Abdul Hadi W.M., Kurniawan / Wawancara
http://www.ruangbaca.com/
Kesenian, bagi kaum sufi, adalah representasi simbolik dari pengalaman kerohaniannya. Demikian pandangan Abdul Hadi W. M. (Wiji Muthari), sastrawan kelahiran Sumenep, Madura pada 24 Juni 1946. Dia mulai menekuni sastra sufi sejak kuliah di Fakultas Sastra dan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada. Bahkan, saat meraih gelar Ph.D di Universiti Sains Malaysia dia menulis disertasi yang diterbitkan sebagai Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri
Sebagai sastrawan, dia menulis sajak-sajak ketuhanan. Salah satu yang terkenal seperti “Tuhan, Kita Begitu Dekat”: Tuhan,/Kita begitu dekat/Sebagai api dengan panas/Aku panas dalam apimu/… Tuhan,/Kita begitu dekat/Seperti kain dengan kapas/aku kapas dalam kainmu.
Dia juga menulis banyak buku tentang sastra sufi dan kebudayaan Islam, di antaranya Rumi, Sufi dan Penyair, Sastra Sufi, Sebuah Antologi, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, dan Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya.
Untuk mengetahui seberapa jauh Rumi mempengaruhi sastra dan kebudayaan Indonesia, wartawan Tempo Kurniawan dan fotografer Dimas Adityo menemui Abdul Hadi di ruang kerjanya di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pada Senin, 13 Agustus lalu. Berikut ini petikannya.
Pak Abdul Hadi, sejak kapan dunia kesastraan Indonesia dipengaruhi oleh karya sastra Jalaluddin Rumi?
Dalam sejarah kesasatraan Melayu, pengaruh sastra sufi Rumi telah muncul sejak abad ke-15. Salah seorang tokoh yang banyak mendapatkan pengaruh, artinya berinteraksi dengan pemikiran Rumi, itu adalah Sunan Bonang, satu dari para wali yang menyebarkan agama Islam di Nusantara.
Apakah wali-wali lain tidak?
Masalahnya warisan teks yang tersedia sejauh ini baru dari Sunan Bonang. Sedangkan teks dari para wali lain tak ada atau sukar mencarinya. Dalam buku saya, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, saya telah menguraikan tentang Sunan Bonang, hubungannya dengan Rumi, gagasan cinta Rumi dan lainnya.
Bagaimana awal perjumpaannya dengan Rumi?
Pada akhir abad ke-15 Sunan Bonang pergi ke Samudera Pasai melalui Malaka bersama Sunan Giri. Dia belajar pada guru yang namanya Syekh Bari. Ini dia abadikan dalam bukunya Pitutur Seh Bari, yang kemudian diterjemahkan dan disunting oleh GWJ Drewes sebagai The Admonition of Seh Bari pada 1967. Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan di situ dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali dan Rumi.
Salah satu pengaruh Rumi yang paling jelas terahdap Sunan Bonang adalah, pertama, ajaran cinta. Kemudian, menerjemahkan asketisme itu dengan kesalehan sosial, di mana aktivitas sosial sangat diutamakan sebagai padanan dari zikir. Lalu, estetika. Pemikiran Rumi tentang seni sangat berpengaruh terhadap Sunan Bonang.
Bisa Anda uraikan konsep seni bagi Rumi?
Rumi berpikir bahwa karya sastra atau seni itu simbolisasi, representasi simbolik dari ide dan pengalaman kerohanian. Pengalaman kerohanian yang paling tinggi adalah tafakur, semacam kontemplasi untuk mencapai kesatuan mistik dengan Tuhan.
Karena sebagai simbol, karya seni itu seakan sebagai jalan naik atau kendaraan naik dari pengalaman empiris ke pengalaman kerohanian.
Konsep ini, contohnya, terlihat dalam komposisi gamelan yang dibuat Sunan Bonang, Gending Dharma, yang berpengaruh terhadap gamelan Jawa kini. Konsepnya konsentrik. Nada-nada, semua bunyi gamelan itu, membawa suasana terpusat ke alam transenden.
Apa bedanya dengan gamelan lain?
Gamelan Sunan Bonang agak berbeda, misalnya, dengan gamelan Hindu. Gamelan jaman Hindu itu digunakan untuk drama, pemujaan kepada dewa-dewa, sehingga eksotik sifatnya, seperti pada gamelan Bali. Gamelan Sunan Bonang bersifat konsentrik. Kedua jenis gamelan ini membawa perubahan pada gamelan Jawa, yang merupakan campuran dari estetika sufi dan estetika tantriisme Hindu.
Adakah bentuk modern dari gamelan Sunan Bonang ini?
Itu gending Kebo Giro (yang biasa mengiringi prosesi perkawinan adat Jawa). Gending itu sangat kontemplatif sekali. Juga tembang Lir-ilir, lir-ilir (yang konon ciptaan Sunan Kalijaga). [Abdul Hadi sejenak menembangkannya: Lir-ilir, lir-ilir/tandure wus sumilir/Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar....] Nah, itu kan jaman Sunan Bonang dan Kalijaga.
Bagaimana dengan sastranya?
Pengaruh Rumi dan ajaran tasawuf paling banyak ditemukan dalam teks-teks suluk karya Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Keduanya adalah yang paling terpelajar dalam hal sastra sufi di antara para wali. Di Jawa suluk adalah karangan bercorak tasawuf yang disampaikan dalam bentuk tembang. Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal adalah Suluk Wujil.
Dari mana saja sumber ajaran tasawuf mereka?
Setidak-tidaknya ada lima tokoh tasawuf yang populer di Nusantara pada abad-abad itu. Yang pertama, Imam Ghazali, lewat ajaran etikanya. Kedua, falsafah metafisik tentang wujud dari Ibn Arabi. Kemudian, Abdul Karim al-Jili tentang ajaran insan kamil. Tapi, dari segi seni atau sastra, yang banyak memberikan pengaruh adalah Fariduddin Attar dan Jalaluddin Rumi. Ini terbukti dari banyaknya terjemahan dari karya-karya penyair Persia seperti Attar dan Rumi.
Jejak mereka juga tampak dari pemakaian simbol burung, yang banyak dipakai dalam motif seni ukir. Itu kan bermula dari karya Attar yang disadur ke dalam bahasa Melayu menjadi, Hikayat Burung Pingai, yang kemudian dipopulerkan lagi oleh Hamzah Fansuri dengan sajak-sajaknya tentang burung. Di situ burung menjadi simbol jiwa manusia yang merindukan Tuhan. Burung sebagai simbol itu terutama burung simugh atau pingai atau phoenix.
Kalau jejak Rumi?
Bagian pertama dari Matsnawi karya Rumi, “Muqadimah”, itu berisi lagu seruling bambu yang terpisah dari asal-usulnya. Nah, hikayat-hikayat Pasai kemudian mengambilnya, bahwa asal-usul atau nenek moyang mereka berasal dari pokok bambu. Ini muncul juga dalam cerita dongeng di tanah Batak.
Dari lagu serulingnya Rumi ini pula lahir istilah “buluh perindu”. Di situ seruling, serunai, atau saluang menjadi peralatan paling penting dalam kesenian dan kebudayaan. Sebelumnya, alat musik semacam ini tak dipakai, misalkan dalam gamelan Hindu.
Bagi Hamzah Fansuri, apakah dia mendapat pengaruh juga dari Rumi?
Ya, tapi tidak langsung karena abadnya sudah berbeda. Tetapi jelas bahwa dari segi estetik karya-karya Fansuri banyak dipengaruhi, terutama, oleh Fariduddin Attar. Paling jelas dari Attar, tapi itu dekat sekali dengan Rumi, karena Attar itu sambungannya dengan Rumi. Sedangkan dari pemikiran filsafatnya, baru Fansuri dipengaruhi Ibnu Arabi.
Apa hubungan Attar dan Rumi?
Attar itu guru spiritualnya Rumi, pendahulunya Rumi. Rumi melanjutkannya. Ini merupakan tradisi para sufi, karena mereka tak berpretensi sebagai pembaharu seperti penyair modern sekarang. Yang penting bagi dia (sufi), karyanya merupakan pengalaman pribadi, yang dialaminya dan dihayatinya. Cukup itu saja sudah orisinal bagi mereka. Apakah hal itu sudah dikatakan sebelumnya atau tidak, itu bukan soal bagi mereka. Sekarang saja kita orang rewel tentang orisinalitas semacam ini, kan?
Seperti cerita rakyat, misalnya. Mereka (para sufi) lontarkan kembali dalam bentuk yang sesuai dengan sifat karya sastra sebagai bentuk simbolik. Sehingga mereka memakai cerita rakyat yang sudah berkembang, seperti kisah Laila Majnun dan sebagainya. Juga kisah-kisah binatang, sejarah, dan ada juga yang diambil dari Al-Quran. Cuma dia olah dengan cara dia sendiri. Jadi, bukan soal temanya yang penting. Tema itu bisa sama saja. Justru dengan mengolahnya menjadi baru, dia memberi dimensi-dimensi baru, dimensi estetik, pengalaman, dan sosial pada cerita lama itu.
Bagaimana dengan karya sastra Indonesia modern, seperti Amir Hamzah dan sesudahnya?
Ya, jelas sekali pengaruhnya. Namun, sebelum Amir Hamzah, yang ada pengaruh Ruminya adalah pada Sanusi Pane. Sedangkan Amir jelas sekali terpengaruh secara langsung maupun tidak. Amir kan pernah menerjemahkan Rumi dalam Setanggi Timur. Dan, Rumi sangat dikenal pada masa itu oleh penyair-penyair romantik Indonesia. Sedangkan puisi Rumi itu memang sesuai dengan jiwa romantik. Kalau dalam sastra kontermporer tinggal lihat saja pengaruhnya pada, misalnya, Danarto dan Sutardji Calzoum Bachri.
Bagaimana Anda menilai keterpengaruhan itu?
Saya melihat dari dua hal saja. Pertama, estetik, bahwa karya sastra itu simbol, idealisasi dari realitas yang dialami penyair, jadi bukan langsung diambil dari realitas. Pengalaman diolah oleh imajinasi, lalu dijadikan simbol untuk menceritakan sesuatu yang lain, baik pengalaman kehidupan maupun kritik sosial.
Hal ini lain dengan karya sastra yang coraknya imitasi, peniruan terhadap realitas, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Di sini pengalaman diidealisasi dengan kerangka historis, pertentangan kelas, dan sebagainya.
Nah, sastra sufi itu betul-betul simbol. Di dalam tradisi Timur, termasuk dalam tradisi Islam, seni murni itu demikian, bersifat simbolik. Dia disebut seni murni karena karya itu tidak punya kepentingan politik, tidak ada kepentingan duniawi. Dia semata-mata kerohanian, spiritualitas.
Ini lain dengan corak yang kedua, seni dinamik. Seni ini mempersoalkan masalah sosial, keduniaan. Hanya saja, tradisi Barat tak mengenal seni murni, karena sudah sekuler. Sedangkan dalam tradisi Timur, mulai dari jaman Jawa Hindu, seni murni sudah digarap, tapi seni sosial juga digarap.
Kala itu pengarang bisa kedua-duanya. Tapi, kalau dia mengarang seni murni, pasti simbolik. Karena, yang abstrak, yakni pengalaman spiritual, itu tak bisa ditiru. Jadi dia harus disimbolkan dengan hal-hal yang kongkret. Misalkan pada pepatah “tak ada rotan akar pun jadi”. Nah, yang dibicarakan kan bukan rotan, bukan pula akar yang kongkret, kan?
Dari segi bentuk, apakah sastra sufi lebih cenderung memilih puisi ketimbang prosa?
Puisi atau prosa-puisi. Karena prosa itu kan baru berkembang kemudian setelah orang lebih banyak dekat pada pemikiran diskursif. Bahasa diskursif itu tidak dapat mewadahi hal ini, kecuali distilisasikan, gayanya jadi puitik. La Divina Comedia karya Dante itu kan simbolik.
Hal ini berbeda dengan novel modern. Novel modern itu setelah realisme. Baik realisme maupun romantisme di dunia modern itu merupakan reaksi terhadap saintisme, pemikiran yang selalu mengandalkan akal. Romantisme mengedepankan kebebasan individual dengan imajinasi, sedangkan realisme dengan menceritakan yang buruk-buruk dalam masyarakat.
Apakah realisme itu mempengaruhi sastra Indonesia?
Setelah Sanusi Pane, kita didominasi oleh aliran-aliran dari Barat itu, seolah-olah aliran dari Timur itu sudah kuno. Nah, yang Timur ini baru diangkat kembali pada 1970-an oleh Kuntowijoyo, Danarto, Fudoli Zaini. Yang diangkat itu estetikanya, jadi tidak mesti sama karyanya dengan mereka (aliran dari Timur). Kebaruan mereka jutru karena mereka bisa mengelola sesuatu yang berbeda dengan sastra klasik dan dengan sastra pada zamannya.
Dalam novel-novel sebelum Danarto kan nggak mungkin awan, bekicot, kodok, jadi tokoh novel. Tapi, dalam Mahabharata, dongeng-dongeng, hal itu ada. Danarto justru mengangkatnya lagi, tapi dengan cara yang baru, konteks baru, relevansi baru. Bahkan ayat-ayat Al-Quran dijadikan tokohnya.
[Di salah satu artikelnya Abdul Hadi menyebut sejumlah karya bercorak sufistik dan sosial-keagamaan seperti karya Kuntowijoyo (novel Khotbah di atas Bukit, antologi puisi Suluk Awang Uwung dan kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga), Danarto (kumpulan cerpen Adam Makrifat dan Berhala serta novel Asmaraloka), dan M. Fudoli Zaini (kumpulan cerpen Arafah dan Batu-batu Setan)]
Apakah generasi berikutnya Anda masih melihat pengaruhnya?
Dalam prosa memang jarang sekali, tapi dalam puisi banyak sekali pengaruh gerakan sufistik ini. Tapi, suatu gerakan itu kan tidak selalu harus berkembang terus. Dia kadang harus mengendap dulu, lalu suatu ketika muncul lagi.
Kalau Sutardji?
Ya, dia memang terpukau (pada sastra sufi) setelah kebuntuan pengalaman nihilismenya itu. Misalnya lewat sajak Orangnya Tuhan karya Rumi. Sajak itu jelas berpengaruh pada Sutardji sejak awal masa kepenyairannya. Jadi, pengaruhnya sudah ada waktu itu tapi dia belum bisa mencernanya, kecuali pada masa akhir kepenyairannya.
Dalam acara di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu lalu saya telah menyampaikan bahwa Sutardji itu melalui tiga fase. Pertama, sajak mantera. Saya analisa di situ dia dipengaruhi samanisme, tapi samanisme itu juga sebetulnya mistik. Kedua, nihilis, gayanya kok seperti Nietszche. Kemudian, ke sufi.
Selanjutnya, bagaimana perkembangan sastra sufi?
Memang sejak munculnya Angkatan 45 sampai awal 1960-an, pengaruh sufi itu surut karena hingar bingar realisme, realisme sosial, eksistensialisme, dan segala macam. Tapi kok berbenih lagi pada karya pasca-1966, pada 1970-an pada karya Danarto dan lainnya. Jadi ini tampak sebagai reaksi terhadap realisme, entah realisme formal atau sosial, dalam penulisan sastra dari segi estetik, ditambah lagi kecintaan mereka (para sastrawan) yang mendapat ilham dari tradisi.
Tapi kan pada Chairil punya sajak “Doa”, Tuhanku/di pintuMu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling?
Ya, itu kan remang-remang. Nafas keagamaan memang muncul pada karya-karya tahun 1950-an itu, seperti pada Taufik Ismail, AA Navis, dan lainnya. Tapi, di situ agama pada level legalistik-formal, dalam pengertian dengan adat, dengan pergaulan, tingkah laku masyarakat, ahlak. Sedangkan agama sebagai penghayatan spiritual baru muncul pasca-1966.
Apakah ada konteks sosial tertentu yang mendorong mereka demikian?
Saya tidak tahu mereka. Tapi, dari segi saya, pada waktu itu mulai populer lagi kecenderungan untuk melihat dan membaca karya-karya Asia. Salah satunya buku yang dibaca adalah The Treasure of Asian Litterature (1956). [Abdul Hadi mengambil buku itu dari rak di belakangnya dan memperlihatkan isinya]. Isinya nukilan-nukilan karya berbagai pengaran Asia, tapi penting bagi orang yang belajar sastra. Saya membelinya tahun 1970-an.
Buku ini populer setelah tahun 1966, dibaca oleh penyair-penyair Yogyakarta waktu itu. Di buku itu ada karya Rumi, ada Rubaiyat Omar Khayam. Jadi, mereka bersentuhan dengan ini. Kami yang masih muda-muda waktu, itu, masih 20-an tahun usianya, melihat bahwa ternyata sastra Timur itu kaya, bukan hanya karya sastra Barat. Banyak lagi buku-buku semacam ini yang populer.
Sutardji kan membaca Orangnya Tuhan (The Man of God) karya Rumi kan di situ. Bahkan mereka menerjemahkannya. Sapardi, misalnya, menerjemahkan Shakuntala. Saya sendiri menerjemahkan Rubaiyat Omar Khayam.
Bagaimana dengan latar belakang para sastrawan itu?
Ini memang kebetulan. Kuntowijoyo ini kan mahasiswa jurusan sejarah, yang pasti mempelajari kebudayaan dan kesusasteraan Indonesia. Danarto juga memang lahir dari keluarga kebatinan dan menyukai tasawuf. Fudoli Zaini juga begitu, lahir dari keluarga pesantren, orang Nahdlatul Ulama tulen yang banyak mempelajari tasawufnya Al-Gazali dan lainnya, apalagi ditambah dengan mempelajari sastra Arab di Kairo, Mesir. Kemudian Sutardji sendiri dari tradisi sastra Melayunya pasti membawa itu. Kalau saya kan memang dari studi sastra Melayu.
Seberapa besar peluang sastra sufi untuk muncul saat ini?
Sulit juga bicara soal peluang, karena peluang itu kini ditentukan oleh publikasi dan pasar. Pasar memilih yang mana? Tapi, sebagai aktivitas dia tetap ada. Dipublikasikan atau tidak ia tetap berlangsung dalam kajian-kajian tasawuf yang banyak terdapat di Jakarta.
Banyak sekali kelompok kajian tasawuf di Jakarta, sukar dihitung dan bermacam-macam jenisnya. Ada yang sifatnya cuma majelis zikir saja, ada yang juga mengkaji masalah-masalah sastra sufi ini, bahkan ada yang khusus mengkaji Rumi, seperti kelompok Pusaka Hati yang akan mementaskan “Semalam Rumi” di Gedung Kesenian Jakarta pada 30 Agustus nanti.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar