Sabtu, 20 Agustus 2011

Wajah Kultural Kita **

M. Shoim Anwar
http://sastra-indonesia.com/

Jemuah legi nyang Pasar Genteng
Tuku apel nyang Wonokromo.
Merah-Putih Kepala Banteng
Benderane dokter Soetomo.

Pantun (parikan) di atas dikidungkan oleh Cak Pono, arek Jombang, saat pentas Ludruk Sari Bancet di Bondowoso. Gara-gara kidungan itu pementasan dibubarkan oleh Belanda karena dianggap menghembuskan nafas nasionalisme. Saat pentas di Desa Mojorejo, Jombang, Cak Durasim sebagai pimpinan Ludruk Organisatie (LO) ditangkap dan disiksa Jepang karena melantuntan kidungan “Pagupon omahe dara, Melok Nippon tambah sara.” Cak Pono dan Cak Durasim adalah simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Mereka menggunakan media kultural sebagai media perlawanan. Ketika Indonesia telah merdeka, tema-tema perlawanan terhadap kolonialisme juga masih mendominasi lakon-lakon ludruk.

Kolonialisme memang melahirkan berbagai akibat buruk. Cak Pono dan Cak Durasim sadar hingga melakukan perlawanan. Di sisi lain, kolonialisme juga menimbulkan perpecahan kepribadian. Sebagai contoh, Hanafi dilahirkan sebagai seorang bumi putra (Indonesia), tapi dia bergaya hidup seperti orang Belanda (Barat) dan menganggap rendah apa-apa yang berbau Indonesia. Dia pernah bersentuhan dengan sekolah Belanda hingga membuatnya makin tercerabut dari akar budaya tanah kelahiran sampai akhir hayat. Hanafi adalah seorang tokoh dalam roman klasik Indonesia Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Hanafi hadir sebagai simbol dalam wacana kolonial yang mewakili berbagai persoalan antara pihak penjajah dan terjajah. Dengan demikian Hanafi tidaklah sendiri.

Hanafi adalah simbol kekisruhan identitas. Kolonialisme telah menghunjamkan cakarnya ke bumi jajahan, tidak hanya di Indonesia, namun di berbagai belahan bumi. Identitas menjadi proyek pencitraan kolonial, di mana bangsa penjajah selalu dicitrakan jauh lebih baik daripada yang terjajah. Tokoh-tokoh lokal dalam kisah Nyai Dasima dicitrakan tidak baik, sementara tokoh Belanda dibuat bertengger secara terhormat. Kisah tersebut ditulis oleh G. Fransis, sastrawan peranakan Indo-Belanda tahun 1896. Dalam film-film koboi Amerika, suku Indian yang asli Amerika kerap kali digambarkan sebagai kelompok yang brutal dan suka menjarah. Bahkan, wacana sejarah kolonial menyatakan bahwa Colombus adalah “penemu” Benua Amerika. Seakan-akan Benua Amerika saat itu adalah wilayah kosong yang hanya dihuni para binatang liar. Kolonialisme dan perbudakan di Amerika akhirnya memunculkan wacana antikolonial dengan terbitnya buku Uncle Tom’s Cabin karya Stowe.

Lihat juga film-film Amerika yang berlatar Vietnam, Rambo misalnya, bangsa Vietnam selalu digambarkan sangat jahat dan buruk hingga perlu ditumpas. Amerika menyerang Vietnam dalam rangka kolonialisme. Amerika akhirnya mengalami kekalahan besar. Tetapi, hampir dalam semua filmnya, Amerika dicitrakan menang. Model seperti ini dapat pula dilihat pada film-film Amerika (Barat) yang bertema perang, spionase, dan pembebasan yang berlatar di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Penduduk asli dan para pemimpinnya senantiasa dicitrakan buruk.

Kolonialisme fisik mungkin sudah dapat dilepaskan. Tetapi, kolonialisme telah membekaskan luka yang panjang. Para kritikus seperti Edwar Said, Frantz Fanon, Homi Bhabha, Gayatri Spivak, atau Leela Gandhi, telah mengungkap bahwa dalam wacana pasca/poskolonial pun problem kolonialisme telah menjadi sesuatu yang laten. Kolonialisme telah menjadikan krisis identitas yang tidak selalu disadari oleh bangsa-bangsa yang pernah dijajah, khususnya di Afrika dan Asia. Masyarakat terjajah berkecenderungan mengalami problem psikologis seperti hibridasi, mimikri, dan ciri-ciri ambilavalens sebagai akibat hegemoni kekuasaan yang dilakukan selama masa pendudukan.

Brosur-brosur yang menawarkan perumahan juga dilanda penyakit poskolonial. Dalam gambar-gambar rumah tersebut biasanya terdapat gambar atau foto orang di depannya sebagai penghuni. Anehnya, banyak kompleks perumahan yang diperuntukkan bagi kelas menengah ke bawah, gambar atau foto yang ditampilkan justru berwajah orang Barat, seakan orang Indonesia tidak layak ditampilkan. Dalam realitanya pun tak ada orang Barat yang menghuni di kompleks perumahan seperti itu.

Tiap hari kita berhadapan dengan media massa. Begitu banyak iklan tentang kecantikan yang menawarkan “kulit menjadi lebih putih” dengan segala akibat positifnya. Hampir semua adegan iklan menggambarkan bahwa “si kulit putih” menjadi pusat perhatian dan unggul sehingga “si kulit yang lain” menjadi rendah diri, bahkan mengutuk kodratnya. Kita digiring ke persoalan ras sehingga kulit yang berwarna “sawo matang”, “coklat”, atau “hitam” dipandang lebih buruk dan dijauhi sehingga perlu “diputihkan”. Hegemoni seperti ini menjadikan para perempuan terperangkap dalam mitos kulit putih dan ingin mimikri atau menirunya secara instan hingga berefek buruk bagi kesehatan. Bila di Indonesia para perempuan disuguhi obat “pemutih” kulit, apakah di Barat juga ditawarkan obat “penghitam”, “pencoklat” atau pewarna yang lain? Rasanya kita belum pernah mendengarnya.

Krisis identitas, khususnya yang berkaitan dengan ras, menjadi semakin melebar. Identitas kulit putih ditambahkan lagi dengan warna rambut. Jangan heran bila masyarakat yang mengalami krisis identitas banyak yang menyemir rambutnya seperti warna rambut orang bule. Hidung mereka juga dipermak agar menjadi mancung seperti ras orang bule. Tempat tinggal mereka, arsitektur rumah atau kota, banyak menampilkan model atau patung-patung dari negeri orang bule. Sinetron atau acara-acara televisi pun, meski berkaitan dengan bersoalan lokal, tampak ada selera untuk mengedepankan bintang orang bule, setidak-tidaknya berdarah indo. Mirip dengan tokoh Hanafi dalam roman Salah Asuhan di atas, para selebritis juga lebih suka kawin dengan pria bule. Sampai-sampai ada sindiran, alangkah enaknya menjadi bule, meski gelandangan, asal mau sedikit bergaya di Indonesia, tentu akan digaet oleh artis. Hibridasi ini kerap berantakan di tengah jalan karena kegagalan menjinakkan identitas kultural, seakan-akan membenarkan paham kolonialis, “Timur adalah Timur, Barat adalah Barat, keduanya tak dapat disatukan”.

Kolonialisme telah menyatukan dirinya dengan kapitalisme. Media global yang dimiliki oleh para pemodal besar begitu gencar melancarkan invasi ekonomis. Masalah gaya hidup yang berkaitan dengan 3F (Fashion, Fun, dan Food) serta 3S (sex, sport, science/technology) menjadi tema yang dipompakan dari detik ke detik. Kiblat yang dituju sangat jelas, yaitu mengajak hidup konsumtif sebagai bagian dari rantai industri. Perlawanan terhadapnya memang tidak mudah. Yang paling umum dimunculkan adalah hibridasi “glokal”, “berpikir global tetapi berkepribadian lokal” sebagaimana disimbolkan oleh tokoh Marineti dalam novel Burung-Burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya.

Kolonialisme menimbulkan residu berkepanjangan dan memiliki dampak yang kompleks. Saat masa pergantian rezim, seperti ditulis Leela Gandhi, masyarakat poskolonial mengalami ambivalensi kultural, antara lain, ditandai dengan retorika kemerdekaan dan euforia swapenciptaan yang kreatif, penuh dengan kebingungan dan ketakutan akan kegagalan menciptakan kondisi dan organ-organ baru, dipaksa menegosiasikan berbagai kontradiksi yang muncul dari keterlambatan historis, terpedaya dalam harapan bahwa arsitektur dunia baru akan dapat muncul secara cepat, adanya aparat kebebasan yang tak tampak dan tekanan ketidakbebasan yang tersembunyi, jejak-jejak dan kenangan residual terhadap subordinasi, kerusakan fondasi ekonomi dan politik yang tersamar.

Munculnya kerusuhan di sekitar pelaksanaan pilkada di berbagai daerah, antara lain, juga disebabkan oleh ambivalensi kultural. Tafsir poskolonial otonomi daerah tidak lain adalah terlepasnya simpul-simpul kekuasaan pusat dan diambil alih daerah. Dari tafsir demokrasi, otonomi daerah pada awalnya dikonsepkan untuk memberdayakan daerah agar lebih kreatif dan mandiri dalam pengelolaan pemerintahan, lama-lama mengalami polarisasi ke ajang pertarungan kekuasaan dan kapitalisasi. Kolonialisme yang identik dengan kekuasaan mengejawantah dalam bentuk politik uang. Mereka yang memiliki uang dan bernafsu menjadi penguasa akan membeli hak-hak rakyat, bahkan menggerakkan mereka untuk melakukan perlawanan ketika syahwat kekuasaan tak dapat dipuaskan.

Kolonialisme mencengkeram kekuasaan untuk mengeruk _ultura. Syahwat politik dikeloni agar tidak jatuh ke tangan pihak lain. Mereka yang berkuasa akan terus berusaha untuk merebut lagi pada periode berikutnya. Bila tak mungkin, istri atau anak merekalah yang dipompa untuk maju. Kekuasaan adalah investasi modal yang nantinya harus kembali dengan jumlah yang melimpah-limpah. Korupsi akhirnya merajalela. Identitas _ultural makin terpuruk. Hidup dipenuhi janji-janji dan slogan-slogan yang ambivalens. Itulah sebagian wajah _ultural kita.

*Untuk Irfa di Ngudirejo yang selalu berjuang melawan kolonialisme.
**Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati