Suci Ayu Latifah
Ada sebuah kutipan yang sempat menghentakkan saya. Kutipan itu tercipta dari seorang novelis perempuan berbakat. Mengapa saya mengatakan berbakat? Karena novelis pernah mendapatkan salah satu penghargaan melalui cerpen terbaik majalah sastra Horizon selama 10 tahun terakhir (1990-2000) dan mendapat Pena Award 2002.
Kutipan itu berbunyi seperti ini: Menjadi penulis itu harus serakah; serakah dalam membaca! Memaknai kutipan Helvy Tiana Rosa, menyadarakan kita bahwa membaca itu memiliki dampak yang besar. Membaca dapat diilustrasikan seperti orang yang kehausan. Karena begitu haus maka seseorang akan minum sebanyak-banyaknya, bahkan sampai menghabiskan beberapa botol. Seperti pengalaman saya ketika SMA, ada salah satu teman yang menghabiskan 2 botol aqua sekaligus karena tenggorokannya kering, begitu melakukan uji lari sejauh 1 kilometer. Tidak hanya aqua, selang beberapa menit pun ia membeli makan sebagai ganti energi yang terkuras karena lari.
Itulah artian dari serakah. Pikir saya, seperti hidup hanya untuk sehari itu saja. Dalam fenomena tersebut, artian serakah memiliki arti adalah nafsu seseorang. Bukan artian semata-mata ingin melahap habis. Sebab, sejatinya yang namanya makan dan minum adalah kebutuhan manusia
Pengibaratan membaca dengan makan dan minum di atas, tepat sekali sebagai inspirasi untuk menjadi seorang penulis. Maksudnya kita harus haus dan lapar dalam membaca, seakan-akan buku yang kita baca ada batasan waktu dari si pemilik buku, atau buku bacaan serasa kurang cukup sehingga harus membaca bertumpuk-tumpuk buku. Pertanyaannya: mengapa harus membaca? Alasannya (i) membaca merupakan kegiatan melibatkan fisik dan psikis untuk memetik makna, ide dan gagasan yang disampaikan pengarang dalam bentuk tulisan, (ii) salah satu tujuan penting membaca adalah untuk memperoleh suatu informasi penting dari bacaan, (iii) dapat memperluas pikiran seseorang, (iv) mengurangi stress, dan (v) mempercerdas otak.
Mengingat akan dampak dari membaca, belajar dari kutipan Helvy di atas, kita akan menjadi kaya terhadap pembendaharaan kata dan informasi. Selanjutnya, informasi tersebut dapat kita metamorfosiskan macam artikel, esai, opini, cerpen, puisi, dan lainnya. Selaras dengan pemikiran Helvy, seorang Perdana Menteri Inggris pada Perang Dunia ke II, Winston Churchill memiliki pengalaman membaca yang menarik untuk disimak. Saat kecil Winston mendapatkan nilai buruk di sekolah. Berbicaranya pun gagap. Namun, karena suka membaca biografi orang terkenal, ia pun berubah menjadi penulis sekaligus diangkat sebagai Perdana Menteri di Inggris.
Gus Dur, presiden RI ke-4 ternyata juga memiliki pengalaman membaca yang menarik. Sejak Sekolah Dasar, ia sudah terbiasa membaca buku-buku kelas ’berat’. Kebiasaan membaca sedari kecil itu, Gus Dur mampu mengasah kemampuan membaca sekaligus memahami bacaan dengan cepat. Bahkan, ia pun mempu memahami beragam bahasa asing yang dipelajari dari buku bacaan.
Fahry Ali (kawan Gus Dur sejak di LP3ES) pernah mengungkapkan dalam wawancara di salah satu stasiun televisi swasta bahwa Gus Dur adalah pecinta buku sejati, meskipun ia berada di luar negeri, hobi membaca tak pernah ditinggalkannya. Karena kegemaran tersebut, Gus Dur pun menjadi penulis dan karyanya sangat banyak. Karya-karyanya seperti Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (2010), Umat Bertanya Gus Dur Menjawab (2013), Tuhan Tidak Perlu di Bela (2014), Islamku Islam Anda Islam Kita (2015), dan lainnya.
Bagaimana, masih mau berfikir buruk pada membaca?
Seseorang yang memprioritaskan membaca sebagai bagian dari suatu kehidupan, maka secara naluri membaca akan membuat perubahan penting bagi seseorang tersebut. Seperti halnya yang terjadi dalam kisah Winston dan Thomas. Sebelum itu, kita harus mengetahui bagaimana proses membaca yang baik. Untuk itu, kita harus (i) menentukan tujuan membaca, (ii) preview artinya membaca selayang pandang, (iii) membaca secara keseluruhan isi bacaan dengan cermat sehingga kita dapat menemukan ide pokok yang tertuang dalam setiap paragrafnya, dan (iv) mengemukakan kembali isi bacaan dengan menggunakan kalimat dan kata-kata sendiri (Suyatmi, 2000:45).
Keempat proses di atas, tidak semata-mata dilakukan sekali saja, tetapi harus berulang-ulang hingga kita mencapai puncak kemahiran. Coba bayangkan kalau hal itu dapat diterapkan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat kita. Maka tak berapa lama lagi lahirlah insan-insan unggul dalam dunia literasi.
Demikianlah, bermula dari serakah membaca, kemudian belajar dari kisah Winston Churchill dan Gus Dur mampu membuat perubahan penting di hidupnya, dan terakhir mengusai proses membaca yang baik. Maka tidak diragukan lagi, judul artikel di atas patut direnungkan. Sejatinya, kalau ingin menjadi penulis, ya membaca. Kalau tidak membaca, apa yang mau ditulis? Seperti kutipan Hernowo, “Penulis yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik.”
*) Mahasiswi dan Panitia SLG STKIP PGRI Ponorogo.
Ada sebuah kutipan yang sempat menghentakkan saya. Kutipan itu tercipta dari seorang novelis perempuan berbakat. Mengapa saya mengatakan berbakat? Karena novelis pernah mendapatkan salah satu penghargaan melalui cerpen terbaik majalah sastra Horizon selama 10 tahun terakhir (1990-2000) dan mendapat Pena Award 2002.
Kutipan itu berbunyi seperti ini: Menjadi penulis itu harus serakah; serakah dalam membaca! Memaknai kutipan Helvy Tiana Rosa, menyadarakan kita bahwa membaca itu memiliki dampak yang besar. Membaca dapat diilustrasikan seperti orang yang kehausan. Karena begitu haus maka seseorang akan minum sebanyak-banyaknya, bahkan sampai menghabiskan beberapa botol. Seperti pengalaman saya ketika SMA, ada salah satu teman yang menghabiskan 2 botol aqua sekaligus karena tenggorokannya kering, begitu melakukan uji lari sejauh 1 kilometer. Tidak hanya aqua, selang beberapa menit pun ia membeli makan sebagai ganti energi yang terkuras karena lari.
Itulah artian dari serakah. Pikir saya, seperti hidup hanya untuk sehari itu saja. Dalam fenomena tersebut, artian serakah memiliki arti adalah nafsu seseorang. Bukan artian semata-mata ingin melahap habis. Sebab, sejatinya yang namanya makan dan minum adalah kebutuhan manusia
Pengibaratan membaca dengan makan dan minum di atas, tepat sekali sebagai inspirasi untuk menjadi seorang penulis. Maksudnya kita harus haus dan lapar dalam membaca, seakan-akan buku yang kita baca ada batasan waktu dari si pemilik buku, atau buku bacaan serasa kurang cukup sehingga harus membaca bertumpuk-tumpuk buku. Pertanyaannya: mengapa harus membaca? Alasannya (i) membaca merupakan kegiatan melibatkan fisik dan psikis untuk memetik makna, ide dan gagasan yang disampaikan pengarang dalam bentuk tulisan, (ii) salah satu tujuan penting membaca adalah untuk memperoleh suatu informasi penting dari bacaan, (iii) dapat memperluas pikiran seseorang, (iv) mengurangi stress, dan (v) mempercerdas otak.
Mengingat akan dampak dari membaca, belajar dari kutipan Helvy di atas, kita akan menjadi kaya terhadap pembendaharaan kata dan informasi. Selanjutnya, informasi tersebut dapat kita metamorfosiskan macam artikel, esai, opini, cerpen, puisi, dan lainnya. Selaras dengan pemikiran Helvy, seorang Perdana Menteri Inggris pada Perang Dunia ke II, Winston Churchill memiliki pengalaman membaca yang menarik untuk disimak. Saat kecil Winston mendapatkan nilai buruk di sekolah. Berbicaranya pun gagap. Namun, karena suka membaca biografi orang terkenal, ia pun berubah menjadi penulis sekaligus diangkat sebagai Perdana Menteri di Inggris.
Gus Dur, presiden RI ke-4 ternyata juga memiliki pengalaman membaca yang menarik. Sejak Sekolah Dasar, ia sudah terbiasa membaca buku-buku kelas ’berat’. Kebiasaan membaca sedari kecil itu, Gus Dur mampu mengasah kemampuan membaca sekaligus memahami bacaan dengan cepat. Bahkan, ia pun mempu memahami beragam bahasa asing yang dipelajari dari buku bacaan.
Fahry Ali (kawan Gus Dur sejak di LP3ES) pernah mengungkapkan dalam wawancara di salah satu stasiun televisi swasta bahwa Gus Dur adalah pecinta buku sejati, meskipun ia berada di luar negeri, hobi membaca tak pernah ditinggalkannya. Karena kegemaran tersebut, Gus Dur pun menjadi penulis dan karyanya sangat banyak. Karya-karyanya seperti Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (2010), Umat Bertanya Gus Dur Menjawab (2013), Tuhan Tidak Perlu di Bela (2014), Islamku Islam Anda Islam Kita (2015), dan lainnya.
Bagaimana, masih mau berfikir buruk pada membaca?
Seseorang yang memprioritaskan membaca sebagai bagian dari suatu kehidupan, maka secara naluri membaca akan membuat perubahan penting bagi seseorang tersebut. Seperti halnya yang terjadi dalam kisah Winston dan Thomas. Sebelum itu, kita harus mengetahui bagaimana proses membaca yang baik. Untuk itu, kita harus (i) menentukan tujuan membaca, (ii) preview artinya membaca selayang pandang, (iii) membaca secara keseluruhan isi bacaan dengan cermat sehingga kita dapat menemukan ide pokok yang tertuang dalam setiap paragrafnya, dan (iv) mengemukakan kembali isi bacaan dengan menggunakan kalimat dan kata-kata sendiri (Suyatmi, 2000:45).
Keempat proses di atas, tidak semata-mata dilakukan sekali saja, tetapi harus berulang-ulang hingga kita mencapai puncak kemahiran. Coba bayangkan kalau hal itu dapat diterapkan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat kita. Maka tak berapa lama lagi lahirlah insan-insan unggul dalam dunia literasi.
Demikianlah, bermula dari serakah membaca, kemudian belajar dari kisah Winston Churchill dan Gus Dur mampu membuat perubahan penting di hidupnya, dan terakhir mengusai proses membaca yang baik. Maka tidak diragukan lagi, judul artikel di atas patut direnungkan. Sejatinya, kalau ingin menjadi penulis, ya membaca. Kalau tidak membaca, apa yang mau ditulis? Seperti kutipan Hernowo, “Penulis yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik.”
*) Mahasiswi dan Panitia SLG STKIP PGRI Ponorogo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar