Selasa, 06 September 2011

Meluruskan Sejarah Sastra Indonesia

Anjrah Lelono Broto
http://suaraguru.wordpress.com/

Membaca sejarah perkembangan sastra Indonesia (periodisasi, menurut HB Jassin), ada tanda tanya besar yang berputar-putar di dalam benak kita. Benarkah sastra Indonesia diawali dari Angkatan Balai Pustaka? Paus sastra Indonesia, HB Jassin, juga menetapkan bahwa sastra Indonesia diawali dari sastrawan-sastrawan yang bernaung di Balai Pustaka seperti Marah Rusli, Tulis Sutan Sati, Ama Datuk Mojoindo, Suman Hasibuan, dll. Bukankah mereka adalah sederet sastrawan berlatar belakang budaya Melayu? Lalu dimanakah tempat Mpu Tantular, Mpu Sedah, Mpu Kanwa, bahkan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ataupun Abdur Rauf Ibn Singkli atau Syamsuddin Asy Samatrani?

Tanpa harus mereview pendapat dan pemikiran Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, A. Teuuw, Ajip Rosidi, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus, ada baiknya kita membaca kembali perjalanan kesusasatraan Indonesia. Seorang pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, dalam artikelnya yang dibacakan di 11th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies di Lomonosov Moscow State University pada 1999, mengatakan bahwa awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi “Syair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000). Lalu, tahun 2002, Taufiq Ismail dan majalah sastra Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang di dalamnya menyebutkan awal mula penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri sekitar abad ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menempatkan Hamzah Fansuri sebagai pionir sastra daerah, seperti halnya Mpu Tantular, Mpu Sedah, Mpu Panuluh, dan rekan-rekan Mpu yang lain. Taufiq Ismail belum memiliki keberanian menempatkan Hamzah Fansuri sebagai kanon sastrawan Indonesia.

Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyatakan gagasannya untuk memberikan sekat antara sejarah kebudayaan pre-Indonesia (masa sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), dengan sendirinya menjadikan keterputusan sejarah antara dua masa kesusastraan tersebut. Bagi generasi muda yang menerima pengajaran sastra di lingkungan sekolah, seakan ada gambaran bahwa kebudayaan (sastra) Indonesia baru lahir di tahun 1900 sehingga mengubur-tenggelamkan perjalanan sejarah kebudayaan (sastra) Indonesia yang telah berproses dan bermutasi selama ratusan tahun. Padahal, The Founding Fathers Indonesia dalam menggodok landasan idiil negara yaitu Pancasila, menobatkan sebuah klausa “Bhineka Tunggal Ika” yang dikutip dari Sutasoma karya Mpu Tantular. Dari perspektif sastra, penobatan klausa ini merupakan bentuk penghargaan kepada sejarah sastra Indonesia di masa kerajaan Hindhu–Budha.

Banyak kalangan menilai, lahirnya pemikiran STA ini dilatarbelakangi oleh kesilauannya dengan kebudayaan Barat, yang menjadi roh Angkatan Pujangga Baru. Namun, pembangunan sekat pemisah ini dapat mengaburkan jatidiri kebangsaan Indonesia, yang sejatinya adalah evolusi kebangsaan dan kemanusiaan Hindhu-Budha ke Islam dan dilanjutkan dengan modern ala Barat. Sanusi Pane dan Poerbatjaraka pernah menanggapi minor pemikiran STA di atas, diakui atau tidak, penolakan mereka mengejawantahkan ke-Indonesia-an yang sejati. Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah kelanjutan dari sejarah masa lalu, tidak terputus. Kebudayaan Indonesia adalah formulasi berbasis akultural antara kebudayaan Indonesia purba dengan kebudayaan Barat. Sanusi Pane menyebutnya sebagai hasil perkawinan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).

Andaikata kita masih setia dengan sejarah sastra yang terputus ala STA tersebut, maka akan kita jumpai pengaruh Pemerintah Kolonialis Belanda dalam mengelola “bacaan” rakyat. Pembentukan Commissie voor de Indlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya diikuti dengan pendirian Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) pada tahun 1917, yang kemudian bernama Balai Pustaka, menjadi penanda bahwa pemikiran STA tentang sejarah sastra Indonesia dipengaruhi Politik Etis kolonialis Belanda. Padahal, sentuhan “terpaksa” seperti itu hanyalah bagian kecil dari pengaruh luar yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia.

Ibnu Wahyudi menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan peranakan Eropa sebagai pijakan awal kelahiran sastra Indonesia. Hasil penelitiannya menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra (bacaan liar) yang tidak melalui sensor Balai Pustaka, adalah juga termasuk dalam khazanah sastra Indonesia. Pendapat Ibnu Wahyudi ini sedikit merujuk kepada pemikiran Pramoedya Ananta Toer, yang mengatakan bahwa sejarah perkembangan sastra Indonesia juga mencatat sumbang-sih karya dari sastrawan berlatar belakang wartawan dan peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa, seperti F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J. Pangemanan. Penerbitan kembali karya-karya Mas Marco Martodikromo olej Penerbit Indonesia Buku (16/05/2009) adalah sebuah langkah riil meretas sejarah perkembangan sastra Indonesia.

Lahirnya buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer pada 1982 (dan direvisi pada 2003) memiliki dua arti penting. Pertama, ada pengakuan terhadap eksistensi sastra Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu pasar (bukan bahasa Melayu Tinggi ala Balai Pustaka). Pramoedya pun telah berusaha menjalin kembali keterputusan sejarah sastra (kebudayaan) akibat pemikiran STA. Kedua, hasil penelusuran semacam itu juga memperlihatkan fenomena unik dalam sejarah sastra Indonesia bahwa politik etis kolonial Belanda (yang diskriminatif), menciptakan ketidakadilan bagi para “inlanders”. Faktanya, hanya masyarakat yang mengecap pendidikan “Barat” yang diakui dan memiliki akses berproduksi, termasuk di sastra. Seperti F.D.J. Pangemanann, pemimpin redaksi koran berbahasa Melayu, Djawa Tengah (1913-1938) dan Noto Soeroto, penulis Melati Knoppen (‘Kuntum-kuntum Melati’) di tahun 1915 dan Wayang-Liederan (‘Dendang Wayang’) di tahun 1931.

Upaya-upaya yang dilakukan Ibnu Wahyudi, Taufiq Ismail, ataupun Pramoedya Ananta Toer, sejatinya, telah memberikan sumbangan besar bagi usaha meluruskan kembali sejarah sastra Indonesia yang mengalami keterputusan akibat gagasan pemikiran STA. Namun, menyitir penggalan puisi “Kerawang Bekasi” karya Chairil Anwar; “..perjuangan belum selesei, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa..”. Usaha untuk menemukan benang merah antara karya-karya sastra pada masa Hindhu-Budha, awal perkembangan Islam, hingga masuknya pemerintah kolonialis Belanda yang mengusung tradisi budaya barat di punggungnya; masih memerlukan perjuangan panjang.

Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (Perkawinan Arjuna) karya Mpu Kanwa yang terbit sekitar 1028-1035 di masa kerajaan Airlangga. Masih di masa kerajaan Medang (Airlangga) kemudian lahir pula Gatotkacasraya (Bantuan Gatotkaca) karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Kemudian di masa kerajaan Kediri, Rajanya Jaya Baya, juga melahirkan karya sastra yang berbau nujum yang kemudian terkenal sebagai Serat Jangka Jaya Baya. Sejajar dengan nujum Zarathustra, naskah asli karya sastra ini harus jauh dari tanah air dan disimpan di British Library. Di zaman kerajaan Majapahit, Negarakertagama karya Mpu Prapanca dan Sutasoma karya Mpu Tantular sebagai masterpiece karena dilahirkan pujangga-pujangga kerajaan. Masuknya agama Islam, membawa aura Islam dalam perkembangan sastra Jawa (khususnya) sehingga lahirlah sederet karya-karya sastra seperti Kidung Rumeksa Ing Wengi, Serat Walisana, Babad Demak, Babad Tanah Jawi, Primbon Djatianom (Ki Ageng Gribig), Serat Gatoloco, dll.

Di satu sisi, aura Islam menjadi warna pertama yang menggurat sejarah sastra di tanah Melayu, dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7—19, Vladimir I. Braginsky (1998) mengatakan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia. “Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia… Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik, dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.” Sederet nama seperti Hamzah Fansuri, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Nurruddin Ar Raniri, Abdur Rauf Ibn Singkli dan Syamsuddin Asy Samatrani; menjadi tokoh-tokoh sastrawan Melayu yang karya-karyanya menjadi ikatan budaya antara Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.

Budaya Hindhu-Budha, Islam, lalu Barat yang dibawa Portugal, Spanyol, dan kolonialis Belanda telah memberi warna baru yang memperkaya dan mendewasakan kebudayaan (sastra) Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di ranah agama, di ranah sastra pun terjadi “sinkretisme” yang dilakukan sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh saja Rudyard Kipling mengatakan East is east and west is west and the twin shall never meet. Tapi, bagi manusia Jawa, memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.

Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua kutub dalam sastra Indonesia, yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Hindhu-Budha yang kuat, yang berpusat di Jawa dan sastra Indonesia yang memperlihatkan pengaruh Islam yang kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua kutub tersebut bisa menjadi rujukan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang memperlihatkan bahwa sastrawan yang berasal dari Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%) berperan besar dalam menghidupkan sastra Indonesia. Mari meluruskan kembali sejarah sastra Indonesia kepada generasi muda kita.

23 Agustus, 2009
Email: anantaanandswami@gmail.com
*) Litbang LBTI (Lembaga Baca-Tulis Indonesia) dan Alumni Teater Sansesus SMAN 2 Jombang.
Sumber: http://suaraguru.wordpress.com/2009/08/23/meluruskan-sejarah-sastra-indonesia/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati