Jurnal Kebudayaan The Sandour I, 2006
Haris del Hakim
Mataram dan Sultan Agung
Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lain di Indonesia yang bersifat maritim, kerajaan Mataram bersifat agraris. Kerajaan ini beribu kota di pedalaman Jawa dan banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu, baik pada lingkungan keluarga raja maupun rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai perebutan tahta dan perselisihan antara anggota keluarga yang diintervensi oleh Belanda.
Kerajaan Mataram dianggap oleh sebagian orang sebagai pengembang kebudayaan Jawa dengan berpusat di lingkungan kraton Mataram. Kebudayaan itu perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam.
Banyak versi mitos dan legenda mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram. Secara umum versi-versi itu menghubungkannya dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Demak dan Pajang.Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukota dipindahkan ke Pajang, tepatnya di Butuh, dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang, memberikan hadiah kawasan kepada Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu. Ki Ageng Pemanahan mem-peroleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.
Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok menjadi desa yang makmur dan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang. Setelah Pemanahan meninggal tahun 1575, putranya, Danang Sutawijaya yang sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar, menggantikan kedudukannya. Sutawijaya kemudian memberontak pada Sultan Hadiwijaya, ayah angkatnya sendiri. Sultan Pajang itu meninggal tahun 1582 dan Sutawijaya segera mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati.Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian dari Mataram yang beribukota di Kotagede. Panembahan Senapati bertahta sampai wafat, tahun 1601.
Selama pemerintahannya boleh dikatakan tidak pernah istirahat berperang untuk menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak pun diserang, menyusul Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, dan Cirebon pun dipengaruhi. Raja yang senang menyerang daerah lain itu dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.
Senapati digantikan putranya, Mas Jolang yang dikenal sebagai Panembahan Seda ing Krapyak, yang berkuasa tahun 1601-1613. Selanjutnya ia digantikan oleh Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di masa kekuasaannya (tahun 1613-1645) ibukota kerajaan di Kota-gede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung berambisi untuk menyatukan seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir, seperti Surabaya dan Madura, ditaklukkan agar tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia termasuk penguasa lokal yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang datang lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara VOC telah menguasai beberapa wilayah, seperti Batavia dan Indonesia Bagian Timur.
Tidak ada seorang ahli sejarah pun yang mengungkapkan motivasi sebenarnya dari penyerangan tersebut. Beberapa di antara mereka berspekulasi bahwa motif penyerangan itu adalah monopoli terhadap beras yang dilakukan oleh VOC, dan bukan murni untuk mengusir penjajahan di tanah Jawa. Sebab, bila Sultan Agung melihat dari sisi imperialisme bangsa Eropa, tentu sejak kehadirannya ia akan melakukan pengusiran, seperti yang dilakukan oleh Pati Unus terhadap Portugis di Selat Malaka. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa Sultan Agung tidak berbuat apa-apa di saat VOC melakukan penyerangan terhadap Makasar. Saat itu tentu peluang yang sangat sederhana, apabila ia mau belajar kepada pengalaman Sanggrama Wijaya ketika menghancurkan kekuasaan Jayakatwang.
Sultan Agung juga melakukan peran signifikan dibidang ekonomi dan kebudayaan. Pada masanya terjadi pemindahan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, dimana terdapat sawah dan ladang luas serta subur. Transmigrasi itu untuk memproduksi beras secara besar-besaran sebagai bahan makanan untuk menyerang Batavia. Di bidang kebudayaan ia merekonstruksi kebudayaan berupa sinkretisasi antara Hindu dan Islam.Misalnya, Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing seringkali dihubungkan sebagai karya Sultan Agung.
Ambisi: Kekalahan yang tidak diakui
Awal abad 17 Belanda menghimpun dana untuk membiayai pelayaran-pelayaran guna mencari rempah-rempah. Pada saat yang bersamaan di wilayah Nusantara tengah berlangsung peperangan untuk memuaskan ambisi Sultan Agung. Ia menghancurkan bandar dagang di Surabaya, bandar transit rempah-rempah yang dikonsumsi secara internasional, hanya demi pengakuan atas kekuasaannya. Ironi sejarah yang sulit dimaafkan.
Mataram adalah salah satu kerajaan kuat di Jawa yang memungkiri peranan laut. Ia tidak mau menghadapi Portugis di laut. Kegagalan menghalau koloni pedagang Belanda di Batavia tahun 1629 membuat Mataram kehilangan Laut Jawa, wilayah pelayaran internasional masa itu. Kegagalan itu cukup membuat malu raja yang berambisi itu dan untuk tetap mempertahankan kewibawaannya,para pujangga Jawa membuat mitos bahwa pendiri Mataram menyunting puteri Laut Selatan,Nyi Roro Kidul. Dengan demikian Mataram masih terlibat dengan laut, sebagaimana kata Prof. H. Resink.
Kekalahan Sultan Agung tersebut menandai hilangnya kekuasaan Jawa atas jalur dagang di Laut Jawa, kapal-kapal meriam Barat beroperasi dengan bebas, golongan menengah Jawa yang oportunis berkolaborasi dengan para pemilik kapal dan pedagang antar-pulau, mereka terhalau dari bandar-bandar dan tergiring ke pedalaman.
Keadaan seperti itu tidak pernah menjadi perhatian para penulis di masa itu. mereka justru menyingkirkan kenyataan ini. Bahkan, setelah Sultan Agung meninggal kemudian raja-raja Mataram bersahabat dengan Belanda untuk memuaskan ambisi-ambisi kekuasaan pribadi. Para pujangga semakin berkhayal tentang Nyai Roro Kidul yang dibakukan sebagai kekasih setiap raja Mataram. Para pujangga seakan lupa bahwa kekuasaan tanpa batas Nyi Roro Kidul itu berimplikasi terhadap kekalahan Mataram melawan kekuasaan Barat. Dan, Mataram tidak pernah menang melawan kekuasaan segelintir pendatang.
Sebagai akibatnya, meskipun tidak bisa menuduhkan ambisi raja Mataram itu sebagai satu-satunya sebab, Nusantara dijajah selama 350 tahun. Realitas seperti itu seakan dipungkiri begitu saja oleh para pujangga dan pengarang Jawa. Mereka masih mengunggulkan Jawa dibandingkan Belanda atau Eropa. Jawa tidak pernah terkalahkan. Mengapa kita tidak menghadapi kenyataan?
Makam: Simbol Dendam Kekuasaan
Kerajaan Mataram dibagi dua; sisi barat daerah Yogyakarta dan sisi timur wilayah Surakarta. Lama kelamaan Pangeran Mangkubumi pun mengangkat diri sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I. Sejak itu pula prosesi pemakaman raja-raja keturunan Sultan Agung dibagi di dua tempat, sisi kiri dan kanan makam Sultan Agung.
Selain makam para raja itu, di salah satu tangga menuju makam terdapat nisan makam Tumenggung Endranata yang sengaja dijadikan tangga agar selalu diinjak oleh para peziarah. Nisan itu berada sekitar 10 meter dari pintu gerbang utama. Tumenggung Endranata dianggap sebagai pengkhianat Mataram melawan Belanda semasa pemerintahan Sultan Agung. Setelah berhasil meredam perlawanan daerah-daerah Jawa, Sultan Agung dipanas-panasi oleh pedagang Cina untuk menyerang kompeni pedagang Belanda di Batavia. Pada tahun 1628 dan 1929 tentara Sultan Agung menyerang Batavia yang mengalami kegagalan total. Sebagaimana para pujangga yang mengalihkan kekalahan itu dengan keunggulan mitos Nyi Roro Kidul, para elit militer saat itu mengambinghitamkan Tumenggung Endranata yang dianggap membocorkan siasat pertempuran dan menunjukkan lumbung-lumbung bahan pangan prajurit Mataram. H.J. De Graaf menunjukkan kesaksian bahwa yang membakar lumbung-lumbung itu ialah orang-orang daerah yang tidak puas dengan kebijakan Sultan Agung untuk menyerang Belanda. Di samping itu, ternyata Sultan Agung tidak pernah turut berperang dan lebih suka menyepi di Tembayat sambil membakar sajen.
Tumenggung Endranata yang malang itu kemudian ditangkap dan dipenggal kepalanya. Sebagai tanda peringatan kepada rakyat Mataram agar pengkhianatan tidak terulang kembali, tubuh tanpa kepala itu dikubur di salah satu kaki tangga Makam Imogiri agar semua orang juga bisa menginjak pengkhianat itu.
Namun ada juga cerita versi lain. Badan tanpa kepala yang dikubur di tangga Imogiri itu adalah tubuh JP Coen sebagai simbol kebencian terhadap penjajahan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar