Jumat, 19 November 2010

Tentang Ubud Yang Eksoktik Dan Keterasingan Yang Unik

Hary B Kori’un
http://riaupos.com/

“Kami sangat bahagia, dari tahun ke tahun penyelenggaran festival ini semakin membaik dan diminati banyak penulis maupun pecinta sastra. Kami juga sangat senang, Ubud, juga Bali, kini telah kembali pulih, menjadi salah satu tujuan wisata dunia, setelah tragedi bom yang mengenaskan pada Oktober 2003. Kami bahagia, festival ini bisa diadakan setiap tahun dan kami terus berupaya melakukan perubahan menuju perbaikan…”

Janet De Neefe, perempuan asal Australia yang menikah dengan Ketut Suardana, pengusana kafe dan restoran di Ubud (Kabupaten Gianyar, Bali) —pemilik dua restoran besar dan ternama di sana, yakni Casa Luna dan Indus— tak bisa menyembunyikan kebahagiannya ketika memberi sambutan dalam Gala Opening Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2010 di Puri Ubud, Rabu, 6 Oktober 2010. Wanita asal Melbourne yang sudah hampir 20 tahun hidup di Ubud itu, adalah penggagas UWRF di bawah Yayasan Mudra Swari Saraswati, sebuah yayasan yang didirikannya bersama sang suami. Janet berharap, di tahun-tahun berikutnya, UWRF tetap menjadi salah satu festival sastra favorit, yang bisa memberi semangat para sastrawan untuk menghasilkan karya terbaiknya.

UWRF adalah salah satu festival sastra terbaik di Asia. Tak banyak sastrawan yang bisa ikut menjadi peserta di festival tersebut. Saya bahagia karena pada 2010 ini menjadi salah satu peserta undangan asal Indonesia yang dipilih tim kurator yang terdiri dari Triyanto Triwikromo (Semarang), Cok Sawitri (Bali) dan Aan Mansyur (Makassar). Saya juga bahagia karena bisa berkomunikasi dengan 100 lebih penulis dari 30 negara yang melamar untuk ikut dalam iven ini, meski dengan alat komunikasi yang sangat terbatas. Tetapi sastra, adalah alat komunikasi yang tanpa batas.

Peserta dari Indonesia yang diundang dari seleksi ratusan sastrawan yang melamar adalah Kurnia Effendi (Jakarta), Medy Loekito (Jakarta), Nusya Kuswatin (Jawa Timur), Hermawan Aksan (Bandung), Wendoko (Jakarta), Benny Arnas (Lubuklinggau), Imam Muhtarom (Surabaya), Hary B Kori’un (Pekanbaru), Iwan Darmawan (Bali), Magriza Novita Syahti (Padang), Ni Made Purnamasari (Bali), Arif Rizki (Padang), Andha S (Padang), Zelfina Wimra (Padang), Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta) dan W Hariyanto (Surabaya). Selain kami, panitia juga mengundang Dewi Lestari, Sunaryono Basuki KS, Toenggoel Siagian, Sosiawan Leak, Debra Yatim, Noor Huda Ismail, dan beberapa penulis lainnya.

Keberadaan saya di Ubud, juga sebuah “kebetulan”. Ini berkali-kali saya tekankan kepada beberapa teman yang bertanya apakah benar saya diundang di festival yang selama ini tak pernah terpikirkan dalam angan saya ini –karena saya yakin sampai kapanpun tak akan bisa sampai ke sana. Faktor kebetulan ini memang benar adanya, karena saya tak pernah melamar (dengan mengirimkan karya berupa buku sastra yang sudah diterbitkan atau dalam bentuk cerpen, sajak, dan esai yang kemudian diseleksi para kurator). Lima bulan sebelum festival, saya diberi tahu oleh Syafruddin Azhar, senior editor Penerbit Kakilangit Kencana, bahwa nama saya lolos untuk ikut festival. Dua hari kemudian, panitia UWRF mengirimkan surat resmi melalui e-mail.

Saya harus berterima kasih kepada editor saya itu, karena novel terakhir saya yang diterbitkan penerbitnya, yakni Nyanyian Kemarau, dikirim oleh Syafruddin ke panitia UWRF bersama beberapa novel penulis lainnya. Novel yang juga “dihargai” menjadi nominator Anugerah Sagang 2010 itulah yang mengantarkan saya ke UWRF bersama tiga penulis dari Kakilangit Kencana lainnya, yakni Nusya Kuswantin dan Hermawan Aksan. Saya juga harus berterima kasih kepada Hivos yang telah membiayai keberangkatan saya dan menanggung semua kebutuhan saya selama di Ubud.
***

Ubud, yang menjadi salah satu kota utama tujuan wisata di Asia Pasifik, memang tempat favorit orang asing. Bukan hanya karena eksoktisme alamnya, mulai dari sawah terasering hingga pasar seni, juga keramahan penduduknya (yang menjadi salah satu setting film Hollywood yang kini sedang diputar di gedung-gedung bioskop di Indonesia yang diperankan oleh Julia Robert, yakni Eat Pray Love), Ubud memang sebuah tempat “yang dipersembahkan Dewata” –begitu penduduk Ubud meyakini. Ada ketenangan, aroma kembang yang relijius di semua tempat, orang-orang yang sabar di jalan yang selalu macet, hujan yang bisa datang berkali-kali dalam sehari…

“Lama-lama di sini, saya bisa meninggalkan keluarga di Jakarta untuk menetap di Ubud,” kata salah seorang teman yang tak mau namanya ditulis, yang merasa waktu seminggu menjadi sangat sebentar.

Hingga festival keenam 2009, UWRF telah mendapatkan predikat sebagai One of The World’s Great Book Festival oleh Conde Nast Travel and Leisure, Among The Top Six Literary Festival in World’s oleh Harper’s Bazzar dan The Best Art Event 2006 oleh The Beat Magazine.

UWRF pertama kali digelar tahun 2004 sebagai respon atas tragedi Bom Bali I 2003. Pasca Bom Bali itu, para turis asing banyak yang memilih pulang ke negerinya, atau tak mau dan tak bisa datang ke Bali karena travel warning yang dikeluarkan banyak negara agar tak berkunjung ke Indonesia, terutama Bali. Orang Australia dan Selandia Baru adalah turis asing terbanyak di Bali, terutama Ubud, selain Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Hongkong. Ketika itu, Bali seperti menjadi pulau indah yang sepi dan lengang. Kafe-kafe, hotel, pantai atau bukit-bukit yang sebelumnya sangat ramai orang asing, tiba-tiba sepi. Ekonomi Bali yang mengandalkan sektor pariwisata, seperti mati suri.

Janet de Neefe, yang sangat mencintai Bali, sedih dengan keadaan itu. Dia kemudian mengajak teman-temannya sesama orang Australia untuk melakukan sesuatu agar orang asing mau kembali datang ke Ubud, untuk menjelaskan bahwa Bali (terutama Ubud) sangat aman bagi siapapun. Setelah berbagai pembicaraan dilakukan dengan teman-temannya, kemudian diputuskan bahwa iven UWRF menjadi pilihan. Janet kemudian merayu suaminya, Ketut Suardana, untuk meminjamkan modal penyelenggaraan awal, dan setelah itu didirikanlah Yayasan Mudra Swari Saraswati sebagai penyelenggara UWRF.

“Perjuangan Janet dan suaminya untuk menyelenggarakan iven ini sangat luar biasa hingga menjadi salah satu festival sastra terbaik di dunia hingga saat ini,” jelas Kadek Purnami, Community Development Manager UWRF.

Festival pertama berlangsung pada 11-17 Oktober 2004 dengan tema Through Darkness to Light/Habis Gelap Terbitlah Terang, yang diikuti oleh 128 penulis dari 11 negara. Kemudian yang kedua tahun 2005 dengan tema Between World’s/Antar Benua. Inilah festival yang diselenggarakan dalam suasana duka karena empat hari sebelum acara berlangsung, terjadi Bom Bali II. Namun Janet dan “pasukannya” tak patah arang. Festival tetap berlangsung diikuti 100 penulis, hanya beberapa penulis asing yang membatalkan kedatangannya. Hingga 2010 ini, UWRF sudah tujuh kali diselenggarakan, dan tahun ini dengan peserta terbanyak dari 30 negara. Tema 2010 adalah Bhineka Tunggal Ika (Harmony in Diversity), yang memberi penekanan pada pentingnya penghormatan pada keberagaman (pluralitas dan multikultur) saat dunia memasuki era tanpa batas.

“Dalam kondisi seperti ini, kearifan lokal amat penting. Kebudayaan lokal adalah kekayaan yang luar biasa, dan Indonesia memiliki ribuan budaya lokal. Saya kira, Anda harus bangga dengan itu sebagai orang Indonesia. Tidak semua negara memiliki kekayaan seperti itu,” ujar Ezra Bix, penyair asal Australia yang juga ikut berkunjung ke Pekanbaru dalam acara satelite event yang diselenggarakan UWRF.
***
YANG menarik dari festival ini adalah bagaimana penyelenggara menjadikan acara sastra, yakni panel diskusi, bisa menjadi sebuah “tontonan” yang mengundang orang untuk ikut di dalamnya dengan membeli tiket masuk yang harganya sangat tinggi. Untuk bisa mengikuti panel diskusi, seorang pengunjung festival harus membayar Rp200-500 ribu rupiah. Tentu ada beberapa iven yang diberikan gratis, seperti pertunjukan dan beberapa panel yang memang dibuat gratis.

Menjual sebuah diskusi sastra bukanlah perkara mudah. Di daerah-daerah di luar Ubud, di Pekanbaru misalnya, bahkan diberikan gratis dengan pembicara terkenal sekalipun, tak banyak orang yang mau mengikutinya. Tetapi di Ubud, hampir semua panel diskusi diserbu para pembaca sastra dari berbagai daerah di Indonesia yang sengaja hadir di sana, juga dari berbagai negara. “Ini festival sastra internasional yang sangat bergengsi, dan saya jauh-jauh datang dari Vietnam untuk bisa hadir di sini,” ujar Nguyen Van Pamh, seorang mahasiswa dari sebuah universitas di Ho Chi Mint, Vietnam, di Indus Cafe, saat sebuah panel berlangsung.

Saking mahalnya untuk ikut iven ini, banyak pecinta sastra yang “mengubah” dirinya menjadi volunteer untuk ikut ke Ubud. Kebetulan, panitia memang memerlukan ratusan volunteer, dan mereka datang dari berbagai negara, seperti Irlandia, Amerika Serikat, Australia, Vietnam, Inggris, Jerman, Prancis dan dari berbagai daerah di Indonesia. Hellen Sjuhada dan Jean Marlon Tahitoe, misalnya. Dua gadis asal Jakarta dan Bandung ini memiliki pekerjaan tetap di kotanya. Hellen adalah redaktur Majalah Femina, sedang Jean adalah seorang penyir radio di Bandung. Namun keduanya rela mengambil cuti untuk mendaftar menjadi relawan di acara ini.

“Kami tak langsung diterima, harus melamar dengan berbagai persyaratan yang ketat, dan pendaftarnya ribuan,” ujar Jeans, gadis berdarah Maluku ini. Sementara menurut Hellen yang juga masih berstatus mahasiswi di Komunikasi UI, dia mau menjadi relawan karena ingin sekaligus liputan di UWRF. “Soalnya, kalau mendaftar untuk meliput, sangat terbatas,” jelasnya.

Menurut Wayan Juniartha, Indonesiaan Program Coordinator UWRF, para penulis asing yang datang ke festival ini juga harus mengirimkan proposal dan membiayai diri sendiri karena panitia UWRF tak menyediakan fasilitas apapun dengan gratis. Dia mencontohkan, beberapa penulis asing seperti Rabih Alamanddine (Lebanon) didanai oleh Kedutaan Amerika untuk ikut ke UWRF; Ricardo M de Ungria (Filipona) mendapat didanai oleh National Commission for Culture and Arts of Philippines; Joan London (Australia) dibiayai oleh Australia Council; Sitor Situmorang (Indonesia/Prancis) didanai oleh Indonesian Heriatage Society; atau Anne-Ruth Wertheim (Belanda) yang dikirim oleh Letterenfonds and Kingdom of Netherlands. Sementara para penulis Indonesia didanai oleh Hivos, sebuah lembaga asing yang sangat konsen terhadap sastra dan budaya. Para penulis Indonesia, hampir semuanya didanai oleh Hivos.

“Tak ada penulis asing maupun Indonesia yang gratis datang ke UWRF. Kalau mereka tak didanai oleh founding, mereka biasanya dikirim oleh penerbitnya atau biaya sendiri,” jelas Juniartha yang juga wartawan The Jakarta Post itu.

Pengalaman para penulis baik dari Indonesia maupun asing, sangat beragam. Keterbatasan komunikasi (seluruh acara festival memakai Bahasa Inggris) adalah salah satunya. Namun, itu tak membatasi terjadinya dialog, karena ada penerjemah yang selalu ada jika dibutuhkan. Banyak penulis Indonesia yang menggunakan jasa penerjemah, selain beberapa yang memang fasih berbahasa Inggris.

“Saya baru sekali ini ikut sebuah acara sastra internasional. Ini adalah pengalaman sangat berharga bagi saya bisa berbagi pikiran dengan teman-teman sastrawan dari berbagai negara,” ujar Maghriza Novita Syahti, cerpenis asal Padang, yang merupakan peserta termuda dalam iven ini. Maghriza, yang dalam salah satu panel diskusi menjadi pembicara bersama Imam Muhtarom (Surabaya) dengan tema Surreal Worlds (Dunia yang Tak Nyata) dengan lugas dan tanpa takut bicara tentang latar belakang cerpen-cerpennya yang absurd. Salah satu cerpennya yang menjadi pembicaraan dalam diskusi dan peluncuran buku antologi adalah “Tiga Wanita dalam Hitam” yang diterjemahkan menjadi Three Women in Black oleh Toni Pollard. Menurut Pollard, untuk gadis berusia 20 tahun seperti Maghriza, apa yang ditulisnya sangat luar biasa.

Saya sendiri mendapat dua panel diskusi sebagai pembicara. Yang pertama bersama Kurnia Effendi dan Zelfeni Wimra pada Kamis (7/10) di Citibank Laiunge, dengan tema The Power of The Short. Ini tema yang agak “aneh” bagi saya, karena harus bercerita kekuatan karya-karya pendek seperti cerpen, sementara saya “terbiasa” menulis novel. Namun, sebenarnya, novel adalah karya yang “pendek” karena tak semua bercerita tentang keseluruha keseharian sang karakter. Saya menjelaskan bahwa salah satu kekuatan tema sastra Riau hari ini adalah tentang keterasingan masyarakat yang seolah menjadi penonton dalam proses sosial-ekonomi raksasa yang ada di tanahnya. Seorang peserta diskusi asal Jakarta, Hary Surjadi, yang juga aktivis lingkungan, sempat bertanya apakan latar realitas yang saya bawa dalam novel-novel saya, bisa mempengaruhi para pengambil keputusan. Saya jawab, bahwa tugas seorang pengarang adalah menulis, dan apa yang terjadi setelah itu adalah masalah lain, karena karya itu yang akan berbicara sendiri. Beberapa peserta asing sangat tertarik dengan sub-tema yang saya tawarkan, dan mereka berjanji akan mencari literatur tentang Riau hari ini.

Pada panel kedua bertajuk Journalists Making it Up, saya semeja dengan Nusya Kuswantin dan Ioannis Gatiounnis (penulis dan wartawan yang tinggal di Kuala Lumpur berdarah Yunani) di Indus Cafe. Ratusan peserta yang duduk di depan kami hampir semuanya bule. Pokok bahasannya adalah tentang “dunia terbelah” yang harus dilakukan oleh para wartawan yang juga menulis sastra. Kebetulan, Nusya adalah mantan wartawan Kompas dan Surya di Jatim. Nusya menjelaskan, pada dasarnya, ketika menjadi penulis sastra, seorang wartawan justru diuntungkan dengan banyaknya realitas yang sering didapatkan di lapangan. “Tetapi sebagai sebuah fiksi, karya yang ditulis juga harus ada unsur fiksi,” jelas penulis novel Lasmi, novel berlatar komunis tahun 1965 dengan setting di Jatim.

Ioannis juga demikian. Menurutnya, pekerjaan wartawan yang serius dan penulis yang lebih santai, akan memudahkan dirinya dalam mendapatkan tema-tema penting. “Tidak semua persoalan nyata yang saya dapatkan di lapangan bisa dijadikan fiksi. Fiksi tetap fiksi dengan segala aspeknya, dan jurnalistik adalah fakta yang tak bisa disamakan dengan fiksi. Namun keduanya saling membantu,” jelas penulis novel Velvet and Cinder Blocks ini.

Benarkah jurnalis mengada-ada ketika membawa persoalan nyata ke dunia fiksi? Saya dan Nusya sepakat, bahwa “mengada-ada” bukanlah kata yang tepat, karena dengan persoalan nyata tersebut, justru lebih memudahkan dalam membentuk karakter fiksi. Saya menjelaskan tentang karakter Martinus Amin dalam Nyanyian Batanghari dan Rusdi dalam Nyanyian Kemarau. Mereka adalah karakter fiksi, meski dalam plot mereka hidup di dunia “nyata” yang memang benar-benar terjadi. Kebetulan, kedua karakter itu pernah “hidup” dalam tragedi Mei 1998 yang menjatuhkan rezim Soeharto.
***

ADA ratusan panel diskusi yang tak semua bisa diikuti oleh semua penulis. Selain waktunya yang sering bersamaan, juga karena tidak semua panel bisa diikuti oleh para peserta yang nirbayar. Selain itu, tempat yang berjauhan juga menyulitkan semua peserta untuk ikut semua panel. Selain di Neka Museum, Citibank Laounge dan Indus Cafe (ketiganya di Jl Sanggingan Ubud), beberapa venue di luar Ubud juga dipakai, seperti di Denpasar, Singaraja atau Kuta.

“Inilah uniknya festival ini. Semua peserta yang ikut pasti mendapatkan waktu sebagai pembicara dalam panel diskusi, dan itu perjuangan yang tidak ringan dari kami di program acara,” ujar Wayan Juniartha dan Kadek Purnami yang sempat datang ke Pekanbaru dalam satelite event.

Dari tahun ke tahun, ujar Juniartha, peminat UWRF terus bertambah dan penyelenggara harus secara ketat melakukan seleksi. “Tapi yakinlah, peserta dari Indonesia tetap terbanyak, 15 orang, dan semua mendapatkan minimal 2 panel diskusi, mengisi workshop dan membacakan karya,” jelas Juniarta.

UWRF memang festival sastra yang unik, menarik, eksoktik, megah dan inspiratif. Kita seolah berada di alam lain, di luar keseharian sastrawan Indonesia lainnya. Ketika mengikuti Gala Opening, saya merasa menjadi sangat minoritas di Puri Ubud, sebab, dari hampir 2 ribu orang yang hadir, hampir semuanya orang asing, dan orang Indonesia yang hadir di sana bisa dihitung dengan jari. “Kita jadi minoritas di negeri sendiri,” kata Yudhi Herwibowo, novelis asal Solo.

“Tapi ini menarik, karena hampir semuanya adalah pecinta sastra. Tak banyak orang Indonesia yang mencintai dan membeli buku sastra,” sambung Imam Muhtarom.

“Sepulang dari sini, saya akan menulis novel, karena saya tak berhasil menulis novel selama ini,” ujar Benny Arnas yang baru saja menerbitkan kumpulan cerpennya, Bulan Celurit Api.

Ya, banyak hal yang didapat di sana. Tentang bagaimana menghargai kerja kebudayaan, mencintai buku sastra, antusiasme para pembaca, atau tentang bagaimana mengelola iven sastra agar dihargai masyarakat di luar sastra. Dan UWRF berhasil melakukannya, meski kelemahan tetap ada di sana-sini.***

*) Wartawan Riau Pos dan penulis novel yang kebetulan diundang ke Ubud Writers & Readers Festival 2010.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati