Rabu, 20 Agustus 2008

Tahi Mata Hitam

Haris del Hakim

Kehadiran bayi pertama pada usia sepuluh tahun pernikahan merupakan kebahagiaan tak terkira bagi Juragan Kosim. Kekayaan yang melimpah ruah hasil keringat bertahun-tahun tidak akan hilang begitu saja. Sayangnya, kebahagiaan itu belum sempurna. Bayi itu belum pernah menangis sejak lahir. Sebagaimana kata orang, anak itu akan tumbuh dewasa sebagai orang bisu.

Meskipun demikian, setiap pagi Juragan Kosim bangun lebih awal dari sebelumnya. Dia langsung mencumbu anaknya dengan mencubitnya keras-keras. Dia berharap bayi mungil itu menangis. Tetapi, makhluk kecil itu hanya bergerak-gerak sambil mengerutkan pipinya, layaknya anak yang menangis karena kesakitan. Juragan Kosim terus mencubit hingga terlihat kulit yang memerah di beberapa tempat. Setelah itu Juragan Kosim menggendong bayinya keliling kampung. Apa pun keadaannya, bayi itu adalah anak yang lahir dari rahim istrinya. Selama ini orang-orang menganggap dirinya mandul dan bayi itu dengan sendirinya telah membongkar kebohongan mereka. Dia adalah lelaki sehat.

Sementara itu, desas-desus di masyarakat bermacam-macam. Sebagian orang mengatakan bayi itu hasil perselingkuhan istri Juragan Kosim dengan Juragan Seno, mitra bisnis Juragan Kosim. Sebagian lagi mengatakan benih Pak Modin. Sebagian lagi mengatakan Juragan Kosim sengaja menyuruh Bondan, satu-satunya sarjana kedokteran di kampung. Dan masih banyak cerita yang menunjukkan bayi itu bukan putra Juragan Kosim. Untungnya, bayi itu hanya mirip dengan ibunya, bagai pinang dibelah dua, sehingga orang-orang tidak bisa membenarkan desas-desus yang beredar di kalangan mereka.

Pada hari ketujuh Juragan Kosim mengundang hampir seluruh penduduk dalam acara pemberian nama dan potong rambut bayi. Seusai acara dan semua tamu undangan sudah pulang, tiba-tiba anak Juragan Kosim menangis sekeras-kerasnya. Juragan Kosim hampir melompat kegirangan. Dia merasa bayi itu menolongnya terhindar dari anggapan orang-orang kalau anaknya akan tumbuh dewasa sebagai orang bisu. Dia memanggil kembali tamu-tamu yang pulang untuk membuktikan sendiri kalau anaknya dapat menangis. Beberapa tamu hendak kembali, namun mengurungkan niatnya begitu tercium bau amis seperti darah dan bacin seperti nanah.

Juragan Kosim menghentikan seruannya. Cuping hidungnya kempas-kempis mencium bau yang semakin lama semakin anyir. Dia mencari-cari dari mana asal bau itu. Cahaya lampu yang terpantul dari dinding berkeramik biru muda tidak banyak membantunya. Juragan Kosim pun merasa lelah dan bermaksud merebahkan bayinya di kamar, di samping istrinya. Istrinya yang berbaring segera menyumbat hidung dan menyuruh suaminya pergi.

“Jangan lama-lama di sini!” kata istrinya. “Baumu busuk sekali.”
“Ya, ya. Aku sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba ada bau busuk dan membuatku mau muntah seperti ini,” jawab Juragan Kosim.

Bayi yang tertidur pulas dalam gendongan bapaknya tiba-tiba menangis lagi, mungkin hendak dibaringkan atau mendengar suara bentakan ibunya. Juragan Kosim mengangkat lagi anaknya, namun pandangannya nanar pada tahi mata yang keluar dari sudut mata anaknya. Tahi mata itu tidak berwarna putih kekuningan layaknya tahi mata, tetapi kehitaman dan mirip lumpur. Seperti menyesali mengapa tidak memperhatikan sejak tadi, dia segera merebahkan anaknya dan menyuruh istrinya untuk menyusui bayi itu. Dia sendiri memeriksa pakaiannya dan melihat tahi mata hitam itu menempel di sana-sini. Ujung telunjuknya mengambil tahi mata itu dan menciumnya, kemudian secepat kilat dia menutup hidung rapat-rapat karena tidak tahan dengan baunya. Dia menyodorkan tahi mata itu ke hidung istrinya seraya mengatakan, “Bau busuk itu berasal dari tahi mata anak kita.”

Istri Juragan Kosim hampir muntah. Suaranya cukup keras hingga mengundang rasa ingin tahu sanak kerabat yang belum pulang. Kepala mereka terjulur di pintu seraya bertanya ada apa dan segera saja Juragan Kosim memijat leher istrinya. Dia tersenyum-senyum, “Istriku tidak apa-apa. Mungkin dia sedang masuk angin.”

Istrinya mengangguk dengan tangan yang berusaha menutupi mulutnya. Kemudian, kepala-kepala di pintu itu pun menghilang. Juragan Kosim cepat-cepat mengganti pakaiannya juga kain gedongan anaknya yang ternodai oleh tahi mata hitam itu. Dia membungkusnya rapat-rapat kemudian menyemprotkan minyak pengharum ruangan dalam bungkusan itu.

“Kita harus menyimpan rahasia ini. Betapa malunya kita bila penduduk tahu hal ini.” kata Juragan Kosim yang disepakati oleh istrinya.

Akan tetapi, kabar tentang bayi Juragan Kosim bertahi mata lumpur dan berbau tidak sedap segera menyebar ke seluruh penduduk. Padahal, Juragan Kosim sudah berusaha menyimpan rahasia itu dengan tidak lagi mengajak bayinya jalan-jalan pagi keliling kampung. Dia merasa kuatir bayinya tiba-tiba mengeluarkan tahi mata yang menyebarkan bau tidak sedap itu. Begitu pula dengan memandikan bayi. Biasanya sengaja dilakukan di depan rumah, tapi kemudian dipindahkan ke belakang rumah. Hal itu justru membuat orang-orang curiga dan menyirap kabar tentang perubahan kebiasaan Juragan Kosim. Mereka pun berhasil mengorek kabar dari dukun beranak yang memandikan anak Juragan Kosim dan dikuatkan oleh perempuan-perempuan yang bermaksud menjenguk bayi itu, namun dilarang masuk kamar dengan alasan bayinya sedang tidur dan dikuatirkan akan mengganggunya.

Keadaan itu berdampak pada usaha Juragan Kosim. Warung makannya yang tidak pernah sepi pembeli berubah menjadi lengang. Para penggarap sawahnya satu persatu mengundurkan diri. Orang-orang pun tidak mau lagi menjual hasil tambak mereka kepadanya. Bahkan, perlahan-lahan orang-orang mulai mengasingkannya.

Berbagai usaha telah dilakukan Juragan Kosim untuk menyembuhkan kelainan pada anaknya itu. Puluhan dokter telah dikunjunginya dan hampir semua bersepakat untuk menghiburnya tanpa memberikan sedikit perubahan pada anaknya. Mereka mengatakan tahi mata hitam itu tidak berbahaya dan akan hilang dengan sendirinya saat usia dewasa. Tiga orang dokter spesialis menyarankannya untuk menyerahkan bayinya pada laboratorium kesehatan, karena kejadian itu sangat aneh dan merupakan fenomena baru di bidang kesehatan. Tentu saja Juragan Kosim menolaknya mentah-mentah. Beberapa kiai juga didatanginya. Mereka juga seakan telah bersepakat bahwa di balik tahi mata hitam itu pasti ada hikmahnya.

Hampir setahun usia bayi itu dan hampir pula dapat berjalan, tetapi tahi mata hitam berbau itu tidak kunjung hilang. Setiap bangun tidur tahi mata itu sudah meleleh di pipinya. Juragan Kosim sudah kehabisan akal.

“Bu,” kata Juragan Kosim pada istrinya. “Aku sudah tidak kuat lagi dengan anak kita. Lama kelamaan kita akan berubah menjadi melarat. Dulu kita mengharap-harapkan kelahirannya semoga membahagiakan kita, tetapi kehadirannya justru menyengsarakan kita.”

Istri Juragan Kosim memperhatikan raut muka suaminya. Ia bertanya, “Lantas kamu mau membuangnya?”

Juragan Kosim hanya menundukkan pandangan. Pikiran seperti itu pernah terbersit dalam benaknya, namun hingga saat ini dia masih membiarkan dan bahkan merawat bayi itu dengan baik. Apabila dia benar-benar hendak menyingkirkan anak itu, tentu lebih baik dia menyerahkannya pada laboratorium kesehatan. Para polisi tidak akan memburunya sebagai seorang pembunuh.

Sementara itu, keadaan ekonomi Juragan Kosim semakin parah. Warung makannya tutup. Sawahnya terbengkalai. Usaha jual beli ikan pun tidak berjalan. Tabungannya tidak hanya habis, tetapi berganti tumpukan hutang untuk biaya pengobatan anaknya.

Sepanjang hari Juragan Kosim duduk termenung di belakang rumah. Dia hanya memata-matai tanpa menoleh ke arah istrinya yang sedang menuntun anaknya berjalan. Sesekali dia mengusap-usap hidungnya dan istrinya mafhum kalau anaknya sedang mengeluarkan tahi mata. Istrinya pun segera mengeluarkan tissu harum dan menghapus tahi mata itu dari pipi anaknya.

“Bu,” kata Juragan Kosim pada istrinya. “Aku tidak tahu apakah aku masih kuat dengan anak kita. Kita sudah berubah menjadi melarat. Dulu kita mengharapkan kelahirannya akan membahagiakan kita, tetapi kehadirannya justru menyengsarakan kita.”

“Sudah berapa kali kamu mengatakan kalimat itu?” tanya istrinya. “Telingaku seakan tidak dapat mendengar kata-kata lain.”

Juragan Kosim mengeluarkan nafas berat seakan telah memendam ucapannya selama berhari-hari. “Aku akan menyerahkan anak itu ke laboratorium kesehatan. Mudah-mudahan mereka mau menebusnya sejumlah kekayaan yang kita keluarkan untuk membiayainya. Paling sedikit, separuh saja cukup untuk modal usaha kita lagi.”

“Aku tidak rela. Aku yakin tahi mata anak kita akan berubah menjadi putih kekuningan, seperti layaknya anak-anak yang lain.”

“Kita sudah sering menghibur diri dan kita tidak menemukan buktinya,” bantah suaminya. “Aku tahu kamu pasti tidak rela. Aku pun tidak rela, tapi aku belajar menguatkan hati untuk merelakannya. Kukira kamu bisa berlatih sejak sekarang, sebelum anak itu benar-benar kuserahkan pada laboratorium kesehatan.”

Kemudian Juragan Kosim memberi batasan waktu selama setahun lagi. Apabila tidak ada perkembangan yang lebih baik, maka merelakan anak tunggalnya adalah jalan terbaik. Istrinya tidak memberikan pendapat.

Setahun tenggang waktu itu tinggal sebulan lagi. Anak Juragan Kosim, yang sekarang melarat, tidak kunjung lebih baik. Tahi matanya masih hitam dan berbau. Istri Juragan Kosim jatuh sakit memikirkan nasib anaknya, sehingga Juragan Kosim sendiri yang harus memasak di dapur. Saat itulah tangan Juragan Kosim tersayat pisau dan mengeluarkan darah berwarna hitam legam dengan bau menyengat hidung.

Surabaya, september 2007

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati