Kisahan kecil tentang Proses Kreatif cerpen “Ephyra”
Dwicipta
http://pawonsastra.blogspot.com/
Awalnya saya mendambakan hujan lebat mengguyur kota yang telah kering kerontang setelah didera kemarau lebih lama dari biasanya. Air tercurah dari langit, membasahi dedaunan, atap rumah, permukaan aspal; menggenangi selokan, kanal-kanal air dan riol tak terurus di hampir penjuru kota; memenuhi rongga dalam dasar hatiku dan meluap ke sekujur tubuh kesadaranku. Hari berkabut, menipu pandangan. Guruh mengaduh sampai jauh, pekikan lirih menyusup di kalbu. Lalu angin datang menderu, dan selarik sajak Goenawan Mohammad menghampiri ujung lidah. Di telingaku kudengar suara asing itu.
…Lalu hujan akan turun//amis…”
Dan aku masih mematung di depan pintu rumah sore itu, melihat sisi lain dari hujan yang tercurah di depanku. Seperti apakah hujan yang amis itu? Pikiranku mengembang tiba-tiba. Aku teringat sebuah cerpen bagus Ernest Hemingway, ‘Cat In The Rain,’ yang baru saja kubaca entah kesekian kalinya di American Corner. Masih belum lenyap ulah Hemingway yang dengan jeli memisahkan status si tokoh perempuan ketika sedang berada di kamar hotel bersama suaminya dan ketika sedang keluar dari hotel dan berhadapan dengan pelayan tua nan anggun itu. Di dalam kamar, Hemingway menyebutnya ‘Nyonya’ atau kata ganti yang menunjukkan statusnya sebagai seorang istri. Sementara di luar kamar, ia menyebut perempuan itu dengan kata ‘Si Gadis.’ Alangkah cerdasnya, seperti Goenawan Mohammad yang mampu melihat hujan bukan dalam penggambaran umum, tapi dengan mengatakan sesuatu yang baru dan terengar subversif, ‘hujan amis.’
Masih di American Corner, seperti keisengan kecil yang biasa kulakukan hampir setiap hari di sana, kudekati kamus besar Webster Dictionary dan membolak-balikkan halaman demi halaman, mencari keasingan lain dalam belantara kata-kata unik bahasa Inggris. Perbuatan itu selalu kulakukan, karena menurutku seorang penulis adalah orang yang memiliki dua dunia: satu dunia yang berjalan seperti biasanya, dunia yang dijalani oleh hampir setiap orang tanpa kecuali -dan seringkali kusebut dengan nada masygul sebagai dunia yang terlalu banyak mengikat; sedangkan satunya lagi adalah dunia keasingan, dunia yang mendekatkan diriku dengan proses penciptaan. Lidahku memang terbiasa dengan kata-kata dalam bahasa Jawa atau Indonesia, begitu juga dengan alam pikiranku. Namun aku mendekati keasingan lain dalam ranah bahasa yang asing, berusaha menjenguk dunia misterius yang ada dalam bahasa Inggris. Aku yakin, dalam beberapa tahun ke depan, bahasa Inggris yang semula asing inipun tak akan lagi asing untukku, sampai hal-hal yang sekecilnya. Selagi ia masih asing, dan tampak menarik bagiku, ia akan selalu menjadi mata air bagi proses kreatifku. Selalu seperti itu, sehingga keasingan memenuhi rongga dadaku, meleburkan aku dalam ketiadaan, sampai ‘Si burung kecil’ dalam kepalaku bersiul dengan sangat indahnya.
Di masa kecilku, ketika kebanyakan anak-anak kecil seusiaku berpikir serta membayangkan bahwa Tuhan adalah makhluk amat besar, lebih mengerikan daripada raksasa atau segenap wajah setan yang sering dihadirkan oleh film-film horor, aku justru membayangkan bahwa Tuhan adalah ‘Burung kecil yang setiap pagi bersiul sangat indah dalam kepalaku, membangunkan aku dari tidur lelap sejak malam, mengajakku mulai melakukan aktifitas harian seperti biasanya.’ Tuhan bagiku bukan ‘Makhluk’ yang suka melarang ini dan itu, tapi sebagai Makhluk yang membebaskan aku untuk melakukan ini dan itu, tentu saja dengan siulannya yang sangat indah dan menakjubkan.
Sampai aku menjadi seorang penulis, Tuhan bagiku tidak pernah berubah: Ia tetap burung kecil yang bersiul sangat indah dalam kepalaku. Hanya saja, jika dulu aktifitasku lebih beragam, sekarang burung kecil itu lebih mengarahkan aku pada aktifitas tunggal: menulis! Maka ketika aku membuka pintu keasingan sebuah dunia, baik dalam wilayah bahasa maupun keasingan sebuah pengalaman, dan diri mulai menjadi tiada, Si Burung kecil dalam kepalaku itu mulai bernyanyi dengan siulan-siualan luar biasanya.
Siang itu, ketika kubuka kembali Webster Dictionary yang sangat tebal dan mulai mengacak-acak halamannya, tiba-tiba aku tersentak dan menemukan sebuah kata ganjil, “Ephyra.” Aku terpikat dan membaca asal-usul kata itu. Kuketahui kemudian bahwa ia adalah seorang dewi dalam legenda Yunani. Alih-alih tak begitu peduli dengan karakter dewi Ephyra, aku justru tertarik dengan nama itu, susunan hurufnya, dan suara yang dihasilkan setiap kali melafalkannya. Cara aku mengucapkannya seperti bersiul, menghembuskan udara kuat-kuat dari sela-sela gigi dan gerakan bibir menekan empat gigi depanku. Bila untuk seorang perempuan, sekalipun ia tidak cantik, minimal orang akan terpukau dengan nama yang indah itu.
Dunia ini memang seringkali menipu. Dan akan kutipu pembaca tulisanku dengan memberikan nama yang indah untuk tokoh tulisanku, desisku dalam hati. Ephyra bukanlah nama yang jelek, justru sebaliknya, akan membikin orang bertanya-tanya apa artinya dan darimana nama itu berasal. Aku meninggalkan Webster Dictionary dengan luapan kegembiraan karena telah menemukan sebuah nama untuk tokoh ceritaku.
Berhari-hari sebelum aku menemukan nama Ephyra dari Webster Dictionary, aku mengalami kegilaan pada karya-karya Ernest Hemingway. Kubaca kembali cerita-cerita pendeknya yang luar biasa itu, mempelajari susunan kalimat-kalimatnya yang sangat efisien dan nampak mengembang sampai bisa menciptakan ruang prosaik yang jauh lebih besar daripada ceritanya sendiri dalam kepala kita. Tak bisa kupungkiri aku hampir mengagumi semua cerita pendeknya, mulai dari kumpulan cerpen In Our Time, Men without Women, sampai karya yang diterbitkan setelah kematiannya yang menyesakkan itu, Movable Feast. Imajinasiku melambung kemana-mana. Aku membaca ‘After the Storm-nya Hemingway, dan bersorak karena lahir ‘penemuan’ pertamaku yang menandai pengaruh Hemingway pada karya-karya Gabriel Garcia Marquez. Aku sendiri teramat yakin novel pertama Marquez, Leaf Storm, berasal dari ceita pendek luar biasa ini. Dan seno Gumira Ajidarma, prosais Indonesia paling menonjol sekarang ini, karya-karyanya yang sangat ringan tapi menggugah itu aku kira tak bisa dilepaskan dari pengaruh Hemingway. Kemanapun aku pergi, tak bisa kulepaskan khayalanku pada baris-baris tulisan atau deskripsi Hemingway.
Malam harinya, setelah impian akan sore berhujan lebat itu tak kesampaian, tak bisa kupejamkan mataku sama sekali. Seorang kawan yang berkunjung ke rumah justru menerbitkan kejengkelan karena memutus pengembaraan imajinasiku. Aku berang padanya, sementara ia terus berceloteh tentang tugas akhirnya yang tak rampung-rampung. Bahkan setelah ia pulang, perasaan berangku itu terus berpijaran. Aku harus pergi ke warnet dan mencari sesuatu di sana, barangkali ada yang harus aku baca.
Kubuka email pribadiku dan membacai surat-surat elektronik yang masuk setelah dua hari tak dibuka sama sekali. Berita-berita bagai arus sampah yang mengalir ke dalam ketiadaan: begitu dibaca langsung dilupakan. Burung kecil dalam kepalaku mulai bersiul-siul indah, seolah memerintahkan aku menulis. Kuikuti perintahnya yang misterius, mulai membuka program Microsoft Word. Dengan kata apa harus kumulai ceritaku? Terbayang Hemingway dan kejengkelanku pada teman yang datang ke rumah dan mengganggu aliran imajinasiku, menyembul kemarahan-kemarahanku yang lain, kemuakanku pada banyak hal yang hadir di sekelilingku. Siapakah penawar segala kemuakan itu? Kalimat pertama kumulai begini:
“Selalu, dalam kebosananku pada apapun, ia selalu datang menghiburku. Kadang-kadang berbicara tentang kucing yang kehujanan sendirian di teras rumahnya, seekor laba-laba yang membuat sarang di sudut langit-langit kamar dan beberapa kunang-kunang setiap sehabis hujan ketika ia membuka jendela dan berniat menyerap harum aroma tanah basah, mencoba menyihir jaga mataku dan membuatku terlelap.”
Dalam dua kalimat itu, sebenarnya aku membicarakan Hemingway, walaupun kalimatnya kupelintir sedemikian rupa. Bukankah seorang penulis yang baik adalah orang yang bisa melakukan subversi atas realitas atau fiksi yang telah dihadirkan oleh penulis sebelumnya ketika ia sedang menuliskan karyanya sendiri? Dibaris ketiga dan selanjutnya si burung kecil dalam kepalaku itu meniupkan ruh bagi karakter yang akan kuceritakan. Aku membutuhkan sebuah nama, maka menyembullah nama ‘Ephyra’ dan kudedahkan ke dalam ceritaku. Kelak setelah cerpen itu selesai kubuat, sadarlah aku akan kebenaran ucapan Budi Darma: ‘Penemuan itu terjadi ketika kita sedang menulis.’
Dari baris ketiga itulah aku menjadi Tuhan kecil yang memberi kehidupan para tokoh dan jalannya peristiwa dalam ceritaku. Seluruh kemampuan terbaikku tercurah saat itu juga, tak bisa dibendung oleh apapun. Aku ikuti siulan si burung kecil itu, mendengarkan dengan seksama naik turun nadanya dan kapan harus mengambil jeda. Kusebutkan momen paling romantis dalam kisah-kisah China klasik ketika sepasang manusia sedang dilanda cinta dan melayarkan perahunya di danau dimana si perempuan memainkan yangkim, sejenis siter China, dan si lelaki membacakan sajak-sajak cinta. Ephyra telah lahir sebagai manusia lain dalam kisahku, dan telah berdiri dengan segala perangkat kemanusiaannya. Bacalah bagian ketika kugambarkan bahwa dalam bola matanya bagai terdapat mercusuar. Bagi para pembaca Virginia Woolf, tentu mereka tak akan melupakan novelnya yang terkenal, “To The Light House.” Mercusuar dalam mata Ephyra, dalam imajinasiku, adalah mercusuar yang ada dalam novel Woolf. Untuk menciptakan keasingan yang menggugah, kuhadirkan tokoh bernama Robert yang berasal dari Amerika dan tinggal selama beberapa lama di Indonesia, dengan pandangan-pandangan hidup yang asing pula.
Tak pernah kumengerti hingga sekarang kenapa aku bisa merenungkan cinta seperti yang kutuliskan dalam cerpen Ephyra itu. Bagiku, yang ada adalah aksidensi kata-kata. Membiarkan apa yang ada dalam kepala kita mengalir lewat jemari tangan yang mengetik di komputer. Jikapun aku mengambil kesejajaran permenunganku tentang cinta dalam kisah Theseus yang dituliskan oleh Andre Gide, itu kulakukan karena terasa ada kesejajaran dengan kisah yang sedang kupaparkan, dan dalam beberapa hal akan menguatkan kisahku pula. Aku pikir apa yang ada sekarang tidak akan melangkah lebih jauh dari apa yang telah terjadi dalam mitos-mitos yang pernah kita baca atau pernah kita dengar lewat ibu atau nenek kita. Aku tidak berambisi melakukan revitalisasi mitos, namun barangkali karena pembacaan tentang mitos-mitos yang kulakukan sejak lama membuat semangat subversif yang ada dalam diriku meledak dan secara tanpa sadar pula melakukan pekerjaan revitalisasi mitos.
Tapi menulis adalah persoalan mendedahkan dunia asing dalam kepala kita secara serentak, tanpa ingin dihambat oleh berbagai macam etika atau prinsip yang kaku, apalagi ideologi. Bila melangkah lebih jauh, maka barangkali aku akan sampai pada apa yang telah dilakukan oleh Virginia Woolf dan James Joyce sehingga melahirkan genre penulisan arus kesadaran. Pada dasarnya, dalam pandanganku, menulis adalah bagaimana mengaruskan kesadaran bercerita kita, membiarkan semuanya mengalir, membuka berbagai ruang pemaknaan, mengambil dan memelintir berbagai macam fakta, menafsirkan sebuah teks dan bahkan menghadirkan kebohongan tekstual tentang diri kita. Itulah sebabnya kenapa ada seorang penulis yang berani berkata bahwa pada dasarnya seorang penulis berkisah tentang dirinya sendiri, mengutarakan pandangan-pandangan subyektifnya tentang berbagai hal. Kenapa harus takut terhadap polisi, tentara, agama, atau bahkan Tuhan? Jangan takut, penulis adalah penguasa tunggal, penulis adalah Tuhan itu sendiri, atau orang yang diberi mandat oleh Tuhan untuk melakukan segala hal secara tekstual.
Sebagai sebuah cerpen, “Ephyra” lahir dengan semangat seperti itu. Kupertaruhkan seluruh pengetahuanku, citra-citra yang selama ini terpendam dalam diriku dan preskripsi-preskripsi hipotetik tentang cinta yang bahkan tidak pernah kuucapkan sebelumnya dan hanya bisa menyembul karena kejahilan jemariku merangkai setiap kata dan kalimat, menjalin-jalin paragraf sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah hamparan naratif yang siap dinikmati pembaca.
Satu setengah jam aku menuliskan kisah itu. Aku terjaga dari ketakjuban akan kekuatan si burung kecil dalam kepalaku yang bersiul dengan sangat indahnya itu. Ah, telah kuhasilkan makhluk baru sekarang, ‘anak rohani’ yang esok memiliki nasibnya sendiri. Baru kusadari, Hemingway dan Ephyra telah merajutkan dirinya sendiri dalam sebuah kisah. Aku pulang ke rumah, terus berpikir dan tak habis mengerti kenapa aku bisa menuliskan cerita, bahkan dalam waktu-waktu yang seringkali dianggap tidak mungkin. Aku lebih heran ketika menyadari bahwa anak-anak rohani itu lebih punya otoritas dalam diriku untuk menentukan kapan saatnya lahir dan kapan ia menjadi abortus, kapan ia harus diperam dahulu dalam citra-citra samar di otakku. Si Burung kecil itu tak lagi bersuara. Ia maklum jika aku mulai menggugat keberadaannya.
Yogyakarta, 7 Desember 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar