AS. Sumbawi
“Yap. Selesai sudah.” Kucoba mengangkat tas ransel yang memuat segala
kebutuhan. Lumayan berat. Dari luar kudengar Bondan memanggil. Aku keluar.
“Bagaimana? Sudah beres?” katanya.
“Sip. Beres.”
“Ayo, sudah ditunggu yang lain!” katanya memberi isyarat menunjuk ke jalan.
Di sana kulihat sebuah mobil van parkir.
“Ya, sebentar.” Aku kemudian mengambil tas ransel di kamar. Sebentar kami
sudah berjalan menuju mobil.
Siang ini langit cerah. Matahari nyalang bersinar. Udara terasa gerah membuat
tubuhku segera berkeringat. Dari kaca mobil yang terbuka aku melihat beberapa
orang berada di dalamnya.
Kemarin ketika aku berada di kostnya, Bondan mengatakan dirinya akan
mendaki gunung Lawu bersama teman-temannya.
“Kebetulan kami masih berlima. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Kalau kau
ikut berarti pas tiga pasang. Bagaimana, mau tidak?” Bondan tertawa sejenak,
kemudian menghisap rokoknya.
“Ya, aku ikut,” kataku. Dalam kepalaku, acara mendaki ini akan memunculkan
suasana yang baru. Refreshing bagiku. Ya, beberapa hari ini pikiranku bleng.
Aku tak bisa mengerjakan apa-apa yang sudah menjadi pekerjaan sehari-hari.
Kuliah? malas. Menulis? pikiran buntu. Mau membaca? tiba-tiba langsung
tertidur. Main game? aku tak begitu suka. Sepanjang hari aku hanya duduk dan
mataku terus menerawang. Hanya kehabisan rokok yang membuat aku tersentak. Aku
kemudian menyulut sebatang lagi. Dan lagi. Lantas pergi ke warung membeli lagi.
Dan lagi. Sementara asbak sudah menyerah tak mampu memuat lagi
putung-putungnya. Akhirnya berserakan di lantai kamar. Begitu juga dengan
sepai-sepai abunya berjatuhan ke mana-mana.
Aku juga sudah mencoba pergi ke mana-mana. Ke kost teman-teman, ke bioskop,
ke alun-alun kota, ke toko buku, ke mall. Namun, setiap berada di tempat-tempat
tersebut, sebentar kemudian aku sudah merasa bosan. Kemudian pindah ke tempat
lain. Akan tetapi, rasa bosan segera mendera lagi. Terus berulang-ulang. Begitu
juga dengan ketika aku berada di kost Bondan. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar,
aku lantas pamit pergi.
“Jangan lupa, besok habis Dzuhur,” katanya.
“Ya,” kataku kemudian pergi.
Sepanjang perjalanan pulang ke kost, kurasakan rencana mendaki gunung Lawu
menguasai pikiranku. Aku cukup senang. Ya, paling tidak aku sudah punya rencana
menghabiskan waktu di hari besok. Dua hari. Sabtu dan minggu. Di samping itu,
apa yang dikatakan Bondan tentang kami yang menjadi tiga pasang itu, tiga
laki-laki tiga perempuan pun memberi semangat tersendiri.
Sebelumnya aku dan beberapa orang teman sudah pernah mendaki gunung Lawu.
Sayang, dini hari itu, saat kami berada di pos terakhir sebelum mencapai
puncak, kami terserang hujan deras disertai angin yang cukup kencang. Memang
saat pagi tiba dan arloji menunjukkan sekitar pukul delapan, langit masih
mendung, matahari bersinar lebih baik daripada purnama di malam hari, dan angin
kencang sudah reda. Namun, hujan masih mengguyur deras sehingga kami kemudian
sepakat menggagalkan perjalanan ke puncak. Kami memilih turun daripada
kedinginan di tengah gunung dengan baju-baju yang basah. Saat itu aku semester
2. Sejak saat itu, aku belum pernah mendaki gunung lagi. Dan kini, aku sudah
semester 6.
***
Aku masuk mobil dan berkenalan dengan mereka satupersatu. Tiga perempuan
itu masing-masing bernama Shofa, Diah, dan Meyvita. Sementara yang laki-laki
bernama Han. Aku berkenalan dengannya di luar mobil. Sebentar kemudian mobil
mulai melaju.
***
Sepanjang perjalanan kami bercakap-cakap. Aku sering menjadi pendengar.
Maklum seperti itu. Aku masih baru di lingkungan mereka. Meskipun aku dan
Bondan sendiri sudah akrab sejak kelas 1 SMU. Namun, aku cukup senang karena
mereka cantik-cantik. Dan dalam diam itulah aku diam-diam memperhatikan ketiga
perempuan tersebut. Kemudian dengan diam-diam pula muncul dalam pandanganku
bahwa Diah yang paling menarik di antara ketiganya. Kulitnya yang putih
bersinar, rambut hitamnya yang panjang dan halus, bulu matanya yang melengkung,
hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah dan sedikit tebal, serta dagunya
yang lancip terpadu rapi menampakkan sebuah kecantikan yang pas menurut
seleraku. Namun sayang, Diah duduk di samping Han yang memegang setir.
***
Setelah melewati Solo, percakapan di mobil mereda digantikan dengan
percakapan dua orang-dua orang sesuai dengan tempat duduknya. Bondan dengan
Meyvita. Aku dengan Shofa. Sementara Diah, tentu saja dengan Han.
Aku senang bercakap-cakap dengan Shofa. Sepertinya segala sesuatu diketahui
olehnya. Di samping itu, suaranya yang merdu terasa begitu enak masuk ke
telingaku. Shofa juga tak kalah cantik dengan Meyvita ataupun Diah. Dan
barangkali karena kerap bertatapan mata, dia bertambah cantik di mataku.
Meskipun begitu, pesona Diah tak tertandingi. Tak bisa kubendung lagi.
Diam-diam aku kerap mencuri-curi pandang memperhatikan dirinya.
***
Sebentar lagi kami mencapai Tawang Mangu. Di depan mata kami, gunung Lawu
menjulang dengan pesonanya yang terpadu dari keindahan dan kengerian yang
terkandung di dalamnya. Dulu, ketika kami mendaki gunung Lawu untuk pertama
kali dan gagal mencapai puncak, sesampai di bawah aku mendengar kabar bahwa
sudah lima hari empat orang dinyatakan hilang dan dua orang ditemukan
meninggal. Memang, saat itu musim penghujan dengan curah hujan yang cukup
tinggi dan disertai angin kencang. Membentuk badai. Dan kini, entah, sudah
berapa banyak nyawa tercabut selama gunung Lawu dibuka untuk pendakian. Namun
begitu, masih banyak juga yang ingin mendakinya. Termasuk kami saat ini.
“O, indah sekali,” kata Diah.
“Dan besok pagi kita ada di atas sana,” kata Shofa tersenyum ke arahku.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ketika itu kami hendak mendaki gunung Lawu
untuk pertama kali. Pada saat seperti ini kudengar salah seorang teman berkata
meremehkan.
“Ah, cuma segini tingginya?! Kecil,” katanya tentang gunung Lawu. Entahlah,
sampai sekarang aku menganggap bahwa kegagalan kami saat itu disebabkan oleh
rasa sombong yang ada pada diri kami. Meremehkan ciptaan Tuhan. Maka seketika
itu juga, aku berdoa semoga kali ini kami berhasil sampai di puncak. Ya, aku
tak ingin gagal lagi.
Arloji menunjukkan sekitar pukul empat sore ketika kami sampai di Tawang
Mangu. Kami kemudian berhenti di depan sebuah rumah makan. Istirahat, makan,
shalat, dan lain-lain. Satu jam kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke Cemoro
Sewu.
***
Malam hari setelah sholat Isya’, kami mengecek segala peralatan. Hawa
begitu dingin dan terasa menusuk tulang. Kami pun memakai jaket, meskipun aku
yakin bahwa sebelum mencapai pos pertama nanti kami sudah berkeringat.
Setelah melapor ke pos penjaga, kami berkumpul kembali. Berdoa bersama.
Semoga selamat sampai di puncak. Dan selamat pula sampai di bawah. Kemudian
kami memulai langkah memasuki gerbang. Aku berjalan di depan. Kemudian Shofa,
Diah, Han, Meyvita, dan Bondan paling belakang.
***
Sepanjang perjalanan dari pintu gerbang ke pos pertama, kemudian dari post
pertama ke pos kedua, lantas dari pos kedua ke pos ketiga, suasana hutan masih
terasa sama—langit cerah. Suara binatang malam saling bersahut-sahutan dan
kunang-kunang yang bersinar kekuningan terbang di sekitar kami—kecuali rute-nya
yang tambah menanjak dan pohon-pohon yang bertambah padat. Di pos-pos itulah
kami berhenti. Istirahat sejenak, kemudian meneruskan perjalanan. Dan di pos
pertama, kami sudah menanggalkan jaket kami karena tubuh sudah terasa hangat.
Sepanjang perjalanan itu pula, kami dilewati beberapa rombongan pendaki lain.
***
Di tengah perjalanan menuju pos keempat, terakhir sebelum puncak, tiba-tiba
keadaan cuaca berubah. Langit menjadi gelap. Di sekitar tak terdengar lagi
suara binatang malam. Dan tak jauh di atas kepala kami, angin bertiup terdengar
bagai gemuruh. Terasa mencekam. Dalam hati ada yang terasa tidak enak. Khawatir
sesuatu akan terjadi. Sebentar kemudian hujan mengguyur deras. Kemudian di
bawah sebatang pohon kami berteduh sejenak. Memakai jaket dan mantel dan mulai
berjalan kembali. Dengan disinari cahaya senter, kulihat arloji menunjukkan
pukul setengah dua dini hari.
Setengah jam berjalan, dari arah depan kemudian kulihat cahaya senter
diarahkan ke arah kami disertai teriakan.
“Pos empat. Pos empat. Selamat datang.” Sebentar kami sudah sampai di sana.
Setelah bersalaman dan berbasa-basi dengan rombongan lain yang terdiri
empat orang laki-laki, sebentar kemudian kami istirahat. Aku cukup bersyukur
dengan hal itu. Ya, lebih baik di sini daripada kehujanan di jalan setapak yang
cukup terjal dan licin. Di samping itu, tubuh kami pun terasa letih. Akan
tetapi setelah beberapa menit beristirahat, aku merasakan sesuatu yang buruk.
Ya, pos empat ini menghadap ke tempat yang terbuka. Dari arah depan angin
bertiup cukup kencang disertai hujan menghempas tubuh kami.
Tak lama kemudian, aku melihat semua yang ada di situ rebah dengan melipat
tubuhnya untuk menahan dingin. Aku bergabung bersama mereka. Barangkali karena
dingin yang sangat di samping rasa letih, tanpa sengaja sebentar kemudian kami
sudah berpelukan dengan berselimut mantel. Dan aku enggan untuk mencoba melihat
siapa yang kupeluk erat waktu itu. Dalam hati aku tak putus-putus berdoa semoga
badai ini cepat-cepat reda. Semoga kami selamat dan tidak mati kedinginan di
sini. Sebenarnya aku ingin bangun dan menyalakan api membakar parafin. Akan
tetapi, untuk membuka sarung tangan saja aku merasa sangat kesulitan.
Entah, sudah berapa lama? Dan selama itu, aku tak yakin bahwa kami bisa
tidur. Akan tetapi, berada di antara keadaan tidur dan sadar. Tiba-tiba aku
mendengar suara lirih meluncur di depanku. Sangat dekat. Terasa menempel. Suara
seorang perempuan. Aku menduga ia adalah Diah. Ya, aku yakin itu.
“Ayah, ibu, kakak dan adikku. Kalau aku mati di sini, relakan aku, ya. Aku
ke sini untuk melihat keindahan ciptaan-Nya. Maafkan aku tak minta izin
kalian,” begitu katanya. Dalam hati aku ingin tertawa. Namun, rasa dingin tak
mengizinkan hal itu.
Segera kueratkan pelukanku di tubuhnya. Aku tak ingin ia kedinginan dan mati
membeku. Dia masih muda dan cantik. Hatiku tertawan olehnya.
Memang, selama ini aku pernah berpacaran dua kali. Namun, aku tak pernah
mengalami keadaan yang begitu dekat seperti ini. Wajah kami saling menempel
seperti ini. Kalau saja saat ini bukan karena rasa dingin dan letih yang
sangat, barangkali akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di antara aku dan
Diah. Namun, tidak. Sekali lagi tidak. Libidoku tetap berada di level bawah. Di
samping itu, untuk kencing saja aku sudah tak punya keinginan untuk menghindar
mencari tempat. Akhirnya kualirkan saja membasahi celanaku yang sudah basah.
Dan terasa hangat di paha.
***
Entah, berapa lama berselang. Kudengar beberapa orang berteriak
membangunkan kami. Saat terbangun aku melihat langit pucat. Matahari bersinar
lebih baik daripada purnama di malam hari. Angin kencang sudah reda. Namun,
hujan masih mengguyur. Kulihat arloji menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh
menit. Kemudian kuperhatikan mereka satupersatu. Kusut, tentu saja. Ketika aku
dan Diah bertatapan mata, kami saling melempar senyum. Ah, masih saja ia tampak
menawan, pikirku. Sebentar kemudian, parafin telah terbakar dan kami duduk
menjerang tangan.
Karena hujan belum juga reda, dalam kesempatan itu kami kemudian bersepakat
menggagalkan perjalanan ke puncak. Untuk mengobati rasa kecewa, kami akhirnya
pergi melihat Grojogan Sewu. Dan aku sangat gembira karena di Grojogan Sewu
kami selalu berdekatan. Aku dan Diah.
***
Sore itu Shofa meneleponku. Dalam kesempatan itu, ia tak bosan-bosannya
menceritakan pengalaman mendaki gunung Lawu kemarin. Ia sangat senang bisa
mencapai puncak. Tentu saja, aku tak percaya. Bukankah kami turun setelah
diserang badai? Namun, ia terus-menerus meyakinkan bahwa kami pagi itu sampai
di puncak. Dan sebelum menutup telepon, tiba-tiba ia mengatakan apakah aku tak
ingin pergi ke kostnya? Aku kemudian minta maaf karena masih terasa letih.
Setelah menutup telepon, aku pergi ke kost Bondan. Sepanjang perjalanan aku
masih belum percaya tentang apa yang dikatakan oleh Shofa itu.
***
Aku tersentak. Bondan menunjukkan kepadaku foto-foto kami ketika berada di
puncak Lawu. Aku tak bisa mengelak lagi.
“Kau begitu mesra dengannya,” kata Bondan ketika aku memperhatikan foto aku
dan Shofa sedang berangkulan dengan background Grojogan Sewu.
Seperti tersadar, lemaslah tubuhku. Ternyata, beberapa hari ini pikiranku
tidak hanya bleng. Tapi, sudah menciptakan halunisasi. Memang, ini bukan
pertama kali kualami. Namun, aku kecewa. Kenapa hal itu terjadi saat moment
penting itu muncul? O, Sunrise yang begitu indah. Lagi-lagi aku gagal menikmati
keindahannya. Dan Shofa, apa yang telah terjadi dengannya?
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 26 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar