Rabu, 08 Oktober 2008

Puisi yang Santun

(Catatan dari Hari Puisi Nasional ke-17 di Melaka)

Marhalim Zaini

“Memanglah benar bahawa penyair Melayu tidak harus melompat begitu saja ke pentas teknik puisi dunia, tapi, dalam waktu yang sama, penyair kita tidak juga boleh membiarkan diri tertinggal naif dalam acuan genggaman atau sinar kegemilangan lama.”

Ini kutipan kertas kerja A Samad Said, seorang pengarang asal Melaka yang bergelar Sasterawan Negara, penerima SEA Write Award tahun 1979. Dari rambut, juga janggutnya yang merimbun terjurai memutih, tak dapat diduga bahwa dari mulutnya akan keluar kalimat semacam ini. Terutama dalam konteks bagaimana ‘kegemilangan masa silam’ negeri kelahirannya itu telah demikian membuat para pelaku, juga pewarisnya kini, terkhusus para penyairnya, menjadi seperti terus-menerus ingin hidup dan berada dalam genggamannya. Tradisi, seolah hadir secara rutin dalam setiap gerak-nafas kebudayaan mereka, menjelma jadi sesuatu yang tak boleh tidak harus ‘dirayakan’ sebagai simbol kebanggaan dalam karya-karya mereka, dalam puisi-puisi mereka. Saya kira, orang tua macam A Samad Said, tiba-tiba menjadi amat langka. Tersebab, ia justru melompat keluar menuju pentas dunia yang lebih luas. Khazanah tradisi bukan sekedar membangkitkan romantisme, tapi juga energi, spirit, untuk kembali menemukan eksistensi, juga identitas diri lewat karya tulis. Kesibukan mengurusi ‘pertelagahan’ antara tradisi dan modernisme sebagai dua entitas yang kerap dipandang bertentangan, agaknya hanya sebagai instrument untuk dapat menelisik betapa tak dapat lepasnya kebudayaan kita dari tarik-ulur historitasnya sendiri, di samping tak pula mampu mengelak dari serangan globalisasi. Ini melelahkan, bukan?

Tapi, kita memang belum selesai. Jadi mau tak mau ya harus kembali masuk ke dalam wilayah pertelagahan semacam itu. Tema “Puisi Nasional: Tradisi Menunjang Pemodenan Bangsa’ yang dibentang dalam iven Hari Puisi Nasional ke-17 di Melaka, anjuran Kerajaan Negeri Melaka dan Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (GAPENA) juga sejumlah institusi lain, hemat saya lebih memperlihatkan bangkitnya sebuah kesadaran tentang betapa puisi sebagai salah satu simbol kebudayaan yang paling ekspresif, telah mengalami ‘krisis’ dalam tubuh permaknaannya sendiri. Tersebab ia telah kian tak terelakkan untuk bersinggungan dengan berbagai style bahasa, dari berbagai sumber sosio-cultural, terutama yang datang dari Barat. Dirasa sangat urgen agaknya, bagi Malaysia, yang selama ini hendak bersikukuh dengan identitas ke-melayuannya, pun ke-islamannya, ketika tubuh ‘puisi nasional’ mereka mulai gamang membaca diri. Barangkali saja kita boleh bersepakat dengan Nor Faridah Abdul Manaf (2003) ketika dia melakukan pembacaan atas “Krisis Identitas Puisi-puisi Malaysia Berbahasa Inggris”, bahwa kata ‘krisis’ yang saya sebut di atas dimaknai saja dalam konotasi positif. “Kata tersebut dipakai untuk menggambarkan kesadaran para penyair tentang keterputusan mereka dengan masa lalu dan kini muncul keinginan kuat untuk menyusun ulang sejarah mereka melalui pengucapan mereka sendiri.”

Namun, kita ikut kuatir jika ‘krisis’ lebih dimaknai sebagai gangguan yang harus ditakuti, dan lalu ‘membunuh’ polemik, menjauhi segala yang berbau modernisme. Maka, apa yang kemudian lahir dari sana adalah sebuah ‘kemapanan’, sebab ia telah berhenti menggali diri, dan lantas berhenti pula menjadi ‘puisi’. Paham tradisional kita, pada saat-saat serupa itu, membeku dalam tatanan baku. Pantun, berhenti jadi pantun yang menguarkan cahaya tafsir makna dan nasehat mulia, jika ia tak mampu hidup dan memancarkan cahayanya ke berbagai ruang, termasuk ruang global. Syair, tak mampu mengalir dalam urat darah kehidupan orang masa kini jika ia tetap egois dengan dirinya sendiri. Begitu pula gurindam, yang selalu mengikat diri dalam bingkai nasehat religius dengan verbalisme bahasa dan tak menghadirkan ruang lain untuk sebuah tafsir yang lebih universal, maka ia akan kian menjarak dalam ruang sunyi.

Puisi modern, dalam konteks ini, adalah sebuah ruang alternatif itu. Ruang ekspresi bahasa yang dapat mewakili secara lebih personal dan khas, sebab ia dapat mewartakan kegelisahan-kegelisahan spiritual maupun intelektual seseorang. Baik bentuk maupun isi, ia mengandung paham terbuka terhadap berbagai tafsir. Maka tugasnya menjadi lebih spesifik jika kemudian karakter bahasanya dapat dibangun dan digali dari karakter kultural yang tersembunyi dalam genre macam pantun, syair, gurindam, dan yang lain. Di sinilah, proses kreatif bekerja dalam wilayahnya yang merdeka. Artinya, pantun kelak akan menemukan ‘rumah’ barunya dalam bahasa ucap dan bahasa makna kekinian, yang lebih mewakili semangat zaman. Begitu pula, bentuk sastra klasik lainnya.

Namun, kalau kita hendak menyandingkan puisi-puisi karya penyair Malaysia dengan puisi-puisi karya penyair Indonesia, maka akan sangat tampak kecenderungan yang berbeda. Puisi-puisi penyair Malaysia, seperti dapat dibaca dalam antologi puisi setebal 909 halaman yang memuat lebih 1000 sajak, bertajuk Ratib Seribu Syair, lebih terasa santun, dengan tema-tema alam dan kemerdakaan. Unsur-unsur sastra klasik justru terasa lebih banyak menjelma dalam wajahnya yang tak jauh berubah. Puisi-puisi Malaysia, hemat saya, adalah puisi-puisi yang ‘menghindar’ dari ombak pergolakan eksistensial, dan merapat ke muara ‘makna’ yang tenang. Sementara, puisi-puisi Indonesia memiliki kecenderungan sebaliknya. Dan saya kira, di sinilah kebenarannya, bahwa puisi adalah cermin realitas sosial penyairnya. Indonesia yang kerap diterpa pergolakan sosio-kultural dalam fase-fase zaman yang bergerak ‘keras’ serta merta akan membawa sang penyairnya untuk mau tidak mau masuk ke dalamnya. Maka yang lahir kemudian adalah sajak-sajak yang ‘liar’ dengan pembongkaran estetika yang terasa ekstrem.

Dan demikianlah halnya wacana yang berkembang dalam sejumlah sesi seminar dalam iven Hari Puisi Nasional. Para pembicara sesi awal macam Tenas Effendy dan Zainal Kling, tampak lebih mempertegas kembali tafsir atas nilai-nilai murni budaya bangsa yang terkandung dalam sastra klasik, sekaligus ikut menggesa lahirnya puisi modern yang ikut mengekalkan jatidiri bangsa. Pada sesi berikutnya A Samad Said dan Rahman Shaari, lebih bertutur tentang teks puisi. Mulai dari proses kreatif penciptaanya yang melibatkan berbagai instrument sosial di belakangnya, sampai pada bagaimana menghadapi sebuah puisi sebagai medan permaknaan. Lalu sesi terakhir, yang jadi pembicara Rida K Liamsi, Aminah, dan saya sendiri yang tiba-tiba diminta oleh Abdul Latiff Abu Bakar untuk ikut bercerita tentang proses kreatif penggarapan Opera Melayu Tun Teja. Jadi agak melenceng nampaknya. Tapi, intinya justru pada upaya pembongkaran teks lama, untuk mencipatkan teks baru, dengan tentu saja tafsir yang baru pula.

Meski agaknya, saya berbicara di ruang yang tak tepat, sehingga kemudian tak berbenih perdebatan yang lebih produktif tentang wacana yang saya lemparkan. Anak-anak muda yang hadir dalam ruang itu, adalah anak-anak muda yang belum (atau mungkin tak boleh) mengutarakan kehendak dan kreativitasnya secara lebih artikulatif. Mereka lebih memilih membisu, dengan sesekali tersenyum pahit mendengarkan petuah romantisme dari para penulis tua (usia). Saya kira, harus ada satu ruang lain, ruang alternatif, yang mengakomodir berbagai kemungkinan pemikiran tentang dunia puisi Melayu kita, berbagai ‘perlawanan’ esetetika, berbagai semangat untuk meneriakkan suara-suara dari kesadaran baru tentang dunia tradisional kita juga tentang modernisme. Sebab saya sangat yakin, bahwa sungai yang tenang jangan disangka tak ada arus di kedalamannya. Nyatanya, setelah saya turun dari podium seminar, sejumlah anak muda, menyalami saya dengan tatapan mata yang menyimpan geram, menguarkan semangat yang terpendam. Dan, saya kira, saya juga sedang merasakan salam dari mareka yang bergelora ketika kami (Rida K Liamsi, Murparsaulian, Kazzaini KS, Zuarman Ahmad, dan Marhalim Zaini) turun dari panggung sehabis membaca sajak-sajak bernuansa laut, karya Rida K Liamsi. Sebab agaknya, laut sunyi dalam diri anak-anak muda itu mulai berombak oleh hembusan angin sajak-sajak Rida yang penuh gelora, berhayun-hayun dari tepi ke tepi, mengibas pasir-pasir yang diam, sambil membisikkan ‘birahi’ zaman yang memuncak naik.

Namun, satu hal yang patut dicatat, bahwa mereka, para penulis Malaysia itu, harus berbangga diri, sebab eksistensi mereka diakui. Pengakuan dalam konteks yang tentu saja lebih luas. Posisi Sasterawan Negara, macam A Samad Said dan sejumlah nama lain, adalah posisi puncak yang ‘terhormat.’ Negara sebagai pemegang otoritas kebijakan, tentu saja menjadi strategis dalam hal memberi laluan yang luas terhadap perkembangan proses kreatif kepenulisan para sastrawannya. Negara turut memikirkan soal ekonomi, soal biaya hidup, soal beli tinta print, soal beli kertas, soal terbitkan buku, soal bayar royalti, soal-soal lain yang kiranya mendukung kerja kepenulisan. Mereka, tetangga kita itu, berapi-api berbicara tentang tradisi, tapi sekaligus menghargai tradisi itu sendiri, dengan berbagai perhatian penuh terhadap pekerjanya, terhadap segala sesuatu yang terkait padanya. Tapi kita, memang juga berapi-api berbicara tentang tradisi, tentang seni, tentang kebudayaan, akan tetapi sekejap padamlah. Jangankan berharap akan diperhatikan asap dapur para pekerjanya dan kebutuhan kreatifitasnya, disapa saja itu sudah beruntung. Meski, janga lupa, bahwa di Riau juga ada gelar berbunyi Seniman Pemangku Negeri, atau yang lebih tinggi Seniman Perdana. Tapi, itu cukuplah dipakai sebagai simbol saja, sebab ia tak berfungsi untuk dapat meningkatkan status sosial si penulis untuk dapat duduk setara dengan Dorce Gamalama misalnya, atau bahkan si Micky AFI sekalipun, yang diundang jadi tamu termormat pada Hari Ulang Tahun negeri Riau tercinta ini. Ironis memang. Tapi, ya apa boleh buat....***

Marhalim Zaini, sastrawan.
Sumber, http://esai-marhalimzaini.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati