Grathia Pitaloka
http://jurnalnasional.com/
Sejarah sastra tak selalu memunculkan, tapi juga menggelapkan nama-nama.
Sastra Indonesia dihantui oleh sejarahnya!. Pendapat tersebut pernah dikemukakan oleh kritikus sastra Nirwan Dewanto delapan tahun silam. Nirwan khawatir apabila sejarah semata-mata dipandang sebagai kumpulan kisah asal muasal, maka akan menciptakan beban bagi titik-titik pembaruan sastra di tanah Air.
Pemahaman yang sempit tentang sejarah sastra tersebut, tentu tidak tertanam dalam waktu satu dua hari. Ada proses panjang yang menyebabkan pemahaman tersebut begitu dalam tertancap bahkan di kepala para penggiat sastra itu sendiri.
Pendidikan di bangku sekolah, salah satu faktor yang memiliki andil besar dalam proses penanaman pemahaman sejarah sastra. Sayangnya, pendidikan yang diberikan di sekolah saat ini hanya berkutat pada teori-teori.
Sekilas teori-teori tersebut tampak rumit, namun apabila dibedah seringkali kopong dan hanya berisi rentetan hapalan tentang tahun. Sehingga lahirlah generasi siswa hapal mengenai periodeisasi karya dan pengarang, tetapi apresiasinya terhadap karya nol besar.
Sistem pengajaran seperti itu diumpamakan oleh pengajar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia Maman S Mahayana seperti mengajari siswa berenang di dalam kelas. “Ini juga yang membuat sastra kita seperti terkucil,” kata Maman kepada Jurnal Nasional, Senin (5/1).
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh sastrawan Budi Darma. Menurut penulis novel Orang-orang Bloomington ini, kurikulum pengajaran sastra di sekolah tidak perlu menitikberatkan pada sejarah, melainkan pada apresiasinya.
Oleh sebab itu, demi kemajuan khasanah sastra tanah air, perubahan kurikulum pelajaran sastra di sekolah-sekolah merupakan sesuatu yang mendesak untuk dilakukan. Pembelajaran melalui apresiasi membuat para siswa lebih akrab dengan karya sastra dan dapat melihat karya sastra dari jendela yang lebih jelas.
Keterbatasan pemahaman mengenai sejarah sastra Indonesia konon juga disebabkan oleh minimnya litelatur yang membahas mengenai fakta atau latar belakang peristiwa yang terjadi di balik sebuah karya sastra.
Sejarah dalam Kurikulum
Kebanyakan sejarah sastra bersandar pada hubungan kausalitas langung antara karya dengan pengarang. Salah satu yang menggunakan pandangan positivisme tersebut adalah paus sastra Indonesia, HB Jassin.
Jassin memetakan para sastrawan dalam angkatan-angkatan berdasarkan kehidupan sosial dengan karya sastra, tipologi tema dan bentuk pengucapan. Dalam periodeisasi itu, ia menempatkan Angkatan Balai Pustaka sebagai tonggak kelahiran sastra modern Indonesia.
Meski masih banyak digunakan hingga saat ini, periodeisasi yang disusun oleh Jassin juga banyak mengundang perdebatan pro dan kontra. Banyak pihak-pihak yang menilai kalau pondasi yang mendasari pemikiran Jassin rapuh dan pemetaan yang dilakukannya masih terlalu mentah.
Beberapa pengamat berpendapat kalau periodeisasi yang dibuat Jassin sudah tidak signifikan dengan perkembangan zaman mengingat arus perkembangan dunia sastra yang cukup deras beberapa dekade belakangan ini.
Maman merupakan salah satu pengamat yang tidak sepaham dengan Jassin. Ia menolak pandangan Jassin yang menempatkan Balai Pustaka sebagai pelopor lahirnya sastra modern di Indonesia.
Mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini lebih setuju kalau sastra modern lahir sejak ditemukannya mesin cetak. Sehingga sastra modern yang ada saat ini bisa disebut sebagai perpanjangan karya sastra yang telah ada sebelumnya. “Jadi tidak benar kalau sejarah sastra Indonesia dikatakan dipengaruhi oleh sejarah sastra Barat,” kata Maman.
Pandangan Maman tersebut bertolakbelakang dengan pendapat kritikus sastra Jakob Soemardjo. Guru Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung ini mengatakan, sejarah perkembangan sastra di tanah air tidak terlepas dari perkembangan sejarah sastra asing, terkecuali untuk puisi. “Perkembangan puisi di Indonesia cenderung menggali dari budaya lokal,” ujar Jakob.
Sementara itu, Budi menilai, kerap terjadi diskriminasi dalam pencatatan sejarah sastra. Seringkali sejarah sastra hanya mencatat karya sastra dan peristiwa-peristiwa penting yang dibaca orang dari masa ke masa.
Seharusnya, catatan mengenai peristiwa penting itu bukan sekadar menderetkan nama dan karya, tetapi juga menyibak ada apa di balik itu. Misalnya Abdul Hadi WM sebagai salah satu sastrawan angkatan 70, harus dijabarkan pada tahun tersebut terdapat peristiwa sosial apa sehingga melahirkan sebuah gerakan estetik.
Di luar yang tercatat dalam sejarah sastra, lanjut Budi, berserakan karya-karya lain yang tidak kalah berkualitas, tetapi karena faktor politis ataupun geografis si penulis gaungnya kurang terdengar.
“Sejarah sastra dibuat oleh orang yang punya kekuasaan. Seringkali ada karya sastra yang baik tetapi tidak dianggap penting oleh orang tersebut maka ia akan menjadi tidak penting,” kata pengarang novel Nyonya Talis ini.
Budi mencontohkan, karya-karya Motinggo Busye. Sebelum menulis cerita-cerita porno, menurut Budi, Motinggo banyak melahirkan karya-karya bermutu. Sayangnya karena berdomisili di Yogyakarta yang pada zaman itu jauh dari pusat pemerintahan, karya-karya Motinggo tidak terlihat oleh Jassin. Dapat ditebak, kemudian Motinggo pun tidak masuk dalam sejarah sastra tanah air.
Monopoli Kota Besar
Hingga saat ini monopoli kota-kota besar sebagai pusat perhatian para pengamat masih terjadi. Tak dapat dipungkiri pengarang yang tinggal di Jakarta atau Yogyakarta karyanya pasti akan lebih diapresiasi dibanding mereka yang berdomisili di Kutai atau Papua.
“Padahal banyak penulis dari Indonesia Timur yang karyanya memikat, tetapi mereka kurang mendapat apresiasi karena kurangnya akses dan perhatian dari media maupun kritikus,” ujar Budi yang baru saja meluncurkan kumpulan cerita pendeknya yang berjudul LA Undercover.
Pendapat tersebut diamini oleh Maman. Menurut lelaki kelahiran Cirebon ini, otonomi daerah yang berlangsung membawa angin segar bagi perkembangan sastra di daerah-daerah. Di mana karya sastra yang dihasilkan kualitasnya tak kalah bila dibandingkan dengan karya para sastrawan yang tinggal di kota besar.
Bahkan, lanjut Maman, secara substantif para sastrawan di pelosok daerah terkadang lebih piawai mengolah persoalan lokal. Dari merekalah wajah Indonesia bisa lebih terlihat. “Oleh sebab itu sangat tidak adil jika hanya mengklaim satu dua orang sastrawan sebagai bagian dari angkatan tahun sekian,” kata Maman.
Sejarah sastra Indonesia juga mendapat gugatan karena banyaknya karya yang tercecer. Litelatur mengenai sejarah sastra seringkali hanya membicarakan karya-karya berupa buku, sementara karya sastra yang berserakan di media massa tak diacuhkan.
Padahal sejak zaman Balai Pustaka karya sastra di media massa cukup menggeliat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. “Jika hanya merujuk pada A Teeuw atau HB Jassin maka sastra koran tersebut akan terlewat. Padahal mereka adalah bagian dari perkembangan sastra Indonesia,” kata Maman.
Budi berpendapat, proses regenerasi yang terhambat juga menyebabkan sejarah sastra seolah menjadi belenggu yang membatasi. Seorang penulis muda sulit untuk muncul ke permukaan karena banyak penulis senior yang masih eksis.
Padahal, lanjut lelaki kelahiran Rembang ini, banyak karya penulis muda yang patut diacungi jempol, salah satunya Puthut EA. Tetapi mereka sulit untuk berkembang dan mendapat tempat karena perhatian masih tertuju pada penulis yang itu itu saja.
Tentu saja fenomena seperti itu akan berpengaruh pada proses penyusunan sejarah sastra. “Pengamat yang obyektif seharusnya mencari karya sastra yang betul-betul baik, bukan karena orangnya atau tempat tinggalnya,” kata Budi.
Kaya Penyair
Kita patut berbangga hidup di negeri yang kaya raya, bukan hanya sumberdaya alamnya tetapi sumber daya penyairnya. Tetapi sayangnya hanya segelintir penyair yang mendapatkan apresiasi yang layak.
Sebagai contoh pada pembelajaran sastra di sekolah, para penyair yang dibicarakan hanya berkisar seputar Chairil Anwar, WS Rendra atau Taufiq Ismail. Padahal di luar itu masih banyak penyair lain yang tidak kalah dasyat seperti Wiji Tukul, Goenawan Mohamad atau Afrizal Malna.
Pembelajaran yang berkutat pada materi dan penyair itu itu saja akan menciptakan generasi yang miskin wawasan. Hal itu pastinya akan mempengaruhi penciptaan estetika baru. “Kekayaan sastra tanah air harus digali dalam lanskap yang lebih luas, agar sastra Indonesia dapat menjadi duta kebudayaan,” kata Maman.
Penyair Inggris asal Amerika Serikat TS Eliot dalam essainya mengingatkan mengenai pentingnya seorang pengarang menyadari posisinya dalam sejarah sastra. Ia menyatakan, tak ada penyair, tak ada seniman dalam bidang apa pun, yang memiliki maknanya sendiri. Penting tidaknya dia, apresiasi atasnya, dilihat berdasarkan relasinya dengan para penyair dan seniman yang sudah mati.
Lebih lanjut menurut Elliot, kita tidak bisa menilainya hanya berdasarkan dirinya sendiri; kita mesti menempatkannya, untuk kontras dan perbandingan, di antara yang sudah mati. Ini adalah prinsip kritik estetik, tidak sekadar kritik historis.
Karena disukainya atau tidak, seorang penyair/seniman itu akan dinilai berdasarkan ukuran-ukuran standar dari masa yang sudah lewat, bukan yang akan datang. Dan penyair yang menyadari ini akan sadar pula betapa besar kesukaran dan tanggung-jawab sejarah yang dipikulnya sebagai sastrawan sastra nasionalnya. Ini menunjukkan bahwa sejarah sastra, atau tradisi, itu adalah sebuah organisme hidup, dinamis, dan berkembang.
Untuk mencapai puncak estetik selanjutnya, seorang penyair tentu harus berangkat atau setidaknya mempelajari pencapaian estetik pendahulunya. “Pencapaian estetik yang fenomenal dapat diraih dengan mempelajari khasanah
sastra sebelumnya, tetapi tentu saja bukan hanya mempelajari Chairil dan
Sutardji,” ujar Maman.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar