Senin, 21 Maret 2011

Godaan Puisi Dalam Politik

Bandung Mawardi*
Pikiran Rakyat, 23 Agus 2008

KONDISI politik Indonesia mulai masuk dalam dunia kata dan imajinasi. Perdebatan dalam wacana pemimpin tua dan muda menjadi ramai dengan sekian pernyataan politik dalam konstruksi bahasa imajinatif. Puisi menjadi pilihan untuk merumuskan pemikiran atas konsep kekuasaan dengan pertimbangan efek estetika dan sosial-politik.

Berita mengejutkan muncul dari Tifatul Sembiring (Presiden PKS) yang membacakan “Mega Pantun” di Bandung (Senin, 2 Agustus 2008) untuk memberi tanggapan balik dan tantangan pada Megawati Soekarnoputri. Pantun itu lahir dari tegangan perdebatan politik mengenai pemilihan presiden 2009 dalam konteks kaum muda dan kaum tua. Kehadiran pantun itu menjadi sesuatu yang unik dan menggelitik sebab tradisi politik Indonesia sejak Orde Baru selalu terkungkung dalam bahasa-bahasa formal dan retorika kaku.

Tifatul Sembiring mengungkapkan bahwa pembacaan pantun itu untuk merespons semua capres. Tifatul dengan eksplisit hendak mengambil posisi beda dari perdebatan panas antarcapres dengan pernyataan-pernyataan politis. Penempatan pantun sebagai hiburan tentu menjadi fenomena menarik dalam perpolitikan Indonesia. Tifatul memberi kesadaran kritis bahwa dalam arus dan alur politik Indonesia membutuhkan hiburan. Hiburan itu dalam pengertian Tifatul adalah pantun politik.

Inilah petikan pantun politik dari Tifatul Sembiring: Anak balita bertopi merah / Topi terbuat dari bahan katun / Daripada ibu jadi pemarah / Lebih baik kita berbalas pantun // Jadi pemimpin mesti telaten / Sambangi rakyat yang tak berbaju / Kalau ibu nak jadi presiden / Monggo kerso silakan maju // Buat apa pergi ke seberang / Airnya susu banyak berbatu / Buat apa melarang orang / Dah terbayang kursi RI satu. Apa pantun ini patut dibaca dan sekadar ditafsirkan sebagai hiburan? Tifatul Sembiring memang genit untuk masuk dalam perdebatan politik yang penuh godaan dan risiko untuk wacana pilihan presiden 2009. Pantun itu lebih dari sekadar hiburan sebab ada substansi mengenai ide, kritik, dan kepentingan politik.

Mengapa Tifatul memilih bentuk pantun? Pertanyaan ini patut diajukan untuk mengetahui peran pantun itu dalam konteks estetika dan politik. Pantun memang memiliki sistem longgar untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran. Pantun dengan konvensi-konvensi estetika (sampiran dan isi) memungkinkan seseorang dengan lihai memainkan bahasa dan imajinasi. Tifatul dengan canggih memilih bentuk pantun itu untuk pengungkapan terbuka dengan tingkat sensitivitas politik yang tinggi. Pantun mungkin jadi juru bicara ampuh untuk Tifatul ketimbang dia membaca teks pidato atau menulis risalah politik untuk publik. Pantun satu sisi menjadi representasi pandangan politik dan di sisi lain menjadi kesadaran estetis pemain politik untuk sadar bahasa dan imajinasi.

Fenomena puisi (pantun) masuk politik memang sesuatu yang masih ganjil untuk konteks Indonesia. Ignas Kleden (Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia, 2001) mengingatkan bahwa puisi dan politik berada dalam ambivalensi yang sama. Puisi dan politik berjumpa dalam serba kemungkinan. Ignas Kladen memberi suatu pemahaman historis bahwa politik mulai zaman Bismarck adalah seni kemungkinan (the art of the possible) dan puisi mulai zaman Aristoteles adalah dunia kemungkinan (the wordl of the possible). Pembayangan Ignas Kleden atas kondisi Indonesia adalah politik sebagai seni kemungkinan bisa menemukan dirinya kembali dalam puisi sebagai dunia kemungkinan.

Pantun politik Tifatul adalah lanjutan dari fragmen politik mutakhir. Kesadaran estetika dan imajinasi dalam lakon politik Indonesia mulai eksplisit melalui iklan-iklan politik dan agenda-agenda politik-kebudayaan. Fenomena mengejutkan mulai kentara pada penampilan iklan politik Sutrisno Bachir (Ketua Umum PAN) menjelang puncak peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Iklan politik itu eksplisit menghadirkan kesadaran estetika dengan pemakaian referensi puisi “Diponegoro” dari Chairil Anwar. Kutipan penting untuk roh iklan politik itu: “Sekali berarti, sudah itu mati.”

Ungkapan itu menjadi acuan untuk interpretasi politis: “sekali berarti” adalah sebuah penegasan bahwa esensi kehidupan adalah perbuatan, kehendak untuk mencipta, dorongan untuk memberi yang terbaik, serta semangat untuk menjawab tantangan zaman. Tafsir itu hendak mencitrakan sosok dan pandangan Sutrisno Bachir mengenai kondisi Indonesia. Sutrisno Bachir lalu dengan taktis memakai ungkapan “hidup adalah perbuatan” sebagai aporisma politik yang estetis dan imajinatif dalam konteks politik. Iklan politik itu jadi bukti kontribusi Sutrisno dalam konstruksi politik Indonesia mutakhir dengan referensi puisi Chairil Anwar dan kesadaran atas imajinasi politik.

Pencitraan Sutrino Bachir dalam iklan politik merupakan realisasi dari kerja sama dengan tim produksi dari Rizal. Sentuhan-sentuhan estetika itu mungkin berasal dari Rizal untuk memberi karakteristik kuat dan implikatif. Iklan politik itu memang sanggup menjadi pusat perhatian publik dan memberi kesan progresif dalam penggarapan iklan sesuai dengan wacana kebudayaan visual mutakhir. Iklan politik dengan referensi puisi mulai mendapatkan perhatian besar dari pemain politik dan publik.

Kesadaran estetis dan imajinasi politik pun kentara dalam iklan politik Rizal Mallarangeng yang memutuskan untuk maju sebagai calon presiden. Aporisma terkenal dari Rizal adalah “If there is a will there is a way” (Jika ada kemauan, selalu ada jalan terbuka). Rizal dengan sadar memilih karakter estetik untuk menjadi jembatan dalam komunikasi dengan publik. Kesadaran itu mulai mengesankan kekuatan dan identitas intelektual dalam pemakaian bahasa Inggris. Rizal cenderung menampilkan diri sebagai sosok intelektual yang patut untuk menjadi pemimpin di Indonesia. Pemakaian bahasa Inggris itu mungkin terasa paradoks dengan kondisi masyarakat literasi Indonesia yang terbiasa masuk dalam wacana politik dengan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris memang belum lazim untuk jadi pilihan komunikasi politik dengan publik.

Citra intelektual Rizal mungkin pengaruh selama studi dan menjadi pengajar di Amerika Serikat. Pengaruh itu semakin kentara dengan referensi puisi yang dihadirkan Rizal dalam advertorial di koran nasional. Advertorial dengan judul “Surat buat Semua” mencantumkan kutipan puisi dari penyair Robert Frost dari Amerika. Proses atau jalan politik yang ditempuh Rizal dalam perpolitikan Indonesia ingin menemukan pembenaran dengan acuan ungkapan terkenal dari Robert Frost: “This is a road less-traveled bay”. Rizal dengan kutipan puisi itu membayangkan bahwa ada pertemuan imajinasi dan kondisi riil dalam politik Indonesia.

Sutrisno Bachir dan Rizal Mallarangeng memosisikan diri sebagai pemain dengan referensi puisi. Posisi itu berbeda dengan Tifatul Sembiring yang berani menjadi pemain dengan pantun politik. Tifatul memang selama ini tidak dikenal sebagai penyair, tetapi kehadiran pantun politik itu membuktikan kesanggupan dan kesadaran Tifatul bahwa politik butuh imajinasi atau permainan bahasa yang estetis. Pemain (capres) lain yang belum tampil terbuka dengan iklan politik atau puisi adalah M. Fadjroel Rachman dan Ratna Sarumpaet. M. Fadjroel Rachman memang seorang penyair, esais, dan novelis. Kompetensi sastra itu itu belum jadi juru bicara ampuh dalam komunikasi politik meski Fadjroel Rachman sebelum pencalonan diri sudah menerbitkan buku kumpulan puisi Catatan Bawah Tanah (1993) dan Sejarah Lari Tergesa (2004). Ratna Sarumpaet sebagai seniman yang intens dalam teater dan sempat mengurusi Dewan Kesenian Jakarta juga belum hadir dengan puisi untuk komunikasi politik dengan publik.

Politik Indonesia menjadi ramai dan imajinatif dengan puisi. Pemakaian bahasa dengan bentuk puisi bisa melawan (menandingi) kodifikasi bahasa politik Indonesia yang selama ini cenderung kaku, formal, dan prosais. Politik menjadi pelangi dan reflektif karena puisi memberi hak untuk sekian interpretasi dengan tegangan teks dan realitas. Begitu.***

*) Peneliti Kabut Institut (Solo)
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/08/esai-godaan-puisi-dalam-politik.html

Belajar dari Ki Hadjar

BS Mardiatmadja
Kompas, 19 Maret 2011

SANGAT menarik bahwa pada akhir Februari 1933 Ki Hadjar Dewantara sudah menulis tentang teroris dalam majalah Pusara. Waktu itu ia mengajak negara agar sesegera dan setegas mungkin mencegah perbuatan teror.

Tindakan teror ia temukan dalam orang yang merusak milik orang lain dan merasa lebih dicintai pemimpin negara karena terornya kepada orang lain tak dihukum sewajarnya.

Ketika Ki Hadjar mendapat gelar doktor honoris causa (19 Desember 1956), Prof Sardjito memuji keberaniannya melawan Pemerintah Belanda dengan tulisannya, ”Als ik een Nederlander was”: menghadapi perbedaan paham-paham dengan argumentasi, bukan dengan kekerasan.

Tak takut akan teror

Selanjutnya, Sardjito menunjukkan tekad Ki Hadjar untuk tak hanya menulis dan bicara, tetapi juga segera bekerja keras membangun Tamansiswa. Dalam pidato sambutannya, Ki Hadjar menunjukkan tak takut akan teror dan melontarkan kritik keras lagi terhadap pendidikan Belanda. Namun, dia mengatakan juga agar kita tak ikut memperbesar teror atau ketakutan di kalangan rakyat.

Selanjutnya, ia menolak membalas teror dengan teror dengan justru mengatakan, ”Jangan sampai anak-anak Belanda di antara kita tidak mendapat pengajaran dan pendidikan. Kita harus bersama-sama mencari kebenaran.”

Kedua cendekiawan nasionalis ini menolak memencilkan lawan politik dan musuh militer. Mereka malah membuka peluang agar terus-menerus berbagi kemerdekaan dan bersama mencari kebenaran hidup. Betapa mereka itu berbeda dengan sejumlah pembesar negara saat ini: mau membungkam lawan politik atau orang yang berbeda keyakinan atau agama dengan membekukan aliran atau meminggirkan pihak lawan.

Rupanya bagi Sardjito dan Ki Hadjar, pembinaan dan pendidikan dalam masyarakat membuka kesempatan hidup bersama bagi orang yang bermusuhan, beda pendapat, dan lain keyakinan. Mere- ka tidak melawan teror dengan teror, tak mau pula membiarkan teror menghantui rakyat. Mereka melawan teror tidak dengan kekerasan, tetapi dengan argumentasi, dan memfasilitasi rakyat membuka komunikasi. Itu terjadi puluhan tahun silam saat republik ini hampir lahir dan sesudahnya ketika Indonesia masih muda.

Dalam suatu pertemuan di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia belum lama ini, Prof Musdah Mulia mengkritik orang-orang yang katanya atas dasar agama melakukan kekerasan, tak hanya dengan menghancurkan milik orang lain, juga dengan menciptakan aturan dan perda yang memerkosa hak asasi rakyat kecil dan minoritas. Pada kesempatan lain, Komnas HAM prihatin dengan kurangnya usaha pejabat tertentu memfasilitasi komunikasi antar-rakyat, malah memberi contoh bahwa mereka tak mampu berkomunikasi serta takut kritik. Di Wahid Institute, belum lama ini terdengar seruan, cukup banyak pemikir dan pemerhati masyarakat menyesalkan pejabat yang memberi kesan takut kepada perusuh dan malah merangkul orang-orang yang membuat teror bagi orang lain.

Lalu, terciptalah teror-teror baru berupa perda-perda yang membuat orang ngeri karena perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan sudah dikriminalkan. Dalam banyak diskusi dirasakan seakan-akan mubazirlah inisiatif Habibie membuka iklim terbuka di dunia politik kita dan terlupakanlah upaya Gus Dur menciptakan persaudaraan ketika memimpin negara ini.

Ada kesan kuat pemimpin negara dan aparatnya tak jelas-jelas melindungi korban keganasan fisik, malah mengalah terhadap teror mental sekelompok kecil orang dalam suatu republik yang oleh Obama dikatakan sebagai teladan toleransi ketika berkunjung di UI, Depok.

Kehilangan orientasi

Agaknya banyak bagian bangsa ini kehilangan orientasi dalam bernegara dan menyelesaikan perbedaan paham. Banyak hal mau ditutupi dengan koalisi sementara yang sangat beraroma kepentingan politis jangka pendek dan bukannya diarahkan oleh prinsip bernegara yang teguh dan berjangka panjang. Dilupakan bahwa kita punya Pancasila yang deretan sila-silanya bermuara pada keadilan sosial.

Keadilan sosial justru mau menguatkan keadilan legal (yang kerap lumpuh seperti di Indonesia saat ini), keadilan distributif (yang dirusak oleh monopoli dagang dan perekonomian yang orientasinya ke modal besar), dan keadilan komutatif (yang terbukti hanya memenangkan mereka yang kuat secara fisik, ekonomis, ataupun politis). Sebab, dalam keadilan sosial diupayakan agar kelompok atau komunitas kecil(-kecil) tetap terlindungi di tengah keganasan rebutan kuasa dan kejayaan.

Bila diskusi sekitar Agustus 1945 dicermati benar-benar, dialognya tidaklah mengenai agama, tetapi mengenai persaudaraan di antara siapa pun yang mau menjadi bagian republik muda ini.

Sekian banyak perundingan ditujukan untuk merangkul siapa pun yang mau bergabung dengan para inisiator proklamasi kemerdekaan. Tak satu pun kelompok—sekecil apa pun—yang tak difasilitasi untuk bergabung. Di balik rumusan Bhinneka Tunggal Ika tersembunyi bukan sekadar strategi politik dan militer, melainkan juga sikap kemanusiaan mendalam. Itulah sebab dari kehadiran sila ”peri kemanusiaan” dalam rangkaian dengan ”persatuan bangsa Indonesia dan musyawarah”.

Ketika kemudian menjadi menteri yang mengurusi persekolahan demi pencerdasan anak-anak bangsa, Ki Hadjar ikut memastikan sekolah kecil tak hancur karena perubahan politik dan ekonomi. Juga sesudah tak lagi jadi menteri, ia memperjuangkan subsidi bagi sekolah kecil.

Dengan demikian, terdidiklah rakyat dan para pejabat agar berpendirian bahwa dalam negara ini siapa pun disambut dengan tangan terbuka untuk jadi warga negara dan diperlakukan setara dengan orang lain justru kalau kecil dan lemah.

Implikasinya harus tampak dalam UU, peraturan pemerintah, perda, dan penegakan keadilan. Aparat pemerintah tak pernah boleh gentar menghadapi kekerasan kelompok apa pun: membela si kecil yang diancam harta, apalagi nyawanya. Ada sesuatu yang amat diperlukan warga lemah: ketika makanan mahal, rumah rusak, lampu tak tersedia, keamanan rapuh, di situlah warga kecil mengorientasikan hidupnya kepada Tuhan.

Keyakinan atau agama yang tak dapat direduksikan pada upacara dan ajaran (yang memang terasa perlu saat tenang) adalah orientasi dasar manusia paling mendasar. Mukadimah UUD 1945 jelas memahami hal itu, tetapi tidak oleh sejumlah pejabat masa kini. Padahal, justru dalam hal itulah para pendiri negara kita berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh dunia, yang dalam PBB memaklumkan hak-hak asasi manusia.

Seyogianya negara kita tak dibuat terpencil dari pergaulan internasional karena perilaku dan cara kerja segelintir pejabat yang hanya akan punya waktu terbatas dalam mengabdi bangsa.

Ki Hadjar sudah mengajarkan orientasi bangsa yang jelas.

BS Mardiatmadja, Rohaniwan
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/03/belajar-dari-ki-hadjar.html

Mendialogkan Keberadaan Gathak dan Gathuk

M.D. Atmaja
http://phenomenologyinstitute.wordpress.com/

Keresahan itu selayaknya kawan mesra yang kedatangannya tanpa harus kita rindukan, juga seringkali datang tanpa terlebih dahulu membuat janji. Resah yang memang terlahir dari keinginan diri – yang dalam bahasa kerennya: mimpi – yang belum sempat tergapai. Berangkat dari keinginan ini, manusia dapat dikatakan memiliki sifat hidup. Akantetapi, tidak lantas kita langsung menterjemahkan kalau “keinginan” itu memiliki arti mengenai “hidup”, sebab hal tersebut tidak ada di dalam kamus, dan masyarakat Jawa lebih senang dalam “sepi ing pamrih” serta untuk “mati selagi hidup dan hidup selagi mati”.
Melepaskan paradigma hidup manusia Jawa yang super rumit, bahwa keinginan sebagai pendorong bagi manusia untuk bergerak di atas dunia. Bergerak untuk mengisi perjalanan waktu dengan sesuatu (kegiatan) yang dapat membawa pada pencapaian mimpi, yang akhirnya akan membawa kita pada mimpi(-mimpi) yang lain. Kita sama-sama menyadari jikalau salah satu watak manusia yang teramat menonjol adalah ketidak-puasan.

Pembentuk dari watak manusia ini oleh keinginannya sendiri yang terkadang teramat sederhana: Hanya menjadi Bupati, meskipun itu adalah Bupati Kethoprak. Manusia yang jauh dari kepuasan, tidak menunjukkan suatu sifat buruk. Jikalau saja manusia melepaskan segala keinginannya, maka manusia tidak akan hidup lagi. Pohon, bebatuan juga memiliki keinginan (dan hanya sebangsa mereka saja yang tahu keseluruhannya).

Hari ini terasa lebih melelahkan setelah beberapa saat berkutat dalam perselingkuhan dengan teknologi. Sampai seorang kawan dari Lamongan menginjakkan kakinya di Yogyakarta, singgah ke kantor cerpenis teguh Winarso AS. Sebenarnya sudah dari tadi malam (Rabu 16 Maret 2011) kawan saya dari Lamongan itu datang. Tapi sayang, saya tidak bisa beranjak dari meja kerja untuk menyambut sebab di malam yang sama saya sudah memiliki janji dengan saudara: Kangmas Gathak dan Dhimas Gathuk,untuk membahas mengenai keberadaan mereka dalam dunia modern.

Gathak dan Gathuk suatu wacana mengenai ilmu pengetahuan yang tidak ter-teks-kan, akantetapi memberikan ruang lingkup yang cukup banyak. Dua unsur kehidupan yang diproduksi oleh masyarakat Jawa ini sarat akan nilai, yang kalau dalam pandangan Husserl disebut sebagai “dunia kehidupan” masyarakat Jawa. Gathak dan Gathuk adalah dua unsur berbeda yang menjadi satu dan sekaligus utuh serta menyeluruh (holistik). Tidak boleh dipisahkan satu sama lain, karena dengan meng-gathak menjadi gathuk (sesuai). Hal yanng terkesan remeh dan tidak memiliki suatu sistem ilmiah. Tapi masak iya seperti itu? sekarang kita lihat, bahwa di dalam berbagai ilmu sosial (filsafat) faktor utama apa yang menjadi pijakan? Kalau menurut saya, faktor tersebut adalah pengalaman manusia.

Aspek pengalaman sebagai bahan dasar dari ilmu pengetahuan. Paradigma Fenomenologi mengkhususkan diri untuk menjadikan pengalaman sebagai bahan kajian utama, begitu juga dengan paradigma ilmu pengetahuan lain yang berangkat dari pengalaman.

Bagi saya, Gathak dan Gathuk adalah bagian dari ilmu sosial kita (masyarakat Jawa secara khusus), yang memiliki nilai keilmiahan tersendiri. Hanya saja teks yang menguatkan keilmiahan Gathak dan Gathuk, saya belum ditakdirkan untuk menemukan teks tersebut. Marilah kita berusaha menilik dari landasan berikut: Ketika ilmu pengetahuan, khususnya Fenomenologi, mendasarkan kajian analisis pada pengalaman manusia, hal ini juga dapat kita temukan dalam paradigma Gathak-Gathuk. Pengalaman yang digunakan paradigma gathak dan Gathuk untuk menjelaskan suatu kejadian (bahasa ilmiahnya: fenomena) adalah dengan memanfaatkan kajian “(ilmu)titen”. Istilah ini dari bahasa Jawa yang merujuk pada tindakan untuk mengingat atau memberikan tanda (sebagai pengalaman) atas suatu pengalaman manusia. Gathak dan Gathuk membuat kesimpulan dengan berdasarkan pengalaman terdahulu.

Paradigma Gathak dan Gathuk sebagai ilmu Fenomenologi Jawa. Ilmu asli manusia Jawa yang juga berkembang pesat di Barat dengan istilah lain. Antara Fenomenologi dan Gathak-Gathuk, sejauh pengamatan saya sampai hari ini hanya memiliki perbedaan istilah, namun keduanya memiliki esensi yang sama: Pengalaman dunia kehidupan. Bukankah Fenomenologi sebagai pengalaman subjektif (pengalaman fenomenologikal) atau berdasarkan pendapat Husserl bahwa fenomenologi sebagai studi mengenai kesadaran dari perpektif pokok dari seseorang. Sekarang kita mencoba membandingkan dengan paradigma Gathak-Gathuk, bahwa “(ilmu)titen” atau mengingat adalah sebagai buah dari pengalaman subjektif (pengalaman fenomenologikal) dan kerja Gathak-Gathuk sebagai studi kesadaran di dalam menterjemahkan (atau memaknai) suatu fenomena.

Dapat saya pastikan, bahwa dari publik yang membaca ini akan mengatakan: Gathak-Gathuk itu tidak empiris. Memang akan terlihat tidak empiris bagi masyarakat yang tidak mengerti dengan proses kerjanya, akantetapi Fenomenologi pun menentang apa yang dinamakan sebagai empirisme. Fenomenologi hanya mendeskripsikan dunia setiap orang, juga mengenai sumber yang “tidak-disadari” yang mengorganisasikan kesadaran. Untuk lebih jauh lagi pembasahan mengenai paradigma Gathak-Gathuk akan saya uraikan dalam “JURNAL PEMBACA” Indonesia, yang semoga saja dapat terbit di awal April 2011 ini.

Kegelisahan itu yang menjadikan saya tega (ditambahi dengan beberapa alasan lain) untuk membiarkan kawan saya (Nurel Javissyarqi) untuk naik ojek. Baru tadi siang saya bisa mengusahakan untuk pergi, meski sepeda motor yang saya pakai sempat mogok berkali-kali. Pertemuan saya dengan Cak Nurel, sembari makan soto yang ternyata mahal, kami berbincang ngalor kemudian pergi ngidul (untuk ngalor dan ngidul lagi). Pembicaraan biasa, masalah lelaki, namun yang karena suatu tekatnya (niat baiknya) membawa pembicaraan itu ke masalah Kritik Sastra. Dari perbincangan beberapa menit, saya menemukan hal baru, mengenai keberadaan sastrawan dan kritikus sastra dan jarak diantara keduanya. Sketsa pembatas yang tidak dimengerti, kenapa harus ada diantara keduanya yang membuat dua hal ini berjarak dan terkesan “tidak-cocok”? Tapi jarak itu masih samar mengingat pandangan yang masih juga terhalangi.

Kritikus sastra terkesan elitis dengan berbagai titel dan jabatan yang mereka genggam, yang mungkin juga karena berbagai pengetahuan yang sudah direguk habis dalam studi panjang yang tidak murah. Sikap elitis itu, karena mereka sudah mendapatkan sebutan “kritikus sastra”, dapat saya pahami. Berdasarkan pengalaman semasa kuliah ketika menemukan fenomena “unik”. Yaitu ketika seorang kawan yang sedang menulis tugas akhir, kawan saya ini lupa menuliskan gelar S3 dosen pembimbingnya, yang karena memang baru saja lulus. Langsung saja si dosen yang sangat ilmiah ini tidak mau mengoreksi lantaran gelar yang besar itu tidak mengiringi nama panjangnya dan bilang: Saya kuliah untuk gelar ini perlu perjuangan yang tidak gratis. Fenomena yang memberikan saya bahan untuk melucu sembari menghabiskan Klembak-Menyan di warung kopi: ternyata seperti itu, gumam saya.

Kritikus yang elitis dengan menyandang gelar profesor, mungkin saja sudah merasa memiliki penguasaan ilmu yang tinggi. Menjadikan mereka tidak memiliki waktu lagi untuk memperhatikan gelisahan-gelisahan sastrawan dan juga kritikus sastra yang masih berumur 26 tahun dan bergelar S.S. (yang kata orang disebut sebagai: Sarjana Sudjana).

Ke-elitis-an seorang kritikus, mungkin disebabkan beberapa faktor lain. Misalnya saja, ketika ada sastrawan yang tiba-tiba mengajak berkomunikasi langsung mendapat dakwaan bahwa ada udang di balik batu (meski kadang di balik batu juga ada cacing). Maksud saya sebagai keinginan lain, untuk diangkat namanya melalui kegiatan Kritik Sastra sehingga si sastrawan menjadi populer (toh akhirnya “pop” juga) dan tercatat ke dalam buku besar sejarah sastra. Eh, tapi tenang saja, kelau semisal M.D. Atmaja berusaha membangun komunikasi itu hanya disebabkan faktor untuk mereguk tetesan embun sebagai saripati malam. Tidak lebih dari itu, sebab tidak mempermasalahkan akan tercatat ke dalam sejarah sastra yang super buram itu. Hal yang paling penting bagi seorang M.D. Atmaja adalah tercatat di dalam hati manusia. Jailah, saya langsung teringat dengan puisi Jalaluddin Rumi: “Kalau kita mati jangan mencari nisan di bumi, dapatkan itu dalam hati manusia.”

Akantetapi mungkin juga jarak diantara kritikus dengan sastrawan disebabkan dari sisi sastrawan itu sendiri. Maklum saja, sebagai seorang pemanifestasi saripati dunia, sastrawan terkadang bersifat “unik” (terjemahkan saja menurut interpretasi setiap kita). Atau memang barangkali musti ada jarak diantara mereka? Biarlah ini menjadi bahasan lain di lain kesempatan.

Dalam pembicaraan dengan Cak Nurel saya juga mendapatkan teguran, bahwa menurut beliau saya banyak menggunakan pengulangan yang tidak berarti apa-apa. Lha, langsung saja saya bantah dengan berstatmen kalau pengulangan-pengulangan itu sebagai teknik penyampaian pesan. Terkadang dengan pengulangan itu saja, kita masih jarang untuk mengerti akan pesan yang tertuang dalam sebuah karya, pesan atas sebuah pertanda. Kalau membicarakan pesan di dalam tanda, ujung-ujungnya saya akan membicarakan masalah Gathak dan Gathuk lagi, karena itu lebih baik kalau hal ini dikesampingkan lebih dahulu.

Kita langsung saja merujuk pada contoh: Televisi yang seringkali kita tunggui, berapa kali melakukan pengulangan iklan sampai menghabiskan biaya ber-M-M bahkan lebih (ber-M-M membuat saya teringat dengan cerita para pengikut Nabi yang merayakan ultah nama kumpulan dan menghabiskan ber-M-M itu, padahal Nabi berpesan: Hidup dengan sederhana).

Pengulangan adalah teknik penulisan dalam rangka menyampaikan pesan. Lha, pesan yang disiarkan lima kali dalam sehari masih nampak menjadi pesan (seruan) yang tidak sampai, apalagi kalau disampaikan sekali juga dengan bahasa yang rumit?

Semua ini, hanya tentang diri saya sendiri.

Sampai tiba waktunya saya beranjak pulang, Cak Nurel membingkisi dengan dua hal. Salah satunya 2 eksemplar buku yang baru selesai dicetak sebagai bingkisan manis dari Penerbit Pustaka Pujangga. Buku kumpulan cerpen yang juga mendapatkan dukungan (kata-kata) dari beberapa orang terkenal (masak seperti Pilpres, perlu dukungan?) Dalam kumpulan cerpen itu, baru saya ketahui kalau di dalamnya karya-karya lama yang sudah lama dan tercecer di mana-mana. Oh,.

Tulisan mengenai kumpulan cerpen itu akan saya teruskan besok. Malam sudah larut. A.R. Fadlurrahman juga sudah lelap setelah menangis karena lapar. Maklum, anak kecil suka menangis kalau lapar sebab belum bisa mengatakan: Pak, inyong kencot. Menangis seperti manusia dewasa di saat-saat tertentu. Ketakutan pada lapar yang akhirnya menggadaikan diri (identitas dan esensi) demi bisa makan dengan lezat dan mewah. Hanya makan saja lho, belum yang lainnya lagi. Bahkan mereka, ada yang sampai korupsi, bahkan mereka yang sudah “haji” dan mengatas-namakan pengikut Nabi.

Saya akhiri tulisan ini karena sudah waktunya untuk mengisi malam dengan perjalanan yang lain. Semoga bermanfaat. Amin.

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Kamis Wage – malam Jumat Kliwon, 13 Maret 2011.

Memaknai Sastra Religius dari Pesantren

Linda Sarmili
http://www.suarakarya-online.com/

Dewasa ini, secara kualitatif, dinamika sastra pesantren bisa kita analisis. Salah satunya adalah melalui pelbagai macam perubahan serta pergeseran corak orientasi paradigmatik yang menjadi substansi dalam karya sastra yang bersangkutan.

Maka, bertambahlah ‘spesies’ baru, genre baru ke dalam khazanah sastra pesantren mutakhir; sastra pop pesantren dan sastra pesantren yang subversif. Keberadaan dua spesies baru ini tidak hanya melengkapi dan menemani kanon sastra pesantren yang sudah ada, tetapi juga di banyak sisi menyimpan suatu potensi dialektis dan kritis baginya; intertextual clash (benturan intertekstual).

Sebagaimana kita kenal dari jejak historisnya, sastra pesantren kita dikenal sebagai genre sastra yang giat mengangkat tema-tema nilai esoterik keagamaan; Cinta Illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos).

Mayoritas begitu kental dengan nuansa religius. Ini terlihat begitu jelas dalam karya-karya sastrawan pesantren tahun 90-an Acep Zamzam Noor, D Zawawi Imron, Zainal Arifin Toha, Jamal D Rahman, Abi-dah el-Khaeliqi, Kuswaidi Syafi’ie, Faizi L. Kaelan dan sastrawan-sastrawan lain yang ruang kreasi mereka bertempat di lingkungan geografis yang bernama pesantren.

Akibat kentalnya nuansa tasawwuf, sastra pesantren sering di-identikan dengan sastra sufistik atau sastra profetik (nubuwwah). Dengan kata lain, karakter sastra sufistik telah menjadi kanon sastra (mainstream literature) dalam tradisi kesusasteraan pesantren.

Dengan Cinta Ilahiyyah dan spirit religius yang menjadi grand theme, paradigma estetika utama dalam etos berkreasi, sastra pesantren sebenarnya membawakan relevansi yang cukup signifikan terhadap vitalitas tradisi keilmuan di pesantren itu sendiri; sastra pesantren menjadi salah satu media alternatif bagi para apresian untuk mengenal dunia tasawwuf.

Dengan apresiasi yang kontinyu, paling tidak sedikit demi sedikit nilai estetika dan kearifan humanis-teologis yang inheren dalam karya sastra dapat membentuk suatu sikap yang eklektik dalam beragama bagi para apresian, salah satunya dicirikan dengan terbangunnya sinergitas pemahaman terhadap fiqih dan tasawwuf. Dengan kentalnya nuansa Cinta Illahiyah ini pula, lengkaplah sudah sastra pe-santren sebagai subjek mayoritas dari keluarga besar sastra Indonesia yang mengusung dan meng-eksplorasi simbol-simbol serta nilai religiusitas (Islam). Sekalipun tentu saja, secara hakiki nilai-nilai sufistik dan profetik tidak bersifat ekslusif untuk golongan tertentu, melainkan juga terbuka luas untuk kalangan non-pesantren.

Namun, dewasa ini ada perkembangan yang cukup menarik; bahwa kalangan sastrawan pesantren ternyata tidak hanya menjadikan ke-tasawwuf-an sebagai grand theme dalam etos kreativitasnya; satu persatu mulai terlihat adanya keliaran, muntahan-muntahan kegelisahan untuk merambah ke sisi-sisi lain. Sastra pesantren berada dalam kegelisahan yang panas. Di sinilah saya melihat munculnya genre sastra pesantren yang subversif.

Yang paling ekstrim barangkali adalah novel Mairil (Pilar Media, Yogyakarta; 2005) karangan Syarifuddin yang sedemikian berani mengangkat sisi gelap pesantren; yakni abnormalitas perilaku seksual yang terjadi di pesantren (mairil; homoseksual). Detail-detail ilustrasi peristiwa yang diangkat dari fakta itu dinarasikan sedemikian vulgar. Boleh dikatakan bahwa novel ini subversif terhadap sistem tradisi pesantren; bukankah seksualitas dan cinta lawan jenis selama ini menjadi suatu hal yang (di) tabu (kan) di lingkungan pesantren? Faktanya; pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Meskipun tidak bisa tidak, di sisi lain novel ini potensial menciptakan suatu bias eksternal; dimana ia mengundang stigma buruk kalangan masyarakat terhadap pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis agama.

Sayangnya, kritisitas novel Mairil ini tidak diimbangi dengan kebaruan corak dan wawasan estetika. Prestasi dari novel Mairil adalah kualitas dokumenter (Faruk HT, 2000) dimana ia berhasil mendongkrak sisi tersembunyi pesantren sebagai suatu sistem yang dinamis, dan bukan kualitas literer; kualitas stilistika, capaian estetika sastrawinya masih cenderung nge-pop.

Namun, bagaimanapun inilah satu bentuk muntahan otokritik baru. Revolusioner terhadap kultur pesantren yang secara mayoritas cenderung patriarkhal dan mono-referen (hanya terpaku pada sistem referensi pemahaman tunggal). Secara implisit, dapat kita interpretasikan bahwa kehadiran novel Mairil berusaha membuka cakrawala baru pemahaman tentang cinta; bahwa Cinta Illahiyah -yang sufistik- tidak begitu saja dengan gampang diraih secara instant.

Demi kesuksesan dalam perjalanan mendaki tangga-tangga cinta, seorang insan mesti sabar dalam melewati tahapan-tahapan dimensional dari Jalan Cinta. Bukankah Ibn ‘Arabi, sang maestro sufi itu pernah memberikan formulasi tentang Jalan Cinta; Cinta alami (cinta lawan jenis dan unifikasi makrokosmis), Cinta Ruhani, dan Cinta Illahi. Dan Cinta Alami menempati posisi yang amat vital; bukankah Ibn Arabi juga mampu menelurkan banyak karya lantaran motivasi psikologis yang kuat dari Nidzam, seorang wanita Baghdad yang dicintainya?

Karenanya jatuh cinta terhadap lawan jenis merupakan suatu hal yang manusiawi dan tak bisa ditinggalkan. Di wilayah sosio-internal, novel Mairil kiranya layak untuk mendapat perhatian dari kalangan elite pesantren. Suatu tantangan untuk berintrospeksi; bagaimana merekontruksi dan merevisi kembali penataan lingkungan pergaulan (millieu) antar lawan jenis, atau mulai mempertimbangkan pendidikan seksual yang efektif dan proporsional bagi santri-santrinya. Secara kuantitatif, sastra pop pesantren semakin menyemarakkan industri perbukuan.

Sederetan nama sastra-wan pesantren yang rata-rata berusia muda dengan karyanya tampil ke muka: Santri Semelekete (karya Ma’rifatun Baroroh), Bola-Bola Santri (Shachree M Daroini), Kidung Cinta Puisi Pegon (Pijer Sri Laswiji), Dilarang Jatuh Cinta (S. Tiny), dan Santri Baru Gede (Zaki Zarung) Salahkah Aku Mencintaimu (Ahmad Fazlur Rosyad) dan sederet nama lain yang tak bisa disebutkan satu-persatu.

Motivasinya bisa beragam, atau barangkali sastra pop pesantren dipandang lebih prospektif dalam hal laba finansial? Terlepas dari semua itu, ini akan menjadi aset ekonomi para sastrawan. Banyak kalangan elit sastra yang cenderung ‘mengejek’ akan keberadaan sastra pop, termasuk sastra pop pesantren. Budi Darma dalam esainya “Sastra Mutakhir Kita” (Horison, Februari 2000) menyatakan kekhawatirannya bahwa dengan industri, keberadaan sastra pop bukan hanya sekedar keberadaan, melainkan juga kekuatan yang akan menggeser keberadaan sastra serius”.

Ini saya kira suatu kekahawatiran yang agak berlebihan. Sementara, St Sunardi (2006) mengatakan” dalam setiap kebudayaan pop ada suatu jaringan kekuatan. Namun bagaimana kebijakan kita mengarahkannya untuk kepentingan-kepentingan kemanusiaan.”

Dalam konteks sastra pesantren saya melihat bahwa relasi sastra serius pesantren dan sastra pop pesantren cenderung bersifat hierarkis, sinergis dan interdependen; bahwa dari minat terhadap karya sastra pop yang ringan itulah embrio tradisi membaca bisa terbangun. Karena itu animo masyarakat dan kalangan santri terhadap sastra pop pesantren tetaplah harus kita pandang positif.

Bahkan penyair Jamal D Rahman dalam sebuah perbincangan tentang proses kreatifnya, mengaku mendapat modal senang membaca karena awalnya keranjingan membaca novel-novel ‘kacangan’ Freddy. S, tapi seiring dengan waktu dan intelegensinya yang terus berkembang ia pun beralih membaca dan menulis karya sastra sufistik yang high-quality. Sastra pop juga berfungsi untuk ‘latihan pemula’, dan ini akan melanggengkan tradisi bersastra (baik kepenulisan maupun apresiasi) sehingga kontinuitasnya terjaga; bukankah hanya dengan hal itu literacy culture di pesantren bisa hidup, menyala dan terus memberi sumbangan-sumbangan berarti bagi peradaban?
***

Jumat, 18 Maret 2011

AKSIDENSI KATA-KATA DAN LAHIRNYA SEBUAH KARYA

Kisahan kecil tentang Proses Kreatif cerpen “Ephyra”
Dwicipta
http://pawonsastra.blogspot.com/

Awalnya saya mendambakan hujan lebat mengguyur kota yang telah kering kerontang setelah didera kemarau lebih lama dari biasanya. Air tercurah dari langit, membasahi dedaunan, atap rumah, permukaan aspal; menggenangi selokan, kanal-kanal air dan riol tak terurus di hampir penjuru kota; memenuhi rongga dalam dasar hatiku dan meluap ke sekujur tubuh kesadaranku. Hari berkabut, menipu pandangan. Guruh mengaduh sampai jauh, pekikan lirih menyusup di kalbu. Lalu angin datang menderu, dan selarik sajak Goenawan Mohammad menghampiri ujung lidah. Di telingaku kudengar suara asing itu.

…Lalu hujan akan turun//amis…”

Dan aku masih mematung di depan pintu rumah sore itu, melihat sisi lain dari hujan yang tercurah di depanku. Seperti apakah hujan yang amis itu? Pikiranku mengembang tiba-tiba. Aku teringat sebuah cerpen bagus Ernest Hemingway, ‘Cat In The Rain,’ yang baru saja kubaca entah kesekian kalinya di American Corner. Masih belum lenyap ulah Hemingway yang dengan jeli memisahkan status si tokoh perempuan ketika sedang berada di kamar hotel bersama suaminya dan ketika sedang keluar dari hotel dan berhadapan dengan pelayan tua nan anggun itu. Di dalam kamar, Hemingway menyebutnya ‘Nyonya’ atau kata ganti yang menunjukkan statusnya sebagai seorang istri. Sementara di luar kamar, ia menyebut perempuan itu dengan kata ‘Si Gadis.’ Alangkah cerdasnya, seperti Goenawan Mohammad yang mampu melihat hujan bukan dalam penggambaran umum, tapi dengan mengatakan sesuatu yang baru dan terengar subversif, ‘hujan amis.’

Masih di American Corner, seperti keisengan kecil yang biasa kulakukan hampir setiap hari di sana, kudekati kamus besar Webster Dictionary dan membolak-balikkan halaman demi halaman, mencari keasingan lain dalam belantara kata-kata unik bahasa Inggris. Perbuatan itu selalu kulakukan, karena menurutku seorang penulis adalah orang yang memiliki dua dunia: satu dunia yang berjalan seperti biasanya, dunia yang dijalani oleh hampir setiap orang tanpa kecuali -dan seringkali kusebut dengan nada masygul sebagai dunia yang terlalu banyak mengikat; sedangkan satunya lagi adalah dunia keasingan, dunia yang mendekatkan diriku dengan proses penciptaan. Lidahku memang terbiasa dengan kata-kata dalam bahasa Jawa atau Indonesia, begitu juga dengan alam pikiranku. Namun aku mendekati keasingan lain dalam ranah bahasa yang asing, berusaha menjenguk dunia misterius yang ada dalam bahasa Inggris. Aku yakin, dalam beberapa tahun ke depan, bahasa Inggris yang semula asing inipun tak akan lagi asing untukku, sampai hal-hal yang sekecilnya. Selagi ia masih asing, dan tampak menarik bagiku, ia akan selalu menjadi mata air bagi proses kreatifku. Selalu seperti itu, sehingga keasingan memenuhi rongga dadaku, meleburkan aku dalam ketiadaan, sampai ‘Si burung kecil’ dalam kepalaku bersiul dengan sangat indahnya.

Di masa kecilku, ketika kebanyakan anak-anak kecil seusiaku berpikir serta membayangkan bahwa Tuhan adalah makhluk amat besar, lebih mengerikan daripada raksasa atau segenap wajah setan yang sering dihadirkan oleh film-film horor, aku justru membayangkan bahwa Tuhan adalah ‘Burung kecil yang setiap pagi bersiul sangat indah dalam kepalaku, membangunkan aku dari tidur lelap sejak malam, mengajakku mulai melakukan aktifitas harian seperti biasanya.’ Tuhan bagiku bukan ‘Makhluk’ yang suka melarang ini dan itu, tapi sebagai Makhluk yang membebaskan aku untuk melakukan ini dan itu, tentu saja dengan siulannya yang sangat indah dan menakjubkan.

Sampai aku menjadi seorang penulis, Tuhan bagiku tidak pernah berubah: Ia tetap burung kecil yang bersiul sangat indah dalam kepalaku. Hanya saja, jika dulu aktifitasku lebih beragam, sekarang burung kecil itu lebih mengarahkan aku pada aktifitas tunggal: menulis! Maka ketika aku membuka pintu keasingan sebuah dunia, baik dalam wilayah bahasa maupun keasingan sebuah pengalaman, dan diri mulai menjadi tiada, Si Burung kecil dalam kepalaku itu mulai bernyanyi dengan siulan-siualan luar biasanya.

Siang itu, ketika kubuka kembali Webster Dictionary yang sangat tebal dan mulai mengacak-acak halamannya, tiba-tiba aku tersentak dan menemukan sebuah kata ganjil, “Ephyra.” Aku terpikat dan membaca asal-usul kata itu. Kuketahui kemudian bahwa ia adalah seorang dewi dalam legenda Yunani. Alih-alih tak begitu peduli dengan karakter dewi Ephyra, aku justru tertarik dengan nama itu, susunan hurufnya, dan suara yang dihasilkan setiap kali melafalkannya. Cara aku mengucapkannya seperti bersiul, menghembuskan udara kuat-kuat dari sela-sela gigi dan gerakan bibir menekan empat gigi depanku. Bila untuk seorang perempuan, sekalipun ia tidak cantik, minimal orang akan terpukau dengan nama yang indah itu.

Dunia ini memang seringkali menipu. Dan akan kutipu pembaca tulisanku dengan memberikan nama yang indah untuk tokoh tulisanku, desisku dalam hati. Ephyra bukanlah nama yang jelek, justru sebaliknya, akan membikin orang bertanya-tanya apa artinya dan darimana nama itu berasal. Aku meninggalkan Webster Dictionary dengan luapan kegembiraan karena telah menemukan sebuah nama untuk tokoh ceritaku.

Berhari-hari sebelum aku menemukan nama Ephyra dari Webster Dictionary, aku mengalami kegilaan pada karya-karya Ernest Hemingway. Kubaca kembali cerita-cerita pendeknya yang luar biasa itu, mempelajari susunan kalimat-kalimatnya yang sangat efisien dan nampak mengembang sampai bisa menciptakan ruang prosaik yang jauh lebih besar daripada ceritanya sendiri dalam kepala kita. Tak bisa kupungkiri aku hampir mengagumi semua cerita pendeknya, mulai dari kumpulan cerpen In Our Time, Men without Women, sampai karya yang diterbitkan setelah kematiannya yang menyesakkan itu, Movable Feast. Imajinasiku melambung kemana-mana. Aku membaca ‘After the Storm-nya Hemingway, dan bersorak karena lahir ‘penemuan’ pertamaku yang menandai pengaruh Hemingway pada karya-karya Gabriel Garcia Marquez. Aku sendiri teramat yakin novel pertama Marquez, Leaf Storm, berasal dari ceita pendek luar biasa ini. Dan seno Gumira Ajidarma, prosais Indonesia paling menonjol sekarang ini, karya-karyanya yang sangat ringan tapi menggugah itu aku kira tak bisa dilepaskan dari pengaruh Hemingway. Kemanapun aku pergi, tak bisa kulepaskan khayalanku pada baris-baris tulisan atau deskripsi Hemingway.

Malam harinya, setelah impian akan sore berhujan lebat itu tak kesampaian, tak bisa kupejamkan mataku sama sekali. Seorang kawan yang berkunjung ke rumah justru menerbitkan kejengkelan karena memutus pengembaraan imajinasiku. Aku berang padanya, sementara ia terus berceloteh tentang tugas akhirnya yang tak rampung-rampung. Bahkan setelah ia pulang, perasaan berangku itu terus berpijaran. Aku harus pergi ke warnet dan mencari sesuatu di sana, barangkali ada yang harus aku baca.

Kubuka email pribadiku dan membacai surat-surat elektronik yang masuk setelah dua hari tak dibuka sama sekali. Berita-berita bagai arus sampah yang mengalir ke dalam ketiadaan: begitu dibaca langsung dilupakan. Burung kecil dalam kepalaku mulai bersiul-siul indah, seolah memerintahkan aku menulis. Kuikuti perintahnya yang misterius, mulai membuka program Microsoft Word. Dengan kata apa harus kumulai ceritaku? Terbayang Hemingway dan kejengkelanku pada teman yang datang ke rumah dan mengganggu aliran imajinasiku, menyembul kemarahan-kemarahanku yang lain, kemuakanku pada banyak hal yang hadir di sekelilingku. Siapakah penawar segala kemuakan itu? Kalimat pertama kumulai begini:

“Selalu, dalam kebosananku pada apapun, ia selalu datang menghiburku. Kadang-kadang berbicara tentang kucing yang kehujanan sendirian di teras rumahnya, seekor laba-laba yang membuat sarang di sudut langit-langit kamar dan beberapa kunang-kunang setiap sehabis hujan ketika ia membuka jendela dan berniat menyerap harum aroma tanah basah, mencoba menyihir jaga mataku dan membuatku terlelap.”

Dalam dua kalimat itu, sebenarnya aku membicarakan Hemingway, walaupun kalimatnya kupelintir sedemikian rupa. Bukankah seorang penulis yang baik adalah orang yang bisa melakukan subversi atas realitas atau fiksi yang telah dihadirkan oleh penulis sebelumnya ketika ia sedang menuliskan karyanya sendiri? Dibaris ketiga dan selanjutnya si burung kecil dalam kepalaku itu meniupkan ruh bagi karakter yang akan kuceritakan. Aku membutuhkan sebuah nama, maka menyembullah nama ‘Ephyra’ dan kudedahkan ke dalam ceritaku. Kelak setelah cerpen itu selesai kubuat, sadarlah aku akan kebenaran ucapan Budi Darma: ‘Penemuan itu terjadi ketika kita sedang menulis.’

Dari baris ketiga itulah aku menjadi Tuhan kecil yang memberi kehidupan para tokoh dan jalannya peristiwa dalam ceritaku. Seluruh kemampuan terbaikku tercurah saat itu juga, tak bisa dibendung oleh apapun. Aku ikuti siulan si burung kecil itu, mendengarkan dengan seksama naik turun nadanya dan kapan harus mengambil jeda. Kusebutkan momen paling romantis dalam kisah-kisah China klasik ketika sepasang manusia sedang dilanda cinta dan melayarkan perahunya di danau dimana si perempuan memainkan yangkim, sejenis siter China, dan si lelaki membacakan sajak-sajak cinta. Ephyra telah lahir sebagai manusia lain dalam kisahku, dan telah berdiri dengan segala perangkat kemanusiaannya. Bacalah bagian ketika kugambarkan bahwa dalam bola matanya bagai terdapat mercusuar. Bagi para pembaca Virginia Woolf, tentu mereka tak akan melupakan novelnya yang terkenal, “To The Light House.” Mercusuar dalam mata Ephyra, dalam imajinasiku, adalah mercusuar yang ada dalam novel Woolf. Untuk menciptakan keasingan yang menggugah, kuhadirkan tokoh bernama Robert yang berasal dari Amerika dan tinggal selama beberapa lama di Indonesia, dengan pandangan-pandangan hidup yang asing pula.

Tak pernah kumengerti hingga sekarang kenapa aku bisa merenungkan cinta seperti yang kutuliskan dalam cerpen Ephyra itu. Bagiku, yang ada adalah aksidensi kata-kata. Membiarkan apa yang ada dalam kepala kita mengalir lewat jemari tangan yang mengetik di komputer. Jikapun aku mengambil kesejajaran permenunganku tentang cinta dalam kisah Theseus yang dituliskan oleh Andre Gide, itu kulakukan karena terasa ada kesejajaran dengan kisah yang sedang kupaparkan, dan dalam beberapa hal akan menguatkan kisahku pula. Aku pikir apa yang ada sekarang tidak akan melangkah lebih jauh dari apa yang telah terjadi dalam mitos-mitos yang pernah kita baca atau pernah kita dengar lewat ibu atau nenek kita. Aku tidak berambisi melakukan revitalisasi mitos, namun barangkali karena pembacaan tentang mitos-mitos yang kulakukan sejak lama membuat semangat subversif yang ada dalam diriku meledak dan secara tanpa sadar pula melakukan pekerjaan revitalisasi mitos.

Tapi menulis adalah persoalan mendedahkan dunia asing dalam kepala kita secara serentak, tanpa ingin dihambat oleh berbagai macam etika atau prinsip yang kaku, apalagi ideologi. Bila melangkah lebih jauh, maka barangkali aku akan sampai pada apa yang telah dilakukan oleh Virginia Woolf dan James Joyce sehingga melahirkan genre penulisan arus kesadaran. Pada dasarnya, dalam pandanganku, menulis adalah bagaimana mengaruskan kesadaran bercerita kita, membiarkan semuanya mengalir, membuka berbagai ruang pemaknaan, mengambil dan memelintir berbagai macam fakta, menafsirkan sebuah teks dan bahkan menghadirkan kebohongan tekstual tentang diri kita. Itulah sebabnya kenapa ada seorang penulis yang berani berkata bahwa pada dasarnya seorang penulis berkisah tentang dirinya sendiri, mengutarakan pandangan-pandangan subyektifnya tentang berbagai hal. Kenapa harus takut terhadap polisi, tentara, agama, atau bahkan Tuhan? Jangan takut, penulis adalah penguasa tunggal, penulis adalah Tuhan itu sendiri, atau orang yang diberi mandat oleh Tuhan untuk melakukan segala hal secara tekstual.

Sebagai sebuah cerpen, “Ephyra” lahir dengan semangat seperti itu. Kupertaruhkan seluruh pengetahuanku, citra-citra yang selama ini terpendam dalam diriku dan preskripsi-preskripsi hipotetik tentang cinta yang bahkan tidak pernah kuucapkan sebelumnya dan hanya bisa menyembul karena kejahilan jemariku merangkai setiap kata dan kalimat, menjalin-jalin paragraf sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah hamparan naratif yang siap dinikmati pembaca.

Satu setengah jam aku menuliskan kisah itu. Aku terjaga dari ketakjuban akan kekuatan si burung kecil dalam kepalaku yang bersiul dengan sangat indahnya itu. Ah, telah kuhasilkan makhluk baru sekarang, ‘anak rohani’ yang esok memiliki nasibnya sendiri. Baru kusadari, Hemingway dan Ephyra telah merajutkan dirinya sendiri dalam sebuah kisah. Aku pulang ke rumah, terus berpikir dan tak habis mengerti kenapa aku bisa menuliskan cerita, bahkan dalam waktu-waktu yang seringkali dianggap tidak mungkin. Aku lebih heran ketika menyadari bahwa anak-anak rohani itu lebih punya otoritas dalam diriku untuk menentukan kapan saatnya lahir dan kapan ia menjadi abortus, kapan ia harus diperam dahulu dalam citra-citra samar di otakku. Si Burung kecil itu tak lagi bersuara. Ia maklum jika aku mulai menggugat keberadaannya.

Yogyakarta, 7 Desember 2006

Rabu, 16 Maret 2011

Sastra Lampung Bukan Sastra Lisan

Iwan Nurdaya-Djafar
http://www.lampungpost.com/

Tajuk tulisan di atas ingin menafikan pandangan yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan (oral literature). Dari jurusan sebaliknya, tajuk tadi sekaligus ingin menandaskan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra tulis.

PANDANGAN yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan mencerminkan sikap bias, ketidakjelian sekaligus kerancuan di dalam mengklasifikasikan sastra Lampung klasik karena telah mengacaukannya dengan bentuk metode penyebaran yang terpakai oleh sastra Lampung klasik, yaitu berupa deklamasi dan/atau baca puisi (poetry reading) serta mendongeng. Sambil lalu, perlu dibedakan bahwa di dalam deklamasi, sang pewarah (juru cerita) wajib menghafal karya sastra yang akan dituturkan, sementara di dalam baca puisi sang pewarah cukup membacakannya tanpa perlu menghafalnya. Di dalam mendongeng, sang pendongeng biasanya juga telah menghafal isi warahan atau dongengannnya.

Demikianlah, pada dirinya sendiri sastra Lampung klasik adalah sastra tulis. Artinya, karya sastra itu dituliskan terlebih dulu, baru kemudian dideklamasikan (jika bentuknya puisi) dan/atau didongengkan (jika bentuknya prosa). Dalam hal ini, deklamasi atau pendongengan itu merupakan metode penyebarannya. Karya sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis itu adalah satu hal, dan deklamasi atau pendongengan adalah hal yang lain lagi. Keduanya mesti dibedakan. Yang pertama merupakan jenis sastra, sedangkan yang kedua merupakan metode penyebaran.

Baik jenis sastra maupun metode penyebaran itu masing-masing merupakan seni yang mandiri (otonom). Sebagai sastra tulis, sastra Lampung klasik memiliki aturan tersendiri, dan sastra tulis Lampung yang baik tentu akan memiliki kekuatannya sendiri. Sebutlah, kekuatan teks. Teks bisa dibaca dan dikaji oleh orang di tempat yang jauh dari penulisnya, tanpa menonton secara langsung seni pertunjukannya. Penelitian Petrus Voorheove atas tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tiba pada simpulan bahwa sebagai suatu karya seni tetimbai Si Dayang Rindu terbilang unggul untuk tradisi rakyat akhir abad ke-19. Itulah bukti kekuatan teks.

Demikian pula deklamasi atau pendongengan sastra Lampung adalah seni yang mandiri, memiliki aturan tersendiri, dan penuturan yang bagus tentu akan memiliki kekuatan tersendiri pula. Deklamasi atau pendongengan adalah suatu seni pertunjukan (performing art). Sebuah seni pertunjukan yang bagus dari sang pewarah tentu akan membawa hanyut para penontonnya dan mengundang decak kagum disebabkan kepiawaian bertutur sang pewarah. Sang pewarah yang piawai bukan saja telah memahami karya sastra yang akan dituturkannya, melainkan juga memiliki keterampilan teknis di dalam penuturannya baik dalam segi vokal maupun interaksinya dengan penonton. Masnuna sang maestro dadi, misalnya, perlu berpuasa selama tujuh hari dan melatih suaranya dengan cara membenamkan wajahnya ke dalam air sembari melafal doa. Olahrasa dan olahraga itu membuatnya mampu melantunkan tiap kalimat dalam bait-bait dadi dalam satu untaian nafas panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi.

Sungguh pun demikian, keduanya—jenis dan metode penyebaran—taklah terpisahkan. Di samping kekuatan teks, kekuatan sastra tradisional Lampung juga terletak pada aspek penuturannya. Tidak mengherankan apabila sastra tradisional sering identik dengan seni pertunjukan tradisional.

Penelitian Andreas Teeuw juga memperlihatkan bahwa sastra Lampung adalah sastra tulis. Menurut Andreas Teeuw, dalam bukunya Khazanah Sastra Indonesia (1983), dalam garis besarnya sastra se-Indonesia terbagi dalam tiga jenis, yaitu sastra lisan, sastra tulis, dan sastra modern. Mengenai sastra lisan, dalam kebanyakan masyarakat Indonesia pada masa pramodern tidak ada bahasa tulis—atau lebih tepat, seandainya ada tulisan pun, tulisan itu biasanya tidak dipakai untuk sastra dalam bahasa mereka sendiri; sebab tulisan Arab di kalangan orang yang beragama Islam dari dahulu luas tersebar, juga dalam masyarakat yang biasanya dianggap tidak memiliki sastra tulisan dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa dalam bahasa semacam itu tidak ada sastra. Sastra Dayak sebelum perang, misalnya, menurut kiraan seorang ahli sastra Dayak sebelum perang, Hans Scharer, luasnya sastra lisan yang bersifat mitos untuk suku Dayak yang ditelitinya dapat diperkirakan mengisi 40 ribu halaman cetak seandainya diterbitkan. Jadi mengisi dua ratus jilid, masing-masing dengan rerata 200 halaman pula. Dan ini hanya untuk satu suku ataupun subsuku bangsa saja.

Mengenai sastra tulis, jumlah masyarakat suku yang memakai tulisan untuk melanggengkan sastranya di Indonesia relatif terbatas, dapat dibagi dalam beberapa golongan. Pertama, sastra Jawa Kuno, yang menggunakan huruf Jawa dengan abjad hanacaraka. Sastra Jawa Kuno dalam sejarah sastra dan kebudayaan Indonesia mempunyai peranan yang khas, bukan hanya karena tuanya—mulai dari Ramayana yang diciptakan pada abad ke-9—tetapi juga oleh karena sastra itu memengaruhi sastra-sastra daerah yang kemudian secara cukup dalam dan luas. Kedua, turunan langsung atau tak langsung sastra Jawa Kuno adalah Jawa klasik, modern, atau apalah namanya, yang luar biasa kayanya. Berbagai sastra daerah lain menunjukkan hubungan yang cukup erat dengan tradisi sastra Jawa Kuno–Jawa, walaupun masing-masing juga menunjukkan ciri khasnya, dalam hal ini sastra Sunda, Madura, Bali, dan Sasak, yang semuanya memakai tradisi huruf yang sama dengan sastra Jawa. Dapat ditambahkan, sastra Lampung pun agaknya terpengaruh sastra Jawa dalam hal wawancan dan gegurit (gagokhet) karena dalam sastra Jawa terdapat bentuk wawacan dan geguritan.

Ketiga, tradisi tulisan lain yang relatif independen, walau berasal dari abjad India yang sama adalah tradisi Sulawesi Selatan, dengan wakil utama sastra Bugis dan Makasar, yang juga baru sebagian kecilnya saja tersedia dalam suntingan ilmiah atau saduran populer. Misalnya, I La Galigo, sastra Bugis dalam huruf lontara gundul, yang panjangnya tidak kurang daripada enam ribu halaman, dan karenanya hingga saat ini merupakan karya sastra terpanjang di dunia! Sepengetahuan penulis, I La Galigo baru diterbitkan sebanyak dua jilid dengan tebal masing-masing sekitar 500 halaman. Jilid pertama terjemahan Mohamad Salim diterbitkan oleh Universitas Hasanuddin, Makasar, dan jilid kedua diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, Jakarta.

Keempat, di Sumatra tradisi tulisan pra-Islam terutama diwakili oleh masyarakat Batak, Rejang, dan Lampung, yang masing-masing menunjukkan ciri khas dalam sastranya. Batak memiliki hurufnya sendiri, Rejang memiliki aksara rencong, dan Lampung memiliki huruf ka ga nga (had Lappung). Juga Kerinci memiliki aksara incung. Dapat ditambahkan, berdasarkan Sensus tahun 1930, Lampung menduduki peringkat tertinggi dalam hal pemakaian abjad pribumi, yang tak lain adalah had Lappung itu. Ini membuktikan bahwa orang Lampung memiliki kesadaran yang tinggi dalam hal tradisi tulis-menulis termasuk dalam ranah sastranya.

Kelima, datangnya tradisi tulisan huruf Arab, yang masuk Indonesia bersama dengan agama Islam, dan yang antara lain diwakili oleh sastra Melayu, Aceh, dan Minangkabau, juga di lingkungan budaya Jawa seringkali memakai tulisan Arab itu untuk sastra keagamaan dan juga untuk sastra bukan agama. Dalam masyarakat lain tulisan Arab juga dipakai bukan hanya untuk buku agama dalam bahasa Arab, tetapi pula untuk tulisan yang bermacam-macam sifatnya dalam bahasa setempat, misalnya sastra dalam bahasa Wolio, Pulau Buton, sastra dalam bahasa Ternate dan Sumbawa.

Mengenai sastra modern, sejak awal abad ke-20—atau sedikit sebelumnya—di Indonesia mulai diciptakan sastra yang biasanya disebut modern, yaitu lain dari tradisional. Namun sastra modern pun tidak lepas sama sekali, tidak putus hubungannya dengan sastra tradisi; dari berbagai segi kesinambungan dipertahankan; setidak-tidaknya dapat dikemukakan empat aspek kesinambungan itu: (1) banyak hasil sastra modern merupakan transformasi teks lama, dalam bentuk saduran, penciptaan kembali cerita lama, dan lain-lainnya, (2) penggunaan motif dan tema tradisional seringkali sangat menonjol dalam sastra modern: Sangkuriang, Malin Deman, Puti Bungsu, atau misalnya motif wayang dalam puisi Subagio Sastrowardoyo dan seterusnya; (3) dalam cerita modern seringkali terungkap dasar kebudayaan tradisional atau konflik nilai budaya dalam penghayatan manusia modern, misalnya dalam novelet Sri Sumarah karya Umar Kayam, dalam cerita bersifat kebatinan dari Danarto, dalam puisi Darmanto Jatman, dalam Pengakuan Pariyem karya Lunis Suryadi, dan seterusnya; (4) kesinambungan jelas pula dalam gejala yang sangat populer di Indonesia, yaitu poetry reading (pembacaan puisi), di mana puisi modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai performing art (seni pertunjukan).

Dari uraian A. Teuuw di atas, sastra Lampung, termasuk ke dalam sastra tulis. Sastra Lampung ditulis dalam aksara Lampung, yang di daerah Tulangbawang disebut had Lappung. Dalam perkembangannya kemudian sastra Lampung juga dituliskan dalam aksara Latin. Manuskrip tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tertulis dalam aksara Lampung. Namun, manuskrip Warahan Radin Jambat tertulis dalam aksara Latin.

Jika dibandingkan dengan aksara Jawa, Makasar, Batak dan Rejang Bengkulu, maka aksara Lampung lebih mirip dengan aksara Rejang yang disebut juga aksara Rencong. Aksara Lampung ini sebenarnya adalah aksara yang dipakai oleh masyarakat di seluruh daerah Sumatera bagian selatan sebelum masuknya pengaruh aksara Arab-Melayu dan Latin. Orang tua-tua di daerah Sumatera Selatan kadangkala menyebut aksara ini surat ulu atau ada juga yang menyebutnya surat Ugan. Besar kemungkinan aksara ini sebagaimana dicatat oleh Walker berasal dari aksara India dari zaman Sriwijaya, yaitu aksara devanagari. Lengkapnya disebut dewdatt deva nagari, yaitu aksara India yang dianggap suci.

Had Lappung yang dimaksud adalah aksara Lampung yang masih dipakai oleh orang Lampung sampai sekarang, yang merupakan perkembangan dari aksara Lampung yang lama yang sekarang sudah tidak dipakai lagi. Had Lappung baru telah dibakukan oleh Musyawarah Pemuka Adat Lampung pada tanggal 23 Februari 1985 di Bandarlampung. Had Lappung ini dikatakan wat siwow belas kelebai surat, yang artinya terdiri dari 19 ibu huruf. Di lingkungan masyarakat berdialek O sebagaimana berlaku di daerah Tulangbawang, had Lappung itu ada 20 kelabai, karena ditambah dengan satu huruf lagi yaitu berbunyi gha. Adapun abjad aksara Lampung sebanyak 20 huruf itu berbunyi ka ga nga pa ba ma ta dan na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gha.

Bagaimana dengan dugaan atau pendapat yang mengatakan bahwa sastra Lampung adalah sastra lisan, bukan sastra tulis, mengingat selalu ditampilkan dalam bentuk poetry reading (pembacaan puisi) atau sastra/teater tutur? Mengikuti uraian A. Teeuw di atas, pada dasarnya sastra Lampung adalah sastra tulis. Mengenai gejala poetry reading atau sastra/teater tutur, itu merupakan tampilan sastra Lampung sebagai seni pertunjukan. Artinya, sastra Lampung bukan sastra lisan, melainkan dituliskan terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan poetry reading. Poetry reading atau sastra/teater tutur ini agaknya merupakan suatu metode penyebaran sastra kepada masyarakat luas dan merupakan seni yang mandiri (otonom) di dalam sastra tradisional. Penyair tradisional (Lampung) bukan hanya menuangkan karya sastranya dalam wujud sastra tulis, tetapi juga menampilkannya dalam wujud seni pertunjukan (performing art).

Dalam makalahnya “Identifikasi Kesenian Daerah Lampung” yang disampaikan dalam Sarasehan Kebudayaan Lampung dalam rangka memeriahkan Dies Natalis ke-22 dan Wisuda Sarjana Universitas Lampung pada 3 Oktober 1987, Dailami Zain dan Razi Arifin menulis, “Orang Lampung mengenal teater tutur yang tersebar di seluruh Lampung dengan namanya masing-masing. Teater tutur ialah bentuk teater tradisional yang menyampaikan atau memaparkan sastra lisan kepada penonton/pendengarnya. Cara penyampaiannya diungkapkan dengan nyanyian atau dituturkan lewat bahasa berirama (basi jobang, dang deria, warahan, macopat, sendirilik, lamut, pantun sunda). Teater tutur ini umumnya bersifat hiburan dan edukatif.” (Vademikum Direktorat Kesenian, Jakarta, 1984).

Definisi teater tutur di atas tidak sepenuhnya tepat bila dikaitkan dengan sastra Lampung. Meskipun dalam metode penyebarannya sastra Lampung dituturkan, sastra Lampung bukanlah sastra lisan, melainkan sastra tulis. Baru kemudian sastra tulis itu dituturkan. Bahwa terdapat juga penyair Lampung yang tidak pernah menuliskan karyanya melainkan menghafalnya dan kemudian menuturkannya seperti terjadi pada Masnuna, hal tersebut bersifat kasuistis; bukan jenis umum dari sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis. Tradisi tulis yang dilakukan oleh para sastrawan Lampung klasik pada zaman dulu, sehingga membuahkan sastra tulis, adalah sesuatu yang sudah tepat pada jalurnya (on the track). Ke depan, tradisi tulis dalam sastra Lampung klasik mesti tetap dipertahankan karena akan sangat membantu dalam penyelamatan (konservasi) sastra Lampung klasik. Bagaimanapun juga, sastra tulis lebih praktis dan lebih awet.

Nama teater tutur orang Lampung antara lain ringget, ngadio, pisaan, wawancan, kitapun, warahan, bandung, tangis, dan mardinei. Sejak sebelum memasuki pertengahan abad ke-17, masyarakat Lampung kuno telah mengenal seni pertunjukan sastra. Misalnya dalam acara jaga damar, yaitu acara muda-mudi di suatu perhelatan perkawinan. Muda-muda saling menawarkan antara yang satu dan yang lainnya untuk menerka teka-teki lewat pantun-pantun, di samping untuk tujuan-tujuan tertentu. Juga dalam musyawarah para pemuka masyarakat adat yang kerap menggunakan kata sindiran dengan pepatah yang diungkap dengan kata-kata indah dan mengandung arti yang mendalam. Konon pula, seni pertunjukan Warahan Radin Jambat bisa memakan waktu bermalam-malam disebabkan begitu panjangnya cerita yang dituturkan.

Gejala yang sama juga terjadi pada sastra modern, di mana sastra modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai seni pertunjukan (performing art).

Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan

Tinggal Kritik dan Penerbitan

Fenomena Sastra Jawa Timur
Reporter: Ribut Wijoto
http://www.beritajatim.com/

Dalam satu tahun terakhir, 2010, ada beberapa fenomena baru dalam kesusastraan di Jawa Timur. Fenomena yang cukup menggembirakan. Kian tumbuh-matangnya kaum muda dalam peta kesusastraan. Tapi problem-problemnya tidak bergerak dari problem tahun-tahun sebelumnya. Problem yang semestinya mulai dicari jalan keluarnya pada tahun 2011 ini.

Infrastruktur kesusastraan di Jawa Timur sebenarnya amat menunjang. Setidaknya ada 4 indikator. Pertama keberadaan akademik, kedua keberadaan media massa, ketiga keberadaan even, dan keempat keberadaan komunitas kesenian.

Keberadaan kampus memberi kontribusi signifikan bagi tumbuh kembangnya kesusastraan di Jawa Timur. Fakta yang ada, mayoritas sastrawan merupakan jebolan kampus. Beberapa kampus mempunyai jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia . Semisal Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Negeri Surabaya, dan Universitas Jember. Ketiganya dilengkapi dengan beberapa kampus yang membuka jurusan Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, maupun jurusan Sosial Politik.

Di Unair ada teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar. Dua komunitas ini tak pernah kering menelorkan sastrawan-sastrawan muda. Hadirnya mahasiswa baru, tiap tahun, memberi peluang pemunculan nama-nama baru. Sementara itu, mahasiswa lama dan alumninya mematangkan diri di wilayah luar kampus. Sembari sesekali terlibat dalam diskusi di kampus.

Situasi serupa juga terjadi di Universitas Negeri Surabaya. Setidaknya ada dua institusi mahasiswa yang memiliki mobilitas tinggi dalam kesusastraan. Teater Institut dan Komunitas Rabu Sore. Penyair Muttaqin dan Umar Fauzi adalah dua produk Unesa yang tahun ini kian mendapat sorotan dari banyak kalangan.

Perkembangan di Universitas Petra pun menunjukkan gejala menggembirakan. Petra menghasilkan para penulis yang direspon baik oleh media-media Jakarta. Tercatat ada nama-nama prosais seperti Lan Fang, Ella Mart, Stevani Irawan, dan lain-lain.

Situasi di Universitas Negeri Jember tampaknya belum terlalu kondusif. Setelah sukses melahirkan penyair Mardi Luhung, belum ada sastrawan baru yang cukup berwibawa. Tapi kegiatan belajar menulis dan berdiskusi sastra tak pernah hilang dari Unej. Pada tahun-tahun mendatang, kita bisa mengharapkan munculnya sastrawan baru dari sana.

Sastrawan Jawa Timur juga dimanjakan oleh adanya banyak even kesusastraan. Semisal Festival Seni Surabaya, Festival Seni Cak Durasim, Lomba Naskah Drama Remaja, penerbitan buku oleh Dewan Kesenian Jawa Timur, Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Regional, Pertemuan Sastrawan Muda (HALTE SASTRA). Even-even tersebut dilengkapi dengan banyaknya even lain yang bersifat situasional. Semisal lomba baca puisi, lomba cipta puisi, sayembara cerpen, ataupun lomba naskah drama. Tidak dapat dipungkiri, kemampuan sastrawan kian terasah dengan adanya banyak lomba.

Kerja kreatif para sastrawan juga mendapat wadah yang secara reguler terbit, yakni di media massa . Ada lima media massa harian yang memuat tulisan sastra. Jawa Pos, Surabaya Post, Radar Surabaya, Duta Masyarakat, Kompas Jawa Timur. Belum lagi adanya beberapa majalah. Semisal majalah Mimbar Pembangunan Agama, Media Dinas Pendidikan, Kidung, Bende, dan lain-lain. Kecuali berperan sebagai media publikasi, media massa juga bermanfaat sebagai ajang silaturahmi. Para sastrawan bisa saling mengetahui sekaligus saling mengukur pencapaian estetik.

Pada kehidupan keseharian sastrawan sendiri, ada beberapa komunitas kesusastraan yang tidak berbasis kampus. Lokasi Balai Pemuda misalnya. Bagiamanapun juga, Balai Pemuda dengan Bengkel Muda Surabaya dan Dewan Kesenian Surabaya tetap representatif sebagai tempat berkumpulnya sastrawan. Di situ setidaknya ada Saiful Hadjar yang selalu siap diajak ngobrol perihal kesusastraan. Waktu telah membuktikan, banyak sastrawan muncul dari penggodokan di Balai Pemuda. Komunitas-komunitas lain muncul di beberapa daerah. Semisal Mojokerto, Sumenep, Bangkalan, Madiun, Ngawi, Tulungagung, Jombang, Malang, dan masih banyak lagi. Pada dataran ini, peran pesantren kerap kali tidak bisa diremehkan.

Sayangnya, situasi positif infrastruktur kesusastraan tersebut tidak ditunjang oleh dua problem utama. Yakni, wilayah penerbitan dan wilayah kritik sastra. Dibanding dengan Yogyakarta, Jakarta , Bandung , dunia penerbitan di Jawa Timur terbilang senyap. Penerbitan Jawa Timur terlalu disesaki dengan terbitan buku-buku agama, klenik, dan buku-buku memasak. Penerbitan buku sastra, boleh dikata, nyaris tidak ada.

Ada memang beberapa penerbitan tapi jumlahnya sedikit dan kerapkali tidak dipasarkan secara umum. Sebagai contoh, empat buku terbitan Festival Seni Surabaya (2010) dan buku terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur. Selebihnya hanyalah penerbitan dari komunitas tertentu. Biasanya dicetak secara terbatas. Kerap kali malahan dengan format stensilan.

Padahal semua tahu, bagi wilayah sastra, penerbitan buku adalah tolok ukur utama dari perhatian publik. Pemuatan di media massa harian dan majalah dibatasi beberapa kelemahan. Semisal puisi bertumpukan dengan aneka berita dan iklan. Pembaca puisi menjadi kurang konsentrasi. Harian juga bersifat temporal. Susah dalam pengarsipan.

Kita mengenal akrab karya Acep Zamzam Noor bukan dari pemuatannya di media massa harian tapi melalui buku-buku puisi yang diterbitkan. Begitu pula dengan puisi-puisi D Zawawi Imron, Abdul Hadi, Mardi Luhung, ataupun Budi Darma. Bandingkan pula membaca novel dalam cerita bersambung di koran dengan membaca dalam bentuk buku. Kenyamanan dan intensionalitasnya jauh lebih terjaga dalam bentuk buku.

Problem kedua adalah masalah kritik sastra. Sudah sering diungkapkan, kemunculan para sastrawan muda Jawa Timur tidak dibarengi dengan kemunculan kritik sastra yang memadai. Imbasnya, sastrawan seperti iseng sendiri. Jembatan antara tafsir karya dengan publik menjadi terputus. Pembaruan dan jelajah estetik pun tidak dapat teridentifikasi secara terperinci dan teoritis. Adanya beberapa kritikus semacam Shoim Anwar, Tjahjono kembar, dan beberapa akademisi tidak sanggup memenuhi kebutuhan kritik yang proporsional.

Tahun ini, 2011, dua problem utama kesustraan di Jawa Timur tersebut harus mulai dicari jalan keluarnya. Sebenarnya, potensi ke arah sana telah ada. Yang perlu dilakukan adalah memompa agar lebih komprehensif. Misalnya usaha penerbitan yang dilakukan oleh Nurel dan Alang di Lamongan. Sayangnya, usaha dua pemuda tersebut kerap terganjal oleh rendahnya modal. Juga beberapa penerbitan dari Mojokerto dan Malang. Sementara pada ranah kritik sastra, para akademisi dan sarjana sastra seharusnya mulai membikin penelitian dengan berpijak pada kondisi kekaryaan sastra yang lebih konkret.

Menguak Sejarah Sastra di Indonesia

Judul : Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa
Penulis : Claudine Salmon
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetak : Desember 2010
Tebal : 562 halaman
Peresensi: Bandung Mawardi *
http://www.lampungpost.com/

Lembaran-lembaran sejarah sastra di Indonesia ingin disingkapkan dengan sorotan kritis dan reflektif. Claudine Salmon mengantarkan pembaca pada petualangan teks sastra, pengenalan biografi-biografi kecil, dan pemahaman atas latar zaman saat proyek literasi disemaikan di Indonesia pada abad XIX dan XX. Ikhtiar menarasaikan jejak-jejak sejarah sastra awal memang bisa mengejutkan, menyulut curiga, dan melegakan kehausan historis para pembaca sastra. Penelusuran sastra dari kalangan Tionghoa-Peranakan ini seolah jagat misteri dalam produksi buku-buku sejarah sastra ala A. Teeuw, H.B. Jassin, Bakrie Siregar, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, dan Jakob Sumardjo.

Dua puluh esai dalam buku ini memunculkan pikat untuk pembayangan atas nasib sastra dari zaman ke zaman. Keberadaan surat kabar, industri buku, dan komunitas literasi memberi bukti tentang gairah sastra di Indonesia oleh kalangan pengarang dan pembaca Tionghoa-Peranakan. Mereka menjadi pemula dari agenda penerjemahan-penyaduran sastra dari China dan Barat. Penulisan sastra dalam bentuk syair, cerita bersambung, drama, dan novel juga dipelopori oleh mereka sebagai konsekuensi modernisasi di Hindia Belanda. Sastra menjadi bagian dari perubahan sosial-kultural-politik dan kalangan peranakan menjalankan peran strategis untuk mengobarkan gairah literasi di negeri terjajah.

Claudine Salmon mengajukan esai Awal Sastra Melayu-Tionghoa Dicerminkan oleh Sebuah Syair Iklan Tahun 1886. Informasi produksi dan perkembangan sastra terekam dalam iklan tapi masih diselimuti oleh misteri. Pelbagai novel di iklan dan pengarang belum bisa diketahui gamblang. Iklan ini memang membuat penasaran karena sejumlah informasi tentang minat sastra dan pergaulan masyarakat di Hindia Belanda dengan khasanah sastra dunia dan sastra China klasik. Iklan sastra menguak asal-mula kesusastraan Melayu-Tionghoa dalam bentuk cetakan, jumlah penerjemahan roman Tionghoa dalam bahasa Melayu, dan model-model pendahulu kesusastraan Indonesia modern.

Iklan itu ditulis oleh Ting Sam Sien di Semarang (1886) dalam bentuk syair Melayu. Ada 41 buku cerita ditawarkan dalam iklan dengan penjelasan dan perincian untuk kepentingan penjualan. Simaklah petikan iklan sastra ini: Banjak lah tabe hormat besrenta,/ Pada pembatja sekalian rata,/ Dari hal segala boekoe tjerita,/ Njang ada terdojoewal di toko kita// Di bawah ini saja menbrita,/ Pada sekalian pembatja kita,/ Dari hal segala boekoe teherita,/ Harganja djoega poen ada besrenta. Makna iklan ini adalah mengawali dari proses pengenalan roman dan penulisan sastra dalam unsur kelokalan. Kelahiran roman Sitti Nurbaya (1922) oleh Marah Rusli kemungkinan turut dipengaruhi oleh jejak-jejak awal dari produksi buku cerita di kalangan Tionghoa-Peranakan.

Claudine Salmon juga menengarai perkembangan penerbitan dalam bahasa Belanda dan Melayu-Tionghoa pada 1880-an merupakan momentum penting dalam sejarah kesusastraan Melayu di Jawa. Industri penerbitan adalah basis dalam pembentukan masyarakat literasi. Kondisi ini menjadi latar dari kelahiran novel Melayu-Tionghoa Thijt Liap Seng (Bintang Toedjoeh) oleh Lie Kim Hok. Novel ini diduga merupakan olahan-campuran dari dua novel Eropa: Klaasje Zevenster karangan J. van Lennep (1902-1868) dan Les Tribulations d’un Chinois en Chine karangan Jules Verne (1828-1905). Penerbitan novel Thijt Liap Seng (Bintang Toedjoeh) diduga menjadi pemula dari sastra Melayu-Tionghoa. Penemuan dan pengakuan ini memang jauh dari pengetahuan publik sastra karena data-data tentang novel dan pengarang masih susah dijelaskan.

Kerja penelitian Claudine Salmon dalam buku ini tampak mozaik ketimbang buku Sastra China Peranakan dalam Bahasa Melayu (1985). Esai-esai dalam Sastra Indonesia Awal kentara memberi multiperspektif untuk meletakkan dan memaknai sastra dalam pelbagai konteks. Penulisan sebuah novel, profil, dan aktivitas pengarang, industri percetakan, dan pers menjadi sumber-sumber informasi untuk pengayaan memahami sastra dan situasi zaman. Pembacaan dan penjelasan Claudine Salmon mirip pengumpulan serakan-serakan data untuk dinarasikan dengan naluri historis. Model ini mengesankan pembaca sanggup memasuki labirin sejarah sastra Indonesia awal dengan gairah dan khusyuk.

Uraian memikat tampil dalam esai Masyarakat Pribumi Indonesia di Mata Penulis Keturunan Tionghoa (1920-1941). Esai ini menandai ada limpahan pengetahuan melalui sastra untuk membaca dan mengenali konstruksi identitas, transformasi sosial-kutlural, dan narasi politis dalam pengisahan. Novel-novel produksi penulis keturunan Tionghoa sanggup merekam, mendefinisikan, dan menebar tendensi untuk memerkarakan kalangan pribumi. Aksara menjadi representasi dari lakon hidup pribumi. Kisah menjelma pengimajinasian hidup dan biografi kaum pribumi.

Sekian novel dengan kisah kaum pribumi, antara lain Oey Se (Thio Tjien Boen), Lo Fen Koei (Gouw Peng Liang), Pertjintahan dalam Halimoen (Numa), dan Djeritan di Ladang Soenji (Tan Sioe Tjhay). Gambaran tentang kehidupan kaum priyayi dan pembaratan di Jawa dikisahkan dalam Boeat Apa Ada Doenia (1929) karangan Njoo Cheong Seng. Model pendidikan ala Barat telah membuat kaum priyayi mengalami dilema secara kultural, sosial, ekonomi, dan politik. Pembaratan berlangsung dan mengalir dalam diri priyayi. Pemahaman atas nilai-nilai tradisional kejawaan bertarung dengan indoktrinasi nilai-nilai Barat melalui jalur pendidikan, pers, dan institusi politik. Contoh kecil ini memberi pengertian bahwa konsentrasi dan kerja riset Claudine Salmon kerap dihadapkan pada keringat tafsiran karena kelangkaan sumber data.

Buku ini pantas menjadi sandaran untuk kembali merenungi kronik sastra dan pemahaman publik terhadap kontribusi kaum Tionghoa-Peranakan dalam pertumbuhan sastra di Indonesia. Sejarah resmi sastra memang jarang memberi ruang untuk mereka. Pembahasan mendalam tentang signifikansi sastra dan geliat zaman melalui sastra produksi mereka juga jarang disuarakan. Claudine Salmon menyapa pembaca untuk melakukan petualangan kritis dalam membuka dan menulis lagi di lembaran-lembaran sejarah sastra.

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Teater Miskin dan Grotowski

Marhalim Zaini
http://www.riaupos.com/

KATA “miskin” dalam dunia seni teater (di Indonesia), bukanlah sesuatu yang baru, sebagaimana juga kata “miskin” untuk Indonesia sebagai sebuah bangsa. Ia seolah bersebati, tak hendak pergi.

Seolah telah menjadi sebuah identitas. Meski telah sejak lama pula ihwal kemiskinan dalam teater ini dirisaukan, dibincangkan, dicari cara pengentasannya, tetap saja, hingga kini pada kenyataannya teater masih miskin: miskin aktor, miskin sutradara, miskin kritikus, miskin penulis naskah, miskin penata artistik, miskin sarana-prasarana, miskin wacana, miskin gagasan-gagasan baru, dan sekaligus para pekerja teaternya pun miskin secara ekonomis.

Memang, kita tak serta merta dapat menutup mata bahwa ada pasang-surut dalam proses perjalanan sejarah teater (modern) Indonesia. Ada ketika demikian bergairah individu-individu pekerja teaternya, baik dalam penciptaan naskah lakon maupun dalam menggali potensi keaktoran (juga penyutradaraan) dengan memainkan naskah-naskah realisme (Barat). Kemunculan naskah berbahasa Melayu, “Lelakon Raden Beij Soerio Retno” yang ditulis F. Wiggers di awal abad IX misalnya —yang juga dapat menandai sejarah awal “realisme” masuk ke Indonesia— dapat memulai pencatatan tersebut. Nama-nama seperti Sanusi Pane, juga setelahnya Usmar Ismail dan Asrul Sani yang mendirikan ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia), tak dapat dilepas dari bagaimana proses generasi-generasi berikutnya lahir di antaranya Teguh Karya dan Wahyu Sihombing. Di Bandung, ada Suyatna Anirun dan Jim Adhilimas dengan kelompok STB-nya.

Pada priode berikutnya (tahun 1970-an) mungkin bolehlah kita bersepakat dengan Jakob Sumardjo yang menyebutnya sebagai “Zaman Emas Kedua Teater Indonesia.” Ada beberapa alasan yang mendasari Jakob. Di antaranya suasana berkreasi lebih bebas dari tekanan dan ketakutan politik, lalu iklim kondusif Taman Ismail Marzuki yang difokuskan sebagai Center of Excellence kesenian, selain peran pemerintah (khususnya DKI Jakarta yang waktu itu Gubernurnya Ali Sadikin) yang menyantuni kesenian dengan prinsip patronse. Hemat saya, alasannya mungkin bisa ditambah, karena di masa itu juga penulisan naskah drama demikian bergairah.

Proses pasang-naik semacam itu, bisa jadi juga terkait dengan euforia pekerja teaternya sendiri dalam merespon perkembangan awal teater modern di Indonesia. Meski kemudian, pada priode-priode setelahnya teater Indonesia memang mencatat sejumlah nama dan kelompok teater yang menonjol, dan cukup memberi pengaruh terhadap perkembangan teater berikutnya. Rendra, Putu Wijaya, Arifin C Noer, Nano Riantiarno, Rahman Sabur, Dindon, adalah beberapa nama yang ikut menancapkan tonggak-tonggak itu. Saya kira, juga tidak terlalu benar, jika kita hanya melihat sejarah dari satu sisi saja, dari satu titik arah pergerakan saja. Saya cukup percaya, selain Jakarta, kota-kota lain turut memberi sumbangan bagi berjalannya dinamika konstelasi perteateran di Indonesia. Hanya saja, ruang ekspose mereka terbatas, sehingga kadang, kesan yang kerap timbul hanya Jakarta-lah sebagai pusat sejarah. Terlepas dari pertanyaan, “peristiwa (teater) yang seperti apakah yang layak masuk dalam buku sejarah?”

Ya, itu realitas sejarah singkat. Bukan berarti kemudian, masa-masa “kejayaan” semacam itu membuat infra-struktur teater kita menjadi kokoh, dan kemiskinan hilang di muka bumi. Justru, hemat saya, karena lemahnya infra-struktur itulah yang membuat teater Indonesia berjalan dalam kegamangan-kegamangan. Banyak persoalan yang terbengkalai begitu saja, baik dalam tataran wacana maupun realitas praksis. Selain tentu, cukup banyak faktor eksternal yang tak kunjung kondusif untuk membantu memberi ruang bagi tumbuh-kembangnya teater sebagai salah satu “kekuatan” yang menopang “rumah-rumah” kebudayaan kita.

Di Riau, saya tak terlalu berani untuk menakar seperti apa pergerakan teater modernnya di masa lalu. Meski secara lamat-lamat, masih sempat sampai ke generasi kini gaung nama Idrus Tintin misalnya, atau saya sempat menyaksikan pertunjukan garapan alm. Dasry Al Mubary di Yogyakarta dan Pekanbaru, serta beberapa sedikit nama dari yang lain. Saya kira, infra-strukur teater kita di Riau memang belum terbangun. Kalau pun pernah ada tonggak-tonggak itu, agaknya masih rumpang. Ketiadaan kritikus teater (atau lebih sederhana: juru bicara) sebagai salah satu pilar infra-struktur itu, adalah satu soal yang menyebabkan akses informasi ihwal pertumbuhan dan perkembangan teater (di) Riau tak dapat dengan mudah terdeteksi di masa kini. Maka kemiskinan itu menjadi niscaya. Belum lagi, pilar-pilar lain seperti pekerja teaternya sendiri, yang masih belum tangguh berhadapan dengan berbagai godaan (juga cibiran). Atau para apresian (penonton teater) yang masih harus terus dikelola untuk bisa menghadirkan rasa rindu dan dengan setia menyaksikan pertunjukan teater. Atau, pilar lain, gedung yang semegah Anjung Seni Idrus Tintin itu, kini kita hanya bisa melihatnya dengan rasa miris, sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Gagah dalam Kemiskinan dan Grotowski

Tapi, baiklah. Itu bentangan problemnya. Tak kemudian optimisme menjadi letoi. Tak membuat pilihan berkesenian di panggung teater menjadi surut. Ada banyak kreativitas muncul justru ketika problem (kemiskinan) itu tak kunjung sirna. Saya jadi teringat petuah WS Rendra, yang sejak lama mencambuk para pekerja teater dengan lecutan, “kita harus gagah dalam kemiskinan.” Atau teringat pula saya bagaimana Putu Wijaya menggariskan konsep proses kreatif berteaternya dengan “berangkat dari apa yang ada.” Artinya, penyikapan terhadap kondisi teater yang miskin itu, adalah dengan melakukan berbagai penggalian konsep dan metode untuk dapat membangun kekuatan-kekuatan kreatif yang baru. Saya kira, di sini letaknya tantangan itu. Dan di sinilah pula saatnya si seniman menunjukkan ketangguhan dalam berkomitmen.

Lecutan Rendra dan konsep Putu Wijaya di atas, sesungguhnya sejalan dengan konsep “Teater Miskin” (Poor Theatre) yang diusung oleh seorang tokoh teater terkemuka dunia, Jerzy Grotowski. Jika Rendra “gagah dalam kemiskinan” dalam konteks proses kerja berteater secara mendasar yang terkait dalam berbagai infra-struktur, dan Putu lebih mengarah kepada proses kerja-kreatif seorang sutradara dan aktor, sementara Grotowski lebih mengembalikan “segalanya” pada kekuatan seorang aktor. Bersama kelompok Theatre Laboratory, Grotowski melakukan kerja-kerja eksperimental di bidang metode pelatihan aktor atau teknik akting.

Kerisauan Grotowski muncul terlebih ketika di saat itu kehadiran teknologi lewat media film dan televisi yang kemudian juga merambah ke dalam dunia teater, terutama melalui penataan cahaya, penataan musik, juga tata setting, justru menciptakan “kemegahan-kemegahan” artistik yang “berlebihan.” Sehingga, penyatuan antara aktor dan penonton dalam sebuah peristiwa teater—yang diyakininya sebagai “jantung teater”—tidak terjadi secara alami. Nah, Grotowski secara lantang menyebut, “inilah awal keruntuhan dunia teater.”

Maka melalui kerja-kerja riset artistik yang mendalam ia hendak merevitalisasi kaidah-kaidah dasar teater melalui kekuatan seorang aktor. Bahwa baginya, apa yang paling penting dalam sebuah peristiwa teater, dan yang membuat ia berbeda dengan menonton televisi, adalah “pertemuan” langsung antara aktor dan penonton. Ketika pertemuan ini terjadi, seorang aktor melalui media otot-otot wajah dan tubuhnya harus mampu menunjukkan ekspresi kemanusiaannya yang paling dalam. Artinya, bagi Grotowski, mestinya tak ada batas antara aktor sebagai individu dengan penonton yang kolektif. Maka di sanalah proses “pembentukan diri” keduanya terjadi. Penonton dapat menyerap “pesan” aktor dengan baik, dan aktor adalah cermin untuk dapat melihat dirinya sendiri.

Saya kira, kata “miskin” dalam konsep Gorotwski jika dimaknai secara lebih luas dan kontekstual, adalah counter terhadap berbagai “kemanjaan” pekerja teater kita. Jika soal dana yang kerap dikeluhkan (karena teater seolah membutuhkan berbagai perangkat yang mahal) maka konsep “Teater Miskin” dapat menjawabnya dengan sangat bijak. Tentu, sebelumnya, harus tertanam sebuah pemahaman, sebagaimana yang diungkapkan oleh Grotowski, “Teater Miskin tidak menjanjikan kepada para aktor kemungkinan sukses dalam satu malam. Teater ini menolak konsepsi borjuis tentang suatu standar hidup. Tetapi mengusulkan penggantian kekayaan material menjadi kekayaan moral sebagai tujuan utama hidup ini.”***

*) Sastrawan, tinggal di Pekanbaru.

Jumat, 11 Maret 2011

Pemerintah dan Seni

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Setelah masa reformasi, keadaan Indonesia porak-poranda. Ada perdebatan di antara para ahli, bagaimana membangun Indonesia kembali. Satu pihak mengatakan bahwa untuk membangun Indonesia yang baru dan satu, diperlukan stabilitas politik. Pihak lain membantah, mereka mengemukakan bukan stabilitas politik, tetapi stabilitas ekonomi yang mesti didahulukan.

Tak ada kesimpulan atas perdebatan itu. Pembangunan Indonesia pun berjalan seret, bingung dan tetap masih dalam keadaan tersaruk-saruk sampai sekarang. Yang jelas adalah bahwa “budaya” sama sekali tidak diperhitungkan.

Padahal sudah begitu santer tuduhan bahwa salah satu musuh terbesar pembangunan Indonesia adalah korupsi yang sudah seperti “membudaya”. Sementara kemerosotan moral dan sindiran “bangsa tak beradab” muncul dari tetangga. Bagaimana tidak. Maling ayam bisa dibakar, mall diganguskan berikut pengunjungnya, manusia makan manusia seperti dalam film horror.

Kongres Kebudayaan yang bergegas dilakukan pada 2003 dengan maksud untuk memberikan masukan pada pemerintah dalam rangka ikut membangun Indonesia dari aspek moralnya, hanya menjadi peristiwa seremonial. Tujuh belas butir keputusan yang hendak memberikan arahan pada politik dan strategi kebudayaan, hanya berakhir sebagai sebuah dokumen – sebagaimana juga hasil-hasil Kongres Kebudayaan sebelumnya – sampai kemudian saat untuk menyelenggarakan Kongres Kebudayaan berikutnya (disepakati dalam Kongres 2003, 5 tahun sekali) sudah di depan mata lagi.

Seni sebagai bagian dari kebudayaan yang sebenarnya berharap akan mendapat kasih-sayang yang lebih baik berkat butir-butir keputusan Kongres Kebudayaan 2003, terpaksa menikmati nasibnya yang lama, menjadi anak tiri dalam pembangunan. Posisinya tetap sebagai penumpang gelap yang sekali tempo beruntung bisa bernafas kalau ada bola liar pada tutup tahun sisa anggaran. Selebihnya hanya menjadi pengemis yang berjuang sendiri untuk hidup. Beda sekali dengan kegiatan olahraga yang kendati prestasinya tak seberapa (bahkan sepakbola kalah melulu) tetap saja mendapat anggaran yang manis.

Padahal sudah jelas dibuktikan bahwa hidup tak hanya membutuhkan sandang-pangan dan papan. Dalam musibah tsunami di Nanggru, Aceh Darussalam, misalnya, kita lihat, sumbangan berlimpah dari seluruh dunia, tak segera melipur lara. Manusia tidak hanya memerlukan ganti harta-bendanya yang hilang. Yang lebih menyakitkan dan sulit disembuhkan adalah hati hampa oleh luka kehilangan sanak-saudara.. Itu sebabnya kemudian, sesudah membanjiri daerah bencana dengan berbagai sumbangan, maka kesenian pun mulai dikirim. Senilah yang dapat menyeimbangkan kembali rasa yang sudah terbelah oleh kehilangan yang tidak mungkin tergantikan itu.

Di dalam pembangunan kota-kota di Indonesia, banyak contoh bagaimana sial posisi seni. Bila ekonomi berkembang, maka jalanan menjadi macat. Motor berseliweran seperti kecoak. Mobil berbaris panjangnya melebihi panjang jalan. Pembangunan gedung bertingkat di mana-mana kesurupan. Gedung yang sebenarnya masih layak dipakai, dirobohkan. Peninggalan sejarah pun tak urung diratakan dengan tanah, agar bisa memuaskan nafsu manusia untuk membangun proyek.

Sementara tempat-tempat publik, diabaikan. Gedung kesenian sama sekali tidak diupayakan. Indonesia yang lebarnya sama dengan daratan Amerika dan penduduknya masik kelompok besar dunia, sumber daya alamnya pun konon hebat, ternyata hanya punya satu gedung kesenian yang layak. GKJ di wilayah Pasar Baru, Jakarta. Itu pun warisan Belanda yang dulu sempat diacak-acak dijadikan gedung bioskop dan hanya karena keajaiban tidak punah oleh kegarangan membangun.

Begitu banyak hasil-hasil kesenian dan kerajinan Indonesia yang pantas dipajang sebagai pelajaran di museum, tetapi begitu sedikit museum yang ada. Hampir semua museum sepi bagai rumah hantu. Pengunjungnya paling banter peneliti-peneliti asing, turis mancanegara dan murid-murid sekolah yang dipaksa melakukan study tour oleh sekolahnya. Penghargaan terhadap seni, begitu kurang, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat.

Mengeluh tentang kurangnya penghargaan pemerintah dan masyarakat pada seni, sebenarnya sudah tidak penting lagi, sebab nasib kesenian di negeri ini memang begitu. Memang ada Departemen Kebudayaan tetapi digandeng oleh Departemen Pendidikan dan sekarang oleh Departemen Pariwisata. Akibatnya hanya jadi bayang-bayang kelabu. Tak heran kalau di masa pemerintrahan Gus Dur departemen kebudayaan (seperti juga departemen penerangan dan sosial) dibunuh.

Namun pembasmian itu ada baiknya. Daripada ada tetapi tiada, lebih baik sama sekali tak ada, tetapi ada. Artinya: justru dengan tak adanya departemen kebudayaan, kebudayaan dengan sendirinya masuk ke seluruh departemen dengan bebas dan galak. Seluruh departemen dengan tak ragu-ragu akan “membudaya” tanpa perlu merasa mencampuri dapur departemen lain (kebudayaan). Hal itu terjadi karena kehidupan bernegara mustahil lepas dari seni-budaya.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa kendati perhatian pada kebudayaan/kesenian secara formal begitu “brengseknya”, toh pemerintah sejak dulu terus mengirim missi-missi kebudayaan sebagai bagian dari diplomasi publik. Sementara dunia pariwisata yang makin lama semakin menjadi putra mahkota perebut divisa dari kelom pok non migas, dengan lantang sudah mengobarkan semboyan: “pariwisata budaya”. Kepariwisataan yang terang-terang hendak “menjual” budaya – maksudnya “seni tradisi”.

Walhasil, kendati pemerintah dan masyarakat nampak tak peduli pada kesenian, tetapi pada prakteknya seni dimanfaatkan untuk mengenalkan Indonesia ke forum internasional. Khususnya seni tradisi. Dan berhasil. Jadi kendati didudukkan sebagai “obyek”, dana sudah mengucur dan seni tradisi pun hidup sehat dan segar, walau tak membuat perorangan menjadi kaya-raya (seperti dalam seni modern). Maka semua kesenian akan lebih terlindungi secara proyek bila dikatagorikan seni tradisi atau seni wilayah, karena dia akan mudah mendapat santunan dana.

Seni modern pun mulai diam-diam membonceng. Tak jarang dengan “memperalat” pengembangan atau pelestarian seni tradisi ( kolaborasi, inter aksi, kreasi baru) seni modern mencuri santunan. Dan itu dimaklumi. Artinya, secara diam-diam pengembangan seni modern juga didukung oleh pemerintah, asal memakai tameng seni tradisi. Betul, itu akal-akalan, tapi hasilnya konkrit.

Maka kita pun sampai pada kata-kata “puncak-puncak kesenian daerah adalah kesenian nasional”. Dalam pengertian itu, sebenarnya banyak hal yang bisa disimpulkan. Apa sebenarnya yang dinamakan puncak? Ukuran puncaknya apa? Sangat tak jelas. Apa itu berarti yang terbaik, atau termasuk terbaik, atau cukup karena mampu bertahan dengan baik sepanjang masa?

Puncak pohon kelapa (yang sudah berbuah) paling tidak tingginya beberapa meter. Tapi untuk rumput, yang namanya puncak cukup beberapa centimeter saja. Puncak tidak hanya satu, bisa banyak. Apa salahnya untuk menganggap kesenian yang asal mampu bertahan hidup sepanjang zaman, sebagai puncak?

Apakah puncak kesenian Sumatra Barat itu hanya saluang, randai, serampang dua belas saja – untuk menyebutkan beberapa sebagai misal. Atau semua tarian Minang yang bertahan adalah puncak dan karenanya juga adalah tarian nasional alias tarian Indonesia. Dengan kata lain, semua kesenian daerah (baca: tradisi) dalah kesenian nasional alias kesenian Indonesia . Dengan kata tradisi – seperti kita bentangkan di atas – seni adalah aset untuk menjaring devisa dan karenanya akan mendapat jaminan santunan. Inilah kesempatan emas bagi kesenian Indonesia modern kemudian untuk melakukan pencurian yang diam-diam direstui, walau pun pemerintah tak peduli (pura-pura) pada kesenian.

Pada tahun 1991 saya dikejutkan oleh komentar Toshi Tsuchitori (pimpinan musik pementasan Mahabharata Peter Brook). “Kami di Jepang harus belajar dari kalian di Indonesiam bagaimana memeliharan tradisi, ‘”katanya. “Di Jepang tradisi dipelihara dengan begitu kakunya, sehingga anak-anak muda gerah lalu menolak, lalu mengganti kiblat dengan Amerika. Tapi pada kalian di Indonsia, seni tradisi dan seni modern/kontemporetr begitu mesra berjalan bersama.”

Pada 1995 dalam pertemuan Teater di Solo. Katsura-Khan, penari butho anggota Byakhosa, juga memberikan komentar yang senada. Melihat pertunjukan teater berbahasa Jawa yang digelar secara terbuka di Taman Budaya dengan pengunjung membludak, dia berdecak kagum di depan saya. “Ini yang membuat aku iri. Yang begini tidak ada di jepang,”katanya.

Kedua komentar itu benar-benar sudah menjungkir balik cara saya melihat kenyataan “rawan” di Indonesia. Kurang mesranya cinta “pemerintah-penguasa-masyarakat” pada seni (baca budaya) justru telah membuat kesenian di Indonesia menjadi garang dan berdarah. Itulah yang sudah mematangkan Indonesia menghasilkan orang-orang seperti Rendra, Sardono, Sutardji, Arifin, Chairil, Pramudya, Amir Hamzah, Slamet Syukur, Goenawan, Afandi, Huriah Adam, Gusmiati Suid, Ki Narto Sabdo, Oesman Effendi dll.

Selasa, 08 Maret 2011

Prosa-Prosa Fatah Yasin Noor

Tak Ada Gerhana
 
Itulah teks yang sarat kandungan sepi yang mencekam. Padahal kami tak punya kecurigaan apa pun pada nasib. Tentu saja masing-masing dari kami sudah punya anak. Mereka senang berlarian di halaman rumah. Apakah kelak mereka akan jadi penyair, misalnya, kami tak tahu. Kami tidak menyerahkannya kepada takdir. Daya dan upaya kami sudah maksimal.

Buku Sastra di Negeri tanpa Pembaca

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Sebut saja kalau negeri kita sudah terbebas dari buta huruf. Saya tak percaya kalau ada penyair yang menulis puisi tanpa pernah membaca buku puisi. Saya juga tak yakin ada penyair yang menulis prosa yang bagus tanpa bergaul dengan buku-buku prosa yang juga bagus. Sebuah karya lahir dari persentuhan dengan karya lain. dan persentuhan itu kadang intim tapi juga kadang renggang.

Ada perbedaan yang mencolok antara puisi yang ditulis penyair yang hanya sedikit membaca dengan puisi yang ditulis penyair yang banyak membaca. Wawasan puisi yang dilahirkannya akan dengan mudah dikenal karena beragam persoalan yang pernah dibacanya.

Di Lampung hanya ada dua penyair: penyair yang banyak membaca dan penyair yang sedikit membaca, atau penyair yang pernah banyak membaca tapi kini berhenti membaca dan tak lagi membeli buku. Kalau ada seorang teman memberikan buku, buku itu tak lagi sempat dibaca. Dan mereka terus melahirkan puisi tanpa pembaca juga.

Dari puluhan penyair yang ada di Lampung ini, hanya satu dua penyair yang masih rajin mengunjungi toko buku. Semoga saya salah ketika mengatakan sebagian besar hanya berkarya saja, atau hanya sesekali membeli buku dan merasa kalau karya mereka sudah hebat. Buku-buku puisi yang mereka terbitkan tidak dibaca. Bagaimana mereka mengharapkan agar karya mereka dibaca banyak orang sedangkan mereka sendiri tidak membaca karya orang lain.

Sebagian besar penyair Lampung telah memiliki buku kumpulan puisi tunggal, tapi saya tak yakin kalau buku-buku puisi mereka memiliki pembaca. Selain alasan tidak ada uang, atau harga buku mahal, memang tak memiliki tradisi membaca. Apalagi membaca pemahaman, sudah jelas tak banyak. Sedangkan mereka yang suka membaca pun harus berpikir puluhan kali untuk membeli buku puisi. Mereka lebih tertarik dengan buku prosa atau novel.

Banyak kita yang punya uang, tapi karena tidak suka membaca dan malas membaca, maka tak pernah membeli buku. Apalagi jika buku puisi di jual dengan harga di atas Rp. 30 ribu. Buku kumpulan puisi Inggit Putria Marga yang di jual Rp.40 ribu, sejak awal di pajang di tokoh buku smpai sekarang tetap utuh. Kita semua berharap setiap tahun makin banyak buku yang disubsidi, hingga harganya bisa terjangkau, seperti buku Sadur : Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia yang disunting Henri Chambert-Loir yang diterbitkan KPG setebal 1160 hard cover hanya di jual 125 ribu (buku sangat bagus dan sangat murah tapi tetap tidak dibeli juga).

Buku kumpulan puisi termahal yang saya miliki adalah karya Goenawan Mohamad, Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (Rp. 42.000 pada tahun 2002). Sementara yang termurah saya lupa, tapi ada buku puisi seharga Rp.3000 dan masih didiskon 15%. Ketika saya berkunjung ke toko buku Gramedia bersama seorang teman, saya tunjukkan buku puisi Inggit, dan teman itu geleng-geleng kepala sambil berkata: “lebih baik beli buku novel kalau sudah seharga Rp. 40 ribu”.

Di Lampung ini memang banyak hal yang lucu. Negeri ini begitu banyak melahirkan puisi, yang oleh Nirwan Dewanto disebut “negeri penyair”, tapi puisi penyair Lampung tak pernah dibaca lebih dari lima puluh orang. Aneh kedengarannya kalau ada sebuah tempat yang banyak melahirkan buku puisi tapi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun jumlah buku mereka di toko buku tetap utuh. Jangan-jangan penyair kita memang tak menjadikan buku sebagai kebutuhan yang wajib dibeli. Atau memang kita semua ingin membaca buku kalau diberi gratis oleh teman.

Kalau sampai usia 35 tahun masih juga tidak senang membaca buku, berarti orang tersebut tidak ada harapan untuk mencintai buku. Kalau dia penyair, maka dia sudah terlambat untuk mengerti dunia perbukuan. Saya termasuk orang yang kagum jika ada orang yang baru berusia 30 tahun tapi sudah mengoleksi seribu judul buku. Dan saya teramat sedih jika menemukan penyair yang telah berusia di atas lima puluh tahun tapi buku di perpustakaan pribadinya hanya seratus, atau malah kurang dari itu.

Saya mengenal bacaan sastra sangat terlambat, sekitar tahun 1998. Saya baru bisa menulis ketika sudah selesai kuliah, saat usia sudah 29 tahun. Kalau ada orang yang mempengaruhi saya untuk banyak membaca dan menulis, orang itu adalah Damanhuri.

Sekarang sudah dua belas tahun dari 1998 dan usia saya sudah 35 tahun, dan buku yang saya miliki baru tujuh ratus lima puluh buku (tidak termasuk yang sudah hilang). Walau saya sering menulis dengan menyebut diri sebagai pembaca sastra, tapi saya tidak tahu apakah dengan memiliki 750 buku dengan berbagai macam tema itu sudah cukup untuk mengklaim sebagai pembaca sastra. Kalau mau jujur, saya belum sebagai pembaca sastra.

Saya percaya bahwa penyair-penyair yang sudah mantap di dunia masih terus membaca, dan tak pernah berhenti membeli buku. Seandainya tak ada uang, saya yakin orang yang sudah kecanduan buku akan tetap memiliki buku dengan cara mencuri, atau meminjam buku teman yang tak lagi dikembalikan (hal ini jauh lebih baik ketimbang mengaku pengarang tapi tak suka membaca buku).

Tak perlu saya sebutkan siapa saja penyair Lampung yang banyak membaca, yang di rumahnya ada koleksi sebanyak seribu lebih buku, dan mana yang tak membaca dan hanya punya sepuluh buku. Saya belum pernah berkunjung ke rumah mereka, tapi saya hanya mengintip dari omongan dan tulisan mereka. Puisi yang mereka tulis memang sering menipu. Kalau saja mereka menulis esai atau prosa, akan ketahuan betapa sesungguhnya mereka bukan pengarang hebat (ini pernah diucapkan Goenawan Mohamad dan Nirwan Dewanto pada suatu kesempatan).

Di Lampung masih ada dua orang yang sangat rajin mengunjungi toko buku dan membeli: Ahmad Yulden Erwin dan Damanhuri. Sekalipun tak lagi menerbitkan puisi dan sibuk di dunia sosial-politik, Ahmad Yulden Erwin masih sering mengunjungi toko buku Gramedia Lampung dan membeli buku. Damanhuri, walau bukan penyair, tapi esais dan peninjau buku yang sering memprovokasi kita lewat kutipan-kutipan dari berbagai buku, dan tiada hari tanpa membeli buku.

Beberapa waktu lalu saya membeli sebuah buku “baru” berjudul Trilogi Insiden seharga Rp.74 ribu. Saya sebut buku “baru” dalam tanda petik karena sesungguhnya buku karangan Seno Gumira Ajidarma itu adalah buku terbitan lama yang diterbitkan lagi, hanya saja bedanya kalau dulu diterbitkan dalam tiga buku, sekarang diterbitkan menjadi satu buku.

Dalam salah satu esai dalam buku itu, Seno tak pernah percaya kalau tulisannya selama ini dibaca orang. Sebab ia berasal dari sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta huruf, tapi yang bisa dipastikan masyarakatnya sebagian besar belum membaca secara benar—yakni membaca untuk memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya. Masyarakat kami, kata Seno, adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca sub-titel opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan.

Semoga kita semua dijauhkan dari niat membaca yang tidak memperkaya khazanah semacam itu.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati