Ahmad Zaini
http://sastra-indonesia.com/
Menjelang pagi, mataku masih sulit dipejamkan. Di setiap arah mataku memandang yang tampak hanyalah wajah Luna yang baru saja menghadap Sang Mahakuasa. Kelopak mataku terasa pedih seakan ada yang mengganjal. Lagi-lagi bayangan wajahnya yang mengganjal agar mata ini tidak terpejam. Di setiap sisi ruang kamarku terbayang ribuan lukisan wajahnya yang tersenyum manis. Tawa manja yang merayu saat aku bertemu dengannya setahun yang lalu. Setelah kutatap bayangan itu ribuan wajah Luna pun lenyap ditelan cahaya lampu temaram di ujung malam.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 28 September 2011
Sabtu, 24 September 2011
Seribu Kunang-kunang di Manhattan
Umar Kayam
http://sastra-indonesia.com/
Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”
“Kuning keemasan!”
“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.
“Marno, Sayang.”
“Ya, Jane.”
“Bagaimana Alaska sekarang?”
“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”
“Maksudku hawanya pada saat ini.”
“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”
“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju.Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”
“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini ….
Uuuuuup ….”
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.
Dari dapur, “bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”
“Ya, ada apa dengan dia?”
“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”
“Tapi Minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”
“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”
“Oh.”
“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”
Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.
“Marno, Manisku.”
“Ya, Jane.”
“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”
“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”
“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”
“Kenapa?”
“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”
“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.
“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”
“Kau anak yang manis, Marno.”
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
“Marno.”
“Ya, Jane.”
“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh.”
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.
“Eh, kau tahu, Marno?”
“Apa?”
“Empire State Building sudah dijual.”
“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”
“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”
“Tidak. Bisakah kau?”
“Bisa, bisa.”
“Bagaimana?”
“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
“Oh, kalau saja …..”
“Kalau saja apa, Kekasihku?”
“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”
“Lantas?”
“Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”
“Kau anak desa yang sentimental!”
“Biar!”
Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.
“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”
“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
“Jet keparat!”
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.
“Aku merasa segar sedikit.”
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……
“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”
“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”
“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”
“Marno.”
“Ya.”
“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”
“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”
“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?
“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”
“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”
“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”
“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”
“Aku membosankan jadinya.”
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
“Marno, kemarilah, duduk.”
“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah, duduk.”
“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”
“Kunang-kunang?”
“Ya.”
“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”
“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”
“Begitu kecil?”
“Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”
“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”
“Ya, pohon-hari-natal.”
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.
“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”
“Ya.”
“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”
“Mainan kekasih?”
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”
“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”
Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.
“Marno, Sayang.”
“Ya.”
“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”
“Belum, Jane.”
“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane.”
“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”
Sekarang Jane ikut tersenyum.
“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”
“Apakah itu, Jane?”
“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
“Aku harap kausuka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.
“Kausuka dengan pilihanku ini?”
“Ini piyama yang cantik, Jane.”
“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.
“Jane.”
“Ya, Sayang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banyak kerja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”
”Kaumerasa tidak enak badan?”
“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”
“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”
“Terima kasih, Jane.”
“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”
“Oh”.
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.
“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”
“Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”
‘Tentu, Jane.”
“Kapan, aku bisa mengharapkan itu?
“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”
“Kautahu nomorku kan? Eldorado”
“Aku tahu, Jane.”
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/04/seribu-kunang-kunang-di-manhattan.html
http://sastra-indonesia.com/
Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”
“Kuning keemasan!”
“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.
“Marno, Sayang.”
“Ya, Jane.”
“Bagaimana Alaska sekarang?”
“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”
“Maksudku hawanya pada saat ini.”
“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”
“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju.Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”
“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini ….
Uuuuuup ….”
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.
Dari dapur, “bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”
“Ya, ada apa dengan dia?”
“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”
“Tapi Minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”
“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”
“Oh.”
“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”
Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.
“Marno, Manisku.”
“Ya, Jane.”
“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”
“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”
“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”
“Kenapa?”
“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”
“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.
“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”
“Kau anak yang manis, Marno.”
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
“Marno.”
“Ya, Jane.”
“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh.”
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.
“Eh, kau tahu, Marno?”
“Apa?”
“Empire State Building sudah dijual.”
“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”
“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”
“Tidak. Bisakah kau?”
“Bisa, bisa.”
“Bagaimana?”
“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
“Oh, kalau saja …..”
“Kalau saja apa, Kekasihku?”
“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”
“Lantas?”
“Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”
“Kau anak desa yang sentimental!”
“Biar!”
Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.
“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”
“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
“Jet keparat!”
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.
“Aku merasa segar sedikit.”
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……
“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”
“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”
“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”
“Marno.”
“Ya.”
“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”
“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”
“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?
“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”
“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”
“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”
“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”
“Aku membosankan jadinya.”
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
“Marno, kemarilah, duduk.”
“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah, duduk.”
“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”
“Kunang-kunang?”
“Ya.”
“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”
“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”
“Begitu kecil?”
“Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”
“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”
“Ya, pohon-hari-natal.”
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.
“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”
“Ya.”
“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”
“Mainan kekasih?”
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”
“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”
Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.
“Marno, Sayang.”
“Ya.”
“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”
“Belum, Jane.”
“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane.”
“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”
Sekarang Jane ikut tersenyum.
“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”
“Apakah itu, Jane?”
“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
“Aku harap kausuka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.
“Kausuka dengan pilihanku ini?”
“Ini piyama yang cantik, Jane.”
“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.
“Jane.”
“Ya, Sayang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banyak kerja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”
”Kaumerasa tidak enak badan?”
“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”
“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”
“Terima kasih, Jane.”
“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”
“Oh”.
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.
“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”
“Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”
‘Tentu, Jane.”
“Kapan, aku bisa mengharapkan itu?
“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”
“Kautahu nomorku kan? Eldorado”
“Aku tahu, Jane.”
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/04/seribu-kunang-kunang-di-manhattan.html
Djibril dan Aku
Pringadi AS
http://reinvandiritto.blogspot.com/
Aku benar-benar tidak berbohong. Toh, tak ada gunanya aku berbohong. Sungguh, tadi aku bertemu Djibril sedang menyunyikan dirinya di tepi bukit sebelah Timur. Ia, dengan jubah putihnya, memandang langit dengan gamang – mengucap mantra-mantra yang tak bisa kupahami artinya. Kira-kira lima menit ia terus begitu. Setelah itu, ia tampak memilin sesuatu yang tak begitu jelas kulihat. Sampai ia mengulum pilinan itu dan asap-asap berbentuk lingkaran mengepul dari mulutnya itu. Ya, aku baru sadar bahwa Djibril juga seorang perokok!
Kau tak percaya padaku?
“Keluarlah, jangan terus bersembunyi,” katanya pelan. Aku jelas kaget. Aku takut. Aku, ah entah. Dengan langkah kaki ragu-ragu kudekatkan diriku padanya. Toh, aku pasti tidak akan bisa melarikan diri. Kautahu… dia malaikat! Bisa terbang, bisa muncul tiba-tiba dihadapanku jika ia mau. Setan-setan saja digambarkan begitu, apalagi malaikat. Pasti lebih itu…
“Jangan takut padaku. Aku bukan Izrail, tidak akan mencabut nyawamu,” katanya sambil tersenyum – tenangkan hatiku.
Aku masih hanya bisa diam.
“Kau merokok?” tanyanya lembut.
Aku menggelengkan kepalaku.
Kepulan asapnya membuatku terbatuk; ia tertawa.
“Darimana kautahu aku ini Djibril?” tanyanya lagi.
Aku diam, masih sedikit takut. Djibril masih asik menghisap rokoknya kemudian menatapku dengan tatapannya yang teduh.
“Hanya Djibril yang sering turun ke bumi, begitu kisah-kisah yang aku tahu,” jawabku memberanikan diri.
Djibril tertawa, “Iya, bisa dibilang… aku pengangguran sekarang. Tak ada lagi tempat yang bisa kusampaikan wahyu. Telah habis kisah kenabian.” Dia mendesah. “Atau kau mau menjadi nabi selanjutnya?” tanyanya dengan nada sedikit bercanda.
Aku menggelengkan kepalaku.
“Tapi seringkali aku difitnah… “ desahnya lagi.
“Maksudmu?”
“Kautahu… beberapa orang di negaramu ini ada yang mengaku mendapatkan wahyu dariku. Atau bahkan mengaku aku. Kalau aku Izrail, sudah kucabut
nyawa mereka dengan cara yang paling menyakitkan.”
Aku menganggukkan kepalaku tanda setuju.
“Kau benar-benar tidak merokok?” tanyanya untuk kesekian kali.
Aku kembali menggelengkan kepalaku. “Rokok tak baik untuk kesehatan,” jawabku pelan.
“Ya, kalau mau aku akan buatkan. Ini bukan tembakau biasa. Ini tembakau surga. Rasanya lebih nikmat dari kretek murahan yang dijual di pasaran. Toh aku tetap sehat meski aku merokok.”
“Mungkin anatomi fisiologi tubuhmu beda.”
Djibril tertawa.
Aku juga (akhirnya) tertawa.
….
Dan kautahu, itu bukan pertemuanku terakhirku dengannya. Sabtu kliwon, purnama bulan berikutnya, lagi-lagi aku tak sengaja bertemu dengannya. Djibril menyamar menjadi manusia. Tapi tentu wajahnya aku kenal. Ia sedang asik bergoyang di diskotik ternama. Kau pasti bertanya kenapa aku bisa berada di tempat itu. Kautahu, aku diajak ke Jakarta oleh anak tetangga untuk mencari kerja. Bagaimana aku tak tergiur, satu tahun ia bekerja, pulangnya sudah membawa mobil baru. Tentu tak kutolak tawarannya. Mungkin nasibku bisa sebaik atau lebih baik dari dia.
Hari pertama ia membicarakan surga ibukota. Dan malamnya aku ikuti ajakannya ke sini, ke tempat keduakalinya aku bertemu dengan Djibril. Aku baru tahu bahwa yang disebut surga itu adalah tempat remang-remang dengan penghuni mayoritas wanita yang disebutnya bidadari, dengan pakaian seadanya: tonjolan-tonjolan dada yang mengundang hasrat dan lautan paha yang diumbar memancing syahwat. Aku tidak, atau belum, terbiasa dengan surga yang seperti ini. Sebab kata orangtuaku dulu, surga itu adalah tempat suci dengan sungai-sungai madu mengalir di dalamnya. Tapi, yang ada di sini – meski nyaris berwarna sama seperti madu – adalah minuman dengan aroma yang menyengat.
“Kau tidak minum?” Djibril bertanya padaku sambil meneguk minuman itu.
“Apa ini?”
“Alkohol. Kau tak tahu?”
Aku menggeleng.
“Kitab suci menyebutnya ‘Khamr’ atau ‘sesuatu yang memabukkan’.”
“Bukannya itu diharamkan?” tanyaku padanya.
“Tadinya tidak…” ia berhenti sejenak – bersendawa. “Ini minuman favorit malaikat.” Dan ia tertawa. Entah apa yang ditertawakannya.
“Kau sudah mabuk.”
“Aku? Mabuk? Tidak mungkin.”
“Kenapa kau di sini? Jangan bilang bahwa kau sudah jenuh jadi malaikat.”
“Ini minuman favorit malaikat! Bukannya tadi aku sudah mengatakannya kepadamu?”
Aku menatapnya dalam. Melihat kedua bola matanya yang mungkin sudah merah.
Djibril mulai bercerita, “Dulu… surga tidak penuh sungai madu. Alkohol lah yang mengalir di dalamnya. Kautahu, kami – kaum malaikat – selalu berpesta
tiap minggunya. Itu dulu sekali, sebelum kalian ada. Kau tentu tidak tahu betapa nikmatnya bercinta dengan bidadari surga yang selalu kembali perawan setelah kami melakukannya.”
“Kau bohong! Dusta!” nadaku mulai meninggi.
Djibril hanya tertawa. “Kautahu, Ablasa, sahabat terdekatku… dia terusir dari kami. Kautahu kenapa? Dia membenci moyangmu, makhluk sok suci yang hobinya menjilat Tuan kami. Ablasa membuat sayembara, siapa yang bisa membongkar topeng kesok-sucian moyangmu itu akan diangkat menjadi pemimpin di antara kami. Sebenarnya aku sudah memperingatkannya, memperingatkan semua kaumku bahwa tindakan seperti itu sudah keterlaluan. Tuan kami bisa marah. Bisa murka. Tapi, Ablasa tetap nekat menggoda. Dan pasti kautahu apa yang selanjutnya terjadi… Ablasa terusir dari surga. Maka, Tuan kami sedikit ‘memperindah’ ceritanya kepada kalian, biar Ia tak kehilangan ‘muka’.”
“Kau benar-benar sudah mabuk. Aku tak mau lagi berbicara kepadamu!”
Aku beranjak pergi. Djibril mencengkram sebelah tanganku, “Kau harus janji, takkan menceritakan kisah ini kepada siapa-siapa. Kalau Ia sampai tahu, aku bukan saja akan dipecat jadi malaikat… nasibku bisa lebih hina ketimbang Ablasa.”
Aku tidak menjawabnya. Aku hentakkan saja tanganku – lepas dari cengkramannya. Lalu pergi.
…
Satu bulan.
Dua bulan.
Ternyata sudah tiga bulan aku di ibukota. Di sini, aku menjadi bawahannya si anak tetangga. Aku hanya sebagai pengantar jasa. Tiap tiga kali dalam seminggu, aku ditugaskan mengantarkan sejumlah paket ke alamat tertentu. Aku tak tahu apa isi paket itu. Yang jelas aku bahagia, gaji lebih satu juta dalam sebulan aku dapatkan. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan dan keluarga di kampung halaman.
Aku masih bersiul di atas motorku, menuju alamat yang ditentukan di kawasan Jakarta Selatan. Terbersit ingatan tiga bulan sebelumnya, tentang Djibril. Ah, pasti dia hanya mengaku Djibril. Djibril tak mungkin seperti itu …, ungkap bathinku. Segerombolan polisi melakukan razia. STNK ada, SIM juga ada. Tak ada yang perlu kucemaskan.
“Ini apa, Pak?” polisi muda satu bertanya. Kutaksir usianya baru duapuluhlimaan.
“Paket, Pak.”
“Bisa saya lihat surat kirimannya?”
Aku merogoh saku celana. Mengeluarkan dompet. Dan kuberikan yang ia minta.
“Boleh kami periksa isinya?”
Dengan terpaksa aku mengiyakan. Maklum, malas rasanya harus membungkus ulang barang ini.
Tak lama, polisi muda tampak memanggil rekannya. Berbisik-bisik. Kemudian berjalan ke arahku. Membekukku. Memborgol tanganku. Tanpa bisa kumengerti alasannya.
“Anda ditangkap dengan tuduhan sebagai pengedar narkoba!”
Aku mengelak. Aku teriak. “Tidak… tidak… aku bukan pengedar!”
“Ini buktinya,” polisi muda itu menunjukkan beberapa bungkusan bubuk berwarna putih yang disebutnya sebagi shabu-shabu. Aku ditangkap dan dibawa ke kantor kepolisian setempat untuk dimintai keterangan.
…
Aku berada dalam kurungan. Disebutnya aku tertangkap tangan, dengan dakwaan yang tak pernah kulakukan. Si anak tetangga sudah tak ada. Kabarnya ia sudah tak ada di tempat saat aku tertangkap. Aku menjadi terdakwa tunggal. Padahal… kautahu aku tak tahu apa-apa. Aku cuma korban ketidaktahuan. Aku adalah … Hah sudahlah…
Aku hanya bisa menangis.
Dan terus menangis.
Terus menerus berada dalam tekanan. Lama-lama tak selera makan.
Malam kedelapan, dua sosok tampak berusaha membangunkan. Mungkin petugas polisi sialan yang mencoba memaksaku makan seperti hari-hari sebelumnya. Namun setelah kuperhatikan, suara itu tampak tak asing. Seperti… ya kautahu… itu suara Djibril!
“Djibril? Kaukah itu?” Tanyaku dengan suara lirih dengan bibir bergetar pelan.
“Kau sudah sadar rupanya… tidak kusangka kau jadi seperti ini.”
“Djibril… aku tidak bersalah. Tolong aku.”
Samar-samar kulihat ia tersenyum. Sementara aku tak tahu siapa di sampingnya. Mukanya ia tutupi dengan topeng hitam. Dengan baju serba hitam pula.
“Bukannya kau sempat meragukan ke-Djibrilanku?” tanyanya dengan nada sinis.
Aku cuma diam.
“Tapi untunglah… karena itu kau tak membicarakan apa yang pernah kita bicarakan kepada orang lain,” lanjutnya lagi mengungkit kata-kata yang
ia bicarakan saat dia mabuk. “Dan hentikan pikiran bahwa saat itu aku sedang mabuk!” ia menghardik keras – tahu apa yang aku pikirkan.
“Aku akan menolongmu.”
Aku tersenyum. Ingin bangkit memeluknya.
Laki-laki (kukira laki-laki) di sampingnya maju ke hadapanku. Suaranya serak-serak bernada tenor. “Dengan cara apa?” tanyanya kepada Djibril.
“Terserahmu…” Djibril memalingkan muka.
Dan kautahu… aku menjerit. Sakit… sakit sekali. Tidak akan bisa kau bayangkan rasa sakitnya. Beberapa menit aku harus bergumul dengan rasa sakit ini. Aku tersadar… dia Izrail, Si Pencabut Nyawa. Sejenak kutatap Djibril yang sudah memalingkan mukanya. Dan zapp… semua pandanganku lenyap.
…
(Kau dengar ceritaku kan? Hei kau, tatap aku!
Ternyata percuma mengajakmu bicara
Sekali pun kau tak bisa mendengarku)
http://reinvandiritto.blogspot.com/
Aku benar-benar tidak berbohong. Toh, tak ada gunanya aku berbohong. Sungguh, tadi aku bertemu Djibril sedang menyunyikan dirinya di tepi bukit sebelah Timur. Ia, dengan jubah putihnya, memandang langit dengan gamang – mengucap mantra-mantra yang tak bisa kupahami artinya. Kira-kira lima menit ia terus begitu. Setelah itu, ia tampak memilin sesuatu yang tak begitu jelas kulihat. Sampai ia mengulum pilinan itu dan asap-asap berbentuk lingkaran mengepul dari mulutnya itu. Ya, aku baru sadar bahwa Djibril juga seorang perokok!
Kau tak percaya padaku?
“Keluarlah, jangan terus bersembunyi,” katanya pelan. Aku jelas kaget. Aku takut. Aku, ah entah. Dengan langkah kaki ragu-ragu kudekatkan diriku padanya. Toh, aku pasti tidak akan bisa melarikan diri. Kautahu… dia malaikat! Bisa terbang, bisa muncul tiba-tiba dihadapanku jika ia mau. Setan-setan saja digambarkan begitu, apalagi malaikat. Pasti lebih itu…
“Jangan takut padaku. Aku bukan Izrail, tidak akan mencabut nyawamu,” katanya sambil tersenyum – tenangkan hatiku.
Aku masih hanya bisa diam.
“Kau merokok?” tanyanya lembut.
Aku menggelengkan kepalaku.
Kepulan asapnya membuatku terbatuk; ia tertawa.
“Darimana kautahu aku ini Djibril?” tanyanya lagi.
Aku diam, masih sedikit takut. Djibril masih asik menghisap rokoknya kemudian menatapku dengan tatapannya yang teduh.
“Hanya Djibril yang sering turun ke bumi, begitu kisah-kisah yang aku tahu,” jawabku memberanikan diri.
Djibril tertawa, “Iya, bisa dibilang… aku pengangguran sekarang. Tak ada lagi tempat yang bisa kusampaikan wahyu. Telah habis kisah kenabian.” Dia mendesah. “Atau kau mau menjadi nabi selanjutnya?” tanyanya dengan nada sedikit bercanda.
Aku menggelengkan kepalaku.
“Tapi seringkali aku difitnah… “ desahnya lagi.
“Maksudmu?”
“Kautahu… beberapa orang di negaramu ini ada yang mengaku mendapatkan wahyu dariku. Atau bahkan mengaku aku. Kalau aku Izrail, sudah kucabut
nyawa mereka dengan cara yang paling menyakitkan.”
Aku menganggukkan kepalaku tanda setuju.
“Kau benar-benar tidak merokok?” tanyanya untuk kesekian kali.
Aku kembali menggelengkan kepalaku. “Rokok tak baik untuk kesehatan,” jawabku pelan.
“Ya, kalau mau aku akan buatkan. Ini bukan tembakau biasa. Ini tembakau surga. Rasanya lebih nikmat dari kretek murahan yang dijual di pasaran. Toh aku tetap sehat meski aku merokok.”
“Mungkin anatomi fisiologi tubuhmu beda.”
Djibril tertawa.
Aku juga (akhirnya) tertawa.
….
Dan kautahu, itu bukan pertemuanku terakhirku dengannya. Sabtu kliwon, purnama bulan berikutnya, lagi-lagi aku tak sengaja bertemu dengannya. Djibril menyamar menjadi manusia. Tapi tentu wajahnya aku kenal. Ia sedang asik bergoyang di diskotik ternama. Kau pasti bertanya kenapa aku bisa berada di tempat itu. Kautahu, aku diajak ke Jakarta oleh anak tetangga untuk mencari kerja. Bagaimana aku tak tergiur, satu tahun ia bekerja, pulangnya sudah membawa mobil baru. Tentu tak kutolak tawarannya. Mungkin nasibku bisa sebaik atau lebih baik dari dia.
Hari pertama ia membicarakan surga ibukota. Dan malamnya aku ikuti ajakannya ke sini, ke tempat keduakalinya aku bertemu dengan Djibril. Aku baru tahu bahwa yang disebut surga itu adalah tempat remang-remang dengan penghuni mayoritas wanita yang disebutnya bidadari, dengan pakaian seadanya: tonjolan-tonjolan dada yang mengundang hasrat dan lautan paha yang diumbar memancing syahwat. Aku tidak, atau belum, terbiasa dengan surga yang seperti ini. Sebab kata orangtuaku dulu, surga itu adalah tempat suci dengan sungai-sungai madu mengalir di dalamnya. Tapi, yang ada di sini – meski nyaris berwarna sama seperti madu – adalah minuman dengan aroma yang menyengat.
“Kau tidak minum?” Djibril bertanya padaku sambil meneguk minuman itu.
“Apa ini?”
“Alkohol. Kau tak tahu?”
Aku menggeleng.
“Kitab suci menyebutnya ‘Khamr’ atau ‘sesuatu yang memabukkan’.”
“Bukannya itu diharamkan?” tanyaku padanya.
“Tadinya tidak…” ia berhenti sejenak – bersendawa. “Ini minuman favorit malaikat.” Dan ia tertawa. Entah apa yang ditertawakannya.
“Kau sudah mabuk.”
“Aku? Mabuk? Tidak mungkin.”
“Kenapa kau di sini? Jangan bilang bahwa kau sudah jenuh jadi malaikat.”
“Ini minuman favorit malaikat! Bukannya tadi aku sudah mengatakannya kepadamu?”
Aku menatapnya dalam. Melihat kedua bola matanya yang mungkin sudah merah.
Djibril mulai bercerita, “Dulu… surga tidak penuh sungai madu. Alkohol lah yang mengalir di dalamnya. Kautahu, kami – kaum malaikat – selalu berpesta
tiap minggunya. Itu dulu sekali, sebelum kalian ada. Kau tentu tidak tahu betapa nikmatnya bercinta dengan bidadari surga yang selalu kembali perawan setelah kami melakukannya.”
“Kau bohong! Dusta!” nadaku mulai meninggi.
Djibril hanya tertawa. “Kautahu, Ablasa, sahabat terdekatku… dia terusir dari kami. Kautahu kenapa? Dia membenci moyangmu, makhluk sok suci yang hobinya menjilat Tuan kami. Ablasa membuat sayembara, siapa yang bisa membongkar topeng kesok-sucian moyangmu itu akan diangkat menjadi pemimpin di antara kami. Sebenarnya aku sudah memperingatkannya, memperingatkan semua kaumku bahwa tindakan seperti itu sudah keterlaluan. Tuan kami bisa marah. Bisa murka. Tapi, Ablasa tetap nekat menggoda. Dan pasti kautahu apa yang selanjutnya terjadi… Ablasa terusir dari surga. Maka, Tuan kami sedikit ‘memperindah’ ceritanya kepada kalian, biar Ia tak kehilangan ‘muka’.”
“Kau benar-benar sudah mabuk. Aku tak mau lagi berbicara kepadamu!”
Aku beranjak pergi. Djibril mencengkram sebelah tanganku, “Kau harus janji, takkan menceritakan kisah ini kepada siapa-siapa. Kalau Ia sampai tahu, aku bukan saja akan dipecat jadi malaikat… nasibku bisa lebih hina ketimbang Ablasa.”
Aku tidak menjawabnya. Aku hentakkan saja tanganku – lepas dari cengkramannya. Lalu pergi.
…
Satu bulan.
Dua bulan.
Ternyata sudah tiga bulan aku di ibukota. Di sini, aku menjadi bawahannya si anak tetangga. Aku hanya sebagai pengantar jasa. Tiap tiga kali dalam seminggu, aku ditugaskan mengantarkan sejumlah paket ke alamat tertentu. Aku tak tahu apa isi paket itu. Yang jelas aku bahagia, gaji lebih satu juta dalam sebulan aku dapatkan. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan dan keluarga di kampung halaman.
Aku masih bersiul di atas motorku, menuju alamat yang ditentukan di kawasan Jakarta Selatan. Terbersit ingatan tiga bulan sebelumnya, tentang Djibril. Ah, pasti dia hanya mengaku Djibril. Djibril tak mungkin seperti itu …, ungkap bathinku. Segerombolan polisi melakukan razia. STNK ada, SIM juga ada. Tak ada yang perlu kucemaskan.
“Ini apa, Pak?” polisi muda satu bertanya. Kutaksir usianya baru duapuluhlimaan.
“Paket, Pak.”
“Bisa saya lihat surat kirimannya?”
Aku merogoh saku celana. Mengeluarkan dompet. Dan kuberikan yang ia minta.
“Boleh kami periksa isinya?”
Dengan terpaksa aku mengiyakan. Maklum, malas rasanya harus membungkus ulang barang ini.
Tak lama, polisi muda tampak memanggil rekannya. Berbisik-bisik. Kemudian berjalan ke arahku. Membekukku. Memborgol tanganku. Tanpa bisa kumengerti alasannya.
“Anda ditangkap dengan tuduhan sebagai pengedar narkoba!”
Aku mengelak. Aku teriak. “Tidak… tidak… aku bukan pengedar!”
“Ini buktinya,” polisi muda itu menunjukkan beberapa bungkusan bubuk berwarna putih yang disebutnya sebagi shabu-shabu. Aku ditangkap dan dibawa ke kantor kepolisian setempat untuk dimintai keterangan.
…
Aku berada dalam kurungan. Disebutnya aku tertangkap tangan, dengan dakwaan yang tak pernah kulakukan. Si anak tetangga sudah tak ada. Kabarnya ia sudah tak ada di tempat saat aku tertangkap. Aku menjadi terdakwa tunggal. Padahal… kautahu aku tak tahu apa-apa. Aku cuma korban ketidaktahuan. Aku adalah … Hah sudahlah…
Aku hanya bisa menangis.
Dan terus menangis.
Terus menerus berada dalam tekanan. Lama-lama tak selera makan.
Malam kedelapan, dua sosok tampak berusaha membangunkan. Mungkin petugas polisi sialan yang mencoba memaksaku makan seperti hari-hari sebelumnya. Namun setelah kuperhatikan, suara itu tampak tak asing. Seperti… ya kautahu… itu suara Djibril!
“Djibril? Kaukah itu?” Tanyaku dengan suara lirih dengan bibir bergetar pelan.
“Kau sudah sadar rupanya… tidak kusangka kau jadi seperti ini.”
“Djibril… aku tidak bersalah. Tolong aku.”
Samar-samar kulihat ia tersenyum. Sementara aku tak tahu siapa di sampingnya. Mukanya ia tutupi dengan topeng hitam. Dengan baju serba hitam pula.
“Bukannya kau sempat meragukan ke-Djibrilanku?” tanyanya dengan nada sinis.
Aku cuma diam.
“Tapi untunglah… karena itu kau tak membicarakan apa yang pernah kita bicarakan kepada orang lain,” lanjutnya lagi mengungkit kata-kata yang
ia bicarakan saat dia mabuk. “Dan hentikan pikiran bahwa saat itu aku sedang mabuk!” ia menghardik keras – tahu apa yang aku pikirkan.
“Aku akan menolongmu.”
Aku tersenyum. Ingin bangkit memeluknya.
Laki-laki (kukira laki-laki) di sampingnya maju ke hadapanku. Suaranya serak-serak bernada tenor. “Dengan cara apa?” tanyanya kepada Djibril.
“Terserahmu…” Djibril memalingkan muka.
Dan kautahu… aku menjerit. Sakit… sakit sekali. Tidak akan bisa kau bayangkan rasa sakitnya. Beberapa menit aku harus bergumul dengan rasa sakit ini. Aku tersadar… dia Izrail, Si Pencabut Nyawa. Sejenak kutatap Djibril yang sudah memalingkan mukanya. Dan zapp… semua pandanganku lenyap.
…
(Kau dengar ceritaku kan? Hei kau, tatap aku!
Ternyata percuma mengajakmu bicara
Sekali pun kau tak bisa mendengarku)
Kelopak Langit
Ragdi F. Daye
http://www.harianhaluan.com/
Baiklah, aku akan menelanjangi diriku di depanmu.Kau akan dengan leluasa melihat semua gurat sepi di pori-pori, semua jejak sesal yang membeku, dan mimpi-mimpi mati di epitel.Kau tak akan bisa pergi menghindar atau menutup mata dan telinga sebab aku telah memasang rantai yang membuat tubuhmu akan tetap duduk menyimak di kursi itu. Kedua tanganmu telah kuupayakan senyaman mungkin tetap berada di balik punggungmu. Maafkan aku yang terpaksa menyumpal mulutmu dengan saputangan petak-petak biru muda yang kaubelikan, karena aku tak ingin ada sela, ada pertanyaan. Dengarkan saja aku. Setelah itu, kau dapat memutuskan akan tetap mencintaiku atau akan menjauh sepenuh jarak.
Tapi sebentar… Kau tahu, aku tak pandai bercerita. Mungkin lebih baik kuputar lagu-lagu yang meruntuhkan hati agar aku bisa lancar berkata-kata, agar aku tak malu-malu menelanjangi diri di depanmu. Aku tak akan mengeraskan volumenya. Sayup-sayup saja.
Seperti perjumpaanku denganmu, pertemuanku dengannya tak pernah kusangka.
Aku sedang lari dari rasa jenuh dalam pertemuan yang tak jelas arah itu. Kubawa diri ke meja di pojok kedai minum yang tanpa dinding dengan secangkir kopi yang tak terlalu pahit. Angin menghambur masuk mengelus pipiku, menghantarkan aroma bebunga, mungkin tanjung. Seperti biasa, jenuh akan membuatku gundah dan gugup. Aku jadi merasa aneh dengan perjalananku yang sebenarnya agak berat karena harus meninggalkanmu. Kemarin aku ingin membatalkannya namun kau memaksa karena menurutmu pertemuan itu penting dan berguna bagi masa depan pekerjaanku. Nyatanya aku terpuruk dalam kebosanan.
Kutekan nomormu, tapi tak diangkat-angkat. Kucoba berulang kali, namun tetap sama. Kau tak bisa dihubungi, padahal aku ingin mendengarkan suaramu dan menghirup energi dari kata-katamu. Apakah kau sudah tidur atau telepon genggammu tertinggal di kamar depan dekat rak buku? Ah, nanti saja kaujawab. Aku mulai meneguk kopi yang rasanya tak terlalu istimewa itu, mengetuk-ngetukkan tangan kiri ke paha, dan membiarkan mata menjelajah ke mana-mana.
Hingga aku melihat dia. Dia? Ya, dia yang dulu pernah singgah dalam hari-hariku.
Mulanya aku diam saja. Tetap duduk di bangku tersudut itu dan mengamati orang-orang di sekitar. Aku pura-pura tidak melihatnya karena mungkin saja dia juga pura-pura tak melihatku. Apa pentingnya menyapa seseorang dari masa yang sudah lalu? Bisa-bisa membawa masalah. Kualihkan perhatian dengan mencoba lagi menghubungimu. Tetapi nihil. Malam berlanjut. Orang-orang datang dan pergi. Pertemuan malam itu mungkin sudah selesai dan aku dapat balik ke kamar. Namun aku tetap duduk, menghirup kopi pelan-pelan, mengetuk-ngetukkan jemari ke paha, dan kembali melihatnya yang seperti tak tahu bahwa ada aku tak jauh darinya.
Dia, dia tidak cantik sepertimu. Dia juga tidak berpakaian anggun menawan seperti kebiasaanmu. Malam itu dia hanya mengenakan celana panjang pudar dan blus kebesaran dipadu syal merah-hitam. Dia duduk menopang wajah dengan tangan. Sebatang rokok terjepit di sela jarinya. Sebatang rokok?; Perempuan seperti apa itu?, mungkin kau akan bertanya, tapi dengarkan saja. Di mejanya tampak dua buah gelas yang kuduga berisi kopi karena begitulah dia dahulu. Wajahnya tampak kusam dan sendu. Sesekali dia menaruh rokoknya, lantas menulis cepat-cepat di sebuah buku kecil di atas meja. Barangkali dia sedang menulis puisi, cerita, atau rangkaian kata-kata serupa itu.
Apakah dia masih mengingat puisi tentangku yang pernah dibuatnya dulu? Hatiku mulai gemetar oleh dorongan rasa yang tak kukehendaki. Aku ingin menghampirinya. Menatap bibir hitamnya yang kubenci sekaligus kusukai. Dudukku mulai tidak nyaman, seolah ada duri menonjol di lapisan bangku. Mendekatinya terasa mengkhianatimu. Tetapi diam saja seperti menyiksa diri sendiri. Akhirnya aku berdiri. Tidak, tidak. Aku tak bermaksud mengkhianatimu. Aku hanya ingin bicara dengannya. Siapa tahu bisa tumpas seluruh jemu.
“E, e… Kau?” ekspresi terkejutnya bagimu mungkin terkesan berlebihan. Dia terbatuk dan rokoknya jatuh.
Aku duduk di seberangnya. Tersenyum kaku. “Bagaimana kabarmu?”
“Baik.” Dia memasukkan ujung telunjuk kiri ke mulut, menggigit ujung kuku dua detik. “Kau… tinggal di kota ini?”
“Ehm, tidak. Aku sedang ada pertemuan di sini.” Kutunjuk lantai atas. “Kau sedang jalan-jalan?”
“Besok aku ada acara di pusat kota.”
“Tentang puisi?”
Sungguh, percakapan kami begitu tersendat-sendat, sama sekali tak seperti cerita di film-film. Aku tak tahu, apakah aku yang terlalu membuat jarak atau dia. Kami banyak mengumbar senyum basa-basi sebagaimana layaknya dua manusia dewasa yang munafik.
Apakah dia lalu mengajakku ke kamarnya, atau malah aku yang membawanya ke kamarku? Ah, tenanglah. Ceritaku masih panjang.
Dia menyibakkan rambutnya yang ikal bergelombang, menopang dagu lagi, lalu menatap mataku lekat-lekat. “Mau duduk-duduk di atas atap?”
Tentu saja aku tersentak. Duduk-duduk di atas atap? Gila, aku sudah tidak muda lagi!
“Takut jatuh sekarang?”
“Ehm, tidak, tidak. Ini hotel. Malam. Apa nanti kata orang?”
“Apa nanti kata orang? Hahaha… Itu pertanyaanmu dulu sebelum kita memanjat atap gedung rektorat universitas untuk kemudian menatap matahari tenggelam sampai lenyap dipulun gelap.”
Oh, ya. Benar! Itu dulu, waktu aku masih mahasiswa, sinting! “Oke. Baiklah.”
Dia memesan minuman kepada pelayan, memasukkan barang-barangnya ke tas-samping, kemudian menarik tanganku. Kami berlari mendaki anak tangga sampai lantai enam seperti dua kanak-kanak kurang kerjaan. Napasku ngos-ngosan. Mengertilah, aku sudah bapak-bapak, bukan? Tetapi dia tetap seperti kucing manis yang kesurupan. Meletup-letup. Tidak lelah. Tetap tertawa-tawa menyemburkan kata-kata puisi jalang.
Betapa itu yang dulu sangat kusuka dari dia. Betapa itu yang dulu menyihirku.
“Kamu terlalu rajin! Negara ini tidak akan berubah!” Dia merebut diktat kuliahku dan melemparkannya ke udara ketika aku masih sempat-sempatnya menyiapkan ujian semester di atas atap. Lembaran-lembaran itu melayang dalam angin untuk kemudian berhamburan di pelataran taman rektorat.
Itu dulu. Ribuan senja yang lalu.
“Ayolah!”
Kami menyusup keluar melalui pintu darurat. Pekat malam yang haru menyambut. Pesona lampu-lampu seperti kunang-kunang kasmaran. Bintik-bintik cahaya bintang di langit seperti titik-titik embun di kelopak mawar akhir subuh.
Aku berdiri di tengah dataran atap dengan gamang dan riang. Kukembangkan tangan. Menghirup sejuk malam. Mengusir kelesuan. Dia duduk di tubir atap, menjuntaikan kaki. Aku mengambil tempat di sampingnya. “Ayo, ceritakan tentang dirimu! Sudah berapa ratus puisi yang kautulis? Sudah berapa puluh bukumu yang terbit? Sudah berapa lelaki yang kaubuat patah hati?”
“Kau menyindirku?”
“Tidak. Aku memujimu.”
“Bukuku yang terbit baru tujuh. Dan tak ada lelaki yang kupatahkan hatinya sejak kau pergi mematahkan hatiku.”
“Astaga! Kau sudah mulai melancarkan serangan, ya!”
“Aku sungguh-sungguh. Walau kau tak mengerti puisi, tapi kau mencintai puisi. Tak ada mata yang menatapku berbinar-binar, selain kau dengan pandangan bocah lima tahun dihadiahi layang-layang itu.”
“Aku sudah beristri,” kataku datar. “Dia sedang mengandung anak ketiga kami.”
“Sudah tiga anakmu?”
“Dua gugur. Mudah-mudahan yang ini selamat.”
“Dan malam ini kau bersamaku, saat istrimu hamil…”
“Kita ‘kan tidak melakukan hal yang tidak-tidak.”
“Duduk seperti orang gila di atas atap begini?! Oh, ampuni aku!”
“Jadi kau masih belum menikah?”
“Seperti yang kukatakan dulu, aku ingin kau yang jadi suamiku.”
“Tapi aku tak bisa menikahi puisi!”
Pukul 00:04. Ah, betapa lengangnya!
Apakah kau sudah lelap dalam mimpi saat itu? Atau malah tak bisa tidur karena berhalusinasi tentang aku yang hendak meloncat dari atas atap?
“Tidak adakah satu dari beribu penyair itu yang menarik hatimu?”
“Ini bukan soal menarik atau tidak. Malah banyak dari mereka yang mampu membuatku mabuk tanpa meneguk arak.”
“Lalu kenapa tak kaurelakan satu? Lihatlah mukamu begitu muram kesepian!”
“Kau ‘kan tahu, aku ini burung pengicau yang liar, yang kubutuhkan adalah dahan rindang yang nyaman.”
Tak ada lagi yang kami lakukan selain pembicaraan yang melompat-lompat, tertawa kering, menepuk-nepuk nyamuk, meneguk minuman karbonat dalam kaleng, memeluk lutut masing-masing, bermenung, memandang ujung langit, menunggu cahaya fajar menyemburat….
Di antara hitam langit malam dan titik-titik bintang, kulihat kau melambaikan tangan. Kau mengenakan pakaian putih panjang yang kemerahan. Kemerahan? Tidak. Tidak. Itu seperti darah. Darah? Tubuhmu mengambang melayang-layang dalam ledakan cahaya merah seperti mahkota mawar pecah.
Buru-buru kuambil telepon genggam. Menekan nomormu berulang-ulang. Jawab! Jawab! Ayolah…!
“Halo! Halo!”
“…. Ada apa, Sayang? Kau tak bisa tidur?”
“Kau baik-baik saja?”
“Dia baik-baik saja?”
“Hei, kau dengan siapa?”
“Tidak, aku tidak dengan siapa-siapa. Anak kita baik-baik saja?”
“Istrimu baik-baik saja?”
“Psst…! Sst! Diam!”
“Kau dengan seseorang? Hei! Aku dengar suara perempuan.”
“Tidak. Aku barusan mimpi buruk. Mungkin kau mimpi buruk juga.”
“Kau dengan siapa?”
“Kau baik-baik saja, kan?”
“Ya.”
“Oke, besok pagi kutelepon lagi.”
Kubisukan telepon genggam. Subuh akan segera datang. Pikiranku pasti kacau karena begadang. Kulemparkan kaleng kosong.
“Kau seharusnya tadi tak bersuara.”
“Takut sekali kau rupanya.”
“Aku tak mau menyakiti hatinya. Pasti dia jadi risau bertanya-tanya.”
“Kita ‘kan tidak berbuat apa-apa.”
Ketika pagi akhirnya datang, kami membuang diri ke dalam lift. Wajah-wajah kami tampak berkerut-kerut di pantulan dinding berkilau.
“Segeralah kau pilih seseorang untuk melabuhkan kelelahanmu.”
“Aku menginginkanmu.”
“Pakai akal sehatlah! Aku tak akan menceraikan istriku ataupun menjadikanmu yang kedua.”
Di lantai bawah kami berpisah. Dia mencuri cium pipiku sambil berbisik memintaku datang ke acaranya. Aku mengangguk dan berjanji dalam hati untuk segera berkemas pulang. Kuaktifkan telepon genggam.
Ada banyak panggilan tak terjawab darimu, dan sebuah pesan: Demi Tuhan, apakah berpisah satu hari dapat membuatmu tidur dengan perempuan lain?
Nah, ceritaku sudah selesai. Tak ada yang kututup-tutupi. Aku benar-benar telanjang. Sekarang, mari kubuka rantai yang membelit tubuhmu, juga saputangan yang menyumpal mulutmu. Apakah musiknya perlu diganti?
“Jahat! Jahat! Jahat…! Gila sekali kau!”
Kau melompat dari kursi lalu mencakar-cakar dadaku. Merobek-robek kemeja yang belum sempat kuganti sejak pulang dari bandara karena kau dengan cerewet terus bertanya sepanjang jalan dengan prasangka yang tajam menikam. “Apa aku ini kurang seksi sehingga kau mau jatuh ke pelukan perempuan lain? Apakah aku tak becus mengurusmu? Apa aku tak cukup perhatian, pengabdian, dan cinta untukmu? Kenapa kau sama saja dengan para lelaki bajingan?”
Tidak. Tidak. Tidak.
Kau keliru. Mungkin benar, bahwa dia adalah bara yang menggelegakkan darahku, memberi sensasi. Tapi kau adalah air yang menghapus dahagaku, membuatku akan terus hidup dan bermimpi. Walau sebagai air kadang kau menjadi gelombang yang membanting dan terkadang mengalir diam tanpa riak membuatku menggigil dalam sepi.
Padang, 2010
http://www.harianhaluan.com/
Baiklah, aku akan menelanjangi diriku di depanmu.Kau akan dengan leluasa melihat semua gurat sepi di pori-pori, semua jejak sesal yang membeku, dan mimpi-mimpi mati di epitel.Kau tak akan bisa pergi menghindar atau menutup mata dan telinga sebab aku telah memasang rantai yang membuat tubuhmu akan tetap duduk menyimak di kursi itu. Kedua tanganmu telah kuupayakan senyaman mungkin tetap berada di balik punggungmu. Maafkan aku yang terpaksa menyumpal mulutmu dengan saputangan petak-petak biru muda yang kaubelikan, karena aku tak ingin ada sela, ada pertanyaan. Dengarkan saja aku. Setelah itu, kau dapat memutuskan akan tetap mencintaiku atau akan menjauh sepenuh jarak.
Tapi sebentar… Kau tahu, aku tak pandai bercerita. Mungkin lebih baik kuputar lagu-lagu yang meruntuhkan hati agar aku bisa lancar berkata-kata, agar aku tak malu-malu menelanjangi diri di depanmu. Aku tak akan mengeraskan volumenya. Sayup-sayup saja.
Seperti perjumpaanku denganmu, pertemuanku dengannya tak pernah kusangka.
Aku sedang lari dari rasa jenuh dalam pertemuan yang tak jelas arah itu. Kubawa diri ke meja di pojok kedai minum yang tanpa dinding dengan secangkir kopi yang tak terlalu pahit. Angin menghambur masuk mengelus pipiku, menghantarkan aroma bebunga, mungkin tanjung. Seperti biasa, jenuh akan membuatku gundah dan gugup. Aku jadi merasa aneh dengan perjalananku yang sebenarnya agak berat karena harus meninggalkanmu. Kemarin aku ingin membatalkannya namun kau memaksa karena menurutmu pertemuan itu penting dan berguna bagi masa depan pekerjaanku. Nyatanya aku terpuruk dalam kebosanan.
Kutekan nomormu, tapi tak diangkat-angkat. Kucoba berulang kali, namun tetap sama. Kau tak bisa dihubungi, padahal aku ingin mendengarkan suaramu dan menghirup energi dari kata-katamu. Apakah kau sudah tidur atau telepon genggammu tertinggal di kamar depan dekat rak buku? Ah, nanti saja kaujawab. Aku mulai meneguk kopi yang rasanya tak terlalu istimewa itu, mengetuk-ngetukkan tangan kiri ke paha, dan membiarkan mata menjelajah ke mana-mana.
Hingga aku melihat dia. Dia? Ya, dia yang dulu pernah singgah dalam hari-hariku.
Mulanya aku diam saja. Tetap duduk di bangku tersudut itu dan mengamati orang-orang di sekitar. Aku pura-pura tidak melihatnya karena mungkin saja dia juga pura-pura tak melihatku. Apa pentingnya menyapa seseorang dari masa yang sudah lalu? Bisa-bisa membawa masalah. Kualihkan perhatian dengan mencoba lagi menghubungimu. Tetapi nihil. Malam berlanjut. Orang-orang datang dan pergi. Pertemuan malam itu mungkin sudah selesai dan aku dapat balik ke kamar. Namun aku tetap duduk, menghirup kopi pelan-pelan, mengetuk-ngetukkan jemari ke paha, dan kembali melihatnya yang seperti tak tahu bahwa ada aku tak jauh darinya.
Dia, dia tidak cantik sepertimu. Dia juga tidak berpakaian anggun menawan seperti kebiasaanmu. Malam itu dia hanya mengenakan celana panjang pudar dan blus kebesaran dipadu syal merah-hitam. Dia duduk menopang wajah dengan tangan. Sebatang rokok terjepit di sela jarinya. Sebatang rokok?; Perempuan seperti apa itu?, mungkin kau akan bertanya, tapi dengarkan saja. Di mejanya tampak dua buah gelas yang kuduga berisi kopi karena begitulah dia dahulu. Wajahnya tampak kusam dan sendu. Sesekali dia menaruh rokoknya, lantas menulis cepat-cepat di sebuah buku kecil di atas meja. Barangkali dia sedang menulis puisi, cerita, atau rangkaian kata-kata serupa itu.
Apakah dia masih mengingat puisi tentangku yang pernah dibuatnya dulu? Hatiku mulai gemetar oleh dorongan rasa yang tak kukehendaki. Aku ingin menghampirinya. Menatap bibir hitamnya yang kubenci sekaligus kusukai. Dudukku mulai tidak nyaman, seolah ada duri menonjol di lapisan bangku. Mendekatinya terasa mengkhianatimu. Tetapi diam saja seperti menyiksa diri sendiri. Akhirnya aku berdiri. Tidak, tidak. Aku tak bermaksud mengkhianatimu. Aku hanya ingin bicara dengannya. Siapa tahu bisa tumpas seluruh jemu.
“E, e… Kau?” ekspresi terkejutnya bagimu mungkin terkesan berlebihan. Dia terbatuk dan rokoknya jatuh.
Aku duduk di seberangnya. Tersenyum kaku. “Bagaimana kabarmu?”
“Baik.” Dia memasukkan ujung telunjuk kiri ke mulut, menggigit ujung kuku dua detik. “Kau… tinggal di kota ini?”
“Ehm, tidak. Aku sedang ada pertemuan di sini.” Kutunjuk lantai atas. “Kau sedang jalan-jalan?”
“Besok aku ada acara di pusat kota.”
“Tentang puisi?”
Sungguh, percakapan kami begitu tersendat-sendat, sama sekali tak seperti cerita di film-film. Aku tak tahu, apakah aku yang terlalu membuat jarak atau dia. Kami banyak mengumbar senyum basa-basi sebagaimana layaknya dua manusia dewasa yang munafik.
Apakah dia lalu mengajakku ke kamarnya, atau malah aku yang membawanya ke kamarku? Ah, tenanglah. Ceritaku masih panjang.
Dia menyibakkan rambutnya yang ikal bergelombang, menopang dagu lagi, lalu menatap mataku lekat-lekat. “Mau duduk-duduk di atas atap?”
Tentu saja aku tersentak. Duduk-duduk di atas atap? Gila, aku sudah tidak muda lagi!
“Takut jatuh sekarang?”
“Ehm, tidak, tidak. Ini hotel. Malam. Apa nanti kata orang?”
“Apa nanti kata orang? Hahaha… Itu pertanyaanmu dulu sebelum kita memanjat atap gedung rektorat universitas untuk kemudian menatap matahari tenggelam sampai lenyap dipulun gelap.”
Oh, ya. Benar! Itu dulu, waktu aku masih mahasiswa, sinting! “Oke. Baiklah.”
Dia memesan minuman kepada pelayan, memasukkan barang-barangnya ke tas-samping, kemudian menarik tanganku. Kami berlari mendaki anak tangga sampai lantai enam seperti dua kanak-kanak kurang kerjaan. Napasku ngos-ngosan. Mengertilah, aku sudah bapak-bapak, bukan? Tetapi dia tetap seperti kucing manis yang kesurupan. Meletup-letup. Tidak lelah. Tetap tertawa-tawa menyemburkan kata-kata puisi jalang.
Betapa itu yang dulu sangat kusuka dari dia. Betapa itu yang dulu menyihirku.
“Kamu terlalu rajin! Negara ini tidak akan berubah!” Dia merebut diktat kuliahku dan melemparkannya ke udara ketika aku masih sempat-sempatnya menyiapkan ujian semester di atas atap. Lembaran-lembaran itu melayang dalam angin untuk kemudian berhamburan di pelataran taman rektorat.
Itu dulu. Ribuan senja yang lalu.
“Ayolah!”
Kami menyusup keluar melalui pintu darurat. Pekat malam yang haru menyambut. Pesona lampu-lampu seperti kunang-kunang kasmaran. Bintik-bintik cahaya bintang di langit seperti titik-titik embun di kelopak mawar akhir subuh.
Aku berdiri di tengah dataran atap dengan gamang dan riang. Kukembangkan tangan. Menghirup sejuk malam. Mengusir kelesuan. Dia duduk di tubir atap, menjuntaikan kaki. Aku mengambil tempat di sampingnya. “Ayo, ceritakan tentang dirimu! Sudah berapa ratus puisi yang kautulis? Sudah berapa puluh bukumu yang terbit? Sudah berapa lelaki yang kaubuat patah hati?”
“Kau menyindirku?”
“Tidak. Aku memujimu.”
“Bukuku yang terbit baru tujuh. Dan tak ada lelaki yang kupatahkan hatinya sejak kau pergi mematahkan hatiku.”
“Astaga! Kau sudah mulai melancarkan serangan, ya!”
“Aku sungguh-sungguh. Walau kau tak mengerti puisi, tapi kau mencintai puisi. Tak ada mata yang menatapku berbinar-binar, selain kau dengan pandangan bocah lima tahun dihadiahi layang-layang itu.”
“Aku sudah beristri,” kataku datar. “Dia sedang mengandung anak ketiga kami.”
“Sudah tiga anakmu?”
“Dua gugur. Mudah-mudahan yang ini selamat.”
“Dan malam ini kau bersamaku, saat istrimu hamil…”
“Kita ‘kan tidak melakukan hal yang tidak-tidak.”
“Duduk seperti orang gila di atas atap begini?! Oh, ampuni aku!”
“Jadi kau masih belum menikah?”
“Seperti yang kukatakan dulu, aku ingin kau yang jadi suamiku.”
“Tapi aku tak bisa menikahi puisi!”
Pukul 00:04. Ah, betapa lengangnya!
Apakah kau sudah lelap dalam mimpi saat itu? Atau malah tak bisa tidur karena berhalusinasi tentang aku yang hendak meloncat dari atas atap?
“Tidak adakah satu dari beribu penyair itu yang menarik hatimu?”
“Ini bukan soal menarik atau tidak. Malah banyak dari mereka yang mampu membuatku mabuk tanpa meneguk arak.”
“Lalu kenapa tak kaurelakan satu? Lihatlah mukamu begitu muram kesepian!”
“Kau ‘kan tahu, aku ini burung pengicau yang liar, yang kubutuhkan adalah dahan rindang yang nyaman.”
Tak ada lagi yang kami lakukan selain pembicaraan yang melompat-lompat, tertawa kering, menepuk-nepuk nyamuk, meneguk minuman karbonat dalam kaleng, memeluk lutut masing-masing, bermenung, memandang ujung langit, menunggu cahaya fajar menyemburat….
Di antara hitam langit malam dan titik-titik bintang, kulihat kau melambaikan tangan. Kau mengenakan pakaian putih panjang yang kemerahan. Kemerahan? Tidak. Tidak. Itu seperti darah. Darah? Tubuhmu mengambang melayang-layang dalam ledakan cahaya merah seperti mahkota mawar pecah.
Buru-buru kuambil telepon genggam. Menekan nomormu berulang-ulang. Jawab! Jawab! Ayolah…!
“Halo! Halo!”
“…. Ada apa, Sayang? Kau tak bisa tidur?”
“Kau baik-baik saja?”
“Dia baik-baik saja?”
“Hei, kau dengan siapa?”
“Tidak, aku tidak dengan siapa-siapa. Anak kita baik-baik saja?”
“Istrimu baik-baik saja?”
“Psst…! Sst! Diam!”
“Kau dengan seseorang? Hei! Aku dengar suara perempuan.”
“Tidak. Aku barusan mimpi buruk. Mungkin kau mimpi buruk juga.”
“Kau dengan siapa?”
“Kau baik-baik saja, kan?”
“Ya.”
“Oke, besok pagi kutelepon lagi.”
Kubisukan telepon genggam. Subuh akan segera datang. Pikiranku pasti kacau karena begadang. Kulemparkan kaleng kosong.
“Kau seharusnya tadi tak bersuara.”
“Takut sekali kau rupanya.”
“Aku tak mau menyakiti hatinya. Pasti dia jadi risau bertanya-tanya.”
“Kita ‘kan tidak berbuat apa-apa.”
Ketika pagi akhirnya datang, kami membuang diri ke dalam lift. Wajah-wajah kami tampak berkerut-kerut di pantulan dinding berkilau.
“Segeralah kau pilih seseorang untuk melabuhkan kelelahanmu.”
“Aku menginginkanmu.”
“Pakai akal sehatlah! Aku tak akan menceraikan istriku ataupun menjadikanmu yang kedua.”
Di lantai bawah kami berpisah. Dia mencuri cium pipiku sambil berbisik memintaku datang ke acaranya. Aku mengangguk dan berjanji dalam hati untuk segera berkemas pulang. Kuaktifkan telepon genggam.
Ada banyak panggilan tak terjawab darimu, dan sebuah pesan: Demi Tuhan, apakah berpisah satu hari dapat membuatmu tidur dengan perempuan lain?
Nah, ceritaku sudah selesai. Tak ada yang kututup-tutupi. Aku benar-benar telanjang. Sekarang, mari kubuka rantai yang membelit tubuhmu, juga saputangan yang menyumpal mulutmu. Apakah musiknya perlu diganti?
“Jahat! Jahat! Jahat…! Gila sekali kau!”
Kau melompat dari kursi lalu mencakar-cakar dadaku. Merobek-robek kemeja yang belum sempat kuganti sejak pulang dari bandara karena kau dengan cerewet terus bertanya sepanjang jalan dengan prasangka yang tajam menikam. “Apa aku ini kurang seksi sehingga kau mau jatuh ke pelukan perempuan lain? Apakah aku tak becus mengurusmu? Apa aku tak cukup perhatian, pengabdian, dan cinta untukmu? Kenapa kau sama saja dengan para lelaki bajingan?”
Tidak. Tidak. Tidak.
Kau keliru. Mungkin benar, bahwa dia adalah bara yang menggelegakkan darahku, memberi sensasi. Tapi kau adalah air yang menghapus dahagaku, membuatku akan terus hidup dan bermimpi. Walau sebagai air kadang kau menjadi gelombang yang membanting dan terkadang mengalir diam tanpa riak membuatku menggigil dalam sepi.
Padang, 2010
Jumat, 23 September 2011
Sajak-Sajak Rukmi Wisnu Wardani
Republika 24 Juni 2007
SATU WAKTU
satu waktu akan lahir puisi-puisiku
tanpa bahasa, tanpa kata maupun aksara
dan tangan-tangan ini
akan tuntas terbakar cahaya
saat itu usai sudah kupanggul salib waktu
dan aku tak lagi bergelayut di tepi malam
seperti matahari yang muncul bagai pencuri
dan mengendap di kejut hari
mungkin kisah musim yang tersisa
hanyalah sejumput kisah embun
yang mengkristal (abadi)
di pucuk pohon cemara
2007
JALAN CINTA
malam nyala
dingin musim tak lagi terasa
sebab aku akan pulang dalam cinta
dan menjelma bunga di kolam raja
tanpa tangkai maupun rupa
kecuali wangi makhota sukma
malam nyala
suara jangkrik tak lagi ada
sebab pedang telah menari
sesempurna kilau permata
– menuju kuil suci, pepohonan
tunduk menyapa salam –
– memasuki pintu gerbang, mata air
bening bertatapan –
pada ujung mata pedang
kurebahkan takdir kehidupan
pada ujung mata pedang
kupentaskan syair kematian
pada ujung mata pedang
kulengkapi keabadian
(sungguh, tak kupungkiri
betapa perih rindu menyiksa
karena aku telah menunggu
untuk sekian lama)
selebihnya, hanya langit yang tahu
mengapa angin melukis awan
serupa kaligrafi
selebihnya, hanya diam yang tahu
mengapa cinta ini harus kugenapi
2007
JELANG
leleh mata
yang kutampung di cawan waktu
dan kupersembahkan di pusat altar
telah sampaikah?
sejak belia, telinga ini
begitu setia menanti kabar
tapi lelucon aneh
slalu datang membawa berita
pun ketika kukitari puncak menara
memahat nama di dinding bulan
angin tak bergerming
kecuali sunyi mengelupas tulang
kali ini di tepi lain malam
di kelebat gaduh pusaran
kuteriakkan namaMu di langit lepas
hingga sakit memohon keabadian
sungguh, tiada kan kusangkal airmata
bila tiba rubuh sangkarku seketika
March 2007
Rukmi Wisnu Wardani (Dani), lahir di Jakarta 29 Juli 1973. Sarjana Arsitektur Lansekap Universitas Trisakti ini lebih dikenal sebagai penyair. Puisi-puisinya dimuat di berbagai media cetak seperti Republika, Kompas, dan Media Indonesia. Sajak-sajaknya juga terkumpul dalam beberapa buku antologi puisi, seperti Graffiti Gratitude (2000), Surat Putih (2000), Puisi Tak Pernah Pergi (2003), dan Bisikan Kata Teriakan Kota (2003). Manuskrip kumpulan sajakny, Banyak Orang Bilang Aku Sudah Gila menjadi runner-up KSI Award 2003. Kini bermukim di Jakarta.
Dijumput dari: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=UlFUCAcEBVxR
SATU WAKTU
satu waktu akan lahir puisi-puisiku
tanpa bahasa, tanpa kata maupun aksara
dan tangan-tangan ini
akan tuntas terbakar cahaya
saat itu usai sudah kupanggul salib waktu
dan aku tak lagi bergelayut di tepi malam
seperti matahari yang muncul bagai pencuri
dan mengendap di kejut hari
mungkin kisah musim yang tersisa
hanyalah sejumput kisah embun
yang mengkristal (abadi)
di pucuk pohon cemara
2007
JALAN CINTA
malam nyala
dingin musim tak lagi terasa
sebab aku akan pulang dalam cinta
dan menjelma bunga di kolam raja
tanpa tangkai maupun rupa
kecuali wangi makhota sukma
malam nyala
suara jangkrik tak lagi ada
sebab pedang telah menari
sesempurna kilau permata
– menuju kuil suci, pepohonan
tunduk menyapa salam –
– memasuki pintu gerbang, mata air
bening bertatapan –
pada ujung mata pedang
kurebahkan takdir kehidupan
pada ujung mata pedang
kupentaskan syair kematian
pada ujung mata pedang
kulengkapi keabadian
(sungguh, tak kupungkiri
betapa perih rindu menyiksa
karena aku telah menunggu
untuk sekian lama)
selebihnya, hanya langit yang tahu
mengapa angin melukis awan
serupa kaligrafi
selebihnya, hanya diam yang tahu
mengapa cinta ini harus kugenapi
2007
JELANG
leleh mata
yang kutampung di cawan waktu
dan kupersembahkan di pusat altar
telah sampaikah?
sejak belia, telinga ini
begitu setia menanti kabar
tapi lelucon aneh
slalu datang membawa berita
pun ketika kukitari puncak menara
memahat nama di dinding bulan
angin tak bergerming
kecuali sunyi mengelupas tulang
kali ini di tepi lain malam
di kelebat gaduh pusaran
kuteriakkan namaMu di langit lepas
hingga sakit memohon keabadian
sungguh, tiada kan kusangkal airmata
bila tiba rubuh sangkarku seketika
March 2007
Rukmi Wisnu Wardani (Dani), lahir di Jakarta 29 Juli 1973. Sarjana Arsitektur Lansekap Universitas Trisakti ini lebih dikenal sebagai penyair. Puisi-puisinya dimuat di berbagai media cetak seperti Republika, Kompas, dan Media Indonesia. Sajak-sajaknya juga terkumpul dalam beberapa buku antologi puisi, seperti Graffiti Gratitude (2000), Surat Putih (2000), Puisi Tak Pernah Pergi (2003), dan Bisikan Kata Teriakan Kota (2003). Manuskrip kumpulan sajakny, Banyak Orang Bilang Aku Sudah Gila menjadi runner-up KSI Award 2003. Kini bermukim di Jakarta.
Dijumput dari: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=UlFUCAcEBVxR
Serenada Malam Kunangkunang
Shourisha Arashi
http://sastra-indonesia.com/
Kutenggelamkan diri dalam kubangan yang pekatnya adalah malam. Sedangkan dingin ini tak lagi dapat bekukan apapun karena segalanya telah hilang. Hanya jejak samar yang nyata mengarah ke entah. Dan kita takkan pernah tahu hingga saatnya tiba.
Langitku hitam. Sedang bintang yang nampak ternyata kunangkunang yang linglung mencari tempat berlindung. Kulihat telaga perak rembulan dan sekejap yang nampak adalah aku yang bersayap koyak. Terbang rendah dari dahan ke dedaunan lalu hinggap di rerumputan liar.
O, betapa sendu serenada malam kunangkunang. Dengan bisik lirih dan getar sayap yang mulai lelah. Dengan terang temaram tanpa pernah mendamba kerlapkerlip seterang bintang-gemintang. Karena gelap selalu menghargai seredup apapun nyala cahaya.
Lalu mendung pun hanya akan menjadi segumpal awan kelabu yang berlalu. Bersama angin yang mengabarkan bahwa hujan kan segera datang. Bukan janji. Hanya kabar. Maka kudengarkan dan kupahami dengan harap tak terlalu besar. Kurasa dan semoga kita masih bisa bersabar.
23 September 2011
http://sastra-indonesia.com/
Kutenggelamkan diri dalam kubangan yang pekatnya adalah malam. Sedangkan dingin ini tak lagi dapat bekukan apapun karena segalanya telah hilang. Hanya jejak samar yang nyata mengarah ke entah. Dan kita takkan pernah tahu hingga saatnya tiba.
Langitku hitam. Sedang bintang yang nampak ternyata kunangkunang yang linglung mencari tempat berlindung. Kulihat telaga perak rembulan dan sekejap yang nampak adalah aku yang bersayap koyak. Terbang rendah dari dahan ke dedaunan lalu hinggap di rerumputan liar.
O, betapa sendu serenada malam kunangkunang. Dengan bisik lirih dan getar sayap yang mulai lelah. Dengan terang temaram tanpa pernah mendamba kerlapkerlip seterang bintang-gemintang. Karena gelap selalu menghargai seredup apapun nyala cahaya.
Lalu mendung pun hanya akan menjadi segumpal awan kelabu yang berlalu. Bersama angin yang mengabarkan bahwa hujan kan segera datang. Bukan janji. Hanya kabar. Maka kudengarkan dan kupahami dengan harap tak terlalu besar. Kurasa dan semoga kita masih bisa bersabar.
23 September 2011
Kamis, 22 September 2011
Ketika Puisi Mengalienasi Kita
Aguk Irawan MN
http://cetak.kompas.com/
Belakangan hari kita menyaksikan bagaimana puisi di Indonesia mendapatkan nasibnya yang paling getir. Bukan hanya penerbit menolak penerbitan buku kumpulan atau antologi puisi, penerbitannya pun harus dihadapkan pada kenyataan bahwa laju penjualannya yang bahkan tidak mencapai target minimal untuk impas.
Beronggok puisi mungkin mengisi laci, file, atau benak para penyair dan—mungkin—meja redaksi majalah atau surat kabar. Sebuah keadaan yang mungkin membuat seorang redaktur surat kabar memberi alasan, ”Kini lebih banyak penyair ketimbang pembacanya,” sebagai apologia hilangnya rubrik puisi yang sudah puluhan tahun bertahan di media itu.
Kini beberapa media yang sebelumnya dikenal komitmen dan perhatiannya kepada kesenian menghapus rubrik itu. Dan bukan hanya penerbit yang meninggalkan puisi secara definitif, beberapa toko buku juga sudah tidak lagi memajang buku puisi sejak beberapa tahun lalu.
Apa sebenarnya yang terjadi? Apa yang mendorong terjadinya nasib getir puisi itu? Apa dampaknya dalam kehidupan kolektif, sebagai manusia sebagai sebuah bangsa?
Puisi dalam sejarah
Sejarah manusia ditandai dengan jelas oleh riwayat perjuangan hidup beradabnya bersama puisi. Sel-sel majas sebuah puisi, baik konotatif maupun denotatif, kerap menyulut api perubahan dan menjadi semacam lampu ajaib yang sanggup menerangi kelamnya politik. Tak mengherankan jika John F Kennedy teringat puisi pada hari pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat.
Bahkan ia mengundang Robert Frost, penyair ternama Amerika Serikat pertengahan abad 20, untuk membacakan puisi di depannya. Sebuah penampilan yang akhirnya menginspirasi Presiden baru itu menciptakan ungkapan, ”Jika politik itu kotor, puisi yang akan membersihkannya.”
Mungkin karena alasan itu pula kenapa puisi Gilgamesh diguratkan dengan huruf paku pada bongkahan lempung dalam bahasa Sumeria di Mesopotamia sekitar 5.000 tahun yang lalu.
Selain Gilgamesh, ada juga syair-syair purba, seperti Kidung Agung, Ayub, Mazmur, Amsal, serta syair-syair mitologi Yunani. Hal itu terdapat seperti dalam Iliad dan Odyssey karya Homerus, kitab-kitab puisi kebijaksanaan Tao dan Konfusius, La Galigo suku Bugis, atau tradisi sastra lokal lainnya, seperti pantun, gurindam, seloka, semuanya disajikan dalam syair-syair indah.
Bahkan dalam masa jahiliahnya, peradaban Arab telah menempatkan puisi dan penyair dalam posisi tertinggi secara sosial. Pengaruhnya melebihi ketua suku, bangsawan, dan saudagar kaya.
Dalam perkembangan mutakhir Arab, tak akan terlupakan penyair besar Irak, Nâzik Malaikah. Bagi rakyat Irak, Nâzik dianggap sebagai salah satu pahlawan revolusi yang memperlancar jalannya kudeta Rasyid al-Kilani.
Di Nusantara, puisi-puisi Hamzah Fansuri yang berasal dari Aceh abad ke-16 dan ke-17 masih berpengaruh pada puisi transendental masa kini. Adapun puisi-puisi karya Chairil Anwar, misalnya, turut membakar semangat kebangsaan dan kemerdekaan. Bagaimana pula kita menafikan puisi-puisi WS Rendra dalam mendorong perubahan politik di negeri ini?
Keprihatinan nasib puisi
Puisi-puisi yang tercatat dalam tinta emas sejarah, menurut Adonis—kritikus sastra Arab Modern—tidaklah lahir dari kekosongan budaya, dan canggihnya akrobatik bahasa. Namun, puisi-puisi itu langsung berhubungan dengan proses membangun makna hidup dalam konteks sosial, baik dalam ruang temporal maupun perenial.
Di sini sensualiasme (akrobatik) kata berposisi sekadar sebagai pemantik (aksesori) bukan sebagai tujuan. Karena itu, ia bisa melampaui batas identitas dan merebut hati masyarakat.
Akan tetapi, sebagaimana yang disinggung di atas, betapa memprihatinkan nasib puisi sekarang ini. Siapa yang harus bertanggung jawab? Yang pertama, saya kira adalah para penyair sendiri. Bukankah tingkat apresiasi masyarakat terhadap puisi itu ditentukan kualitas sebuah puisi? Jika puisi bisa merebut hati masyarakat, rasanya nasib puisi tak akan telantar.
Kenyataannya, puisi-puisi mutakhir kita justru jadi semakin ”elite” dan eksklusif. Bahasa dan diksinya semakin njelimet, sukar dipahami.
Mereka sepertinya terjebak dalam romantisisme atau labirin lirisisme klasik yang terpaku pada keindahan dan tema-tema ”abadi” yang kehilangan konteks kekiniannya. Akibatnya, mereka terasing dari peristiwa-peristiwa penting yang terjadi tak jauh kakinya berpijak. Peristiwa memilukan, suara terbungkam dan kesengsaraan yang membutuhkan puisi sebagai mikrofon dari suara hati mereka.
Apakah ini berarti diagungkannya kembali posisi puisi sebagai l’art pour l’art, seni hanya untuk seni sendiri? Puisi yang hanya berlaku pada mereka yang hidup di dalamnya, semacam pemeo ”yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Sebuah ironi, yang tampak mirip dengan gambaran karya Yunani, Tuhan yang Tak Dikenal (Kis. 17:23). Kita tahu bahwa Ia ada, tetapi karena terasa jauh dan sukar dipahami, maka ”pengetahuan” atas-Nya pun menjadi milik segelintir orang saja.
Haruskah puisi kini jadi alien bagi kita? Mari kita menjawabnya.
*) Pemimpin Redaksi Jurnal Budaya Kalimah, Yogyakarta
http://cetak.kompas.com/
Belakangan hari kita menyaksikan bagaimana puisi di Indonesia mendapatkan nasibnya yang paling getir. Bukan hanya penerbit menolak penerbitan buku kumpulan atau antologi puisi, penerbitannya pun harus dihadapkan pada kenyataan bahwa laju penjualannya yang bahkan tidak mencapai target minimal untuk impas.
Beronggok puisi mungkin mengisi laci, file, atau benak para penyair dan—mungkin—meja redaksi majalah atau surat kabar. Sebuah keadaan yang mungkin membuat seorang redaktur surat kabar memberi alasan, ”Kini lebih banyak penyair ketimbang pembacanya,” sebagai apologia hilangnya rubrik puisi yang sudah puluhan tahun bertahan di media itu.
Kini beberapa media yang sebelumnya dikenal komitmen dan perhatiannya kepada kesenian menghapus rubrik itu. Dan bukan hanya penerbit yang meninggalkan puisi secara definitif, beberapa toko buku juga sudah tidak lagi memajang buku puisi sejak beberapa tahun lalu.
Apa sebenarnya yang terjadi? Apa yang mendorong terjadinya nasib getir puisi itu? Apa dampaknya dalam kehidupan kolektif, sebagai manusia sebagai sebuah bangsa?
Puisi dalam sejarah
Sejarah manusia ditandai dengan jelas oleh riwayat perjuangan hidup beradabnya bersama puisi. Sel-sel majas sebuah puisi, baik konotatif maupun denotatif, kerap menyulut api perubahan dan menjadi semacam lampu ajaib yang sanggup menerangi kelamnya politik. Tak mengherankan jika John F Kennedy teringat puisi pada hari pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat.
Bahkan ia mengundang Robert Frost, penyair ternama Amerika Serikat pertengahan abad 20, untuk membacakan puisi di depannya. Sebuah penampilan yang akhirnya menginspirasi Presiden baru itu menciptakan ungkapan, ”Jika politik itu kotor, puisi yang akan membersihkannya.”
Mungkin karena alasan itu pula kenapa puisi Gilgamesh diguratkan dengan huruf paku pada bongkahan lempung dalam bahasa Sumeria di Mesopotamia sekitar 5.000 tahun yang lalu.
Selain Gilgamesh, ada juga syair-syair purba, seperti Kidung Agung, Ayub, Mazmur, Amsal, serta syair-syair mitologi Yunani. Hal itu terdapat seperti dalam Iliad dan Odyssey karya Homerus, kitab-kitab puisi kebijaksanaan Tao dan Konfusius, La Galigo suku Bugis, atau tradisi sastra lokal lainnya, seperti pantun, gurindam, seloka, semuanya disajikan dalam syair-syair indah.
Bahkan dalam masa jahiliahnya, peradaban Arab telah menempatkan puisi dan penyair dalam posisi tertinggi secara sosial. Pengaruhnya melebihi ketua suku, bangsawan, dan saudagar kaya.
Dalam perkembangan mutakhir Arab, tak akan terlupakan penyair besar Irak, Nâzik Malaikah. Bagi rakyat Irak, Nâzik dianggap sebagai salah satu pahlawan revolusi yang memperlancar jalannya kudeta Rasyid al-Kilani.
Di Nusantara, puisi-puisi Hamzah Fansuri yang berasal dari Aceh abad ke-16 dan ke-17 masih berpengaruh pada puisi transendental masa kini. Adapun puisi-puisi karya Chairil Anwar, misalnya, turut membakar semangat kebangsaan dan kemerdekaan. Bagaimana pula kita menafikan puisi-puisi WS Rendra dalam mendorong perubahan politik di negeri ini?
Keprihatinan nasib puisi
Puisi-puisi yang tercatat dalam tinta emas sejarah, menurut Adonis—kritikus sastra Arab Modern—tidaklah lahir dari kekosongan budaya, dan canggihnya akrobatik bahasa. Namun, puisi-puisi itu langsung berhubungan dengan proses membangun makna hidup dalam konteks sosial, baik dalam ruang temporal maupun perenial.
Di sini sensualiasme (akrobatik) kata berposisi sekadar sebagai pemantik (aksesori) bukan sebagai tujuan. Karena itu, ia bisa melampaui batas identitas dan merebut hati masyarakat.
Akan tetapi, sebagaimana yang disinggung di atas, betapa memprihatinkan nasib puisi sekarang ini. Siapa yang harus bertanggung jawab? Yang pertama, saya kira adalah para penyair sendiri. Bukankah tingkat apresiasi masyarakat terhadap puisi itu ditentukan kualitas sebuah puisi? Jika puisi bisa merebut hati masyarakat, rasanya nasib puisi tak akan telantar.
Kenyataannya, puisi-puisi mutakhir kita justru jadi semakin ”elite” dan eksklusif. Bahasa dan diksinya semakin njelimet, sukar dipahami.
Mereka sepertinya terjebak dalam romantisisme atau labirin lirisisme klasik yang terpaku pada keindahan dan tema-tema ”abadi” yang kehilangan konteks kekiniannya. Akibatnya, mereka terasing dari peristiwa-peristiwa penting yang terjadi tak jauh kakinya berpijak. Peristiwa memilukan, suara terbungkam dan kesengsaraan yang membutuhkan puisi sebagai mikrofon dari suara hati mereka.
Apakah ini berarti diagungkannya kembali posisi puisi sebagai l’art pour l’art, seni hanya untuk seni sendiri? Puisi yang hanya berlaku pada mereka yang hidup di dalamnya, semacam pemeo ”yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Sebuah ironi, yang tampak mirip dengan gambaran karya Yunani, Tuhan yang Tak Dikenal (Kis. 17:23). Kita tahu bahwa Ia ada, tetapi karena terasa jauh dan sukar dipahami, maka ”pengetahuan” atas-Nya pun menjadi milik segelintir orang saja.
Haruskah puisi kini jadi alien bagi kita? Mari kita menjawabnya.
*) Pemimpin Redaksi Jurnal Budaya Kalimah, Yogyakarta
Senin, 19 September 2011
Malam Nyadar1
Salamet Wahedi *
Jurnal Nasional,29 Agu 2010)
Thuuoong...! thooung...! thooung...!
SIRINE kapal merapat memulai debar dada. Selamat datang di Pulau Madura, sebentang spanduk merah menyala menarik perhatianku. Dan patung karapan sapi, merupakan nilai lebih yang mengakrabkan pulau ini dalam benakku. Seperti tempat-tempat yang aku singgahi, Dermaga Kamal, dan mungkin seluruh petak kenangan yang akan kulalui di Pulau Madura ini, adalah kesederhanaan yang mulai mengelupas. Seperti kegersangan yang pelan-pelan beringsut di beranda hatiku.
Mendekati terminal, ibu tua dan seorang anak merengek, merenyuh desir darahku. Di telinga, di antara lagu Iwan Fals, Siang di Seberang Istana, keluh Rafa mendengung. Seperti sebuah isyarat. Keluh pada malam dia berhasil mencopoti celana kelelakianku.
"Apa yang kau inginkan dariku, lelaki? Sekadar wawancara?" kata Rafa yang malam itu begitu anggun. Tatapannya penuh gairah. Seulas senyumnya menghentak nalarku. Tak bisa ditahan lagi, rona mukaku berubah. Cepat-cepat kutepis dengan anggukan satu kali. Pelan. Penuh kesungguhan.
"Tidakkah kau akan menikmati ‘jajanan yang tidak berbungkus daun' malam ini?"
Jajanan tak berbungkus daun? Ah Rafa termasuk perempuan penuh imaji. Tidak adakah jalan lain Rafa?, aku membatin. Rafa begitu memikat, setiap pertanyaan yang kucoba sodorkan, disimpannya dalam simpul senyum manisnya. Lama-lama tak dapat kuhindari tatapannya yang teduh tapi runcing. Apalagi aroma tubuhnya, desah napasnya. Aku tak lagi dapat mengelak. Ia tak hanya memikatku. Tapi, ia membuatku kagum dan bangga padanya. Ia tangguh dan penuh imajinasi. Kata-katanya meluncur ritmis. Apalagi ditambah cahaya matanya yang berkaca-kaca.
"Rafa!" lenguhku meregang ngilu. Lagi-lagi Rafa melempar senyum melihat tubuhku mengejang. Tangannya membelai kepalaku yang rebah dekat ketiaknya. Rafa seperti guru geografiku. Ia begitu lugas mengajariku tentang ilmu bumi. Ia pemandu wisata yang lihai. Diperkenalkannya aku pada gunung yang selalu berdegup. Diajaknya aku menyelam, merasakan kehangatan sungai. Juga ditunjukkannya padaku bagaimana cicak lekat di dinding.
***
"Sumenep! Sumenep!"
SUARA seorang kondektur melintas di ujung retina. Memancingku mempercepat langkah. Sampai dekat loket karcis ibu tua itu terus mengejarku, manatapku penuh asa. Tangannya tiada pegal-pegalnya menadah. Dan anaknya bergelantungan di tanganku. "Om minta uang, Om. Aku belum makan," kata anak itu, kedua matanya begitu sayu. Tapi, begitu jernih. Mata yang runcing. Sedang si ibu, tampak mengiba. Ibu yang lusuh. Pakaiannya terkesan tak dicuci. Bibirnya pecah-pecah kering. Dan garis wajahnya penuh debu. Aku pun merogoh uang kecil di kantong celana.
Mungkin inilah yang diceritakan Rafa sebagai pemanggul sejarah buta. Sosok yang tak pernah dilihat dan disaksikan dengan saksama. Ya, kata Rafa, iklan dan orasi politik elite kita menggembar-gemborkan kesejahteraan kita semakin meningkat. Bahkan dengan bangganya mereka memamerkan bisnis ekspor kantong pengusaha mereka. Tanpa mau menengok bagaimana nasib orang tua dan generasi bangsa ini masih tercecer di pinggir-pinggi jalan.
Meski sebagai wanita tuna susila, Rafa selalu mengesaniku dengan kata-kata yang meluap ‘pedas'. Kata-kata yang meluncur sederas desahnya merengkuh tubuhku.
"Apa yang dapat kita dapatkan di negeri ini. Hanya dongeng dan janji. Para pejabat kita tak ubahnya para penyair yang tiada henti merangkai kata."
"Dan pilihanmu?" tanyaku dengan wajah melucu. Menggodanya untuk melempar cubitannya ke perutku waktu itu.
"Kupilih jalanku. Seperti angin memilih ruang di mana ia akan bersemayam," sungging Rafa mencibir.
"Puitis banget," sontak kata-kataku membuat mata Rafa ngacir ke langit luas.
Ah Rafa, kau mengingatkanku pada kisah Perempuan di Titik Nol!
***
"Tanah merah! Partelon pasar! Rombongan!"
MATAHARI telah beranjak melewati garis puncak. Dengan sebersit cahaya banal yang meredup, ia menyapa ladang-ladang menghijau tua di kanan-kiriku. Bus melaju 50 km per jam. Di kejauhan, pohonan, orang-orangan timbul tenggelam. Seperti ingatan yang nanar. Dan senja lamat-lamat seperti tangan seorang ibu mengusap kepala anaknya. Semburat jingganya seperti gincu perawan membias di kaca bus.
Dan burung-burung? Ah, perjalanan yang begitu eksotis. Setiap jengkal jalan yang kulalui, bak menyimpan serpih kerinduan. Berulang kuarahkan tele kameraku ke obyek yang melintas bak seliweran perempuan di senja Dolly, tempatku nongkrong dan menikmati panorama tubuh. Menikmati pemandangan sepanjang jalan yang senyap, kadang menderu, tambah asyik saja dengan iringan celoteh lagu-lagu jalanan pengamen.
Di sini aku kembali teringat wajah beku Rafa. Wajah yang menuturkan nasib orang-orang di sekitarnya. Dengan aksen Sumenepnya, pada malam ke-59 pertemuan kami, di Taman Bungkul, ia bercerita tentang seorang Rawit. Seorang anak berusia 15 tahun. Usia yang segar untuk menimba ilmu. Tapi sayang, pada usia yang masih belia ini, Rawit memilih belajar di kolong langit lepas. Ia begitu lihai mengamen. Memainkan gitar. Malam-malamnya dihabiskan di jalanan. Bermacam lagu telah menjadi menu pelajaran terbaiknya. Rafa begitu antusias setiap bercerita fragmen suram orang-orang di sekitarnya. Penghayatannya sungguh menakjubkan. Mimik wajahnya, intonasi suaranya, serta gerak bibirnya bak perpaduan busur dan anak panah menembus dadaku. Buru-buru aku memalingkan wajah, saban Rafa mengerling manis.
"Kau lelaki yang kuterima dengan ketelanjanganku. Kuraup seluruh telanjangmu. Kau tuntaskan birahi tanpa lendir kondom."
"Aaaa...." mulutku tercekat diteror tatapan dingin Rafa. Senyumnya menyeringai. Gemulai tangannya menepuk pundakku. Lalu kepalaku....
Laju bus semakin menderu. Keramaian mulai menepi di jalanan. Semburat senja seperti kibasan rambut pirang perempuan muda yang memilih duduk di dekatku. Ia melempar senyum. Tebal bibirnya membuatku berdegup. Oval matanya seperti lorong masa silam. Suram dan penuh hantu tanda tanya. Dan lentik tangannya? Ah....
"Mas turun mana?" kerling mata perempuan di sampingku bak lampu yang membuat mataku bergeragap. Mataku bergegas menangkap raut wajahnya. Lalu aku menjawab sekadarnya, "Sumenep"
"Sumenep? Di mana?"
"Mau ke Nyadar"
"Oh! mas wartawan ya? Sama saya juga mau ke sana. Mas asli mana?"
Seperti pertanyaan sebelumnya, aku hanya menjawab sekadarnya. Aku jelaskan, aku memang seorang wartawan. aku lahir dan besar di Lidah Wetan. Ayahku berasal dari Sukabumi. Ibuku asli Bangkalan.
"Berarti indo dong?" senyumnya seperti sebilah jeruk. Lalu ia memerkenalkan namanya: Asfi, asli Sumenep.
"Saniman," aku balik memperkenalkan diri, ketika kehangatan jabatan tangannya meminta kepastian.
Sepanjang perjalanan, aku mengesani Asfi sebagai sosok perempuan yang bijak. Sosok perempuan yang suka warna kuning. Kata-katanya, seperti awal perjumpaan, seperti sebaris pasukan yang dengan sigap dan penuh perhatian menunggu instruksi. Ceritanya tentang Nyadar yang akan kuliput, membawa sekelebat bayangan gamang: kecemasan, suasana mistis, dan kenangan yang tiba-tiba begitu sentimental menggodaku.
"Nyadar itu semacam ritual syukuran. Ia lahir atas niatan mensyukuri tumbuhnya garam di Girpapas," Asfi begitu lihai menceritakan nyadar. Sekali-kali dialihkannya pandangannya ke tempat kosong. Mengingat-ngingat secuil kenangan yang tercecer, atau menghadirkan suasana yang sungguh menyentuh jiwa.
"Kadang aku bergidik membayangkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan nyadar ladar di luar nalar," tandas Asfi. "Bayangkan saja, bagaimana nasinya panjang3 itu awet. Tidak cepat basi. Bedaknya dapat menyembuhkan penyakit. Yang paling aneh, mungkin bagi orang-orang luar Gir Papas, nyadar bagi masyarakat Gir papas seperti ritual menunaikan haji"
Berulang Asfi menandaskan hal-hal mistis. Mimiknya, setiap ia menguraikan selalu diliputi eksotisme. Semacam gelora jiwa kerinduan. Raut mukanya memancar aura alam lain. Sisi lain orang Madura yang selama ini hanya kukenal dari desas-desus dan secuil sosok Rafa.
"Oh, Hajjah Murdiah," tandas Asfi ketika kutanya tentang Rafa. Asfi lalu menjelaskan panjang lebar tentang sosok dan sepak terjang Rafa, sampai akhirnya ia menunaikan ibadah haji.
Ah Rafa, sosokmu kini tak lagi banal, tapi kau begitu sakral menghentak ilusi dan imajinasiku....
***
MALAM berkelebat riuh. Hembusan debu memenuhi rongga tanah Kebun Dadap. Tanah berlangsungnya ritual agung nyadar, begitu orang-orang Gir Papas menyebutnya. Di tanah Kebun Dadap ini pun, beberapa gambar dalam momen yang eksotis dan penuh romantika sudah memenuhi memori digitalku. Tak ketinggalan arakan bengatowa4 dengan kemeja racok saebu5. Sampan-sampan yang hilir mudik menelan dan memuntahkan penumpang yang berjibun.
Berdesak-desakan di atas sampan kecil kadang aku ngeri. Apalagi ketika sedikit oleng. Sontak mulutku juga berteriak-teriak seperti ibu-ibu. Dua hari di tanah Muaragaram ini, aku seperti melihat denyut nadi gelisahku: antusiasme masyarakat terhadap ritual adat-istiadat, muda-mudi mulai tampil punk dan glamour ke perayaan budaya, pasar malam digelar demi memeriahkan, dan turis-turis yang datang sekadar nampang. Ah, rasa gelisah itu tidak hanya bergolak di setiap titik nadir darahku, tapi mulai meruncing menusuk mata setiap kuarahakan tele kamera untuk mengambil gambar. Gambar-gambar itu seolah hendak berbicara. Tapi sayang gemerlap lampu Phillips yang mengganti lampu talpe, membuatnya ngungu terpaku bisu. Ah inikah nyadar yang eksotis itu, Rafa!
Menjelang tengah malam, Asfi mengajakku ziarah.
"Kalau tengah malam begini sudah sepi. Kita akan sedikit tenang memanjatkan doa. Abang nanti bisa merasakan sendiri bagaimana hawa mistis yang sering aku rasakan dan aku ceritakan," wajah Asfi yang tampak lebih segar dan berbinar. Senyumnya yang berulang di lemparkannya membuatku berdegup. Setiap kali kutepis gemuruh yang menjalari pori-pori darah, setiap itu pula ada hawa aneh yang menghentak alam bawah sadar. Hawa yang menyelusup seperti gulungan asap. Hawa yang lewat rongga dadaku seiring udara yang berlari-lari kecil. Dan lamat-lamat, di ujung gulungan asap, aku melihat wajah lain di wajah Asfi....
Duduk depan pasarean Mbah Anggasuto, aku hanya tertunduk sendu. Suasana yang hening dan senyap, menghapus tumpukan debu di jantungku, di otakku, di kelenjar darahku. Sesekali percakapan pelan dan penuh intonasi bengatowa, menyentuh gendang telinga. Seperti kuku angin mengelus kulit ariku.
Tak ada doa yang bisa kurapal. Hanya kelebat udara dingin dan penuh sentuhan, terus kurasakan. Kutangkap. Kupasang segenap panca indera dalam posisi on. Semakin lama kelebat yang membuat bulu roma berdiri, semakin pekat dan menyedot jiwaku dalam pusara sunyinya. Apalagi Asfi dengan telaten menuntunku dari pasarean5 satu ke pasarean lainnya. Seperti burung, aku seperti berkelana di cakrawala mistis tanpa batas. Dan setiap kali kumasuki pintu kecil pasarean, aku merasakan getar rindu yang dalam dan berat.
Cahaya bulan yang menyelinap di antara daun-daun pohon asam tak ubahnya kerling berpuluh pasang lancheng-paraben6. Berpuluh pasang yang mengendap di tempat-tempat gelap seperti burung-burung membagi kehangatan. Dan esoknya, mereka akan bercerita dengan malu-malu akan sejarah yang diukirnya di antara gelap kubangan sampan yang belum selesai. Di antara nisan-nisan yang setiap menangguk sepi.
Melewati titik puncak malam, para pedagang mulai memberesi barang-barangnya, dan keramaian pun menepi. Di beberapa celah jalan, hanya kelengangan yang bertahan. Kepul debu tidak sekelabu maghrib. Melintas di area pasar malam nyadar, dengan sesekali mencari obyek yang eksotis, aku merasa diradar sepasang mata gaib. Bahkan beberapa kali aku canggung. Orang-orang menyapa, menawarkan sisa dagangannya seperti datang dari masa lalu. Dan lamat-lamat wajah Rafa, membercak di setiap sudut malam. Ah, Hajjah Murdiah!
" Apa yang kau lamunkan Saniman?
Sebilah tangan menepuk bahuku. Terawangku mengawang. Dan alam bawah sadarku, seperti dikena reruntuh kota sehabis perang. Inikah luka kenangan dan rindu? Mataku semakin berkunang-kunang menyirap gulusan debu dan rasa. Rafa, ah Hajjah Murdiah balutan tubuhmu menebar embun cahaya, seruku dalam hati melihat sosok yang menepukku.
Dan yang paling membuatku membatu dan tidak mampu sekadar menggerakkan tele kameraku, seorang bocah yang menggelayut di sisi kiri Rafa, ah! Hajjah Murdiah. Bocah bermata jernih. Senyumnya menyimpan kilat tajam. Dan sepotong belati mainan diacung-acungkannya ke dadaku.
Sumenep-Surabaya, April 2009
Catatan:
1. Nyadar: ritual syukuran yang dilakukan masyarakat Pinggir Papas. Ritual ini dilakukan setiap tahun. Ritual ini merupakan adat-istiadat yang terus berlangsung sampai sekarang. Nyadar dilaksanakan tiga tahap. Nyadar pertama dan kedua dilaksanakan di Desa Kebun Dadap. Dan nyadar ketiga dilaksanakan di Desa Pinggir Papas.
2. Perempuan di Titik Nol: novel karya Nawal El-Saadawi, pengarang perempuan Mesir.
3.Panjang: piring besar yang digunakan dalam ritual nyadar.
4. Bengatowa: sesepuh/pemangku adat.
5. Pasarean: kuburan
6. Lancheng-paraben: perjaka-perawan.
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=465257722274
Jurnal Nasional,29 Agu 2010)
Thuuoong...! thooung...! thooung...!
SIRINE kapal merapat memulai debar dada. Selamat datang di Pulau Madura, sebentang spanduk merah menyala menarik perhatianku. Dan patung karapan sapi, merupakan nilai lebih yang mengakrabkan pulau ini dalam benakku. Seperti tempat-tempat yang aku singgahi, Dermaga Kamal, dan mungkin seluruh petak kenangan yang akan kulalui di Pulau Madura ini, adalah kesederhanaan yang mulai mengelupas. Seperti kegersangan yang pelan-pelan beringsut di beranda hatiku.
Mendekati terminal, ibu tua dan seorang anak merengek, merenyuh desir darahku. Di telinga, di antara lagu Iwan Fals, Siang di Seberang Istana, keluh Rafa mendengung. Seperti sebuah isyarat. Keluh pada malam dia berhasil mencopoti celana kelelakianku.
"Apa yang kau inginkan dariku, lelaki? Sekadar wawancara?" kata Rafa yang malam itu begitu anggun. Tatapannya penuh gairah. Seulas senyumnya menghentak nalarku. Tak bisa ditahan lagi, rona mukaku berubah. Cepat-cepat kutepis dengan anggukan satu kali. Pelan. Penuh kesungguhan.
"Tidakkah kau akan menikmati ‘jajanan yang tidak berbungkus daun' malam ini?"
Jajanan tak berbungkus daun? Ah Rafa termasuk perempuan penuh imaji. Tidak adakah jalan lain Rafa?, aku membatin. Rafa begitu memikat, setiap pertanyaan yang kucoba sodorkan, disimpannya dalam simpul senyum manisnya. Lama-lama tak dapat kuhindari tatapannya yang teduh tapi runcing. Apalagi aroma tubuhnya, desah napasnya. Aku tak lagi dapat mengelak. Ia tak hanya memikatku. Tapi, ia membuatku kagum dan bangga padanya. Ia tangguh dan penuh imajinasi. Kata-katanya meluncur ritmis. Apalagi ditambah cahaya matanya yang berkaca-kaca.
"Rafa!" lenguhku meregang ngilu. Lagi-lagi Rafa melempar senyum melihat tubuhku mengejang. Tangannya membelai kepalaku yang rebah dekat ketiaknya. Rafa seperti guru geografiku. Ia begitu lugas mengajariku tentang ilmu bumi. Ia pemandu wisata yang lihai. Diperkenalkannya aku pada gunung yang selalu berdegup. Diajaknya aku menyelam, merasakan kehangatan sungai. Juga ditunjukkannya padaku bagaimana cicak lekat di dinding.
***
"Sumenep! Sumenep!"
SUARA seorang kondektur melintas di ujung retina. Memancingku mempercepat langkah. Sampai dekat loket karcis ibu tua itu terus mengejarku, manatapku penuh asa. Tangannya tiada pegal-pegalnya menadah. Dan anaknya bergelantungan di tanganku. "Om minta uang, Om. Aku belum makan," kata anak itu, kedua matanya begitu sayu. Tapi, begitu jernih. Mata yang runcing. Sedang si ibu, tampak mengiba. Ibu yang lusuh. Pakaiannya terkesan tak dicuci. Bibirnya pecah-pecah kering. Dan garis wajahnya penuh debu. Aku pun merogoh uang kecil di kantong celana.
Mungkin inilah yang diceritakan Rafa sebagai pemanggul sejarah buta. Sosok yang tak pernah dilihat dan disaksikan dengan saksama. Ya, kata Rafa, iklan dan orasi politik elite kita menggembar-gemborkan kesejahteraan kita semakin meningkat. Bahkan dengan bangganya mereka memamerkan bisnis ekspor kantong pengusaha mereka. Tanpa mau menengok bagaimana nasib orang tua dan generasi bangsa ini masih tercecer di pinggir-pinggi jalan.
Meski sebagai wanita tuna susila, Rafa selalu mengesaniku dengan kata-kata yang meluap ‘pedas'. Kata-kata yang meluncur sederas desahnya merengkuh tubuhku.
"Apa yang dapat kita dapatkan di negeri ini. Hanya dongeng dan janji. Para pejabat kita tak ubahnya para penyair yang tiada henti merangkai kata."
"Dan pilihanmu?" tanyaku dengan wajah melucu. Menggodanya untuk melempar cubitannya ke perutku waktu itu.
"Kupilih jalanku. Seperti angin memilih ruang di mana ia akan bersemayam," sungging Rafa mencibir.
"Puitis banget," sontak kata-kataku membuat mata Rafa ngacir ke langit luas.
Ah Rafa, kau mengingatkanku pada kisah Perempuan di Titik Nol!
***
"Tanah merah! Partelon pasar! Rombongan!"
MATAHARI telah beranjak melewati garis puncak. Dengan sebersit cahaya banal yang meredup, ia menyapa ladang-ladang menghijau tua di kanan-kiriku. Bus melaju 50 km per jam. Di kejauhan, pohonan, orang-orangan timbul tenggelam. Seperti ingatan yang nanar. Dan senja lamat-lamat seperti tangan seorang ibu mengusap kepala anaknya. Semburat jingganya seperti gincu perawan membias di kaca bus.
Dan burung-burung? Ah, perjalanan yang begitu eksotis. Setiap jengkal jalan yang kulalui, bak menyimpan serpih kerinduan. Berulang kuarahkan tele kameraku ke obyek yang melintas bak seliweran perempuan di senja Dolly, tempatku nongkrong dan menikmati panorama tubuh. Menikmati pemandangan sepanjang jalan yang senyap, kadang menderu, tambah asyik saja dengan iringan celoteh lagu-lagu jalanan pengamen.
Di sini aku kembali teringat wajah beku Rafa. Wajah yang menuturkan nasib orang-orang di sekitarnya. Dengan aksen Sumenepnya, pada malam ke-59 pertemuan kami, di Taman Bungkul, ia bercerita tentang seorang Rawit. Seorang anak berusia 15 tahun. Usia yang segar untuk menimba ilmu. Tapi sayang, pada usia yang masih belia ini, Rawit memilih belajar di kolong langit lepas. Ia begitu lihai mengamen. Memainkan gitar. Malam-malamnya dihabiskan di jalanan. Bermacam lagu telah menjadi menu pelajaran terbaiknya. Rafa begitu antusias setiap bercerita fragmen suram orang-orang di sekitarnya. Penghayatannya sungguh menakjubkan. Mimik wajahnya, intonasi suaranya, serta gerak bibirnya bak perpaduan busur dan anak panah menembus dadaku. Buru-buru aku memalingkan wajah, saban Rafa mengerling manis.
"Kau lelaki yang kuterima dengan ketelanjanganku. Kuraup seluruh telanjangmu. Kau tuntaskan birahi tanpa lendir kondom."
"Aaaa...." mulutku tercekat diteror tatapan dingin Rafa. Senyumnya menyeringai. Gemulai tangannya menepuk pundakku. Lalu kepalaku....
Laju bus semakin menderu. Keramaian mulai menepi di jalanan. Semburat senja seperti kibasan rambut pirang perempuan muda yang memilih duduk di dekatku. Ia melempar senyum. Tebal bibirnya membuatku berdegup. Oval matanya seperti lorong masa silam. Suram dan penuh hantu tanda tanya. Dan lentik tangannya? Ah....
"Mas turun mana?" kerling mata perempuan di sampingku bak lampu yang membuat mataku bergeragap. Mataku bergegas menangkap raut wajahnya. Lalu aku menjawab sekadarnya, "Sumenep"
"Sumenep? Di mana?"
"Mau ke Nyadar"
"Oh! mas wartawan ya? Sama saya juga mau ke sana. Mas asli mana?"
Seperti pertanyaan sebelumnya, aku hanya menjawab sekadarnya. Aku jelaskan, aku memang seorang wartawan. aku lahir dan besar di Lidah Wetan. Ayahku berasal dari Sukabumi. Ibuku asli Bangkalan.
"Berarti indo dong?" senyumnya seperti sebilah jeruk. Lalu ia memerkenalkan namanya: Asfi, asli Sumenep.
"Saniman," aku balik memperkenalkan diri, ketika kehangatan jabatan tangannya meminta kepastian.
Sepanjang perjalanan, aku mengesani Asfi sebagai sosok perempuan yang bijak. Sosok perempuan yang suka warna kuning. Kata-katanya, seperti awal perjumpaan, seperti sebaris pasukan yang dengan sigap dan penuh perhatian menunggu instruksi. Ceritanya tentang Nyadar yang akan kuliput, membawa sekelebat bayangan gamang: kecemasan, suasana mistis, dan kenangan yang tiba-tiba begitu sentimental menggodaku.
"Nyadar itu semacam ritual syukuran. Ia lahir atas niatan mensyukuri tumbuhnya garam di Girpapas," Asfi begitu lihai menceritakan nyadar. Sekali-kali dialihkannya pandangannya ke tempat kosong. Mengingat-ngingat secuil kenangan yang tercecer, atau menghadirkan suasana yang sungguh menyentuh jiwa.
"Kadang aku bergidik membayangkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan nyadar ladar di luar nalar," tandas Asfi. "Bayangkan saja, bagaimana nasinya panjang3 itu awet. Tidak cepat basi. Bedaknya dapat menyembuhkan penyakit. Yang paling aneh, mungkin bagi orang-orang luar Gir Papas, nyadar bagi masyarakat Gir papas seperti ritual menunaikan haji"
Berulang Asfi menandaskan hal-hal mistis. Mimiknya, setiap ia menguraikan selalu diliputi eksotisme. Semacam gelora jiwa kerinduan. Raut mukanya memancar aura alam lain. Sisi lain orang Madura yang selama ini hanya kukenal dari desas-desus dan secuil sosok Rafa.
"Oh, Hajjah Murdiah," tandas Asfi ketika kutanya tentang Rafa. Asfi lalu menjelaskan panjang lebar tentang sosok dan sepak terjang Rafa, sampai akhirnya ia menunaikan ibadah haji.
Ah Rafa, sosokmu kini tak lagi banal, tapi kau begitu sakral menghentak ilusi dan imajinasiku....
***
MALAM berkelebat riuh. Hembusan debu memenuhi rongga tanah Kebun Dadap. Tanah berlangsungnya ritual agung nyadar, begitu orang-orang Gir Papas menyebutnya. Di tanah Kebun Dadap ini pun, beberapa gambar dalam momen yang eksotis dan penuh romantika sudah memenuhi memori digitalku. Tak ketinggalan arakan bengatowa4 dengan kemeja racok saebu5. Sampan-sampan yang hilir mudik menelan dan memuntahkan penumpang yang berjibun.
Berdesak-desakan di atas sampan kecil kadang aku ngeri. Apalagi ketika sedikit oleng. Sontak mulutku juga berteriak-teriak seperti ibu-ibu. Dua hari di tanah Muaragaram ini, aku seperti melihat denyut nadi gelisahku: antusiasme masyarakat terhadap ritual adat-istiadat, muda-mudi mulai tampil punk dan glamour ke perayaan budaya, pasar malam digelar demi memeriahkan, dan turis-turis yang datang sekadar nampang. Ah, rasa gelisah itu tidak hanya bergolak di setiap titik nadir darahku, tapi mulai meruncing menusuk mata setiap kuarahakan tele kamera untuk mengambil gambar. Gambar-gambar itu seolah hendak berbicara. Tapi sayang gemerlap lampu Phillips yang mengganti lampu talpe, membuatnya ngungu terpaku bisu. Ah inikah nyadar yang eksotis itu, Rafa!
Menjelang tengah malam, Asfi mengajakku ziarah.
"Kalau tengah malam begini sudah sepi. Kita akan sedikit tenang memanjatkan doa. Abang nanti bisa merasakan sendiri bagaimana hawa mistis yang sering aku rasakan dan aku ceritakan," wajah Asfi yang tampak lebih segar dan berbinar. Senyumnya yang berulang di lemparkannya membuatku berdegup. Setiap kali kutepis gemuruh yang menjalari pori-pori darah, setiap itu pula ada hawa aneh yang menghentak alam bawah sadar. Hawa yang menyelusup seperti gulungan asap. Hawa yang lewat rongga dadaku seiring udara yang berlari-lari kecil. Dan lamat-lamat, di ujung gulungan asap, aku melihat wajah lain di wajah Asfi....
Duduk depan pasarean Mbah Anggasuto, aku hanya tertunduk sendu. Suasana yang hening dan senyap, menghapus tumpukan debu di jantungku, di otakku, di kelenjar darahku. Sesekali percakapan pelan dan penuh intonasi bengatowa, menyentuh gendang telinga. Seperti kuku angin mengelus kulit ariku.
Tak ada doa yang bisa kurapal. Hanya kelebat udara dingin dan penuh sentuhan, terus kurasakan. Kutangkap. Kupasang segenap panca indera dalam posisi on. Semakin lama kelebat yang membuat bulu roma berdiri, semakin pekat dan menyedot jiwaku dalam pusara sunyinya. Apalagi Asfi dengan telaten menuntunku dari pasarean5 satu ke pasarean lainnya. Seperti burung, aku seperti berkelana di cakrawala mistis tanpa batas. Dan setiap kali kumasuki pintu kecil pasarean, aku merasakan getar rindu yang dalam dan berat.
Cahaya bulan yang menyelinap di antara daun-daun pohon asam tak ubahnya kerling berpuluh pasang lancheng-paraben6. Berpuluh pasang yang mengendap di tempat-tempat gelap seperti burung-burung membagi kehangatan. Dan esoknya, mereka akan bercerita dengan malu-malu akan sejarah yang diukirnya di antara gelap kubangan sampan yang belum selesai. Di antara nisan-nisan yang setiap menangguk sepi.
Melewati titik puncak malam, para pedagang mulai memberesi barang-barangnya, dan keramaian pun menepi. Di beberapa celah jalan, hanya kelengangan yang bertahan. Kepul debu tidak sekelabu maghrib. Melintas di area pasar malam nyadar, dengan sesekali mencari obyek yang eksotis, aku merasa diradar sepasang mata gaib. Bahkan beberapa kali aku canggung. Orang-orang menyapa, menawarkan sisa dagangannya seperti datang dari masa lalu. Dan lamat-lamat wajah Rafa, membercak di setiap sudut malam. Ah, Hajjah Murdiah!
" Apa yang kau lamunkan Saniman?
Sebilah tangan menepuk bahuku. Terawangku mengawang. Dan alam bawah sadarku, seperti dikena reruntuh kota sehabis perang. Inikah luka kenangan dan rindu? Mataku semakin berkunang-kunang menyirap gulusan debu dan rasa. Rafa, ah Hajjah Murdiah balutan tubuhmu menebar embun cahaya, seruku dalam hati melihat sosok yang menepukku.
Dan yang paling membuatku membatu dan tidak mampu sekadar menggerakkan tele kameraku, seorang bocah yang menggelayut di sisi kiri Rafa, ah! Hajjah Murdiah. Bocah bermata jernih. Senyumnya menyimpan kilat tajam. Dan sepotong belati mainan diacung-acungkannya ke dadaku.
Sumenep-Surabaya, April 2009
Catatan:
1. Nyadar: ritual syukuran yang dilakukan masyarakat Pinggir Papas. Ritual ini dilakukan setiap tahun. Ritual ini merupakan adat-istiadat yang terus berlangsung sampai sekarang. Nyadar dilaksanakan tiga tahap. Nyadar pertama dan kedua dilaksanakan di Desa Kebun Dadap. Dan nyadar ketiga dilaksanakan di Desa Pinggir Papas.
2. Perempuan di Titik Nol: novel karya Nawal El-Saadawi, pengarang perempuan Mesir.
3.Panjang: piring besar yang digunakan dalam ritual nyadar.
4. Bengatowa: sesepuh/pemangku adat.
5. Pasarean: kuburan
6. Lancheng-paraben: perjaka-perawan.
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=465257722274
Untuk Apa Memetakan Penyair Sumatera?
Udo Z. Karzi*
Cybersastra.net, 5 Sep 2003
Aku membaca esai Isbedy Stiawan Z.S., “Jakarta dan Tabung Orba” (Lampung Post, 3 Agustus 2003). Isbedy menyikapi acara Temu-Dialog Penyair se-Sumatera di Padang, Sumatera Barat, 8–13 Agustus 2003. Isinya sama seperti kebanyakan esai yang terbit di koran-koran: daftar sekian banyak nama penyair, media, dan institusi kepenyairan.
Pola serupa juga aku temukan dalam esai Gus tf, “Kepenyairan Sumatera” (Media Indonesia, 3 Agustus 2003). Penyair asal Solok, Sumatera Barat, itu menyebut nama-nama yang secara kebetulan muncul di media massa, terutama yang terbit di Jakarta. Seolah-olah, yang disebut penyair itu hanyalah mereka yang karya-karyanya dimuat di koran Jakarta atau kumpulan puisinya diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar.
Ini sebuah kekeliruan. Isbedy pun demikian, setidaknya, dalam beberapa esainya sehingga muncul penegasan semacam ini, “Saya sependapat dikatakan Agus Hernawan (baca: “Mau Apa Temu-Dialog Penyair Sumatera”, Padang Ekspres, 27 Juli 2003) bahwa Sumatera–pulau yang luasnya selebar Inggris sampai kini tidak memiliki media yang signifikan dan berkualitas. Ironis memang, Sumatera tidak memiliki jurnal, majalah, atau penerbitan sekelas Kalam, Horison, Jurnal Prosa, Jurnal Puisi, Jurnal Cerpen, Media Indonesia, Koran Tempo, Kompas, penerbit buku Indonesia Tera, Bentang, Jendela, Jalasutra, Senayan Abadi, Gama Media, dan masih banyak lagi.” Lalu, Isbedy berkutat pada isu-isu lama: Jawa dan Bali dominan karena diuntungkan berbagai faktor…. Tak perlu aku kutip lagi soal itu di sini.
***
Apa yang menyebabkan penyair menjadi istimewa atau paling tidak merasa harus diistimewakan sehingga kalau ada penyair yang “pensiun” dalam arti tidak menulis lagi, beramai-ramailah penyair yang masih menulis syair dan lumayan produktif menggugat atau menangisi “kematian” sang penyair?
Bersyukurlah mereka yang dianugerahi semangat tinggi menyair, sehingga masih menjadi penyair sampai tua, bahkan sampai meninggal. Namun, penyair yang tidak lagi membuat syair, apakah dengan begitu ia tak bisa lagi disebut penyair? Adakah seorang pensiunan penyair seperti layaknya seorang pensiunan pegawai negeri? Bagaimana pula dengan karya-karya mereka yang sudah lama pensiun? Apakah mereka tidak layak masuk dalam peta kepenyairan terkini meskipun mereka masih hidup?
Seorang “pensiunan penyair” berkata, “Ternyata lebih nikmat membaca, apa saja. Soalnya, apa lagi yang mesti ditulis karena semua sudah ditulis orang.” Bagaimana kita mengartikan ini? Rasa frustrasi, sinisme, atau kritik? Tersirat dalam pikiranku, orang masih menulis (puisi, cerpen, artikel, atau apa pun) di media massa untuk melakukan komunikasi. Tidak lebih tidak kurang. Syair? Pernah suatu ketika aku begitu keranjingan dengan puisi, sehingga semua jenis puisi yang diterbitkan dalam bentuk buku atau dimuat di media massa, aku baca dan mulai membuat puisi. Namun, ketika–sama dengan cerpen–aku menemui nama-nama yang sama dari waktu ke waktu, aku cuma bisa bilang: “Bosan!”
Tentu saja aku tidak bisa begitu mengecilkan arti sebuah karya puisi dan penyair yang menulisnya. Aku akui, mungkin, aku tak mampu melakukan hal yang sama apalagi lebih baik dari itu. Aku hanya teringat pada kampung halamanku. Di desaku yang kini disebut pekon, puisi tak pernah ditulis. Puisi atau apa pun namanya dalam bahasa Lampung hanyalah sesuatu yang diciptakan, mungkin spontan untuk merayu muli sikop (gadis cantik) yang kebetulan lewat. Tak ada orang yang mengaku telah menciptakan sajak. Tak ada yang mengaku dirinya penyair. Syair itu hanya hadir seperti angin lalu. Hanya berarti bagi yang mengucapkan dan seseorang yang dituju. Begitulah.
***
Sumatera gudangnya penyair. Aku sepakat! Tapi pertanyaannya: penyair itu apa? Penyair Sumatera itu yang mana? Perlu benarkah peta penyair Sumatera itu? Bukankah Sumatera telah menjadi Indonesia? Padahal, nama Indonesia sebagai tanah, bangsa, dan bahasa itu baru ada setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dan, sampai sekarang pun keindonesiaan kita masih tetap bermasalah.
Aku teringat Ajib Rosidi. Ia pernah mengatakan bahasa Melayu tidak sama dengan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu adalah bahasa daerah. Di Sumatera, daerah-daerah yang dapat diidentifikasi berbahasa Melayu hanyalah sebagian Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Palembang. Bagaimana dengan bahasa Batak, Aceh, dan Lampung? Ini cukup menjadi soal ketika hendak membuat peta penyair Sumatera.
Ini soal tradisi saja. Bicara syair, dalam budaya lama–belajar dari bahasa Lampung misalnya–syair-syair tak pernah ditulis, ia hanya dihapalkan dan disampaikan. Setelah itu, dilupakan tak mengapa. Tentu saja, kalau ini terus berlanjut, bukan mustahil tradisi bersyair, lisan atau tulisan, pelan-pelan tergerus zaman. Dalam pada itu, kita sepakat terus melestarikan tradisi bersyair itu. Agar tak mudah lupa, sudah saatnya menyeimbangkan antara keberadaan kelisanan dan keberaksaraan.
Jika ada ide membuat peta penyair atau yang lebih luas lagi peta sastrawan Sumatera, aku pikir akan bagus sekali. Hanya, peta yang dibuat tentunya bukan “peta politik penyair”. Sebab, kecondongan itu selalu ada. Gugat-menggugat, antikritik, dan segala jenis keluhan selama ini tak lebih dari pernik-pernik keterkungkungan kaum penyair atau sastrawan.
Tak perlu diributkan soal seseorang yang berhenti bersyair. Sebab, pada akhirnya sastrawan adalah politikus, yang perlu menyosialisasikan pemikiran politiknya (dalam bentuk karya sastra), memerlukan media sosialisasi kalau bukan kampanye seni, yang kadang merasa perlu mendapatkan kewewenangan, kekuasaan atau legitimasi dari masyarakat, serta memperluas wilayah “kekuasaan”-nya ke seluruh antero jagad.
Kesan proyek politik ini menjadi kuat jika penyair malah kembali membangun sentimen lama: soal sentralisme, otonomi, keuangan, ketidakadilan media pusat seraya menyodorkan segudang kelemahan-kelemahan di daerah. Revitalisasi sastra pedalaman atau apa pun namanya terbukti hanya membuat penggagasnya kini berada di puncak popularitas. Setelah itu, berhenti! Jadi, tak perlu ada pemilihan presiden penyair Sumatera atau apa pun namanya.
Peta penyair harus diakui penting bagi mereka yang benar-benar belum pernah masuk ke dunia syair atau berkunjung ke surga para penyair. Walaupun begitu, ia tetap penting dibuat. Bukan untuk sebuah monumen, tetapi untuk bisa menyelami lagi apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana (semacam 5W + 1H). Tidak sekadar peta, barangkali saja dibutuhkan sebuah mekanisme komunikasi di antara pekerja syair, pengawas syair, atau pemantau syair. Ketimbang mengembangkan rasa curiga di antara kita, lebih baik, misalnya, membangun jaringan penyair se-Sumatera untuk menciptakan suasana yang memungkin saling berkomunikasi, berbagi cerita, dan membangun kreativitas baru.
*) Penyair. Buku kumpulan puisi dwibahasa Lampung-Indonesianya: Momentum (2002).
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2003/09/esai-untuk-apa-memetakan-penyair.html
Cybersastra.net, 5 Sep 2003
Aku membaca esai Isbedy Stiawan Z.S., “Jakarta dan Tabung Orba” (Lampung Post, 3 Agustus 2003). Isbedy menyikapi acara Temu-Dialog Penyair se-Sumatera di Padang, Sumatera Barat, 8–13 Agustus 2003. Isinya sama seperti kebanyakan esai yang terbit di koran-koran: daftar sekian banyak nama penyair, media, dan institusi kepenyairan.
Pola serupa juga aku temukan dalam esai Gus tf, “Kepenyairan Sumatera” (Media Indonesia, 3 Agustus 2003). Penyair asal Solok, Sumatera Barat, itu menyebut nama-nama yang secara kebetulan muncul di media massa, terutama yang terbit di Jakarta. Seolah-olah, yang disebut penyair itu hanyalah mereka yang karya-karyanya dimuat di koran Jakarta atau kumpulan puisinya diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar.
Ini sebuah kekeliruan. Isbedy pun demikian, setidaknya, dalam beberapa esainya sehingga muncul penegasan semacam ini, “Saya sependapat dikatakan Agus Hernawan (baca: “Mau Apa Temu-Dialog Penyair Sumatera”, Padang Ekspres, 27 Juli 2003) bahwa Sumatera–pulau yang luasnya selebar Inggris sampai kini tidak memiliki media yang signifikan dan berkualitas. Ironis memang, Sumatera tidak memiliki jurnal, majalah, atau penerbitan sekelas Kalam, Horison, Jurnal Prosa, Jurnal Puisi, Jurnal Cerpen, Media Indonesia, Koran Tempo, Kompas, penerbit buku Indonesia Tera, Bentang, Jendela, Jalasutra, Senayan Abadi, Gama Media, dan masih banyak lagi.” Lalu, Isbedy berkutat pada isu-isu lama: Jawa dan Bali dominan karena diuntungkan berbagai faktor…. Tak perlu aku kutip lagi soal itu di sini.
***
Apa yang menyebabkan penyair menjadi istimewa atau paling tidak merasa harus diistimewakan sehingga kalau ada penyair yang “pensiun” dalam arti tidak menulis lagi, beramai-ramailah penyair yang masih menulis syair dan lumayan produktif menggugat atau menangisi “kematian” sang penyair?
Bersyukurlah mereka yang dianugerahi semangat tinggi menyair, sehingga masih menjadi penyair sampai tua, bahkan sampai meninggal. Namun, penyair yang tidak lagi membuat syair, apakah dengan begitu ia tak bisa lagi disebut penyair? Adakah seorang pensiunan penyair seperti layaknya seorang pensiunan pegawai negeri? Bagaimana pula dengan karya-karya mereka yang sudah lama pensiun? Apakah mereka tidak layak masuk dalam peta kepenyairan terkini meskipun mereka masih hidup?
Seorang “pensiunan penyair” berkata, “Ternyata lebih nikmat membaca, apa saja. Soalnya, apa lagi yang mesti ditulis karena semua sudah ditulis orang.” Bagaimana kita mengartikan ini? Rasa frustrasi, sinisme, atau kritik? Tersirat dalam pikiranku, orang masih menulis (puisi, cerpen, artikel, atau apa pun) di media massa untuk melakukan komunikasi. Tidak lebih tidak kurang. Syair? Pernah suatu ketika aku begitu keranjingan dengan puisi, sehingga semua jenis puisi yang diterbitkan dalam bentuk buku atau dimuat di media massa, aku baca dan mulai membuat puisi. Namun, ketika–sama dengan cerpen–aku menemui nama-nama yang sama dari waktu ke waktu, aku cuma bisa bilang: “Bosan!”
Tentu saja aku tidak bisa begitu mengecilkan arti sebuah karya puisi dan penyair yang menulisnya. Aku akui, mungkin, aku tak mampu melakukan hal yang sama apalagi lebih baik dari itu. Aku hanya teringat pada kampung halamanku. Di desaku yang kini disebut pekon, puisi tak pernah ditulis. Puisi atau apa pun namanya dalam bahasa Lampung hanyalah sesuatu yang diciptakan, mungkin spontan untuk merayu muli sikop (gadis cantik) yang kebetulan lewat. Tak ada orang yang mengaku telah menciptakan sajak. Tak ada yang mengaku dirinya penyair. Syair itu hanya hadir seperti angin lalu. Hanya berarti bagi yang mengucapkan dan seseorang yang dituju. Begitulah.
***
Sumatera gudangnya penyair. Aku sepakat! Tapi pertanyaannya: penyair itu apa? Penyair Sumatera itu yang mana? Perlu benarkah peta penyair Sumatera itu? Bukankah Sumatera telah menjadi Indonesia? Padahal, nama Indonesia sebagai tanah, bangsa, dan bahasa itu baru ada setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dan, sampai sekarang pun keindonesiaan kita masih tetap bermasalah.
Aku teringat Ajib Rosidi. Ia pernah mengatakan bahasa Melayu tidak sama dengan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu adalah bahasa daerah. Di Sumatera, daerah-daerah yang dapat diidentifikasi berbahasa Melayu hanyalah sebagian Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Palembang. Bagaimana dengan bahasa Batak, Aceh, dan Lampung? Ini cukup menjadi soal ketika hendak membuat peta penyair Sumatera.
Ini soal tradisi saja. Bicara syair, dalam budaya lama–belajar dari bahasa Lampung misalnya–syair-syair tak pernah ditulis, ia hanya dihapalkan dan disampaikan. Setelah itu, dilupakan tak mengapa. Tentu saja, kalau ini terus berlanjut, bukan mustahil tradisi bersyair, lisan atau tulisan, pelan-pelan tergerus zaman. Dalam pada itu, kita sepakat terus melestarikan tradisi bersyair itu. Agar tak mudah lupa, sudah saatnya menyeimbangkan antara keberadaan kelisanan dan keberaksaraan.
Jika ada ide membuat peta penyair atau yang lebih luas lagi peta sastrawan Sumatera, aku pikir akan bagus sekali. Hanya, peta yang dibuat tentunya bukan “peta politik penyair”. Sebab, kecondongan itu selalu ada. Gugat-menggugat, antikritik, dan segala jenis keluhan selama ini tak lebih dari pernik-pernik keterkungkungan kaum penyair atau sastrawan.
Tak perlu diributkan soal seseorang yang berhenti bersyair. Sebab, pada akhirnya sastrawan adalah politikus, yang perlu menyosialisasikan pemikiran politiknya (dalam bentuk karya sastra), memerlukan media sosialisasi kalau bukan kampanye seni, yang kadang merasa perlu mendapatkan kewewenangan, kekuasaan atau legitimasi dari masyarakat, serta memperluas wilayah “kekuasaan”-nya ke seluruh antero jagad.
Kesan proyek politik ini menjadi kuat jika penyair malah kembali membangun sentimen lama: soal sentralisme, otonomi, keuangan, ketidakadilan media pusat seraya menyodorkan segudang kelemahan-kelemahan di daerah. Revitalisasi sastra pedalaman atau apa pun namanya terbukti hanya membuat penggagasnya kini berada di puncak popularitas. Setelah itu, berhenti! Jadi, tak perlu ada pemilihan presiden penyair Sumatera atau apa pun namanya.
Peta penyair harus diakui penting bagi mereka yang benar-benar belum pernah masuk ke dunia syair atau berkunjung ke surga para penyair. Walaupun begitu, ia tetap penting dibuat. Bukan untuk sebuah monumen, tetapi untuk bisa menyelami lagi apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana (semacam 5W + 1H). Tidak sekadar peta, barangkali saja dibutuhkan sebuah mekanisme komunikasi di antara pekerja syair, pengawas syair, atau pemantau syair. Ketimbang mengembangkan rasa curiga di antara kita, lebih baik, misalnya, membangun jaringan penyair se-Sumatera untuk menciptakan suasana yang memungkin saling berkomunikasi, berbagi cerita, dan membangun kreativitas baru.
*) Penyair. Buku kumpulan puisi dwibahasa Lampung-Indonesianya: Momentum (2002).
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2003/09/esai-untuk-apa-memetakan-penyair.html
Sabtu, 17 September 2011
Sajak-Sajak Binhad Nurrohmat
http://www2.kompas.com/
Alienasi perempuan semua orang
Kisut bibirmu menggambar selaput cahaya, mengelupas
dari sekujur laut pasang, hitamkan seluruh tanda.
Tangan-tangan lelaki menulis surat cinta
di pesisir basah dengan huruf-huruf besar.
Di dahan bakau kau gantung gaunmu, menyelam
bersama kura-kura, tenggelamkan debar jantung
meletuskan isyarat tak diharapkan.
Seperti laut, surat cinta melulu menunggu,
kalimat-kalimat aneh di sepanjang pesisir,
sebelum digerus arus.
Kau mengerti, cinta cuma ilusi yang diagungkan.
Dan seperti laut, tak ingin pasrah pada celetuk kecil
rasa sepi, juga hasrat iseng berbagi: lalu kembali
seperti laut, kehilangan jejak kering di pantai kemarin.
Warna bibirmu tak berubah, asingkan debar jantung.
Ratusan senja berlewatan
mereka terus menulis surat cinta, seperti arus,
dan percaya: mungkin tak singkat, kelak
isyarat lain tertinggal di sebutir pasir…
Jakarta, 2001
Roman Pelarian
Tak ada di sini gugup jantungmu
hanya kecut tubuh membekas di dinding
dan pekat jelaga pertarungan di batas kota.
Kau hitungkah pedih hidup-mati
saat api kertas puisi membakar jemari
dan sebelum tenda malam-malam kau robohkan diam-diam
seperti srigala mengunci lolongan untuk malam yang lain?
Guncangan besar membuat kau debu ringkih di pojokan.
Siulmu lemah dalam rimbun daunan jati
yang rontok awal pagi.
Jantan secangkir kopi dan getir tembakau
cuma ilusi gagah di senggang hari.
“Harap tenang, hidup tak ditulis untuk kalah-menang,”
pekikmu di perempatan kota dan tengkukmu hitam dendam.
Musykilkah semua kisah cuma kebetulan?
Terkenang obrolan lama, menjelma surga dingin
penggelitik senyum kecilmu di tanah asing.
Nasib tak terduga, menghunus belati
dan birahi bidadari.
Otot jantungmu akrab semua itu.
Jakarta, 2001
ZS
Kerut peta menjepit pekarangan kecil
berserak sobekan kertas dan jejak cemas.
Dari batas daratan berpasir
kau semat bijian gulma dan tanda angkuh
menjarah sari tubuhmu
mengering di pusat kota termangu.
“Tak akan pulang sampai kota bersih
dari nama-nama besar yang gusar.
Di puncak malam, memohon doa penghangus
rambati langit bersih
menggelegar dan jatuh di alun-alun kota,”
kataku di sebuah minggu pagi yang rapuh.
Matamu pancarkan sajak tak bertidur malam
berkilat merah seperti mata hantu
kangen bidadari usiran.
Di taman kota miris menatap langit
membaca garis takdir dan firasat yang khawatir.
“Mungkin batas itu suatu isyarat arif
lembut dan mengejutkan
saat seluruh kota sedih
dan satu barisan panjang lewati sisi teluk dan tanjung
mengenang sajak-sajak lama dengan duka,”
kataku menjelang minggu terakhir.
Jakarta, 2001
Cerita Luar Kota
Tanganku gemuruh menyentuh selarik sajak
mengiris diam-diam di balik kubah malam.
Jajaran tribune sembunyikan rembetan cemas
menatapi pertunjukan
terguncang dering sebuah perbatasan.
Cinta tak sepenuhnya kelakar
juga getar percuma di sebuah luar kota.
Kau tahu, tak setiap orang lepas jangkar
di bandar-bandar, sebab laut
larutkan iseng yang menyergap di luar maut.
Di dinding kapal, rindu tumpul dan aus
loncati amukan ombak di ujung geladak
lalu mampus!
Jakarta, 2001.
Alienasi perempuan semua orang
Kisut bibirmu menggambar selaput cahaya, mengelupas
dari sekujur laut pasang, hitamkan seluruh tanda.
Tangan-tangan lelaki menulis surat cinta
di pesisir basah dengan huruf-huruf besar.
Di dahan bakau kau gantung gaunmu, menyelam
bersama kura-kura, tenggelamkan debar jantung
meletuskan isyarat tak diharapkan.
Seperti laut, surat cinta melulu menunggu,
kalimat-kalimat aneh di sepanjang pesisir,
sebelum digerus arus.
Kau mengerti, cinta cuma ilusi yang diagungkan.
Dan seperti laut, tak ingin pasrah pada celetuk kecil
rasa sepi, juga hasrat iseng berbagi: lalu kembali
seperti laut, kehilangan jejak kering di pantai kemarin.
Warna bibirmu tak berubah, asingkan debar jantung.
Ratusan senja berlewatan
mereka terus menulis surat cinta, seperti arus,
dan percaya: mungkin tak singkat, kelak
isyarat lain tertinggal di sebutir pasir…
Jakarta, 2001
Roman Pelarian
Tak ada di sini gugup jantungmu
hanya kecut tubuh membekas di dinding
dan pekat jelaga pertarungan di batas kota.
Kau hitungkah pedih hidup-mati
saat api kertas puisi membakar jemari
dan sebelum tenda malam-malam kau robohkan diam-diam
seperti srigala mengunci lolongan untuk malam yang lain?
Guncangan besar membuat kau debu ringkih di pojokan.
Siulmu lemah dalam rimbun daunan jati
yang rontok awal pagi.
Jantan secangkir kopi dan getir tembakau
cuma ilusi gagah di senggang hari.
“Harap tenang, hidup tak ditulis untuk kalah-menang,”
pekikmu di perempatan kota dan tengkukmu hitam dendam.
Musykilkah semua kisah cuma kebetulan?
Terkenang obrolan lama, menjelma surga dingin
penggelitik senyum kecilmu di tanah asing.
Nasib tak terduga, menghunus belati
dan birahi bidadari.
Otot jantungmu akrab semua itu.
Jakarta, 2001
ZS
Kerut peta menjepit pekarangan kecil
berserak sobekan kertas dan jejak cemas.
Dari batas daratan berpasir
kau semat bijian gulma dan tanda angkuh
menjarah sari tubuhmu
mengering di pusat kota termangu.
“Tak akan pulang sampai kota bersih
dari nama-nama besar yang gusar.
Di puncak malam, memohon doa penghangus
rambati langit bersih
menggelegar dan jatuh di alun-alun kota,”
kataku di sebuah minggu pagi yang rapuh.
Matamu pancarkan sajak tak bertidur malam
berkilat merah seperti mata hantu
kangen bidadari usiran.
Di taman kota miris menatap langit
membaca garis takdir dan firasat yang khawatir.
“Mungkin batas itu suatu isyarat arif
lembut dan mengejutkan
saat seluruh kota sedih
dan satu barisan panjang lewati sisi teluk dan tanjung
mengenang sajak-sajak lama dengan duka,”
kataku menjelang minggu terakhir.
Jakarta, 2001
Cerita Luar Kota
Tanganku gemuruh menyentuh selarik sajak
mengiris diam-diam di balik kubah malam.
Jajaran tribune sembunyikan rembetan cemas
menatapi pertunjukan
terguncang dering sebuah perbatasan.
Cinta tak sepenuhnya kelakar
juga getar percuma di sebuah luar kota.
Kau tahu, tak setiap orang lepas jangkar
di bandar-bandar, sebab laut
larutkan iseng yang menyergap di luar maut.
Di dinding kapal, rindu tumpul dan aus
loncati amukan ombak di ujung geladak
lalu mampus!
Jakarta, 2001.
Kamis, 15 September 2011
Bidadari Pasar
Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
Kau bukan bidadari surga. Maka tubuhmu dilempar ke pintu pasar. Tugasmu hanyalah menolong pembelanja kesasar, bingung di tengah jubel dan hiruk pikuk pedagang, atau ibu ibu yang hendak membeli daging sapi. Daging yang dibantai para jagal malam hari, sebelum paginya dijajahkan di lapak lapak pedagang.*
Kau yang dulu mengesankan, lugu dan mempesona, tiba-tiba menjadi Leak betina yang menjelma seekor burung kedasih. Burung yang membuntuti gerak malamku sembari hinggap di rerimbunan carang bambu. Sorot matamu nanar. Berkilau setajam ujung belati. Sekilas pandang saja, dadaku tercabik beribu sayatan.
Andai santet atau tenun, tak sampai menyeberangi lautan. Tapi Leak..! Leak tak kenal seberangan. Rasanya ke pulau mana pun, tetap kau incar kematianku. Bukan kematian secara wajar dan mudah, melainkan sekaratku dalam sunyi, kelam, merasuk seutas jiwa, penuh bisikan, rintihan, konstan dan pasti. Kalapmu pun seperti tak mau tau, bahwa kematian akan mencuri hal berharga dalam hidupku.
Firda..! Waktu kecil, apa kau tak pernah digendong ibumu. Dibelai dan diayun-ayun sembari melelapkan nakalmu dengan tembang // tak lelo..lelo..lelo.. ledung // Jika pernah, kau pasti menyadari kalau kehidupan itu seperti mata dadu. Sekali kocok, akan wujud tatanan baru. Yang hokki hari ini, mungkin esok kartu mati.
Seribu abad lebih, luka ini meradang dalam tubuh. Rasanya, luapan itu ingin ku bredel dari dadaku. Ku congkel, lalu ku peras. Cairan nanah dan darah pekatnya akan kubasuhkan ke wajahmu. Agar mata, hidung, bibir dan alismu terbahak tawa. Yah.., terbahak hingar. Supaya dendam pada lelaki yang menyakitimu sepadan. Lelaki yang lalu lalang di gerbang cintamu. Atau, lelaki yang sekedar mengintip dari cela jendelanya. Para lelaki sebelum kedatanganku.
Kau ingat! Saat kita bertiga, aku, kau dan lelaki yang kau cintai. Apa yang kau lakukan tatkala kita bertiga? Kau memojokkan aku demi menggaet simpatinya. Kau ingat! Dua minggu sebelum lelaki yang kau harapkan bertahun-tahun itu hendak menikah? Aku ingin mengatakan pada lelakimu yang codet dan bebal, bahwa kau mencintanya. Dengan harapan ia mengurungkan pernikahannya dan menyadari kalau kau menyukainya sejak lama, dan lalu ia menggandengmu ke pelaminan yang sakral itu. Padahal saat itu kau resmi berpacaran denganku.
Firda. Kau memang bukan wanita surga. Tetapi wanita pasar. Wanita yang selalu menjual sampah pun hingga laku. Nganga luka ini adalah saat menjinakkanmu dengan busur runcing yang ku cecam racun asmara. Ku tanya, apa saat ini ada lelaki yang memilikimu? “Tidak,” jawabmu. Aku langsung mengatakan, bantulah aku bagaimana caranya agar aku bisa memilikimu. Sejak saat itulah aku selalu iri kepada hujan. Hujan yang selalu mengguyur tiap aku hendak menanam benih cintaku. Aku pun curiga pada gerimis. Gerimis yang selalu menyaput jaket lusuh dan rambut ikalku tiap hendak mengairi tumbuh dan kembangnya bunga-buah cintaku. Aku juga curiga pada petir. Yang kilatnya hendak menebas sesemian dahan dan ranting cintaku. Namun atas nama kemenangan cinta, segalanya menjadi irama pembebasan. Apalah arti hujan dan gerimis, petirnya pun hanya berondong petasan di hari raya.
Kau memang bukan wanita surga. Tidak. Kau katakana tidak. Kau tau! Tidak adalah konsekuensi keberanian. Tidak dan iya, adalah pilihan. Bahwa mengatakan tidak, harus meninggalkan yang iya. Begitu pula tuk berkata iya, dibutuhkan keberanian untuk menanggalkan yang tidak. Iya dan tidak itu pencarian. Bukan lelunturan gincu bibir wanita yang dilumat laki-laki di ruang cinta.
Mulanya aku membenci lelakimu yang budek dan sok pilih pilih itu. Kenapa ia tak memilihmu. Ternyata, kau yang memang binal. Kejalanganmu menjajahkan cinta obral ke tiap apa dan siapa yang kau kagumi di lapak pasar. Bukan apa yang kau butuhkan.
Meski cebol, lelakimu digandrungi banyak wanita. Bukan karena asmara. Tetapi lalakimu itu lihai menjajahkan dagangan di pasar. Bahkan, demi konsekuensi dia sebagai pedagang, ia rela bertransaksi narkoba hingga dikejar-kejar polisi. Tak cuma itu. Ia juga dikejar dirinya sendiri.
Atau memang kau tak pernah tau, bahwa kau bukan tipe lelaki itu. Sebab ia sering bercerita kepadaku, kalau kekasihnya wanita darah biru di Jogjakarta. Tentu bagi lelakimu, kau terlalu hina dipilihnya. Mestinya, lelakimu itu memberi kejelasan sikap kepadamu, kalau hubungan kalian sebatas kawan dagang. Dan bukan diam seperti mata kail yang umpannya ditarik ulur agar kau tetap bisa dimanfaatkan saat kesepian. Pedagang memang suka menggantungkan transaksi. Kalau pun tidak untung, jangan sampai rugi.
Firda. Kesalahanmu cuma satu. Karena kau wanita. Manusia yang punya cinta, tapi tak berhak menyinta. Kewanitaan wanita ialah ketika ia dicinta. Bukan menyinta. Sebagaimana kelaki-lakian lelaki ialah menyinta. Bukan mengobral cinta di lapak pasar wanita.
Kau memang bidadari pasar. Sejak berseliweran di pintu pasar, aku sering mengamatimu dari warung reot tepi sungai yang tak jauh dari pintu pasar. Aku juga melihat ketika kau harus kelayapan luar kota hingga basah kuyup mencari dagangan. Itulah kau. Yang aku pikir mengerti kehidupan di luar pasar. Untuk menjengukku saja yang hampir sekarat, kau tak peduli. Kau benar benar bulat menjadi bola dagangan. Tak lagi menjadi segumpal salju di gurun es. Salju yang menyejukkan pendakianku. Kenapa kau tak berguru pada pengemis berkaki buntung yang tiap pagi duduk di emperan pasar. Bahwa dibutuhkan orang lain untuk melengkapi kekurangan. Atau mengeja wanita tua yang selalu kesiangan sampai di pasar. Wanita yang harus berjalan kaki sejauh 17 km sambil menggendong ranting jelagar. Yah…, wanita pedagang kayu bakar. Karena di tempatnya tak ada yang bisa dijual kecuali ranting jelagar.
***
“Kau terlalu ego mas..! Tak demokratis. Anti gender. Tak ubahnya Datuk Maringgi yang membeli gadis-gadis belia sebagai pemuas selakangan. Bahkan kau tak ubahnya Ayah, yang menjaring Ibu sebagai tawanan sangkar madu. ” Keliatmu membela diri. Tapi jauh di balik aktingmu, kau tanggung tuk hidup bersamaku, setelah tak bersanding dengan lelaki yang kau idamkan. Padahal, berpoles sedikit saja, kau laku ditawar saudagar.
Firda. Sekarang bukan zaman Siti Nurbaya. Lelaki pun eggan menjadi Datuk Maringgi. Zaman siber, sms dan facebook, Datuk Maringgi pasti dikhianati. Tetapi memilih wanita pendamping hidup itu hak laki laki. Sebagaimana menolak adalah hak wanita. Untuk menetapkan pilihanku padamu, bagiku adalah pencarian hidup. Kau telah menyingkirkan milyatan wanita. Yang karena mereka wanita, bisa saja berpotensi menjadi istriku. Tapi aku tak memilih mereka. Aku memilihmu. Sebab aku percaya kau mampu menjaga anak dan keutuhan rumah tangga nantinya.
Pun juga demikian. Diam diam aku adalah lelaki istimewa bagimu. Sebab dari ribuan lelaki, akulah yang nyata pernah serius mengajakmu berumah tangga. Sedang yang lain, hanyalah mengajakmu bermain jarakte cinta. Sejak itulah aku mengerti, kau memang bukan bidadari surga. Tak ubahnya yang lain, wanita yang tak kunjung selesai dengan dirinya sendiri. Kau pikir, sebelum menikah, aku tak faham, bahwa cinta itu hanya ada sebelum pernikahan. Cinta tak bisa dimakan! Setelah menikah, cinta berganti menjadi tuntutan.
Firda. kau tak seperti istri kaisar yang membangun imperium di kota tua. Sebuah bangunan yang lekuk tekturnya diabadikan hingga berpuluh peradaban. Kau malah memilih tanah lapang. Dengan ribuan kawan sepermainan dan sibuk membikin bilik gubuk dari lembaran koran.
***
Firda. Sengaja umpatan ini ku pendam dalam dada. Walau Rendra berpesan “setiap ruang yang tertutup akan meledak. Karena tak akan mampu menghadang tenaga cinta dari waktu.” Sesungguhnya aku juga ingin lari darimu. Kau ingat! Saat aku dan pamanmu menganggapmu sebagai tali emas. Tangan kirimu ku tarik kuat, sendang tangan kananmu ditarik pamanmu lebih kuat. Lebih kuat. Tak sekedar ombang ambing. Tak. Tubuhmu pun letih dan sakit. Kau menjerit. Tidak padaku, juga pamanmu. Aku yang tak tega melihat lunglai tubuhmu, kemudian melepaskanmu. Pamanmu menang. Ia membawamu lari ke rumah idaman. Ia pun sudah mempersiapkan calon suami untukmu. Aku kalah. Aku tak mampu mempertahankan dirimu dalam dekapan hangat tulang rusukku. Aku lelaki tak seperti yang kau bayangkan.
Aku berharap beberapa detik kemudian, kau mengerti. Bahwa melepasmu setara membebaskan kau kala kesakitan. Dengan melepasmu, kau tak terombang ambing lagi. Padahal bagiku, serasa melepas separuh nyawaku. Aku kehilangan harta paling berharga dalam hidup. Ah. Kau memang dagangan pasar. Tak mengerti rumus bahwa yang mengalah dalam sebuah perhelatan, adalah yang menang.
Firda. Seperti yang sudah lalu, tiap tahun baru aku sibuk menghitung waktu. Tahun baru kemarin, kutulis di dinding facebookku, ”tiap tahun baru menjelang, usia makin berkurang. Kita kian tua. Sementara tak kunjung datang bidadari surga.” Menu di profil facebook, hanyalah bidadari pasar yang terpampang untuk dijual. For Sale.
Catatan: * serapan puisi Mardi Luhung.
Jarakte: sejenis permainan petak umpet.
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
Kau bukan bidadari surga. Maka tubuhmu dilempar ke pintu pasar. Tugasmu hanyalah menolong pembelanja kesasar, bingung di tengah jubel dan hiruk pikuk pedagang, atau ibu ibu yang hendak membeli daging sapi. Daging yang dibantai para jagal malam hari, sebelum paginya dijajahkan di lapak lapak pedagang.*
Kau yang dulu mengesankan, lugu dan mempesona, tiba-tiba menjadi Leak betina yang menjelma seekor burung kedasih. Burung yang membuntuti gerak malamku sembari hinggap di rerimbunan carang bambu. Sorot matamu nanar. Berkilau setajam ujung belati. Sekilas pandang saja, dadaku tercabik beribu sayatan.
Andai santet atau tenun, tak sampai menyeberangi lautan. Tapi Leak..! Leak tak kenal seberangan. Rasanya ke pulau mana pun, tetap kau incar kematianku. Bukan kematian secara wajar dan mudah, melainkan sekaratku dalam sunyi, kelam, merasuk seutas jiwa, penuh bisikan, rintihan, konstan dan pasti. Kalapmu pun seperti tak mau tau, bahwa kematian akan mencuri hal berharga dalam hidupku.
Firda..! Waktu kecil, apa kau tak pernah digendong ibumu. Dibelai dan diayun-ayun sembari melelapkan nakalmu dengan tembang // tak lelo..lelo..lelo.. ledung // Jika pernah, kau pasti menyadari kalau kehidupan itu seperti mata dadu. Sekali kocok, akan wujud tatanan baru. Yang hokki hari ini, mungkin esok kartu mati.
Seribu abad lebih, luka ini meradang dalam tubuh. Rasanya, luapan itu ingin ku bredel dari dadaku. Ku congkel, lalu ku peras. Cairan nanah dan darah pekatnya akan kubasuhkan ke wajahmu. Agar mata, hidung, bibir dan alismu terbahak tawa. Yah.., terbahak hingar. Supaya dendam pada lelaki yang menyakitimu sepadan. Lelaki yang lalu lalang di gerbang cintamu. Atau, lelaki yang sekedar mengintip dari cela jendelanya. Para lelaki sebelum kedatanganku.
Kau ingat! Saat kita bertiga, aku, kau dan lelaki yang kau cintai. Apa yang kau lakukan tatkala kita bertiga? Kau memojokkan aku demi menggaet simpatinya. Kau ingat! Dua minggu sebelum lelaki yang kau harapkan bertahun-tahun itu hendak menikah? Aku ingin mengatakan pada lelakimu yang codet dan bebal, bahwa kau mencintanya. Dengan harapan ia mengurungkan pernikahannya dan menyadari kalau kau menyukainya sejak lama, dan lalu ia menggandengmu ke pelaminan yang sakral itu. Padahal saat itu kau resmi berpacaran denganku.
Firda. Kau memang bukan wanita surga. Tetapi wanita pasar. Wanita yang selalu menjual sampah pun hingga laku. Nganga luka ini adalah saat menjinakkanmu dengan busur runcing yang ku cecam racun asmara. Ku tanya, apa saat ini ada lelaki yang memilikimu? “Tidak,” jawabmu. Aku langsung mengatakan, bantulah aku bagaimana caranya agar aku bisa memilikimu. Sejak saat itulah aku selalu iri kepada hujan. Hujan yang selalu mengguyur tiap aku hendak menanam benih cintaku. Aku pun curiga pada gerimis. Gerimis yang selalu menyaput jaket lusuh dan rambut ikalku tiap hendak mengairi tumbuh dan kembangnya bunga-buah cintaku. Aku juga curiga pada petir. Yang kilatnya hendak menebas sesemian dahan dan ranting cintaku. Namun atas nama kemenangan cinta, segalanya menjadi irama pembebasan. Apalah arti hujan dan gerimis, petirnya pun hanya berondong petasan di hari raya.
Kau memang bukan wanita surga. Tidak. Kau katakana tidak. Kau tau! Tidak adalah konsekuensi keberanian. Tidak dan iya, adalah pilihan. Bahwa mengatakan tidak, harus meninggalkan yang iya. Begitu pula tuk berkata iya, dibutuhkan keberanian untuk menanggalkan yang tidak. Iya dan tidak itu pencarian. Bukan lelunturan gincu bibir wanita yang dilumat laki-laki di ruang cinta.
Mulanya aku membenci lelakimu yang budek dan sok pilih pilih itu. Kenapa ia tak memilihmu. Ternyata, kau yang memang binal. Kejalanganmu menjajahkan cinta obral ke tiap apa dan siapa yang kau kagumi di lapak pasar. Bukan apa yang kau butuhkan.
Meski cebol, lelakimu digandrungi banyak wanita. Bukan karena asmara. Tetapi lalakimu itu lihai menjajahkan dagangan di pasar. Bahkan, demi konsekuensi dia sebagai pedagang, ia rela bertransaksi narkoba hingga dikejar-kejar polisi. Tak cuma itu. Ia juga dikejar dirinya sendiri.
Atau memang kau tak pernah tau, bahwa kau bukan tipe lelaki itu. Sebab ia sering bercerita kepadaku, kalau kekasihnya wanita darah biru di Jogjakarta. Tentu bagi lelakimu, kau terlalu hina dipilihnya. Mestinya, lelakimu itu memberi kejelasan sikap kepadamu, kalau hubungan kalian sebatas kawan dagang. Dan bukan diam seperti mata kail yang umpannya ditarik ulur agar kau tetap bisa dimanfaatkan saat kesepian. Pedagang memang suka menggantungkan transaksi. Kalau pun tidak untung, jangan sampai rugi.
Firda. Kesalahanmu cuma satu. Karena kau wanita. Manusia yang punya cinta, tapi tak berhak menyinta. Kewanitaan wanita ialah ketika ia dicinta. Bukan menyinta. Sebagaimana kelaki-lakian lelaki ialah menyinta. Bukan mengobral cinta di lapak pasar wanita.
Kau memang bidadari pasar. Sejak berseliweran di pintu pasar, aku sering mengamatimu dari warung reot tepi sungai yang tak jauh dari pintu pasar. Aku juga melihat ketika kau harus kelayapan luar kota hingga basah kuyup mencari dagangan. Itulah kau. Yang aku pikir mengerti kehidupan di luar pasar. Untuk menjengukku saja yang hampir sekarat, kau tak peduli. Kau benar benar bulat menjadi bola dagangan. Tak lagi menjadi segumpal salju di gurun es. Salju yang menyejukkan pendakianku. Kenapa kau tak berguru pada pengemis berkaki buntung yang tiap pagi duduk di emperan pasar. Bahwa dibutuhkan orang lain untuk melengkapi kekurangan. Atau mengeja wanita tua yang selalu kesiangan sampai di pasar. Wanita yang harus berjalan kaki sejauh 17 km sambil menggendong ranting jelagar. Yah…, wanita pedagang kayu bakar. Karena di tempatnya tak ada yang bisa dijual kecuali ranting jelagar.
***
“Kau terlalu ego mas..! Tak demokratis. Anti gender. Tak ubahnya Datuk Maringgi yang membeli gadis-gadis belia sebagai pemuas selakangan. Bahkan kau tak ubahnya Ayah, yang menjaring Ibu sebagai tawanan sangkar madu. ” Keliatmu membela diri. Tapi jauh di balik aktingmu, kau tanggung tuk hidup bersamaku, setelah tak bersanding dengan lelaki yang kau idamkan. Padahal, berpoles sedikit saja, kau laku ditawar saudagar.
Firda. Sekarang bukan zaman Siti Nurbaya. Lelaki pun eggan menjadi Datuk Maringgi. Zaman siber, sms dan facebook, Datuk Maringgi pasti dikhianati. Tetapi memilih wanita pendamping hidup itu hak laki laki. Sebagaimana menolak adalah hak wanita. Untuk menetapkan pilihanku padamu, bagiku adalah pencarian hidup. Kau telah menyingkirkan milyatan wanita. Yang karena mereka wanita, bisa saja berpotensi menjadi istriku. Tapi aku tak memilih mereka. Aku memilihmu. Sebab aku percaya kau mampu menjaga anak dan keutuhan rumah tangga nantinya.
Pun juga demikian. Diam diam aku adalah lelaki istimewa bagimu. Sebab dari ribuan lelaki, akulah yang nyata pernah serius mengajakmu berumah tangga. Sedang yang lain, hanyalah mengajakmu bermain jarakte cinta. Sejak itulah aku mengerti, kau memang bukan bidadari surga. Tak ubahnya yang lain, wanita yang tak kunjung selesai dengan dirinya sendiri. Kau pikir, sebelum menikah, aku tak faham, bahwa cinta itu hanya ada sebelum pernikahan. Cinta tak bisa dimakan! Setelah menikah, cinta berganti menjadi tuntutan.
Firda. kau tak seperti istri kaisar yang membangun imperium di kota tua. Sebuah bangunan yang lekuk tekturnya diabadikan hingga berpuluh peradaban. Kau malah memilih tanah lapang. Dengan ribuan kawan sepermainan dan sibuk membikin bilik gubuk dari lembaran koran.
***
Firda. Sengaja umpatan ini ku pendam dalam dada. Walau Rendra berpesan “setiap ruang yang tertutup akan meledak. Karena tak akan mampu menghadang tenaga cinta dari waktu.” Sesungguhnya aku juga ingin lari darimu. Kau ingat! Saat aku dan pamanmu menganggapmu sebagai tali emas. Tangan kirimu ku tarik kuat, sendang tangan kananmu ditarik pamanmu lebih kuat. Lebih kuat. Tak sekedar ombang ambing. Tak. Tubuhmu pun letih dan sakit. Kau menjerit. Tidak padaku, juga pamanmu. Aku yang tak tega melihat lunglai tubuhmu, kemudian melepaskanmu. Pamanmu menang. Ia membawamu lari ke rumah idaman. Ia pun sudah mempersiapkan calon suami untukmu. Aku kalah. Aku tak mampu mempertahankan dirimu dalam dekapan hangat tulang rusukku. Aku lelaki tak seperti yang kau bayangkan.
Aku berharap beberapa detik kemudian, kau mengerti. Bahwa melepasmu setara membebaskan kau kala kesakitan. Dengan melepasmu, kau tak terombang ambing lagi. Padahal bagiku, serasa melepas separuh nyawaku. Aku kehilangan harta paling berharga dalam hidup. Ah. Kau memang dagangan pasar. Tak mengerti rumus bahwa yang mengalah dalam sebuah perhelatan, adalah yang menang.
Firda. Seperti yang sudah lalu, tiap tahun baru aku sibuk menghitung waktu. Tahun baru kemarin, kutulis di dinding facebookku, ”tiap tahun baru menjelang, usia makin berkurang. Kita kian tua. Sementara tak kunjung datang bidadari surga.” Menu di profil facebook, hanyalah bidadari pasar yang terpampang untuk dijual. For Sale.
Catatan: * serapan puisi Mardi Luhung.
Jarakte: sejenis permainan petak umpet.
Kunang-kunang dalam Bir
Agus Noor, Djenar Maesa Ayu
http://cerpenkompas.wordpress.com/
Di kafe itu, ia meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi, benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima. Itulah yang menggelisahkannya, karena ia tahu segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak lagi sama, seperti ketika ia menciumnya pertama kali dulu.
Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas buah dada. Saat itu ia yakin: ia tak mungkin bisa bahagia tanpa dia. ”Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” Kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I just called to say I love you….
Tapi mengapa bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Mestinya saat itu ia tak membiarkan dia pergi. Tak membiarkan dia bergegas meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan yang akhirnya tak pernah membuatnya kembali.
Waktu bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaannya. Kenangannya. Itulah yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang seungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenangannya. Ya, selalu ke kafe ini ia kembali. Untuk gelas bir ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali gelas bir ini pun hanya akan menjadi gelas bir yang sia-sia jika yang ditunggu tidak juga tiba.
”Besok kita ketemu, di kafe kita dulu….”
Ia tak percaya bahwa dia akhirnya meneleponnya.
”Kok diam….”
”Hmmm.”
”Bisa kita ketemu?”
”Ya.”
”Tunggu aku,” dia terdengar berharap. ”Meski aku tak yakin bisa menemuimu.”
Tiba-tiba saja ia berharap kali ini takdir sedikit berbaik hati padanya: semoga saja suaminya mendadak kena ayan atau terserang amnesia, hingga perempuan yang masih dicintainya itu tak merasa cemas menemuinya.
Menemui? Apakah arti kata ini? Yang sangat sederhana, menemui adalah berjumpa. Tapi untuk apa? Hanya untuk sebuah kenangan, atau adakah yang masih berharga dari ciuman-ciuman masa lalu itu? Masa yang harusnya mereka jangkau dulu. Dulu, ketika ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas dada. Ketika ia yakin, ia tak mungkin bahagia tanpa dirinya.
Ah, ia jadi teringat pada percakapan-percakapan itu. Percakapan di antara ciuman-ciuman yang terasa gemetar dan malu-malu.
”Aku selalu membayangkan, bila nanti kita mati, kita akan menjelma sepasang kunang-kunang.”
Dia tersenyum, kemudian mencium pelan. ”Tapi aku tak mau mati dulu.”
”Kalau begitu, biar aku yang mati dulu. Dan aku akan menjadi kunang-kunang, yang setiap malam mendatangi kamarmu….”
”Hahaha,” dia tertawa renyah. ”Lalu apa yang akan kamu lakukan bila telah menjadi kunang-kunang?”
”Aku akan hinggap di dadamu.”
Dada yang membusung. Dada yang kini pasti makin membusung karena sudah dua anak menyusuinya. Pun dada yang masih ia rindu. Dada yang sarat kenangan. Dada yang akan terlihat mengilap ketika seekor kunang-kunang hinggap di atasnya.
”Kunang-kunang…mau ke mana? Ke tempatku, hinggap dahulu….”
Ia bersenandung sambil membuka satu per satu kancing seragam. Dia yang hanya memejam. Ia seperti melihat seekor kunang-kunang yang perlahan keluar dari kelopak matanya yang terpejam. Seperti ada kunang-kunang di keningnya. Di pipinya. Di hidungnya. Di bibirnya. Di mana-mana. Kamar penuh kunang- kunang beterbangan. Tapi tak ada satu pun kunang-kunang hinggap di dadanya pualam. Dada itu seperti menunggu kunang-kunang jantan.
Ia selalu membayangkan itu. Sampai kini pun masih terus membayangkannya. Itulah yang membuatnya masih betah menunggu meski gelas bir ketiga sudah tandas. Selalu terasa menyenangkan membayangkan dia tiba-tiba muncul di pintu kafe, membuat ia selalu betah menunggu meski penyanyi itu telah terdengar membosankan menyanyikan lagu-lagu yang ia pesan.
Ia hendak melambai pada pelayan kafe, ingin kembali memesan segelas bir, ketika dilihatnya seekor kunang-kunang terbang melayang memasuki kafe. Kemudian kunang-kunang itu beterbangan di sekitar panggung. Di sekitar kafe yang ingar bingar namun terasa murung. Murung menapak geliat lidah pada tiap jeda tubuhnya. Murung mengharap tiap geliat di liat tubuhnya mengada. Lagi. Di sini. Menjadi nanti.
Adakah kunang-kunang itu pertanda? Adakah kunang-kunang itu hanya belaka imajinasinya? Penyanyi terus menyanyi dengan suara yang bagai muncul dari kehampaan. Dan kafe yang ingar ini makin terasa murung. Tiba-tiba ia menyaksikan ribuan kunang-kunang muncul dari balik keremangan, beterbangan memenuhi panggung. Hingga panggung menjadi gemerlapan oleh pendar cahaya kunang-kunang yang berkilau kekuningan.
Gelas birnya sudah tidak berbusa. Hanya kuning yang diam. Tidak seperti kunang-kunang beterbangan gemerlapan berpendar kekuningan. Kuning di gelas birnya mati. Sementara kuning di luar birnya gemerlapan. Hidup. Ia jadi teringat pada percakapan mereka dulu. Dua hari sebelum dia memilih hidupnya sendiri. Percakapan tentang bir dan kunang-kunang.
”Aku menyukai bir, seperti aku menyukai kunang-kunang,” ia berkata, setelah ciuman yang panjang. ”Warna bir selalu mengingatkanku pada cahaya kunang-kunang. Dan kunang-kunang selalu mengingatkanku kepadamu.”
”Kenapa?”
”Karena di dalam matamu seperti hidup ribuan kuang-kunang. Aku selalu membayangkan ribuan kunang-kunang itu berhamburan keluar dari matamu setiap kau merindukanku.”
”Tapi aku tak pernah merindukanmu.” Dia tersenyum.
”Bohong….”
”Aku tak pernah membohongimu. Kamu yang selalu membohongiku.”
Ia memandang nanar. Seolah tidak yakin apa yang ia dengar salah atau benar. Bohong baginya adalah dusta yang direncanakan. Sementara apa yang ia lakukan dulu adalah pilihan. Dan pilihan hanyalah satu logika yang terpaksa harus diseragamkan. Oleh banyak orang. Olehnya….
”Tidak. Aku tidak bohong.”
”Semakin kau bilang kalau kau tidak bohong, semakin aku tahu kalau kamu berbohong.”
Ia tak menjawab. Tapi bergegas menciumnya. Rakus dan gugup. Begitulah selalu, bila ia merasa bersalah karena telah membohonginya. Seolah ciuman bisa menyembunyikan kebohongannya. Tapi ia tak bohong kalau ia bilang mencintainya. Ia hanya selalu merasa gugup setiap kali nada suaranya terdengar mulai mendesaknya. Karena ia tahu, pada akhirnya, setelah percakapan dan ciuman, dia pasti akan bertanya: ”Apakah kau akan menikahiku?”
Ia menyukai ciuman. Tapi, sungguh, ia tak pernah yakin apakah ia menyukai pernikahan. Kemudian ia berteka-teki: ”Apa persamaan bir dengan kunang-kunang?” Dia menggeleng.
Keduanya akan selalu mengingatkanku padamu. Bila kau mati dan menjelma jadi kunang-kunang, aku akan menyimpanmu dalam botol bir. Kau akan terlihat kuning kehijauan. Tapi kita tak akan pernah tahu bukan, siapa di antara kita yang akan menjadi kunang-kunang lebih dulu? Kita tak akan pernah bisa menduga takdir. Kita bisa meminta segelas bir, tetapi kita tak pernah bisa meminta takdir.
Seperti ia tak pernah meminta perpisahan yang getir.
”Aku mencintaimu, tapi rasanya aku tak mungkin bahagia bila menikah denganmu….”
Hidup pada akhirnya memang pilihan masing-masing. Kesunyian masing-masing. Sama seperti kematian. Semua akan mati karena itulah hukuman yang sejak lahir sudah manusia emban. Tapi manusia tetap bisa memilih cara untuk mati. Dengan cara wajar ataupun bunuh diri. Dengan usia atau cinta. Dengan kalah atau menang?
Pada saat ia tahu, bahwa pada akhirnya perempuan yang paling ia cintai itu benar-benar menikah—bukan dengan dirinya—pada saat itulah ia menyadari ia tak menang, dan perlahan-lahan berubah menjadi kunang-kunang. Kunang-kunang yang mengembara dari kesepian ke kesepian. Kunang-kunang yang setiap malam berkitaran di kaca jendela kamar tidurnya. Pada saat itulah ia berharap, dia tergeragap bangun, memandang ke arah jendela, dan mendapati seekor kunang-kunang yang bersikeras menerobos kaca jendela. Dia pasti tahu, betapa kunang-kunang itu ingin hinggap di dadanya. Sementara suaminya tertidur pulas di sampingnya.
”Aku memilih menikah dengannya, karena aku tahu, hidup akan menjadi lebih mudah dan gampang ketimbang aku menikah denganmu.”
Itulah yang diucapkannya dulu, di kafe ini, saat mereka terakhir bertemu.
”Jangan hubungi aku!”
Lalu dia menciumnya. Lama. Bagi ia, ciuman itu seperti harum bir yang pernah terhapus dari mulutnya.
Barangkali, segalanya akan menjadi mudah bila saat itu diakhiri dengan pertengkaran seperti kisah dalam sinetron murahan. Misal: dia menamparnya sebelum pergi. Memaki-maki, ”Kamu memang laki-laki bajingan!” Atau kata-kata sejenis yang penuh kemarahan. Bukan sebuah ciuman yang tak mungkin ia lupakan.
Dan kini, seperti malam-malam kemarin, ia ada di kafe kenangan ini. Kafe yang harum bir. Kafe yang mengantarkannya pada sebuah ciuman panjang di bibir. Kafe yang selalu membuatnya meneguk kenangan dan kunang-kunang dalam bir. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima?
Ini gelas bir keenam!
Dan ia masih menunggu. Ia melirik ke arah penyanyi itu, yang masih saja menyanyi dengan suara sendu. Ia melihat pelayan itu sudah setengah mengantuk. Tinggal ia seorang di kafe. Barangkali, bila ia bukan pelanggan yang setiap malam berkunjung, pasti pelayan itu sudah mengusirnya dengan halus. Sudah malam, sudah tak ada lagi waktu buat meneguk kenangan.
Pada gelas kedelapan, akhirnya ia bangkit, lalu memanggil pelayan dan membayar harga delapan gelas kenangan yang sudah direguknya habis. Ya, malam pun hampir habis. Sudah tak ada waktu lagi buat kenangan. Sudah tidak ada kenangan dalam gelas bir kedelapan. Setiap kenangan, pada akhirnya punya akhir bukan? Inilah terakhir kali aku ke kafe ini, batinnya. Besok aku tak akan kembali. Kemudian ia beranjak pergi.
***
Malam makin mengendap. Tamu terakhir sudah pergi. Diam dan setengah mengantuk, para pelayan kafe membereskan kursi. Bartender merapikan gelas-gelas yang bergelantungan. Sebentar lagi penjaga malam akan menutup pintu.
Pada saat itulah, terlihat seekor kunang-kunang memasuki kafe. Kunang-kunang itu terbang melayang berputaran, sebelum akhirnya hinggap di gelas bir yang telah kosong.
Jakarta, Coffeewar,
8/26/10 12:38:25 AM
Dijumput dari: http://cerpenkompas.wordpress.com/2010/10/10/kunang-kunang-dalam-bir/
http://cerpenkompas.wordpress.com/
Di kafe itu, ia meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi, benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima. Itulah yang menggelisahkannya, karena ia tahu segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak lagi sama, seperti ketika ia menciumnya pertama kali dulu.
Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas buah dada. Saat itu ia yakin: ia tak mungkin bisa bahagia tanpa dia. ”Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” Kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I just called to say I love you….
Tapi mengapa bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Mestinya saat itu ia tak membiarkan dia pergi. Tak membiarkan dia bergegas meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan yang akhirnya tak pernah membuatnya kembali.
Waktu bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaannya. Kenangannya. Itulah yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang seungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenangannya. Ya, selalu ke kafe ini ia kembali. Untuk gelas bir ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali gelas bir ini pun hanya akan menjadi gelas bir yang sia-sia jika yang ditunggu tidak juga tiba.
”Besok kita ketemu, di kafe kita dulu….”
Ia tak percaya bahwa dia akhirnya meneleponnya.
”Kok diam….”
”Hmmm.”
”Bisa kita ketemu?”
”Ya.”
”Tunggu aku,” dia terdengar berharap. ”Meski aku tak yakin bisa menemuimu.”
Tiba-tiba saja ia berharap kali ini takdir sedikit berbaik hati padanya: semoga saja suaminya mendadak kena ayan atau terserang amnesia, hingga perempuan yang masih dicintainya itu tak merasa cemas menemuinya.
Menemui? Apakah arti kata ini? Yang sangat sederhana, menemui adalah berjumpa. Tapi untuk apa? Hanya untuk sebuah kenangan, atau adakah yang masih berharga dari ciuman-ciuman masa lalu itu? Masa yang harusnya mereka jangkau dulu. Dulu, ketika ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas dada. Ketika ia yakin, ia tak mungkin bahagia tanpa dirinya.
Ah, ia jadi teringat pada percakapan-percakapan itu. Percakapan di antara ciuman-ciuman yang terasa gemetar dan malu-malu.
”Aku selalu membayangkan, bila nanti kita mati, kita akan menjelma sepasang kunang-kunang.”
Dia tersenyum, kemudian mencium pelan. ”Tapi aku tak mau mati dulu.”
”Kalau begitu, biar aku yang mati dulu. Dan aku akan menjadi kunang-kunang, yang setiap malam mendatangi kamarmu….”
”Hahaha,” dia tertawa renyah. ”Lalu apa yang akan kamu lakukan bila telah menjadi kunang-kunang?”
”Aku akan hinggap di dadamu.”
Dada yang membusung. Dada yang kini pasti makin membusung karena sudah dua anak menyusuinya. Pun dada yang masih ia rindu. Dada yang sarat kenangan. Dada yang akan terlihat mengilap ketika seekor kunang-kunang hinggap di atasnya.
”Kunang-kunang…mau ke mana? Ke tempatku, hinggap dahulu….”
Ia bersenandung sambil membuka satu per satu kancing seragam. Dia yang hanya memejam. Ia seperti melihat seekor kunang-kunang yang perlahan keluar dari kelopak matanya yang terpejam. Seperti ada kunang-kunang di keningnya. Di pipinya. Di hidungnya. Di bibirnya. Di mana-mana. Kamar penuh kunang- kunang beterbangan. Tapi tak ada satu pun kunang-kunang hinggap di dadanya pualam. Dada itu seperti menunggu kunang-kunang jantan.
Ia selalu membayangkan itu. Sampai kini pun masih terus membayangkannya. Itulah yang membuatnya masih betah menunggu meski gelas bir ketiga sudah tandas. Selalu terasa menyenangkan membayangkan dia tiba-tiba muncul di pintu kafe, membuat ia selalu betah menunggu meski penyanyi itu telah terdengar membosankan menyanyikan lagu-lagu yang ia pesan.
Ia hendak melambai pada pelayan kafe, ingin kembali memesan segelas bir, ketika dilihatnya seekor kunang-kunang terbang melayang memasuki kafe. Kemudian kunang-kunang itu beterbangan di sekitar panggung. Di sekitar kafe yang ingar bingar namun terasa murung. Murung menapak geliat lidah pada tiap jeda tubuhnya. Murung mengharap tiap geliat di liat tubuhnya mengada. Lagi. Di sini. Menjadi nanti.
Adakah kunang-kunang itu pertanda? Adakah kunang-kunang itu hanya belaka imajinasinya? Penyanyi terus menyanyi dengan suara yang bagai muncul dari kehampaan. Dan kafe yang ingar ini makin terasa murung. Tiba-tiba ia menyaksikan ribuan kunang-kunang muncul dari balik keremangan, beterbangan memenuhi panggung. Hingga panggung menjadi gemerlapan oleh pendar cahaya kunang-kunang yang berkilau kekuningan.
Gelas birnya sudah tidak berbusa. Hanya kuning yang diam. Tidak seperti kunang-kunang beterbangan gemerlapan berpendar kekuningan. Kuning di gelas birnya mati. Sementara kuning di luar birnya gemerlapan. Hidup. Ia jadi teringat pada percakapan mereka dulu. Dua hari sebelum dia memilih hidupnya sendiri. Percakapan tentang bir dan kunang-kunang.
”Aku menyukai bir, seperti aku menyukai kunang-kunang,” ia berkata, setelah ciuman yang panjang. ”Warna bir selalu mengingatkanku pada cahaya kunang-kunang. Dan kunang-kunang selalu mengingatkanku kepadamu.”
”Kenapa?”
”Karena di dalam matamu seperti hidup ribuan kuang-kunang. Aku selalu membayangkan ribuan kunang-kunang itu berhamburan keluar dari matamu setiap kau merindukanku.”
”Tapi aku tak pernah merindukanmu.” Dia tersenyum.
”Bohong….”
”Aku tak pernah membohongimu. Kamu yang selalu membohongiku.”
Ia memandang nanar. Seolah tidak yakin apa yang ia dengar salah atau benar. Bohong baginya adalah dusta yang direncanakan. Sementara apa yang ia lakukan dulu adalah pilihan. Dan pilihan hanyalah satu logika yang terpaksa harus diseragamkan. Oleh banyak orang. Olehnya….
”Tidak. Aku tidak bohong.”
”Semakin kau bilang kalau kau tidak bohong, semakin aku tahu kalau kamu berbohong.”
Ia tak menjawab. Tapi bergegas menciumnya. Rakus dan gugup. Begitulah selalu, bila ia merasa bersalah karena telah membohonginya. Seolah ciuman bisa menyembunyikan kebohongannya. Tapi ia tak bohong kalau ia bilang mencintainya. Ia hanya selalu merasa gugup setiap kali nada suaranya terdengar mulai mendesaknya. Karena ia tahu, pada akhirnya, setelah percakapan dan ciuman, dia pasti akan bertanya: ”Apakah kau akan menikahiku?”
Ia menyukai ciuman. Tapi, sungguh, ia tak pernah yakin apakah ia menyukai pernikahan. Kemudian ia berteka-teki: ”Apa persamaan bir dengan kunang-kunang?” Dia menggeleng.
Keduanya akan selalu mengingatkanku padamu. Bila kau mati dan menjelma jadi kunang-kunang, aku akan menyimpanmu dalam botol bir. Kau akan terlihat kuning kehijauan. Tapi kita tak akan pernah tahu bukan, siapa di antara kita yang akan menjadi kunang-kunang lebih dulu? Kita tak akan pernah bisa menduga takdir. Kita bisa meminta segelas bir, tetapi kita tak pernah bisa meminta takdir.
Seperti ia tak pernah meminta perpisahan yang getir.
”Aku mencintaimu, tapi rasanya aku tak mungkin bahagia bila menikah denganmu….”
Hidup pada akhirnya memang pilihan masing-masing. Kesunyian masing-masing. Sama seperti kematian. Semua akan mati karena itulah hukuman yang sejak lahir sudah manusia emban. Tapi manusia tetap bisa memilih cara untuk mati. Dengan cara wajar ataupun bunuh diri. Dengan usia atau cinta. Dengan kalah atau menang?
Pada saat ia tahu, bahwa pada akhirnya perempuan yang paling ia cintai itu benar-benar menikah—bukan dengan dirinya—pada saat itulah ia menyadari ia tak menang, dan perlahan-lahan berubah menjadi kunang-kunang. Kunang-kunang yang mengembara dari kesepian ke kesepian. Kunang-kunang yang setiap malam berkitaran di kaca jendela kamar tidurnya. Pada saat itulah ia berharap, dia tergeragap bangun, memandang ke arah jendela, dan mendapati seekor kunang-kunang yang bersikeras menerobos kaca jendela. Dia pasti tahu, betapa kunang-kunang itu ingin hinggap di dadanya. Sementara suaminya tertidur pulas di sampingnya.
”Aku memilih menikah dengannya, karena aku tahu, hidup akan menjadi lebih mudah dan gampang ketimbang aku menikah denganmu.”
Itulah yang diucapkannya dulu, di kafe ini, saat mereka terakhir bertemu.
”Jangan hubungi aku!”
Lalu dia menciumnya. Lama. Bagi ia, ciuman itu seperti harum bir yang pernah terhapus dari mulutnya.
Barangkali, segalanya akan menjadi mudah bila saat itu diakhiri dengan pertengkaran seperti kisah dalam sinetron murahan. Misal: dia menamparnya sebelum pergi. Memaki-maki, ”Kamu memang laki-laki bajingan!” Atau kata-kata sejenis yang penuh kemarahan. Bukan sebuah ciuman yang tak mungkin ia lupakan.
Dan kini, seperti malam-malam kemarin, ia ada di kafe kenangan ini. Kafe yang harum bir. Kafe yang mengantarkannya pada sebuah ciuman panjang di bibir. Kafe yang selalu membuatnya meneguk kenangan dan kunang-kunang dalam bir. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima?
Ini gelas bir keenam!
Dan ia masih menunggu. Ia melirik ke arah penyanyi itu, yang masih saja menyanyi dengan suara sendu. Ia melihat pelayan itu sudah setengah mengantuk. Tinggal ia seorang di kafe. Barangkali, bila ia bukan pelanggan yang setiap malam berkunjung, pasti pelayan itu sudah mengusirnya dengan halus. Sudah malam, sudah tak ada lagi waktu buat meneguk kenangan.
Pada gelas kedelapan, akhirnya ia bangkit, lalu memanggil pelayan dan membayar harga delapan gelas kenangan yang sudah direguknya habis. Ya, malam pun hampir habis. Sudah tak ada waktu lagi buat kenangan. Sudah tidak ada kenangan dalam gelas bir kedelapan. Setiap kenangan, pada akhirnya punya akhir bukan? Inilah terakhir kali aku ke kafe ini, batinnya. Besok aku tak akan kembali. Kemudian ia beranjak pergi.
***
Malam makin mengendap. Tamu terakhir sudah pergi. Diam dan setengah mengantuk, para pelayan kafe membereskan kursi. Bartender merapikan gelas-gelas yang bergelantungan. Sebentar lagi penjaga malam akan menutup pintu.
Pada saat itulah, terlihat seekor kunang-kunang memasuki kafe. Kunang-kunang itu terbang melayang berputaran, sebelum akhirnya hinggap di gelas bir yang telah kosong.
Jakarta, Coffeewar,
8/26/10 12:38:25 AM
Dijumput dari: http://cerpenkompas.wordpress.com/2010/10/10/kunang-kunang-dalam-bir/
Tiada Darah di Lamalera
Martin Aleida
http://cerpenkompas.wordpress.com/
Gigil laut utara menggiring kami kemari, ke Laut Sawu yang hangat dan biru begini. Langit begitu rendah. Seperti hendak rebah. Lengkungnya sesekali disaput semburan air yang tegak lurus meniti dalam hembusan napas paru-paru paus pembunuh. Orang-orang yang mendiami pulau kecil di sini menyebut mereka seguni. Sementara aku dan kaumku, mereka beri nama koteklema.
Setahun sekali kami melintas di tengah laut ini, beberapa mil dari rumah penduduk yang jumlahnya tak seberapa. Menyediakan diri sebagai umpan yang akan menghidupi mereka selama laut utara dingin membekukan. Hubungan kami dengan mereka, yang sudah berabad-abad, membuat mereka hafal bahwa paus jenis kami adalah buruan yang mudah ditaklukkan. Sekali tempuling tertancap, kami bukannya melawan, malah mempermudah pertarungan. Kami tidak akan melawan sebagaimana paus pembunuh yang akan menggeliat meronta dalam darah, berputar-putar, menyiksa, mau meremukkan perahu seisi-isinya. Membuat ombak marah, memerah, amisnya mencemari langit yang begitu biru, begitu damai. Terkadang di antara pemburu yang baik hati tapi tak berdaya itu ada yang mati atau tinggal terkatung-katung berminggu-minggu sebelum terdampar di benua selatan. Sementara untuk menaklukkan kami layaknya seperti mengikuti pesta besar yang pada akhirnya toh akan usai.
Begini jalannya pesta perburuan itu. Tempuling yang sudah tertanam di jantung kami dihubungkan dengan leo, tali yang terbuat dari kapas yang dipilin dan disamak, ditambatkan ke sebatang galar di dalam perahu. Sesungguhnya, kami adalah makhluk pemasrah. Kami tahu kami adalah untuk mereka, para pemburu itu. Tetapi, kami ingin mati terhormat dengan berenang menyongsong laut lepas di mana tiada dosa. Karena kami mengejar kematian ke tengah laut, maka para pemburu itu pun terseret tali yang menegang, lurus-lurus menuju tepi langit. Sampai kami lemas kehilangan darah dan tenaga, lalu mati.
Para pemburu itu adalah makhluk yang menertawakan. Yang mereka kerjakan lucu. Mereka tak perlu terjun ke laut sambil menghunus pisau untuk melukai, mencabik-cabik nadi kami supaya darah menyembur lebih deras. Kami akan menemui kematian kami sendiri demi mereka. Kami tahu, mereka tidak berbakat pembunuh. Ini cuma kesalahpahaman yang sudah berabad-abad. Kami tak pernah dipahami.
Langit begitu biru. Semburan-semburan air yang melukis dinding langit membuat hati para pengintai di pantai sana berdebur rasa riang bercampur cemas. Apalagi semburan itu tampak tidak tegak lurus mencakar langit, melainkan condong ke depan, membentuk buah pir yang sedang ranum-ranumnya. Pertanda bahwa lakonnya adalah kami, koteklema, dan bahwa pesta akan berlangsung mudah. Tubuh-tubuh manusia terpacak di atas kaki yang tegak gemetaran. Seperti hendak memecahkan urat leher, mereka berseru sejadi-jadinya begitu melihat semburan napas kami yang sedang menyingkapkan hari yang baru di laut yang hangat ini. ”Baleo…! Baleo…!” Jeritan itu secepat libasan angin bersahut-sahutan dalam lengking yang dipantulkan pasir di pantai dan batu cadas yang mendaki tebing-tebing bukit.
Manisnya hidup ini, kawan. Hari ini 1 Mei, saat mereka yang tak punya apa-apa, kecuali darah dan tenaga, menari-nari di semua benua. Sementara di sini, agama menemukan jiwanya yang sejati. Sesaat lalu, di pantai itu berlangsung misa, di mana doa bercampur dengan mantra kaum Jahiliah untuk memanggil roh kami. Oh… pekerjaan manusia yang sia-sia! Tuhan terlalu baik. Dia tak usah disembah supaya menghanyutkan kami kemari. Adalah seruan hidup kami untuk sengaja datang dan menyerahkan diri. Bukankah kami lebih kuat dari agama, kalau diingat bahwa agama dikenal penduduk pulau kecil itu hanya karena kecelakaan. Dua pastor, dengan tujuan pulau yang lebih besar, terdampar ke kesini. Perahu mereka diterjang badai dan gelombang yang mengamuk.
Tetapi, baiklah kalau misa pemanggil roh sudah telanjur diniatkan. Niat selalu suci. Namun, misa itu tetaplah misa yang ganjil. Lihatlah, di situ tak ada gereja. Cuma ada kapel dan altar yang terbuat dari batu gunung yang ditatah, dionggokkan dengan rasa hormat di pojok dusun. Lelaki dan perempuan mengenakan sarung dan baju terbaik. Mereka berdiri dengan tertib. Kuping mereka tampak lebih besar, yang mereka tadahkan dengan baik-baik, untuk menyimak pastor yang sedang memimpin misa yang digelar di atas pasir putih di bibir pantai. Di bibir pantai…. Pujaan setinggi angkasa dan permohonan yang mengiba-iba kepada Roh Kudus diperdengarkan untuk mengundang kami, para paus, yang diharapkan datang bergulung-gulung dalam jumlah yang akan membuat laut menjadi hitam. Mengalun pula doa bagi orang yang tewas dan hilang dalam perburuan yang ganas tahun kemarin, atau berabad-abad yang silam, agar mereka mendapatkan belaian kasih dan pengampunan Allah di surga.
Ini desa nelayan tiada duanya. Malam-malam terdengar orang mengaji Injil. Kata-kata Ilahiahnya melintasi pintu dan jendela-jendela rumah yang tak pernah ditutup supaya kecipak ikan masuk leluasa. Dan hidup benar-benar terasa duniawi karena di beberapa sudut tercium aroma tuak dan ceracau mereka yang mabuk.
”Baleo..! Baleo…!” Dalam hitungan sekecipak air laut, selusin perahu bercadik meluncur dan dikayuh kuat-kuat. Hati para pemburu itu dikuasai keinginan untuk meratah daging kami, mereguk minyak dan darah kami. Begitu sulitkah sebuah pengertian? Seakan beratus tahun tak pernah cukup untuk memahami bahwa kami melintas di sini untuk memenuhi panggilan penyerahan diri, pengorbanan untuk kelangsungan hidup mereka di pulau yang kering sengsara. Lamalera!
Pandanglah si lamafa, pemegang tempuling yang berdiri di haluan perahu itu. Dia yang segagah itu harus berkelahi menenangkan hatinya yang gentar dan tangannya yang gemetar memegangi tempuling seraya matanya lapar mencari bagian tubuh kami yang paling empuk untuk dirajam. Kalau kami dipahami dengan benar. Kalau saja mereka mengerti bahwa hidup kami memang buat mereka, tak seharusnya hati seorang lamafa adalah campuran kecemasan dan keberanian. Orang semanis dia tak seharusnya menyimpan hasrat membunuh. Sama seperti tidak seharusnya anak-anak kami berniat membunuh kami supaya bisa menyusu di puting susu kami. Kami bukan makhluk yang haus darah sebagaimana manusia di Jawa dan Bali yang memangsa saudaranya sendiri, berpuluh tahun yang lalu, ketika kami sekaum sedang menjelajahi laut selatan. Menjijikkan. Ada jenderal yang bangga telah membinasakan orang tak bersenjata, tak bersalah, jutaan jumlahnya. Jung pecah yu yang kenyang, kata peribahasa. Sesudah pembantaian itu, langit pun tahu siapa yang mati kekenyangan.
Langit semakin biru. Garis pantai terputus-putus terlindung haluan perahu yang menderu, beradu cepat mengejar kami. Para pemburu maju bersama perahu mereka yang begitu sederhana, yang tak pernah berubah sejak ratusan tahun yang lampau sejak kami saling bertemu. Memang, seharusnya seperti itulah. Berangkat dengan doa. Bertolak dengan kesederhanaan. Melaut membawa perut yang hanya sejengkal. Tidak seperti pemburu di daratan lain, yang datang dengan kapal-kapal besi. Tempuling mereka bukan bambu, tapi meriam!
Setengah mil dari iring-iringan kami, tempuling pertama sudah dihunjamkan si lamafa sekuat-kuatnya dengan seluruh tubuhnya ikut mencebur ke laut. Mata senjata itu tertancap persis di jantung seguni jantan. Dalam sekejap, perahu berputar seligat gasing. Ekor si jantan berkelebat menghantam perut perahu. Ombak membalun. Darah menyebar. Darah! Tapi, takkan ada hiu yang punya nyali untuk mendekat karena pemburu itu akan terjun membantu si lamafa dengan membawa pisau atau parang dan menikam hiu yang mendekat. Laut menggelora, gulungan ombak memerah kusumba. Paus pembunuh itu tetap tak rela mati dibunuh. Berputar-putar dia mengitari perahu. Ekornya melibas, menggapai-gapai. Pagi ini, tempuling, pisau, dan parang panjang sudah mencabik-cabik tubuhnya, tapi baru menjelang malam nanti darah timpas dari nadinya.
Di laut sini, jantan menunjukkan kelaki-lakian mereka yang tiada duanya. Mereka memilih mati daripada betinanya yang dibunuh. Di musim kemarin, jantanku sengaja menyerahkan diri, membiarkan jantungnya dirajam tempuling, agar aku dan kaumku bisa meneruskan perjalanan. Tapi, dalam perjalanan menghanyutkan diri di laut yang hangat ini, aku sudah memohon dia supaya menjauh. Menjauh… Aku percaya, kematianku takkan menyebabkan kepunahan koteklema. Para pemburu itu manusia sederhana, yang menyambut seruan hidup untuk memuliakan para janda dan si miskin dengan mempersembahkan daging kami kepada mereka. Usus mereka terlalu pendek untuk melenyapkan kami semua. Mereka bukan orang-orang berkulit putih atau kuning, yang memangsa kami bersenjatakan kapal-kapal besi bermesiu di belahan dunia di utara sana.
Berkelebat aku menikung, semakin jauh dari jantanku. Sekali ekorku berdebur mengepak udara, tubuhku meluncur beratus meter ke bawah permukaan laut. Ketika aku muncul kembali, para pemburu itu terperanjat bukan kepalang melihat ekorku mengegol-egol di buritan. Kuapungkan tubuhku. Dan perahu pemburu itu menempel seperti bayi yang mungil di punggungku. Tak ada jerit ketakutan di antara mereka. Bukan karena keberanian, tapi karena adat yang mengharamkan suara dalam perburuan.
”Jangan tikam é…! Kamu jangan jadi pengecut… Betina… Jangan bunung betina! Dia bagus seperti Yesus.” Kudengar seseorang berbicara tertahan. Pasti ada pengkhianat di antara pemburu. Sebab adat melarang mereka melontarkan sepatah kata pun. Dalam perjalanan pulang, menghela hasil buruan yang sudah tertambat di sisi perahu, juga tak boleh ada kata. Apalagi menyebutkan daratan, seperti Adonara, Larantuka. Bisa bikin perjalanan pulang bakalan lama, sejauh jarak daratan yang disebutkan. Suatu ketika ada yang ngomel: ”Apa saya bicara Belanda sehingga kamu orang tidak mengerti?” Gara-gara umpatan itu, pantai seperti Eropa jauhnya.
Tapi, suara di haluan itu, seruan si lamafa itu, boleh dimaafkan dewa-dewa karena ini memang kejadian luar biasa. Aku, koteklema, paus berbobot 40 ton sedang menyerahkan diri bulat-bulat. Supaya laut tidak berdarah-darah lagi.
Langit biru, laut senyap. Di punggungku, perahu dengan delapan pemburu yang berserah diri kencang menjelajah ke pantai. Dengan tertempel di punggungku, muncung perahu deras menyisir ombak ditingkah gemercik air di ujung cadik. Layar yang terbuat dari daun lontar dibiarkan saja kuncup, tak ada gunanya.
Dalam tatinganku perahu seisi-isinya tambah menepi. Sekali ekorku melibas, daguku sudah akan mendarat di pasir pantai. Di haluan, kudengar si lamafa mengutuk dirinya dengan kata-kata yang tak bisa kupahami. Dia terisak-isak. Kupikir dia menangis sambil memegangi ujung haluan. Mencium kayu itu, kayu yang beberapa hari sebelum perahu itu melaut, diselimuti dengan anyaman daun lontar, diperlakukan seperti manusia.
”Anna,” si lamafa memuja. ”Maafkan aku. Memang aku membelai pipi Leoni dan sembunyi-sembunyi kasi dia jepitan rambut dari plastik yang selalu dia pakai. Bikin dia senang. Aku lupa sumpah di depan pastor, kamu satu-satunya istriku. Sampai mati….”
Penduduk desa nelayan itu terdiam, takjub, terkejut, tak percaya melihat aku sendiri yang menghamparkan tubuhku di pasir. Orang-orang mengerumuniku. Menepuk-nepuk perutku yang buat mereka kokoh seperti bukit yang tak bisa dirubuhkan. Penuh daging dan lemak, lebih dari cukup untuk lauk mereka setahun. Semua merapat ke tubuhku. Kecuali si lamafa, yang merasa malu karena mata tempulingnya sia-sia. Dia menuntun istrinya menjauh.
Si lamafa bercerita kepada istrinya tentang jalannya perburuan yang gagal, tetapi membawa pulang seekor paus sebesar rumah. ”Dia koteklema betina. Seperti kamu. Dia menyerahkan diri. Juga seperti kamu. Dan menuntun kami pulang. Seperti kamu. Aku malu pada kamu, Anna….”
Anna Margaretha cuma mengais-ngaiskan kaki di pasir. Matanya haus menatap kerumunan orang di pantai. Ia kepingin menjamah perut mamalia itu, tanda terima kasih. Bersyukur untuk daging dan lemakku, juga untuk penyerahan diriku yang telah menyadarkan suaminya pada sumpah dan cinta pertama.***
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2009/06/21/tiada-darah-di-lamalera/
http://cerpenkompas.wordpress.com/
Gigil laut utara menggiring kami kemari, ke Laut Sawu yang hangat dan biru begini. Langit begitu rendah. Seperti hendak rebah. Lengkungnya sesekali disaput semburan air yang tegak lurus meniti dalam hembusan napas paru-paru paus pembunuh. Orang-orang yang mendiami pulau kecil di sini menyebut mereka seguni. Sementara aku dan kaumku, mereka beri nama koteklema.
Setahun sekali kami melintas di tengah laut ini, beberapa mil dari rumah penduduk yang jumlahnya tak seberapa. Menyediakan diri sebagai umpan yang akan menghidupi mereka selama laut utara dingin membekukan. Hubungan kami dengan mereka, yang sudah berabad-abad, membuat mereka hafal bahwa paus jenis kami adalah buruan yang mudah ditaklukkan. Sekali tempuling tertancap, kami bukannya melawan, malah mempermudah pertarungan. Kami tidak akan melawan sebagaimana paus pembunuh yang akan menggeliat meronta dalam darah, berputar-putar, menyiksa, mau meremukkan perahu seisi-isinya. Membuat ombak marah, memerah, amisnya mencemari langit yang begitu biru, begitu damai. Terkadang di antara pemburu yang baik hati tapi tak berdaya itu ada yang mati atau tinggal terkatung-katung berminggu-minggu sebelum terdampar di benua selatan. Sementara untuk menaklukkan kami layaknya seperti mengikuti pesta besar yang pada akhirnya toh akan usai.
Begini jalannya pesta perburuan itu. Tempuling yang sudah tertanam di jantung kami dihubungkan dengan leo, tali yang terbuat dari kapas yang dipilin dan disamak, ditambatkan ke sebatang galar di dalam perahu. Sesungguhnya, kami adalah makhluk pemasrah. Kami tahu kami adalah untuk mereka, para pemburu itu. Tetapi, kami ingin mati terhormat dengan berenang menyongsong laut lepas di mana tiada dosa. Karena kami mengejar kematian ke tengah laut, maka para pemburu itu pun terseret tali yang menegang, lurus-lurus menuju tepi langit. Sampai kami lemas kehilangan darah dan tenaga, lalu mati.
Para pemburu itu adalah makhluk yang menertawakan. Yang mereka kerjakan lucu. Mereka tak perlu terjun ke laut sambil menghunus pisau untuk melukai, mencabik-cabik nadi kami supaya darah menyembur lebih deras. Kami akan menemui kematian kami sendiri demi mereka. Kami tahu, mereka tidak berbakat pembunuh. Ini cuma kesalahpahaman yang sudah berabad-abad. Kami tak pernah dipahami.
Langit begitu biru. Semburan-semburan air yang melukis dinding langit membuat hati para pengintai di pantai sana berdebur rasa riang bercampur cemas. Apalagi semburan itu tampak tidak tegak lurus mencakar langit, melainkan condong ke depan, membentuk buah pir yang sedang ranum-ranumnya. Pertanda bahwa lakonnya adalah kami, koteklema, dan bahwa pesta akan berlangsung mudah. Tubuh-tubuh manusia terpacak di atas kaki yang tegak gemetaran. Seperti hendak memecahkan urat leher, mereka berseru sejadi-jadinya begitu melihat semburan napas kami yang sedang menyingkapkan hari yang baru di laut yang hangat ini. ”Baleo…! Baleo…!” Jeritan itu secepat libasan angin bersahut-sahutan dalam lengking yang dipantulkan pasir di pantai dan batu cadas yang mendaki tebing-tebing bukit.
Manisnya hidup ini, kawan. Hari ini 1 Mei, saat mereka yang tak punya apa-apa, kecuali darah dan tenaga, menari-nari di semua benua. Sementara di sini, agama menemukan jiwanya yang sejati. Sesaat lalu, di pantai itu berlangsung misa, di mana doa bercampur dengan mantra kaum Jahiliah untuk memanggil roh kami. Oh… pekerjaan manusia yang sia-sia! Tuhan terlalu baik. Dia tak usah disembah supaya menghanyutkan kami kemari. Adalah seruan hidup kami untuk sengaja datang dan menyerahkan diri. Bukankah kami lebih kuat dari agama, kalau diingat bahwa agama dikenal penduduk pulau kecil itu hanya karena kecelakaan. Dua pastor, dengan tujuan pulau yang lebih besar, terdampar ke kesini. Perahu mereka diterjang badai dan gelombang yang mengamuk.
Tetapi, baiklah kalau misa pemanggil roh sudah telanjur diniatkan. Niat selalu suci. Namun, misa itu tetaplah misa yang ganjil. Lihatlah, di situ tak ada gereja. Cuma ada kapel dan altar yang terbuat dari batu gunung yang ditatah, dionggokkan dengan rasa hormat di pojok dusun. Lelaki dan perempuan mengenakan sarung dan baju terbaik. Mereka berdiri dengan tertib. Kuping mereka tampak lebih besar, yang mereka tadahkan dengan baik-baik, untuk menyimak pastor yang sedang memimpin misa yang digelar di atas pasir putih di bibir pantai. Di bibir pantai…. Pujaan setinggi angkasa dan permohonan yang mengiba-iba kepada Roh Kudus diperdengarkan untuk mengundang kami, para paus, yang diharapkan datang bergulung-gulung dalam jumlah yang akan membuat laut menjadi hitam. Mengalun pula doa bagi orang yang tewas dan hilang dalam perburuan yang ganas tahun kemarin, atau berabad-abad yang silam, agar mereka mendapatkan belaian kasih dan pengampunan Allah di surga.
Ini desa nelayan tiada duanya. Malam-malam terdengar orang mengaji Injil. Kata-kata Ilahiahnya melintasi pintu dan jendela-jendela rumah yang tak pernah ditutup supaya kecipak ikan masuk leluasa. Dan hidup benar-benar terasa duniawi karena di beberapa sudut tercium aroma tuak dan ceracau mereka yang mabuk.
”Baleo..! Baleo…!” Dalam hitungan sekecipak air laut, selusin perahu bercadik meluncur dan dikayuh kuat-kuat. Hati para pemburu itu dikuasai keinginan untuk meratah daging kami, mereguk minyak dan darah kami. Begitu sulitkah sebuah pengertian? Seakan beratus tahun tak pernah cukup untuk memahami bahwa kami melintas di sini untuk memenuhi panggilan penyerahan diri, pengorbanan untuk kelangsungan hidup mereka di pulau yang kering sengsara. Lamalera!
Pandanglah si lamafa, pemegang tempuling yang berdiri di haluan perahu itu. Dia yang segagah itu harus berkelahi menenangkan hatinya yang gentar dan tangannya yang gemetar memegangi tempuling seraya matanya lapar mencari bagian tubuh kami yang paling empuk untuk dirajam. Kalau kami dipahami dengan benar. Kalau saja mereka mengerti bahwa hidup kami memang buat mereka, tak seharusnya hati seorang lamafa adalah campuran kecemasan dan keberanian. Orang semanis dia tak seharusnya menyimpan hasrat membunuh. Sama seperti tidak seharusnya anak-anak kami berniat membunuh kami supaya bisa menyusu di puting susu kami. Kami bukan makhluk yang haus darah sebagaimana manusia di Jawa dan Bali yang memangsa saudaranya sendiri, berpuluh tahun yang lalu, ketika kami sekaum sedang menjelajahi laut selatan. Menjijikkan. Ada jenderal yang bangga telah membinasakan orang tak bersenjata, tak bersalah, jutaan jumlahnya. Jung pecah yu yang kenyang, kata peribahasa. Sesudah pembantaian itu, langit pun tahu siapa yang mati kekenyangan.
Langit semakin biru. Garis pantai terputus-putus terlindung haluan perahu yang menderu, beradu cepat mengejar kami. Para pemburu maju bersama perahu mereka yang begitu sederhana, yang tak pernah berubah sejak ratusan tahun yang lampau sejak kami saling bertemu. Memang, seharusnya seperti itulah. Berangkat dengan doa. Bertolak dengan kesederhanaan. Melaut membawa perut yang hanya sejengkal. Tidak seperti pemburu di daratan lain, yang datang dengan kapal-kapal besi. Tempuling mereka bukan bambu, tapi meriam!
Setengah mil dari iring-iringan kami, tempuling pertama sudah dihunjamkan si lamafa sekuat-kuatnya dengan seluruh tubuhnya ikut mencebur ke laut. Mata senjata itu tertancap persis di jantung seguni jantan. Dalam sekejap, perahu berputar seligat gasing. Ekor si jantan berkelebat menghantam perut perahu. Ombak membalun. Darah menyebar. Darah! Tapi, takkan ada hiu yang punya nyali untuk mendekat karena pemburu itu akan terjun membantu si lamafa dengan membawa pisau atau parang dan menikam hiu yang mendekat. Laut menggelora, gulungan ombak memerah kusumba. Paus pembunuh itu tetap tak rela mati dibunuh. Berputar-putar dia mengitari perahu. Ekornya melibas, menggapai-gapai. Pagi ini, tempuling, pisau, dan parang panjang sudah mencabik-cabik tubuhnya, tapi baru menjelang malam nanti darah timpas dari nadinya.
Di laut sini, jantan menunjukkan kelaki-lakian mereka yang tiada duanya. Mereka memilih mati daripada betinanya yang dibunuh. Di musim kemarin, jantanku sengaja menyerahkan diri, membiarkan jantungnya dirajam tempuling, agar aku dan kaumku bisa meneruskan perjalanan. Tapi, dalam perjalanan menghanyutkan diri di laut yang hangat ini, aku sudah memohon dia supaya menjauh. Menjauh… Aku percaya, kematianku takkan menyebabkan kepunahan koteklema. Para pemburu itu manusia sederhana, yang menyambut seruan hidup untuk memuliakan para janda dan si miskin dengan mempersembahkan daging kami kepada mereka. Usus mereka terlalu pendek untuk melenyapkan kami semua. Mereka bukan orang-orang berkulit putih atau kuning, yang memangsa kami bersenjatakan kapal-kapal besi bermesiu di belahan dunia di utara sana.
Berkelebat aku menikung, semakin jauh dari jantanku. Sekali ekorku berdebur mengepak udara, tubuhku meluncur beratus meter ke bawah permukaan laut. Ketika aku muncul kembali, para pemburu itu terperanjat bukan kepalang melihat ekorku mengegol-egol di buritan. Kuapungkan tubuhku. Dan perahu pemburu itu menempel seperti bayi yang mungil di punggungku. Tak ada jerit ketakutan di antara mereka. Bukan karena keberanian, tapi karena adat yang mengharamkan suara dalam perburuan.
”Jangan tikam é…! Kamu jangan jadi pengecut… Betina… Jangan bunung betina! Dia bagus seperti Yesus.” Kudengar seseorang berbicara tertahan. Pasti ada pengkhianat di antara pemburu. Sebab adat melarang mereka melontarkan sepatah kata pun. Dalam perjalanan pulang, menghela hasil buruan yang sudah tertambat di sisi perahu, juga tak boleh ada kata. Apalagi menyebutkan daratan, seperti Adonara, Larantuka. Bisa bikin perjalanan pulang bakalan lama, sejauh jarak daratan yang disebutkan. Suatu ketika ada yang ngomel: ”Apa saya bicara Belanda sehingga kamu orang tidak mengerti?” Gara-gara umpatan itu, pantai seperti Eropa jauhnya.
Tapi, suara di haluan itu, seruan si lamafa itu, boleh dimaafkan dewa-dewa karena ini memang kejadian luar biasa. Aku, koteklema, paus berbobot 40 ton sedang menyerahkan diri bulat-bulat. Supaya laut tidak berdarah-darah lagi.
Langit biru, laut senyap. Di punggungku, perahu dengan delapan pemburu yang berserah diri kencang menjelajah ke pantai. Dengan tertempel di punggungku, muncung perahu deras menyisir ombak ditingkah gemercik air di ujung cadik. Layar yang terbuat dari daun lontar dibiarkan saja kuncup, tak ada gunanya.
Dalam tatinganku perahu seisi-isinya tambah menepi. Sekali ekorku melibas, daguku sudah akan mendarat di pasir pantai. Di haluan, kudengar si lamafa mengutuk dirinya dengan kata-kata yang tak bisa kupahami. Dia terisak-isak. Kupikir dia menangis sambil memegangi ujung haluan. Mencium kayu itu, kayu yang beberapa hari sebelum perahu itu melaut, diselimuti dengan anyaman daun lontar, diperlakukan seperti manusia.
”Anna,” si lamafa memuja. ”Maafkan aku. Memang aku membelai pipi Leoni dan sembunyi-sembunyi kasi dia jepitan rambut dari plastik yang selalu dia pakai. Bikin dia senang. Aku lupa sumpah di depan pastor, kamu satu-satunya istriku. Sampai mati….”
Penduduk desa nelayan itu terdiam, takjub, terkejut, tak percaya melihat aku sendiri yang menghamparkan tubuhku di pasir. Orang-orang mengerumuniku. Menepuk-nepuk perutku yang buat mereka kokoh seperti bukit yang tak bisa dirubuhkan. Penuh daging dan lemak, lebih dari cukup untuk lauk mereka setahun. Semua merapat ke tubuhku. Kecuali si lamafa, yang merasa malu karena mata tempulingnya sia-sia. Dia menuntun istrinya menjauh.
Si lamafa bercerita kepada istrinya tentang jalannya perburuan yang gagal, tetapi membawa pulang seekor paus sebesar rumah. ”Dia koteklema betina. Seperti kamu. Dia menyerahkan diri. Juga seperti kamu. Dan menuntun kami pulang. Seperti kamu. Aku malu pada kamu, Anna….”
Anna Margaretha cuma mengais-ngaiskan kaki di pasir. Matanya haus menatap kerumunan orang di pantai. Ia kepingin menjamah perut mamalia itu, tanda terima kasih. Bersyukur untuk daging dan lemakku, juga untuk penyerahan diriku yang telah menyadarkan suaminya pada sumpah dan cinta pertama.***
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2009/06/21/tiada-darah-di-lamalera/
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati