Rabu, 03 November 2010

Bagaimana Sastrawan Menyikapi Antologi Sastra?

(Catatan untuk S. Sinansari ecip dan Aspar Paturusi)
Jamal D. Rahman *
http://www.infoanda.com/ korantempo.com

Dari beberapa kritik terhadap antologi Horison Sastra Indonesia, yang pantas saya tanggapi sejauh ini hanya tanggapan S. Sinansari ecip (Koran Tempo, 26/1) dan Aspar Paturusi (Koran Tempo, 18/2), dengan memberikan penghargaan kepada Purhendi atas tulisannya di Republika (10/2), terutama karena ecip dan Aspar adalah sastrawan yang tak diragukan. Pada mereka saya melihat celah untuk diskusi lanjutan yang lebih produktif, khususnya menyangkut pandangan dan sikap sastrawan terhadap sebuah antologi sastra yang berwibawa–tanpa harus melarikan diri dari pokok masalah yang mereka persoalkan.

Diskusi bahkan bisa dikembangkan lagi, misalnya dengan memeriksa kembali secara cermat dan saksama antologi-antologi besar sastra kita sepanjang sejarah, sikap sastrawan, kritikus sastra, dan pembaca umum terhadapnya. Dari situ, saya kira banyak hal yang akan kita lihat sebagai eksemplar-eksemplar baru persoalan sastra Indonesia.

Dengan begitu, polemik yang mengasyikkan ini bisa memberikan sumbangan lebih berarti bagi dunia antologi sastra kita–dan akhirnya pada sastra itu sendiri–sekaligus memajukan barang selangkah saja cara pandang dan sikap kita terhadap antologi dan karya sastra pada umumnya.

Sebagai salah seorang editor, saya memahami kekecewaan ecip dan Aspar. Ecip patut kecewa, karena karyanya tidak masuk dalam buku empat jilid itu. Saya sendiri amat terkejut ketika menyadari fakta itu, dan langsung minta maaf kepada ecip, atas nama pribadi dan para editor. Lebih terkejut lagi saya karena, setelah minta maaf itu pun, ecip menulis dengan judul yang amat keras: “Malas Bertanya, Sesat di Horison”.

Judul itu jelas mengandung pandangan sangat negatif, bahkan bernada menuduh. Namun, pandangan atau tuduhan ecip sungguh keliru, sebab buku tersebut disusun dengan meminta dan mendengar masukan, termasuk daftar nama-nama sastrawan, dari beberapa pihak.

Melihat kekecewaan ecip, baiklah tuduhan itu saya pahami saja sebagai syathahat, yaitu ungkapan tak terkontrol dalam situasi psikologis yang demikian “gawat”. Sedemikian “gawat” agaknya situasi psikologis ecip, sehingga mungkin tanpa sadar ia jatuh pada psikologi inlander, dengan “melaporkan” masalah ini kepada The Ford Foundation. Hanya dengan memaknai langkah itu sebagai syathahat, psikologi ecip bisa saya pahami pula. Di dunia tasawuf, hanya sufi agunglah yang melontarkan pernyataan-pernyataan syathahat.

Aspar mungkin akan mengatakan, maaf saja tidak cukup, apalagi sekadar memahami. Baiklah. Anggapan umum bahwa Indonesia adalah bangsa pemaaf dan mudah memahami kesulitan kerja orang lain tampaknya keliru. Kekecewaan Aspar karena novelnya tidak masuk dalam Kitab Nukilan Novel sesungguhnya lebih masuk akal dibanding kekecewaannya karena puisinya tak masuk dalam Kitab Puisi. Tetapi, ini satu perdebatan yang tak akan berujung pangkal tanpa memahami keterbatasan kerja editor, baik dari segi ide–antara lain berupa pertimbangan-pertimbangan strategis–maupun teknis.

Bahwa editor memilih naskah dramanya untuk Horison Sastra Indonesia, itu antara lain didasarkan pada pertimbangan ini: minimnya naskah drama kita khususnya di sekolah-sekolah–sebab antologi tersebut memang diniatkan untuk mengisi perpustakaan sekolah. Dalam konteks itu, beruntunglah mereka yang menulis naskah drama karena akan memberikan sumbangan amat berharga bagi pengajaran sastra.

Namun, ide ini segera berhadapan dengan keterbatasan teknis, antara lain halaman, yang akhirnya mau tidak mau membatasi ide awal untuk memasukkan karya sastra sebaik dan sebanyak mungkin ke sekolah-sekolah. Pada tataran inilah editor harus memilih, dengan kesadaran penuh bahwa itu pilihan berisiko, khususnya dari para sastrawan. Apa boleh buat, keterbatasan teknis memaksa pertimbangan strategis mengalahkan pertimbangan idealistis.

Namun, lepas dari itu semua, tanggapan ecip dan Aspar merangsang saya untuk merenungkan bagaimana sastrawan memandang dan menyikapi antologi sastra–lepas dari pengajarannya di sekolah. Logika apa di balik sikap itu? Lalu bagaimana logika itu jadi mungkin? Tentu saja, ecip dan Aspar hanya satu kasus, satu eksemplar sikap sastrawan di antara banyak eksemplar lain yang berbeda.

Dalam hal ini, ada dua hal yang ingin saya kemukakan. Pertama, sebagian sastrawan kita cenderung melihat antologi sastra sebagai institusi pengakuan, lembaga legitimasi, yang mungkin lebih dipercaya dibanding kritik (bahkan kritik di lingkungan akademis). Maka, kalau seorang sastrawan masuk dalam sebuah antologi, itu berarti dia diakui sebagai sastrawan (setidaknya oleh antologi itu). Semakin besar wibawa sebuah antologi, semakin besar pula tingkat pengakuannya. Pada titik ini, sastrawan mempercayakan legitimasi terhadap karyanya kepada sebuah antologi.

Pada hemat saya, kemungkinan kedua ini untuk sebagian merupakan konsekuensi dari macetnya fungsi-fungsi kritik sastra selama ini. Benar bahwa dunia kritik sastra tetap ramai terutama di lingkungan akademis. Namun, fungsi sosial kritik itu tampak kurang maksimal, kalau tak akan dikatakan mandul. Sebuah pengakuan, legitimasi–jika itu perlu–seharusnya datang dari lembaga kritik ini, yakni kritik yang berwibawa, karena ia lebih mungkin diukur dan diuji. Lebih menantang secara intelektual untuk diperdebatkan.

Macetnya fungsi kritik sastra ini, dan amat terbatasnya kritik yang berwibawa, pada gilirannya membuat sebagian sastrawan–terutama mereka yang amat mementingkan legitimasi formal–mencari sumber-sumber legitimasi lain. Undangan menghadiri sebuah forum sastra adalah salah satunya. Juga, masuk dalam sebuah antologi yang berwibawa. Kalau saja fungsi legitimasi lembaga kritik berjalan, apalagi dengan penuh wibawa, soal siapa yang diundang dalam sebuah forum sastra dan yang tidak, siapa yang masuk dalam sebuah antologi sastra dan yang tidak, tentulah tak akan memancing kehebohan.

Kedua, sebagian sastrawan memandang antologi, seberapa pun berwibawanya, sebagai kumpulan karya sastra yang, pada tingkat tertentu, sama belaka dengan karya-karya mereka yang lain (yang sudah disiarkan). Sebuah antologi bahkan mungkin dianggap tidak lebih penting daripada karya sastra mereka sendiri. Lebih dari itu, karena antologi bagaimanapun lahir dari karya para sastrawan, karya para sastrawan itulah yang lebih utama dan lebih penting. Antologi tak akan lahir tanpa karya para sastrawan.

Maka, kalaupun mereka masuk dalam sebuah antologi, mungkin mereka merasa beruntung, semata-mata karena dengan itu karyanya mendapatkan kaki lain untuk berjalan menemui lebih banyak pembaca. Kalaupun tidak, mungkin saja mereka menyesal, namun tetap akan percaya bahwa karya-karya mereka punya kaki sendiri untuk berjalan ke mana pun hendak pergi. Juga, untuk menemui anak-cucu kelak di kemudian hari.

Dengan kata lain, bagi mereka, sastrawan ada karena karyanya, bukan karena antologi memuatnya. Sastrawan diakui karena mutu karyanya, bukan karena sebuah antologi mengakuinya.

*) Redaktur Pelaksana Majalah Horison
Kamis, 21 February 2002

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati