Salamet Wahedi
http://www.surabayapost.co.id/
Syams. Kami memanggilnya. Syams Al-Wahed. Sudah dua tahun, ia telah meninggalkan kami. Ia telah menjadi manusia impian. Banyak hal dan peristiwa yang, tiba-tiba, minta dikenang. ’ee’, logat-gaya bicaranya agak lambat. Matanya yang selalu menampak kuyu. Kebiru-biruan. Pakaiannya ala kadar. ”si charokonx”, begitu kami memanggilnya. Lalu, ia nyengir. Lalu keluarlah filosofi andalannya, ”chasing boleh charokonx, tapi isi tetap tetap nomer settong”.
Kami tak mengerti. Kami begitu asing dengan nama dan tokoh yang disebutnya. Tapi kami- dengan bahasanya, dengan tuturnya yang meledak, melemah- dibuatnya begitu akrab. Begitu terhibur.
Syams. Satu dari sekian nama yang dipakainya. Suatu kali Kami menemukannya dalam sebuah majalah. Atau el-habib, ketika kami mendengar teman-teman kuliahnya. Atau Bang Slam, panggilan yang dilekatkan anak didiknya. Syams. Satu dari sekian nama yang kami pakai untuk mengenangnya. Sosok yang begitu rupawan, tapi bersahaja. Sosok yang penuh kontroversi, tapi arif dan bijak. Celotehnya, di samping membuat kami mengernyitkan kening, juga memberi sebuah dunia lain, -yang sekali lagi dengan bahasanya yang ritmis, tuturnya yang lemah-lembut, syams membuatnya begitu akrab. Dunia lain, tempat peristiwa yang akrab bagi kami. Sekaligus asing. Dan syams, seperti kebiasaannya, sehabis isya’, selalu kami temukan nongkrong di warung babeh.
”Kita mesti bertanya tentang diri kita. Tentang sejarah yang berjalan atas nama nenek moyang kita.” Malam itu syams datang dengan gaya yang amat nyentrik. Pakai gelang, kalung, serta anting-anting. ”Banyak potongan sejarah ini digudangkan dan diganti dengan cerita birahi para penguasa. Koruptor...”
”Semalam mimpi apa Syams?” Adi menyela. ”Pakaianmu kayak penyair tidak diakui orang.”
”Aku hendak bertemu izrail.”
Seperti angin malam yang menusuk sumsum, kata-kata Syams membuat kami terkesiap. Malam itu kami hanya berpandangan dengan mata nanar penasaran. Kata-kata yang polos. Tentang kamatian yang tulus. Isyarat yang halus. Tapi kami tidak dapat menangkap bahwa kematian itu, telah ditangguhkannya sendiri. Kematian itu, telah dijemputnya dengan kepala tegak.
Dua tahun, Syams telah meninggalkan warung bapak Babeh. Jejaknya tidak hanya minta dikenang, tapi telah menyelipkan kesunyian bersama desir angin malam. Syams mati malam itu. Malam, di mana ia berpakaian amat nyentriknya. Kata-katanya mengandung magis. Tentang nasib petani yang ditemui dan didampinginya mengurus hak-hak tanahnya. Tentang para mahasiswa yang mulai kehilangan jati dirinya. Tentang caleg muda yang terjebak pada euforia kekuasaan semata. Tentang....
Syams mati mengenaskan dan penuh misteri. Tubuhnya tersayat. Potongan tubuhnya berserakan sepanjang selokan. Lidahnya hilang. Matanya copot. Ia mati dibunuh. Jejak ceritanya yang menghibur bagi kami, ternyata begitu runcing dalam kenangan. Pun tokoh-tokoh yang berulang disebutnya: Pak Mahmud yang tanahnya kena gusur, Bu Karti yang merelakan warung kopinya demi mal, atau Dr. Mizoh, M.M yang getol menawarkan diri jadi caleg dengan seribu janji copypaste, K.H. Ali Gili, yang dengan gaya da’i sejuta umat mengajak para pemiarsanya mencoblos gambarnya, atau Moh. Aris, Mahasiswa tekhnik yang jadi kader partai biru-merah, Al-Jaber, Mahasiswa yang nyentrik dan merasa jagoan karena jadi ketua tim sukses pasangan pilpres no. 27 dan banyak lagi.
2
”Syams,” ia memperkenalkan diri. Wajahnya sayu. Rambutnya awut-awutan. Selain kata-katanya yang rancak, sosok 20-an ini memiliki aura yang sungguh menarik. Tuturnya yang runtut, untaian kalimatnya yang berantai, serta mimiknya yang ekspresif. Apalagi humor dan joke-jokenya yang memecah kebuntuan, bahkan ketegangan.
Malam masih merambat 20.30 ketika kami berjabat tangan. ”Sudah dua tahun saya mengadu nasib di kota bratakala ini,” matanya berkaca-kaca. Ada tetes bening di pelupuk matanya. Seperti embun yang mulai merembes, dan memenuhi udara dingin rongga dada. Mata yang memandang kilat matanya terlalu lama, dengan raut yang runcing akan terhipnotis. Terhisap pada pusaran kata-kata. Kubangan welas asih tak tertangguh.
Setiap malam. Setiap pukul 20.30 kami mulai menghabiskan dua pertiga malam kami dengan puntung rokok, secangkir kopi, cerita-cerita remeh orang-orang pinggiran, siasat perang orang-orang besar. Tidak terlewatkan, tentang wanita-wanita yang hilir mudik memasuki memori dan diary kami. ”Tanpa bunga revolusi, kita akan sepi. Lalu mati,” ia ngakak. Seperti tak ada beban yang perlu dipikirkan, ”Tetapi siapakah orang-orang revolusioner? Kita? Mereka?” tawanya semakin jumawa. Tawa yang tidak hanya menertawakan keadaan yang berjalan tanpa arah, tapi tawa yang begitu menusuk hatiku. Menusuk ulunya yang paling dalam.
Suatu malam, syams menghilang. Kata Adi, temannya, ia menghadiri acara sastra, baca puisi! ”Sosok yang energik!” seruku dalam hati.
Hilangnya syams memberi gambaran lain akan sosoknya. Tiba-tiba aku memahami segala ucapannya. Kata-katanya yang berangkai, kalimat-kalimatnya seirama dan beruntai, serta kritikannya yang berlambai dan landai. Sesekali aku membayangkan rautnya yang kuyu. Matanya sayu. ”Jangan percaya pada siapa pun. Bahkan pada diri kita sendiri, kita perlu mawas. Was-was.” wajahnya tanpa ekspresi suatu waktu.
Waktu itu kami memutuskan untuk cangkrukan di cafe, di lantai tiga sebuah mal. ”Dari sini kita dapat menyaksikan kelap-kelip lampu. Gelap dan terang yang berisisian menciptakan nuansa.” Lalu malam. Sejenak ia menyeruput es juice-nya, akan membawakan aku sepotong puisi, lalu menyelorohlah ia tentang seribu lembar mimpinya. Aku hanya sesekali menimpali.
Di Jerman, Syams nampak berbinar menghisap rokoknya. Ya di Jerman, aku akan membacakan sebuah puisi. Aku akan berkeliling dunia membacakan puisiku. Tentang Utari, yang menjadi kekasih impian. Sebab ia telah memilih suaminya bukan aku. Lalu puisi ”bapakku”, seorang petani yang tiada lelahnya menantang matahari.
”Tentang aku?” tukasku. Bibirku mengembang senyum. Syams pun mengiya. Sekali lagi diseruputnya minumannya. Dan dihembuskannya asap rokoknya.
”Ya tentang Mahfud. Seorang teman yang setia menemani sepiku. Seorang teman yang menghitung jejak di malam tahun baru. Seorang teman, ah Mahfud. Malam itu,” cerocos Syams begitu puitis. Aku tidak dapat membedakan apakah ia sedang berpuisi atau mengingau. Kau tampak gemetar. Bibirmu yang tirus meringis. Menahan dingin yang datang dengan segenap bisanya. Seperti daun dini hari. Tubuhmu pun menguar aroma cendana. Aroma...
Lalu mengalirlah berbagai angan dan khayalannya. Cita-citanya ingin jadi orang bebas, berpenghasilan tetap. Ia punya istri seperti Utari. Perempuan berjilbab. Pipi bulat telur. Mata seperti kerling tetas air di kejauhan. Dan tutur kata yang halus dan sopan. Dan yang tak dapat dilupakan Syams, rona mukanya ketika ia marah. Di antara celoteh dan seloroh Syams, yang membuat darahku tersirap, adalah sikapnya tentang gerakan mahasiswa. Tentang anak muda bangsa negeri ini yang sepanjang sejarah ikut andil mengawal negeri ini menjadi republik berfikir bebas. ”Kalau dulu, suasana dan situasi yang kurang ajar terhadap kita, tapi sekarang kitalah yang kurang ajar pada kesempatan,” ujarnya suatu malam. ”Apalagi di tengah krisis kepercayaan...”
Ah, Syams celoteh dan selorohmu adalah bumbu dapur. Kini aku hanya bisa mengenangmu. Wajahmu yang lugu, tapi penuh semangat yang berkobar. Kata-kata berangkai, tapi penuh tikungan dan kawah terjal. Serta pendirianmu yang memancang bak tembok China.
Tapi di luar itu semua. Terlepas akan kenangan yang kadang menyakitkan. Kadang menyenangkan. Aku hanya menunaikan tugasku. Khayalmu terlalu tinggi. Cita-citamu menjulang meninju langit, Syams.
Akhirnya di malam jumat kliwon. malam yang hujan, yang menandai rapuhnya saton hidupmu, saat kau mengendap kedinginan, sengaja kuambil kesempatan itu. Kesempatan yang akan menyempurnakan segala keluh kesahmu dengan janji tuhanmu.
3
Perempuan separuh abad, kurang lebih, menatapku dengan mata sembab. Kilatnya penuh gairah dan harapan, yang tiba-tiba liar oleh prahara. Di hadapannya potongan tubuh anaknya semisal fragmen yang menghantui masa-usianya yang kian menua dan lampau. Keriput pipinya menyimpan sisa air tangisnya yang tumpah sejak kabar kematian anak semata wayangnya.
Sejenak aku terenyuh. Rasa bersalah tiba-tiba pun berseliweran di setiap pori-pori dan sendi tubuhku. Ibu separuh abad, Ibu Kunti, merangkulku. Degup dadanya seperti hentakan musik yang bertalu di ruang-ruang diskotik malamku. Dan sengak isaknya seperti ujung kuku jarum menusuk ulu hati. Seperti gunung yang lama tidak meledak, Ibu Kunti menumpahkan segala kehilangan dan kehampaannya ke dadaku. Tubuhku bergetar. Darahku tersirap panas.
”Ibu,” seruku. ”Maafkan aku telah...,” kata-kataku tersekat dalam dada. Seperti para pelayat yang ikut berbelasungkawa dengan kebaya hitam, beras, uang dan ngaji Yaa-sin yang mulai menggerumung di kamar tengah.
Sementara persiapan pemberangkatan jenazah telah menyedot dan menarik perhatian beratus pasang mata. Seorang dara berkebaya hitam legam, rambut sebahu, terus memantau gerak-gerikku. Seperti pemburu yang mengintai mangsanya. Rautnya runcing. Bias wajahnya menanarkan aura kejantanan. Aku rikuh. Mungkin inilah sosok perempuan yang memikat Syams, Utari. Sosok yang diceritakannya akan hadir dan menghantui pembunuhnya. Aku bergidik
Kubelai kepala Ibu Kunti. Isaknya kian sengak. Arakan jenazah mulai bergerak. Dan gema kalimat tauhid mendendangkan lagu dingin di hatiku. Di tambah suara isak Ibu Kunti, sendi-sendi tubuhku semakin bergidik. Apalagi sepasang mata tajam si dara itu, yang tidak mau melepasku barang sebentar.
Pemakaman berlangsung syahdu. Pembaca talqin tidak hanya menyudahi bekal bagi si mayit Syams. Tapi ia juga seperti putusan yang ditimpakan padaku. Ada rasa sesal. Tapi juga kesal. Tanpa terasa airmataku juga menetes. Satu-satu. Seperti para pelayat yang mulai pulang.
Kini tinggal Ibu Kunti, aku dan si dara berkebaya legam hitam itu yang termangu. Menghikmati upacara duka yang baru usai. Menikmati cuaca berkabung yang tunai. Lalu Ibu Kunti menatapku dingin. Tatapan yang membuat bulu kudukku berdiri. Lebih dingin dari aroma tubuh Syams. Ia melepaskan rangkulanku.
”Benar kata Syam,” suara ibu Kunti lirih. ”Suatu hari nanti pembunuh anakku akan datang kepadaku. Dan meminta tolong untuk mencincang tubuhnya di bilik suara.”
Aku tersentak. Ibu Kunti berlalu dengan lambaian jumawa. Si dara berkebaya hitam legam meremas stiker gambarku. Lalu menginjaknya.
Sedang aku menghunus pisau untuk mereka.
*) Penulis Tinggal di Sumenep, 2008.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar