Restu Ashari Putra
http://oase.kompas.com/
Suatu waktu aku ingat perkataan nenek, saat kami datang berdua mengunjunginya di sebuah rumah di kaki gunung. Sebelum kami sendiri yang menyaksikan ajalnya tiba. Ia masih tertawa berseri-seri dengan sederet gigi palsunya. Dengan sepasang mata yang masih ceria. Saat itu, di bawah aroma kebun teh Goalpara, aku masih mengingatnya ketika aku bersama Saskia di sana.
“Berbahagialah kalian. Tapi jangan lupa, seseorang yang mengutamakan cinta, mereka pasti mengetahui siapa sesungguhnya yang mencintai kalian,” Ia kembali tertawa berseri-seri. Lagi-lagi dengan sederet gigi palsunya. Dengan sepasang mata yang kemudian menyimpan rahasia.
Ini kali pertamanya kata-kata itu keluar dari bibirnya. Dan aku seperti akan mendengar yang kedua kalinya. Entah di mana.
****
Satu hal yang paling kubenci di dunia ini di antara kebencianku yang lain adalah menunggu angkutan umum (angkot) ngetem selama berjam-jam. Seperti halnya malam ini. Kalau saja bukan karena ini kendaraan terakhir, aku pasti langsung turun pada saat lima menit pertama angkot ini ngetem. Kesalnya bukan main. Ditambah lagi hati yang lagi resah. Tuntas sudah rasa sesakku malam ini.
Di seputar bundaran Cibiru. Sebuah terminal bayangan. Aku mau pulang tapi tidak kembali ke rumah. Sebab rumahku pasti sudah dikunci. Itu juga bukan rumahku, melainkan rumah pamanku. Dan angkot ini kira-kira masih akan menunggu dua sampai tiga penumpang lagi. Biasa, sudah lewat malam begini sangat sayang kalau angkot kosong tanpa muatan penumpang sebab mereka tak yakin di tengah jalan nanti bakal banyak penumpang. Huh, sungguh sudah tak tahan rasanya.
“Ayo pak digeser, digeser, palih kanan, palih kanan,”
“Tahan, tahan, tahan, dua deui, dua deui, ayo, ayo pak!”
“Cadas, Cicadas, Cicadas,” teriak calo menggaet penumpang di terminal bayangan, bundaran Cibiru.
Malam semakin pekat. Jalanan becek karena hujan baru saja reda setengah jam yang lalu. Padahal biasanya dua hari berturut-turut, sampai pagi pun hujan tak akan reda.
Kaca jendela yang basah berembun aku susut dengan tangan. Di luar sana, mereka yang bertarung dengan malam masih asyik dengan pergulatan hidupnya. Ini demi hidup yang harus terus bertahan!
Di ujung dekat warung yang sudah tutup, pedagang rokok hampir tak kuat menahan beban matanya. Tapi mungkin wajah anaknya yang meringkuk di balik bungkus rokok dagangannya, selalu muncul dan menyulutnya menjadi kobaran semangat bertahan barang dua atau tiga jam lagi.
Di dekat toilet umum, dua orang pengamen jalanan masih sibuk menyetel senar gitar yang terasa sumbang. Masih muda. Sekitar duapuluh tahunan. Padahal aku yakin tak akan ada bus lagi yang akan lewat kecuali mereka hanya sekadar asyik memainkan gitar. Dan satu kehidupan lagi: calo angkot yang bersaing dengan angin menarik penumpang dari segenap penjuru, sebanyak-bayaknya.
Dari sekian potret keidupan itu tak ada yang tahu bahwa di dalam sini, di angkot ini, ada anak muda yang sedang gundah hatinya. Aneh, padahal ia baru saja bertemu kekasihnya.
“Radika, kecintaanku tak bisa diukur dengan kalimat yang selalu kau tuliskan dalam degup jantung dadaku,” ujarnya meyakinkanku dengan tatap mata sangat dalam. “melainkan seberapa besar kau mau melangkah bersamaku dengan langkahmu sendiri. Aku mencintaimu Radika.”
Bayangan Saskia masih hinggap di mataku. Saat ia memelukku erat. Saat bibirku mendarat di keningnya, kemudian bibirnya. Seperti kalimat-kalimat yang selalu kutulis dalam degup jantungnya. Saat itu pula mataku mengatakan cinta. Indah sekali matanya.
Dari sanalah kegelisahanku dimulai. Sejak tangannya melepas genggaman tanganku. Sejak bibirnya melepas bibirku. Sejak tubuhnya melepas pelukanku. Dan sejak waktu melepas pertemuanku dengannya.
“Aku juga mencintaimu Saskia, sampai bertemu bess….”
Belum sempat kalimat dari lidahku meluncur seluruhnya, tiba-tiba tubuh Saskia rebah di tubuhku. Ia memelukku sekali lagi. Matanya basah di jaketku dan semakin menggenapkan keresahanku.
****
Sekarang mengapa hatiku jadi resah. Hei, ada apa ini? Aku baru saja bertemu kekasihku. Tapi ah, suasana hati siapa sangka. Sekalipun sudah bertemu surga, kalau hati menginginkan lain, ya terjadilah. Padahal aku baru saja melepas rindu dengan sang kekasih di rumahnya. Padahal aku baru saja menatapnya. Tapi mengapa resah. Aku baru saja mengulum bibirnya dengan kata cinta. Tapi mengapa gulana. Aneh bukan. Dan angkot ini kian menambah keresahanku, kegundahanku, kegulanaanku dan sekian bentuk kegalauan lainnya.
Bayangkan mau tanya pada siapa coba kalau hati sendiri yang bermasalah. Masak bertanya sama penumpang di sebelahku yang tak kukenal sama sekali. Kan tak mungkin. Tapi tunggu, tunggu, sepertinya aku mampu mendeteksinya. Aku baru habis bertemu kekasih. Apa karena telah menatapnya lantas aku jadi merasa kecewa karena diriku mungkin bukan orang yang sempurna di matanya. Atau tiba-tiba pandangannya tentangku berubah. Seperti misalnya aku tak tulus lagi mencintainya. Ah, andai ia bisa mendekam dalam bilik jiwaku, ia akan tahu bagaimana sebenarnya perasaanku.
Setidaknya itu gejala-gejala yang baru bisa kudeteksi saat ini. Sebab keresahanku terjadi setelah aku bertemu dengan sang kekasih. Dan, yap! angkot sudah penuh. Paling lama dua menit lagi pasti jalan.
“A, ieu bade ka Cicadas nya?” taya ibu tua padaku.
“Sumuhun, bu, hayu bu, hayu,”
“Mbak, ini bener lewat Margahayu Raya?” suara lirih kudengar dari penumpang sebelah kiriku yang bertanya pada penumpang lain.
“Huh, lama banget ya. Udah penuh juga,” komentar penumpang lain.
“Duh ieu mah dugi ka enjing ge moal nepi,”
“Nya maklum we kusabab ieu nu terakhir, sayang upami kosong.”
Aku makin tak betah lama-lama di sini. Sumpek. Padahal bagiku naik angkot bukan hal aneh lagi. Ke mana-mana aku manfaatkan kendaraan ini. Dan kalau ngetem, selalu aku siasati dengan cara naik yang setengah penuh supaya tidak menunggu lama seperti ini. Sekarang aku duduk di ujung paling dalam. Nyempil. Badan kecil. Hati dan pikiran amburadul. Sesaknya minta ampun. Aku ingin cepat-cepat turun. Rasanya ingin berteriak saja.
Seandainya jiwaku bisa keluar dari tubuh ini.
AAAAAARRGGHH!
Kupejamkan mata. Kulenyapkan tubuhku dari dunia sekelilingku. Hening. Samar.
ZEPPPPSSSSS….
****
Aku masih berada dalam angkot. Angkotnya sudah berjalan. Para penumpang hanyut dalam pikirannya sendiri. Aku bisa menebak yang ada dalam bayangannya pasti rumah yang sudah dinanti-nanti.
Jalanan lengang. Itu bisa kusaksikan dari kaca jendela. Kendaraan jarang melintas. Orang-orang sepi.
“Bu, maaf, jam berapa ya?” tanyaku pada ibu yang duduk tepat di depanku.
Ia diam.
Lho, kenapa tak ada respon. Sekali lagi kutanyakan,
“Bu, ibu, maaf kalau boleh tau sekarang jam berapa ya?”
Sunyi.
Aneh. Coba kutanya bapak di sampingku. Aku lihat ia memakai jam tangan. Kebetulan jam dalam ponselku sedang kurang akurat.
“Pak, bapak, sekarang jam berapa ya?” pertanyaanku lagi-lagi direspon diam.
”Hei pak, bapak…!”
Kenapa mereka tidak menanggapiku. Ada apa ini?
Ah, mungkinkah mereka tuli. Atau memang mereka tak melihatku. Ah, tidak mungkin, tidak mungkin!
Udara dingin di luar menyeruak masuk. Pak supir mengendarai angkot semakin kencang. Aku semakin begidik campur gelisah yang belum hilang. Sekarang aku coba tanya jam pada penumpang lain. Mungkin dua orang tadi bermasalah pada pendengarannya. Aku tak ingin mengusiknya, bisa-bisa nanti tersinggung.
“Kang, maaf boleh tau sekarang jam berapa?”
Ia hanya melirikku. Kedua bola matanya tajam menusuk tatapanku. Dan ya ampun, kenapa tatapan itu, tatapan itu….
Aku kembali duduk tenang. Menenangkan diri tepatnya. Aku lupakan perkara waktu yang hanya membuatku semakin gelisah. Tiba-tiba pikiranku jadi melayang pada peristiwa satu tahun silam. Tatapan mata orang tadi. Ya, tatapannya. Sorat matanya. Ah, tidak mungkin, tidak mungkin!
Bayangan almarhum nenek berkelebat dalam pandangan mataku. Kemudian bayang-bayang dalam ingatanku menyusuri perisriwa satu tahun silam. Peristiwa di mana aku mengantar tubuhnya pada sisa hidup terakhir: “Kalau kau ingin cintamu yang abadi, maka masukilah keabadian. Maka masukilah kebadian, Radika!”
Aku mengenal tutur katanya. Tapi itu seperti bukan suaranya. Dan yang paling membuatku mengerikan saat itu adalah tatapan matanya. Ya, tatapan matanya. Bola mata nenek tiba-tiba keluar menusuk lubang mataku. Aku terhenyak dalam hitungan detik. Kemudian aku melihat ruh nenek sunyi dalam pelukan ajal. Sunyi. Sunyi sekali!
Ah, persetan dengan misteri-misteri, dengan mistis! Aku tidak percaya! Ketika itu aku hanya percaya diriku sendiri.
Tapi saat ini. Di kendaraan ini. Aku menciut. Aku terbayang lagi sorot mata nenek. Juga ucap kata nenek. Kubiarkan segala situasi di luar diriku terjadi. Harapanku hanya satu:: cepat sampai tujuan. Ya, cepat sampai tujuan!
Ah, lebih baik aku memperhatikan jalan. Ternyata baru sampai Riung Bandung. Berarti sebentar lagi. Sebab tujuanku adalah komplek Margahayu Raya. Melewati satu supermarket dan kemudian rumah sakit.
Tapi, aduh, kenapa pak supir mengendarai mobilnya oleng seperti ini. Hei, hei ada apa ini? Tak lama kemudian ada mobil ambulance mengikuti mobil ini. Perasaaku tadi tidak ada mobil sama sekali. Mustahil dalam waktu yang begitu cepat. Ini aneh! Aneh!
WIUW, WIUW, WIUW……..
WIUW, WIUW, WIUW……..
WIUW, WIUW, WIUW……..
Mobil ambulance semakin banyak. Ada dua. Tiga. Empat. Banyak sekali.
Ada apa ini? Ada kecelakaankah? Kebakarankah? Ada bom meledakkah? Atau mungkin peperangan antar warga yang memakan banyak korban? Kurasa Bandung bukan daerah konflik seperti itu meskipun bisa saja terjadi.
“Bu, Pak, ada apa ya?” tanyaku pada penumpang di depan dan di sampingku.
Sekali lagi, mereka tetap tak ada jawaban. Mereka hanya menatapku. Dan tatapan itu. Tatapan itu…..
Tiba-tiba, ya Tuhan, kepala penumang bergoyang-goyang ke kanan dan kiri. Bergoyang. Ya, bergoyang-goyang. Aku ingat, aku pernah melihatnya saat aku terakhir shalat berjamaah di masjid dekat rumah Saskia. Mereka menggerak-gerakan kepalanya saat berzikir setelah solat. Mereka mengucap Lailahaillalah.
Tapi di sini mulut mereka diam. Tidak seperti jamaah masjid yang pernah kulihat waktu itu.
O, Tuhan ada apa ini? Apa yang terjadi?
Ah ya lebih baik kucoba sms kekasihku. Pasti dia sudah tidur. Tapi tak apalah.
ABADI, A-B-A-D-I, A-B-A-D-I!
Ya ampun kali ini mereka mengucap kata-kata itu: Abadi, apa maksudnya? Apa lagi gerangan yang mereka katakan.
Kepala mereka terus bergoyang-goyang. tak terkecuali sopir angkotnya: Abadi! Abadi! Abadi! Wajah mereka lama kelamaan memutih. Bibir memucat. Dan matanya, bola matanya!
Angkot apa ini??
Aku masih tetap mengetik sms pada kekasihku.
ABADI, ABADI, ABADI!
O, tidak! apa maksud mereka? Di mana aku sebenarnya?
WIUW, WIUW, WIUW, WIUW………
Sirine ambulance semakin ramai mengikuti laju angkot yang kutumpangi. Meraka membuntuti kendaraanku semakin dekat. Jalur jalan by-pass menuju tujuanku ini memang ada dua jalur jalan. Jalur jalan lambat yang biasanya untuk angkutan umum dan motor. Kemudian jalur jalan cepat untuk kendaraan mobil pribadi dan truk.
Dan hei, hei pak supir kenapa belok kanan dan masuk jalur cepat, kan angkot dilarang?
Mobil belok seketika dalam kecepatan tinggi. Jalannya pun ugal-ugalan. Aku sudah panik tak karuan. Bibirku sudah ribuan kali mengucap istighfar. Dan tiba-tiba.
“Pir, supir, awas dari belakang adaaa……..”
TET TEEEEEETTT……..
BRAKKK!!
AAAAKKHHH !!
WIUW, WIUW,WIUW….
Aku melihat sebuah truk melesat cepat meninggalkanku jauh-jauh. Kemudian samar. Dan di mataku, ya, di mataku seperti ada potongan kaca dan darah. Aku tak mendengar lagi raungan siapa pun. Malam telah senyap. Bahkan aku tak lagi mengenal gelap. Samar-samar terdengar di kejauhan suara sepasang mata yang melambai, “Aku mencintaimu, Radika. Dan kau telah sampai ke tujuan,” saat itu, aku seperti diingatkan pada yang abadi.
2008-2010
*****
Goalpara: sebuah perkebunan teh di Kabupaten Sukabumi
Ieu bade ka Cicadas nya?: Ini mau ke Cicadas ya?
Sumuhun, hayu bu, hayu: Betul, ayo bu, ayo
Duh ieu mah dugi ka enjing ge moal nepi: Aduh, ini sampai besok juga nggak bakal sampai
Nya maklum we kusabab ieu nu terakhir, jadi sayang upami kosong : ya maklum aja sebab ini yang terakhir jadi sayang kalau kosong
*) Lahir di Jakarta tanggal 31 Desember 1985. Merampungkan studinya di Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Karyanya berupa puisi, cerpen dan artikel tersebar di beberapa media seperti Pikiran Rakyat, Seputar Indonesia, Radar Bandung, Batam Pos, Tribun Jabar, kompas.com. Kini bergiat di Komunitas Rumput dan Majelis Sastra Bandung.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar