KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/
Masa telah makin memanjang, semenjak manusia gemar berakrab dengan binatang. Sepertinya torehan di dada pengembara, jika aku menyentil soal ini. Karena manusia acapkali harus berkiprah tentang muara-muara keberuntungannya, sebelum dia secara telanjang mengetuk pintu dapur rumahnya sendiri, untuk berhutang garam sesendok.
Barangkali, malah bukan berhutang, melainkan mencuri kentang segenggam, buat mengenyangkan perut yang keroncongan. Soalnya, banyak hal berubah; dan manusia merasa malu memasuki istananya sendiri dari arah depan. Dia lebih merasa dihargai, jika menyelinap dari pintu-pintu darurat, atau mendobrak jendela nan terkunci karena hanya hendak mengambil sesuatu yang kurang berarti. Adakalanya juga, karena hendak memasuki kamar pelayannya yang ayu dan masih perawan, untuk mengambil sesuatu yang susah diterangkan di sini. Atau, hanya untuk mencari sepucuk surat dari seseorang, yang begitu pentingnya sehingga disembunyikan oleh isterinya dalam lemari pakaian. Dan karena itulah ia terpaksa mengambilnya dengan cara yang aneh.
Adik Chistina yang rajin membaca!
Alangkah suntuk dan sumuknya dada, jika selama hari-hari kerja ini, kita menjadi robot melulu. Mungkin sekali, kau berkeberatan, jika abangmu ini menyebut demikian. Bukankah tahun ini dikau telah mencoba bekerja di suatu instansi, dengan resiko untuk ‘tercancang-tertemali’ di kursi selama berjam-jam, sehingga rasanya seperti kehilangan kebebasan yang semula dicecap secara leluasa. Akan tetapi, kalau dipikirkan secara luas, pekerjaan yang ditekuni selama jam-jam dan hari-hari, bahkan kemudian bisa mengangkat hargadiri seseorang itu, ternyata sebetulnya awal dari kemuliaan yang tiada terbatas. Tuahnya akan dirasakan oleh beberapa generasi yang terlibat secara tak langsung oleh tokoh-utama dalam kisah ‘tertemali di kursi’ nan menjemukan itu. Andai saya, bisa menjabarkannya, bisa dilukiskan semua itu seperti tembang yang titinadanya sangatlah laras dan mudah dilacak, setelah kita mendengar lengkingan nyanyian waranggana (biduanita Jawa), yang menyampaikan lagu tersebut ke tengah hadirin. Apa yang bisa terdungkap adalah semacam kelugasan dinihari.
Adik Christina yang kusayang.
Karena itu, abang yang dulu menyesalkan, kenapa adik secepat itu mengakhiri studi pada tingkat Sarjana Muda (padahal, masih duatahun yang harus adik jalani menuju tahapan penghabisan, bukan?) – hanya kauhadapi dengan sebuah senyum nan membekaskan lesung di pipimu. Abang juga belum dapat meraba kemauan adik yang sebenarnya, di balik cita-luhur yang diemban. Jadi, abang hanya menyampaikan pesan Ayahbundamu (yang karena tak sempat menyampaikan sendiri secara langsung, meminta tolong padaku untuk mengatakan hal itu padamu). Mereka punya gambaran, kalau studi dituntaskan, hasilnya akan lebih menggembirakan. Menguak cakrawala, karena hendak menyaksikan langit.
“Perempuan terusik oleh rambat-merambatnya umur, Bang,” ungkapmu waktu itu seraya menyisir rambut ponimu ke samping-menyamping. “Kalau seandainya aku peroleh gelar sarjana penuh di usia larut, tentunya akupun hanya beroleh jabatan yang melompong pada kantor yang telah sesak oleh pekerja-pekerja sebaya denganku, dan telah lebih dahulu melamar dengan bermodalkan ijazah SMTA dan Sarjanamudanya.” Lantas, seperti merenungi dini, dan menatap wajah di cermin, dikau bergumam: “Tiba-tiba saja, ketika kusadar telah duapuluhtiga tahun umurku, aku merasa, ada sesuatu yang tanggal dari diriku. Teman-teman sebayaku telah menikah, dan …” Aku mengelus rambutmu waktu itu.
Adik, adikku manis, Christina. Kau meratap dan sesambat – sebagaimana Ayahbundamu memprihatinkan soal itu, sewaktu aku sowan ke tempat tugasnya yang baru, di Bangkok, sebagai Konsul muda di ujung tahun lewat – “Adikmu itu, entahlah, Jang; belum juga punya pandangan yang serasi.” Lalu aku berbisik: “Kalau saja aku adalah pacarmu dulu-dulu, hari ini sudah kusunting.” Seribu sayang, Adikku. Aku sudah terlanjur bilang pada abangmu dan kakak tertua, bahkan di hadapan orangtuamu (kala kita masih bertetangga di Jakarta, tujuh tahun silam!), bahwa Dik Christina tetap akan kuanggap adikku sendiri. Aku toh harus bertahan dengan sikap semacam ini; tandang terpahat lebih cerah.
Adik Christina, yang kukenal sedari kecil.
Orangtuaku memang tergolong konservatif, kendati dia punya pergaulan luas, dan tampil di kalangan yang memujinya sebagai pengusaha yang sukses. Masih ingatkah Christina, duapuluhan tahun silam, waktu kita masih sama-sama cilik? Christina sangat senang dolan ke rumahku, sehingga lekat betul dengan ibu. Maklum, ibu sebenarnya merindukan seorang anak perempuan, setelah kehadiranku. Sayang, aku tiada kakak, tiada adik, ontang-anting, dan karena itu nakal-bengal dan suka mengganggu bocah-bocah di bawahku. Umurku sudah tujuh tahun masa itu, dan telah duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Dikau masih berumur duatahunan, dan kalau sampai sore tak pulang-pulang, maka ibuku memandikan dirimu bersama-sama dengan aku (yang masih suka dimandikan di ember besar dekat sumur yang jernih selalu).
Nah, tentu Christina ingat, kita sama-sama telanjang bulat, dan aku malu-malu berdiri dekat tiang sengget yang satu, sementara dikau tertawa-tawa lucu di arah lain. Ibuku dengan penuh kasih sayang menyabuni kita berganti-ganti dan kala itu, masih kuingat katamu seraya menuding kemaluanku: “Aduh, bulungnya Abang Lulu besaaal sekali. Hi, hi, hi, hi. Kenapa aku tak punya burung sepelti Bang Lulu…?” Aku tentusaja kemalu-maluan, seraya mengepit ‘burung’ku di antara paha dan ibu geli karena pertanyaan bocah yang teramat naif. Sungguh, Christina, kenangan yang tiada seberapa itu amatlah lama tersemat di benakku. Hingga aku kemudian bersekolah di kota lain, mondok dan lupa akan pertautan silaturahmi antara keluarga kita.
Adik Christina yang punya tatapan tajam.
Kemudian, kemudian sekali, abangmu yang menjadi dokter datang ke Yogyakarta, dan menemuiku di tempat kost, seraya menceritakan bahwa adiknya yang bungsu: Christina, kini meneruskan kuliah di kota itu. Dia berpesan, kalau ada waktu, datanglah di pondokannya di utara kota, karena adik kebetulan mondok di seorang keluarga dekat dari ibumu. Kujawab, aku banyak waktu luang sore hari; jadi aku siap untuk menjenguk. Bang Rusli juga menitipkan, agar aku ikut mengawasi kuliah sang adik.
Adik Christina.
Haruslah kuceritakan, Bang Lulu-mu ini telah mulai bekerja sejak tingkat dua, dan karena abang bekerja pada sebuah perusahaan suratkabar, maka jadwal-kegiatan abang tak selalu mengikat. Dengan demikian, secara lambat, namun tepat, abang dapatlah juga meneruskan kuliah hingga rampung. Tapi itu tak penting betul untuk kuceritakan. Aku meminta maaf, karena selama ini abang terus datang menemanimu, saban Sabtu petang, untuk berjalan-jalan dan nonton film. Keluarga Santosa, tempat adik mondok, sudah pula menganggapku sebagai anggota keluarga sendiri. Maka tanpa rikuh-rikuh, mereka mempersilahkan abang beberapa kali berbaring (dan tidur) di kamarmu. Malahan, adik Christina nampaknya juga punya anggapan demikian. Bukankah sering, setelah kita pulang nonton, pukul 21.00 malam, abang masih diperkenankan tidur di ranjang (yang adik tiduri). Tak jarang kita berbaring berdua dan bebas seperti pasangan-pasangan yang saling mencintai. Atau, kalau aku habis menjemput adik dari kampus, pukul 15.00 sore, tanpa canggung pula kita berdua mandi bersama, dan sejenak kita melepaskan ketegangan-ketegangan yang mengamuk dalam sukma.
Biasanya sehabis menikmati saat-saat bermesraan yang mengesankan, kulihat adik Christina bobok tenang dan nafasmu teratur sekali. Sesekali abang mengulum puting payudaramu yang lembut dan indah, atau mengecupi bulu-bulu kalong yang biru tipis dekat pusermu, menikmati ketelanjanganmu. Kendati kita tak pernah saling mengucapkan kata-kata sayang dan cinta sehari-hari, akan tetapi pada saat hanyut dalam api asmara, kudengar lembut desismu mengucapkan kepasrahan total, atau diriku sendiri yang berusaha mengajakmu. Atas segala lantunan surgawi itu, kita takkan mungkin melupakannya begitu saja. Tapi, apakah Dik Christina juga siap dan secara sadar mendenyutkan satu kefahaman, bahwa harus ada pertalian lebih kokoh antara kita ini? Atau semua ini hanya fatamorgana yang begitu hanyut, segera meredup di kehampaan?
Adikku, Adik Christina yang tabah.
Lalu, seperti tiba-tiba saja adik memutuskan untuk keluar dari Universitas yang begitu membanggakan itu, untuk memilih pekerjaan sebagai penerjemah di sebuah penerbitan. “Mengapa?” tanyaku waktu kita berbincang di beranda depan rumah keluarga Santosa, seusai kemesraan yang ulang-berulang kita resapi itu. “Mengapa tiba-tiba keluar? Keluargamu masih sanggup mentuntaskan studimu. Atau, kalau adik bersedia, Bang Lulu ini siap membantu apapun yang adik maksudkan. Bagaimanapun, kita harus merintis haridepan sejak kini.” Tanganmu mencuwil pucuk daun kompring di pot porselin merahmuda berhiaskan ularnaga itu. Lampu-duduk menyala dalam temaram, hingga wajahmu murung sekali. “Hilangkah kepercayaanmu terhadap diriku, Dik? Atau adik sudah punya pilihan hati yang lain, yang sanggup menggantikan orang yang siap mendampingimu?”
Dikau memandang sayu, tanpa makna. Lantas temungkul. Aku menelan ludah. Biasanya, tatapanmu yang demikian secepat itu meruntuhkan ketahananku, dan merengkuhmu secara tegap. Tapi malam itu, aku seperti tergagap dan kehilangan arah. Aku bersandar pada kursi goyang seraya menatap langit-langit. Kelana ini terlampau kering jadinya.
“Bolehkah adik mengucapkan sesuatu, yang abang dapat mengomentarinya?” Pasalnya, kemerdekaan batin teramat menuntut.
Silakan, sayangku. Silakan. Itulah yang kutunggu-tunggu selama ini.” Aku menghela nafas. Sungguh menderaslah air merayap.
“Ya, Bang Lulu. Aku harus segera siap mandiri. Itu harus, harus…” Laku mendekatkan temali lonceng dalam wirama sontak.
“Siapa yang mengharuskan? Beberapa tahun lagi, sempurna kesarjanaanmu, Dik.” Ragamhias perjalanan: Hidup pun tersapa.
“Tak perlu selama itu,” tukasmu dengan suara bergetar. Aku bangkit, memandangmu. Pertanda telah merawikan nyanyi yang samadi.
“Katakanlah, Dik. Itu semua perlu abang ketahui. Abang perlu memahaminya.” Seraya merenungkan kembali, di mana coretan merah.
Dikau berdiri seraya memutus tangkai kembang kompring itu. Daun hijautua itu putus, lalu kaugulung dan segera kaulemparkan padaku. Aku juga berdiri kemudian. “Bang Lulu. Aku benar-benar kecewa. Tak kuduga bahwa abang seorang pengecut. Abang ternyata hanya senang mempermainkan wanita!”
“Adikku, kau termakan hasutan orang-orang yang irihati. Ingatlah.”
“Tidak. Aku malahan dapat merasakan sendiri. Dulu, abang berjanji kepada orangtuaku dan saudara-saudaraku, bahwa kau akan tetap menjaga dan mendampingiku hingga aku tamat kuliah. Tapi abang telah mengingkarinya, bukan? Pamrih di hatimu telah mengkoyakkan kesucian prasetya. Kehormatanku telah abang rusak dan tiap saat, abang memperlakukan aku sebagai boneka permainan. Tapi pernahkah abang mengucapkan janji bahwa abang siap bertanggungjawab terhadap masadepanku? Nol, nol besar. Kau tak berbeda dengan lelaki jalanan yang mudah mengucapkan kata-kata muluk, tetapi sepi tanggungjawab…”
“Tapi, tapi, Dik. Kita lakukan semua itu atas dasar kerelaan diri masing-masing. Kita serahkan segalanya tanpa sesalan, bukan? Kita, kita, kita berdua.”
“Ah, aku tak sudi berbicara kasar padamu, Bang. Orang yang kukenal sedari kecil dan kupuja sebagai pelindung. Tapi abang menyianyiakan dan menyalahgunakan kepercayaan itu. Maka, daripada aku harus menyesal untuk keduakalinya, kini aku lebih baik cepat mandiri, punya pekerjaan tetap, berpenghasilan tetap. Dan tak usah menggantungkan hidup pada seorang lelaki.” Menjadi serpihan dari pori-pori kulit denyutan darah.
“Christina, dengar. Dengar! Aku toh siap untuk menerima tanggungjawab itu, kapanpun. Kapanpun kau menuntutku, atau keluargamu memintaku, Dik.” Sekali lagi, dan sekali lagi, menagihnya keras.
Dikau membanting asbak dan benda perak itu tepat mengenai daguku – sedemikian keras, sehingga gusiku berdarah; Aku minta diri. Aku malu! Bahwasanya, manusia bermuara di laut pula!
Adik Christina nan budiman.
Kemesraan pelan-pelan tinggal larutan hitam di mega gompal jauh di angkasa semayup. Yang tinggal hanyalah kuah kopi yang pekat serta pahit. Kalau kau kini duduk menekuni pekerjaan di kantormu yang modern serta tenang, kuharap sejenak kaukenang segala yang pernah kita alami. Kalau adik kini tertemali di kursi, dan hal itu kaurasa lebih tepat katimbang segera menyelesaikan studi tahap-akhir, baiklah. Kuhormati tekad-bijak seorang gadis yang memilih jalan sendiri, yang dianggapnya lebih terhormat. Akhirnya bakal menggulir sendi pelayaran musim bunga.
Kuakui, aku pengecut, dik. Sangat hina di matamu, bukan? Secara jujur, kukatakan bahwa selama aku berhubungan dengan Dik Christina dulu, sebetulnya aku sudah berkeluarga di kampung-kelahiranku, atas dorongan orangtua; dan memang aku sudah punya seorang anak yang berumur setahun. Aku merasa tersudut dan karena itu aku kejar Dik Christina, karena aku merasa, cinta kita tebal-mengental, hingga kelestarian lebih akan terpatri nanti. Maafkanlah, adik. Boleh-jadi seorang teman sekerjaku membocorkan kenyataan itu, dan adik merasa bahwa aku telah berbohong, mendustai, mempermainkanmu.
Tapi apapun masalahnya, aku tetap hormat dan setia padamu. Tulus tak ternoda oleh apapun. Abang juga masih tetap akan sowan kepada Ayahbundamu untuk sesuatu yang lebih luhur katimbang hanya oleh coklekan kasih yang patah. Tidak, adikku. Aku bukan mengucapkan selamat tinggal, melainkan selamat, selamat dan … selamat jumpa. Siapa tahu, pengampunan tiba kelak, dan kita jumpa kembali dengan hati yang lebih gumolong, lebih resik, tanpa pamrih yang keruh!
—
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 02 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar