Jumat, 01 Agustus 2008

Mataram: Kemenangan Mitos dan Kekalahan Realitas

Jurnal Kebudayaan The Sandour I, 2006
Haris del Hakim

Mataram dan Sultan Agung
Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lain di Indonesia yang bersifat maritim, kerajaan Mataram bersifat agraris. Kerajaan ini beribu kota di pedalaman Jawa dan banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu, baik pada lingkungan keluarga raja maupun rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai perebutan tahta dan perselisihan antara anggota keluarga yang diintervensi oleh Belanda.

Kerajaan Mataram dianggap oleh sebagian orang sebagai pengembang kebudayaan Jawa dengan berpusat di lingkungan kraton Mataram. Kebudayaan itu perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam.

Banyak versi mitos dan legenda mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram. Secara umum versi-versi itu menghubungkannya dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Demak dan Pajang.Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukota dipindahkan ke Pajang, tepatnya di Butuh, dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang, memberikan hadiah kawasan kepada Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu. Ki Ageng Pemanahan mem-peroleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.

Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok menjadi desa yang makmur dan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang. Setelah Pemanahan meninggal tahun 1575, putranya, Danang Sutawijaya yang sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar, menggantikan kedudukannya. Sutawijaya kemudian memberontak pada Sultan Hadiwijaya, ayah angkatnya sendiri. Sultan Pajang itu meninggal tahun 1582 dan Sutawijaya segera mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati.Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian dari Mataram yang beribukota di Kotagede. Panembahan Senapati bertahta sampai wafat, tahun 1601.

Selama pemerintahannya boleh dikatakan tidak pernah istirahat berperang untuk menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak pun diserang, menyusul Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, dan Cirebon pun dipengaruhi. Raja yang senang menyerang daerah lain itu dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.

Senapati digantikan putranya, Mas Jolang yang dikenal sebagai Panembahan Seda ing Krapyak, yang berkuasa tahun 1601-1613. Selanjutnya ia digantikan oleh Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di masa kekuasaannya (tahun 1613-1645) ibukota kerajaan di Kota-gede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung berambisi untuk menyatukan seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir, seperti Surabaya dan Madura, ditaklukkan agar tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia termasuk penguasa lokal yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang datang lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara VOC telah menguasai beberapa wilayah, seperti Batavia dan Indonesia Bagian Timur.

Tidak ada seorang ahli sejarah pun yang mengungkapkan motivasi sebenarnya dari penyerangan tersebut. Beberapa di antara mereka berspekulasi bahwa motif penyerangan itu adalah monopoli terhadap beras yang dilakukan oleh VOC, dan bukan murni untuk mengusir penjajahan di tanah Jawa. Sebab, bila Sultan Agung melihat dari sisi imperialisme bangsa Eropa, tentu sejak kehadirannya ia akan melakukan pengusiran, seperti yang dilakukan oleh Pati Unus terhadap Portugis di Selat Malaka. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa Sultan Agung tidak berbuat apa-apa di saat VOC melakukan penyerangan terhadap Makasar. Saat itu tentu peluang yang sangat sederhana, apabila ia mau belajar kepada pengalaman Sanggrama Wijaya ketika menghancurkan kekuasaan Jayakatwang.

Sultan Agung juga melakukan peran signifikan dibidang ekonomi dan kebudayaan. Pada masanya terjadi pemindahan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, dimana terdapat sawah dan ladang luas serta subur. Transmigrasi itu untuk memproduksi beras secara besar-besaran sebagai bahan makanan untuk menyerang Batavia. Di bidang kebudayaan ia merekonstruksi kebudayaan berupa sinkretisasi antara Hindu dan Islam.Misalnya, Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing seringkali dihubungkan sebagai karya Sultan Agung.

Ambisi: Kekalahan yang tidak diakui
Awal abad 17 Belanda menghimpun dana untuk membiayai pelayaran-pelayaran guna mencari rempah-rempah. Pada saat yang bersamaan di wilayah Nusantara tengah berlangsung peperangan untuk memuaskan ambisi Sultan Agung. Ia menghancurkan bandar dagang di Surabaya, bandar transit rempah-rempah yang dikonsumsi secara internasional, hanya demi pengakuan atas kekuasaannya. Ironi sejarah yang sulit dimaafkan.

Mataram adalah salah satu kerajaan kuat di Jawa yang memungkiri peranan laut. Ia tidak mau menghadapi Portugis di laut. Kegagalan menghalau koloni pedagang Belanda di Batavia tahun 1629 membuat Mataram kehilangan Laut Jawa, wilayah pelayaran internasional masa itu. Kegagalan itu cukup membuat malu raja yang berambisi itu dan untuk tetap mempertahankan kewibawaannya,para pujangga Jawa membuat mitos bahwa pendiri Mataram menyunting puteri Laut Selatan,Nyi Roro Kidul. Dengan demikian Mataram masih terlibat dengan laut, sebagaimana kata Prof. H. Resink.

Kekalahan Sultan Agung tersebut menandai hilangnya kekuasaan Jawa atas jalur dagang di Laut Jawa, kapal-kapal meriam Barat beroperasi dengan bebas, golongan menengah Jawa yang oportunis berkolaborasi dengan para pemilik kapal dan pedagang antar-pulau, mereka terhalau dari bandar-bandar dan tergiring ke pedalaman.

Keadaan seperti itu tidak pernah menjadi perhatian para penulis di masa itu. mereka justru menyingkirkan kenyataan ini. Bahkan, setelah Sultan Agung meninggal kemudian raja-raja Mataram bersahabat dengan Belanda untuk memuaskan ambisi-ambisi kekuasaan pribadi. Para pujangga semakin berkhayal tentang Nyai Roro Kidul yang dibakukan sebagai kekasih setiap raja Mataram. Para pujangga seakan lupa bahwa kekuasaan tanpa batas Nyi Roro Kidul itu berimplikasi terhadap kekalahan Mataram melawan kekuasaan Barat. Dan, Mataram tidak pernah menang melawan kekuasaan segelintir pendatang.

Sebagai akibatnya, meskipun tidak bisa menuduhkan ambisi raja Mataram itu sebagai satu-satunya sebab, Nusantara dijajah selama 350 tahun. Realitas seperti itu seakan dipungkiri begitu saja oleh para pujangga dan pengarang Jawa. Mereka masih mengunggulkan Jawa dibandingkan Belanda atau Eropa. Jawa tidak pernah terkalahkan. Mengapa kita tidak menghadapi kenyataan?

Makam: Simbol Dendam Kekuasaan
Kerajaan Mataram dibagi dua; sisi barat daerah Yogyakarta dan sisi timur wilayah Surakarta. Lama kelamaan Pangeran Mangkubumi pun mengangkat diri sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I. Sejak itu pula prosesi pemakaman raja-raja keturunan Sultan Agung dibagi di dua tempat, sisi kiri dan kanan makam Sultan Agung.

Selain makam para raja itu, di salah satu tangga menuju makam terdapat nisan makam Tumenggung Endranata yang sengaja dijadikan tangga agar selalu diinjak oleh para peziarah. Nisan itu berada sekitar 10 meter dari pintu gerbang utama. Tumenggung Endranata dianggap sebagai pengkhianat Mataram melawan Belanda semasa pemerintahan Sultan Agung. Setelah berhasil meredam perlawanan daerah-daerah Jawa, Sultan Agung dipanas-panasi oleh pedagang Cina untuk menyerang kompeni pedagang Belanda di Batavia. Pada tahun 1628 dan 1929 tentara Sultan Agung menyerang Batavia yang mengalami kegagalan total. Sebagaimana para pujangga yang mengalihkan kekalahan itu dengan keunggulan mitos Nyi Roro Kidul, para elit militer saat itu mengambinghitamkan Tumenggung Endranata yang dianggap membocorkan siasat pertempuran dan menunjukkan lumbung-lumbung bahan pangan prajurit Mataram. H.J. De Graaf menunjukkan kesaksian bahwa yang membakar lumbung-lumbung itu ialah orang-orang daerah yang tidak puas dengan kebijakan Sultan Agung untuk menyerang Belanda. Di samping itu, ternyata Sultan Agung tidak pernah turut berperang dan lebih suka menyepi di Tembayat sambil membakar sajen.

Tumenggung Endranata yang malang itu kemudian ditangkap dan dipenggal kepalanya. Sebagai tanda peringatan kepada rakyat Mataram agar pengkhianatan tidak terulang kembali, tubuh tanpa kepala itu dikubur di salah satu kaki tangga Makam Imogiri agar semua orang juga bisa menginjak pengkhianat itu.
Namun ada juga cerita versi lain. Badan tanpa kepala yang dikubur di tangga Imogiri itu adalah tubuh JP Coen sebagai simbol kebencian terhadap penjajahan.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati