(Catatan dari Hari Puisi Nasional ke-17 di Melaka)
Marhalim Zaini
“Memanglah benar bahawa penyair Melayu tidak harus melompat begitu saja ke pentas teknik puisi dunia, tapi, dalam waktu yang sama, penyair kita tidak juga boleh membiarkan diri tertinggal naif dalam acuan genggaman atau sinar kegemilangan lama.”
Ini kutipan kertas kerja A Samad Said, seorang pengarang asal Melaka yang bergelar Sasterawan Negara, penerima SEA Write Award tahun 1979. Dari rambut, juga janggutnya yang merimbun terjurai memutih, tak dapat diduga bahwa dari mulutnya akan keluar kalimat semacam ini. Terutama dalam konteks bagaimana ‘kegemilangan masa silam’ negeri kelahirannya itu telah demikian membuat para pelaku, juga pewarisnya kini, terkhusus para penyairnya, menjadi seperti terus-menerus ingin hidup dan berada dalam genggamannya. Tradisi, seolah hadir secara rutin dalam setiap gerak-nafas kebudayaan mereka, menjelma jadi sesuatu yang tak boleh tidak harus ‘dirayakan’ sebagai simbol kebanggaan dalam karya-karya mereka, dalam puisi-puisi mereka. Saya kira, orang tua macam A Samad Said, tiba-tiba menjadi amat langka. Tersebab, ia justru melompat keluar menuju pentas dunia yang lebih luas. Khazanah tradisi bukan sekedar membangkitkan romantisme, tapi juga energi, spirit, untuk kembali menemukan eksistensi, juga identitas diri lewat karya tulis. Kesibukan mengurusi ‘pertelagahan’ antara tradisi dan modernisme sebagai dua entitas yang kerap dipandang bertentangan, agaknya hanya sebagai instrument untuk dapat menelisik betapa tak dapat lepasnya kebudayaan kita dari tarik-ulur historitasnya sendiri, di samping tak pula mampu mengelak dari serangan globalisasi. Ini melelahkan, bukan?
Tapi, kita memang belum selesai. Jadi mau tak mau ya harus kembali masuk ke dalam wilayah pertelagahan semacam itu. Tema “Puisi Nasional: Tradisi Menunjang Pemodenan Bangsa’ yang dibentang dalam iven Hari Puisi Nasional ke-17 di Melaka, anjuran Kerajaan Negeri Melaka dan Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (GAPENA) juga sejumlah institusi lain, hemat saya lebih memperlihatkan bangkitnya sebuah kesadaran tentang betapa puisi sebagai salah satu simbol kebudayaan yang paling ekspresif, telah mengalami ‘krisis’ dalam tubuh permaknaannya sendiri. Tersebab ia telah kian tak terelakkan untuk bersinggungan dengan berbagai style bahasa, dari berbagai sumber sosio-cultural, terutama yang datang dari Barat. Dirasa sangat urgen agaknya, bagi Malaysia, yang selama ini hendak bersikukuh dengan identitas ke-melayuannya, pun ke-islamannya, ketika tubuh ‘puisi nasional’ mereka mulai gamang membaca diri. Barangkali saja kita boleh bersepakat dengan Nor Faridah Abdul Manaf (2003) ketika dia melakukan pembacaan atas “Krisis Identitas Puisi-puisi Malaysia Berbahasa Inggris”, bahwa kata ‘krisis’ yang saya sebut di atas dimaknai saja dalam konotasi positif. “Kata tersebut dipakai untuk menggambarkan kesadaran para penyair tentang keterputusan mereka dengan masa lalu dan kini muncul keinginan kuat untuk menyusun ulang sejarah mereka melalui pengucapan mereka sendiri.”
Namun, kita ikut kuatir jika ‘krisis’ lebih dimaknai sebagai gangguan yang harus ditakuti, dan lalu ‘membunuh’ polemik, menjauhi segala yang berbau modernisme. Maka, apa yang kemudian lahir dari sana adalah sebuah ‘kemapanan’, sebab ia telah berhenti menggali diri, dan lantas berhenti pula menjadi ‘puisi’. Paham tradisional kita, pada saat-saat serupa itu, membeku dalam tatanan baku. Pantun, berhenti jadi pantun yang menguarkan cahaya tafsir makna dan nasehat mulia, jika ia tak mampu hidup dan memancarkan cahayanya ke berbagai ruang, termasuk ruang global. Syair, tak mampu mengalir dalam urat darah kehidupan orang masa kini jika ia tetap egois dengan dirinya sendiri. Begitu pula gurindam, yang selalu mengikat diri dalam bingkai nasehat religius dengan verbalisme bahasa dan tak menghadirkan ruang lain untuk sebuah tafsir yang lebih universal, maka ia akan kian menjarak dalam ruang sunyi.
Puisi modern, dalam konteks ini, adalah sebuah ruang alternatif itu. Ruang ekspresi bahasa yang dapat mewakili secara lebih personal dan khas, sebab ia dapat mewartakan kegelisahan-kegelisahan spiritual maupun intelektual seseorang. Baik bentuk maupun isi, ia mengandung paham terbuka terhadap berbagai tafsir. Maka tugasnya menjadi lebih spesifik jika kemudian karakter bahasanya dapat dibangun dan digali dari karakter kultural yang tersembunyi dalam genre macam pantun, syair, gurindam, dan yang lain. Di sinilah, proses kreatif bekerja dalam wilayahnya yang merdeka. Artinya, pantun kelak akan menemukan ‘rumah’ barunya dalam bahasa ucap dan bahasa makna kekinian, yang lebih mewakili semangat zaman. Begitu pula, bentuk sastra klasik lainnya.
Namun, kalau kita hendak menyandingkan puisi-puisi karya penyair Malaysia dengan puisi-puisi karya penyair Indonesia, maka akan sangat tampak kecenderungan yang berbeda. Puisi-puisi penyair Malaysia, seperti dapat dibaca dalam antologi puisi setebal 909 halaman yang memuat lebih 1000 sajak, bertajuk Ratib Seribu Syair, lebih terasa santun, dengan tema-tema alam dan kemerdakaan. Unsur-unsur sastra klasik justru terasa lebih banyak menjelma dalam wajahnya yang tak jauh berubah. Puisi-puisi Malaysia, hemat saya, adalah puisi-puisi yang ‘menghindar’ dari ombak pergolakan eksistensial, dan merapat ke muara ‘makna’ yang tenang. Sementara, puisi-puisi Indonesia memiliki kecenderungan sebaliknya. Dan saya kira, di sinilah kebenarannya, bahwa puisi adalah cermin realitas sosial penyairnya. Indonesia yang kerap diterpa pergolakan sosio-kultural dalam fase-fase zaman yang bergerak ‘keras’ serta merta akan membawa sang penyairnya untuk mau tidak mau masuk ke dalamnya. Maka yang lahir kemudian adalah sajak-sajak yang ‘liar’ dengan pembongkaran estetika yang terasa ekstrem.
Dan demikianlah halnya wacana yang berkembang dalam sejumlah sesi seminar dalam iven Hari Puisi Nasional. Para pembicara sesi awal macam Tenas Effendy dan Zainal Kling, tampak lebih mempertegas kembali tafsir atas nilai-nilai murni budaya bangsa yang terkandung dalam sastra klasik, sekaligus ikut menggesa lahirnya puisi modern yang ikut mengekalkan jatidiri bangsa. Pada sesi berikutnya A Samad Said dan Rahman Shaari, lebih bertutur tentang teks puisi. Mulai dari proses kreatif penciptaanya yang melibatkan berbagai instrument sosial di belakangnya, sampai pada bagaimana menghadapi sebuah puisi sebagai medan permaknaan. Lalu sesi terakhir, yang jadi pembicara Rida K Liamsi, Aminah, dan saya sendiri yang tiba-tiba diminta oleh Abdul Latiff Abu Bakar untuk ikut bercerita tentang proses kreatif penggarapan Opera Melayu Tun Teja. Jadi agak melenceng nampaknya. Tapi, intinya justru pada upaya pembongkaran teks lama, untuk mencipatkan teks baru, dengan tentu saja tafsir yang baru pula.
Meski agaknya, saya berbicara di ruang yang tak tepat, sehingga kemudian tak berbenih perdebatan yang lebih produktif tentang wacana yang saya lemparkan. Anak-anak muda yang hadir dalam ruang itu, adalah anak-anak muda yang belum (atau mungkin tak boleh) mengutarakan kehendak dan kreativitasnya secara lebih artikulatif. Mereka lebih memilih membisu, dengan sesekali tersenyum pahit mendengarkan petuah romantisme dari para penulis tua (usia). Saya kira, harus ada satu ruang lain, ruang alternatif, yang mengakomodir berbagai kemungkinan pemikiran tentang dunia puisi Melayu kita, berbagai ‘perlawanan’ esetetika, berbagai semangat untuk meneriakkan suara-suara dari kesadaran baru tentang dunia tradisional kita juga tentang modernisme. Sebab saya sangat yakin, bahwa sungai yang tenang jangan disangka tak ada arus di kedalamannya. Nyatanya, setelah saya turun dari podium seminar, sejumlah anak muda, menyalami saya dengan tatapan mata yang menyimpan geram, menguarkan semangat yang terpendam. Dan, saya kira, saya juga sedang merasakan salam dari mareka yang bergelora ketika kami (Rida K Liamsi, Murparsaulian, Kazzaini KS, Zuarman Ahmad, dan Marhalim Zaini) turun dari panggung sehabis membaca sajak-sajak bernuansa laut, karya Rida K Liamsi. Sebab agaknya, laut sunyi dalam diri anak-anak muda itu mulai berombak oleh hembusan angin sajak-sajak Rida yang penuh gelora, berhayun-hayun dari tepi ke tepi, mengibas pasir-pasir yang diam, sambil membisikkan ‘birahi’ zaman yang memuncak naik.
Namun, satu hal yang patut dicatat, bahwa mereka, para penulis Malaysia itu, harus berbangga diri, sebab eksistensi mereka diakui. Pengakuan dalam konteks yang tentu saja lebih luas. Posisi Sasterawan Negara, macam A Samad Said dan sejumlah nama lain, adalah posisi puncak yang ‘terhormat.’ Negara sebagai pemegang otoritas kebijakan, tentu saja menjadi strategis dalam hal memberi laluan yang luas terhadap perkembangan proses kreatif kepenulisan para sastrawannya. Negara turut memikirkan soal ekonomi, soal biaya hidup, soal beli tinta print, soal beli kertas, soal terbitkan buku, soal bayar royalti, soal-soal lain yang kiranya mendukung kerja kepenulisan. Mereka, tetangga kita itu, berapi-api berbicara tentang tradisi, tapi sekaligus menghargai tradisi itu sendiri, dengan berbagai perhatian penuh terhadap pekerjanya, terhadap segala sesuatu yang terkait padanya. Tapi kita, memang juga berapi-api berbicara tentang tradisi, tentang seni, tentang kebudayaan, akan tetapi sekejap padamlah. Jangankan berharap akan diperhatikan asap dapur para pekerjanya dan kebutuhan kreatifitasnya, disapa saja itu sudah beruntung. Meski, janga lupa, bahwa di Riau juga ada gelar berbunyi Seniman Pemangku Negeri, atau yang lebih tinggi Seniman Perdana. Tapi, itu cukuplah dipakai sebagai simbol saja, sebab ia tak berfungsi untuk dapat meningkatkan status sosial si penulis untuk dapat duduk setara dengan Dorce Gamalama misalnya, atau bahkan si Micky AFI sekalipun, yang diundang jadi tamu termormat pada Hari Ulang Tahun negeri Riau tercinta ini. Ironis memang. Tapi, ya apa boleh buat....***
Marhalim Zaini, sastrawan.
Sumber, http://esai-marhalimzaini.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar