Anjrah Lelono Broto
http://suaraguru.wordpress.com/
Membaca sejarah perkembangan sastra Indonesia (periodisasi, menurut HB Jassin), ada tanda tanya besar yang berputar-putar di dalam benak kita. Benarkah sastra Indonesia diawali dari Angkatan Balai Pustaka? Paus sastra Indonesia, HB Jassin, juga menetapkan bahwa sastra Indonesia diawali dari sastrawan-sastrawan yang bernaung di Balai Pustaka seperti Marah Rusli, Tulis Sutan Sati, Ama Datuk Mojoindo, Suman Hasibuan, dll. Bukankah mereka adalah sederet sastrawan berlatar belakang budaya Melayu? Lalu dimanakah tempat Mpu Tantular, Mpu Sedah, Mpu Kanwa, bahkan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ataupun Abdur Rauf Ibn Singkli atau Syamsuddin Asy Samatrani?
Tanpa harus mereview pendapat dan pemikiran Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, A. Teuuw, Ajip Rosidi, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus, ada baiknya kita membaca kembali perjalanan kesusasatraan Indonesia. Seorang pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, dalam artikelnya yang dibacakan di 11th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies di Lomonosov Moscow State University pada 1999, mengatakan bahwa awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi “Syair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000). Lalu, tahun 2002, Taufiq Ismail dan majalah sastra Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang di dalamnya menyebutkan awal mula penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri sekitar abad ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menempatkan Hamzah Fansuri sebagai pionir sastra daerah, seperti halnya Mpu Tantular, Mpu Sedah, Mpu Panuluh, dan rekan-rekan Mpu yang lain. Taufiq Ismail belum memiliki keberanian menempatkan Hamzah Fansuri sebagai kanon sastrawan Indonesia.
Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyatakan gagasannya untuk memberikan sekat antara sejarah kebudayaan pre-Indonesia (masa sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), dengan sendirinya menjadikan keterputusan sejarah antara dua masa kesusastraan tersebut. Bagi generasi muda yang menerima pengajaran sastra di lingkungan sekolah, seakan ada gambaran bahwa kebudayaan (sastra) Indonesia baru lahir di tahun 1900 sehingga mengubur-tenggelamkan perjalanan sejarah kebudayaan (sastra) Indonesia yang telah berproses dan bermutasi selama ratusan tahun. Padahal, The Founding Fathers Indonesia dalam menggodok landasan idiil negara yaitu Pancasila, menobatkan sebuah klausa “Bhineka Tunggal Ika” yang dikutip dari Sutasoma karya Mpu Tantular. Dari perspektif sastra, penobatan klausa ini merupakan bentuk penghargaan kepada sejarah sastra Indonesia di masa kerajaan Hindhu–Budha.
Banyak kalangan menilai, lahirnya pemikiran STA ini dilatarbelakangi oleh kesilauannya dengan kebudayaan Barat, yang menjadi roh Angkatan Pujangga Baru. Namun, pembangunan sekat pemisah ini dapat mengaburkan jatidiri kebangsaan Indonesia, yang sejatinya adalah evolusi kebangsaan dan kemanusiaan Hindhu-Budha ke Islam dan dilanjutkan dengan modern ala Barat. Sanusi Pane dan Poerbatjaraka pernah menanggapi minor pemikiran STA di atas, diakui atau tidak, penolakan mereka mengejawantahkan ke-Indonesia-an yang sejati. Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah kelanjutan dari sejarah masa lalu, tidak terputus. Kebudayaan Indonesia adalah formulasi berbasis akultural antara kebudayaan Indonesia purba dengan kebudayaan Barat. Sanusi Pane menyebutnya sebagai hasil perkawinan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).
Andaikata kita masih setia dengan sejarah sastra yang terputus ala STA tersebut, maka akan kita jumpai pengaruh Pemerintah Kolonialis Belanda dalam mengelola “bacaan” rakyat. Pembentukan Commissie voor de Indlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya diikuti dengan pendirian Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) pada tahun 1917, yang kemudian bernama Balai Pustaka, menjadi penanda bahwa pemikiran STA tentang sejarah sastra Indonesia dipengaruhi Politik Etis kolonialis Belanda. Padahal, sentuhan “terpaksa” seperti itu hanyalah bagian kecil dari pengaruh luar yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Ibnu Wahyudi menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan peranakan Eropa sebagai pijakan awal kelahiran sastra Indonesia. Hasil penelitiannya menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra (bacaan liar) yang tidak melalui sensor Balai Pustaka, adalah juga termasuk dalam khazanah sastra Indonesia. Pendapat Ibnu Wahyudi ini sedikit merujuk kepada pemikiran Pramoedya Ananta Toer, yang mengatakan bahwa sejarah perkembangan sastra Indonesia juga mencatat sumbang-sih karya dari sastrawan berlatar belakang wartawan dan peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa, seperti F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J. Pangemanan. Penerbitan kembali karya-karya Mas Marco Martodikromo olej Penerbit Indonesia Buku (16/05/2009) adalah sebuah langkah riil meretas sejarah perkembangan sastra Indonesia.
Lahirnya buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer pada 1982 (dan direvisi pada 2003) memiliki dua arti penting. Pertama, ada pengakuan terhadap eksistensi sastra Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu pasar (bukan bahasa Melayu Tinggi ala Balai Pustaka). Pramoedya pun telah berusaha menjalin kembali keterputusan sejarah sastra (kebudayaan) akibat pemikiran STA. Kedua, hasil penelusuran semacam itu juga memperlihatkan fenomena unik dalam sejarah sastra Indonesia bahwa politik etis kolonial Belanda (yang diskriminatif), menciptakan ketidakadilan bagi para “inlanders”. Faktanya, hanya masyarakat yang mengecap pendidikan “Barat” yang diakui dan memiliki akses berproduksi, termasuk di sastra. Seperti F.D.J. Pangemanann, pemimpin redaksi koran berbahasa Melayu, Djawa Tengah (1913-1938) dan Noto Soeroto, penulis Melati Knoppen (‘Kuntum-kuntum Melati’) di tahun 1915 dan Wayang-Liederan (‘Dendang Wayang’) di tahun 1931.
Upaya-upaya yang dilakukan Ibnu Wahyudi, Taufiq Ismail, ataupun Pramoedya Ananta Toer, sejatinya, telah memberikan sumbangan besar bagi usaha meluruskan kembali sejarah sastra Indonesia yang mengalami keterputusan akibat gagasan pemikiran STA. Namun, menyitir penggalan puisi “Kerawang Bekasi” karya Chairil Anwar; “..perjuangan belum selesei, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa..”. Usaha untuk menemukan benang merah antara karya-karya sastra pada masa Hindhu-Budha, awal perkembangan Islam, hingga masuknya pemerintah kolonialis Belanda yang mengusung tradisi budaya barat di punggungnya; masih memerlukan perjuangan panjang.
Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (Perkawinan Arjuna) karya Mpu Kanwa yang terbit sekitar 1028-1035 di masa kerajaan Airlangga. Masih di masa kerajaan Medang (Airlangga) kemudian lahir pula Gatotkacasraya (Bantuan Gatotkaca) karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Kemudian di masa kerajaan Kediri, Rajanya Jaya Baya, juga melahirkan karya sastra yang berbau nujum yang kemudian terkenal sebagai Serat Jangka Jaya Baya. Sejajar dengan nujum Zarathustra, naskah asli karya sastra ini harus jauh dari tanah air dan disimpan di British Library. Di zaman kerajaan Majapahit, Negarakertagama karya Mpu Prapanca dan Sutasoma karya Mpu Tantular sebagai masterpiece karena dilahirkan pujangga-pujangga kerajaan. Masuknya agama Islam, membawa aura Islam dalam perkembangan sastra Jawa (khususnya) sehingga lahirlah sederet karya-karya sastra seperti Kidung Rumeksa Ing Wengi, Serat Walisana, Babad Demak, Babad Tanah Jawi, Primbon Djatianom (Ki Ageng Gribig), Serat Gatoloco, dll.
Di satu sisi, aura Islam menjadi warna pertama yang menggurat sejarah sastra di tanah Melayu, dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7—19, Vladimir I. Braginsky (1998) mengatakan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia. “Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia… Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik, dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.” Sederet nama seperti Hamzah Fansuri, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Nurruddin Ar Raniri, Abdur Rauf Ibn Singkli dan Syamsuddin Asy Samatrani; menjadi tokoh-tokoh sastrawan Melayu yang karya-karyanya menjadi ikatan budaya antara Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Budaya Hindhu-Budha, Islam, lalu Barat yang dibawa Portugal, Spanyol, dan kolonialis Belanda telah memberi warna baru yang memperkaya dan mendewasakan kebudayaan (sastra) Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di ranah agama, di ranah sastra pun terjadi “sinkretisme” yang dilakukan sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh saja Rudyard Kipling mengatakan East is east and west is west and the twin shall never meet. Tapi, bagi manusia Jawa, memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.
Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua kutub dalam sastra Indonesia, yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Hindhu-Budha yang kuat, yang berpusat di Jawa dan sastra Indonesia yang memperlihatkan pengaruh Islam yang kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua kutub tersebut bisa menjadi rujukan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang memperlihatkan bahwa sastrawan yang berasal dari Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%) berperan besar dalam menghidupkan sastra Indonesia. Mari meluruskan kembali sejarah sastra Indonesia kepada generasi muda kita.
23 Agustus, 2009
Email: anantaanandswami@gmail.com
*) Litbang LBTI (Lembaga Baca-Tulis Indonesia) dan Alumni Teater Sansesus SMAN 2 Jombang.
Sumber: http://suaraguru.wordpress.com/2009/08/23/meluruskan-sejarah-sastra-indonesia/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar