Asarpin
http://www.lampungpost.com/
Dari sekian banyak penyair yang menulis tentang waktu, hanya sedikit sajak yang sungguh-sungguh menghadirkan pergulatan tentang waktu.
KALAU Voltaire membayangkan waktu sebagai ukuran keabadian, sesuatu yang panjang, saya hendak menegaskan di sini: waktu dapat dijadikan bahan tes bagi autentisitas seseorang. Kalau dia penyair, keautentikan dirinya sebagai penyair akan terlihat ketika ia menggarap soal waktu. Autentik atau tidak puisi yang dihasilkannya, juga dapat dilihat dan dirasakan oleh pembaca ketika ia membicarakan soal waktu.
Salah satu penyair yang tak begitu dikenal, tapi telah menghasilkan buku kumpulan sajak yang unik dan bentuk yang menyempal, adalah Nurel Javissyarqi. Lewat analekta sajak bertajuk Kitab Para Malaikat (2007), Nurel menghadirkan tafsiran waktu dalam bingkai filsafat dan ajaran kebatinan Jawa yang tak mudah dicerna, tapi autentik dan kuat.
Dari segi bentuk, sajak-sajak Nurel cukup unik: setiap ujung larik sajaknya ditandai dengan huruf atau angka romawi. Tentu saja kita bisa berdebat tentang fungsi angka-angka romawi dalam baris larik sajaknya. Bisa jadi hal itu hanya sekadar tempelan, seni dekorasi tanpa punya maksud dan makna apa-apa. Atau bisa juga sebuah kelatahan, sekadar pemenuh garis kalimat, sebagaimana kita bisa juga memperdebatkan tanda baca yang tumpang tindih dan sepintas mubazir dan menyalahi aturan seperti yang dimaui para penggiat bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kalau saya boleh berbaik sangka, tentu saja semua itu dikerjakan dengan perhitungan yang mengandung misi tertentu. Angka-angka itu tak lagi sekadar kekenesan atau keisengan serta sekadar pemenuh garis kalimat. Bisa jadi hal itu justru menjadi penegas bahwa kitab puisi yang dihasilkannya tak lain adalah kitab waktu.
Secara tematik, selain persoalan waktu, Kitab Para Malaikat banyak menampilkan tema seputar eksistensi. Namun, tema saja tak cukup untuk menegaskan hakikat keindahan sebuah puisi. Kita mesti juga menggali bentuk dan wawasan estetik sang penyair lebih jauh. Dan sajak-sajak Nurel tampak memberikan kesan "menyempal" dilihat dari segi bentuk. Di dalamnya kita temukan campur-baur berbagai gaya dan bentuk dan pengucapan: ada aforisme, bentuk esai, bentuk cerita, sajak dengan kandungan doa dan mantra.
Karena telisik ini lebih memfokuskan pada penyelaman karakter tema, dengan fokus pada persoalan waktu, maka jadilah telisik ini amat sempit dan picik. Keputusan menjadikan waktu sebagai bahan "autopsi" di sini karena begitu bayak dijumpai isyarat tentang waktu. Ketika si aku sedang asyik melakukan tamasya bahasa ke berbagai cenayang dan lumbung, si aku merasakan kekaguman terhadap waktu. Ada waktu di mana ia mengagumi setiap mil yang pernah dijelajahinya, setiap makanan yang pernah dicicipinya, setiap pribadi yang pernah dikenal atau "ditidurinya".
Sebagai (salah satu) bahan tes bagi autentisitas, waktu karena itu bukan hal sepele dan main-main dalam sajak-sajak Nurel. Bahkan banyak sekali urusan di muka bumi yang terpaut dengan waktu muncul di situ. Banyak hal yang bahkan begitu tergantung dengan detik, menit, hari atau tahun. Kita bisa saja tak memahami ucapan seorang tokoh dalam sajaknya ketika menyebut "waktu di sayap malaikat", atau ketika ia menulis "waktu terselip di jemari, menyibak ilalang memeluk senjakala". Namun, karena kita merasakan penghayatan sang penyair
Terhadap waktu begitu intens dan syarat makna, maka layaklah kita memberi predikat autentik terhadap larik sajaknya tersebut.
Atau kita ambil contoh satu larik lagi, ketika Nurel bicara tentang perempuan dan waktu. Ia pembuka gerbang langit, ketika kitab waktu belum dipelajari. Apa yang dimaui sang penyair dengan larik semacam itu? Adakah ia hendak menegaskan bahwa kitab puisi yang dihasilkannya tak lain adalah kitab waktu? Lalu kalau memang begitu, apa masalahnya?
Waktu adalah takaran, timbangan. Sebuah tinanda sekaligus isyarat. Waktu dapat menjadi ukuran terhadap hal-ikhwal. Ia bisa dinyatakan lewat bilangan, lewat angka, atau waktu kuantitas. Tapi ada juga waktu kualitas yang tak terkait dengan angka atau bilangan. Waktu psikologis atau waktu eksistensialis, atau waktu filosofis, adalah penanda waktu di luar urusan kuantitas, tapi bisa terpaut dengan sifat atau karakter.
Waktu juga bisa bermakna penantian. Waktu dibayangkan sebagai seutas tali kebisuan, atau seutas waktu yang membisu. Wajah haru biru menerima pautan waktu, rintik menerobos gersang, tulis Nurel. Sesapu debu juga daun-daun bersegaran setelah muka kemarau memanggang, inilah hangat asmara mencerna ufuk timur raya(XIII:LXXXIV) /Anak-anak sungai menggelinjak ke bebatuan,/Terpotong tanggul kakikaki mungilmu (XIII:LXXXV)/ Selembut tanya harapan tersengal keputusasaan/Terlempar arus kesadaran berasal hempasan (XIII:LXXXVI). Dalam larik itu, ada pautan waktu, juga tentang harapan atau obsesi.
Ada hubungan antara kata dan waktu. Dan Nurel Javissyarqi tampak berusaha menggenapkan waktu dengan menghubungkannya dengan sejarah dan kata serta membayangkan waktu masih berupa potongan-potongan tahun cahaya. Di saat sejarah belum tercatat, siapa berbicara kata?/mewaktu masih berupa potongan-potongan cahaya,/siapa yang dahulu menempati lautan es cahaya?
Dimensi waktu ternyata jauh lebih relevan ketimbang dimensi ruang. Sebab, seperti kata seorang penyair lirik mengingatkan, puisi tak terikat oleh waktu, dan tidak dapat pula dibelenggu oleh waktu. Ia bisa melintasi waktu, melampaui dimensi waktu. Dan malaikat, kita tahu, bukan makhluk sejenis manusia yang kasat mata yang terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Kita juga tahu peran malaikat dalam penyebaran misi kemanusiaan dalam agama-agama dunia.
Malaikat adalah makhluk yang sejajar dengan setan atau iblis. Seandainya tak ada malaikat di surga, apa arti wahyu bagi manusia dan kemanusiaan. Seandainya tak ada iblis di surga yang menggoda Adam, maka kita tak akan mengenal kitab suci di dunia, dan mungkin juga dunia tak akan pernah dihuni makhluk bernama manusia.
Waktu, dengan kata lain, menjadi bagian tak tepisahkan dari manusia, alam, dan Tuhan. Hampir semua kebudayaan yang ada di muka bumi memiliki pemahaman tentang waktu. Nurel mencoba menafsirkan riwayat sang waktu dengan imaji seper sekian juta tetes cahaya kepak sayap malaikat. Di bagian akhir kitabnya ia mengutip satu pernyataan Imam Abdurrohim bin Ahmad Qodhi dalam Daqooiqul Akbar.
Itulah kesaksian-kesaksian Nurel, atau goresan-goresan pengalaman kreatif yang melatari lahirnya antologi sajak yang penuh imaji kesufian yang liar ini. Ia tak puas jika tak menjelaskan apa dan bagaimana serta di mana sajak-sajak ini mengendap dan kemudian lahir sebagai sebuah kitab sajak yang jalin-menjalin antarberbagai tema dan pengalaman. Baik pengalaman luka maupun bahagia, baik pengalaman sakit maupun sehat, kekosongan maupun kepenuhan.
Asarpin, Pembaca sastra
Sumber: http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2011040922020927
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 16 April 2011
100 Tahun Mohammad Yamin Pujangga Perumus Dasar Negara
Hendra Makmur
Media Indonesia Online 22 Agustus 2003
POPULARITAS sosok Mr Mohammad Yamin sering tenggelam dibanding Bung Karno, Bung Hatta, dan bapak-bapak bangsa Indonesia lainnya.
Catatan-catatan tentangnya hanya terselip di lipatan tebal buku sejarah yang jarang dibuka. Agaknya, hal ini menggambarkan sifat Yamin yang tak suka menonjolkan diri dan lebih suka berkiprah di balik layar pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Dilahirkan di Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat, tepat seratus tahun lalu, 23 Agustus 1903. Yamin melewati pendidikan di tempat yang berbeda-beda dan juga disiplin ilmu yang berlainan satu sama lainnya. Setelah menamatkan HIS di Padangpanjang, Yamin masuk sekolah dokter hewan di Bogor, menyeberang ke AMS di Yogyakarta sampai akhirnya mendapat gelar meester in de rechten atau sarjana hukum di Recht Hogeschool, Jakarta.
Karena kehausannya pada beragam ilmu itu, Yamin jadi menguasai banyak bidang. Sedikit yang tahu, selain ahli hukum tata negara, anak mantri kopi ini juga seorang pujangga. Sajak-sajaknya terkumpul dalam Tanah Air (1922) dan Indonesia Tumpah Darahku (1928), juga menulis sejumlah naskah drama dari tahun 1932 sampai 1951. Yamin dikategorikan sebagai penyair angkatan pujangga baru.
Tak cukup di situ, penyuka antropologi, penggali bahasa Sanskerta, Jawa, dan Melayu ini juga menguasai sejarah. Penelitian sejarahnya tentang Gajah Mada, Diponegoro, Tan Malaka sampai kepada Revolusi Amerika juga diterbitkan dalam bentuk buku.
Yamin memulai karier politiknya ketika menjadi Ketua Jong Sumatranen Bond. Pada kongres pemuda pertama tahun 1926, Yamin mencetuskan tentang pentingnya penggunaan bahasa kesatuan, yang ia prediksikan bakal berkembang dari bahasa Melayu. Benar saja, pada 28 Oktober 1928, Yamin ditunjuk merumuskan teks Sumpah Pemuda yang salah satunya merumuskan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Pada masa Indonesia merdeka, kegiatan politiknya pernah diliputi konflik. Pada awal tahun 1946 ia bergabung dengan PP (Persatuan Perjuangan) pimpinan Tan Malaka, sebuah organisasi yang menentang politik diplomasi Kabinet Sjahrir dengan pemerintah Belanda. Selain itu, juga menuntut pengakuan 100% Belanda atas kemerdekaan Indonesia.
Yamin dinyatakan terlibat dalam usaha merebut kekuasaan yang dikenal dengan nama ‘Peristiwa 3 Juli 1946? dan dijatuhi hukuman penjara empat tahun. Pada 17 Agustus 1948 Presiden Soekarno memberikan grasi kepada para tahanan politik yang terlibat dalam peristiwa itu. Hanya selang setahun kemudian, ia dipercaya menjadi penasihat delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
Yamin tak tercerabut dari kepakarannya di bidang hukum. Ia adalah salah satu perumus dasar negara selain Soekarno dan Soepomo. Bersama Bung Hatta, Yamin juga konseptor pasal-pasal yang memuat hak asasi manusia dalam UUD 1945 pada rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
”Yamin-lah yang memberi nama Pancasila untuk menyebut dasar negara kita. Dalam pidatonya, Bung Karno menyebutkan ia menamai Pancasila atas usul seorang temannya yang ahli bahasa. Hanya Yamin yang ketika itu menguasai bahasa Sanskerta dan sastra,” kata Syafri Syam, dosen tata negara Universitas Andalas, yang sering mengikuti kuliah umum dengan Yamin, pada 1960-an, ketika masih jadi mahasiswa.
Yamin memang sempat menjadi dosen terbang di Universitas Andalas, Padang. ”Ia adalah pencetus pendirian perguruan tinggi negeri di luar Jawa ketika menjadi Menteri Pengajaran,” kata Kamardi Rais Datuk P. Simulie, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Karena itu, menurut Datuk, peringatan Yamin sebenarnya bukan saja kewajiban pemerintah provinsi (pemprov), melainkan juga Jakarta.
Peringatan seabad M Yamin memang jauh dari kesan marak. Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sumbar dan pemprov hanya mengisinya dengan ziarah ke makam Yamin dan peringatan puncak pada 28 Oktober nanti.
Menurut pengakuan Syafri, ketika ia berziarah ke makam Yamin di kampungnya, Talawi, Sawahlunto, makam tersebut terlihat kurang terawat.
”Seabad Bung Yamin ini, pemerintah mesti meningkatkan perhatian untuk perawatan makam dan mengisi buku-buku karya Yamin di pustakanya,” tambah Syafri Syam. Karena, sampai ia tutup usia pada 17 Oktober 1962, tak bisa dihitung apa yang sudah diberikan pahlawan nasional itu pada bangsa ini.
Sumber: http://catatanharianl-chan.blogspot.com/2010/04/muhammad-yamin.html
Media Indonesia Online 22 Agustus 2003
POPULARITAS sosok Mr Mohammad Yamin sering tenggelam dibanding Bung Karno, Bung Hatta, dan bapak-bapak bangsa Indonesia lainnya.
Catatan-catatan tentangnya hanya terselip di lipatan tebal buku sejarah yang jarang dibuka. Agaknya, hal ini menggambarkan sifat Yamin yang tak suka menonjolkan diri dan lebih suka berkiprah di balik layar pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Dilahirkan di Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat, tepat seratus tahun lalu, 23 Agustus 1903. Yamin melewati pendidikan di tempat yang berbeda-beda dan juga disiplin ilmu yang berlainan satu sama lainnya. Setelah menamatkan HIS di Padangpanjang, Yamin masuk sekolah dokter hewan di Bogor, menyeberang ke AMS di Yogyakarta sampai akhirnya mendapat gelar meester in de rechten atau sarjana hukum di Recht Hogeschool, Jakarta.
Karena kehausannya pada beragam ilmu itu, Yamin jadi menguasai banyak bidang. Sedikit yang tahu, selain ahli hukum tata negara, anak mantri kopi ini juga seorang pujangga. Sajak-sajaknya terkumpul dalam Tanah Air (1922) dan Indonesia Tumpah Darahku (1928), juga menulis sejumlah naskah drama dari tahun 1932 sampai 1951. Yamin dikategorikan sebagai penyair angkatan pujangga baru.
Tak cukup di situ, penyuka antropologi, penggali bahasa Sanskerta, Jawa, dan Melayu ini juga menguasai sejarah. Penelitian sejarahnya tentang Gajah Mada, Diponegoro, Tan Malaka sampai kepada Revolusi Amerika juga diterbitkan dalam bentuk buku.
Yamin memulai karier politiknya ketika menjadi Ketua Jong Sumatranen Bond. Pada kongres pemuda pertama tahun 1926, Yamin mencetuskan tentang pentingnya penggunaan bahasa kesatuan, yang ia prediksikan bakal berkembang dari bahasa Melayu. Benar saja, pada 28 Oktober 1928, Yamin ditunjuk merumuskan teks Sumpah Pemuda yang salah satunya merumuskan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Pada masa Indonesia merdeka, kegiatan politiknya pernah diliputi konflik. Pada awal tahun 1946 ia bergabung dengan PP (Persatuan Perjuangan) pimpinan Tan Malaka, sebuah organisasi yang menentang politik diplomasi Kabinet Sjahrir dengan pemerintah Belanda. Selain itu, juga menuntut pengakuan 100% Belanda atas kemerdekaan Indonesia.
Yamin dinyatakan terlibat dalam usaha merebut kekuasaan yang dikenal dengan nama ‘Peristiwa 3 Juli 1946? dan dijatuhi hukuman penjara empat tahun. Pada 17 Agustus 1948 Presiden Soekarno memberikan grasi kepada para tahanan politik yang terlibat dalam peristiwa itu. Hanya selang setahun kemudian, ia dipercaya menjadi penasihat delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
Yamin tak tercerabut dari kepakarannya di bidang hukum. Ia adalah salah satu perumus dasar negara selain Soekarno dan Soepomo. Bersama Bung Hatta, Yamin juga konseptor pasal-pasal yang memuat hak asasi manusia dalam UUD 1945 pada rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
”Yamin-lah yang memberi nama Pancasila untuk menyebut dasar negara kita. Dalam pidatonya, Bung Karno menyebutkan ia menamai Pancasila atas usul seorang temannya yang ahli bahasa. Hanya Yamin yang ketika itu menguasai bahasa Sanskerta dan sastra,” kata Syafri Syam, dosen tata negara Universitas Andalas, yang sering mengikuti kuliah umum dengan Yamin, pada 1960-an, ketika masih jadi mahasiswa.
Yamin memang sempat menjadi dosen terbang di Universitas Andalas, Padang. ”Ia adalah pencetus pendirian perguruan tinggi negeri di luar Jawa ketika menjadi Menteri Pengajaran,” kata Kamardi Rais Datuk P. Simulie, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Karena itu, menurut Datuk, peringatan Yamin sebenarnya bukan saja kewajiban pemerintah provinsi (pemprov), melainkan juga Jakarta.
Peringatan seabad M Yamin memang jauh dari kesan marak. Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sumbar dan pemprov hanya mengisinya dengan ziarah ke makam Yamin dan peringatan puncak pada 28 Oktober nanti.
Menurut pengakuan Syafri, ketika ia berziarah ke makam Yamin di kampungnya, Talawi, Sawahlunto, makam tersebut terlihat kurang terawat.
”Seabad Bung Yamin ini, pemerintah mesti meningkatkan perhatian untuk perawatan makam dan mengisi buku-buku karya Yamin di pustakanya,” tambah Syafri Syam. Karena, sampai ia tutup usia pada 17 Oktober 1962, tak bisa dihitung apa yang sudah diberikan pahlawan nasional itu pada bangsa ini.
Sumber: http://catatanharianl-chan.blogspot.com/2010/04/muhammad-yamin.html
Sastra Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan
Udo Z. Karzi*
Media Indonesia, 4 Nov 2007
Dang lupa di lapahan, ingok jama sai tinggal
(Jangan lupa tujuan, ingat dengan yang tertinggal).
PESAN tetua jelma Lampung (orang Lampung) kepada anak muda Lampung yang hendak merantau ini seperti tak berarti banyak ketika melihat kondisi riil di Lampung — spesifiknya Bandar Lampung — saat ini. Anak muda yang beretnis Lampung sedemikian malu dengan kelampungannya. Jika sudah demikian, apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang kehilangan identitas dan tengah mencari identitas baru?
Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah lama. Bahasalah yang membangun peradaban di dunia ini. Maka, kata kunci untuk melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan bahasa-sastra Lampung adalah mengembalikan bahasa-sastra Lampung ke fungsi aslinya. Masyarakat dan kebudayaan Lampung terbentuk oleh bahasa Lampung. Ya, bahasa Lampung.
Setelah itu, bukan pada tempatnya kita bertanya lagi, masyarakat Lampung yang mana? Kebudayaan Lampung yang mana? Kesenian Lampung yang mana? Sastra Lampung yang mana? Bahasa Lampung yang mana? Karena, kalau kita sepakat untuk mengembangkan kebudayaan Lampung, jawabnya hanya satu yang harus kita ingat: Lampung. Barangkali, ada saja yang menuding ini sektarian, primordial, dan … bernasionalisme sempit. Tapi, mau apa lagi? Otonomi daerah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembalikan potensi lokal-ada yang menyebutnya dengan lokal genius, kearifan lokal, tradisi lokal, pesona daerah, dan sebagainya-setelah bertahun-tahun ditenggelamkan olah semangat nasionalisme (Indonesia).
Sastra Lampung Punah?
Pengamat sastra (berbahasa) Lampung A. Effendi Sanusi (2001) menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. “Sastra lisan Lampung terancam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka,” katanya.
Kegelisahan yang sama juga dikemukakan berbagai kalangan: masyarakat awam, akademisi, praktisi seni, bahkan juga aparat pemerintah yang selama ini dituding-tuding tak memiliki kepedulian. Diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal, serius maupun yang sekadar untuk mengisi waktu luang, berlangsung di berbagai kesempatan dan berbagai tempat.
Untuk sastra (berbahasa) Lampung, berbagai dalih akan mengemuka jika ditanyakan mengapa tak dikenal, mengapa tak diminati, mengapa mulai ditinggalkan, mengapa tak berkembang, mengapa tak berdaya, dan mengapa tak berprospek. Argumen yang dibangun pun sebenarnya tidak menyerempet ke akar masalah karena tidak didasarkan pada pengalaman empiris di dalam masyarakat pendukung (praktisi) sastra (lisan) Lampung di komunitas-komunitas tertentu.
Membandingkan dengan sastra daerah lain, seperti Jawa, Sunda, dan Bali yang berkembang pesat, mengapa sastra (berbahasa) Lampung yang sejak lama memiliki aksara (huruf) Lampung malah seperti hidup segan mati tak mau? Dengan potensi yang ada (bahasa, aksara, dan seniman), seharusnya sastra (berbahasa) Lampung dapat maju pesat. Namun kenyataannya?
Mari kita perdebatkan lagi. Tapi, tak cukup hanya berdebat karena kita harus segera melakukan sesuatu yang lebih konkrit untuk menyemarakkan kehidupan sastra (berbahasa) Lampung. Lihat bagaimana sulitnya anak sekolah dasar dan menengah menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang kini menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena memang teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas. Masalahnya sederhana, bagaimana kita mengharapkan orang menikmati sastra (berbahasa) Lampung — apalagi hendak menulis puisi, cerpen, novel, atau apa pun karya sastra — kalau orang itu tidak mengerti bahasa Lampung paling awam sekalipun?
Dari Kelisanan ke Keberaksaraan
SEPERTI daerah lain, Lampung yang menurut Naim Emel Prahana mempunyai akar Melayu, memiliki tradisi (sastra) lisan yang kaya dan potensial. Sastra lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung.
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak.
Inilah kekayaan terpendam di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Sebagaimana dikatakan Ajib Rosidi (1995), Indonesia sangat kaya dengan tradisi lisan yang kesemuanya lahir dalam bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya ratusan. Dalam bahasa Indonesia, tradisi demikian boleh dikatakan belum berkembang, mengingat umur bahasa Indonesia yang belum satu abad.
Jika memang benar Lampung memiliki akar Melayu, pernyataan Ajib Rosidi bahwa bahasa Melayu yang sebagai bahasa daerah memang kaya tradisi lisan dengan atau dalam serbadialeknya (Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Jakarta, dan lain-lain); maka seharusnya sastra Melayu Lampung dapat berkembang pesat. Setidaknya, tidak jalan di tempat seperti sekarang ini.
Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung. Sastra ini banyak tersebar di masyarakat dan menjadi bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sastra lisan itu saat ini mulai menampakkan gejala kepunahan. Jenis sastra lisan tertentu hanya dikenal oleh sebagian kecil golongan tua. Generasi muda banyak yang sudah tidak mengenalnya. Jika sastra lisan yang tercecer itu terlambat diselamatkan, dikhawatirkan satu per satu akan tidak dikenali lagi.
Melihat berbagai bentuk sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat etnik, bukan hal yang mustahil suatu saat sastra Lampung ini berkembang menjadi sastra tulis. Tentu saja dengan tidak melupakan berbagai sastra lisan Lampung yang sudah berkembang dan akrab di tengah etnik Lampung.
Pelestarian sastra lisan Lampung harus seiring pula dengan upaya-upaya pengembangan sastra Lampung modern dan kontemporer dengan memperbanyak teks sastra berbahasa Lampung. Upaya pengembangan sastra Lampung dapat dimulai dengan penerjemahan karya sastra dari bahasa lain ke bahasa Lampung, selain menciptakan karya sastra asli Lampung.
Tidak ada salahnya seniman Lampung memulai usaha pengembangan sastra (berbahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti juga sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, sastra Sunda, dan sastra Bali.
Siapa Sastrawan Lampung?
Sebagaimana yang sering ditulis oleh pengamat sastra di negeri ini, Lampung tidak akan kekurangan sastra dan sastrawan. Berbagai halaman budaya media lokal dan nasional, misalnya, acap dihiasi dengan karya sastra dan nama sastrawan Lampung. Begitu juga beberapa pertemuan sastra di penjuru tanah air, rasanya kurang lazim jika tidak mengundang sastrawan Lampung. Dengan ukuran sederhana ini, rasanya sulit mengatakan Lampung kurang subur dalam bidang sastra. Karya sastra dan sastrawan dari Lampung setiap tahun rasanya akan terus bertambah.
Namun, perhatikan kegelisahan seorang Kuswinarto yang membagi sastrawan Lampung – sebagai istilah – dalam dua pengertian. Pertama, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan ia tinggal di Lampung. Kata lain, sastrawan Lampung adalah sastrawan Indonesia yang tinggal di Lampung. Kedua, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dan ia tidak harus berdomisili di Lampung.
Pendapat “Lampung kaya sastrawan dan kehidupan sastra Lampung penuh gairah” bisa (mungkin) benar jika “sastrawan Lampung” yang dimaksudkan adalah dalam pengertiannya yang pertama. Namun kalau yang dimaksud pengertian kedua, maka “sastrawan Lampung” sangat sedikit. Kebanyakan sastrawan Lampung tidak menulis dalam bahasa Lampung. Sementara sastrawan Lampung yang sebenarnya, yang jumlahnya semakin menipis karena usia dan pergeseran tradisi, masih saja berasyik-asyik dengan tradisi lisannya. Resiko kelisanan adalah lupa. Dalam kondisi ini, sejauh sastra (berbahasa) Lampung tidak ditulis, maka jangan berharap sastra Lampung dapat berkembang.
Sekarang perdebatannya, apa yang harus ditulis sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku atau medium ekspresinyanya? Haruskah seorang sastrawan Lampung menuliskan tradisi, adat istiadat, kebudayaan, puisi, atau cerita yang sudah dihapal dengan baik oleh para seniman sastra di daerah? Kalau itu yang terjadi, jelas sastrawan Lampung hanya melakukan reproduksi karya sastra tanpa kreativitas dan inovasi; semacam menuliskan sastra lisan dalam bentuk teks.
Sejauh ini perdebatan terjadi ketika sebuah karya sastra berbahasa Lampung tidak memuat nilai-nilai tradisi yang bagi sebagian orang masih dianggap agung. Sebuah puisi Lampung hadir, misalnya, tetapi orang sibuk mencari-cari nilai tradisi yang terkandung dalam puisi berbahasa Lampung tadi. Dengan begitu, ketika ada kreativitas sastrawan Lampung untuk berkreasi dalam bahasa Lampung, orang Lampung sendiri malah akan dengan mudahnya berkata, “Lampung tidak kenal puisi, cerita pendek, novel, atau apa pun karya sastra yang suka beraneh-aneh.” Dengan kata lain, mari kita lestarikan dan kembangkan saja yang sudah ada.
Lampung itu tradisi. Karena itu sastra Lampung juga harus berangkat dari tradisi. Tradisi bagaimanapun akan tergerus zaman seiring dengan semakin kencangnya modernisme, westernisasi, globalisasi, urbanisasi, materialisme, kapitalisme, pragmatisme, dan berbagai isme dan sasi yang semakin menjauhkan umat manusia-tak terkecuali sastra(wan) Lampung– dari kemanusiaannya.
Saya pikir, sastrawan Lampung tak selalu harus menulis tradisinya semata-mata. Sebab, tradisi toh hanya sebuah nilai saja yang masih debatable. Sebuah nilai dalam karya sastra akan selalu menarik dibicarakan, didiskusikan, didukung, dipertanyakan, dikritik, ditambah, dikurangi, bahkan ditolak sama sekali. Tradisi toh akan memudar atau bahkan musnah sama sekali kalau tidak ada lagi yang mau mendukungnya. Bahasa dan sastra Lampung sebagai suatu tradisi bisa saja benar-benar hilang kalau memang tidak ada lagi orang yang berbicara dan mengerti bahasa-sastra Lampung. Karena bahasa Lampung hanya sebagai medium bagi sastrawan Lampung untuk berekspresi, saya pikir, apa pun yang diucapkan atau ditulis sastrawan Lampung akan menarik didiskusikan.
Sekecil apa pun, bicara dan menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dapat memberikan arti positif dalam pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan bahasa-sastra Lampung. Sekali lagi, kalau omongan orang sering lupa, apa salahnya kalau seniman Lampung mulai menuliskan karya sastra dalam bahasa Lampung. Setidaknya, itu bisa menambah kekayaan khazanah sastra (berbahasa) Lampung. Masa depan sastra Lampung akan sangat ditentukan para (calon) sastrawan Lampung sendiri. Pemerintah atau siapa pun hanyalah faktor pendukung dalam memacu kreativitas para sastrawan Lampung. n
* Udo Z. Karzi, Sastrawan, Penulis buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia: Momentum (2002). Kini, sedang mempersiapkan buku puisi (berbahasa) Lampung Mak Dawah Mak Dibingi.
Sumber: http://ulunlampung.blogspot.com/2007/11/khazanah-sastra-lampung-dari-kelisanan.html
Media Indonesia, 4 Nov 2007
Dang lupa di lapahan, ingok jama sai tinggal
(Jangan lupa tujuan, ingat dengan yang tertinggal).
PESAN tetua jelma Lampung (orang Lampung) kepada anak muda Lampung yang hendak merantau ini seperti tak berarti banyak ketika melihat kondisi riil di Lampung — spesifiknya Bandar Lampung — saat ini. Anak muda yang beretnis Lampung sedemikian malu dengan kelampungannya. Jika sudah demikian, apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang kehilangan identitas dan tengah mencari identitas baru?
Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah lama. Bahasalah yang membangun peradaban di dunia ini. Maka, kata kunci untuk melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan bahasa-sastra Lampung adalah mengembalikan bahasa-sastra Lampung ke fungsi aslinya. Masyarakat dan kebudayaan Lampung terbentuk oleh bahasa Lampung. Ya, bahasa Lampung.
Setelah itu, bukan pada tempatnya kita bertanya lagi, masyarakat Lampung yang mana? Kebudayaan Lampung yang mana? Kesenian Lampung yang mana? Sastra Lampung yang mana? Bahasa Lampung yang mana? Karena, kalau kita sepakat untuk mengembangkan kebudayaan Lampung, jawabnya hanya satu yang harus kita ingat: Lampung. Barangkali, ada saja yang menuding ini sektarian, primordial, dan … bernasionalisme sempit. Tapi, mau apa lagi? Otonomi daerah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembalikan potensi lokal-ada yang menyebutnya dengan lokal genius, kearifan lokal, tradisi lokal, pesona daerah, dan sebagainya-setelah bertahun-tahun ditenggelamkan olah semangat nasionalisme (Indonesia).
Sastra Lampung Punah?
Pengamat sastra (berbahasa) Lampung A. Effendi Sanusi (2001) menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. “Sastra lisan Lampung terancam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka,” katanya.
Kegelisahan yang sama juga dikemukakan berbagai kalangan: masyarakat awam, akademisi, praktisi seni, bahkan juga aparat pemerintah yang selama ini dituding-tuding tak memiliki kepedulian. Diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal, serius maupun yang sekadar untuk mengisi waktu luang, berlangsung di berbagai kesempatan dan berbagai tempat.
Untuk sastra (berbahasa) Lampung, berbagai dalih akan mengemuka jika ditanyakan mengapa tak dikenal, mengapa tak diminati, mengapa mulai ditinggalkan, mengapa tak berkembang, mengapa tak berdaya, dan mengapa tak berprospek. Argumen yang dibangun pun sebenarnya tidak menyerempet ke akar masalah karena tidak didasarkan pada pengalaman empiris di dalam masyarakat pendukung (praktisi) sastra (lisan) Lampung di komunitas-komunitas tertentu.
Membandingkan dengan sastra daerah lain, seperti Jawa, Sunda, dan Bali yang berkembang pesat, mengapa sastra (berbahasa) Lampung yang sejak lama memiliki aksara (huruf) Lampung malah seperti hidup segan mati tak mau? Dengan potensi yang ada (bahasa, aksara, dan seniman), seharusnya sastra (berbahasa) Lampung dapat maju pesat. Namun kenyataannya?
Mari kita perdebatkan lagi. Tapi, tak cukup hanya berdebat karena kita harus segera melakukan sesuatu yang lebih konkrit untuk menyemarakkan kehidupan sastra (berbahasa) Lampung. Lihat bagaimana sulitnya anak sekolah dasar dan menengah menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang kini menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena memang teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas. Masalahnya sederhana, bagaimana kita mengharapkan orang menikmati sastra (berbahasa) Lampung — apalagi hendak menulis puisi, cerpen, novel, atau apa pun karya sastra — kalau orang itu tidak mengerti bahasa Lampung paling awam sekalipun?
Dari Kelisanan ke Keberaksaraan
SEPERTI daerah lain, Lampung yang menurut Naim Emel Prahana mempunyai akar Melayu, memiliki tradisi (sastra) lisan yang kaya dan potensial. Sastra lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung.
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak.
Inilah kekayaan terpendam di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Sebagaimana dikatakan Ajib Rosidi (1995), Indonesia sangat kaya dengan tradisi lisan yang kesemuanya lahir dalam bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya ratusan. Dalam bahasa Indonesia, tradisi demikian boleh dikatakan belum berkembang, mengingat umur bahasa Indonesia yang belum satu abad.
Jika memang benar Lampung memiliki akar Melayu, pernyataan Ajib Rosidi bahwa bahasa Melayu yang sebagai bahasa daerah memang kaya tradisi lisan dengan atau dalam serbadialeknya (Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Jakarta, dan lain-lain); maka seharusnya sastra Melayu Lampung dapat berkembang pesat. Setidaknya, tidak jalan di tempat seperti sekarang ini.
Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung. Sastra ini banyak tersebar di masyarakat dan menjadi bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sastra lisan itu saat ini mulai menampakkan gejala kepunahan. Jenis sastra lisan tertentu hanya dikenal oleh sebagian kecil golongan tua. Generasi muda banyak yang sudah tidak mengenalnya. Jika sastra lisan yang tercecer itu terlambat diselamatkan, dikhawatirkan satu per satu akan tidak dikenali lagi.
Melihat berbagai bentuk sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat etnik, bukan hal yang mustahil suatu saat sastra Lampung ini berkembang menjadi sastra tulis. Tentu saja dengan tidak melupakan berbagai sastra lisan Lampung yang sudah berkembang dan akrab di tengah etnik Lampung.
Pelestarian sastra lisan Lampung harus seiring pula dengan upaya-upaya pengembangan sastra Lampung modern dan kontemporer dengan memperbanyak teks sastra berbahasa Lampung. Upaya pengembangan sastra Lampung dapat dimulai dengan penerjemahan karya sastra dari bahasa lain ke bahasa Lampung, selain menciptakan karya sastra asli Lampung.
Tidak ada salahnya seniman Lampung memulai usaha pengembangan sastra (berbahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti juga sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, sastra Sunda, dan sastra Bali.
Siapa Sastrawan Lampung?
Sebagaimana yang sering ditulis oleh pengamat sastra di negeri ini, Lampung tidak akan kekurangan sastra dan sastrawan. Berbagai halaman budaya media lokal dan nasional, misalnya, acap dihiasi dengan karya sastra dan nama sastrawan Lampung. Begitu juga beberapa pertemuan sastra di penjuru tanah air, rasanya kurang lazim jika tidak mengundang sastrawan Lampung. Dengan ukuran sederhana ini, rasanya sulit mengatakan Lampung kurang subur dalam bidang sastra. Karya sastra dan sastrawan dari Lampung setiap tahun rasanya akan terus bertambah.
Namun, perhatikan kegelisahan seorang Kuswinarto yang membagi sastrawan Lampung – sebagai istilah – dalam dua pengertian. Pertama, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan ia tinggal di Lampung. Kata lain, sastrawan Lampung adalah sastrawan Indonesia yang tinggal di Lampung. Kedua, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dan ia tidak harus berdomisili di Lampung.
Pendapat “Lampung kaya sastrawan dan kehidupan sastra Lampung penuh gairah” bisa (mungkin) benar jika “sastrawan Lampung” yang dimaksudkan adalah dalam pengertiannya yang pertama. Namun kalau yang dimaksud pengertian kedua, maka “sastrawan Lampung” sangat sedikit. Kebanyakan sastrawan Lampung tidak menulis dalam bahasa Lampung. Sementara sastrawan Lampung yang sebenarnya, yang jumlahnya semakin menipis karena usia dan pergeseran tradisi, masih saja berasyik-asyik dengan tradisi lisannya. Resiko kelisanan adalah lupa. Dalam kondisi ini, sejauh sastra (berbahasa) Lampung tidak ditulis, maka jangan berharap sastra Lampung dapat berkembang.
Sekarang perdebatannya, apa yang harus ditulis sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku atau medium ekspresinyanya? Haruskah seorang sastrawan Lampung menuliskan tradisi, adat istiadat, kebudayaan, puisi, atau cerita yang sudah dihapal dengan baik oleh para seniman sastra di daerah? Kalau itu yang terjadi, jelas sastrawan Lampung hanya melakukan reproduksi karya sastra tanpa kreativitas dan inovasi; semacam menuliskan sastra lisan dalam bentuk teks.
Sejauh ini perdebatan terjadi ketika sebuah karya sastra berbahasa Lampung tidak memuat nilai-nilai tradisi yang bagi sebagian orang masih dianggap agung. Sebuah puisi Lampung hadir, misalnya, tetapi orang sibuk mencari-cari nilai tradisi yang terkandung dalam puisi berbahasa Lampung tadi. Dengan begitu, ketika ada kreativitas sastrawan Lampung untuk berkreasi dalam bahasa Lampung, orang Lampung sendiri malah akan dengan mudahnya berkata, “Lampung tidak kenal puisi, cerita pendek, novel, atau apa pun karya sastra yang suka beraneh-aneh.” Dengan kata lain, mari kita lestarikan dan kembangkan saja yang sudah ada.
Lampung itu tradisi. Karena itu sastra Lampung juga harus berangkat dari tradisi. Tradisi bagaimanapun akan tergerus zaman seiring dengan semakin kencangnya modernisme, westernisasi, globalisasi, urbanisasi, materialisme, kapitalisme, pragmatisme, dan berbagai isme dan sasi yang semakin menjauhkan umat manusia-tak terkecuali sastra(wan) Lampung– dari kemanusiaannya.
Saya pikir, sastrawan Lampung tak selalu harus menulis tradisinya semata-mata. Sebab, tradisi toh hanya sebuah nilai saja yang masih debatable. Sebuah nilai dalam karya sastra akan selalu menarik dibicarakan, didiskusikan, didukung, dipertanyakan, dikritik, ditambah, dikurangi, bahkan ditolak sama sekali. Tradisi toh akan memudar atau bahkan musnah sama sekali kalau tidak ada lagi yang mau mendukungnya. Bahasa dan sastra Lampung sebagai suatu tradisi bisa saja benar-benar hilang kalau memang tidak ada lagi orang yang berbicara dan mengerti bahasa-sastra Lampung. Karena bahasa Lampung hanya sebagai medium bagi sastrawan Lampung untuk berekspresi, saya pikir, apa pun yang diucapkan atau ditulis sastrawan Lampung akan menarik didiskusikan.
Sekecil apa pun, bicara dan menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dapat memberikan arti positif dalam pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan bahasa-sastra Lampung. Sekali lagi, kalau omongan orang sering lupa, apa salahnya kalau seniman Lampung mulai menuliskan karya sastra dalam bahasa Lampung. Setidaknya, itu bisa menambah kekayaan khazanah sastra (berbahasa) Lampung. Masa depan sastra Lampung akan sangat ditentukan para (calon) sastrawan Lampung sendiri. Pemerintah atau siapa pun hanyalah faktor pendukung dalam memacu kreativitas para sastrawan Lampung. n
* Udo Z. Karzi, Sastrawan, Penulis buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia: Momentum (2002). Kini, sedang mempersiapkan buku puisi (berbahasa) Lampung Mak Dawah Mak Dibingi.
Sumber: http://ulunlampung.blogspot.com/2007/11/khazanah-sastra-lampung-dari-kelisanan.html
Puisi Dan Sikap Peduli Penyair
Saripuddin Lubis
http://waspadamedan.com/
Puisi sebagai genre sastra seringkali dipahami secara dangkal oleh beberapa kelompok masyarakat kita. Puisi dianggap sebagai hasil aktivitas manusia yang membuang-buang waktu. Puisi bahkan dipandang sebelah mata yang tidak memiliki kontribusi bagi perkembangan peradaban manusia.
Padahal peran puisi bagi manusia cukup besar, terutama dalam pembangunan batin manusia untuk berperan positif. Itu juga yang menjadi indikator majunya perdaban di negara-negara. Negara-negara maju pada umumnya berangkat dari besarnya peran para sastrawan terhadap pembangunan masyarakatnya dan sebaliknya besar pula peran pemerintah terhadap perkembangan sastra dan sastrawannya.
Dalam perkembangan sastra, khususnya sastra Indonesia sebenarnya telah cukup lama para sastrawan mengupas berbagai permasalahan bangsa dan tawaran pemecahan tersebut dalam karya-karya mereka.
Kupasan tersebut terutama yang berkaitan dengan pembangunan batin manusia. Tentu saja kupasan itu bukan seperti bayangan beberapa orang berupa kalimat-kalimat lugas yang terdapat dalam karya ilmiah. Penuturan para sastrawan tersebut dipaparkan dalam karya sastra yang salah satunya adalah puisi.
Dari sekian banyak pemaparan para sastrawan yang berkaitan dengan pembangunan batin manusia dalam puisi, ada beberapa di antaranya yang berkaitan dengan ‘sikap peduli’. Sebuah sikap berempati terhadap permasalahan-permasalahan bangsa secara umum atau permasalahan masnusia dalam kajian lebih kecil lagi.
Belakangan ada yang imbas negatif sistem kapitalisme mulai terasa melanda bangsa kita, yaitu mulai lunturnya sikap peduli antar-institusi masyarakat. Manusia yang berkejar-kejaran dengan dunia materialis seakan melupakan dunia sekelilingnya. Konsep menjadi serba suka-suka agaknya mulai berlaku. Masyarakat pun seakan mengamini budaya siapa lu siapa gue, serba tidak peduli, benar-benar tidak peduli. Hal ini terutama terjadi di kota-kota besar. Tetapi disasari pula kalau di desa-desa pun sudah mulai merasakan imbas tersebut.
Melihat perkembangan itu, maka kita mencoba melihat buah pikir para sastrawan dalam karya-karya mereka yang ternyata sangat banyak menampilkan pembelajaran untuk memupuk sikap peduli tersebut. Kita mulai misalnya melihat sebuah puisi yang sudah sangat lazim kita baca dan dengar, yaitu puisi Karangan Bunga karya Taufik Ismail.
Merdeka. Ya, sebuah kata yang memiliki makna begitu luas. Merdeka bagi sebuah bangsa berarti lepas dari kungkungan penjajah. Bagi seorang mahasiswa boleh jadi ketika selesai mengikuti ujian semester, bagi seorang anak kecil bisa juga berarti ketika orang tuanya menambah jam bermain. Namun, bagaimanapun bentuk merdeka, pada dasarnya kata merdeka yang paling baik digunakan adalah ketika manusia mampu memerdekakan suara hati diri sendiri.
Agaknya hal itulah yang dapat ditangkap dari puisi Karangan Bunga karya Taufik Ismail.
Ada baiknya kita melihat secara lengkap puisinya seperti berikut. //Tiga anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/Datang ke Salemba /Sore itu/‘Ini dari kami bertiga/Pita hitam pada karangan bunga/Sebab kami ikut berduka/Bagi kakak yang ditembak mati/ Siang tadi’/
Puisi pada dasarnya memiliki dua unsur utama yaitu unsur fisik dan unsur batin.Itu yang dikatakan beberapa ahli sastra kita Kedua unsur tersebut mestilah dipandang dalam satu unsur yang memiliki kesatuan. Unsur fisik puisi berkaitan dengan diksi, imaji, kata konkret, majas, rima, dan ritma. Sedangkan unsur batin adalah tema, nada, perasaan, dan amanat.
Karangan Bunga yang pernah menjadi ‘puisi wajib’ ujian nasional dan dimuat dalam buku paket Bahasa Indonesia SMA terbitan pemerintah tersebut adalah sebuah puisi singkat dari Taufik Ismail yang biasanya memiliki puisi yang panjang-panjang semisal Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
Yang terasa pertama sekali ketika membaca puisi Karangan Bunga (seterusnya KB) tersebut adalah adanya sebuah ucapan sederhana. Hal ini dapat kita lihat dari pilihan kata yang digunakan pada judul, yaitu Karangan Bunga. Pastilah ada dua makna yang akan muncul ketika mendengar kata Karangan Bunga, yaitu makna kegembiraan/ kebahagiaan atau makna kedukaan/ kepedihan.
Dari judul saja tentu kita belum bisa menebak makna mana yang muncul dari dua makna yang kita sebut di atas. Karena itu kita mencoba mengeksplorasi lebih dalam. //Tiga anak kecil// Dalam langkah malu-malu// Datang ke Salemba// Sore itu.// Kita masih belum bisa menafsir terlalu jauh, selain hanya melihat peristiwa yang menggambarkan ada tiga orang anak kecil yang datang ke sebuah tempat yang bernama Salemba pada sore hari. Ketiga anak kecil itu datang dengan langkah pelan sebab ada perasaan malu-malu.
Untuk menyingkap makna secara lengkap, kita harus membaca bagian berikut puisi tersebut. Kita mulai menemukan benang merah yang lebih jelas ketika membaca bait kedua puisi KB di atas. Kita telah bisa menemukan jawaban tentang makna karangan bunga tersebut yang mengarah kepada peristiwa duka. Ini ditandai dengan diletakkannya diksi //Pita hitam pada karangan bunga//. Perasaan duka tersebut semakin terlihat karena dikatakan //sebab kami ikut berduka// Bagi kakak yang ditembak mati// Siang tadi’//.
Taufik dengan jelas mengungkapkan bahwa anak kecil tiga orang yang digambarkan pada bait pertama ternyata memiliki rasa empati dan kepedulian yang mendalam terhadap seseorang yang telah meninggal dunia karena ditembak.Taufik jelas terlihat menggambarkan sesuatu apa adanya. Lalu baris akhir puisi : bunga//……..berduka//……..mati//……tadi// semakin memperjelas makna duka penyair terhadap peristiwa yang terjadi.
Keseluruhan isi puisi KB di atas semakin mengerucut membentuk sebuah makna yang sangat menyentuh hati. Tema yang diangkat Taufik cukup relevan dengan peristiwa yang terjadi ketika puisi KB tersebut ditulis, tahun 1966, yaitu tema duka cita yang mendalam terhadap peristiwa yang terjadi waktu itu.
Kepedulian dalam puisi kita temukan pula dalam karya-karya Herman KS. Satu puisinya begitu intens bercerita tentang Lingkungan Hidup. Kita coba baca sebagian puisi Ketika di Jakarta 1 berikut ini. Tiba-tiba aku merindukannya. Padang-padang Hijau/ menggelombang Sawah-sawah membentang/ dan di atas sana langit yang biru/ serta awan-awan putih beringsut perlahan// Aku ingin mendengarnya kembali/ merdunya nyanyian-nyanyian angin di hijau dedaunan/ kicau burung di dahan-dahan menyambut pagi/ sorak-sorak bocah angon di padang-padang/ …..//
Boleh jadi puisi di atas ditulis oleh Herman KS ketika beliau di Jakarta. Nafas kepenyairan seorang Herman KS ternyata menyulut jemarinya untuk menulis puisi di atas. Gambaran Herman KS tentang ibukota sangat bertentangan dengan kata hatinya yang merindukan Jakarta akan kembali seperti Padang-padang Hijau// yang // menggelombang sawah-sawah membentang/ dan seterusnya seperti Jakarta di waktu dulu.
Jika kita korelasikan dengan zaman ini, maka apa yang digambarkan pada puisi Karangan Bunga tersebut masih sangat relevan. Teori hermeneutik sastra yang menyatakan bahwa terbuka kemungkinan pemahaman trans-historis dengan konsep fungsi antara masa lalu dengan masa kini dapat diterima.
Sayangnya sikap yang digambarkan oleh tiga anak kecil pada puisi Taufik, atau kepedulian pada puisi Ketika di Jakarta 1 –nya Herman KS yang begitu peduli hidup tersebut mulai tak terlihat di masyarakat sekarang. Fungsi sosial yang seharusnya menjalin hubungan harmonis antar-institusi masyarakat dan alam semesta mulai rapuh.
Kita mulai melihat sikap tidak peduli dan acuh. Semua menjadi serba boleh. Ini adalah imbas dari modernisme-kapitalisme. Kapitalisme membuat manusia menjadi saling mengambil keuntungan antara satu dengan yang lainnya termasuk dengan alam.
Seharusnya dalam dunia manapun kita hidup, kita haruslah tetap mampu membentengi diri dari kekacauan lingkungan. Sikap peduli terhadap sesama dan seluruh penghuni alam semesta semestinya satu hal yang tetap ditumbuhsuburkan pada zaman ini. Ketimpangan sosial antara gaya hidup mewah dan orang-orang dari kelas marjinal harusnya dapat dijembatani dengan sikap peduli ini.
Jadi sebenarnya karya sastra melalui puisi dan penyairnya hingga akhir zaman akan tetap memberikan pencerahan batin yang mendalam terhadap peristiwa yang terjadi pada masa puisi itu dibuat dan masa sekarang dan nanti ketika zaman telah berubah.
Sebuah pencerahan batin yang kiranya dapat memberikan setitik embun harapan untuk membangun sebuah peradaban baru yang lebih bernilai. Mari membaca puisi!
(Penulis mahasiswa Program Magister Bahasa dan Sastra Indonesia UMN Medan, Email: eslubis@gmail.com)
http://waspadamedan.com/
Puisi sebagai genre sastra seringkali dipahami secara dangkal oleh beberapa kelompok masyarakat kita. Puisi dianggap sebagai hasil aktivitas manusia yang membuang-buang waktu. Puisi bahkan dipandang sebelah mata yang tidak memiliki kontribusi bagi perkembangan peradaban manusia.
Padahal peran puisi bagi manusia cukup besar, terutama dalam pembangunan batin manusia untuk berperan positif. Itu juga yang menjadi indikator majunya perdaban di negara-negara. Negara-negara maju pada umumnya berangkat dari besarnya peran para sastrawan terhadap pembangunan masyarakatnya dan sebaliknya besar pula peran pemerintah terhadap perkembangan sastra dan sastrawannya.
Dalam perkembangan sastra, khususnya sastra Indonesia sebenarnya telah cukup lama para sastrawan mengupas berbagai permasalahan bangsa dan tawaran pemecahan tersebut dalam karya-karya mereka.
Kupasan tersebut terutama yang berkaitan dengan pembangunan batin manusia. Tentu saja kupasan itu bukan seperti bayangan beberapa orang berupa kalimat-kalimat lugas yang terdapat dalam karya ilmiah. Penuturan para sastrawan tersebut dipaparkan dalam karya sastra yang salah satunya adalah puisi.
Dari sekian banyak pemaparan para sastrawan yang berkaitan dengan pembangunan batin manusia dalam puisi, ada beberapa di antaranya yang berkaitan dengan ‘sikap peduli’. Sebuah sikap berempati terhadap permasalahan-permasalahan bangsa secara umum atau permasalahan masnusia dalam kajian lebih kecil lagi.
Belakangan ada yang imbas negatif sistem kapitalisme mulai terasa melanda bangsa kita, yaitu mulai lunturnya sikap peduli antar-institusi masyarakat. Manusia yang berkejar-kejaran dengan dunia materialis seakan melupakan dunia sekelilingnya. Konsep menjadi serba suka-suka agaknya mulai berlaku. Masyarakat pun seakan mengamini budaya siapa lu siapa gue, serba tidak peduli, benar-benar tidak peduli. Hal ini terutama terjadi di kota-kota besar. Tetapi disasari pula kalau di desa-desa pun sudah mulai merasakan imbas tersebut.
Melihat perkembangan itu, maka kita mencoba melihat buah pikir para sastrawan dalam karya-karya mereka yang ternyata sangat banyak menampilkan pembelajaran untuk memupuk sikap peduli tersebut. Kita mulai misalnya melihat sebuah puisi yang sudah sangat lazim kita baca dan dengar, yaitu puisi Karangan Bunga karya Taufik Ismail.
Merdeka. Ya, sebuah kata yang memiliki makna begitu luas. Merdeka bagi sebuah bangsa berarti lepas dari kungkungan penjajah. Bagi seorang mahasiswa boleh jadi ketika selesai mengikuti ujian semester, bagi seorang anak kecil bisa juga berarti ketika orang tuanya menambah jam bermain. Namun, bagaimanapun bentuk merdeka, pada dasarnya kata merdeka yang paling baik digunakan adalah ketika manusia mampu memerdekakan suara hati diri sendiri.
Agaknya hal itulah yang dapat ditangkap dari puisi Karangan Bunga karya Taufik Ismail.
Ada baiknya kita melihat secara lengkap puisinya seperti berikut. //Tiga anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/Datang ke Salemba /Sore itu/‘Ini dari kami bertiga/Pita hitam pada karangan bunga/Sebab kami ikut berduka/Bagi kakak yang ditembak mati/ Siang tadi’/
Puisi pada dasarnya memiliki dua unsur utama yaitu unsur fisik dan unsur batin.Itu yang dikatakan beberapa ahli sastra kita Kedua unsur tersebut mestilah dipandang dalam satu unsur yang memiliki kesatuan. Unsur fisik puisi berkaitan dengan diksi, imaji, kata konkret, majas, rima, dan ritma. Sedangkan unsur batin adalah tema, nada, perasaan, dan amanat.
Karangan Bunga yang pernah menjadi ‘puisi wajib’ ujian nasional dan dimuat dalam buku paket Bahasa Indonesia SMA terbitan pemerintah tersebut adalah sebuah puisi singkat dari Taufik Ismail yang biasanya memiliki puisi yang panjang-panjang semisal Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
Yang terasa pertama sekali ketika membaca puisi Karangan Bunga (seterusnya KB) tersebut adalah adanya sebuah ucapan sederhana. Hal ini dapat kita lihat dari pilihan kata yang digunakan pada judul, yaitu Karangan Bunga. Pastilah ada dua makna yang akan muncul ketika mendengar kata Karangan Bunga, yaitu makna kegembiraan/ kebahagiaan atau makna kedukaan/ kepedihan.
Dari judul saja tentu kita belum bisa menebak makna mana yang muncul dari dua makna yang kita sebut di atas. Karena itu kita mencoba mengeksplorasi lebih dalam. //Tiga anak kecil// Dalam langkah malu-malu// Datang ke Salemba// Sore itu.// Kita masih belum bisa menafsir terlalu jauh, selain hanya melihat peristiwa yang menggambarkan ada tiga orang anak kecil yang datang ke sebuah tempat yang bernama Salemba pada sore hari. Ketiga anak kecil itu datang dengan langkah pelan sebab ada perasaan malu-malu.
Untuk menyingkap makna secara lengkap, kita harus membaca bagian berikut puisi tersebut. Kita mulai menemukan benang merah yang lebih jelas ketika membaca bait kedua puisi KB di atas. Kita telah bisa menemukan jawaban tentang makna karangan bunga tersebut yang mengarah kepada peristiwa duka. Ini ditandai dengan diletakkannya diksi //Pita hitam pada karangan bunga//. Perasaan duka tersebut semakin terlihat karena dikatakan //sebab kami ikut berduka// Bagi kakak yang ditembak mati// Siang tadi’//.
Taufik dengan jelas mengungkapkan bahwa anak kecil tiga orang yang digambarkan pada bait pertama ternyata memiliki rasa empati dan kepedulian yang mendalam terhadap seseorang yang telah meninggal dunia karena ditembak.Taufik jelas terlihat menggambarkan sesuatu apa adanya. Lalu baris akhir puisi : bunga//……..berduka//……..mati//……tadi// semakin memperjelas makna duka penyair terhadap peristiwa yang terjadi.
Keseluruhan isi puisi KB di atas semakin mengerucut membentuk sebuah makna yang sangat menyentuh hati. Tema yang diangkat Taufik cukup relevan dengan peristiwa yang terjadi ketika puisi KB tersebut ditulis, tahun 1966, yaitu tema duka cita yang mendalam terhadap peristiwa yang terjadi waktu itu.
Kepedulian dalam puisi kita temukan pula dalam karya-karya Herman KS. Satu puisinya begitu intens bercerita tentang Lingkungan Hidup. Kita coba baca sebagian puisi Ketika di Jakarta 1 berikut ini. Tiba-tiba aku merindukannya. Padang-padang Hijau/ menggelombang Sawah-sawah membentang/ dan di atas sana langit yang biru/ serta awan-awan putih beringsut perlahan// Aku ingin mendengarnya kembali/ merdunya nyanyian-nyanyian angin di hijau dedaunan/ kicau burung di dahan-dahan menyambut pagi/ sorak-sorak bocah angon di padang-padang/ …..//
Boleh jadi puisi di atas ditulis oleh Herman KS ketika beliau di Jakarta. Nafas kepenyairan seorang Herman KS ternyata menyulut jemarinya untuk menulis puisi di atas. Gambaran Herman KS tentang ibukota sangat bertentangan dengan kata hatinya yang merindukan Jakarta akan kembali seperti Padang-padang Hijau// yang // menggelombang sawah-sawah membentang/ dan seterusnya seperti Jakarta di waktu dulu.
Jika kita korelasikan dengan zaman ini, maka apa yang digambarkan pada puisi Karangan Bunga tersebut masih sangat relevan. Teori hermeneutik sastra yang menyatakan bahwa terbuka kemungkinan pemahaman trans-historis dengan konsep fungsi antara masa lalu dengan masa kini dapat diterima.
Sayangnya sikap yang digambarkan oleh tiga anak kecil pada puisi Taufik, atau kepedulian pada puisi Ketika di Jakarta 1 –nya Herman KS yang begitu peduli hidup tersebut mulai tak terlihat di masyarakat sekarang. Fungsi sosial yang seharusnya menjalin hubungan harmonis antar-institusi masyarakat dan alam semesta mulai rapuh.
Kita mulai melihat sikap tidak peduli dan acuh. Semua menjadi serba boleh. Ini adalah imbas dari modernisme-kapitalisme. Kapitalisme membuat manusia menjadi saling mengambil keuntungan antara satu dengan yang lainnya termasuk dengan alam.
Seharusnya dalam dunia manapun kita hidup, kita haruslah tetap mampu membentengi diri dari kekacauan lingkungan. Sikap peduli terhadap sesama dan seluruh penghuni alam semesta semestinya satu hal yang tetap ditumbuhsuburkan pada zaman ini. Ketimpangan sosial antara gaya hidup mewah dan orang-orang dari kelas marjinal harusnya dapat dijembatani dengan sikap peduli ini.
Jadi sebenarnya karya sastra melalui puisi dan penyairnya hingga akhir zaman akan tetap memberikan pencerahan batin yang mendalam terhadap peristiwa yang terjadi pada masa puisi itu dibuat dan masa sekarang dan nanti ketika zaman telah berubah.
Sebuah pencerahan batin yang kiranya dapat memberikan setitik embun harapan untuk membangun sebuah peradaban baru yang lebih bernilai. Mari membaca puisi!
(Penulis mahasiswa Program Magister Bahasa dan Sastra Indonesia UMN Medan, Email: eslubis@gmail.com)
‘Negeri Riau’, Pilar Agung Sastra Melayu
Edy A Effendi *
Media Indonesia, 2 Des 2007
DALAM jejak sejarah, tradisi penulisan kesusastraan Melayu selalu melahirkan ‘prasasti’. Prasasti itu membiak ke berbagai wilayah, yang pada akhirnya membangun identitas Melayu sebagai poros besar dalam lajur kehidupan sastra di ranah Nusantara ini.
Prasasti yang bisa dibaca dalam lajur tapak sejarah sastra Melayu adalah lahirnya tokoh-tokoh agung, sebutlah Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Tuan Guru Abdurrahman Sidik, Soeman HS, BM Syamsuddin. Mereka telah menitikkan jejak sejarah kesusastraan Melayu sejak 500 tahun silam.
Seperti kita tahu, tradisi itu dimulai dari Hamzah Fansuri. Seorang pelanjut warisan sastra Melayu, Umar Usman Hamidy (UU Hamidy), atau lebih akrab disapa Pak UU, bertutur, Hamzah Fansuri berangkat dari Aceh. Ia digelari sebagai Pilar Agung Sastrawan Melayu Abad XVI.
Pada abad XVII, posisi itu diteruskan Tun Sri Lanang. Ia menulis Sulatus Salatin yang berisi sejarah Melayu. Sesudah itu, gemanya terus mengalir hingga ke Riau. Pada dekade itu, lahir tokoh agung dalam sastra Melayu, Raja Ali Haji. Ia berkibar pada kurun waktu abad XIX.
Raja Ali Haji ialah sastrawan Melayu yang tumbuh dari negeri Riau. Ia menulis kurang lebih 13 karya dan yang paling populer disimak generasi sastra di jagat nusantara ini, Gurindam Dua Belas.
Pak UU, budayawan dan sekaligus kritikus sastra Melayu, pada 26 November, menerima Anugerah Sagang sebagai Tokoh Budayawan Pilihan Sagang 2007 di Pekanbaru, ia pun berkisah bahwa Raja Ali Haji menulis berbagai persoalan dari sejarah, kitab hukum serta tata bahasa dan sastra. Raja Ali Haji berhasil membina generasi penulis Melayu dan melahirkan kelompok cendekiawan Riau bernama Rusydiah Club pada abad XX.
Rusydiah Club itulah yang menebar pesona Melayu. Ia bisa dicap sebagai paguyuban terbesar di Asia Tenggara pada abad XIX. Tempat menyimak berbagai delik persoalan.
Sumbangan bahasa
Dalam percakapan informal dengan berbagai wartawan Ibu Kota, Rida K Liamsi, Ketua Yayasan Sagang, di Pekanbaru, mengurai sumbangan terbesar dari khasanah Melayu adalah soal bahasa. Bahasa menjadi identitas penulis yang lahir dari ranah Melayu dan menjadi pembeda dengan penulis-penulis di luar wilayah Melayu. Maka, tidak salah jika UU Hamidy menulis buku bertajuk Riau sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu.
Dalam konteks itulah, Rida mempersoalkan adakah sumbangan lain setelah bahasa? Rida layak mempersoalkan sumbangan lain dari daratan Melayu ini selain bahasa karena seperti kita tahu, satu identitas yang tidak luput kesusastraan Melayu adalah bahasa. Dan identitas-identitas lain selain bahasa dalam kultur Melayu, tidak ubahnya identitas lokal dari berbagai kultur lokal di bumi Indonesia ini. Pertanyaan sekaligus gugatan Rida sebetulnya masalah dasar dari semua elemen kehidupan masyarakat Melayu.
Memang dalam bahasa selalu terdapat keselarasan, bahkan terkandung dalam kata-kata atau substansi bahasa, maka menjadi lebih membekas dan mendalam hingga terwujudlah sebuah puisi; melalui puisilah menggema kembali keselarasan fundamental yang memungkinkan manusia untuk kembali kepada keberadaan dan kesadarannya yang lebih tinggi.
Di sinilah bahasa sastra menemukan karakternya. Ia hadir sebagai ragam ekspresi yang melewati perakitan-perakitan psiko-psikis dalam diri seseorang. Mengenai bahasa dalam wilayah sastra, Sutan Takdir Alisjahbana pun memberi komentar, “Bahasa hanyalah alat untuk menjelmakan perasaan dan pikiran yang terkandung dalam sanubari pujangga. Bagi saya, tiap-tiap pujangga itu bebas memakai alat sekehendak hatinya, asal saja dengan jalan demikian terang dan indah ia menggambarkan perasaan dan pikirannya. Apa pula salahnya kalau orang hendak melagukan dendangnya dengan perkataan arianingsun, mayapada, laksamana, imbang irama, kesturi.”
Di tepi lain, fakta-fakta sejarah yang lurus harus dibangun atas keselarasan antara bahasa dan pikiran. Seperti kata Roger Trigg, ‘Thought without language becomes impossible, and difereent languages will produce different thought. Berpikir tidak mungkin dipisahkan dari bahasa dan adanya perbedaan bahasa akan melahirkan perbedaan produk pemikiran.
Kekuatan bahasa sastra sebagai sarana representasi dari mekanisme kerja keseharian senantiasa menawarkan ruang-ruang subjek untuk beroperasi melakukan tindakan-tindakan sosial serta menentukan strategi-strategi dan tema-tema yang diyakini mampu membangun medan kesadaran publik. Dari sanalah posisi bahasa, tidak sekadar alat korespondensi antarsubjek, tapi bahasa telah membangun satu peta kekuatan di luar dirinya. Bahasa dalam takaran ini, menurut Benjamin Lee Whorf, tidak hanya medium untuk berkomunikasi, tapi bahasa pada wilayah tertentu, berfungsi untuk mendefinisikan kehidupan dirinya. Bahasa, mengikuti jejak pikiran Whorf, bukan hanya alat reproduksi untuk menyuarakan kembali gagasan-gagasan, melainkan justru bahasa itu sendirilah yang menjadi pembuat gagasan, program, dan panduan aktivitas mental individu, untuk menganalisis kesan dan untuk sintesis kemampuan mentalnya.
Pikiran Whorf, setidak-tidaknya menolak doktrin tradisional bahasa, yang dihinggapi definisi-definisi normatif sebagai alat komunikasi dan pemekaran yurisdiksi kata-kata. Menurut doktrin tradisional, kata-kata yang tertuang dalam puisi memerlukan penjelasan lebih lanjut karena hubungan antara realitas kosmis dan bahasa manusia telah memudar selama kurun waktu tertentu, yang menilai alam secara kuantitatif dan mempelajari bahasa secara analitis belaka, dengan mengabaikan aspek kualitatif sintetis puitis. Dalam bahasa, kata menjadi substansi yang menggantikan hakikat materi dunia eksternal, dan menyiratkan keselarasan kosmis.
Anugerah Sagang
Sejatinya, Anugerah Sagang merupakan representasi lain untuk menjaga tanah Melayu, khususnya Riau, menjaga bahasa ibu, bahasa Melayu. Dan tentu segenap apresiasi kita tumpahkan untuk para pengelola Yayasan Sagang, yang mau membuang energi mereka untuk menjaga kultur Melayu dari sergapan budaya lain. Anugerah Sagang ke-12 ini merupakan cermin dari perjalanan panjang Rida K Liamsi dalam menjejakkan kakinya ke dalam wilayah kultur Melayu.
Rida, sosok yang perlu diberi catatan. Energi yang ia tumpahkan untuk menjaga bahasa ibu seperti mengabaikan energi lain yang seharusnya ia sandarkan dengan sepenuh jiwa untuk keluarga dan kerabatnya. Yayasan Sagang seolah-olah sebagai rumah pertama Rida untuk berpijak dan meneruskan akar kemelayuan.
Di sisi lain, Gubernur Riau Rizal Nurdin pun merupakan sosok yang punya dedikasi yang tinggi terhadap kultur Melayu. Nurdin sendiri berujar bahwa visi dan misi Riau 2020 adalah menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara. Dedikasi Nurdin juga tercermin dari dana APBD untuk Dewan Kesenian Riau yang merangkak sampai kisaran Rp4 miliar. Untuk ukuran Indonesia, itulah bujet terbesar yang diberikan kepada dewan kesenian. Selamat untuk Rida, Nurdin, dan tentunya Eddy Akhmad RM, Ketua Dewan Kesenian Riau, yang menuai berkah dari apresiasi yang tinggi dari berbagai sosok Riau tersebut. Sebuah berkah apresiasi. Tidak lebih dari itu.
* Edy A Effendi, Wartawan Media Indonesia
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/12/negeri-riau-pilar-agung-sastra-melayu.html
Media Indonesia, 2 Des 2007
DALAM jejak sejarah, tradisi penulisan kesusastraan Melayu selalu melahirkan ‘prasasti’. Prasasti itu membiak ke berbagai wilayah, yang pada akhirnya membangun identitas Melayu sebagai poros besar dalam lajur kehidupan sastra di ranah Nusantara ini.
Prasasti yang bisa dibaca dalam lajur tapak sejarah sastra Melayu adalah lahirnya tokoh-tokoh agung, sebutlah Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Tuan Guru Abdurrahman Sidik, Soeman HS, BM Syamsuddin. Mereka telah menitikkan jejak sejarah kesusastraan Melayu sejak 500 tahun silam.
Seperti kita tahu, tradisi itu dimulai dari Hamzah Fansuri. Seorang pelanjut warisan sastra Melayu, Umar Usman Hamidy (UU Hamidy), atau lebih akrab disapa Pak UU, bertutur, Hamzah Fansuri berangkat dari Aceh. Ia digelari sebagai Pilar Agung Sastrawan Melayu Abad XVI.
Pada abad XVII, posisi itu diteruskan Tun Sri Lanang. Ia menulis Sulatus Salatin yang berisi sejarah Melayu. Sesudah itu, gemanya terus mengalir hingga ke Riau. Pada dekade itu, lahir tokoh agung dalam sastra Melayu, Raja Ali Haji. Ia berkibar pada kurun waktu abad XIX.
Raja Ali Haji ialah sastrawan Melayu yang tumbuh dari negeri Riau. Ia menulis kurang lebih 13 karya dan yang paling populer disimak generasi sastra di jagat nusantara ini, Gurindam Dua Belas.
Pak UU, budayawan dan sekaligus kritikus sastra Melayu, pada 26 November, menerima Anugerah Sagang sebagai Tokoh Budayawan Pilihan Sagang 2007 di Pekanbaru, ia pun berkisah bahwa Raja Ali Haji menulis berbagai persoalan dari sejarah, kitab hukum serta tata bahasa dan sastra. Raja Ali Haji berhasil membina generasi penulis Melayu dan melahirkan kelompok cendekiawan Riau bernama Rusydiah Club pada abad XX.
Rusydiah Club itulah yang menebar pesona Melayu. Ia bisa dicap sebagai paguyuban terbesar di Asia Tenggara pada abad XIX. Tempat menyimak berbagai delik persoalan.
Sumbangan bahasa
Dalam percakapan informal dengan berbagai wartawan Ibu Kota, Rida K Liamsi, Ketua Yayasan Sagang, di Pekanbaru, mengurai sumbangan terbesar dari khasanah Melayu adalah soal bahasa. Bahasa menjadi identitas penulis yang lahir dari ranah Melayu dan menjadi pembeda dengan penulis-penulis di luar wilayah Melayu. Maka, tidak salah jika UU Hamidy menulis buku bertajuk Riau sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu.
Dalam konteks itulah, Rida mempersoalkan adakah sumbangan lain setelah bahasa? Rida layak mempersoalkan sumbangan lain dari daratan Melayu ini selain bahasa karena seperti kita tahu, satu identitas yang tidak luput kesusastraan Melayu adalah bahasa. Dan identitas-identitas lain selain bahasa dalam kultur Melayu, tidak ubahnya identitas lokal dari berbagai kultur lokal di bumi Indonesia ini. Pertanyaan sekaligus gugatan Rida sebetulnya masalah dasar dari semua elemen kehidupan masyarakat Melayu.
Memang dalam bahasa selalu terdapat keselarasan, bahkan terkandung dalam kata-kata atau substansi bahasa, maka menjadi lebih membekas dan mendalam hingga terwujudlah sebuah puisi; melalui puisilah menggema kembali keselarasan fundamental yang memungkinkan manusia untuk kembali kepada keberadaan dan kesadarannya yang lebih tinggi.
Di sinilah bahasa sastra menemukan karakternya. Ia hadir sebagai ragam ekspresi yang melewati perakitan-perakitan psiko-psikis dalam diri seseorang. Mengenai bahasa dalam wilayah sastra, Sutan Takdir Alisjahbana pun memberi komentar, “Bahasa hanyalah alat untuk menjelmakan perasaan dan pikiran yang terkandung dalam sanubari pujangga. Bagi saya, tiap-tiap pujangga itu bebas memakai alat sekehendak hatinya, asal saja dengan jalan demikian terang dan indah ia menggambarkan perasaan dan pikirannya. Apa pula salahnya kalau orang hendak melagukan dendangnya dengan perkataan arianingsun, mayapada, laksamana, imbang irama, kesturi.”
Di tepi lain, fakta-fakta sejarah yang lurus harus dibangun atas keselarasan antara bahasa dan pikiran. Seperti kata Roger Trigg, ‘Thought without language becomes impossible, and difereent languages will produce different thought. Berpikir tidak mungkin dipisahkan dari bahasa dan adanya perbedaan bahasa akan melahirkan perbedaan produk pemikiran.
Kekuatan bahasa sastra sebagai sarana representasi dari mekanisme kerja keseharian senantiasa menawarkan ruang-ruang subjek untuk beroperasi melakukan tindakan-tindakan sosial serta menentukan strategi-strategi dan tema-tema yang diyakini mampu membangun medan kesadaran publik. Dari sanalah posisi bahasa, tidak sekadar alat korespondensi antarsubjek, tapi bahasa telah membangun satu peta kekuatan di luar dirinya. Bahasa dalam takaran ini, menurut Benjamin Lee Whorf, tidak hanya medium untuk berkomunikasi, tapi bahasa pada wilayah tertentu, berfungsi untuk mendefinisikan kehidupan dirinya. Bahasa, mengikuti jejak pikiran Whorf, bukan hanya alat reproduksi untuk menyuarakan kembali gagasan-gagasan, melainkan justru bahasa itu sendirilah yang menjadi pembuat gagasan, program, dan panduan aktivitas mental individu, untuk menganalisis kesan dan untuk sintesis kemampuan mentalnya.
Pikiran Whorf, setidak-tidaknya menolak doktrin tradisional bahasa, yang dihinggapi definisi-definisi normatif sebagai alat komunikasi dan pemekaran yurisdiksi kata-kata. Menurut doktrin tradisional, kata-kata yang tertuang dalam puisi memerlukan penjelasan lebih lanjut karena hubungan antara realitas kosmis dan bahasa manusia telah memudar selama kurun waktu tertentu, yang menilai alam secara kuantitatif dan mempelajari bahasa secara analitis belaka, dengan mengabaikan aspek kualitatif sintetis puitis. Dalam bahasa, kata menjadi substansi yang menggantikan hakikat materi dunia eksternal, dan menyiratkan keselarasan kosmis.
Anugerah Sagang
Sejatinya, Anugerah Sagang merupakan representasi lain untuk menjaga tanah Melayu, khususnya Riau, menjaga bahasa ibu, bahasa Melayu. Dan tentu segenap apresiasi kita tumpahkan untuk para pengelola Yayasan Sagang, yang mau membuang energi mereka untuk menjaga kultur Melayu dari sergapan budaya lain. Anugerah Sagang ke-12 ini merupakan cermin dari perjalanan panjang Rida K Liamsi dalam menjejakkan kakinya ke dalam wilayah kultur Melayu.
Rida, sosok yang perlu diberi catatan. Energi yang ia tumpahkan untuk menjaga bahasa ibu seperti mengabaikan energi lain yang seharusnya ia sandarkan dengan sepenuh jiwa untuk keluarga dan kerabatnya. Yayasan Sagang seolah-olah sebagai rumah pertama Rida untuk berpijak dan meneruskan akar kemelayuan.
Di sisi lain, Gubernur Riau Rizal Nurdin pun merupakan sosok yang punya dedikasi yang tinggi terhadap kultur Melayu. Nurdin sendiri berujar bahwa visi dan misi Riau 2020 adalah menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara. Dedikasi Nurdin juga tercermin dari dana APBD untuk Dewan Kesenian Riau yang merangkak sampai kisaran Rp4 miliar. Untuk ukuran Indonesia, itulah bujet terbesar yang diberikan kepada dewan kesenian. Selamat untuk Rida, Nurdin, dan tentunya Eddy Akhmad RM, Ketua Dewan Kesenian Riau, yang menuai berkah dari apresiasi yang tinggi dari berbagai sosok Riau tersebut. Sebuah berkah apresiasi. Tidak lebih dari itu.
* Edy A Effendi, Wartawan Media Indonesia
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/12/negeri-riau-pilar-agung-sastra-melayu.html
Kota Bandung dan Peristiwa Seni
Soni Farid Maulana
Pikiran Rakyat, 27 Des 2008
DIGELARNYA acara “100 Tahun Pa Daeng” oleh Serambi Piraous di Gedung Merdeka Jln. Asia-Afrika Bandung, pameran seni rupa “Window Display” karya perupa Wiyoga Nuhardanto di Selasar Sunaryo Art Space, dan pameran seni rupa “Breakthrough” di Studio Jeihan yang menampilkan karya 47 perupa Kota Bandung, merupakan tiga dari sekian kegiatan seni di bulan Desember 2008 di Kota Bandung. Digelarnya acara tersebut diharapkan bisa memberikan makna yang signifikan bagi perkembangan dan pertumbuhan seni di negeri ini.
Acara 100 Tahun Pa Daeng menjadi penting direnungkan karena dalam konteks yang demikian itu, kita mengenang seorang tokoh yang telah berjasa dalam mencipta angklung modern yang tangga nadanya berasal dari Barat, yakni do-re-mi-fa-so-la-si-do. Inti dari peringatan tersebut bagi kita yang hidup dewasa ini adalah merenungkan kembali makna daya kreatif dalam berkesenian, yakni menciptakan sesuatu karya seni yang berguna bagi nusa dan bangsa. Jasa Pa Daeng dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan seni tidak bisa dilupakan. Oleh karena itu, tidak aneh kalau negara memberikan berbagai tanda jasa dan bintang jasa untuk Pa Daeng.
Berkait dengan hal tersebut, pada sisi yang lain, sepanjang 2008, setidaknya di Bandung digelar 30 pameran seni rupa, baik tunggal maupun bersama. Sementara untuk pertunjukan teater, termasuk monolog di dalamnya digelar 20 pertunjukan. Pertunjukan teater dan pameran seni rupa, termasuk kegiatan seni cukup sering diselenggarakan di Bandung. Sementara untuk kegiatan sastra, tercatat 23 kegiatan. Di dalamnya termasuk acara baca puisi, diskusi sastra, pembagian hadiah sastra, dan peluncuran buku karya sastra.
Data-data yang saya catat dalam laporan akhir tahun ini, berdasarkan pada hasil olah data yang dilakukan oleh Hanif Hafsari Chaeza dari Pusat Data Redaksi HU Pikiran Rakyat Bandung, yang berdasarkan pada hasil liputan dan agenda budaya di suplemen Khazanah. Sementara data lain yang saya dapat dari Disbudpar Jawa Barat, untuk kegiatan seni pertunjukan di Jawa Barat sepanjang 2008 tercatat 98 kali. Peristiwa lainnya masih pada Desember 2008, di Bogor, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menggelar Kongres Kebudayaan 2008. Lalu di Jakarta, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Pemda Jakarta menggelar Jakarta International Literary Festival 2008, yang pembicaranya antara lain datang dari Jepang, Portugal, Prancis, Korea, Singapura, serta Indonesia.
**
TENTU saja kegiatan seni yang berlangsung di Bandung sepanjang 2008 bukan hanya itu. Ada juga festival film pendek, pertunjukan musik, serta kegiatan-kegiatan lainnya seperti pertunjukan tari dan pertunjukan seni tradisional lainnya. Jika kegiatan seni rupa tampak dominan, itu terjadi karena di Bandung pameran seni rupa tidak hanya diselenggarakan di kampus-kampus yang memiliki jurusan seni rupa, tetapi juga diselenggarakan berbagai galeri seni rupa. Galeri yang paling aktif menyelenggarakan kegiatan seni rupa antara lain Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), yang telah menginjak usia ke-10 tahun.
Penyair Goenawan Mohamad menyebut SSAS sebagai permata, yang kian tua kian berkilau sinarnya. Berkilau karena SSAS mempunyai peran yang cukup besar dalam menumbuhkembangkan seni rupa di Kota Bandung, baik untuk merangsang daya kreatif para perupa agar lebih bergiat lagi dalam berkarya seni, maupun dalam hal menumbuhkan daya apresiasi siswa dan mahasiswa terhadap karya seni rupa yang digelar di situ.
“SSAS ingin menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi perkembangan dan pertumbuhan seni di Kota Bandung, khususnya dalam bidang seni rupa kontemporer. Berkait dengan itu, aspek apresiasi seni sebagai bagian dari dunia pendidikan mempunyai peran yang cukup penting di dalamnya,” ujar perupa Sunaryo, pemilik sekaligus salah seorang pengelola SSAS dalam percakapannya dengan penulis beberapa waktu lalu di tempat tinggalnya, Jln. Dago Pakar Timur, Bandung.
Lepas dari soal tersebut, tampak jelas bahwa berbagai kegiatan seni yang berlangsung di Bandung selama ini lebih banyak diselenggarakan oleh swasta daripada pemerintah. Untuk kegiatan sastra, misalnya, yang bisa dikatakan berskala besar adalah Temu Sastrawan 10 Provinsi, yang baru saja digelar di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, pada November 2008. Acara ini sepenuhnya didanai Pemprov Jabar c.q. Disbudpar Jabar. Sementara untuk seni pertunjukan yang berskala bersar adalah “Temu Taman Budaya se-Indonesia”, yang dananya sebagian besar konon dikucurkan dari pusat. Acara tersebut sayangnya tidak dihadiri Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, sebagai tuan rumah. Saat itu, Menbudpar Jero Wacik mengkritik habis tuan rumah yang diwakili Kadisbudpar Jabar, H.I. Budhyana, M.Si.
**
KOTA Bandung sebagai etalase budaya di Jawa Barat masih memegang peranan yang cukup penting dalam hal menumbuh-kembangkan seni dan budaya di Jawa Barat. Itu terjadi karena di Kota Bandung tidak hanya ada perguruan tinggi seni, baik untuk seni tradisional maupun seni kontemporer, baik untuk jurusan musik, karawitan, teater, tari, dan seni rupa, tetapi juga karena di Bandung bermukim banyak seniman yang cukup berwibawa dalam bidangnya masing-masing, yang hingga kini masih kreatif dan produktif dalam berkarya seni.
Sayangnya, dalam kondisi yang demikian itu, pemerintah yang seharusnya bijak menanggapi berbagai persoalan yang muncul dalam dunia kesenian di Jawa Barat, sepanjang 2008, pada satu sisi seakan “tutup mata & telinga” dalam menyelesaikan persoalan keuangan yang dihadapi manajemen Gedung Kesenian (GK) Rumentang Siang, sehingga terancam bubar. Bila memasuki 2009, manajemen GK Rumentang Siang benar-benar bubar maka sejarah kesenian di Bandung mengalami masa kelam. Apa pun kelebihan dan kelemahannya, GK Rumentang Siang mempunyai peran yang cukup penting dalam hal menumbuhkembangkan kesenian di Bandung, baik untuk bidang teater, pertunjukan sastra, tari, dan seni-seni lainnya.
“Studiklub Teater Bandung (STB) yang menyejarah itu tumbuh dan besar di Bandung. Mendiang Suyatna Anirun berjasa besar dalam menumbuhkan seni teater di Bandung, yang sebagian besar diproduksi di Gedung Kesenian Rumentang Siang. Bila benar-benar bubar, ini berarti sejarah buram bagi dunia kesenian kita,” ujar penyair Godi Suwarna dalam percakapannya dengan penulis, dalam suatu kesempatan di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Jln. Baranang Siang, Bandung. Selain itu, Godi mengakui bahwa dari tangan Suyatna banyak lahir peteater-peteater dari generasi kemudian yang kini sudah malang melintang.
Berkait dengan itu, dalam memasuki 2009, para seniman berharap Pemprov Jabar lebih bersungguh-sungguh dalam membangun kesenian di Bandung. Dalam bidang seni rupa, misalnya, begitu banyak seniman yang mengharapkan Pemprov Jabar maupun Pemkot Bandung mendirikan museum seni rupa berskala internasional. Apa sebab? Karena Kota Bandung dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan seni rupa kontemporer memegang peranan yang cukup penting di dalamnya. Hal itu antara lain dengan berdirinya sekolah seni rupa di ITB, yang dalam perjalanannya kini menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, Bandung.
“Seharusnya di Bandung ada museum seni rupa, apalagi Kota Bandung diposisikan sebagai gerbang pariwisata Jawa Barat,” ujar Biranul Anas, Dekan FSRD ITB dalam sebuah kesempatan. Untungnya dalam situasi yang demikian itu di Bandung ada perupa yang murah hati, yang mendirikan museum seni rupa kecil-kecilan, apa pun namanya, meski yang dikoleksi di museum tersebut adalah karya pribadi mereka. Selain SSAS, ada Museum Barli, Studio Jeihan, Serambi Pirous, Museum Patung Nyoman Nuarta, dan beberapa tempat lainnya.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/12/kota-bandung-dan-peristiwa-seni.html
Pikiran Rakyat, 27 Des 2008
DIGELARNYA acara “100 Tahun Pa Daeng” oleh Serambi Piraous di Gedung Merdeka Jln. Asia-Afrika Bandung, pameran seni rupa “Window Display” karya perupa Wiyoga Nuhardanto di Selasar Sunaryo Art Space, dan pameran seni rupa “Breakthrough” di Studio Jeihan yang menampilkan karya 47 perupa Kota Bandung, merupakan tiga dari sekian kegiatan seni di bulan Desember 2008 di Kota Bandung. Digelarnya acara tersebut diharapkan bisa memberikan makna yang signifikan bagi perkembangan dan pertumbuhan seni di negeri ini.
Acara 100 Tahun Pa Daeng menjadi penting direnungkan karena dalam konteks yang demikian itu, kita mengenang seorang tokoh yang telah berjasa dalam mencipta angklung modern yang tangga nadanya berasal dari Barat, yakni do-re-mi-fa-so-la-si-do. Inti dari peringatan tersebut bagi kita yang hidup dewasa ini adalah merenungkan kembali makna daya kreatif dalam berkesenian, yakni menciptakan sesuatu karya seni yang berguna bagi nusa dan bangsa. Jasa Pa Daeng dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan seni tidak bisa dilupakan. Oleh karena itu, tidak aneh kalau negara memberikan berbagai tanda jasa dan bintang jasa untuk Pa Daeng.
Berkait dengan hal tersebut, pada sisi yang lain, sepanjang 2008, setidaknya di Bandung digelar 30 pameran seni rupa, baik tunggal maupun bersama. Sementara untuk pertunjukan teater, termasuk monolog di dalamnya digelar 20 pertunjukan. Pertunjukan teater dan pameran seni rupa, termasuk kegiatan seni cukup sering diselenggarakan di Bandung. Sementara untuk kegiatan sastra, tercatat 23 kegiatan. Di dalamnya termasuk acara baca puisi, diskusi sastra, pembagian hadiah sastra, dan peluncuran buku karya sastra.
Data-data yang saya catat dalam laporan akhir tahun ini, berdasarkan pada hasil olah data yang dilakukan oleh Hanif Hafsari Chaeza dari Pusat Data Redaksi HU Pikiran Rakyat Bandung, yang berdasarkan pada hasil liputan dan agenda budaya di suplemen Khazanah. Sementara data lain yang saya dapat dari Disbudpar Jawa Barat, untuk kegiatan seni pertunjukan di Jawa Barat sepanjang 2008 tercatat 98 kali. Peristiwa lainnya masih pada Desember 2008, di Bogor, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menggelar Kongres Kebudayaan 2008. Lalu di Jakarta, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Pemda Jakarta menggelar Jakarta International Literary Festival 2008, yang pembicaranya antara lain datang dari Jepang, Portugal, Prancis, Korea, Singapura, serta Indonesia.
**
TENTU saja kegiatan seni yang berlangsung di Bandung sepanjang 2008 bukan hanya itu. Ada juga festival film pendek, pertunjukan musik, serta kegiatan-kegiatan lainnya seperti pertunjukan tari dan pertunjukan seni tradisional lainnya. Jika kegiatan seni rupa tampak dominan, itu terjadi karena di Bandung pameran seni rupa tidak hanya diselenggarakan di kampus-kampus yang memiliki jurusan seni rupa, tetapi juga diselenggarakan berbagai galeri seni rupa. Galeri yang paling aktif menyelenggarakan kegiatan seni rupa antara lain Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), yang telah menginjak usia ke-10 tahun.
Penyair Goenawan Mohamad menyebut SSAS sebagai permata, yang kian tua kian berkilau sinarnya. Berkilau karena SSAS mempunyai peran yang cukup besar dalam menumbuhkembangkan seni rupa di Kota Bandung, baik untuk merangsang daya kreatif para perupa agar lebih bergiat lagi dalam berkarya seni, maupun dalam hal menumbuhkan daya apresiasi siswa dan mahasiswa terhadap karya seni rupa yang digelar di situ.
“SSAS ingin menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi perkembangan dan pertumbuhan seni di Kota Bandung, khususnya dalam bidang seni rupa kontemporer. Berkait dengan itu, aspek apresiasi seni sebagai bagian dari dunia pendidikan mempunyai peran yang cukup penting di dalamnya,” ujar perupa Sunaryo, pemilik sekaligus salah seorang pengelola SSAS dalam percakapannya dengan penulis beberapa waktu lalu di tempat tinggalnya, Jln. Dago Pakar Timur, Bandung.
Lepas dari soal tersebut, tampak jelas bahwa berbagai kegiatan seni yang berlangsung di Bandung selama ini lebih banyak diselenggarakan oleh swasta daripada pemerintah. Untuk kegiatan sastra, misalnya, yang bisa dikatakan berskala besar adalah Temu Sastrawan 10 Provinsi, yang baru saja digelar di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, pada November 2008. Acara ini sepenuhnya didanai Pemprov Jabar c.q. Disbudpar Jabar. Sementara untuk seni pertunjukan yang berskala bersar adalah “Temu Taman Budaya se-Indonesia”, yang dananya sebagian besar konon dikucurkan dari pusat. Acara tersebut sayangnya tidak dihadiri Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, sebagai tuan rumah. Saat itu, Menbudpar Jero Wacik mengkritik habis tuan rumah yang diwakili Kadisbudpar Jabar, H.I. Budhyana, M.Si.
**
KOTA Bandung sebagai etalase budaya di Jawa Barat masih memegang peranan yang cukup penting dalam hal menumbuh-kembangkan seni dan budaya di Jawa Barat. Itu terjadi karena di Kota Bandung tidak hanya ada perguruan tinggi seni, baik untuk seni tradisional maupun seni kontemporer, baik untuk jurusan musik, karawitan, teater, tari, dan seni rupa, tetapi juga karena di Bandung bermukim banyak seniman yang cukup berwibawa dalam bidangnya masing-masing, yang hingga kini masih kreatif dan produktif dalam berkarya seni.
Sayangnya, dalam kondisi yang demikian itu, pemerintah yang seharusnya bijak menanggapi berbagai persoalan yang muncul dalam dunia kesenian di Jawa Barat, sepanjang 2008, pada satu sisi seakan “tutup mata & telinga” dalam menyelesaikan persoalan keuangan yang dihadapi manajemen Gedung Kesenian (GK) Rumentang Siang, sehingga terancam bubar. Bila memasuki 2009, manajemen GK Rumentang Siang benar-benar bubar maka sejarah kesenian di Bandung mengalami masa kelam. Apa pun kelebihan dan kelemahannya, GK Rumentang Siang mempunyai peran yang cukup penting dalam hal menumbuhkembangkan kesenian di Bandung, baik untuk bidang teater, pertunjukan sastra, tari, dan seni-seni lainnya.
“Studiklub Teater Bandung (STB) yang menyejarah itu tumbuh dan besar di Bandung. Mendiang Suyatna Anirun berjasa besar dalam menumbuhkan seni teater di Bandung, yang sebagian besar diproduksi di Gedung Kesenian Rumentang Siang. Bila benar-benar bubar, ini berarti sejarah buram bagi dunia kesenian kita,” ujar penyair Godi Suwarna dalam percakapannya dengan penulis, dalam suatu kesempatan di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Jln. Baranang Siang, Bandung. Selain itu, Godi mengakui bahwa dari tangan Suyatna banyak lahir peteater-peteater dari generasi kemudian yang kini sudah malang melintang.
Berkait dengan itu, dalam memasuki 2009, para seniman berharap Pemprov Jabar lebih bersungguh-sungguh dalam membangun kesenian di Bandung. Dalam bidang seni rupa, misalnya, begitu banyak seniman yang mengharapkan Pemprov Jabar maupun Pemkot Bandung mendirikan museum seni rupa berskala internasional. Apa sebab? Karena Kota Bandung dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan seni rupa kontemporer memegang peranan yang cukup penting di dalamnya. Hal itu antara lain dengan berdirinya sekolah seni rupa di ITB, yang dalam perjalanannya kini menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, Bandung.
“Seharusnya di Bandung ada museum seni rupa, apalagi Kota Bandung diposisikan sebagai gerbang pariwisata Jawa Barat,” ujar Biranul Anas, Dekan FSRD ITB dalam sebuah kesempatan. Untungnya dalam situasi yang demikian itu di Bandung ada perupa yang murah hati, yang mendirikan museum seni rupa kecil-kecilan, apa pun namanya, meski yang dikoleksi di museum tersebut adalah karya pribadi mereka. Selain SSAS, ada Museum Barli, Studio Jeihan, Serambi Pirous, Museum Patung Nyoman Nuarta, dan beberapa tempat lainnya.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/12/kota-bandung-dan-peristiwa-seni.html
Membaca “Luka” Empat Penyair Sumut
S. Satya Dharma
http://waspadamedan.com/
Dunia syair di Sumut tampaknya memang tak pernah kering dari bakat-bakat besar pecinta sastra. Sejumlah nama boleh saja pergi atau pralaya. Namun tunas-tunas baru segera tumbuh menggantikannya.
Keadaan ini bisa jadi karena besarnya ruang berekspresi yang diberikan media massa di daerah ini. Bahkan, seperti tak pernah jera, harian Waspada misalnya, hingga kini tetap memberi space cukup besar bagi lahirnya pengarang dan penyair berbakat di daerah ini.
Maka para pengarang besar Sumut boleh saja pergi. Hijrah ke luar daerah atau meninggal dunia. Namun secepat kepergian mereka, secepat itu pula muncul penggantinya. Bahkan, meskipun aktivitas “bersastra” di daerah ini sempat kehilangan gairah seiring dengan perubahan iklim politik dan pergeseran orientasi budaya di masyarakat, namun karya para penyair Sumut tetap saja muncul di banyak media. Baik suratkabar, majalah ataupun antologi sastra lokal dan nasional.
Tak hanya bakat, dunia kepenyairan di Sumut juga menawarkan banyak tema. Dari masalah cinta, alam semesta, nasionalisme, religi hingga realitas kehidupan sehari-hari. Sajak-sajak tematik itu dirangkai dalam kalimat-kalimat yang tidak saja indah, tapi kadang juga menghentak. Memantulkan kegelisahan, luka dan kepasrahan.
Empat sajak tematik yang coba penulis paparkan berikut ini, karya Afrion, Adi Mujabir, Teja Purnama dan Ys. Rat, hanyalah secuil gambaran dari sekian banyak sajak bernuansa luka dan kegelisahan karya para penyair Sumut yang sampai hari ini tetap setia mendedikasikan hidupnya di dunia sastra.
Afrion, penyair kelahiran Kisaran 29 April 1963 ini adalah salah seorang seniman paling produktif di Sumut. Sampai sekarang ia telah menghasilkan sejumlah buku kumpulan sajak dan naskah drama seperti Orang Orang Tercecer, Orang Orang Terasing, Dialog Bathin, Di Ujung Malam, Huma, Monolog Orang Orang Tercecer, Monolog Tanah Negeri dan Semak Kuburan. Sedangkan sajak-sajak dan cerpennya terkumpul dalam antologi Gelombang, Sangsi, Nyanyian Jiwa, Waktu Beku dan Lelaki Bukan Pilihan.
Dari sejumlah sajaknya yang sempat penulis baca, nuansa luka, kegelisahan dan kepasrahan itu ditawarkan penyair ini dalam sajak berjudul “Jejak Langkah” berikut ini;
Jejak Langkah Kepada Dimas Arika Mihardja lima puluh jejak langkah menyapa kabut tipis daun daun gugur mengeja sabda di balik redup cahaya dalam kedap suara merasakan debar jantung debar yang tak jua henti memberi kabar tentang isyarat batu menyingkap tabir usia tapi kelebat camar berkabar tentang risau pohon angin dan guguran daun jatuh di rimbun bambu mengelana dalam jiwa cahaya matamu seketika memahat senja menyeka kelu tulang menikung gelombang lalu kau di antara lelaki bertualang ditumbuhi sayap sekali waktu tiba digaris tanganmu tumbuh bunga-bunga tentang lumut atau batu ketika dadamu tertahan riak rindu angin biaskan cahaya menyambar senja tapi tak ingin darah mengutukmu pergilah ke mihrab
mengejar takdir kembali ke tanah suci.
Nuansa luka, kegelisahan dan kepasrahan itu juga diperlihatkan Adi Mujabir, penyair kelahiran Desa Kota Galuh, Perbaungan, 18 Nopember 1961. Bedanya luka dan kegelisahan itu di tangan penyair yang sudah menghasilkan antologi sajak“Nyanyian Kakus”, “Sajak Ontang” dan “Puisi Aceh: Surat Buat Habiebie” serta tiga novel; “Merajut Angin”, “Ngah Lara” dan “Meludah Rembulan” ini tak berhenti pada kepasrahan total. Adi Mujabir masih mencoba “berontak” dan bahkan menghibur diri di tengah luka jiwanya. Dengan pengucapan khas dialek melayu, perlawanan dan penghiburan diri terhadap luka itu dipaparkan Adi Mujabir dalam sajak berikut ini;
Dodoy Lah Dodoy (Hiburan ayah pada anak) Sulong Sulong ayah beranjak langkah dari laut bukalah hati bile kembali ade kabar tentang selat ade amanah dari layar ada cande dari sampan Sulong Sulong ayah tiap detik pelan terkayuh mengejar pantai disapa pasir kilau menyilau tatap menatap Sulong nyenyak sekejap harumlah mawar tak terusik jantung emaktak terkoyak atap nipah Sulong mendung mengulong dari muare jangan hirup bau keringat dade ayah berkayuh laut biru sebentar hujan menerjang Sulong ayah suroh laut tertidur memeluk ikan-ikan berbantal lumut malam ini agar karang tak selalu garang.
Kegelisahan, luka dan kepasrahan juga diperlihatkan Teja Purnama. Namun berbeda dengan Adi Mujabir, di tangan penyair kelahiran Medan 19 Januari 1973 yang mengaku sudah menulis puisi dan cerpen sejak SMA dan sudah pula menghasilkan sejumlah antologi sajak seperti “Puisi-Puisi Koran Sabtu Pagi”, “Rentang”, “Dalam Kecamuk Hujan”,“Bumi”, “Jejak”, “Antologi Puisi Indonesia”, “Muara Tiga”, “Tengok 2” dan “Denting” ini, nuansa luka dan kegelisahan itu berhenti total pada kepasrahan. Bacalah sajaknya “Setelah Sholat” berikut ini;
Setelah Sholat kamu mengeluh lagi meragukan jarak bersama pernah kamu benar-benar meninggalkanKu tapi Kutau sesekali kau benar-benar menangis merinduKu pernah juga kamu begitu rajin menemuiKu seperti takut kehilangan waktu bahkan tak ragu, tak malu walau usai melupakanKu kini kamu tak tau lagi Kita makin dekat atau jauh.
Sebaliknya, di tangan Ys. Rat luka dan kegelisahan itu justru menjadi sangat sufistik maknanya. Terhadap luka itu, penyair kelahiran Medan, 8 Agustus 1962 ini rupanya tak mau pasrah begitu saja seperti Afrion atau Teja Purnama, sekalipun ia juga tak mencoba untuk berontak seperti Adi Mujabir. Ys. Rat justru “membaca luka” itu untuk menghayatinya. Penyair dengan prestasi yang cukup membanggakan ini, yang juga sudah menghasilkan sejumlah naskah Sandiwara seperti “Hus!”. “Ciluk…. Ba!”, “Bukan”, “Sampah”, “Bukan Mimpi”, “Jodoh” dan“Bum! Bam! Dum! Dam! Dor!”, bahkan mengajak pembaca untuk menjadikan luka sebagai suatu yang harus dihayati. Bacalah sajaknya berikut ini;
Membaca Penuh Penghayatan
Luka-Luka Kita Membaca matahari terbit dan terbenam seperti rombongan burung ketika pulang harus bersarang pada embun jadi terkulai di atas bebatuan mengering kalaupun menolak pengertian. Percuma waktu menggelepar sepanjang perjalanan ada yang melarang menghentikannya Membaca bulan purnama dan tertutup awan seperti lingkaran kucing ketika lapar harus bersekutu pada tikus tak bisa lain kecuali memangsa mimpi kalaupun mengharap belas kasihan. Sia-sia pagi berlumur liur tak berkesudahan ada yang menghadang di setiap perbatasan
Membaca bintang berkedip dan diam seperti barisan ikan ketika menari riang harus menyerah pada gelombang napas berakhir di jala tak bertuan kalaupun mengejar tepian. Tak guna pasir memanas mengurung peristirahatan ada yang menghalau setiap pemufakatan
Membaca matahari, bulan dan bintang adalah membaca penuh penghayatan luka-luka kita.
Sungguh, membaca sajak-sajak karya empat penyair Sumut ini, nyatalah sudah bahwa sekalipun keempatnya memendam luka yang sama, namun mereka punya cara pengucapan yang berbeda. Dan menurutku, itulah kekayaan sejati seorang penyair yang sebenarnya.
http://waspadamedan.com/
Dunia syair di Sumut tampaknya memang tak pernah kering dari bakat-bakat besar pecinta sastra. Sejumlah nama boleh saja pergi atau pralaya. Namun tunas-tunas baru segera tumbuh menggantikannya.
Keadaan ini bisa jadi karena besarnya ruang berekspresi yang diberikan media massa di daerah ini. Bahkan, seperti tak pernah jera, harian Waspada misalnya, hingga kini tetap memberi space cukup besar bagi lahirnya pengarang dan penyair berbakat di daerah ini.
Maka para pengarang besar Sumut boleh saja pergi. Hijrah ke luar daerah atau meninggal dunia. Namun secepat kepergian mereka, secepat itu pula muncul penggantinya. Bahkan, meskipun aktivitas “bersastra” di daerah ini sempat kehilangan gairah seiring dengan perubahan iklim politik dan pergeseran orientasi budaya di masyarakat, namun karya para penyair Sumut tetap saja muncul di banyak media. Baik suratkabar, majalah ataupun antologi sastra lokal dan nasional.
Tak hanya bakat, dunia kepenyairan di Sumut juga menawarkan banyak tema. Dari masalah cinta, alam semesta, nasionalisme, religi hingga realitas kehidupan sehari-hari. Sajak-sajak tematik itu dirangkai dalam kalimat-kalimat yang tidak saja indah, tapi kadang juga menghentak. Memantulkan kegelisahan, luka dan kepasrahan.
Empat sajak tematik yang coba penulis paparkan berikut ini, karya Afrion, Adi Mujabir, Teja Purnama dan Ys. Rat, hanyalah secuil gambaran dari sekian banyak sajak bernuansa luka dan kegelisahan karya para penyair Sumut yang sampai hari ini tetap setia mendedikasikan hidupnya di dunia sastra.
Afrion, penyair kelahiran Kisaran 29 April 1963 ini adalah salah seorang seniman paling produktif di Sumut. Sampai sekarang ia telah menghasilkan sejumlah buku kumpulan sajak dan naskah drama seperti Orang Orang Tercecer, Orang Orang Terasing, Dialog Bathin, Di Ujung Malam, Huma, Monolog Orang Orang Tercecer, Monolog Tanah Negeri dan Semak Kuburan. Sedangkan sajak-sajak dan cerpennya terkumpul dalam antologi Gelombang, Sangsi, Nyanyian Jiwa, Waktu Beku dan Lelaki Bukan Pilihan.
Dari sejumlah sajaknya yang sempat penulis baca, nuansa luka, kegelisahan dan kepasrahan itu ditawarkan penyair ini dalam sajak berjudul “Jejak Langkah” berikut ini;
Jejak Langkah Kepada Dimas Arika Mihardja lima puluh jejak langkah menyapa kabut tipis daun daun gugur mengeja sabda di balik redup cahaya dalam kedap suara merasakan debar jantung debar yang tak jua henti memberi kabar tentang isyarat batu menyingkap tabir usia tapi kelebat camar berkabar tentang risau pohon angin dan guguran daun jatuh di rimbun bambu mengelana dalam jiwa cahaya matamu seketika memahat senja menyeka kelu tulang menikung gelombang lalu kau di antara lelaki bertualang ditumbuhi sayap sekali waktu tiba digaris tanganmu tumbuh bunga-bunga tentang lumut atau batu ketika dadamu tertahan riak rindu angin biaskan cahaya menyambar senja tapi tak ingin darah mengutukmu pergilah ke mihrab
mengejar takdir kembali ke tanah suci.
Nuansa luka, kegelisahan dan kepasrahan itu juga diperlihatkan Adi Mujabir, penyair kelahiran Desa Kota Galuh, Perbaungan, 18 Nopember 1961. Bedanya luka dan kegelisahan itu di tangan penyair yang sudah menghasilkan antologi sajak“Nyanyian Kakus”, “Sajak Ontang” dan “Puisi Aceh: Surat Buat Habiebie” serta tiga novel; “Merajut Angin”, “Ngah Lara” dan “Meludah Rembulan” ini tak berhenti pada kepasrahan total. Adi Mujabir masih mencoba “berontak” dan bahkan menghibur diri di tengah luka jiwanya. Dengan pengucapan khas dialek melayu, perlawanan dan penghiburan diri terhadap luka itu dipaparkan Adi Mujabir dalam sajak berikut ini;
Dodoy Lah Dodoy (Hiburan ayah pada anak) Sulong Sulong ayah beranjak langkah dari laut bukalah hati bile kembali ade kabar tentang selat ade amanah dari layar ada cande dari sampan Sulong Sulong ayah tiap detik pelan terkayuh mengejar pantai disapa pasir kilau menyilau tatap menatap Sulong nyenyak sekejap harumlah mawar tak terusik jantung emaktak terkoyak atap nipah Sulong mendung mengulong dari muare jangan hirup bau keringat dade ayah berkayuh laut biru sebentar hujan menerjang Sulong ayah suroh laut tertidur memeluk ikan-ikan berbantal lumut malam ini agar karang tak selalu garang.
Kegelisahan, luka dan kepasrahan juga diperlihatkan Teja Purnama. Namun berbeda dengan Adi Mujabir, di tangan penyair kelahiran Medan 19 Januari 1973 yang mengaku sudah menulis puisi dan cerpen sejak SMA dan sudah pula menghasilkan sejumlah antologi sajak seperti “Puisi-Puisi Koran Sabtu Pagi”, “Rentang”, “Dalam Kecamuk Hujan”,“Bumi”, “Jejak”, “Antologi Puisi Indonesia”, “Muara Tiga”, “Tengok 2” dan “Denting” ini, nuansa luka dan kegelisahan itu berhenti total pada kepasrahan. Bacalah sajaknya “Setelah Sholat” berikut ini;
Setelah Sholat kamu mengeluh lagi meragukan jarak bersama pernah kamu benar-benar meninggalkanKu tapi Kutau sesekali kau benar-benar menangis merinduKu pernah juga kamu begitu rajin menemuiKu seperti takut kehilangan waktu bahkan tak ragu, tak malu walau usai melupakanKu kini kamu tak tau lagi Kita makin dekat atau jauh.
Sebaliknya, di tangan Ys. Rat luka dan kegelisahan itu justru menjadi sangat sufistik maknanya. Terhadap luka itu, penyair kelahiran Medan, 8 Agustus 1962 ini rupanya tak mau pasrah begitu saja seperti Afrion atau Teja Purnama, sekalipun ia juga tak mencoba untuk berontak seperti Adi Mujabir. Ys. Rat justru “membaca luka” itu untuk menghayatinya. Penyair dengan prestasi yang cukup membanggakan ini, yang juga sudah menghasilkan sejumlah naskah Sandiwara seperti “Hus!”. “Ciluk…. Ba!”, “Bukan”, “Sampah”, “Bukan Mimpi”, “Jodoh” dan“Bum! Bam! Dum! Dam! Dor!”, bahkan mengajak pembaca untuk menjadikan luka sebagai suatu yang harus dihayati. Bacalah sajaknya berikut ini;
Membaca Penuh Penghayatan
Luka-Luka Kita Membaca matahari terbit dan terbenam seperti rombongan burung ketika pulang harus bersarang pada embun jadi terkulai di atas bebatuan mengering kalaupun menolak pengertian. Percuma waktu menggelepar sepanjang perjalanan ada yang melarang menghentikannya Membaca bulan purnama dan tertutup awan seperti lingkaran kucing ketika lapar harus bersekutu pada tikus tak bisa lain kecuali memangsa mimpi kalaupun mengharap belas kasihan. Sia-sia pagi berlumur liur tak berkesudahan ada yang menghadang di setiap perbatasan
Membaca bintang berkedip dan diam seperti barisan ikan ketika menari riang harus menyerah pada gelombang napas berakhir di jala tak bertuan kalaupun mengejar tepian. Tak guna pasir memanas mengurung peristirahatan ada yang menghalau setiap pemufakatan
Membaca matahari, bulan dan bintang adalah membaca penuh penghayatan luka-luka kita.
Sungguh, membaca sajak-sajak karya empat penyair Sumut ini, nyatalah sudah bahwa sekalipun keempatnya memendam luka yang sama, namun mereka punya cara pengucapan yang berbeda. Dan menurutku, itulah kekayaan sejati seorang penyair yang sebenarnya.
Duka Nestapa Sastra dan Budaya
Fuska Sani Evani
Suara Pembaruan, 29 Nov 2007
SPANDUK bertuliskan “Duka Nestapa Sastra Pustaka” terpasang begitu saja di salah satu sisi pagar Museum Radya Pustaka Solo yang saat ini tertutup untuk umum dan dikelilingi “police line” berwarna kuning. Polisi yang berjaga pun tidak tahu siapa yang memasangnya, yang jelas spanduk itu sudah ada sejak Sabtu (24/11).
Pemasangnya barangkali geram, sekaligus sedih akan hilangnya lima arca yakni arca Agastya (Siwa Maha Guru), Siwa Mahadewa, Mahakala dan dua arca Durga Mahesasuramardhini peninggalan sekitar abad IV-X masehi.
Sedangkan, arca Dhyani Budha, arca Sarasvati, dan arca Bodhisatva Avalokitesvara sudah hilang di tahun 2000. Selain arca, museum itu juga kehilangan nampan besar dari keramik, genta atau lampu gantung dari perunggu, dan tatakan buah terbuat dari kristal hadiah Napoleon Bonaparte untuk Paku Buwono IV.
Museum Radya Pustaka didirikan Patih Keraton Surakarta, Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV pada tanggal 28 Oktober 1890, semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakoe Boewono IX. Museum ini banyak menyimpan riwayat RTH Djojohadiningrat II. Isi museum adalah barang-barang dari Keraton Kasunanan Surakarta. Kini, museum hanya menyimpan koleksi yang sudah tidak asli lagi. Maka, pantaslah ketika misteri ini tersibak medio November lalu, fokus perhatian seluruh masyarakat tertuju pada museum yang terletak di Jalan Slamet Riyadi Solo itu.
Museum tertua di Indonesia itu memiliki koleksi sekitar 10.000, mulai dari naskah kuno hingga patung dan keramik serta benda-benda lain. Wajar saja jika warga yang merasa turut memiliki benda-benda itu turut “menjerit”. Para pakar museum dan ahli purbakala pun terbelalak. Kalangan pers menjadikan berita kehilangan itu sebagai berita utama.
Kondisi Museum Radya Pustaka memang memprihatinkan. Museum tersebut sebenarnya sudah tidak kuat menampung semua koleksi, sehingga puluhan arca ditempatkan di luar gedung. Ribuan naskah Nusantara yang disimpan di dalam lemari kaca ditempatkan di ruangan tanpa AC. Petugas hanya mengandalkan silica gel sebagai pencegah kelembaban udara. Menyedihkan ! Naskah-naskah itu sekarang tidak pernah lagi dirawat karena keterbatasan dana.
Koleksi
Koleksi museum yang banyak diminati pengunjung adalah koleksi bahan pustaka. Setiap bulan, rata-rata 500 pelajar, mahasiswa, dan peneliti dari dalam negeri dan asing memanfaatkan naskah kuno itu untuk berbagai kepentingan riset. Manuskrip koleksi museum hampir seluruhnya bertuliskan Jawa carik.
Namun sebagian berbahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Naskah-naskah itu umumnya berisi ungkapan falsafah, tuntunan hidup, kisah raja, sejarah, dan karya sastra. Sekitar 750 eksemplar naskah ditulis dengan huruf Jawa tulisan tangan, 1.750 eksemplar naskah berhuruf Jawa cetak (Jawa cap), dan sisanya buku-buku berbahasa asing dan berbahasa Indonesia.
Di antara naskah kuno itu, tersimpan asli tulisan tangan karya pujangga RM Ngabehi Ronggowarsito, termasuk Serat Kalatida. Serat Bauwarno karangan pujangga Padmosusastro, murid Ronggowarsito. terbitan tahun 1828 yang merupakan ensiklopedi Jawa yang memuat nama-nama raja di Jawa sejak pemerintahan Majapahit hingga Paku Buwono X. Naskah tersebut juga memuat cerita berbagai kebudayaan Jawa di masanya, seperti kisah adu kerbau dengan harimau pada masa raja-raja yang hidup di tahun 1800.
Sesuai dengan umurnya yang lebih dari 113 tahun, dinding dan atap museum mulai menjadi sarang laba-laba, berdebu dan lembab. Kepala Museum Radya Pustaka KRH Darmodipura yang kini meringkuk di tahanan Poltabes Solo pernah menjelaskan, sebagian naskah koleksi museum yang didirikan KRA Sosrodiningrat IV pada 28 Oktober 1890 itu telah didokumentasikan dalam bentuk film mikro, namun benda itu kini juga terancam rusak. Koleksi wayang kulit, topeng, gamelan, serta koleksi lainnya kini terancam akibat terbatasnya biaya perawatan benda-benda tersebut.
Kepala Museum
Selain itu, jumlah pegawai Radya Pustaka yang hanya tujuh orang tidak mampu merawat sekian banyak naskah sastra Nusantara, puluhan arca, serta berbagai benda peninggalan bersejarah lainnya. Kini, museum yang penuh dengan peta sejarah bangsa Indonesia itu ternoda oleh ulah pengelolanya sendiri. KRH Darmodipura yang dikenal dengan Mbah Hadi, harus menghadapi proses pengadilan. Pencurian dan pemalsuan benda-benda bernilai sejarah di tempat itu diduga telah mendapat restunya.
Bahkan tiga tahun lalu, Mbah Hadi sengaja memecat Andrea Amborowatiningsih (24) pegawai honorer di museum itu, yang saat ini masih menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Setelah keluar dari pekerjaannya, Ambar lantas menyatakan kecurigaannya itu pada Dr Djoko Dwiyanto, dosennya di UGM. Ambar menceritakan, suatu ketika dia mendapati piring keramik Tiongkok berwarna putih kembang biru tua yang seharusnya digantung di tembok museum, tetapi hilang pada tanggal 16 Agustus 2005. Ambar sempat mempertanyakan hal itu pada Mbah Hadi.
Menurut Mbah Hadi, piring itu tidak hilang, dan benar besoknya piring itu sudah ada di tembok. Namun, Ambar tidak bisa dibohongi. Piring itu berbeda dengan piring aslinya. Karena penasaran, dia lantas mencari tahu keaslian benda-benda lainnya. Akhirnya Ambar memastikan bahwa beberapa benda koleksi museum yang hilang diganti dengan benda serupa alias dipalsukan. Keingintahuan itu membuat Ambar dipecat pada akhir Mei 2006. Tetapi, melalui Djoko Dwiyanto, informasi kejadian di museum itu diteruskan ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah. Akhirnya kasus itu dilaporkan ke polisi.
KRH Darmodipuro beberapa kali sempat menyangkal pemalsuan tersebut. Namun dari tersangka lain, Heru Suryanto, Mbah Hadi akhirnya dijerat juga. Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Poltabes Solo Ajun Komisaris Syarif Rahman menjelaskan tersangka itu dijerat dengan Pasal 26 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya jo Pasal 363 KUHP soal pencurian dengan pemberatan.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/11/museum-radya-pustaka-duka-nestapa.html
Suara Pembaruan, 29 Nov 2007
SPANDUK bertuliskan “Duka Nestapa Sastra Pustaka” terpasang begitu saja di salah satu sisi pagar Museum Radya Pustaka Solo yang saat ini tertutup untuk umum dan dikelilingi “police line” berwarna kuning. Polisi yang berjaga pun tidak tahu siapa yang memasangnya, yang jelas spanduk itu sudah ada sejak Sabtu (24/11).
Pemasangnya barangkali geram, sekaligus sedih akan hilangnya lima arca yakni arca Agastya (Siwa Maha Guru), Siwa Mahadewa, Mahakala dan dua arca Durga Mahesasuramardhini peninggalan sekitar abad IV-X masehi.
Sedangkan, arca Dhyani Budha, arca Sarasvati, dan arca Bodhisatva Avalokitesvara sudah hilang di tahun 2000. Selain arca, museum itu juga kehilangan nampan besar dari keramik, genta atau lampu gantung dari perunggu, dan tatakan buah terbuat dari kristal hadiah Napoleon Bonaparte untuk Paku Buwono IV.
Museum Radya Pustaka didirikan Patih Keraton Surakarta, Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV pada tanggal 28 Oktober 1890, semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakoe Boewono IX. Museum ini banyak menyimpan riwayat RTH Djojohadiningrat II. Isi museum adalah barang-barang dari Keraton Kasunanan Surakarta. Kini, museum hanya menyimpan koleksi yang sudah tidak asli lagi. Maka, pantaslah ketika misteri ini tersibak medio November lalu, fokus perhatian seluruh masyarakat tertuju pada museum yang terletak di Jalan Slamet Riyadi Solo itu.
Museum tertua di Indonesia itu memiliki koleksi sekitar 10.000, mulai dari naskah kuno hingga patung dan keramik serta benda-benda lain. Wajar saja jika warga yang merasa turut memiliki benda-benda itu turut “menjerit”. Para pakar museum dan ahli purbakala pun terbelalak. Kalangan pers menjadikan berita kehilangan itu sebagai berita utama.
Kondisi Museum Radya Pustaka memang memprihatinkan. Museum tersebut sebenarnya sudah tidak kuat menampung semua koleksi, sehingga puluhan arca ditempatkan di luar gedung. Ribuan naskah Nusantara yang disimpan di dalam lemari kaca ditempatkan di ruangan tanpa AC. Petugas hanya mengandalkan silica gel sebagai pencegah kelembaban udara. Menyedihkan ! Naskah-naskah itu sekarang tidak pernah lagi dirawat karena keterbatasan dana.
Koleksi
Koleksi museum yang banyak diminati pengunjung adalah koleksi bahan pustaka. Setiap bulan, rata-rata 500 pelajar, mahasiswa, dan peneliti dari dalam negeri dan asing memanfaatkan naskah kuno itu untuk berbagai kepentingan riset. Manuskrip koleksi museum hampir seluruhnya bertuliskan Jawa carik.
Namun sebagian berbahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Naskah-naskah itu umumnya berisi ungkapan falsafah, tuntunan hidup, kisah raja, sejarah, dan karya sastra. Sekitar 750 eksemplar naskah ditulis dengan huruf Jawa tulisan tangan, 1.750 eksemplar naskah berhuruf Jawa cetak (Jawa cap), dan sisanya buku-buku berbahasa asing dan berbahasa Indonesia.
Di antara naskah kuno itu, tersimpan asli tulisan tangan karya pujangga RM Ngabehi Ronggowarsito, termasuk Serat Kalatida. Serat Bauwarno karangan pujangga Padmosusastro, murid Ronggowarsito. terbitan tahun 1828 yang merupakan ensiklopedi Jawa yang memuat nama-nama raja di Jawa sejak pemerintahan Majapahit hingga Paku Buwono X. Naskah tersebut juga memuat cerita berbagai kebudayaan Jawa di masanya, seperti kisah adu kerbau dengan harimau pada masa raja-raja yang hidup di tahun 1800.
Sesuai dengan umurnya yang lebih dari 113 tahun, dinding dan atap museum mulai menjadi sarang laba-laba, berdebu dan lembab. Kepala Museum Radya Pustaka KRH Darmodipura yang kini meringkuk di tahanan Poltabes Solo pernah menjelaskan, sebagian naskah koleksi museum yang didirikan KRA Sosrodiningrat IV pada 28 Oktober 1890 itu telah didokumentasikan dalam bentuk film mikro, namun benda itu kini juga terancam rusak. Koleksi wayang kulit, topeng, gamelan, serta koleksi lainnya kini terancam akibat terbatasnya biaya perawatan benda-benda tersebut.
Kepala Museum
Selain itu, jumlah pegawai Radya Pustaka yang hanya tujuh orang tidak mampu merawat sekian banyak naskah sastra Nusantara, puluhan arca, serta berbagai benda peninggalan bersejarah lainnya. Kini, museum yang penuh dengan peta sejarah bangsa Indonesia itu ternoda oleh ulah pengelolanya sendiri. KRH Darmodipura yang dikenal dengan Mbah Hadi, harus menghadapi proses pengadilan. Pencurian dan pemalsuan benda-benda bernilai sejarah di tempat itu diduga telah mendapat restunya.
Bahkan tiga tahun lalu, Mbah Hadi sengaja memecat Andrea Amborowatiningsih (24) pegawai honorer di museum itu, yang saat ini masih menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Setelah keluar dari pekerjaannya, Ambar lantas menyatakan kecurigaannya itu pada Dr Djoko Dwiyanto, dosennya di UGM. Ambar menceritakan, suatu ketika dia mendapati piring keramik Tiongkok berwarna putih kembang biru tua yang seharusnya digantung di tembok museum, tetapi hilang pada tanggal 16 Agustus 2005. Ambar sempat mempertanyakan hal itu pada Mbah Hadi.
Menurut Mbah Hadi, piring itu tidak hilang, dan benar besoknya piring itu sudah ada di tembok. Namun, Ambar tidak bisa dibohongi. Piring itu berbeda dengan piring aslinya. Karena penasaran, dia lantas mencari tahu keaslian benda-benda lainnya. Akhirnya Ambar memastikan bahwa beberapa benda koleksi museum yang hilang diganti dengan benda serupa alias dipalsukan. Keingintahuan itu membuat Ambar dipecat pada akhir Mei 2006. Tetapi, melalui Djoko Dwiyanto, informasi kejadian di museum itu diteruskan ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah. Akhirnya kasus itu dilaporkan ke polisi.
KRH Darmodipuro beberapa kali sempat menyangkal pemalsuan tersebut. Namun dari tersangka lain, Heru Suryanto, Mbah Hadi akhirnya dijerat juga. Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Poltabes Solo Ajun Komisaris Syarif Rahman menjelaskan tersangka itu dijerat dengan Pasal 26 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya jo Pasal 363 KUHP soal pencurian dengan pemberatan.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/11/museum-radya-pustaka-duka-nestapa.html
Kamis, 07 April 2011
Pedagogi: Humanisme Edukasi Sastra
M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/
Keberadaan karya sastra dibentuk oleh masyarakat yang melalui tangan seorang sastrawan (penulis) karya sastra itu dihadirkan yang sebenarnya untuk masyarakat itu sendiri. Sastrawan sebatas pada sarana dalam pemanifestasian gejala sehingga keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari unsur utama pembentuk karya yang dihasilkan. Pun, latar belakang serta kedudukan sosial mempengaruhi karya dalam proses penciptaan yang secara tidak langsung menyusupkan tendensi. Dalam lingkup yang lebih jauh lagi, pergolakan sosial politik suatu bangsa ikut memberikan warna. Ini yang menjadi dasar atas bahasa sebagai medium bagi manifestasi karya sastra yang tidak bersifat individual tetapi jauh lebih dari itu, bahasa memiliki sifat evolusi sosial.Selama lebih dari tiga puluh tahun generasi bangsa Indonesia – murid sekolah dan para mahasiswa – mempelajari Kesusastraan Indonesia yang notabene telah diakui oleh penguasa (baca: Orba) dan karya sastra itu dinilai memiliki khasanah kesusastraan yang tinggi.
Bagi saya, nilai tinggi kesusastraan tidak terletak pada kadar keindahan semata, (keindahan yang saya maksudkan adalah permainan bahasa) akantetapi lebih pada tujuan dalam menyampaikan suatu pesan. Sastra memiliki nilai tendensi dan manensasi, sebab penciptaan sebuah karya sastra merupakan hasil dari deretan intuisi, persepsi serta imajinasi yang memiliki ketergantungan pada struktur jiwa dan rohani sastrawan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh paradigma yang menyatakan bahwa penciptaan bangunan karya sastra terdiri dari kombinasi antara tesa dan antitesa.
Tesa sebagai kenyataan yang tengah dihadapi sastrawan yang terdapat dalam karya yang dihasilkan. Selanjutnya, yang disebut dengan antitesa yaitu sikap subjektive sastrawan dan sekaligus intersubjektive. Dari perhelatan tesa dan antitesa tersebut akan menghasilkan sintesa yang merupakan dialog perlawanan diantara keduanya. Sintesa memiliki sifat akan idealisme, imajinatif serta kekreatifan yang dibentuk dan dipengaruhi oleh cita-cita sastrawan.
Tendensi dan manensasi yang terkandung dalam karya sastra dapat dilakukan sebagai media pendidikan kepada masyarakat pembaca, sebab sastra memiliki sifat pedogogis yang bersifat humanis. Di dalam strukturnya memang memungkinkan adanya nilai hegemoni akantetapi, sepenuhnya dari proses pemaknaan diserahkan kepada pembaca dalam melakukan interpretasi teks sastra. Melalui karya yang dihasilkan dari tangan sastrawan ini, sastrawan dapat berperan sebagai guru di tengah masyarakatnya.
Akantetapi, maksud dan tendensi sastra yang sarat dengan faktor latarbelakang sastrawan mempengaruhi nilai pendidikan yang ada di dalamnya. Misalnya saja, apabila seorang sastrawan memiliki kencenderungan politik tertentu maka nilai dari pendidikan yang temaktub akan mengarahkan publik pembaca ke arah yang sama dengan muatan politis sastrawan. Seperti karya yang dihasilkan seniman Lekra, tendensi yang diemban adalah untuk memberikan rakyat pendidikan mengenai politik Marxisme-Leninisme yang bergerak dengan filsafat MDH-nya.
Tendensi dalam karya sastrawan Marxis memiliki sifat normatif dengan peninjauan masalah secara epistemologi, yang memuat pesan realisme sosialis. Ini menjadikan sastra untuk berdiri sebagai pembela kepentingan rakyat banyak untuk menuju kepada revolusi. Seperti karya sastra lainnya, meski mengandung tendensi politik, sastra mengemban sifat pedagogisnya tidak secara eksplisit, namun melakukan penggambaran secara historis atas konflik sosial yang digambarkan.
Sastra dalam pandangan para kritikus Marxis lebih ditafsirkan sebagai penggambaran mengenai determinisme ekonomi, kriteria probabilitas kebenaran pada keadaan masyarakat di zamannya. Kritikus Marxis juga akan mengkaji mengenai hubungan masyarakat yang saling berkaitan sebagai makhluk sosial, yaitu sususnan masyarakat dalam bidang ekonomi, masyarakat dalam tatanan struktur bawah (rakyat jelata), yang harus menentukan kehidupan sosial politik, intelektual serta kehidupan kultural struktur bangunan atas.
Hal tersebut dapat dipandang dari sudut pandang yang menyatakan bahwa, sastra tidak lahir di dalam kondisi yang terkekang, yaitu secara ide dan pemikiran. Karya sastra lahir berdasarkan suatu mekanisme yang dialektis dengan kondisi sosio-kultural sastrawan. Sastra dituntut untuk mampu menggambarkan pandangan dunia kehidupan, karena dalam sastra termanifestasikan ide, pemikiran, pesan dan tujuan, tema dan amanat sekaligus seluruh deferensi kultural yang ada di dalam kehidupan realitas masyarakat.
Tendensi yang diemban karya sastra, secara keseluruhan memiliki nilai humanis yang memberikan kebebasan pada pembaca dalam mengambil pesan yang ada di dalamnya. Nilai pedagogis yang diemban sastra lebih mengarah pada pendidikan moral, seperti yang termuat di dalam cerpen “Surabaya” karya Idrus: “… jika yang kuat tidak berjalan di atas keadilan, bagaimana pun juga kuatnya, ia akan diberi Tuhan kekalahan dan malapetaka.” (Surabaya, Idrus, Gema tanah Air 2, hlm. 44).
Pernyataan Idrus ini dapat dipandang sebagai gelora semangat yang dikelola sedemikian rupa untuk menciptakan generasi yang berani membela keadilan dan kebenaran. Untuk melawan kejahatan yang disimbolkan melalui pasukan Sekutu yang mendarat di Surabaya, Idrus menyatakan pada kita semua untuk berani karena Tuhan bersama orang yang benar, dan Tuhan membenci orang yang salah. Akantetapi, Idrus pun menjadi orang yang realistis, bahwa melawan kejahatan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Seperti kita lihat dalam: “… tapi jenderal-jenderal abad dua puluh berpendapat lain: mereka lebih percaya kepada meriam-meriamnya dari pada dogma-dogma khayal itu” (Surabaya, Idrus, Gema Tanah Air 2, hml. 44).
Tendensi di dalam karya sastra dapat digunakan untuk membangun paradigma berpikir masyarakat. Nilai humanistik untuk menyerahkan kebenaran hanya pada pembaca tersebut, Idrus menuangkan dalam dua pandangan berbeda. Yaitu mengenai mereka yang percaya pada keyakinan agama atau percaya pada kualitas teknologi manusia. Ini sisi humanisme sastra, tidak melakukan penghakiman atas benar atau salah, akantetapi memberikan pendidikan dengan cara memberikan gambaran mengenai sesuatu yang nyata di antara berbagai pilihan kemudian menggambarkan keadaan idealisnya kehidupan.
Tendensi yang digunakan untuk membangun paradigma berpikir masyarakat, atau untuk mempengaruhi, serta menggerakkan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki sastrawan. Tendensi tidak melulu pesan moral atau politik, akantetapi segala nilai kehidupan yang dapat menjadikan sastra sebagai sarana pedagogis dengan memberikan informasi atau sekedar suatu pemikiran yang dianggap benar oleh sastrawan.
Unsur dasar dari karya sastra adalah hubungan perkembangan sejarah dengan kondisi realis di dalam kehidupan manusia. Karya sastra tidak dapat sepenuhnya dipisahkan dari kehidupan realitas, sehingga pengkajian karya sastra hendaknya dijalankan secara holistik. Hubungan karya sastra dengan masyarakat, atau dengan kata lain, antara idealisme dan materialisme adalah satu hubungan yang saling terkait dan hubungan yang interaktif. Melihat hubungan dengan cara seperti ini memungkinkan adanya kesengajaan sastrawan untuk memasukkan kepentingan individual dan komunal di dalam karya yang dihasilkan. Meskipun demikian, karya sastra tetap sebagai media yang bersifat pedagogis dan humanis. Tidak ada yang lebih humanis ketimbang agama dan sastra.
Studio SDS Fictionbooks, Jumat Pahing 25 Maret 2010
http://sastra-indonesia.com/
Keberadaan karya sastra dibentuk oleh masyarakat yang melalui tangan seorang sastrawan (penulis) karya sastra itu dihadirkan yang sebenarnya untuk masyarakat itu sendiri. Sastrawan sebatas pada sarana dalam pemanifestasian gejala sehingga keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari unsur utama pembentuk karya yang dihasilkan. Pun, latar belakang serta kedudukan sosial mempengaruhi karya dalam proses penciptaan yang secara tidak langsung menyusupkan tendensi. Dalam lingkup yang lebih jauh lagi, pergolakan sosial politik suatu bangsa ikut memberikan warna. Ini yang menjadi dasar atas bahasa sebagai medium bagi manifestasi karya sastra yang tidak bersifat individual tetapi jauh lebih dari itu, bahasa memiliki sifat evolusi sosial.Selama lebih dari tiga puluh tahun generasi bangsa Indonesia – murid sekolah dan para mahasiswa – mempelajari Kesusastraan Indonesia yang notabene telah diakui oleh penguasa (baca: Orba) dan karya sastra itu dinilai memiliki khasanah kesusastraan yang tinggi.
Bagi saya, nilai tinggi kesusastraan tidak terletak pada kadar keindahan semata, (keindahan yang saya maksudkan adalah permainan bahasa) akantetapi lebih pada tujuan dalam menyampaikan suatu pesan. Sastra memiliki nilai tendensi dan manensasi, sebab penciptaan sebuah karya sastra merupakan hasil dari deretan intuisi, persepsi serta imajinasi yang memiliki ketergantungan pada struktur jiwa dan rohani sastrawan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh paradigma yang menyatakan bahwa penciptaan bangunan karya sastra terdiri dari kombinasi antara tesa dan antitesa.
Tesa sebagai kenyataan yang tengah dihadapi sastrawan yang terdapat dalam karya yang dihasilkan. Selanjutnya, yang disebut dengan antitesa yaitu sikap subjektive sastrawan dan sekaligus intersubjektive. Dari perhelatan tesa dan antitesa tersebut akan menghasilkan sintesa yang merupakan dialog perlawanan diantara keduanya. Sintesa memiliki sifat akan idealisme, imajinatif serta kekreatifan yang dibentuk dan dipengaruhi oleh cita-cita sastrawan.
Tendensi dan manensasi yang terkandung dalam karya sastra dapat dilakukan sebagai media pendidikan kepada masyarakat pembaca, sebab sastra memiliki sifat pedogogis yang bersifat humanis. Di dalam strukturnya memang memungkinkan adanya nilai hegemoni akantetapi, sepenuhnya dari proses pemaknaan diserahkan kepada pembaca dalam melakukan interpretasi teks sastra. Melalui karya yang dihasilkan dari tangan sastrawan ini, sastrawan dapat berperan sebagai guru di tengah masyarakatnya.
Akantetapi, maksud dan tendensi sastra yang sarat dengan faktor latarbelakang sastrawan mempengaruhi nilai pendidikan yang ada di dalamnya. Misalnya saja, apabila seorang sastrawan memiliki kencenderungan politik tertentu maka nilai dari pendidikan yang temaktub akan mengarahkan publik pembaca ke arah yang sama dengan muatan politis sastrawan. Seperti karya yang dihasilkan seniman Lekra, tendensi yang diemban adalah untuk memberikan rakyat pendidikan mengenai politik Marxisme-Leninisme yang bergerak dengan filsafat MDH-nya.
Tendensi dalam karya sastrawan Marxis memiliki sifat normatif dengan peninjauan masalah secara epistemologi, yang memuat pesan realisme sosialis. Ini menjadikan sastra untuk berdiri sebagai pembela kepentingan rakyat banyak untuk menuju kepada revolusi. Seperti karya sastra lainnya, meski mengandung tendensi politik, sastra mengemban sifat pedagogisnya tidak secara eksplisit, namun melakukan penggambaran secara historis atas konflik sosial yang digambarkan.
Sastra dalam pandangan para kritikus Marxis lebih ditafsirkan sebagai penggambaran mengenai determinisme ekonomi, kriteria probabilitas kebenaran pada keadaan masyarakat di zamannya. Kritikus Marxis juga akan mengkaji mengenai hubungan masyarakat yang saling berkaitan sebagai makhluk sosial, yaitu sususnan masyarakat dalam bidang ekonomi, masyarakat dalam tatanan struktur bawah (rakyat jelata), yang harus menentukan kehidupan sosial politik, intelektual serta kehidupan kultural struktur bangunan atas.
Hal tersebut dapat dipandang dari sudut pandang yang menyatakan bahwa, sastra tidak lahir di dalam kondisi yang terkekang, yaitu secara ide dan pemikiran. Karya sastra lahir berdasarkan suatu mekanisme yang dialektis dengan kondisi sosio-kultural sastrawan. Sastra dituntut untuk mampu menggambarkan pandangan dunia kehidupan, karena dalam sastra termanifestasikan ide, pemikiran, pesan dan tujuan, tema dan amanat sekaligus seluruh deferensi kultural yang ada di dalam kehidupan realitas masyarakat.
Tendensi yang diemban karya sastra, secara keseluruhan memiliki nilai humanis yang memberikan kebebasan pada pembaca dalam mengambil pesan yang ada di dalamnya. Nilai pedagogis yang diemban sastra lebih mengarah pada pendidikan moral, seperti yang termuat di dalam cerpen “Surabaya” karya Idrus: “… jika yang kuat tidak berjalan di atas keadilan, bagaimana pun juga kuatnya, ia akan diberi Tuhan kekalahan dan malapetaka.” (Surabaya, Idrus, Gema tanah Air 2, hlm. 44).
Pernyataan Idrus ini dapat dipandang sebagai gelora semangat yang dikelola sedemikian rupa untuk menciptakan generasi yang berani membela keadilan dan kebenaran. Untuk melawan kejahatan yang disimbolkan melalui pasukan Sekutu yang mendarat di Surabaya, Idrus menyatakan pada kita semua untuk berani karena Tuhan bersama orang yang benar, dan Tuhan membenci orang yang salah. Akantetapi, Idrus pun menjadi orang yang realistis, bahwa melawan kejahatan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Seperti kita lihat dalam: “… tapi jenderal-jenderal abad dua puluh berpendapat lain: mereka lebih percaya kepada meriam-meriamnya dari pada dogma-dogma khayal itu” (Surabaya, Idrus, Gema Tanah Air 2, hml. 44).
Tendensi di dalam karya sastra dapat digunakan untuk membangun paradigma berpikir masyarakat. Nilai humanistik untuk menyerahkan kebenaran hanya pada pembaca tersebut, Idrus menuangkan dalam dua pandangan berbeda. Yaitu mengenai mereka yang percaya pada keyakinan agama atau percaya pada kualitas teknologi manusia. Ini sisi humanisme sastra, tidak melakukan penghakiman atas benar atau salah, akantetapi memberikan pendidikan dengan cara memberikan gambaran mengenai sesuatu yang nyata di antara berbagai pilihan kemudian menggambarkan keadaan idealisnya kehidupan.
Tendensi yang digunakan untuk membangun paradigma berpikir masyarakat, atau untuk mempengaruhi, serta menggerakkan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki sastrawan. Tendensi tidak melulu pesan moral atau politik, akantetapi segala nilai kehidupan yang dapat menjadikan sastra sebagai sarana pedagogis dengan memberikan informasi atau sekedar suatu pemikiran yang dianggap benar oleh sastrawan.
Unsur dasar dari karya sastra adalah hubungan perkembangan sejarah dengan kondisi realis di dalam kehidupan manusia. Karya sastra tidak dapat sepenuhnya dipisahkan dari kehidupan realitas, sehingga pengkajian karya sastra hendaknya dijalankan secara holistik. Hubungan karya sastra dengan masyarakat, atau dengan kata lain, antara idealisme dan materialisme adalah satu hubungan yang saling terkait dan hubungan yang interaktif. Melihat hubungan dengan cara seperti ini memungkinkan adanya kesengajaan sastrawan untuk memasukkan kepentingan individual dan komunal di dalam karya yang dihasilkan. Meskipun demikian, karya sastra tetap sebagai media yang bersifat pedagogis dan humanis. Tidak ada yang lebih humanis ketimbang agama dan sastra.
Studio SDS Fictionbooks, Jumat Pahing 25 Maret 2010
Apa Benar Taufiq Ismail Melanggar Licentia Poetica?
(Sejumlah Temuan dalam Telisik Literasi atas Polemik Plagiarisme Karya Malloch)
Ilham Q. Moehiddin
http://sastra-indonesia.com/
POLEMIK perihal dugaan plagiarisme yang dilakukan Taufik Ismail seketika merunyak akhir-akhir ini. Polemik ini seketika menjadi ‘hebat’ sebab ikut menyeret nama penyair besar sekelas Taufiq Ismail, yang oleh Paus Sastra Indonesia, HB. Jassin, dikelompokkan ke dalam penyair angkatan ’66.
Pada mulanya, seorang cerpenis wanita, Wa Ode Wulan Ratna, memposting sebuah karya Douglas Malloch dalam catatan di akun Facebook-nya. Karya Malloch yang sejatinya berjudul ‘Be The Best of Whatever You Are’ itu terposting berupa terjemahan berjudul ‘Akar-akar Pohon’.
Tak sengaja saya membaca puisi itu, dan merasa dejavu. Serasa saya pernah membaca atau mendengar puisi macam itu, entah dimana. Lalu saya teringat pada programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan stasiun TransTV yang ditayangkan sebelum berbuka puasa pada Ramadhan 2010. Pada tayangan itu, aktris Asri Ivo membacakan puisi ‘Kerendahan Hati’. Caption pada tayangan itu juga menampilkan nama Taufik Ismail sebagai pencipta puisi tersebut.
Tanpa memuat prasangka apalagi tuduhan, sayapun ikut mem-posting dua entitas puisi itu ke akun Facebook saya, pada 25 Februari 2011, sekadar mengajak beberapa sastrais dan budayawan untuk berdiskusi perihal itu. Benar saja, postingan itu memancing diskusi dan debat. Semenjak itulah, ‘dugaan samar’ ini menyebar kemana-mana. Diskusi dan polemik seputar ini seketika menyeberang ke Twitter, dan menjadi ramai di sana.
Telisik Literasi pada Kedua Puisi
Menurut pendapat saya, akar polemik ini sungguh patut dipertanyakan. Jika benar seperti apa yang dituduhkan orang kebanyakan pada Taufik Ismail, maka upaya itu tidak bisa sekadar disebut meringkas, menyadur, ataupun mentranskrip. Jika diperhatikan secara saksama, apa yang tertulis sebagai puisi Douglas Malloch yang kemudian dituliskan sebagai milik Taufik Ismail, tak memenuhi ketiga unsur di atas.
Jika dikatakan meringkas, maka perilaku meringkas sangat sukar dikenakan pada entitas puisi, sebab akan otomatis melanggar licentia poetica. Apa benar penyair besar Taufiq Ismail dengan sengaja melanggar licentia poetica? Saya tak sepenuhnya yakin dia melakukan itu. Kemudian, jika dikatakan menyadur, maka Taufik Ismail tak tampak sedang menyadur puisi Douglas Malloch.
Menyadur adalah menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis besar cerita, biasanya dari bahasa lain. Menyadur juga diartikan sebagai mengolah (hasil penelitian, laporan, dsb.) atau mengikhtisarkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002: 976). Dengan demikian, menyadur mengandung konsep menerjemahkan secara bebas dengan meringkas, menyederhanakan, atau mengembangkan tulisan tanpa mengubah pokok pikiran asal. Hal penting yang harus kita ketahui ialah bahwa dalam menyadur sebuah tulisan, ternyata kita diperkenankan untuk memperbaiki bentuk maupun bahasa karangan orang lain, misalnya dalam kasus karangan terjemahan.
Sayangnya, penyaduran tidak bisa serta-merta diberlakukan pada puisi, sebab ada aspek bahasa, bunyi dan makna, yang belum tentu dapat diinterpretasikan secara tepat oleh penyadur. Jika penyaduran dilakukan pada cerpen, dan novel berbahasa asing, maka proses yang dijelaskan pada KBBI sudah tepat. Suatu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam menyadur adalah dengan meminta izin, mencantumkan sumber tulisan berikut nama penulisnya.
Cobalah simak puisi Be The Best of Whatever You Are, karya Douglas Malloch ini.
If you can’t be a pine o the sop of the hill,
Be a scrub in the valley – but be
The little scrub by the side of the hill; (1)
Be a bush if you can’t be a tree
If you can’t be a bush be a bit of the grass
And some highway happier make (2)
If you can’t be a muskie then just be a bass
But the leveliest bass in the lake
We can’t all be captains, we’ve got to be crew (3)
There’s something for all of us here
There’s big work to do, and there’s lesser to do
And the task you must do is the near
If you can’t be a highway the just be a trail (4)
If you can’t be the sun, be a star
It isn’t by size you win or you fail
Be the best of whatever you are (5)
Puisi Douglas Malloch ini adalah puisi berjenis kuatrain dan berada di jalur tengah aliran kepenyairan. Douglas Malloch, dalam puisinya ini, jelas sekali hendak mendudukkan pokok pikirannya sebagai masonic yang berkaitan dengan kehidupannya sebagai penebang kayu, secara terurut, tanpa putus. Artinya, jika hanya hendak menekankan pada kebaikan setiap orang untuk ‘menjadi yang terbaik dengan cukup menjadi dirinya sendiri’, maka Douglas Malloch tak perlu menuliskannya hingga empat bait. Pesannya bisa langsung sampai hanya dalam dua atau tiga bait saja. Inilah mengapa proses penyaduran tidak bisa dilakukan pada puisi.
Sekarang, simaklah puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail berikut.
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya…
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri
Pada terminologi penyaduran, bentuk reposisi dan pengembangan masih diperbolehkan. Tetapi jika diperhatikan lebih saksama (terutama pada larik-larik yang dimiringkan) tampak sekali beberapa larik sengaja dihilangkan, dan, atau menggantinya dengan larik berbeda.
Ada dua larik pada puisi Douglas Malloch yang hilang, yakni; If you can’t be a muskie then just be a bass/ But the leveliest bass in the lake//
Lalu, berganti dengan larik berbeda pada puisi Taufik Ismail, yakni; Tetapi jalan setapak yang/ membawa orang ke mata air//
Apakah penghilangan dan penggantian ini disengaja? Jika melihat terjemahan dua larik puisi Douglas Malloch, dan membaca dua larik baru pada puisi Taufik Ismail, maka jelas sekali bahwa penggantian tersebut disengaja. Pengubahan, atau penggantian ini dari sisi licentia poetica seharusnya tidak boleh terjadi, sebab telah mengubah makna dan bunyi puisi Douglas Malloch. Inikah yang disebut penyaduran?
Pertanyaan ini dijawab dengan tuntas oleh Gorys Keraf. “Sebuah bentuk ringkasan dari sebuah tulisan hendaknya tetap menekankan sisi konsistensi akan sebuah urut-urutan sesuai dengan ide atau gagasan pengarang. Begitu halnya saat kita menyadur, hal tersebut juga berlaku—tetap mempertahankan ide dari naskah asli.” Tegas Keraf dalam buku Komposisi (1984:262, Flores. Penerbit Nusa Indah).
Yang Luput dari Taufik Ismail.
Menarik disimak, adalah dua larik yang tadi telah dibahas di atas, yang entah mengapa luput oleh Taufik Ismail dimasukkan ke dalam puisinya. Dua larik itu adalah; If you can’t be a muskie then just be a bass/ But the leveliest bass in the lake//
Sebagai satu kesatuan dari bunyi dan makna yang dikatakan Keraf, maka dua larik yang luput itu seharusnya tetap ada untuk mengikat dua larik sebelumnya; If you can’t be a bush be a bit of the grass/ And some highway happier make//
Lemah dugaan saya, bahwa Taufik Ismail tidak mengetahui persis makna kata muskie dan bass dalam dua larik puisi Douglas Malloch itu.
Dua kata dalam larik puisi Douglas Malloch itu memang tidak ditemukan dalam dalam kamus besar Bahasa Inggris (The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Drs. Peter Salim, M.A.). Rasa penasaran pada kata lake (danau), yang membawa saya pada dua jenis ikan yang berhabitat di danau primer dan sepanjang sungai besar di Amerika Serikat.
Musky adalah sejenis ikan besar, yang masih satu genus dengan Arwana dari Amazon. Muskie adalah nama dalam bahasa pasar masyarakat setempat, untuk ikan Musky, yang hidup di danau-danau di Minnesota. Sedang Bass adalah nama setempat untuk ikan smallmouth (salmon). Ikan dengan ukuran tubuhnya jauh lebih kecil dari ikan Muskie. Habitatnya di sungai-sungai primer di Amerika Utara. Itulah mengapa kata Muskie dan Bass tidak terdapat di dalam kamus.
Sehingga untuk mengisi kekosongan dua larik yang terlanjur menggantung pada satu bait tersebut, Taufik Ismail kemudian menggantinya dengan; Tetapi jalan setapak yang/ membawa orang ke mata air//
Jika merujuk pada Keraf, maka penggantian ini jelas sekali telah mengubah secara drastis ide dan gagasan pengarang. Artinya, paham atau tidaknya Taufik Ismail pada dua kata tersebut, tidak dapat dijadikannya alasan untuk mengganti dua larik pada puisi Douglas Malloch dengan dua larik baru. Maka, terang saja, Taufik Ismail tidak saja gagal menyembunyikan fakta, bahwa dirinya tidak sekadar terinspirasi keindahan makna puisi Douglas Malloch, sehingga tanpa sadar atau tidak terperangkap dalam bentuk plagiarisme.
Lalu, apakah ada kemungkinan penyair sekaliber Taufiq Ismail akan melakukan hal ini? Wallahu’alam.
Bantahan dan Sejumlah Bukti
Keterangan Redaktur Majalah Sastra, Horison, Fadli Zon, yang juga kemenakan Taufiq Ismail, dalam bantahan yang termuat pada PedomanNews.com, bahwa, Taufiq Ismail mengatakan padanya merasa pernah membahas puisi itu atau menerjemahkan puisi itu dalam kegiatan SBSB atau MMAS di sekolah-sekolah, ikut membuktikan bahwa pernah ada terjadi persentuhan antara Taufiq Ismail dengan puisi Douglas Malloch.
Pada buku Terampil Berbahasa Indonesia Untuk SMP/MTs Kelas VIII, yang disusun oleh Dewaki Kramadibrata, Dewi Indrawati, dan Didik Durianto yang diterbitkan Pusat Perbukuan, Diknas RI. Pada Pelajaran 11, bagian C: Menulis Puisi Bebas dengan Memperhatikan Unsur Persajakan; halaman 198, dengan jelas dapat ditemukan puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail.
Tidak ada keterangan sumber di bawah puisi Taufik Ismail pada halaman tersebut. Rupanya para penyusun memasang puisi itu dan meninggalkan sumbernya pada daftar pustaka. Artinya, keterangan soal latar belakang dan darimana sumber yang digunakan hanya tim penyusun yang bisa menjawabnya.
Apakah peneraan puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail itu sepengetahuan Taufiq Ismail? Ini dengan terang sudah dijawab sendiri oleh Taufiq Ismail yang disampaikan oleh Fadli Zon, bahwa Taufiq Ismail memang terlibat dalam kegiatan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) atau MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra) di sekolah-sekolah.
Masih menurut Fadli, puisi Kerendahan Hati yang beredar, nama pengarangnya ditulis sebagai Taufik Ismail. Padahal, nama penyair itu memakai “q” pada nama Taufiq-nya, bukan “k“. Jadi bisa jadi apa yang digunjingkan itu salah orang. Demikian pembelaan Fadli, yang dikutip Tempo Interaktif, Jumat 1 April 2011.
Kendati adalah penting menuliskan nama seseorang secara benar dalam sebuah literasi (khususnya pada pemberitaan), namun agaknya Fadli Zon tidak memeriksa dengan teliti sebelum melontarkan bantahannya. Keliru serupa ini kerap terjadi pada tera nama Goenawan Mohamad yang sering dituliskan orang dengan Gunawan Muhammad. Kendati dituliskan keliru, ingatan kolektif orang tetap merujuk pada satu sosok. Apalagi, baik Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail adalah dua nama besar penyair, sastrawan dan budayawan Indonesia.
Pada puisi Kerendahan Hati yang termuat dalam buku Diknas di atas, nama penyair itu dieja dengan huruf akhir ‘k’. Pun pada beberapa terbitan Horison Sastra Indonesia sendiri, kerap dituliskan “Ismail, Taufik, dkk (penyunting). 2011. Horison Sastra Indonesia. Jakarta: The Ford Foundation”, sebagai salah satu contohnya.
Kemudian pengejaan ‘Taufik Ismail’ juga ditemukan pada kata sambutan dalam buku The Lady Di conspiracy : Misteri Dibalik Tragedi Pont de L’Alma, karya Indra Adil, terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007.
Artinya, dalil Fadli Zon perihal huruf akhir pada nama penyair itu seketika patah. Sebab, apabila karakter penulisan nama tersebut dianggap penting, tentulah hal ini telah diperhatikan benar sejak lama. Tidak setelah polemik ini mengemuka.
Pada berita yang sama, Fadli Zon juga mengungkapkan tak dia temukan puisi Kerendahan Hati dalam empat buku karya-karya Taufiq Ismail. Salah satunya kumpulan puisi tahun 1953-2008 berjudul Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit, (Mei, 2008) setebal 1076 halaman. “Di buku itu saya tidak menemukan puisi berjudul ‘Kerendahan Hati’,” katanya. Menurut Fadli, Taufiq Ismail juga menerjemahkan puisi 160 penyair Amerika yang dikumpulkan dalam buku “Rerumputan Dedaunan” dan hingga saat ini belum diterbitkan. Dalam terjemahan tersebut tak ada puisi Douglas Malloch.
Keterangan Fadli ini bisa saja dipercaya, namun sebenarnya tidak berkorelasi langsung dengan isu yang sudah terpolemik. Buku kumpulan puisi MBML itu terbit pada 2008, sementara itu buku Terampil Berbahasa Indonesia itu terbit pada tahun yang sama. Sedang pada 2009, puisi itu masih sempat dibacakan pada programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan 2010 di TransTV. Program MMAS dan SBSB yang dimana Taufiq Ismail dan Majalah Horison terlibat langsung sudah dilaksanakan sejak tahun 1998 hingga 2008. Bahkan beberapa puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail sudah terposting di beberapa blog sejak 2006.
Sejumlah sinyalemen ini secara tidak langsung membentuk premis terhadap kehadiran karya tersebut dalam kurun waktu 1998 hingga 2008.
Dari telisik literasi ini, kini, siapapun boleh menarik kesimpulan masing-masing, perihal polemik pada entitas puisi karya Douglas Mulloch itu. Telisik literasi ini tidak hendak mencuatkan sebuah masalah yang selama ini kerap merisaukan kalangan sastrawan; plagiarisme
Telisik literasi inipun tidak dalam posisi menuduh siapapun telah melakukan plagiat. Bahwa sebagai telisik literasi, ada baiknya ini dijadikan pembelajaran pada masa selanjutnya, bahwa penghargaan atas sebuah karya sastra/literasi sebaiknya memang diberikan pada sosok pengkaryanya. Demikian. ***
Sumber: http://www.facebook.com/notes/ilham-q-moehiddin/sejumlah-temuan-dalam-telisik-literasi-atas-polemik-plagiarisme-karya-malloch/10150202690620757?ref=notif¬if_t=like
Ilham Q. Moehiddin
http://sastra-indonesia.com/
POLEMIK perihal dugaan plagiarisme yang dilakukan Taufik Ismail seketika merunyak akhir-akhir ini. Polemik ini seketika menjadi ‘hebat’ sebab ikut menyeret nama penyair besar sekelas Taufiq Ismail, yang oleh Paus Sastra Indonesia, HB. Jassin, dikelompokkan ke dalam penyair angkatan ’66.
Pada mulanya, seorang cerpenis wanita, Wa Ode Wulan Ratna, memposting sebuah karya Douglas Malloch dalam catatan di akun Facebook-nya. Karya Malloch yang sejatinya berjudul ‘Be The Best of Whatever You Are’ itu terposting berupa terjemahan berjudul ‘Akar-akar Pohon’.
Tak sengaja saya membaca puisi itu, dan merasa dejavu. Serasa saya pernah membaca atau mendengar puisi macam itu, entah dimana. Lalu saya teringat pada programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan stasiun TransTV yang ditayangkan sebelum berbuka puasa pada Ramadhan 2010. Pada tayangan itu, aktris Asri Ivo membacakan puisi ‘Kerendahan Hati’. Caption pada tayangan itu juga menampilkan nama Taufik Ismail sebagai pencipta puisi tersebut.
Tanpa memuat prasangka apalagi tuduhan, sayapun ikut mem-posting dua entitas puisi itu ke akun Facebook saya, pada 25 Februari 2011, sekadar mengajak beberapa sastrais dan budayawan untuk berdiskusi perihal itu. Benar saja, postingan itu memancing diskusi dan debat. Semenjak itulah, ‘dugaan samar’ ini menyebar kemana-mana. Diskusi dan polemik seputar ini seketika menyeberang ke Twitter, dan menjadi ramai di sana.
Telisik Literasi pada Kedua Puisi
Menurut pendapat saya, akar polemik ini sungguh patut dipertanyakan. Jika benar seperti apa yang dituduhkan orang kebanyakan pada Taufik Ismail, maka upaya itu tidak bisa sekadar disebut meringkas, menyadur, ataupun mentranskrip. Jika diperhatikan secara saksama, apa yang tertulis sebagai puisi Douglas Malloch yang kemudian dituliskan sebagai milik Taufik Ismail, tak memenuhi ketiga unsur di atas.
Jika dikatakan meringkas, maka perilaku meringkas sangat sukar dikenakan pada entitas puisi, sebab akan otomatis melanggar licentia poetica. Apa benar penyair besar Taufiq Ismail dengan sengaja melanggar licentia poetica? Saya tak sepenuhnya yakin dia melakukan itu. Kemudian, jika dikatakan menyadur, maka Taufik Ismail tak tampak sedang menyadur puisi Douglas Malloch.
Menyadur adalah menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis besar cerita, biasanya dari bahasa lain. Menyadur juga diartikan sebagai mengolah (hasil penelitian, laporan, dsb.) atau mengikhtisarkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002: 976). Dengan demikian, menyadur mengandung konsep menerjemahkan secara bebas dengan meringkas, menyederhanakan, atau mengembangkan tulisan tanpa mengubah pokok pikiran asal. Hal penting yang harus kita ketahui ialah bahwa dalam menyadur sebuah tulisan, ternyata kita diperkenankan untuk memperbaiki bentuk maupun bahasa karangan orang lain, misalnya dalam kasus karangan terjemahan.
Sayangnya, penyaduran tidak bisa serta-merta diberlakukan pada puisi, sebab ada aspek bahasa, bunyi dan makna, yang belum tentu dapat diinterpretasikan secara tepat oleh penyadur. Jika penyaduran dilakukan pada cerpen, dan novel berbahasa asing, maka proses yang dijelaskan pada KBBI sudah tepat. Suatu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam menyadur adalah dengan meminta izin, mencantumkan sumber tulisan berikut nama penulisnya.
Cobalah simak puisi Be The Best of Whatever You Are, karya Douglas Malloch ini.
If you can’t be a pine o the sop of the hill,
Be a scrub in the valley – but be
The little scrub by the side of the hill; (1)
Be a bush if you can’t be a tree
If you can’t be a bush be a bit of the grass
And some highway happier make (2)
If you can’t be a muskie then just be a bass
But the leveliest bass in the lake
We can’t all be captains, we’ve got to be crew (3)
There’s something for all of us here
There’s big work to do, and there’s lesser to do
And the task you must do is the near
If you can’t be a highway the just be a trail (4)
If you can’t be the sun, be a star
It isn’t by size you win or you fail
Be the best of whatever you are (5)
Puisi Douglas Malloch ini adalah puisi berjenis kuatrain dan berada di jalur tengah aliran kepenyairan. Douglas Malloch, dalam puisinya ini, jelas sekali hendak mendudukkan pokok pikirannya sebagai masonic yang berkaitan dengan kehidupannya sebagai penebang kayu, secara terurut, tanpa putus. Artinya, jika hanya hendak menekankan pada kebaikan setiap orang untuk ‘menjadi yang terbaik dengan cukup menjadi dirinya sendiri’, maka Douglas Malloch tak perlu menuliskannya hingga empat bait. Pesannya bisa langsung sampai hanya dalam dua atau tiga bait saja. Inilah mengapa proses penyaduran tidak bisa dilakukan pada puisi.
Sekarang, simaklah puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail berikut.
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya…
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri
Pada terminologi penyaduran, bentuk reposisi dan pengembangan masih diperbolehkan. Tetapi jika diperhatikan lebih saksama (terutama pada larik-larik yang dimiringkan) tampak sekali beberapa larik sengaja dihilangkan, dan, atau menggantinya dengan larik berbeda.
Ada dua larik pada puisi Douglas Malloch yang hilang, yakni; If you can’t be a muskie then just be a bass/ But the leveliest bass in the lake//
Lalu, berganti dengan larik berbeda pada puisi Taufik Ismail, yakni; Tetapi jalan setapak yang/ membawa orang ke mata air//
Apakah penghilangan dan penggantian ini disengaja? Jika melihat terjemahan dua larik puisi Douglas Malloch, dan membaca dua larik baru pada puisi Taufik Ismail, maka jelas sekali bahwa penggantian tersebut disengaja. Pengubahan, atau penggantian ini dari sisi licentia poetica seharusnya tidak boleh terjadi, sebab telah mengubah makna dan bunyi puisi Douglas Malloch. Inikah yang disebut penyaduran?
Pertanyaan ini dijawab dengan tuntas oleh Gorys Keraf. “Sebuah bentuk ringkasan dari sebuah tulisan hendaknya tetap menekankan sisi konsistensi akan sebuah urut-urutan sesuai dengan ide atau gagasan pengarang. Begitu halnya saat kita menyadur, hal tersebut juga berlaku—tetap mempertahankan ide dari naskah asli.” Tegas Keraf dalam buku Komposisi (1984:262, Flores. Penerbit Nusa Indah).
Yang Luput dari Taufik Ismail.
Menarik disimak, adalah dua larik yang tadi telah dibahas di atas, yang entah mengapa luput oleh Taufik Ismail dimasukkan ke dalam puisinya. Dua larik itu adalah; If you can’t be a muskie then just be a bass/ But the leveliest bass in the lake//
Sebagai satu kesatuan dari bunyi dan makna yang dikatakan Keraf, maka dua larik yang luput itu seharusnya tetap ada untuk mengikat dua larik sebelumnya; If you can’t be a bush be a bit of the grass/ And some highway happier make//
Lemah dugaan saya, bahwa Taufik Ismail tidak mengetahui persis makna kata muskie dan bass dalam dua larik puisi Douglas Malloch itu.
Dua kata dalam larik puisi Douglas Malloch itu memang tidak ditemukan dalam dalam kamus besar Bahasa Inggris (The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Drs. Peter Salim, M.A.). Rasa penasaran pada kata lake (danau), yang membawa saya pada dua jenis ikan yang berhabitat di danau primer dan sepanjang sungai besar di Amerika Serikat.
Musky adalah sejenis ikan besar, yang masih satu genus dengan Arwana dari Amazon. Muskie adalah nama dalam bahasa pasar masyarakat setempat, untuk ikan Musky, yang hidup di danau-danau di Minnesota. Sedang Bass adalah nama setempat untuk ikan smallmouth (salmon). Ikan dengan ukuran tubuhnya jauh lebih kecil dari ikan Muskie. Habitatnya di sungai-sungai primer di Amerika Utara. Itulah mengapa kata Muskie dan Bass tidak terdapat di dalam kamus.
Sehingga untuk mengisi kekosongan dua larik yang terlanjur menggantung pada satu bait tersebut, Taufik Ismail kemudian menggantinya dengan; Tetapi jalan setapak yang/ membawa orang ke mata air//
Jika merujuk pada Keraf, maka penggantian ini jelas sekali telah mengubah secara drastis ide dan gagasan pengarang. Artinya, paham atau tidaknya Taufik Ismail pada dua kata tersebut, tidak dapat dijadikannya alasan untuk mengganti dua larik pada puisi Douglas Malloch dengan dua larik baru. Maka, terang saja, Taufik Ismail tidak saja gagal menyembunyikan fakta, bahwa dirinya tidak sekadar terinspirasi keindahan makna puisi Douglas Malloch, sehingga tanpa sadar atau tidak terperangkap dalam bentuk plagiarisme.
Lalu, apakah ada kemungkinan penyair sekaliber Taufiq Ismail akan melakukan hal ini? Wallahu’alam.
Bantahan dan Sejumlah Bukti
Keterangan Redaktur Majalah Sastra, Horison, Fadli Zon, yang juga kemenakan Taufiq Ismail, dalam bantahan yang termuat pada PedomanNews.com, bahwa, Taufiq Ismail mengatakan padanya merasa pernah membahas puisi itu atau menerjemahkan puisi itu dalam kegiatan SBSB atau MMAS di sekolah-sekolah, ikut membuktikan bahwa pernah ada terjadi persentuhan antara Taufiq Ismail dengan puisi Douglas Malloch.
Pada buku Terampil Berbahasa Indonesia Untuk SMP/MTs Kelas VIII, yang disusun oleh Dewaki Kramadibrata, Dewi Indrawati, dan Didik Durianto yang diterbitkan Pusat Perbukuan, Diknas RI. Pada Pelajaran 11, bagian C: Menulis Puisi Bebas dengan Memperhatikan Unsur Persajakan; halaman 198, dengan jelas dapat ditemukan puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail.
Tidak ada keterangan sumber di bawah puisi Taufik Ismail pada halaman tersebut. Rupanya para penyusun memasang puisi itu dan meninggalkan sumbernya pada daftar pustaka. Artinya, keterangan soal latar belakang dan darimana sumber yang digunakan hanya tim penyusun yang bisa menjawabnya.
Apakah peneraan puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail itu sepengetahuan Taufiq Ismail? Ini dengan terang sudah dijawab sendiri oleh Taufiq Ismail yang disampaikan oleh Fadli Zon, bahwa Taufiq Ismail memang terlibat dalam kegiatan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) atau MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra) di sekolah-sekolah.
Masih menurut Fadli, puisi Kerendahan Hati yang beredar, nama pengarangnya ditulis sebagai Taufik Ismail. Padahal, nama penyair itu memakai “q” pada nama Taufiq-nya, bukan “k“. Jadi bisa jadi apa yang digunjingkan itu salah orang. Demikian pembelaan Fadli, yang dikutip Tempo Interaktif, Jumat 1 April 2011.
Kendati adalah penting menuliskan nama seseorang secara benar dalam sebuah literasi (khususnya pada pemberitaan), namun agaknya Fadli Zon tidak memeriksa dengan teliti sebelum melontarkan bantahannya. Keliru serupa ini kerap terjadi pada tera nama Goenawan Mohamad yang sering dituliskan orang dengan Gunawan Muhammad. Kendati dituliskan keliru, ingatan kolektif orang tetap merujuk pada satu sosok. Apalagi, baik Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail adalah dua nama besar penyair, sastrawan dan budayawan Indonesia.
Pada puisi Kerendahan Hati yang termuat dalam buku Diknas di atas, nama penyair itu dieja dengan huruf akhir ‘k’. Pun pada beberapa terbitan Horison Sastra Indonesia sendiri, kerap dituliskan “Ismail, Taufik, dkk (penyunting). 2011. Horison Sastra Indonesia. Jakarta: The Ford Foundation”, sebagai salah satu contohnya.
Kemudian pengejaan ‘Taufik Ismail’ juga ditemukan pada kata sambutan dalam buku The Lady Di conspiracy : Misteri Dibalik Tragedi Pont de L’Alma, karya Indra Adil, terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007.
Artinya, dalil Fadli Zon perihal huruf akhir pada nama penyair itu seketika patah. Sebab, apabila karakter penulisan nama tersebut dianggap penting, tentulah hal ini telah diperhatikan benar sejak lama. Tidak setelah polemik ini mengemuka.
Pada berita yang sama, Fadli Zon juga mengungkapkan tak dia temukan puisi Kerendahan Hati dalam empat buku karya-karya Taufiq Ismail. Salah satunya kumpulan puisi tahun 1953-2008 berjudul Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit, (Mei, 2008) setebal 1076 halaman. “Di buku itu saya tidak menemukan puisi berjudul ‘Kerendahan Hati’,” katanya. Menurut Fadli, Taufiq Ismail juga menerjemahkan puisi 160 penyair Amerika yang dikumpulkan dalam buku “Rerumputan Dedaunan” dan hingga saat ini belum diterbitkan. Dalam terjemahan tersebut tak ada puisi Douglas Malloch.
Keterangan Fadli ini bisa saja dipercaya, namun sebenarnya tidak berkorelasi langsung dengan isu yang sudah terpolemik. Buku kumpulan puisi MBML itu terbit pada 2008, sementara itu buku Terampil Berbahasa Indonesia itu terbit pada tahun yang sama. Sedang pada 2009, puisi itu masih sempat dibacakan pada programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan 2010 di TransTV. Program MMAS dan SBSB yang dimana Taufiq Ismail dan Majalah Horison terlibat langsung sudah dilaksanakan sejak tahun 1998 hingga 2008. Bahkan beberapa puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail sudah terposting di beberapa blog sejak 2006.
Sejumlah sinyalemen ini secara tidak langsung membentuk premis terhadap kehadiran karya tersebut dalam kurun waktu 1998 hingga 2008.
Dari telisik literasi ini, kini, siapapun boleh menarik kesimpulan masing-masing, perihal polemik pada entitas puisi karya Douglas Mulloch itu. Telisik literasi ini tidak hendak mencuatkan sebuah masalah yang selama ini kerap merisaukan kalangan sastrawan; plagiarisme
Telisik literasi inipun tidak dalam posisi menuduh siapapun telah melakukan plagiat. Bahwa sebagai telisik literasi, ada baiknya ini dijadikan pembelajaran pada masa selanjutnya, bahwa penghargaan atas sebuah karya sastra/literasi sebaiknya memang diberikan pada sosok pengkaryanya. Demikian. ***
Sumber: http://www.facebook.com/notes/ilham-q-moehiddin/sejumlah-temuan-dalam-telisik-literasi-atas-polemik-plagiarisme-karya-malloch/10150202690620757?ref=notif¬if_t=like
‘Puisi Saya Antitesis Puisi W Haryanto’
Indra Tjahjadi
Pewawancara: R. Giryadi
Suara Indonesia, 20 September 2005
Sejak berkenalan dengan W. Hariyanto, Indra Tjahja dimengakui mulai belajar menulis puisi. Energi kreatrf kepenyairannya diakui, selain lewat buku-buku bacaan tetapi lewat perkenalannya dengan penyair W.Hariyanto. Karena tertarik dengan bahasa ungkap puisi W. Hariyanto, Indra berusaha ‘mempelajari’ gaya penulisan W. Hariyanto, dengan mencoba menjadi ‘juru ketik’ puisi-puisi W.Hariyanto. “Tetapi anehnya setelah saya membuat puisi, justru menjadi antitesis dari pemikiran We,” kata Indra kepada R. Giryadi wartawan Suara Indonesia dikediamannya Jl. Potro Agung II/5 Surabaya, Sabtu (20/11).
Sejak saat itulah, proses kreatrif mereka secara konseptual memiliki arah yang berbeda meski Indra mengakui, We memiliki kekuatan lompatan diksi yang basiknya jelas, yaitu culture Surabaya.Setelah itu, Indra mencoba mencari bahan-bahan bacaan lain. Selain itu dia juga mencoba aktif diberbagai gerakan yang ada di kampusnya Universitas Airlangga Surabaya. Namun, secara tidak langsung Indra juga mengakui campur tangan cerpenis Sony Karsono, juga melecutnya untuk mempelajari tentang konsepsuriallisme yang terus diperkenalkan oleh Sony di forumnya Rumah Biru.
Di tengah kesibukannya mengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca MargaProbolinggo, Indra juga aktif menterjemahkan karya-karya sastra bahasa asing kedalam bahasa Indonesia. Perkenalannya dengan buku-buku barat dan literature dari penulis Indonesia, Indra mengakui banyak mempengaruhi proses penciptaanya.
Bagai mana proses penciptaan puisi-puisi Indra? Dan bagaimana Indra memperoleh bahan-bahan bacaan untuk menambah pengetahuannya? Lalu apa hubungannya buku-buku bacaan dengan proses kreatifnya? Berikut wawancara dengan Indra Tjahjadi, salah seorang penyair muda dari Surabaya.
Apa kesibukan Indra akhir-akhirini?
Saya sedang mempersiapkan antologi puisi tunggal saya ‘Ekspedisi Waktu’. Desember ini insy’allah akan terbit. Puisi itu sayakumpulkan dari karya tahun 1995 sampai karya tahun 2004. Buku itu diterbitkanoleh penerbit Atlas, Jakarta. Puisi-puisi saya yang mengeditori JJ.Kusni, salah satu tokoh sastrawan eksil.
Selain itu?
Membantu penerbitan puisi Dewan Kesenian Jawa Timur bersama W. Hariyanto. Tahun ini DKJT menerbitkan dua antologi puisi, milik penyair Aming Aminudin dari Mojokerto, dan Mashuri dari Surabaya. Di Jatim penerbitan buku-buku sastra sangat sepi, padahal sastrawan Jatim sangat produktif. Setiap tahun,DKJT masih bisa menerbitan 2 buku, dan itu harus bergiliran. Padahal jumlah sastrawan kita banyak dan produktif.
Berbicara masalah buku,dari mana Indra mendapatkannya?
Terus terang di Surabayabuku-buku literature sangat terbatas. Untuk mencari buku-buku barat kita harus ke Jakarta atau ke Jogjakarta. Kalau itu dikira lebih mahal, biasanya juga terpaksa memfoto kopy buku yang dimiliki teman atau terkadang juga mencarai bahan di internet.
Buku yang kali pertamaIndra baca dan bisa menggerakan energi kreatif, bukunya siapa?
Sebelum berkenalan lebih jauh dengan W. Hariyanto, Sony Karsono, Imam Muhtarom, Mashuri, dan lainnya saya tidak punya teman. Bahanbacaan pun sedikit. Kali pertama yang saya baca puisi karya Acep Zazam Noor dari kumpulan ‘Dari Kata Hujan’. Saya mengagumi puisi Acep dan juga puisi Jamal D Rahman, ‘Airmata Diam’. Dua penyair ini terus terang sedikit mempengaruhi proses kepenyairan saya, pada periode awal, sekitar tahun 1994-an. Begitu jugapenyair romantic John Keats, Baudelaire. Dan juga ‘Arsitektur Hujan’ karya Afrizal dan juga sajak-sajak Kreapor, banyak memberikan ispirasi pada saya.Sajak-sajak Kreapor bagi saya menarik. Bahkan saking sulitnya mendapatkan sajak-sajaknya, saya sampai mencari di perpustakaan Surabaya Post. Meski tidak sepenuhnya saya terpengarauh oleh ke empat tokoh tersebut, tetapi saya mengakui dari situlah saya memulai menulis puisi dan tahu puisi yang baik. Puisi-puisi Gunawan Muhammad, ‘Asmaradana’ saya juga tertarik.
Bagaimana dengan peran Sony Karsono?
Sony Karsono banyak memberikan dapak kepada pribadi saya.Tetapi selain itu, dia juga memberikan dampak yang cukup meluas dikalangan teman-teman penyair seangkatan saya di Unair yang sering nongkrong di warung ‘Emak’ depan kampus Karang Menjangan. Sony memperkenalkan saya dengan karya-karya sastrawan Perancis seperti Rimbault, TS. Elliot. Dan terutama soal konsepsurialisme.
Tetapi secarapenulisan, kepada siapa Indra banyak belajar?
Tahun 1997 saya dekat We (W. Hariyanto, penyair yang lebihdulu muncul sebelum Indra Tjahyadi, red). Tetapi terus terang, pada akhirnya setiap kali saya membuat puisi yang terinspirasi dengan puisinya We, justru yang muncul bukan kesamaan pemikiran tetapi merupakan antitesis dari pemikiran We.
Di sini kami sering saling ‘berolok-olok’. We sering menyarankan saya untuk mengambalikan diksi ke semangat cultural. Kalau kitatinggal di Surabaya, ya semangat Suroboyoannya itu yang diangkat. Tetapi bagi saya, justru sebaliknya bukan diksinya tetapi cultural sebagai semangat penciptaan, karenaterus terang saya membawa semangat cultural yang berbeda dengan We. We, orang Surabaya asli, sementarasaya berasal dari persilangan berbagai cultural. Ibu saya Bandung, Bapak Jakarta, saya lahir di Jakarta, dan dibesarkandi Surabaya.
Banyak orang yang mengatakan puisi-puisi saya dengan We, itu tidak terlalu benar. Henri Mardi Luhung (penyair Gresik, red), pernah mengatakan pada saya, bahwa We, lompatan diksinya begitu jauh dan nilai filosofinya lebih kental. Sementara puisi saya lebih ekspresif. Tetapi saya mengakui belajar menulis puisi dari We, karena pada masa awal dulu, saya sering mengetikan naskah We yang akan dikirimkan ke media massa.
Indra Tjahjadi, Lahirdi Jakarta 21 Juni 1974. Alumi Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya ini menulispuisi sejak tahun 1994. karya-karyanya tersebar di berbagai media massa luar dan dalamnegeri. Karya-karya puisinya pernah dimuat di AIAA News (Australia), Bahana (Brunei). Puisinya dalam bahasa Inggris dimuat di Big Lick Literary Review; aMulticultural Arts Ezine yang di terbitkan Roanoke, Virginia-USA dan Conestoga Literary Journal. Di Indonesia puisi-puisinya pernah dimuat antara lainHorison, Jurnal Puisi, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, republika, Surabaya Post, Suara Indonesia, Jawa Pos, dan lain sebagainya. Manuskrip kumpulan puisinya yang berjudul ‘Di Bawah Nujum Kabut’ tercatat sebagai salahsat7u nominasi penghargaan KSI Award 2003. Tahun 2002 bersama, W. Haryanto, Indra Tjahyadi, Mashuri, Muhammad Aris, mendeklarasikan ‘Manifesto Surrealisme’di Gallery Surabaya.
Apa yang melatariterbitnya ‘Manifesto Surrealisme’?
Ini salah satu sikap terhadap kekosongan gagasan, setelahbangsa kita disibukan dengan efuria reformasi yang begitu dasyat sekitara tahun 1998. pada awalnya kami yang sering berkumpul di warung kopi, mempelajari konsep-konsep dadaisme, yang kalau disini kita bisa melihat puisi-puisi karya SaifulHadjar. Tetapi di situ kami tidak menemukan sesuatu dasar estetika yang jelas. Pada saat itu Sony memperkenalkan konsep Surrealisme yang diliputi suasana revolusi Perancis.
Kami melihat kesamaan perjuangan atas hakikat kemanusiaan yang utuh. Dan konsep Surrealisme memberikan syarat estetik yang jelas bila dibandingkan dengan konsep dadaisme. Dari sinilah kami pingin bicara. Dengan semangat manifesto itu, kita ingin menghindari pengucapan yang politis yang leterlek dalam puisi. Sehinga alat ucap itu tidak mencair tetapi padat danlebih simbolis.
Semangat ini justru sekarang menjadikan banyak orangmengeklaim, kecenderungan sastrawan Jatim lebih banyak yang bernuansakan Surrealisme. Barangkali mereka benar, karena menurut saya ada missing-ling dengan aspek cultural yang ada di Jatim. Orang-orang Jakarta, memandang Jatim, seperti bom yang meledak. Puisi-puisinya banyak yang menggunakan bahasa yang melompat-lopat dan lebih gelap.
Sejak saat itu konseppenulisan Indra berubah?
(Diam sejenak) Puisi-pusisi Acep masih sering melintas dibenak saya. Adabeberapa puisi yang sering kali membayangi proses penciptaan pusisi saya,seperti karya Acep yang berjudil ‘Buat Malika Hamudi’ dan menjadi pusisi sayaberjudul ‘Buat Wan Aiping.’ Dari puisi We, ‘bagaimana Aku Lihat Tubuhku Membeku, ‘saya menulis puisi,’ Barangkali dari Usia Kita yang TertinggalHanyalah Kesendirian.’
Kapan Indra menuliskan puisinya?
Setiap waktu saya menulis puisi. Kalau sudah mendapatispirasi, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Kepala saya bisa pusing, kalau tidak segera ditulis. Pernah suatu kali di tahun 1995, We, bercertia tentangperistiwa bunuh diri yang terjadi di dekat rumahnya. Mendengar cerita itu sayalangsung meninggalkan We, pulang ke rumah dan mengetik secara manual. Sesaat kemudian puisi itu jadi. Kemudian saya kembali ke Kampus dan memberikan puisiitu kepada We.
Menurut Indra, menulispuisi merupakan proses kesadaran ekspresi, karena menurutnya sebelum jauh berkenalan dengan We, S.Jai, Imam Muhtarom, Mashuri, dia sudah lama menulis puisi.Tetapi sebelumnya Indra lebih suka melukis. Karena dirasa materialnya begitu mahal, Indra akhirnya memilih untuk menjadi penulis puisi saja. Begitu jugapada tahun 1997 dia menulis cerpen, tetapi karena tidak tertarik cerpen pun akhirnya ditinggalkan. “Cerpen hanya menampilkan cerita-cerita saja. Tetapipuisi lebih ekspresi dan bisa mewadahi ekspresi yang sangat individualsekalipun,” kata Indra.
Setelah memilih menjadi penulis puisi, tingkat produktifitasnya tak terbendung. Hampir setiapminggu Indra mengirimkan puisinya ke media massa. Maka tak heran kalau hampir seluruh media massa yang ada di Indonesia itu pernah memuat karya-karyanya. “Setiap kali saya mengirim ke media, ada 10puisi yang saya lampirkan. Dan itu hanya berselang seminggu atau dua minggukemudian, saya kirmkan 10 puisi berikutnya,” kata Indra mengakhiri pembicaraan siang itu. n gir
*) dijumput dari http://www.facebook.com/notes/rakhmat-giryadi/indra-tjahjadi-puisi-saya-antitesis-puisi-w-haryantosuara-indonesia-20-september/419385546610
Pewawancara: R. Giryadi
Suara Indonesia, 20 September 2005
Sejak berkenalan dengan W. Hariyanto, Indra Tjahja dimengakui mulai belajar menulis puisi. Energi kreatrf kepenyairannya diakui, selain lewat buku-buku bacaan tetapi lewat perkenalannya dengan penyair W.Hariyanto. Karena tertarik dengan bahasa ungkap puisi W. Hariyanto, Indra berusaha ‘mempelajari’ gaya penulisan W. Hariyanto, dengan mencoba menjadi ‘juru ketik’ puisi-puisi W.Hariyanto. “Tetapi anehnya setelah saya membuat puisi, justru menjadi antitesis dari pemikiran We,” kata Indra kepada R. Giryadi wartawan Suara Indonesia dikediamannya Jl. Potro Agung II/5 Surabaya, Sabtu (20/11).
Sejak saat itulah, proses kreatrif mereka secara konseptual memiliki arah yang berbeda meski Indra mengakui, We memiliki kekuatan lompatan diksi yang basiknya jelas, yaitu culture Surabaya.Setelah itu, Indra mencoba mencari bahan-bahan bacaan lain. Selain itu dia juga mencoba aktif diberbagai gerakan yang ada di kampusnya Universitas Airlangga Surabaya. Namun, secara tidak langsung Indra juga mengakui campur tangan cerpenis Sony Karsono, juga melecutnya untuk mempelajari tentang konsepsuriallisme yang terus diperkenalkan oleh Sony di forumnya Rumah Biru.
Di tengah kesibukannya mengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca MargaProbolinggo, Indra juga aktif menterjemahkan karya-karya sastra bahasa asing kedalam bahasa Indonesia. Perkenalannya dengan buku-buku barat dan literature dari penulis Indonesia, Indra mengakui banyak mempengaruhi proses penciptaanya.
Bagai mana proses penciptaan puisi-puisi Indra? Dan bagaimana Indra memperoleh bahan-bahan bacaan untuk menambah pengetahuannya? Lalu apa hubungannya buku-buku bacaan dengan proses kreatifnya? Berikut wawancara dengan Indra Tjahjadi, salah seorang penyair muda dari Surabaya.
Apa kesibukan Indra akhir-akhirini?
Saya sedang mempersiapkan antologi puisi tunggal saya ‘Ekspedisi Waktu’. Desember ini insy’allah akan terbit. Puisi itu sayakumpulkan dari karya tahun 1995 sampai karya tahun 2004. Buku itu diterbitkanoleh penerbit Atlas, Jakarta. Puisi-puisi saya yang mengeditori JJ.Kusni, salah satu tokoh sastrawan eksil.
Selain itu?
Membantu penerbitan puisi Dewan Kesenian Jawa Timur bersama W. Hariyanto. Tahun ini DKJT menerbitkan dua antologi puisi, milik penyair Aming Aminudin dari Mojokerto, dan Mashuri dari Surabaya. Di Jatim penerbitan buku-buku sastra sangat sepi, padahal sastrawan Jatim sangat produktif. Setiap tahun,DKJT masih bisa menerbitan 2 buku, dan itu harus bergiliran. Padahal jumlah sastrawan kita banyak dan produktif.
Berbicara masalah buku,dari mana Indra mendapatkannya?
Terus terang di Surabayabuku-buku literature sangat terbatas. Untuk mencari buku-buku barat kita harus ke Jakarta atau ke Jogjakarta. Kalau itu dikira lebih mahal, biasanya juga terpaksa memfoto kopy buku yang dimiliki teman atau terkadang juga mencarai bahan di internet.
Buku yang kali pertamaIndra baca dan bisa menggerakan energi kreatif, bukunya siapa?
Sebelum berkenalan lebih jauh dengan W. Hariyanto, Sony Karsono, Imam Muhtarom, Mashuri, dan lainnya saya tidak punya teman. Bahanbacaan pun sedikit. Kali pertama yang saya baca puisi karya Acep Zazam Noor dari kumpulan ‘Dari Kata Hujan’. Saya mengagumi puisi Acep dan juga puisi Jamal D Rahman, ‘Airmata Diam’. Dua penyair ini terus terang sedikit mempengaruhi proses kepenyairan saya, pada periode awal, sekitar tahun 1994-an. Begitu jugapenyair romantic John Keats, Baudelaire. Dan juga ‘Arsitektur Hujan’ karya Afrizal dan juga sajak-sajak Kreapor, banyak memberikan ispirasi pada saya.Sajak-sajak Kreapor bagi saya menarik. Bahkan saking sulitnya mendapatkan sajak-sajaknya, saya sampai mencari di perpustakaan Surabaya Post. Meski tidak sepenuhnya saya terpengarauh oleh ke empat tokoh tersebut, tetapi saya mengakui dari situlah saya memulai menulis puisi dan tahu puisi yang baik. Puisi-puisi Gunawan Muhammad, ‘Asmaradana’ saya juga tertarik.
Bagaimana dengan peran Sony Karsono?
Sony Karsono banyak memberikan dapak kepada pribadi saya.Tetapi selain itu, dia juga memberikan dampak yang cukup meluas dikalangan teman-teman penyair seangkatan saya di Unair yang sering nongkrong di warung ‘Emak’ depan kampus Karang Menjangan. Sony memperkenalkan saya dengan karya-karya sastrawan Perancis seperti Rimbault, TS. Elliot. Dan terutama soal konsepsurialisme.
Tetapi secarapenulisan, kepada siapa Indra banyak belajar?
Tahun 1997 saya dekat We (W. Hariyanto, penyair yang lebihdulu muncul sebelum Indra Tjahyadi, red). Tetapi terus terang, pada akhirnya setiap kali saya membuat puisi yang terinspirasi dengan puisinya We, justru yang muncul bukan kesamaan pemikiran tetapi merupakan antitesis dari pemikiran We.
Di sini kami sering saling ‘berolok-olok’. We sering menyarankan saya untuk mengambalikan diksi ke semangat cultural. Kalau kitatinggal di Surabaya, ya semangat Suroboyoannya itu yang diangkat. Tetapi bagi saya, justru sebaliknya bukan diksinya tetapi cultural sebagai semangat penciptaan, karenaterus terang saya membawa semangat cultural yang berbeda dengan We. We, orang Surabaya asli, sementarasaya berasal dari persilangan berbagai cultural. Ibu saya Bandung, Bapak Jakarta, saya lahir di Jakarta, dan dibesarkandi Surabaya.
Banyak orang yang mengatakan puisi-puisi saya dengan We, itu tidak terlalu benar. Henri Mardi Luhung (penyair Gresik, red), pernah mengatakan pada saya, bahwa We, lompatan diksinya begitu jauh dan nilai filosofinya lebih kental. Sementara puisi saya lebih ekspresif. Tetapi saya mengakui belajar menulis puisi dari We, karena pada masa awal dulu, saya sering mengetikan naskah We yang akan dikirimkan ke media massa.
Indra Tjahjadi, Lahirdi Jakarta 21 Juni 1974. Alumi Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya ini menulispuisi sejak tahun 1994. karya-karyanya tersebar di berbagai media massa luar dan dalamnegeri. Karya-karya puisinya pernah dimuat di AIAA News (Australia), Bahana (Brunei). Puisinya dalam bahasa Inggris dimuat di Big Lick Literary Review; aMulticultural Arts Ezine yang di terbitkan Roanoke, Virginia-USA dan Conestoga Literary Journal. Di Indonesia puisi-puisinya pernah dimuat antara lainHorison, Jurnal Puisi, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, republika, Surabaya Post, Suara Indonesia, Jawa Pos, dan lain sebagainya. Manuskrip kumpulan puisinya yang berjudul ‘Di Bawah Nujum Kabut’ tercatat sebagai salahsat7u nominasi penghargaan KSI Award 2003. Tahun 2002 bersama, W. Haryanto, Indra Tjahyadi, Mashuri, Muhammad Aris, mendeklarasikan ‘Manifesto Surrealisme’di Gallery Surabaya.
Apa yang melatariterbitnya ‘Manifesto Surrealisme’?
Ini salah satu sikap terhadap kekosongan gagasan, setelahbangsa kita disibukan dengan efuria reformasi yang begitu dasyat sekitara tahun 1998. pada awalnya kami yang sering berkumpul di warung kopi, mempelajari konsep-konsep dadaisme, yang kalau disini kita bisa melihat puisi-puisi karya SaifulHadjar. Tetapi di situ kami tidak menemukan sesuatu dasar estetika yang jelas. Pada saat itu Sony memperkenalkan konsep Surrealisme yang diliputi suasana revolusi Perancis.
Kami melihat kesamaan perjuangan atas hakikat kemanusiaan yang utuh. Dan konsep Surrealisme memberikan syarat estetik yang jelas bila dibandingkan dengan konsep dadaisme. Dari sinilah kami pingin bicara. Dengan semangat manifesto itu, kita ingin menghindari pengucapan yang politis yang leterlek dalam puisi. Sehinga alat ucap itu tidak mencair tetapi padat danlebih simbolis.
Semangat ini justru sekarang menjadikan banyak orangmengeklaim, kecenderungan sastrawan Jatim lebih banyak yang bernuansakan Surrealisme. Barangkali mereka benar, karena menurut saya ada missing-ling dengan aspek cultural yang ada di Jatim. Orang-orang Jakarta, memandang Jatim, seperti bom yang meledak. Puisi-puisinya banyak yang menggunakan bahasa yang melompat-lopat dan lebih gelap.
Sejak saat itu konseppenulisan Indra berubah?
(Diam sejenak) Puisi-pusisi Acep masih sering melintas dibenak saya. Adabeberapa puisi yang sering kali membayangi proses penciptaan pusisi saya,seperti karya Acep yang berjudil ‘Buat Malika Hamudi’ dan menjadi pusisi sayaberjudul ‘Buat Wan Aiping.’ Dari puisi We, ‘bagaimana Aku Lihat Tubuhku Membeku, ‘saya menulis puisi,’ Barangkali dari Usia Kita yang TertinggalHanyalah Kesendirian.’
Kapan Indra menuliskan puisinya?
Setiap waktu saya menulis puisi. Kalau sudah mendapatispirasi, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Kepala saya bisa pusing, kalau tidak segera ditulis. Pernah suatu kali di tahun 1995, We, bercertia tentangperistiwa bunuh diri yang terjadi di dekat rumahnya. Mendengar cerita itu sayalangsung meninggalkan We, pulang ke rumah dan mengetik secara manual. Sesaat kemudian puisi itu jadi. Kemudian saya kembali ke Kampus dan memberikan puisiitu kepada We.
Menurut Indra, menulispuisi merupakan proses kesadaran ekspresi, karena menurutnya sebelum jauh berkenalan dengan We, S.Jai, Imam Muhtarom, Mashuri, dia sudah lama menulis puisi.Tetapi sebelumnya Indra lebih suka melukis. Karena dirasa materialnya begitu mahal, Indra akhirnya memilih untuk menjadi penulis puisi saja. Begitu jugapada tahun 1997 dia menulis cerpen, tetapi karena tidak tertarik cerpen pun akhirnya ditinggalkan. “Cerpen hanya menampilkan cerita-cerita saja. Tetapipuisi lebih ekspresi dan bisa mewadahi ekspresi yang sangat individualsekalipun,” kata Indra.
Setelah memilih menjadi penulis puisi, tingkat produktifitasnya tak terbendung. Hampir setiapminggu Indra mengirimkan puisinya ke media massa. Maka tak heran kalau hampir seluruh media massa yang ada di Indonesia itu pernah memuat karya-karyanya. “Setiap kali saya mengirim ke media, ada 10puisi yang saya lampirkan. Dan itu hanya berselang seminggu atau dua minggukemudian, saya kirmkan 10 puisi berikutnya,” kata Indra mengakhiri pembicaraan siang itu. n gir
*) dijumput dari http://www.facebook.com/notes/rakhmat-giryadi/indra-tjahjadi-puisi-saya-antitesis-puisi-w-haryantosuara-indonesia-20-september/419385546610
Problematik Teater Remaja (SMA)
(Dialog Jambore Teater Remaja 2008) Pendopo TBJT, 2 Agustus 2008
Pemateri : Eko ‘Ompong’ Santoso (Yogjakarta) AGS Arya Dwipayana (Jakarta).
Pemandu : R Giryadi (Surabaya)
http://teaterapakah.blogspot.com/
Kendala Aktualisasi
Kendala utama yang banyak ditanyakan dalam forum dialog oleh para peserta Jambore Teater Remaja 2008, adalah sulitnya mengaktualisasi diri. Aktualisasi diri ini disebabkan kesalahan persepsi orang tua terhadap kegiatan teater. Rata-rata orang tua menganggap kegiatan teater tidak bermanfaat.
Hal ini seperti diungkapkan peserta dari Teater Lab 56 SMAN 1 Kalisat Jember. Dikatakannya bahwa problem utama berteater adalah tidak adanya kepercayaan orang tua terhadap kegiatan ini. Padahal menurutnya teater banyak manfaatnya. “Saya kesulitan mendapatkan ijin dari orang tua. Bagaimana bisa menjelaskannya?” katanya,
Dipihak lain ada juga yang menanyakan manfaat teater. Penanya dari teater Hitam Putih SMAN 1 Tuban ini lebih detail ingin menanyakan manfaat teater. “Kata Pembina saaya teater itu manfaatnya sangat luas. Apa yang dimaksud dengan luas?” tanyanya.
Mendapat dua pertanyaan itu, dua narasumber secara bergantian memberikan ilustrasi tentang manfaat teater dan mengapa teater selalu disalah artikan oleh orang tua. Eko Ompong Santoso memaparkan, bahwa semua kegiatan yang dilakukan pada dasarnya bermanfaat, asal semua dilakukan secara bersungguh-sungguh. Karena pada dasarnya berteater itu juga belajar memahami kehidupan. “Segala sesuatu yang kita lakoni dalam hidup ini bisa direfleksikan dalam teater,” kata Eko.
Lebih lanjut Eko Ompong memaparkan, bahwa sebenarnya teater merupakan bentuk terkecil dari kehidupan. Berteater pada dasarnya mencontoh segala hal yang terjadi dalam kehidupan. Kalau ada perbedaan persepsi dengan orang tua, Eko menyarankan hal tersebut jangan dijadikan beban tatapi sebagai tantangan.
Sementara itu, AGS Arya Dwipayana atau yang biasa disapa Mas Aji ini mempertegas pernyataan Eko Ompong. Menurutnya, tujuan teater tidak hanya sekedar panggung atau pentas saja. kalau orientasinya ke panggung, makna teater menjadi sempit. Teater terkait dengan proses yang sangat panjang. “Teater merupakan tempat untuk berlatih bermasyarakat dalam bentuk yang paling sederhana,” tegas Mas Aji.
Dipaparkannya, bahwa berteater itu didalamnya terdapat pelajaran bekerjasama, menghormati orang lain, tanggungjawab, disiplin, dan lain sebagainya. Drama atau teater juga bisa untuk dimanfaatkan untuk pembangunan karakter. Karena didalam teater juga dipelajari tentang olah rasa. Dia menconto beberpa sekolah di luar negeri mewajibkan pelajaran drama. Hal ini terkait dengan pembangunan karakter siswa. “Jadi kalau berbicara manfaat, manfaatnya sangat banyak,” kata Mas Aji.
Namun Mas Aji, memaklumi kalau banyak orang tua yang kurang memberikan perhatian pada kegiatan teater. Hal ini disebabkan pemerintah sendiri tidak mempunyai goodwill tentang kebudayaan. Menurutnya pembangunan bangsa hanya melalui pendekatan ekonomi. “Hampir-hampir semua pembangunan diorientasikan pada ekonomi,” katanya.
Tak salah kalau akhirnya banyak orang tua yang cari selamat. Mereka banyak mengarahkan anaknya untuk berkegiatan yang punya nilai ekonomi. karena itu untuk meyakinkan orang tua, Aji menyarankan agar para siswa giat berlatih, untuk membuktikan bahwa berteater juga ada manfaatnya. “Anggap saja larangan orang tua sebagai bagian dari proses berteater,” tegasnya.
Problim Teknis
Pertanyaan yang tidakkalah menariknya adalah tentang seluk beluk teater. Seluk beluk teater ini banyak ditanyakan oleh peserta dialog. Yang pertama ada yang menanyakan tentang perbedaan antar teater dan drama. Kedua ada juga yang menanyakan bagaimana cara berakting yang baik dan ketiga bagaimana metode menyutradarai yang baik.
Pertanyaan pertama disampaikan oleh peserta dari Teater Angin SMAN 2 Tuban. Dia mengaku masih bigung membedakan antara teater dan drama. Menurutnya selama ini dirinya tidak bisa membedakan apa yang dimaksud drama maupun teater.
Pertanyaan kedua disampaikan oleh peserta dari Teater Pandhan Room dari SMAN 2 Bangkalan dan juga dari teater Angin SMAN 2 Tuban. Kedua penanya ini mempertanyakan bagaimana tekni berakting yang baik. Penannya dari Teater Angin Tuban mengatakan, kalau dirinya sering terbawa dengan karekater yang pernah diperankan. Ia mencontohkan, pada penampilan pertama ia memerankan tokoh berkarakter garang seperti penjahat. Pada penampilan ke dua ia memerankan orang yang alaim. “Tetapi kendalanya saya sering terbawa dengan karakter peran saya yang pertama,” katanya.
Sementara penanya ketiga menanyakan tentang pendekatan penyutradaraan. Peserta dari SMAN 1 Papar, Kediri ini mengaku terkendala memilih pendekatan penyutradaraan. Menurutnya dengan metode otoriter (ditakor) ada kelemahanya, begitu juga dengan pendekatan (demokratis) juga punya kelemahan. “Kalau ditaktor, siswa cenderung melawan. Sementara kalau demokratis tidak akan memenuhi target,” katanya.
Mendapat pertanyaan ini Mas Aji tidak menjawab banyak, mengingat waktu yang sangat terbatas. Mas Aji mengatakan masalah perbedaan teater dan drama akan dijawab secara akademis oleh Eko Ompong Santoso. Tetapi dia memaparkan, pada dasarnya Indonesia punya sejarah yang panjang tentang pemahaman teater. Dia mengilustrasikan, kata teater tidak popular bagi sebagian orang misalnya orang betawi. Mereka menyebutnya Tonil. Hal ini menurut mas Aji karena factor sejarah. Di betawa misalnya menyebut tonil, karena dulu kebudayaan yang dibawa oleh penjajah Belanda disebut tonil, oleh Suryadi Suryadiningrat (KI Hajar Dewantara) disebut sandiwara. “Orang betawi tidak mengerti teater, tetapi tonil,” katanya.
Sutradara teater tetas ini menegaskan, kalau teater pasti berhubungan dengan panggung. Segala sesuatu yang dipentaskan di atas panggung disebut teater. Apakah disana ada konfliknya atau tidak, selama dipentaskan dalam panggung pertunjukan dinamakan teater. “Arti teater pada dasarya gedung pertunjukan,” katanya.
Sementara Eko Ompong lebih mempertegas pernyataan dari Mas Aji. Menurutnya drama berkaitan dengan sastra. Yang dimaksud drama adalah naskah lakon. Selum dipertontonkan naskah itu disebut drama (karya sastra). Kalau sudah dipertontonkan dinamakan teater.
Drama berkaitan dengan penulisan dan analisis naskah, seperti didalamnya ada konflik, latar (setting), penolohan, plot, alur, dan tema. Karena drama juga disebut cerita tentang kehidupan. “Kalau naskah itu kemudian dipentaskan dinamakan teater,” katanya.
Sementara itu menjawab pertanyaan lainnya, seperti bagaimana berakting yang baik dan bagaimana menyutradarai yang baik, Eko menegaskan hal itu tidak bisa dijawab sebelum ada pertanyaan apa? “Pertanyaan bagaimana hanya bisa dijawab kalau anda tahu dulu ‘Apa’?” kata Eko, bertanya balik.
Dipaparkan Eko, untuk mengetahui berakting yang baik, pertanyaannya bukan bagaimana, tetapi apa. Apa yang ada dalam naskah tersebut, apa tokoh, apa karakter, dan apa yang lainnya. “Kalau tidak tahu apa, tidak bisa menjawab bagaimana,” katanya.
Begitu juga dalam menyutradarai tidak bagaimananya yang ditanyakan, apa itu sutradara, baru bagaimana menyutradarai,, Seorang sutradara harus tahu apa itu sutradara berikut tugas dan fungsinya. Kalau pertanyaan ini tidak bisa terjawab, maka tidak mungkin seseorang bisa menyutradarai dengan baik.
“Jangan menjadi generasi ‘bagaimana’ atau piye. Tetapi jadilah generasi apa,” tegasnya.
Saran-Saran
Selain pertanyaan tersebut di atas, juga ada saran-saran yang disampaikan oleh Pembina teater di SMA. Saran petama hadir dari Harwi Mardianto, guru tetar dari SMKN 9 Surabaya. Ia menyarankan agar kegiatan jambore dimanfaatkan seoptimal mungkin, terutama untuk menjalin komunikasi.
Menurut Harwi, para peserta sebaiknya saling saring kepada peserta yang lain sehingga tahu kelebihan dan kelemahan masing-masing sekolah. “Orang teater harus kreatif. Jangan malas, orang teater tidak malas,” katanya.
Sementara dari Pembina SMAN 1 Papar, Kediri, menyarankan agar Taman Budaya Jawa Timur juga mengadakan festival teater remaja di daerah-daerah. Menurutnya agar panitia tahu persoalan teater di daerah yang sebenarnya. Begitu juga ia menyarankan agar panitia juga mengadalan pelatihan bagi pembina teater di daerah.
Surabaya, Agustus 2008
Pemateri : Eko ‘Ompong’ Santoso (Yogjakarta) AGS Arya Dwipayana (Jakarta).
Pemandu : R Giryadi (Surabaya)
http://teaterapakah.blogspot.com/
Kendala Aktualisasi
Kendala utama yang banyak ditanyakan dalam forum dialog oleh para peserta Jambore Teater Remaja 2008, adalah sulitnya mengaktualisasi diri. Aktualisasi diri ini disebabkan kesalahan persepsi orang tua terhadap kegiatan teater. Rata-rata orang tua menganggap kegiatan teater tidak bermanfaat.
Hal ini seperti diungkapkan peserta dari Teater Lab 56 SMAN 1 Kalisat Jember. Dikatakannya bahwa problem utama berteater adalah tidak adanya kepercayaan orang tua terhadap kegiatan ini. Padahal menurutnya teater banyak manfaatnya. “Saya kesulitan mendapatkan ijin dari orang tua. Bagaimana bisa menjelaskannya?” katanya,
Dipihak lain ada juga yang menanyakan manfaat teater. Penanya dari teater Hitam Putih SMAN 1 Tuban ini lebih detail ingin menanyakan manfaat teater. “Kata Pembina saaya teater itu manfaatnya sangat luas. Apa yang dimaksud dengan luas?” tanyanya.
Mendapat dua pertanyaan itu, dua narasumber secara bergantian memberikan ilustrasi tentang manfaat teater dan mengapa teater selalu disalah artikan oleh orang tua. Eko Ompong Santoso memaparkan, bahwa semua kegiatan yang dilakukan pada dasarnya bermanfaat, asal semua dilakukan secara bersungguh-sungguh. Karena pada dasarnya berteater itu juga belajar memahami kehidupan. “Segala sesuatu yang kita lakoni dalam hidup ini bisa direfleksikan dalam teater,” kata Eko.
Lebih lanjut Eko Ompong memaparkan, bahwa sebenarnya teater merupakan bentuk terkecil dari kehidupan. Berteater pada dasarnya mencontoh segala hal yang terjadi dalam kehidupan. Kalau ada perbedaan persepsi dengan orang tua, Eko menyarankan hal tersebut jangan dijadikan beban tatapi sebagai tantangan.
Sementara itu, AGS Arya Dwipayana atau yang biasa disapa Mas Aji ini mempertegas pernyataan Eko Ompong. Menurutnya, tujuan teater tidak hanya sekedar panggung atau pentas saja. kalau orientasinya ke panggung, makna teater menjadi sempit. Teater terkait dengan proses yang sangat panjang. “Teater merupakan tempat untuk berlatih bermasyarakat dalam bentuk yang paling sederhana,” tegas Mas Aji.
Dipaparkannya, bahwa berteater itu didalamnya terdapat pelajaran bekerjasama, menghormati orang lain, tanggungjawab, disiplin, dan lain sebagainya. Drama atau teater juga bisa untuk dimanfaatkan untuk pembangunan karakter. Karena didalam teater juga dipelajari tentang olah rasa. Dia menconto beberpa sekolah di luar negeri mewajibkan pelajaran drama. Hal ini terkait dengan pembangunan karakter siswa. “Jadi kalau berbicara manfaat, manfaatnya sangat banyak,” kata Mas Aji.
Namun Mas Aji, memaklumi kalau banyak orang tua yang kurang memberikan perhatian pada kegiatan teater. Hal ini disebabkan pemerintah sendiri tidak mempunyai goodwill tentang kebudayaan. Menurutnya pembangunan bangsa hanya melalui pendekatan ekonomi. “Hampir-hampir semua pembangunan diorientasikan pada ekonomi,” katanya.
Tak salah kalau akhirnya banyak orang tua yang cari selamat. Mereka banyak mengarahkan anaknya untuk berkegiatan yang punya nilai ekonomi. karena itu untuk meyakinkan orang tua, Aji menyarankan agar para siswa giat berlatih, untuk membuktikan bahwa berteater juga ada manfaatnya. “Anggap saja larangan orang tua sebagai bagian dari proses berteater,” tegasnya.
Problim Teknis
Pertanyaan yang tidakkalah menariknya adalah tentang seluk beluk teater. Seluk beluk teater ini banyak ditanyakan oleh peserta dialog. Yang pertama ada yang menanyakan tentang perbedaan antar teater dan drama. Kedua ada juga yang menanyakan bagaimana cara berakting yang baik dan ketiga bagaimana metode menyutradarai yang baik.
Pertanyaan pertama disampaikan oleh peserta dari Teater Angin SMAN 2 Tuban. Dia mengaku masih bigung membedakan antara teater dan drama. Menurutnya selama ini dirinya tidak bisa membedakan apa yang dimaksud drama maupun teater.
Pertanyaan kedua disampaikan oleh peserta dari Teater Pandhan Room dari SMAN 2 Bangkalan dan juga dari teater Angin SMAN 2 Tuban. Kedua penanya ini mempertanyakan bagaimana tekni berakting yang baik. Penannya dari Teater Angin Tuban mengatakan, kalau dirinya sering terbawa dengan karekater yang pernah diperankan. Ia mencontohkan, pada penampilan pertama ia memerankan tokoh berkarakter garang seperti penjahat. Pada penampilan ke dua ia memerankan orang yang alaim. “Tetapi kendalanya saya sering terbawa dengan karakter peran saya yang pertama,” katanya.
Sementara penanya ketiga menanyakan tentang pendekatan penyutradaraan. Peserta dari SMAN 1 Papar, Kediri ini mengaku terkendala memilih pendekatan penyutradaraan. Menurutnya dengan metode otoriter (ditakor) ada kelemahanya, begitu juga dengan pendekatan (demokratis) juga punya kelemahan. “Kalau ditaktor, siswa cenderung melawan. Sementara kalau demokratis tidak akan memenuhi target,” katanya.
Mendapat pertanyaan ini Mas Aji tidak menjawab banyak, mengingat waktu yang sangat terbatas. Mas Aji mengatakan masalah perbedaan teater dan drama akan dijawab secara akademis oleh Eko Ompong Santoso. Tetapi dia memaparkan, pada dasarnya Indonesia punya sejarah yang panjang tentang pemahaman teater. Dia mengilustrasikan, kata teater tidak popular bagi sebagian orang misalnya orang betawi. Mereka menyebutnya Tonil. Hal ini menurut mas Aji karena factor sejarah. Di betawa misalnya menyebut tonil, karena dulu kebudayaan yang dibawa oleh penjajah Belanda disebut tonil, oleh Suryadi Suryadiningrat (KI Hajar Dewantara) disebut sandiwara. “Orang betawi tidak mengerti teater, tetapi tonil,” katanya.
Sutradara teater tetas ini menegaskan, kalau teater pasti berhubungan dengan panggung. Segala sesuatu yang dipentaskan di atas panggung disebut teater. Apakah disana ada konfliknya atau tidak, selama dipentaskan dalam panggung pertunjukan dinamakan teater. “Arti teater pada dasarya gedung pertunjukan,” katanya.
Sementara Eko Ompong lebih mempertegas pernyataan dari Mas Aji. Menurutnya drama berkaitan dengan sastra. Yang dimaksud drama adalah naskah lakon. Selum dipertontonkan naskah itu disebut drama (karya sastra). Kalau sudah dipertontonkan dinamakan teater.
Drama berkaitan dengan penulisan dan analisis naskah, seperti didalamnya ada konflik, latar (setting), penolohan, plot, alur, dan tema. Karena drama juga disebut cerita tentang kehidupan. “Kalau naskah itu kemudian dipentaskan dinamakan teater,” katanya.
Sementara itu menjawab pertanyaan lainnya, seperti bagaimana berakting yang baik dan bagaimana menyutradarai yang baik, Eko menegaskan hal itu tidak bisa dijawab sebelum ada pertanyaan apa? “Pertanyaan bagaimana hanya bisa dijawab kalau anda tahu dulu ‘Apa’?” kata Eko, bertanya balik.
Dipaparkan Eko, untuk mengetahui berakting yang baik, pertanyaannya bukan bagaimana, tetapi apa. Apa yang ada dalam naskah tersebut, apa tokoh, apa karakter, dan apa yang lainnya. “Kalau tidak tahu apa, tidak bisa menjawab bagaimana,” katanya.
Begitu juga dalam menyutradarai tidak bagaimananya yang ditanyakan, apa itu sutradara, baru bagaimana menyutradarai,, Seorang sutradara harus tahu apa itu sutradara berikut tugas dan fungsinya. Kalau pertanyaan ini tidak bisa terjawab, maka tidak mungkin seseorang bisa menyutradarai dengan baik.
“Jangan menjadi generasi ‘bagaimana’ atau piye. Tetapi jadilah generasi apa,” tegasnya.
Saran-Saran
Selain pertanyaan tersebut di atas, juga ada saran-saran yang disampaikan oleh Pembina teater di SMA. Saran petama hadir dari Harwi Mardianto, guru tetar dari SMKN 9 Surabaya. Ia menyarankan agar kegiatan jambore dimanfaatkan seoptimal mungkin, terutama untuk menjalin komunikasi.
Menurut Harwi, para peserta sebaiknya saling saring kepada peserta yang lain sehingga tahu kelebihan dan kelemahan masing-masing sekolah. “Orang teater harus kreatif. Jangan malas, orang teater tidak malas,” katanya.
Sementara dari Pembina SMAN 1 Papar, Kediri, menyarankan agar Taman Budaya Jawa Timur juga mengadakan festival teater remaja di daerah-daerah. Menurutnya agar panitia tahu persoalan teater di daerah yang sebenarnya. Begitu juga ia menyarankan agar panitia juga mengadalan pelatihan bagi pembina teater di daerah.
Surabaya, Agustus 2008
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati