Tampilkan postingan dengan label Saut Situmorang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Saut Situmorang. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Juni 2021

Cerpen Koran Indonesia

Saut Situmorang
Boemipoetra, 07/06/2021
 
Anggaplah “cerpen koran Indonesia” itu ada. Yaitu cerpen-cerpen berbahasa Indonesia yang muncul di koran-koran edisi Minggu di seluruh Indonesia, yang panjangnya berkisar antara 6-8 halaman kuarto (spasi ganda), dan yang bercerita tentang “peristiwa aktual”, atau tentang “realitas koran”, dari kehidupan sehari-hari di Indonesia. Bukankah biasanya tiga hal di ataslah yang dijadikan alasan bagi relevannya pemakaian istilah “cerpen koran” dalam perbincangan tentang sastra (cerpen) kontemporer Indonesia?

Minggu, 10 Juni 2012

Hiperbola Agus R Sarjono *

Saut Situmorang **
http://boemipoetra.wordpress.com/

Dalam dunia puisi, salah satu persoalan penciptaan yang terpenting adalah bagaimana mempertemukan puisi dan politik dalam sebuah sajak. Bagaimana seorang penyair mesti menulis puisi politik hingga puisi tersebut benar-benar memiliki nilai estetik dan tidak terjerumus menjadi sekedar slogan politik yang dibungkus dalam penampilan sebuah puisi.

Rabu, 30 Juni 2010

Marco Ketua DKJ Mengusir Saut Situmorang dkk

Saut Situmorang*
http://sautsitumorang.multiply.com/

Jumat 19 Desember 2008 kira-kira jam 2 siang lebih. Saya Saut Situmorang, Wowok Hesti Prabowo dan Viddy A Daery masuk ke sebuah ruangan tempat diadakannya “mukernas” dewan kesenian se-Indonesia di hotel Sheraton Media Jakarta. Saya mendapat info bahwa mukernas tersebut akan membahas soal “dewan kesenian Indonesia” yang beberapa waktu dulu ide pembentukannya mendapat tentangan keras dari banyak seniman. Ide awal pembentukan dewan kesenian Indonesia tersebut, kata orang, berasal dari Ratna Sarumpaet dan dia hari itu akan memberikan pidato tanggapan atas idenya yang mungkin dia rasa dicuri orang itu. Sebuah acara menarik untuk ditonton, bukan? Di pintu masuk ruangan mukernas itu saya sempat disapa oleh seorang cewek yang bekerja untuk Dewan Kesenian Jakarta alias DKJ, yang merupakan tuan rumah mukernas. Di pintu masuk saya tidak melihat ada pengumuman “YANG TIDAK DIUNDANG DILARANG MASUK!”.

Setelah berada di dalam ruangan saya dipanggil oleh Iyut Fitrah kawan penyair dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Dia minta saya duduk dekatnya. Saya pun pergi ke arahnya dan duduk di sebuah kursi di dekatnya. Begitu pula Wowok dan Viddy. Sambil ngomong-ngomong, saya bagikan jurnal keren “boemipoetra” yang segera saja beredar ke meja-meja para peserta mukernas. Saya juga melihat bekas adik kelas saya di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dulu, Jabatin, duduk di meja dekat saya itu dan saya pun menyapanya. Wowok kemudian berdiri dan mulai membagikan “boemipoetra” ke meja-meja di sudut lain ruangan. Saat itu Ratna Sarumpaet sudah berdiri di podium setelah diundang untuk memberikan pidatonya.

Pada waktu itulah tiba-tiba saja terdengar suara seseorang berteriak membentak, “Wowok, keluar!!! Anda tidak diundang, keluar!!!” Begitulah kira-kira bunyi teriakan tersebut yang ternyata berasal dari mulut seseorang bernama Marco yang adalah ketua Dewan Kesenian Jakarta. Wowok merespon dengan mengatakan bahwa dia “diundang” oleh Ratna Sarumpaet. Ratna membenarkan waktu Sang Marco mengkonfirmasikannya ke dia. Tentu saja peristiwa itu menciptakan suasana tegang. Para peserta pun nampak kaget heran kebingungan penasaran. What the fuck is going on? Saya yakin begitulah yang mereka gumamkan dalam gumaman mereka. Lalu tiba-tiba lagi suara tadi berteriak membentak lagi, “Saut, keluar!!! Saya tidak mengundang Anda, keluar!!!” Saya nyaris gemetaran mendengar bentakan yang kayaknya dikeluarkan pakek sinkang ala ilmu Auman Singa Kim-mo Say-ong Cia Sun dari kitab “Ie Thian To Liong” karya Chin Yung itu! Kemudian Sang Pangcu DKJ itu melambai-lambaikan jurnal “boemipoetra” ke udara sambil berkata sesuatu seperti “Dilarang membagikan ‘boemipoetra’ di sini. Ini cuma berisi fitnah!”. Untunglah berkat latihan Kiuyang Sinkang yang saya pelajari dari Bu Kie saya cepat memperolah ketenangan saya kembali dan segera menjawab Sang Pangcu DKJ itu, “Kalau benar jurnal ‘boemipoetra’ adalah fitnah, silahkan bawa kami ke pengadilan!” Di tengah-tengah keributan itu saya mendengar Ratna Sarumpaet berkata sesuatu seperti kenapa acara kesenian bisa jadi sekaku ini, atau yang mirip-mirip itu maksudnya. Lalu, entah dari mana nongolnya, seorang laki-laki bertampang sangar kayak “bouncer bar” di Selandia Baru sana mulai juga berteriak-teriak sambil berpidato di tengah ruangan bahwa dia akan membubarkan acara tersebut! Pokoknya penuh otoritas macam itulah. Saya gak kenal makhluk aneh ini tapi Wowok kemudian di taxi mengatakan dia itu orang DKJ juga. Karena bosan mendengar retorika kekuasaannya itu saya berdiri dan mengajak Wowok dan Viddy untuk keluar saja dari hiruk-pikuk drama kekuasaan Dewan Kesenian Jakarta tersebut. Banyak juga ternyata peserta dari dewan kesenian se-Indonesia di situ yang keluar ruangan. Waktu saya mulai beranjak dari tempat duduk saya itulah Sang Marco, sambil tetap teriak-teriak, mendatangai saya dan tiba-tiba saja memegang lengan kiri saya. Tentu saja secara spontan ilmu Kiankun Taylo-ie Sinkang dari Bengkaw yang juga saya warisi dari suhu Bu Kie bereaksi cepat dan saya tampar tangan jahat yang penuh racun itu! Dia nampak kaget jugak rupanya, hahaha… Tapi dia tidak melakukan apa-apa lagi dan kami bertiga pun keluar dari ruangan pibu itu dengan penuh kemenangan.

Di luar, seorang kawan dari Jawa Tengah yang juga salah seorang peserta mukernas tersebut menghampiri dan menyalami kami. Oiya, di luar itu saya juga tidak melihat ada pengumuman, “DILARANG MEMBAGIKAN ‘BOEMIPOETRA’ DI DALAM RUANGAN!”

Bagaimana ya seandainya yang kami bagikan itu adalah majalah “Kalam” milik Teater Utan Kayu? Apa kami akan mendapat perlakuan yang sangat premanis, ketimbang Pramis, begitu? Siapa sebenarnya yang direpresentasikan Marco dan Dewan Kesenian Jakarta-nya di acara dewan kesenian se-Indonesia tersebut? Lucunya lagi, waktu dia membuat kericuhan di acara dewan kesenian se-Indonesia itu, tidak pernah sekalipun dia menanyakan pendapat para peserta mukernas soal “kehadiran” kami, apa mereka keberatan atau tidak! Menurut SMS seorang kawan yang juga peserta “diundang” acara, setelah kami bertiga keluar ruangan, para peserta dipaksa untuk “mengembalikan” kepada DKJ jurnal “boemipoetra” yang sedang dibaca para peserta tersebut! Banyak juga, kata kawan tersebut, yang tidak bersedia “mengembalikan” jurnal keren kami itu, hahaha…

Oiya, ada yang bilang (saya tidak tahu benar atau salah karena saya sendiri tidak diundang juga, hehehe…) ada yang bilang bahwa para peserta mukernas dewan kesenian se-Indonesia itu dibawa Marco dan DKJ-nya makan malam di Salihara, hahaha…

Selasa, 20 April 2010

Sastra Kampus, Sastra Underground

Saut Situmorang
http://sautsitumorang.blogspot.com/

Dalam perbincangan tentang sastra Indonesia di dalam maupun di luar dunia akademis, terutama di media massa, kita akan selalu mendengar tentang beberapa jenis sastra dalam dunia sastra kita. Ada sastra koran, sastra majalah, sastra cyber(punk), sastra buku, sastra sufi, sastra pesantren, sastra buruh, bahkan akhir-akhir ini sastra Peranakan-Tionghoa, sastra eksil dan sastrawangi. Kalau bukan medium tempat karya sastra dipublikasikan, maka jenis manusia yang memproduksi karya merupakan kategori pembeda pada pemberian nama-nama sastra tersebut, dan nyaris tak ada definisi yang mampu diberikan sebagai bukti tentang karakter-khusus di luar kedua faktor di atas yang dimiliki jenis sastra tertentu yang akan membuatnya berbeda dari jenis sastra lainnya hingga layak mendapat kategori tertentu dimaksud. Walaupun begitu, perbincangan yang terjadi baik di kalangan sastrawan maupun “pengamat sastra” tersebut, sepanjang pengetahuan saya, selalu luput untuk juga membicarakan sebuah fenomena menarik yang eksistensinya sudah cukup lama ada dalam sejarah sastra Indonesia, yaitu karya-karya yang dihasilkan oleh mahasiswa-sastrawan, atau apa yang saya sebut sebagai “sastra kampus” dalam esei saya ini.

Kalau kita membaca biodata para sastrawan Indonesia, baik di halaman khusus tentang itu di buku-buku para sastrawan tersebut maupun dalam buku-buku “leksikon/pintar” tentang sastra Indonesia, maka segera akan kita temukan bahwa tidak sedikit sastrawan Indonesia, khususnya sejak Angkatan 66, mulai serius mempublikasikan karya mereka waktu mereka masih berstatus mahasiswa. Bahkan tidak sedikit dari mereka sudah terkenal semasa mereka masih mahasiswa. Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair “Angkatan 66” berdasarkan sajak-sajak yang dikumpulkannya, bersama Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn. dan lain-lain, dalam antologi Manifestasi (1963) ?yang kemudian diterbitkan ulang sebagai antologi-tunggalnya Tirani (1966) dan Benteng (1966)? di masa dia dan Goenawan Mohamad masih berstatus mahasiswa. Goenawan Mohamad sendiri pada masa itu lebih terkenal sebagai eseis berdasarkan esei-esei sastranya yang mendapat Hadiah Pertama dari majalah Sastra (1962 dan 1963). Banyak contoh lain yang bisa disebutkan terutama sejak periode 1980an.

Lantas, kenapa kita tidak pernah mendengar atau membaca pembicaraan tentang karya-karya sastra produk dunia kampus ini? Apakah kesan yang ditimbulkan oleh istilah “mahasiswa” telah membuat persepsi atas karya-karya mereka menjadi kurang begitu serius apalagi kalau dibandingkan dengan “sastra eksil” misalnya? Faktor keangkeran sebuah istilahkah yang membuat perbincangan atas istilah tertentu menjadi terasa lebih intelektual dan relevan, dan sebaliknya pada istilah lain, walau argumentasi yang disodorkan sebagai pembelaan atas penciptaan/pembicaraan atas istilah dimaksud tak lebih dan tak kurang cuma berkisar di antara kedua faktor medium publikasi dan jenis manusia penghasil produk karya belaka? Saya ambil contoh apa yang disebut sebagai “sastra eksil” Indonesia itu.

Sebuah buku bungarampai puisi berjudul Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil diterbitkan oleh Amanah-Lontar (Jakarta) dan Yayasan Sejarah Budaya Indonesia (Amsterdam) pada April 2002. Buku tersebut mengumpulkan sajak-sajak limabelas penyair dan diklaim oleh Asahan Alham, Ketua Dewan Redaksi buku, sebagai “sastra eksil Indonesia”. Buku tersebut secara umum bisa dikatakan sebagai satu-satunya buku yang terang-terangan mengklaim eksistensi dari apa yang disebut sebagai “sastra eksil” sebagai warga sastra Indonesia. Klaim eksistensial seperti ini, tentu saja, sah-sah saja untuk dibuat, asal ada produknya. Membaca kata pendahuluan yang ditulis oleh Asahan Alham untuk buku Di Negeri Orang tersebut ternyata tidak menjelaskan apa-apa tentang klaim eksistensialnya atas keberadaan “sastra eksil Indonesia” itu. Malah kata pendahuluannya itu terkesan cuma sebuah pleidoi editorial bernada rengekan untuk minta diakui kebenarannya. Asahan Alham misalnya belum apa-apa sudah menulis bahwa, “Kalau kita berpandangan bahwa sastra suatu bangsa adalah kekayaan bangsa itu sendiri, sudah tentu sastra eksil adalah juga sebagian dari kekayaan sastra Indonesia. Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena dianggap cacat tidak molek, tidak cerdas, cuma akan mempermalu diri sendiri.” Bagaimana kita yang ingin mengetahui apa itu “sastra eksil Indonesia” bisa tercerahkan dengan pernyataan seperti ini?! Bukankah, kalau saya tidak salah memahaminya, justru buku Di Negeri Orang itulah yang membuat klaim tentang adanya apa yang Dewan Redaksinya sebut sebagai “sastra eksil Indonesia” itu! “Sastra eksil Indonesia itu wujud dan akan ditulis oleh sejarah,” demikian asersi Asahan Alham, tanpa sedikitpun merasakan ironi dalam pernyataannya tersebut.

Seperti yang sudah pernah saya tulis dalam kesempatan lain tentang topik yang sama, ketidakmampuan Dewan Redaksi Di Negeri Orang untuk memberikan pengertian definisi atas apa yang mereka klaim sebagai “sastra eksil Indonesia” itu telah menyebabkan terjadinya sebuah kekacauan editorial, yaitu absennya Sitor Situmorang dari daftar penyair “sastra eksil Indonesia” tanpa penjelasan apapun. Kalau definisi istilah “sastra eksil”, misalnya, dilihat dari faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing sebagai faktor utama yang menciptakan kondisi yang disebut sebagai “eksil” itu, di mana dislokasi geografis itu sendiri bisa terjadi karena disebabkan baik oleh paksaan negara secara resmi maupun karena pilihan pribadi, maka Sitor Situmorang, dan Wing Kardjo, juga mesti dimasukkan sebagai penyair eksil Indonesia. Sajak-sajak yang mereka tulis dalam rantau di negeri orang yang cukup lama masanya itu (bahkan Wing Kardjo, seperti Agam Wispi, juga meninggal di dunia eksil) merupakan wajah lain dari dan sekaligus memperkaya sastra eksil Indonesia, ketimbang sekedar pada yang ditulis oleh para sastrawan yang hidup dalam pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri karena perbedaan ideologi politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa.

Hubungan antara status sebagai “mahasiswa” dan sebagai “sastrawan” yang menjadi ciri-khas para penulis “sastra kampus” sebenarnya bisa menjadi sebuah isu penelitian yang menarik. Misalnya, adakah status sebagai “mahasiswa” perguruan tinggi di Indonesia itu membuat jenis karya yang dihasilkan cukup berbeda dari mainstream karya sastra Indonesia? Sebuah puisi, misalnya, yang ditulis oleh “mahasiswa” apakah mempunyai kecenderungan realis-sosial, lebih peduli pada apa yang terjadi di masyarakat sekitarnya mungkin dikarenakan mahasiswa itu pada umumnya lebih idealis dibanding kelompok elite terpelajar lainnya? Kalau puisi yang ditulis “mahasiswa-sastrawan” memang cenderung bersifat realis-sosial, isu-isu apa saja yang merupakan isu dominannya? Korupsi, ketidakadilan sosial, kemiskinan? Dan bagaimanakah bentuk ekspresi yang dipilih dalam penulisannya: sajak protes, pamflet penyair, atau masih berbentuk puisi lirik yang masih mempedulikan fungsi bahasa metaforik ketimbang bahasa slogan?

Dari awal sejarahnya di awal abad 20 sampai awal abad 21 ini, sastra Indonesia bisa dikatakan secara umum merupakan sastra realis. Novel-novel yang ditulis oleh para “penulis Sumatera” yang kebanyakan berasal dari provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat sangat kental dengan isu-isu lokal terutama dengan konflik antara tradisi dan modernitas. Novel Sitti Nurbaja Marah Roesli misalnya menjadi sangat terkenal justru karena menggambarkan kekalahan modernitas yang dibawa kolonialisme Belanda lewat dunia pendidikan yang diwakili oleh kematian tokoh-tokoh utama novel tersebut. Novel Atheis Achdiat K Mihardja yang merupakan novel pertama setelah Indonesia merdeka juga masih membela tradisi vis-à-vis modernitas. Kecenderungan memenangkan tradisi dalam konfliknya dengan modernitas yang dibawa kebudayaan Barat itu merupakan motif sangat dominan dalam realisme sastra Indonesia khususnya dalam novel dan mulai agak dilawan dalam novel-novel eksistensialis Iwan Simatupang dan terutama dalam karya puncak fiksi Indonesia yaitu Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer.

Cerpen Indonesia juga penuh dengan konflik antara tradisi dan modernitas ini. Hanya di cerpen-cerpen berlatar Eropa Sitor Situmorang, cerpen-cerpen eksistensialis Iwan Simatupang, dan lagi-lagi dalam cerpen Pramoedya Ananta Toer terjadi anomali dalam kesukaan sastrawan Indonesia membela tradisi budayanya.

Puisi Indonesia agak berbeda. Bisa dikatakan cuma puisi Indonesia dalam sastra Indonesia yang tidak membela tradisi dalam konflik tradisi-modernitas. Puisi Indonesia bahkan cenderung anti-tradisi baik dalam bentuk ekspresi maupun isinya. Kita misalnya melihat diperkenalkannya bentuk “Soneta” dari sastra Itali ke dalam sastra Indonesia oleh para penyair Pujangga Baru. Chairil Anwar memperkenalkan bentuk persajakan yang sangat bebas yang dalam sastra berbahasa Inggris akan disebut sebagai “Free Verse” dan merupakan bentuk sajak paling dominan dalam puisi lirik modern dunia. Terakhir Rendra memperkenalkan “Balada” yang juga berasal dari tradisi sastra berbahasa Inggris dimana narasi alur cerita merupakan unsur paling membedakannya dari tradisi puisi lirik yang dikembangkan Chairil Anwar, disamping bentuk orasi politik yang diberinya nama “Pamflet Penyair”.

Isi dari puisi Indonesia pun merefleksikan bentuknya yang berasal dari khazanah sastra Barat itu. Kecuali pada Amir Hamzah, puisi Indonesia sejak zaman Pujangga Baru penuh dengan vitalitas modernitas Barat dan menjadi ajang ejekan atas kekolotan tradisi. Metafor seperti “meninggalkan laut yang tenang” dari S Takdir Alisjahbana, “Aku ini Binatang Jalang” Chairil, “Si Anak Hilang” Sitor Situmorang, sampai “Abad yang berlari” dari Afrizal Malna menunjukkan betapa vitalitas modernitas merupakan benang merah dalam perpuisian Indonesia.

Sekarang yang menjadi persoalan adalah apakah motif konflik antara tradisi-modernitas ini masih bisa dilihat dalam karya para “sastrawan kampus” yang menjamur keberadaannya di Indonesia sejak kekalahan rejim Orde Baru di akhir abad 20 itu? Masih kuatkah arus realisme-sosial di karangan-karangan para intelektual muda Indonesia ini yang rata-rata hidup di dunia urban kita?

Kalau “mahasiswa-sastrawan” seperti S Takdir Alihsjahbana, Armijn Pane, Rendra, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, Taufiq Ismail, misalnya, menuliskan reaksi estetik mereka atas kondisi zamannya masing-masing, apakah para “mahasiswa-sastrawan” kontemporer juga merespon peristiwa-peristiwa kontemporer yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat mereka? Atau mereka sudah menjadi anomali dalam sejarah realisme-sosial sastra Indonesia itu dan memilih menulis tentang hal-hal pribadi belaka karena persitiwa-peristiwa sosial besar semacam kolonialisme, kemerdekaan, konflik ideologi, sudah tidak lagi menjadi isu-isu intelektual penting bagi elite kampus kita? Kalau hal ini memang yang terjadi, lantas apakah artinya itu dalam konteks sejarah sastra kita yang usianya belum panjang itu? Kalau “mahasiswa-sastrawan” kontemporer sudah tidak tertarik lagi membicarakan isu-isu masyarakatnya yang pascakolonial dan Dunia Ketiga itu, apakah hal ini merupakan refleksi dari kecenderungan besar dalam sastra Indonesia secara umum?

Antologi pertanyaan seperti inilah yang harusnya kita ajukan waktu kita membaca karya “sastra(wan) kampus” agar jenis sastra yang sama uniknya dengan jenis-jenis sastra kita lainnya itu tidak hilang begitu saja dimakan rayap waktu walau sudah puluhan judul buku dari berbagai genre (puisi dan cerpen khususnya) dituliskan atas namanya. Sudah waktunya “sastra(wan) kampus” diangkat dari obskuritas identitasnya dan tidak lagi dianggap sebagai “sastra underground” alias sastra bawah tanah yang sengaja dilupakan. Ini juga akan sekaligus membantu mengurangi krisis kritik sastra yang sudah begitu lama menggerogoti sejarah sastra kita.

Jogjakarta, 2009

Kamis, 18 Maret 2010

Globalitas dan Lokalitas dalam “Membayangkan Indonesia”:

Sebuah Kritik Pascakolonial

Saut Situmorang
http://www.sastra-indonesia.com/

Adalah studi terkenal dari Indonesianis asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, Ben(edict) Anderson tentang nasionalisme yang membuat kita sadar bahwa konsep “nasionalisme” bukanlah lahir begitu saja dari langit biru di atas kepala, tapi merupakan sebuah realitas yang diciptakan oleh imajinasi di dalam kepala – sesuatu yang dibayangkan, sebuah konstruk kultural. Atau dalam definisi Hugh Seton-Watson yang dikutip Anderson dalam bukunya “Imagined Communities” dimaksud: “. . . [Sebuah] bangsa eksis ketika sejumlah penting anggota sebuah komunitas menganggap diri mereka membentuk sebuah bangsa, atau berlaku seakan-akan mereka membentuk sebuah bangsa” [italic saya]. Mengikuti anjuran Anderson, kita bisa menerjemahkan “menganggap diri mereka” sebagai “membayangkan diri mereka” pada kutipan di atas.

Apa yang tentu saja masih bisa dipertanyakan lagi tentang definisi “bangsa” sebagai “sebuah komunitas politik yang dibayangkan” itu adalah soal “siapakah” yang melakukan kegiatan “membayangkan” tersebut? Anderson menyatakan bahwa bangsa itu dibayangkan sebagai sebuah “komunitas” karena, “tidak persoalan kemungkinan adanya ketidaksetaraan dan eksploitasi yang aktual di dalamnya, bangsa selalu dipercayai merupakan sebuah persaudaraan yang mendalam dan horisontal”. Dari pernyataan tersebut bukankah tersirat atau terbayangkan adanya sebuah kelompok tertentu yang menganggap dirinya mempunyai hak karena, mungkin, merasa bertanggungjawab, berkewajiban untuk mewakili, menjadi penyambung lidah kelompok-kelompok lain dalam komunitas tersebut? Kelompok yang mendominasi ini – bisa disebabkan oleh faktor-faktor seperti garis keturunan, kelas sosial, dan tingkat pendidikan – percaya, disadari atau tidak, bahwa merekalah yang pantas untuk merepresentasikan kelompok-kelompok lain dalam komunitas dimaksud. Tentu saja rasa percaya mereka ini masih juga bisa dipertanyakan lagi kenetralannya: tidak mungkinkah ada kepentingan politik tertentu yang menjadi alasan dari timbulnya rasa percaya mereka itu? Tidak mungkinkah pula kepentingan politik tersebut berbeda dari kepentingan politik kelompok-kelompok lain dalam komunitas yang mereka representasikan sebagai “bangsa” tersebut?

Antologi pertanyaan semacam ini, saya yakin, cukup relevan dilontarkan dalam konteks pembentukan sebuah wacana (discourse) yang implikasinya menyangkut kepentingan beragam kelompok sosial seperti “bangsa” atau “nasionalisme” itu. Saya akan mengambil sebuah contoh dari dunia budaya pop kita.

Kita tentu masih ingat sebuah iklan Extra Joss di televisi sewaktu berlangsungnya Piala Dunia Sepakbola di Jepang/Korea beberapa tahun lalu. Iklan tersebut dimulai dengan sebuah shot seorang laki-laki muda Indonesia berpakaian seragam sepakbola di sebuah lapangan kosong yang kemudian memandang close up ke kamera dan bertanya, “Kapan sepakbola Indonesia ikut Piala Dunia?” Adegan berikutnya terjadi di ruang ganti pakaian di mana laki-laki muda tadi hendak mengambil minuman kaleng dari sebuah mesin minuman. Jendela kaca mesin minuman tersebut tiba-tiba berubah menjadi sebuah layar (televisi?) dan di situ muncul seorang pemain bola terkenal dari Italia, Del Fiero, yang menggapai ke arah laki-laki Indonesia tadi untuk masuk ke dalamnya. Laki-laki Indonesia itu masuk ke dalam layar tersebut. Kita kemudian menyaksikan betapa laki-laki Indonesia itu dipermainkan sebelum akhirnya dipantati keluar layar oleh Del Fiero. Del Fiero lalu mengucapkan sesuatu yang terjemahannya dalam subtitle di layar televisi kita berbunyi, “Jangan putus asa”. Apa yang muncul dalam kepala saya sehabis menonton iklan Extra Joss tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan seperti: Untuk penonton mana iklan itu dibuat? Siapa yang membuat iklan tersebut? Siapa pemilik Extra Joss yang diiklankan itu? Kalau jawaban atas ketiga pertanyaan ini adalah “orang Indonesia”, maka saya berkesimpulan sudah terjadi sesuatu pada pandangan orang Indonesia atas dirinya sendiri. Representasi “Indonesia” yang dibuat orang Indonesia untuk konsumsi orang Indonesia seperti pada iklan Extra Joss itu adalah sebuah sadomasokhisme nasionalisme, karena para konsumennya pun ternyata tidak merasa “terhina” melihat dirinya dipermainkan pemain asing dalam sebuah permainan sepakbola, dipantati keluar dari permainan dan dinasehati untuk tidak putus asa!

Dalam iklan Extra Joss tersebut saya melihat sebuah isu lama tapi yang masih tetap hangat didebatkan ditawarkan kepada penontonnya, yaitu isu “kita” dan “mereka”, “Timur” dan “Barat”, atau apa yang saya sebut sebagai Lokalitas dan Globalitas dalam esei saya ini. “Kita” ketinggalan jauh dalam hal persepakbolaan dibanding “mereka”, makanya sudah pantas kalau “kita” dipermainkan “mereka”. Dari sini bisa juga ditarik sebuah kesimpulan, walau sangat umum, bahwa yang “global” itu lebih baik dibanding yang “lokal”.

Tentu saja pendapat bahwa yang “global” itu lebih baik dibanding yang “lokal” tidak selalu mendominasi di Indonesia. Dalam pergaulan sehari-hari, kita akan menemukan justru yang sebaliknyalah yang sering terjadi, yaitu yang “lokal” dianggap jauh lebih baik daripada yang “global”, “Timur” lebih bernilai positif dibanding “Barat”.

Dalam sejarah pemikiran kebudayaan kita, perdebatan penting tentang isu “globalitas” dan “lokalitas”, tentang “Barat” dan “Timur”, pernah terjadi di tahun 1930an, 1960an, dan 1980an, yaitu apa yang kita kenal sekarang sebagai Polemik Kebudayaan, Polemik Lekra/Manikebu (Prahara Budaya?!), dan Perdebatan Sastra Kontekstual. Saya melihat terdapat sebuah benang merah pemikiran yang menghubungkan ketiga peristiwa penting tersebut yaitu bagaimana “sekelompok elite intelektual” berusaha “membayangkan” apa yang mereka representasikan sebagai “Indonesia” itu sebagai sebuah realitas yang sesungguhnya, paling tidak sebuah realitas yang paling ideal.

***

Adalah Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan pemikir lokal pertama yang melontarkan isu “globalitas” dan “lokalitas”, dalam konteks sebuah usaha “membayangkan Indonesia”, lewat sebuah esei kontroversial yang dipublikasikannya di majalah yang didirikan dan dipimpinnya “Pujangga Baru” pada 1935. Dalam esei berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang akhirnya menimbulkan apa yang oleh Achdiat K Mihardja disebut sebagai “Polemik Kebudayaan” tersebut (yang melibatkan tokoh-tokoh penting saat itu: Sanusi Pane, Dr Poerbatjaraka, Dr Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr M Amir, dan Ki Hajar Dewantara), Sutan Takdir memajukan tesisnya bahwa sejarah sesuatu yang bernama “Indonesia” itu harus dibedakan atas dua zaman, yaitu zaman “Indonesia” kontemporer abad duapuluh – yang dikarakterisasikannya sebagai “ketika lahir suatu generasi yang baru di lingkungan Nusantara ini, yang dengan insyaf hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan negerinya”– dan zaman sebelum itu, zaman hingga penutup abad sembilanbelas, “zaman prae-Indonesia, zaman jahilliah keindonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin dan lain-lain”.

Kita bisa membayangkan “ahistorisme” pasti akan dituduhkan atas pemahaman sejarah yang terkesan patah-patah macam begini. Tapi apa yang lebih memperparah “ahistorisme” Sutan Takdir di mata lawan-lawan polemiknya adalah pernyataan tegasnya bahwa:

“Ramuan untuk masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang harus kita cahari sesuai dengan keperluan kemajuan masyarakat Indonesia yang sempurna. Tali persatuan dari bangsa kita teristimewa sekali berdasarkan atas kepentingan bersama itu ialah sama-sama mencari alat dan berdaya upaya, agar masyarakat kepulauan Nusantara yang berabad-abad statisch, mati ini menjadi dynamisch, menjadi hidup. Sebabnya hanya suatu masyarakat yang dynamisch yang dapat berlomba-lomba di lautan dunia yang luas.

Maka telah sepatutnya pula alat untuk menimbulkan masyarakat yang dynamisch yang teristimewa sekali kita cahari di negeri yang dynamisch pula susunan masyarakatnya. Bangsa kita perlu alat-alat yang menjadikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia yang dewasa ini mencapai kebudayaannya yang tinggi seperti sekarang: Eropah, Amerika, Jepang.

Demikian saya berkeyakinan, bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi sesuatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab.

Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.”

“Timur” statis makanya mati dan “Barat” dinamis makanya hidup, maka sudah waktunya kita berkiblat ke “Barat” untuk menghidupkan kembali “Timur” yang sudah mati itu, demikianlah kira-kira Sutan Takdir “membayangkan” komunitas “Indonesia” yang dilihatnya “sedang terjadi sekarang ini” itu. Polarisasi “Timur dan Barat” seperti ini akan kita temukan dengan kadar yang lebih kuat lagi pada pandangan lawan-lawan polemik Sutan Takdir, terutama Sanusi Pane dan Dr Sutomo. Tapi bedanya, mereka terutama kedua yang terakhir ini justru memandang “Barat” sebagai yang negatif makanya mesti dihindarkan, demi kemurnian “Timur” yang adiluhung itu.

Sanusi Pane dalam “Persatuan Indonesia”, tulisan tanggapannya atas esei polemis Sutan Takdir tersebut, menyatakan, dengan tidak kalah tegasnya pula, bahwa:

“Barat. . .mengutamakan jasmani, sehingga lupa akan jiwa. Akalnya dipakainya menaklukkan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwanya, asal menguasai jasmani.

Timur mementingkan rohani, sehingga lupa akan jasmani. Akalnya dipakainya mencari jalan mempersatukan dirinya dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.”

Walaupun Sanusi Pane beranggapan bahwa sesuatu yang ideal adalah “menyatukan Faust dengan Arjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan dan collectivisme”, kita masih bisa merasakan justru sifat idealisme-utopis yang mustahil untuk diwujudkan dari konsep penyatuan Faust/Arjuna itulah yang membuat dia akhirnya masih percaya bahwa “Timur, lebih baik” karena “materialisme, intellectualisme dan individualisme” – yang merupakan dasar berkembangnya budaya Barat tapi yang juga menimbulkan ketidakadilan (“ada orang yang kebanyakan dan ada yang kelaparan”) – boleh dikatakan tidak diperlukan. “Manusia merasa dirinya satu dengan dunia sekelilingnya,” demikianlah alasan Sanusi Pane dalam memilih “Timur” ketimbang “Barat”.

Cara memandang “Timur” secara mistik begini terefleksi juga pada isi beberapa prasaran dalam Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia yang berlangsung di Solo pada tahun yang sama, yang membuahkan kritik yang bahkan jauh lebih keras lagi dari Sutan Takdir. Kritik Sutan Takdir yang diberi judul “Semboyan yang Tegas” itu ditujukan pada apa yang dilihatnya sebagai kecenderungan sikap “anti-intellectualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-materialisme” – atau anti-Barat secara umum karena isme-isme inilah yang dianggap sebagai dasar-dasar budaya Barat oleh kalangan elite intelektual kita saat itu, seperti juga sekarang – pada pidato sejumlah besar pembicara pada Kongres tersebut. Ki Hajar Dewantara misalnya menyatakan bahwa kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan berpengaruh kuat atas tumbuhnya egoisme dan materialisme, sementara mengasah intelek 8 jam di sekolah menimbulkan intelektualisme yang memisahkan sekolah dari hidup keluarga hingga “sia-sialah usaha pendidikan budi pekerti dan budi khalayak di ruang keluarga itu”! Dr Sutomo mencela sistem pendidikan kolonial karena “terutama mementingkan kecerdasan akal”! Dr Wediodiningrat malah mengecam habis-habisan “kecerdasan otak cara sekarang” yang dikatakannya menciptakan “perasaan pertempuran antara ‘aku’ yang satu dengan ‘aku’ yang lain”. Untuk mencegah terjadinya “kekacauan bagi dunia” maka dianjurkannya “peleburan perasaan ‘aku’” tersebut. Bagi Sutan Takdir, sikap anti atas isme-isme di atas merupakan sikap yang mengada-ada, tidak relevan, karena mengesankan seolah-olah isme-isme tersebut sudah mapan, sudah mentradisi makanya mulai menjadi negatif pengaruhnya di negeri kepulauan ini, padahal:

“Kalau kita timbang benar-benar, soal bangsa kita bukannya soal intellectualisme, bukanlah soal egoisme, bukan pula soal materialisme. Kalau kita analyseeren masyarakat kita dan sebab-sebabnya kalah bangsa kita dengan perlombaan bangsa-bangsa di dunia, maka nyatalah kepada kita bahwa menjadi statischnya, menjadi matinya, tiada berjiwanya masyarakat bangsa kita ialah karena berabad-abad itu kurang memakai otaknya, kurang egoisme (yang saya maksudi bahagiannya yang sehat), kurang materialisme.”

Sambil sekaligus membantah Sanusi Pane, Sutan Takdir percaya bahwa “sesungguhnya soal bangsa kita yang sebenar-benarnya soal kekurangan intellect, soal kurang hidupnya individu, soal terlampau pemurahnya (kurang egoismenya) tiap-tiap orang, soal kurang giatnya orang mengumpulkan harta dunia”. Sutan Takdir mengunci kritiknya itu dengan sebuah serangan balik yang telak dalam bentuk sebuah isu baru yang sekali lagi dialah yang pertama melontarkannya untuk diperdebatkan di kalangan intelektual kita: “Dan sesungguhnya masyarakat bangsa kita telah mulai dynamisch dalam dua tiga puluh tahun yang akhir ini. Sebabnya ialah pendidikan Barat yang diejekkan intellectualistisch, individualistisch, egoistisch, dan materialistisch itu”.

***

Peristiwa “membayangkan” apa itu kolektivitas bernama “Indonesia” tentu saja sudah pernah terjadi sebelum Polemik Kebudayaan seperti yang bisa kita saksikan pada didirikannya lembaga penerbitan kolonial Belanda Balai Pustaka dengan konsep sastra Melayu Tinggi-nya itu. Atau pada pertemuan para intelektual muda kolonial yang menghasilkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu pada 28 Oktober 1928. Tapi baru pada peristiwa Polemik Kebudayaan terlihat dengan jelas untuk pertama kalinya polarisasi konseptual antara globalitas dan lokalitas di kalangan kaum intelektual Indonesia dalam “membayangkan Indonesia”.

Terlepas dari setuju-tidaknya kita atas pandangan Sutan Takdir Alisjahbana dan lawan-lawan polemiknya tentang apa itu “Barat” dan “Timur”, apa yang menarik adalah bahwa polemik tersebut terjadi di kalangan mereka yang rata-rata memperoleh “pendidikan Barat”, sampai ke tingkat perguruan tinggi malah. Mereka adalah alumni pertama dari sistem pendidikan Barat dalam sejarah perkembangan intelektual kita. Tapi satu hal yang sangat mengherankan: walau bagaimanapun kerasnya (bahasa) kedua pihak membela diri sambil menyerang lawan polemik, tidak satu pun dari mereka pernah dengan kritis membicarakan kondisi masyarakat mereka saat itu, yaitu kolonialisme Belanda itu sendiri!

Perdebatan tentang “Barat” dan “Timur”, tentang yang “Universal” dan yang “Kontekstual”, tentang yang “Global” dan yang “Lokal” di sebuah masyarakat seperti Indonesia tidak bisa melupakan satu hal yang umum dimiliki oleh negeri-negeri Dunia Ketiga seperti Indonesia, yaitu kondisi pascakolonialnya, pascakolonialitasnya. Dunia Ketiga adalah dunia (bekas) jajahan Barat, yaitu Eropa Barat dan Amerika Serikat. Membicarakan segala sesuatu tentang Dunia Ketiga tidak akan memuaskan tanpa juga mempertimbangkan efek-efek kultural dari penjajahan, yang rata-rata berumur panjang itu. Dalam eseinya yang pertama, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”, yang jadi pemicu terjadinya perdebatan intelektual penting pertama dalam sejarah pemikiran modern Indonesia itu, Sutan Takdir Alisjahbana sebenarnya sudah menyinggung soal-soal yang saat ini dikenal sebagai isu-isu penting masyarakat pascakolonial, seperti mimikri dan hibriditas identitas, tapi satu hal pokok yang justru menjadi sebab dari kondisi pascakolonial tersebut anehnya luput dari pembicaraannya, yaitu realitas kolonialisme yang sedang dialami “Indonesia” yang sedang dibayangkan itu. Membaca kumpulan tulisan mereka dalam buku “Polemik Kebudayaan” yang disusun oleh Achdiat K Mihardja, tidak ada tertinggal kesan pada kita bahwa mereka itu sebenarnya hidup sebagai manusia terjajah di negerinya sendiri, padahal beberapa di antara mereka, menurut buku-buku sejarah, sangat terlibat dengan gerakan melawan penjajahan Belanda di negeri ini. Bangsa adalah sebuah masyarakat yang dikhayalkan, “imagined community”, yang berfungsi sebagai sebuah kekuatan resistensi terhadap kekuasaan hegemonik kolonialisme yang mendominasi masyarakat dimaksud, menurut Ben Anderson. Bukankah sesuatu yang ironis bahwa “kekuasaan hegemonik kolonialisme” itu sendiri sampai “terlupakan” dalam sebuah perdebatan di mana konsep “apa itu Indonesia” merupakan isu yang paling penting. Elitisme sekelompok terpelajar dari keluarga bangsawan atau kelas sosial tinggi justru terkesan sangat kuat mewarnai pandangan mereka walau mereka memakai kosakata yang menyebut-nyebut “bangsa”, “masyarakat”, dan “rakyat” malah.

***

Ada sebuah anekdot terkenal tentang seorang tokoh yang dianggap sebagai representasi dari segala sesuatu yang secara esensialis merupakan nilai keadiluhungan budaya Timur, Mahatma Gandhi. Dalam kunjungannya ke Inggris untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar India Kedua pada 1931, Gandhi mendapat sebuah pertanyaan yang dilontarkan seorang wartawan setibanya di kota London: “Mr Gandhi, what do you think of Western civilization?” Jawaban Gandhi berikut ini membuat anekdot tersebut menjadi begitu terkenal, “I think it would be a very good idea”.

Cerita anekdot semacam ini telah menciptakan sebuah mitos “anti-Barat” pada diri Gandhi, apalagi kalau dihubungkan dengan konsep-konsep “anti-materialis”nya seperti swadesi, ahimsa, dan satyagraha, tapi di sisi lain melupakan identitas biografisnya sebagai seorang subjek pascakolonial par excellent.
Seperti diuraikan Robert Young dalam bukunya yang sangat bagus tentang pascakolonialisme, “Postcolonialism: An Historical Introduction”, warisan dari kritik Gandhi atas modernitas, dan atas pemakaian ide-ide Barat secara derivatif tanpa kritis, masih merupakan kekuatan besar dalam pemikiran beberapa pemikir kontemporer India seperti Partha Chatterjee, tanpa melihat paradoks betapa Gandhi mencapai semuanya itu sebagian besar melalui sintesis eklektik dari pemikiran para pemikir counter-culture Barat. Konsep hidup-mandiri swadesi, misalnya, banyak dipengaruhi oleh bacaannya atas pemikiran sosialisme utopia Barat dan teori ekonomi John Ruskin. Bahkan dari ideologi perjuangan nasionalis Irlandia, Sinn Féin, dan gerakan suffragette perempuan Inggris. Henry David Thoreau, Tolstoy, dan Edward Carpenter adalah pemikir-pemikir Barat lain yang sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pemikiran “ke-Timur-an” yang diklaim sebagai “asli” ciptaan Gandhi. Seperti yang disimpulkan Young, sekaligus sebagai respons terhadap pemikir pascakolonial Amerika Serikat asal India, Gayatri C Spivak, “Gandhi adalah bukti hidup bahwa kaum subaltern bisa, dan bahkan sudah, bicara”.

Kondisi pascakolonial macam inilah yang gagal disadari oleh lawan-lawan polemik Sutan Takdir yang masih sibuk dengan romantisme “esensialisme” budaya “Timur” atau “lokal” yang mereka anggap masih utuh seperti sebelum terjadinya kolonialisme. Sementara pada Sutan Takdir “kesadaran” akan kondisi pascakolonial itu tidak benar-benar berdasarkan pemahaman akan hibriditas identitas subjek pascakolonial itu sendiri, seperti pada pemikir Aljeria asal Martinique, Frantz Fanon, atau Minke dalam Novel Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, tapi lebih kepada usaha untuk “mensejajarkan diri” dengan “Barat” yang sedang mendominasi tersebut. Atau dalam istilah Asrul Sani dkk lebih dari satu dekade kemudian: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”. “Kesejajaran status dengan Barat” (Belanda); makanya mesti dicapai lewat pendidikan Barat – seakan-akan pendidikan Barat memang jaminan untuk itu, seakan-akan tidak ada politik alternatif lain di luar politik pendidikan yang bisa juga memungkinkan terjadinya kondisi kesetaraan tersebut. Makanya juga tidak terdapat pembicaraan yang kritis atas (politik) kolonialisme yang sedang dihadapi. Kesalahkaprahan Sutan Takdir ini kita lihat diulang lagi akhir-akhir ini dengan munculnya ide untuk membentuk apa yang disebut sebagai “Pusat Kebudayaan Indonesia” di luar Indonesia, hanya sebagai kenaifan untuk ikut-ikutan dalam sebuah perlombaan imperialisme kebudayaan ketimbang benar-benar demi kepentingan kebudayaan itu sendiri.

***

Pascakolonialitas masyarakat Dunia Ketiga, dalam konteks pembicaraan globalitas dan lokalitas dalam identitasnya, mungkin bisa dijelaskan secara umum seperti berikut ini.

Ekspansi kapitalisme-awal Barat berjalan mulus setelah terjadi dan menjadi kokohnya kolonialisme Barat di Asia, Afrika, dan benua Amerika. Sementara itu, untuk bisa hidup langgeng happily ever after, kolonialisme memerlukan terjadinya proses regenerasi, seperti organisme hidup lainnya. Khas watak kapitalisme, ideologi ongkos-produksi minimum dengan keuntungan sebesar-besarnya membuat para kapitalis-kolonialis memanfaatkan sumber daya manusia, setelah mengeruk sumber daya alam, negeri jajahan masing-masing. “Pendidikan kaum tertindas” pun dimulai, dengan mendirikan “sekolah rakyat” walau terbatas hanya untuk “para priyayi” – untuk menyediakan lapangan kerja yang lebih murah ketimbang mendatangkan pekerja dari negeri asal kaum kolonial itu sendiri. Alasan untuk memilih hanya kelompok “para priyayi” karena mereka ini memang yang paling banyak berkepentingan, sebagai kelas sosial yang berkuasa (sebelum dan bahkan sesudah terjadinya kolonialisme), untuk/atas terciptanya sebuah “kolaborasi penjajah-terjajah”, lewat pendidikan dan pekerjaan. Kolaborasi inilah yang akhirnya melahirkan “kaum elite koloni”. Mereka ini jugalah yang kelak di kemudian hari bermetamorfosis menjadi “the founding fathers” itu, seperti presiden atau perdana menteri pertama negeri-negeri koloni yang berhasil memperoleh “kemerdekaan”nya. Karena asalnya memang metamorfosis “kolaborasi penjajah-terjajah”, para “the founding fathers” negeri-negeri bekas koloni adalah subjek hibrid pascakolonial, fisiknya Bumiputra tapi “selera”nya Eropa Barat atau Amerika Serikat. Black skin, white masks, kata Fanon.

Ironisnya, justru setelah “merdeka” dan untuk “mengisi” kemerdekaan tersebut, menjadi pakem kebijaksanaan administrasi negara dan politik luar negeri setiap negeri pascakolonial untuk harus menggarisbesarkan orientasi eksistensinya ke kiblat Eropa Barat atau Amerika Serikat, kekuasaan yang pernah lama bercokol jadi hegemoni dominan di masing-masing negeri bekas koloni, yang telah berubah menjadi kekuatan hegemonik neo-kolonialisme politik, ekonomi dan budaya itu. Terutama lewat apa yang secara eufemistik disebut sebagai “globalisasi” ekonomi itu. Karena diciptakan di bumi budaya Barat, mau tak mau istilah “globalisasi ekonomi” tentu sarat dengan kandungan ideologi budaya Barat. Politik ekonomi tidak mungkin tidak memiliki politik budaya. Akhirnya, “pendidikan kaum tertindas” ternyata cuma awal dari “globalisasi” nilai-nilai budaya kaum kolonial belaka. Inilah paradoks dari “nasionalisme” hibriditas identitas subjek pascakolonial itu. La Trahison des Clercs?

Senin, 04 Mei 2009

Sastra yang Tidur dalam Kulkas

Saut Situmorang*
http://www.sinarharapan.co.id/

”Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat baris pertama sajak Afrizal Malna yang berjudul ”Persahabatan Dengan Seekor Anjing” yang muncul dalam kolom yang sama dengan esai Suryadi berjudul ”Dobrak Kultus, Menjadikan ‘Merek Dagang’”(Media, 02/02/03). Kalau sajak Afrizal yang prose-poem itu tidak malu-malu bicara soal ”isu lama untuk pusat baru”, yaitu persoalan ”apakah sastra harus dengan teguh mengemban komitmen sosialnya atau, sebaliknya, tetap bertengger di menara gading”, dan telah melakukan pilihannya, maka esai Suryadi dengan tegas menolak memilih satu di antara keduanya tapi menawarkan sebuah pilihan baru yaitu sastra sebagai ”merek dagang”.

Kalau penyair ”bentuk” eksperimental Afrizal Malna masih memilih sastra yang juga peduli pada ”isi”, maka pengajar/dosen sebuah universitas di Belanda Suryadi malah merasa ”letih oleh debat antara ‘bentuk’ dan ‘isi’ karya sastra” dan menganjurkan agar ”meningkatkan gengsi karya sastra (Indonesia) di mata pembacanya” dengan melakukan populerisasi karya sastra, paling tidak, lewat promosi dunia pariwisata! Betapa ironis, seorang penyair eksperimental par excellence masih menganggap ”isi” puisinya penting sementara seorang akademisi, yang seharusnya menghasilkan kritik sastra, malah menganjurkan kiat dagang untuk menjual karya sastra, demi menaikkan ”gengsi” sastra!

Apa yang saya pahami dalam esai Suryadi tersebut adalah keyakinannya yang kuat bahwa sastra Indonesia tidak ”bergengsi”, kalau pun ada maka rendah, di ”mata pembacanya”. Saya berusaha mencari apa alasan Suryadi untuk membuat pernyataannya itu tapi saya gagal menemukannya dalam esainya. Apa yang saya temukan justru ”laporan” atas apa yang dikatakan oleh dua orang penulis Perancis, yang menurut Suryadi merupakan ”teori sastra terkini”, tentang fungsi sosiologis sastra di sebuah masyarakat kapitalis seperti Perancis, yaitu sastra sebagai simbol status sosial. Saya membaca Sartre, maka saya ada dalam kelas sosial tertentu, begitu mungkin penjelasan gampangannya. Lantas di manakah relevansi kutipan di-luar-konteks dari Pierre Bourdieu dan sebagainya itu dengan rendahnya gengsi sastra Indonesia di mata pembacanya? Atau, sudah tepatkah gambaran pembaca sastra yang dimaksudkan oleh Bourdieu dengan realitas pembaca Indonesia? Mungkin sebuah pertanyaan ekstrem bisa dilontarkan: adakah pembaca sastra Indonesia, paling tidak dalam pengertian yang dimaksudkan Bourdieu di atas, yakni pembaca yang membaca sastra supaya mereka dianggap ”berbudaya tinggi dan bukan dari golongan orang biasa”?

Suryadi juga menyatakan bahwa ”analisis” seni yang sudah berhasil meningkatkan gengsi karya di mata penikmatnya di Indonesia ”sudah dirasakan dalam bidang seni rupa”, tapi sekali lagi dia ”lupa” untuk membuktikan yang ”sudah dirasakannya” itu kepada kita pembaca esainya itu! Apakah yang dia maksud besarnya jumlah kolektor atau luasnya pemahaman orang Indonesia atas karya seni rupa Indonesia?! Peristiwa ”amnesia tekstual” yang dominan mewarnai esai Suryadi tersebut merupakan cacat-cacat pemikiran yang sangat mengganggu pembacaan saya atas esainya itu dan menimbulkan kecurigaan besar atas pemahamannya tentang topik yang sedang dia bicarakan. Perhatikan saja ”salah cetak” yang terjadi atas nama ”Macbeth” dan ”Chairil Anwar” yang menjadi ”Machbeth” dan ”Khairil Anwar” itu!

Apa yang sering terjadi di kalangan cerdik-pandai Indonesia dalam peristiwa euforia keterpesonaan mereka pada pembacaan mereka atas teori-teori ”terkini” dari dunia pemikiran Barat adalah konteks dari penciptaan teks-teks yang mereka baca itu. Secara tak sadar mereka take for granted yakin bahwa teori-teori ”terkini” yang mereka baca itu tercipta dengan realitas Indonesia sebagai salah satu faktor penulisannya! Betapa arifnya seorang Jean-François Lyotard yang memperingati pembacanya bahwa ”kondisi pascamodern” yang dia maksudkan dalam bukunya yang berjudul The Postmodern Condition adalah sebuah kondisi sosial seperti yang bisa ditemukan di negeri-negeri industri-kapitalis maju, Perancis misalnya. Makanya seorang pembaca Indonesia mesti lebih bijaksana lagi dibanding Lyotard sendiri dalam ”membaca” bukunya itu, bukan?

Sebuah pernyataan lain yang dibuat oleh Suryadi menunjukkan betapa jauhnya dia berada dari dunia kangouw sastra Indonesia, yaitu bahwa bagi dia ”Jika seorang Ayu Utami atau Dewi Lestari menjadi fenomenal karena ‘faktor X’, maka itu sah-sah saja”! ”Faktor X” apakah yang membuat kedua novelis di atas menjadi ”fenomenal”? Novel mereka sebagai novelkah yang membuat keduanya ”fenomenal”? Kritik sastrakah? Pembacakah? Atau sesuatu yang non-sastra tapi sangat mempengaruhi resepsi sebuah karya sastra, seperti politik sastra dalam bentuk karnaval puja-puji sangat tendensius oleh komunitas sastra ”bermedia massa” di mana sang novelis menjadi anggotanya? Tidak akan adakah pengaruh terjadi pada resepsi pembaca oleh gemuruhnya ekspose yang dilakukan pada seorang novelis di media massa sementara analisis kritis atas karyanya hampir nol sama sekali? Kalau bagi Suryadi yang seorang ”pengajar bahasa dan budaya” itu politik sastra semacam yang di atas itu ”sah-sah saja” dalam membuat sebuah karya sastra atau seorang sastrawan menjadi ”fenomenal”, ”fenomenal” yang macam apa ini? Apa ”fenomenal” 15-minute fame ala MTV! Atau ”fenomenal” Kahlil Gibran yang belum tertandingi dalam sejarah buku di negeri ini!

Kalau asersi Suryadi memang benar bahwa sastra Indonesia itu rendah ”gengsi”nya di mata pembacanya, seperti pembaca bernama Suryadi sendiri, maka bukankah ”faktor X yang sah-sah saja” bagi dia itu, yaitu politik sastra komunitas yang eksklusif itu, justru hanya akan memperparah jatuhnya ”gengsi” sastra Indonesia? Kebebasan pembaca untuk menilai karya yang dibacanya sudah sangat dipengaruhi bukan oleh, paling tidak, resensi atas karya tersebut di media massa tapi oleh kampanye iklan dalam bentuk puja-puji setinggi langit yang dilakukan para politikus sastra komunitas sastrawan yang bersangkutan. Bukankah Nur Zain Hae sendiri pun mengakui realitas politik sastra komunitas ini dalam esainya ”Isu Lama Untuk Pusat Baru” (”… bukan sekedar saling menggaruk punggung, seperti yang selama ini terjadi di Komunitas Utan Kayu.”) (Media, 19/01/03)!

Apa yang dipertanyakan oleh Oyos Saroso HN dalam esainya ”Ketika Sastra Menjadi Nonsens” (Media, 12/01/03), yang menjadi pemicu polemik ini, adalah sebuah pertanyaan ”sastra yang tidak nonsens”. Apakah warna dominan sastra kontemporer Indonesia adalah sastra yang cuma sibuk dengan ”bentuk dan cenderung mengabaikan isi dan ideologi”, sebuah warna yang diidentifikasi kalangan sastrawan muda Indonesia pada sebuah komunitas sastra bermedia-massa di Jakarta? Nur Zain Hae bisa saja mengolok-olok pertanyaan Oyos ini dengan sebuah sikap pseudo-heroik bahwa ”daripada terus menggerutu dan cemburu, lebih baik kita bergabung untuk membuat komunitas dan ‘laboratorium’ lain, majalah atau jurnal sastra yang berbeda, menulis karya sastra dan merancang diskusi yang lebih bermutu” (Media, 19/01/03), tapi ejekannya itu cuma menunjukkan betapa naif dan sederhananya dia memandang sebuah persoalan yang dianggap serius oleh banyak sastrawan muda Indonesia. Dan betapa tidak sensitifnya! Kalau seorang sastrawan Indonesia sudah tidak boleh lagi mengeluarkan ”protes” atas apa yang dia rasakan sebagai kondisi yang mengancam kelangsungan kehidupannya sebagai seorang sastrawan oleh sesama sastrawan, apa bedanya kita dengan rezim diktator militer Orde Baru yang haus darah itu!

Politik sastra sama kejamnya dengan politik praktis di negeri realis-magis ini. Kepentingan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok yang happily ever after telah diutamakan dengan pengorbanan kepentingan dan kelangsungan hidup kelompok lain. Survival of the fittest bukan cuma ideologi politik praktis di negeri ini, tapi juga dianut oleh para politikus sastra Indonesia. Mungkin para politikus sastra ini sedikit berbeda dari kawannya di dunia politik praktis, yakni mereka tidak sadar-sadar betul bahwa ”kewajaran” yang mereka lakukan ternyata merupakan sesuatu yang sangat negatif bagi sastrawan lain. Mungkin merupakan sesuatu yang ”wajar” bahwa seorang novelis yang baru menerbitkan satu novel berhasil memenangkan hadiah Prince Claus Award karena mereka klaim melakukan pembaharuan dan yang semacamnya itu dalam sastra kontemporer Indonesia. Mungkin sesuatu yang ”wajar” pula bahwa seorang ”penyair” yang selebriti media massa mewakili ”penyair Indonesia” dalam sebuah program baca-puisi internasional. Mungkin ”wajar” juga bahwa seorang sastrawan bisa menjadi seorang sastrawan yang menulis dalam bahasa nasionalnya walau dia tidak mengenal dunia sastra berbahasa nasionalnya itu, dia adalah sang mesias yang tidak terlahir dari tradisi rahim sastra nasionalnya sendiri. Mungkin juga ”wajar” bagi seorang cerpenis yang bisa menerbitkan buku kumpulan cerpennya hanya setahun dua tahun sejak dia mulai mempublikasikan cerpennya lalu diklaim sebagai ”monalisa” sastra Indonesia juga.

Tapi saya setuju dengan Oyos Saroso HN. Saya tidak menganggap ”kewajaran” di atas adalah ”wajar”. Saya tidak bisa menerima ”faktor X” sebagai yang ”sah-sah saja” dalam resepsi sebuah karya sastra seperti yang diyakini seorang pengajar bahasa dan budaya saya di negeri Belanda sana. Dan saya lebih tidak bisa menerima lagi tuduhan asal-asalan Nur Zain Hae yang, bagi saya, terkesan oportunistik itu.

Saya setuju dengan Oyos dalam konteks absennya tradisi kritik sastra di sastra Indonesia telah menyebabkan politik sastra menjadi paus sastra kontemporer Indonesia. Karena ideologi politik sastra yang menjadi kekuasaan hegemonik adalah ideologi formalisme sastra, maka ideologi lain pasti akan tersingkirkan kalau tidak terbunuh. Oyos sudah menunjukkan dengan telak contoh dari ideologi formalisme ini dalam puisi Sitok Srengenge yang cuma ”mengejar rima dan membangun metafora” belaka. Saya akan menambahkan dengan mayoritas cerpen yang muncul tiap Minggu di Koran Tempo, yang bagi saya merupakan sisi ekstrem lain dari cerpen-cerpen realis di Kompas. Kekuasaan hegemonik juga melakukan pilihan-pilihan atas apa yang mesti diselamatkan dari ideologi lain. Kenapa mengklaim para penyair Lekra di Belanda sebagai ”penyair eksil” walau karya mereka tidak ada bedanya dengan apa yang ditulis oleh banyak penyair di dalam Indonesia? Kenapa mereka mesti ”diselamatkan” sementara yang di Indonesia tidak? Dan dari para penyair domestik yang menulis tentang ”penindasan dan kezaliman kekuasaan” dalam bahasa yang juga tidak ”miskin” dan tidak ”kering”, kenapa hanya Wiji Thukul yang dipilih untuk dirayakan? Juga apakah ”riset penulisan” dan ”rajin membaca” merupakan faktor-faktor penentu bagi lahirnya ”karya besar”?! Antologi pertanyaan aneh seperti ini mungkin tak perlu lagi dibuat andai kritik sastra hadir sebagai polisi lalulintas sastra Indonesia.

Perbedaan ideologi, tentu saja, adalah sesuatu yang sah-sah saja dalam kehidupan manusia, apalagi dalam kehidupan politik. Perbedaan ideologi membuat kehidupan tidak lagi dibayang-bayangi oleh momok The Big Brother Orwellian, yang seperti malaekat elmaut terus-menerus menuntut kematian mereka yang tidak patuh. Malah perbedaan ideologi mesti diharuskan dalam kehidupan! Betapa membosankan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak protes. Betapa menjemukan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak foreplay yang masturbatori begitu-begitu saja. Begitu juga novel, begitu pula cerpen. Dan esai. Yang kita inginkan adalah multiorgasme dalam multiklimaks yang lebih panjang dari sebuah angkatan, sebuah generasi sastra. Saat ini, politik sastra telah membuat sastra kontemporer kita menjadi sastra yang impoten, sastra yang frigid, sastra yang tidur dalam kulkas. Mudah-mudahan tetap awet sampai kritik sastra datang dari Planet Pluto sana untuk menghangatkannya, menggairahkannya lagi.

*) penyair dan esais, tinggal di Jogjakarta.

Sabtu, 27 September 2008

PENOLAKAN SAUT SITUMORANG ATAS KHATULISTIWA LITERARY AWARD

During times of universal deceit,
telling the truth becomes a revolutionary act

-George Orwell

Menanggapi beredarnya Long-list Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2008 yang memasukkan buku saya "otobiografi" ([sic] Yogyakarta, November 2007) sebagai salah satu 10 besar kategori Puisi, dengan ini saya nyatakan menolak pengikutsertaan buku saya tersebut. Adapun alasan saya adalah sebagai berikut :

Sejak awal saya menganggap keberadaan KLA tidak layak dan tidak representatif bagi kesusasteraan Indonesia karena dasar dan sistem penilaian karya tidak pernah jelas, inkonsisten, improvisasi, dan tidak profesional.

Beberapa cacat fatal dapat disebutkan:

a. Panitia maupun juri melanggar aturan yang mereka buat sendiri. Contoh: Menangnya buku puisi Goenawan Mohamad, "Sajak-sajak Lengkap", pada KLA perdana, merupakan pelanggaran terang-terangan atas aturan yang sudah diumumkan panitia sebelumnya bahwa karya kompilasi (yang sudah pernah diterbitkan terdahulu) tidak bisa diikutkan dalam penilaian, dan buku yang diterbitkan oleh Metafor Publishing (milik bos KLA, Richard Oh) juga tidak akan diikutkan dalam penilaian. Kenyataannya, "Sajak-sajak Lengkap" Goenawan Mohamad yang merupakan gabungan puisi lama dan baru dan diterbitkan Metafor Publishing pula, terpilih sebagai pemenang!

Hal ini terulang pada KLA 2005 dimana buku puisi Iman Budhi Santoso, "Matahari-matahari Kecil", yang berisi 100 puisi pilihan yang merupakan "trademark" karya kompilasi penerbit Grasindo, masuk dalam 5 besar penilaian!

Dan hal ini terjadi lagi pada buku puisi saya, "otobiografi" ([sic] Yogyakarta, November 2007). Buku ini jelas-jelas berisi puisi lengkap saya yang sebagian pernah terbit dalam "saut kecil bicara dengan tuhan" (Bentang Budaya, 2003) dan "catatan subversif" (BukuBaik, 2004)!

b. Panitia dan juri tidak profesional, bekerja asal-asalan dan ngawur. Contoh: Dalam KLA 2005, buku puisi penyair cilik, Abdurahman Faiz (saya lupa judulnya) semula muncul dalam daftar 10 besar, tapi setelah adanya sejumlah protes dan kritik, tiba-tiba nama Abdurahman Faiz dihapus begitu saja, dan segera diganti nama dan buku lain. Terlepas dari protes atau kritik yang ada, layakkah sebuah karya yang sudah dinilai juri kemudian diumumkan kepada publik, lantas ditarik begitu saja tanpa pertanggungjawaban juri dan penjelasan panitia secara publik?!

c. Kriteria buku yang dinilai tidak jelas: apakah buku yang ditulis secara perorangan atau antologi-bersama? KLA 2008 ini, misalnya, memasukkan sebuah antologi-puisi-bersama di posisi 10 besar!

d. Konsep KLA rancu dan amburadul: apakah berupa anugrah (award) atau lomba? Jika penghargaan, mengapa panitia dan juri tidak proaktif mencari buku untuk dinilai, tapi malah secara pasif menunggu penerbit/penulis mengirimkan bukunya kepada panitia, lengkap dengan batas waktu sebagaimana lazimnya syarat sebuah lomba? Padahal, sejauhmana pengumuman KLA dapat diakses para penulis/penerbit yang bertebaran di seluruh Indonesia? Alhasil, hanya mereka yang mengirim yang akan dinilai, yang tidak mengirim akan luput.

Nah, anehnya, buku "otobiografi" TIDAK pernah dikirimkan oleh Penerbit maupun oleh saya sebagai penulisnya kepada Panitia KLA (sebagaimana yang mereka syaratkan) tapi kok bisa muncul di 10 besar?!

e. Kerja penjurian hanyalah upaya untuk membuat legitimasi bahwa Panitia KLA sudah melakukan mekanisme penilaian yang benar, padahal dasar penilaian dan proses penjurian lebih tepat disebut sebagai sebuah skandal! Contoh: Tidak ada pertemuan antar-juri, bahkan di antara mereka tidak saling tahu, serta tidak ada pertanggungjawaban apapun dari juri bagi karya yang terpilih/pemenang!

Contoh lain, seorang calon juri di Yogyakarta mengundurkan diri karena sistem penilaian yang diterapkan Panitia KLA sangat tidak masuk akal. Ia dihubungi sekitar tanggal 25 Agustus 2008 oleh Panitia KLA di Jakarta, yang memintanya menjadi Juri Tahap I dengan honorarium 1 juta rupiah. Anehnya, daftar buku yang akan dinilai sudah ditentukan oleh panitia (mungkin berdasarkan buku yang dikirim penulis/penerbit?), padahal posisi yang ditawarkan adalah Juri Tahap I yang dalam konteks penilaian lebih tinggi posisinya ketimbang panitia. Lha, kok panitia yang menentukan lebih dulu? Gawatnya, hasil penilaian harus sudah sampai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Logikanya, seorang juri tentu mesti baca buku yang dinilainya. Namun dengan waktu yang mepet dan honor 1 juta rupiah, mungkinkah seorang juri dapat membaca atau membeli buku-buku yang hendak dinilainya? Jikapun diasumsikan ada juri yang menyempal, misal mengusulkan buku yang tidak ada dalam daftar,
bukankah suara usulannya itu akan bersifat ”minoritas” belaka, sebab juri lain bisa saja tak mengetahui buku tersebut? Apalagi penilaian berupa tabulasi, penjumlahan angka dari dewan juri, sebagaimana sistem ”Idol” di televisi. Pada akhirnya, itu semua hanyalah semacam fait accompli sebab skenario sebenarnya sudah disiapkan dan juri hanyalah alat legitimasi!

Tak sampai sebulan sejak tanggal 25 Agustus 2008 kita semua tahu Long-list KLA 2008 dikeluarkan, berarti para juri telah sanggup merampungkan tugas membaca dan menilai buku-buku sastra di Indonesia yang terbit kurun waktu satu tahun! Hebat!

Di tengah dekadensi kondisi Sastra Kontemporer Indonesia lantaran merajalelanya para petualang/dilettante sastra dengan politik uangnya, perkoncoan, manipulasi isu-isu kesusasteraan Indonesia atau isu bangsa secara umum di luar negeri atau kepada sponsor baik asing maupun domestik, yang kemudian dilegitimasi dengan ”niat suci demi Sastra” padahal tidak sama sekali –– sebagaimana dengan jelas diperlihatkan pada cara kerja Panitia KLA seperti yang saya elaborasikan di atas, atas bobroknya sistem, moral dan pertanggungjawaban Panitia KLA, sponsor dan juri-jurinya itu, maka dengan ini saya MELARANG KERAS KARYA SAYA "otobiografi" ([sic] Yogyakarta, November 2007) DIIKUTSERTAKAN DALAM KHATULISTIWA LITERARY AWARD!

Kepada kawan-kawan sastrawan Indonesia, marilah kita pikirkan bersama kondisi Sastra kita yang sudah rusak oleh hadiah-hadiah sastra yang tidak jelas maksud-tujuannya seperti KLA dan oleh peristiwa-peristiwa sastra semacam Teater Utan Kayu International Literary Biennale dan Ubud Writers and Readers Festival. Apakah absennya sebuah tradisi Kritik Sastra yang baik dan benar lantas harus membuat Sastrawan Indonesia menjadi tidak kritis! Jangan cuma karena uang dan ambisi untuk ”go international” kita jadi lupa daratan!

Yogyakarta, 20 September 2008

Tertanda,
SAUT SITUMORANG

Ikut mendukung:
Penerbit [sic] Yogyakarta

dari email PUstaka puJAngga

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati