Senin, 04 Mei 2009

KULTUR DAN IDENTITAS

Sastra Nir-ideologi: “Menjadi Tak Ada”

Gus TF Sakai
http://kompas-cetak/

Ketika individu menjelma jadi kelompok, ada unsur, sifat, atau kepentingan sama tertentu yang mengikatnya. Dan, identitas dalam bentuk kelompok (etnik, kultur, nation) selalu berada dalam sistem kompleks yang tak bisa dikenali melalui individu.

Fisika boleh menemukan partikel terkecil sub-atomik misalnya, tetapi ketika sejumlah atom berada dan terikat dalam gugus atom (molekul, senyawa), “wujud” yang muncul selalu beda. Dalam kajian sosial, sistem kompleks kumpulan individu ini diidentifikasi melalui ideologi. Tetapi, tepatkah identifikasi seperti itu?

Ada satu hal sulit dalam ideologi, yakni keniscayaan untuk menghamba pada kehendak sendiri. Setiap entitas di luar dirinya adalah salah, maka mekanisme tumbuhnya selalu dengan menaklukkan “Sang Lain”. Ada rekayasa ekspansif-konsekuensi dari politik identitas—yang kalau dimiliki oleh kelompok mayoritas akan berlaku menekan, dan bila dimiliki kelompok berkuasa tentulah otoritarian.

Ideologi menempatkan identitas sebagai sesuatu yang tetap, padahal sebenarnya tidak. Apa pun entitas hakikatnya adalah berubah. Individu terkecil dalam satu kelompok pun, bila tumbuh, tak lagi dapat dikenali melalui identifikasi sebelumnya.

Mengapa? Karena setiap individu setiap saat berinteraksi. Dan karena interaksi setiap identitas setiap saat berubah, maka apa yang kita lihat sebagai identitas sebenarnya adalah pseudoidentitas. Hakikatnya, identitas itu tak ada.

Identitas dalam sastra

Dalam Kongres Cerpen Indonesia IV yang diselenggarakan di Pekanbaru, Riau, akhir tahun lalu, saya menolak istilah “estetika lokal”. Lokal—seperti halnya etnik, kultur, nation, karena berperannya ideologi—selalu berpegang pada ukuran dan sifat sendiri. Sementara estetika tak lain urusan emosi dan pikiran dalam hubungannya dengan keindahan yang tak terikat pada pertimbangan moral, sosial, politik, ekonomi, atau apa pun. Ada kondisi diametrikal antara “estetika” dan “lokal”, yang menjadikan mereka tak bisa bergandengan.

Sastra bersetuju dengan kata pertama, “estetika”, karena segenap perangkat teks sastra berurusan dengan persoalan bagaimana “menjadi tak ada”. Seperti halnya estetika yang bisa masuk ke mana-mana, sastra penting “menjadi tak ada” agar ia bisa dinikmati oleh siapa pun dari belahan dunia mana pun.

Itu pula sebabnya sastra, karena “menjadi tak ada” ini, sifatnya bukan “memberi”, melainkan “membangkitkan”. Kenapa membangkitkan? Karena, pertama, ia berurusan dengan indra, dan kedua, untuk menempatkan pembaca sebagai subyek.

Adalah tak aneh bila, sebagai seorang pengarang, saya selalu ingin hilang. Hanya dengan hilangnya saya, dan juga dengan hilangnya teks sastra (jangan lupa: “menjadi tak ada”), pembaca menemukan posisinya yang utuh sebagai subyek. Maka, identitas dalam teks sastra akan selalu melenyap, melenyap, dan melenyap. Berbeda dibandingkan dengan identitas dalam teks-teks lain yang urusannya selalu mengada dan mengada.

Ironi sastra

Dengan berat hati harus saya katakan, sejarah kesusastraan modern Indonesia adalah sejarah ideologi. Ia diawali dari keterpesonaan kepada Barat (Belanda), dan memperoleh momentumnya melalui klaim politik (mem-bangsa, nation) pada Sumpah Pemuda, 1928.

Adalah ironi kenyataan bahwa setiap angkatan dalam kesusastraan Indonesia selalu dinamai berdasarkan peristiwa tertentu dalam proses mem-bangsa. Tak ada yang dapat dikatakan bagi sejarah kesusastraan seperti itu kecuali sejarah kesusastraan Indonesia adalah sejarah sastra “memberi”.

Bagi Anda (subyek) yang berkepentingan dengan politik, karya sastra demikian tentu bukan masalah. Tetapi, seperberapakah jumlah Anda?

Lepas dari jumlah, substansi sastra “memberi” juga akan membuat Anda serta-merta menolaknya begitu Anda berganti haluan beralih ke lain kepentingan. Dan, yang tak dapat diabaikan, tak semua sastra “memberi” bisa diterima setiap zaman. Salah Asuhan dan Siti Nurbaya misalnya, betapa kini terasa kuno. Atau Layar Terkembang, betapa kini bagai menutup diri. Karya-karya itu mengeras pada dirinya, pada ideologinya: tradisi-lokal, bangsa, modern-Barat.

Bagai bangunan, sastra “memberi” ini meletakkan fondasi, terus ditegakkan sampai kini. Etnik, kultur, bangsa, ditempatkan dalam tegangan, atau sebaliknya, dalam perayaan, yang hakikatnya sama saja: keras, pejal, tertutup.

Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG misalnya, bisakah “memberi” kepada pembaca (subyek) dari kultur Bali atau Batak? Atau Paco-Paco-nya Hamid Jabbar, bisakah berterima pada subyek dari kultur Jawa atau Sunda?

Karena ideologi, kekayaan (keunikan) suatu kultur terbaring dalam satu kata: sia-sia. Dalam jenis (sejarah) sastra seperti ini, dapatkah kita bicara silang budaya?

Keluruhan kultur

Mari kita kembali ke kesalahan ideologi: menempatkan identitas sebagai sesuatu yang tetap. Mari kita koreksi kesalahan itu: apa yang disebut identitas tak lain adalah pseudoidentitas. Atau, mari katakan dengan lugas: tak ada identitas, yang ada hanya interaksi.

Dalam interaksi, di manakah atom? Tak ada, karena yang ada hanya senyawa. Dalam interaksi, bagaimana kita bisa percaya kepada “asli”? “Asli” berbilas dengan mati, karena ciri abadi hidup adalah berubah.

Kata tradisi sendiri, bahkan, berasal dari kata Inggris, tradition, yang berakar pada kata trade, yang salah satu artinya ’tukar-menukar’. Harus saya katakan, di Minangkabau tak ada yang asli. Bahkan pakaian para pemuda sehari-hari diidentifikasi dengan adagium baju guntiang cino, sarawa batiak jao, saruang sandang bugih, yang bila diindonesiakan berbunyi baju gunting China, celana batik Jawa, sarung sandang Bugis. Itu contoh fisikal.

Contoh nonfisik, misalnya, bisa ditemukan di kampung saya, Luak Limopuluah, barih-balabeh-nya (semacam tambo juga, tapi menceritakan asal-usul kultur tempatan lebih kecil) menyebutkan tentang Si Jambi anak Rajo di Ranah yang tak bisa disunat dengan apa pun kecuali dengan pisau yang dilahirkan si ibu bersamanya. Inilah sebuah kisah lain versi dari mitologi Hindu, yang—seperti kita ketahui—juga ada versi lainnya dalam mitologi Yunani.

Perlu diinformasikan, Luak Limopuluah ini, kampung saya itu, terletak di pedalaman Minangkabau! Bagaimana kita masih berani bicara “asli”?

Menurut hemat saya, dalam interaksi inilah, dalam “ketakaslian”-lah, dalam keberubahanlah, sastra bisa bertemu dengan kultur. Saat mereka sama “keluar”—kultur lepas dari ideologi dan sastra menjadi tak ada—dari (kuasa) identitas, pembaca akan menjelma jadi subyek, yang penuh dengan dirinya, dengan dunia dan cara pandangnya. Sebuah kondisi (medan) di mana sastra tak berada dalam posisi “memberi”, melainkan “membangkitkan”, berada di belahan dunia mana pun subyek, berasal dari kultur apa pun subyek.

Sungguh, tak ada yang lebih penting kecuali subyek (pembaca). Karena subyeklah yang hidup di dunia nyata, lalu-lalang hidup bersama kita: mengubah dan membangun dunia.

*) Kolektor dan Pekerja Prosa, Tinggal di Payakumbuh.

1 komentar:

Dana K mengatakan...

menarik mas...
Proses induksi sosial yang semakin hari semakin runyam

"AMENANGI ZAMAN EDAN
EWUH AYA ING PAMBUDI
MELU EDAN ORA TAHAN
YEN TAN MELU ANGLAKONI
BOYA KEDUMAN MELIK.."
(RONGGOWARSITO)

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati