Rabu, 16 September 2009

MENCARI PERKEMBANGAN PROSA YANG MEMADAI*

Imam Muhtarom
http://terpelanting.wordpress.com/

Perkembangan prosa saat ini rupanya hendak berjalan sendiri dengan upaya melepaskan dari perkembangan sosial-politik yang ada. Hingar bingarnya para penulis prosa awal 1990-an yang kental tautannya dengan kekuasaan orde baru sebagai suatu respon yang nyaris tak bisa dihindari, kini seolah tidak mendapat jejaknya. Kalau pun ada, prosa demikian jarang, dan sekalipun ada nyaris tidak terdengar gaungnya.

Kala 1990-an, prosa dianggap cara yang sangat mewakili untuk mengritik kekuasaan orde baru, setelah berita tidak memiliki kemungkinan untuk menyuarakan, tokoh-tokoh vokal dipenjara, dan mereka yang hendak melakukan apa-apa yang oleh dianggap negara sebagai pembangkangan dibayangi sebutan “subversif”, “perusuh”, “organisasi tanpa bentuk”, dan “komunis”. Represi masif yang nyaris hadir dalam setiap sisi kehidupan masa orde baru telah menciptakan kondisi mencekam. Kenyataan sosial yang sangat politis tapi a-politis semacam ini hanya mungkin diungkap dengan cara-cara yang dalam sudut pandang kekuasaan diabaikan lantaran tidak membahayakan atau tidak paham. Salah satu jawabannya dengan menuliskan ke dalam prosa. Maka, prosa saat itu bertaburan idiom “kepala desa” dan “lurah” sebagai cara untuk menggambarkan kekuasaan presiden yang tak terbantahkan. Mengambil cerita wayang seperti Pandawa-Kurawa dan memparodikannya sebagai sarana untuk menyuarakan ketertindasan. Penulis macam Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan prosanya Saksi Mata, Agus Noor, dan Indra Tranggono, adalah penulis prosa yang berusaha menyerap jiwa zaman tersebut.

Rupanya kecenderungan penulis-penulis masa itu menganggap bahwa tujuan utama karya mereka adalah sejauh mana mengritik kekuasaan yang absolut. Semakin menunjukkan sikap kritis terhadap kekuasaan semakin pula karya tersebut dianggap berhasil. Sementara itu, seperti telah menjadi sebuah kesepakatan, pihak media massa yang memuat prosa memiliki pandangan serupa untuk menyampaikan ketimpangan sosial-politik yang tidak bisa dimuat di rubrik pemberitaan.

Lantas, pada 1998 orde baru jatuh (tentu bukan lantaran prosa-prosa tersebut!), peta politik berubah dan kekuasaan menampakkan dirinya sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada sebelum 1998. Kekuasaan pada masa “reformasi” tak lain kekuasaan yang terbangun dari berbagai elemen kekuatan yang ada di masyarakat. Tak heran kekuasaan yang ada ramai oleh bahasa tawar-menawar. Kekuasaan pada “reformasi” merupakan hasil konsensus oleh berbagai kepentingan yang ada. Untuk memiliki daya tawar setiap kepentingan yang terwakili dalam partai mesti memiliki massa yang melimpah dan karena itu diperlukan dana yang banyak untuk mengoperasionalisasikan organisasinya. Dari titik ini, kenapa kebijakan-kebijakan yang berlatar liberal berhasil lolos menjadi sesuatu yang masuk akal.

Arah kebijakan tersebut, entah disadari atau tidak, menemukan kaitnya dengan gejolak yang ada di masyarakat. Kecenderungan untuk merayakan kebebasan yang sebelumnya dikekang seperti mendapat ruang pembebasannya. Maka, jika pada masa orde baru digembar-gemborkan tentang jati diri bangsa, masa “reformasi” ini adalah masa untuk mengabaikan identitas kebangsaan. Slogan yang umum pada globalisasi ini: sepatu dari Italia, pakaian dari Prancis, mobil dari Amerika, rokok dari kota Surabaya, makan di restoran Jepang di sebuah plaza yang dibangun oleh investor Inggris.

Kecenderungan kapitalisasi di setiap segi kehidupan ini tampaknya mendapat persetujuan dari penulis-penulis prosa. Mereka tidak peduli dan tidak mau tahu perihal tradisi budayanya, masa lampaunya, dan kebiasaan-kebiasaan orang tua mereka. Ciri menonjol generasi penulis prosa pasca-orde baru ini secara sosiologis suka menulis kesenangan seksual dan masa indah masa muda (chiclit dan teenlit), tidak suka merespon kejadian-kejadian besar terutama politik, tidak menyukai pembicaraan yang bermuara pada SARA. Sementara secara literer, mereka lebih mementingkan kemolekan tekstual daripada konsteks, percaya bahwa teks lebih ajaib dibandingkan muatan teks, tidak begitu suka membahas aspek sosiologis apalagi politis, dan suka membanding-bandingkan karya penulis besar luar negeri.

Momen ini semakin menemukan titik terangnya dengan bisnis buku yang telah dirintis kemunculannya oleh penerbit-penerbit kota Yogyakarta di awal masa “reformasi”. Penerbit di Yogyakarta mengeluarkan buku-buku kritis yang pada masa orde baru mustahil diterbitkan. Masa 1999-2000 buku-buku kiri bermunculan seperti bangkit dari kuburnya. Buku Marx, Lenin, Tan Malaka hingga Pramoedya Ananta Toer terbit. Dengan menampilkan wajah tokoh-tokoh tersebut di kulit muka buku, terlihat jelas para penerbit ingin memanggil roh kiri yang selama orde baru sama sekali tidak punya kesempatan muncul. Namun, kemunculan buku-buku kritis ini membangkitkan aksi berangus sepihak dari elemen masyarakat tertentu. Mereka masuk toko dan menjarah buku-buku yang beraliran kiri. Pada peristiwa ini, kebebasan pertama kalinya diuji bukan kaitannya dengan negara tetapi dalam kaitannya dengan pemahamam kebebasan antarelemen masyarakat. Sialnya, penerbitan buku yang lebih mengandalkan semangat pemikiran dan skala industrinya kecil dalam waktu singkat bergeser ke penerbitan kota Jakarta yang menerbitkan buku-buku hiburan yang komersial, selera serampangan, manajemen modern, dan tentu dana besar. Penerbitan yang belakangan ini semakin menghegemoni selera minoritas dengan diterimanya berbagai buku populer. Buku-buku kritis dan sastra tergelincir dan para penulis dengan obsesi popularitas mirip artis sinetron berhamburan bak kunang-kunang yang bersinar malam hari dan mati di siang hari.

Dalam kaitannya dengan perkembangan prosa dari masa 1990-an hingga sekarang, terlihat jelas pergeseran dari konteks ke teks, dari ekstrinsik ke intrinsik, dari peristiwa besar ke peristiwa kecil. Dan sebagaimana lazimnya dalam sejarah sastra Indonesia, pandangan yang mengusung “kebaruan” cenderung diterima tidak peduli apakah pandangan tersebut sesuai dengan konteks atau tidak.

Perimbangan Teks dan Konteks
Kenyataannya, para penulis prosa tersebut hidup dalam sebuah realitas sosial Indonesia yang penuh masalah. Mereka bukan tinggal di surga. Memang, prinsip sastra yang menjadi kesadaran para penulis pasca orde baru dengan menganggap keberpihakan pada realitas sosial berakibat terciptanya teks yang tidak “nyastra”, bisa saja benar. Sebaliknya, dengan berkomitmen pada teks mereka percaya terciptanya prosa yang bagus lebih mungkin. Sebab, prosa memiliki prinsip-prinsip tersendiri yang berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Konsekuensi dari prinsip ini, tentu saja, perhatian pada konteks di mana penulis tinggal menjadi sekunder sebab yang primer ada pada teks yang memiliki prinsip-prinsipnya tersendiri. Kalau pun memiliki persinggungan dengan realitas sosial, hal tersebut tidak menjadi perhatian utama, sebab yang utama adalah pencapaian di ranah teks.

Mungkin perlu dilacak secara sosiologis bagaimana pandangan semacam ini begitu mudah diterima oleh penulis-penulis prosa tanpa berusaha mencurigai terlebih dahulu bagaimana hakikat pandangan ini dan dari situasi sosial semacam apa pandangan ini berasal. Sebab dengan melihat pandangan ini dengan konteks sosial-politik di Indonesia, jika diterapkan mentah-mentah hanya akan memasung imajinasi penulisnya dengan lingkungan di mana ia tinggal. Memang, prinsip komitmen pada teks akan menjauhkan penulis prosa untuk menulis slogan yang kerap muncul dalam sebuah demonstrasi—meskipun kita tidak tahu apa yang tidak slogan dalam setiap pemakaian bahasa.

Keberpihakan pada ketimpangan sosial politik pada penulis prosa awal 1990-an yang bagi penulis prosa saat ini mereduksi kekayaan dan berbagai kemungkinan tekstual disanggah dengan menepis fakta sosial-politik. Apakah hukum bandul akan bergeser di titik ekstrem mengikuti pergeseran waktu, situasi, dan nilai dapat dipercaya sehingga mengabaikan perubahan penulisan prosa sebagai sesuatu yang terberi? Tentu saja tidak. Pergeseran selalu memiliki logika yang dapat dirunut dan semua itu akan bersandar pada konsep tertentu dan bagaimana konsep tersebut tersebar dengan berbagai aparatusnya.

Sekalipun pandangan kritis atas kondisi sosial-politik masa orde baru harus dikoreksi demi realitas sosial politik yang sungguh berbeda pada masa “reformasi”, namun tidak berarti menggagalkan nilai kekritisannya. Jika ketimpangan semasa orde baru sistem terlalu membekap rakyat, maka orde “rerformasi” ini membiarkan rakyat bersuara sebebas-bebasnya sebagai konsekuensi “demokrasi” sehingga tidak jelas lagi mana yang sungguh suara rakyat dan mana yang bukan. Sebab kekuasaan tidak lagi memusat di pemerintahan tapi terpilah menjadi sekian banyak partai, serdadu, pemilik modal, organisasi masyarakat, media, dan lembaga-lembaga asing. Sekalipun demikian, dengan jelas dapat dilihat kelaparan, pencemaran lingkungan, gizi buruk, pertikaian antaretnis, pengangguran, narkoba, perdagangan senjata, korupsi merebak.

Kesadaran yang besar atas tekstual masa sekarang akan menghasilkan prosa-prosa yang lebih memadai seandainya daya kritis terhadap kondisi sosial-politik penulis prosa semasa awal 1990-an tetap dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam penulisan prosa. Imajinasi tidak saja dipicu dari kemungkinan tekstual semata, tetapi juga dari pergulatan diri dan lingkunganmu!***

*) Jurnal Nasional - Minggu, 13 Januari 2008

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati