Sabtu, 30 Juli 2011

Rumah, Pulang

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Rumah dan pulang mungkin dua tema yang akan terus kita temukan dalam kesusastraan sampai kapan pun. Sebab kedua tema ini telah menjadi bagian penting sejumlah penyair, di mana pun penyair itu berada. Sebagian besar mereka pernah menulis sajak tentang rumah dan pulang dengan kadar dan kedalaman masing-masing.

Esai ini hendak menggali kedua tema itu dalam puisi-puisi kita, dan itu tentu tidak semuanya bisa disajikan di sini. Hanya beberapa sajak saja yang sempat saya kumpulkan yang bicara ihwal rumah dan pulang, sementara ratusan—bahkan ribuan—sajak dengan tema yang sama tak mungkin bisa disinggung di sini. Barangkali inilah kepentingan sekaligus ketidakadilan seorang pembaca; ia memilih sajak sesuka hatinya, sesuai dengan hasrat hati dan keinginan subjektifnya.

Sebagian besar puisi lepas dengan riwayat dan sejarahnya masing-masing, yang akan dibicarakan di sini, tak mudah disusun menjadi satu ”rumah” pemaknaan. Sajak lepas ibarat sebuah potongan jigsaw yang mesti saya susun dengan teliti sekaligus harti-hati, agar membentuk suatu kedalaman kemaknaan dari kehidupan.

Rumah ibarat sepetak nostalgia yang ingin ditengok selalu. Sama seperti kampung halaman, rumah adalah sejarah dan rasanya tak puas kalau tak mengingatnya, jika perlu mendatanginya sekadar untuk melihat, syukur kalau bisa menginap sehari dua hari. Tapi rumah juga bisa membuat orang tak bebas bepergian jauh. Pancangan kenangan selalu akan terngiang, memanggilnya untuk kembali.

Kita tak sepenuhnya bisa menjadi warga dunia, dan mampu menjadikan setiap tempat milik kita karena memori akan selalu mengingat asal kita. Dan kalau sudah punya rumah, panggilan untuk pulang menjadi semacam keniscayaan sejarah, atau tradisi, layaknya mudik setiap lebaran: ia telah dianggap bagian dari pengalaman wajib untuk memperkaya hidup orang zaman sekarang.

Rumah erat kaitannya dengan lokalitas. Rumah yang apak sekalipun tak akan pernah terkikis dan terbuang dalam ingatan para penyair kita. Sebab ”tiada pengembara yang tak merindukan sebuah rumah”, kata Joko Pinurbo yang mengaku terus-terang dalam sajak ”Tiada”.

Tapi di situ pula soalnya. Kalau Tuan masih tak takut kehilangan rumah, tidakkah Tuan lihat: begitu banyak orang merindukan rumah yang ditinggalkan, dan berduyun-duyun mudik dengan segala risiko yang menghadang di perjalanan. Di sana mahia menjadi sesuatu yang mustahak. Dan rumah tidak selalu merupakan kehadiran yang mengungkung.

Iwan Nurdaya Djafar menjadikan tema pulang sebagai judul himpunan sajaknya. “Akhirnya aku pun paham, bahwa hidup adalah perjalanan pulang setelah terusir pada masa silam” (”Pulang”). Sementara Isbedy Stiawan harus kembali ke asal sebagai pengobat rindu: “kususuri masalalu, di sini matahari telah lesap, hingga sulit nemukan jejakku kembali…daun-daun luruh/menghapus arah, mengatup rumah/bagiku pulang” (“Kususuri Masalalu”).

Iswadi Pratama sama sekali tak ingin jadi pendurhaka dengan melupakan rumah, sampai-sampai “aku tak mau kehilangan bau keringatku” (“Pulang”). Sementara Ari Pahala mengajak membangun kembali rumah yang telah runtuh karena “ia tempat bagi bakal anak dan istrimu”, bahkan tempat “bagi nuranimu” berlabuh (“Membangun Rumah”). Dina Oktaviani membayangkan Tanjungkarang ditinggalkan sebagai bangkai yang kadang “menjelma hari kemarin, memberi semacam sakit dan ingatan” ( “Bangkai Tanjungkarang”). Jimmy Maruli berseru: “Pulanglah, atau kau sudah nemu rumah baru yang suwung/seperti tempat tinggal kita dahulu di kampung” (”Ayat Hikayat”).

Mengapa penyair kita begitu cepat memutuskan pulang? Secuil jawaban kita temukan dalam sajak Jimmy: “karena kota ini angkuh bagi pendatang, karena kita kadang dibaptis sebagai perantau, diberi indeks-indeks, rumah dengan kamar sempit, dimana kata tak menjamin segalanya rampung”.

Kalau sudah begitu, yang jadi soal bukan mengapa pulang, tapi bagaimana rumah dan pulang itu dihadirkan. Sebagian besar penyair kita ternyata takut kehilangan rumah. Hal ini bisa dimaklumi, sebab kita semua akan selalu kehilangan rumah. Disinilah konflik dan ketegangan itu bermain.

Bagi penyair yang gandrung pada mitologi Yunani, mereka mengambil tauladan dari beberapa tokoh. Chairil Anwar berusaha memecahkan ketegangan dengan memutuskan jadi manusia pengembara selamanya bagaikan Ahasveros yang dikutuk Dewi Eros. Karena dia penyair, rumah yang dibayangkan bukan seperti penyair kebanyakan, tapi ”Rumahku dari unggun-timbun sajak/Di sini aku berbini dan beranak” (”Rumahku”).

Sementara sebagian besar penyair kita mengambil tauladan dari sosok Odysseus, sekan-akan itulah dewa yang ideal. Padahal tokoh ini kata Emmanuel Levinas, masih merindukan pulang, dan akhirnya memang memutuskan pulang. Sitor Situmorang tipikal penyair model ini ketika mengatakan: “Rinduku/Pulang dalam Rumah dalam Seni/Angin manis meniup pasir benua Afrika/Di Eropa kutahu masih salju/Sampai ke padang-padang Siberia/Aku harus ke Moskow, tapi/Memenuhi harapan yang kusayang/Untuk kumpul di akhir Ramadhan/Aku pulang malam terbang garuda rindu” (sajak ”Panggilan”).

Sementara Toto Sudarto Bachtiar dalam sajak ”Rumah” bilang: ”Terkadang terasa perlunya ke rumah/Atau terasa perlunya tak pulang rumah”. Sutardji C. Bachri ”terpaut nyeri dalam guratan kicau Riau parah yang dalam, riwayat lengah tak sampai paham, meski pulang selama pulang, tak hilang kau dari ingatan (”Buat Idrus Tintin”). Pencarian akan Tuhan juga harus diakhiri dengan bertobat: ”Ya, Tuhan, jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoar, tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia, kini biarkan aku menenggak marak cahayaMu, di ujung sisa usia” (”Idulfitri”).

Begitulah sekelumit kegelisahan para penyair kita dalam menentukan tempatnya berpijak. Persoalan rumah dan pulang menjadi semacam daerah pergulatan, atau pergolakan, yang eksistensial sifatnya. Ada kalanya mereka berusaha mempertanyakan kembali apakah sebaiknya penyair memang tak memiliki rumah. Adakalanya mereka merasa cemas dan takut kehilangan rumah. Tapi satu hal yang jelas: kita memang akan selalu kehilangan rumah.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Gerson Poyk Terharu Menerima Anugerah Kebudayaan 2011

Ami Herman
http://www.suarakarya-online.com/

Duduk berpangku tangan di pinggir meja rapat Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik, di lantai 16 Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Rabu pekan lalu, Gerson Poyk nampak lebih muda dari usianya. Seluruh rambutnya yang telah putih, dicukur pendek, mengenakan setelan jas warna gelap dilengkapi dasi warna merah.

Sesekali pria kelahiran Nomodale, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931 ini memperhatikan ruangan rapat orang nomor satu di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata itu. Dia kemudian mengalihkan perhatiannya ke masyarakat lain dari berbagai daerah, yang kebetulan duduk berdekatan dengannya karena hari itu bersama-sama Gerson Poyk akan menerima penghargaan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Dan, satu persatu Menbudpar Jero Wacik menyerahkan penghargaan tersebut kepada mereka yang dinilai sangat pantas – tahun ini – menerima tanda jasa dari Pemerintah.

Seluruhnya ada 48 orang yang menerima penghargaan Maestro Seni Tradisi yang diserahkan hari itu oleh Menbudpar. Kemudian 6 orang penerima penghargaan khusus Anugerah Kebudayaan 2011, 6 orang penerima penghargaan Anugerah Seni, 6 penghargaan Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya dan 6 penghargaan untuk Anak/Pelajar/Remaja yang berdedikasi Terhadap Kebudayaan. Gerson Poyk termasuk diantara 6 penerima Anugerah Kebudayaan 2011.

Siapa Gerson Poyk? Dia salah satu dari sekian banyak budayawan dan penyair negeri ini yang karyanya selalu dipuji pembacanya. Karyanya berupa puisi, cerita pendek dan novel.Banyak diantaranya karyanya sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing.

Sampai kini Gerson yang – pernah lama jadi wartawan di harian sore Sinar Harapan – masih aktif menulis cerita pendek.

Beruntung sekali, halaman Sastra dan Budaya Harian Umum Suara Karya termasuk sering mendapat kiriman cerpennya. Sebelum memiliki nomor rekening di sebuah bank, ayah Fanny Jonathan Poyk – juga seorang wartawati dan pengarang produktif dan sering pula menulis cerpen di Suara Karya – selalu datang sendiri ke sekretariat redaksi Suara Karya untuk mengambil honorarium cerpennya. Banyak pembaca Suara Karya menyukai cerpen Gerson Poyk.

“Kebetuan ayah saya pelanggan Harian Suara Karya, jadi bisa mengikuti cerpen karangan Pak Gerson Poyk yang diterbitkan Suara Karya. Saya sudah menyimpan 5 cerpen Pak Gerson dari lembaran sastra Suara Karya. Semua cerpennya punya nyawa dan enak dibaca,” jelas Nadine Tri Duhita, mahasiswi tingkat akhir (Program Sarjana) Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung.

“Saya juga menyukai cerpen karya Pak Gerson. Sejak masa kuliah di ITB Bandung, sering saat senggang saya terisi dengan membaca cerpen karya Pak Gerson. Saya menyukai karakter tokoh yang dibuat Pak Gerson dalam banyak cerita pendeknya. Syukurlah, saat ini saya bisa bertemu langsung cerpenis idola saya,” tutur Menbudpar Jero Wacik dalam acara ramah tanah dengan para penerima penghargaan.

“Cerita pendek karya pak Gerson saya sukai karena memberi inspirasi kepada pembacanya mengenai banyak hal yang ditulisnya. Pak Gerson punya kekuatan tersendiri dibanding budayawan lain kalau sudah bercerita tentang Bali, alam Nusa Tenggara Timur, khususnya Pulau Rote dan kisah suka duka seorang guru di pedalaman. Sampai sekarang saya selalu terkenang cerita pendek beliau. Bahagia sekali saya bisa bertemu Pak Gerson sambil meneruskan penghargaan dan Salam bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Pak Gerson Poyk,” tutur Menbudpar lagi.

Kalau dalam banyak cerpennya Gerson kerap menulis tentang Bali, alam Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Maluku, Papua dan fasih berceria tentang tugas-tugas mulai seorang guru di pedalaman, tidaklah mengejutkan lagi. Bisa begitu, karena awal karir penulisan sastra seorang Gerson adalah seorang pendidik, seorang yang berhadapan langsung dengan beragam masalah krusial di pedalaman. Asal tahu saja, guru dipedalaman tidak saja mengurusi anak didik, tetapi juga dibebani tanggungjawab mengkampanyekan program Keluarga Berencana, Pajak Bumi Bangunan, sampai urusan tetek bengek lainnya yang sebenarnya bukan menjadi tugas resmi seorang guru seperti Gerson Poyk.

Tetapi, dengan bermodalkan ijazah SGA (Sekolah Guru Atas) Kristen Surabaya, jadilah Gerson mendapat kepercayaan ikut mengurusi ini dan itu. Maka, dalam menjalami tugas guru jaman baheula, Gerson punya segudang pengalaman suka dan duka sebagai guru dj pedalaman. Belum lagi jika sudah bulan tua, pusingnya minta ampun, karena gaji guru sangatlah minim.

“Bayangkan saja, pernah gaji saya tidak cukup untuk beli sebungkus rokok. Pernah juga gaji saya, dua tahun kemudian baru saya terima. Dulu jadi guru memang benar-benar pengabdian. Hidup sebagai guru juga sangat susah. Sangat menderita. Tidak seperti sekarang, guru banyak sekali yang senang hidupnya. Saya pahami itu semua,” ujar Gerson, lirih.

Setelah jadi guru sekolah dasar Gerson memilih jadi wartawan. Pada masa itulah Gerson sangat produktif menghasilkan karya tulis bernafaskan humanis.

Cerpen, puisi dan esainya mengalir di banyak media cetak. Pada masa itulah pula, Gerson bercerita, banyak karya sastra yang dihasilkannya mencerdaskan pembacanya, terutama sekali dari kalangan mahasiswa yang menjadikan karya-karya sastra penulis novel Memendan Dendam ini sebagai bahan disertasi dan tesis.

Melalui novelnya Sang Guru yang dinilai sangat menyentuh dan memberi isnpirasi tugas-tugas mulia para pendidik di tanah air, Gerson Poyk, bersama dua budayawan lain, yakni Ahmat Tohari (penulis novel Bekisar Merah) dan Ramadhan KH (penulis novel Ladang Perminus) menerima hadiah sastra dari Pusat Bahasa Indonesia Depdiknas Tahun 2003.

Tapi, pernahkah Gerson bermimpi akan menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan seperti diterimanya sekarang?

“Belum pernah saya impikan, dan tak akan pernah saya mimpikan. Soalnya, sejak dulu sampai sekarang saya menulis bukan untuk mendapatkan penghargaan, apalagi Anugerah Kebudayaan. Tidak pernah saya mimpikan. Saya menulis karena saya ingin melakukan perubahan perubahan melalui tulisan saya.

Ternyata tidak sia-sia saya menulis. Banyak pembaca yang kirim ucapan terima kasih, karena sudah jadi orang setelah diwisuda jadi sarjana yang tesis dan disertasinya diilhami dari karya-karya sastra saya,” tutur Gerson Poyk.

Sejumlah masyarakat dari berbagai daerah yang hari itu duduk berdampingan menerima penghargaan dari Presiden nampak terharu mendengar penuturan Gerson Poyk. Ketika Menbudpar menyerahkan Anugerah Kebudayaan 2011, Gerson Poyk juga tampak sangat terharu. Menbudpar kemudian minta dipotret bersama dengan GersonPoyk.

Gerson Poyk hari itu, menjadi satu-satunya budayawan dan penyair yang menerima Anugerah Kebudayaan 2011. Gerson juga menerima bantuan sejumlah uang.
Selamat Pak Gerson Poyk!

16 Juli 2011

40 Hari KEPERGIAN RAMADHAN KH

Ratna Sarumpaet Berkeluh Kesah
Susianna
http://www.suarakarya-online.com/

Empatpuluh hari sudah, tepatnya tanggal 15 Maret 2006 persis di hari ulang tahun ke-79, sastrawan, penulis biografi, wartawan, penyair dan seniman intelektual Ramadhan Karta Hadimadja meninggal di Cape Town, Afrika Selatan. Jasadnya dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan, 18 Maret 2006. Namun jasa dan karyanya melekat dan tetap dikenang Dewan Kesenian Jakarta dalam acara “Mengenang Ramadhan KH” di Graha Bakti Budaya, Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Selasa (25/4) malam lalu.

Acara diawali dengan pemutaran film dokumenter ketika jasad almarhum disemayamkan di rumah duka hingga dimakamkan di Tanah Kusir. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa secara khusyuk oleh Jamal D Rahman hingga rangkaian pentas-pentas seni mengenang almarhum.

Trisutji Djulianti Kamal dengan tuts piano mengalunkan lagu-lagu yang syahdu. Lalu tampil aktris Jajang C Noer membacakan dengan penuh intens puisi almarhun yang diambil dari kumpulan puisi “Periangan Si Jelita”. Tak ketinggalan, Sitor Situmorang (81 tahun) juga membacakan puisi karya sahabatnya itu setelah bertutur tentang percakapan terakhir melalui telepon jarak jauh dengan almarhum.

Sebelum pementasan musik bambu di bawah pimpinan Sugeng Pratikmo, penuturan sastra oleh Sofyan Zaid, diputar film dokumenter Ramadhan KH “Maestro” yang pernah ditayangkan di Metro TV, Sabtu, 25 September 2004. Rangkaian acara yang dihadiri sejumlah seniman dan sastrawan itu ditutup oleh musikalisasi puisi Ramadhan KH oleh Deavis Sanggar Matahari.

Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang tak dapat hadir diwakili dengan pemutaran audio visual mengenai kesan-kesannya terhadap almarhum. Diakui Ali Sadikin, almarhum termasuk salah seorang seniman yang mampu menggugah pemikirannya untuk membangun Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (1968) di lahan bekas kebun binatang. Kemudian dari almarhum dan beberapa seniman lainnya terungkap pula gagasan perlunya pembentukan Dewan Kesenian Jakarta (1969).

Tak heran, almarhum termasuk orang yang beberapa periode duduk di pengurusan DKJ, baik sebagai sekretaris maupun direktur pelaksana harian. Jabatan ini mempererat relasinya dengan seniman. Di antaranya Ramadhan pernah memberikan katabelece usulan keringanan atau dispensasi untuk menginap di Wisma Seni (sekarang sudah dibongkar) di Kompleks TIM.

Di lobi digelar beberapa buku, termasuk di antaranya 40 buku yang ditulis almarhum. Di samping itu, dipampangkan pula sejumlah kliping pers tulisan dan laporan jurnalistik almarhum. Dokumen yang sangat berharga itu, kini tersimpan rapi di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin.

* * *

Meski sudah menetap di luar negeri, batin Ramadhan KH tetap terpatri pada TIM dan DKJ. Bahkan, almarhum menyarankan agar buku tentang DKJ perlu segera diterbitkan. Gagasan itu telah terwujud dalam bentuk buku bertajuk “Kebijakan dan Kontroversi DKJ 2003-2006″, yang diluncurkan bertepatan dengan 40 hari kepergian almarhum. Peluncuran buku berukuran 19 x 25,5 cm setebal 392 halaman itu ditandai dengan penyerahanbuku tersebut oleh Ketua Bidang Umum Dewan Pekerja Harian (DPH) Ratna Sarumpaet kepada Wakil Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Agung Widodo mewakili Gubernur DKI Sutiyoso.

Buku yang “Dipersembahkan kepada Ramadhan KH” ini sebagai laporan kinerja DKJ periode 2003-2006 yang sebentar lagi berakhir. Namun yang banyak menyita halaman (116 halaman) adalah “uneg-uneg” Ratna Sarumpaet yang memaparkan pengalaman pahit-manisnya sebagai pejabat DKJ dan kemelut dalam tubuh DPH dan DKJ.

Ibarat api dalam sekam, pimpinan teater “Satu Merah Panggung” yang pernah mementaskan monolog “Marsinah Menggugat” dan pernah dicekal di Bandung dan di Jakarta itu, sepertinya merasa disudutkan oleh “orang dalam” di tubuh DKJ.

Layaknya sebuah “novel”, Ratna bercerita blak-blakan adanya pro dan kontra selama kepemimpinannya. Bahkan Ratna merasa, sejak awal pihak birokrat sepertinya tidak berkenan ia duduk di DKJ karena protes-protesnya terhadap pelanggaran hak asasi manusia.

Selama masa kepemimpinan Ratna, DKJ sering diterjang badai. Banyak kalangan menentang kebijakan, bahkan menjalar sampai ke pribadinya. Sebagai contoh, soal kebijakan Ratna memindahkan sekitar 400 lukisan DKJ ke sanggarnya dengan dalih sebagai langkah penyelamatan, menuai reaksi keras.

Penentang kebijakan itu tidak hanya datang dari anggota DKJ, tetapi juga dari kalangan seniman. Padahal, konon, awalnya telah disepakati mencari tempat penyimpanan lukisan yang lebih murah sambil menunggu tempat yang permanen. Poster-poster yang bernada kecaman, makian, hujatan dan pemaksaan agar Ratna mundur dari jabatannya membanjiri Kantor DKJ. Untung Ratna tanggap atas rekasi keras itu hingga cepat-cepat mengembalikan koleksi lukisan itu ke TIM.

Buku DKJ yang dibagikan secara gratis memuat gambaran kronologis kemelut di DKJ periode 2003-2006. Ada praktik pemaksaan kehendak untuk memasukkan rekannya dalam kepengurusan DKJ. Terungkap pula bahwa ada sejumlah seniman yang tidak mau diatur oleh ketentuan DKJ hingga membentuk komunitas sendiri. Demikian juga ada kelompok etnis di Jakarta merasa punya hak mendominasi DKJ.

DKJ periode kepemimpinan Ratna Sarumpaet pernah dihujani makian dari berbagai pihak dan provokator atas kasus-kasus yang menerpa lembaga ini. Tak pelak, pribadi Ratna Sarumpaet sebagai pimpinan puncak DKJ, tak luput pula dari berbagai kritikan tajam, termasuk dari media cetak dan elektronik. Puncak kemarahan sejumlah seniman atas kebijakan Ratna dimuntahkan lewat aksi corat-coret dan orasi usai pembukaan Kongres Kesenian Indonesia II (26-30 September 2005) di Padepokan Pencak Silat, Jakarta Timur.

Program DKJ 2003-2006 berjalan stagnan. Kegiatan masing-masing komite, baik sastra, teater, seni rupa, tari, musik maupun film terekam dalam buku DKJ, meski tidak segencar manakala TIM berdiri. Di lain pihak, tercatat beberapa program belum dilaksanakan.

Yang menarik, dalam buku DKJ terkandung tulisan berjudul “Menolak Pornografi, Tanpa RUU Anti Pornografi dan Porno Aksi”. Buku ini menguraikan panjang lebar mengapa RUU APP harus ditolak.

Puisi-Puisi Ramadhan KH

http://budhisetyawan.wordpress.com/
3

bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas tali-tali kayu berlubang

sumur segala derita,
bersamaan semua berpelukan

bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas hati-hati dara terluka

sumur segala sayatan,
penampung tangis bertukaran

[dari sub-kumpulan Dendang Sayang]



3

penyair
kayu pertama
di tumpukan pembakaran

penyair
abu landasan
di tumpukan reruntuhan

dara!
bimbang hanya
mencekik diri sendiri!

dara!
takut hanya
buat makhluk pengecut!

[dari sub-kumpulan Pembakaran]

(diambil dari buku: Priangan Si Jelita, Kumpulan sajak 1956 Ramadhan KH, Penerbit Pustaka Jaya, cetakan keempat, tahun 2000)

Minggu, 24 Juli 2011

MENIMBANG KEPENYAIRAN SUTARDJI CALZOUM BACHRI (SCB) DARI BUKU NUREL: MENGGUGAT TANGGUNGJAWAB KEPENYAIRAN *

Aguk Irawan MN**
http://sastra-indonesia.com/

Penyair-penyair itu diikuti orang-orang yang sesat. Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah khayalan dan kata. Dan mereka sering mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan. Kecuali mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika didzalimi. (QS As-Syu’ara, 224-227).

Saya merasa perlu mengutip ayat diatas, karena selain SCB sendiri yang membawanya dalam kredo keduanya “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair”, Pidato Kebudayaan dalam acara Pekan Presiden Penyair, yang dimuat di HU Republika, 9 September 2007, Nurel Javissyarqi (NJ) sendiri penulis buku “Menggugat Tanggungjawab Kepanyairan SCB” (Penerbit Sastrenesia, 2011) juga secara nyinyir mencoba mengurai, mengupas dan merefleksikan nilai-nilai dan pesan ayat tersebut untuk memaknai kredo kedua SCB.


Setelah khatam menghabiskan buku NJ tersebut yang menyorot isi pidato SCB yang dilampirkan dalam buku tersebut, setidaknya saya menemukan dua alasan dalam kerangka besar keberatan NJ terhadap isi pidato tersebut. Pertama, NJ merasa, SCB berlebihan dalam memaknai profesi penyair (sastrawan), yang hanya sekedar bebas bermimpi dan mencipta lalu tak ada lagi setelah itu, termasuk pertanggungjawabannya kepada pembaca, kepada dirinya sendiri dan tentu kepada Tuhan. Karena menurut SCB, penyair itu hampir saja menyamai “profesi” Tuhan, yang sekedar bermimpi dan mencipta, maka jadilah, kun fayakun itu. Bagi NJ, profesi sebagai penyair, tidak kurang dan lebih sebagaimana profesi lain, pemotret, petani, pedagang, buruh, nelayan, guru dan lain sebagainya, yang tentu setelah ia berbuat sesuatu, ada sesuatu lain yang bahkan lebih besar dari semula, yaitu pertanggungjawabannya.

Kedua, NJ menganggap bahwa SCB telah sesat-pikir mengenai makna dan fungsi kata, bahasa dan tentu puisi dalam kehidupan, karena sejak lama SCB berpendirian, bahwa kata harus dibebaskan dari keterjajahan makna dan fungsinya sebagai alat pembawa pengertian. Kerenanya NJ mencoba menangkap maksud ini, lalu mengomel, dan tentu mengkritik disana-sini, meski ia sendiri nampak terbata-bata.

Sebagaimana yang sudah pernah saya tulis (Penyair dan al-Qur’an dalam Rekaman Sejarah) di harian yang sama dimana tulisan SCB terpublikasikan (Republika), bahkan tarikh pemuatanya juga pada bulan dan tahun yang sama (2007). Saya kutipkan pendapat Syauqi Dlaif dalam buku Tarikh al-Adab al-Arabi (Kairo: Dar al-Maarif, 1968), barangkali bisa sebagai penyeimbang gagasan antara SCB dan NJ, atau bisa dijadikan pelengkap dari data NJ. Dijelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tidak saja membawa petunjuk yang benar, tapi juga sebagai ‘penyaing’ keulungan sastra Jahily dan pencerah atas keulungan tersebut.

Keulungan sastra Jahily saat itu memang tak diragukan lagi oleh banyak pengamat kebudayaan. Manuskrip-manuskrip kuno (sastra Jahily), membuktikan hal itu. Tetapi, pada zaman itu jangan ditanya bagaimana bentuk puisi dan makna puisi itu bisa diterjemahkan? Lebih jauh lagi, bagaimana moral masyarakatnya, khususnya prilaku para penyairnya. Dari latar belakang itulah, Ibnu Qutaibah dalam buku Asy-Syi’ir wa as-Asyu’ara (Beirut: Dar ats-Tsaqafah, 1969) memaparkan hari lahir dan asal usul ayat diatas kenapa turun kepada Nabi.

Menurut Qutaibah, kenapa sastra yang konon sebagai penyangga suatu peradaban seperti tak berguna? Tentu, karena sastra Jahiliyah tersebut nyaris tak menyimpan makna yang bisa membangun peradaban, lihatlah bagaimana bentuk mantra yang menyerupai puisi yang sudah dihasilkan oleh Musailama seperti dalam Ma Huwal Fil atau dengan Ayat-Ayat Kataknya? Begitu juga apa yang telah dihasilkan oleh Imri’ al-Qois, dengan Ayyuha Attahali Al-Bali-nya? Atau karya dari penyair ulung Jahili lainnya, seperti Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa. Lalu Bandingkan dengan karya-karya penyair yang sudah mendapatkan “pencerahan” dari Nabi, seperti Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Zuhair. Labid bin Rabi’ah dan tentu Ibnu Rawahah.

Nabi dan tentu Islam percaya, hanya karya sastra yang bermakna, dapat ditelaah (baca: mengandung hikmah), yang mengajak dalam kebaikan, serta menjauhi segala kefasadan dan para kreasinya di barisan paling depan untuk menjalankannyalah yang bisa membawa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, yang mampu menyangga peradaban. Yang tidak “yaquluna ma yaf’’alun” (sekedar mengatakan, tapi tidak pernah merealisasikan). Sejarawan Muslim at-Tahawani menceritakan, sejarah turunnya surat As-Syu’ara (para penyair) dilatarbelakangi kenyataan bahwa di sekeliling Nabi adalah para pembual, pengakrobat kata, dan penelikung kata untuk diselingkuhkan yang awalnya demi kebaikan menjadi ke-amoralan, begitu sebaliknya, karenanya ayat tersebut mengatakan dengan tegas bahwa; penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang sesat. Atas dasar itulah, ketika ditanya sahabat, apakah Nabi pernah berpuisi, Aisyah menjawab bahwa puisi adalah bentuk omongan yang ia benci (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Juz IX, hlm 224). Puisi yang dimaksud disini adalah jenis gombalan dan akrobati bahasa saja. Pengecualian hanya kepada penyair beriman, yang tentu tidak mau tergiur dengan arus akrobati bahasa saja, tetapi ia memberikan hikmah dan mengadakan pembelaan saat didzalimi.

Nah, dari sejumput pengertian ini setidaknya kita bisa mengambil kesimpulan, dengan apa yang telah dihasilkan oleh SCB dalam proses kreatif atau karier kepenyairannya. Ketika ia menyatakan, bahwa kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri. Bahwa kata-kata harus dimerdekakan dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus-kamus dan penjajahan lain.

Tidak sekedar itu, pada pemikirannya yang kedua dalam “Kredo”-nya tersebut, SCB juga ingin “mengembalikan kata kepada mantra”. Sehingga SCB dalam menyeret ayat diatas, mengemukakan tafsir, karena itu para penyair boleh berbuat semua-maunya dan berimajinasi sebebas-bebasnya, lalu menyusun kata seliar-liarnya, sesukar-sukarnya dan tentu, tidak perlu harus malu, apalagi terbebani untuk mempertanggungjawabkannya kepada khalayak, Tuhan dan dirinya sendiri. Ia lupa, bahwa ayat tersebut sebagai pemula atas penekanan akan “ketersesatan” penyair, juga ada pengecualian sebagai penegasan (yaitu penyair beriman). Mari kita ambil contoh dan nikmati satu karyanya itu:

KUCING
Sutardji Calzoum Bachri

ngiau! kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bu
kan singa bukan hiena bukan leopar dia
macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah af
rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau
kucing meronta dalam darahku meraung me
rambah barah darahku dia lapar O a
langkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak memakan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar laparku
cingku berapa abad dia mencari menca
kar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri da
ging jangan beri nasi tuhan mencipta
nya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejumput saja untuk tenang seha
ri untuk kenyang sewaktu untuk tenang
di bumi ngiau! dia meraung dia menge
rang hei berapa tuhan yang kalian pu
nya beri aku satu sekedar pemuas ku
cingku hari ini ngiau huss puss diam
lah aku pasang perangkap di afrika aku
pasang perangkap di amazom aku pasang
perangkap di riau aku pasang perangkap
di kota kota siapa tahu nanti ada satu
tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi
sekerat untuk kau sekerat untuk aku
ngiau huss puss diamlah

Allah berfirman, “Alquran bukanlah perkataan seorang penyair, sedikit sekali mereka yang beriman, juga bukan ucapan dukun, sedikit sekali mereka menyadari.” (Qs Al-Haqqah: 41-42). Jadi, nabi bukan seorang dukun (penyihir) juga bukan seorang penyair. Nabi adalah penerima kalamullah. Menurut al-Jumahi, bahwa yang bisa menggetarkan orang tidak saja firman, tetapi juga puisi dan mantera dari jenis perdukunan/sihir. Itu berarti ada penekanan perbedaan antara hakikat firman, bahasa dan mantra. (Muhammad bin Sulam al-Jumahi, Thabaqat Fuhul asy-Syu’ara, hlm 188). Bercermin dari sini saya sendiri meyakini bahwa antara puisi dan mantera adalah dua jenis yang berbeda, dilihat dari berbagai aspek dan syaratnya.

Meski sampai sekarang belum ada batasan yang tepat tentang pengertian puisi. Tapi setidaknya, ahli bahasa sudah sepakat, bahwa garis besar puisi adalah bentuk karangan yang padat dan terikat dengan syarat-syarat: banyaknya baris dalam setiap baris, dan terdapatnya persamaan bunyi atau rima, baik rima horisontal maupun rima vertikal. Yang menjadi titik tekan dari padat, tidak lain, tentu makna dan nilai-nilai filosofisnya.

Sementara Ajip Rosidi (1987:67) memaparkan bahwa mantra adalah rangkaian kata, dan seringkali mengandung kata-kata serapan asing yang kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta, Arab, maupun Tibet. Kata-kata dalam mantra tersebut diturunkan oleh pawang atau dukun kepada pawang lain secara lisan sehingga sering mengalami kerusakan sedemikian rupa dan sulit untuk menemukan bentuk asalnya. Pada hakikatnya, mantra sebagai salah satu bentuk puisi lama sesungguhnya merupakan suatu bentuk perkataan atau ucapan yang mampu mendatangkan daya gaib. Di dalam sebuah mantra yang lengkap pada umumnya terdapat unsur judul, unsur pembuka, unsur niat, unsur sugesti, unsur tujuan dan unsur penutup. Namun, yang paling penting dan paling pokok dalam mantra adalah unsur sugesti, sebab unsur sugesti inilah yang memiliki daya atau kekuatan untuk membangkitkan potensi kekuatan magis. Di samping unsur sugesti, dalam pengamalan mantra, seperti di daerah Jawa misalnya, terdapat pula unsur laku mistis yang mendukung. Unsur laku mistis itu antara lain adalah penyertaan kegiatan puasa dalam proses pembacaan mantra.

Kalau begitu, setujukah kalian, bila NJ dengan tegas, mengatakan bahwa SCB bukanlah penyair melainkan PEMANTRA atau DUKUN? Ataupun kalau masuk golongkan penyair, maka dia PENYAIR JAHILIYAH? Mari kita berdiskusi?

Rumah Kata, 18 Juli, 2011
* Disampaikan Pada Acara Bedah Buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan SCB”, karya Nurel Javissyarqi, di Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda “Karta Pustaka,” Jl. Bintaran Tengah 16 Yogyakarta, 21 Juli 2011.
** Penerjemah buku “O Amuk Kapak” menjadi Atholasim, karya SCB, terbit di Mesir 2005.
http://pustakapujangga.com/2011/09/reviewing-the-authorship-of-sutardji-calzoum-bachri-scb-from-nurel%e2%80%99s-book-%e2%80%9cmenggugat-tanggungjawab-kepenyairan%e2%80%9d-sue-responsibility-of-authorship-of-sutardji-calzoum-bachri/

Gempa Kolono, Kedamaian Langgapulu, dan Keindahan Labuan Bajo

Syaifuddin Gani
http://sastra-indonesia.com/

Kolono: Antara Gempa dan Janji

Meninggalkan Kota Kendari, pukul 08.00 pagi. Kami harus segera sampai di Langgapulu, Konawe Selatan (Konsel) sebelum azan Zuhur tiba. Jika tidak, kami bisa ketinggalan katinting yang akan menyeberang ke Labuan Bajo, Wakorumba Utara, Kab. Buton Utara. Saya bersama Uniawati, teman sekantor, akan mengadakan penelitian antropologis di Labuan Bajo, daerah yang diyakini tempat hidup suku Bajo yang mendiami wilayah pesisir.

Ini perjalanan pertama saya menyusuri daratan Konsel yang ramping, perawan, dan matang. Pantai Nambo yang damai dan Moramo yang hijau kami tembus dengan kendaraan AVP yang cepat melaju. Jalan terkadang menanjak dan mendaki pinggul perbukitan yang ranum. Juga sesekali kami menuruni lembah Konawe yang membuat ban mobil sesekali cekikikan. Kata pak sopir, di sini, jalan yang mulus dan yang berlubang, sama panjangnya. Sudah sekian tahun jalan ini tak tersentuh aspal. Akibatnya, jika hujan mengguyur bukit-bukit ini, mobil kepayahan mendaki. Yah, batin saya, mendaki jalan di musim hujan, sama musykilnya dengan mendaki janji di musim kampanye.

Ah, Kolono. Nama ini begitu puitis. Jika huruf akhir diganti dengan “i”, maka akan memberi efek makna yang berbeda. Tapi, Kolono, sekali lagi memberi kesan yang khas bagi siapa saja yang baru pertama mengecap nama ini. Ada dua huruf konsonan dan tiga huruf vokal. Ketiga huruf vokal ”o” itulah yang membuat nama kampung ini terdengar indah.

Apa boleh buat, keindahan nama Kolono, berbeda dengan nasib yang dialami puluhan rumah di sana yang ambruk dirongrong gempa 6,2 SR. Pak sopir yang bersahabat, dengan sikap ramah memperlihatkan kepada kami rumah-rumah yang “mencium” keharuman tanah Kolono, tanah Konawe yang berduka. Bahkan ia rela berhenti ketika saya meminta untuk mengabadikan sebuah kantor desa yang bertekuk lutut di sebuah lapangan hijau. Bangunan itu pemain seperti seorang pemain sepak bola yang kakinya tersapu kaki lawan, lalu tubuhnya ambruk ke bumi.

Ada pemandangan yang melahirkan simpati, yakni tenda-tenda yang terpasang secara darurat di halaman rumah penduduk. Jika malam, kata pak sopir, mereka nginap di sini karena masih trauma pada gempa. Sepanjang jalan, paling tidak, saya melihat ada tenda hijau besar yang tertulis di atapnya, Dinas Sosial Sulawesi Tenggara. Bahkan, ada kelambu yang dipasang di halaman rumah di atas sebuah ranjang darurat.

Menariknya, di dalam mobil yang kami tumpangi, terdapat seorang ibu tua berkerudung tua, ditemani seorang cucunya yang jelita. Katanya, hari pertama ia mendapat bantuan 1 liter beras dan 1 bungkus mie. Hari berikutnya, ia menerima (kalau tidak salah) satu liter beras dan satu buah ikan kaleng. Padahal, katanya, di rumahnya ada tujuh orang. Kami ini, orang-orang yang kurang mendapat perhatian. Mana cukup bantuan sekecil itu dengan jumlah orang di dalam rumah. Kami ini, lanjutnya, paling tidak, hanya mendapat simpati dan perhatian sekali dalam lima tahun, yakni pada saat kampanye. Setelah itu, kami dilupakan. Tapi kami bersyukur, gempa ini, mendatangkan perhatian yang lebih, lanjutnya.

Kami harus berpisah dengannya di sebuah kampung. Ia menunjukkan kepada saya rumahnya yang purba. Foto dulu kita hae, sebelum komorang lanjut, mintanya. Saya turun dari mobil lalu mengabadikan wajah dan nasibnya yang berlatar rumahnya. Sayang, cucunya yang marun dan ranum, begitu cepat bergegas ke dalam rumah, jadi hanya rambut hitam, lengan, dan tasnya yang terabadikan di foto itu.

Di Langgapulu, Dua Pulau Dipeluk Satu Teluk, Dua Rindu Dilebur Satu Laut

Sekitar jam 12 siang. Mobil kami belok kanan di ujung daratan Konawe di sebuah kampung yang bernama Langgapulu. Yah, ini adalah sebuah kampung mungil yang denyut nadinya berjalan secara lambat, bagai alunan ombak pagi hari. Rumah-rumah warga seperti bertaut di kaki bukit dan di tepi laut. Jalan menuju dermaga sunyi diapit rumah-rumah warga yang sederhana. Setiap Kamis, Langgapulu merayakan hari pasar. Maka di situ, denyut kehidupan sedikit lebih cepat. Ada tawar-menawar antara pedagang-pembeli, antara penumpang dan pemilik kantinting dari Palangga (Konawe Selatan) ke Labuan Bajo (Buton Utara).

Entah mengapa, saya selalu tercenung dengan kosmologi kehidupan seperti di Langgapulu ini. Rayuan pohon-pohon kelapa, hembusan angin laut, rumah-rumah yang tenang dan sederhana, dan orang-orangnya yang mencintai alam sekitar seperti mencintai diri mereka sendiri. Ada sungai kecil keluar dari ketiak bukit menuju kebeningan laut. Tak ada pencemaran. Meski yang mungkin sesekali ada adalah kecemasan pada nasib hidup yang serba kekurangan. Saya jadi ingat kata-kata ibu tua di dalam mobil beberapa saat lalu, kami adalah orang-orang yang dilupakan. Yah, dilupakan oleh pemerintah sendiri! Sementara, penguasa selalu tampil mahal dan mewah, jauh dari sifat peka atas nasib papa warga yang dulu selalu jadi objek janji-janji!

Pak, pak, pak, ada penumpang. Cepat hae! Sebuah suara menyambut kami. Suara dari sebuah rumah tua bercat tua pula. Seorang Lelaki Tua muncul sambil memasang kancing bajunya. Lelaki berkacamata ini adalah pemilik sebuah katinting yang akan menyeberangkan kami dari Langgapulu ke Labuan Bajo. Tubuhnya kecil, hitam, dan selalu menebar senyum. Kami cepat akrab dengannya.

Jarak antara Langgapulu dan Labuan Bajo, mungkin tak sampai dua puluh mil. Dua pulau itu saling menonojolkan punggungnya yang hijau. Lautlah yang mempertemukannya. Bagaimana jika Anda memiliki saudara dan kekasih yang tinggal di Labuan Bajo, sedangkan engkau bermukim di Langgapulu? Yah, dua pulau dipeluk satu teluk, dua rindu dilebur satu laut!

Labuan Bajo yang Permai

Setelah tawar-menawar ongkos dari 150.000 menjadi 90.000 rupiah, kami menumpangi kantinting milik Lelaki Tua. Ia banyak memaparkan segala macam yang berkenaan dengan Bajo, Langgapulu, sampai gempa yang menggoyang itu. Katanya, ia adalah keturunan asli suku Bajo. Nenek moyang saya asli Bajo dan hidup lama di sini. Ia lalu menunjukkan kepada kami tiang-tiang kayu di permukaan laut yang masih menuding langit. Tiang-tiang kayu yang sudah rapuh dipukul ombak yang terpendam. Kami juga ditunjukkan karamba yang berdiam di atas laut untuk menjerat ikan.

Sebagaimana pada umumnya laut di Sulawesi Tenggara, laut yang memisahkan Langgapulu-Labuan Bajo sangat bening. Hutan bakau masih digdaya di pinggir laut. Kearifan lokal penduduk menjadikan laut dan bakau terhindar dari pencemaran dan pengrusakan. Saya langsung teringat Tanjung Perak Surabaya dan Tanjung Priok Jakarta yang air lautnya sangat kotor berwarna lumpur.

Di utara, Pulau Wawonii yang jauh diberkati kabut. Konon ia mengandung emas yang melimpah. Di selatan, Buton yang samar-samar, didoakan laut. Saya seperti berada di negeri yang lain. Sebuah wilayah daratan dan kepualaun yang masih terjaga kelestarian alamnya.

Tidak sampai satu jam, kami mendarat di Dernaga Labuan Bajo yang sunyi. Rumah-rumah sunyi, pohon kelapa yang melambai, dan burung-burung bernyanyi menyambut kami. Kami lalu menuju rumah rumah Pak Desa Labuan Bajo yang ternyata tidak ada karena harus ke Kendari melaporkan penggunaan Dana Blok Grant kepada pemerintah provinsi.

Atas saran ibu desa, kami menginap di rumah keluarga Pak Mansyur yang sangat ramah dan dikaruniai kebaikan hati. Suami-istri ini memperlakukan kami layaknya anggota keluarga sendiri. Sang suami adalah bersuku Wawonii dan sang istri adalah Buton asli. Anak-anaknya santun lagi rupawan. Mereka dibesarkan dalam tradisi Buton dan Wawonii.

Saya sempat terkagum-kagum dengan kebesaran Sang Pencipta. Betapa tidak, Buton Utara dan daratan Konawe Selatan hanya dipisahkan laut yang berjarak dekat. Hanya 35 menit menggunakan katinting dan mungkin hanya 15 menit jika berkendara super jet. Kekaguman dan ketakziman saya karena dengan jarak yang dekat itu, dapat membedakan secara tegas kultur dan fisiologis dua suku itu, Tolaki dan Buton. Tolaki yang berkulit putih, berambut hitam lurus, dan Buton yang berkulit coklat dan berambut ikal. Selain itu tentunya, membentangkan dua kebudayaan yang berbeda pula.

Saya memasuki rumah kepala desa yang sangat sederhana. Atap rumah dari daun rumbia, sebagian sudah bocor karena lapuk dimakan waktu. Menurut warga, kepala desa adalah orang biasa saja, tetapi karena kejujurannya sehingga ia didaulat oleh warga untuk menjadi pemimpin mereka. Beda dengan kepala desa di banyak tempat, baik di Sultra maupun di Indonesia umumnya, yang berasal dari golongan terpandang dan jadi tuan tanah. Kepala desa, setelah sehari kami di Labuan Bajo, ia datang membawa sekulum senyum khas. Ia baru saja melaporkan penggunaan Dana Blok Grant kepada Pemprov Sultra. Dana yang banyak mengundang perdebatan itu.

Saya dan juga Uni, teman sekantor, bergaul akrab dengan warga yang dihidupi laut, pohon, dan langit itu. Kami ngobrol di tengah gurauan mereka dalam bahasa Muna. Ada yang mencari ‘sesuatu’ di kepala, di pinggir jalan sambil menikmati bunyi angin yang menembus daun nyiur di pantai.

Kearifan Masyakarat Labuan Bajo, Kearifan Masyarakat Laut, dan Bintang Terang

Maka mulai sore itu, kami mulai berkerja mengumpulkan data dari beberapa informan yang direkomendasi oleh Pak Desa yang datang kemudian. Ihwal yang ingin kami raih sebanyak mungkin adalah kebiasaan yang dilakukan di sana dalam hubungannya dengan aktivitas melaut dalam arti yang luas. Kami segera menuju seorang tua yang berwibawa, berkumis, dan wajahnya menyiratkan pergumulan laut dalamwaktu panjang (namanya saya tidak sebutkan).

Jika engkau melihat segerombolan bintang di langit, maka laut di bawahnya, menyimpan ikan yang siap engkau panen. Itulah salah satu tanda yang dipercaya dan diwarisi masyarakat masyarakat Labuan Bajo yang ternyata mayoritas didiami suku Buton dan Muna. Akan tetapi, jika hanya ada satu bintang terang yang jatuh yang mengarah ke sebuah kampung, alamat musibah yang akan menimpa kampung itu. Jika itu yang terjadi, maka selayaknyalah warga kampung, baik yang jadi sasaran jatuhnya sang bintang, maupun lain yang menyaksikan, untuk memanjatkan doa-doa dalam suatu acara syukuran.

Keasikan meneliti di kampung seperti Labuan Bajo adalah karena bukan saja sang informan yang duduk menemani kami, tetapi juga anak, istri, bahkan cucu.

Teka-teki Angin, Teka-teki Nasib

Angin. Yah, angin. Angin adalah sahabat paling setia yang menyertai senantiasa warga Labuan Bajo. Angin adalah prajurit yang kadang lembut kadang pula garang. Itulah sebabnya, bagi pelaut Labuan Bajo, harus bisa bernegosiasi dengan angin. Salah seorang informan kami mengatakan bahwa seseorang harus bisa mengerti bahasa angin. Angin pun akan mengerti bahasa kita. Jika seorang sementara berlayar di atas laut dan tiba-tiba dari arah depan terdapat gerombolan angin yang siap memecahkan perahu, sebutlah satu nama, atau kata lain, namanya. Maka angin itu akan hancur seketika. Tapi sayang, walau kami membujuknya, sang informan tidak bersedia memberi tahu kepada kami, nama angin itu. Datanglah bulan Ramadan, semua ilmuku akan kubukakan buat kalian, katanya. Ilmu seperti ini tidak sembarang dibuka setiap saat. Saya dan Uni hanya bisa saling memandang sambil tersenyum.

Masyarakat Labuan Bajo sangat memahami keadaan alamnya yang menjadi salah satu sumber penghidupannya. Laut dan ladang adalah dua berkah alam yang sangat menentukan bagi pendapatannya. Memahami dan melestarikan alam menjadi suatu keniscayaan.Karena jika tidak, laut dan ladang dapat rusak yang berarti kerusakan sumber kehidupan warga Labuan Bajo.

Saya meninggalkan Labuan Bajo. Meninggalkan Langgapulu. Meninggalkan masyarakat yang tenang, tidak memiliki harapan yang muluk-muluk, dan masyarakat yang sering dilupakan. Yah, dua pulau dipeluk satu teluk, dua rindu dilebur satu laut! ***

Selasa, 19 Juli 2011

Parade Puisi dari Hong Kong

Puisi-Puisi Menyambut Hari Buruh
http://nasional.kompas.com/

Pekerja Migran Indonesia
Mega Vristian

akulah pekerja migran Indonesia
ya kamilah mereka
yang sekarang kau lecehkan
yang kau pandang dengan penghinaan
karena meleceh dan memicingkan mata
adalah kesanggupanmu terunggul para pejabat negeriku
dunia pun tahu
dan dikenal hanya jago berdalih
hanya pintar munafik
-- budaya mutakhir globalisasi
ujud modernitas
kau bilang
saat kami tak lain dari budaknya

ketika negeri makin merosot kerja jadi fatamorgana
pengangguran di mana-mana silangsiur diantara kepapaan
membiarkan kami jadi korban pembunuhan dan jadi obyek seksual
para pejabat bungkam pandai mereka cuma berhitung
dari segi pembukuan devisa
tapi tak menjumlah duka nestapa kami
membiarkan siksa dan ajal menggoda mencemar harapan
Pikiran pejabat kami hanyalah unsur pantas diabaikan
karna pejabat makin rakus korupsi menghisap darah rakyat

Mari kita cermat berhitung menggantang keindonesiaan
patriotisme dan kemanusiaan
siapa yang khianat
siapa yang kkn
siapa yang merampok dan tidak
siapa yang minum darah dan tidak
siapa yang menjadikan bistik daging rakyatnya
siapa yang mengancam bangsa dan negeri
jabatan dan pangkat terlalu nisbi
apalagi uang bagiku hanyalah takaran semu
terlalu munafik bagi hakekat

akulah pekerja migran Indonesia
ya kamilah mereka
tak kukhianati Indonesia kampung-halaman
dengan caraku mencintai negeri
kendati tak pernah kau hitung
dan akupun memang tak bersandar pada hitunganmu

kau lecehkan aku
tapi aku bukan pengemis walau kau hinakan
aku bukan kuruptor negeriku walau kemiskinan membantai
tapi dengan keringat sendiri ingin membangun masa depan
kami terpaksa merantau dari pada menambah angka pengangguran
sebab para pejabat cuma sibuk memperkaya diri
tak serius memikirkan nasib rakyat miskin

akulah pekerja migran Indonesia ya kamilah mereka
kalian katakan budak kekinian disingkirkan negeri
tapi catat!
dan kuucatat sudah memang di lembaran siang dan malam
kitab harian bumi
siapa budak sesungguhnya
siapa indonesia yang sejati
di sini jabatan dan pangkat
tak lagi jadi takaran kemanusiaan!
aku masih indonesia kutunjukkan sudah bangsaku
dengan duka dan luka tercatat di parut dahi
dan kuterakan di lembaran waktu
Indonesia milik kami juga
Indonesia bukan monopoli para pejabat koruptor
maka kami yang pekerja migran Indonesia ini
bertekad bersatu bangkit melawan ketidak adilan

Hong Kong, Hung Hong, Mei 2010



Masih Terus Berjuang
Puspita Rose

masih..masih seperti semula
ranum angin berhembus mesra
batu karang tetap bertahan
mentari pagi belum bosan bersinar
bintang gemintangpun masih setia

air mengalir ketitik muara
daun-daun bertasbih mengagungkan nama-Nya
burung-burung terbang bebas keangkasa
pun bulan masih pamer keelokannya

sedang kami juga masih disini
menyemai harapan yang tiada pasti
entah mengapa sedikitpun tak beranjak pergi
padahal tahun telah berganti

masih..masih disini
dengan beribu harap yang ada dihati
menantimu mengurai janji
dalam tuntutan kami

jangan anggap kami tak bisa apa-apa
jangan anggap kami tak punya nyali
buruh kasar bergaji rendah
ingat dan camkan..buruh kasar
sekali maju maka tak gentar

bersatu demi keadilan
berjuang untuk kesejahteraan
mari terus berjuang kawan
demi hak dan kewajiban

Couseway bay,17 April 2010



Manusia Separuh Setan
Unieq Awien

Apa itu demokrasi
Apa itu hak azasi
Keadilan ?!
Ah . . .

Mereka bilang kami ini pahlawan devisa
Itu yang digembar gemborkan di koran koran
Kenyataan ?
Harga kami tak lebih dari hewan
Di penampungan, di terminal terminal
Di gedung pengesahan, bahkan di bandar bandar kehidupan
Kami diperas kami dimanfaatkan
Para pejabat dan menteri
Cuma sekilas mengenal tak mau memahami permasalahn kami
Abang preman ikut merampas hak kami
perut mereka menagih makan

Ya !
Penghisap darah buruh, rakus
Berubah menjadi manusia separuh setan

Tai Hang Drive, 23 maret 2010



Pengorbanan Tiada Henti
Sreismitha Wungkul

Kutarik nafas lega
Setelah ku lihat lebatnya buah pada pohon yang kutanam
Kulitku yang menghitam
Tanganku yang kapalan
Urat-urat yang menonjol dibetisku
Semua tak kurasakan kehadirannya.
Senyum bangga tersungging dari bibir keringku
Ketika kusadari
Tunai sudah tugas yang ku emban
Perjuangan panjang kulalui
walau kadang diiringi keluh kesah.
Tapi aku tetap berjalan.
merangkak
terseok
terperosok dengan sigap ku berdiri kembali diatas kaki kurusku
Walau orang-orang disekitarku menyebutku lilin yang mampu menerangi sekitar,
tapi pelan namun pasti badan meleleh habis terbakar
Aku rela... Aku ikhlas...
Demi ku lihat pohon dengan ranum buahnya.

(Hang Hau. 22 April 2010)



Aku Masih Perempuan
Maqhia Nisima

Saat lahir aku perempuan
hingga kini tetap perempuan
Besokpun aku juga masih perempuan
Bahkan ajal menjemput dengan tegas tetap perempuan

Tapi
Semangatku ganda
Perjuanganku bagai dua insan
Tugas adilku juga menduakan

Hingga...aku sadar...
Bahwa aku adalah seorang perempuan
masih butuhkan kasih sayang
masih rindukan sebuah perlindungan

Benarkah semua ini?
Tanya ku dan kujawab sendiri
Memang benar
semua benar

Bahwa aku wanita
Yang seharusnya mengaku
tetap wanita.
sekuat apapun diriku tetap perempuan

Lalu...
Apakah kita sejajar menikmati hidup
Ya..sejajar dengan laki-laki
bahwa wanita punya hak bahagia

Hong Kong, Mei 2010



Ratapan Srikandi Negeri
Tharie Rietha

Kami tinggalkan tanah lahir dengan getir
Menuju rantau yang berkilau seperti mata pisau
Butir-butir harap kami semai
Di tanah indah penuh duri
Namun tangan-tangan rakusmu mulai menjarah
Menjamah kecambah-kecambah asa yang masih belia
kau gugurkan harapan
Membuat kami hidup dalam kelaparan
Lapar akan keadailan,yg kau jelmakan dengan nama peraturan
harga jual kau hitung setiap nyawa
Itukah peraturanmu? keadilannu?
Yg telah mencekik leher-leher srikandi berbudi
Kau agung-agung jasa kami menopang ekonomi negeri
Bahkan kau gelari kami setara pahlawan
Dusta!
Bagimu kami hanya sapi perah
Yang kau rodikan hingga airmata ini berdarah
Ingatlahhari ini kau boleh tertawa gagah
Tapi kami para srikandi negeri
takkan pernah menyerah kalah walau harus meregang nyawa

Sheung Shui, 17 April 2010



Kepada Bapak Penguasa
Etik Widya

Bapak-bapak berdasi
Dengarlah keluh kesah kami

Bapak-bapak bergaji tinggi
Rasakanlah kegetiran batin kami

Bapak-bapak penguasa bangsa
Lihatlah, kami masih menderita

Ah
Sudahlah
Beribu kali mengiba
Berjuta kali meminta
Kau masih diam saja

Kau bangga Ketika rakyatmu berbondong-bondong menjual jasa
Kau kian sibuk
Menghitung banyaknya kucuran devisa

Kau palingkan muka
Ketika kami mengadu tanpa lampiran bukti
Kau pura-pura peduli
Ketika segala penyiksaan terkuak ke permukaan
Kau pura-pura berduka
Ketika kawan kami pulang tanpa nyawa

Bapak-bapak penguasa negeri
Masih banyak lagi
Derita yang menyita kebahagiaan kami

Kami tak butuh gelar pahlawan
Kami hanya butuh perlindungan.

Aberdeen, 24 april 2010



Ronce Bunga Putih
El Sahra Mahendra

Teronce bunga putih
Tergantung di sisi rumah kabung
Ketika gadis kecil itu masih belum tau arti kepergiannya
Namun ketika pulang dia tau emaknya tak mampu lagi tersenyum

Gadis kecil dengan gaun kuning menata lurus
Disitu emaknya tertidur
Pulas memeluk mimpi mimpi indah
Dalam sangka dia bertanya " Seperti inikah cita-cita emak ?"

Tetes air surga dari matanya yang bening
Jatuh mengaliri lekuk wajah polosnya
" Dari negeri seberang sana emak telah bisu ."
Emaknya adalah saksi sejarah yang tak ingin bicara

Ronce bunga putih telah layu
tergeletak di nisan tanpa tanda kebesaran
sebagai penanda pahlawan devisa

Tsuen-Wan 25, April 2O1O



Jeritan Buruh Migran
Muntamah Cendani

Kawan
Mari kita berjuang
Bersatu merapatkan barisan
Satukan hati dalam tekad
Bersama kita songsong perbaikan
Untuk merengkuh hak-hak kita
Yang terenggut dan terkebiri

Sebersit tanya menguak rasa
Dimana mereka yang selalu berkata kepentingan rakyat ?
Dimana mereka yang berkata menyejahterakan rakyat ?
Mengapa mereka menutup mata?
Mengapa mereka berlalu tanpa kata ?
Mengapa mereka diam mendengar jerit kami ?
Mendengar ratap kami yang terhina di luar negeri ?

Tetes peluh membasah ditingkah amarah
Jeritan membara dari yang tertindas
Gejolak berkobar berkelindan geram
Kami bukan dagangan !
Kami bukan komoditi !
Kami bukan obyek eksploitasi !
Kami manusia yang punya harga diri
Mengapa tak satupun berpihak terhadap kami ?

Yuen Long 18-4-2010



Aku Seorang Pekerja!
Elly Trisnawati

aku tak punya ketrampilan, katamu
aku tak pantas disebut pekerja, katamu
aku tak pantas dilindungi, katamu
aku kau perlakukan sebagai budakmu

lalu, siapa yang selama ini mengurus anakmu?
siapa yang selama ini mengurus kakek-nenekmu yang telah renta itu?
siapa yang selama ini menjadi koki di rumahmu dengan menu kegemaranmu?
siapa yang selama ini menjadi cleaning service pribadimu?
siapa pula yang selama ini menjadi akuntan belanja harian pribadimu?

tak cukupkah itu disebut sebagai pekerjaan?
sedang kau sendiri tak bisa melakukannya
tak cukupkah itu disebut sebagai ketrampilan?
sedang kau sendiri tak mungkin mampu melakukannya

aku tak pernah menginginkan sebuah pujian
cukuplah sebuah pengakuan
aku seorang pekerja!
cukuplah sebuah pengertian
aku bukan budakmu!
cukuplah sepatah kata
kita manusia tanpa beda!

Hong Kong, Sai Ying Pun

Biografi Para Penulis: Mega Vristian, Puspita Rose, Sreismitha Wungkul, Maqhia Nisima, Tharie Rietha, Etik Widya, El Sahra Mahendra, Muntamah Cendani, Elly Trisnawati, Unieq Awien: Adalah pekerja migran Indonesia di Hong Kong. Di antara kesibukan kerja selalu menyempatkan menulis sebagai usaha menghidupkan kecintaan kepada sastra Indonesia.

Silakan kirim tulisan/karya anda ke jodhi@kompas.com .Redaksi tidak menyediakan honorarium untuk karya yang dimuat. Harap maklum.
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2010/05/01/03562038/

Jumat, 15 Juli 2011

Emas Sebesar Kuda, Peninggalan Ode Bartha Ananda

M Arman AZ
http://www.riaupos.com/

DUA tahun silam, tepatnya 5 Maret 2005, ranah sastra Sumatera Barat kehilangan sosok Ode Barta Ananda. Karya-karya almarhum (puisi, cerpen, dan esai) kerap menghiasai media massa nasional dan daerah. Sudah tentu dia layak mendapat tempat dalam sejarah sastra Indonesia umumnya dan Sumatera Barat khususnya. Sayang, hingga akhir hayatnya, belum ada satu pun buku kumpulan cerpen pribadi Ode Barta Ananda. Tahun 2007, beberapa sahabat almarhum, seperti Gus tf Sakai dan Yusrizal KW, memprakarsai penerbitan kumpulan cerpen Ode Barta Ananda. Menurut penerbit Akar Indonesia, lahirnya kumpulan cerpen Emas Sebesar Kuda ini hanyalah melanjutkan apa yang sudah dirintis Ode atas karya-karyanya sendiri yang direncanakan diterbitkan dalam sebuah buku utuh. Sebuah sejarah yang sempat tertunda karena keburu ditinggal pelakunya.

Cerpen-cerpen Ode Barta Ananda tergolong unik. Mayoritas berbentuk parodi satir dan karikatural. Mengangkat tema-tema sosial kemasyarakatan dan kebudayaan Minangkabau dengan pelakon orang-orang berstrata sosial menengah ke bawah. Jika sastra dipercaya sebagian kalangan sebagai potret sosial yang mengangkat kebudayaan masyarakatnya, maka cerpen-cerpen Ode bisa dijadikan salah satu bukti pendukung. Cerpen-cerpen Ode dipenuhi eksplorasi imajinasi terhadap kondisi masyarakat kelas bawah di Minangkabau, bahkan seperti merepresentasikan kegelisahan masyarakat Minang, bagaimana penerimaan dan sikap mereka terhadap modernitas.

Sudah jadi tradisi bagi kaum lelaki Minang untuk merantau. Mereka akan dewasa secara materi dan fisik jika jauh dari kampung halaman. Namun tidak demikian halnya dengan tokoh-tokoh lelaki dalam mayoritas cerpen Ode. Tokoh-tokoh itu justru terkesan mengikatkan diri pada kampung halaman (atau perlawanan terhadap tradisi?). Jarang ada tokoh dalam cerpen-cerpen Ode yang merantau dalam konteks geografis dan fisikal. Tak beda jauh dengan tokoh-tokoh dalam cerpen Harris Effendi Thahar atau Wisran Hadi, misalnya.

Sebagai seorang jurnalis (bekerja di Harian Padang Ekspres), Ode rupanya jeli mengamati fakta sosial tradisional di wilayah Sumatera Barat yang kemudian dituang ke dalam bentuk cerpen. Cerpen-cerpen Ode bersentuhan langsung dengan kondisi sosial orang-orang kecil dan biasa saja, seperti petani, nelayan, para pengangguran yang menghabiskan waktu dengan mabuk, berzina dengan istri teman, dan sebagainya.

Buku berisi 15 cerpen Ode Barta Ananda ini diberi judul Emas Sebesar Kuda. Judul ini dipilih merujuk kepada cerpen-cerpen Ode yang parodik, karikatural, unik, nakal terhadap berbagai hal. Mulai dari masyarakat dan kebudayaan lokal (Minangkabau), hingga situasi Indonesia. Ode lihai membangun suasana dan latar. Ia mampu menghidupkan kosa kata dan idiom Minang, dan tak ragu memasukkan bahasa keseharian seperti “aden”, “wa’ang”, “uni”, “uda”, “nagari”, “jorong”, “sayak”, “litak”, “bacakak”, “gonjong”, “tabuah nagari”, bahkan umpatan khas Minang semacam “kanciang”, “kalera”, “lampang” dan “lanyau”, meskipun dengan risiko akan dianggap jorok atau kasar oleh pembacanya. Namun sebagai teks sastra, demikianlah realitas yang coba dan telah dihimpun Ode. Disharmoni teks yang pernah ditempuh Joni Ariadinata dalam cerpen-cerpennya beberapa tahun silam juga telah lama dilakukan Ode. Kekentalan idiom lokal Minang juga bisa mengingatkan pada cerpen-cerpen Korrie Layun Rampan yang sarat idiom Dayak.

Salah satu cerpen menarik adalah “Burung Beo Bupati”. Cerpen ini relevan dengan maraknya Pilkada di negeri ini yang kerap menyisakan masalah, salah satunya adalah politik uang di belakang layar Pilkada. Ini tak luput dari endusan Ode Barta Ananda. Berkisah tentang seorang bupati yang hendak mempertahankan jabatannya dengan cara menyuap pesaingnya dengan uang lima miliar. Menjelang pemilihan, dia kumpulkan tim suksesnya di rumah untuk memuluskan rencana. Karena kelalaian si bupati, burung beo di teras lepas dan berteriak lima miliar ke mana-mana. Bupati dan tim suksesnya, tak ingin malu, sibuk meringkus beo hingga ke hutan larangan, hutan yang dipercaya dikuasai mahluk gaib. Hasilnya, bupati raib. Dia ditemukan beberapa hari kemudian dalam keadaan hidup, tetapi dalam kondisi kusut masai. Pemilihan bupati rupanya telah selesai dan dia kalah suara. Getirnya, dia mendapati cek sebesar lima miliar dari lawannya dalam pemilihan bupati yang dititipkan pada istrinya.

Cerpen “Sipongang Petir di Koto Panjang” (yang konon dipajang besar-besar di ruang kerja Ode Barta Ananda), juga memeram satir lain. Sudah jadi tradisi di Minang bahwa paman wajib mengurus keponakan. Bagitu pula dengan Mamak (Paman) Unjok yang membiayai kuliah Jumadil, keponakannya. Dari hasil kebun dan ternak yang diurus Mamak Unjok, Jumadil meraih gelar doktorandus. Sayangnya, usai bertitel Jumadil malah menganggur karena sulit mendapat pekerjaan. Untuk turun ke sawah atau mengurus ternak, Jumadil malu. Buat apa tinggi-tinggi sekolah jika harus kembali ke sawah, begitu dalihnya. Setelah lama menganggur, dia merayu Mak Unjok agar menjual kerbau untuk biaya merantau. Mak Unjok murka karena keponakannya tak habis-habis minta tolong. Tak terima, Jumadil membunuh Mamak Unjok. Lima tahun kemudian dia pulang dan mendapati kampungnya, Koto Panjang, telah berubah jadi telaga (bendungan).

Membaca antologi cerpen Emas Sebesar Kuda ini seperti memandangi potret masyarakat Minang hasil jepretan imajinasi Ode Barta Ananda semasa hidup. Bagaimana Ode merepresentasikan perubahan sosial kultural akibat perubahan zaman dalam bangunan cerpen (“Nisan dan Perempuan Penjual Kembang”, “Gila, Teriak Menjelma Raungan!”, “Samiun dan Lelaki Luka”, “Pemantik Api yang Melayang dari Jendela”). Tradisi lokal yang dibiarkan hidup (“Sebotol Lebah”, “Menjelang Gerbang”, “Ketika Alek Nagari Sedang Memuncak”), atau tradisi yang “dibenturkan” dengan modernitas dalam “Empat Setengah Karung Goni Penuh Ulat”, “Emas Sebesar Kuda”, “Saluang Saja yang Menyampaikan”, “Sipongang Petir di Koto Panjang” dan “Sepasang Drum Aspal di Tengah Ladang Tebu.”

Begitulah. Fakta sejarah telah membuktikan, karya sastra bisa melampaui ruang dan waktu. Demikian juga dengan karya-karya almarhum Ode Barta Ananda. Meski hampir genap dua tahun meninggal, namun karya-karyanya masih tetap hidup.***

Membaca Katarsis karya “HADI NAPSTER”

Epilog “KATARSIS” Karya Hadi Napster
Imron Tohari
http://sastra-indonesia.com/

Ketidaksempurnaan dan kerusakan, yang terlihat di mana pun,
semuanya adalah cerminan keindahan.
Pengatur tulang, di manakah dia dapat mencoba ketrampilannya
kalau bukan pada persendian yang patah? Penjahit di mana?
Tentunya bukan pada busana siap yang indah potongannya.
Bila tiada tembaga kasar ditempat peleburan,
bagaimana ahli kimia dapat mempertunjukan keahliannya? (Jalaluddin Rumi)

Penciptaan karya sastra puisi,sajak,syair, merupakan hasil dari suatu proses pengamatan dan atau bahkan pengalaman pribadi penulisnya yang selanjutnya memantik simpul-simpul kejiwaan/ pyscologis dan atau menyentuh sisi kerohanian pengkarya cipta (Baca:Penyair) yang disampaikan dalam bentuk lisan dan atau tulis, dengan suatu tujuan memberi kebaharuan piker pada dirinya pribadi selaku pemilik fisik karya, serta pada penghayat/penikmat baca selaku pemilik hak atas makna yang ditangkap dari symbol-symbol bahasa yang tersirat pun tersurat pada tubuh karya secara utuh dalam menyikapi serta memandang hakikat kehidupan di masa depan.

Penulis puisi/sajak (untuk selanjutnya akan saya sebut penyair), ketika menulis sebuah karya atas dasar pengalaman pribadi dan atau pengamatan terhadap kondisi sekelilingnya yang didasari dengan penghayatan yang benar-benar keluar dari bilik hati terdalam, akan melahirkan suatu karya puisi yang bernas (baca: berjiwa) dan mampu menghisap pembaca atau penghayat untuk masuk kedalam ruh makna puisi yang dibacanya, yang selanjutnya akan menarik piker kekinian penghayat dalam memaknai hakikat kehidupan yang memancarkan sinergis positip.

Memang kita tidak pernah tahu apakah puisi yang diciptakan penulisnya hanya merupakan olahan imaji serta hanya berlandaskan teknik kemampuan menyusun bahasa indah sahaja, atau apakah puisi tersebut dicipta berdasarkan perpaduan imaji piker pencipta karya yang dilandasi juga nilai-nilai hirarki kejujuran rasa piker pun ketulusan hati dalam melahir karya tersebut. Tapi biasanya karya puisi yang hanya ditulis berdasarkan imaji dan mengandalkan teknik keindahan bahasa saja, akan kering makna. Dalam pengertian tidak akan meninggalkan kesan yang mendalam pada penikmat baca.

Dan membaca beberapa puisi Hadi Napster yang tergabung dalam kumpulan buku puisi bertajuk “KATARSIS”, saya selaku penghayat langsung dihadapkan pada dunia renung spiritual transcendental, baik secara horizontal (manusia dengan manusia, manusia dengan alam berserta segala elemen penyertanya), maupun secara vertical (hubungan manusia dengan Tuhannya beserta segala misteri yangmenyelingkupinya). Bahkan pada beberapa puisinya, imaji rasa saya berseakan disedot pada suatu pusaran duka yang teramat sangat atas sesuatu hal ketidaksempurnaan kehidupan yang tengah dialaminya, namun pada kondisi tertentu, tiba-tiba imaji rasa saya berseakan ditarik keluar untuk selanjutnya diajak masuk kedalam dunia renung yang maha dalam akan hakikat kehidupan yang sebenarnya. Dan hal tersebut saya rasakan pada puisinya yang berjudul “Hikayat Malam”, “ Puja”, “Singgasana Remang”, dan “Katarsis”.

Saya tukilkan dua puisi termaksud yang saya katakan di atas:

di atas kertas buram
kucipta dosa menyairmu diam-diam
tiada sendiri pernah dambakan malam padam
selayun bulan bahkan masih cumbui berang dendam
ke mana hilangmu karam?

ah, teruk nian mata kan pejam
sebab pilunya serupa jeram
mengubur hamba ke genggam sekam

namun tetap jiwa semayam
padaNya jua segala paham

(Petikan bait 1,3,4 puisi “Hikayat Malam”)

Pagi masih buta
Sajakku telah bergelut dendang surga
Mencari mantra di antara sembab luka
Tak ada !

Lalu beringsut ke candu zina
Ratapi dusta dan nikmat dunia
Oh, betapa teruk dahaga

Pagi masih buta
Kekasihku mengirim sepatah kata
Rindu membuncah dara
Cinta nyala !

(Puisi lengkap “P U J A”)

Bukan itu saja, bahkan pada beberapa puisinya yang bertemakan tanah air, saya merasakan detak duka (baca:keprihatinan) Hadi Napster pada kondisi kekinian negeri tercinta di mana dia berpijak, dan agar olah rasa pikernya bisa diserap penikmat baca dengan mudah, Hadi Napster menuangkannya dengan bahasa lugas nan membumi namun tetap menjaga estetika bahasa, seperti pada puisinya yang berjudu BALADA WNI, IKHTISAR SUJUD HAMBA, KASIDAH POJOK NURANI.

Dalam meneriakkan kegalauan rasa akan kondisi Negeri tercinta ini, Hadi Napster tidak lantas mengumbar emosi yang meledak-ledak dalam penyampaian kata, seperti yang sering kita temui pada karya-karya puisi dengan tema sejenis yang dituang semodel puisi pamphlet, Namun justru Hadi Napster di sini seakan ingin menunjukan kalau model tuang puisi pamphlet dengan tema tanah air bisa juga disampaikan dengan lembut dan indah dalam balutan rima, yang justru daya hisapan imaji rasa ke penghayat kian bunyi.

BALADA WNI

koarku dari kampung
seantero negeri kian linglung
tabur harap, hampar doa, kepada mendung
gaung proklamasi ranggas diterpa magrur beliung

janin-janin mati bingung !
sebab ibu mulai bosan mengandung

apa kabar, Pancasila?
katanya kau tak sedang baik-baik saja
terpingit tirau reot jambar bangsaku nan kaya
tangis pecah buncah, rakyat gelisah orion entah ke mana

jawab tuan ; besok saja !
malam ini jadwal nonton chaiyya-chaiyya

para suami lesu murung
mengeja kasih Tuhan yang agung
sang istri pasrah membuang diri ke semenanjung
di pengap panti asuhan, anaknya asyik belajar berhitung

sampan karam, patah pula dayung
padahal kami warga tanah pertiwi adiluhung

maladaptasi racuni nusantara
lelah mahasiswa teriak membabi buta
guru-guru honor tercekam wabah insomnia
pupus keadilan terlindas titah parlemen sarat amnesia

jutaan luka duka, tetap satu cinta
benyanyi kita bersama : “hiduplah Indonesia raya…”

Bandung, 14 Mei 2011

IKHTISAR SUJUD HAMBA

Perseteruan pagi
Mimpi-mimpi ambruk menyerta gravitasi
Kian senjang jejal doa dan wangi bangkai
Lantas aleksia rasuki otak-otak eselon negeri
Pertanda adiwangsa mati suri?
O, makhluk bumi
Maulaya, hamba, ahlulkubur, dengki!
Mengapa kalian tidur di ibtida darma duniawi?

Telah habis seloka pujangga
Afwah moyang terkapar ratapi gugurnya kembang akasia
Pancaroba menggila, jangkiti nadi mayapada
Remukkan setiap sembada
Menista akmalNya laksana aedes menguras darah manusia
Sementara roh semakin jauh dari nafas raga
Bergelantung di selayun ladang janji sarat dusta
Harapkan bangsa masih menyimpan sedikit skenario melodrama

Puisi-puisi terlalap api
Sibuk berdiksi tentang cinta, pun ajnas merah birahi
Mujtamak diabai, ikram ahadiatNya terludahi
Sebab kebanyakan akademisi asyik bermain filosofi
Lalu bagaimana akhwan kami?
Adakah mereka sadar pada ketamakan yang terjejali?
Atau kelak tercipta lagi dagelan baru di sini?
Ah, andaikata taibah ahsan sedikit saja menghampiri
Tentulah nurani tak akan terkubur oleh ambisi

Pertikaian senja
Malam-malam lupa rahim ibu seketika
Nisan ayah melarung duka saksikan tawa warnai zina
Pun bilamana jiwa ronta, apalah daya?
Zakiah surga tinggal cerita
Seminau kitab terpanggang bara di alam baka
Sakral apa masih pantas dipuja?

Yogyakarta, 26 Maret 2011

KASIDAH POJOK NURANI

pergilah kepada bara
taburkan abu nyanyi sunyi
bila mendung rintih kekasih
sedikit rindu barangkali

datanglah kepada malam
jadikan gelap rindang terang
jika mimpi pecah pepatah
tangisan negeri bisa jadi

pergilah kepada luka
jadikan darah rampai rangkai
ketika adil berpihak letak
kenanglah ibu sesekali

datanglah kepada nisan
lantunkan doa degup letup
kala cinta mewujud sujud
di hatiNya kita sembunyi

Jakarta, 21 Februari 2011

Mencermati isi dan judul buku “Katarsis”, yang berdasarkan KBBI bermakna setara dengan penyucian diri yang membawa pembaruan rohani dan pelepasan dari ketegangan; cara pengobatan orang yang berpenyakit saraf dengan membiarkannya menuangkan segala isi hatinya dengan bebas; kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan dan atau pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis, tampak sekali pada karya-karyanya yang terangkum pada buku kumpulan puisi bertajuk “KATARSIS”, Hadi Napster melalui bahasa-bahasa kias ingin menyampaikan pada penikmat baca bahwasannya dalam setiap kehidupan, baik itu kehidupan yang berkaitan dengan hubungan antar kekasih, kehidupan bernegara, dan atau bahkan kehidupan pribadi individu yang tentunya tidak luput dari segala coba duka nestapa, namun tidaklah patut untuk kita terus meratapi ketidak sempurnaan kehidupan ini, karena justru dari adanya ketidak sempurnaan itu banyak hal yang bisa kita perbuat menjadi baik bagi diri secara pribadi maupun bagi sesama secara keseluruhan dari hakikat hidup yang sebenar-benarnya, seperti yang dia tulis pada bait awal puisinya yang judulnya sekaligus dijadikan tajuk kumpulan antologi puisi tunggalnya ini, seperti yang saya petikkan di bawah ini :

ketika padaku fukara bertanya
di mana nila sejuk telaga?
lelehkan sejenak lara

(Bait pertama dari puisi berjudul “KATARSIS”)

Dan sontak bait pertama puisi ini mengingatkan saya pada makna yang terkandung dalam salah satu puisi penyair sufi Jalaluddin Rumi yang bertajuk “HIKMAH KETIDAKSEMPURNAAN ; Jalaluddin Rumi : Ajaran Dan Pengalaman Sufi, Reynold A. Nicholson, Penerbit Pustaka Firdaus,1993”

Ketidaksempurnaan dan kerusakan, yang terlihat di mana pun,
semuanya adalah cerminan keindahan.
Pengatur tulang, di manakah dia dapat mencoba ketrampilannya
kalau bukan pada persendian yang patah? Penjahit di mana?
Tentunya bukan pada busana siap yang indah potongannya.
Bila tiada tembaga kasar ditempat peleburan,
bagaimana ahli kimia dapat mempertunjukan keahliannya? (Jalaluddin Rumi)

Dan bukan tidak ada alasan bila saya sertakan diawal tulisan ini satu bait karya penyair sufi Jalaluddin Rumi, tersebab Semakin saya masuk ke dalam alam kontemplatif karya puisi Hadi Napster yang tergabung dalam “ Katarsis, saya selaku penikmat baca tanpa sadar dihisap dalam dunia renung yang begitu hening, dan dalam keheningan imaji rasa saya tersebut, saya berseakan bersentuhan dengan denyut kegelisahan penyair akan sesuatu hal yang dirasa menjadi beban berat untuk ianya (baca: aku lirik) dalam menangung ketidak sempurnaan yang ada pada diri aku lirik tersebut, dan tiba-tiba pada keadaan lain kesadaran aku lirik seakan membetot imaji rasa saya selaku penikmat baca masuk kedalam suatu pusaran yang begitu cepat dan membentuk suatu lorong yang kian mengerucut ke dalam dunia renung akan hakikat kebesaran Tuhan dan kita sebagai umatNya sudah semestinya tabah serta tawakal menjalani lelaku hidup seperti yang telah digariskan.

Dalam keadaan yang serba gelisah akan apa yang tengah dihadapinya sebagai cobaan Allah SWT, Hadi Napster yang tiga tahun lalu telah divonis dokter mengidap penyakit kangker otak (saya mewartakan penyakit yang diindap penulis ini bukan bermaksud untuk mengharubirukan keadaan yang bersangkutan, namun semata saya menuliskan hal tersebut di sini, dengan suatu harapan bisa dipetik nilai-nilai semangat penulis yang tidak menyerah oleh keadaan atas kesehatannya selama ini untuk berkarya cipta, sekaligus untuk pencarian jalan kebenaran menuju kedekatan cinta pada Allah SWT).

Sebagaimana yang dikatakan oleh Teeuw : “Sastra adalah jalan keempat untuk mencari kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.” , melalui gurat karyanya ini Hadi Napster ingin berbagi untuk jiwanya yang letih dan juga bagi pembaca yang mungkin menghadapi cobaan yang sama seperti halnya dirinya, agar tetap tabah serta tawakal, tetap yakin bahwa ketidak sempurnaan yang ada pada diri tidak menutup jalan menuju kebaikan bagi sesama dan juga kebaikan hakiki di jalan Tuhan.

Salam lifespirit!
Imron Tohari _ lifespirit, 17 Juni 2011
Dijumput dari: http://sajakbebas.blogspot.com/2011/08/epilog-katarsis-karya-hadi-napster.html

Sabtu, 02 Juli 2011

Sastra dan Agama

Sigit Susanto
http://www.harianhaluan.com/

“SASTRA akan meng­gan­tikan peran agama,” kata Sartre suatu kali. Pemikiran Sartre tersebut bukan saja tak beralasan. Namun ke­cen­derungannya ke arah itu sudah terbukti. Terutama pada masyarakat yang pu­nya peradaban modern, di negara-negara industri maju. Banyak anggota masyarakat yang lebih suka membaca karya sastra, ketimbang mengonsumsi buku-buku agama. Mereka lebih antu­sias untuk menghadiri berbagai pertunjukan teater, seni atau pembacaan karya sastra daripada mengunjungi gereja-gereja. Juga para pendeta sudah makin ber­kurang pengaruhnya, daripa­da sastrawannya.

Perubahan daya tarik masyarakat secara besar-besaran dari agama ke ilmu pengetahuan itu, bukan datang begitu saja, setidak­nya sejak berkembangnya pemikiran monumental “Aufklärung” dari Kant di tahun 1783. Imannuel Kant menyebut “Aufklärung” sebagai sebuah jalan keluar manusia dari kesalahannya sendiri yang tidak dewasa. Kritik Kant sebenarnya ditujukan untuk agama Kristen. Akan tetapi kehidupan mitos di dalam masyarakat juga menjadi korbannya. Berbagai pemikiran berbau gereja dan ketuhanan serta mitos yang tak bisa diterangkan akal sehat, jadi sasaran untuk ditinggalkan. Mereka mulai meneliti ulang pada setiap sendi kehidupan agar bisa diterangkan secara rasional.

Sampai akhirnya Adorno menjuluki Aufklärung ibarat seorang diktator yang memaksakan pada rakyatnya. Kalau Aufklärung sudah benar-benar dijalankan, kenapa masih ada kekuatan seperti Hitler yang anti Yahudi (Dialektik der Aufk­lärung). Temuan Kant yang sudah berusia tiga abad itu ternyata hingga kini masih sangat sulit menembus dinding kelas masyarakat tradisional, dimana atribut spiritual baik lewat agama dan tradisi takhayul ataupun mitos masih dianggap kuat dan dipercayai bisa memberi kebahagiaan batin sehari-hari. Celakanya masyarakat kelas tradisional itu banyak berkubang di negara-negara berkembang dan miskin. Feuerbach, teolog Jerman sudah memberi peringatan, Hanya orang-orang miskin yang setia pada agama, agar mereka bisa bermimpi dan melupakan kemiskinannya. Akhirnya lupa mengritisi penguasa negeri sendiri.

Menilik pikiran Feuerbach, tak salah bila banyak pengikut agama baik yang liberal maupun radikal lebih banyak berada di pedesaan yang miskin. Mereka selalu terlambat dalam mengikuti perkembangan arus peradaban baru. Sebaliknya para penggemar sastra, masih didominasi oleh masyarakat modern kota. Bukan hanya mereka cukup memadai dalam menerima transformasi berbagai perkembangan, tetapi fasilitas seperti, toko buku, percetakan, perpus­takaan, dan gedung pertunjukan cukup tersedia.

Isaac Bashevis Singer, peraih nobel sastra 1978 termasuk yang tidak sepen­dapat dengan pernyataan Sartre di atas. Singer menandaskan, tak mungkin sastra akan menggantikan peranan agama. Karena sastra juga tak memberi arti yang sebesar agama. Dia menilai, tak ada novel, cerpen dan puisi yang bisa menandingi “Kesepuluh Perintah Tuhan.”

Dua pemikiran kontroversial antara Sartre dan Singer ini masih bisa jauh diperbincangkan. Apabila semua karya tulis diklaim sebagai karya sastra. Tak disangkal, bahwa Alquran dan Injil serta kitab suci lain pun juga sebuah hasil karya sastra. Padahal di rumah-rumah keluarga penguasa Inggris di negeri jajahannya dulu sering ditemukan dalam lacinya dua buku saja. Satu Injil dan yang lainnya buku Shakespeare. Hal itu sebuah bukti lama, bahwa dua jenis karya, yakni agama dan sastra tidak hanya saling berdampingan, tetapi juga berusaha merebut pengikut atau pembaca masing-masing hingga sekarang.

Di Indonesia perkem­bangan sastra dan agama tidak seimbang. Lebih-lebih di zaman rezim Orde Baru, perkem­bang­an sastra banyak meng­alami kemandegan. Ba­nyak buku-buku sastra maupun sastrawan kiri telah diberangus dan karyanya dilarang beredar. Sementara perkembangan agama terus melaju me­nyu­sup ke desa-desa pelo­sok dan makin meluas. Setelah tumbangnya re­zim Orde Baru, perkem­bangan sastra mulai tam­pak. Dan berdiri beberapa kantong-kantong kecil sastra di berbagai kota. Kalau dulu di masa rezim Orde Baru hanya seba­gian sastrawan saja yang ikut meneguk dosa. Seka­rang sastra bukan lagi barang eksklusif yang harus dekat dengan kekuasaan. Sastra milik semua orang, termasuk kelompok marginalnya. Pinjam istilah Nietzsche, “Apa yang tidak membuatku mati, aku akan semakin kuat.”

Peristiwa tumbangnya diktator Soeharto identik dengan peristiwa tumbangnya Hitler, dimana nilai-nilai lama di masyarakat dikritisi dan segera digantikan dengan nilai-nilai baru. Kegiatan sastra dan agama semarak, silih berganti dan melimpah ruah. Pencinta sastra dan pengikut agama menjadi sama-sama militan. Nilai-nilai sastra atau agama, mulai diaduk-aduk ulang. Semua nilai yang pro rezim lama harus dising­kirkan.

Hal ini yang membuat para sastrawan dan rohaniwan yang pernah digemukkan oleh rezim Orde Baru mulai kasak-kusuk ketakutan. Mereka mencari tempat untuk menyelamatkan diri. Salah satu media sastra yang menjadi benteng­nya sastra pada rezim Orde Baru adalah media Horison. Lewat media Horison, maka sastra Indonesia sempat beralih fungsi sebagai media pelipur lara.

Media sastra yang menghibur penguasa. Media yang tanpa pembelaan rakyat bawah. Tak pernah memuat karya yang beriklim antitesis pada sistem pendidikan nasional. Oleh karenanya media ini dengan leluasa rajin masuk ke sekolah-sekolah dengan disokong oleh pemerintah. (www.indonesiaarts.or.id)

15 May 2011

Catatan Pendakian: Menuju Ranu Kumbolo

Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
http://sastra-indonesia.com/

Sebulan lebih yang lalu, Wawan Eko Yulianto (Wawan, penerjemah dan penulis lepas) mengajak saya mendaki menuju Ranu Kumbolo, sebuah danau di lereng gunung Semeru. Mendengar penjelasan Wawan tentang keindahan danau tersebut, serta-merta saya tertarik. Sudah lima tahun lebih saya tidak mendaki gunung dan ajakan ini membuat saya bersemangat. Saya pun mencari beberapa gambar danau tersebut di mesin pencari google. Dan memang menggiurkan. Mungkin di mata Wawan dan teman-teman serombongan saya tampak sangat bersemangat ketika hendak mendaki Semeru. Namun, nanti akan saya ceritakan: di pendakian ini, sayalah yang justru mendaki paling lambat.

Saya berpikir, ada baiknya teman-teman lain diajak. Saya pun menghubungi beberapa teman, mengajak mereka untuk turut serta. Setelah beberapa minggu kemudian, pendaki yang turut serta dengan saya dan Wawan ada tiga orang: Denny Mizhar (Denny, guru SMK Muhammadiyah Malang dan penulis lepas), Muhammad Ramadhani (Dhani, guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo) dan Junaedi Ridwan (Jun, office boy TKK Mardiwiyata Malang).

Rencana ini awalnya hampir gagal karena berita lebay yang tersiar di beberapa situs internet dan televisi kalau kondisi Semeru berbahaya. Selama dua hari (tanggal 23 dan 24 Juni) kami terus memantau perkembangan Semeru. Wawan bahkan menelepon posko BTS (Bromo Tengger Semeru) untuk memastikan aman atau tidaknya pendakian. Petugas posko BTS menyatakan Semeru aman, istilahnya cuma “batuk-pilek” karena pergantian cuaca yang akhir-akhir ini dingin — hanya wilayah yang berada di dekat puncak gunung (sekitar 3 km) yang tidak boleh didaki. So, kami tetap berangkat.

Keberangkatan yang Melelahkan dan Lucu (Tumpang-Ngadas-Ranu Pani)

25 Juni 2011. Setelah sehari sebelumnya kami packing dan melakukan berbagai persiapan, pagi-pagi kami menuju Puskesmas terdekat rumah kami masing-masing. Wawan menuju Puskesmas di dekat rumahnya di Kerto Rahayu, Sumbersari. Denny pergi ke Puskesmas di dekat rumahnya di Tlogomas (sambil menggoda perawat yang sedang praktek di sana, uhuy!). Saya, Dhani, dan Jun menuju Puskesmas di dekat rumah saya di Pandanwangi.

Mengapa kami harus ke Puskesmas? Ternyata, kalau mendaki Semeru harus ada surat keterangan dokter dan fotokopi KTP, karena kalau ada apa-apa dalam pendakian, ada asuransi dan tindak lanjut. Dhani saya beritahu soal surat keterangan dokter ini, tapi tidak percaya. “Pakai SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) sekalian apa tidak?” tanyanya.

“Memangnya mau tes PNS!” jawab saya.

Jam 10.30, kami berlima berkumpul di sebuah perempatan di Malang. Dari perempatan itu kami menumpang angkot bertrayek TA (Tumpang-Arjosari) menuju Tumpang. Sampai di Tumpang kami mencari-cari pickup atau hardtop yang membawa kami ke atas, menuju lereng Semeru. Kami semua sama-sama tidak tahu, kalau para pendaki Semeru nyaris semuanya menggunakan hardtop. Karena dengan hardtop mereka langsung diturunkan di desa Ranu Pani.

Hardtop sudah tak ada lagi. Ada satu yang mau mengantar, tapi kami diminta menunggu dalam jangka waktu yang tak pasti. Akhirnya, yang kami dapatkan adalah sebuah pickup yang mengangkut bahan-bahan bangunan. Bersama kami, di bak pickup juga diangkut semen, asbes, pupuk, dan lain-lain. Tiap orang ditariki biaya Rp. 15.000,oo. Kami diturunkan di desa Ngadas, yang masih cukup jauh dari Ranu Pani. Kami berjalan kaki selama 5 jam dari Ngadas ke Ranu Pani. Kami mulai berjalan kaki sekitar pukul dua siang. Jalan kaki ini amat melelahkan karena nyaris terus mendaki.

Lucunya, jalan yang kami lewati dengan berjalan kaki ini dilewati mobil dan motor. Saat kami berjalan, para pendaki dan orang-orang lainnya berseliweran di jalan yang kami lalui. Mungkin ada yang menganggap kami pendaki yang sangat idealis — entahlah. Ini memang kesalahan kami bersama karena informasi seputar transportasi dari Tumpang ke Ranu Pani yang kami terima kurang memadai. Sewajarnya, perjalanan dari Ngadas ke Ranu Pani dilalui dengan hardtop yang berangkat dari Tumpang.

Namun, ada hal-hal yang kami syukuri dalam perjalanan kaki yang semestinya tidak perlu kami lakukan ini. Kami bisa melihat panorama yang indah di sepanjang perjalanan Ngadas-Ranu Pani. Terutama di daerah Njemplang. Di daerah ini ada ini ada sebuah menara kecil yang tingginya sekitar 15 meter. Wawan dan Dhani sempat mendaki menara itu, dan dari sana tampaklah tiga gunung: Semeru, Bromo, dan Tengger.

Selain panorama, saya juga bersyukur bisa mengobrolkan banyak hal seputar dunia sastra bersama Denny dan Wawan. Seingat saya, dalam perjalanan dari Ngadas ke Ranu Pani inilah kami paling banyak mengobrol. Saya menimba ilmu dari mereka bagaimana menikmati, menelaah, dan menemukan muatan-muatan penting sebuah puisi. Kami juga membicarakan soal sastra motivatif, musik, dan lain-lain.

Kami sampai di Ranu Pani, danau dengan ketinggian 2100 meter dpl (di atas permukaan laut) sekitar jam 7 malam. Di sana sudah banyak pendaki yang tiba terlebih dahulu. Banyak yang heran mendengar cerita kalau kami tadi berjalan dari desa Ngadas. Bersama 16 pendaki dari Jakarta dan Bandung, dan 17 pendaki dari Probolinggo, kami menginap di sebuah pondok di Ranu Pani. Di pondok itu kami disambut ramah oleh Pak Hambali, penjaga pondok dan anggota tim SAR di Semeru. Di dekat pondok ada pos registrasi mendaki ke Semeru, mushola, kamar mandi, dan warung.

Awalnya, saya merasa cukup sampai di sini saja pendakian kami. Karena mendaki 5 jam (Ngadas-Ranu Pani) bagi saya sudah cukup berat. Saya sangat jarang berolahraga. Di masa lalu, waktu masih SMA dan mahasiswa, kalau mendaki gunung pun tidak pernah sampai puncak, paling-paling cuma mendaki 3-4 jam ke tempat-tempat di lereng gunung yang berpemandangan indah. Selain itu, para mahasiswa Sejarah seperti saya kebanyakan pernah mendaki gunung, tapi dengan tujuan utama menyusuri jejak-jejak peradaban manusia masa lalu, tidak berambisi sampai ke puncak. Saya sudah pernah mendaki Penanggungan dan Arjuna menyaksikan beberapa peninggalan sejarah seperti menhir, sarkofagus dan arca-arca.

Saya tidak tahu apa yang ada di benak empat teman saya lainnya. Saya kira, semuanya sempat berpikir lebih dari satu kali untuk melanjutkan perjalanan ke Ranu Kumbolo. Akhirnya, setelah mempertimbangkan beberapa hal, kami semua sepakat: perjalanan dilanjutkan. Ranu Kumbolo, danau yang berada di ketinggian 2400 meter dpl ini, harus kami saksikan. Saya hanya berdoa agar tubuh saya dikuatkan. Dua minggu sebelum mendaki saya sudah melakukan persiapan fisik dengan rutin berolahraga setengah jam sehari, namun saya merasa itu masih belum cukup.

Menuju Ranu Kumbolo

“It is not the mountain we conquer but ourselves.”

Begitu kira-kira kata-kata yang tertulis di sebuah stiker yang ada di warung Ranu Pani, katanya diucapkan oleh Edmund Hillary. Kata-kata itulah yang saya ingat beberapa kali saat hendak mendaki ke Ranu Kumbolo di hari Minggu pagi, 26 Juni 2011, sekitar pukul 9 pagi. Terus terang, saat mendaki ke Ranu Kumbolo benak saya dipenuhi berbagai kekuatiran. Pertama, sepatu saya tapaknya licin. Kedua, kaki dan pundak saya sudah cukup lelah. Ketiga, sama seperti banyak gunung lainnya: ada jurang yang dalam, yang membentang di satu sisi jalan di hampir sepanjang lereng gunung dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo.

Kekuatiran-kekuatiran ini akhirnya membuat fisik saya makin lemah. Apalagi saya belum pernah mendaki gunung lebih dari 5 jam. Perjalanan ke Ranu Pani dari Ngadas telah membuat saya cukup lelah. Namun, saya membulatkan tekad untuk sampai ke Ranu Kumbolo. Saya sangat bersyukur, di saat-saat ini, Jun, rekan saya mendampingi saya saat rasa lelah saya memuncak. Saya berhenti mendaki belasan kali. Para pendaki lain bisa melintasi perjalanan ini hanya dalam waktu 3 atau 4 jam. Namun, saya melewatinya selama 5 jam lebih.

Begitu danau itu mulai kelihatan, semangat saya bangkit kembali. Kelegaan yang besar saya rasakan di jiwa saya. Sebuah pencapaian telah berhasil diraih. Sekitar jam 3 sore kami sampai di Ranu Kumbolo. Di Ranu Kumbolo kami memasang dua tenda. Satu tenda untuk Wawan dan Denny; dan satu tenda untuk saya, Jun, dan Dhani. Di Ranu Kumbolo banyak sekali pendaki yang memasang tenda. Mungkin ada sekitar 100 pendaki dari berbagai tempat di Indonesia yang saat itu tumplek blek di sana. Saat kami mendaki bahkan sempat bertemu seorang pendaki dari Australia.

Makan malam kami amat spesial. Jun yang membawa peralatan masak lengkap (kompor gas mini, panci, teflon, dan dandang) menyajikan hidangan makan malam yang mbois habis: nasi putih, sosis goreng, dan sarden. Kami kenyang dan puas malam itu. Namun, tak banyak obrolan di antara kami karena sebelum jam 9 malam kami sudah tertidur. Di malam hari hujan sempat turun. Untunglah tidak terlalu deras. Hujan ini juga — entah dengan cara bagaimana, saya tak bisa menjelaskannya — membuat suhu udara di malam itu tidak terlalu dingin. Kadangkala, suhu di sana bisa mencapai -2 derajat C. Di malam itu, suhu udara berkisar 10-11 derajat C. Kami tidur dengan nyaman, walau saya mendapat sebuah mimpi buruk.

Kembali ke Ranu Pani (Pentingnya Kebersamaan dan Pendaki Utusan Tuhan)

Mimpi buruk saya sewaktu tidur di tepi Ranu Kumbolo adalah didatangi sundel bolong. Saya sebenarnya tergoda untuk menceritakan mimpi itu waktu di Ranu Kumbolo, ketika kami hendak kembali. Namun, saya mengingat beberapa pesan pendaki lain dan teman-teman saya: kalau kita mengalami hal yang ganjil dan aneh saat mendaki, semangat kita lemah, dan berbagai perasaan negatif lainnya, tak usahlah digembar-gemborkan. Saya pun tak menceritakan mimpi itu pada siapa pun.

Sebenarnya mimpi buruk itu tidak terlalu membuat saya ketakutan, tapi entah ada hubungannya atau tidak, cuaca saat kami turun gunung juga buruk. Setelah hampir dua jam turun dari Ranu Kumbolo, hujan mulai turun. Tanah basah, becek, dan licin. Di saat-saat inilah saya disadarkan lagi tentang pentingnya kebersamaan. Rutinitas sehari-hari masih memungkinkan kita untuk hidup tanpa begitu banyak bergantung pada orang lain. Namun, di saat-saat seperti ini, kehadiran seorang kawan sungguhlah amat berharga. Bila waktu mendaki saya bersyukur dengan kehadiran Jun yang selalu menyertai saya, kali ini ada Wawan yang sama sekali tidak pernah meninggalkan saya jauh-jauh.

Setelah saya dan Wawan berjalan turun gunung kira-kira tiga jam, ada jalan serupa gundukan. Gundukan itu tanah semuanya (tak ada rerumputan atau jatuhan dahan dan dedaunan kering), dan becek semuanya. Di samping gundukan membentang jurang yang dalam. Wawan yang cukup mahir mendaki saja merayapi gundukan itu pelan-pelan. Saya berusaha mengikuti gayanya, namun sepatu saya yang licin membuat saya terjatuh di gundukan itu. Wajah saya nyaris menyentuh tanah. Wawan yang sudah ada di depan saya panik menyaksikan apa yang tengah terjadi.

Saat saya terjatuh, sungguh tak terduga, ada seorang pendaki asing di belakang saya. Bersama Wawan dia membantu melepas tas yang saya bawa dan mengangkat saya berdiri. Dengan bantuan mereka berdua, saya pun lolos dari maut, tidak jadi masuk jurang. Saya masih ingat betul nama pendaki itu, Muhammad Iqbal. Dia juga turun gunung bersama 5 orang temannya yang ia tinggalkan di belakang. Dia masih kuliah di Universitas Jember, dan aktif di Forum Penanggulangan Bencana Indonesia (FPBI). Hingga kini, saya menganggap Iqbal sebagai pendaki utusan Tuhan.

Saat sudah di Ranu Pani, saya baru menceritakan mimpi buruk itu pada Wawan, Jun, Dhani, dan Denny. Pendakian ini akhirnya usai. Kami berlima beruntung bisa turun sampai ke Tumpang dengan dua rombongan (masing-masing rombongan beranggotakan 3 orang). Bersebelas kami turun dengan hardtop. Masing-masing membayar uang Rp. 37.000,oo karena tarif yang dikenakan supir hardtop untuk mengangkut penumpang dari Ranu Pani ke Tumpang sebesar Rp. 400.000,oo.

Sepanjang perjalanan turun kami terus menertawakan perjalanan kami berlima, para pendaki lugu, yang berjalan kaki dari Ngadas ke Ranu Pani. Perjalanan turun dari Ranu Pani ke Ngadas dengan menggunakan hardtop memakan waktu 40 menit; sementara perjalanan dari Ngadas ke Tumpang memakan waktu sekitar sejam.

Ranu Kumbolo sudah kami tinggalkan. Sebuah perjalanan yang penuh kesan telah kami lewati. Saya selalu berharap ada kesempatan seperti ini lagi dalam hidup saya. Saat warkop mulai membosankan, lampu-lampu jalan di Malang dan Sidoarjo di malam hari tampak muram, film-film di bioskop tak lagi menghibur hati, atau buku-buku jadi tampak begitu menjemukan… alam dengan segala keheningan dan tantangannya menjadi salah satu tempat di mana para pecintanya dapat menemukan lagi sesuatu yang berharga untuk dihayati dalam hidup ini. (*)

Malang, 28 Juni 2011

KSI Kertak Hanyar: Ide Awal dan Pembentukannya

Mahmud Jauhari Ali
Radar Banjarmasin

Ide awal pembentukan Komunitas Sastra Indonesia Cabang Kertak Hanyar bermula dari perbincangan sederhana, antara dua orang sastrawan senior yang masing-masing bernama Arsyad Indradi dan Arya Patrajaya di Banjarbaru. Perbincangan itu membahas sebuah rencana pendirian organisasi sastra di Kertak Hanyar yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Saat itu seorang Arsyad Indradi yang memiliki mandat dari Ketua KSI Pusat untuk membentuk KSI cabang di wilayah-wilayah Kalimantan Selatan melihat adanya potensi sastra pada generasi muda di Kertak Hanyar, yakni pada siswa SMA yang tinggal di sana. Beliau berpikiran harus ada wadah bagi generasi muda Kertak Hanyar terutama para siswa SMA tersebut untuk menyalurkan minat dan kemampuan mereka dalam berkarya sastra, baik puisi, prosa piksi, maupun teater. Wadah yang beliau maksud itu adalah Komunitas Sastra Indonesia Cabang Kertak Hanyar.

Rencana tersebut disampaikan oleh Arya Patrajaya kepada salah seorang tokoh masyarakat di Kecamatan Kertak Hanyar yang juga merupakan sastrawan satu angkatan dengan Arsyad Indradi, yakni Abdul Karim Amar. Dalam perbincangan santai, tetapi serius antara Arya Patrajaya dan Abdul Karim Amar itu, disepakatilah pendirian Komunitas Sastra Indonesia Cabang Kertak Hanyar oleh keduanya.

Proses pun berlanjut pada pengumpulan orang-orang yang memiliki keinginan untuk memajukan dunia sastra di Kertak Hanyar. Orang pertama yang mereka hubungi untuk diajak bergabung dalam pendirian KSI Cabang Kertak Hanyar adalah penulis sendiri. Saat itu penulis setuju bergabung di dalamnya. Menurut penulis, pendirian sebuah organisasi yang bergerak di bidang sastra sangatlah bagus untuk menciptakan iklim kesastraan di belantika alam Kertak Hanyar yang penulis nilai selama ini minim dalam hal sastra. Tidak dapat kita pungkiri bahwa beberapa tahun ini Kecamatan Kertak Hanyar tidak pernah lagi disebut sebagai sebuah daerah yang bernuansa sastra. Jika dibandingkan dengan Banjarmasin atau Banjarbaru, tentulah Kertak Hanyar bukanlah apa-apa. Dahulu pada tahun 1980-an, di Kecamatan Kertak Hanyar kehidupan sastra dapat dikatakan menggembirakan. Hampir setiap minggu digelar pementasan sastra, seperti pembacaan puisi dan pementasan teater oleh sebuah komunitas sastra yang bernama RENASA yang juga didirikan oleh Abul Karim Amar. Karena kondisi alam sastra di Kertak Hanyar pada saat ini sepi, penulis dengan senang hati menggabungkan diri dalam komunitas yang akan mereka bentuk tersebut.

Beberapa minggu kemudian, yakni pada tanggal 31 Agustus 2008 sudah terkumpul delapan orang termasuk mereka berdua untuk bersama-sama membentuk KSI Cabang Kertak Hanyar. Kedelapan orang tersebut, yakni Arya Patrajaya, Abdul Karim Amar, penulis, Yuliati Puspita Sari, Makmur, Fitri Jamaliah, Lina, dan Dewi Yuliani. Kedelapan orang ini berkumpul dengan dihadiri oleh Arsyad Indradi untuk membicarakan pembentukan KSI Cabang Kertak Hanyar. Dalam pembicaraan itu disepakati bahwa KSI Cabang Kertak Hanyar dibentuk dan disaksikan oleh Arsyad Indradi langsung. Adapun kepengurusan KSI Cabang Kertak Hanyar, yakni selaku pendiri adalah Abdul Karim Amar; ketuanya tidak lain ialah Arya Patrajaya dengan wakil ketuanya Makmur; Sekretaris dijabat oleh Fitri Jamaliah dengan wakil sekretarisnya penulis sendiri; Bendahara dipercayakan kepada Yuliati Puspita Sari; anggota-anggotanya ada dua orang, Dewi Yuliani dan Lina.

Pembentukan KSI Cabang Kertak Hanyar ini dilandasi semangat untuk menghidupkan kembali alam sastra sekaligus mencerdaskan kehidupan masyarakat Kertak Hanyar terutama generasi mudanya dalam bidang kesastraan. Semangat ini bukan besifat kedaerahan sebatas Kertak Hanyar, tetapi juga mengarah kepada cita-cita nasional, yakni membumikan sastra di Kertak Hanyar sebagai bagian jati diri bangsa dan juga mengusahakan pencerdasan masyarakat Kertak Hanyar di bidang keastraan sebagai bagian rakyat Indonesia. Hal terakhir ini sejalan dengan alenia keempat pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan Bangsa Indonesia dan pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”

Dalam pembentukan KSI Cabang Kertak Hanyar pada tanggal 31 Agustus 2008 dibicarakan beberapa hal penting menyangkut pergerakan ke depan komunitas ini. Beberapa hal itu adalah kedudukan, visi, misi, dan program kerja KSI Cabang Kertak Hanyar. Kedudukan KSI Cabang Kertak Hanyar adalah sebagai wadah berkumpulnya para sastrawan, pencinta, penggiat, dan masyarakat penikmat sastra, berada di bawah KSI Pusat di Jakarta.

KSI Cabang Kertak Hanyar memiliki visi yaitu terwujudnya KSI Cabang Kertak Hanyar sebagai wadah berkarya sastra dan pusat informasi serta pelayanan di bidang kesastraan di Kertak Hanyar dalam upaya menjadikan sastra sebagai wahana untuk bekerja sama dan sebagai perekat dalam membangun kehidupan harmonis dengan rasa solidaritas dan kesetaraan dalam masyarakat Kertak Hanyar yang majemuk.

Untuk mencapai visi tersebut, KSI Cabang Kertak Hanyar memiliki misi, yakni mengumpulkan dan menghimpun karya-karya sastra, meningkatkan mutu sastra, memberikan pelayanan kepada masyarakat, mengembangkan mutu para pengurus, meningkatkan kerja sama, dan pemasyarakatan sastra.

Adapun program kerja yang telah disusun dalam pembentukan KSI Cabang Kertak Hanyar ada lima buah. Kelima buah program kerja itu, yakni mengumpulkan dan menghimpun karya sastra dalam bentuk buku cetak, penyelengaraan lokakarya (workshop) di SMA yang ada dalam ruang lingkup Kertak Hanyar sebagai bentuk peningkatan mutu sastra, memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk buku bacaan, membuat laman (website) KSI Cabang Kertak Hanyar sebagai bentuk pemasyarakatan sastra, dan menciptakan kerja sama dengan pihak-pihak yang dianggap perlu untuk memudahkan KSI Cabang Kertak Hanyar mencapai visi tersebut di atas.

Untuk pemasyarakatan sastra, KSI Cabang Kertak Hanyar saat ini telah memiliki laman di www.ksi-kertakhanyar.co.cc. Dengan laman ini, KSI Cabang Kertak Hanyar dapat memasyarakatkan sastra bukan hanya sebatas di Kecamatan Kertak Hanyar, tetapi juga bagi masyarakat secara luas dan global. Demikianlah penulis memberikan sekilas gambaran tentang ide awal dan hal-hal dalam pembentukan KSI Cabang Kertak Hanyar yang telah berdiri pada tanggal 31 Agustus 2008. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Sumber: http://artikelkesastraan.blogspot.com/

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati