Jumat, 25 Juni 2010

Sepasang Mata di Malam Hari

Restu Ashari Putra
http://oase.kompas.com/

Suatu waktu aku ingat perkataan nenek, saat kami datang berdua mengunjunginya di sebuah rumah di kaki gunung. Sebelum kami sendiri yang menyaksikan ajalnya tiba. Ia masih tertawa berseri-seri dengan sederet gigi palsunya. Dengan sepasang mata yang masih ceria. Saat itu, di bawah aroma kebun teh Goalpara, aku masih mengingatnya ketika aku bersama Saskia di sana.

“Berbahagialah kalian. Tapi jangan lupa, seseorang yang mengutamakan cinta, mereka pasti mengetahui siapa sesungguhnya yang mencintai kalian,” Ia kembali tertawa berseri-seri. Lagi-lagi dengan sederet gigi palsunya. Dengan sepasang mata yang kemudian menyimpan rahasia.

Ini kali pertamanya kata-kata itu keluar dari bibirnya. Dan aku seperti akan mendengar yang kedua kalinya. Entah di mana.
****

Satu hal yang paling kubenci di dunia ini di antara kebencianku yang lain adalah menunggu angkutan umum (angkot) ngetem selama berjam-jam. Seperti halnya malam ini. Kalau saja bukan karena ini kendaraan terakhir, aku pasti langsung turun pada saat lima menit pertama angkot ini ngetem. Kesalnya bukan main. Ditambah lagi hati yang lagi resah. Tuntas sudah rasa sesakku malam ini.

Di seputar bundaran Cibiru. Sebuah terminal bayangan. Aku mau pulang tapi tidak kembali ke rumah. Sebab rumahku pasti sudah dikunci. Itu juga bukan rumahku, melainkan rumah pamanku. Dan angkot ini kira-kira masih akan menunggu dua sampai tiga penumpang lagi. Biasa, sudah lewat malam begini sangat sayang kalau angkot kosong tanpa muatan penumpang sebab mereka tak yakin di tengah jalan nanti bakal banyak penumpang. Huh, sungguh sudah tak tahan rasanya.

“Ayo pak digeser, digeser, palih kanan, palih kanan,”
“Tahan, tahan, tahan, dua deui, dua deui, ayo, ayo pak!”
“Cadas, Cicadas, Cicadas,” teriak calo menggaet penumpang di terminal bayangan, bundaran Cibiru.

Malam semakin pekat. Jalanan becek karena hujan baru saja reda setengah jam yang lalu. Padahal biasanya dua hari berturut-turut, sampai pagi pun hujan tak akan reda.

Kaca jendela yang basah berembun aku susut dengan tangan. Di luar sana, mereka yang bertarung dengan malam masih asyik dengan pergulatan hidupnya. Ini demi hidup yang harus terus bertahan!

Di ujung dekat warung yang sudah tutup, pedagang rokok hampir tak kuat menahan beban matanya. Tapi mungkin wajah anaknya yang meringkuk di balik bungkus rokok dagangannya, selalu muncul dan menyulutnya menjadi kobaran semangat bertahan barang dua atau tiga jam lagi.

Di dekat toilet umum, dua orang pengamen jalanan masih sibuk menyetel senar gitar yang terasa sumbang. Masih muda. Sekitar duapuluh tahunan. Padahal aku yakin tak akan ada bus lagi yang akan lewat kecuali mereka hanya sekadar asyik memainkan gitar. Dan satu kehidupan lagi: calo angkot yang bersaing dengan angin menarik penumpang dari segenap penjuru, sebanyak-bayaknya.

Dari sekian potret keidupan itu tak ada yang tahu bahwa di dalam sini, di angkot ini, ada anak muda yang sedang gundah hatinya. Aneh, padahal ia baru saja bertemu kekasihnya.

“Radika, kecintaanku tak bisa diukur dengan kalimat yang selalu kau tuliskan dalam degup jantung dadaku,” ujarnya meyakinkanku dengan tatap mata sangat dalam. “melainkan seberapa besar kau mau melangkah bersamaku dengan langkahmu sendiri. Aku mencintaimu Radika.”

Bayangan Saskia masih hinggap di mataku. Saat ia memelukku erat. Saat bibirku mendarat di keningnya, kemudian bibirnya. Seperti kalimat-kalimat yang selalu kutulis dalam degup jantungnya. Saat itu pula mataku mengatakan cinta. Indah sekali matanya.

Dari sanalah kegelisahanku dimulai. Sejak tangannya melepas genggaman tanganku. Sejak bibirnya melepas bibirku. Sejak tubuhnya melepas pelukanku. Dan sejak waktu melepas pertemuanku dengannya.

“Aku juga mencintaimu Saskia, sampai bertemu bess….”

Belum sempat kalimat dari lidahku meluncur seluruhnya, tiba-tiba tubuh Saskia rebah di tubuhku. Ia memelukku sekali lagi. Matanya basah di jaketku dan semakin menggenapkan keresahanku.
****

Sekarang mengapa hatiku jadi resah. Hei, ada apa ini? Aku baru saja bertemu kekasihku. Tapi ah, suasana hati siapa sangka. Sekalipun sudah bertemu surga, kalau hati menginginkan lain, ya terjadilah. Padahal aku baru saja melepas rindu dengan sang kekasih di rumahnya. Padahal aku baru saja menatapnya. Tapi mengapa resah. Aku baru saja mengulum bibirnya dengan kata cinta. Tapi mengapa gulana. Aneh bukan. Dan angkot ini kian menambah keresahanku, kegundahanku, kegulanaanku dan sekian bentuk kegalauan lainnya.

Bayangkan mau tanya pada siapa coba kalau hati sendiri yang bermasalah. Masak bertanya sama penumpang di sebelahku yang tak kukenal sama sekali. Kan tak mungkin. Tapi tunggu, tunggu, sepertinya aku mampu mendeteksinya. Aku baru habis bertemu kekasih. Apa karena telah menatapnya lantas aku jadi merasa kecewa karena diriku mungkin bukan orang yang sempurna di matanya. Atau tiba-tiba pandangannya tentangku berubah. Seperti misalnya aku tak tulus lagi mencintainya. Ah, andai ia bisa mendekam dalam bilik jiwaku, ia akan tahu bagaimana sebenarnya perasaanku.

Setidaknya itu gejala-gejala yang baru bisa kudeteksi saat ini. Sebab keresahanku terjadi setelah aku bertemu dengan sang kekasih. Dan, yap! angkot sudah penuh. Paling lama dua menit lagi pasti jalan.

“A, ieu bade ka Cicadas nya?” taya ibu tua padaku.
“Sumuhun, bu, hayu bu, hayu,”
“Mbak, ini bener lewat Margahayu Raya?” suara lirih kudengar dari penumpang sebelah kiriku yang bertanya pada penumpang lain.
“Huh, lama banget ya. Udah penuh juga,” komentar penumpang lain.
“Duh ieu mah dugi ka enjing ge moal nepi,”
“Nya maklum we kusabab ieu nu terakhir, sayang upami kosong.”

Aku makin tak betah lama-lama di sini. Sumpek. Padahal bagiku naik angkot bukan hal aneh lagi. Ke mana-mana aku manfaatkan kendaraan ini. Dan kalau ngetem, selalu aku siasati dengan cara naik yang setengah penuh supaya tidak menunggu lama seperti ini. Sekarang aku duduk di ujung paling dalam. Nyempil. Badan kecil. Hati dan pikiran amburadul. Sesaknya minta ampun. Aku ingin cepat-cepat turun. Rasanya ingin berteriak saja.

Seandainya jiwaku bisa keluar dari tubuh ini.

AAAAAARRGGHH!

Kupejamkan mata. Kulenyapkan tubuhku dari dunia sekelilingku. Hening. Samar.

ZEPPPPSSSSS….

****

Aku masih berada dalam angkot. Angkotnya sudah berjalan. Para penumpang hanyut dalam pikirannya sendiri. Aku bisa menebak yang ada dalam bayangannya pasti rumah yang sudah dinanti-nanti.

Jalanan lengang. Itu bisa kusaksikan dari kaca jendela. Kendaraan jarang melintas. Orang-orang sepi.
“Bu, maaf, jam berapa ya?” tanyaku pada ibu yang duduk tepat di depanku.

Ia diam.

Lho, kenapa tak ada respon. Sekali lagi kutanyakan,
“Bu, ibu, maaf kalau boleh tau sekarang jam berapa ya?”

Sunyi.

Aneh. Coba kutanya bapak di sampingku. Aku lihat ia memakai jam tangan. Kebetulan jam dalam ponselku sedang kurang akurat.

“Pak, bapak, sekarang jam berapa ya?” pertanyaanku lagi-lagi direspon diam.
”Hei pak, bapak…!”

Kenapa mereka tidak menanggapiku. Ada apa ini?

Ah, mungkinkah mereka tuli. Atau memang mereka tak melihatku. Ah, tidak mungkin, tidak mungkin!

Udara dingin di luar menyeruak masuk. Pak supir mengendarai angkot semakin kencang. Aku semakin begidik campur gelisah yang belum hilang. Sekarang aku coba tanya jam pada penumpang lain. Mungkin dua orang tadi bermasalah pada pendengarannya. Aku tak ingin mengusiknya, bisa-bisa nanti tersinggung.

“Kang, maaf boleh tau sekarang jam berapa?”

Ia hanya melirikku. Kedua bola matanya tajam menusuk tatapanku. Dan ya ampun, kenapa tatapan itu, tatapan itu….

Aku kembali duduk tenang. Menenangkan diri tepatnya. Aku lupakan perkara waktu yang hanya membuatku semakin gelisah. Tiba-tiba pikiranku jadi melayang pada peristiwa satu tahun silam. Tatapan mata orang tadi. Ya, tatapannya. Sorat matanya. Ah, tidak mungkin, tidak mungkin!

Bayangan almarhum nenek berkelebat dalam pandangan mataku. Kemudian bayang-bayang dalam ingatanku menyusuri perisriwa satu tahun silam. Peristiwa di mana aku mengantar tubuhnya pada sisa hidup terakhir: “Kalau kau ingin cintamu yang abadi, maka masukilah keabadian. Maka masukilah kebadian, Radika!”

Aku mengenal tutur katanya. Tapi itu seperti bukan suaranya. Dan yang paling membuatku mengerikan saat itu adalah tatapan matanya. Ya, tatapan matanya. Bola mata nenek tiba-tiba keluar menusuk lubang mataku. Aku terhenyak dalam hitungan detik. Kemudian aku melihat ruh nenek sunyi dalam pelukan ajal. Sunyi. Sunyi sekali!

Ah, persetan dengan misteri-misteri, dengan mistis! Aku tidak percaya! Ketika itu aku hanya percaya diriku sendiri.

Tapi saat ini. Di kendaraan ini. Aku menciut. Aku terbayang lagi sorot mata nenek. Juga ucap kata nenek. Kubiarkan segala situasi di luar diriku terjadi. Harapanku hanya satu:: cepat sampai tujuan. Ya, cepat sampai tujuan!

Ah, lebih baik aku memperhatikan jalan. Ternyata baru sampai Riung Bandung. Berarti sebentar lagi. Sebab tujuanku adalah komplek Margahayu Raya. Melewati satu supermarket dan kemudian rumah sakit.

Tapi, aduh, kenapa pak supir mengendarai mobilnya oleng seperti ini. Hei, hei ada apa ini? Tak lama kemudian ada mobil ambulance mengikuti mobil ini. Perasaaku tadi tidak ada mobil sama sekali. Mustahil dalam waktu yang begitu cepat. Ini aneh! Aneh!

WIUW, WIUW, WIUW……..
WIUW, WIUW, WIUW……..
WIUW, WIUW, WIUW……..

Mobil ambulance semakin banyak. Ada dua. Tiga. Empat. Banyak sekali.

Ada apa ini? Ada kecelakaankah? Kebakarankah? Ada bom meledakkah? Atau mungkin peperangan antar warga yang memakan banyak korban? Kurasa Bandung bukan daerah konflik seperti itu meskipun bisa saja terjadi.

“Bu, Pak, ada apa ya?” tanyaku pada penumpang di depan dan di sampingku.

Sekali lagi, mereka tetap tak ada jawaban. Mereka hanya menatapku. Dan tatapan itu. Tatapan itu…..

Tiba-tiba, ya Tuhan, kepala penumang bergoyang-goyang ke kanan dan kiri. Bergoyang. Ya, bergoyang-goyang. Aku ingat, aku pernah melihatnya saat aku terakhir shalat berjamaah di masjid dekat rumah Saskia. Mereka menggerak-gerakan kepalanya saat berzikir setelah solat. Mereka mengucap Lailahaillalah.

Tapi di sini mulut mereka diam. Tidak seperti jamaah masjid yang pernah kulihat waktu itu.
O, Tuhan ada apa ini? Apa yang terjadi?
Ah ya lebih baik kucoba sms kekasihku. Pasti dia sudah tidur. Tapi tak apalah.

ABADI, A-B-A-D-I, A-B-A-D-I!

Ya ampun kali ini mereka mengucap kata-kata itu: Abadi, apa maksudnya? Apa lagi gerangan yang mereka katakan.

Kepala mereka terus bergoyang-goyang. tak terkecuali sopir angkotnya: Abadi! Abadi! Abadi! Wajah mereka lama kelamaan memutih. Bibir memucat. Dan matanya, bola matanya!
Angkot apa ini??
Aku masih tetap mengetik sms pada kekasihku.

ABADI, ABADI, ABADI!

O, tidak! apa maksud mereka? Di mana aku sebenarnya?

WIUW, WIUW, WIUW, WIUW………

Sirine ambulance semakin ramai mengikuti laju angkot yang kutumpangi. Meraka membuntuti kendaraanku semakin dekat. Jalur jalan by-pass menuju tujuanku ini memang ada dua jalur jalan. Jalur jalan lambat yang biasanya untuk angkutan umum dan motor. Kemudian jalur jalan cepat untuk kendaraan mobil pribadi dan truk.

Dan hei, hei pak supir kenapa belok kanan dan masuk jalur cepat, kan angkot dilarang?

Mobil belok seketika dalam kecepatan tinggi. Jalannya pun ugal-ugalan. Aku sudah panik tak karuan. Bibirku sudah ribuan kali mengucap istighfar. Dan tiba-tiba.

“Pir, supir, awas dari belakang adaaa……..”

TET TEEEEEETTT……..
BRAKKK!!
AAAAKKHHH !!
WIUW, WIUW,WIUW….

Aku melihat sebuah truk melesat cepat meninggalkanku jauh-jauh. Kemudian samar. Dan di mataku, ya, di mataku seperti ada potongan kaca dan darah. Aku tak mendengar lagi raungan siapa pun. Malam telah senyap. Bahkan aku tak lagi mengenal gelap. Samar-samar terdengar di kejauhan suara sepasang mata yang melambai, “Aku mencintaimu, Radika. Dan kau telah sampai ke tujuan,” saat itu, aku seperti diingatkan pada yang abadi.

2008-2010
*****

Goalpara: sebuah perkebunan teh di Kabupaten Sukabumi
Ieu bade ka Cicadas nya?: Ini mau ke Cicadas ya?
Sumuhun, hayu bu, hayu: Betul, ayo bu, ayo
Duh ieu mah dugi ka enjing ge moal nepi: Aduh, ini sampai besok juga nggak bakal sampai
Nya maklum we kusabab ieu nu terakhir, jadi sayang upami kosong : ya maklum aja sebab ini yang terakhir jadi sayang kalau kosong

*) Lahir di Jakarta tanggal 31 Desember 1985. Merampungkan studinya di Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Karyanya berupa puisi, cerpen dan artikel tersebar di beberapa media seperti Pikiran Rakyat, Seputar Indonesia, Radar Bandung, Batam Pos, Tribun Jabar, kompas.com. Kini bergiat di Komunitas Rumput dan Majelis Sastra Bandung.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati