Minggu, 28 Agustus 2011

Lukisan Perempuan *

Kafiyatun Hasya
http://sastra-indonesia.com/

“Aku memang tak menampakkan dihalayak banyak orang, tapi aku tahu kau diantara mereka”. Ucapmu padaku disenja kemaren. Entah kenapa aku tak bisa mengerti posisimu. Kau sebagai seorang pelukis yang terkenal, tak pantang memenyerah ketika malas menyambar semagatmu. Mungkin itu karena kau hidup dari hasil corat-coret tanganmu. Tapi aku yang berstatus kekasihmu sejak dua tahun yang lalu, tak penah kau kenalkan dengan teman-temanmu. Kau hanya mengenalkanku pada lukisan-lukisanmu. Kau paling banyak melukis perempuan daripada benda atau makhluk lainnya. Saat ditanya, kau hanya menjawab dengan senyuman serta sentuhan lembut ditanganku untuk sekedar menenangkanku.

“Ah, kau sangat pandai merayuku! Jangan-jangan kau menyimpan perempuan lain, lalu kau alihkan dengan melukis wajah-wajah mereka dikanvasmu” sergahku

“Tidak, tidak akan. Aku bukan penghianat. Kau satu-satunya kekasihku. Perempuan dilukisanku tak pernah berarti bagiku, mereka hanya barang kesayanganku saja”

Kau ini seperti hidup dizaman kerajaan saja, kau simpan selirmu dengan rapat dan aneh. Kau simpan mereka pada kanvas-kanvas kebanggaanmu, yang kelak jika kau beruntung, lukisan-lukisan itulah yang akan mengisi perut kosongmu”.

“Berarti aku berhutang budi pada perempuan dilukisanku, begitu maksudmu?!” kau memandangku sinis dan ragu, lalu kau menatap langit luas, memejamkan mata seraya mengucap kata-kata yang tak jelas ditelingaku.

“Kau berdo’a saja, agar tak pernah ada selir-selir seperti yang kau katakan. Jika itu terjadi bukan berarti aku penghianat, melainkan ada kesalah kesalahan yang tak pernah kita sadari.”

Sedetik kau menatapku, lalu membuang wajahmu kelangit luas lagi. Seakan mengharap sesuatu jatuh darisana. Entah itu berupa kebahagiaan atau duka. Kau meninggalkanku tetap sendiri duduk dibatu besar. Batu yang aku duduki memang sangat besar dan kokoh selama tidak ada benda yang lebih kuat menimpanya. Tapi aku perempuan, bukan batu kuat dari langit seperti yang selalu kau harapkan.

“Kisah cintaku tak boleh kandas disini. Aku susah payah mengumpulkan gugusan-gugusan kecil cintaku untuk kita jadikan titian-titian hidup. Perjuanganku baru dimulai”.

* * *

Diakhir pekan, kau mengajakku untuk menemanimu dalam acara pameran lukisanmu. Hampir satu bulan satu kali kita bersama diacara yang dihadiri para penyuka seni dan budayawan. Tak jarang, lukisanmu dibeli dengan harga yang cukup mahal. Aku mengamati tiap lukisanmu. Selalu begini, sama seperti yang dulu-dulu. Lukisan perempuan melulu. Perempuan jawa yang berkerudung. Entahlah, kenapa aku tidak juga mengeri filosofi lukisan kekasihku. Padahal hanya wajah perempuan.

“Mas Pras” panggilku ketika acara pameran usai

“Kenapa Din?”

“Kita langsung pulang atau jalan lagi?”

“Kita ketempat biasa saja”.Aku menurut saja apa yang kau katakan, selama aku masih bisa bersamamu.

“Kau yakin kisah kita tidak akan buruk?” tanyaku padamu saat duduk di batu besar.

“Bukan lantaran karena aku tak perduli padamu, maka kisah buruk terlahir untuk kita, aku tak membawa kisah buruk untuk hubungan kita. Aku tidak akan membawakan kisah-kisah sendu. Aku tak ingin membuatmu terus-terusan gamang. Aku tak ingin menambah bebanmu”.

“Aku tak habis pikir, kenapa aku sapai mencintaimu”.

“Itu adalah keajaiban”. Jawabmu pendek.

Tak jelas, kenapa kau sembunyikan aku seperti selir-selirmu,dalam kejauhan imajinasi dan kelakar nalurimu. Kekasihku yang sangat aku puja dan kunanti, yang aku harap dapat menghancurkan segala kegelisahan. Dan setelah lama aku mencoba menerima kehadiranmu, pada sejumput yang tak pernah lepas dihatiku, aku menjadi sangat mencintaimu.

Perempuan yang berharga bagimu, adalah prempuan yang bisa menampakkan wujudnya pada kanvas-kanvasmumu. Apa bagusnya bagiku, jika lukisan kekasihku saja aku tak mengerti. Apa itu berarti aku tak benar-benar mencintaimu?! Alangkah tragisnya, jika putik bunga berserakan dikakimu sebelum waktunya. Ambillah segala putik bunga-bungaku, dan kau akan tahu betapa kejamnya pelukis wajahku yang tak menyamakan aku dengan bunga-bunga yang lain.

Bercinta denganmu membuat aku lupa. Teman-temanku yang begitu bersikukuh bahwa kau bukan lelaki sejati, yang tak pernah bisa mengakui aku sebagai kekasihmu. Namun, itu tak membuat aku mati suri.

“Din..” kau memulai percakapan dipertemuan kali ini

“Iya mas?”

“Semalam aku bermimpi”

“Ah, itukan sudah biasa”

“Tidak, ini mimpi yang tak seperti biasanya”

“Apa sich?!”

“Dengar, dengarkan aku baik-baik”. Kau diam sebentar mengambil nafas.”aku bermimpi kau menjadi patung dilukisanku. Lalu menjelma bunga kering. Tapi aku sangat menyukainya. Meski bunga itu kering, gairahnya tak mengurangi niatku untuk terus memoleskan warna-warna kehidupan. Biasanya kau hadir bukan sebagai obyek lukisanku, paling tidak kau hanya menemani aku jalan-jalan dipulau khayalanku”.

“Apa maksudmu?”

“Aku senang ketika Tuhan memberiku mimpi tentang keberadaan dan tubuhmu. Jarang sekali itu terjadi”.

“Kau hawatir aku menjadi patung yang tak punya warna-warna cerah kehidupan bila kita bersama?!”.

“Tidak”

“Itu omong kosong sayang…”

“semoga saja memang omong kosong!”

Untuk sekian kali lagi kau menampakkan wajah hawatirmu. . Dengan sebatag rokok kau hembuskan segala ragu lewat asap yang membumbung, menjauh, dan mengabadi dilangit. Satu keraguan terlewatkan dibatinmu. Menyamai angin yang kerap menampar daun-daun kering. Yang membawa debu dan daun kering terpisah dari kerabatnya. Jka ia seorang manusia, mungkin dihari tenang ia kembali mencari kerabatnya. Aku tak mau seperti daun kering yang berjarak dengan kerabatnya, begitupun dengan kekasihku.

“Jangan terus-terusan ragu, itu akan mempengaruhi pikiranmu”.

“Aku tidak ragu,. Aku sedang berpikir bila kau jauh dariku apa yang akan terjadi padamu. Karna aku lelaki, aku tak risau”.

Aku tak mengerti dengan perasaan kekasihku. Haruskah aku redam seja gejolak yang menyembul ketika bertemu denganmu didepan banyak orang?!. Padahal pertemuan ini yang aku tunggu. Dengan merenung dan melamun tak membuahkan hasil. Serupa apapun kisah kita, aku peduli. Aku kerap menatap lekat-lekat matamu sambil menerawang, kira-kira adakah sebongkah kesetiaan yang terjerat, atau malah telah terlepas dari jeratan ikut halimbubu. Andai halimbubu itu mengerti keinginanku, tafsiranku akan membaik.

Aku menangkap gerut berbeda pada jalan pikiranmu. Lama kelamaan aku merasa bosan. Ada keinginan untuk tak peduli padamu, berharap kisah kita berakhir saja disini. Dari saking capeknya aku bertekad saja. Meninggalkanmu.

Aku ingin kita bertemu
ditempat biasa

SMSku masuk diponselmu sepuluh hari setelah pertemuan terakhir kita. Besoknya pada waktu yang telah kita sepakati kau tengah duduk di batu besar itu. Kau menggeser dudukmu untukku. Lalu kau membuka tasmu, mengeluarkan secarik kertas buram.

Kertas ini bukan kertas pink
Ini kertas buram. Tapi cinta
Bukanlah hal yang nampak.
Banyak hal yang tidak nampak
Yang bisa kita rasakan.
Adinda, dikeningmu bibirku
Ingin diam dan berpulang
Prasetyo
Sepulang pameran

“Senjata penyair adalah kata-katanya yang tulus”. Ucapku ketika ketika aku sudah membaca tulisanmu. Lalu duduk disampingmu. Persis seperti kemaren-kemarennya.

“Aku sependapat denganmu. Karena itu ketulusan. Aku terserah kamu saja. Kau mau terus seperti ini denganku atau malah meninggalkanku. Jika kau meninggalkanku aku putuskan, aku akan berhenti saja melukis wajahmu”.

“Apa?”

“Ya, selama ini aku melukis wajahmu yang telah tercemari disetiap lenguhan inspirasiku. Dengan wajah yang berbeda dengan bunga-bunga yang lainnya. Kau adalah bungaku meski tanpa atau dengan putik. Bagiku kau sama saja. Kau lebih berharga dari semua hasil lukisanku”.

Dengan rasa bahagia yang begitu saja membuncah pada hatiku seketika. Disiang ini, ditempat bebas penuh dengan beribu keinginan untuk hidup damai, aku menemukan seberkas keyakinan bahwa kau adalah lelaki yang belum sepenuhnya aku pahami, namun begitu sangat menghawatirkan aku.

“Adinda… aku begitu mencintaimu..”

* * *

Menyatakan perasaan kia dengan bahasa tubuh, yang diwakili oleh tangan atas jari-jari kita adalah ungkapan puncak keindahan. Ternyata coretan kekasihku adalah kumpulan perasaan cintanya.

Bagiku kau mas, adalah menyatukan rantai kisah cinta yang sungguh indah. Dengan segala yang telah kita lewatkan aku tak pantas meningglkanmu begitu saja. Mengenalmu, menjadikan aku sebagai putri bunga cantik dalam setiap lukisanmu. Kau sangat mahir melukis wajah, begitupun melukis kisah kita.

“Mas..,aku punya harapan besar padamu, menjadi yang berharga dan terindah dalam hidupmu. Disetiap dentingan do’a-do’aku, namamu dan segala harapan kita selalu kuucap.Semoga…”

Paiton 15 april 2009.
*) Dimuat di majalah ALFIKR.

Bilik Mesra

Wawan Eko Yulianto*
http://oase.kompas.com/

Aku ingin menulis sebuah cerpen tentang banjir lumpur yang melahap pemukiman itu. Bukan menulis esai. Tapi bagaimana bisa aku menulis cerpen jika aku ingin marah-marah saat ingat betapa beratnya para pengungsi yang kegerahan setiap siang seperti ini.

Aku baru saja datang dari kamp pengungsian mereka. Aku melihat seseorang menangisi rumahnya yang sedikit demi sedikit ditelan lumpur hingga tinggal atap. Bayangkan, mereka melihat sendiri rumah mereka sedikit demi sedikit terendam.

Begitulah, aku terlalu ingin meneriakkan kemarahan tentang tingkah para pengusaha yang menyalahi aturan pengeboran dan menyebabkan menyemburnya lumpur panas yang tiada henti itu. Biasanya, jika aku terlalu marah dan ingin menyuarakan sesuatu, tulisanku akan jadi esai. Tapi, kali ini tidak boleh: Aku ingin menulis cerpen! Karena itulah aku pergi ke SMA tempatku sekolah sekitar delapan tahun yang lalu. Udara memang gerah dan memanggang rambut, aku tahu. Tapi segala kenangan yang ditimbulkan setiap sudut gedung sekolah itu pasti akan melenakan hatiku, merontokkan marahku, membelai-belai hatiku, dan aku akan bisa menulis sebuah cerpen. Kuharap begitu. Kita lihat saja.

Aku memasuki gerbang sekolah yang dijaga seorang satpam. Aku tidak kenal satpam ini. Dia juga tidak kenal aku.
“Mau kemana, Mas?” tanyanya. “Hari Minggu pegawainya tidak ada.”
“Mau santai-santai, Pak,” kataku. “Saya cari tempat yang tenang buat nulis.”
“Nulis apa?”
“Cerpen, Pak,” kataku, sambil kuperhatikan matanya yang tak menunjukkan berkurangnya kecurigaan. “Saya tinggal sekitar sini dan lulusan SMA ini, Pak.”

Selanjutnya dia membiarkanku meneruskan langkah. Saat berjalan, aku merasa dia menembakku dengan sorot matanya. Aku benar-benar tak peduli. Toh sekolah ini milik negara dan aku pun pernah menyumbang sekian rupiah untuk pembangunan salah satu gedungnya.

Aku melewati celah antara ruang kantor dan ruang perpustakaan. Kedua bangunan ini tetap seperti ketika delapan tahun lalu aku meninggalkannya. Selepas celah, aku sudah bisa melihat hampir seluruh bagian dalam sekolah. Sudah banyak perubahan yang dibuat di sini. Ada ruang-ruang kelas baru di ujung selatan sana. Antara kelompok-kelompok kelas kini dihubungkan koridor beratap yang indah dengan tiang-tiang penyangga yang bagus. Sungguh modern. Nyaris seperti sekolah-sekolah berskala internasional dalam liputan-liputan berita. Semua cat tampak masih baru. Mungkin mempersiapkan diri untuk 17 Agustus tahun ini. Sayang masih belum ada umbul-umbul sama sekali.

Setelah puas mengagumi perubahannya, aku memilih untuk tidak melanjutkan proyekku. Aku menoleh sekeliling mencari tempat yang bagus untuk menulis. Di tepi kanan perpustakaan yang masih kosong terdapat sebuah bangku dan meja. Mejanya agak rusak, tapi bangkunya tampak masih bisa diduduki. Kudekati bangku-meja itu dan mencoba mendudukinya. Masih lumayan nyaman. Bagian ini langsung menghadap lahan kosong ditumbuhi alang-alang. Angin berhembus keras, tapi udara tetap panas.

Aku keluarkan buku notes kecilku dari saku belakang celana. Ya, meski panas, inilah tempat yang tepat untuk bisa merenungkan segala yang kulihat di tempat pengungsian para korban banjir lumpur itu. Lalu aku akan menuliskannya dalam bentuk cerpen: harus ada cerita yang bisa menjaga minat dan menggugah pembaca sambil, namun juga harus tersaji fakta yang mencerahkan. Cerpen itu menghibur sekaligus memintarkan, begitu kata teori. Ah, lagi-lagi teringat teori! Terang saja aku tidak pernah berhasil menulis cerpen yang bagus sejak kuliah sampai sekarang. Teori terlalu menghantuiku.

Aku mencoba berkonsentrasi dan mengingat-ingat: ada bau menyengat seperti limbah bahkan dari jarak satu kilo dari lokasi banjir lumpur, ada sopir-sopir angkutan yang berkelahi karena semakin berkurangnya pelanggan, ada perkelahian antar beberapa lelaki karena otak yang panas di kamp pengungsian, ada rumah-rumah yang tinggal terlihat atapnya karena sudah termakan lumpur, dan bahkan ada sebuah “bilik mesra” yang dikhususkan bagi para pasangan pengungsi yang ingin menyalurkan hasrat seksual mereka—meskipun konon jarang dipakai, karena para pengungsi malu mengumumkan kepada tetangga kalau mereka sedang saling menafkahi. Tapi, ah, aku tidak akan menyertakan urusan “bilik mesra” ini ke dalam cerpenku. Aku masih belum berani.
Ah, mana yang akan kutuliskan dulu? Oh ya, tulis saja begini. Aku...

Belum lagi aku menyelesaikan kalimat pertama, suara keras sepeda motor terdengar mendekat. Motor itu dari arah belakang, melewati koridor yang indah, lalu berhenti di depan berpustakaan. Siapa dia, berani-beraninya membawa sepeda motor masuk ke kompleks-kompleks kelas, melewati koridor yang semestinya untuk berjalan, dan memarkir sepeda motor di teras perpustakaan. Aku lebih mundur ke belakang agar tidak terlihat.

Sebelum pengendara motor itu turun, aku tadi sudah melihat mereka: seorang lelaki dan seorang perempuan. Begitu turun, mereka menoleh melihat ke arah lapangan—mereka membelakangiku. Aku mencoba mengintip. Kulihat lelaki itu berbicara:

“Mau duduk-duduk di sana terus?”
“Ke kelas yang itu lagi?” kata si perempuan menunjuk ruangan kelas baru di ujung selatan.

Mereka berdua segera berjalan. Tangan si lelaki di punggung bawah si perempuan, nyaris menyentuh pantat. Sambil berjalan, si lelaki menoleh ke kanan dan kiri, dan mengatakan sesuatu kepada si perempuan. Sayang, aku tidak bisa mendengar kata-kata mereka.

Entah, tiba-tiba saja aku tak lagi berminat untuk melanjutkan perenungan dan hasratku menulis cerpen. Aku segera mengendap-endap di tepian gedung sambil tetap bisa mengintai laki-laki yang tangannya mulai meraba-raba dengan cabulnya pada bagian belakang tubuh si perempuan. Dasar, yang namanya maksiat sekarang sudah menjarah gedung sekolah. Kupikir yang seperti ini hanya terjadi di gedung-gedung kampus yang kurang penerangan pada malam hari. Kini, bahkan di terang hari, bahkan di sebuah SMA Negeri, hal itu bisa terjadi.

Sementara kuikuti dari bagian-bagian aman, si lelaki tetap seperti merasa diikuti seseorang. Terkadang, si lelaki berlagak seolah-olah meneduhi wajah si perempuan dari sengatan matahari dengan tangannya, terkadang dia berlagak mengipasi wajah si perempuan dengan tangannya.
Sementara aku mengendap-endap dari balik tiang koridor satu ke tiang koridor lainnya, seperti detektif.

Pasangan itu menuju sebuah kelas di ujung selatan. Itu kelas baru. Seingatku, di belakang kelas ujung selatan itu terdapat sebuah warung. Pada hari Minggu seperti ini pasti kosong. Dan ada lincak bambu yang bisa dipakai duduk-duduk, atau apa-apa. Mungkin mereka akan ke sana, berpacaran ditemani semilir angin tersaring rumpun bambu.
Ternyata tidak.

Di depan kelas ujung selatan, mereka berhenti. Si lelaki mengeluarkan sesuatu dari saku belakangnya yang tebal. Sekumpulan kunci. Hanya seorang penjaga sekolah yang memiliki kunci sebanyak itu di sebuah sekolah. Wah, lagi-lagi aku tidak kenal pegawai. Ternyata delapan tahun itu cukup lama. Sudah ada pergantian satpam dan penjaga sekolah.

Si lelaki membuka pintu kelas ujung selatan itu dan menoleh ke sekelilingnya untuk mengamati. Lagi-lagi aku bersembunyi agar tidak terlihat. Ternyata, pikirku, sekolah ini telah salah memilih karyawan baru. Pertama, satpam yang berwajah galak. Kedua, penjaga sekolah yang cabul. Siapa saja bisa mengira dia ke kelas ujung selatan itu untuk melakukan apa. Setelah melihat sekeliling dan sepertinya tidak mendapati apa-apa yang mencurigakan, si penjaga sekolah mengajak perempuannya masuk ke kelas itu dan segera menutupnya. Dia membiarkan kuncinya menggantung di luar.

Aku segera bangkit dari tempatku sembunyi dan melompat. Meaong! Tiba-tiba ada seekor kucing yang ada di depan kakiku. Aku kaget setengah mati saat kudengar suara itu dan kurasakan bulu-bulu halusnya di punggung kakiku. Refleks memerintahkan agar aku segera kembali ke tempatku sembunyi. Jantungku berpacu. Kulihat kucing hitam yang kusandung tadi berlari menyeberang lapangan yang rumputnya mulai mengering. Semoga saja teriakan kucing itu tidak cukup keras untuk didengar penjaga sekolah cabul itu. Kuintip kembali kelas di ujung selatan itu. Sepertinya si cabul tidak tahu.

Aku mengendap-endap lagi menuju kelas di ujung selatan. Kali ini aku lebih hati-hati dan sesekali melihat ke bawah. Aku ingat, dulu di lapangan dimana sekarang ada kelas ujung selatan itu, seorang siswa kejang-kejang karena epilepsinya kumat. Aku ingat, aku ikut melihatnya saat kejang-kejangnya selesai, mulutnya berbusa dan ada sedikit darah, jari Pak Guru olahraga yang diganjalkan diantara giginya tergigit. Sudahlah, mengapa tiba-tiba aku ingat lagi kejadian mengerikan itu. Sudah lama aku tidak pernah teringat kejadian itu lagi.

Aku tetap mengendap-endap melewati tepi sebuah gedung lagi. Jantungku masih berpacu. Meskipun sekarang sudah tidak sekencang tadi. Pikiranku terasa tegang, sampai-sampai kurasa ada urat di bagian belakang kepalaku yang agak mengeras.

Aku sudah berada di depan kelas ujung selatan. Aku mendekat di jendela yang terbuat kaca nakonya agak terbuka. Sambil membungkuk agar tidak terlihat, kutajamkan pendengaran. Aku mencoba sekian lama membedakan desir angin di rumpun bambu belakang sekolah dengan desah nafas dari dalam ruang kelas. Ternyata, diantara desah-desah nafas lirih itu ada suara si lelaki:
“Kalau kita sudah di rumah nanti… kita bisa melakukannya setiap hari…”
“Mas…” balas si perempuan.
“Sungguh…”

Sialan! Ternyata penjaga sekolah itu benar-benar sedang bertindak cabul di sini. Benar-benar tak bisa dibiarkan. Aku segera memutuskan untuk memberitahu satpam tentang prilaku cabul si penjaga sekolah. Aku sudah akan pergi, tetapi tiba-tiba aku memutuskan untuk bertindak lebih. Kunci yang menggantung di luar pintu itu harus dipakai. Mereka harus tertangkap basah. Aku kunci pintu itu perlahan-lahan agar tidak menimbulkan terlalu banyak suara. Saat melakukan itu, kudengar lagi suara-suara erotis itu:
“Dasar… pabrik sialan…”
“Lum… lumpur sialan…”

Aku segera teringat cerpen yang ingin kutuliskan tadi. Ada sebuah bilik khusus di tempat pengungsian itu yang dikhususkan untuk pasangan yang ingin menyalurkan hasrat seksualnya. Aku tadi belum terpikir untuk menuliskan tentang itu. Apa mungkin mereka ini salah satu pengungsi itu? Tanganku yang masih memegang kunci itu tak jadi kulepaskan. Bahkan, aku langsung mencoba pelan-pelan mengembalikan kunci itu agar terbuka lagi. Kali ini, aku tetap tak ingin menimbulkan suara. Ah, aku telah salah sangka. Tetap, sambil mengendap-endap aku mencoba meninggalkan pintu itu dengan mundur.

Belum lagi aku membalik badan, ada tangan yang memegang pundakku, menghentikan langkahku:
“Nulis apa, Mas?”
Ternyata pak satpam sudah berdiri di belakangku.
Tangan kanannya membawa tongkat pemukul hitam mengkilap!
“Mau ngintip, Mas?” tanyanya lebih kasar. “Kalau mau ngintip lagi, nanti sore juga ada, Mas. Giliran saya nanti!”
“Saya tadi mau...”
“Apa, he??” kali ini dia sudah mencengkeram kerah kaosku. “Mau pentungan?!”
“Tunggu dulu.”
“Mas!” teriaknya ke arah ruang kelas. “Kalau sudah selesai kamu keluar dulu, ini ada pengintip yang bisa digarap jadi lemper!!”
“—”
* * *

Nah! Sepertinya cerita ini sudah mencukupi, ada aksi dan juga ketegangan. Aku tinggal memoles logikanya di rumah, biar logis dan memiliki nuansa. Tiba-tiba, aku merasa angin sudah kehilangan gerahnya. Langit juga mulai tampak sejuk dengan warna mulai agak kuning. Sepertinya sebentar lagi ashar akan turun. Akhirnya, bisa juga menulis cerita kecil tentang banjir lumpur. Semoga salah satu editor koran nasional yang selalu suntuk membaca puluhan cerpen yang datang ke mejanya bisa membedakan cerpenku ini dari cerpen-cerpen para penulis tangguh lainnya. Tidak seperti cerpen-cerpenku sebelumnya yang sudah ditolak mentah-mentah.

Melihat langit yang sudah mulai sore itu, aku memutuskan pulang. Aku ingin ngobrol sedikit banyak dengan orang tuaku. Besok aku sudah harus kembali ke kota tempatku kerja. Aku keluar tetap dengan melewati celah antara perpustakaan dan kantor guru. Aku ketemu seseorang yang terlihat baru saja selesai memasang umbul-umbul. Dia menyapaku saat mencoba menstrater sepeda motornya. Aku merasa harus berterima kasih kepada Honda tuanya itu, derunya saat baru datang tadi menghadirkan ide untuk cerpenku.

Aku terus berjalan menuju pos satpam dan si pemasang umbul-umbul mendahuluiku sambil menegur. Di pintu gerbang dia meneriakkan salam perpisahan kepada pak satpam. Saat aku sampai di pos satpam, kusempatkan juga berhenti dulu.

“Bagaimana, Mas?” sapa pak satpam, kali ini dia sungguh ramah. “Sudah selesai menulisnya?”
“Suasananya enak, Pak,” kataku, “tulisan saya bisa selesai.”
“Maaf, lho,” katanya, “tadi saya agak curiga. Biasa, Mas, jaman seperti ini, sulit percaya sama orang.”

Kemudian kami berbicara sebentar sekedar mengabsen guru-guru yang masih ada yang sudah pindah, atau meninggal. Ketika basa-basi itu kurasa sudah cukup, aku pamit dan mulai berjalan. Belum genap selangkah aku berjalan ada suara sepeda motor mendekat. Kulihat sepeda motor itu seperti akan berhenti di pos satpam, penumpangnya dua. Sepeda motor itu belum sampai mendekati pos satpam saat pak satpam berteriak:
“Langsung saja!” kata pak satpam sambil mengayunkan tangannya mengarah ke dalam kompleks sekolah. Laki-laki pengedara sepeda motor hanya meneriakkan “oke!” sambil meneruskan laju sepeda motornya. Di belakangnya, tampak seorang perempuan memalingkan wajahnya, menghindari melihat aku dan pak satpam. Aku menoleh ke pak satpam. Tampangnya agak berubah, sepertinya Pak Satpam malu-malu dan menyembunyikan sesuatu.
“Siapa itu, Pak?” tanyaku.
“!!!”

5 Februari 2010
*) Cerpenis dan blogger di http://berbagi-mimpi.info

Sabtu, 27 Agustus 2011

Peristiwa G30S dalam Fiksi Indonesia

Sunaryono Basuki Ks*
Republika, 30 Sep 2007

SETIAP peristiwa penting dalam sejarah Indonesia menghasilkan karya sastra yang mencoba memberi gambaran tentang peristiwa itu. Perang Kemerdekaan menghasilkan sejumlah novel dan cerpen, yang ditulis oleh pelaku sejarah ataupun oleh generasi yang lebih muda yang ikut mengalamai sebagian kecil peristiwa tersebut.

Peristiwa G30S yang menggoncangkan negeri ini juga telah ditulis oleh sejumlah perngarang kita, baik dalam bentuk puisi, drama, cerpen, maupun novel. Karya-karya itu ditulis saat peristiwa itu baru terjadi (misalnya sajak-sajak karya Taufiq Ismail), tetapi juga beberapa tahun kemudian, bahkan beberapa puluh tahun kemudian.

Dalam novel kita dapat membacanya pada Ronggeng Dukuh Paruk versi aslinya yang terbit tahun 2003, padahal versi yang “disensor” terbit tahun 1981. Dalam versi aslinya ternyata Ahmad Tohari bercerita tentang malapetaka politik tahun 1965 yang membuat dukuh Paruk hancur secara fisik dan mental.

Putu Wijaya dalam drama Aib (1988) juga menyinggung soal peristiwa itu dengan cara mengalihkan setting kisah ke suatu tempat yang lain: sebuah kerajaan. Upaya itu perlu untuk melindungi Putu dari sensor pemerintah saat itu. Dalam novel Kremil, Suparto Brata (Pustaka Pelajar, 2002) juga menyinggung soal disembunyikannnya sejumlah granat di kompleka Kremil oleh orang-orang yang disangka terlibat dalam peristiwa G30S. Novel ini ditulis tahun 1994/1995.

Tahun 1995 Sunaryono Basuki Ks menulis Budiman Benggol (terbit sebagai buku berjudul Maling Republik, Mizan, 2005) yang menceritakan sejumlah orang yang dapat disangka sebagai tokoh-tokoh yang menggerakkan G30S. Suparto Brata (1991) menulis novel panjang Mencari Sarang Angin yang dimuat sebagai cerber di Jawa Pos (1991-1992) dan dibukukan oleh Grasindo tahun 2005. Novel itu menceritakan tokoh perjuangan yang berseberangan dengan Rochim yang akhirnya terlibat pemberontakan PKI, naum tidak sampai ke Peristiwa G30S.

Tahun 2001 Shoim Anwar mengedit sejumlah cerpen dan menerbitkannya di bawah judul Soeharto dalam Cerpen Indonesia, yakni sejumlah cerpen yang ditulis setelah Soeharto lengser, kecuali satu cerpen Menembak Banteng (F Rahardi, 1993). Ketika Soeharto jatuh, muncullah novel karya Putu Oka Sukanta, Merajut Harkat (Pustaka Pelajar, 1999). Novel ini menjadi menarik, sebab ditulis oleh seorang aktifis Lekra yang selamat dari siksaan penguasa.

Tahun lalu kita disuguhi novel September (Tiga Serangkai, Solo, 2006) karya Noorca M Massardi. Kisahnya dimulai dengan Darius, karyawan pabrik kecap yang kena PHK pada suatu masa kini, bukan pada sekitar tahun 1965 atau 1998. Percuma mencari kaitan dengan tahun dalam kelender historis sebab kisahnya memang tak terikat pada fakta sejarah.

Paling tidak, pengarangnya menempatkannya sebagai fiksi yang tak ada hubungannya dengan peristiwa G30S atau pun gerakan reformasi, walaupun, proses politik di bawah pimpinan Presiden Soekresno, Pemimpin Besar Reformasi, bukan Revolusi. Bukankah ini fiksi, begitu jalan pikiran Noorca yang wartawan dengan latar belakang pendidikan jurnalisme di Prancis, yang karenanya leluasa memakai bahasa Prancis untuk berbagai keperluan!

Walaupun dianggap fiksi, Noorca tak mau lepas dari nama-nama tokoh historis dan tak sempat mengubahnya menjadi tokoh fiksi, hanya dengan membolak-balik nama mereka semua. Yang paling jelas tentu Presiden Soekresno, dan ajudannya, Kolonel Djiwakarno. Dalam sejarah kita kenal Presiden Soekarno dan Kolonel Bambang Wijanarko.

Pasti pembaca yang biasa dengan teka-teki silang dengan mudah menebak siapa-siapa mereka ini, sebab nama-nama mereka memang nama historis, ada dalam fakta sejarah. Tapi, jangan bangga dulu, sebab menurut penulisnya, novel ini semata-mata fiksi, jangan mencari kaitan dengan fakta historis, apalagi menimpakan kesalahan sejarah pada mereka.

Bukan hanya nama tokoh historis yang diplesetkan, tetapi juga nama kota, lembaga, nama Universitas, nama koran. Semua harus tak berbau fakta historis karena hanya fiksi! Ada Jalan Rawatidur, Pelabuhan Tanjung Belanga, Kota Talas, Kota Bunga, Universitas Gunung Merbabu (disingkat UGM), Institut Teknologi Babakan (ITB), Universitas Independen (UI), Partai Kiri (Paki), Warta Yudha, Suluh Nasional, Koran Rakyat.

Yang punya ambisi untuk menyudutkan mantan Presiden Soeharto pasti senang membaca kisah yang akhirnya menyodok Mayjen Theo Rosa, sosok penggerak Gerakan 10 September. Yang aneh, ini satu-satunya nama yang plesetannya paling cermat. Tak gampang ditebak tetapi ternyata kalau diurai perhuruf klop. Coba kita bolak-balik sampai ke huruf: bisa jadi soehaRTo.

Sebuah kisah selalu dikisahkan melalui sudut pandang tertentu, bisa sudut pandang orang pertama, kedua, ketiga, omniscience atau mata kamera. Dengan sudut pandang ini pengarang mengikat diri, tunduk pada sudut pandang pilihannya dan tak boleh sembarangan menyimpang dari sudut pandang pilihannya. Sebuah cerpen biasanya punya hanya satu macam sudut pandang agar tak membingungkan pembaca. Tetapi, sebuah novel boleh memakai bebagai macam sudut pandang sesuai dengan keperluan.

Kalau pengarang sudah menetapkan bahwa dia akan mengikuti salah seorang tokoh, maka jalan pikirannya, pengalamannya, tingkat intelektualismenya, semuanya disesuaikan dengan apa yang dipunyai oleh tokoh yang dipilihnya. Dia tak bebas menjadi dirinya sendiri, misalnya seorang profesor doktor yang menguasai berbagai bahasa dan berpengetahuan luas.

Menurut Prof Dr Budi Darma, novelis tak boleh mengobral kepintarannya bilamana dia mau bicara melalui mulut seorang tokoh yang kebetulan mahasiswa nyentrik di sebuah universitas. Dia harus mampu menjadi corong tokohnya, bukan corong pengarangnya.

* Sunaryono Basuki Ks, Novelis dan dosen sastra
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/09/wacana-peristiwa-g30s-dalam-fiksi.html

Menyongsong `Era Baru` Balai Pustaka

Leon Agusta*
Republika, 23 Sep 2007

Penerbit Balai Pustaka (BP), 22 September 2007, genap berusia 90 tahun. Bagi sebuah penerbit penghasil buku sastra, usia 90 tahun boleh dibilang hebat. Tapi, kalau dari 90 tahun itu yang melahirkan kebanggaan dan kenangan hanya 30 tahun pertama, tentu menimbulkan tanda tanya besar. Ada mata rantai yang hilang dari 60 tahun keberadaannya.

Di bawah kewenangan Deputi Bidang Agro Industri, Kehutanan, Kertas dan Penerbitan BUMN, Dr Agus Pakpahan, seorang cultured scholar/ yang juga dikenal sebagai penyair, beberapa waktu yang lalu sudah diambil tindakan penting, antara lain membentuk armada managemen baru, yang terdiri dari kaum muda yang lebih energik. Zaim Uchrowi ditunjuk sebagai Direktur Utama. Beban berat menghimpit pundak mereka.

Meskipun begitu, masa suram BP belum akan segera berlalu. Masa lalu menyisakan bertumpuk-tumpuk persoalan yang harus dibenahi. Jaringan kerja dengan kantor-kantor distributor, komunikasi baru dengan para kontributor naskah perlu diciptakan; di samping masalah internal organisasi kerja yang memang perlu ditata ulang dan diharapkan dapat diandalkan, agar siap menghadapi tantangan masa depan.

Diperkirakan, diperlukan masa sekitar lima tahun untuk bisa memantapkan jalan dan berputarnya roda perusahaan, sebelum bisa bicara soal ‘panen’ atau berkompetisi dengan penerbit lain yang sudah lebih dulu mapan. BP harus punya daya saing sekarang juga atau secepat mungkin. Tetapi, itu takkan mungkin. Kalau dipaksakan, hasilnya sudah dapat diramal: sejarah BP akan tamat secara menyedihkan.

Yang diharapkan, pemerintah bisa sabar dan ikhlas memikul beban tersebut dan menunggu sampai saatnya tiba untuk menarik nafas lega. Sementara, saat ini BP harus segera dibebaskan dari belenggu-belenggu masa silam yang mengikat langkahnya menuju kemajuan seperti yang dimimpikan para pecintanya.

Bila angka rupiah yang harus dihitung, mungkin ada yang bilang berat. Tak perlu berbantah soal itu. Karena, yang harus dipertimbangkan adalah nilainya bagi peradaban dan kebudayaan bangsa kita yang sudah sekian lama selalau terbaikan. Sekarang sudah saatnya untuk bicara bukan hanya soal harga (price) tetapi juga soal nilai (value). Karena, dalam membangun semangat kebangsaan, peradaban dan kebudayaan, kita tak mungkin selalu mengelak. Tantangan dan tanggung jawab untuk memanusiakan manusia, tak boleh ditawar.

Dengan alasan itu BP harus bangkit kembali. Semua institusi terkait harus bersinergi bersama mendukungnya. Agar lebih konkrit sinergi bersama itu perlu dikukuhkan dalam suatu kesepakatan baru. Dengan manajemen yang baru diharapkan BP dapat diandalkan sebagai satu institusi pembawa ilham untuk meniupkan semangat Indonesia Baru, sebagai satu institusi pembawa obor peradaban dan kebudayaan yang bersinar terang di seantero tanah air. Juga, perlu terus berupaya membuka ruang-ruang baru bagi langkah-langkah pencerahan. Dengan demikian BP bisa mulai menciptakan citra sambil membangun wibawanya.

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pastilah sangat menyadari krisis nilai-nilai yang sedang melanda masyarakat negeri tercinta ini. Depdiknas yang paling bertanggung jawab dalam membendung krisis tersebut. Dalam hal ini tepat sekali bila BP manajemen baru dijadikan mitra utama Depdiknas. Dengan etika kerja berupa kesungguhan dan kejujuran, diyakini BP akan bangkit dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.

Kehidupan masyarakat dan bangsa kita tidak mungkin harmonis bila kesungguhan hanya ada dalam batas-batas “ruang transaksional” dimana segala kebijakan ditentukan berdasarkan pehitungan angka-angka sementara ruang untuk membangun semangat kebangsaan, peradaban dan kebudayaan, disepelekan. Bila demikian halnya, artinya masalah semangat kebangsaan dianggap sudah tidak relevan. Penulis yakin, sesungguhnya tidaklah demikian.

Hari ulang tahun ke-90 seyogianya dimanfaatkan untuk menciptakan momentum bagi kebangkitan kembali BP. Citra baru, visi, dan misi baru diperkenalkan ke tengah masyarakat luas. Diselenggarakan secara meriah selama beberapa hari, siang dan malam, dengan semangat artistik yang kreatif. Bukan secara serba formal dan konvensional. Karena, momentum ini harus ditangkap terutama oleh generasi masa depan atau generasi muda.

BP tak punya banyak pilihan, kecuali orientasi yang secara luas membuka ruang bagi generasi muda hingga mereka merasa menjadi bagian dari BP yang baru, yang sedang membangun masa depannya. Rasa memiliki harus ditanamkan. Dan mereka, generasi muda, harus dapat merasakannya. Manajemen BP perlu berupaya menangkap semangat dan kecenderungan generasi muda dengan penuh pengertian dan kepercayaan bahwa masa depan BP akan sangat tergantung kepada cinta dan apresiasi mereka terhadap BP. Setiap kecenderungan negasi dalam memandang keberadaan generasi muda justru kontraproduktif.

Pelajaran bahasa dan sastra di sekolah yang kurang menarik, banyaknya corak ragam bacaan yang beredar secara bebas, membuat perkenalan generasi muda kita dengan sastra tidak melalui cara-cara yang lumrah. Keakraban mereka dengan dunia audio visual adakalanya seperti mengabaikan toko buku. Buku skenario film Syuman Djaya mengenai Chairil Anwar yang berjudul Aku tiba-tiba dicari karena Nicholas Saputra memegang buku tersebut dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Begitu juga dengan Buku Harian Seorang Demonstran Soe Hok Gie. Banyak buku puisi terjual ketika ada pementasan puisi. Di seluruh tanah air sekarang bertebaran kelompok-kelompok musikalisasi puisi. Ada juga yang menyajikan novel dalam bentuk dramatic reading. Pada gilirannya novel pun mengundang peminat untuk membacanya.

Apa yang diungkapkan di atas memperlihatkan beberapa isyarat. Untuk masa depan, BP perlu secara lebih sungguh-sungguh belajar memafaatkan berbagai kecenderungan yang berkembang di kalangan generasi muda. Dengan kata lain, kiprah BP kepada aspirasi dan kreativitas generasi muda haruslah didukung dengan kearifan dan kesungguhan.

Sangat banyak agenda menarik yang dapat digelar oleh generasi muda Jakarta dan sekitarnya. Juga dari daerah-daerah lain di negeri yang memiliki kreativitas melimpah ini. Peringatan ulang tahun ke-90 BP harus mampu menciptakan bukan hanya suasana meriah dan gembira, tetapi juga kenang-kenangan yang akan tersimpan dalam hati.

Selanjutnya adalah rancangan besar (grand design) BP, terutama mengenai produk menjelang tahun 2017 atau seabad BP. Peringatan 90 tahun BP dapat ditegaskan sebagai satu langkah awal menuju 2017. Sebuah ruang waktu yang menantikan lahirnya berbagai gagasan yang unggul dan kalau bisa juga yang cemerlang. Ruang bagi visioner yang mampu membaca tanda-tanda zaman.

BP tak boleh diterlantarkan, merana, apalagi mati. BP harus dijelmakan menjadi sebuah oase di tengah gurun pasir Indonesia yang sudah lama haus terhadap cinta.

* Leon Agusta, Penyair dan pengamat sastra
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/09/wacana-menyongsong-era-baru-balai.html

NUREL JAVISSYARQI MENGGUGAT SUTARDJI *)

Chamim Kohari **)
http://sastra-indonesia.com/

”Penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang dungu.
Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah hayalan dan kata,
dan mereka suka mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan kecuali mereka yang beriman,
beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika dizalimi”.

(Terjemahan QS. Asysyu’araa: 224-227)

Membaca tulisan Nurel Javissyarqi yang berjudul Menggugat Tanggungjawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, yang dibukukan oleh penerbit sastraNESIA & PUstaka puJAngga, tahun 2011, seakan-akan menyentak dan menyadarkan kepada siapa pun yang menggeluti dalam bidang puisi dan kepenyairan. Semangat Nurel sangat bergeni-geni, ia seperti —pinjam istilah Maman S. Mahayana— telah sekian lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya untung ia seorang santri yang mambu seniman, atau seorang seniman yang mambu santri, sehingga apa yang ia paparkan masih terkendali. Dalam tulisan Nurel Javissyarqi tersebut sangat tampak semangat Watawaa Shauu bi al-Haqi Watawaa Shauu bi al-Shabri (saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran).

Pada tulisan I, Nurel mengungkapkan bahwa biangkerok dari Menggugat Tanggungjawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, berawal dari esai Sutardji Calzoum Bachri bertitel Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair; orasi budayanya di dalam acara Pekan Presiden Penyair, yang dimuat Republika, 9 September 2007. Dalam Tulisan itu Tardji menyatakan teks Sumpah Pemuda sebagai puisi, yang dilandasi faham Ibnu Arabi mengenai kun fayakun, kemudian dikembangkan frasa-frasa berikut: “Peran penyair menjadi unik, karena —sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya— secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Dengan pernyataan Tardji seperti itu Nurel terhenyak, matanya ngedim, giginya gemerutuk, meski sehari ia hanya shalat 5 kali, ia menjadi sangat tidak terima ketika Tardji mengatakan Tuhan bermimpi, berimajinasi, Tardji menyamakan kedudukan Tuhan dengan penyair, tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, pada hal Allah berfirman Faman ya’mal mitsqaala dzaarratin khairan yarahu Waman ya’mal mitsqaala dzaarratin syarran yarahu.

Penyair adalah manusia biasa, juga Tardji, ia bukan Rasul bukan nabi, ia tidak lebih baik derajatnya dari tukang sol sepatu, ia makhluq (yang dicipta) seakan-akan menyamakan kedudukannya dengan Al-Khaliq (Maha Pencipta) sehingga dengan gegabah menyatakan sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya— secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Allah sebagai Al-Khaliq (Maha Pencipta). Kata Khaliq berasal dari kata kerja khalaqa, yang dalam kamus Al-Ashri kata khalaqa berarti “menciptakan”, “membuat orisinil”, “memproduksi” berbeda dengan kata Ja’ala yang berarti “membuat” walau bisa juga diartikan “mencipta”, tetapi kata khalaqa lebih cenderung pada makna “mencipta” dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, sedang kata ja’ala bermakna “membuat” dari yang sebelumnya sudah ada menjadi ada dalam bentuk yang lain. Sementara makhluq termasuk kata benda penderita (isim maf’ul) yang berarti “yang dibuat” atau “dicipta.”

Dalam tulisan II, Nurel mengungkapkan bahwa “Andai pun Tardji mengambil dari mana saja pemikiran Ibnu Arabi, tidaklah patut merombak dan membentuknya menjelma pengertian lain, yang lalu lebih menekankan imajinasinya. Pada hal dalam karya Ibnu Arabi, tidaklah ada yang merujuk ke imajinasi, tetapi emanasi.” Ibnu Arabi beranggapan bahwa Tuhan sebagai esensi mutlak, tidak mungkin dikenal atau bagaimana mungkin disebut Tuhan, kalau tidak ada yang menuhankan-Nya, Ibnu Arabi mengambil dasar Hadits Qudsi yang artinya “Aku adalah khasanah yang tersembunyi, Aku ingin agar Aku dikenal, maka Aku ciptakan dunia”.

Dalam tulisan III, Nurel mengungkapkan bahwa bagaimana kredo Tardji membebaskan kata-kata dari penjajahan pengertian, dari beban idea, membiarkan kata-kata menentukan dirinya sendiri, menulis puisi bagi Tardji adalah mengembalikan kata kepada mantera, pada hal menurut Nurel mantera sangat sarat dengan makna, karena dari maknanyalah daya suara menembus segala yang dikehendaki. Sementara pada buku himpunan kertas kerja seminar internasional dan sejumlah esai tentang Tardji, bertitel Raja Mantra Presiden Penyair terbitan Yayasan Panggung Melayu, 2007, tampak judul yang sangar, hebat, memabukkan dan tiada tanding, oleh karena itu Nurel menjadi semakin geli.

Dalam tulisan IV, Nurel mengungkap proses lahirnya sumpah pemuda (1928), yang sebelumnya (tahun 1920-an) ada gerakan Renaissance Indonesia dengan gerakan Pemuda Indonesia, juga diuraikan tentang kondisi manusia Indonesia sampai kini masih percaya pada lambang-lambang, semboyan-semboyan, jimat, mantra dan jampe-jampe. Nurel juga mengungkap bagaimana para sastrawan yang tidak takut jeruji penjara, kelaparan keluarganya, juga keberaniannya yang mengundang inspirasi manusia di sekitar dan penerusnya seperti Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra dan seterusnya. Mereka bertanggungjawab atas laku nasib dan karya-karyanya.

Tulisan Nurel V mengungkap bagaimana mantra berkembang, mulai dari yang mengadopsi nilai ajaran Islam sampai mantra-mantra yang berdaya ruhani rendah, yang paras auranya merah, mudah dipelajari karena menghamba pada jin atau bentuk-bentuk penyimpangan ajaran murni yang sengaja dirombak demi pamor berbalik, yang biasanya dipakai para dukun. Terus apa jadinya jika Sutardji dalam mantra-mantranya memutar balik bahasa sekenanya hingga makna jungkir balik tidak punya kandungan isi dan tidak bertuah. Coba simak sajaknya yang berjudul Shang Hai berikut:

SHANG HAI

ping diatas pong
pong diatas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
kutakpunya ping
kutakpunya pong
pinggir ping kumau pong
tak tak bilang ping
pinggir pong kumau ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakMu merancap nyaring

(Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak, tiga kumpulan sajak, 1973)

Dalam puisi tersebut hanya tampak terkesan seperti bermaian kata-kata atau bahasa. Dengan demikinan, menurut Nurel perlu dipertanyakan, apakah kredonya Tardji tak menjerumuskan umat ke jurang jahiliyah?

Pada akhir tulisannya, Nurel menegaskan “sejauh ini, Tardji memang kreatif mengurai bunyi-bunyian disusupkan ke irama puisinya juga menggali energi vocal mau pun konsonan demi puisinya laksana mantra, tetapi sampai 30 tahun lebih, ia belum terbukti berhasil mentransfer kekuatan mantra ke dalam puisi mantranya. Ia tidak cukup sakti sebagai Raja Mantra”.

Jerukmacan, 21 Mei 2011

Seni itu panjang
Hidup itu pendek
Agama itu dalam

*) Disampaikan pada acara Bedah buku dalam Safari Sastra yang diselenggarakan oleh Sanggar Belajar Bareng Gubug Liat Jombang, pada hari Ahad, 22 Mei 2011 di Aula SMA Muhammadiyah 1 Jombang.
**) Aktifis Komunitas Sastrawan Pesantren Jawa Timur, kini menetap di Pondok Pesantren Darul Falah Jerukmacan, Sawo Jetis, Mojokerto, HP 081931091965. E-mail: www.ppdf@yahoo.co.id

Hakikat Bahasa, Mantra, dan Tanggung Jawab


(Tanggapan atas buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri)
Mahmud Jauhari Ali
http://sastra-indonesia.com/

Apakah yang terbayang di benak Anda ketika membaca judul saya di atas? Wujud bahasakah? Dukun yang sedang membaca mantra? Seorang lelaki yang sedang menunaikan tanggung jawabnya? Atau apa?

Sutardji, Puisi, Takdir

Bandung Mawardi*
Lampung Post, 7 Sep 2008

SUTARDJI Calzoum Bachri (SCB) dengan kalem menuturkan: Pemberian sekian penghargaan dan gelar kehormatan membuatnya malu karena merasa belum bisa berbuat apa-apa. Semua itu takdir.

Tuturan itu hadir karena SCB menjadi penerima penghargaan Achmad Bakrie 2008 bidang kesusastraan.

Pengakuan SCB mengingatkan penulis pada Nietzsche dalam Ecce Homo. Nietzsche dalam bab Mengapa Aku adalah Takdir dengan arogan mengakui: “Aku tahu takdirku…Aku bukan seorang manusia, aku sebuah dinamit.”

SCB memiliki kemiripan dengan pengakuan Nietzsche karena SCB dengan berani hadir dengan pembaharuan estetika puisi Indonesia modern. Kehadiran itu memakai kredo ampuh untuk keimanan atas realisasi pencapaian estetika. SCB menobatkan diri sendiri sebagai “dinamit” yang membuat ledakan besar dalam perpuisian Indonesia modern. Ledakan itu adalah O Amuk Kapak sebagai takdir penyair dan puisi.

SCB sejak awal mulai membuat takdir dan menciptakan kesempurnaan takdir itu dalam perbenturan dan konfrontasi besar dengan pembaca dan kondisi zaman. Orang-orang pun sejak itu mulai menaruh perhatian untuk ikhtiar memahami SCB dan puisi-puisinya. Sampai hari ini SCB belum selesai terpahami. SCB berlaku seperti Nietzsche yang selalu menanyakan: “Sudahkah aku dipahami?”

Pertanyaan itu dalam kasus SCB terus menemukan sekian jawaban dari A. Teeuw, Dami N. Toda, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Umar Junus, Goenawan Mohamad, Rachmat Djoko Pradopo, Harry Aveling, Arief B. Prasetyo, Ignas Kleden, dan deretan nama yang masih panjang. Orang-orang itu ingin memahami SCB dalam sekian perspektif dan pamrih. “Sudahkah aku (SCB) dipahami?” Pertanyaan itu sampai hari ini terus menemukan jawaban.

Dami N. Toda dengan eksplisit mengakui takdir SCB itu dalam esai Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa. Eksekusi dari Dami N. Toda: Chairil adalah mata kanan dan Sutardji adalah mata kiri dalam perpuisian Indonesia modern.

Takdir itu hadir dalam polemik panjang mengenai kredo dan puisi-puisi SCB. Dami N. Toda adalah pembela militan untuk SCB dengan kepercayaan bahwa puisi-puisi SCB membuktikan pembaruan atau ledakan bom estetika. Kredo SCB menjadi alasan untuk takdir bahwa ada kebenaran estetik menantang alur besar perpuisian Indonesia modern. Kebenaran yang direalisasikan SCB: “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian… Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan diri sendiri.”

Kehadiran kredo dan puisi-puisi SCB menentukan gairah kritik sastra mulai tahun 1970-an dengan pelbagai label dan teori. Dami N. Toda menjadi sosok penting dan menentukan untuk SCB mirip dengan peran H.B. Jassin untuk Chairil Anwar.

Dami N. Toda terus menulis tentang SCB dengan publikasi esai-esai (kritik sastra) penting dan mumpuni dalam kesusastraan Indonesia modern. Peran lain tampak pada sosok Umar Junus yang tekun mengkaji SCB dengan kritis. Umar Junus (1981) pun mengakui takdir SCB dan menilai bahwa kredo dan puisi-puisi (yang) mantra SCB itu menciptakan misteri atas misteri puisi. SCB hadir dengan pamrih emansipasi kata dari tirani dan permainan bahasa dengan kontradiksi-kontradiksi memukau.

Kesibukan tukang kritik mengurusi puisi-puisi SCB, membuat Ajip Rosidi gerah. Ajip Rosidi menuduh sekian tukang kritik terlena dan latah masuk pembicaraan puisi-puisi SCB dengan konsep mantra yang dicantumkan SCB dalam kredo. Ajip Rosidi sekadar menjadi interupsi karena tidak mengeluarkan keringat deras untuk membuat kondisi kritik sastra dan puisi mencapai ekstase.

A. Teeuw dengan analitis menunjukkan kontradiksi-kontradiksi dalam buku Tergantung Pada Kata (1980). A. Teeuw secara genit memberi judul untuk bab SCB dengan ungkapan kotradiktif Terikat dalam Pembebasan Kata. Judul itu adalah vonis utuh A. Teeuw mulai dari asumsi sampai konklusi.

Arus puisi dengan ruh modernitas bergulir sejak Pujangga Baru dan meledak dalam puisi-puisi Chairil Anwar menemukan penantang ampuh yakni SCB. Kredo puisi SCB adalah kekasih dan musuh untuk alur-alur perpuisian Indonesia modern. SCB hadir dengan puisi-puisi dalam tegangan tradisionalitas, modernitas, dan posmodernitas. Puisi-puisi SCB menjadi ledakan dalam kesadaran bahasa dan olahan estetik untuk membuka kemungkinan-kemungkinan struktur dan sistem makna. Kehadiran puisi-puisi SCB itu pun mengingatkan publik atas diri Chairil Anwar melalui revolusi dan pemberian ruh hidup atas potensi bahasa.

Perkara bahasa dalam revolusi Chairil Anwar dan SCB itu membuat Rachmat Djoko Pradopo kena rayuan dengan publikasi penelitian Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern (1985). Penelitian itu menempuh jalan kecil karena cenderung akademis, formalistik, dan struktural. Penelitian itu sejak awal percaya bahwa Chairil Anwar dan SCB adalah pembaharu perpuisian Indonesia modern. Kekuatan dua penyair itu ada dalam permainan dan pengolahan bahasa.

Hal itu menjadi dalil baku Rachmat yang kaku dan kikuk: “Pembicaraan atau analisis puisi itu yang terpenting adalah analisis kebahasaan. Kepuitisan atau nilai estetis sajak itu terutama ditentukan oleh bahasa atau penggarapan bahasanya.”

Takdir SCB belum selesai dalam tulisan-tulisan tukang kritik sebagai malaikat pencatat kebaikan atau keburukan. SCB sebagai takdir masih mendapatkan perhatian dalam esai-esai mutakhir. Polemik SCB mulai tahun 1970-an mayoritas belum berubah dalam perkara-perkara baku kredo dan pencapaian estetika.

Kehadiran O Amuk Kapak jadi lahan tak pernah selesai digarap dan terus menumbuhkan sesuatu untuk dipanen. Buku-buku puisi lain dari SCB selalu jadi penantian tanpa akhir. SCB dengan genit menonton resah dan marah pembaca dan tukang kritik. Radhar Panca Dahana menilai kegenitan SCB menemukan klaim dalam kelakar bahwa O Amuk Kapak adalah puncak. Pertanyaan atas kelakar itu: Apakah SCB mau dan sanggup mencipta puncak-puncak lain?

Takdir yang diciptakan SCB memiliki usia panjang dan aura memukau. Pembacaan dan penilaian Arief B. Prasetyo (2002) atas puisi-puisi SCB menunjukkan kuasa SCB dalam rumah puisi Indonesia modern.

Arief B. Prasetyo merasa pukau SCB itu sejak bocah ingusan sampai ketika sanggup menjadi pembaca puisi yang kritis. Kepercayaan publik bahwa puncak SCB adalah O Amuk Kapak seakan menemukan penguatan pada kecurigaan Arief B. Prasetyo: “Jangan-jangan, justru lantaran telanjur menanggung beban sejarah di pundaknya, Sutardji kelak cuma akan menyulut batang mercon basah dengan buku puisi barunya. Itulah momen mengenaskan…”

Ignas Kleden dalam esai Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri (2007) membuat pembacaan lain dengan kritis. Kleden menilai kredo puisi SCB bukan teori tapi rencana kerja, program, desain, atau tekad. SCB bekerja menulis puisi untuk mencari kebenaran kredo itu. SCB membuktikan itu dengan sekian risiko dan kontradiksi.

Kleden mengakui SCB patut mendapatkan catatan-catatan penting karena sanggup melakukan dekonstruksi dalam konteks bahasa, sastra, dan kebudayaan. SCB memukau dan menggairahkan.

Sekian pembacaan dan penilaian atas puisi-puisi SCB adalah bukti antusiasme dan kerepotan publik dan tukang kritik sastra. SCB sebagai penyair ampuh pun menerima ganjaran-ganjaran besar atau “kutukan indah” dari pelbagai orang dan lembaga. Berita-berita mutakhir menyebutkan bahwa SCB mendapatkan acara-acara fenomenal: perayaan usia ke-66 tahun (14–19 Juli 2007) di TIM (Jakarta); Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (10 Desember 2007); peringatan 67 tahun SCB di Pekanbaru (Riau) dengan penerbitan buku puisi Atau Ngit Cari Agar dan peresmian bulan Juni sebagai “bulan Sutardji”; penerima penghargaan Achmad Bakrie 2008 untuk kesusastraan. SCB adalah takdir membawa berkah. Keren!

* Bandung Mawardi, Kritikus sastra dan peneliti Kabut Institut, Solo
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/09/apresiasi-sutardji-puisi-takdir.html

Hujan Bulan Juni

Adi Marsiela
Suara Pembaruan, 3 Juli 2007

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu- ragu di jalan itu.

Penggalan musikalisasi puisi Hujan di Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono yang dinyanyikan Dua Ibu (Reda dan Tatyana) terdengar sayup-sayup di amphitheater Selasar Sunaryo Art Space, Sabtu (23/6) malam lalu. Bulan pun menampakkan dirinya tanpa malu meski usianya baru mencapai setengah purnama.

Hawa dingin Bandung bagian utara yang menusuk kulit tertutup oleh hangatnya sajian kopi, teh manis, dan mie kocok. Puluhan pengunjung sudah hadir untuk mengikuti puncak acara Hujan Bulan Juni yang diselenggarakan oleh Yayasan Lontar dan Selasar Sunaryo.

Siapa sangka, meski hanya dengan mie kocok, makan malam itu menjadi sebuah pengalaman berbeda. Yayasan Lontar yang berusia 20 tahun pada 28 Oktober 2007 mendatang memutarkan Rendra-Si Burung Merak, salah satu film dari On The Record Tokoh-Tokoh Sastra Indonesia yang memang dibuat untuk melengkapi kurangnya dokumentasi para tokoh sastra di Indonesia.

Jadilah, kami makan sembari menyaksikan lembaran hidup Willibrordus Surendra Broto Rendra, pendiri Bengkel Teater, Yogyakarta. Melengkapi cerita yang disajikan, sejumlah kritikus juga tampil memberikan komentarnya dalam film itu. Sesekali Rendra sendiri yang menuturkan pandangannya tentang karya dan bangsanya.

Selepas maghrib, acara di sana bisa dibilang menjadi miliknya penyair. Usai Rendra, tampil Iman Soleh, penyair asli Bandung yang juga mengelola Pusat Kebudayaan Ledeng. Mengenakan baju lengan pendek berwarna hitam dengan balutan celana jeans, penyair berambut gondrong itu membacakan cerita pendek karya Pramoedya Ananta Toer bertajuk Sunat.

“Cerpen ini saya pilih karena menarik dan anak saya juga mau disunat bulan depan,” katanya sebelum membacakan cerita itu.

Kemampuan Iman Soleh membacakan cerita sangat mumpuni. Intonasi dan mimik Iman juga mengundang tawa, terlebih saat dia sampai pada bagian sang anak menanti giliran disunat. Rasa takut akibat mendengarkan temannya yang sudah lebih dulu dipotong, dia sampaikan dengan matanya yang melotot sembari merapatkan kedua kakinya ke arah paha. Geli sekaligus miris.

Keyakinan sang anak yang goyah ketika mengetahui dirinya belum menjadi seorang penganut Islam yang sejati juga terpapar di bagian akhir cerita. Suara lirihnya mewakili pertanyaan sang anak kepada bapaknya yang tidak juga mampu berbuat haji, menaiki kapal ke negeri Arab. Pandangannya yang kosong seolah-olah mengatakan bagaimana harapan sang anak hilang harapan untuk menjadi orang Islam sejati.

Menjadi saksi pembacaan cerita pendek itu memang cukup mengasyikan. Apalagi jika para pengunjung sempat menyaksikan pemutaran film tentang Ramadhan KH, NH Dini, Selasih, Achdiat Kartamihardja, dan Pramoedya Ananta Toer.

Setidaknya kita bisa mengetahui kalau ternyata Selasih, perempuan penyair pertama yang menulis puisi dan novel dalam bahasa Indonesia dan sangat menjunjung tinggi emansipasi perempuan ternyata tidak pernah memasak seumur hidupnya. “Ibu hanya tahu teori tapi tidak tahu praktek,” kata penulis novel Kalau Tak Untung ini menuturkan omongan anak-anaknya.

Bagaimana pula Pramoedya Ananta Toer yang rendah diri semenjak kecil bisa menjadi seseorang yang sangat berani dan tegas dalam mengambil sikap, saya dapatkan dari pemutaran film itu. Menurut Pram, panggilan akrabnya, perubahan itu dia dapatkan ketika usianya mencapai 27 tahun.

Saat itu, kata Pram, dirinya tengah berada di Belanda dan jatuh cinta pada seorang noni Belanda. Singkat cerita, dua anak manusia itu memadu kasih sampai akhirnya berhubungan sex. “Sejak saat itu saya merasa sederajat dengan siapapun. Terima kasih kepada pacar Belanda saya,” ungkap Pram di film yang disutradari oleh Sriketon M itu.

Kembali ke amphitheater. Usai pembacaan cerita pendek, berturut-turut hadir Wedang Jahe, Dedi Koral, dan deKasta. Selain Dedi, adalah kelompok musikalisasi puisi dari Universitas Pendidikan Indonesia.

Puisi karya Sutan Takdir Alisyahbana, H B Yassin, serta Makmur Saadi dibawakan dengan irama keroncong oleh Wedang Jahe. Cara baru menikmati puisi. Dedi Koral menambah keriuhan pengunjung. Pasalnya, beres dia membacakan puisi tanpa text, turun satu per satu pengunjung yang ikut menyumbangkan puisinya secara spontan.

Acara yang diawali oleh diskusi sastra “Yang Muda Yang Bersastra: Sastra di Mata Anak Muda” pada Jumat (22/6) itu ditutup oleh penampilan deKasta yang terdiri dari seorang pria dan tiga perempuan.

Usaha mereka membawakan puisi dengan gaya musik modern yang dilengkapi sebuah keyboard patut diapresiasi. Terlebih saat membawakan karya Presiden Penyair, Sutardji Calzoum Bachri berjudul Sepisaupi. Mantra dalam puisi itu terasa jelas dalam gaya musik jazz yang mereka mainkan.

Satu hal yang sebenarnya sangat dinantikan oleh para pengunjung adalah musikalisasi puisi karya Sapardi Djoko Damono di tengah-tengah acara itu. Tapi sayang, sampai akhir acara yang judulnya menyerupai sebuah puisi karya Sapardi, penantian itu tidak membuahkan hasil. Untung saja masih terdengar sayup-sayup suara Dua Ibu dari pengeras suara.

…tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/07/pentas-hujan-bulan-juni.html

Sutardji, Tradisi, Apresiasi

Ibnu Wahyudi*
Pikiran Rakyat, 28 Juli 2007

SELAMA sepekan, sampai Kamis kemarin, digelar sejumlah acara untuk menyambut 66 tahun usia penyair bernama Sutardji Calzoum Bachri yang dipusatkan di Kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Kalau menurut Dami N. Toda dalam Hamba-hamba Kebudayaan, tahun ini Sutardji baru berusia 62 tahun. Secara statistik, sangat sedikit sastrawan Indonesia yang dalam pencapaian usia tertentu dirayakan dengan semarak dan menghadirkan sejumlah pengamat sastra Indonesia dari dalam maupun luar negeri sebagai pembicaranya. Dengan kata lain, diadakannya acara bertajuk “Pekan Presiden Penyair” ini paling kurang menunjukkan kebermaknaan eksistensi sastrawan kelahiran Riau tahun 1941 (atau 1945?) ini berkaitan dengan perjalanan sastra Indonesia yang tahun ini mencapai 150 tahun jika dihitung sejak tahun 1857.

Penyair yang di masa lalu namanya sering dipelesetkan dengan Sutardji Calzoum Bir –lantaran dalam beberapa acara pembacaan puisi ia sering membaca sembari menenggak bir– tak pelak lagi adalah sastrawan, istimewanya sebagai penyair, yang bersastra dari suatu pijakan kesadaran puitika yang bernas. Setidak-tidaknya dari kredo yang pernah ia kemukakan, jelas menunjukkan bahwa ada alas yang mendasari arah atau kecenderungan berpuisinya itu. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika beberapa kali dapat kita baca pikirannya melalui sejumlah tulisannya yang menyiratkan konsep bersastranya.

Gugatannya atas karya-karya yang ia nyatakan sebagai puisi gelap, misalnya, yang menurutnya marak pada tahun 1980-an, sekurang-kurangnya telah menunjukkan sikap dan pengambilan posisinya dalam dunia kepenyairan dan kepengarangan pada umumnya.

Demikian pula dari “perdebatan” kecilnya dengan Joko Pinurbo soal salah cetak dalam puisi, misalnya, atau komentarnya atas sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, menjelaskan akan sikap kesastraannya itu. Dan kenyataan ini, secara jelas memberikan bukti kepada kita akan proses kepenyairannya, yang dalam konteks Indonesia dapat dinyatakan sebagai istimewa, sebab yang jauh lebih banyak adalah penyair yang menghasilkan sajak-sajak, tetapi tanpa didukung oleh suatu konsep berkarya yang dapat dipahami oleh pembaca.

Dengan kata lain, yang jauh dan sangat lebih banyak adalah sajak-sajak yang ditulis karena adanya dorongan untuk menulis sajak begitu saja.

Tradisi

Ketika tulisannya mengenai “pantun” dipublikasikan, sejumlah orang dan konon juga banyak pelaku sastra di Malaysia cukup terhenyak akan kedalaman pemahaman Sutardji atas pantun, Sementara, bentuk pantun ini sangat dikenal dan masih segar-bugar di sana, sedangkan di Indonesia dapat dikatakan tidak lagi menjadi bagian keseharian. Kemampuan Sutardji dalam mendedah dan mengeksplorasi pola pantun yang sedemikian itu, barang tentu bukan sesuatu yang mengherankan. Sama tidak mengherankannya ketika di akhir kredonya ia menyatakan “maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra” yang secara jelas dapat dipahami sebagai akar budaya dan roh kepenyairannya. Dan baik pantun maupun mantra adalah bentuk sastra (lisan) dari khazanah pribumi yang tentu dapat disebut sebagai sebuah tradisi yang kita miliki.

Dengan demikian, antara Sutardji dan tradisi dapat dinyatakan sebagai sebuah kesatuan, sebuah kedirian. Oleh kenyataan ini, maka ketika membaca sajak-sajaknya yang mantra itu, yang kemudian sangat terasa adalah sifat kealamiahannya; bukan keartifisialannya. Dalam kesenian, kebersatuan semacam ini akan mempertontonkan suatu “kehidupan” yang menawan. Dan itulah sajak-sajak Sutardji, yang utamanya telah dikumpulkan dalam O Amuk Kapak: sebuah diri yang hakiki.

Tapi jangan silap, mantra Sutardji tentu tidak lagi berfungsi sebagaimana mantra di masa dulu. Mantra-mantra Sutardji menyimpan misteri; ia menyiratkan sesuatu yang di masa kini kerapkali dinyatakan sebagai representasi sebuah komunikasi. Oleh karena itu, jika sajak-sajak Sutardji masih saja dipahami sebagai pelaksanaan atau penerusan belaka dari tradisi mantra, jelas itu sipi.

Dalam sajak yang berjudul “Shang—Hai” contohnya, yang berbunyi “//ping di atas pong/ pong di atas ping/ ping ping bilang pong/ pong pong bilang ping/ mau pong? Bilang ping/ mau mau bilang pong/ mau ping bilang pong/ mau mau bilang ping/” paling tidak memperlihatkan fenomena kemanusiaan yang paling dasar, yaitu bahwa komunikasi itu ternyata sangat sering tidak komunikatif. Kendati tampak ada komunikasi, ternyata sesungguhnya tidak ada komunikasi, seperti banyak dipancarkan oleh karya-karya absurd.

Maka, pengeksplorasian khazanah tradisi yang berupa mantra itu, sejatinya untuk menetak jalan buntu. Oleh karena itu, idiom kapak, bukan hanya dalam bentuk puisi, melainkan secara nyata dihadirkan dalam pembacaan puisinya sekitar 30-an tahun lalu, menyiratkan akan repotnya suatu komunikasi.

Kembali kepada soal kredo yang ditulis tanggal 30 Maret 1973, khususnya dalam pernyataannya bahwa “Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya” dan “Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan” tentu segera mengingatkan kita pada hakikat kearbitreran atau kemanasukaan dalam menyebut benda dengan kata apa saja. Ini lagi-lagi soal komunikasi. Namun, realitas tak selamanya bisa diajak kompromi, sebagaimana mantra yang sangat terbatas sebagai sarana komunikasi dengan bukan sesama. Perihal kearbitreran ini, perhatikan sajaknya yang berjudul “Sejak”, misalnya pada “//sejak kapan sungai dipanggil sungai/ sejak kapan tanah dipanggil tanah/ sejak kapan derai dipanggil derai/ sejak kapan resah dipanggil resah/”.

Sebagaimana Friedrich Nietzsche dengan teologi “death of God”-nya, kalimat kredonya “bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan” sesungguhnya semata-mata sekadar penyemangat atau siasat dalam soal yang personal sifatnya. Artinya, baik Nietzsche maupun Sutardji sepertinya mau menyatakan bahwa di sekitar diri ini sangat banyak belenggu, sehingga perlu ada upaya membebaskan atau “memberontak” dalam kadar yang seberapa pun.

Apresiasi

Salah seorang peserta lomba baca puisi dalam rangkaian kegiatan “Pekan Presiden Penyair” ini konon membacakan puisi “Mesin Kawin” nyaris tanpa busana dan beraksi di pentas seolah suatu persetubuhan. Dari sisi penghayatan, barangkali peserta ini dapat dinilai sebagai mencoba lebur ke dalam esensi sajak menurut pandangannya. Namun dari sisi yang luas, perlu disadari bahwa apresiasi terhadap kepenyairan Sutardji lebih sering bukan pada aspek penghayatan terhadap karya melainkan pada sosok atau penampilannya.

Dalam beberapa acara apresiasi sastra yang diikuti Sutardji sebagai narasumber, konon yang lebih mengemuka adalah apresiasi terhadap identifikasi kepenyairan yang bukan pada proses pemahaman terhadap karya-karya, tapi lebih kepada keflamboyanan atau juga kenyentrikan sang sastrawan. Tentu, ini bukan kesalahan Sutardji misalnya, namun kesalahan dunia pengajaran sastra di Indonesia pada umumnya.

Inilah Sutardji Calzoum Bachri, yang baik karya maupun penampilannya, telah mampu menghipnotis banyak peminat sastra di Indonesia, sebagaimana seorang pesulap telah mampu memukaunya: “aku dipukau David Copperfield”.

* Ibnu Wahyudi, Peminat sastra, tinggal di Depok
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/07/khazanah-sutardji-tradisi-apresiasi.html

Jumat, 26 Agustus 2011

Mudik Melampaui Fenomena Sosial

Ismatillah A. Nu’ad
http://www.jurnalnasional.com/

Sudah lazim dan menjadi tradisi masyarakat Islam di Indonesia, di hari-hari mendekati lebaran, masyarakat muslim melakukan mudik pulang ke kampung halaman masing-masing. Mudik ternyata bukan saja fenomena fisik, dimana banyak orang melakukan perjalanan pulang ke kampung.

Tradisi itu juga menyimbolkan fenomena “metafisik”, dalam arti sejauh-jauhnya orang melakukan pengembaraan, pada akhirnya akan kembali ke habitatnya sebagai manusia makhluk ciptaan Tuhan.

Mudik bukan sekadar fenomena sosiologis biasa, sebab jika hanya fenomena sosiologis, pertanyaannya mengapa orang harus pulang kampung di hari-hari menjelang lebaran? Belum lagi ada pelbagai risiko, di mana pada saat itu bukan hanya segelintir orang, melainkan jutaan orang yang pulang kampung.

Itu menandakan bahwa mudik bukan sekadar fenomena sosiologis. Ada spirit religiositas di mana orang berkeinginan keras untuk pulang kampung, dan ada satu titik perasaan di mana tak menghendaki penjelasan rasional ketika banyak orang melakukan mudik untuk berlebaran, melakukan maaf-maafan di kampung halaman mereka.

Bagaimana mungkin orang yang tak punya salah lalu meminta maaf? Bagaimana untuk menjelaskan orang yang tak pernah bertemu dengan kerabatnya dalam satu tahun, misalnya, lalu kemudian dianggap satu dan lainnya memiliki kesalahan sehingga harus bermaaf-maafan?

Ada wilayah yang diistilahkan Mircea Eliade (1999) sebagai teritori sakral dalam suatu tradisi keagamaan. Serasional apapun seorang muslim, ketika pada hari-hari menjelang lebaran kemudian tak pulang mudik, maka akan bersedih hatinya. Atau paling tidak, ada suatu perasaan mengganjal di mana dirinya ingin pulang kampung menemui keluarga.

Ada satu cerita, ketika seorang karyawan buruh yang pada malam takbiran terkena shift kerja malam, terpaksa ia tak pulang mudik karena bosnya juga tak meliburkannya. Tanpa terasa linangan air mata menetes dan membasahi pipinya. Padahal sebelumnya ia masih dapat menahan dan mencoba mengabaikan detik-detik terakhir meninggalkan Ramadan.

Namun apa daya tangan tak sampai, dorongan religi ternyata lebih kuat, menyiratkan bahwa dalam diri manusia terdapat fitrah dimana ketika lebaran berharap bisa pulang kampung.

Ranah Sosiologis
Dalam ranah sosiologis, fenomena seperti mudik dan bermaaf-maafan, dapat juga dijadikan sebagai satu variabel untuk mengukur tingkat religiusitas seseorang. Sebab salah satu konsep religiositas dalam metodologi penelitian, misalnya, model Glock dan Stark (1989) adalah mempertanyakan apa yang diistilahkan sebagai keterlibatan ritual (ritual involvement), yaitu tingkat sejauh mana seseorang terlibat mengerjakan ritual-ritual tradisi keagamaan mereka, dan juga keterlibatan secara konsekuen (consequential involvement), yaitu tingkatan sejauh mana perilaku seseorang konsekuen dengan tradisi ajaran agamanya.

Mudik sebagai tradisi generik masyarakat Indonesia, ternyata tak hanya dilakukan kaum muslim, entah apakah ini bersifat kasuistik atau tidak. Yang jelas, ada seorang tetangga yang beragama Katolik, seminggu sebelum lebaran ia sudah memesan tiket kereta api untuk pulang mudik di Jawa.

Setelah ditanyakan mengapa ikut-ikutan mudik? ia hanya mengatakan bahwa dalam tradisi keluarganya, setiap lebaran mesti pulang kampung, sama-sama merayakan seperti keluarga muslim umumnya. Untuk memohon maaf pada ibu dan bapaknya, berkumpul bersama keluarga, dan bertemu karib-kerabat di kampung halaman.

Jadi ada spirit religiositas di mana mudik kemudian menjadi simbol keagamaan universal, yang ternyata tak dilakukan dan dirasakan kaum muslim semata. Mungkin tak secara terang-terangan, ketika ada umat agama lain pada momen-momen seperti mudik dan lebaran, dijadikan tradisi secara rutin tiap tahun. Sebagaimana mungkin ada kaum muslim yang tak secara terang-terangan merasakan kegembiraan ketika Natal dan Tahun Baru masehi tiba.

Mudik tak selalu melakukan perjalanan pulang kampung. Sebab ia bisa berarti bentuk simbolik di mana manusia ingin kembali. Dalam kasus tertentu, ada keluarga-keluarga yang tak punya sanak-keluarga diluar wilayahnya. Atau mungkin juga antarkeluarganya sudah menetap di satu wilayah tertentu, seperti di Jakarta semua, misalnya.

Ketika datang fenomena lebaran, mereka saling berkumpul. Di situ secara fisik, mereka tak melakukan mudik dalam arti pulang kampung. Namun di situ mudik berarti saling menemui sanak-keluarga satu dengan lainnya.

Kekayaan Budaya
Kejadian-kejadian seperti bahwa ada umat nonmuslim yang juga turut merayakan mudik dan lebaran, bukanlah apologi semata. Atau ingin menunjukan superioritas tradisi Islam diatas tradisi keagamaan lainnya.

Hal itu ingin menggambarkan bahwa tradisi mudik, lebaran dan maaf-maafan, sudah merupakan tradisi universal umat beragama di Indonesia. Itu merupakan suatu kelangkaan dan kekayaan budaya tersendiri, karena pada saat yang sama, belum tentu, atau tak mungkin di negara-negara lainnya fenomena seperti itu bisa terjadi.

Mungkin jika direlevansikan, fenomena mudik yang dilakukan tak hanya oleh kaum muslim, sedikit memberi gambaran bagaimana teori-teori perubahan sosial teraktualisasi secara nyata. Peter L. Berger (2001) misalnya, memberi sinyalemen bahwa yang dimaksud perubahan sosial adalah bagaimana interaksi sosiologis bersirkulasi secara tak lazim.

Jika selama ini, misalnya, yang dianggap memberi investasi itu orang-orang kaya. Maka dalam teori perubahan sosial justru yang memberi investasi juga adalah orang-orang miskin: orang kaya tak akan ada tanpa orang miskin. Di situ, bagaimana pola sirkulasi sosiologis diputarbalikan secara dialektik. Seperti dalam fenomena mudik, bagaimana kemudian mudik tak hanya dilakukan kaum muslim untuk merayakan lebaran dan maaf-maafan, namun juga dilakukan kaum Nonmuslim.

Bagaimana dari tradisi mudik, dimana ada penghormatan antarsesama umat beragama kemudian diaktualisasikan lagi ke bentuk-bentuk tradisi lainnya, sehingga kerukunan antarumat beragama terasa lebih berarti. Di situ teori perubahan sosial memasuki ranah-ranah tradisi keagamaan yang sensitif sekalipun, seperti soal pluralisme-agama, misalnya, pluralisme justru berarti saling menghormati, mengakui, dan menghargai perbedaan agama.

Dalam gejala dimana situasi kerukunan antarumat beragama merenggang, maka pluralisme sebagai suatu nilai fundamental pegangan bagi pemeluk agama, bukan malah diharamkan. Peran negara justru diuntungkan dengan pluralisme, karena sistem tatanan kenegaraan dan kebangsaan akan berjalan dinamis manakala kerukunan antarumat beragama terjadi secara konkret dan faktual.

*) Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Universitas Paramadina, Jakarta.

35 Cerita buat Seorang Wanita

Agus Noor
http://www.jawapos.com/

Anjing

Ia berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya.

Teka-teki Laki-laki yang Tak Kembali

Terkantuk-kantuk perempuan itu menunggu suaminya pulang. Terdengar kunci pintu dibuka pelan. Sejak itu suaminya tak pernah muncul.

Bayi

Tengah malam, bayi yang lapar itu terus menangis menjerit-jerit. Pelan-pelan ia mulai memakan jari-jarinya, lengan dan kakinya, melahap usus dan jantungnya, hingga tak bersisa.

Jangan Membunuh Ular di Hari Minggu

Kau bermimpi, seekor ular menyelusup masuk telinga ibumu. Kau menjerit, dan cepat-cepat menghantamnya. Saat terbangun, kau mendapati ibumu mati terkapar bersimbah darah. Kepalanya pecah.

Misteri Mutilasi

Ia memotong-motong tubuhnya sendiri, dan membuangnya ke kali. Polisi masih sibuk mencari pembunuhnya, sampai kini.

Api Sinta

Sinta berdiri di tepi api penyucian yang berkobar. ”Masuklah…,” ujar Rama. ”Bila kau belum terjamah Rahwana, api itu akan menyelamatkanmu.”

Sinta menatap pangeran tampan itu dengan mata berkaca-kaca, sebelum akhirnya terjun dalam kobaran api. Semua yang hadir begitu lega ketika menyaksikan api itu perlahan padam: tubuh Sinta tak terbakar.

Hanya kedua payudaranya yang gosong.

Pengantin

Tak pernah ia bertemu perempuan secantik itu. Mengingatkannya pada Putri Tidur jelita. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama dan meminangnya. Tak ada yang tahu ketika ia membawa mayat itu ke kamarnya.

Kisah Seorang Psikopat

Sebelum polisi tiba ia bergegas mengemas koper yang berisi potongan tubuhnya sendiri.

TKI yang Pulang Kampung

Ia dikabarkan mati. Saat ia kembali, keluarganya sedih. Tengah malam ia pun menggantung diri.

Ambulans yang Lewat Tengah Malam

Ambulans yang membawa jenazahmu berkali-kali oleng karena sopirnya ngantuk. ”Aku tak mau mati kecelakaan lagi,” katamu. ”Sini, biar saya setir.” Pak Sopir pun gantian istirahat di peti mati.

Kulihat ambulans itu melintas pelan menuju rumahmu.

Ulat dalam Kepala

Bocah itu begitu iba pada adiknya yang bertahun-tahun terbaring sakit dengan kepala yang makin membengkak. ”Seperti ada ribuan ulat di otakku,” keluh adiknya selalu. Suatu hari bocah itu melihat ibunya membelah apel, dan ada ulat di dalamnya. Tengah malam, diam-diam, ia mengambil pisau. Kini ia tahu bagaimana menolong adiknya.

Mayat di Pinggir Kali

Mayat itu ditemukan telanjang di pinggir kali. Ia kemudian dilaporkan ke polisi dan dihukum lima tahun penjara karena dituduh melanggar Undang-undang Pornografi.

Sumur Tua di Belakang Rumah

Ada sumur tua di belakang rumahku. Setiap purnama air sumur itu memerah.

”Dulu,” cerita Nenek, ”puluhan orang dibantai, dan dibuang ke dalamnya.” Sejak itu, siapa pun dilarang mendekat.

Tapi diam-diam aku suka ke sana. Menyaksikan bangkai mayatku mengapung di dasar sumur itu.

Matinya Seorang Pelawak

Tak ada yang tersenyum menyaksikannya di panggung. Ketika ia mati, semua orang tertawa.

Sarapan Pagi

Potongan daging busuk penuh belatung berceceran di lantai. Bau busuk meruap kamar gelap itu. Sumanto menikmati sarapan paginya dengan tenang.

Salju

Matahari begitu terik. Sebutir salju melayang jatuh di telapak tangan. Ia berteriak gembira. Sejak itu orang-orang menganggapnya gila.

Saat Paling Indah dalam Hidup Sepasang Suami Istri

Keduanya duduk di beranda, menikmati teh hangat, memandang senja yang bagai usia perkawinan mereka. ”Ceritakan kisah paling lucu dalam hidupmu,” kata si istri.

”Ialah ketika aku membunuhmu,” jawab si suami.

Mereka pun tertawa.

Mudik Lebaran

Aneh sekali. Stasiun lengang dan sepi. Cuma ia sendiri. Sesekali terdengar lengking peluit. Tapi kereta itu tak juga muncul. Padahal ia sudah menunggu sejak Lebaran bertahun lalu.

Berita dari Koran Pagi

Ayahmu menggampar ibumu sampai mati karena ia telah menggorok kamu yang dengan sadis membacok ayahmu hingga tewas hanya karena tak membelikanmu mainan.

Tamasya Keluaga Seorang Kerani

Liburan sekolah ini ia ingin mengajak anak-anaknya tamasya. ”Meski miskin, sesekali perlu juga kita rekreasi,” katanya. Anak-anak bersorak gembira. Menyisihkan sedikit uang gaji, digoncengnya anak-anak ke Kebun Binatang. Ia tersenyum menyaksikan mereka berlarian, main prosotan.

Mendadak ponselnya berbunyi. Dari istrinya, ”Katanya mau ngajak liburan. Anak-anak nunggu di rumah nih!”

Buru-buru ia ngebut pulang. Tapi di tikungan sepeda motornya terguling dan truk yang melaju kencang langsung menyambarnya. Sedetik sebelum nyawanya melayang, ia tiba-tiba teringat kalau istrinya sudah meninggal setahun lalu.

Hiroko

Ia tak terbangun ketika bom atom itu meledak di sampingnya.

Reinkarnasi

Setelah mati di masa depan, aku terlahir kembali di masa silam sebagai diriku yang sekarang.

Pohon Hayat

Ketika kanak, kau mendengar kisah pohon rimbun di alun-alun kotamu. Setiap selembar daunnya luruh, seseorang akan mati. Pernah sebagian besar daunnya rontok ketika terjadi pembantaian.

Saat ini kau gemetar memandangi satu-satunya daun yang tersisa di pohon itu.

Ibu yang Menunggu

Anaknya hilang saat kerusuhan. ”Mungkin diculik. Mungkin terpanggang api yang membakar pertokoan,” kata orang-orang. Sejak itu ia selalu duduk termangu di beranda, hingga larut.

Bertahun-tahun kemudian para peronda masih sering melihatnya duduk di situ, meski ia telah lama mati dan rumah itu sepi.

Halte

Terkantuk-kantuk kau duduk di halte menunggu angkot yang akan membawamu pulang. Begitulah, setiap hari, kau selalu pulang kerja selarut ini.

Angkot datang. Kau segera masuk. Ketika angkot itu kembali melaju, kau menegok ke jalanan sepi di belakangmu. Kau melihat dirimu yang tengah terkantuk-kantuk menunggu di halte itu.

Ramalan

Suatu kali seorang peramal mendatangi. ”Kau akan mati ketabrak kereta api,” katanya. Padahal ia tak pernah dilahirkan.

Kasus Salah Tangkap

Kau tak pernah bisa mengerti, kenapa polisi menangkapmu. Mereka terus menginterogasi. Menggertak dan memukulmu berkali-kali. Memaksamu agar mengaku. Kau dituduh membunuh kekasihmu. Padahal kekasihmu masih hidup. Kaulah yang mati.

Lelucon Seorang Badut

Ia suka menghibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.

Tabrak Lari

Saat terburu berangkat kantor kau menabrak pejalan kaki. Tubuhnya terpelanting dan tergilas. Kau terus tancap gas.

Malam harinya, istrimu begitu sedih saat mendapat kabar kalau kau mati tertabrak lari ketika pulang kerja sore tadi.

Kau menangis menceritakan kisah itu padaku yang tadi pagi mati karena tabrak lari.

Seusai Pemakaman

Seusai dikuburkan, ia pun kembali ke rumah. ”Ayah pulang! Ayah pulang!” Anak-anaknya berlarian riang. Di pintu, mata istrinya berlinang.

Di Kafe

Sembari menunggu ia bercakap-cakap dengan tamunya yang tak pernah datang. Sampai kafe tutup. Dan ia pulang. Tapi pelayan kafe masih melihatnya terus duduk di kursi itu.

Alibi

Kau merasa senang karena akhirnya kau dibebaskan dari tuduhan. Polisi tak bisa mendakwamu, karena ketika kau terbunuh dan mayatmu ditemukan malam itu, kau memang tak ada di tempat kejadian.

Perempuan yang Mati Membakar Diri

Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.

Pada Sebuah Kuburan

Orang-orang bilang kuburan itu berhantu. Bila pulang malam-malam, kau pasti merinding setiap melewatinya. Seperti ada suara yang terus melolong. Kau sedih setiap kali mendengar lolong itu. Lolong itu selalu mengingatkanmu pada kejadian bertahun lalu, ketika kau dulu mati dipotong-potong dan dibuang ke kuburan itu.

Sebutir Debu

Tepat, ketika sebutir debu itu jatuh menyentuh tanah, semesta ini pun meledak.


Jakarta-Jogjakarta, 2008-2009 (Untuk Jenny Ang)
*) Agus Noor, cerpenis dan penulis naskah teater, tinggal di Jogja

Sabtu, 20 Agustus 2011

Wajah Kultural Kita **

M. Shoim Anwar
http://sastra-indonesia.com/

Jemuah legi nyang Pasar Genteng
Tuku apel nyang Wonokromo.
Merah-Putih Kepala Banteng
Benderane dokter Soetomo.

Pantun (parikan) di atas dikidungkan oleh Cak Pono, arek Jombang, saat pentas Ludruk Sari Bancet di Bondowoso. Gara-gara kidungan itu pementasan dibubarkan oleh Belanda karena dianggap menghembuskan nafas nasionalisme. Saat pentas di Desa Mojorejo, Jombang, Cak Durasim sebagai pimpinan Ludruk Organisatie (LO) ditangkap dan disiksa Jepang karena melantuntan kidungan “Pagupon omahe dara, Melok Nippon tambah sara.” Cak Pono dan Cak Durasim adalah simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Mereka menggunakan media kultural sebagai media perlawanan. Ketika Indonesia telah merdeka, tema-tema perlawanan terhadap kolonialisme juga masih mendominasi lakon-lakon ludruk.

Kolonialisme memang melahirkan berbagai akibat buruk. Cak Pono dan Cak Durasim sadar hingga melakukan perlawanan. Di sisi lain, kolonialisme juga menimbulkan perpecahan kepribadian. Sebagai contoh, Hanafi dilahirkan sebagai seorang bumi putra (Indonesia), tapi dia bergaya hidup seperti orang Belanda (Barat) dan menganggap rendah apa-apa yang berbau Indonesia. Dia pernah bersentuhan dengan sekolah Belanda hingga membuatnya makin tercerabut dari akar budaya tanah kelahiran sampai akhir hayat. Hanafi adalah seorang tokoh dalam roman klasik Indonesia Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Hanafi hadir sebagai simbol dalam wacana kolonial yang mewakili berbagai persoalan antara pihak penjajah dan terjajah. Dengan demikian Hanafi tidaklah sendiri.

Hanafi adalah simbol kekisruhan identitas. Kolonialisme telah menghunjamkan cakarnya ke bumi jajahan, tidak hanya di Indonesia, namun di berbagai belahan bumi. Identitas menjadi proyek pencitraan kolonial, di mana bangsa penjajah selalu dicitrakan jauh lebih baik daripada yang terjajah. Tokoh-tokoh lokal dalam kisah Nyai Dasima dicitrakan tidak baik, sementara tokoh Belanda dibuat bertengger secara terhormat. Kisah tersebut ditulis oleh G. Fransis, sastrawan peranakan Indo-Belanda tahun 1896. Dalam film-film koboi Amerika, suku Indian yang asli Amerika kerap kali digambarkan sebagai kelompok yang brutal dan suka menjarah. Bahkan, wacana sejarah kolonial menyatakan bahwa Colombus adalah “penemu” Benua Amerika. Seakan-akan Benua Amerika saat itu adalah wilayah kosong yang hanya dihuni para binatang liar. Kolonialisme dan perbudakan di Amerika akhirnya memunculkan wacana antikolonial dengan terbitnya buku Uncle Tom’s Cabin karya Stowe.

Lihat juga film-film Amerika yang berlatar Vietnam, Rambo misalnya, bangsa Vietnam selalu digambarkan sangat jahat dan buruk hingga perlu ditumpas. Amerika menyerang Vietnam dalam rangka kolonialisme. Amerika akhirnya mengalami kekalahan besar. Tetapi, hampir dalam semua filmnya, Amerika dicitrakan menang. Model seperti ini dapat pula dilihat pada film-film Amerika (Barat) yang bertema perang, spionase, dan pembebasan yang berlatar di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Penduduk asli dan para pemimpinnya senantiasa dicitrakan buruk.

Kolonialisme fisik mungkin sudah dapat dilepaskan. Tetapi, kolonialisme telah membekaskan luka yang panjang. Para kritikus seperti Edwar Said, Frantz Fanon, Homi Bhabha, Gayatri Spivak, atau Leela Gandhi, telah mengungkap bahwa dalam wacana pasca/poskolonial pun problem kolonialisme telah menjadi sesuatu yang laten. Kolonialisme telah menjadikan krisis identitas yang tidak selalu disadari oleh bangsa-bangsa yang pernah dijajah, khususnya di Afrika dan Asia. Masyarakat terjajah berkecenderungan mengalami problem psikologis seperti hibridasi, mimikri, dan ciri-ciri ambilavalens sebagai akibat hegemoni kekuasaan yang dilakukan selama masa pendudukan.

Brosur-brosur yang menawarkan perumahan juga dilanda penyakit poskolonial. Dalam gambar-gambar rumah tersebut biasanya terdapat gambar atau foto orang di depannya sebagai penghuni. Anehnya, banyak kompleks perumahan yang diperuntukkan bagi kelas menengah ke bawah, gambar atau foto yang ditampilkan justru berwajah orang Barat, seakan orang Indonesia tidak layak ditampilkan. Dalam realitanya pun tak ada orang Barat yang menghuni di kompleks perumahan seperti itu.

Tiap hari kita berhadapan dengan media massa. Begitu banyak iklan tentang kecantikan yang menawarkan “kulit menjadi lebih putih” dengan segala akibat positifnya. Hampir semua adegan iklan menggambarkan bahwa “si kulit putih” menjadi pusat perhatian dan unggul sehingga “si kulit yang lain” menjadi rendah diri, bahkan mengutuk kodratnya. Kita digiring ke persoalan ras sehingga kulit yang berwarna “sawo matang”, “coklat”, atau “hitam” dipandang lebih buruk dan dijauhi sehingga perlu “diputihkan”. Hegemoni seperti ini menjadikan para perempuan terperangkap dalam mitos kulit putih dan ingin mimikri atau menirunya secara instan hingga berefek buruk bagi kesehatan. Bila di Indonesia para perempuan disuguhi obat “pemutih” kulit, apakah di Barat juga ditawarkan obat “penghitam”, “pencoklat” atau pewarna yang lain? Rasanya kita belum pernah mendengarnya.

Krisis identitas, khususnya yang berkaitan dengan ras, menjadi semakin melebar. Identitas kulit putih ditambahkan lagi dengan warna rambut. Jangan heran bila masyarakat yang mengalami krisis identitas banyak yang menyemir rambutnya seperti warna rambut orang bule. Hidung mereka juga dipermak agar menjadi mancung seperti ras orang bule. Tempat tinggal mereka, arsitektur rumah atau kota, banyak menampilkan model atau patung-patung dari negeri orang bule. Sinetron atau acara-acara televisi pun, meski berkaitan dengan bersoalan lokal, tampak ada selera untuk mengedepankan bintang orang bule, setidak-tidaknya berdarah indo. Mirip dengan tokoh Hanafi dalam roman Salah Asuhan di atas, para selebritis juga lebih suka kawin dengan pria bule. Sampai-sampai ada sindiran, alangkah enaknya menjadi bule, meski gelandangan, asal mau sedikit bergaya di Indonesia, tentu akan digaet oleh artis. Hibridasi ini kerap berantakan di tengah jalan karena kegagalan menjinakkan identitas kultural, seakan-akan membenarkan paham kolonialis, “Timur adalah Timur, Barat adalah Barat, keduanya tak dapat disatukan”.

Kolonialisme telah menyatukan dirinya dengan kapitalisme. Media global yang dimiliki oleh para pemodal besar begitu gencar melancarkan invasi ekonomis. Masalah gaya hidup yang berkaitan dengan 3F (Fashion, Fun, dan Food) serta 3S (sex, sport, science/technology) menjadi tema yang dipompakan dari detik ke detik. Kiblat yang dituju sangat jelas, yaitu mengajak hidup konsumtif sebagai bagian dari rantai industri. Perlawanan terhadapnya memang tidak mudah. Yang paling umum dimunculkan adalah hibridasi “glokal”, “berpikir global tetapi berkepribadian lokal” sebagaimana disimbolkan oleh tokoh Marineti dalam novel Burung-Burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya.

Kolonialisme menimbulkan residu berkepanjangan dan memiliki dampak yang kompleks. Saat masa pergantian rezim, seperti ditulis Leela Gandhi, masyarakat poskolonial mengalami ambivalensi kultural, antara lain, ditandai dengan retorika kemerdekaan dan euforia swapenciptaan yang kreatif, penuh dengan kebingungan dan ketakutan akan kegagalan menciptakan kondisi dan organ-organ baru, dipaksa menegosiasikan berbagai kontradiksi yang muncul dari keterlambatan historis, terpedaya dalam harapan bahwa arsitektur dunia baru akan dapat muncul secara cepat, adanya aparat kebebasan yang tak tampak dan tekanan ketidakbebasan yang tersembunyi, jejak-jejak dan kenangan residual terhadap subordinasi, kerusakan fondasi ekonomi dan politik yang tersamar.

Munculnya kerusuhan di sekitar pelaksanaan pilkada di berbagai daerah, antara lain, juga disebabkan oleh ambivalensi kultural. Tafsir poskolonial otonomi daerah tidak lain adalah terlepasnya simpul-simpul kekuasaan pusat dan diambil alih daerah. Dari tafsir demokrasi, otonomi daerah pada awalnya dikonsepkan untuk memberdayakan daerah agar lebih kreatif dan mandiri dalam pengelolaan pemerintahan, lama-lama mengalami polarisasi ke ajang pertarungan kekuasaan dan kapitalisasi. Kolonialisme yang identik dengan kekuasaan mengejawantah dalam bentuk politik uang. Mereka yang memiliki uang dan bernafsu menjadi penguasa akan membeli hak-hak rakyat, bahkan menggerakkan mereka untuk melakukan perlawanan ketika syahwat kekuasaan tak dapat dipuaskan.

Kolonialisme mencengkeram kekuasaan untuk mengeruk _ultura. Syahwat politik dikeloni agar tidak jatuh ke tangan pihak lain. Mereka yang berkuasa akan terus berusaha untuk merebut lagi pada periode berikutnya. Bila tak mungkin, istri atau anak merekalah yang dipompa untuk maju. Kekuasaan adalah investasi modal yang nantinya harus kembali dengan jumlah yang melimpah-limpah. Korupsi akhirnya merajalela. Identitas _ultural makin terpuruk. Hidup dipenuhi janji-janji dan slogan-slogan yang ambivalens. Itulah sebagian wajah _ultural kita.

*Untuk Irfa di Ngudirejo yang selalu berjuang melawan kolonialisme.
**Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati