M. Shoim Anwar
http://sastra-indonesia.com/
Jemuah legi nyang Pasar Genteng
Tuku apel nyang Wonokromo.
Merah-Putih Kepala Banteng
Benderane dokter Soetomo.
Pantun (parikan) di atas dikidungkan oleh Cak Pono, arek Jombang, saat pentas Ludruk Sari Bancet di Bondowoso. Gara-gara kidungan itu pementasan dibubarkan oleh Belanda karena dianggap menghembuskan nafas nasionalisme. Saat pentas di Desa Mojorejo, Jombang, Cak Durasim sebagai pimpinan Ludruk Organisatie (LO) ditangkap dan disiksa Jepang karena melantuntan kidungan “Pagupon omahe dara, Melok Nippon tambah sara.” Cak Pono dan Cak Durasim adalah simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Mereka menggunakan media kultural sebagai media perlawanan. Ketika Indonesia telah merdeka, tema-tema perlawanan terhadap kolonialisme juga masih mendominasi lakon-lakon ludruk.
Kolonialisme memang melahirkan berbagai akibat buruk. Cak Pono dan Cak Durasim sadar hingga melakukan perlawanan. Di sisi lain, kolonialisme juga menimbulkan perpecahan kepribadian. Sebagai contoh, Hanafi dilahirkan sebagai seorang bumi putra (Indonesia), tapi dia bergaya hidup seperti orang Belanda (Barat) dan menganggap rendah apa-apa yang berbau Indonesia. Dia pernah bersentuhan dengan sekolah Belanda hingga membuatnya makin tercerabut dari akar budaya tanah kelahiran sampai akhir hayat. Hanafi adalah seorang tokoh dalam roman klasik Indonesia Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Hanafi hadir sebagai simbol dalam wacana kolonial yang mewakili berbagai persoalan antara pihak penjajah dan terjajah. Dengan demikian Hanafi tidaklah sendiri.
Hanafi adalah simbol kekisruhan identitas. Kolonialisme telah menghunjamkan cakarnya ke bumi jajahan, tidak hanya di Indonesia, namun di berbagai belahan bumi. Identitas menjadi proyek pencitraan kolonial, di mana bangsa penjajah selalu dicitrakan jauh lebih baik daripada yang terjajah. Tokoh-tokoh lokal dalam kisah Nyai Dasima dicitrakan tidak baik, sementara tokoh Belanda dibuat bertengger secara terhormat. Kisah tersebut ditulis oleh G. Fransis, sastrawan peranakan Indo-Belanda tahun 1896. Dalam film-film koboi Amerika, suku Indian yang asli Amerika kerap kali digambarkan sebagai kelompok yang brutal dan suka menjarah. Bahkan, wacana sejarah kolonial menyatakan bahwa Colombus adalah “penemu” Benua Amerika. Seakan-akan Benua Amerika saat itu adalah wilayah kosong yang hanya dihuni para binatang liar. Kolonialisme dan perbudakan di Amerika akhirnya memunculkan wacana antikolonial dengan terbitnya buku Uncle Tom’s Cabin karya Stowe.
Lihat juga film-film Amerika yang berlatar Vietnam, Rambo misalnya, bangsa Vietnam selalu digambarkan sangat jahat dan buruk hingga perlu ditumpas. Amerika menyerang Vietnam dalam rangka kolonialisme. Amerika akhirnya mengalami kekalahan besar. Tetapi, hampir dalam semua filmnya, Amerika dicitrakan menang. Model seperti ini dapat pula dilihat pada film-film Amerika (Barat) yang bertema perang, spionase, dan pembebasan yang berlatar di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Penduduk asli dan para pemimpinnya senantiasa dicitrakan buruk.
Kolonialisme fisik mungkin sudah dapat dilepaskan. Tetapi, kolonialisme telah membekaskan luka yang panjang. Para kritikus seperti Edwar Said, Frantz Fanon, Homi Bhabha, Gayatri Spivak, atau Leela Gandhi, telah mengungkap bahwa dalam wacana pasca/poskolonial pun problem kolonialisme telah menjadi sesuatu yang laten. Kolonialisme telah menjadikan krisis identitas yang tidak selalu disadari oleh bangsa-bangsa yang pernah dijajah, khususnya di Afrika dan Asia. Masyarakat terjajah berkecenderungan mengalami problem psikologis seperti hibridasi, mimikri, dan ciri-ciri ambilavalens sebagai akibat hegemoni kekuasaan yang dilakukan selama masa pendudukan.
Brosur-brosur yang menawarkan perumahan juga dilanda penyakit poskolonial. Dalam gambar-gambar rumah tersebut biasanya terdapat gambar atau foto orang di depannya sebagai penghuni. Anehnya, banyak kompleks perumahan yang diperuntukkan bagi kelas menengah ke bawah, gambar atau foto yang ditampilkan justru berwajah orang Barat, seakan orang Indonesia tidak layak ditampilkan. Dalam realitanya pun tak ada orang Barat yang menghuni di kompleks perumahan seperti itu.
Tiap hari kita berhadapan dengan media massa. Begitu banyak iklan tentang kecantikan yang menawarkan “kulit menjadi lebih putih” dengan segala akibat positifnya. Hampir semua adegan iklan menggambarkan bahwa “si kulit putih” menjadi pusat perhatian dan unggul sehingga “si kulit yang lain” menjadi rendah diri, bahkan mengutuk kodratnya. Kita digiring ke persoalan ras sehingga kulit yang berwarna “sawo matang”, “coklat”, atau “hitam” dipandang lebih buruk dan dijauhi sehingga perlu “diputihkan”. Hegemoni seperti ini menjadikan para perempuan terperangkap dalam mitos kulit putih dan ingin mimikri atau menirunya secara instan hingga berefek buruk bagi kesehatan. Bila di Indonesia para perempuan disuguhi obat “pemutih” kulit, apakah di Barat juga ditawarkan obat “penghitam”, “pencoklat” atau pewarna yang lain? Rasanya kita belum pernah mendengarnya.
Krisis identitas, khususnya yang berkaitan dengan ras, menjadi semakin melebar. Identitas kulit putih ditambahkan lagi dengan warna rambut. Jangan heran bila masyarakat yang mengalami krisis identitas banyak yang menyemir rambutnya seperti warna rambut orang bule. Hidung mereka juga dipermak agar menjadi mancung seperti ras orang bule. Tempat tinggal mereka, arsitektur rumah atau kota, banyak menampilkan model atau patung-patung dari negeri orang bule. Sinetron atau acara-acara televisi pun, meski berkaitan dengan bersoalan lokal, tampak ada selera untuk mengedepankan bintang orang bule, setidak-tidaknya berdarah indo. Mirip dengan tokoh Hanafi dalam roman Salah Asuhan di atas, para selebritis juga lebih suka kawin dengan pria bule. Sampai-sampai ada sindiran, alangkah enaknya menjadi bule, meski gelandangan, asal mau sedikit bergaya di Indonesia, tentu akan digaet oleh artis. Hibridasi ini kerap berantakan di tengah jalan karena kegagalan menjinakkan identitas kultural, seakan-akan membenarkan paham kolonialis, “Timur adalah Timur, Barat adalah Barat, keduanya tak dapat disatukan”.
Kolonialisme telah menyatukan dirinya dengan kapitalisme. Media global yang dimiliki oleh para pemodal besar begitu gencar melancarkan invasi ekonomis. Masalah gaya hidup yang berkaitan dengan 3F (Fashion, Fun, dan Food) serta 3S (sex, sport, science/technology) menjadi tema yang dipompakan dari detik ke detik. Kiblat yang dituju sangat jelas, yaitu mengajak hidup konsumtif sebagai bagian dari rantai industri. Perlawanan terhadapnya memang tidak mudah. Yang paling umum dimunculkan adalah hibridasi “glokal”, “berpikir global tetapi berkepribadian lokal” sebagaimana disimbolkan oleh tokoh Marineti dalam novel Burung-Burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya.
Kolonialisme menimbulkan residu berkepanjangan dan memiliki dampak yang kompleks. Saat masa pergantian rezim, seperti ditulis Leela Gandhi, masyarakat poskolonial mengalami ambivalensi kultural, antara lain, ditandai dengan retorika kemerdekaan dan euforia swapenciptaan yang kreatif, penuh dengan kebingungan dan ketakutan akan kegagalan menciptakan kondisi dan organ-organ baru, dipaksa menegosiasikan berbagai kontradiksi yang muncul dari keterlambatan historis, terpedaya dalam harapan bahwa arsitektur dunia baru akan dapat muncul secara cepat, adanya aparat kebebasan yang tak tampak dan tekanan ketidakbebasan yang tersembunyi, jejak-jejak dan kenangan residual terhadap subordinasi, kerusakan fondasi ekonomi dan politik yang tersamar.
Munculnya kerusuhan di sekitar pelaksanaan pilkada di berbagai daerah, antara lain, juga disebabkan oleh ambivalensi kultural. Tafsir poskolonial otonomi daerah tidak lain adalah terlepasnya simpul-simpul kekuasaan pusat dan diambil alih daerah. Dari tafsir demokrasi, otonomi daerah pada awalnya dikonsepkan untuk memberdayakan daerah agar lebih kreatif dan mandiri dalam pengelolaan pemerintahan, lama-lama mengalami polarisasi ke ajang pertarungan kekuasaan dan kapitalisasi. Kolonialisme yang identik dengan kekuasaan mengejawantah dalam bentuk politik uang. Mereka yang memiliki uang dan bernafsu menjadi penguasa akan membeli hak-hak rakyat, bahkan menggerakkan mereka untuk melakukan perlawanan ketika syahwat kekuasaan tak dapat dipuaskan.
Kolonialisme mencengkeram kekuasaan untuk mengeruk _ultura. Syahwat politik dikeloni agar tidak jatuh ke tangan pihak lain. Mereka yang berkuasa akan terus berusaha untuk merebut lagi pada periode berikutnya. Bila tak mungkin, istri atau anak merekalah yang dipompa untuk maju. Kekuasaan adalah investasi modal yang nantinya harus kembali dengan jumlah yang melimpah-limpah. Korupsi akhirnya merajalela. Identitas _ultural makin terpuruk. Hidup dipenuhi janji-janji dan slogan-slogan yang ambivalens. Itulah sebagian wajah _ultural kita.
*Untuk Irfa di Ngudirejo yang selalu berjuang melawan kolonialisme.
**Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar