Rabu, 03 September 2008

TINDIHAN TANDAS

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Tiada yang bertanda benalu
Tatkala hayat menderai ke hulu
Masih gemulung rahmat terakhir
Pada papasan yang tergulir.

Sahabat Sandra yang teliti.
Coraknya masih seperti apa yang pernah kuutarakan dulu. Beberapa rekan pengajar akademi mengatakan, kalau naskah ceramah ilmiah di Seminar Kelana ini terlampau kering jadinya. Aku menghela nafas. Beberapa kali kutanyakan kepada Retno yang mengetahui secara pasti, berapa orang pesertanya, berapa anggaran yang berhasil ditekan. Tahun lalu, aku benar-benar perih. Gaji tiga bulan kukorbankan untuk menambal kekurangan yang belum terencana sebelumnya. Nah, pada waktu itu, kuakui, Sandra gagasanmu bagus sekali. Bagaimana kalau Akademi kita memikul biaya seminar yang unik ini?

Sahabat Sandra yang tekun.
Helai-helai makalah itu kemudian kuteliti kembali. Ah, ya, sahabat – sesungguhnya aku merasa sedih, bahwa dalam soal-soal yang berhubungan dengan pemecahan masalah-masalah budaya, maka biasanya jaranglah pemikiran yang gemilang datang. Harus diperlakukan serangkaian diskusi sengit, terpadu dan berkelanjutan, sampai akhirnya ditemukan sebuah kepastian sederhana. Namun demikian, belum ada yang bisa memuaskan para perancang.

Dalam sekali aku isap rokok kretek Cap Gelang yang asapnya melingkar-lingkar dan penyok, sehingga gambaran yang muncul adalah mirip petak persawahan di atas bukit. Dengan nafas landung aku kemudian meletakkan kertas penghabisan, yang sudah penuh coretan. Nah, ada di dalamnya kesalahan-kesalahan tulis yang pantas diberi coretan merah, kemudian di bawahnya ditaruh beberapa perkataan yang merupakan pembetulan. Cara yang tidak aku senangi; karena “keterangan hakikat”, rampung sempurna setelah digoreskan – bukan mencoret-mencoret, yang berkesan kalut itu.

Gulang-gulingan pemikiran manusia acapkali berserabut. Dengan demikian, apa yang muncul ke permukaan adalah sesuatu yang kadang telah melalui siratan dan kepuasan, sedangkan apa yang selebihnya merupakan kemasan-kemasan yang lebih menonjol. Di kala kita berbicara tentang suara batin insani, maka ada yang tersesat atau lepas dari perhatian awali. Maka hendaknya kita mencoba untuk menafsirkan bentangan-bentangan jagat yang tercipta. Bukankah kita adalah sepancar dari keutuhan yang liat? Dengan demikian, kita merasakan wawasan dunia.

Baiklah, kita tengok Matahari di luar. Balkon rumah tua yang bercat putih ini menjadi kuning muda oleh berkas sinar sepenggal. Sedang pohon keluwih yang baru berumur sepuluhtahun menjuntaikan dahan-dahannya yang berwarna lumut, bila angin singgah maka reranting ciliknya meng-obat-abitkan daunnya yang lonjong, dengan pinggiran yang bagai digunting. Seraya menikmati kehangatan pagihari, aku buka kembali buku harian yang telah penuh. Huruf-huruf cetak yang ramai berjumpalitan di dalamnya mengkiaskan tentang lecehan terhadap hidup, yang kekar mencongak. Sedang dalam peradaban kita menyiapkan sangkutan angan.

“Di mana terdapat lompatan, di situ pula ditemukan suatu koreksi. Di mana terdapat tukikan mendalam, ada dekatnya peradaban angan.” Ini bukan kata-kata mutiara, melainkan kebijakan bagi setiap penulis. Kalau ia berupaya untuk mengkiaskan pengharapan, sebaiknya lebih dulu ia sentuh osikan yang menggelepar. Baru dari situ, kerja bisa dimulai, bisa digalang. Bisa ditukikkan semampu hati. Aku mengeluh sedikit. “Sebaiknya, kuajak generasi muda untuk memaafkan segala kekhilafan dari para pendahulunya, agar supaya dengan angkatan kini mampu berkisah tentang Cintanya.” Fitrah yang saya maksudkan ialah: realitas umat.

Seseorang membelah bukit, untuk menggali sumber-budaya yang demikian luhurnya. Ada yang lebih gamblang daripada itu: kiat manusia melebihi ruang dan waktu. Tatkala aku menyambut hangatnya pencar-sinar mentari, mengolak-alik naskah yang hendak kupersembahkan kepada pertemuan kawula muda – aku temukan bintik-bintik yang belang. Antara lain kalimat itu berbunyi begini: “Kehidupan semakin lama semakin membuat kita terancam kebisuan. Mengapakah kita enggan berbicara tentang sikap lugas kita sendiri? Kenapakah kita justru menyembunyikan getaran yang sundul-langit, yang karena tak menemukan arus yang tepat, kemudian menabrak tebing-tebing kesetiaan?” Kenapa kita malahan berusaha merahasiakan lagu-lagu sukmawi, lantaran kita sendiri mempercayai datangnya penebusan dan menutupi sungkup tagihan?

Rasanya, penghidupan yang dilayari Anak Manusia menuju bandar-bandar nan jauh tanpa tepi, tambah memberati tanggungannya. Penawaran buat mengekalkan satu derajat kemanusiaan, di tengah larutnya situasi. Permintaan tentang tampilnya tokoh berbobot di tengah kemelut zaman, seraya memantapkan hak-hidupnya.” Sebagian cendekiawan baru hanya melahirkan kegelisahan.

Apakah yang telah kukatakan tadi? Sebuah gugatan, ataukah sebuah pembelaan? Tidak juga yang pertama ataupun yang kedua. Sahabatku budiman, kala kita terlibat percakapan akrab di tebing Muara Citra, pernah dirimu berucap sebagai berikut: “Aku sangat menggandrungi manusia. Tiada lebih berharga dari masa depan kemanusiaan ini. Karena itu, jikalau terdapat suatu gerakan yang berkeinginan buat mendobraknya, atau lebih dahsyat lagi: hendak meniadakan sumbangsih kemanusiaan untuk perbaikan derajat hayati pada masa kini, akulah orang pertama yang bakal menentangnya mati-matian.”

“Tentu saja,” tukasku pula. “Siapa yang tidak sejalan dengan pandangan ini? Aku pun, kalamana berkata tentang upaya melempar kesigapan untuk merebut lahan-lahan keberuntungan bagi anak cucu sendiri, tentunya akan mengatasnamakan semua yang telah kita singgung dalam wacana di atas.

“Ah, bukan begitu sahabat. Di situ terasa, bahwa persoalan yang sehat dan apik telah kaubawa kepada nuansa politik yang menekankan satu pembenaran kekuasaan dan pelanggengan kekuasaan. Padahal, sebetulnya aku ‘kan hanya mengutarakan tentang perimbangan antara naluri kita yang paling halus dengan segala rekadaya yang menuju pada perbaikan nasib. Ya, meskipun yang bernama perbaikan nasib niscaya menyangkut hari esok onggok-onggokan pribadi, dan bukan kelompok luas yang bernama wargabangsa seluruhnya.”

“Itupun bebas untuk dikedepankan, kawan –“ Namun begitu, setiap kita hadir di tengah perjamuan kemasyarakatan (di mana manusia secara lantang serta berani mempertaruhkan kejantanannya), dia terkejut, dia bagaikan tersengat. Senantiasa, nilai-nilai yang lebih peka muncul tanpa disengaja!”

“Mohon diredakan sedikit, angin kencang di daratan ini, sayangku. Bukankah kita sependapat untuk tidak memperuncing pertentangan semacam ini? Agaknya, seperti bandar-bandar yang dulu kita belum mengenalnya secara cermat, dan belum menyinggahinya, toh dewasa ini tanpa dikehendaki akan segera menyengat kesadaran. Soalnya, pelayaran makin lebar-jembar-luas. Tanah rantau yang kita jelang juga telah menggoda saat-saat berjaga. Dengan peristiwa ini, kuyakin pengertian suku, sanak, sedulur tak lagi jadi bahan pergunjingan. Bukan lagi layak dipertaruhkan sebagai andalan kesetiaan.”

Sandra tersayang.
Baiklah. Kutoleh kembang-kembang suflir di pot kecil sebelah kiri beranda ini. Aku renungi warnanya yang hijau-pupus, yang membuat diri mendambakan kesejukan. Tadi, air dari kendi tanah telah menyiraminya agak sedikit, sehingga bau tanah bercampur rabuk di pot itu menyerakkan aroma tertentu. Aku bersedekap. Di luar, bayang-bayang semakin memanjang ke barat.

Oya, aku lupa mematikan lampu pletik-plenik yang mengumpul dalam robyongan di langit-langit tengah ini. Siang menjadi terasa sumuk, bila beranda masih juga dilisir listrik pada siang-temarang. Kukunci kebekuanku sendiri. Kukatupkan kebisuanku yang lindri-lindri. Kututup kebahasaan yang lebih berperekat sangsi – dan lebih baik jika aku merobohkan kesombongan yang begitu menyesakkan. O, sahabat muda! Dalam tindihan tandas, kurasakan bahwa masih banyak lagi lagu-lagu bisa kulantunkan, apabila diri telah menerima seluruh penyerahan dari orang lain, dari penjuru lain. Juga dari seberang, tatkala anak-anak bangsa menjejalkan inti-soalnya.

Sandra yang selalu kusebut dalam hari-hari sibukku!
Helai penghabisan belum juga tuntas. Tapi kertas itu sudah kuremas. Padahal, tujuh pertanyaan yang hendak kuajukan ke sidang terhormat Mahkamah Sejarah terus bersuntuk di sini. Kumerasa, kalau aku tak sanggup menggelantar sekarang, maka aku masih menunda pembayaran hutang. Karena mustahil buat menindih suatu tanggapan yang getir, katimbang berperilaku getir itu sendiri. Atau mencancang laku angkuh di tengah kadang-sumanak. Lebih memahitkan apabila kita menolak perbincangan yang mengacu kepada kecerahan sastra. Baiklah, kawan – baiklah. Kita bawa pertemuan untuk seminar kelana yang membawa bahagia, peduli orang-orang di luar melupakannya nanti.

“Kitab duniawi sengaja mengunci pengumpanan kepada dunia,” demikian aku mulai menyerang keberatanmu yang kemarin menabrakku. “Oleh sebab itu aku sengaja membernaskan kepuasanku, untuk misalnya menandaskan bahwasanya hidup yang telah dirancang, lagipula dipatoki, niscaya bakal lebih mulia daripada segala yang cuma mendadak tiba di tengah pergaulan sesama manusia. Maka, tiada lagi tawar-menawar. Malahan aku selanjutnya memilih sikap yang kurasa paling tepat buat mengatasi perselisihan.”

“Mengapa menjadi takut dan melepaskan diri dari ancaman sang waktu?” demikian dirimu secara merdu melontarkan deraan. “Sewaktu patokan di tengah jagat telah ditancapkan, hal ini berarti bahwa Kebudayaan sendiri telah menjadi makna utama. Kukira, dirimu mesti meletakkan diri sebagai tokoh yang wigati, yang bukan mencari pembenaran dan bukan mengemis perhatian sesama. Kau harus menjadi sebuah kiblat budaya sendiri!”

Terusterang, aku malu. Jernihnya pikiranmu yang demikian kuat, demikian menggugah, masih terus bersipongang hingga hari sekarang. Pada waktu kita hendak bersuara, sejumlah angka dapat dipagut pada kekuatan yang sangat duniawi; kiranya pantas diingat bahwa kita memiliki sukma yang putih. Sukma sejati, yang mengantar tiap insan ke kompas keadilan. Suatu kemustian, bahwa kita hindari pandangan-pandangan kerdil, sahabat, tanpa memalingkan kegagahan yang diikrarkan.

Sandra nan teliti.
Periksalah kembali, periksalah kembali catatan di tanganmu. Adakah yang masih perlu ditutup dengan coretan? Atau karet penghapus sudah cukup untuk menyembunyikan ungkapan keplantrangan yang begitu teramat menggoda? Aku mengipas-kipas kesumukan dengan melonggarkan dasi di leher. Tapi, bau parfummu sedap nian. Aku lalu bergumam: “Dengarlah, sayang, tindihan tandas berarti tahap-hidup telah ditelonjongkan menuju semenanjung ke tengah laut, dengan suara ombak yang lebih keras dan menampar. Kalau bukan anak-anak jaman ini yang memekikkan suara itu, lantas siapa lagi? Rasanya sangat tepat, bila kita yang berada di perbatasan ini menjadi satu titian yang kokoh dasarnya. Dua tebing telah diperhubungkan ujungnya.”

“Dan dikau, apakah dalam seminar kelana ini masih punya harapan kepada wajah-wajah belia yang senantiasa menatapmu dengan mata yang dahaga itu? Dan dikau, apakah salam seminar kelana ini masih menyimpan kerisauan, karena diri digayuti ringkih dan kerongkongan mengering ini? Tak guna menyampaikan paparan-tanggap. Kusimpan kunci di ladang tetangga!
---
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati