Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Tradisi ilmiah dan kehidupan intelektual di negeri ini, mesti diakui, masih centang-perenang. Para dosen dan peneliti kita terpaksa harus menggunakan kata nyambi dan cawe-cawe sekadar untuk menghidupi asap dapurnya. Meski begitu, masih banyak di antaranya yang tetap setia dan bertanggung jawab pada profesi. Mereka juga tidak melupakan peran sosialnya dengan bekerja dan berkarya. Bagaimana hasilnya, masyarakat yang kelak menilainya.
Dalam kondisi kehidupan ilmiah yang masih centang-perenang itu, sejak zaman Belanda hingga kini, kiblat dunia pendidikan kita masih saja ke Barat. Jadilah, suka tak suka, sistem pendidikannya juga berorientasi ke sana. Termasuk di dalamnya tradisi kritik sastra! Dalam lingkaran itulah, kritik sastra Indonesia ngulet, menggeliat, kemudian merangkak bangun.
***
Jika ditarik ke belakang, sesungguhnya tradisi kritik sastra Indonesia relatif belum bersejarah panjang. Meski begitu, praktiknya justru terjadi sejak awal abad ke-20, seperti dapat kita lihat di media massa yang terbit dekade itu. Periksa saja komentar Tirto Adhi Soerjo mengenai cerita-cerita yang dimuat Medan Prijaji (1907-1912) atau Poetri Hindia (1908-1911). Majalah Pandji Poestaka, bahkan menyediakan rubrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam edisi 5 Juli 1932, muncul artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel ini yang pertama secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia. Dalam Pandji Poestaka edisi November 1932 — Maret 1933, dimuat pula secara berturut-turut tulisan Alisjahbana, “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe” yang secara teoretis menolak style dan bahasa klise dalam kesusastraan tradisional sambil mengajukan ciri-ciri sastra Indonesia modern.
Dalam majalah Poedjangga Baroe (1933) berbagai tulisan tentang sastra, tidak cuma berupa ulasan ringkas dan resensi, tetapi juga uraian mengenai konsep teoretis sastra dalam kaitannya dengan estetika, seni, dan kebudayaan Indonesia. Cermati tulisan Sutan Takdir Alisjahbana “Menoedjoe Seni Baroe” (Juli, 1933) dan “Poeisi Indonesia Zaman Baroe” (I-VI: September 1934-Februari 1935), Armijn Pane “Kesoesasteraan Baroe” (I-IV: Juli-Oktober 1933), Hoesein Djajadiningrat “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib” (I-V: November 1933-Maret 1934) dan Amir Hamzah “Kesoesasteraan” (I-IV: Juni 1933-September 1934) dan “Pantoen” (Maret 1934). Secara mendalam, mereka mencoba merumuskan konsepsi dan estetika sastra Indonesia, baik tradisional maupun modern. Ada dua arus besar pemikiran mengenai rumusan mereka: (1) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut pemikiran Barat yang diangkat Alisjahbana, dan (2) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut kultur Timur (termasuk Indonesia) yang dikedepankan Djajadiningrat dan Amir Hamzah.
Sebuah majalah yang terbit di Medan (1937), Pedoman Masjarakat, juga memuat ulasan dan resensi, meskipun masih dalam bentuk yang ringkas. Salah satu hal penting dari berbagai tulisan dalam majalah ini adalah munculnya semacam gerakan sastra di luar Balai Pustaka yang tidak mengikuti mainstream Poedjangga Baroe. Medan kemudian menjadi salah satu pusat penerbitan novel seperti itu. Karena formatnya begitu sederhana dengan cetakan dan kertas berkualitas rendah, harga jualnya jadi begitu murah. Dari sanalah lahir istilah roman picisan yang merujuk pada uang sepicis, sebagaimana yang diperkenalkan Dr. R. Roolvink (1952).
Pada zaman Jepang, pembicaraan mengenai konsep sastra cenderung terfokus pada fungsi sastra, tugas sastrawan, dan penolakan konsep seni untuk seni. Masalahnya berkaitan dengan kepentingan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Fungsi sastra dimanfaatkan untuk propaganda, dan tugas seniman memberi penyadaran akan semangat cinta tanah air, kerelaan berkorban, dan keberanian menghadapi perang. Majalah Djawa Baroe, harian Asia Raja, dan jurnal Keboedajaan Timoer –sekadar menyebut beberapa– adalah media massa yang dijadikan corong Pemerintah Jepang waktu itu.
Awal merdeka, kita melihat perdebatan seru mengenai konsep estetik Angkatan 45 berikut gagasan humanisme universal. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan representasi dari elan dan semangat Angkatan itu atas gerak dan kesadaran membangun dan mengisi kebudayaan Indonesia di masa mendatang. Masalah angkatan dan konsep kesusastraan, juga menjadi polemik hangat yang menjadi wacana pemikiran intelektual Angkatan 45.
Di tengah terjadinya polemik itu, Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) lahir dan mengusung humanisme proletariat lewat realisme sosialis dan konsep seni untuk rakyat. Pada dekade itu Jassin menerbitkan sejumlah bukunya yang berisi berbagai artikel yang pernah dimuat media massa. Inilah yang mengawali buku kritik sastra Indonesia. Teeuw juga mempublikasikan buku kritiknya, Pokok dan Tokoh (1952), meski isinya lebih dekat pada sejarah sastra Indonesia. Pada dasawarsa itu, terjadi perseteruan para pendukung gagasan humanisme universal dengan Lekra. Puncaknya jatuh pada Manifes Kebudayaan, 19 Oktober 1963 yang kemudian dibekukan Presiden Soekarno, 8 Mei 1964.
Memasuki zaman Orba, masalah konsep dan operasionalisasi kritik sastra lebih tegas dirumuskan dalam Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia, 31 Oktober 1968. Lahir dua arus pemikiran yang bermuara pada Aliran Rawamangun dan metode Ganzheit. Di luar terjadinya perbedaan pandangan dua arus pemikiran itu, sejak itu kritik sastra menjadi salah satu bagian penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra. Mengingat penguasa Orba selalu menyeragamkan apapun, termasuk pendidikan, maka di semua institusi pendidikan sastra diberlakukan kurikulum nasional. Di dalamnya termuat telaah atau kajian sastra yang tak lain adalah kritik sastra. Itulah perjalanan kritik sastra menjadi bagian penting –seperti juga mata kuliah telaah lainnya– dalam dunia akademik.
Tak dapat dinafikan sumbangan Aliran Rawamangun bagi institusi sastra di negeri ini. Penelitian yang dihasilkan para pendukung aliran ini, seperti M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, J.U. Nasution, atau Lukman Ali, kerapkali menjadi acuan, bagaimana operasionalisasi kritik akademis dilakukan. Bahkan, disertasi Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and His Language” (Den Haag, 1972) menjadi rujukan penting bagi peneliti Barat yang hendak “memahami” Chairil Anwar.
Sampai pertengahan dasawarsa 1980-an, berbagai macam buku kritik sastra, terus bermunculan. Yang berupa kritik teoretis dapat disebutkan beberapa di antaranya, karya Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern (1988), antologi artikel yang dihimpun Ariel Heryanto, Perdebatan Sastra Kontekstual (1985) atau kumpulan makalah yang disusun Mursal Esten, Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (1988). Yang berupa kritik terapan, secara kuantitatif lebih banyak lagi. Beberapa di antaranya, Novel Baru Iwan Simatupang (1980) dan Hamba-Hamba Kebudayaan (1984) karya Dami N. Toda, Sastra dan Religiositas (1982) karya Y.B. Mangunwijaya, Dialog antara Dunia Nyata dan tidak Nyata (1989) karya Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Menelusuri Makna Ziarah karya Iwan Simatupang (1990) karya Okke K.S. Zaimar.
Terbitnya buku yang membincangkan kritik teoretis dan kritik terapan yang beraneka macam itu memperlihatkan betapa semarak kehidupan kritik sastra Indonesia. Lalu bagaimana sesungguhnya peta kritik sastra Indonesia, baik yang dihasilkan kaum akademis, sastrawan, maupun sastrawan yang sekaligus juga kaum akademis. Dalam hal ini, kerja keras Rachmat Djoko Pradopo merupakan tonggak penting dalam usahanya menginventarisasi, mengklasifikasi, serta memetakan panorama kritik sastra Indonesia.
Dalam disertasi Rachmat Djoko Pradopo “Kritik Sastra Indonesia Modern: Telaah dalam Bidang Kritik Teoretis dan Kritik Terapan” (1989) yang hampir setebal bantal (949 halaman) itu—kemudian diterbitkan secara utuh sebagai buku berjudul Kritik Sastra Indonesia (Gama Media, 2002), dideskripsikan dan sekalian dianalisis secara mendalam dan luas berbagai jenis kritik sastra Indonesia sejak periode Balai Pustaka sampai penolakan teori kritik sastra khas Indonesia akhir dekade tahun 1980-an. Inilah penelitian yang sangat komprehensif mengenai panorama dan berbagai alur pemikiran dalam kritik sastra Indonesia.
Memasuki dasawarsa akhir abad ke-20, penerbitan karya para peneliti masih terus berlangsung. Bahkan, belakangan ini, sejumlah penerbit melakukan semacam “perburuan” naskah hasil penelitian kaum akademis. Jadi, jika faktanya begitu, adakah alasan lain yang memaksa entah siapa untuk berkata: “Krisis kritik sastra Indonesia?”
***
Bersamaan dengan pudarnya pengaruh Aliran Rawamangun, di berbagai institusi sastra mulai gencar dipelajari macam-macam teori kritik mutakhir. Praktik kritik sastra tidak lagi terpaku pada pendekatan struktural, baik yang mengacu pada gagasan Roland Barthes, maupun Kritik Baru (New Criticism) Amerika. Kejenuhan terhadap pendekatan ini, secara langsung telah membuka peluang penerapan berbagai macam jenis kritik.. Yang kini hangat, selain psikologi dan sosilogi sastra, juga kritik feminis, kajian budaya (cultural studies), dan New Historicism: sebuah gerakan kesadaran sejarah baru –sebagai reaksi atas New Criticism– dalam kritik sastra yang coba memanfaatkan berbagai macam aliran, mazhab, dan teori. Di luar itu, penggalian terhadap sumber-sumber kritik sastra Timur, juga terus dilakukan. Disertasi Bambang Wibawarta, “Modernisasi Jepang dalam Karya-Karya Mori Ogai” (2000) memberi cerita lain mengenai teori sastra Barat, khasnya strukturalisme dan “kematian pengarang” Barthes. Dalam sastra Jepang, “pengarang dapat dianggap sebagai sebuah teks” yang justru penting untuk melengkapi pemahaman teks yang dihasilkannya.
Karya Abdul Hadi WM, Tasauf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (2001), meski tidak menafikan teori sastra Barat, juga mengangkat hermeneutik dari tradisi intelektual Islam, terutama bersumber dari gagasan Ibn Arabi dan Al-Ghazali. Dengan begitu, kritik sastra Indonesia di masa hadapan, bakal makin semarak dengan masuknya tidak hanya pengaruh Barat, tetapi juga Timur. Bahkan, boleh jadi dari kultur dan estetika sendiri, seperti yang diangkat dalam disertasi Sapardi Djoko Damono, Novel Jawa tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1989).
Dalam konteks kritik sastra Indonesia, meski diakui, teori dan kritik sastra Barat tidak dapat kita hindarkan. Namun, tidaklah berarti kita lalu menelan bulat-mentah. Jadi, mengulang pernyataan yang lalu: ia sekadar kendaraan yang dapat dimuati apa pun dan ditumpangi siapa pun, sesuai dengan kebutuhan dan arah yang menjadi tujuannya. Jika begitu, tentu saja tidak perlu pula kita memberhalakannya. Barangkali, ada benarnya juga pepatah Minang ini: “Tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua” (Terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar).
(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar