum kembang
rekah pada sebuah rembang petang
yang belum tersusun
yang kelak akan kautemu begitu kau terperanjat bangun,
dan akan kaupandangi pintu yang lupa kaukunci:
seseorang yang lama kaulupa telah nyelinap ke dalam mimpi Namun
kereta keburu tiba
lalu berlalu membawamu, meninggalkan duka,
sepi menggumpal di pucuk-pucuk menara
Jalanan licin menggelincirkan jejakmu ke kanal,
aku tersesat dalam labirin angan yang banal

Di angkasa salju masih tertebar di antara halimun fajar
bagai sperma dan ovum memancar
Kesunyian
bangkit dari lengang taman,
beku bangku batu, tempatku dulu menunggu kau
turun dari trem lantas bergegas penuh pukau
ke arah harum tembakau
Dari balik pohon oak,
gadis cilik berambut perak menangisi
kupu mati

Angin menghampar, menghantar
suatu senja suaramu samar, kata-kata gemetar:
Cinta bukan padang-padang yang menunggu,
melainkan kincir yang berporos di pusar kalbu,
berderak karena angin,
bergerak karena angin,
Dan kincir yang mengulirkan putting beliung lantaran kaupelintir dengan
lengking dan ruang
ketika malam padang rumput menggelepar
dan lenguh birahi kuda liar,
merekahkan sekuntum kembang
Dan sedentum kenang
Namun telah ditinggalkan bangku batu itu,
barangkali padang-padang tetap menunggu
Dari jauh kupandang kau turun dari trem, penuh pukau
coba menangkap kupu yang terbang ke harum tembakauku

Dahsyat. Cantik. Bagus. Entah istilah apalagi. Sitok memukau kita dengan sajak-sajak lirik yang berprosa, bercerita dengan warna-warni kehidupan yang mempesona. Dari mana Sitok memperoleh ilham ketika menulis puisi itu? Mungkinkah dari diskusi soal seks yang sejak 1990-an kembali bergemuruh di negeri ini? Melihat tahun sajak itu ditulis, ia sama dengan enam sajak seks Goenawan Mohamad yang cantik dan rupawan.

Masih banyak sajak Sitok yang menggoda kita untuk menjamahnya. Bila perlu bersetubuh dengan intim sebelum subuh menjelang dan fajar singkat melambai di kejauhan sebagai tanda perpisahan. Sajak yang paling mencekam saya, selain yang sudah dikutip, adalah sajak Elegi Dorologi. Agaknya saya perlu kutipkan secara utuh sajak indah yang dekat dengan dolanan anak-anak dalam sajak-sajak Rendra ini:

Di pelataran, di bawah benderang bulan,
ia bimbing anak-anak dengan dolanan dan nyanyian:
Gobak sodor, jamuran, pencari ubi, ayam hilang,
berkejaran, berjalin dengan melingkar, bergamit bahu memanjang
Di hamparan tanah lapang, di atas rerumputan,
di bawah curah cahaya bulan!

Para orang tua duduk bersila di gelaran tikar pandan,
khusuk berbincang tentang musim, hama, tanaman:
cara berdamai dengan alam yang setiap nyari
dijagai para peri,
berkarib dengan nasib, kekuatan akbar
yang bertahta di luar nalar,
demi tahu
bagaimana menggembalakan waktu,
membaca rahasia semesta
jagat kecil dan jagat besarnya,
menyatukan diri
dengan langit dan bumi
Mengurangi tidur dengan tapa, berjaga hingga malam larut:
bencana bagi yang lena, keberuntungan bagi yang siaga
menyambut

Berhadapan dengan sajak Sitok saya agak gugup. Jangan-jangan sajak itu bukannya memperjelas, malah jadi gelap karena sangat privat. Saya kekurangan bahan pengalaman untuk bisa menyelam di kedalaman irama kata-katanya, sehingga saya khawatir jangan-jangan yang akan hanyut dibuai oleh imaji-imajinya. Apalagi ketika berhadapan dengan sajak Osmosa Asal Mula, sungguh tak mudah dan bisa bercumbu dengan maknanya—karena memang ada segurat makna yang masih rahasia dan meminta untuk dikuak.

Osmosa Asal Mula

Aku bertanya kepada angin,
dari mana asalnya angan
angin menggoyangkan pucuk-pucuk daun
dan kusaksikan pohon-pohon melukis lingkaran tahun

Aku bertanya kepada pohon,
dari mana datangnya waktu,
pohon meekahkan kelopak bunga
dan kusaksikan lebah hinggap menghisap madu

Aku bertanya kepada lebah,
dari apa sel yang tumbuh jadi tubuhku,
lebah menggumam terbang ke dalam gua
dan kusaksikan kelelawar menangkap kuping di
dinding batu

Aku bertanya kepada kelelawar,
dari mana awalnya suara,
kelelawar mengepak sayap ke langit malam
dan kusaksikan embun bergulir serupa sungai

Aku bertanya kepada sungai,
dari mana sumber ai susu
sungai menjulangkan gunung
dan kusaksikan lembah bergaun kabut

Aku bertanya kepada lembah,
dari mana mulanya tabu,
lembah menyingkapkan gaun
dan kusaksikan bumi bugil menggeliat anggun

Aku bertanya kepada bumi,
siapa yang melahirkan Ibu,
bumi tersipu, tapi kudengar laut menyahut,
“Ia bersaksi atas fakta, namun tak berdaya untuk
bicara!”

Aku bertanya kepada laut,
siapa yang menampungnya,
laut menggelora, tapi kerontang
sebelum usai membilang Nama

Ingin saya berhenti sampai di sini. Menyerah. Kalah. Sebab saya kehilangan kata untuk memaknai sajak-sajak Sitok yang gaya dan bentuknya belum pernah aku temukan. Tapi sajak “Sonet, Sonya, dan Nannet” melambai-lambai memanggilku untuk menghidupinya, atau malah menikamnya sampai mampus.

Kalau ada lomba penulisan kata-kata yang indah dalam bahasa Indonesia, mungkin yang juara pertama adalah Sitok dan juara kedua Nukila Amal. Bahasa Sitok lebih menjanjikan ketimbang bahasa prosa Nukila yang membuat banyak pembaca terkesima dan takjub tak percaya. Tapi ada satu hal kekuarangan Nukila: kedalaman kata-kata. Walau pun kedalaman adalah bahasa ruang, tapi sajak-sajak Sitok tidak cetek dan dangkal. Ia tak terhalang oleh ruang, bahkan melampauinya dengan sangat berani.

Kadang saya tergoda untuk mencoba membandingkan larik-larik sajak Sitok dengan larik-larik puisi Sapardi, tapi saya urungkan karena keduanya sangat jauh berbeda. Kalau pun ada satu-dua kata dan gaya yang sama, itu lumrah saja. Bagaimana pun Sitok telah punya gaya sendiri, sudah mengantongi modal sebagai penyair, yaitu bahasa yang khusus yang tidak dipunyai penyair lain.

Bagaimana pun sebuah esai mampu menantang atau mengimbangi metafora dan personifikasi yang dihadirkan Sitok. Dan bagaimana pula mau menilai sajak Sitok jelek kalau saya terpesona, bahkan larut dalam pesona. Lalu dengan apa aku harus melanjutkan telisik yang tidak indah ini, atau yang dipaksa-paksakan agar jadi esai yang indah ini? Daripada suntuk melulu, baiklah saya kutipkan lagi satu sajak Sitok.

Engkau Ingin

Semula aku sangka kau gelombang
tapi setiap kali aku renangi
Engkau menggasing bagai angin
Peluh membuncah dan ruh dan tubuh gelisah
adalah ibadah bagi Cinta tak berjamah
Di situ, kunikmatkan teduhmu
sesekali sebelum kau berhembus pergi

Aku buru suara seruling di jauhan
yang kutemukan dedahan bergesekan
Aku termangu tertipu gerakmu
sehening batu di kedalaman rinduku

Kini aku tahu, tak perlu memburumu
Engkau hidup di dalam dan di luar diriku
–tak berjarak namun teramat jauh
teramat dekat namun tak tersentuh

Jika benar engkaulah angin itu
semauku akan kuhirup kamu
Dalam jantung yang berdegup
engkau gairah baru bagi hidup
Mengalirlah darah, mengalir
dalam urat nadi Cintaku
krenamu, Kekasihku!

Benar kata orang, tidak semua sajak bisa diterjemahkan. Tidak semua sajak mengandung makna yang pekat. Ada kalanya kita cukup menikmati ritme dan aliran bahasanya, tapi kadang perlu juga menjelajah di kedalaman hidup di dalam dan di luar dirinya agar hidup tidak mampet.

Sajak-sajak Sitok bisa cidera di tangan pembaca seperti saya. Hanya karena ada larik berbunyi “Peluh membuncah dan ruh dan tubuh gelisah”, lalu semena-mena saya katakan ini sajak persetubuhan. Karena ada kata “sehening batu di kedalaman rinduku”, lalu saya tafsirkan ini sajak tentang kerinduan kepada kekasih. Lantaran ada bunyi “Engkau menggasing bagai angin”, lalu saya terbuai dan mengatakan ini metafor yang cantik, bahkan sangat cantik. Mentang-mentang ada bisikan “engkau gairah baru bagi hidup” lalu menyebut sajak ini sebagai sajak jatuh cinta.

Tapi, sebagai pembaca, sejauh diniatkan untuk sungguh-sungguh membaca, saya kira sah-sah saja untuk bebas menafsirkan. Bukankah seorang pembaca juga seorang yang bergelut dengan kata. Kalau penyair disebut si Tukang Syair, si penafsir bisa dipanggil “Tuan, Pembaca”, kata Sitor Situmorang. Hanya dengan membaca, sebagai pembaca, laku pribadi terasa lebih menggairahkan.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

KISAH PARA PEREMPUAN PERKASA

(Di balik Buku Puisi Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang, F Aziz Manna)
S. Jai *)

http://ahmad-sujai.blogspot.com/

SAMPAI detik ini, makluk paling misterius masih tetap perempuan.

Sepanjang perjalanan sejarah, sejak takdir padanya baik yang datang dari luar diri maupun yang direbut olehnya menunjukkan hal itu. Sejarah yang kemudian dimitoskan (atau sebaliknya) seperti halnya Oidipus Complex, Sangkuriang, Malin Kundang, Theodora, juga kisah-kisah perempuan di mata agama mempertontonkan diri sebagai makluk yang amat misterius. Kita tentu masih ingat kontroversi seputar kehidupan pelacur di sekitar Yesus.

Bahkan misteri perempuan tak habis hingga dunia keseharian kita, hari ini.

Seorang perempuan pemilik warung bernama Mak Mursinah di depan Kampus Unair, tidak minta menjadi ibu dari ratusan mahasiswa-mahasiswa Unair yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi langganannya. Tetapi dia tunjukkan itu—kasih sayangnya laiknya kepada anaknya sendiri– dan mengispirasi banyak mahasiswa-mahasiswa untuk kemudian menjadi orang: guru, wartawan, penyair, karyawan. Bahkan diantara mereka yang telah menjadi orang masih kerapkali bertandang—salah sebagian diantara mereka ada yang menjadikan Mak Mursinah sebagai objek penyusunan skripsinya.

Sepeninggalan suaminya kurang lebih 10 tahun lalu, praktis Mak Mursinah mengelola warung sendirian sebagai nakhoda dan tak satupun bidang usaha lainnya sebagai penyangga. Dua anaknya, perempuan. Seorang punya anak satu dari hasil perkawinannya yang gagal. Lalu, seorang lagi berkat kegigihan Mak Mursinah melobi pimpinan Unair, bisa kuliah dan mengambil jurusan Teknis Perpustakaan. Kini pun telah menikah dan menjadi PNS di sebuah Rumah Sakit TNI di Jember.

Pengalaman batin Mak Mursinah diserap tidak saja oleh anak—yang kini salah satunya mewarisi usaha warungnya—tetapi juga oleh sekian banyak orang yang pernah dekat dengannya dan merasa sebagai “anak kandungnya.” Ketika diantara mereka menikah, Mak menjadi informasi satu pintu. Mak memberi petuah, mengirimkan amplop ‘becek’an.” Demikian saat cucunya khitanan, “anak-anak kandungnya” yang lain menjadi undangan utama secara sukarela. Sikap sukarela yang sama diberikannya pada waktu berebut membantu kerepotan Mak Mursinah tatkala warungnya diobrak oleh petugas Satpol PP.

Memang selaku orang miskin dan terpinggirkan, dalam kondisi paling kritis, Mak Mursinah bisa mempertontonkan ketegasannya saat ada seorang yang hendak menyaingi usahanya. Mak tegas melawan—tentu saja dengan bahasa dan alasan yang sangat esensial. Lalu, ketika putrinya lolos tes masuk perguruan tinggi, tapi tanpa biaya, Mak dengan lembut melobi pucuk pimpinan kampus.

Semua itu, sebagai bentuk “keperkasaannya” gamblang diapertontonkan justru saat suaminya telah tiada. Barangkali suaminya turut andil atas kepribadian dan sikapnya seperti ini. Mungkin juga keadaan sosiallah yang mengajarinya. Bisa pula gabungan dari keduanya, meskipun bisa jadi peranan yang paling besar atas kematangan jiwa Mak Mursinah adalah trauma sepeninggalan suaminya.

Pertanyaan pentingnya, mestikah trauma pada perempuan berbuah spirit teguh seperti itu?

Kisah-kisah seperti itulah yang banyak mengilhami puisi-puisi F Aziz Manna yang terkumpul dalam buku Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang (Diamond, kerjasama DKJT, FS3LP, CeRCS, November 2010). Aziz banyak melakukan penggalian potensi estetik puisinya di warung milik Mak Mursinah. Lingkungan seperti itu memang memungkinkan Aziz menciptakan tokoh perkasa Siti Surabaya dalam sajaknya yang tergencet hingga ke komplek pelacuran pinggiran kota Surabaya.

Meski ada suara bernada “kiri” dari sajak-sajak Aziz Manna, namun demikian amat berbeda bila dibanding nasib tokoh Annelies, dalan novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Annelies, yang menjadi korban seks brutal di kebun tebu oleh saudaranya, oleh Pramoedya justru dibunuh dalam perjalanan kembali ke Nederland dan jauh dari upaya pengarang untuk membangkitkan kesadaran jiwa tokohnya sendiri.

Lebih dari itu, dunia batin perempuan korban brutalitas seks laki-laki, sangat menarik di tangan pengarang novel populer yang sangat cemerlang Paul I Wellman. Ia melihat potensi seks sebagai suatu yang luar biasa potensinya. Pada novelnya Wanita, yang bersetting di Romawi pada abad-abad permulaan, Wellman menyusun biografi perempuan bangsawan yang mengawali karirnya dari dunia hitam.

Theodora adalah pelacur muda di Konstantinopel. Dia sangat cerdas, pemberani, dan setia. Sifat-sifat itu membawanya dari lumpur jalanan Konstantinopel sampai ke puncak kemaharajaan. Kecerdasan dan ketegasannya selalu menyelamatkannya. Dia pernah dibuang dari Konstantinopel, lalu sekali lagi diusir sehingga terpaksa mengarungi keganasan Sahara. Meskipun demikian, perlahan tapi pasti, Theodora membawa dirinya kembali ke Konstantinopel. Tapi tidak lagi sebagai pelacur, melainkan menjadi maharani.

Dunia hitam yang digambarkan Welman syarat dengan problematika kemanusiaan, dan Theodora berhasil gemilang menjadikannya kegairahan untuk berbicara dalam konteks yang lebih luas: politik dan kekuasaan dengan segala intriknya. Yang menarik dari tokoh ini, tampaknya pengarang mengamini betul apa yang diyakini oleh Sigmund Freud bahwa pada manusia yang paling menjadi dasar dari keberlangsungan hidup adalah insting seksual dan agresi (id) sementara ego dan superego hanyalah berfungsi penyeimbang.

Terbayangkah jiwa Theodora oleh Aziz Manna bila itu terjadi di komplek-komplek pelacuran pinggir kota semacam Kremil di Surabaya? Jarang dibicarakan kualitas seksual perempuan apakah berbanding lurus atau terbalik dengan daya survivalnya dalam kehidupan nyata yang lebih kompleks. Seringkali masyarakat menggunakan ’standar laki-laki’ untuk menaklukkan perempuan, termasuk seksual. Peran khusus perempuan dalam hal hamil, melahirkan, menyusui, bahkan seks dilihat bukan sebagai kekuatan, melainkan sebagai kelemahan dan justru mempersempit subtansi keperempuanan yang tidak dilihat sebagai suatu fitrah adi kodrati demi kelestarian umat manusia di bumi. Bahkan tak jarang daya survival perempuan dalam kehidupan sehari-hari yang tinggi oleh kaum lelaki dinilai merupakan konsekuensi akibat fungsi seksualnya yang abnormal. Tentu saja ini suatu asumsi yang didasari pola pikir yang sama sekali tidak adil terhadap kaum perempuan.

Berbeda semisal ketika kita musti mengisahkan kekaguman pada sosok perempuan dalam diri ibu. Meski sangatlah subjektif karena semua umat manusia punya ibu, namun bangun superego dari sosok ibu relatif lebih kukuh, terlebih bila disangga oleh kehidupan sehari-hari seorang ibu yang perkasa dimata anak-anakknya, berjuang demi masa depan anak-anaknya, sehingga juga lebih gampang bagi putra-putrinya untuk melihat ke dalam cakrawala yang lebih luas secara manusiawi.

Perkecualian: bagi anak-anak yang dendam pada sosok ibu kandungnya. Manusia semacam ini kelak berbahaya melakoni kisah kemanusiaan, apalagi yang meluaskan cakrawala pelbagai ranah sosial, ideologi, budaya, politik, lingkungan dan sebagainya. []

*) Penulis adalah Kepala Devisi Seni Budaya Center for Relegious and Community Studies Surabaya.

Ann dan Saya: Sebuah Perjumpaan

Abdul Aziz Rasjid
http://sastra-indonesia.com/

Sepanjang pementasan dari dua kelompok teater yang semalam saya tonton di gedung KORPRI Purwokerto dalam acara bertajuk Festifal Teater Banyumas, saya hanya dapat mengingat beberapa kejadian. Awal mula ketika saya tiba: meja, kursi, tangga berkali-kali diangkut dan dikeluarkan dari atas panggung. Pada pementasan kedua, seorang laki-laki bunuh diri sebelum saya memilih untuk pergi minum kopi bersama Ann dan beberapa teman. Pada pementasan pertama: nama-nama peran bercorak Rusia yang sesekali bertutur dalam logat Jawa Banyumasan dengan busana umum yang tak menandakan kekhasan tertentu membuat saya lebih sibuk ber-sms ria sebelum memberanikan diri untuk duduk di samping Ann.

Malam itu, di sisi yang lain —di luar sebagai penonton teater— kedirian saya terpencil, keringat dingin menyelipkan kebisuan yang tak pernah saya duga, bahasa tiba-tiba lumpuh walau sekeras hati lidah ingin banyak bicara. Saya mengakui: di satu sisi, saya telah menjadi penonton yang kehilangan pemusatan fikiran pada panggung, di sisi lain, saya merasakan sebuah pesona perasaan dari perjumpaan yang tak terduga.

Tapi, izinkan saya berdalih. Sebagai penonton teater malam itu, saya tak dapat disalahkan bila kehilangan konsentrasi. Aktorlah yang paling bersalah, sebab mereka telah gagal membidik sasaran sukma saya yang pada mulanya berniat datang ke gedung KORPRI untuk menikmati Teater. Sepanjang dua pementasan, para aktor tidak meyakinkan saya bahwa pemusatan fikiran mereka dalam bermain peran jauh lebih penting dari konsentrasi saya menterjemahkan degub jantung dan perasaan malu-malu. Macam-macam latihan pengutaraan, pernafasan, penempatan suara, pantomime dan rias para aktor menjadi mubah malam itu –setidaknya bagi saya yang sedang terpesona. Soalnya sederhana: wibawa seorang aktor di atas panggung telah dikalahkan oleh kebersahajaan seorang gadis bernama Ann yang duduk di samping saya. Anda perlu tahu: nada bicara Ann yang sedikit berbisik, mimik wajahnya, harum parfumenya, dan sorot mata Ann dalam keremangan —tentu saya pandang dengan mencuri-curi— lebih menghidupkan situasi penuh debar daripada situasi di atas panggung yang saya pikir penuh rencana matang.

Saya teringat, konsentrasi atau pemusatan perhatian adalah pelajaran pertama yang idealnya harus dikuasai oleh seorang aktor semacam yang ditulis Richard Bolelavsky dalam bukunya yang bertajuk Enam Pelajdaran Pertama bagi Tjalon Aktor (terj. Asrul Sani:1960. Hal.23-33). Dan saya kira, para aktor yang semalam saya tonton, telah gagal untuk meyakinkan saya —setidaknya sebagai seorang penonton— bahwa mereka telah mengoptimalkan panca inderanya untuk menyempurnakan sebuah peranan yang ujungnya menumbuhkan keterkesanan.

Saya juga tak tahu, apakah saya juga telah gagal mengoptimalkan panca indera saya untuk mengenal Ann lebih dekat? Saya hanya mengerti, malam itu di antara keberbagaian minuman dan sajian mendoan yang dinamakan “Mendoan Kasmaran” saya tak piawai untuk mengekspresikan keterpesonaan saya lewat kata di hadapan wajah Ann. Malam untuk beristirahat pun menjadi tak tenang, sampai akhirnya saya memutuskan untuk menuliskan semua ini setelah mengucap selamat tidur dan manisnya perjumpaan pada Ann via sms. Pada pucuk sepi dimana saya kira nasib baik telah menciptakan kesempatan perjumpaan dengan Ann, puisi “Nada Awal” yang ditulis Subagio Sastrowardoyo untuk sementara memecahkan kebuntuan keresahan yang saya alami.

… Rahasia
membutuhkan kata yang terucap
di puncak sepi.

9 dari Leila

9 dari Nadira
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2009
Tebal: 282 halaman
Peresensi: Budi Darma
http://majalah.tempointeraktif.com/

Ketika pada akhir tahun 1990-an Anwar Ridhwan, sastrawan Malaysia, menerbitkan Naratif Ogonshoto, publik sastra bertanya-tanya, apakah buku ini sebuah kumpulan cerpen atau novel. Kalau buku ini dianggap sebagai sebuah kumpulan cerpen pasti tidak keliru, sebab dalam buku ini ada 10 cerpen. Tapi, karena ternyata semua cerpen diikat oleh benang merah yang sangat mencolok, tidak keliru manakala buku ini dianggap sebagai novel.

Selaku pengarang, Leila S. Chudori pun boleh-boleh saja menganggap buku ini sebagai kumpulan 9 cerpen, namun pembaca mempunyai hak untuk menganggap buku ini sebuah novel. Dianggap sebagai kumpulan cerpen, karena masing-masing bagian dalam 9 dari Nadira seolah-olah berdiri sendiri. Jeda antara penulisan satu cerpen dan cerpen lainnya pun makan waktu panjang. Ada bagian yang ditulis pada 1999, ada pula bagian yang ditulis pada 2009. Tapi ingat, seluruh isi buku, mulai bab 1 sampai bab 9, tidak lain mengenai Nadira dan lingkungannya, dan karena itu, anggapan bahwa buku ini novel tidak perlu dianggap salah.

Narator dalam buku ini, sementara itu, bukan hanya satu, tapi akhirnya, narasi masing-masing narator menuju pada Nadira sebagai titik sentral. Pada waktu ibu Nadira bercerita mengenai awal perkawinannya di Belanda, misalnya, sasaran tembak narasi adalah Nadira, demikian pula ketika naratornya orang ketiga tanpa nama. Dan tentu saja, kalau Nadira bertindak sebagai narator, tokoh sentralnya tidak lain adalah dirinya sendiri.

Kalau direntang jauh ke belakang, novel ini menyangkut kehidupan tiga generasi: kakek-nenek Nadira, orang tua Nadira, dan generasi Nadira sendiri. Tapi, kalau mau difokuskan lebih tajam, novel ini menyangkut dua generasi, yaitu generasi orang tua Nadira dan generasi Nadira sebagai satu anak di antara tiga anak. Jalan hidup Nadira, lengkap dengan berbagai aspeknya, tidak lepas dari jalan hidup orang tuanya. Ibu Nadira tidak suka orang kulit putih karena baunya, misalnya, demikian pula Nadira.

Anggapan umum bahwa sebuah fiksi tidak mungkin lepas dari biografi pengarangnya, dalam novel ini, juga tidak bisa disangkal. Ayah Nadira adalah wartawan, demikian pula ayah Leila S. Chudori. Asal-usul keluarga Leila S. Chudori adalah Cirebon, dan novel ini pun mengandung simpul-simpul Cirebon, misalnya kain batik Cirebon dan logat Sunda Cirebon. Orang tua Leila S. Chudori pernah tinggal di Barat, demikian pula orang tua Nadira. Leila S. Chudori mempunyai saudara yang lebih suka tinggal di luar negeri, demikian pula Nadira. Dan ingat, Leila S. Chudori pernah belajar di luar negeri kemudian menjadi wartawan, demikian pula Nadira, meskipun, tentu saja, secara harfiah Nadira bukanlah Leila S. Chudori.

Dalam kehidupan sehari-hari ada tabiat turunan, ada cacat turunan, dan ada juga penderitaan turunan, demikian pula dalam novel ini. Kalau kehidupan Nadira dan saudara-saudaranya bisa dianggap tidak wajar, asal-usulnya tidak lain adalah ibu Nadira sendiri. Sebagai perempuan Indonesia, tentu saja seharusnya ibu Nadira suka melati, tapi ternyata tidak. Ketika kawin di Belanda, kalau mau, dengan mudah dia bisa mengumpulkan banyak bunga melati untuk upacara perkawinannya. Eh, tahunya dia ngotot mencari bunga seruni putih, sesuatu yang tidak lazim dalam upacara perkawinan, apalagi seruni putih sangat langka. Ketika dia meninggal pun, ketegangan terjadi, karena wasiat yang tidak terucapkan dan tidak tertuliskan juga janggal: harus seruni putih, jangan melati. Ingat, ibu Nadira juga tidak meninggal secara wajar, tapi bunuh diri dengan minum racun.

Kehidupan Nadira, langsung atau tidak, dituntun oleh kejanggalan ibunya, dan juga, dengan sendirinya, oleh perubahan zaman. Dengan tuduhan mencuri uang, Nina, kakak Nadira, menyiksa Nadira habis-habisan. Itu uang Nadira, tapi anehnya, sampai kapan pun Nadira tidak mau mengatakan dari mana dia memperoleh uang yang tidak lain adalah hasil kerjanya sendiri. Kendati akhirnya menyadari kesalahannya, Nina tidak mau mengakuinya, dan karena itu, hubungannya dengan Nadira tidak pernah serasi. Nadira, sementara itu, menentang perkawinan Nina dengan seorang koreografer, eh, tahunya Nadira berselingkuh dengan koreografer ini. Lalu, petualangan cinta pun, meskipun tidak seru-seru amat, masuk ke kehidupan Nadira, antara lain dengan seorang laki-laki yang ternyata pernah bercintaan dengan sesama laki-laki. Bukan hanya itu. Ada laki-laki mencintai Nadira setengah mati dan Nadira juga tahu, eh, tahunya dengan sangat mendadak Nadira kawin dengan laki-laki lain yang belum dikenalnya betul.

Apabila Nadira dipandang sebagai sebuah pribadi tunggal yang berdiri sendiri, tentunya pembaca mempunyai hak penuh untuk menaruh kebencian kepada Nadira. Tapi, apabila Nadira dipandang sebagai korban orang tua dan korban perubahan zaman, mungkin pembaca akan menaruh simpati kepadanya. Sikap pembaca yang benar tentunya berawal dari pertanyaan: sejauh mana Nadira diciptakan oleh lingkungannya, dan sejauh mana Nadira sanggup mengkondisikan lingkungannya.

Budi Darma, sastrawan
30 November 2009

SASTRAWAN INDONESIA PASCA-ANGKATAN 66

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

BAGIAN I
Masalah angkatan dalam pelajaran kesusastraan Indonesia di sekolah-sekolah sering kali merepotkan para guru. Apakah setelah Angkatan 66, tidak ada lagi angkatan yang lahir kemudian? Jika ada, angkatan apakah namanya? Siapa pula yang termasuk angkatan ini dan apa saja karya yang telah dihasilkannya? Apa pula ciri-ciri yang menonjol yang diperlihatkan Angkatan pasca-66, sehingga ia berbeda dengan Angkatan 66?

Begitulah, sejumlah pertanyaan itu –yang diajukan siswa– kerap membuat para guru sastra “gelagapan”. Persoalannya bukan karena ketidakmampuan para guru untuk menjawab pertanyaan itu, melainkan lebih disebabkan oleh kekhawatiran mereka jika jawabannya salah. Lebih jauh lagi, kekhawatairan, bagaimana jika kemudian pertanyaan sejenis itu, muncul dalam soal-soal Ebtanas (Evaluasi Belajar Tingkat Nasional/Ujian). Lalu, bagaimanakah para guru harus bersikap atau mencoba menerangkan duduk persoalannya?

Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, guru sebaiknya tidak memberi pertanyaan pilihan, tetapi memberi pertanyaan esai. Dalam soal pertanyaan seperti, jawabannya bukanlah terletak pada benar atau salah, melainkan pada logis atau tidak, argumentatif atau tidak. Tujuannya, agar siswa belajar memahami pengetahuan yang didapat dari guru dan buku yang dibacanya. Siswa sekaligus juga belajar mengungkapkan sendiri lewat keterampilannya memahami bacaan dan merumuskan pikiran atau gagasannya dengan bahasanya sendiri.
***

Harus diakui, setelah Angkatan 66 dengan salah seorang tokoh kuncinya, Taufiq Ismail, baru Pamusuk Eneste dalam bukunya Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (Djambatan, 1988), yang membakukan Angkatan 70-an dalam buku pelajaran sastra untuk SLTA. Jadi, setelah Angkatan 66, sebenarnya telah muncul Angkatan 70-an dan mereka telah menghasilkan karya-karya penting. Justru setelah Angkatan 66 itulah, khazanah kesusastraan Indonesia memperlihatkan kesemarakannya yang luar biasa.

Secara kuantitatif dan kualitatif, karya-karya yang muncul kemudian jauh lebih beragam dan lebih berani menampilkan berbagai eksperimentasinya. Dan yang lebih penting lagi, karya-karya mereka sudah makin memperlihatkan kematangannya. Jika demikian, atas dasar pemikiran apa sehingga karya-karya mereka tidak dimasukkan ke dalam Angkatan 66? Untuk memperoleh gambaran mengenai hal tersebut, perlu kiranya kita menyimak dahulu dasar pemikiran H.B. Jassin dalam penyebutan Angkatan 66.

Dasar pemikiran Jassin mengenai penamaan Angkatan 66, bertumpu pada peristiwa tahun 1966 ketika mahasiswa, pelajar dan para pemuda kita mendobrak kebobrokan dan penyelewengan negara. “… kita pun menyaksikan satu ledakan pemberontakan dari penyair, pengarang dan cendekiawan, yang telah sekian lama dijajah jiwanya dengan slogan-slogan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.” Selanjutnya Jassin mengatakan: “Siapakah pengarang-pengarang yang termasuk Angkatan 66 ini? Ialah mereka yang tatkala tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan … tahun 1966 kira-kira berumur 25 tahun. Mereka … telah giat menulis dalam majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 55-an, seperti Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Budaya, Indonesia, Konfrontasi, Tjerita, Prosa, Basis….”

Dengan dasar pemikiran tersebut, maka H.B. Jassin memasukkan nama Motinggo Boesje, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, Arifin C. Noer, Ramadhan KH, Bur Rasuanto, Rendra, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardojo, Titie Said, Slamet Sukirnanto, Satyagraha Hoerip, N.H. Dini, dan beberapa nama lain. Sebagian besar dari nama-nama itu, memang terlibat aktif dalam pergolakan politik yang terjadi tahun 1960-an. Beberapa dari mereka, terutama Taufiq Ismail, Abdul Wahid Situmeang, Slamet Sukirnanto, Bur Rasuanto, juga menghasilkan karya yang memperlihatkan perlawanannya atas kebrengsekan yang dilakukan pemerintah waktu itu. Jadi, pemikiran Jassin lebih didasarkan pada usia pengarang dan kiprahnya pada pertengahan tahun 1950-an sampai tahun 1966, serta pada karya-karya yang menggambarkan perlawanan atau kritik sosial.

Setelah gerakan mahasiswa tahun 1966 berhasil menumbangkan rezim pemerintahan Orde Lama, kehidupan sosial budaya, terutama sastra, seolah-olah telah memperoleh saluran kebebasan berkreasi. Sejak akhir tahun 1967, dan terutama di awal tahun 1970-an, bermunculanlah karya sastra yang memperlihatkan semangat kebebasan itu. Maka, di antara karya-karya yang konvensional yang terbit tahun 1970-an, tidak sedikit pula yang memperlihatkan semangat kebebasan itu yang diejawantahkan dalam bentuk karya-karya eksperimental. Sementara itu, nama-nama yang oleh H.B. Jassin dimasukkan ke dalam Angkatan 66, dalam tahun 1970-an itu, justru makin memperlihatkan kematangannya.

Jika disederhanakan, sastrawan tahun 1970-an atau sebut saja Angkatan 70-an, berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok.

Pertama, mereka yang termasuk Angkatan 66 atau yang telah berkarya pada da-sawarsa tahun 1960-an, tetapi mulai makin matang pada tahun 1970-an.Yang termasuk kelompok sastrawan dari golongan ini antara lain, Rendra, Nasyah Djamin, Umar Kayam, N,H. Dini, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Titis Basino, Abdul Hadi WM, Slamet Sukirnanto, Sori Siregar, Gerson Poyk, Wing Kardjo, D. Zawawi Imron, M. Poppy Hutagalung, Husni Djamaludin, Muhammad Fudoli, Leon Agusta, dan Satyagraha Hoerip.

Kedua, mereka yang karya-karyanya baru muncul tahun 1970-an. Yang termasuk sastrawan golongan ini, antara lain, Korrie Layun Rampan, Emha Ainun Nadjib, Rayani Sriwidodo, Sri Rahayu Prihatmi, Wildam Yatim, Marianne Katoppo, Toeti Herati, Abrar Yusra, Aspar Paturisi, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, Putu Arya Tirtawirya, Linus Suryadi, Arswendo Atmowiloto, Marianne Katoppo, dan Seno Gumira Ajidarma

Ketiga, mereka yang menghasilkan karya-karya dengan kecenderungan melakukan bentuk-bentuk eksperimentasi. Di antara mereka ada pula yang sudah berkarya sejak tahun 1960-an. Yang termasuk ke dalam golongan ini, antara lain, Iwan Simatupang, Arifin C. Noer, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Ikranegara, Budi Darma, Ibrahim Sattah, Leon Agusta, Adri Darmadji Woko, Darmanto Jatman, dan Yudhistira Ardi Noegraha.

Dari kelompok ketiga yang memperlihatkan bentuk eksperimentasi itu, pernyataan sikap penyair Sutardji Calzoum Bachri, dapatlah dianggap mewakili usaha pembaruan yang dilakukan mereka. Pada tanggal 30 Maret 1973, Sutardji Calzoum Bachri menyatakan pendirian kepenyairannya dalam sebuah pernyataan yang disebutnya “Kredo Puisi.” Berikut ini akan dikutip beberapa bagian dari Kredo Puisi tersebut.
“Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, ….
Sebagai penyair saya hanya menjaga –sepanjang tidak mengganggu kebebasan-nya– agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa men-dapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata-kata pada awal-mulanya. Pada mulanya–adalah Kata. Dan Kata Pertama adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”

Ciri-ciri yang menonjol dari eksperimentasi yang diperlihatkan karya-karya yang muncul dasawarsa 1970-an itu, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya. Untuk novel dapat diwakili oleh karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya dan Kuntowijoyo. Ciri khas yang menonjol dari karya mereka pada tema yang mengangkat masalah keterasingan manusia dan kehidupan yang absurd. Identitas tokoh menjadi tidak penting. Latar tempat dan latar waktu, dapat berlaku di mana dan kapan saja. Alur tidak lagi menekankan hubungan sebab-akibat (kausalitas). Peristiwa yang dihasilkan oleh lakuan dan pikiran, disajikan secara tumpang-tindih. Akibatnya, peristiwa itu seolah-olah tidak jelas lagi juntrungannya.

Untuk cerpen, dapat diwakili oleh karya-karya Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo. Lebih khusus lagi pada cerpen-cerpen Danarto, tokoh-tokoh yang muncul bisa apa saja. Air, batu, khewan, tanaman, atau benda dan binatang apapun, bisa saja menjadi tokoh yang juga dapat berdialog dengan tokoh utama. Kumpulan cerpen Godlob, dapatlah kiranya mewakili bentuk eksperimentasi cerpen Indonesia dasawarsa tahhun 1970-an itu.

Untuk bidang drama, dapat diwakili oleh karya-karya Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Rendra, dan Ikranegara. Ciri khas yang menonjol dari karya mereka adalah terbukanya peluang bagi para pemain untuk melakukan improvisasi. Dalam hal ini, identitas tokoh yang tidak jelas, juga memungkinkan seorang pemain, dapat memainkan peran dua tokoh atau lebih. Ciri khas yang lainnya lagi adalah lepasnya keterikatan pada panggung. Jika dalam naskah-naskah drama sebelumnya, latar tempat dengan materialnya yang serba jelas dan konkret, maka dalam sebagian naskah drama yang muncul tahun 1970-an itu, panggung tidak lagi menjadi penting. Artinya, pementasan itu dapat dilangsungkan di mana saja. Bahkan, Rendra tampil pula dengan drama mini kata, yaitu drama yang sengaja lebih mementingkan lakuan daripada dialog.

Untuk bidang puisi, ikatan pada bait dan larik, sama sekali diabaikan. Puisi tahun 1970-an cenderung lebih mementingkan ekspresi untuk mendukung tema yang hendak disampaikan. Karena itu, ada puisi naratif yang panjang menyerupai bentuk prosa, ada pula yang sengaja disusun pendek-pendek. Selain itu, gencar pula kecenderungan untuk mengali akar tradisi kultural tempat penyair itu lahir dan dibesarkan. Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Adji Darmadji Woko, Darmadji Woko adalah beberapa nama yang menonjol mengangkat tradisi kulturalnya.
***

BAGIAN II
Kesemarakan sastra Indonesia tahun 1970-an, kemudian berlanjut pada tahun 1980-an. Pada dasawarsa tahun 1980-an ini, mereka yang sudah berkarya pada periode sebelumnya, juga masih terus berkarya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sastrawan tahun 1980-an itu adalah mereka yang karya-karyanya baru muncul pada dasawarsa itu. Sekadar menyebut beberapa nama penting, mereka adalah: Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Eka Budianta, Y.B. Mangunwijaya, N. Riantiarno, F. Rahardi, Afrizal Malna, Darman Moenir, Pamusuk Eneste, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Diah Hadaning, Ahmadun Y. Herfanda, Adhi M. Massardi, dan Noorca M. Massardi.

Lalu bagaimanakah semangat yang diperlihatkan sastrawan tahun 1980-an ini? Secara keseluruhan, dibandingkan dengan periode sebelumnya, semangat eksperimentasi sastrawan tahun 1980-an, mulai mengendor, kecuali tampak pada diri Afrizal Malna (puisi), Darman Moenir (novel), Pamusuk Eneste (cerpen) dan N. Riantiarno (drama). Meskipun begitu, bukan berarti karya-karya mereka tidak penting. Novel Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk) dan Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar) merupakan karya penting dalam perjalanan novel Indonesia modern. Demikian pula cerpen Hamsad Rangkuti (Lukisan Perkawinan) merupakan karya yang matang, meski tidak mengangkat tema-tema yang besar.

Dalam tahun 1990-an ini, karya sastra yang muncul lebih banyak lagi. Dalam dasawarsa ini, terjadi inflasi puisi. Begitu banyak penulis puisi, tetapi sangat sedikit yang dapat dimasukkan sebagai penyair. Mereka banyak yang menerbitkan sendiri karyanya dengan biaya swadaya dan format seadanya. Sebagian besar, harus diakui, memperlihatkan talenta yang menjanjikan. Tetapi, untuk menjadi sastrawan besar, tentu saja bakat yang penuh harapan itu, harus pula dibarengi dengan wawasan dan penge-tahuan yang luas. Tanpa itu, sangat mungkin mereka akan kehabisan ide, dan tinggal menunggu namanya tenggelam.

Ciri yang menonjol yang terjadi dalam tahun 1990-an ini adalah adanya gerakan sastrawan daerah. Kondisi itu dimungkinkan oleh adanya majalah dan koran-koran daerah. Jadi, di antara mereka itu, ada yang hanya mempublikasikan karyanya di media massa lokal, tetapi ada juga yang dimuat di media massa ibukota. Dengan demikian, peta kesusastraan Indonesia tahun 1990-an ini, lebih beraneka ragam. Taufiq Ismail, Rendra, Sapardi Djoko Damono (Angkatan 66) masih terus berkarya. Abdul Hadi, Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Kuntowijoyo, Umar Kayam, Hamid Jabbar, Seno Gumira Ajidarma dan beberapa nama dari Angkatan 70-an, juga masih tetap aktif dan berkarya. Hal yang sama juga dilakukan oleh sastrawan tahun 80-an. Lihatlah Ahmad Tohari dan Hamsad Rangkuti masih menghasilkan sejumlah cerpen, Afrizal Malna, Ahmadun, Soni Farid Maulana atau Acep Zamzam Noor, juga masih menghasilkan antologi puisi.

Demikianlah, dasawarsa tahun 1990-an ini, dipenuhi oleh karya sastra dari beberapa angkatan. Bahwa karya-karya sastrawan Angkatan 66 dan sastrawan tahun 70-an dan 80-an, turut menyemarakkan peta kesusastraan Indonesia tahun 1990-an, masalahnya bahwa karya-karya mereka tidak hanya memperlihatkan kematangannya sebagai sastrawan senior, tetapi juga memang masih sangat menonjol, dibandingkan sastrawan yang muncul tahun 1990-an. Dalam hal ini, terbukti bahwa wawasan dan pengetahuan yang luas, telah memberi kekayaan luar biasa, sehingga mereka tidak kehabisan gagasan dan terus bertahan sampai enah kapan.

Sekadar menyebut beberapa nama penting atau yang potensial menghasilkan karya-karya yang memberi kontribusi bagi pemerkayaan khazanah kesusastraan Indonesia, di antaranya adalah: Gus tf (Padang), Taufik Ikram Jamil (Riau), Agus R. Sarjono, Cecep Samsul Hari, Oka Rusmini, Ahmad Syubbanudin Alwy, Saeful Badar, Karno Kartadibrata, Doddi Achmad Fawzy, Juniarso Ridwan, Beni Setia, Atasi Amin, Ahda Imran (Bandung), Naim Prahana, Hasanuddin Z. Arifin, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Panji Utama (Lampung), Toto St Radik (Banten), Wowok Hesti Prabowo (Tangerang), Anil Hukma (Ujung Pandang), Dorothe Rosa Herliani, Joko Pinurbo, Mathoti A. Elwa, Amin Wangsitalaja (Yogyakarta), Tomy Tamara (Makasar), dan Aspur Azhar (Jakarta). Selain itu, sejumlah nama lulusan FSUI, agaknya tidak mau ketinggalan. Asep Sambodja, Ihsan Abdul Salam, Purwadi Djunaedi, Rizal, dan belakangan Zeffry J. Alkatiri, memberi warna lain dalam peta puisi Indonesia tahun 1990-an. Antologi puisi yang telah dihasilkan nama-nama tersebut di atas memperlihatkan karya yang menjanjikan dan penuh pengharapan.

Sementara itu, para cerpenis yang muncul tahun 1990-an –yang juga bertebaran di pelosok tanah air ini– beberapa di antaranya niscaya akan menjadi sastrawan penting. Jujur Prananto, Yanusa Nugroho, Kurnia Jaya Raya (Jakarta), M. Shoim Anwar, Sirikit Syah, Kusprihyanto Namma, Aria Kamandaka, Sony Karsono (Surabaya), Kazzaini Ks (Riau). Dari Yogyakarta, dua nama Agus Noor dan Joni Aridinata, juga mulai memperlihatkan kematangannya; di antara penulis wanita, Helvy Tiana Rosa dan Lea Pamungkas, patut pula kita perhitungkan. Karya-karya mereka memperlihatkan kualitas yang mumpuni dan memberi banyak harapan bagi karya-karya selanjutnya.

Bagaimanakah pula dengan prosa Indonesia tahun 1990-an? Dua nama, yaitu Ayu Utami (Saman, Jakarta: KPG, 1998) dan Taufik Ikram Jamil (Hempasan Gelombang, Jakarta: Grasindo, 1998) merupakan dua novel penting yang terbit tahun 1990-an ini. Kedua novel itu memperlihatkan usaha eksperimentasi yag serius. Memasuki tahun 2000, Gus tf Sakai, lewat novelnya, Tambo: Sebuah Pertemuan (Jakarta: Grasinso, 2000), juga sengaja menamp[ilkan bentuk eksperimentasi dengan memasukkan bentuk esai dan pola penceritaan yang gonta-ganti. Pada tahun berikutnya, seorang novelis –pendatang baru– Dewi Lestari (Dee) juga membuat kejutan yang benar-benar mengagumkan lewat sebuah novel science, berjudul Supernova (Bandung: Truedee Books, 2001).

Jika keempat nama itu ditempatkan dalam kotak yang mewakili novelis Indonesia mutakhir, maka tampak jelas bahwa akar tradisi yang melatarbelakangi kepengarangan mereka sangat mempengaruhi unsur intrinsik karya yang ditampilkannya. Ayu Utami dan Dewi Lestari adalah produk manusia kosmopolitan yang tak jelas akar tradisinya. Keduanya telah tercerabut dari masa lalu yang menjadi latar sejarah oetnis orang tua yang melahirkan dan membesarkannya. Akibatnya, mereka telah kehilangan identitas masing-masing dari kultur etnis. Itulah sebabnya, novel yang diangkatnya memperlihatkan kegelisahan manusia kosmopolitan. Bahkan, dalam novel Supernova, Dewi Lestari tidak hanya mencoba memanfaatkan deskripsi science sebagai bagian tak terpisahkan dari unsur intrinsik novel bersangkutan (tokoh, latar, dan tema), tetapi juga menyodorkan kontroversi tokoh gay (homoseksual) yang dalam sejarah novel Indonesia, belum pernah diungkapkan novelis lain.

Hal tersebut sangat berbeda dengan sosok Taufik Ikram Jamil dan Gus tf Sakai. Keduanya lahir dan dibesarkan di dalam lingkuran kultur etnis. Oleh karena itu, mereka mencoba menggali kekayaan, sekaligus kegelisahan kultur masyakaratnya. Itulah yang terjadi pada dua novel Hempasan Gelombang dan Tambo: Sebuah Pertemuan. Novel Hempasan Gelombang mencoba mengangkat sejarah Melayu (Riau) dalam konteks masa kini. Dengan begitu, tokoh-tokoh di sana, dalam beberapa peristiwa dapat ulang-alik, bolak-balik dari masa lalu ke masa sekarang. Latar waktu menjadi simbol yang mengisyaratkan tema. Dengan penyajian yang berbeda, Gus tf Sakai mencoba mengangkat tradisi kultural masyarakatnya (tambo), juga dalam konteks masa kini. Seperti juga masyarakat masa kini yang diplintir dan dieksploitasi oleh hegemoni atas nama ilmu pengetahuan, maka kultur, masyarakat atau apa pun, juga sering kali tidak dapat menghindar dari dominasi hegemoni itu. Itulah sebabnya, dalam beberapa bagian novel itu, Gus tf Sakai menyajikan semacam etnografi-sosiologis.
***

Bahwa Korrie Layun Rampan memasukkan nama-nama itu ke dalam Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, hal tersebut mesti kita perlakukan sebagai usaha pemberian label saja. Masalahnya, nama angkatan, apalagi dikaitkan dengan latar waktu atau tarikh, secara logis lahir dari berbagai peristiwa yang sudah terjadi, dan bukan mengambil waktu yang peristiwanya sendiri belum terjadi. Penamaan Angkatan 2000, telah diproklamasikan Korrie tahun 1998, dua tahun sebelum memasuki tahun 2000 itu sendiri. Dari sudut penamaan angka tahun, jelas Korrie sekadar mengambil label. Dan momentum yang menurutnya tampak pas adalah angka tahun 2000 itu.

Meskipun demikian, usaha Korrie yang mencoba memberi landasan estetik terhadap sejumlah karya yang dimasukkannya ke dalam kotak Angkatan 2000, dengan sejumlah ciri yang membedakannya dengan angkatan sebelumnya, tentu saja patut kita hargai. Masalahnya tinggal, apakah kita setuju dengan penamaan Angkatan 2000 itu atau tidak. Jika setuju, kita harus menghargai sikap persetujuannya, jika pun tidak setuju, kita juga harus menghargai sikap ketidaksetujuannya. Sama halnya dengan sikap kita –setuju atau tidak setuju– terhadap penamaan Angkatan 66, Sastrawan 70-an, Sastrawan 80-an, atau penamaan-penamaan lainnya. Yang penting dicermati adalah bahwa penamaan itu sekadar label. Dan kita harus terbuka pada gagasan siapa pun yang mencoba menyodorkan label-label itu.

Demikianlah, gambaran umum mengenai sastrawan-sastrawan pasca-Angkatan 66. Dalam perkembangannya nanti, kita akan menyaksikan, apakah nama-nama itu akan tengge-lam atau terus berkarya, sebagaimana yang diperlihatkan beberapa sastrawan Angkatan 66. Melihat sebagian besar dari nama-nama itu lebih banyak mengandalkan bakat alam, maka besar kemungkinan, di antara sederetan nama itu, hanya beberapa saja yang menonjol dan akan terus bertahan sampai tahun 2000 sekian.

Persoalannya tinggal, apakah mereka mampu mengeksploitasi dan mengeksplo-rasi berbagai problem sosio-kultural kita dengan dukungan intelektualitasnya. Tanpa usaha pen-dayagunaan, penjelajahan, dan perluasan wawasan, tanpa usaha penggalian dan pendalaman keberagaman kekayaan kultur kita, niscaya karya-karya yang akan dihasilkannya hanya sebagai karya yang baik, tetapi tidak cukup monumental. Jika begitu, ia hanya sekadar meramaikan belaka dan tidak cukup penting untuk melengkapi catatan sejarah kesusastraan Indonesia.

*) Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok.

Nyaris Tak Terdengar

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Kemajuan gerak peradaban manusia, membawa pada kompleksitas nilai kehidupan, yang diantaranya semakin meluasnya pergaulan antara manusia. Pergaulan yang luas, dari berbagai macam suku bangsa, salah satu faktor yang menyebabkan suatu komunikasi budaya, yang memunculkan gejala mondial dan pluralisme.

Budaya dapat dibilang sebagai hasil belajar, antar agen kebudayaan yang keberadaannya terus mengalami perkembangan. Perkembangan ini terus terjadi, baik secara material maupun secara non material, yang di dalam gerak kebudayaan seperti ini memungkinkan adanya internalisasi, sosialisasi maupun akulturasi. Dalam gerak kebudayaan juga dapat menimbulkan berbagai konflik di masyarakat, ketika para agen kebudayaan terikat oleh primordialisme.

Adanya komunikasi semacam ini, biasanya juga mempengaruhi para sastrawan di dalam menelurkan karya mereka. Mengingat suatu aspek dalam kajian sastra yang dikemukakan Teeuw (1990) bahwa sastra tidak dilahirkan dalam kekosongan budaya. Maupun ungkapan dari De Bonald yang memberikan patokan mengenai nilai lain dari karya sastra yaitu sebagai cerminan perasaan masyarakatnya.

Karya sastra secara refleks menangkap fenomena ini. Komunikasi budaya memberikan penggambaran dan sumbangsih dalam penciptaan karya. Interaksi kebudayaan terekam, sebagai penggambaran kisah dari suatu masyarakat di waktu tertentu. Sebut saja novel Bumi Manusia (2006) karya almarhum Pramoedya Ananta Toer yang di dalamnya mengantongi fenomena komunikasi budaya masyarakat Belanda dengan Jawa.

Wilayah ini berangkat karena fakta sastra sebagai karya imajinatif yang menawarkan gambaran kehidupan (selayaknya kehidupan kita sehari-hari). Cerita di dalam kehidupan karya, mungkin saja terjadi atau pernah terjadi dalam lingkungan realitas sosial pengarang. Karena bagaimana pun juga, Scholes pun mengatakan bahwa adanya kesinambungan antara dunia nyata dengan dunia imajinasi yang keduanya saling mempengaruhi dan membangun. Untuk itu, tidak berlebihan ketika Umar Junus meyakini, bahwa sastra sebagai suatu dokumen budaya.

Di Indonesia sendiri, terdapat begitu banyak novel terjemahan yang beredar di pasar. Novel ini secara langsung dan tidak, mengemban misi untuk mengusung kebudayaan masyarakat penciptanya ke tengah budaya Indonesia. Melalui karya, terjadi transformasi budaya. Karya sastra terjemahan, film, dan produk kebudayaan asing yang berada di pasar Indonesia menjadi pion-pion invansi. Proses penguasaan oleh satu kebudayaan atas kebudayaan lain terjadi melalui produk yang terus membanjir. Misalnya, kehadiran novel terjemahan yang terus membanjir dapat berperan sebagai invansi kebudayaan yang nyaris tidak terdengar.

Keadaan seperti ini, yang mungkin saja menjadi landasan dalam penulisan buku Prahara Kebudayaan di tahun 1930an. Gejolak kebudayaan yang memanas melahirkan berbagai gerakan kebudayaan yang memiliki misi berbeda. misalnya saja lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) yang berusaha mengangkat pandangan Humanisme Universal sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Salah satu pernyataan SKG yang mengungkapkan diri sebagai “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” dapat dipandang sebagai usaha untuk membangun kebudayaan Indonesia baru dari sendi-sendi kebudayaan yang juga baru.

Salah satu konsep perubahan yang diusung SKG saat itu adalah Revolusi Nilai (mental), dengan usaha menetapkan nilai baru bagi kebudayaan Indonesia. Revolusi nilai, terdengar lembut namun keberadaannya dapat menggeser nilai kebudayaan asli, karena itu humanisme universal itu patut dicurigai. Darimana asal penciptaan nilai baru sebagai sendi kebudayaan tersebut? Ketika kita berusaha menilik kembali humanisme universal, maka sendi Indonesia baru adalah sendi kebudayaan yang menjadikan Barat (Eropa dan Amerika) sebagai kiblat kebudayaan. Kemudian, di dalamnya kita akan dihadapkan pada dalih nasionalisme.

Humanisme universal yang diusung SKG memperolah bantahan dari golongan yang lebih mengedepankan kebudayaan rakyat. Hal-hal yang merugikan kebudayaan rakyat harus ditolak, karena paham humanisme universal dianggap telah ternodai oleh borjuasi.

Kondisi seperti ini, yang pada masa kita sekarang ini sangat penting untuk menjadi kajian. Apabila dahulu, para budayawan mempertentangkan mengenai esensi kebudayaan Indonesia, yang didalamnya sarat dengan kepentingan politis, kita menghadapi sesuatu yang lebih baru dan tersembunyi. Invansi kebudayaan yang tersembunyi, bahkan hadir melalui tangan kita sendiri perlu mendapatkan perhatian lebih. Karena, tentu saja dari kita masih ingin melihat Indonesia banget di sepuluh tahun ke depan, atau tidak. Semua usaha dan pilihan ada di tangan kita.

Studio SDS Fictionbooks, 20 Februari 2011

REALISME DAN SASTRA MULTIKULTUR, MASA DEPAN SASTRA KITA

S Yoga
Jawa Pos 31 Okt2010

Dalam perkembangan sastra kita, dinamika sejarah sastra dunia, sangat berpengaruh. Tengok Pujangga Baru, yang merupakan gema dari angkatan 80 di negeri Belanda. Angkatan Gelanggang atau angkatan 45, yang digemai oleh sastra dunia yang memiliki konsepsi modernisme. Demikian juga dengan dekade 70an, lewat eksistensialisme dan absurditas. Termasuk juga polemik sastra, karya sastra yang bersifat postmodernisme, yang merupakan gema yang sudah berkecamuk pada tahun 70an di Eropa. Tak ketinggalan polemik sastra kontekstual, yang merupakan gema dari gerakan sastra multikultur yang mengejala di sastra dunia hingga kini.

Realita Sosial

Dalam perkembangan sastra kita selama satu abad ini, selalu dijiwai oleh sastra realisme, kita perhatikan semenjak Siti Nurbaya tahun 1920an hingga para pemenang Lomba novel DKJ, 1998-2008, banyak didominasi oleh sastra realita sosial. Yang berangkat dari pengalaman pribadi dan hasil penelitian. Fenomena ini bisa kita jelaskan, dari perkembangan sastra koran dan majalah, yang berkembang sejak lahirnya kesusastraan modern tahun 20 hingga sekarang ini.

Karenanya kehidupan sastra kita lebih banyak didominasi oleh sastra yang bersifat realis, relevan dengan berita atau isi koran dan majalah yang juga menyuarakan realita yang terkini. Sastra dimasa depan, kiranya juga masih akan didominasi oleh sastra realita sosial. Meski bisa jadi media akan berubah menjadi dan berada dalam dunia maya, tapi watak-watak jurnalismenya akan tetap sama, apalagi dalam dunia maya, kepedulian sosial akan semakin tinggi, dimana facebook dan sejenisnya akan memainkan peran penting dan cepat.

Belum lagi problem sosial-politik-ekonomi-hukum di Indonesia yang juga belum beres-beres, sehingga akan memunculkan realita-realita yang dengan mudah bisa menjadi bahan para sastrawan kita. Karena perkembangan sastra pada umumnya, bergandeng tangan dengan perkembangan kebangsaan, pemikiran, dan filsafat pada zamannya. Dalam dinamika realita sosial seringkali sastra realis ini jatuh sebagai dokumen sosial bila benar-benar tidak cermat, sehingga kritik sastra pun bicara tentang intertekstual secara sosial, berkecenderungan untuk bicara hal-hal yang berada diluar karya sastra. Dalam kondisi bangsa yang mengalami ketimpangan sosial, kemarginalan, ketidakberdayaan kaum bawah, kapitalisme menyeruak, politik gelang karet, mafia kasus hukum, demokrasi semu, kehidupan ekonomi yang tidak stabil, kerusakan lingkungan hidup dan goncangan-goncangan keterpecahan bangsa, masih bergetayangannya para teroris. Maka problem-problem sosial ini masih banyak akan mewarnai kehidupan sastra kita dimasa depan, meski bagaimanapun bentuk bahasa dan media sastra nantinya.

Sementara itu dalam kehidupan yang semakin pragmatis ini dan nantinya, maka kehidupan sastra pun akan mengalami pergeseran-pergeseran, dimana sastra yang bersifat serius akan terus digempur oleh kehidupan sastra pop, karena orang secara fisik sudah lelah dan capai oleh kesibukkan dan rutinitas. Ingin mencari sesuatu yang pragmatis dan mendapatkan kenimataan sesaat dan budaya poplah jawabannya, termasuk juga sastra pop yang akan memberikan jawaban.

Sastra Multikultur

Dan dimasa depan mungkinkah migrasi bahasa akan benar-benar terjadi, beralih mengunakan bahas Inggris. Jika hal itu terjadi resikonya, para pengarang akan dianggap, hanya meneruskan, hypogram dari karya-karya pengarang Inggris. Ketika bahasa Inggris yang digunakan tidak mampu melakukan resistensi terhadap bahasa Inggris yang sudah ada. Seperti yang dikatakan Ngugi Wa Thiongo, seorang novelis Kenya yang tinggal di New York, yang juga menulis dalam bahasa Inggris, bahwa para penulis Afrika yang menulis dalam bahasa Inggris tidak akan pernah memproduksi sastra Afrika tapi hanya memproduksi sastra Inggris. Baginya bahasa bukanlah sekedar alat, tapi merupakan pandangan dunia si pengarang. Dan pada akhirnya Ngugi Wa Thiongo, kini menulis dalam bahasa ibu-sukunya, Kikuyu, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Ini artinya bahwa pengarang itu lebih nyaman, sreg, mengunakan bahasa ibu dalam menghasilkan karya sastranya, dalam mengungkapkan-cara pandang dunia-jagad batinnya. Yang bisa jadi akan kehilangan unity-nya, kesatuannya, bila diungkapkan dalam bahasa lain. Sehingga bila kita cermati para penulis sendiri selalu mengalami ketegangan dalam memilih bahasa.

Namun bila mampu melakukan pewarnaan dalam karya sastra yang berbahasa Inggris, dengan melakukan percampuran atau penyerapan-penyerapan. Hingga corak karya sastra yang dihasilkan memiliki citra rasa yang berbeda dengan karya sastra berbahasa Inggris yang sudah ada. Dan karya sastra yang demikian sebenarnya sudah terjadi, dan sudah banyak dilakukan oleh para pengarang keturunan India, Cina dan yang lainnya, misalnya, seperti apa yang dilakukan Bharati Mukherjee, Vikram Seth, John Updike, Joyce Carol Oates, Maxine Hong Kingston, Salman Rushdie, Kazuo Ishiguro, yang pengucapan karya sastranya, mencerminkan situasi kontemporer. Termasuk juga V.S. Naipaul-Trinidad-Tobago, Ben Okri-Nigeria, Michael Ondaatje-Kanada, Derek Walcott, Caryl Philips-Karibia, Keri Hulme-Selandia Baru, Timothy Mo, Rohinton Mistery, Chinua Achebe. Bukan hanya kualitas karyanya, namun adanya kontribusi terhadap perbendaharaan kosa kata dan tata bahasa Inggris. Dengan tema tarik ulur antar identitas, tradisi-modern, dan silang sengkarut kultur yang mereka jelajahi. Sehingga terjadi kerumitan identitas dalam merumuskan jati diri, polibudaya, muncul impresi India, Cina, Jepang dalam khazanah sastra Inggris. Lewat bahasa maupun tema-temanya, sehingga bentuk sastranya menjadi berbeda dari kanon sastra Inggris yang selama ini ada.

Dalam dunia global modial, sudah saatnya meleburkan, menceburkan diri kedalam wilayah diaspora kultural maupun bahasa, yang dapat diambil spirit, ilham maupun keunikan, dan menjadikanya sebuah karya yang bersifat hibrida baru. Dan hal ini sebenarnya sejalan dengan isi, Surat Kepercayaan Gelanggang, “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Sehingga seorang pengarang dapat menyerap, mencuri, khasanah sastra Amerika Latin, Inggris, Rusia, Amerika, Perancis, Afrika, India dan Jepang misalnya, kedalam karya sastra yang diciptakan. Karena pengaruh mempengaruhi begitu pesat terjadi ketika kita mengenal sastra modern. Sehingga kedepan pengarang haruslah bersiap-siap menjadi warga dunia baru. Yang identitas-kulturnya bisa selalu berubah, sehingga setiap saat harus selalu mengidentifikasi dirinya sendiri, karena identitas-kultur yang ada, selalu akan dicampuri oleh identitas-kultur yang baru, yang menyerbu dan mengubah kita meski tanpa kita sadari, budaya baru, ungkapan baru dan karya sastra baru. Yang merupakan pengejawantahan dari keterpecahan dan keterguncangan budaya. Dari identitas yang selalu terbelah ini, kita akan menemukkan jatidiri yang sesungguhnya. Yang merupakan resistensi dari kanon atau budaya yang dominan.

Dari perkembangan sastra kita dari zaman ke zaman menunjukkan gejala yang hampir sama. Diantaranya terjadi tarik menarik antara yang tradisi, modern, sinkretisme keduanya atau postmodernisme. Hal ini bisa kita lihat dari perdebatan-perdebatan yang ada dan karya sastra yang dihasilkan. Dimana watak karya yang mewarisi, mempertimbangkan tradisi selalu hadir semenjak para pengarang melayu lama, Amir Hamzah, Ajip Rosidi, WS Rendra, Sutardji Cazlom Bacri, Linus Suyadi, Korrie Layun Rampan dll, hingga kini. Yang pada hakikatnya mereka mencercap spirit lokal dan hendak disintesakan dengan sastra nasional, bahkan dunia. Karena itu sastrawan Subagiyo Sastrowadoyo, menyatakan, Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan dan Goenawan Mohamad, memandang, Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang. Ini artinya kita selalu berada dalam perbatasan dan perjumpaan, saling hilir mudik mempengaruhi, bahkan mungkin tanpa kita sadari.

Kedepan dapat kita lihat sastra multikultur akan makin marak. Sedang yang selama ini kita lihat, masih digandoli subkebudayaan-etnis yang terlalu berat. Contoh beberapa karya dari, Linus Suryadi, Umar Kayam, Korrie Layun Rampan, Wisran Hadi dan Chairul Harun. Pada sastra masa depan tentunya akan kita jumpai sastra multikultur yang mampu melakukan sintesa kultur-etnis yang lebih baik. Sehingga menghasilkan sastra hibrida yang memiliki jati diri sendiri, baik itu sastra multikultur yang berbahasa Indonesia atau yang mengunakan bahasa Inggris, bahkan bahasa Inggris bercitra rasa Indonesia.

Namun pada pertengahan Oktober 2010, Kanselir Jerman, Angela Merkel, membuat pernyataan yang mengejutkan. Ia menegaskan, usaha membangun multikulturalisme di Jerman telah mengalami kegagalan total. Bahkan dua partai Uni Demokrat Kristen dan Uni Sosial Kristen, berkomitmen mewujudkan kultur Jerman yang dominan dan menentang bentuk multikulturalisme. Dan pernyataan ini diucapkan dimana neoliberalisme dan global modial sedemikian dahsyatnya. Komitmen itu memiliki arti penting, bahwa identitas nasional menjadi sebuah wilayah yang paling vital dan menentukan. Di Perancis juga sedang membentengi indentitas nasionalnya, dimana bahasa Perancis menjadi hal yang utama, sebagai jati diri bangsa. Ini artinya multikulturalisme yang terjadi hanya semu belaka, basa-basai, sebuah bayang-bayang dari keragaman. Apakah kesemu-semuan itu juga terjadi dalam kehidupan karya sastra. Sastra multikulturalisme yang ada dan akan berkembang hanyalah bayang-bayang kesusastraan yang sesungguhnya. Untuk menjawabnya tentu kita memerlukan telaah yang mendalam. Dan biarlah masa depan sastra sendiri yang membuktikannya.
***

*) Penyair dan Anggota Biro Sastra DK-Jatim
Sumber: http://syoga.blogspot.com/2010/11/realisme-dan-sastra-multikultur-masa.html

Minggu, 13 Februari 2011

Sejarah Silam dan Romantisme Pesagi

Anton Kurniawan *
http://www.lampungpost.com/

Sebagai muasal, masa silam adalah ibu kandung yang telah melahirkan apa yang kita jalani saat ini. Tak perlu diperdebatkan. Bahkan sang orator, Putra Sang Fajar, Soekarno berkata, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.”

Namun, agaknya derasnya arus zaman serta kuatnya hempasan gelombang modernisasi saat ini memaksa kita lupa sejarah masa silam. Dan bila kita lalai, peristiwa masa lalu yang penuh nilai dan mengajarkan kearifan itu akan ber-balin rupa serupa debu yang lantak di bawah lesat hujan. Tak ada yang mengenangnya.

Kelahiran novel Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni yang diluncurkan 15 Januari 2011 patut kita sambut dan mendapat apresiasi. Novel yang mengangkat kisah seorang ratu penguasa Sekala Bgha ini dicetak pada Januari 2011 dan terbitkan BE Press, Lampung. Novel mitologi ini setidaknya menjadi sebuah oasis di mana kita bisa membaca masa silam dan sejarah muasal ulun Lampung. Buku setebal 501 halaman ini menjadi semacam sumber air di hamparan gurun yang memang sangat dinantikan kehadirannya. Membaca buku ini, kita seperti menyelam di kedalaman perigi yang memberikan kesegaran usai menempuh perjalanan, sekaligus menyimpan jawaban dari sekian pertanyaan yang menggelayut di benak masyarakat Lampung.

Hadirnya buku ini telah menyelamatkan sebagian peradaban yang terserak, serta memberikan pemahaman tentang sejarah. Novel yang memadukan fakta sejarah dan imajinasi ini merupakan novel pertama yang lahir di bumi Lampung meskipun novel sejenis telah banyak terbit di belahan lain tanah ini, sebut saja Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Para Priyayi karya Umar Khayam. Lahirnya buku ini, sekaligus membuktikan bahwa Lampung memang sangat pantas diperhitungkan dalam dunia sastra Indonesia. Setidaknya, Negeri Para Penyair kini melahirkan seorang novelis.

Melalui novel Perempuan Penunggang Harimau ini, Ramdhoni berupaya menggali nilai-nilai kearifan lokal guna menyelamatkan masa silam dan menyajikannya secara sederhana. Novel ini mengisahkan budaya masyarakat Lampung Saibatin sebelum masuknya agama Islam, serta bagaimana agama Islam memengaruhi kehidupan masyarakat kemudian. Dalam buku ini Ramdhoni mampu menghidangkan cerita serta berupaya menggambarkan suasana dan berusaha mengajak pembaca untuk bisa berbaur dan lebur dalam masa silam yang sentimental, heroik, dan romantisme.

Lihat saja pada halaman 1: “Suara tangis memecah hening tengah malam. Merobek langit gelap malam itu. Seorang bayi perempuan lahir di Lamban Dalom Sekala Bgha. Kehadirannya telah dinanti melewati puluhan purnama…. ” Dalam novel ini Ramdhoni mampu menghadirkan kepada pembaca tentang nilai-nilai dan norma-norma lokal yang patut diteladani, salah satunya memegang penuh keyakinan dengan risiko apa pun. Bahkan kematian sekalipun. “Takkan kurelakan tanah ini sejengkal pun kau curi. Selama Dewata belum mencabut nyawaku, tidak seorang pun berhak memaksaku menyera. Perangi dulu diriku, sudahi dulu riwayatku, maka setelah itu kau boleh bersorak girang di atas bangkaiku dan bangkai negeriku. Tidak perlu kau perabukan aku dengan kehormatan. Aku tak butuh kau muliakan…tanah keramat ini akan memamah jasadku hingga tandas.” (Hlm. 403)

Fakta sejarah dalam ini cukup valid dan (barangkali) dapat dipertanggungjawabkan, mengingat sang penulis yang merupakan penduduk asli adalah mahasiswa program Ph.D Sains Politik di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), Bangi, Malaysia .

***

Membaca buku ini terlihat kepiawaian M. Harya Ramdhoni dalam menggali kata-kata kemudian menjalinnya menjadi sebuah bahasa sastra yang memikat dan tak membosankan. Dengan fakta-fakta yang disajikan, novel ini mampu membuka cakrawala berpikir, sekaligus menghadirkan masa silam yang niscaya memendam kekayaan ide, impian serta, kekuatan manusia pada suatu zaman.

Selalu ada yang pantas dikenang dari masa lalu yang kerap alpa kita ingat, atau belum kita ketahui, dan buku ini serupa seorang sahabat yang mengingatkan kita bahwa kita memiliki sejarah sebagai cermin meraih masa depan.

Yang menarik dalam buku ini adalah ide dan keyakinan penulis tentang sebuah takdir, garis nasib seseorang. Melalui tokoh Sekeghumong, sang perempuan penunggang harimau, Ramdhoni mengatakan bahwa takdir adalah sebuah ketentuan yang tak bisa ditolak. Ia adalah semacam dunia lain yang pantang dipertanyakan. Namun, sebagai manusia sangat tidak pantas jika kita berdiam diri menunggu datangnya sang takdir, karena itulah kita wajib berjuang untuk mewujudkan mimpi-mimpi.

Namun, ada beberapa hal yang menurut saya perlu perhatian. Bahkan sebagai pembaca saya beranggapan kesalahan-kesalahan (yang mungkin dianggap sepele) itu merupakan sebuah kesalahan yang cukup fatal. Di antaranya dalam penggunaan imbuhan. “Bertahanlah saudaraku.” Layang Taji mengkuatkan sahabatnya (hlm. 460). Serta masih ada beberapa kata yang juga butuh perhatian dari editor dan pemeriksa aksara, di antaranya “mengkisahkan”, “dipohonkan”.

Lalu, dalam upayanya mengahadirkan sebuah novel yang mengangkat tema asal-usul, mitologi, dan sebagainya, penulis harus mampu mengawinkan sisi penceritaan dan data. Penulis sangat berhasil menggambarkan suasana dan menghadirkan fakta sejarah terkait dengan masyarakat Lampung. Namun, penulis kurang maksimal dalam menghadirkan ketegangan-ketegangan dari setiap peristiwa, mungkin karena jangkauan peristiwa yang sangat luas sehingga detail-detail setiap peristiwa kurang maksimal dihadirkan. Akibatnya setiap permasalahan selalu selesai terlalu cepat nyaris di setiap bagian sehingga emosi pembaca tak pernah mencapai puncak. Beruntung, pada bagian terakhir, yakni Bagian 24, Pangeran Terakhir, (hlm. 483) Ramdhoni berhasil membuat pusaran yang mampu menenggelamkan pembaca dalam arus cerita.

Kelebihan Ramdhoni dalam buku ini adalah ia mampu memadukan teori keilmuwan dan daya imajinasi yang menghasilkan bahasa dan tutur yang memesona.

*) Guru SMAN 1 Abungsemuli, berdarma di Sanggar Teater Komunitas Akasia, Lampung Utara.

Hal Ihwal Identitas Lampung

Budi Hutasuhut*
Lampung Post, 5 Des 2006

Hal ihwal identitas dalam produk-produk kebudayaan kita, termasuk dalam karya sastra, melahirkan polemik yang tak berkesudahan sejak zaman Sutan Takdir Alisjahbana. Kesimpulan dari setiap polemik selalu saja “tak ada yang bisa disimpulkan” karena semua identitas yang bertebaran di lingkungan masyarakat memiliki argumentasi yang cocok dan pas untuk menjadi representasi nasional.

Setiap kelompok mengakui bahwa identitas yang dimilikinya paling representatif, tetapi mereka tidak pernah berjiwa besar untuk mengakui bahwa semua identitas yang ada di negeri ini bisa menjadi representasi nasional. Karena keyakinan itu, setiap kelompok akhirnya hanya memikirkan bagaimana caranya agar identitas yang dimilikinya mendapat pengakuan secara luas sebagai orientasi nasionalisme.

Dengan cara berpikir itu, mereka memosisikan identitas kelompok lain sebagai lain (the other), sesuatu yang tak perlu diperhatikan apalagi dipikirkan. Mereka malah berharap identitas di luar identitasnya harus dipunahkan agar kelompok-kelompok pemilik identitas bersangkutan bisa mengubah orientasinya.

Tetapi, mereka tidak pernah secara bijak untuk menjelaskan kenapa kelompok lain harus menerima identitas mereka tanpa sikap kritis. Karena sebetulnya mereka sendiri kurang paham dengan identitas yang dimiliki, meskipun berusaha mempertahankannya dengan cara yang sering mengorbankan rasa kemanusiaan.

***

SITUASI seperti itulah yang dapat ditangkap dari tulisan Firdaus Augustian, Fachruddin, Muhammad Aqil Irham, dan Udo Z. Karzi yang dimuat beberapa hari di koran ini. Setiap upaya yang dilakukan para penulis untuk membicarakan kembali ihwal falsafat hidup orang Lampung–bahkan termasuk upaya Rizani Puspanegara dalam menulis buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran–lebih kuat dipengaruhi keinginan agar identitas Lampung menjadi representasi seluruh masyarakat di provinsi ini.

Inilah politik representasi yang sudah tentu akan mengalami benturan keras dengan ragam identitas kebudayaan yang tumbuh di provinsi ini. Bukan saja disebabkan kelompok-kelompok yang ada juga memiliki keinginan agar identitas kebudayaannya menjadi representasi nasional, tetapi karena masih belum jelas bagi siapa saja mengenai batas-batas demarkasi identitas Lampung itu sendiri.

Sampai detik ini, di antara pemilik identitas Lampung ada dua identitas yang sangat dominan dan mendapat pengakuan dari pemerintah. Identitas pertama menyebut diri Pepadun, yang lain menyebut diri Peminggir (Pesisir). Tegasnya batas demarkasi antara keduanya, paling nyata pada wilayah demografi, sistem sosial, sistem budaya, dan pola mata pencaharian para penganutnya. Sebagai contoh, orang Lampung dapat dengan mudah dibedakan dari bentuk atap rumah tradisonalnya, ditambah lagi persoalan dialek bahasanya.

Setiap penganut kedua identitas ini sama-sama berusaha menjadi representasi Lampung, yang justru menyebabkan hal itu sulit terealisasi. Semestinya mereka menyadari pentingnya menjaga harmoni. Tetapi, sekalipun setiap identitas telah memperlihatkan kemampuan luar biasa untuk menjaga harmoni, pada sisi lain kita melihat betapa kedua penganut identitas ini sulit dipersatukan karena batas demarkasi diantara keduanya sangat tegas.

Seseorang dari penganut identitas Peminggir (Pesisir), sulit diterima dalam lingkungan masyarakat penganut identitas Pepadun. Namun, penganut identitas Peminggir (Pesisir) baru bisa diterima lewat sebuah proses adat yang sangat panjang dan melelahkan. Prosesi adat itu bisa diterima sebagai upaya untuk menjaga harmoni, tetapi dampaknya tidak bisa diterima akan melahirkan suatu keadaan ideal.

***

KETIDAKJELASAN identitas Lampung menyebabkan penganut ragama identitas budaya yang ada tidak terlalu peduli terhadap masa depan identitas Lampung. Bagaimana mungkin penganut identitas lain akan peduli dengan identitas Lampung, sementara penganut identitas Lampung itu tidak pernah memperlihatkan kesungguh-sungguhan mereka untuk menjaga harmoni dengan menciptakan sebuah situasi yang ideal.

Sebab itu, perlu dirumuskan satu solusi seperti yang telah dilakukan ketika Pemerintah Daerah Provinsi Lampung mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Tari Sembah (Sigeh Pengunten). Tari yang diresmikan sebagai tarian Lampung untuk menyambut para tamu penting di pemerintahan itu, merupakan hasil kreasi para kereografer dengan cara mengambil gerakan-gerakan dari sejumlah tarian yang dimiliki identitas Pepadun maupun Peminggir (Pesisir).

Penerimaan terhadap Tari Sigeh Pengunten kreasi baru ini menunjukkan bahwa setiap penganut identitas Lampung bisa menerima hal baru yang dirumuskan dari produk-produk kebudayaan mereka. Artinya, identitas Lampung yang dualisme menjadi satu dalam tari Sigeh Pengunten.

Hal serupa ini bisa diwujudkan dengan merumuskan identitas Lampung yang tidak dualisme dan bisa diterima seluruh kalangan. Dalam bahasa, misalnya, perlu dirumuskan satu bahasa yang menyimpan di dalam warisan identitas Pepadun maupun Peminggir (Pesisir).

Ketika bahasa Lampung hasil kesepakatan itu disosialisasikan kepada penganut identitas berbeda yang ada di provinsi ini, hal itu tidak lagi menimbulkan kesulitan berarti. Bahkan, ketika dalam muatan lokal bahasa Lampung masuk dalam materi kurikulum dunia pendidikan, publik yang luas tidak akan mengajukan pertanyaan: Apakah muatan lokal bahasa Lampung itu menggudakan dialek “nyo” atau dialek “api”.

Setiap orang akan meyakini dan mempelajari bahwa “inilah bahasa Lampung”. Soal dialek yang berbeda, “nyo” atau “api”, biarkan menjadi keragaman yang memperkaya khazanah budaya Lampung, terutama pada tingkat aplikasi dalam percakapan sehari-hari.

Tentu saja semua ini akan terwujud jika mereka yang merasa bertanggung jawab terhadap kelestarian identitas Lampung tidak cuma memikirkan identitas Pepadun atau Peminggir (Pesisir). Jika ini berhasil, bukan hal yang sulit untuk menafsirkan kembali falsafat hidup piil pesenggiri yang dibanggakan orang Lampung.

* Budi Hutasuhut, Aktif di Dewan Kesenian Lampung
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2006/12/esai-hal-ihwal-identitas-lampung.html

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati