Sabtu, 23 Oktober 2010

Tiga Catatan

Romi Zarman
Riau Pos,19Sep2010

Tiga catatan yang akan saya kemukan terdiri satu entitas yang bernama sastra. Pertama; perihal sastra maya yang menimbulkan ambivalensi dalam diri sebagian kaum sastrawan. Di satu sisi, mereka menolak kehadiran koran, tapi di sisi lain mereka juga mengirim dan mempublikasikan karya di sana. Kedua; pesatnya perkembangan sastra maya telah melenyapkan batas antara lokal-nasional. Tak ada istilah lokal-nasional. Riau Pos, misalnya, tidak bisa dikategorikan sebagai koran lokal. Lenyapnya batas-batas teritorial di dunia maya, mudahnya akses ke website Riau Pos, telah membuka mata kita bahwa Riau Pos bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Ketiga; terjadinya ambivalensi dalam membumikan sastra. Tarik-menarik antara koran dan dunia maya, penerbit kecil-penerbit besar, dan sistem kapitalisasi yang bermain. Mudah-mudahan tiga catatn ini bermanfaat.

Pertama

Sastra maya adalah sastra yang dipublikasikan di dunia maya. Ia tak memiliki bentuk seperti halnya sastra koran, tetapi kehadirannya bisa dilihat dan disaksikan dengan mata kepala. Bila sastra koran mediumnya adalah koran, maka tidak demikian dengan sastra maya. Orang mesti online dan masuk ke dalam dunianya. Ada mekanisme yang harus dilewati. Tidak seperti sastra koran. Untuk membaca karya sastra koran, pembaca cukup membeli atau meminjam koran. Berbeda dengan mekanisme sastra maya. Pembaca mesti mendaftar terlebih dahulu. Di milis, misalnya. Bagi yang ingin mengikuti perkembangan sastra di sana tapi belum terdaftar sebagai anggota, maka pembaca tak akan bisa masuk dan tak akan bertemu dengan karya.

Begitupun dengan Facebook dan Twitter. Pembaca mesti memiliki aku terlebih dahulu. Meskipun pembaca telah memiliki akun Facebook, bukan berarti sudah bisa menjumpai karya. Ada mekanisme yang harus dilalui berikutnya, yakni menjalin pertemanan dan menunggu konfirmasi atau izin dari orang yang bersangkutan. Ada kalanya izin tak diberikan dan pertemanan pun otomatis tidak akan terjalin. Bagaimana kita akan membaca karya si A, misalnya, bila ia tidak mengizinkan kita berteman dengannya? Sebaliknya, kalau kita sudah berkawan dengan seorang, misalnya, ia bisa saja me-remove kita dari daftar pertemanan. Kasus ini pernah terjadi pada CH Yurma. Waktu itu karyanya dikomentari oleh seseorang, lantas ditanggapi balik oleh Yurma. Akan tetapi, seseorang itu langsung me-remove Yurma dari daftar pertemanan.

Jejaring sosial, sastra maya juga mengacu pada karya yang dipublikasikan di Blogspot dan Wordpress. Mekanismenya lebih mudah ketimbang Facebook dan Twitter. Pembaca cukup mengetik alamat blog atau Wordpress dan bisa langsung menjumpai karya, tanpa harus mendaftar terlebih dahulu atau menunggu konfirmasi pertemanan. Pembaca juga bisa ikut berkomentar. Cukup mencantumkan nama, alamat blog, atau alamat e-mail.

Sastra maya bukan hanya menyediakan ruang antara karya dan pembaca, tapi juga dengan pengarang. Bila sastra koran hanya menyediakan ruang komunikasi antara pembaca dan karya, maka tidak demikian kiranya dengan sastra maya. Bagaimana kesan pembaca, tanggapan, saran dan kritik, bisa langsung dilontarkan pada pengarang. Cukup dengan mengetik komentar, lalu membagikannya, maka pengarang bisa membaca. Tak hanya sampai di situ, pembaca lain juga bisa ikut menanggapi.

Maraknya sastra maya akhir-akhir ini tak lepas dari metode publikasi yang dimilikinya. Karya begitu mudah menjumpai pembaca. Tak ada proses seleksi di sana, seperti halnya sastra koran. Kelayakannya justru ditentukan oleh pembaca. Pembaca yang memiliki otoritas, bukan redaktur. Bila karya itu kurang baik mutunya, maka pembaca akan meninggalkannya. Atau sebaliknya, pembaca akan langsung menanggapi, memberikan masukan. Selain itu, maraknya sastra maya dikarenakan ia mampu menjadi media alternatif bagi sebagian pengarang kita. Rata-rata dari mereka tidak percaya pada mekanisme seleksi koran. Dalam pandangan mereka, karya-karya yang dipublikasikan di koran tidak lepas dari selera dan kepentingan redaktur semata. Dunia maya dalam hal ini menjadi media alternatif untuk mempublikasikan karya. Bahkan beberapa waktu belakangan, dunia maya tidak hanya berfingsi sebagai media alternatif, tapi juga tempat belajar menulis. Bambi Cahyani, misalnya, belajar dan mempublikasikan karya pertama kali melalui media ini. Begitupun dengan Hasan Aspahani, TS Pinang, Deddy Tri Adi, Bernard Batubara, dan sederetan nama lainnya.

Bila ia hanya bukan sekedar media alternatif, mengapalah sebagian dari mereka mempublikasikan karya di media cetak koran? Bukankah mereka jelas-jelas mencurigai bahwa proses seleksi koran hanya didasarkan atas selera dan kepentingan redaktur semata? Ah… ambivalensi. Di satu sisi mereka menolak koran, tapi di sisi lain mereka justru mengirim dan mempublikasikan karya di sana. Indrian Koto, misalnya, pengrang asal Pesisir Selatan ini jelas-jelas menolak sastra koran tapi di sisi lain juga mempublikasikan karya di Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka (tiga koran yang dicurigai sebagai koran yang mengkonstruksi estetika dominan). Belum lagi sejumlah pengarang lainnya. Yang menolak koran, justru mengirim dan mempublikasikan karya ke sana…

Dua

Dalam era dunia maya hari ini, apakah masih berlaku sebutan pengarang lokal-pengarang nasional? Tidak. bagi saya, dikotomi itu telah lenyap. Lenyapnya batas-batas teritorial melalui dunia maya, mudahnya akses ke surat kabar-surat kabar yang dipandang lokal, bermunculannya media-media jejaring sosial (Facebook dan Twitter), serta semakin banyaknya media publikasi karya seperti Blogspot dan Wordpress yang bisa diakses kapanpun dan dimana saja, apakah masih relevan bila tetap mempertahankan dikotomi pengarang lokal-pengarang nasional? Tidak. Akan tetapi, jika memang demikian, mengapa dikotomi itu hari ini masih berdiri kokoh seakan hendak menciptakan jurang?

Jawabnya, tak lain dan tak bukan, karena sebagian pengarang kita masih dikendalikan oleh habitus koran. Sementara, perkembangan sastra sudah bergeser dari realitas cetak ke dunia maya. Pergeseran ini jamak dipandang bukan bagian dari sejarah kesastraan kita. Ironis memang. Persoalan ini bukan semata-mata kemajuan teknologi, melainkan juga bagaimana pengarang dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan.

Hanysebagian pengarang kita yang mengikuti perkembangan tersebut. Mereka itu bisa disebut sebagai pengarang (maaf) “pantek”, alias pandir teknologi. Kepantekan mereka disebabkan kegagapan dalam memasuki dunia internet. Bagi mereka, media massa cetak hanya habitus yang tak bisa ditinggalkan. Terutama media cetak terbitan Jakarta yang mereka sebut sebagai media cetak nasional. Seseorang belum diakui kepengarangannya bila karyanya belum menembus media yang mereka anggap nasional. Legitimasi seorang sastrawan diukur dari kesanggupannya dalam menembus media nasional. Doxa itulah yang mereka yakini. Keyakinan itu begitu mendalam, mendarah-daging, dan diwariskan secara turun-temurun.

Warisan itu berbentuk dikotomi lokal-nasional, di mana satu kategori yang bernama nasional merasa lebih superiol dibanding lokal. Pengarang lokal dipandang begitu inferior. Belum ada apa-apa bila karyanya menembus koran nasional. Hierarki seperti ini sering muncul dalam bentuk tindakan mencemooh, menyindir, dan cenderung menutup pintu komunikasi. Mereka tak mau duduk semeja dengan pengarang lokal, misalnya, atau bila ada yang hendak berkomunikasi, baik melalui tegur sapa langsung maupun via seluler, mereka lebih cenderung menutup diri. Mereka nayan mau berkumpul dengan sesama mereka. Mereka hanya bersedia berkomunikasi antar mereka.

Bila ada yang mengkritisi praktik-praktik diskriminatif tersebut, maka mereka (sang kuasa, yang dipandang sebagai pengarang nasional) akan bersembunyi di balik alasan motivasi. Ambivalensi pun terjadi pada pengarang lokal. Di satu sisi, mereka menolak praktik-praktik diskriminatif tapi di sisi lain mereka ingin setara dengan pengarang nasional. Intensi itu terlihat ketika mereka mati-matian menembus media massa yang disebut nasional. Bahkan, ambivalensi itu juga terlihat ketika mereka justru menggunakan kaca mata sang kuasa (sekali lagi, dalam hal ini pengarang yang dipandang sudah menasional). Praktik-praktik deskriminatif, semisal tak boleh duduk semeja bila sastrawan lokal belum bisa menembus nasional, dipandang sebagai cambuk untuk melecut semangat.

Ironis memang, barangkali ambivalensi ini tak jauh berbeda dengan sifat Hanafi dalam pandangan Abdul Moeis. Dalam novel itu, digambarkan betapa Hanafi setara dengan sang kuasa kolonial. Betapa untuk mewujudkan keinginannya itu ia rela berlalu kebarat-baratan. Tapi di satu sisi ia justru menolaknya dalam bentuk sikap yang lain. Adakah mereka, pengarang-pengarang yang ambivalen itu, adalah “Hanafi-Hanafi” kesastraan? ah…

Praktik-praktik deskriminatif itu sebenarnya berjalan dalam dua ranah. Ranah pertama, terlihat jelas adanya upaya mempertahankan superioritas sebagai sang kuasa, yang telah menasional. Merasa diri hebat ketimbang yang lokal. Ranah kedua, sistim hierarki, atau dikotomi lokal-nasional yang diterapkan semakin memperkuat kekuasaan yang dimiliki guna pencapaian-pencapaian ke depan.

Kelompok inferior, dalam hal ini mereka yang dipandang lokal, merasa bangga bila karya sudah bisa menembus nasional. Merasa sudah setara dengan meraka yang nasional. Padahal, di balik semua itu, yang terjadi adalah praktik-praktik diskriminatif. Dalam konseptual Bourdieu, ini bukan kebanggaan tapi lebih merupa wujud kekerasan simbolik yang melanda kesusastraan kita. Makna kekerasan simbolik terletak pada penerapan makna sosial dan representasi dari realitas yang diinternalisasikan. Kekerasan tersebut bahkan tidak dirasakan sebagai suatu bentuk kekerasan, sehingga tak mengherankan kenapa ia bisa berjalan efektif dalam praktik dominasi kesastraan. Akarnya terletak pada konsep “kesalahkaprahan” (missrecognition) dalam mengidientifikasi kelompok superior yang melekat melalui praktik-praktik yang dipandang sebagai tindakan motifasi.

Tiga

Teknologi memang berkembang pesat akhir-akhir ini. Tapi bukan berarti kita menerima begitu saja apa yang ditawarkan. Sastra internet, yang menjadikan internet sebagai mediumnya, memang berpeluang menjadi media alternatif dalam rangka membumikan sastra. Akan tetapi, jika diperiksa kembali mediumnya, tentu gagasan itu jauh panggang dari api. Internet hari ini memang bukan lagi milik kaum elit. Mulai dari guru besar sampai anak SD sudah mengenalnya. Ratarata dari mereka terutama SD, SMP, SMA, dan sebagian mahasiswa, hanya menggunakan internet sebagai media gaul. Bukan untuk memenuhi kebutuhan akan “rohani” dan ilmu pengetahuan. Indikatornya bisa kita lihat betapa banyaknya terjadi kasus penyalah gunaan internet yang digunakan siswa sekola menengah dan mahasiswa akhir-akhir ini. Dunia internet bagi mereka baru sebatas hiburan belaka. Belum sampai ke tahap yang lebih serius. Sementara, sastra, dalam hal ini, dipandang sebagai sesuatu yang serius dan hanya milik kaum elit.

Bagaimana akan membumikan sastra bila ternyata buku-bukunya jauh dari pembaca? Sistim distibusi, misalnya, cndrung tertutup. Mereka tak mau bekerja sama dengan toko-toko besar semacam Gramedia, misalnya. Mereka lebih memilih jaringan komunitas, itupun komunitas yang ada di beberapa daerah. Tak merata di seluruh indonesia. Belum lagi belekangan muncul e-book atau buku elektronik yang pemesanannya dilakukan via telepon atau email. Sistem seperti ini saya rasa kurang tepat. Tak zamannya lagi menunggu bola. Sebaliknya, sistem yang cocok menurut saya adalahn sistem jemput bola. Sastra mesti didistribusikan dengan mudah ke tangan pembaca. Barangkali seperti halnya lagu pop Indonesia didistribusikan di pasar kaki lima.

Belum lagi misalnya tipe pembaca yang lain, untuk ibu-ibu atau bapak-bapak pedagang kaki lima, misalnya,. Bagaimana akan membumikan sastra bila media internet saja merupakan sesuatu yang eksklusif bagi mereka. Jangankan internet, dalam taraf koran saja mereka lebih tertarik pada berita politik, ekonomi, dan infotainmen, ketimbang sastra. Internet sebagai mendia bagi mereka adalah sesuatu yang jauh, di atas awang-awang, sesuatu yang elitis. Maka, dalam konteks ini saya pikir gagasan mengenai sastra internet untuk membumikan sastra mesti diperiksa kembali. Pembaca mana yang akan menerima pembumian sastra? Apakah siswa kelas menengah, mahasiswa, guru besar, ataukah guru-guru sekolah? Bukankah beragam pembaca yang saya sebutkan itu lebih gandrung kepada hiburan (infotainmen) semata?

Bila dibanding dengan strategi pemasaran Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Rahasia Medee dan Negeri Lima Menara, saya pikir kita perlu belajar dari mereka. Akan tetapi, jangankan belajar, sebagian kaum sastrawan menolak kehadiran mereka. Sikap sebagian kaum sastrawan ini. Sikap sebagian kaum sastrawan ini bisa kita lihat salah satu dengan tidak diundangnya sebagin mereka ke acara-acara pertemuan sastrawan. Saya tak tahu apa lasan pastinya. Yang saya lihat justru terjadi ambivalensi. Di satu sisi, kita ingin membumikan sastra, tapi ketika ada yang hendak membumikan sastra seperti Andrea Hirata dan Es Ito, dan sederetan nama lainnya, kita justru menolak upaya yang dikaukan mereka. Belum lagi sikap sejumlah pengarang yang anti terhadap penerbit besar. Mereka berpandangan bahwa penerbit besar sarat dengan sistem kapitalisme. Padahal hampir tak bisa dipungkiri, sisitim seperti itulah yang membantu sastra untuk membumikan dirinya. Bahkan, sejumlah penerbit kecil ada yang berlaku serupa. Mereka juga berpandangan demikian, sehingga tak mengherankan kenapa tak mau mendistribusika buku-bukunya ke toko buku yang mereka anggap kapitalis.

Sbagian dari penerbit kecil yang anti kapitalis itu justru melakukan kapitalisasi. “Maling teriak maling”. Mereka menyoraki penerbit-penerbit besar. Tapi di sisi lain, penerbit-penerbit kecil itu, justru berladang di punggung sastrawan.

Saya pikir diperlukan saman keterbukaan diri. Tidak zamannya lagi kita menutup diri. Bukan berarti saya hendak menyarankan kaum sastrawan menggoyahkan idealisme.akan tetapi, sikap terbuka. Mau membuka mata terhadap strategi-strategi yang telah berhasil membumikan sastra di sisi-sisi, seperti yang dilakukan Andrea Hirata dan Es Ito. Jika keterbukaan diri tidak kita lakukan dan justru sibuk dengan menutup mata, tetntu gagasan untuk membumikan sastra hanya sebata gagasan. Tak terealisasikan. Hanya akan jadi wacana. Terus dan terus. Sementara, sastra akan tetap menjadi milik kaum elit, segelintir orang. Memang butuh sikap terbuka dan kerja ekstra.***

*) Saat ini sedang studi di S-2 Fakultas Ilmu Budaya UGM

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati