Minggu, 11 Januari 2009

Bukan Hanya Chairil dan Sutardji

Grathia Pitaloka
http://jurnalnasional.com/

Sejarah sastra tak selalu memunculkan, tapi juga menggelapkan nama-nama.

Sastra Indonesia dihantui oleh sejarahnya!. Pendapat tersebut pernah dikemukakan oleh kritikus sastra Nirwan Dewanto delapan tahun silam. Nirwan khawatir apabila sejarah semata-mata dipandang sebagai kumpulan kisah asal muasal, maka akan menciptakan beban bagi titik-titik pembaruan sastra di tanah Air.

Pemahaman yang sempit tentang sejarah sastra tersebut, tentu tidak tertanam dalam waktu satu dua hari. Ada proses panjang yang menyebabkan pemahaman tersebut begitu dalam tertancap bahkan di kepala para penggiat sastra itu sendiri.

Pendidikan di bangku sekolah, salah satu faktor yang memiliki andil besar dalam proses penanaman pemahaman sejarah sastra. Sayangnya, pendidikan yang diberikan di sekolah saat ini hanya berkutat pada teori-teori.

Sekilas teori-teori tersebut tampak rumit, namun apabila dibedah seringkali kopong dan hanya berisi rentetan hapalan tentang tahun. Sehingga lahirlah generasi siswa hapal mengenai periodeisasi karya dan pengarang, tetapi apresiasinya terhadap karya nol besar.

Sistem pengajaran seperti itu diumpamakan oleh pengajar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia Maman S Mahayana seperti mengajari siswa berenang di dalam kelas. “Ini juga yang membuat sastra kita seperti terkucil,” kata Maman kepada Jurnal Nasional, Senin (5/1).

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh sastrawan Budi Darma. Menurut penulis novel Orang-orang Bloomington ini, kurikulum pengajaran sastra di sekolah tidak perlu menitikberatkan pada sejarah, melainkan pada apresiasinya.

Oleh sebab itu, demi kemajuan khasanah sastra tanah air, perubahan kurikulum pelajaran sastra di sekolah-sekolah merupakan sesuatu yang mendesak untuk dilakukan. Pembelajaran melalui apresiasi membuat para siswa lebih akrab dengan karya sastra dan dapat melihat karya sastra dari jendela yang lebih jelas.

Keterbatasan pemahaman mengenai sejarah sastra Indonesia konon juga disebabkan oleh minimnya litelatur yang membahas mengenai fakta atau latar belakang peristiwa yang terjadi di balik sebuah karya sastra.

Sejarah dalam Kurikulum

Kebanyakan sejarah sastra bersandar pada hubungan kausalitas langung antara karya dengan pengarang. Salah satu yang menggunakan pandangan positivisme tersebut adalah paus sastra Indonesia, HB Jassin.

Jassin memetakan para sastrawan dalam angkatan-angkatan berdasarkan kehidupan sosial dengan karya sastra, tipologi tema dan bentuk pengucapan. Dalam periodeisasi itu, ia menempatkan Angkatan Balai Pustaka sebagai tonggak kelahiran sastra modern Indonesia.

Meski masih banyak digunakan hingga saat ini, periodeisasi yang disusun oleh Jassin juga banyak mengundang perdebatan pro dan kontra. Banyak pihak-pihak yang menilai kalau pondasi yang mendasari pemikiran Jassin rapuh dan pemetaan yang dilakukannya masih terlalu mentah.

Beberapa pengamat berpendapat kalau periodeisasi yang dibuat Jassin sudah tidak signifikan dengan perkembangan zaman mengingat arus perkembangan dunia sastra yang cukup deras beberapa dekade belakangan ini.

Maman merupakan salah satu pengamat yang tidak sepaham dengan Jassin. Ia menolak pandangan Jassin yang menempatkan Balai Pustaka sebagai pelopor lahirnya sastra modern di Indonesia.

Mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini lebih setuju kalau sastra modern lahir sejak ditemukannya mesin cetak. Sehingga sastra modern yang ada saat ini bisa disebut sebagai perpanjangan karya sastra yang telah ada sebelumnya. “Jadi tidak benar kalau sejarah sastra Indonesia dikatakan dipengaruhi oleh sejarah sastra Barat,” kata Maman.

Pandangan Maman tersebut bertolakbelakang dengan pendapat kritikus sastra Jakob Soemardjo. Guru Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung ini mengatakan, sejarah perkembangan sastra di tanah air tidak terlepas dari perkembangan sejarah sastra asing, terkecuali untuk puisi. “Perkembangan puisi di Indonesia cenderung menggali dari budaya lokal,” ujar Jakob.

Sementara itu, Budi menilai, kerap terjadi diskriminasi dalam pencatatan sejarah sastra. Seringkali sejarah sastra hanya mencatat karya sastra dan peristiwa-peristiwa penting yang dibaca orang dari masa ke masa.

Seharusnya, catatan mengenai peristiwa penting itu bukan sekadar menderetkan nama dan karya, tetapi juga menyibak ada apa di balik itu. Misalnya Abdul Hadi WM sebagai salah satu sastrawan angkatan 70, harus dijabarkan pada tahun tersebut terdapat peristiwa sosial apa sehingga melahirkan sebuah gerakan estetik.

Di luar yang tercatat dalam sejarah sastra, lanjut Budi, berserakan karya-karya lain yang tidak kalah berkualitas, tetapi karena faktor politis ataupun geografis si penulis gaungnya kurang terdengar.

“Sejarah sastra dibuat oleh orang yang punya kekuasaan. Seringkali ada karya sastra yang baik tetapi tidak dianggap penting oleh orang tersebut maka ia akan menjadi tidak penting,” kata pengarang novel Nyonya Talis ini.

Budi mencontohkan, karya-karya Motinggo Busye. Sebelum menulis cerita-cerita porno, menurut Budi, Motinggo banyak melahirkan karya-karya bermutu. Sayangnya karena berdomisili di Yogyakarta yang pada zaman itu jauh dari pusat pemerintahan, karya-karya Motinggo tidak terlihat oleh Jassin. Dapat ditebak, kemudian Motinggo pun tidak masuk dalam sejarah sastra tanah air.

Monopoli Kota Besar

Hingga saat ini monopoli kota-kota besar sebagai pusat perhatian para pengamat masih terjadi. Tak dapat dipungkiri pengarang yang tinggal di Jakarta atau Yogyakarta karyanya pasti akan lebih diapresiasi dibanding mereka yang berdomisili di Kutai atau Papua.

“Padahal banyak penulis dari Indonesia Timur yang karyanya memikat, tetapi mereka kurang mendapat apresiasi karena kurangnya akses dan perhatian dari media maupun kritikus,” ujar Budi yang baru saja meluncurkan kumpulan cerita pendeknya yang berjudul LA Undercover.

Pendapat tersebut diamini oleh Maman. Menurut lelaki kelahiran Cirebon ini, otonomi daerah yang berlangsung membawa angin segar bagi perkembangan sastra di daerah-daerah. Di mana karya sastra yang dihasilkan kualitasnya tak kalah bila dibandingkan dengan karya para sastrawan yang tinggal di kota besar.

Bahkan, lanjut Maman, secara substantif para sastrawan di pelosok daerah terkadang lebih piawai mengolah persoalan lokal. Dari merekalah wajah Indonesia bisa lebih terlihat. “Oleh sebab itu sangat tidak adil jika hanya mengklaim satu dua orang sastrawan sebagai bagian dari angkatan tahun sekian,” kata Maman.

Sejarah sastra Indonesia juga mendapat gugatan karena banyaknya karya yang tercecer. Litelatur mengenai sejarah sastra seringkali hanya membicarakan karya-karya berupa buku, sementara karya sastra yang berserakan di media massa tak diacuhkan.

Padahal sejak zaman Balai Pustaka karya sastra di media massa cukup menggeliat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. “Jika hanya merujuk pada A Teeuw atau HB Jassin maka sastra koran tersebut akan terlewat. Padahal mereka adalah bagian dari perkembangan sastra Indonesia,” kata Maman.

Budi berpendapat, proses regenerasi yang terhambat juga menyebabkan sejarah sastra seolah menjadi belenggu yang membatasi. Seorang penulis muda sulit untuk muncul ke permukaan karena banyak penulis senior yang masih eksis.

Padahal, lanjut lelaki kelahiran Rembang ini, banyak karya penulis muda yang patut diacungi jempol, salah satunya Puthut EA. Tetapi mereka sulit untuk berkembang dan mendapat tempat karena perhatian masih tertuju pada penulis yang itu itu saja.

Tentu saja fenomena seperti itu akan berpengaruh pada proses penyusunan sejarah sastra. “Pengamat yang obyektif seharusnya mencari karya sastra yang betul-betul baik, bukan karena orangnya atau tempat tinggalnya,” kata Budi.

Kaya Penyair

Kita patut berbangga hidup di negeri yang kaya raya, bukan hanya sumberdaya alamnya tetapi sumber daya penyairnya. Tetapi sayangnya hanya segelintir penyair yang mendapatkan apresiasi yang layak.

Sebagai contoh pada pembelajaran sastra di sekolah, para penyair yang dibicarakan hanya berkisar seputar Chairil Anwar, WS Rendra atau Taufiq Ismail. Padahal di luar itu masih banyak penyair lain yang tidak kalah dasyat seperti Wiji Tukul, Goenawan Mohamad atau Afrizal Malna.

Pembelajaran yang berkutat pada materi dan penyair itu itu saja akan menciptakan generasi yang miskin wawasan. Hal itu pastinya akan mempengaruhi penciptaan estetika baru. “Kekayaan sastra tanah air harus digali dalam lanskap yang lebih luas, agar sastra Indonesia dapat menjadi duta kebudayaan,” kata Maman.

Penyair Inggris asal Amerika Serikat TS Eliot dalam essainya mengingatkan mengenai pentingnya seorang pengarang menyadari posisinya dalam sejarah sastra. Ia menyatakan, tak ada penyair, tak ada seniman dalam bidang apa pun, yang memiliki maknanya sendiri. Penting tidaknya dia, apresiasi atasnya, dilihat berdasarkan relasinya dengan para penyair dan seniman yang sudah mati.

Lebih lanjut menurut Elliot, kita tidak bisa menilainya hanya berdasarkan dirinya sendiri; kita mesti menempatkannya, untuk kontras dan perbandingan, di antara yang sudah mati. Ini adalah prinsip kritik estetik, tidak sekadar kritik historis.

Karena disukainya atau tidak, seorang penyair/seniman itu akan dinilai berdasarkan ukuran-ukuran standar dari masa yang sudah lewat, bukan yang akan datang. Dan penyair yang menyadari ini akan sadar pula betapa besar kesukaran dan tanggung-jawab sejarah yang dipikulnya sebagai sastrawan sastra nasionalnya. Ini menunjukkan bahwa sejarah sastra, atau tradisi, itu adalah sebuah organisme hidup, dinamis, dan berkembang.

Untuk mencapai puncak estetik selanjutnya, seorang penyair tentu harus berangkat atau setidaknya mempelajari pencapaian estetik pendahulunya. “Pencapaian estetik yang fenomenal dapat diraih dengan mempelajari khasanah
sastra sebelumnya, tetapi tentu saja bukan hanya mempelajari Chairil dan
Sutardji,” ujar Maman.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati