Sabtu, 01 Mei 2010

Modernitas yang Dilecut Kartini

Misbahus Surur*
http://www.lampungpost.com/

KARTINI lahir dan besar dalam lingkup keluarga ningrat Jawa yang feodalis. Alur hidupnya dikerubungi tarikan norma serta konvensi yang sering eksploitatif, terutama pada persoalan gender. Hampir-hampir perempuan tak punya andil, lebih lagi nyali untuk menyibak jalur terang sendiri.

Perempuan kerap dijerat patriarki, dicengkram hegemoni lelaki. Perempuan di zaman itu, kata Siti Soemandari Soeroto dalam Kartini; Sebuah Biografi (Gunung Agung: 1982) karena akar dan konstruk budaya, sangat bergantung sepenuhnya pada nafkah suami, dengan dalih takut dicerai dan sejenisnya. Ditambah suburnya pandangan hidup yang mengalienasi perempuan; ia tak memerlukan kepandaian, mengingat fungsi utamanya yang semata konco wingking bagi lelaki: sekadar masak, macak, dan manak. Sebab itu, bagi puteri kedua Bupati Jepara R. M. Adipati Ario Sosroningrat ini, prestise nasab yang secara kodrat harus ia terima, tak lagi menjadi suatu privilese, tapi tak lebih dari senarai duka-lara.

Meskipun demikian, berbahagialah ia yang lahir dari keluarga (ayah hingga kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro) yang menjunjung tinggi pengetahuan, memuliakan pendidikan, dan mentradisikan sekolahan. Dengan memiliki ayah yang menyadari urgensitas ilmu seperti itu, belenggu adat pun tak menghalangi sang ayah untuk menyekolahkan anak perempuannya. Meskipun hanya memperbolehkannya hingga tingkat sekolah dasar.

Namun, sebagaimana kata Sulastin Sutrisno dalam Surat-Surat Kartini (Djambatan: cetakan 1985), meski keinginan Kartini melanjutkan ke HBS Semarang, setamat dari ELS, yang menggebu itu kemudian begitu saja dijegal kata “tidak”, sang ayah mengganti keputusan itu dengan “jenis studi lain” yang tak kalah seru; memfasilitasi bacaan dan izin selebar-lebarnya untuk surat-menyurat kepada teman-temannya yang mayoritas berbangsa Belanda.

Tak disangka, justru karena akses buku-buku (membaca) dan habitus korespondensi itu, menjadi pintu masuk ide, pencerahan dan modernitas yang menghantarkan jiwa dan pikirannya menjadi pribadi yang tak biasa. Kartini belajar segala-galanya lewat buku juga berlatih menyatakan pikiran (berdialektika) melalui surat-menyurat. Dengan langgam ini, pelan tapi pasti cara berpikir dan kejiwaannya menjadi matang saat usianya masih begitu belia, belum lagi genap 20 tahun dari umurnya.

Waktu itu, iklim modernitas telah merasuki pikiran Kartini. Ia telah mendidik diri dan otaknya dengan pikiran-pikiran Barat lewat bacaan-bacaan. Meskipun ia tidak bisa seperti kakaknya, Sosrokartono, yang mampu menyesap putik modernitas langsung di negeri asalnya (Belanda). Tempaan berbagai bacaan itu, di mana seluruh pikirannya sengaja ia biarkan berdialektika dengan persoalan-persolan bangsa dan jerat tradisi. Dan, terutama perjumpaannya dengan dunia Barat lewat beberapa orang Belanda yang mewujud dalam hikayat korespondensi, yang kemudian melahirkan ratusan surat yang diterbit-bukukan dengan judul Door Duisternis tot Lich (DDtL) oleh Luctor et Emergo, ’sGravenhage juga oleh Gee Nabrink, Amsterdam, atau dalam versi Indonesia, Habis Gelap Terbitlah Terang, dalam kadar tertentu, ikut menyumbang bentuk dan konstruksi pikirannya saat itu. Dalam kumpulan surat-surat tersebut, entah itu kepada Mr. J.H. Abendanon sekeluarga, Estella Zeehandelaar, Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, Nyonya Nelly van Kol, Dr. N. Andriani dan seterusnya, sungguh penderitaan, benturan-benturan hebat, tentang keterbelakangan bangsanya dan segala keluh kesahnya, begitu kuat tergurat di sana.

Jejak yang Menyala

Kartini bukan sastrawan maupun seniman dalam pemaknaan normatif, tapi sejarah mencatat, selain melukis, membatik, dan kumpulan surat-suratnya yang masyhur, ia juga menulis prosa dan puisi. Mungkin, bukan kumpulan surat-suratnya dengan kapasitas yang menyejarah itu yang membikin namanya sanggup menggema dalam lembaran catatan dunia. Bisa jadi, malah sebuku gagasan dan ketinggian susunan kemasan (bahasa) itu yang membuat namanya harum.

Jamak diketahui, Kartini adalah sosok dengan kemampuan literer yang menawan. Mutu sastra pada tulisan-tulisannya yang terbukukan dalam DDtL, sering dinilai sebagai hal yang jarang atau asing bagi zamannya. Terlebih saat ditelisik dari riwayat pendidikannya yang hanya tamatan sekolah rendah. Tak heran pula bila pada awalnya banyak yang meragukan orisinalitas DDtL, terutama karena kemasan bahasa DDtL yang cenderung muluk tapi juga patetis untuk seorang yang hanya lulus sekolah dasar, Europe Lagere School (ELS).

Namun, saat manuskrip aslinya ditemukan, dan diterbitkan kembali dengan tanpa secuil sortiran pun oleh Jaquet tahun 1987, baru terbukti secara meyakinkan bahwa Kartini benar-benar mampu menguasai pemakaian gaya bahasa Belanda, secara bagus dan kreatif. Bahkan, A. Teuuw (1994), dalam Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, yang pada awalnya sempat tak mempercayai putri Jawa yang hanya lulus sekolah tingkat dasar Belanda, serta belajar privat secara terbatas itu dapat menulis dalam bahasa Belanda, yang tidak hanya tata bahasanya yang tanpa cela, tetapi penguasaan dan penggunaan gaya kesusastraan Belandanya yang mencengangkan, terpaksa harus memercayainya. Dalam hal ini keunggulan Kartini terletak pada renungannya yang dalam atas dirinya juga nasib bangsanya. Renungan itu dibalut dengan tuturan segar, orisinil, dan amat piawai. Bahkan, beberapa pengarang Belanda saat itu, salah satunya Augusta de Wit, juga menilai bahasa Kartini cakap dan segar.

Tahun 1911, surat-surat Kartini untuk pertama kali diterbitkan. Dan pada tahun 1922, untuk yang pertama kali pula diterjemahkan dalam bahasa Melayu. Sejak kemunculan surat-surat Kartini dalam bahasa Melayu, 16 tahun kemudian, dengan dialihbahasakan oleh salah seorang sastrawan pujangga baru, Armijn Pane, tepatnya tahun 1938, surat-surat Kartini terbit kembali dalam bahasa Indonesia yang masih kecampuran kata-kata Melayu. Terbitan kali ini agak terbatas, yakni dengan sengaja menanggalkan sejumlah 16 surat, di samping juga terdapat surat-surat yang dipotong. Dan tebalnya tak lebih dari separuh dari edisi 1922.

Kemudian pada 1979, dengan menggunakan edisi kelima dalam bahasa aslinya (Belanda) terbitan 1976, dan dengan tambahan surat-surat Kartini yang lain, atas usaha Soelastin Sutrisno, surat-surat itu diulangterbitkan dalam edisi Indonesia yang jauh lebih lengkap dan sempurna dari dua edisi terdahulu. Dengan bubuhan tajuk baru: Surat-surat Kartini; Renungan Tentang dan untuk Bangsanya. Baru setelah itu, sekira tahun 1987, surat-surat asli Kartini dalam edisi F.G.P. Jaquet, terbit. Edisi kali ini, di samping memuat surat-surat Kartini kepada keluarga Abendanon secara lengkap, juga menyertakan beberapa surat dari adik-adik Kartini: Kardinah, Roekmini, dan Kartinah (Teeuw, 1994).

Tampaknya terbitan surat Kartini, baik dalam teks aslinya yang berbahasa Belanda dan juga terjemahan awal dalam bahasa Melayu tahun 1922 oleh empat orang pribumi ahli bahasa Melayu yang tinggal di Belanda, salah satunya semisal Zainoedin Rasad, atas usaha Abendanon, dan juga surat-suratnya setelah itu, bukan saja kekayaan literatur historis bangsa yang harus dijaga. Lebih dari itu adalah buah usaha yang patut dilestarikan sebagai pengayaan kehidupan rohani Kartini dan spirit kemanusianya yang tentu masih aktual diteladani hingga hari ini.

Pada titik ini, –terlepas dari dilematika yang sering dilekatkan ke sosoknya, seperti Kartini produk brilian hadiah Belanda dan semacamnya-, Kartini adalah subjek yang menemukan dirinya di atas puing-puing reruntuhan tradisi feodalisme hegemonik. Lantas diraihnya cahaya modernitas; menjadi manusia pembelajar bagi bangsanya.

Tak urung, “si anak durhaka” pada adat moyangnya ini adalah buah dari sintesa zaman. Dengan topangan semangat dan kesadaran untuk memahami, mencerna kemudian mengambil nilai-nilai baru dari pertemuan dua arus kebudayaan yang berbeda, demi kemajuan kebudayaan bangsanya. Pramudya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja, pernah menganalogikan begini: jika Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi adalah kunang-kunang di tengah malam gelap-gulita di rimba belantara yang hendak ditaklukkannya, Kartini merupakan obor dengan minyak pengetahuan dan pemikiran yang lebih masak dengan oktan yang lebih tinggi sebagai sesama gaba-gaba dalam sejarah kebudayaan Asia Tenggara.

*) Esais, pegiat buku, mahasiswa pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati